View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hakikatnya,
surat
dakwaan
berfungsi
sebagai
dasar
pemeriksaan bagi Hakim di dalam sidang pengadilan. Betapa
pentingnya surat dakwaan ini sehingga KUHAP mengancam apabila
tidak memenuhi persyaratan tertentu maka batal demi hukum (vide
Pasal 143 ayat (3) KUHAP), dikutip selengkapnya pasal 143 KUHAP,
yang menegaskan sebagai berikut:
1) Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan Negeri
dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut
disertai dengan surat dakwaan.
2) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal
dan ditanda tangani serta berisi:
a) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jeniskelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan
pekerjaan tersangka.
b) Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu dilakukan.
3) Surat
dakwaan
yang
tidak
memenuhi
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi
hukum.
4) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan
disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau
Penasihat Hukumnya dan Penyidik, pada saat yang
bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara
tersebut ke Pengadilan Negeri.
Di dalam sidang pengadilan, fokus
pemeriksaan harus tetap
mengarah pada pembuktiaan surat dakwaan. Apabila tidak terbukti,
maka terdakwa dibebaskan dan apabila terbukti sebagai tindak pidana
maka terdakwa dijatuhi hukuman pidana. Dengan demikian, terdakwa
1
hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut
dalam dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak
disebut dalam dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana (Andi Hamzah,
1985:168)
Perlu diingat, selain ketentua KUHAP maka bagi Penuntut Umum
hendaknya memperhatikan Surat Dakwaan terbitan Kejaksaan Agung
R.I, 1985. Di dalam buku pedoman tersebut dijelaskan pengertianpengertian dari cermat, jelas, dan lengkap, seperti yang disyaratkan
oleh pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Sebuah surat dakwaan harus cermat,
Penuntut
Umum
dalam
mempersiapkan
artinya ketelitian Jaksa
surat
dakwaan
yang
didasarkan kepada undang-undang yang berlaku bagi terdakwa, tidak
terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang dapat mengakibatkan
batalnya surat dakwaan atau dakwaan tidak dapat dibuktikan. Misalnya,
adakah pengaduan dalam hal delik aduan, apakah terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan dalam melakukan tindak pidana tersebut,
apakah tindak pidana tersebut belum/sudah kadaluwarsa, apakah
tindak pidana itu tidak nebis in idem, surat dakwaan juga harus Jelas,
yaitu Penuntut Umum harus mempu merumuskan unsur-unsur delik
yang didakwaan sekaligus memadukan dengan uraian pernuatan
materiil (fakta) yang dilakukan terdakwa dalam surat dakwaan, selain
itu harus lengkap,adalah uraian dakwaan harus mencakup semua
unsur-unsur yang ditemukan undang-undang secara lengkap.
2
Penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke Pengailan Negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan (pasal 1
butir 7 KUHAP).
Dari rumusan pasal itu secara singkat proses penuntutan dan
tuntutan pidana sebagai berikut:
1) Pelimpahan perkara pidana yang disertai surat dakwaan ke
pengadilan yang berwenang
2) Pemeriksaan di siding pengadilan
3) Tuntutan Pidana
4) Putusan Hakim
Telah dijelaskan bahwa surat dakwaan merupakan dasar dalam
pemeriksaan di siding pengadilan. Hal itu membawa konsekuensi
pemeriksaan tuntutan pidana, dan Putusan Hakim
harus berdasar
kepada yang termaktub dalam surat dakwaan. Pemeriksaan di sidang
pengadilan, meliputi pemeriksaan saksi-saksi, ahli, terdakwa, barang
bukti, dan pembuktian.
Dalam proses pembuktian, hakim ketua sidang memperlihatkan
kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya
apakah ia mengenal benda itu. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga
oleh Hakim ketua sidang kepada saksi. Apabila dianggap perlu untuk
pembuktian, Hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan
3
surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan minta
keterangan seperlunya tentang hal itu (vide pasal 181 KUHAP).
Penuntut Umum harus bersikap aktif, korektif, dan professional
dalam acara pembuktian. Dengan demikian kebenaran meteriil tercapai
dan sekaligus dakwaan dapat dibuktikan. Oleh karena dalam
mempertahankan dan membuktikan surat dakwaan, selain kemampuan
berdiskusi dan meyakinkan, hakim juga harus berlandaskan pada etika
profesi hukum
Jadi, dalam mempertahankan dan membuktikan dakwaan tidak
dilakukan
dengan
sewenang-wenang,
membabi
buta,
tanpa
mengindahkan norma-norma hukum, kesopanan, dan kesusilaan dan
sebagainya.
Tanpa mengurangi arti penting hukum acara pembuktian (secara
teknis yuridis Penuntut Umum tentu menguasai), kiranya aktualisasi
penegakan prinsip-prinsip, etika, moral, intergritas kepribadian, dan
disiplin,
merupakan
faktor
utama
yang
melandasi
penerapan,
pelayanan, dan penegakan hukum. Jaksa Agung dalam salah satu butir
perintah harian pada tanggal 22 Juli 1966 menegaskan bahwa
tingkatkan keimanan dan ketakwaan terhadapTuhan yang Maha Esa
sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pelaksanaan tugas
Penuntut Umum.
Semua putusan pengadilan yang bukan putusan pemidanaan,
maka harusnya disertai dengan perintah supaya terdakwa yang
4
ditahan harus secepatnya dikeluarkan dari tahanan untuk kepentingan
hukum dan terdakwa.
Salah satu jenis putusan yang menarik untuk di teliti adalah
dimana dalam putusan yang penulis teliti yaitu Putusan Nomor
120/Pid.B/2008/PN.Mks, hakim dalam pertimbangannya menyatakan
oleh karena penuntut umum tidak dapat menghadirkan terdakwa di
hadapan persidangan sebanyak 20 kali pemanggilan sehingga
memutuskan putusan yang menyatakan penuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima, yang menurut penulis dalam perkara tersebut
terjadi sebuah ketidak laziman dalam proses perkara pidana.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan maka
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum hakim sehingga
menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima?
2. Upaya hukum apakah yang dapat dilakukan oleh jaksa penuntut
umum terhadap putusan hakim yang menyatakan tuntutan penuntut
umum tidak dapat diterima ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini
sebagai berikut:
5
1. Untuk
mengetahui
pertimbangan
hukum
hakim
sehingga
menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.
2. Untuk mengetahui upaya hukum yang dapat dilakukan oleh jaksa
penuntut umum terhadap putusan hakim yang menyatakan tuntutan
penuntut umum tidak dapat diterima.
Adapun kegunaan penelitian yang dilakukan dalam penelitian
ini sebagai berikut:
1. Dari segi teoritis
Dapat dijadikan sebagai bahan kajian hukum pidana dan sebagai
referensi bagi yang ingin menulis mengenai permasalahan putusan
dalam perkara pidana.
2. Dari segi praktis
Diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi pihak yang
berkompeten
dalam
pengambilan
kebijakan
tentang
tindak
pidanakhususnya mengenai proses penjatuhan putusan .
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Jaksa dan Wewenang Kejaksaan
Jaksa yang kita kenal dewasa ini bukan merupkan hal yang
baru bagi Indonesia. Kata tersebut berasal dari bahasa Sangsekerta
“Adhyaksa”, yang baik dahulu maupun sekarang tidak pernah tidak
dihubungkan dengan bidang penegakan hukum, namun dalam
hubungannya yang agak berbeda dengan yang masa kini
Kata Adhyaksa menurut
W.F. Stutterheim
(Djoko Prakoso
1988:16.), menyatakan bahwa:
Pengawasan dalam urusan kependetaan, baik agama budha
maupun syiwa dan mengepalai kuil-kuil yang didirikan disekitar
istana. Disamping itu juga bertugas sebagai hakim dan dengan
demikian ia berada dibawah perintah dan pengawasan
mahapati”. Sedangkan menurut Th Pigeaud kamus Jawa
moderen Belanda, Adhyaksa sebagai Rechter vab instructie
bijde landraad, yang kalau dihubungkan dengan jabatan dunia
modern sekarang dapat disejajarkan dengan hakim komisaris.
Sedangkan pengertian jaksa menurut kamus besar Bahasa
Indonesia
adalah
pejabat
di
bidang
hukum
yang
bertugas
menyampaikan dakwaan atau tuduhan di dalam proses pengadilan
terhadap orang yang diduga melanggar hukum. Tetapi sebenarnya
defenisi jaksa berdasarkan kamus besar Bahasa Indonedia, tidaklah
terlalu sempurna karena kata jaksa hanya dilihat dari satu fungsi saja
yaitu sebagai pembawa dakwaan atau tuduhan ke pengadilan, tetapi
sebenarnya kata jaksa yang dikenal dalam ilmu hukum itu sangat
7
terlalu luas kalau ditinjau dari fungsi dan tugasnya, karena disamping
tugasnya dalam bidang hukum juga memiliki tugas non hukum seperti
di bidang ketertiban umum.
Dari arti kata yang diungkapkan jelas bahwa sejak dahulu jaksa
merupakan suatu jabatan yang mempunyai kewenangan luas.
Fungsinya senantiasa dihubungkan dengan fungsi yudikatif bahkan
pada masanya dihubungkan dengan fungsi keagamaan. Khususnya
yang menyangkut bidang keagamaan ini sangat menarik jika
dihubungkan dengan tugas dan kewenangan yang ditegaskan dalam
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 pada Pasal 1 ayat (1) dan (2)
yang menegaskan bahwa jaksa sebagai pejabat fungsional yang
diberi wewenang oleh undang-undang (UU) untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan dan penetapan
hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Tetapi tugas
dan wewenang kejaksaan dalam bidang keagamaan sebenarnya juga
ditegaskan dalam UU tersebut mengenai fungsi dan wewenang
kejaksaan dalam bidang keagamaan yaitu dalam Pasal 30 ayat (3)
huruf
d
yaitu
pengawasan
aliran
kepercayaan
yang
dapat
membahayakan masyarakat dan Negara, walaupun sebenarnya tugas
jaksa dalam bidang keagamaan sudah tidak seperti dahulu karena
pada masa dulu jaksa aktif dalam kegiatan kegerejaan dan kuil-kuil
secara fungsional. Sedangkan menurut Zainal Abidin Farid dan Amier
Syariffudin, (Djoko Prakoso, 1988:17), menegaskan bahwa:
8
Dahulu kata Adhyaksa tidaklah sama tugasnya dengan tugas
utama sebagai penuntut umum dewasa ini. Lembaga penuntut
umum seperti sekarang tidak bertugas sebagai hakim seperti
Adhyaksa dahulu, tetapi keduanya mempunyai persamaan
tugas yaitu penyidikan perkara, penuntutan dan melakukan
tugas sebagai “Hakim Komisaris” atau pada umumnya berada
dalam lembaga yudikatuf sebagai pilar penegakan hukum.
Di dalam Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 disebutkan bahwa :
1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh
putusan hukum tetap.
2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim
Apa yang dimaksud dengan tindakan penuntutan itu, KUHAP
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) dalam Pasal 1 ayat (7)
menyatakan sebagai berikut :
Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana
kepengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Di dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan di atur mengenai tugas dan wewenang kejaksaan
yang berbunyi :
(1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan
wewenang :
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
9
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan
keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke
pengadilan
yang
dalam
pelaksanaannya
dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan
kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar
pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan
turut menyelenggarakan kegiatan:
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Dalam rangka mempersiapkan tindakan penuntutan seperti
yang dimaksud di atas dan dihubungkan dengan Undang-Undang No.
16 Tahun 2004 Tentan Kejaksaan , maka penuntut umum
mempersiapkan tindakan penuntutan seperti yang dimaksud diatas,
penuntut umum diberi wewenang yang walaupun wewenang tersebut
dapat diinterventarisir antara lain sebagai berikut :
a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah
mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
suatu tindak pidana Pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik
dari penyidik maupun penyidik PNS (Pegawai Negeri Sipil), yang
dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan
dihentikan demi hukum.
10
b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan
kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b.
dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara
langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12).
c. Mengadakan
pra
penuntutan
(Pasal
14
Huruf
b)
dengan
memperhatikan ketentuan materi Pasal 110 ayat (3), (4) dan Pasal
138 ayat (1) dan (2).
d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), Pasal 25
dan Pasal 29), melakukan penahanan kota (Pasal 22 ayat (3),
serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23).
e. Atas
permintaan
tersangka
atau
terdakwa
mengadakan
penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan
penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat
yang ditentukan (Pasal 31).
f. Mengadakan penjualan lelang barang sitaan yang lekas rusak atau
membahayakan kerena tidak mungkin disimpan sampai putusan
pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum
tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka
atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1).
B. Tinjauan Tentang Surat Dakwaan
1. Pengertian Surat Dakwaan
Surat dakwaan kalau dalam tuntutan perdata disebut surat
gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan,
11
keduanya mempunyai persamaan, karena dengan itulah hakim
melakukan pemeriksaan dan hanya dalam batas-batas dalam surat
gugatan / dakwaan itulah hakim akan memutuskan.
Walaupun sudah banyak ahli hukum yang memberikan
pengertian mengenai definisi dari surat dakwaan, namun terdapat
kesulitan memberikan definisi yang benar-benar lengkap dan
sempurna, disebabkan karena hukum mencakup segi-segi yang
sangat kompleks.
Dalam hukum acara pidana, dakwaan merupakan dasar
penting hukum acara pidana, karena hakim akan memeriksa suatu
perkara berdasarkan hal yang di muat dalam surat dakwaan
tersebut. Oleh karena itu, terdakwa hanya dapat di pidana jika
terbukti telah melakukan delik sebagaimana yang dicantumkan
dalam surat dakwaan.
Terdakwa tidak dapat dipidana apabila
terbukti melakukan tindak pidana namun tidak disebut dalam
pidana.
2. Hal-hal yang Diuraikan dalam Surat Dakwaan
Pasal 143 KUHAP menyebutkan, bahwa hal yang harus
termuat dalam surat dakwaan ialah uraian secara cermat, jelas, dan
lengkap mengenai delik yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat delik itu dilakukan. Bagaimana cara menguraikan
secara cermat dan jelas, hal tersebut tidak ditentukan oleh KUHAP.
12
Masalah ini tetap berlaku sampai kini yang telah diterima oleh
yurisprudensi dan doktrin.
Menurut jonkers, selain dari perbuatan yang sungguh
dilakukan yang bertentangan dengan hukum pidana juga harus
memuat
unsur-unsur
yuridis
kejahatan
yang
bersangkutan.
Pekerjaan ini tidaklah mudah, oleh karena itu KUHAP telah
memperingatkan supaya surat dakwaan disusun secara cermat dan
jelas.
Perumusan dakwaan didasarkan pada hasil pemeriksaan
pendahuluan di mana dapat diketemukan baik berupa keterangan
terdakwa maupun keterangan saksi dan alat bukti yang lain
termasuk keterangan ahli, misalnya visum et repertum. Disitulah
dapat ditemukan perbuatan yang sungguh dilakukan (perbuatan
materil) dan bagaimana dilakukannya.
Walaupun seluruh unsur delik harus dimuat dalam dakwaan,
namun masih dapat dilakukan penyederhanaan secara formal
semua unsur delik yang diisyaratkan dalam dakwaan.
a. Syarat-syarat surat dakwaan
Mengenai surat dakwaan itu ditentukan dalam pasal 143
ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana
(KUHAP). Yang berisikan sebagai berikut:
“Penuntutan umum membuat surat dakwaan yang diberi
tanggal dan ditandatangani serta berisi:
13
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan
pekerjaan tersangka;
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”
Dalam praktek syarat-syarat yang bertalian dengan
formalitas (tanggal, tanda
tangan,
dan identitas lengkap
terdakwa), disebut syarat formal. Sedangkan yang disebut
dengan syarat materil adalah syarat yang bertalian dengan
isi/materi
dakwaan
(uraian
tentang
tindak
pidana
yang
didakwakan dan waktu serta tempat tindak pidana dilakukan).
Pencantuman syarat formal dan syarat materil dalam
penyusunan surat dakwaan sangat erat kaitannya dengan tujuan
dari pada surat dakwaan itu sendiri. Tujuan surat dakwaan tiada
lain ialah dalam proses pidana surat dakwaan itu adalah sebagai
dasar pemeriksaan di pengadilan, dasar pembuktian dan
tuntutan pidana dasar pembelaan diri
bagi terdakwa dan
merupakan dasar penilaian serta dasar putusan pengadilan itu.
kesemuanya itu guna menemukan apa yang telah terbukti,
apakah perbuatan yang terbukti tersebut dirumuskan dalam surat
dakwaan, siapa yang terbukti bersalah melakukan perbuatan
yang didakwakan tersebut.
b. Pencantuman syarat formil
Sebagaimana dimaksud dengan pencantuman syarat
formil dalam surat dakwaan, yakni:
14
1)
Disyaratkan pencantuman nama lengkap terdakwa beserta
identitas lainnya (tempat lahir, umur atau tanggal lahir dan
jenis kelamin) dalam surat dakwaan adalah untuk secara
konkrit atau nyata mengindividualisir orang yang diajukan
sebagai terdakwa dalam perkara tindak pidana yang
bersangkutan.
Hal
ini
dimaksudkan
guna
mencegah
terjadinya kekeliruan mengenai orangnya atau pelakunya
(error in person) yang diajukan sebagai terdakwa dalam
perkara pidana yang diajukan.
2) Pencantuman kebangsaan terdakwa juga sangat penting
karena status kebangsaan seorang terdakwa menentukan
langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pengadilan
dalam hubungan dengan hak-hak sebagaimana diatur dalam
pasal 51 huruf b KUHAP. Hal tersebut merupakan jaminan
baginya untuk mempersiapkan pembelaan dirinya.
3) Agama terdakwa harus pula dicantumkan secara jelas dalam
surat dakwaan. Masalah agama tersebut erat kaitannya
dengan pelaksanaan penyumpahan. Dalam sistem KUHAP
yang dikenakan kewajiban untuk mengangkat sumpah
adalah saksi dan ahli.
4) Pekerjaan
terdakwa
Pencantuman
harus
dicantumkan
pekerjaan terdakwa
secara
jelas.
tersebut urgensinya
15
adalah dalam seorang terdakwa didakwakan melakukan
tindak pidana dalam pekerjaan, jabatan, atau kedudukannya.
c. Pencantuman Syarat Materil
Pasal 143 ayat 2 huruf b memuat ketentuan tentang
pencantuman syarat materil, yang terdiri dari : “ Uraian secara
cermat,
jelas
dan
lengkap
tentang
tindak
pidana
yang
didakwakan dan waktu serta tempat dilakukannya tindak pidana
yang didakwakan itu.”
1). Uraian tentang tentang tindak pidana yang didakwakan.
Sistem KUHAP yang berhubungan dengan syarat
material
nampak
undang-undang
pada
menginginkan
kita
bahwa
agar
pembentuk
perumusan
tindak
pidana yang didakwakan dilakukan/dirumuskan secara,
cermat, jelas dan lengkap.
Kekurang cermatan, ketidak jelasan atau ketidak
lengkapan
dalam
merumuskan
tindak
pidana
yang
didakwakan, akan mengakibatkan dakwaan batal demi
hukum (van rechtswege nietig).
Penafsiran suatu perumusan dakwaan secara jelas
atau tidaklah jelas (tidak kualitatif) adalah relatif dan
hendaknya ukurannya didasarkan pada keadaan konkrit,
yaitu apakah keadaan itu menunjukkan terdakwa dirugikan
atau tidak.
16
Yang dimaksud dengan dakwaan yang jelas adalah,
jaksa
penuntut
umum
harus
mampu
merumuskan
unsur-unsur delik yang didakwakan sekaligus memadukan
dengan uraian material (fakta) yang dilakukan terdakwa
dalam surat terdakwa.
Harun M.Husein memberikan penjelasan mengenai
perumusan unsur-unsur delik dalam surat dakwaan :
“Dalam
hal
ini
harus
diperhatikan,
jangan
memadukan dalam uraian dakwaan antara delik yang satu
dengan delik yang lain yang unsur-unsurnya berbeda satu
sama lain, atau uraian dakwaan yang hanya menunjuk pada
uraian
sebelumnya
(seperti
misalnya
menunjuk
pada
dakwaan pertama) sedangkan unsur-unsurnya berbeda.”
Yang dimaksud dengan dakwaan yang lengkap
adalah, uraian surat dakwaan harus mencukup semua
unsur-unsur yang ditentukan dalam undang-undang secara
lengkap. Apabila unsur delik dalam surat dakwaan tidak
dirumuskan secara lengkap atau tidak diuraikan perbuatan
materialnya,
akan
mengakibatkan
perbuatan
yang
sebagaimana didakwakan bukan merupakan tindak pidana
menurut undang-undang.
Hakim berpegang teguh kepada surat dakwaan yang
diajukan oleh penuntut umum dan akan menuntut agar
17
semua bagian dalam surat dakwaan yang telah diajukan
tersebut dapat dibuktikan.
2). Perumusan waktu dan tempat tindak pidana.
Dalam rangka merumuskan surat dakwaan secara
cermat, jelas, dan lengkap tindak pidana yang didakwakan
kepada terdakwa, maka dalam merumuskan waktu dan
tempat
tindak
pidana
yang
didakwakan
harus
pula
dilkakukan secara cermat, jelas dan lengkap.
Pencantuman waktu dilakukannya tindak pidana erat
kaitannya dengan Pasal 1 dan 2 KUHP, yang berkaitan
dengan asas legalitas, prinsip tidak dapat dipidana tanpa
adanya kesalahan, serta terhadap asas berlaku surut dari
suatu perubahan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai delik tersebut, faktor waktu yang
berhubungan
dengan
ketentuan
tentang
daluwarsa
(veryaring) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 78 sampai
dengan Pasal 82 KUHP, serta faktor waktu erat kaitannya
dengan persyaratan yang ditentukan dalam suatu tindak
pidana, seperti pencurian disaat malam (Pasal 363 KUHP).
Pencantuman tempat dilakukannya tindak pidana
berhubungan kompetensi relatif pengadilan, keberlakuan
Hukum Indonesia terhadap terdakwa, kejahatan yang
diisyaratkan harus dilakukan ditempat tertentu, kewenangan
18
penuntut umum untuk melakukan penuntutan, tempat
terjadinya
tindak pidana
dalam hubungannya
dengan
teori-teori locus delictie.
Kekeliruan dalam merumuskan waktu dan tempat
pidana dalam surat dakwaan dapat menyebabkan surat
dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima, atau surat
dakwaan dinyatakan batal demi hukum karena waktu dan
tempat yang dirumuskan tidak jelas, atau dapat pula
terdakwa dibebaskan karena alibi yang dikemukakan.
Apabila waktu dan tempat terjadinya delik serta delik
yang didakwakan tidak disebutkan, maka menjadikan dakwaan
batal, sebagaimana seperti yang diatur dalam Pasal 143 ayat (3)
KUHAP, yang berbunyi : “Surat dakwaan yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal
demi hukum.”
3. Bentuk – Bentuk Surat Dakwaan
Sama halnya dengan merumuskan tindak pidana dalam
surat dakwaan maka pemilihan bentuk surat dakwaan pun harus
dilakukan dengan cermat. Bentuk-bentuk Surat dakwaan adalah
sebagai
berikut :
a. Surat Dakwaan Tunggal
Bentuk Surat Dakwaan Tunggal ini dipergunakan apabila
suatu
delik
tindak pidana
yang
dilakukan
oleh
pelaku
19
hanya satu tindak pidana saja yang dapat didakwakan,
penyusunan
Surat
Dakwaan
tersebut
tidak
terdapat
kemungkinan-kemungkinan untuk merumuskan tindak pidana
lain
sebagai
penggantinya,
maupun
kemungkinan
untuk
mengakumulasikan atau mengkombinasikan tindak pidana yang
satu dengan lainnya dalam surat dakwaan.
Penyusunan Surat Dakwaan tunggal ini dapat dikatakan
sederhana,
yaitu
sederhana
dalam
perumusannya
dan
sederhana pula pada pembuktian dan penerapan hukumnya.
Pada Umumnya surat dakwaan tunggal dipergunakan dalam
perkara yang diperiksa menurut hukum acara pemeriksaan
singkat.
b. Surat Dakwaan Alternatif
Merupakan surat dakwaan yang tersusun dari beberapa
tindak pidana yang didakwakan, yang antara tindak pidana yang
satu dengan tindak pidana yang lain saling mengecualikan.
Guna menghindari peluang lolosnya terdakwa, maka digunakan
bentuk surat dakwaan alternatif tersebut.
Sebaliknya, surat dakwaan ini mengandung unsur negatif,
yaitu dapat menimbulkan keraguan bagi terdakwa untuk
membela diri. Sebagaimana pula yang dijelaskan menurut
pendapat Van Bemmelemen, yang menyatakan surat dakwaan
alternatif disusun dalam hal :
20
1) Penuntut Umum tidak mengetahui dengan pasti perbuatan
mana dari ketentuan pidana dari ketentuan pidana yang
didakwakan akan terbukti nantinya, membujuk melakukan
atau melakukan perbuatan.
2) Penuntut Umum meragukan ketentuan pidana yang mana
akan diterapkan oleh hakim atas perbuatannya yang
menurut pertimbangannya telah nyata terbukti.
c. Surat Dakwaan Subsidiair
Bentuk dakwaan subsidiair ini digunakan apabila suatu
akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana menyentuh
atau menyinggung beberapa ketentuan pidana. Keadaan
demikian dapat menimbulkan keraguan pada penuntut umum,
baik mengenai kualifikasi tindak pidananya maupun mengenai
pasal yang dilanggarnya. Walaupun dalam dakwaan tersebut
terdapat beberapa tindak pidana, namun yang dibuktikan hanya
salah satu dari tindak pidana yang didakwakan itu.
Jika ditinjau dari sudut sistem pembuktiannya, maka
pembuktian surat dakwaan subsidiair dilakukan secara berurut
dengan dimulai pada dakwaan di dakwakan yang dipandang
terbukti. Dalam hal ini pembuat dakwaan bermaksud agar
hakim memeriksa terlebih dahulu dakwaan subsidairnya.
d. Surat Dakwaan Kumulatif
21
Banyak istilah yang digunakan untuk menamakan surat
dakwaan ini, ada yang menggunakan istilah surat dakwaan
kumulatif atau istilah dakwaan berangkai dan sebagainya.
Maksud dari semua istilah tersebut adalah sama, yaitu ingin
memberikan gambaran bahwa dalam dakwaan itu terdapat
beberapa tindak pidana yang didakwakan dan kesemuanya
harus dibuktikan.
Bentuk Surat dakwaan ini secara formal hampir sama
dengan dakwaan alternatif dan subsidiair, karena tersusun dari
beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis. Namun
perbedaan terletak pada sistem pembuktiannya, bahwa dalam
dakwaan
kumulatif
seluruh
dakwaan
harus
dibuktikan,
sedangkan pada dakwaan alternatif maupun dakwaan subsidiair
hanya satu dakwaan saja yang hendak dibuktikan.
Bentuk dakwaan kumulatif ini dalam hubungannya
dengan
apa
yang
dinamakan
samenloop/concursus
(perbarengan) atau deelneming (penyertaan). Yang pada
pokoknya dakwaan kumulatif ini dipergunakan dalam hal kita
menghadapi seorang yang melakukan beberapa tindak pidana.
Jadi bentuk dakwaan seperti itu dipergunakan dalam hal
terjadinya tindak pidana secara kumulasi, baik kumulasi
perbuatan maupun pelakunya.
e. Surat Dakwaan Gabungan / Kombinasi
22
Dalam
perkembangan
praktek
penyusunan
surat
dakwaan dewasa ini, dikenal bentuk surat dakwaan yang
disebut surat dakwaan kombinasi/gabungan. Dakwaan ini
disebut dengan istilah dakwaan kombinasi, dikarenakan dalam
dakwaan ini terdapat perpaduan antara dakwaan subsidiair
dengan dakwaan alternatif. Dakwaan ini dipergunakan dalam
hal
terjadinya
kumulasi
dari
tindak
pidana
yang
yang
didakwakan.
Pembuktian dakwaan kombinasi ini dilakukan terhadap
setiap lapisan dakwaan, jadi setiap lapisan dakwaan harus ada
tindak
pidana
yang
dibuktikan.
Pembuktian
pada
masing-masing lapisan dakwaan tersebut dilaksanakan sesuai
dengan bentuk lapisannya, apabila lapisan tersebut bersifat
subsidiair, maka pembuktian dilakukan secara berurut mulai
dari lapisan teratas sampai kepada lapisan yang dipandang
terbukti. Hakim harus memeriksa terlebih dahulu dakwaan
subsidiair yang terdapat dalam dakwaan pertama (kesatu) yang
mencantumkan ancaman pidana lebih berat sebelum beralih ke
dakwaan selanjutnya (dakwaan kedua).
Sama halnya dengan dakwaan yang bersifat kumulasi,
maka penyusunan dakwaan kombinasi ini sangat diperlukan
ketelitian, karena apabila kumulasinya tidak jelas sifat baik
23
mengenai tindak pidananya maupun mengenai pelakunya akan
menyebabkan dakwaan batal demi hukum.
C. Pengertian dan Jenis Putusan Hakim
1.
Pengertian Putusan
Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik
yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil
atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan
dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis
ataupun lisan. Ada pula yang mengartikan putusan sebagai
terjemahan dari kata vonis, yaitu hasil akhir dari pemeriksaan
perkara di sidang pengadilan.
Banyaknya definisi mengenai putusan ini disebabkan
Indonesia
mengadopsi
peraturan
perundang-undangan
dari
Belanda beserta istilah-istilah hukumnya, diterjemahkan oleh ahli
bahasa, dan bukan oleh ahli hukum. Hal ini mengakibatkan
ketidakcermatan penggunaan istilah-istilah hukum pada saat
sekarang. Sebagai contoh, yaitu kesalahan menyamakan istilah
putusan dan keputusan namun hal tersebut merupakan sesuatu
yang sama sekali berbeda.
24
2. Jenis-jenis Putusan dalam Perkara Pidana
a. Putusan Sela
1)
Putusan yang Menyatakan tidak Berwenang Mengadili
Dalam hal menyatakan tidak berwenang mengadili ini
dapat terjadi setelah persidangan dimulai dan jaksa penuntut
umum membacakan surat dakwaan maka terdakwa atau
penasihat hukum terdakwa diberi kesempatan untuk mengajukan
eksepsi (tangkisan), eksepsi tersebut antara lain dapat memuat
bahwa
Pengadilan
Negeri
tersebut
tidak
berkompetensi
(wewenang) baik secara relatif maupun absolut untuk mengadili
perkara tersebut. Jika majelis hakim berpendapat sama dengan
penasihat
hukum
maka
dapat
dijatuhkan
putusan
bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang mengadili (Pasal 156 ayat (2)
KUHAP).
2) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan Batal Demi Hukum
Dakwaan batal demi hukum dapat dijatuhkan dengan
memenuhi syarat-syarat yang ada. Syarat dakwaan batal demi
hukum dicantumkan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP yang
rumusannya sebagai berikut :
“Surat
dakwaan
yang
tidak
memenuhi
ketentuan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) batal
demi hukum”.
25
Hal ini dapat terjadi karena jaksa penuntut umum dalam
menyusun surat dakwaan. Mengenai surat dakwaan yang batal
demi hukum ini dapat didasari oleh yurisprudensi yaitu Putusan
Mahkamah Agung Registrasi Nomor : 808/Pid/1984 tanggal 6-61985 yang menyatakan:
“Dakwaan tidak cermat, kurang jelas, dan tidak lengkap
harus dinyatakan batal demi hukum”.
3) Putusan yang Menyatakan Bahwa Dakwaan tidak dapat
Diterima
Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat
diterima pada dasarnya termasuk kekurangan cermatan penuntut
umum sebab putusan tersebut dijatuhkan karena:
1) Pengaduan yang diharuskan bagi penuntutan dalam delik
aduan tidak ada.
2) Perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa sudah pernah
diadili (nebis in idem), dan
3) Hak
untuk
penuntutan
telah
hilang
karena
daluwarsa
(verjaring).
b. Putusan Akhir
1) Putusan Pemidanaan pada Terdakwa
Pemidanaan dapat dijatuhkan jika pengadilan berpendapat
bahwa
terdakwa
bersalah
melakukan
tindak
pidana
yang
didakwakan padanya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Hakim dalam
hal ini membutuhkan kecermatan, ketelitian serta kebijaksanaan
26
memahami setiap yang terungkap dalam persidangan. Sebagai
hakim ia berusaha untuk menetapkan suatu hukuman yang
dirasakan oleh masyarakat dan oleh terdakwa sebagai suatu
hukum yang setimpal dan adil.
Untuk mencapai penjatuhan yang setimpal dan adil hakim
harus memperhatikan :
1. Sifat tindak pidana,
2. Ancaman hukuman terhadap tindak pidana,
3. Keadaan dan suasana waktu dilakukannya tindak pidana,
4. Pribadi terdakwa,
5. Sebab-sebab melakukan tindak pidana,
6. Sikap terdakwa dalam pemeriksaan, dan
7. Kepentingan umum
2) Putusan yang Menyatakan Bahwa Terdakwa Lepas dari Segala
Tuntutan Hukum
Putusan ini dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan
yang
didakwakan
kepada
terdakwa
terbukti,
tetapi
perbuatan tersebut bukan tindak pidana maka terdakwa diputus lepas
dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
Terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum dapat
disebabkan :
1) Materi hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak
pidana,
27
2) Terdapat
keadaan-keadaan
istimewa
yang
menyebabkan
terdakwa tidak dapat dihukum. Keadaan istimewa tersebut antara
lain:
a) Tidak mampu bertanggung jawab (Pasal 44 KUHP),
b) Melakukan di bawah pengaruh daya paksa/overmacht (Pasal
48 KUHP),
c) Adanya pembelaan terdakwa (Pasal 49 KUHP),
d) Adanya ketentuan undang-undang (Pasal 50 KUHP), dan
e) Adanya perintah jabatan (Pasal 51 KUHP).
3). Putusan Bebas
Putusan bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat
bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak terbukti secara
sah dan menyakinkan maka terdakwa diputuskan bebas (Pasal 191
ayat (1) KUHAP).
Pada
penjelasan
pasal
tersebut,
untuk
menghindari
penafsiran yang kurang tepat, yaitu yang dimaksud dengan
“perbuatan yang didakwakan padanya tidak terbukti sah dan
meyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim
atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut
ketentuan hukum acara pidana.
28
D. Tindak Pidana Penganiayaan
1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayaan
UU tidak memberi penjelasan apakah yang diartikan dengan
“penganiayaan”, dan tidak dijelaskan isi penganiayaan itu yang
bagaimana, tetapi yang dirumuskan hanya disebutkan akibatnya,
namun dalam ilmu pengetahuan ((Soeharto RM, (1993 : 36))
penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang dengan sengaja
menimbulkan nestapa (leed) rasa sakit atau merusak kesehatan orang
lain”
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
((W.J.S.
Poerwadarminta, (1987 : 48)) bahwa “penganiayaan” diartikan sebagai
perlakuan yang sewenang-wenang (penindasan, penyiksaan, dsb)
dan menyangkut perasaan dan batiniah.
Menurut M.H Tirtaamidjaja ((Leden Marpaung, (2005:5))
memberikan definisi tentang penganiayaan adalah
Tindakan yang dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka
pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang
menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dianggap
penganiayaan kalau perbuatan tersebut dilakukan untuk
menambah keselamatan badan.
Dalam
konteks histories ((Tongat,
penganiayaan diartikan sebagai
(2006
:
70)) istilah
“setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan pada
tubuh”.
29
Sementara dalam ilmu pengetahuan atau doktrin ((Tongat,
(2006 : 70)), bahwa penganiayaan diartikan sebagai “perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka
pada tubuh orang lain”.
Melihat batasan tersebut terlihat, bahwa dalam kedua batasan
tersebut baik dalam konteks historis maupun dalam konteks doktrin,
penganiayaan mempunyai makna yang secara substansial tidak
berbeda. Adanya perspektif yang sama dari dua konteks diatas
menunjukkan, bahwa secara umum istilah penganiayaan memang
sudah diketahui maknanya oleh masyarakat pada umumnya. Atas
dasar itu, dapat dimengerti kiranya apabila Menteri Kehakiman
Belanda waktu itu hanya merumuskan sebagai penganiayaan saja
terhadap rumusan dalam Pasal 351 (1) Kitab Undang-undang Hukum
Pidana ( selanjutnya disingkat KUHPidana).
Sementara itu dalam praktek hukum sendiri pada awalnya juga
menganut pandangan dalam doktrin seperti tersebut di atas. Praktek
hukum dalam masalah penganiayaan tersebut dapat dilihat dalam
yurisprudensi yang berkembang pada saat itu, yaitu Arrest Hooge
Raad tanggal 25 Juni 1894 ((Tongat, (2006
: 70-71)) yang
mengatakan “Penganiayaan adalah dengan sengaja menimbulkan
rasa sakit atau luka. Kesengajaan ini harus dicantumkan dalam surat
tuduhan.”
30
Namun demikian, dalam perkembangannya batasan tentang
penganiayaan dalam doktrin yang kemudian juga dianut dalam
praktek hukum sebagaimana terlihat dalam Arrest Hoge Raad tanggal
25 April 1894 kurang menjamin adanya keadilan. Pandangan di atas
ternyata mengandung kelemahan yang cukup mendasar, di mana
penganiayaan mempunyai pengertian yang sangat luas. (Tongat,
2006 : 71)
Berdasarkan penjelasan di atas, setiap perbuatan dengan
sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan
penganiayaan yang terhadap pelakunya harus diancam pidana.
Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh,
namun pelakunya tidak dapat dipidana karena dipandang perbuatan
itu sifat melawan hukumnya adalah mendatangkan manfaat mendidik.
Sebagai contoh dapat dikemukakan oleh Tongat (2006 : 71) :
 Seorang guru yang memukul muridnya, karena sang murid
misalnya nakal, tidak mau belajar.
 Orang tua memukul pantat anaknya, karena sang anak bandel,
nakal.
 Sang dokter yang melukai (sebagian) tubuh pasiennya dalam
operasi, oleh karena untuk menyembuhkan penyakitnya.
Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar
tersebut, dalam perkembangannya yurisprudensi yang mencoba
menyempurnakan Arrest Hoge Raad tanggal 25 April 1894 tersebut,
yaitu Arrest Hoge Raad tanggal 10 Februari 1902 (Soenarto
31
Soedibroto, 1994:212) yang secara substansial berbunyi “Jika
menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan,
melainkan suatu sarana belaka untuk mencapai suatu tujuan yang
patut, maka tidaklah ada penganiayaan.”
Berdasarkan yurisprudensi
tersimpul, bahwa tidak setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa
sakit atau luka pada tubuh merupakan penganiayaan. Yurispridensi di
atas, terlihat bahwa terhadap perbuatan yang menimbulkan rasa sakit
atau luka pada tubuh tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan,
apabila perbuatan tersebut ternyata dilakukan karena suatu tujuan
yang patut. Artinya, sepanjang perbuatan tersebut mempunyai tujuan
yang patut, maka sekalipun perbuatan yang dilakukan dengan
sengaja itu menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh, tidak dapat
dikategorikan sebagai penganiayaan.
Berdasarkan putusan pengadilan tinggi / Arrest Hoge Raad dan
ajaran / doktrin di atas, maka menurut Adami Chazawi (2001:12) :
penganiayaan dapat diartikan sebagai “Suatu perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana
semata-mata merupakan tujuan si petindak.”
Dalam konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
32
martabat manusia, Res.PBB No.39/46 Tahun 1984, penganiayaan
(www.unicef.org/indonesia) didefenisikan sebagai :
perbuatan apapun yang mengakibatkan sakit berat atau
penderitaan, apakah fisik atau mental, dengan sengaja di
bebankan pada seseorang untuk tujuan-tujuan seperti
memperoleh darinya atau orang ketiga informasi atau suatu
pengakuan, menghukum dia karena suatu perbuatan yang dia
atau orang ketiga telah melakukannya atau disangka
melakukannya, termasuk juga tindakan mengintimidasi atau
memaksa dia atau orang ketiga, atau karena alasan apapun
yang didasarkan pada diskriminasi macam apapun, apabila
sakit atau penderitaan tersebut dibebankan oleh atau atas
anjuran atau atas persetujuan diam-diam seorang petugas
pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam suatu
kedudukan resmi.
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 (2000 : 5) tentang Hak Asasi
Manusia dijelaskan :
penganiayaan atau disebut juga penyiksaan adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik
jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang
telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang
atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang
atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan
pada setiap bentuk diskriminas, apabila rasa sakit atau
penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari,
dengan pesetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau
pejabat publik.
Sedangkan menurut Pasal 351 ayat (4) KUHPidana, disamakan
dengan penganiayaan yaitu merusak kesehatan orang. Dalam
KUHPidana, tindak pidana penganiayaan dikelompokkan sebagai
33
bagian dari kejahatan terhadap tubuh orang dan diatur secara
tersendiri dalam Pasal 351 dan Pasal 358 KUHPidana.
Penganiayaan berat adalah perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang yang dengan niat ditujukan pada melukai berat seseorang.
Luka berat disini harus dimaksud oleh sipembuat, apabila tidak
dimaksuad dan luka berat tersebut hanya merupakan akibat saja,
maka
perbuatan
itu
bukan
merupakan
penganaiayaan
berat
melainkan menganiayaan biasa yang mengakibatkan luka berat.
Penganiayaan yang oleh undang-undang diberi kualifikasi sebagai
penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam Pasal 354 KUHPidana
dimana dalam Pasal 354 KUHPidana tersebut Tindak pidana
penganiayaan berat terdiri dari dua macam yaitu: Tindak pidana
penganiayaan berat biasa (yang tidak menimbulkan kematian) dan
tindak pidana penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian,
2.Jenis Penganiayaan
Menurut R. Soesilo (1996:24-42 48), bahwa penganiayaan
dikategorikan dalam 6 (enam) jenis sebagaimana dimaksud di atas,
akan tetapi yang menjadi perbedaan dimana bahwa, R . Soesilo tidak
mengenal adanya penganiayaan berkualifikasi melainkan menurutnya
bahwa salah satu dari jenis penganiayaan yaitu sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 358 KUHP yang menegaskan bahwa:
Barangsiapa dengan sengaja turut campur dalam penyerangan
atau perkelahian yang, ditakukan oleh beberapa orang, maka
34
selain daripada tanggungannya masing-masing bagi perbuatan
yang khusus dihukum. 1e. Penjara selama-lamanya 2 (dua)
tahun 8 (delapan) bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu
hanya menjadikan ada orang mendapat luka berat saja. 2e.
Penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun, jika penyerangan
atau perkelahian itu menjadikan ada orang mati.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan jenis
penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351-358 KUHP
sebagai berikut:
1. Pasal 351 KUHP
Dalam Pasal 351 KUHP, terdiri atas 5 (lima) ayat dan oleh (R.
Soesilo,1996:245) menegaskan bahwa, penganiayaan ini disebut
sebagai penganiayaan biasa. Secara terinci menguraikan sebagai
berikut:
Penganiayaan ini dinamakan penganiayaan biasa, diancam
hukuman lebih berat, apabila penganiayaan biasa ini berakibat
luka berat atau mati, tentang luka berat lihat Pasal 90 KUHP
luka berat atau mati disini harus hanya merupakan akibat yang
tidak dimaksud oleh sipembuat. Apabila luka berat itu, dimaksud
dikenakan Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat), sedangkan
jika kematian itu dimaksud, maka perbuatan itu masuk
pembunuhan (Pasal 338 KUHP). Lain lagi halnya dengan
seorang sopir yang mengendarai mobilnya kurang hati-hati
menumbruk orang sehingga mati. Perbuatan ini bukanlah suatu
penganiayaan, berakibat matinya orang (Pasal 351 alenia 3
KUHP), oleh karena sopir tidak ada pikiran (maksud) sama
sekali untuk menganiaya Pun tidak masuk pembunuhan (Pasal
338 KUHP), karena kematian orang itu tidak dikehendaki oleh
sopir. Peristiwa itu dikenakan Pasal 359 KUHP (karena
salahnya menyebabkan matinya orang lain). Selanjutnya
menjelaskan pula bahwa dalam hal percobaan melakukan
penganiayaan biasa dan penganiayaan ringan tidak dapat
35
dihukum sedangkan melakukan percobaan penganiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353, 354 dan 355 KUHP
tetap dihukum.
Rumusan Pasal 90 KUHP, yang dimaksud dengan luka berat
pada tubuh, yaitu:
Penyakit atau luka ta’boleh diharapkan akan sembuh dengan
sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut terus
menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan
tidak lagi memakai salah satu pancaindra; kudung (rompong),
lumpuh berubah pikiran (akal) lebih dari 4 (empat) minggu
lamanya menggugurkan atau membunuh hak dari kandungan
ibu.
R. Soesilo (1996:98), merumuskan yang dimaksud dengan luka
berat atau luka parah secara terinci sebagai berikut:
1. Penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi
dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut.
Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh
kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya
maut (tabib yang bisa menerangkan hal ini) itu bukan luka
berat
2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau
pekerjaan, kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak
cakap melakukan pekerjaannya itu tidak termasuk luka
berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya,
sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk
luka berat;
3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindra,
pancaindra (penglihatan, pencium, pendengaran, rasa lidah
dan rasa kulit. Orang yang menjadi buta satu mata atau tuli
satu telinga belum masuk dalam pengertian ini, karena
dengan mata dengan telinga yang lain ia masih dapat
melihat dan mendengar;
4. Kudung (romping) dalam teks bahasa Belandanya
Verminking, cacat, sehingga jelek rupanya, karena ada
sesuatu anggota badan yang putus, misalnya hidungnya
romping, daun telinganya teriris putus, jari tangan atau
kakinya putus dan sebagainya. Begitu juga kapan
sembuhnya suatu penyakit apa lagi penyakit jiwa, dimana
36
bahwa proses penyembuhan sebagai suatu proses lama,
sehingga tidak mungkin bagi seseorang dapat dengan pasti
mengetahui kapan kesembuhan itu terjadi karena mungkin
dikatakan, sembuh akan tetapi esok atau lusa dapat kumat
atau kambuh lagi.
Sehubungan dengan penjelasan tentang luka berat dalam Pasal
90 KUHP, sebagaimana yang diuraikan oleh R. Soesilo, yang
menyatakan bahwa, apabila dari salah satu pancaindra seperti mata
atau telinga yang buta atau tuli belum dikategorikan sebagai luka
berat, karena masih terdapat satu mata dan telinga yang dapat melihat
dan mendengar, oleh penulis dalam hal tersebut tidak sependapat
dengan alasan, jika hal tersebut terjadi pada seseorang dalam hal
sebagaimana orang tersebut telah menderita cacat seumur hidup
karena
tidak dapat menggunakan pancaindranya
sebagaimana
layaknya orang normal, meskipun masih terdapat salah satu
pancaindranya yang dapat melihat dan mendengar.
2. Pasal 352 KUHP
Rumusan Pasal 352 KUHP terdiri atas 2 (dua) ayat yang
rumusannya berbunyi sebagai berikut:
1. Selain dari apa yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356 KUHP,
maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan
me|akukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan
ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.4.500,. Hukuman ini boleh ditambah
37
sepertiganya, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang
bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya;
2. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. R.
Soesilo (1996:246) menyatakan bahwa, rumusan Pasal 352
KUHP di atas merupakan peristiwa pidana yang disebut
penganiayaan ringan dan masuk kejahatan ringan. Adapun
syarat
utama
sehingga
dapat
dikategorikan
sebagai
penganiayaan ringan, yaitu:
a. Penganiayaan yang tidak menjadikan sakit (ziek bukan
pijn); atau
b. Penganiayaan yang tidak menjadikan korban terhalang
melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.
Handoko Tjonroputrnato (1972:21), merumuskan bahwa, yang
dimaksud dengan penganiayaan ringan, yaitu luka atau penyakit yang
tidak berakibat atau halangan untuk menjalankan pekerjaan.
Pada umumnya penganiayaan ringan dilakukan oleh tersangka
terhadap diri korbannya dengan mempergunakan tangan seperti
meninju, menampar, menempeleng, menggores dengan kuku dan lain
sebagainya dan atau memakai alat, akan tetapi tidak menjadikan sakit
atau terhalangnya pekerjaan atau jabatan korban sehari-hari.
38
3. Pasal 353 KUHP
Rumusan Pasal 353 KUHP terdiri atas 3 (tiga) ayat yang
rumusan pasalnya menegaskan sebagai berikut:
1. Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan lebih
dahulu dihukum penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun;
2. Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum
penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun;
3. Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum
penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
R.
Soesilo
(1996:246)
menyatakan
bahwa,
apabila
penganiayaan itu dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu, masuk
dalam pasal ini dan diancam dengan hukuman yang lebih berat dari
Pasal 351 serta jika penganiayaan itu berakibat luka berat atau mati,
dihukum lebih berat. Percobaan melakukan penganiayaan ini dihukum.
Pengertian direncanakan lebih dahulu (R. Soesilo,1996;241) dalam
Pasal 340 KUHP bahwa yang dimaksud:
Direncanakan lebih dahulu (Voorbedachte rade), yaitu antara
timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaan, yaitu
masih ada tempo gogi sipembuat untuk dengan tenang
memikirkan misalnya dengan cari bagaimanakah pembunuhan
itu dilakukan. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi
sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah
apakah di dalam tempoh itu sipembuat dengan tenang masih
dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan
untuk membatalkan niatnya untuk membunuh, itu akan tetapi
tidak ia pergunakan. Pembunuhan dengan mempergunakan
racun hampir semua merupakan moord.
39
Tirtaamidjaja, (1955:174) menyatakan bahwa, yang dimaksud
dengan direncanakan lebih dahulu, sebagai berikut:
Direncanakan lebih dahulu, terdapat kalau orang mengambil
keputusan untuk melakukan perbuatan pidana itu dengan
dipikirkan tenang-tenang, dan dalam pada itu telah memikirkan
arti dan akibat-akibat perbuatan itu. Tidaklah cukup bahwa,
direncanakan lebih dahulu itu ada pada pembentukan sengaja
untuk membunuh itu tetapi juga harus terdapat pada
pelaksanaan sengaja itu.
4. Pasal 354 KUHP
Rumusan Pasal 354 KUHP terdiri atas 2 (dua) ayat, yaitu yang
rumusan pasalnya menegaskan sebagai berikut:
1. Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum,
karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selamalamanya 8 (delapan) tahun;
2. Jika
penganiayaan
itu
menjadikan
kematian
orangnya,
sitersalah dihukum penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.
R. Soesilo (1996:246) secara terinci menguraikan bahwa
rumusan pasal tersebut di atas dinamakan dengan penganiayaan
berat. Supaya dapat dikenakan dengan pasal ini, maka niat sipembuat
harus ditujukan pada melukai berat, artinya luka berat harus dimaksud
oleh sipembuat, apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya
merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk penganiayaan
biasa yang berakibat luka berat (Pasal 351 alenia 2 KUHP).
40
Selanjutnya bahwa percobaan melakukan penganiayaan ini di
pidana
5. Pasal 355 KUHP
Rumusan Pasal 355 KUHP terdiri atas 2 (dua) ayat yang
pasalnya menegaskan sebagai berikut:
1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan lebih
dahulu, dihukum penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun;
2. Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, sitersalah
dihukum penjara selama-lamanya 15 (lima belas) tahun.
R. Soesilo (1996:247) menyatakan bahwa, yang masuk dalam
pasal ini ialah penganiayaan dalam Pasal 354 KUHP yang dilakukan
dengan
direncanakan
lebih
dahulu.
Percobaan
melakukan
penganiayaan ini dihukum.
6. Pasal 356 KUHP
Rumusan Pasal 356 KUHP terdiri atas 1 (satu) ayat, yang dibagi
dalam 3 (tiga) sub pasal, yang rumusan pasalnya menegaskan
sebagai berikut:
Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354 dan Pasal
355 dapat ditambah 1/3 (sepertiganya)
1e. Jika sitersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya,
bapaknya yang sah, isterinya (suaminya) atau anaknya
2e. Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri
pada waktu atau sebab menjalankan pekerjaan yang sah
41
3e. Jika kejahatan itu dengan memakai bahan yang merusak
kejiwaan atau kesehatan orang.
Pada pasal ini merupakan suatu klausula (tambahan) yang
mengatur tentang perbuatan penganiayaan yang dilakukan terhadap
orang-orang tertentu (dikualifikasi) dengan memakai cara tertentu
dalam melakukan perbuatan penganiayaan, penambahan hukuman
tersebut dilakukan menurut hemat penulis, karena kedudukan orangorang tersebut sangat penting dalam kedudukan suatu keluarga dan
atau dalam pemerintahan, demikian pula bahwa dengan menggunakan
bahan yang merusak jiwa, atau merupakan suatu hal yang sulit untuk
melakukan pengobatan terhadap korban dimana pada dasarnya dalam
hal tersebut korban akan menderita luka dalam.
7. Pasal 357 KUHP
Dalam rumusan Pasal 357 KUHP mengatur tentang dapatnya
dijatuhkan hukuman pencabutan hak, yang tersebut dalam Pasal 35
KUHP Ke-1 sampai Ke-4. Pencabutan hak tersebut hanya berlaku
dalam perbuatan yang ditentukan dalam Pasal 353 dan Pasal 355
KUHP, yang dapat dijatuhkan secara bersamaan dengan hukuman
pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 353 dan Pasal 355 KUHP,
adapun hak yang dimaksud, yaitu:
a. Hak mendapat segala jabatan atau jabatan yang ditentukan;
b. Hak masuk pada kekuasaan bersenjata (balatentara);
42
c. Hak menjadi penasehat atau penguasa alamat (wali yang diakui
sah oleh negara), dan membeli wali menjadi wali pengawasawas, menjadi curator atau menjadi curator pengawas-awas
atas orang lain daripada anaknya sendiri;
d. Hak melakukan pekerjaan yang ditentukan.
8. Pasal 358 KUHP
Rumusan Pasal 358 KUHP terdiri atas 1 (satu) ayat yang dibagi
dalam dua sub pasal yang rumusan pasalnya sebagai berikut:
Barangsiapa dengan sengaja turut campur dalam penyerangan
atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka
selain daripada tanggungannya masing-masing bagi perbuatan
yang khusus dihukum.
le. Penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan,
jika penyerangan atau perkelahian itu hanya menjadikan ada
orang mendapat luka berat saja.
2e. Penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun, jika penyerangan
atau perkelahian itu menjadi ada orang mati.
R. Soesilo (1996:248) menegaskan bahwa, pasal ini diterapkan
atau dipergunakan apabila penganiayaan, yaitu:
a. Pasal ini dipakai dalam hal terjadi suatu perkelahian atau
penyerangan yang dilakukan oleh beberapa orang (lebih dari
dua), dimana ada akibat orang luka parah (lihat Pasal 90 KUHP)
atau mati, akan tetapi tidak dapat diketahui siapakah orang
banyak itu yang telah melukai parah atau membunuh orang
tersebut. Jika perkelahian itu tidak rnengakibatkan luka parah
atau mati, orang tidak dapat dikenakan pasal ini.
b. Apabila dalam perkelahiaan atau penyerangan itu dapat
dibuktikan (diketahui) siapakah diantara banyak orang yang
telah rnenyebabkan luka parah atau mati itu, maka orang-orang
43
itu selain dituntut menurut pasal ini, dikenakan pula ketentuanketentuan tentang penganiayaan atau pembunuhan yang ia
lakukan;
c. Orang-orang yang terpaksa turut serta dalam perkelahian atau
penyerangan itu untuk memisah atau melindunggi golongan
yang lemah, tidak dapat dikatakan turut serta dalam perkelahian
atau penyerangan dan tidak dikenakan pasal ini.
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penulis melakukan penelitian di Makassar tepatnya pada
Pengadilan Negeri Makassar dengan alasan
Negeri
Makassar
telah
120/Pid.B/2008/PN.Mks,
menangani
dimana
dalam
bahwa di Pengadilan
perkara
amar
dengan
putusan
nomor
tersebut
menyatakan penuntutan penunutut umum tidak dapat diterima, selain
itu dalam salah satu pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa
penuntut umum tidak pernah menghadapkan terdakwa dipersidangan
hingga 20 kali.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah:
1. Data Primer
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan pihak
Pengadilan Negeri Makassar yaitu Hakum, serta pihak kejaksaan .
2. Data Sekunder
Data ini penulis peroleh dengan cara mempelajari dokumen yang
berhubungan dengan objek kajian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
45
1. Penelitian kepustakaan
Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah bahan-bahan
pustaka yang relevan dengan penelitian berupa literatur-literatur,
karya ilmiah (hasil penelitian), peraturan perundang-undangan,
majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dokumentasi dari berbagai
instansi yang terkait dengan penelitian ini, hal ini dimaksudkan
untuk mendapatkan kerangka teori dari hasil pemikiran para ahli hal
ini dilihat relevansinya dengan fakta yang terjadi di lapangan.
2. Penelitian lapangan
Untuk mengumpulkan data penelitian lapangan Penulis
menggunakan dua cara yaitu:
a. Pengamatan
yaitu
mengamati
dan
mempelajari
secara
langsung dengan mencatat hal-hal yang penting yang berkaitan
dengan data yang relevan.
b. Wawancara yaitu mendatangi responden dengan melakukan
tanya jawab langsung, tipe pertanyaan teratur dan terstruktur.
D. Analisis Data
Dari kedua jenis data tersebut, baik data primer maupun data
sekunder, selanjutnya dianalisis secara kualitatif, kemudian disajikan
dalam bentuk deskriptif, yaitu dengan menjelaskan dan menguraikan
permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam
Penuntut umum Tidak Dapat Diterima.
MenyatakanTuntutan
Menyikapi pedoman hakim dalam memberikan putusan pidana
seperti yang tertera dalam Pasal 10 KUHP, maka seorang hakim
mempunyai kewajiban yang tertera dalam Pasal 28 UU No.4 Th. 2004
Jo UU 48 Th. 2009 yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman dan
juga melihat unsur-unsur yang terdapat pada pasal yang dikenakan.
Hakim dituntut harus dapat melihat dan mendengar dengan jeli
dan peka dalam menjalankan persidangan seperti yang tercantum
dalam Pasal 183, 184 KUHAP dan Pasal 28 UU No. 4 Th. 2004. Hakim
selain harus menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
yang didakwakan , juga harus menguraikan unsur-unsur yang terdapat
pada Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, yaitu sebagai berikut:
a) Pembuktian.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP menerangkan bahwa: Hakim
tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah
yang terbukti melakukannya.
Ketentuan
ini untuk
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi
47
seseorang. Maka hakim dalam hukum acara pidana berkewajiban
menetapkan:
1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dapat dianggap terbukti
menurut pemeriksaan pengadilan.
2. Apa yang telah membuktikan bahwa terdakwa bersalah atas
perbuatanperbuatan yang didakwakan.
3. Tindak pidana apakah yang telah dilakukan sehubungan dengan
perbuatanperbuatan itu.
4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa.
5. Pelaksanaan, penghambatan dan pengawasan.
Bukti tersebut akan menjadi terang tindak pidana yang
didakwakan dan menambah keyakinan hakim bahwa terdakwa benarbenar bersalah dan sebagai pelaku serta untuk menentukan berat
ringannya pidana yang akan dijatuhkan.
b) Jenis-Jenis Alat Bukti.
Didalam KUHAP telah mengatur tentang jenis-jenis alat-alat
bukti yang di atur pada Pasal 184 KUHAP yaitu:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
48
Alat
bukti
ialah
apa
yang
merupakan
alat
bukti
yang
mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas
peristiwa, sehingga dapat dilihat. Hal tersebut sebagai perwujudan dari
pasal 183 KUHAP yang mana tidak akan dapat dijatuhi pidana kecuali
sekurang-kurangnya dua alat bukti, sesuai dengan alat bukti maka
dapat menjawab semua sangkalan yang dikemukakan oleh terdakwa
dan jika berusaha mengelak.
Hakim dalam menjatuhkan putusan akan menilai semua alat
bukti
yang
sah
untuk
menyusun
keyakinan
hakim
dengan
mengemukankan unsur-unsurnya kejahatan yang didakwakannya
menurut hukum pidana atau tidak, serta pidana apa yang setimpal
dengan perbuatannya.
Maka
tugas
hakim
dalam
praktek
penjatuhan
hukuman
terhadapa tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan kematian
berpedoman pada Pasal 183 dan 184 KUHAP, Pasal 28 UU No. 4 Th.
2004 jo UU No. 48 Th. 2009 , dan melihat unsur-unsur pasal yang di
dakwakan. Sehingga dalam hal ini hakim memiliki keluwesan dalam
mencari kebenaran hakiki dan menjunjung tinggi keadilan.
Di dalam persidangan, ada pembacaan tuntutan, keterangan
saksi yang memberatkan, tanggapan dari tersangka yaitu bisa sendiri
atau diwakili pengacaranya, keterangan saksi yang meringankan, dan
adanya putusan hakim. Dalam hal putusan hakim, hakim memutuskan
49
berdasarkan kenyataan yang terungkap dalam persidangan seperti
yang tertera dalam UU No. 4 Th. 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
dan
berdasarkan
pasal
183
dan
pasal
184
KUHAP
dengan
pertimbangan unsur-unsur pada tututan Jaksa dan KUHP.
Dalam hal ini, seorang hakim hanya dapat memberi hukuman
pidana yang hanya tertera / tercantum dalam pasal 10 KUHP. Hakim
dalam memutuskan perkara tidak hanya berpatokan pada KUHAP dan
UU No. 4 Th. 2004 saja namun juga harus melihat pada unsur-unsur
pidananya dalam KUHP seperti yang didakwakan Penuntut Umum
dalam surat tuntutan. Tanpa mengurangi tujuan dan maksud dari
pemberian sanksi yang terdapat pada konsep kedua aliran hukum
pidana yang tersebut terdahulu, yang memiliki beberapa karakteristik
(Nawawi, 43: 1996) sebagai berikut:
a. Pertanggung jawaban (pidana) bersifat pribadi / perorangan
(asas personal);
b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas
culpabilitas; tiada pidana tanpa kesalahan);
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si
pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibelikasi bagi
hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat
ringanya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi
pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaanya..
Dalam perkara 1067/Pid.B/2009/PN.Mks, hakim menjatuhkan
putusan 7 ( tujuh ) tahun penjara sama seperti dengan tuntutan jaksa.
Menurut Dwi Hari Sulismawati ( salah seorang hakim pada PN
Makassar ) Ada hal – hal tertentu dalam pertimbangan hakim untuk
50
menjatuhkan putusan pada diri seorang terdakwa . Ada hal – hal
tertentu diluar ketentuan hakim yang menjadi pertimbangan untuk
memperingan putusan, yaitu :
1)
2)
3)
4)
5)
Adanya sikap terus terang dalam persidangan;
Adanya penyesalan untuk tidak mengulanginya;
Adanya tanggungjawab sebagai tulang – punggung keluarga;
Sopan dalam persidangan;
Belum pernah dihukum atau bukan residivis.
Lebih lanjut menurut beliau Begitu juga sebaliknya, ada hal –
hal yang menjadi pertimbangan hakim untuk memperberat putusan,
yaitu :
1) Menunjukkan sikap berbelit – belit dalam memberi
keterangan di persidangan
2) Sikap tidak sopan dan tidak menghormati persidangan
3) Sudah pernah dihukum atau dalam perkara sejenis
4) Bahwa perbuatan tersebut meresahkan masyarakat
5) Bahwa perbuatan tersebut menghilangkan nyawa orang lain.
Dalam menjatuhkan putusan, seorang hakim berpegang pada
asas “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa“. Dan
yang menjadi pertimbangan selain hal–hal yang telah disebutkan di
atas, adalah fakta di persidangan yang terungkap tentang peristiwa
yang terjadi dan didasarkan pada tututan dari Jaksa Penuntut Umum.
Dalam
putusan
yang
penulis
telit
,
putusan
nomor
120/Pid.B/2008/PN.Mks, yang dalam pertimbangan sebagai berikut :
51
Menimbang, bahwa terdakwa diajukan ke persidangan oleh
Penuntut Umum karena ia didakwa telah melakukan suatu tindak
pidana dengan dakwaan sebagai berikut :
Bahwa ia terdakwa ASWARUDDIN pada hari Kamis tanggal 29
Nopember 2007 sekitar pukul 01.00 wita atau setidak-tidaknya pada
waktu-waktu lain dalam bulan November 2007 bertempat di jalan
Rappocini Raya No.186 Makassar, atau setidak tidaknya pada suatu
tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Makassar, telah
melakukan penganiayaan terhadap korban LIONARDI, dengan caracara antara lain sebagai berikut :
Bahwa pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas,
berawal ketika terdakwa datang di tempat Seluler Sinar Mentari milik
saksi korban dengan tujuan mengecek HP Sony Ericson milik
Terdakwa yang dititipkan kepada saksi korban untuk memperbaikinya,
pada saat itu terdakwa bertemu langsung dengan saksi korban, dan
saksi korban menyampaikan kepada terdakwa
“ Bahwa ada yang
kurang, yaitu dos HP kemudian terdakwa balik bertanya “ Untuk apa
dos HP “ saksi korban menjawab “ saya tidak tahu “ lalu saksi korban
menghubungi ke service Center Sony Ericson dan meminta terdakwa
untuk berbicara langsung, namun terdakwa menolak, sehingga saksi
korban keluar dari Counter dan menunjuk bahwa dos tersebut
dibutuhkan oleh service Center Sony Ericson, namun tiba-tiba
52
terdakwa langsung menghantam dengan minju bagian muka serta
kacamata yang dipakai menjadi rusak/pecah
Bahwa akibat
perbuatan terdakwa tersebut saksi korban
Lionardy mengalami rasa sakit, sebagaimana Visum Et Repertum
No.072/VER/RSG/XI/2007, dengan kesimpulan luka lecet di bawah
mata kiri dan luka robek pada bibir bawah kiri serta bengkak seluruh
bibir bawah, akibat benturan benda keras dan tumpul.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal
351 (1) KUHP ;
Menimbang, bahwa
jika memperhatikan hasil berita acara
persidangan ternyata dalam perkara terdakwa sampai saat ini
Penuntut Umum belum pernah membacakan dakwaan ;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini majelis telah menunda
persidangan
sebanyak 20 (dua puluh)
kali bahkan majelis
telah
membuat penetapan hari sidang masing tertanggal 01 Pebruari 2008
dan tanggal 03 September 2008 namun Penuntut Umum maunpun
Terdakwa tidak pernah menghadapkan Terdakwa
di persidangan,
sehingga sidang ditunda untuk ke 20 (dua puluh) kalinya yaitu pada
tanggal 09 September 2008 namun Penuntut Umum juga tidak
menghadapkan Terdakwa di persidangan sehingga Majelis menunda
sidang untuk ke 21 (dua puluh satu) kalinya yakni pada tanggal 23
53
September
2008
dimana
Penuntut
Umum
tetap
tidak
menghadapkan Terdakwa di persidangan ;
Menimbang, bahwa oleh karena sudah ke dua puluh satu
kalinya
Penuntut
persidangan
Umum
tidak
menghadapkan
tanpa alasan yang sah sehingga
Terdakwa
di
menurut penilaian
Majelis Penuntut Umum dipandang tidak serius untuk mengajukan
perkara ini, sehingga untuk menjaga kepastian hukum maka perkara
ini harus diputus dengan menyatakan penuntutan Penuntut Umum
tidak dapat diterima dan biaya perkara ini dibebankan pada Negara ;
Putusan tersebut diatas merupakan jenis putusan yang baru
oleh karena Menurut Martiman (20: 1983) bentuk putusan pada
umumnya ada tiga macam yaitu:
1. Putusan yang mengandung pembebasan (Vrijspraak)
menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP.
2. Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala
tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) menurut
Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
3. Putusan yang mengandung suatu penghukuman terdakwa
(veroordeling), menurut Pasal 193 KUHAP.
Dan
kalau
kita
mencermati
putusan
nomor
120/Pid.B/2008/PN.Mks, maka putusan tersebut tidak masuk kesalah
satu kategori jenis putusan yang diatas olek karena putusan nomor
120/Pid.B/2008/PN.Mks bukan pembebasan, pemidanaan ataupun
pelepasan tetapi putusan yang pada intinya menyatakan tuntutan
penuntut umum.
54
Menurut Kasi Prapenunututan Kejaksaan Negeri Makassar,
mestinya ketika terdakwa tidak dihadirkan oleh jaksa penuntut umum
selama beberapa kali sidang, harus melakukan penghentian sementara
terhadap perkara tesebut dan memerintahkan kepada JPU untuk
menghadirkan bahkan menyatakan terdakwa sebagai daftar pencarian
orang ( DPO ).
Tetapi menurut penuls apa yang diputuskan oleh hakim tersebut
apabila kita mencermati surat edaran Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1981 Tantang terdakwa sejak semula tidak dapat diperhadapkan
di persidangan, maka putusan tersebut telah sesui dengan SEMA
tersebut diatas dimana ketika JPU sejak awal persidangan tidak dapat
menghadirkan terdakwa dipersidangan maka yang hakim menjatuhkan
putusan dengan menyatakan tuntutan penunut umum tidak dapat
diterima seperti dalam putusan nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks.
B. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Jaksa Penuntut Umum
Terhadap Putusan Yang Menyatakan Tuntutan Penuntut Umum
Tidak Dapat Diterima.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana yang biasa disebut Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana telah mengatur hak-hak tersangka/terdakwa dan
penuntut umum untuk melakukan upaya hukum baik itu upaya hukum
biasa maupun upaya hukum luar biasa terhadap semua putusan
pengadilan, yang berupa perlawanan, banding, kasasi maupun
permohonan peninjauan kembali.
55
Dalam Bab XVII sampai dengan Bab XIX atau Pasal 233
sampai dengan Pasal 269 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yang mengatur tentang upaya hukum biasa maupun upaya
hukum luar biasa, membagi upaya hukum biasa terdiri dari banding
dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi
kepentingan hukum dan peninjauan kembali terhadap putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan kedua
pembagian upaya hukum yang tersebut di atas, maka kalau
dihubungkan dengan Pasal 1 angka 12 memberi perumusan sebagai
berikut:
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan
atau banding atau kasisi atau hak terpidana untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 12 tersebut di atas, maka
sebenarnya kalau KUHAP konsisten dengan rumusan tersebut
seharusnya dalam pasal yang mengatur tentang upaya hukum, harus
juga mencantumkan upaya hukum perlawanan apakah masuk dalam
upaya hukum biasa atau upaya hukum luar biasa. Dan begitu juga
dengan upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi kepentingan hukum
yang sama sekali tidak disinggung dalam Pasal 1 angka 12, tetapi
dalam rumusan pasal tentang upaya hukum luar biasa mengakui
upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum yang dapat diajukan
56
oleh jaksa agung terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap.
Ketidakkonsistenan KUHAP dalam merumuskan tentang upaya
hukum menimbulkan persepsi yang beragam dari kalangan para
praktisi hukum dan pakar hukum. Tetapi penulis tidak mau terlalu jauh
larut dalam permasalahan itu, karena baik itu perlawanan maupun
upaya hukum kasasi demi kepentingan hukum dalam praktek dan
berdasarkan KUHAP keduanya diakui sebagai upaya hukum yang
dapat diajukan apabila tidak menerima putusan pengadilan atas suatu
perkara yang ditanganinya.
Upaya hukum oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan
nomor 120/Pid.B/2008/ PN.Mks, dapat berupa upaya hukum biasa
maupun upaya hukum luar biasa.
Menurut Kasi Prapenuntutan Kejari Makassar, dalam praktek
ketika terdakwa sejak semula tidak hadir dipersidangan meskipun
hakim menyatakn DPO terhadap terdakwa tetapi JPU tetap dapat
mengajukan upaya hukum, kalau masih dalam waktu yang ditentukan
maka JPU mengajukan upaya hukum biasa yaitu banding, tetapi ketika
waktu banding telah lewat maka JPU dapat mengajukan PK.
Tetapi menurut penulis pada dasarnya tidak sepakat kalau JPU
melakukan
upaya
hukum
terhadap
perkara
nomor
120/Pid.B/2008/PN.Mks, oleh karena sejak semula jaksa tidak ada
keseriusan dalam menghadirkan terdakwa dan menangani perkara
57
tersebut terbukti dalam perkara Nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks majelis
telah menunda persidangan sebanyak 20 (dua puluh) kali bahkan
majelis telah membuat penetapan hari sidang masing tertanggal 01
Pebruari 2008 dan tanggal
03 September 2008 namun Penuntut
Umum maunpun Terdakwa tidak pernah menghadapkan Terdakwa di
persidangan, sehingga sidang ditunda untuk
kalinya yaitu pada tanggal
09 September 2008
ke 20 (dua puluh)
namun
Penuntut
Umum juga tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan sehingga
Majelis menunda sidang untuk ke 21 (dua puluh satu) kalinya yakni
pada tanggal 23 September 2008 dimana Penuntut Umum tetap
tidak menghadapkan Terdakwa di persidangan. Dan terlihat bahwa
JPU tidak serius dalam menangani perkara ini.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan.
1. Dalam perkara Nomor 120/Pid.B/2008/PN.Mks majelis telah
menunda persidangan
sebanyak 20 (dua puluh)
kali bahkan
majelis telah membuat penetapan hari sidang masing tertanggal
01 Pebruari 2008 dan tanggal
03 September 2008 namun
Penuntut Umum maunpun Terdakwa tidak pernah menghadapkan
Terdakwa di persidangan, sehingga sidang ditunda untuk ke 20
(dua puluh)
kalinya yaitu pada tanggal
09 September 2008
namun Penuntut Umum juga tidak menghadapkan Terdakwa di
persidangan sehingga Majelis menunda sidang untuk ke 21 (dua
puluh satu)
kalinya yakni pada tanggal
23 September 2008
dimana Penuntut Umum tetap tidak menghadapkan Terdakwa di
persidangan,
seingga
hakim
menjatuhkan
putuan
dengan
menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima sesuai
SEMA RI Nomor 1 Tahun 1981.
2. Upaya hukum oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan nomor
120/Pid.B/2008/ PN.Mks, dapat berupa upaya hukum biasa
maupun upaya hukum luar biasa. Dalam praktek ketika terdakwa
sejak semula tidak hadir dipersidangan meskipun hakim menyatakn
DPO terhadap terdakwa tetapi JPU tetap dapat mengajukan upaya
hukum, kalau masih dalam waktu yang ditentukan maka JPU
59
mengajukan upaya hukum biasa yaitu banding, tetapi ketika waktu
banding telah lewat maka JPU dapat mengajukan PK.
B. Saran
1. Jaksa penuntut umum dalam menangani perkara hendakanya
sebelum di limpahkan ke pengadilan harus memperhatikan
kelengkapan perkara mulai dari berkas, alat dan barang bukti serta
terdakwanya.
2. Mestinya harus ditingkatnya koordinasi antara JPU dengan hakim
sebelum persidangan.
3. Perlunya perangkat hukum yang jelas mengenai jenis putusan yang
dapat di jatuhkan oleh hakim.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2005.Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta, RajaGrafindo
Persada
Andi
Hamzah. 2005. Azas-Azas
Watampone.
Hukum
Pidana.
Jakarta:
Yarsif
......................... 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Djoko
Prokoso. 1988.
Yogyakarta.
Hukum
Penitensier
di
Indonesia.
Liberty.
Evi Hartanti. 2007. Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua. Jakarta: Sinar
Grafika.
Harun M. Husein. 2006. Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi dan
Permasalahannya. Jakarta: Rineka Cipta.
Indriyanto Seno Adji. 2001. Korupsi dan Hukum Pidana. Jakarta: Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Oemar Seno Adji.
Leden Marpaung. 1991. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh
(Pemberatan dan Prevensinya), Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI dan Pembahasannya, Sinar Grafika,
Jakarta.
Lilik Mulyadi , 2005, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan
Permasalahannya), Mandar Maju, Bandung.
------------------. 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori,
Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya, Citra
Aditya Bakti.
R. Soesilo, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
Komentar-Komentarnya lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,
Bogor.
R. Wiyono. 2005. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
61
Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan
Aspek Internasional. Bandung: CV. Bandar Maju.
Sianturi. 1996. Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia Penerapannya.
Jakarta: Alumni Ahaem – Petahaem.
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
Tongat, 2007. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Persperktif
Pembaharuan, UMM Press.Malang
Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta.
----------------------, 2002. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan
KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Yanti Gamarsih. 2003. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Loundring).
Jakarta: Program Pasca Sarjana FH-Trisakti.
W.J.S Poerwadarminta. 1985. Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
Jakarta.
Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Komisi Kejaksaan
Republik Indonesia
62
Download