Uploaded by r_ghozali

Konsep Kalimah Sawa

advertisement
Kalimah Sawa’ Upaya Dialogis Menuju Titik Temu Teologis
(Tinjauan Tafsir QS. Ali Imran ayat 64)
Pendahuluan
Dalam Al qur’an Allah SWT banyak berbicara tentang berbagai persoalan
menyangkut pedoman interaksi antar pemeluk agama yang berbeda. Salah satu ajaran Al
qur’an yang sering dijadikan landasan yaitu seruan atau ajakan kepada kaimah sawa’
yang tercantum dalam QS. Ali Imran: 64 yang berbunyi, “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab,
marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan
antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah)".
Melalui makalah ini penulis berusaha mengkaji dan mengurai apa yang dimaksud
dengan kalimah sawa’ tersebut,
Defnisi Kalimah Sawa’
Kalimah sawa’ terdiri dari dua suku kata bahasa Arab, yaitu kalimah dan sawa’.
Kata kalimah bermakna kata. Adapun kata sawa’ sendiri, secara etimologis setidaknya
memiliki tiga makna. Pertama, sesuatu yang serupa, sama atau semisal. Sebagaimana
yang disebutkan dalam al Qur’an, “Sama saja (bagi Tuhan), siapa di antaramu yang
merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan ucapan itu, dan siapa
yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari.” 1
Kedua, tengah, pertengahan atau bagian tengah dari sesuatu. Makna kedua ini juga
disebutkan dalam al-Qur’an, “Maka ia meninjaunya, lalu ia melihat temannya itu di
tengah-tengah neraka menyala-nyala.”2 Ketiga, adil. Makna yang terakhir ini
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Manzhur yang mengutip QS. Ali Imron ayat 64
1
2
QS. Ar Ra’du: 13:10.
QS. As Shoffat: 37, 55.
yang berbunyi, “Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (adil) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu.” Dalam Mu'jam wa
Tafsir Lughowi li Kalimati Qur'an bahwa arti kalimah sawa' dalam QS. Ali Imran ayat 64
adalah kalimat adil atau sama.3 Adil yang melambangkan keseimbangan, kematangan
dan kesetaraan. Maka dari itu, seorang pemuda yang telah mencapai “kematangan” dalam
bahasa Arab disebut Istawa’ ar rajulu (laki-laki itu telah mencapai kematangan). Melihat
kepada makna kata sawa’ yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sawa’
secara bahasa adalah sesuatu yang serupa, sama atau semisal, pertengahan atau bagian
tengah dari suatu benda (atau keadaan), selain itu, ia juga ia bermakna adil.
Tafsir Kalimah Sawa’
Sebelum membahas lebih mendalam penafsiran para ulama terkait kalimah sawa’
dalam QS. Ali Imron ayatt 64, perlu kiranya diterangkan lebih dahulu latar belakang atau
sebab turun ayat tersebut, yang lebih dikenal dengan istilah asbabu nuzul. Hal ini
dikarenakan pengetahuan tentang asbabu nuzul merupakan salah satu bagian terpenting
dalam ilmu tafsir khususnya, karena ia bisa membantu mufassir dalam mengungkap
makna yang sebenarnya, hikmah di balik penetapan sebuah hukum serta upaya
memahami pesan al-Qur’an secara komprehensif dan proporsional. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh az Zarkasy dalam Al Burhan fi Ulumil qur’an bahwa mengetahui asbabu
nuzul merupakan jalan yang kuat dalam memahami makna-makna al-Qur’an dan
menghindarkan dari kesalahpahaman.4 Demikian halnya Ibnu Taimiyah
yang
menyatakan bahwa mengetahui asbabu nuzul sangat membantu untuk memahami ayatayat al-Qur’an, karena ilmu tentang sebab akan mewariskan ilmu tentang musabbab.5
3
`
Hasan 'Izzuddin bin Husein, Mu'jam wa Tafsir Lughowu li Kalimat Qur'an, (Mesir: al-Hai'ah
al-Mishriyah al'Amah lil Kitab, 2008 M), Jilid. II, hlm. 363.
4
Lihat: az Zarkasy, al Burhan fii Ulumu al Qur’an, tahqih. Muhammad Abu Fadhl Ibrahim,
(Beirut: Dar Ihya’ Kutub al ‘Arabiyah, 1957 M), Jilid. 1, hlm. 22-27.
5
Lihat: Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, tahqiq. Abdurrahman bin Muhammad, (Madinah:
Majma’ al Malik Fahd Li Thoba’ah al Mushaf as Syarif, 1995 M), Jilid. 13, hlm. 339.
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai sebab turun ayat 64 dari surat Ali
Imron tersebut. Secara umum perbedaan di antara mereka berkisar pada permasalahan
siapakah Ahlu Kitab yang dimaksudkan dalam ayat itu. Sebagian berpendapat bahwa
Ahlu Kitab yang dimaksud dalam ayat tersebut yaitu golongan Nasrani Najran. Sebagian
yang lain berpendapat Ahlu Kitab dari golongan Yahudi Madinah. Sedangkan sebagian
yang lain berpendapat kedua-duanya, baik Yahudi maupun Nasrani. Ada dua alasan yang
dipakai oleh para ulama yang berpendapat bahwa ayat tersebut mencakup kedua
golongan tersebut. Pertama, zahir lafazh ayat mencakup kedua penganut agama tersebut,
baik Yahudi maupun Nasrani. Kedua, kesesuaian dengan sabab nuzulnya. Sabab nuzul
yang dimaksud ialah orang-orang Yahudi menuduh dakwah tauhid yang diserukan oleh
Nabi Muhammad SAW hanyalah ajakan untuk menjadikan Rabb selain Allah SWT,
sebagaimana yang terjadi dalam agama Nasrani yang menuhankan Isa ‘alaihi salam.
Begitu pula orang-orang Nasrani, mereka menuduh beliau hanya menyeru kepada
peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana yang ada dalam keyakinan orang-orang
Yahudi tentang Uzair. Lalu Allah turunkan ayat ini untuk menjawab tuduhan mereka
tadi.6
Salah satu ulama tafsir yang berpendapat bahwa Ahlu Kitab yang dimaksudkan
dalam ayat tersebut adalah golongan Nasrani yaitu Fakhruddin ar-Razi. Nasrani yang
dimaksudkan yaitu Nasrani Najran. Menurutnya, sebelum ayat itu turun, Rasulullah SAW
terlibat perdebatan dengan mereka. Saat itu Rasulullah SAW menyampaikan argumentasi
terkait kebenaran Islam dan kebatilan keyakinan mereka yang tidak dapat disanggah oleh
pihak Nasrani Najran. Selanjutnya, karena tidak dapat membantah argumentasi beliau,
Rasulullah SAW menantang mereka untuk melakukan mubahalah. Tantangan ini tidak
mereka tanggapi karena takut. Akhirnya, mereka lebih memilih untuk membayar jizyah
(upeti) sebagai bentuk kompensasi.7
Ar Razi menambahkan, setelah melihat sikap Nasrani Najran yang lebih memilih
membayar jizyah tersebut, beliau yang awalnya sangat berharap agar mereka mau
menerima kebenaran Islam, sedikit berkecil hati. Melihat keadaan Nabi yang demikian,
6
Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib¸(Beirut: Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1420 H), Jiliid
VIII, hlm. 251-252.
7
Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib¸(Beirut: Dar Ihya’ Turats al-‘Arabi, 1420 H), Jiliid
VIII, hlm. 251-252.
dan demi tercapainya hasrat beliau, seolah-olah Allah SWT berfirman, “Wahai
Muhammad! Tinggalkanlah cara menyeru yang demikian, beralihlah kepada cara yang
lebih baik, yang bisa diterima oleh setiap manusia yang berakal sehat, dengan mengajak
mereka kepada suatu kalimat Ar-Razi menambahkan, setelah Rasulullah SAW melihat
sikap Nasrani Najran yang (semboyan) adil yang bisa diterima semua pihak, tidak
memberatkan satu sama lain, selain itu ia juga merupakan tujuan diutusnya para Nabi dan
Rasul, yaitu kalimah sawa’ yang mengandung ajakan untuk mengesakan Allah SWT,
tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan tidak mengangkat Rabb selainNya. Dan yang terpenting, seruan ini merupakan misi bersama risalah para nabi dan
Rasul dan tujuan diturunkannya Kitab suci Al Qur’an, Taurat dan Injil.8 Hal ini
sebagaimana yang ditegaskan Qotadah yang dikutip oleh Ibnu katsir,
‫ وأصله عبادة اهلل وحده ال شريك له‬، ‫فإن مجيع األنبياء قبله كله كانت دعوته إىل اإلسالم‬
“Sesungguhnya dakwah para Nabi sebelum Nabi Muhammad seluruhnya menyeru
kepada Islam yang asasnya peribadatan kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya”9
Masih menurut ar Razi, alasan lain ayat itu turun terkait penganut agama Nasrani
karena melihat kepada kesesuaian dengan kronologi peristiwa sebelum ayat itu turun
yang sudah disinggung sedikit sebelumnya. Awalnya, Rasulullah SAW menyampaikan
argumentasi kebenaran Islam kepada Nasrani Najran yang tidak dapat mereka bantah,
namun tetap saja mereka tidak mau beriman. Setelah itu, Nabi menantang mereka untuk
melakukan mubahalah. Tantangan ini pun tidak mereka tanggapi karena takut. Maka
kemudian beliau menggunakan cara lainnya, yaitu dengan mengajak mereka kepada satu
kata (slogan) yang adil, logis dan tidak memihak kepada salah satu golongan apa pun.
Hal ini diketahui melalui panggilan yang beliau gunakan atas mereka dengan sebutan,
“wahai Ahlu Kitab! Panggilan ini merupakan panggilan yang sangat baik. Melihat kepada
substansi yang ada padanya. Mereka dipanggil dengan panggilan wahai para pemilik
Kitab suci Allah SWT. Sebagaimana sebutan kepada penghafal al Qur’an, wahai
pembawa kalamullah dan kepada ahli tafsir, wahai penjelas kitabullah. Kata-kata seperti
ini menunjukkan bahwa pembicara sangat menyanjung lawan bicaranya dan ingin
8
9
382.
Lihat: Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Ghaib…¸ Jiliid. VIII, hlm. 251-252.
Isma>‘il ibn ‘Umar ibn Kathi>r, Tafsi>r ibn Kathi>r, jilid III, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2005 M), hlm.
melunakkan hatinya. Hal seperti ini biasa terjadi ketika orang yang berdebat ingin
berdialog dengan lawan bicaranya dengan dialog yang sehat. 10
Selain alasan di atas, menurut ar-razi, yang menunjukkan bahwa ayat tersebut
ditujukan kepada Nasrani yaitu kesesuaian tiga hal yang ada pada mereka dengan konteks
ayat tersebut. Tiga hal tersebut yaitu; Pertama, beribadah kepada selain Allah SWT. Ini
bisa dilihat dari peribadatan mereka kepada Isa Al Masih bukan kepada Allah SWT.
Kedua, menyekutukan Allah SWT yang bisa dilihat dari doktrin trinitas yang ada pada
keyakinan mereka. Ketiga, mengangkat Rabb (sesembahan) selain Allah SWT. Adapun
yang terakhir ini yaitu dalam permasalahan ketaatan kepada selain Allah SWT. Ketaatan
yang dimaksud ialah taat kepada rahib- rahib yang menghalalkan apa yang diharamkan
Allah SWT dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya. Padahal hak menghalalkan dan
mengharamkan hanyalah bagi Allah SWT. Artinya, di sini mereka telah berbuat syirik
dalam rububiyatullah. Semua keadaan ini dapat ditemukan pada setiap pemeluk agama
Nasrani. Maka dari itu, Allah SWT menyeru mereka untuk meninggalkan itu semua dan
beralih kepada kalimah sawa’.11
Adapun makna sawa’ sendiri dalam ayat ini menurut ar-Razi adalah adil. Adil
yang dimaksudkan yaitu tidak berlaku zhalim atas diri dan orang lain serta mampu
membagi rata antara bagian yang didapatkan dengan apa yang diberikan. Maka apabila
ada orang yang masih berlaku zhalim atas diri sendiri maupun orang lain dan tidak bisa
membagi rata antara apa yang ia dapatkan dengan apa yang ia berikan, maka ia tidak bisa
dikatakan telah berlaku adil. Pemaknaan ar-Razi terhadap kata sawa’ dengan adil tersebut
sama dengan az-Zujaj. Menurut az Zujaj, kata sawa’ dalam ayat tersebut adalah adil,
lurus dan sama.12 Lalu, dimanakah letak keadilan kalimah sawa’ di sini? Menurutnya, ada
tiga hal yang menunjukkan keadilan kalimah sawa’ ini. Pertama, sebelum Isa al-Masih
diutus tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah SWT. Maka, setelah ia
diutus pun seharusnya tetap demikian adanya. Kedua, tidak mungkin Ilah atau Tuhan
yang berhak disembah memiliki sekutu. Logika ini diterima oleh setiap orang yang
berakal sehat. Ketiga, apabila Dzat yang Menciptakan dan Maha Pemberi nikmat adalah
Allah SWT, maka sudah pasti hak untuk menghalalkan, mengharamkan dan ketaatan
10
bid. Jiliid. VIII, hlm. 251-252.
Ibid. Jiliid. VIII, hlm. 251-252.
12
Ibid. Jiliid. VIII, hlm. 251-252.
11
mutlak milik-Nya semata. Jika demikian adanya, maka bisa dikatakan bahwa ajakan
untuk beralih kepada kalimah sawa’ ini adalah ajakan yang adil. Sebab ia merupakan
ajakan yang tidak memihak kepada salah satu agama atau ajaran tertentu saja. Melainkan
ia merupakan ajakan yang bisa diterima oleh semua pihak. Di sinilah letak keadilan
kalimah sawa’ tersebut.
At Thantawi sepakat dengan ar Razi terkait pemaknaan sawa’ dengan adil.
Menurutnya, melalui ayat ini Rasulullah diperintahkan Allah SWT untuk menyeru Ahli
Kitab kepada satu kalimat adil yang menjadi kesepakatan para Nabi dan Rasul, ajaran
semua kitab suci yang diturunkan-Nya dan dapat diterima setiap orang yang berakal
sehat, karena ia merupakan seruan yang tidak memihak ke salah satu atau golongan
tertentu. Ajakan atau seruan tersebut mengandung tiga hal. Pertama, beribadah hanya
kepada Allah dengan mengesakan-Nya, ibadah, ketaatan dan ketundukan. Kedua, tidak
menyekutukannya dengan sesuatu apa pun, seperti keyakinan bahwa Dia adalah yang
Satu dari yang Tiga (doktrin trinitas). Ketiga, tidak mentaati makhluk-Nya dalam
kemaksiatan. Al Alusi menambahkan, perintah ini sebagaimana ditegaskan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh 'adi bin Hatim ketika ayat ini turun, ia berkata, “wahai Rasulullah
SAW kami tidak beribadah kepada mereka”. Rasulullah SAW kemudian menimpali,
“Bukankan mereka (para rahib) itu menghalalkan apa yang diharamkam oleh-Nya dan
mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya dan kalian mentaatinya? Adi bin hatim
menjawab, “Ya, Wahai rasulullah”, kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Itulah yang
dimaksud dengan beribadah kepada mereka.”13
As Sya’rawi dalam tafsirnya al Khowathir menjelaskan makna akhir ayat
tersebut. Menurutnya, pada akhir ayat QS. Ali Imron; 64 Allah SWT memerintahkan
hamba-Nya apabila mereka (orang-orang kafir) itu menolak diajak beribadah kepada
Tuhan Yang Satu, Rabb yang tidak memiliki sekutu dalam menghalalkan dan
mengharamkan, itu berarti mereka belum siap menerima kebenaran iman, sebab
keimanan itu berkonsekuensi kepada keyakinan bahwa hanya Allah SWT semata yang
memiliki kekuasaan mutlaq, yang Maha Esa dan Maha Memerintah dan Melarang segala
sesuatu. Segala perbuatan dan gerakan kita mengikuti perintah dan larang-Nya. Perintah
13
Lihat: Muhammad sayyid Thanthawi, At Tafsir al Washith Lil Qur'an al Karim, (Kairo: Dar
Nahdhoh, 1997 M, cet. 1), jilid. II, hlm. 133-135.
dan larang-Nya yang terangkum dalam dua kata, lakukan atau tinggalkan! Apabila
mereka (orang-orang kafir) menolak ini semua,
maka kita katakan kepada mereka,
"Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada-Nya!"14
Adapun ulama tafsir yang berpendapat bahwa QS Ali Imron ayat 64 ditujukan
kepada semua Ahli Kitab Yahudi dan Nasrani antara lain Wahbah Az Zuhaili.
Menurutnya, Allah SWT melalui ayat ini menyeru segenap hamba-Nya berada dalam
satu milah saja, yaitu milah tauhid. Milah yang hanya menyembah Tuhan Yang Maha
Esa. Sejatinya, seruan ini bukan seruan yang muluk-muluk, namun memiliki tujuan yang
mulia dan besar, yaitu menghindari perdebatan dan permusuhan di antara umat manusia.
Selain itu, ia juga bertujuan menyebarluaskan cinta dan kasih sayang di antara mereka.
Demi tercapaiya tujuan ini, maka Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya agar menyeru
mereka kepada satu kalimah yaitu kalimah sawa'. Satu kalimat yang merupakan
implementasi tauhid dan intisari risalasah para Nabi dan Rasul yang bisa diterima semua
pihak. Tujuannya, agar sama-sama hanya beribadah kepada Allah SWT semata, tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan tidak menjadikan Rabb-rabb selain-Nya
sebagai tandingan.15
Wahbah Az Zuhaili menambahkan, semua agama samawi sepakat akan kewajiban
mentauhidkan Allah SWT dan menetapkan hak Rububiyah-Nya. Kesepakatan tersebut
memiliki konsekuensi bagi setiap pemeluknya. Konsekuensinya antara lain; setiap dari
mereka haruslah menjaga kesempurnaan tauhid sekaligus menghilangkan pertikaian dan
perdebatan. Seandainya mereka menemukan perbedaan pendapat, mereka harus
mengembalikannya kepada inti ajaran setiap agama samawi yang berlandaskan kepada
tauhid. Sehingga jika telah ada kesepakatan seperti ini, maka tidak boleh ada satu pun
dari mereka yang menyekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya. Selain itu, Nabi
sendiri menyeru semua Ahlu Kitab dan yang bukan dari golongan mereka kepada
kalimah sawa’. Seruan tersebut terekam jelas dalam sejarah hidup beliau. melaui juru
tulisnya, ia mengirimkan surat yang mengandung ayat ini kepada para pemimpin non
muslim pada saat itu. Seperti surat beliau kepada kepada Najashi, Hiraklius dan
Muqauqis yang beragama Nasrani dan kepada Kisra yang beragama Majusi. Artinya,
14
Lihat: Muhammad Mutawalli Sya'rowy, al Khowathir Tafsir as-sya'rawy, (Muthabi' AKhbar al
yaum, 1997 M), jilid. III, hlm. 1523-1525.
15
Lihat: Az Zuhaili, At Tafsir al-Washit, (Damasqus: Dar al-Fikr, 1422 H), hlm. 201.
seruan kepada kalimah sawa’ selain merupakan inti ajaran agama samawi, ia juga
merupakan contoh dakwah Rasulullah SAW kepada Ahlu Kitab dan yang bukan Ahlu
Kitab, maka dari itu bisa dikatakan bahwa ayat tersebut berlaku umum bagi semua Ahli
Kitab dan selain mereka.16
Ulama tafsir lainnya yang berpendapat bahwa ayat tersebut ditujukan kepada
semua Ahlu Kitab baik Yahudi dan Nasrani yaitu Ibnu Jarir at Thabari, Ibnu Katsir dan al
Alusi. At Thabari dalam tafsirnya Jami’ul Bayan mengutip beberapa riwayat terkait
asbab nuzul yang menerangkan bahwa ayat tersebut terkait Yahudi, Nasrani dan keduaduanya.17 Adapun Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al Qur’an al-‘Azhim menyisipkan
contoh surat Nabi kepada Hiraklius yang di dalamnya tertera QS. Ali Imran: 64.18
Sedangkan Al Alusi setelah memaparkan tahqiq para ulama terkait asbab nuzul ayat,
berkesimpulan bahwa ayat tersebut bersifat umum, tidak terbatas kepada Nasrani saja.19
Menurut Ibnu Katsir, makna kalimah sawa’ dalam ayat ini adalah ajakan untuk
tidak menyekutukan Allah dengan cara menyembah patung, berhala, salib dan taghut.
Dengan kata lain, ayat tersebut merupakan ajakan kepada Ahli Kitab untuk mentauhidkan
Allah. Ajakan ini sekaligus merupakan tugas dan misi para Nabi dan Rasul. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam QS al-Anbiya’ 21: 2520 dan QS al-Nahl 16: 36.21
Penafsiran Ibnu Katsir terkait pemaknaan kalimah sawa’ tersebut juga dianut oleh Ibnu
16
Lihat: Az Zuhaili, At Tafsir al-Washit, (Damasqus: Dar al-Fikr, 1422 H), hlm. 201.
Lihat: At Thabari, Jamiul Bayan Fii Ta’wil Qur’an, tahqiq. Ahmad Muhammad Syakir,
(Muassasah ar Risalah, 1420 H), Jilid. 6, hlm. 483-485.
18
Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir Qur’an al-Azhim, tahqiq. Sami bin Muhammad Salamah, (Dar
Thayyibah, 1420 H), Jilid. II, hlm. 55-57.
19
Lihat: Syihabuddin Muhammad bin Abdullah al Alusi, Ruhul Ma'ani fii Tafsir al Qur'an al
'Azhim wa as sab'u al Matsani, tahqiq. Ali Abdul Bari (Beirut: Dar al Kutub al ilmiyah, 1415 H), jilid. II,
hlm. 186.
17
ِِ ِ ِ ٍ
ِ َ ِ‫وما أَرس ْلنَا ِمن قَبل‬20
ِ ‫اعب ُد‬
ِ ِ
‫ون‬
ْ ْ َ ْ ََ
ُ ْ َ‫ك م ْن َر ُسول إال نُوح إلَْيه أَنههُ ال إلَ َه إال أَنَا ف‬
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan
kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian
akan Aku".
ِ
ِ
ِ ‫ولََق ْد ب عثْنَا ِِف ُك ِّل أُهم ٍة رسوال أ َِن ْاعب ُدوا اللهه و‬21
‫هت َعلَْي ِه‬
ْ ‫وت فَمْن ُه ْم َم ْن َه َدى اللههُ َومْن ُه ْم َم ْن َحق‬
َ ‫اجتَنبُوا الطها ُغ‬
ْ ََ
ََ َ
ُ
َُ
ِ
ِ
ِ ‫األر‬
‫ي‬
َ ِ‫ف َكا َن َعاقبَةُ الْ ُم َك ِّذب‬
َ ‫ض فَانْظُُروا َكْي‬
ْ ‫الضهاللَةُ فَس ُريوا ِِف‬
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi
petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
(rasul-rasul).
Abbas, ar-Rabi’ dan Qotadah.22 Artinya, kalimah sawa’ merupakan titik temu risalah para
Nabi dan Rasul. Titik temu yang menggambarkan bahwa tidak ada satu pun Nabi atau
pun Rasul diutus kecuali mereka menyeru kepada tauhid..23
Berdasarkan keterangan yang ada terkait QS. Ali Imran: 64, setidaknya ada dua
pelajaran penting yang bisa diambi kaum muslimin. Pertama, ayat tersebut mengajarkan
mereka agar dalam kehidupan antarumat beragama lebih mengedepankan sisi-sisi
persamamaan. Sikap seperti ini akan melahirkan rasa adil yang dapat diterima oleh semua
pihak, yang nantinya lebih memudahkan mereka dalam menjalin hubungan dan interaksi
sosial dengan pihak lain. Dengan kata lain, terdapat titik persamaan antara Islam dengan
agama samawi lainnya yang bisa dijadikan landasan dalam interaksi sosial, titik
persamaan itu ialah kalimah sawa’ yang berlandaskan kepada tauhid. Kedua, umat Islam
diminta untuk bisa bersikap proposional dalam menyikapi ragam kepercayaan. Hal itu
bisa dilihat dari kandungan ayat itu, yaitu apabila ajakan kepada kalimah sawa’ tetap
tidak diterima, maka mereka umat Islam tidak diperkenankan memaksa pemeluk agama
lain untuk masuk Islam. Namun pada saat yang sama, mereka kaum muslimin dituntut
untuk menunjukkan loyalitas dan komitmen keislaman (isyhaduu bianna muslimun).
Kedua pelajaran ini sangat lah urgen. Urgensinya melihat kepada kandungan ayat
tersebut yang mengajarkan umat Islam untuk tidak sekedar mau bertenggang rasa
terhadap pluralitas keagamaan, akan tetapi pada saat yang sama mereka dituntut untuk
tetap istiqomah di atas akidah dan syariah Islam yang selama ini diyakini. Sikap seperti
inilah juga lah yang sejatinya ditunjukkan oleh QS. Al Kafirun: 6.
Penutup
Berdasarkan pemaparan keterangan para mufassir terkait QS. Ali Imran ayat 64,
dapat ditarik kesimpulkan bahwa ajakan Nabi Muhammad kepada kalimah sawa’
merupakan suatu usaha untuk mengajak para Ahli Kitab menuju akidah yang benar,
lurus, inti risalah para Nabi dan Rasul sekaligus misi turunnya kitab-kitab suci. Sejatinya,
22
Lihat: Ibnu Abbas, Tanwir al Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas, (Lebanon: Dar al-Kutub al
Ilmiyah, tt), jilid. I, hlm. 49.
23
Lihat: Isma>‘il ibn ‘Umar ibn Kathi>r, Tafsi>r ibn Kathi>r, jilid 2, (Riyad: Da>r al-T{aybah li alNashr wa al-Tawzi>‘, 2005), hal. 55-56. Pendapat ini sesuai dengan pendapat al-Thabari. Lihat Abu> Ja‘far
al-T{abari>, Ja>mi‘ al-Baya>n fi al-Ta’wi>l al-Qur’a>n, Jilid VI, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 2000), hal.
483.
ajakan Nabi tersebut bukanlah hal baru, melainkan hanyalah mengingatkan kembali
kepada inti ajaran samawi yang mereka anut, yaitu mentauhidkan Allah SWT. Ajakan ini
merupakan ajakan yang adil. Keadilannya bisa dilihat dari ketidakberpihakannya kepada
salah satu golongan tertentu, bisa diterima oleh setiap orang yang berakal sehat dan
merupakan kesepakatan bersama di antara para penganut agama samawi.
Selain itu, ajakan kepada kalimah sawa’ memberikan pelajaran berharga kepada
kaum muslimin dalam berinteraksi dengan pihak non muslim. Pelajaran yang dimaksud
ialah, dalam berinteraksi dengan penganut agama lain, sebisa mungkin agar memulai
dengan mencari titik –titik persamaan terlebih dahulu. Hanya saja perlu ditegaskan di sini
bahwa titik persamaan yang dimaksudkan ialah titik temu yang berlandaskan kepada
kalimah sawa’ bukan suatu sikap “toleran” yang berkonotasi pembenaran terhadap
keyakinan masing-masing pihak apa adanya. Sebab sudah jelas sekali bahwa tiga diktum
unsur kalimah sawa’ dalam ayat tersebut adalah tauhid. Wallahu ‘alam bis Showab.
Download