Uploaded by User47601

Case

advertisement
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RSAL MINTOHARDJO
Dokter Pembimbing : dr. Lilly Zulkarnain, Sp.A
Nama Mahasiswa
: Bella Pratiwi
NIM
: 030.14.030
I.
Tanda tangan :
IDENTITAS
PASIEN
Nama
: An. Sintya Bella
Suku Bangsa : Medan
Umur
: 13 tahun
Agama
:Islam
Pendidikan
: SMP
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat
: Pondok Gede
ORANG TUA/ WALI
AYAH
Nama
: Tn. Akbar
Agama
: Islam
Umur
: 40 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: TNI AL
Suku Bangsa : Medan
Alamat
: Pondok Gede
IBU
Nama
: Ny. Titin
Agama
: Islam
Umur
: 37 Tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
:Ibu RumahTangga
Suku bangsa : Betawi
Alamat
: Pondok Gede
Hubungan dengan orang tua : anak kandung
II. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 11 Oktober 2019 (hari
ketiga perawatan)
KELUHAN UTAMA
Demam sejak 5 hari SMRS
KELUHAN TAMBAHAN
Nyeri ulu hati, mual, nyeri kepala.
RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT
Pasien seorang perempuan berusia 13 tahun, datang ke IGD RSAL dr.
Mintohardjo dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam awal muncul pada
malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan diukur dirumah 38°C. pasien diberikan
paracetamol oleh ibunya, demam turun menjadi 37,4°C. hari kedua demam pasien
demam sekitar 37,5°C pada siang hingga sore hari dan demam sekitar 38,5°C hingga
39°C pada malam hari. Pola demam seperti ini berlangsung hingga hari kelima.
Keluhan mual muncul pada hari kedua demam. Mual dirasa terus menerus. Tidak ada
muntah. Disertai nyeri ulu hati dan nyeri kepala.
Pada hari ke-5 demam, pasien dibawa ke IGD RSAL dr. Mintohardjo.
RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
KEHAMILAN
Perawatan Antenatal
Setiap bulan periksa ke dokter kandungan (9x selama kehamilan
di RS)
Penyakit Kehamilan
Tidak ada
KELAHIRAN
Tempat Kelahiran
RS Cilandak
Penolong Persalinan
Dokter
Cara Persalinan
Sectio Caesaria
Masa Gestasi
38 minggu
Berat Badan : 3500 gram
Panjang Badan Lahir : 50 cm
Riwayat kelahiran
Lingkar kepala : tidak tahu
Langsung menangis
APGAR score : tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi pertama
: 6 bulan
Psikomotor
Tengkurap
:4
bulan
Duduk
:6
bulan
Berdiri
:9
bulan
Bicara
: 12
bulan
Berjalan
: 16
bulan
Baca dan tulis : 5
tahun
Gangguan Perkembangan
:-
Kesan Perkembangan
: perkembangan pasien ini sesuai usia
Perkembangan pubertas
: Haid usia 12 tahun
Kesan perkembangan
: Perkembangan pasien sesuai usia
RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN
DASAR (umur)
ULANGAN (umur)
BCG
0 bulan
-
-
-
-
-
DPT/ DT
2 bulan
3 bulan
4 bulan
-
-
-
Polio
0 bulan
2 bulan
-
-
Campak
9 bulan
-
-
-
-
Hepatitis B
0 bulan
2 bulan
-
-
-
MMR
-
-
-
-
-
3 bulan dan
4 bulan
3 bulan dan
4 bulan
Kesan : Imunisasi dasar pada pasien sudah lengkap
-
RIWAYAT MAKANAN
Umur
(Bulan)
ASI/ PASI
BUAH/
BISKUIT
BUBUR SUSU
NASI TIM
0–2
ASI
-
-
-
2–4
Sufor
-
-
-
4–6
Sufor
-
-
-
6–8
Sufor
√
-
-
8 – 10
Sufor
√
√
10-12
Sufor
√
-
√
Kesan: Pasien saat ini sudah mengikuti makanan keluarga.
JENIS MAKANAN
FREKUENSI DAN JUMLAHNYA
Nasi/ pengganti
2x/ hari
Sayur
2x/hari
Daging
3x/minggu
Ayam
3x/minggu
Telur
1-2x/ minggu
Ikan
Jarang
Tahu
Jarang
Tempe
Jarang
Kesan: asupan gizi pasien cukup baik
RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
PENYAKIT
KETERANGAN
PENYAKIT
KETERANGAN
Diare
1 tahun
Rubella
-
Otitis
-
Parotitis
-
Radang Paru
-
Demam Berdarah
-
Tuberculosis
-
Demam Tifoid
-
Kejang
-
Cacingan
-
Ginjal
-
Alergi
-
Jantung
-
Kecelakaan
-
Darah
-
Operasi
-
RIWAYAT KELUARGA
DATA CORAK PRODUKSI
No
Tanggal lahir Jenis
Hidup
Lahir
Abortus Mati
(umur)
Kelamin
mati
1.
13 tahun
Perempuan
Hidup
-
-
-
2.
12 tahun
Laki-laki
Hidup
-
-
-
Keterangan
(sebab)
Pasien
Sehat
DATA KELUARGA
AYAH/ WALI
IBU/ WALI
Perkawinan ke-
1
1
Umur saat menikah
27 Tahun
23 Tahun
Kosanguinitas
-
-
Keadaan kesehatan/
penyakit bila ada
-
-
RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA
Tidak ada penyakit keturunan dalam keluarga
DATA PERUMAHAN
Kepemilikan rumah: Rumah milik sendiri
Keadaan rumah:
Rumah 1 lantai dengan 3 kamar tidur dan 3 kamar mandi. Cukup banyak, cahaya
matahari masuk rumah. Untuk kebutuhan air mandi dan mencuci menggunakan air sumur
bor. Untuk minum dan memasak menggunakan air kemasan. Jarak septic tank lebih dari 10
meter. Rumah dibersihkan setiap hari. Sampah rumah tangga dibuang ke tempat sampah
besar.
Keadaan lingkungan:
Rumah berada di lingkungan bersih dan baik. sampah rumah tangga diambil setiap
hari oleh petugas kebersihan.
Kesan: Kondisi rumah dan keadaan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal
: Rabu, 9 Oktober 2019
Pukul
: 13.00 WIB
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda vital
:
Nadi
: 86x /menit, reguler, volume cukup, equalitas sama kanan kiri
Suhu
: 37,40C
RR
: 22x/menit
TD
: 120/80 mmHg
Data Antropometri
:
BB
: 81 kg
Lingkar kepala
: cm
Lingkar dada
: 112 cm
Lingkar lengan atas
: 44 cm
Status Gizi

TB : 160 cm
:
BMI
Uji torniquet
: Negatif
STATUS GENERALIS
KEPALA
Bentuk dan ukuran
: Normocephali
Rambut dan kulit kepala
: Warna rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut. kulit kepala bersih.
Mata
: Palpebra tidak tampak oedem, konjungtiva tidak
anemis, kornea jernih, sklera putih tidak ikterik, pupil
bulat isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks
cahaya tidak langsung +/+
Telinga
: Normotia, sekret -/-, serumen -/-
Hidung
: Sekret -/-, deviasi septum (-), nafas cuping hidung (-).
Epistaksis -/-
Bibir
: Warna merah muda, bibir kering (+)
Mulut
: Mukosa bukal merah muda, gusi berdarah (-),
stomatitis aphtosa (-), lidah kotor (-), oral hygiene
baik, halitosis (-)
Gigi-geligi
: Gigi belum lengkap (atas 6, bawah 4), karies (-)
Lidah
: Normoglotia, tidak ada papil atrofi ,
lidah kotor (-)
Tonsil
: T1-T1 tampak tenang, kripta tidak melebar, detritus ()
Faring
: Hiperemis (-) sekret (-) arkus faring simeteris, uvula
ditengah
LEHER
: Trakea ditengah, tidak teraba pembesaran kelenjar
tiroid, tidak teraba kelenjar getah bening
THORAKS
Dinding thoraks
I : bentuk dada datar, simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan dinamis
PARU
I : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, tidak ada bagian yang tertinggal, tidak
terdapat retraksi
P : Vocal fremitus sama teraba sama kuat pada kedua lapang paru
P: Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru kanan-hepar
: setinggi ICS V linea midklavikularis dextra
Batas paru kiri-gaster
: setinggi ICS VII linea axillaris anterior
A: Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi basah halus -/-. Wheezing -/-
JANTUNG
I : Ictus cordis terlihat pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Ictus cordis teraba pada linea midclavicularis sinistra setinggi ICS V
P : Batas kanan jantung
: linea parasternalis dextra setinggi ICS III, IV, V
Batas kiri jantung
: linea midklavikularis sinistra setinggi ICS V
Batas atas jantung
: linea parasternalis sinistra setinggi ICS II
A: Bunyi jantung I-II irama reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
I : bentuk datar, simetris, tidak tampak pelebaran vena
A : Bising usus (+) 6x/menit
P : lemas, tidak teraba massa, hepar tidak teraba, lien tidak teraba, turgor kulit normal,
nyeri tekan epigastrium (+)
P: timpani pada empat kuadaran abdomen, shifting dullness(-), nyeri ketok (–)
ANUS
Tidak ada kelainan
GENITAL
Jenis kelamin perempuan
ANGGOTA GERAK
Akral hangat, tidak terdapat oedem dan sianosis pada keempat ekstremitas, turgor
kulit baik, CRT <2 detik
KULIT
Warna kulit sawo matang, tidak kering, tidak terdapat ptekie pada ekstremitas atas
maupun bawah
KELENJAR GETAH BENING
Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening suboccipital, retroaurikuler,
preaurikular, submandibular, submental, sepanjang cervical, supraklavikular,
infraklavikula, axilla, inguinal
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks fisiologis : Biceps + +/++ , Triceps ++/++ , Patella ++/++ ,
Achilles++/++
Refleks patologis : Babbinski -/- , Chaddok -/- , Gordon -/Tanda rangsang meningeal (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hematologi darah rutin: 9 Oktober 2019 RSAL dr. Mintohardjo
PEMERIKSAAN
HASIL
NILAI RUJUKAN
Leukosit
5.900/μL
5.000-10.000/μL
Eritrosit
4,69 juta /μL
4,6-6,2 juta/μL
Hemoglobin
12,4 g/dL
12-14 g/dL
Hematokrit
40%
37-42%
Trombosit
149.000/μL
150.000-450.000/μL
Basofil
0%
0-1%
Eosinofil
2%
0-3%
Neutrofil
68%
50-70%
Limfosit
27%
20-40%
Monosit
3%
2-8%
IgG Dengue
Negatif
Negatif
IgM Dengue
Negatif
Negatif
Salmonella typhi O
Negatif
Negatif
Salmonella typhi H
Negatif
Negatif
Salmonella paratyphi AO
Negatif
Negatif
HITUNG JENIS
IMUNOSEROLOGI
Widal Test
Salmonella paratyphi AH
Negatif
Negatif
Salmonella paratyphi BO
Negatif
Negatif
Salmonella paratyphi BH
Negatif
Negatif
Salmonella paratyphi CO
Negatif
Negatif
Salmonella paratyphi CH
Negatif
Negatif
Kesan:
-
Secara umum dari hasil pemeriksaan hematologi rutin secara serial didapatkan
adanya penurunan trombosit
V. RESUME
Pasien seorang perempuan berusia 13 tahun, datang ke IGD RSAL dr.
Mintohardjo dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS. Demam awal muncul pada
malam hari sekitar pukul 20.00 WIB dan diukur dirumah 38°C. pasien diberikan
paracetamol oleh ibunya, demam turun menjadi 37,4°C. hari kedua demam pasien
demam sekitar 37,5°C pada siang hingga sore hari dan demam sekitar 38,5°C hingga
39°C pada malam hari. Pola demam seperti ini berlangsung hingga hari kelima.
Keluhan mual muncul pada hari kedua demam. Mual dirasa terus menerus. Tidak ada
muntah. Disertai nyeri ulu hati dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tanda-tanda vital TD 120/80 mmHg, temperature 37,4°C, Nadi 86 kali permenit,
regular,isi cukup, ekualitas sama kanan dan kiri, pernapasan 22 kali permenit.
Terdapat nyeri tekan pada epigastrium.
Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Orang-orang
disekitar pasien tidak pernah mengalami hal serupa.
Pada hasil pemeriksaan laboraturium darah yang dilakukan pada tanggal 9
Oktober 2019 didapatkan penurunan trombosit menjadi 149.000 /μL.
VI. DIAGNOSIS
Demam Tifoid
VII.DIAGNOSIS BANDING
Dengue fever
Influenza
VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tubex tes
Gaal kultur
IX. PROGNOSIS
X.
Ad vitam
: ad bonam
Ad functionam
: ad bonam
Ad sanationam
: dubia
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa :

Kloramfenikol 50mg/kgBB/hari

Paracetamol 3x500 mg

Omeprazole 1x20 mg
Non Medikamentosa :
•
Tirah baring
•
Makan makanan lunak
FOLLOW UP
Tanggal
S
O
A
P
11/10/19
- Demam hari ke 7
- Sakit perut (+)
- nyeri kepala (+)
- Batuk (-)
- Pilek (-)
- Sesak (-)
- Mual (+)
- Muntah(-)
- BAB (+) padat
-BAK (+)
-Intake Baik
-
- Demam
Tifoid
-
Hari ke 2
MRS
CM
N: 88x/menit
S: 39,8C (05.00)
S : 36,7C (11.00)
S : 37,6C (15.00)
S : 38,9C (19.00)
S : 38,5C (23.00)
TD 110/80 mmHg
RR:24 x/menit
Thoraks: SNV
Wh-/-. Rh -/-; BJ
1&2 reg, M -, G - Abdomen: supel,
BU + 6x/m, turgor
kulit baik, Hepar
tidak teraba
epigastrium (-)
Ekstremitas:
hangat(+), CRT <2
detik
-
IVFD RL 25 tpm
Diet ML
Inj. Omeprazole 1x1
amp
Paracetamol 3x500 mg
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
12/10/19
Hari ke 3
MRS
- Demam hari ke 8
- Sakit perut (+)
- nyeri kepala (-)
- Batuk (-)
- Pilek (-)
- Sesak (-)
- Mual (+)
- Muntah(-)
- BAB (+) padat
-BAK (+)
-Intake Baik
-
CM
N: 88x/menit
S: 38,3C (05.00)
S : 36,6C (11.00)
S : 37,6C (15.00)
S : 38,7C (19.00)
S : 38,4C (23.00)
TD 100/80 mmHg
RR:22 x/menit
Thoraks: SNV
Wh-/-. Rh -/-; BJ
1&2 reg, M -, G - Abdomen: supel,
BU + 2x/m, turgor
kulit baik, Hepar
tidak teraba
epigastrium (-)
Ekstremitas:
hangat(+), CRT <2
detik
Demam
Tifoid
-
IVFD RL 25 tpm
Diet ML
Inj. Omeprazole 1x1
amp
Paracetamol 3x500 mg
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Boleh rawat jalan
ANALISIS KASUS
Diagnosis kerja kasus pasien ini adalah demam tifoid. Pertimbangan diagnosisnya sebagai
berikut:
1.
Pasien mengalami demam lebih dari 7 hari
2.
Pola demam fluktuasi dimana terjadi peningkatan suhu tubuh pada malam hari dan
demam turun pada siang hari.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
12.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
2.2 Epidemiologi
Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai rekomendasi World
Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan prevalens penyakit tersebut di
dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus demam tifoid di negara berkembang
sangat terbatas, terutama di tingkat komunitas, sehingga prevalens penyakit yang
sesungguhnya sangat sulit diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan
bahwa pada tahun 2000, estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian
terjadi pada 216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut
diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi karena
pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun.4 Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi
dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada
91% kasus.3
Terjadinya
penularan
Salmonella
typhi
sebagian
besar
melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal
= jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil
yang berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-
fekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya
dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1,3
2.3 Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel
yang dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktorR yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
Gambar 2.1. Salmonella Typhi
2.4 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica,
dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di
dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang
mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer
patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan
infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada
lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan
seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejenum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda
dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa
pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare
diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anakanak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi
dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Patogenesis (serotipe invasif)
Epitel usus
fagositosis
Lamina propria
respons inflamasi
endotoxin (lokal, sistemik)
Plaque Payeri
multiplikasi
Duktus torasikus
bakteriemi primer
Lokal: inflamasi
Sistemik: pengeluaran
Makrofag sitokin ->
Demam,depp SSTl
sirkulasi
Organ target RES (hati,limpa,ss.tl)
bakteriemi sekunder
Organ lain ( fenomena metastasis)
Gambar 2.2. Patofisiologi Demam Tifoid
2.5 Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda
klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama
pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten,
lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan
kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat
pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler
terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang
tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin
progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna
merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang
didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut,
dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.Limpa umumnya
membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan harus dibedakan
dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak
progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
2.6 Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap
dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise,
anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta
gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan
kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari
anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu
panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan
diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh
tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose
spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan
abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika
tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun
malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang
diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.4,5
2.7 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer,
yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak
selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit
oleh toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan
dapat pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif,
aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada
perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi
maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji
serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa
antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan
adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen
spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang
diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang
digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896.
Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan
antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita
dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang
sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer
antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1.
Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2.
Aglutinin H (flagel kuman)
3.
Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang
telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul
lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak
dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk
menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai
uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif,
96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak
menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan
bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu
pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut
karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dari pada uji Widal.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara
berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam
tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

Mendeteksi infeksi akut Salmonella

Muncul pada hari ke 3 demam

Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda
dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi
dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi
sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai
reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah
distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.4
Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan
mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran
klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih
mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan
pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah
yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah
mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan
teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase
chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi
risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur
teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang
bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah
serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi
dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis
masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya
masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6
Tabel 2.1. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang pada demam tifoid
2.8 Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis
dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia,
limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.1
2.9 Penatalaksanaan
Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal
ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka
terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang
memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah
pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya
vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit
meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga
mencapai keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu
(thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat
pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga sebaliknya.7
Medika Mentosa
Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani demam
tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik. Pemberian rehidrasi oral
ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi
darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup
seorang anak penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan dibanding
orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa komplikasi, tidak perlu
dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral serta istirahat baring di rumah sudah
cukup untuk mengembalikan kondisi anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.
Persoalan pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap beberapa
obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam tifoid atau yang disebut
dengan Multi Drug Resistance (MDR). S. Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol , yang
pertama kali timbul pada tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat
ampisilin, amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap
fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan antibiotik untuk
demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam tifoid tanpa komplikasi, baik
sebagai terapi utama maupun alternatif dan terapi untuk demam tifoid yang berat atau
dengan komplikasi yang membutuhkan pengobatan parenteral 8,9,10
Tatalaksana antibiotik
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga
faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid
pada anak, terutama di negara berkembang.1 Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat
antibiotik
lini
pertamanya
adalah
golongan
fluorokuinolon,
seperti
ofloksasin,
siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin.
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Medis IDAI, tatalaksana antibiotik dapat diberikan:

Kloramfenikol (DOC) 50-100 mg/kgBB/hari, peroral/IV dibagi 4 dosis selama 1014 hari

Amoksisilin 100mg/kgBB/hari oral/IV selama 10 hari

Kotrimoksasol 6 mg/KgBB/Hari oral selama 10 hari

Seftriakson 80 mg/KgBB/hari IV/IM sekali sehari selama 5 hari

Sefiksim 10 mg/KgBB/Hari, oral dibagi 2 dosis selama 10 Hari

Kortikosteroid diberikan pada kasus
berat
dengan
gangguan kesadaran
(Dexamethasone 1-3 mg/KgBB/Hari IV dibagi 3 dosis sampai kesadaran membaik)8
Tabel 2.2. Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik Departemen IKA
RSCM.3
2.10 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus (intraintestinal)
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda
– tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat
udara diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang,
dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus (ekstraintestinal)
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan
oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul
pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses
paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam
batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek
dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas
sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella
havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering
terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara
lain : sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui
urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat
juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier
temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada
10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3
minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik
karier adalah jenis kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan
cholelithiasis. Pasien dengan traktus urinarius yang abnormal, seperti
schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang
lama.
2.11 Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol
atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di
dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak
menelan air di pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut. Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan
sayuran tersebut dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran
tersebut masih segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar
sebaiknya tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.

Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun
tidak ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli
makanan dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas
kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda
tidak lagi menyebarkan bakteri Salmonella.

Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan
menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa
ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik
untuk mengendalikan demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum
antibiotik, dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas
2 tahun. Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 612 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval
4 minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam
pada pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping
yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi
dalam buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan
pengulangan (booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
2.12 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka
mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan
pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak
– anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh
pasien demam tifoid.1
3. Ringkasan Pembahasan Kasus
Pada pasien ini didapatkan demam sudah hari ke 7, dimana demam naik perlahan sejak
hari pertama dengan demam naik turun dan tinggi terutama pada sore hingga malam hari.
Selain itu pasien juga merasakan adanya gejala gastrointestinal berupa mual, muntah dan
BAB cair dan berlendir. Dari data diatas diperkirakan penyebab demam adalah infeksi bakteri
dengan suspek utama adalah tifoid. Pada pemeriksaan fisik didapatkan coated tongue,nyeri
tekan epigastrium, dan hepatomegali sebesar 1/3-1/3 dengan tepi tajam, licin, dan konsistensi
kenyal. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukopenia, trombositopenia ringan, dan
hitung jenis shift to the right. Hal ini memang tipikal pada infeksi virus, akan tetapi suspek
tifoid tidak bisa dihilangkan. Pada pemeriksaan widal didapatkan titer Typhi O dan H
meningkat, dan juga paratyphi A dan B pada antigen O dan H juga meningkat sebesar 1/320.
Untuk memastikan, dilakukan pengecekan Tubex TF pada pasien ini dan diapati hasilnya
adalah 6 yang menandakan pasien terindikasi kuat terkena demam tifoid. Oleh karena itu
diagnosis kerja demam tifoid sudah bisa ditegakan.
Untuk penatalaksanaan diberikan asupan cairan melalui infus karena pasien sangat
sulit minum dan didapatkan tanda dehidrasi ringan. Diberikan cairan asering (berisi asetat
agar tidak membebani kerja hepar), sebanyak 3 cc/KgBB/Jam. Dengan berat badan 20 Kg,
pasien memiliki kebutuhan cairan sekitar 1500 mL. Dengan memberikan cairan sebanyak
3cc/KgBB/Jam maka pasien akan mendapatkan cairan sekitar 1440 mL. Kekurangan cairan
60 mL diharapkan didapatkan pasien pada saat minum secara oral. Untuk asupan makanan,
pasien sangat sulit untuk makan dikarenakan rasa mual dan sakit perut yang hebat, pasien
diberikan antasid sebanyak 3x5cc seharinya. Penggunaan ranitidin bertujuan untuk
menghilangkan rasa mual dan nyeri perut sehingga pasien dapat segera makan makanan
secara normal dengan rendah serat secepatnya. Selanjutnya untuk pengobatan kausal
diberikan terapi pilihan utama pada demam tifoid yakni kloramfenikol dengan dosis 100
mg/KgBB/Hari yang dibagi menjadi 4 dosis perharinya sehingga dosis yang ditetapkan
adalah 4x500 mg perharinya selama 10 hari. Pengobatan simptomatik lainnya adalah
penggunaan Paracetamol sebagai antipiretik dengan dosis 10mg/KgBB/hari.
4. Kesimpulan
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi yang
ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan masuk ke saluran cerna dan
melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa demam,
gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang terjadi lebih dari 7 hari
terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi hari. Gejala gastrointestinal bisa
terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu
lidah kotor dengan tepi hiperemi yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf
Pusat berupa Sindroma Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam
keadaan yang berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.
Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang dapat
menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal, atau pemeriksaan
serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan tirah
baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan Antibiotika yang
memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman Salmonella typhi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2.
Rezeki,
Sri.
Demam
tifoid.
2008.
Diunduh
dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diket
ahui.html. 10 april 2019.
3.
Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
4.
Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
5.
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
6.
Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
7.
Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo.
2012.
Diunduh
dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01
_08_2012.pdf.10 april 2019 .
8.
Sánchez-Vargas FM, Abu-El-Haija MA, Gómez-Duarte OG. Salmonella infections: an
update on epidemiology, management, and prevention. Travel Med Infect Dis
2011;9:263-77.Background document : the diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. [homepage on the Internet]. Switzerland :Communical disease
surveillance and response Vaccines and Biologicals; 2003. Diunduh pada april 2019 dari
: http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/ WHO_V&B_03.07.pdf
9.
Bhuta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid fever. Br Med J
2006;333:78–82.
10. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Wamy AJ. Current trends in the management of typhoid
fever. Med J Armed Forces India 2003; 59:130-5.
Download