URGENSI PARADIGMA BARU PKn_triyanto

advertisement
3
REVITALISASI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNTUK PEMBANGUNAN MORAL BANGSA
Dr. Triyanto, SH. MHum.
Prodi PPKn FKIP Univ. Sebelas Maret Surakarta
Email: [email protected]
ABSTRAK
Pasca reformasi 1998 muncul berbagai persoalan yang tidak pernah kita duga
sebelumnya. Salah satu persoalan yang membuat kita prihatin adalah kemorosotan moral
generasi muda kita. Tulisan ini membahas tentang revitalisasi pendidikan
kewarganegaraan untuk pembangunan moral bangsa. Revitalisasi PKn perlu segera
dilakukan untuk menanggulangi dekadensi moral remaja yang semakin memprihatinkan.
Paradigma PKn perlu menekankan kembali kepada paradigma moral. Remaja perlu
mendapat pendidikan moral agar mereka mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Mereka juga perlu mengetahui manfaat dari mengerjakan hal-hal yang baik
serta akibat apabila melakukan hal-hal yang buruk. Jadi bukan sekedar memberitahu
mereka norma-norma yang ada tetapi juga menjelaskan manfaat atau akibat apabila
mereka taat pada norma atau melanggar norma
Kata kunci: Revitalisasi, PKn, Moral
PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir bangsa Indonesia mengalami dinamika
sosial, politik, dan budaya yang luar biasa. Pasca reformasi 1998 muncul
berbagai persoalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Salah satu
persoalan yang membuat kita prihatin adalah kemorosotan moral generasi muda
kita. Persoalan tawuran, kekerasan, pornografi, pornoaksi, penyalahgunaan
narkoba, perilaku seks bebas, hilangnya sopan santun adalah beberapa indikator
kemerosotan moral generasi muda. Hampir tiap hari kita temukan berita-berita
perilaku penyimpangan perilaku tersebut di media massa. Thomas Lickona
(1992) melihat berbagai gejala tersebut sebagai hal-hal yang berpotensi
menghancurkan bangsa.
Menurut Ketua Umum PP Din Syamsuddin, masalah yang dihadapi bangsa
Indonesia berpangkal pada krisis moral. Arus demoralisasi yang melanda
khidupan bangsa tidak cukup disadari sebagai ancaman serius bagi eksistensi
bangsa. Din mengatakan, hal ini terjadi karena bangsa Indonesia terjebak dalam
permisivisme budaya dengan membiarkan dan mengabaikan proses dekadensi
moral yang terjadi secara sistematis tanpa penggerak untuk mengatasi dan
menghalanginya. Bahkan pelanggaran moral itu nyaris menjadi moralitas publik
baru ketika sebagian dari kita mau untuk terlibat dalam pelanggaran yang
bersifat kolektif. Itulah yang terjadi pada perkembangan budaya hedonistik yang
mendapat dukungan masif dari warga masyarakat (Tribunnews.com, 19/08/12).
Pendidikan memegang peranan penting dalam pembangunan moral
bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Menurut Pasal 1 point (1)
UU Sisdiknas,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun
fungsi dan tujuan pendidikan menurut Pasal 3 adalah untu mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan pendidikan
yang mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung
jawab. Secara konseptual-epistemologis, PKn memiliki misi menumbuhkan
potensi individu agar memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan sebagai
warga negara yang berwatak dan berperadaban baik (Winataputra, 2001: 131).
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu wujud dari
pendidikan karakter yang mengajarkan etika personal dan nilai-nilai kebajikan
(Winataputra, 2001: 131). Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah
proses untuk membentuk karakter individu menjadi warga negara yang baik
dan cerdas atau smart and good citizen (Cogan and Derricot, 1998: 2). Pendidikan
Kewarganegaraan dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa
(nation character building) (Sapriya, 2005: 4).
Tulisan ini membahas tentang revitalisasi pendidikan kewarganegaraan
untuk pembangunan moral bangsa. Revitalisasi PKn mendesak dilakukan
karena akhir-akhir ini telah terjadi dekadensi moral generasi remaja yang
semakin mengkhawatirkan. PKn telah terjebak pada pendidikan formalistik
yang minim akan pendidikan formal. Oleh karenanya perlu segera dilakukan
revitalisasi terhadap PKn.
PEMBAHASAN
PKn sebagai Pendidikan Nilai
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) mencakup berbagai kajian seperti
citizenship, civics, ilmu pengetahuan sosial, life skills, pendidikan moral, sejarah,
geografi, ekonomi, hukum, politik, lingkungan hidup, dan pendidikan nilai
(Kerr, 1999: 2). PKn merupakan topik utama di banyak negara saat ini karena
menjadi pendekatan baru dan pertimbangan penting yang harus diberikan
untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan dan
ketidakpastian perubahan dunia (Ichilov, 1998: 39).
Pendidikan Kewarganegaraan pada hakikatnya merupakan pendidikan
yang mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung
jawab. Secara konseptual-epistemologis, PKn dapat dilihat sebagai suatu
integrated knowledge system (Hartoonian, 1992: 160-163) yang memiliki misi
menumbuhkan potensi peserta didik agar memiliki pengetahuan, sikap, dan
keterampilan sebagai warga negara yang berwatak dan berperadaban baik
(Winataputra, 2001: 131).
Pendidikan Kewarganegaraan dan pendidikan karakter (character education)
merupakan dua hal yang berkaitan erat sehingga muncul istilah character and
citizenship education. PKn dan pendidikan karakter merupakan suatu konsep
inklusif yang membahas segala aspek tentang bagaimana lingkungan sekolah
dapat mendukung pengembangan karakter positif terhadap siswa, staf, dan para
stakeholders. Semua kegiatan ini tercermin dalam seluruh kegiatan sekolah dalam
bentuk kurikulum, tata tertib, maupun kegiatan ekstrakurikuler. Semua sekolah
telah menerapkan pendidikan karakter meskipun tidak secara eksplisit disebut
pendidikan karakter (Alberta School, 2005: 2).
Karakter warga negara dan konsep PKn sebagai dua hal yang berkaitan
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya. Azis Wahab (2006)
menyatakan bahwa hal-hal yang dianggap berpengaruh terhadap konsep PKn di
antaranya adalah: (1) gagalnya konsep PKn di masa lalu; (2) terjadinya
perubahan sistem politik; (3) perubahan atribut warga negara; (4) pengaruh
kecenderungan global; dan (5) kecenderungan global PKn untuk demokrasi. Jika
faktor 1 dan 2 dapat dimasukkan sebagai faktor internal, maka faktor 3, 4 dan 5
dapat dimasukkan sebagai faktor eksternal yang secara langsung atau tidak
langsung berpengaruh terhadap konsep PKn.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu bentuk pendidikan
karakter yang mengajarkan etika personal dan nilai-nilai kebaikan (Best, 1960:
Winataputra, 2001: 127). PKn juga merupakan sebuah proses untuk membentuk
karakter individu sebagai warga negara yang baik dan cerdas atau smart and good
citizen (Cogan and Derricot, 1998: 2). PKn merupakan program pendidikan yang
dapat dijadikan sebagai sarana pembangunan karakter bangsa atau nation
character building (Sapriya, 2005: 4). Pendidikan karakter tidak mungkin
dipisahkan dari dari sistem pembelajaran yang ada di sekolah itu sendiri.
Permasalahannya adalah adanya kesulitan seorang pendidik untuk secara efektif
mengembangkan karakter positif kepada siswanya (Williams, 2000: 34).
Salah satu unsur dari budaya kewarganegaraan adalah “civic virtue”
(kebajikan/akhlak kewarganegaraan) yang terpancar dari nilai-nilai PKn yang
mencakup keterlibatan aktif warga negara, hubungan kesejajaran/egaliter, saling
percaya dan toleran, saling menghormati dan menghargai, kehidupan yang
kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan. Semua unsur akhlak
kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan “civic
community” atau “civil society” atau masyarakat madani. Artinya, tumbuh dan
berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) merupakan unsur utama
dari budaya kewarganegaraan atau civic culture (Depdiknas, 2007: 7).
Perubahan atribut warga negara atau karakter warga negara yang
diinginkan sangat menentukan bagi perubahan konsep PKn. Karakter warga
negara yang hendak dibentuk dipengaruhi oleh kepentingan hidup berbangsa
dan bernegara sesuai dengan zamannya. Cerminan dari karakter warga negara
tampak dalam rumusan tujuan pendidikan nasional. Dalam UU Sisdiknas
dirumuskan sejumlah tujuan pendidikan nasional yang pada hakekatnya
menunjuk pada sejumlah karakter warga negara yang diinginkan. Pasal 3 UU
Sisdiknas menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Karakter warga negara tidak saja dipengaruhi oleh kepentingan nasional
tetapi harus pula mampu mengakomodasi perkembangan global. Hal ini
dikarenakan warga negara tidak hanya hidup dalam lingkungan nasional tetapi
juga hidup dengan bangsa lain dalam pergaulan internasional. Dengan demikian,
karakter warga negara global dan untuk masa depan dewasa ini menjadi penting
bagi perubahan konsep PKn. Kubow et.al. (Cogan & Derricott, 1998: 115)
menyebutnya sebagai warga negara multidimensional (multidimensional
citizenship) dengan delapan karakteristik sebagai berikut:
a. the ability to look at and approach problem as a member of global society
(kemampuan untuk melihat dan mendekati masalah sebagai anggota
masyarakat global);
b. the ability to work with others in a cooperative way and to take responsibility for
one’s rules /duties within society (kemampuan bekerja sama dengan yang lain
dengan cara yang kooperatif dan menerima tanggung jawab atas
peran/tugasnya di dalam masyarakat);
c. the ability to understand, accept, appreciate anf tolerate cultural differences
(kemampuan memahami, menerima, menghargai dan dapat menerima
perbedaan-perbedaan budaya);
d. the capacity to think in a critical and systematic way (kapasitas berpikir dengan
cara yang kritis dan sistematis);
e. the willingness to resolve conflict in a non violent manner (keinginan untuk
menyelesaikan konflik dengan cara tanpa kekerasan);
f. the willingness to change one’s life style and consumption habits to protect the
environment (keinginan untuk mengubah gaya hidup dan kebiasaan
konsumtifnya untuk melindungi lingkungan);
g. the ability to be sensitive towards and to defend human rights eg. rights of women,
ethnic minorities etc. (kemampuan bersikap sensitif dan melindungi hak asasi
manusia, misalnya: hak wanita, hak etnis minoritas, dan lain-lain); dan
h. the willingness and ability to participate in politics at local, national and
international levels (keinginan dan kemampuan untuk ikut serta dalam politik
pada tingkat lokal, nasional dan internasional).
Delapan karakteristik warga negara ideal yang menjadi tujuan PKn, oleh
Cogan dipercayai sebagai sifat dan ciri dari warga negara yang sukses untuk bisa
menjalani kehidupan di abad ke-21. Terkait dengan karakter atau atribut warga
negara tersebut, menuntut pula pembaruan konsep PKn agar mampu
mewujudkan warga negara ideal.
Pendidikan Kewarganegaraan dapat dijadikan wahana pendidikan
kesadaran hukum dengan menggali nilai-nilai PKn yang selaras dengan nilainilai hukum yaitu: kejujuran, penghormatan, penghargaan, tanggung jawab,
keadilan, kesetaraan, dan demokrasi. PKn sebagai pendidikan hukum yang lebih
menekankan pada kemampuan warga negara dalam membangun kesadaran
hukumnya untuk mencapai tiga kompetensi ideal warga negara yaitu: civic
knowledge, civic skill, dan civic disposition (Triyanto, 2011: 347).
Pergeseran Paradigma PKn
Apabila ditelusuri lebih jauh, derasnya arus globalisasi tidak dapat
dilepaskan dari euforia reformasi yang membuka ’kran’ kebebasan terlalu lebar.
Setelah puluhan tahun dikekang oleh orde baru, bangsa ini telah ’terlena’
dengan menerima semua arus nilai dari luar yang tidak semua cocok dengan jati
diri bangsa. Atas nama kebebasan, banyak orang telah melanggar norma-norma
agama, kesusilaan dan kesopanan. Prinsip kebebasan yang dianut telah
mengaburkan batas antara kebebasan berekspresi dan pornografi. Banyak
pelaku dan pendukung pornografi/pornoaksi berlindung dibalik perlindungan
HAM yaitu kebebasan berekspresi dan juga kebebasan pers.
Dunia pendidikan juga telah terbawa euforia reformasi. Saat ini telah terjadi
perubahan paradigma pendidikan moral. Dahulu kita kenal ada mata pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Pendidikan moral identik dengan berbagai
pembatasan dan aturan main dalam berperilaku. Siswa dilarang ini dilarang itu,
harus begini harus begitu dan lain sebagainya. Dengan segala kelemahannya, PMP
berhasil mengendalikan dan mengontrol arus globalisasi yang menggerogori
moral generasi muda saat itu.
Pasca reformasi, pendidikan moral mengalami pergeseran paradigma
menjadi pendidikan demokrasi. Mata pelajaran PMP diubah menjadi Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dengan ruh demokrasi di dalamnya. Apabila dilihat
substansi kurikulumnya, PKn lebih mengutamakan pendidikan demokrasi
daripada pendidikan moral. Padahal dalam demokrasi sangat mengagungagungkan prinsip kebebasan (liberalism).
Saat ini kita harus ’membayar mahal’ atas kebebasan yang kita pilih saat
reformasi. Dekadensi moral generasi muda sungguh sangat memprihatinkan.
Hari demi hari kita disuguhi berita kekerasan, kriminal, tawuran, anarkisme,
pornografi, penyalahgunaan narkoba, dan berbagai perilaku menyimpang yang
melibatkan generasi muda.
Bagaimanapun, remaja hanyalah ’korban’ dari kebijakan bangsa ini yang
membiarkan arus globalisasi masuk ke Indonesia tanpa kendali. Untuk itulah
saat ini negara wajib melakukan segala upaya untuk melindungi generasi muda
dari arus globalisasi.
Sikap negara ini sudah pasti akan mendapat penentangan khususnya dari
para aktivis HAM. Akan tetapi sesuai amanat konstitusi negara berkewajiban
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Perlindungan ini tidak sebatas perlindungan fisik semata, tetapi juga
perlindungan moral dan budaya.
Biarlah liberalisme terlanjur ’meracuni’ sistem politik dan ekonomi. Akan
tetapi, bangsa ini tidak boleh membiarkan liberalisme menggerogoti nilai-nilai
sosial dan budaya bangsa. Masa depan bangsa ini ditentukan oleh sikap para
pemimpin. Lakukan filter budaya luar sekarang juga, atau kita akan menyesal di
kemudian hari.
KESIMPULAN
Revitalisasi PKn perlu segera dilakukan untuk menanggulangi dekadensi
moral remaja yang semakin memprihatinkan. Paradigma PKn perlu
menekankan kembali kepada paradigma moral. Remaja perlu mendapat
pendidikan moral agar mereka mampu membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Mereka juga perlu mengetahui manfaat dari mengerjakan hal-hal
yang baik serta akibat apabila melakukan hal-hal yang buruk. Jadi bukan
sekedar memberitahu mereka norma-norma yang ada tetapi juga menjelaskan
manfaat atau akibat apabila mereka taat pada norma atau melanggar norma.
Daftar Pustaka
Alberta School. (2005). The Heart of the Mater: Character and Citizenship Education in
Alberta Schools. Edmonton, Alberta: Alberta Education.
Cogan, J.J. and Derricott,R. (1998). Citizenship for the 21st Century, An International
Perspective on Education. London: Kogan Page Limited.
Depdiknas. (2007). Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Pendidikan
Kewarganegaraan. Jakarta: Depdiknas RI.
Hartoonian. (1992). The Social Studies and Project 2061: An Opportunities for
Harmony, dalam The Social Studies, 83;4:160-163.
Ichilov (Ed). (1998). Citizenship and Citizenship Education in a Changing World.
London: Woburn Press.
Kerr, D. (1999). Citizenship Education: an International Comparison. England: NFER.
Lickona, T. (1992). Educating for Character : How Our Schools Can Teach Respect and
Responsibility. Random House Publishing Group.
Sapriya. (2005). Perspektif Pakar terhadap Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
Wahana Pembangunan Karakter Bangsa (Disertasi). Bandung: SPs UPI.
Syamsuddin, D. (2012). “Masalah Bangsa Indonesia Berpangkal Pada Krisis
Moral”. Available in: http://www.tribunnews.com/2012/08/19/masalahbangsa-indonesia-berpangkal-pada-krisis-moral.
Triyanto. (2011). Penguatan Penegakan Hukum HKI, Studi Kritis terhadap Peran
PKn. Bandung: Disertasi SPs PKn UPI.
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wahab, A. (2006). Pengembangan Konsep dan Paradigma Baru Pendidikan
Kewarganegaraan
Baru
Indonesia
bagi
Terbinanya
Warganegara
Multidimensional Indonesia. Bandung: Fakultas PIPS UPI.
Winataputra, U.S. (2001). Jatidiri Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana
Pendidikan Demokrasi, (Disertasi). Bandung: UPI.
Download