Tinjauan Kebijakan Moneter Desember 2014

advertisement
TINJAUAN KEBIJAKAN MONETER
1
STATEMENT KEBIJAKAN MONETER
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11 Desember 2014
memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga
Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level
8,00% dan 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut masih konsisten untuk memastikan
tekanan inflasi jangka pendek pasca kebijakan realokasi subsidi BBM yang ditempuh
Pemerintah akan tetap terkendali dan temporer sehingga akan kembali menuju ke sasaran
4±1% pada 2015. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi yang
ditempuh selama ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih
sehat. Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk memastikan stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan moneter yang cenderung
ketat tetap dilanjutkan untuk mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan,
sementara kebijakan makroprudensial yang akomodatif ditempuh agar pengetatan
moneter tersebut tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. Kebijakan
sistem pembayaran diarahkan untuk mendukung penyaluran program sosial Pemerintah
dan memperluas Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Selain itu, koordinasi kebijakan
antara Bank Indonesia dan Pemerintah juga terus diintensifkan untuk menjaga stabilitas
makroekonomi, khususnya dalam mengendalikan tekanan inflasi pasca kebijakan realokasi
subsidi BBM dan defisit transaksi berjalan, serta mempercepat kebijakan reformasi
struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
Di sisi global, pemulihan ekonomi dunia terus berlanjut meski tidak merata dan
cenderung lambat. Perekonomian AS, yang menjadi motor pemulihan ekonomi global,
terus menunjukkan perbaikan dan berada dalam siklus yang meningkat. Sejalan dengan
itu, normalisasi kebijakan moneter the Fed terus berlangsung dengan kemungkinan
kenaikan Fed Fund Rate (FFR) mulai triwulan II-2015 sehingga mendorong apresiasi dolar
AS yang kuat terhadap hampir seluruh mata uang dunia dan meningkatkan risiko
pembalikan modal asing dari emerging markets, termasuk Indonesia. Sebaliknya,
perekonomian Eropa dan Jepang masih mengalami tekanan meskipun terus dilakukan
stimulus dari sisi moneter. Perlambatan ekonomi Tiongkok juga terus berlangsung akibat
proses rebalancing ekonomi yang ditempuhnya. Perkembangan ini telah mendorong harga
komoditas global khususnya komoditas mineral dan pertanian menurun lebih besar dari
yang diperkirakan. Pola pertumbuhan ekonomi dunia dan penurunan harga komoditas
tersebut berpengaruh terhadap struktur ekspor Indonesia dengan meningkatnya ekspor
manufaktur dan masih tertekannya ekspor komoditas primer. Sementara itu, harga minyak
dunia menurun drastis dan diperkirakan akan berlanjut di tahun 2015 seiring dengan
pasokan yang meningkat dari AS di tengah permintaan dunia yang melambat. Secara
keseluruhan, sebagai negara yang net importer dalam minyak, penurunan harga minyak
dunia akan berpengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia, baik dari sisi fiskal,
neraca pembayaran maupun pertumbuhan ekonomi.
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2014 diperkirakan masih
melambat meskipun akan mulai kembali membaik di triwulan I-2015. Konsumsi
diperkirakan sedikit melambat pada triwulan IV-2014, terutama didorong oleh masih
| 1
melambatnya konsumsi pemerintah sejalan dengan program penghematan dan
melambatnya konsumsi rumah tangga sebagai dampak dari kenaikan inflasi. Konsumsi
akan kembali meningkat lebih tinggi pada triwulan I-2015 didorong oleh kenaikan
konsumsi Pemerintah seiring dengan membesarnya ruang fiskal. Meningkatnya
pertumbuhan konsumsi tersebut akan mendorong kenaikan investasi baik bangunan
maupun non-bangunan. Dari sisi eksternal, meskipun terjadi peningkatan ekspor
manufaktur, secara keseluruhan pertumbuhan ekspor masih terbatas akibat masih
tertekannya ekspor komoditas sejalan dengan melambatnya permintaan negara emerging
market. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mendekati
batas bawah kisaran 5,1-5,5%, namun kembali meningkat di triwulan I-2015 dan
diperkirakan akan mencapai kisaran 5,4-5,8% pada 2015.
Kinerja neraca pembayaran semakin sehat dengan menurunnya defisit transaksi
berjalan dan besarnya surplus neraca modal. Neraca perdagangan Indonesia mencatat
surplus 0,02 miliar dolar AS pada Oktober 2014 setelah pada bulan sebelumnya mengalami
defisit sebesar 0,26 miliar dolar AS. Kinerja positif tersebut didukung oleh surplus neraca
perdagangan nonmigas yang meningkat seiring kenaikan ekspor manufaktur, seperti
ekspor produk otomotif. Sementara itu, dari neraca finansial, aliran masuk modal asing
tetap besar didorong oleh persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik.
Secara akumulatif hingga November 2014, aliran masuk portofolio asing ke pasar
keuangan Indonesia telah mencapai 17,75 miliar dolar AS. Dengan perkembangan
tersebut, cadangan devisa Indonesia pada akhir November 2014 menjadi 111,1 miliar dolar
AS, setara 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri
Pemerintah.
Kuatnya apresiasi mata uang dolar AS sejalan dengan normalisasi kebijakan Fed
memberikan tekanan pelemahan terhadap hampir semua mata uang dunia,
termasuk Rupiah. Pada November 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0,21%
(mtm) ke level Rp12.167 per dolar AS, sejalan dengan melemahnya hampir semua mata
uang dunia. Perbaikan neraca perdagangan dan terkendalinya inflasi pada bukan Oktober
2014 kurang mampu mengimbangi kuatnya tekanan terhadap Rupiah dari apresiasi dolar
AS tersebut. Tekanan terhadap Rupiah tertahan oleh optimisme terhadap perekonomian ke
depan pasca kebijakan reformasi subsidi yang dilakukan oleh Pemerintah. Dibandingkan
dengan mata uang negara-negara lain, tingkat depresiasi Rupiah termasuk yang relatif
rendah. Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan
fundamentalnya.
Inflasi yang terkendali dan rendah hingga Oktober 2014 kembali meningkat pada
November 2014, terutama didorong oleh dampak kenaikan harga BBM. Inflasi IHK
mencapai 6,23% (yoy), meningkat dari 4,83% (yoy) pada bulan Oktober 2014. Inflasi
administered prices meningkat terutama didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi,
tarif angkutan darat dan tarif tenaga listrik (TTL). Sementara itu, inflasi volatile food juga
meningkat didorong kenaikan harga aneka cabai yang tinggi. Sebaliknya, inflasi inti relatif
terjaga sebesar 4,21% (yoy). Bank Indonesia memperkirakan dampak kenaikan harga BBM
akan berlangsung secara terkendali dan temporer sekitar tiga bulan, dengan puncaknya
pada bulan Desember 2014. Menghadapi hal itu, langkah-langkah koordinasi dengan
Pemerintah diperkuat, khususnya dalam meminimalkan dampak lanjutan (second round
effect) kenaikan harga BBM bersubsidi, khususnya terkait tarif transportasi. Selain itu,
koordinasi juga perlu difokuskan pada upaya memperkuat pasokan bahan pangan agar
tidak memberikan tambahan tekanan kenaikan harga. Dengan langkah-langkah tersebut
inflasi pada akhir tahun 2015 diperkirakan terkendali dalam kisaran 4 ± 1%.
| 2
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga ditopang oleh ketahanan sistem
perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri
perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta
dukungan modal yang kuat. Pada Oktober 2014, rasio kecukupan modal (Capital
Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 19,6%, jauh di atas ketentuan minimum 8%,
sedangkan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di
kisaran 2,0%. Sementara itu, pertumbuhan kredit melambat menjadi 12,62% (yoy) pada
Oktober 2014, lebih rendah dari pertumbuhan bulan sebelumnya 13,16%(yoy).
Pertumbuhan DPK pada Oktober 2014 tercatat sebesar 13,93% (yoy) meningkat
dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 13,32% (yoy). Perbankan cenderung masih
selektif dalam menyalurkan kredit baru namun penolakan terhadap permohonan kredit
baru cenderung menurun. Rasio Undisbursed Loan (UL) yang cenderung stabil juga
menunjukkan bahwa korporasi masih bersikap wait and see terhadap prospek
pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, kondisi likuiditas perbankan relatif terjaga dan membaik
seiring dengan operasi keuangan pemerintah yang lebih ekspansif. Kedepan, pertumbuhan
DPK dan kredit diperkirakan akan meningkat sehingga mencapai, masing-masing, sebesar
14-16% dan 15-17%. Sementara itu, kinerja pasar modal juga membaik, tercermin pada
IHSG yang berada dalam tren meningkat.
| 3
2
PERKEMBANGAN EKONOMI DAN
KEBIJAKAN MONETER
Perkembangan Ekonomi Global
Pemulihan ekonomi dunia terus berlanjut meskipun masih tidak merata dan
cenderung lambat. Perekonomian AS, yang menjadi motor pemulihan ekonomi global,
terus menunjukkan perbaikan dan berada dalam siklus yang meningkat. Sebaliknya,
perekonomian Eropa dan Jepang masih mengalami tekanan meskipun terus dilakukan
stimulus dari sisi moneter. Membaiknya ekonomi AS didukung oleh meningkatnya
permintaan domestik, terindikasi dari meningkatnya pertumbuhan belanja personal
(personal expenditure) dan tabungan rumah tangga (household savings). Dari sisi produksi,
pertumbuhan ekonomi AS didukung oleh meningkatnya output, tercermin dari indeks
produksi dan utilisasi kapasitas yang berada dalam tren meningkat serta tren penurunan
business inventory sejalan dengan meningkatnya penjualan. Meningkatnya sisi permintaan
dan output didukung oleh membaiknya sektor tenaga kerja, tercermin dari menurunnya
tingkat pengangguran sejalan dengan pertumbuhan job openings yang terus meningkat. Di
sisi lain, perekonomian Eropa masih mengalami tekanan, dipengaruhi oleh pertumbuhan
investasi yang masih terkontraksi, sementara pertumbuhan konsumsi masih terbatas.
Tingkat inflasi berada dalam tren menurun. Defisit anggaran di negara-negara Eropa yang
masih besar membatasi peningkatan permintaan. Pertumbuhan ekspor dan impor Eropa
juga menurun dipengaruhi oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi negara-negara EM,
dan ketegangan geopolitik di Rusia. Sementara itu, perekonomian Jepang juga masih
mengalami tekanan, bahkan pada tahun 2014, ekonomi Jepang memasuki zona resesi.
Kebijakan “3 panah Abenomics” yang bertujuan meningkatkan inflasi dan pertumbuhan
ekonomi di tengah besarnya tekanan defisit fiskal tidak berdampak seperti yang diharapkan
terhadap ekonomi Jepang. Depresiasi Yen belum dimanfaatkan untuk meningkatkan
ekspor, namun dimanfaatkan untuk mengambil margin lebih tinggi. Di sisi lain,
ketidakefisienan memicu perusahaan Jepang untuk semakin melakukan outsourcing
manufakturnya ke luar negeri. Kondisi ini berdampak pada menurunnya job hiring,
terbatasnya pertumbuhan gaji dan menurunnya investasi swasta.
Sementara itu, pada negara-negara berkembang, pertumbuhan ekonomi
mengalami perlambatan. Perlambatan ekonomi Tiongkok juga terus berlangsung akibat
proses rebalancing ekonomi yang ditempuhnya. Penurunan pertumbuhan tersebut
disebabkan oleh menurunnya investasi khususnya sektor perumahan dan infrastruktur.
Sementara itu, pertumbuhan konsumsi belum dapat mengimbangi dampak yang
disebabkan oleh penurunan investasi. Tingkat inflasi di tahun 2014 juga berada dalam tren
menurun, sejalan dengan berkurangnya permintaan riil dan menurunnya harga makanan,
serta rumah di Tiongkok. Selain itu, dampak peningkatan permintaan eksternal akibat
perbaikan ekonomi di AS diperkirakan semakin terbatas, yang tercermin dari tren
penurunan impor AS dari Tiongkok. Untuk menahan perlambatan ekonomi dan penurunan
inflasi, Otoritas Tiongkok menurunkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps untuk
suku bunga deposito 1 tahun (menjadi 2,75%) dan sebesar 40 bps untuk suku bunga
kredit 1 tahun (menjadi 5,6%). Selain itu, batas atas suku bunga deposito dinaikkan
menjadi 1,2 kali dari suku bunga acuan (sebelumnya 1,1 kali), sedangkan suku bunga
kredit diliberalisasi. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi India berada dalam tren
| 4
meningkat, sejalan dengan prakiraan sebelumnya, didukung oleh meningkatnya
permintaan domestik. Konsumsi swasta meningkat, terindikasi dari pertumbuhan penjualan
mobil dan meningkatnya indeks keyakinan konsumen. Peningkatan investasi tercermin
pada meningkatnya indikator machine orders seiring meningkatnya indeks produksi dan
kapasitas produksi. Ke depan, pertumbuhan ekonomi India diperkirakan masih meningkat
sejalan dengan hasil survei terhadap ekspektasi kondisi ekonomi yang juga masih dalam
tren meningkat.
Perkembangan perlambatan ekonomi Tiongkok telah mendorong harga komoditas
global khususnya komoditas mineral dan pertanian menurun lebih besar dari yang
diperkirakan. Harga batubara terus menurun didorong oleh melimpahnya pasokan dan
melemahnya permintaan terutama dari Tiongkok, sedangkan menurunnya harga karet
dipicu oleh berlanjutnya penurunan harga minyak dunia dan melemahnya permintaan
terutama dari Jepang dan Tiongkok. Selain itu, harga logam seperti nikel dan timah juga
menurun, didorong oleh menurunnya permintaan seiring melambatnya investasi Tiongkok.
Sementara itu, harga minyak dunia menurun drastis dan diperkirakan akan berlanjut di
tahun 2015 seiring dengan pasokan yang meningkat dari AS di tengah permintaan dunia
yang melambat. Penurunan harga komoditas di beberapa tahun terakhir mengindikasikan
berakhirnya siklus kenaikan harga komoditas global. Ke depan, harga komoditas global
diperkirakan masih menghadapi tekanan seiring dengan perekonomian Tiongkok yang
cenderung melambat.
Ke depan, risiko terkait dengan normalisasi kebijakan the Fed dan perlambatan
ekonomi Tiongkok perlu terus diwaspadai. Sejalan dengan realisasi tingkat
pengangguran yang terus menurun dan membaiknya perkembangan indikator makro
lainnya di AS, normalisasi kebijakan moneter the Fed terus berlangsung dengan
kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate (FFR) mulai triwulan II-2015 sehingga mendorong
apresiasi dolar AS yang kuat terhadap hampir seluruh mata uang dunia dan meningkatkan
risiko pembalikan modal asing dari emerging markets, termasuk Indonesia. Sementara itu,
pelemahan ekonomi Tiongkok mendorong berlanjutnya penurunan harga komoditas di
pasar internasional.
Pertumbuhan Ekonomi
Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV 2014 diperkirakan masih
melambat meskipun akan mulai kembali membaik di triwulan I 2015. Konsumsi
diperkirakan sedikit melambat pada triwulan IV 2014, terutama didorong oleh masih
melambatnya konsumsi pemerintah sejalan dengan program penghematan dan
melambatnya konsumsi rumah tangga sebagai dampak dari kenaikan inflasi. Konsumsi
akan kembali meningkat lebih tinggi pada triwulan I 2015 didorong oleh kenaikan
konsumsi Pemerintah seiring dengan membesarnya ruang fiskal. Meningkatnya
pertumbuhan konsumsi tersebut akan mendorong kenaikan investasi baik bangunan
maupun nonbangunan. Dari sisi eksternal, meskipun terjadi peningkatan ekspor
manufaktur, secara keseluruhan pertumbuhan ekspor masih terbatas akibat masih
tertekannya ekspor komoditas sejalan dengan melambatnya permintaan negara emerging
market. Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi diperkirakan mendekati
batas bawah kisaran 5,1-5,5%, namun kembali meningkat di triwulan I 2015 dan
diperkirakan akan mencapai kisaran 5,4-5,8% pada 2015.
| 5
Konsumsi rumah tangga diprakirakan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014
sebagai dampak dari kenaikan inflasi. Inflasi yang lebih tinggi, terutama didorong
dampak kenaikan harga BBM bersubsidi, menurunkan daya beli masyarakat. Kondisi
tersebut tercermin pada pertumbuhan upah buruh tani riil dan upah buruh bangunan riil
yang tumbuh melambat, begitu pula nilai tukar petani. Survei konsumen Bank Indonesia
turut mendukung prakiraan perlambatan konsumsi tumah tangga, sebagaimana tercermin
pada indeks ekspektasi pendapatan (Grafik 2.1) dan tingkat keyakinan konsumen (Grafik
2.2) yang menurun hingga triwulan IV 2014. Selain itu, indeks penjualan eceran pada
triwulan IV (Oktober) 2014 terpantau turun tajam, seiring kontraksi penjualan kelompok
bahan makanan dan peralatan rumah tangga (Grafik 2.3). Penjualan mobil juga masih
melambat hingga Oktober 2014.
Grafik 2.1. Indeks Ekspektasi
Pendapatan
Grafik 2.2. Indeks Keyakinan Konsumen
Grafik 2.3. Indeks Penjualan Eceran
Pada triwulan IV 2014, investasi diprakirakan sedikit meningkat, didorong oleh
kinerja investasi bangunan yang membaik. Investasi bangunan diprakirakan membaik
pada triwulan IV 2014, terindikasi dari peningkatan penjualan semen (Grafik 2.4). Prakiraan
tersebut sejalan dengan pola historis dimana investasi bangunan akan meningkat setelah
Pemilu. Sementara itu, investasi nonbangunan diprakirakan masih lemah, terindikasi dari
impor barang modal yang masih mengalami kontraksi. Perkembangan ini terkait dengan
pelemahan sektor pertambangan yang mendorong turunnya penjualan alat berat domestik
pada triwulan IV 2014 (Grafik 2.5). Selain itu, penurunan investasi nonbangunan juga
dipengaruhi oleh minimnya insentif pelaku usaha untuk berinvestasi sebagaimana
terindikasi pada penurunan tingkat kapasitas produksi industri pada triwulan III 2014 dan
indeks tendensi bisnis BPS pada triwulan IV 2014.
| 6
Grafik 2.4. Indikator Investasi Bangunan
Grafik 2.5. Indikator Investasi
Nonbangunan
Pertumbuhan ekspor masih terbatas akibat masih tertekannya ekspor komoditas.
Tertekannya ekspor komoditas tersebut sejalan dengan melambatnya permintaan negara
emerging market. Ekspor komoditas pertambangan diprakirakan menurun pada triwulan IV
2014 (Grafik 2.6), sejalan dengan penurunan ekspor batubara yang memiliki pangsa
terbesar di pertambangan. Penurunan tersebut didorong oleh rendahnya harga komoditas
dan melemahnya permintaan khususnya dari Tiongkok. Ekspor barang tambang lainnya,
seperti tembaga, diperkirakan mencatat pertumbuhan yang rendah. Hal ini terkait dengan
realisasi ekspor pada triwulan IV 2013 yang sangat tinggi, sehingga secara tahunan akan
mencatat pertumbuhan yang rendah (base effect). Pada periode tahun lalu, eksportir
menggenjot produksi dan ekspor sebelum pemberlakuan pembatasan ekspor mineral yang
mulai berlaku pada Januari 2014.
Meskipun belum mampu mendorong kinerja ekspor secara keseluruhan, ekspor
manufaktur menunjukkan tren peningkatan. Komoditas ekspor manufaktur yang
meningkat antara lain pada sektor otomotif, TPT, kimia organik, dan alas kaki. Ekspor road
vehicles diprakirakan tumbuh tinggi pada triwulan IV 2014, didominasi oleh mobil
penumpang dan suku cadang (Grafik 2.7). Tujuan ekspor otomotif Indonesia cukup
terdiversifikasi dimana sebagian besar ekspor ditujukan ke negara berkembang. Ekspor
mobil Indonesia di 2014 sebagian besar ditujukan ke ASEAN (41,4%), Saudi Arabia
(22,1%), dan negara Asia lainnya (17,6%). Sementara itu, eskpor TPT cenderung tumbuh
stabil meskipun rendah.
Grafik 2.6. Pertumbuhan Ekspor
Nonmigas Riil
Grafik 2.7. Komposisi Ekspor Road
Vehicles
Merespons kinerja investasi nonbangunan dan ekspor yang tumbuh terbatas,
impor masih berada dalam teritori negatif pada triwulan IV 2014. Masih rendahnya
impor didorong oleh kontraksi impor barang modal, meskipun sudah dalam tren membaik
| 7
(Grafik 2.8). Sinyalemen ini sejalan dengan investasi nonbangunan yang masih lemah,
sehingga mengurangi insentif untuk melakukan impor barang modal. Impor barang
konsumsi juga terkontraksi lebih dalam pada Oktober 2014, disebabkan oleh berkurangnya
impor mobil penumpang. Sementara itu, impor suku cadang untuk mesin, bagian dari
impor bahan baku masih turun sejalan dengan masih terbatasnya impor mesin.
Di sisi sektoral, perlambatan ekonomi pada triwulan IV 2014 terutama terjadi pada
sektor manufaktur dan PHR. Pelemahan kinerja sektor manufaktur terindikasi dari indeks
PMI HSBC November yang terus menunjukkan penurunan, bahkan paling rendah selama
44 bulan terakhir sejak survei dilakukan (Grafik 2.9). Perkembangan terkini terkait
kebijakan kenaikan harga BBM turut mendorong pelemahan sektor manufaktur sehingga
konsumsi diprakirakan turun dalam jangka pendek. Sektor PHR juga tumbuh melambat
sejalan dengan pelemahan kinerja perdagangan. Aktivitas perekonomian yang melambat
juga menyebabkan lebih rendahnya kinerja sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor
pengangkutan dan komunikasi, serta sektor jasa lainnya. Sebaliknya, kinerja sektor
bangunan meningkat, terindikasi dari peningkatan pre sale properti. Perkembangan ini
sejalan dengan meningkatnya kinerja investasi bangunan. Di sisi lain, sektor pertambangan
tumbuh meningkat seiring dengan mulai terealisasinya ekspor mineral.
Grafik 2.8. Pertumbuhan Impor
Nonmigas Riil
Grafik 2.9. Indeks Output PMI HSBC
Ke depan, pertumbuhan ekonomi triwulan I 2015 diprakirakan tumbuh membaik.
Konsumsi diprakirakan kembali meningkat lebih tinggi didorong oleh kenaikan konsumsi
pemerintah seiring dengan membesarnya ruang fiskal. Meningkatnya pertumbuhan
konsumsi tersebut akan mendorong kenaikan investasi baik bangunan maupun
nonbangunan. Dari sisi eksternal, kinerja ekspor diprakirakan membaik sejalan dengan
perkembangan perbaikan permintaan negara maju.
Neraca Pembayaran Indonesia
Pemulihan keseimbangan eksternal terus berlanjut, tercermin dari kinerja neraca
perdagangan yang membaik pada Oktober 2014. Neraca perdagangan Indonesia
mencatat surplus 0,02 miliar dolar AS pada Oktober 2014 setelah pada bulan sebelumnya
mengalami defisit sebesar 0,26 miliar dolar AS (Grafik 2.10). Kinerja positif tersebut
terutama didukung oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang meningkat dari 0,77
miliar dolar AS pada September menjadi 1,13 miliar pada Oktober.
| 8
Peningkatan surplus neraca nonmigas terutama didukung oleh kenaikan ekspor
nonmigas. Peningkatan ekspor nonmigas didorong oleh kenaikan ekspor lemak dan
minyak hewan/nabati seiring kenaikan ekspor manufaktur, seperti ekspor produk otomotif,
mesin/peralatan listrik, mesin-mesin/pesawat mekanik serta perhiasan/permata. Menurut
negara tujuan, peningkatan ekspor nonmigas bulan Oktober terutama terjadi ke negara
Jepang, India, Singapura, Malaysia, dan Australia. Peningkatan surplus neraca perdagangan
tersebut juga dipengaruhi oleh turunnya impor nonmigas, seiring dengan melambatnya
permintaan domestik. Impor nonmigas tercatat menurun dari 11,89 miliar dolar AS pada
September menjadi 11,75 miliar dolar AS pada Oktober, terutama karena turunnya impor
mesin dan peralatan mekanik, mesin dan peralatan listrik, dan kendaraan bermotor dan
bagiannya.
Perbaikan neraca perdagangan tertahan oleh meningkatnya defisit neraca migas.
Defisit neraca migas mengalami peningkatan menjadi sebesar 1,11 miliar dolar AS pada
Oktober dari 1,03 miliar dolar AS di September 2014, terutama karena turunnya ekspor
minyak mentah. Penurunan ekspor minyak tersebut sejalan dengan menyusutnya lifting
minyak nasional di Oktober 2014 menjadi 712 ribu barel per hari (bph) dari 895 ribu bph.
Sementara itu, dari neraca finansial, aliran masuk modal asing tetap besar
didorong oleh persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik. Secara
akumulatif hingga November 2014, aliran masuk portofolio asing ke pasar keuangan
Indonesia telah mencapai 17,75 miliar dolar AS. Pada bulan laporan, investor asing
mencatat total net beli pada SBI, SUN, dan saham sebesar 2,29 miliar dolar AS melanjutkan
net beli 0,83 miliar dolar AS pada Oktober 2014. Pembelian tersebut terutama dilakukan
investor asing pada instrumen SUN dengan net beli sebesar 1,70 miliar dolar AS (Grafik
2.11). Sementara itu, kepemilikan asing di bursa saham dan SBI juga meningkat masingmasing sebesar 0,43 miliar dolar AS dan 0,16 miliar dolar AS.
Grafik 2.10. Neraca Perdagangan
Grafik 2.11. Aliran Dana Nonresiden
Pada Aset Rupiah
Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa Indonesia pada akhir November
2014 menjadi 111,1 miliar dolar AS. Posisi cadangan devisa per akhir November 2014
tersebut dapat membiayai 6,6 bulan impor atau 6,4 bulan impor dan pembayaran utang
luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3
bulan impor. Level cadangan devisa tersebut dinilai mampu mendukung ketahanan sektor
eksternal dan menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
Perkembangan neraca perdagangan sampai dengan Oktober 2014 ini akan
berkontribusi positif dalam mendukung perbaikan kinerja transaksi berjalan
triwulan IV-2014 dan keseluruhan 2014. Perbaikan kinerja neraca perdagangan ke
depan diperkirakan akan didukung oleh peningkatan aktivitas ekspor seiring dengan
| 9
perbaikan ekonomi global dan tren penurunan harga minyak dunia yang dapat mendorong
berkurangnya tekanan pada defisit neraca migas. Secara keseluruhan, sebagai negara yang
net importer dalam minyak, penurunan harga minyak dunia akan berpengaruh positif
terhadap neraca pembayaran. Bank Indonesia akan terus mencermati risiko global dan
domestik yang dapat mempengaruhi prospek defisit transaksi berjalan dan ketahanan
eksternal.
Nilai Tukar Rupiah
Kuatnya apresiasi mata uang dolar AS sejalan dengan normalisasi kebijakan Fed
memberikan tekanan pelemahan terhadap hampir semua mata uang dunia,
termasuk Rupiah. Pada November 2014, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 0,21%
(mtm) ke level Rp12.167 per dolar AS, sejalan dengan melemahnya hampir semua mata
uang dunia. Secara point to point (ptp), rupiah terdepresiasi sebesar 0,98% dan ditutup
pada level Rp12.204 per dolar AS (Grafik 2.12). Perbaikan neraca perdagangan dan
terkendalinya inflasi pada bukan Oktober 2014 kurang mampu mengimbangi kuatnya
tekanan terhadap Rupiah dari apresiasi dolar AS tersebut. Pergerakan rupiah sejalan
dengan pergerakan mata uang lain di kawasan. Namun, dibandingkan dengan mata uang
negara-negara lain, tingkat depresiasi Rupiah termasuk yang relatif rendah. Pelemahan
rupiah lebih terbatas dibandingkan dengan Brasil, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, India
dan Filipina (Grafik 2.13).
Grafik 2.12. Pergerakan Nilai Tukar
Rupiah
Grafik 2.13. Perbandingan Nilai Tukar
Kawasan
Tekanan terhadap Rupiah terutama masih dipengaruhi oleh faktor eksternal. Hal
itu tampak dari pergerakan the Chicago Board Options Exchange Market Volatility Index
(VIX) (Grafik 2.14) yang lebih volatile dipicu kekhawatiran terhadap normalisasi kebijakan
The Fed. Kekhawatiran tersebut sejalan dengan terus berlanjutnya perbaikan ekonomi di
AS, sehingga mendorong permintaan US Dollar dan menopang penguatan Dolar Indeks
(Grafik 2.15).
| 10
Grafik 2.14. Indeks CDS Indo 5Y dan VIX
Grafik 2.15. Pergerakan Dolar Indeks
Namun, dari faktor domestik tekanan terhadap rupiah tertahan oleh optimisme
terhadap perekonomian ke depan pasca kebijakan reformasi subsidi yang
dilakukan oleh Pemerintah. Kenaikan harga BBM bersubsidi oleh pemerintah pada 18
November 2014 dan optimisme terhadap pemerintahan menjadi sentimen positif yang
menahan pelemahan rupiah lebih lanjut. Faktor domestik yang relatif baik tercermin dari
Credit Default Swap (CDS) yang cenderung stabil dan menurun.
Volatilitas rupiah relatif lebih terjaga dibandingkan dengan volatilitas nilai tukar
kawasan. Pada November 2014, volatilitas rupiah relatif terjaga, menurun dari bulan
sebelumnya (Grafik 2.16). Selain itu, volatilitas nilai tukar rupiah masih lebih rendah
dibandingkan dengan Ringgit Malaysia, Baht Thailand dan Won Korea Selatan (Grafik
2.17).
Grafik 2.16. Volatilitas Rupiah
Grafik 2.17. Volatilitas Nilai Tukar
Kawasan
Ke depan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar sesuai dengan
fundamentalnya. Sejumlah faktor sentimen dari perkembangan ekonomi global dan
domestik yang mempengaruhi pergerakan rupiah masih perlu dicermati. Dari eksternal,
tekanan terutama berasal dari risiko normalisasi kebijakan The Fed yang lebih cepat dengan
kenaikan suku bunga yang lebih besar, sehingga meningkatkan risiko pembalikan modal
asing. Di sisi lain, upside risk berasal dari optimisme berlanjutnya perbaikan fundamental
ekonomi domestik, berlanjutnya aliran masuk dana nonresiden seiring tersedianya ruang
untuk berinvestasi (headroom) dan terjaganya persepsi investor, serta ekspektasi
dipertahankannya kebijakan akomodatif oleh bank sentral utama dunia. Selain itu,
ekspektasi terhadap pergerakan rupiah cenderung membaik pasca kebijakan reformasi
BBM bersubsidi yang ditempuh pemerintah serta didukung optimisme terhadap kondisi
perekonomian domestik ke depan.
| 11
Inflasi
Inflasi yang terkendali dan rendah hingga Oktober 2014 kembali meningkat pada
November 2014, terutama didorong oleh dampak kenaikan harga BBM. Inflasi IHK
mencapai 6,23% (yoy) atau 1,50% (mtm), meningkat dari 4,83% (yoy) atau 0,27% (mtm)
pada bulan Oktober 2014. Peningkatan inflasi November terutama disebabkan tekanan
pada inflasi administered prices yang didorong oleh kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif
angkutan darat dan tarif tenaga listrik (TTL) serta inflasi volatile food yang didorong
kenaikan harga aneka cabai yang tinggi. Sebaliknya, inflasi inti relatif terjaga sebesar
4,21% (yoy) (Grafik 2.18).
Grafik 2.18. Perkembangan Inflasi
Tekanan inflasi volatile food meningkat terutama didorong kenaikan harga aneka
cabai. Inflasi volatile food meningkat dari sebelumnya sebesar 4,21% (yoy) atau -0,22%
(mtm) menjadi sebesar 7,96% (yoy) atau 2,37% (mtm), jauh lebih tinggi dari rata-rata
historisnya dalam tiga tahun terakhir (0,30%, mtm) (Grafik 2.19). Tingginya inflasi
kelompok volatile food terutama disebabkan oleh kenaikan harga aneka cabai yang
mencapai kisaran 40%-60%, jauh di atas historisnya dalam lima tahun terakhir sebesar 2%
untuk cabai merah dan deflasi untuk cabai rawit (Tabel 2.1). Tekanan harga aneka cabai
disebabkan dampak kekeringan di sejumlah sentra produksi seperti Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Nusa Tenggara, serta hambatan distribusi berupa banjir di Aceh dan longsor di
Sumatera Barat. Selain faktor cuaca, gejolak harga antar waktu yang sangat tinggi pada
aneka cabai disebabkan oleh pola tanam yang tidak terkelola dengan baik. Komoditas lain
yang terpantau mengalami kenaikan harga antara lain adalah beras, disebabkan
terbatasnya pasokan akibat kekeringan di beberapa wilayah sentra seperti Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Namun demikian, tekanan inflasi pada kelompok volatile food tersebut dapat
diimbangi dengan menurunnya harga beberapa komoditas pangan lainnya.
Penurunan harga terutama terjadi pada daging ayam dan ikan segar. Koreksi pada harga
daging ayam didorong oleh melimpahnya pasokan di tengah perlambatan permintaan.
Begitu pula dengan penurunan harga ikan segar yang didukung oleh cuaca yang kondusif
untuk menangkap ikan sehingga pasokan membaik. Koreksi harga terbatas (-0,02%, mtm)
juga terjadi pada komoditas daging sapi seiring dengan perlambatan permintaan di tengah
pasokan yang cukup melimpah. Meskipun mengalami koreksi, harga daging sapi saat ini
yang mendekati Rp100.000/kg, masih jauh di atas harga referensi Kementerian
Perdagangan (Rp76.000/kg) maupun harga berdasar struktur biaya sekitar Rp85.000/kg.
Hal ini menunjukkan mendesaknya kebijakan untuk memperkuat pasokan daging sapi.
| 12
Tabel 2.1. Penyumbang Inflasi/Deflasi
Kelompok Volatile Food
Grafik 2.19. Pola Inflasi/Deflasi
Volatile Food
Sementara itu, inflasi administered prices meningkat terutama didorong oleh
kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif angkutan darat dan tarif tenaga listrik (TTL).
Inflasi kelompok ini meningkat menjadi 11,39% (yoy) atau 4,20% (mtm) dari bulan
sebelumnya sebesar 7,57% (yoy) atau 1,34% (mtm) (Grafik 2.20). Implementasi kenaikan
harga BBM bersubsidi yang dilakukan di pekan ketiga November menyebabkan
kenaikannya belum sepenuhnya tercatat pada inflasi di bulan November. Selain itu,
kenaikan inflasi administered prices juga disebabkan oleh kenaikan TTL kelompok Rumah
Tangga (RT) tahap ke-3 per 1 November 2014 (Tabel 2.2).
Tabel 2.2. Penyumbang Inflasi
Kelompok Administered Prices
Grafik 2.20. Inflasi Administered Prices
Inflasi inti relatif terjaga akibat tekanan eksternal yang relatif minimal. Inflasi inti
tercatat sedikit meningkat dari 4,02% (yoy) atau 0,27% (mtm) pada bulan sebelumnya
menjadi 4,21% (yoy) atau 0,40% (mtm). Tekanan dari eksternal relatif minimal ditopang
oleh turunnya harga global. Hal ini tercermin dari melambatnya inflasi core traded dari
0,29% (mtm) menjadi 0,25% (mtm). Harga global baik pangan maupun nonpangan masih
terkoreksi disertai nilai tukar yang cenderung stabil (Grafik 2.21). Tekanan eksternal yang
relatif minimal tersebut mampu mengimbangi tekanan di kelompok inflasi inti yang
bersumber dari faktor domestik akibat cost push kenaikan harga BBM. Hal ini tercermin
dari inflasi inti nontraded yang meningkat dari 0,25% (mtm) pada bulan sebelumnya
menjadi 0,52% (mtm) (Grafik 2.22). Tekanan harga dari kelompok nontraded nonfood
yang utamanya dari sektor jasa juga cenderung meningkat (Grafik 2.23).
| 13
Grafik 2.21. Inflasi Inti Traded dan
Faktor Eksternal
Grafik 2.22. Inflasi Inti Nontraded
Secara umum, survey ekspektasi inflasi di kelompok pedagang menunjukkan
ekspektasi kenaikan inflasi yang bersifat temporer. Ekspektasi kenaikan harga pada 3
bulan yang akan datang meningkat cukup signifikan, antara lain terkait dengan mulai
menguatnya kekhawatiran kenaikan harga BBM serta perkiraan kenaikan harga distributor
akibat tingginya permintaan musiman akhir tahun (Natal dan Tahun Baru). Sementara itu,
ekspektasi kenaikan harga pada 6 bulan mendatang masih menurun, yang menunjukkan
sifat dampak BBM yang temporer (Grafik 2.24).
Grafik 2.23. Inflasi Sektor Jasa
Grafik 2.24. Ekspektasi Harga
Pedagang Eceran
Secara spasial, kenaikan inflasi tertinggi di bulan November terjadi di kawasan
Sumatera dan terendah di Kawasan Timur Indonesia. Kenaikan inflasi di kawasan
Sumatera tercatat sebesar 1,87% (mtm), lebih tinggi dari inflasi nasional sebesar 1,50%
(mtm). Inflasi di Sumatera dipicu oleh meningkatnya harga BBM bersubsidi dan kenaikan
harga beberapa komoditi pangan strategis, khususnya cabai merah. Di sisi lain, inflasi
Kawasan Timur Indonesia tercatat sebesar 1,28% (mtm), lebih rendah dari inflasi nasional,
didorong oleh koreksi harga pada komoditas ikan segar dan daging di beberapa daerah
seperti Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Sementara itu, kenaikan inflasi di
kawasan Jawa tercatat sebesar 1,46% (mtm) dan Jakarta sebesar 1,48% (mtm). Selain
dipengaruhi oleh harga BBM bersubsidi dan cabai merah, inflasi Jawa juga dipengaruhi
oleh kenaikan biaya administrasi transfer uang dan kartu ATM yang mulai berlaku pada
awal November 2014 (Gambar 2.1).
| 14
Gambar 2.1 Peta Sebaran Inflasi IHK (%, mtm)
Meskipun meningkat pada akhir 2014, inflasi pada 2015 diperkirakan menurun
menuju kisaran sasaran 4±1%. Pasca kenaikan harga BBM bersubsidi pada 18 November
2014, inflasi pada akhir 2014 diperkirakan meningkat dan berada pada kisaran 7,7%8,1%. Namun, dampak kenaikan harga BBM tersebut diperkirakan akan berlangsung
secara terkendali dan temporer sekitar tiga bulan, dengan puncaknya pada bulan
Desember 2014. Selain dampak turunan kenaikan harga BBM pada tarif angkutan, risiko
lain yang berpotensi meningkatkan tekanan inflasi bersumber dari kenaikan harga pangan
seperti cabai dan beras. Menghadapi hal tersebut, langkah-langkah koordinasi dengan
Pemerintah perlu diperkuat, khususnya dalam meminimalkan dampak lanjutan (second
round effect) kenaikan harga BBM bersubsidi, khususnya terkait tarif transportasi. Selain
itu, koordinasi juga perlu difokuskan pada upaya memperkuat pasokan bahan pangan agar
tidak memberikan tambahan tekanan kenaikan harga. Dengan langkah-langkah tersebut
inflasi pada akhir tahun 2015 diperkirakan terkendali dalam kisaran 4±1%.
Perkembangan Moneter
Perkembangan suku bunga dan besaran moneter masih sejalan dengan kebijakan
yang ditempuh oleh Bank Indonesia. Selama Oktober 2014, suku bunga kredit
perbankan masih mengalami peningkatan. Di sisi lain, suku bunga deposito tercatat
menurun yang merupakan konfirmasi terhadap indikasi berkurangnya tekanan persaingan
antar bank melalui suku bunga simpanan. Sementara itu, kredit yang merupakan bagian
dari M2 juga mencatat pertumbuhan yang terus melambat sejalan dengan berlanjutnya
moderasi pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian, suku bunga PUAB cenderung stabil
dan likuiditas perbankan tetap terjaga.
Suku bunga PUAB sepanjang November 2014 sedikit menurun dan tetap berada
pada koridor bawah suku bunga. Rata-rata tertimbang (RRT) suku bunga PUAB O/N
pada bulan November 2014 tercatat sebesar 5,80%, sedikit menurun dibandingkan
dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,82%. Hal ini menyebabkan spread suku
bunga PUAB O/N terhadap DF O/N menjadi 5 bps, sedikit menyempit dibandingkan bulan
sebelumnya yang tercatat 7 bps. Di sisi lain, spread suku bunga PUAB O/N terhadap BI Rate
sedikit melebar menjadi 180 bps dari 168 bps (Grafik 2.25).
| 15
Sementara itu, rata-rata total volume PUAB bulan November 2014 relatif stabil.
Mkeskipun volume PUAB relatif stabil, transaksi PUAB menurun menjadi 2.401 dari 2.590.
Sebaliknya, rata-rata volume DF O/N turun menjadi Rp141.8 triliun dari Rp147.2 triliun
pada bulan sebelumnya (Grafik 2.26).
Likuiditas perbankan membaik. Likuiditas perbankan pada bulan November membaik
ditopang oleh meningkatnya suplai dari ekspansi operasi keuangan pemerintah (NCG).
Ekspansi keuangan pemerintah tersebut sejalan dengan pola tahunannya.
9
%
rPUAB O/N
rLF
rDF O/N
%
rBI Rate
9
Jul‐14
Oct‐14
Jan‐14
Apr‐14
Jul‐13
Oct‐13
Jan‐13
Apr‐13
3
Jul‐12
3
Oct‐12
4
Jan‐12
4
Apr‐12
5
Jul‐11
5
Oct‐11
6
Jan‐11
Apr‐11
6
Jul‐10
7
Oct‐10
7
Jan‐10
8
Apr‐10
8
Grafik 2.25. Suku Bunga PUAB O/N
Grafik 2.26. Suku Bunga PUAB O/N &
Vol DF O/N
Suku bunga kredit perbankan masih terus meningkat, sementara suku bunga
deposito menurun. Pada Oktober 2014, rata-rata tertimbang suku bunga kredit
meningkat 5 bps menjadi 12,92% dari 12,87%. Di sisi lain, suku bunga deposito 1 bulan
turun sebesar 24 bps ke level 8,24% dari 8,48%. Hal ini merupakan konfirmasi terhadap
indikasi berkurangnya tekanan persaingan suku bunga simpanan antar bank. Berdasarkan
jenis penggunaannya, peningkatan suku bunga kredit terutama didorong oleh suku bunga
Kredit Konsumsi (KK) dan Kredit Investasi (KI) yang masing-masing naik sebesar 5 bps
menjadi menjadi 12,43% dan 12,39% (Grafik 2.25). Sementara itu, Kredit Modal Kerja
(KMK) naik sebesar 4 bps menjadi 12,82%. Dengan perkembangan ini, maka spread suku
bunga kredit dan deposito 1 bulan melebar menjadi 468 bps dari 439 bps (Grafik 2.26).
Grafik 2.27. Suku Bunga
KMK, KI dan KK
Grafik 2.28. Selisih Suku Bunga
Perbankan
Likuiditas perekonomian dalam arti luas (M2) tumbuh lebih tinggi dibandingkan
periode sebelumnya. Posisi M2 pada Oktober 2014 tercatat sebesar Rp4.024,2 triliun,
atau tumbuh 12,5% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan September 2014 yang
sebesar 11,9% (yoy).
| 16
Berdasarkan komponennya, peningkatan pertumbuhan tersebut terutama berasal
dari komponen Uang Kuasi. Pertumbuhan komponen M1 (Uang kartal dan simpanan
giro Rupiah) dan Uang Kuasi masing-masing tercatat sebesar 9,8% (yoy) dan 13,7% (yoy),
meningkat dari bulan sebelumnya yang sebesar 9,4% (yoy) dan 13,1% (yoy) (Grafik 2.29).
Pertumbuhan M1 sendiri utamanya didorong oleh peningkatan giro Rupiah Pemda sejalan
dengan ekspansi operasi keuangan Pemerintah (Grafik 2.30).
%yoy
20
15
10
5
M2
M1
Uang Kuasi
Jan‐11
Mar‐11
May‐11
Jul‐11
Sep‐11
Nov‐11
Jan‐12
Mar‐12
May‐12
Jul‐12
Sep‐12
Nov‐12
Jan‐13
Mar‐13
May‐13
Jul‐13
Sep‐13
Nov‐13
Jan‐14
Mar‐14
May‐14
Jul‐14
Sep‐14
0
Grafik 2.29. Pertumbuhan M2 dan
Komponennya
40
35
30
25
20
15
10
5
0
‐5
%yoy
COB
M1
Giro Rp
Jan‐11
Mar‐11
May‐11
Jul‐11
Sep‐11
Nov‐11
Jan‐12
Mar‐12
May‐12
Jul‐12
Sep‐12
Nov‐12
Jan‐13
Mar‐13
May‐13
Jul‐13
Sep‐13
Nov‐13
Jan‐14
Mar‐14
May‐14
Jul‐14
Sep‐14
25
Grafik 2.30. Pertumbuhan M1 dan
Komponennya
Berdasarkan faktor yang mempengaruhinya, naiknya pertumbuhan M2 pada bulan
Oktober 2014 dipengaruhi oleh ekspansi operasi keuangan pemerintah ditengah
pertumbuhan kredit yang masih melambat. Sesuai pola tahunannya, ekspansi
keuangan Pemerintah terjadi pada triwulan terakhir sejalan dengan peningkatan aktivitas
belanja Pemerintah menjelang akhir tahun. Sementara itu, kredit perbankan1 pada Oktober
2014 tercatat sebesar Rp3.587,4 triliun, tumbuh 12,4% (yoy), melambat dibandingkan
September 2014 (12,6%;yoy). Perlambatan pertumbuhan kredit ini sejalan dengan
moderasi pertumbuhan ekonomi (Grafik 2.31).
Grafik 2.31. Pertumbuhan M2 dan
Faktor-faktor yang Memengaruhinya
Industri Perbankan
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga ditopang oleh industri perbankan yang
solid sehingga mendukung proses moderasi pertumbuhan ekonomi. Risiko kredit,
risiko likuiditas dan risiko pasar pada industri perbankan relatif stabil dan terkendali. Selain
1
Konsep moneter
| 17
itu, kondisi permodalan juga masih kuat untuk memelihara industri perbankan secara
keseluruhan.
Pertumbuhan kredit pada Oktober 2014 masih dalam tren melambat, sejalan
dengan moderasi permintaan domestik. Pada Oktober 2014, kredit2 tumbuh 12.6%
(yoy), melambat dibandingkan dengan pertumbuhan September 2014 yang sebesar 13,2%
(yoy). Perlambatan kredit utamanya didorong oleh laju Kredit Modal Kerja (KMK), dengan
pangsa 48% dari total kredit, yang menurun menjadi 12.8% (yoy) dibandingkan dengan
bulan sebelumnya sebesar 13,3%. Pertumbuhan Kredit Investasi (KI), dengan pangsa 24%
dari total kredit, juga tercatat menurun menjadi 14.9% (yoy) dari bulan sebelumnya
sebesar 16,4% (yoy). Demikian pula pertumbuhan Kredit Konsumsi, dengan pangsa 28%
dari total kredit, yang menurun menjadi 10,4% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya
sebesar 10,1% (Grafik 2.32).
Secara sektoral, perlambatan kredit terjadi di hampir semua sektor termasuk
sektor-sektor utama seperti perdagangan, hotel, restoran (PHR) dan industri
pengolahan. Pertumbuhan kredit di sektor PHR menurun 12.8% (yoy) dari bulan
sebelumnya 13.9% (yoy), sejalan dengan melambatnya sektor PHR. Di sisi lain, sektor
industri pengolahan melambat 17.4% (yoy) dari 16.1% (yoy) pada bulan sebelumnya.
Grafik 2.32. Pertumbuhan Kredit
Menurut Penggunaan
Grafik 2.33. Pertumbuhan Kredit
Menurut Sektor Ekonomi
Sementara itu, pada Oktober 2014, pertumbuhan DPK meningkat dipicu oleh
peningkatan giro. DPK3 tumbuh 13.9% (yoy) pada Oktober 2014, lebih tinggi
dibandingkan September 2014 yang sebesar 13.3% (yoy). Peningkatan pertumbuhan DPK
ini terutama dikontribusi oleh giro yang tercatat tumbuh 9.0% (yoy) dari 7.0% (yoy) pada
bulan sebelumnya. Pertumbuhan deposito juga mengalami peningkatan menjadi 21.5%
(yoy) dari 21.4% (yoy) sementara pertumbuhan tabungan stabil pada posisi 7.1% (yoy)
dibandingkan dengan bulan sebelumnya (Grafik 2.34).
Grafik 2.34. Pertumbuhan DPK
2
3
Konsep perbankan
Konsep Perbankan
| 18
Di tengah tren moderasi permintaan domestik, ketahanan perbankan yang
tercermin dari unsur permodalan bank tetap terjaga, diiringi risiko kredit yang
relatif terkendali. Pada Oktober 2014, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy
Ratio/CAR) masih tinggi, yaitu sebesar 19,6%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Angka
ini sedikit meningkat dibandingkan dengan CAR pada akhir bulan sebelumnya yang
sebesar 19,4%. Kondisi ini mencerminkan daya tahan perbankan yang masih kuat untuk
mengatasi tekanan dan gejolak termasuk berlanjutnya tren kenaikan suku bunga
perbankan. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah
dan stabil di kisaran 2,00% (Tabel 2.3).
Tabel 2.3. Kondisi Umum Perbankan
2013
Primary Indicators
Total Aset
DPK
Kredit*
LDR*
NPLs Bruto*
CAR
NIM
ROA
(T Rp)
(T Rp)
(T Rp)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Okt
4,717.0
3,520.9
3,159.5
89.7
1.9
18.4
5.5
3.0
Nov
4,817.8
3,563.4
3,214.4
90.2
1.9
18.6
5.5
3.0
2014
Des
4,954.5
3,664.0
3,292.9
89.7
1.8
18.4
4.9
3.1
Jan
4,880.5
3,594.7
3,258.4
90.6
1.9
19.6
4.1
2.8
Feb
4,888.8
3,603.6
3,267.8
90.7
2.0
19.8
4.1
2.7
Mar
4,933.0
3,618.1
3,306.9
91.4
2.0
19.8
4.3
2.9
Apr
5,008.1
3,694.8
3,361.3
91.0
2.1
19.4
4.3
2.9
Mei
5,097.5
3,763.5
3,403.1
90.4
2.2
19.5
4.2
2.9
Jun Jul Ags Sep
5,198.0 5,121.1 5,218.9 5,418.8
3,834.5 3,778.4 3,855.9 3,995.8
3,468.2 3,495.0 3,498.4 3,561.3
90.5 92.5 90.7 89.1
2.2
2.2
2.3
2.3
19.3 19.3 19.3 19.4
4.2
4.2
4.2
4.2
2.9
2.8
2.8
2.8
Okt
5,445.7
4,011.4
3,558.1
88.7
2.3
19.6
4.2
2.8
* tanpa channeling
Pasar Saham dan Pasar Surat Berharga Negara
Perkembangan pasar saham domestik hingga November 2014 menunjukkan
kinerja positif seiring dengan perbaikan data ekonomi domestik di tengah
perlambatan ekonomi dunia. IHSG tercatat diperdagangkan pada level 5.149,89 (28
November 2014) atau naik 1,20% dibandingkan Oktober 2014 sebesar 5.089,55 (Grafik
2.35). Penguatan ini terutama didukung oleh optimisme terhadap perekonomian Indonesia
setelah rilis data neraca perdagangan yang mengalami perbaikan dan inflasi yang relatif
terkendali di November 2014. Dibandingkan dengan kinerja bursa saham global, IHSG
secara bulanan menunjukkan kinerja yang lebih baik dibanding bulan lalu terutama bila
dibandingkan dengan bursa di beberapa negara kawasan yang mencatatkan kinerja yang
negatif, seperti Malaysia dan Vietnam.
Selama November 2014, harga saham pada sebagian besar sektor ekonomi
mengalami penguatan dibandingkan Oktober 2014. Peningkatan terbesar tercatat
pada sektor properti, sejalan dengan peningkatan investasi bangunan dengan kenaikan
sebesar 6,8% (Grafik 2.36). Peningkatan juga terjadi pada sektor pertanian.
| 19
World
EM ASIA
US (Dow Jones)
Japan (Nikkei)
England (FTSE)
India (SENSEX)
Hong Kong (Hang Seng)
0,0%
Shanghai (SHCOMP)
Strait Times (STI)
Kuala Lumpur (KLCI)
‐1,8%
Philippine
Thailand (SET) ‐5,7%
Vietnam
Indonesia (IHSG)
‐6%
2,5%
1,7%
2,5%
Property
Pertanian
Perdagangan
Konsumsi
Aneka Industri
Industri Dasar
Keuangan
Pertambangan
Infrastruktur
Development
Main
LQ45
Indonesia
6,4%
2,7%
3,0%
10,9%
2,3%
1,1%
0,6%
‐1%
1,2%
4%
9%
14%
Grafik 2.35. IHSG dan Indeks Bursa
Global
6,8%
6,3%
‐3,0%
2,5%
3,9%
0,7%
1,5%
‐0,9%
‐0,6%
‐1,4%
1,5%
2,1%
1,2%
‐5%
0%
5%
10%
Grafik 2.36. Indeks Sektoral November
2014
Selama November 2014, investor asing tercatat membukukan net beli
dibandingkan bulan sebelumnya. Optimisme investor asing terhadap perekonomian
domestik terkait rilis data neraca perdagangan yang mengalami perbaikan dan inflasi yang
relatif terkendali di November 2014 dan seiring dengan sentimen positif global berhasil
menambah kepemilikan investor asing di pasar saham. Investor asing tercatat melakukan
net beli sebesar Rp5,3 triliun di bulan November atau mengalami peningkatan
dibandingkan bulan sebelumnya yang mengalami net jual sebesar Rp3,2 triliun. Sampai
dengan November posisi kepemilikan saham oleh non residen sebesar 44% dan lokal
sebesar 56% (Grafik 2.37).
Kinerja pasar SBN juga menunjukkan peningkatan seiring dengan sentimen positif
terhadap perekonomian indonesia. Selama November 2014, yield SBN menurun di
semua tenor. Secara keseluruhan yield SUN bergerak turun ke level 7,68%. Yield jangka
pendek turun 22 bps menjadi 7,25%, menengah dan panjang masing-masing naik 33 poin
dan 44 poin ke level 7,71% dan 8,18%. Yield benchmark 10 tahun turun ke level 7,70 %
dari 8,10% (Grafik 2.38).
IHSG
6000
Net Beli/Jual Asing (T)
Net Beli/Jual Asing
IHSG
%
15
5500
5149,9
5
Sumber: Bloomberg
8,50
(5)
8,00
(15)
7,50
(25)
7,00
(35)
10
5
5000
bps
Yield SBN Per Tenor (Generic)
9,00
20
0
-5
4500
-10
-15
4000
-20
6,50
(45)
Perubahan Yield (RHS)
-25
Jan-13
Feb-13
Mar-13
Apr-13
May-13
Jun-13
Jul-13
Aug-13
Sep-13
Oct-13
Nov-13
Dec-13
Jan-14
Feb-14
Mar-14
Apr-14
May-14
Jun-14
Jul-14
Aug-14
Sep-14
Oct-14
Nov-14
3500
Grafik 2.37. Kinerja IHSG dan Net
Beli/Jual Asing
30‐Oct‐14
28‐Nov‐14
6,00
(55)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
15
20
30
Tenor
Grafik 2.38. Perubahan Yield Bulanan
(mtm)
Sejalan dengan membaiknya pasar SBN, porsi asing di SBN juga meningkat. Selama
November, Investor asing melakukan net beli SBN sebesar Rp21,26 triliun. Dengan
perkembangan tersebut, porsi kepemilikan asing pada pasar SBN naik 4,62% menjadi
sebesar 38,30% pada bulan November (Grafik 2.39).
| 20
Net Foreign Buy/Sell
Yield SUN (RHS)
%
15,0
13,0
11,0
9,0
7,0
5,0
3,0
1,0
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nov
Dec
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
August
Sept
Okt
Nov
Rp. Trillion
25
15
5
(5)
(15)
(25)
(35)
2013
2014
Grafik 2.39. Yield SBN dan
Jual/Beli Asing Neto Bulanan
Pembiayaan Non Bank
Pembiayaan ekonomi non bank tercatat lebih rendah jika dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya. Selama November 2014, total pembiayaan
melalui penerbitan saham perdana, right issue, obligasi korporasi, medium term notes
(MTN), promissory notes, negotiable certificate of deposits (NCD) dan instrumen keuangan
lainnya mencapai Rp7,4 triliun, lebih rendah dibandingkan dengan November 2013 yang
mencapai Rp15,0 triliun. Adapun total pembiayaan non bank dari Januari hingga
November 2014 mencapai Rp90,3 triliun. Berdasarkan komponennya, pembiayaan
nonbank pada September 2014 didominasi oleh penerbitan obligasi korporasi (Tabel 2.4).
Total pembiayaan melalui saham hingga November 2014 mencapai Rp34 triliun
atau turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013. Pembiayaan
melalui penerbitan saham perdana sebesar Rp7,7 triliun atau turun sebesar 47,9%.
Sementara right issue juga mengalami penurunan menjadi 26,3T dari 40,8T. Penurunan ini
sejalan dengan berkurangnya emiten yang melakukan IPO maupun right issue selama
tahun 2014 (hingga November) yaitu sebanyak 20 perusahaan atau turun dibandingkan
periode yang sama tahun lalu yang mencapai 30 perusahaan.
Tabel 2.4. Pembiayaan Non Bank
Rp Triliun
Nov Des Q1
Nonbank
15.0 10.7 16.3
Saham
9.5
6.6 2.8
w/o Emiten sektor keuangan
1.6
4.0 0.3
Obligasi
4.5
3.3 12.7
w/o Emiten sektor keuangan
3.3
2.1 9.9
MTN and Promissory Notes + NCD
1.0
0.8 0.8
w/o Emiten sektor keuangan
0.3
0.5 0.7
2013
2014
Q2 Q3 Q4 Total Nov Q1 Q2 Q3 Q4* Total
58.3 3.6 34.7 112.9 7.4 23.2 41.1 9.0 17.0 90.3
29.3 2.8 22.7 57.5 0.6 8.8 21.3 0.9 3.0 34.0
6.0 1.2 9.1 16.6 0.0 3.1 4.3 0.1 0.0
7.6
27.7 0.3 9.9 50.5 3.8 12.8 16.0 6.7 7.8 43.2
13.5 0.0 7.5 30.8 3.8 6.4 8.2 2.3 7.8 24.7
1.3 0.6 2.2
4.9 3.1 1.6 3.8 1.4 6.2 13.1
1.3 0.1 1.1
3.2 0.6 1.2 3.2 1.2 1.9
7.6
Sumber: OJK dan BEI (diolah)
| 21
3
RESPONS KEBIJAKAN MONETER
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 11 Desember 2014
memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,75%, dengan suku bunga
Lending Facility dan suku bunga Deposit Facility masing-masing tetap pada level
8,00% dan 5,75%. Tingkat suku bunga tersebut masih konsisten untuk memastikan
tekanan inflasi jangka pendek pasca kebijakan realokasi subsidi BBM yang ditempuh
Pemerintah akan tetap terkendali dan temporer sehingga akan kembali menuju ke sasaran
4±1% pada 2015. Kebijakan tersebut juga sejalan dengan langkah-langkah stabilisasi yang
ditempuh selama ini untuk mengendalikan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih
sehat. Bank Indonesia terus memperkuat bauran kebijakan untuk memastikan stabilitas
makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan moneter yang cenderung
ketat tetap dilanjutkan untuk mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan,
sementara kebijakan makroprudensial yang akomodatif ditempuh agar pengetatan
moneter tersebut tidak menimbulkan risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. Kebijakan
sistem pembayaran diarahkan untuk mendukung penyaluran program sosial Pemerintah
dan memperluas Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT). Selain itu, koordinasi kebijakan
antara Bank Indonesia dan Pemerintah juga terus diintensifkan untuk menjaga stabilitas
makroekonomi, khususnya dalam mengendalikan tekanan inflasi pasca kebijakan realokasi
subsidi BBM dan defisit transaksi berjalan, serta mempercepat kebijakan reformasi
struktural untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan.
Sebelumnya, pada tanggal 18 November 2014, Rapat Dewan Gubernur Bank
Indonesia memutuskan untuk memperkuat bauran kebijakan dalam merespons
kebijakan reformasi subsidi BBM yang ditempuh Pemerintah sebagai berikut:
1. Menaikkan suku bunga BI Rate sebesar 25 bps menjadi 7,75%, dengan suku bunga
Lending Facility naik sebesar 50 bps menjadi 8,00% dan suku bunga Deposit Facility
tetap pada level 5,75% berlaku efektif sejak 19 November 2014. Kenaikan BI Rate
ditempuh untuk menjangkar ekspektasi inflasi dan memastikan bahwa tekanan inflasi
pasca kenaikan harga BBM bersubsidi tetap terkendali, temporer, dan dapat segera
kembali pada lintasan sasaran yaitu 4±1% pada tahun 2015. Kebijakan tersebut juga
konsisten dengan kemajuan dalam mengelola defisit transaksi berjalan ke arah yang
lebih sehat. Pelebaran koridor suku bunga operasi moneter dimaksudkan untuk
menjaga kecukupan likuiditas dan mendorong pendalaman pasar keuangan.
2. Mempersiapkan penyesuaian kebijakan makroprudensial guna memperluas sumbersumber pendanaan bagi perbankan sekaligus mendukung pendalaman pasar
keuangan serta mendorong penyaluran kredit ke sektor-sektor produktif yang prioritas.
Kebijakan ini antara lain meliputi 1) Perluasan cakupan definisi simpanan dengan
memasukkan surat-surat berharga yang diterbitkan bank dalam perhitungan LDR
dalam kebijakan GWM-LDR, dan 2) pemberian insentif untuk mendorong penyaluran
kredit UMKM.
3. Memperkuat kebijakan sistem pembayaran untuk mendukung kelancaran dan
perluasan penyaluran program-program bantuan dari Pemerintah kepada masyarakat
guna mengurangi dampak kenaikan harga BBM melalui penggunaan uang elektronik
dan implementasi Layanan Keuangan Digital (LKD).
4. Melanjutkan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai kondisi fundamentalnya. Kebijakan
reformasi subsidi BBM diyakini dapat memperkuat konfiden pasar dan perbaikan
| 22
transaksi berjalan sehingga akan lebih kondusif pada pergerakan nilai tukar Rupiah ke
depan.
5. Memperkuat langkah koordinasi bersama Pemerintah baik Pusat maupun Daerah
dengan fokus pada upaya untuk meminimalkan potensi tekanan inflasi khususnya dari
sisi kenaikan tarif angkutan dan terjaganya harga pangan. Penguatan koordinasi juga
diintensifkan untuk peningkatan stimulus fiskal ke sektor produktif dan kebijakan
reformasi struktural lanjutan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja.
Bank Indonesia meyakini bahwa penguatan bauran kebijakan serta koordinasi yang erat
dengan Pemerintah mampu menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Bank Indonesia menyambut baik kebijakan reformasi fiskal pemerintah untuk
realokasi anggaran subsidi BBM ke sektor yang produktif. Kebijakan reformasi fiskal
ini merupakan langkah mendasar dan sebagai bagian penting dari reformasi struktural
dalam memperkuat fundamental perekonomian Indonesia. Meskipun terjadi peningkatan
harga dalam jangka pendek, dengan bauran kebijakan Bank Indonesia dan koordinasi
kebijakan yang erat dengan Pemerintah tekanan inflasi diyakini akan tetap terkendali dan
bersifat temporer. Kebijakan tersebut diyakini akan mengurangi impor minyak sehingga
dapat mengurangi defisit transaksi berjalan khususnya di sisi defisit neraca perdagangan
migas yang selama ini masih besar. Kebijakan Pemerintah dalam penyaluran bantuan
kepada masyarakat juga akan memitigasi penurunan daya beli masyarakat sehingga tetap
dapat kondusif bagi pertumbuhan konsumsi swasta. Lebih dari itu, realokasi anggaran
subsidi ke pengeluaran untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur dan berbagai
kegiatan produktif akan meningkatkan kapasitas fiskal pemerintah dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan. Secara keseluruhan, Bank
Indonesia meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2015 dapat mencapai 5,4-5,8 %
dan akan lebih tinggi dalam jangka menengah-panjang dengan stabilitas makroekonomi
dan sistem keuangan yang tetap terjaga.
| 23
INDIKATOR TERKINI
SEKTOR KEUANGAN
SUKU BUNGA & SAHAM
Suku bunga SBI 9 bln 1)
Suku bunga deposito 1 bln
Suku bunga deposito 3 bln
JIBOR satu minggu 2)
IHSG Indeks 3)
2)
2)
2014
Jan
7.23
7.89
7.95
6.44
4,419
Feb
7.17
7.98
8.03
6.51
4,620
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Ags
Sep
Okt
7.13
7.99
8.28
6.55
4,768
7.14
8.10
8.34
6.56
4,840
7.15
8.16
8.90
6.56
4,894
7.14
8.32
8.34
6.55
4,879
7.09
8.41
9.19
6.46
5,089
6.97
8.48
9.45
6.42
5,137
6.88
8.47
9.38
6.21
5,138
6.85
8.23
9.25
6.01
5,090
BESARAN MONETER (miliar Rp)
Uang Primer
M1(C+D)
Uang Kartal (C)
Uang giral (D)
Uang Beredar Luas (M2 = C+D+T+S)
Uang kuasi (T)
Uang kuasi (Rupiah)
Deposito
Tabungan Total
Deposito (Valas)
Simpanan Giro Valuta Asing
Surat Berharga Selain Saham (S)
781,500
842,669
380,061
462,608
3,649,270
2,784,379
2,325,640
1,207,618
1,118,022
222,396
236,344
22,223
755,167
771,365
834,526
853,494
367,645 377,429
466,881 476,065
3,639,494 3,656,440
2,783,476 2,781,019
2,332,776 2,347,505
1,222,600 1,251,956
1,110,176 1,095,549
213,893 213,875
236,806 219,639
21,492
21,928
778,580
880,464
372,335
508,129
3,732,093
2,824,253
2,387,641
1,283,873
1,103,768
213,269
223,343
21,220
788,723
906,746
380,493
526,253
3,784,518
2,855,355
2,384,784
1,290,519
1,094,265
229,066
241,505
22,417
794,794
945,784
381,704
564,080
3,861,659
2,899,117
2,432,932
1,327,909
1,105,023
238,735
227,451
16,758
892,146
918,530
452,752
465,778
3,885,137
2,955,221
2,504,468
1,361,158
1,143,310
233,105
217,648
17,684
823,341
895,898
399,341
496,557
3,885,137
2,976,544
2,522,960
1,392,365
1,130,595
232,564
221,020
16,873
817,230
949,173
395,234
553,939
4,563,795
3,044,547
2,473,236
1,417,919
1,142,883
247,800
235,945
16,136
849,940
943,074
398,838
544,236
4,569,955
3,064,926
2,498,061
1,444,309
1,138,715
236,188
246,873
17,719
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Uang Beredar
Aktiva Luar Negeri Bersih
Aktiva Dalam Negeri Bersih
Tagihan Bersih kepada Pemerintah Pusat
Tagihan Kepada Sektor Lainnya
3,649,270
1,035,758
2,613,512
345,714
3,490,575
3,639,494 3,656,440
1,013,467 987,705
2,626,027 2,668,735
318,741 308,681
3,503,344 3,544,990
3,732,093
1,015,014
2,717,079
314,193
3,605,194
3,784,518
1,061,751
2,722,767
290,864
3,644,823
3,861,659
1,077,147
2,784,513
325,346
3,709,913
3,891,434
1,056,409
2,835,025
293,751
3,739,381
3,889,315
1,068,956
2,820,359
306,326
3,748,438
4,009,857
1,114,215
2,895,641
345,783
3,822,938
4,024,153
1,096,264
2,927,889
380,037
3,844,355
PERTUMBUHAN BESARAN MONETER (%,YOY)
Uang Primer
M1(C+D)
Uang Kartal (C)
Uang giral (D)
Uang Beredar Luas (M2 = C+D+T+S)
Uang kuasi (T)
Uang kuasi (Rupiah)
Deposito
Tabungan Total
Deposito (Valas)
Simpanan Giro Valuta Asing
Surat Berharga Selain Saham (S)
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Uang Beredar
Aktiva Luar Negeri Bersih
Aktiva Dalam Negeri Bersih
Tagihan Bersih kepada Pemerintah Pusat
Tagihan Kepada Sektor Lainnya
17.69
6.95
16.27
0.34
11.64
12.72
10.83
11.70
9.91
28.10
19.32
105.22
15.21
6.09
14.34
0.39
10.94
12.10
10.62
11.14
10.04
26.00
15.89
97.89
16.01
5.35
13.95
-0.59
10.05
11.23
10.36
11.23
9.39
17.27
15.09
80.74
16.71
5.79
14.78
0.05
11.04
12.26
11.22
13.29
8.90
19.56
17.14
64.47
15.73
10.19
13.89
7.65
10.45
10.33
9.62
11.56
7.41
16.93
11.45
46.19
14.91
10.16
9.94
10.31
13.13
13.99
13.74
18.98
8.02
20.15
10.69
44.53
18.88
4.38
17.93
-6.10
10.80
13.31
14.53
19.91
8.72
10.82
3.13
-3.96
15.40
4.69
11.11
0.04
10.93
13.35
15.46
23.01
7.35
5.14
0.66
-18.45
14.19
9.39
9.76
9.12
27.34
13.10
11.49
23.41
6.88
6.44
-2.00
-33.85
15.75
10.15
9.63
10.53
27.77
13.62
11.63
23.63
6.48
7.83
2.49
-22.84
11.64
7.87
13.21
-8.63
20.60
10.94
8.08
12.09
-11.79
19.78
10.05
4.26
12.36
-15.87
19.20
11.04
7.96
12.24
-7.94
19.06
10.45
13.48
9.31
-9.90
17.22
13.13
29.18
7.94
-1.67
16.63
10.98
24.33
6.71
-22.10
15.57
11.05
21.55
7.53
-9.99
14.08
11.88
14.62
10.86
0.98
13.02
12.51
14.69
11.71
12.69
13.49
1.07
8.22
0.26
7.75
0.08
7.32
-0.02
7.25
0.16
7.32
0.43
6.70
0.93
4.53
0.47
3.99
0.27
4.53
0.47
4.83
12,210
11,971
11,366
11,609
11,905
10,334
11,360
12,551
10,529
11,562
11,641
12,562
11,675
12,448
11,064
11,855
12,624
12,304
11,578
11,628
9,909
11,698
11,877
11,394
12,185
12,730
11,962
12,085
12,964
11,796
HARGA
Inflasi bulanan (%, mtm)
Inflasi tahunan (%, yoy)
SEKTOR EKSTERNAL
Rp/USD (akhir periode, nilai tengah)
Ekspor Barang Non migas (f.o.b, juta USD) 4)
Impor Barang Non migas (c & f, juta USD) 4)
INDIKATOR KUARTALAN
Pertumbuhan PDB (%, yoy)
Konsumsi
Investasi (PMTDB)
Perubahan Stok
Ekspor
Impor
1) minggu terakhir
2014
Tw I
Tw II
Tw III
5.22
5.41
5.99
15.98
-0.44
-0.73
5.12
4.84
5.21
-8.93
-0.76
-5.02
5.01
5.31
4.02
150.29
-0.70
-3.63
2) rata-rata tertimbang
3) penutupan pada akhir periode
4) closed file
Sumber : Bank Indonesia, kecuali IHK, ekspor/impor dan PDB dari BPS
Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) dipublikasikan secara bulanan oleh Bank Indonesia setelah Rapat Dewan
Gubernur (RDG) pada setiap bulan Januari, Maret, April, Juni, Juli, September, Oktober dan Desember. Laporan ini
dimaksudkan sebagai media bagi Dewan Gubernur Bank Indonesia untuk memberikan penjelasan kepada
masyarakat luas mengenai evaluasi kondisi moneter terkini atas asesmen dan prakiraan perekonomian Indonesia
serta respons kebijakan moneter Bank Indonesia yang dipublikasikan dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM)
secara triwulanan pada setiap bulan Februari, Mei, Agustus, dan November. Secara rinci, TKM menyampaikan
hasil evaluasi atas perkembangan terkini mengenai inflasi, nilai tukar, dan kondisi moneter selama bulan laporan,
serta keputusan respons kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:
Divisi Pengaturan dan Komunikasi Kebijakan
Grup Kebijakan Moneter
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Telp: +62 21 2981 8334/6902
Fax: +62 21 345 2489
Email: [email protected]
Website: http//www.bi.go.id
Dewan Gubernur
Agus D.W. Martowardojo – Gubernur
Mirza Adityaswara – Deputi Gubernur Senior
Halim Alamsyah – Deputi Gubernur
Ronald Waas – Deputi Gubernur
Perry Warjiyo – Deputi Gubernur
Hendar – Deputi Gubernur
| 24
Download