Uploaded by User65014

Karakteristik TPV 2011

advertisement
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN BIOLOGI DARI
TEPUNG LIMBAH RUMAH POTONG AYAM SEBAGAI
BAHAN BAKU UNTUK PAKAN TERNAK
(Physical, Chemical and Microbioal Characteristics of Byproducts
of Chicken Slaughter House as Feed for Animal)
NENG RISRIS S., Y. SASTRO dan B. BAKRIE
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta, Jl. Raya Ragunan No.30 Pasar Minggu. Jakarta 12540
ABSTRACT
This research was conducted to investigate the physical, chemical and microbial characteristics of flour
made from byproducts of chicken slaughter house (CSH). The by products comprised of dead chicken carcass
(without feather and caecum) and other waste materials obtained during cutting and washing processes of the
chicken, but not including blood. Prior made into flour, the byproduct was boiled for 45 minutes, then oven
dried at 115ºC for 2 hours, and grounded. The result indicated that the physical characteristics of the flour of
the CSH byproducts were brownies in colour, dry but not too oily, and had a peculiar smell. The flour
contained 52.5% protein, 30.9% fat, 4204 kcal ME/kg energy, 3.36% calcium, and 1.92% phosphor. It was
also noted that the flour had a value of Total Plate Count (TPC) of 1900 cfu/g, Escherichia coli content of < 3
MPN/g, and Salmonella sp. negative per 25 grams. Based on these results it is recommended that the
byproduct of the CSH flour may be used as a source of protein for poultry and ruminant.
Key Words: Byproducts of Chicken Slaughter House, Physical Characteristic, Chemical Analysis,
Microbiology
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi dari tepung limbah
rumah potong ayam (RPA). Limbah RPA yang digunakan berupa ayam mati utuh (tanpa bulu dan sekum) dan
bahan limbah lainnya yang terbuang pada saat pemotongan dan pencucian ayam (tidak termasuk darah).
Sebelum dibuat menjadi tepung, limbah tersebut diolah melalui proses perebusan selama 45 menit,
pengeringan menggunakan oven (115ºC selama 2 jam), dan penggilingan. Diperoleh hasil bahwa karakteristik
fisik dari tepung limbah RPA adalah berwarna coklat, kering tidak terlalu berminyak, dan berbau khas.
Kandungan protein dari tepung tersebut adalah sebesar 52,5%, lemak 30,9%, energi 4204 kkal ME/kg,
kalsium 3,36%, dan fosfor 1,92%. Selain itu diketahui bahwa tepung limbah tersebut memiliki nilai Total
Plate Count (TPC) sebanyak 1900 cfu/g, kandungan Escherichia coli < 3 MPN/g, dan Salmonella sp. negatif
per 25 gram. Berdasarkan hasil penelitian ini maka direkomendasikan bahwa tepung limbah RPA ini dapat
digunakan sebagai bahan pakan sumber protein untuk pemeliharaan ternak unggas dan ruminansia.
Kata Kunci: Limbah RPA, Karakteristik Fisik, Analisa Kimia, Mikrobiologi
PENDAHULUAN
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa
industri peternakan, mulai dari hulu hingga
hilir turut menyumbang emisi gas rumah kaca
yang merupakan penyebab bagi pemanasan
global (global warming). Termasuk ke dalam
jenis industri peternakan tersebut adalah proses
produksi, distribusi dan pembuangan atau
pemusnahan limbah rumah potong hewan
(RPH) maupun rumah potong unggas
(RPU)/rumah potong ayam (RPA), baik berupa
limbah padat maupun cair (GOODLAND dan
ANHANG, 2009).
Jumlah RPA yang terdapat di seluruh
wilayah DKI Jakarta adalah sekitar 1153 buah
yang tersebar di lima wilayah, meliputi Jakarta
Utara, Selatan, Timur, Barat dan Pusat
(BAKRIE et al., 2009; ABUBAKAR et al., 2010).
Kebanyakan dari TPA tersebut berada di
651
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
daerah pemukiman dan pasar tradisional yang
menyebabkan tidak memenuhi standar
kesmavet dan menyebab pencemaran terhadap
lingkungan. Oleh sebab itu, berdasarkan
Peraturan Daerah (PERDA) No. 4/2007, telah
ditetapkan bahwa mulai tahun 2010 semua
RPA tersebut harus dipindahkan/relokasi ke
lima lokasi RPA resmi yang ditetapkan
pemerintah, yaitu berlokasi di Rawa Kepiting,
Pulo Gadung dan Cakung (Jakarta Timur),
Petukangan (Jakarta Selatan) dan Kalideres
(Jakarta Barat). Hal ini akan mempunyai
dampak yang cukup tinggi terhadap terjadinya
penumpukan limbah pada kelima lokasi
tersebut, yang apabila tidak dimanfaatkan atau
diurus dengan baik akan menyebabkan
pencemaran terhadap lingkungan. Oleh sebab
itu, diperlukan teknologi pengolahan limbah
tepat guna bagi RPA relokasi tersebut.
Apabila dihitung berdasarkan tingkat
kebutuhan serta jumlah pemotongan ayam di
wilayah DKI Jakarta pada tahun 2010, yang
mencapai sekitar 400.000 – 600.000 ekor per
hari, maka jumlah limbah yang dihasilkan oleh
seluruh RPA yang ada di wilayah ini setiap
hari paling kurang sekitar 14 ton darah, 35 ton
bulu ayam, 4 ton sisa pembersihan daging,
usus, dan tembolok, serta 2 ton ayam mati
(VOSLAROVA et al., 2007; BOLU dan ADAKEJA,
2008). Limbah RPA tersebut sangat potensial
dan mempunyai nilai tambah, yaitu jika
dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan
baku untuk pakan ternak maupun untuk
pembuatan pupuk organik.
Hingga saat ini sebagian besar dari limbah
RPA yang ada belum dimanfaatkan dengan
optimal, dan cenderung menjadi masalah bagi
pencemaran lingkungan sekitar maupun
menambah volume sampah di wilayah DKI
Jakarta. Pemusnahan limbah RPA berupa
bangkai ataupun bulu biasanya dilakukan
melalui pembakaran/insenerator serta dibuang
ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA)
bersamaan dengan sampah pasar, rumah tangga
dan berbagai jenis sampah lainnya. Cara
pembuangan limbah seperti ini adalah tidak
ramah lingkungan karena akan mengakibatkan
pencemaran terhadap lingkungan sekitar serta
juga memerlukan biaya yang cukup besar
dalam pelaksanaannya.
Sebagian dari limbah berupa ayam mati dan
offal (sisa usus/jeroan), dari beberapa RPA ada
652
yang telah dimanfaatkan sebagai pakan
langsung untuk pemeliharaan ikan lele dan
buaya (ANDY, 2009). Namun tentunya, hal ini
tidak dapat dijadikan solusi dalam pemanfaatan
limbah manakala volume limbah yang
dihasilkan melebihi volume yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan untuk
ternak tersebut. Pemanfaatan limbah RPA
semacam ini sebenarnya belum dianjurkan dan
cenderung untuk dilarang, karena mengandung
resiko yang cukup tinggi terhadap penyebaran
penyakit asal ayam maupun karena terjadinya
pencemaran mikroba terhadap lingkungan.
Sebaiknya setiap bahan akan digunakan
sebagai bahan pakan ternak, harus terlebih
dahulu melalui beberapa proses pengolahan,
untuk menghindari terjadinya pencemaran atau
keracunan bagi ternak yang akan memakannya.
Pengolahan limbah asal unggas/ayam
menjadi bahan pakan ternak maupun ikan
secara modern dan dalam skala besar sudah
banyak dilakukan oleh industri pakan di negara
maju, yang umumnya merupakan bagian dari
industri besar yang menguasai bisnis
perunggasan mulai dari industri hulu sampai
hilir, dalam hal ini bahan baku yang dikelola
adalah merupakan limbah dari RPA milik
sendiri (TIANDE et al., 1994; BLAKE et al.,
2008). Oleh sebab itu dalam waktu yang dekat,
maka teknologi pemanfaatan limbah untuk
pakan ternak perlu dikembangkan di lokasi
RPA yang ada di wilayah DKI Jakarta.
Dalam upaya untuk dapat memanfaatkan
secara maksimal limbah yang dihasilkan oleh
RPA relokasi di wilayah DKI Jakarta, maka
dirasa perlu untuk mempersiapkan teknologi
pengolahan limbah sederhana yang dapat
dilaksanakan oleh pelaku usaha skala kecil.
Teknologi sederhana tersebut seyogyanya
mudah
diaplikasikan,
ekonomis,
tidak
menyebabkan terjadinya pengurangan kualitas
hasil yang berarti, tidak memerlukan tempat
yang luas dan waktu yang lama, sehingga dapat
dilakukan di kawasan RPA.
Dalam makalah ini akan disampaikan hasil
dari penelitian tentang karakteristik fisik, kimia
dan mikrobiologi dari tepung limbah RPA.
Limbah RPA yang digunakan berupa ayam
mati (tanpa bulu dan sekum) dan bahan limbah
lainnya yang terbuang pada saat pemotongan
dan pencucian ayam (tidak termasuk darah).
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan
berturut-turut, yaitu pada bulan Juli – Agustus
2010. Bahan limbah yang dipergunakan
diperoleh dari RPA milik Pemda DKI Jakarta
yang berlokasi di Rawa Kepiting dan Jakarta
Timur. Jenis limbah yang digunakan adalah
terdiri dari ayam mati utuh (masih segar/mati
kurang dari 24 jam) dan bahan limbah lainnya
yang terbuang pada saat pemotongan dan
pencucian ayam. Bahan-bahan limbah yang
terbuang tersebut adalah berupa potonganpotongan daging, isi perut/jeroan serta lemak
yang terdapat di dalam rongga perut, tetapi
tidak termasuk darah.
Ayam mati yang akan digunakan terlebih
dahulu dibuang bulunya menggunakan mesin
pencabut bulu (defeathering) dan seluruh
bagian isi perut dikeluarkan dan dicuci sampai
bersih, akan tetapi bagian sekum yang berisi
kotoran ayam dipisahkan dan tidak digunakan.
Semua bahan limbah tersebut kemudian
dipotong-potong/dicincang
dengan
pisau
menjadi ukuran yang lebih kecil, yaitu sekitar 5
cm, agar memudahkan dalam melaksanakan
proses perebusan dan pengeringan selanjutnya.
Setelah itu campuran limbah tersebut dibagi
menjadi 30 bagian, yaitu masing-masing dua
ulangan (duplo) untuk direbus dengan 3
macam waktu perebusan (15, 30 dan 45 menit)
dan dikeringkan dengan 5 macam suhu
pengeringan (70, 85, 100, 115 dan 150°C).
Perebusan bahan limbah dilakukan
menggunakan panci berkapasitas 5 liter air
yang selalu ditutup selama proses perebusan
berlangsung. Sedangkan pengeringan dilakukan
di dalam oven kue berukuran sedang yang
menggunakan kompor gas sebagai pemanas.
Bahan limbah yang dikeringkan ditempatkan di
atas rak (tray) yang dilapisi saringan/kawat
kasa agar minyak/cairan dari lemak yang
mencair pada saat pengeringan dapat menetes
dan terpisah dari bahan yang dikeringkan.
Pelaksanaan kegiatan pengambilan limbah
yang dilanjutkan dengan proses perebusan dan
pengeringan dilakukan sebanyak 4 kali dengan
interval 7 hari sekali sampai diperolehnya hasil
yang
konsisten
berdasarkan
penilaian
karakteristik fisik dari bahan limbah tersebut
setelah dikeringkan. Hal-hal yang meliputi
karakterisitik fisik yang dinilai adalah meliputi
penampilan/konsistensi, warna dan aroma/bau.
Diperoleh bahwa bahan yang terbaik adalah
hasil dari proses perebusan selama 45 menit
yang dilanjutkan dengan pengeringan dalam
oven dengan suhu 115°C selama 2 jam.
Bahan yang terpilih tersebut kemudian
dihancurkan menggunakan blender sebelum
digiling menjadi tepung menggunakan alat
penepung (hammer mill) dengan saringan
berukuran 100 mesh. Kemudian tepung limbah
segar (TLS) tersebut dikirim untuk dilakukan
analisa kimia/proksimat di Laboratorium Kimia
Balai Penelitian Ternak di Ciawi, Bogor.
Selain itu, tepung limbah juga dikirim ke
Laboratorium Kesmavet milik Dinas Kelautan
dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, untuk
dilakukan analisa mikrobiologi, yaitu meliputi
kandungan bakteri atau penghitungan nilai
Total Plate Count (TPC), kandungan mikroba
Escherichia coli dan Salmonella sp.
Sebagian dari tepung limbah juga disimpan
selama 5 bulan dengan memasukkan ke dalam
kantong
plastik
yang
ditutup
rapat
menggunakan alat sealer. Selanjutnya terhadap
tepung limbah yang telah disimpan selama 5
bulan tersebut (TL5B) juga dilakukan analisa
kimia dan mikrobiologi, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya.
Semua data kemudian ditabulasi dan diolah
secara deskriptif untuk menampilkan hasil dari
penilaian karakteristik fisik dari bahan limbah
RPA yang digunakan selama proses perebusan
dan pengeringan. Selain itu juga akan
ditampilkan hasil yang diperoleh dari analisa
kimia dan mikrobilogi dari tepung limbah, baik
untuk yang segara (TLS) maupun setelah
disimpan selama 5 bulan (TL5B).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik limbah RPA
Jenis limbah utama yang dihasilkan dari
sebuah RPA pada umumnya terdiri dari darah,
bulu, jeroan (sisa-sisa usus dan potongan
kloaka), tulang dan ayam mati. Bagian lain
yang tidak sengaja ikut terbuang menjadi
limbah yaitu kepala ayam dan lemak yang
terdapat di dalam rongga perut, dibagian
ampela dan ekor. Pada umumnya kepala ikut
terbuang bersama bulu pada saat pencabutan
bulu, sedangkan limbah berupa lemak ikut
terbuang bersama air yang mengalir pada saat
653
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
pencucian. Dari hasil pengukuran debit limbah,
diketahui bahwa limbah berupa darah yang
dihasilkan adalah sekitar 3,5%, limbah usus
5%, serta limbah ayam mati sekitar 0,5% dari
jumlah ayam yang dipotong dalam satu hari
(VOSLAROVA et al., 2007; BOLU dan ADAKEJA,
2008).
Sebagian besar dari jenis limbah yang
meliputi lemak, usus, kepala, tulang sisa dari
proses pengolahan daging tanpa tulang
(boneless), kulit, hati, ampela dan ceker/kaki
ayam masih mempunyai nilai jual yang tinggi
dan dibutuhkan oleh pengguna tertentu. Namun
demikian, hampir semua jenis limbah yang
dihasilkan oleh RPA mempunyai potensi yang
cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan
pakan sumber protein, energi/lemak maupun
mineral dalam pemeliharaan ternak unggas dan
ruminansia. Sebagaimana dilaporkan bahwa
daging ayam mengandung protein sebanyak
18,6%, lemak 15,06%, air 65,95% dan abu
0,79% (SURADI, 2009).
Kendala utama dalam pengolahan limbah
padat RPA sebagai pakan ternak yaitu
tingginya kadar protein berupa keratin yang
terdapat pada bulu ayam, zat ini sangat sulit
untuk dicerna. Selain itu, di dalam bahan
limbah lainnya terkandung bahan lemak/
minyak yang cukup tingginya jumlahnya. Oleh
sebab itu, untuk dapat digunakan sebagai
pakan ternak, maka pengolahan ayam mati
sebaiknya dilakukan setelah pencabutan/
pembuangan bagian bulu dan pengurangan/
penurunan kandungan lemak. Untuk dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pakan, maka
bagian bulu ayam memerlukan teknologi
pengolahan tersendiri, dengan maksud untuk
menghidrolisa zat keratin pada bulu agar
protein tercernanya menjadi meningkat. Selain
itu, kandungan lemak dalam limbah dapat
dikurangi/diturunkan melalui proses perebusan.
Jumlah lemak yang dihasilkan sebagai
limbah dari proses pemotongan ayam di RPA
tergantung kepada umur dan ukuran/berat dari
ayam yang dipotong. Diperkirakan bahwa
jumlah limbah berupa lemak dari seekor ayam
segar utuh adalah sekitar 7,80 – 17,7% dari
bobot ayam tersebut (AWONORIN et al., 1995).
Selanjutnya, dari satu ekor ayam broiler
berukuran sedang (berat sekitar 2 – 3 kg) dapat
dihasilkan sekitar 100 gram lemak yang
menempel pada bagian ampela dan ekor, serta
654
sekitar 2,10% lemak terdapat pada bagian dada
dari seekor ayam (NAFIAH, 2010).
Karakteristik fisik tepung limbah RPA
Untuk dapat memanfaatkan limbah RPA
sebagai bahan pakan, maka sebaiknya limbah
tersebut terlebih dahulu diolah menjadi tepung.
Keuntungan utama dari bahan pakan yang
berupa tepung adalah dalam hal kemudahannya
untuk dicampurkan dengan berbagai jenis
bahan pakan lainnya, serta akan memudahkan
untuk disimpan dalam jangka yang relatif
lama. Sebagaimana telah dijelaskan di atas
bahwa untuk pembuatan tepung, maka limbah
RPA tersebut perlu direbus sebelum
dikeringkan. Hal ini disebabkan karena lemak
ayam termasuk ke dalam jenis lemak/minyak
yang tidak mudah mengering (non drying oil),
maka proses perebusan menjadi sangat mutlak
untuk dilaksanakan (HERLINA dan GINTING,
2002). Sebagaimana diketahui bahwa kadar
lemak yang cukup tinggi di dalam suatu bahan
menyebabkan bahan tersebut menjadi mudah
menggumpal pada saat pengeringan.
Proses perebusan akan menyebabkan
terjadinya penyusutan limbah RPA, terutama
disebabkan karena adanya bagian lemak dan
air bebas yang keluar dari bahan yang direbus
tersebut. Tingkat penyusutan atau jumlah
bahan yang hilang selama perebusan sangat
dipengaruhi oleh lama perebusan, serta jenis
atau komposisi dari bahan yang direbus
tersebut. Sebagai contoh, jumlah lemak dari
bagian perut (abdominal) ayam yang diperoleh
melalui proses pengolahan adalah sekitar
72,0% lebih tinggi daripada lemak dari bagian
kulit ayam (SHEU dan CHEN, 2002).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini
menunjukkan bahwa waktu perebusan yang
paling baik adalah selama 45 menit, yaitu
berdasarkan kepada hasil rendemen yang
relatif konstan, karena tidak terjadi lagi
penyusutan bahan akibat perebusan (Tabel 1).
Nilai rata-rata dari tingkat penyusutan yang
diperoleh pada waktu perebusan tersebut
adalah sebesar 43%. Hasil yang diperoleh ini
sesuai dengan penelitian dari SHEU dan CHEN
(2002) yang melaporkan bahwa untuk
perebusan limbah ayam yang mengandung
lemak cukup tinggi (bagian usus/jeroan)
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
memerlukan waktu paling kurang selama 45
menit.
Waktu perebusan yang rendah ataupun
tanpa proses perebusan mengakibatkan proses
pengeluaran minyak yang cukup tinggi pada
saat pengeringan, sehingga memerlukan waktu
yang lebih lama dan suhu yang relatif lebih
tinggi. Hal ini disebabkan karena lemak/
minyak mempunyai titik didih yang sangat
tinggi dan tidak sama untuk semua jenis
Tabel 1. Karakteristik fisik dari limbah RPA setelah melalui proses pengolahan dengan waktu perebusan dan
suhu pengeringan yang berbeda
Suhu
pengeringan
(ºC)
70
85
100
115
150
Waktu perebusan (menit)
15
30
45
 Warna coklat
 Warna coklat
 Warna coklat
 Konsistensi bagian usus
dan kulit masih sangat
berminyak
 Konsistensi bagian usus
dan kulit masih sangat
berminyak
 Konsistensi bagian usus
dan kulit masih sangat
berminyak
 Tepung mudah
menggumpal
 Tepung mudah
menggumpal
 Tepung mudah
menggumpal
 Bau aromatis
 Bau aromatis
 Bau aromatis
 Cenderung mudah
ditumbuhi jamur
 Cenderung mudah
ditumbuhi jamur
 Cenderung mudah
ditumbuhi jamur
o Warna coklat
o Warna coklat
o Warna coklat
o Konsistensi bagian usus
dan kulit masih sangat
berminyak
o Konsistensi bagian usus
dan kulit masih sangat
berminyak
o Konsistensi bagian usus
dan kulit masih
berminyak
o Tepung mudah
menggumpal
o Tepung mudah
menggumpal
o Tepung mudah
menggumpal
o Bau aromatis
o Bau aromatis
o Bau aromatis
 Warna coklat – coklat tua
 Warna coklat – coklat
tua
 Warna coklat – coklat
tua
 Konsistensi agak
berminyak
 Konsistensi agak
berminyak
 Konsistensi agak
berminyak
 Tepung mudah
menggumpal
 Tepung mudah
menggumpal
 Tepung mudah
menggumpal
 Bau aromatis
 Bau aromatis
 Bau aromatis
 Warna coklat – coklat tua
 Warna coklat – coklat
tua
 Warna coklat – coklat
tua
 Konsistensi berminyak
 Konsistensi berminyak
 Konsistensi relatif
kering tidak terlalu
berminyak
 Tepung tidak terlalu
mudah menggumpal
 Tepung tidak terlalu
mudah menggumpal
 Tepung tidak mudah
menggumpal
 Bau aromatis
 Bau aromatis
 Bau aromatis
 Warna coklat tua –
kehitaman
 Warna coklat tua –
kehitaman
 Warna coklat tua –
kehitaman
 Konsistensi relatif kering
 Konsistensi relatif kering
 Konsistensi relatif
kering
 Tidak mudah menggumpal
 Tidak mudah
menggumpal
 Tidak mudah
menggumpal
 Bau cenderung hangus
 Bau cenderung hangus
 Bau cenderung hangus
655
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
lemak/minyak. MUSLIM (2010) melaporkan
bahwa lemak/minyak hewani maupun nabati
merupakan campuran dari gliserida dan
berbagai komponen lain, sehingga tidak
mempunyai titik cair yang tepat, namun akan
mencair pada batas suhu tertentu. Selain itu,
apabila lemak/minyak mengandung asam
lemak dengan derajat kejenuhan yang semakin
tinggi, maka cenderung untuk mempunyai titik
cair yang semakin rendah.
Kandungan air yang terkandung di dalam
bahan limbah RPA segar dapat mencapai
sekitar 74,0%, dan akan dapat berkurang
menjadi sekitar 7,0% pada suhu pemanasan
120C dan menjadi sekitar 3,5% pada suhu
pemanasan 160C, masing-masing dengan
waktu pemanasan selama 120 menit. Akan
tetapi dengan pemanasan pada suhu 100C dan
160C, dengan jangka waktu masing-masing
selama 130 menit, akan menghasilkan kadar air
berturut-turut sekitar 9,0 dan 4,0% (AWONORIN
et al., 1995).
Dari hasil penelitian yang dilakukan ini
diketahui bahwa suhu pengeringan di bawah
115C (70, 85 dan 100C) menyebabkan masih
terlalu tingginya kadar lemak yang tidak dapat
terpisah dari bahan, serta waktu yang
dibutuhkan juga menjadi relatif lebih lama
(1 – 2 hari). Selain itu, proses pengeringan
dengan
menggunakan
suhu
150C
menyebabkan terjadinya perubahan warna
bahan menjadi coklat. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena terjadinya proses maillard
browning reaction, sehingga menghasilkan
produk yang berwarna relatif lebih gelap.
Ternyata bahwa karakteristik fisik bahan yang
dihasilkan paling baik, yaitu berwarna coklat
terang, konsistensi kering atau tidak terlalu
berminyak, dan berbau khas, adalah yang
diperoleh melalui proses perebusan selama 45
menit, dan kemudian dilanjutkan dengan
pengeringan pada suhu 115C selama 120
menit (Tabel 1).
Karakteristik kimia dan mikrobiologi
tepung limbah RPA
Hasil analisa kimia dan mikrobiolgi dari
tepung limbah RPA segar (TLS) dan setelah
disimpan setelah 5 bulan (TL5B) adalah seperti
tercantum di dalam Tabel 2. Ternyata bahwa
TLS mempunyai kandungan gizi yang cukup
656
tinggi, sehingga mempunyai potensi yang
cukup besar untuk digunakan sebagai alternatif
Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia dan
mikrobiologi antara tepung limbah RPA
segar (TLS) dengan tepung setelah
disimpan selama 5 bulan (TL5B)
Jenis tepung
limbah
Uraian
TLS
TL5B
52,53
40,07
Komposisi kimia1)
Protein (%)
Energi metabolis (kkal/kg)
4204
4196
Lemak (%)
30,86
29,68
Ca (%)
3,36
3,35
P (%)
1,92
1,58
1900
4200
Escherichia coli (MPN/g)
<3
<3
Salmonella sp. (per 25 g)
negatif
negatif
Mikrobiologi
2)
TPC (cfu/g)
1)
2)
HASIL ANALISA LABORATORIUM KIMIA BALITNAK
CIAWI, BOGOR (2010)
HASIL ANALISA LABORATORIUM KESMAVET, DKI
JAKARTA (2010)
bahan baku sumber protein maupun energi
dalam penyusunan ransum untuk pemeliharaan
ternak unggas dan ruminansia.TLS mempunyai
kadar protein yang cukup tinggi, yaitu sebesar
52,5%, suatu nilai yang tidak jauh berbeda
dengan tepung ikan (52,8%), namun jauh lebih
tinggi daripada beberapa bahan pakan lain
yang lazim digunakan sebagai sumber protein,
seperti bungkil kedele/tepung bekicot (44,4%),
maupun tepung cangkang udang (30,0%).
Begitu juga kandungan energi dari TLS ini
yang juga sangat tinggi (4104 kkal ME/kg),
merupakan nilai yang jauh lebih tinggi
daripada bahan pakan sumber energi seperti
dedak, menir, jagung, dan lain-lain yang
biasanya hanya mempunyai kadar energi
sebesar 2000 – 3000 kkal ME/kg (SINURAT,
1999; ANDAYANI et al., 2001; MATHIUS dan
SINURAT, 2001).
Sehubungan dengan bahan TLS ini berasal
dari limbah pemotongan ayam yang
mengandung bagian tulang ayam di dalamnya,
maka bahan ini mempunyai kandungan Ca
(3,36%) dan P (1,92%) yang juga cukup tinggi.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Hal ini berarti bahwa jika bahan TLS ini
digunakan di dalam ransum ternak, maka
kebutuhan ternak terhadap Ca dan P akan dapat
terpenuhi tanpa memerlukan tambahan dari
sumber bahan pakan lainnya. Sehingga sedikit
banyaknya akan memberi dampak yang cukup
menguntungkan terhadap penurunan biaya
pakan yang dibutuhkan dalam pemeliharaan
ternak.
Berdasarkan hasil analisa mikrobiologi,
ternyata juga bahwa bahan TLS sangat aman
untuk dipergunakan sebagai bahan pakan
ternak (Tabel 2). Hal ini diperlihatkan oleh
sangat rendahnya kandungan TPC (1900
cfu/g), E. coli (< 3 MPN/g) dan Salmonella sp.
(negatif per 25 g). Hasil yang diperoleh ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan
oleh KINLEY et al. (2010) yang menyatakan
bahwa bahan pakan berupa tepung dari karkas
ayam mempunyai kandungan mikroba yang
sangat rendah, bahkan lebih rendah daripada
tepung darah ataupun tepung bulu. Oleh sebab
itu, bahan TLS ini memenuhi persyaratan
untuk dipergunakan sebagai bahan baku dalam
pembuatan konsentrat, seperti untuk konsentrat
sapi potong (SNI 3148-2-2009), karena batas
cemaran mikroba untuk konsentrat ini adalah
dengan kandungan TPC maksimal 3 × 106
cfu/g, E. coli maksimal 50 MPN/g dan
Salmonella sp. negatif per 25 g (BSN, 2009).
Penyimpanan tepung limbah RPA selama 5
bulan di dalam kantong plastik (TL5B), secara
umum tidak mempunyai pengaruh yang berarti
terhadap kandungan gizi dari bahan tersebut.
Namun perubahan yang cukup drastis adalah
terlihat pada kandungan protein yang menurun
dari 52,5% menjadi 40,1% dan kandungan
TPC yang meningkat dari 1900 cfu/g menjadi
4200 cfu/g (Tabel 2). Hal ini menunjukkan
bahwa tepung limbah RPA tidak bisa disimpan
untuk jangka waktu lama, yang kemungkinan
disebabkan karena tumbuhnya jamur/kapang
atau mikroorganisme patogen lainnya, akibat
tingginya kadar lemak yang terkandung di
dalam tepung limbah RPA tersebut (30,9%).
Kandungan lemak yang tinggi di dalam suatu
bahan biasanya akan mempengaruhi kualitas
bahan tersebut selama penanganan dan
pengolahan. Kandungan lemak yang terdapat
di dalam bahan yang berkualitas baik biasanya
berkisar antara 4 – 18 % (AWONOWIN et al.,
1995; ANONIMUS, 2011)
Sebagaimana diketahui bahwa tumbuhnya
mikroorganisme di dalam suatu bahan akan
menyebabkan peningkatan suhu dari bahan
tersebut yang pada umumnya akan diikuti oleh
terjadinya
penguraian/denaturasi
protein.
Denaturasi protein antara lain dapat disebabkan
oleh perubahan temperatur, perubahan pH,
detergent, radiasi zat pengoksidasi atau
pereduksi, dan perubahan jenis pelarut, namun
di dalam proses penyimpanan biasanya terjadi
denaturasi protein sebagai akibat dari adanya
perubahan suhu (LUNDEEN, 2000; SHOFYAN,
2010).
Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa
proses perebusan selama 45 menit, walaupun
menghasilkan karakteristik fisik yang baik,
belum mampu dengan baik menurunkan/
mengurangi secara maksimal jumlah lemak
yang terkandung di dalam limbah RPA. Oleh
sebab itu, masih dirasa perlu untuk
mengupayakan berbagai cara lain yang lebih
baik, karena menurut SHEU dan CHEN (2002),
proses perebusan hanya
akan dapat
memisahkan sebanyak 24,8% lemak dari
limbah berupa kulit ayam, sedangkan dengan
menggunakan penggorengan (deep-fat frying)
atau oven (microwave atau konvensional) akan
dapat memisahkan lemak antara 31,6 – 47,5 %.
KESIMPULAN
Berdasarkan kepada karakteristik fisiknya,
tepung limbah RPA yang baik dapat diperoleh
melalui proses perebusan selama 45 menit dan
dilanjutkan dengan pengeringan di dalam oven
dengan suhu 115C selama 2 jam.
Proses perebusan belum dapat menurunkan
secara optimal kandungan lemak yang tinggi di
dalam limbah RPA, mengakibatkan tepung
yang dihasilkan tidak dapat disimpan untuk
jangka waktu yang lama.
Tepung
limbah
RPA
mempunyai
kandungan gizi yang cukup tinggi dan
mempunyai kandungan mikroba yang cukup
rendah, sehingga sangat potensial untuk
digunakan sebagai bahan baku untuk
pakan/konsentrat dalam pemeliharaan ternak.
657
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
DAFTAR PUSTAKA
ABUBAKAR, SUWANDI dan B. BAKRIE. 2010.
Restrukturisasi tempat pemotongan ayam
(TPA) dan peningkatan mutu serta keamanan
karkas di DKI Jakarta (Dukungan terhadap
pelaksanaan Perda DKI No. (4/2007). Pros.
Simposium Teknologi Inovatif Pascapanen II,
14 Agustus 2010. Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian, Bogor. hlm. 337 – 345.
ANDAYANI, D., M. YANIS dan B. BAKRIE. 2001.
Perbandingan produktivitas itik Mojosari dan
itik lokal pada pemeliharaan secara intensif di
DKI Jakarta. Pros. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor,
17 – 18 September 2001. Puslitbang
Peternakan, Bogor. hlm. 533 – 541.
ANDY, M.S.E. 2009. Memanfaatkan ayam tiren
untuk
pakan
lele.
http://andy.web.id/
memanfaatkan-ayam-tiren-untuk-pakan-lele.
php. (20 Maret 2011).
ANONIMUS. 2011. Teknologi produksi bahan baku
pakan. http://fpk.unair.ac.id/ webo/kuliah-pdf.,
(12 April 2011).
AWONORIN, S.O., J.A. AYOADE, F.O. BAMIRO, dan
L.O. OYEWOLE. 1995. Relationship of
rendering process temperature and time to
selected quality parameters of poultry byproduct meal. Lebensm Wiss. u. Techhnology
28: 129 – 134.
BAKRIE, B., SUWANDI dan A. BAKAR. 2009.
Persiapan lokasi dan jenis rumah potong ayam
yang ideal untuk wilayah perkotaan dki
jakarta. unggas dan aneka ternak. Media
Budidaya Ternak Non Ruminansia. 4(3): 15 –
18.
BLAKE, J.P., J.B. CAREY, A.K.M. HAQUE, G.W.
MALONE, P.H. PATTERSON, N.L. TABLANTE
and N.G. ZIMMERMANN. 2008. Poultry carcass
disposal options for routine and catastrophic
mortality. CAST Issue Paper No. 40.
November 2008. Council for Agric. Sci. and
Tech., U.S. Departement of Agriculture, Iowa.
BSN. 2009. Standar Nasional Indonesia Pakan
Konsentrat – Bagian 2: Sapi Potong. SNI
3148.2:2009. Badan Standarisasi Nasional,
Jakarta.
BOLU, S.A. dan A. ADAKEJA. 2008. Effects of
poultry offal meal and soyabean meal
mixtures on the performance and carcass
quality of broiler chicks. African J. Food,
Agric. Nutr. and Develop. 8(4): 441 – 550.
658
GOODLAND, R. dan J. ANHANG. 2009. Livestock and
climate change: “What if the key actors in
climate change are cows, pigs, and
chickens?”. World Watch, November/
December 2009.
HERLINA, N. dan M.H.S. GINTING. 2002. Lemak dan
minyak. USU digital library. Universitas
Sumatera Utara, Medan.
KINLEY, B., J. RIECK, P. DAWSON, dan X. JIANG.
2010. Analysis of Salmonella and enterococci
isolated from rendered animal product
(Clinical report). Can. J. Microbiol. 56(1): 65
– 73.
LUNDEEN, T. 2000. Quality, amino acid digestibility
of animal protein meals may be
variable.(research on protein meals in animal
feeds). Feedstuffs. 72(50): 9 – 15. R.
MATHIUS, I.W. dan A.P. SINURAT. 2001.
Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional
untuk ternak. Wartazoa 11(2): 20 – 31.
MUSLIM, A. 2010. Laporan pengukuran titik didih.
http://pengujiankadarpengendalian.blogspot.
com/2010/08/laporan-pengukuran-titikdidih.html.(12 April 2011).
NAFIAH. 2010. Lemak Ayam Cegah Global
Warming.
http://id.shvoong.com/exactsciences/chemistry/2035780 - lemak - ayam cegah-global-warming/.(18 Maret 2011).
SHEU, K.S. dan T.C. CHEN. 2002. Yield and quality
characteristics of edible broiler skin fat as
obtained from five rendering methods. J. Food
Eng. 55: 263 – 269.
SHOFYAN.
2010.
Apakah
protein
itu?
http://forum.um.ac.id/index.php?topic=23808.
0. (15 April 2010).
SINURAT, A.P. 1999. Penggunaan bahan pakan lokal
dalam pembuatan ransum ayam buras.
Wartazoa 9(1): 12 – 20.
SURADI, K. 2009. Perubahan Sifat Fisik Daging
Ayam Broiler Post Mortem Selama dalam
Temperatur Ruang. Laporan Penelitian.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.
Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
TIANDE, C.A.I., O.C. PANCORBO, W.C. MERKA, J.E.
SANDER dan H.M. BARNHART. 1994.
Stabilization of poultry processing byproducts and waste and poultry carcass
through lactic acid fermentation. J. App.
Poult. Res. 3: 17 – 25.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
VOSLAROVA, E., B. JANACKOVA, L. RUBESOVA, A.
KOZAK, I. BEDANOVA, L. STEINHAUSER dan V.
VECEREK. 2007. Mortality Rates in Poultry
Species and Categories during Transport for
Slaughter. ACTA VET. BRNO 2007, 76:
S101–S108.
659
Scanned with CamScanner
Download