Uploaded by User7553

Model Pemberdayaan Masyarakat di Kawasan

advertisement
Bidang Unggulan : Manajemen Lahan Basah
Kode/Nama Rumpun Ilmu
: 195/Bidang Kehutanan Lain Yang Belum Tercantum
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
Development and Upgrading of Seven Universities in Improving the
Quality and Relevance of Higher Education in Indonesia
Model Kolaboratif Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Pembelajaran dalam
Pengelolaan Sumberdaya Hutan
(Studi pada Lahan Hutan Rawa di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Kuala
Lupak)
Oleh
Dr. HAMDANI FAUZI,S.Hut,M.P.
(NIP/NIDN:197503062000031001/0006037506)
Dr. Ir.H. MAHRUS ARYADI,M.Sc
(NIP/NIDN: 196601291992031003/ 0029016605)
Dra. TITIEN MARYATI,M.M
(NIP/NIDN: 195308161983122001/ 0016085302)
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN
NOVEMBER 2015
i
ii
DAFTAR ISI
BAB 1
BAB II.
BAB III.
BAB IV.
BAB V.
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………...
DAFTAR ISI ………………………………………………….
DAFTAR TABEL …………………………………………….
DAFTAR GAMBAR …………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….
RINGKASAN ………………………………………………..
PENDAHULUAN
ii
iii
iv
v
vi
vii
A. Latar Belakang …………………………………………...
1
B. Perumusan Masalah Penelitian …………………………..
4
C. Tujuan dan Kegunaan Penellitian ………………………..
4
D. Keutamaan Penelitian ……………………………………
5
E. Kebaruan (Novelty) ……………………………………...
5
F. Kerangka Pikir Penelitian ……………………………….
6
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………..
8
A. Gambaran Umum tentang Hutan Rawa Gambut ………..
8
B. Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat ……………………
8
C. Landasan Teori …………………………………………..
9
D. Penelitian Terdahulu ……………………………………..
12
METODE PENELITIAN …………………………………...
13
A. Metode Pendekatan Penelitian …………………………..
13
B. Penentuan Lokasi ………………………………………..
13
C. Sumber Data ……………………………………………..
14
D. Variabel Penelitian ………………………………………
15
E. Instrumen ………………………………………………...
20
F. Teknik Pengumpulan Data ………………………………
21
G. Analisis Data ……………………………………………..
21
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………….
26
A. Modal Sumberdaya Masyarakat …………………………
26
B. Perilaku Masyarakat …………………………………….
45
KESIMPULAN DAN SARAN ………………. …………….
126
A. Kesimpulan …………………... …………………………
126
B. Saran ……………….…………………………………….
127
DAFTAR PUSTAKA
130
LAMPIRAN
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
ii
Halaman
1.
Program Perhutanan Sosial di lokasi penelitian……… ………
14
2.
Sebaran populasi dan responden setiap desa di lokasi penelitian
14
3.
Indikator dan Variabel Modal Fisik…..………………………..
15
4.
Indikator dan parameter modal manusia (human capital)……
16
5.
Indikator dan parameter modal sosial ..……………………….
16
6.
Parameter Kemampuan Penyuluh Kehutanan sebagai Pelaku
Pemberdayaan ………………….…………………………….
18
7.
Indikator dan Parameter Tingkat Keberdayaan Masyarakat …..
19
8.
Indikator dan parameter proses pemberdayaan…………………
19
9.
Katagore Tingkatan Modal Sumberdaya berdasarkan
persentase pencapaian Skor Maksimum………………………..
22
10.
Katagore Tingkatan Perilaku dan Proses Pemberdayaan
Masyarakat berdasarkan persentase pencapaian Skor
Maksimum……………………………………………………
24
11.
Persepsi responden terhadap ketersediaan modal fisik ………
26
12.
Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya
Manusia ………………………………………………………...
29
13.
Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sosial ..………….
33
14.
Persepsi responden terhadap modal sumberdaya Finansial ……
39
15.
Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya
Alam ………………………………………….………………
41
16.
Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan …………………...
50
17.
Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan …………………….
56
18.
Kemampuan Psikomotorik Penyuluh Kehutanan ……………...
61
19.
Hasil Penilaian terhadap Kemampuan Penyuluh Kehutanan …
71
iv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
1.
Kerangka pikir Penelitian Pemberdayaan Masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya hutan di KPHK Kuala Lupak ….
7
2.
Taksonomi Perilaku Bloom (1956)…………………………..
11
3.
Alur Penggunaan Sumberdaya Finansial …………………
40
4.
Persepsi Responden tentang Pemanfaatan Lahan Hutan (%)
42
5.
Grafik Pentagon Aset untuk menggambarkan kondisi
sumberdaya di lokasi penelitian ……………………………
43
6.
Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan (diadaptasi
dari model Taksonomi Bloom (1956) versi (Krathwohl,
2002) ………………………………………………………
54
7.
Sikap menghayati peran sebagai penyuluh kehutanan …….
59
8.
Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan ………………
59
9.
Keterampilan Penyuluh Kehutanan berdasarkan arahan ….
64
10.
Persentase Keterampilan Penyuluh Kehutanan pada
tingkatan Complex Overt Response ………………………….
66
iii
iii
v
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
1.
Susunan Organisasi Peneliti dan Pembagian Tugas ...........
51
2.
Surat Ijin Penelitian ………………………………………
131
3.
Peta Lokasi Penelitian ……………………………………
132
4.
Dokumentasi Penelitian …………………………………..
133
vi
RINGKASAN
v
Kawasan hutan yang berada dalam wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK) Kuala Lupak merupakan tipe hutan rawa. Hutan rawa sebagai salah
satu tipe hutan yang ada di Indonesia mempunyai peranan yang penting dan strategis
karena keunikan lokasinya, karakteristik hutan dan gambutnya, kekayaan dan
keanekaragaman flora dan faunanya serta fungsinya dalam ekosistem global. Walaupun
demikian, kondisi kehidupan ekonomi masyarakat yang mendiami wilayah-wilayah
hutan rawa pada umumnya tergolong miskin dan bergantung hidupnya dengan hutan.
Konsekuensi dari rendahnya pendapatan adalah masyarakat semakin tergantung pada
sumber daya lahan, semakin sulit mengembangkan potensi diri, standar minimal
kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya masyarakat kurang dapat
berpartisipasi dalam program pembangunan.
Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan cara untuk mengangkat harkat
dan martabat masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan lestari dan masyarakat
sejahtera. Agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu model
pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan rawa bergambut.
Penelitian ini bertujuan untuk (a) mengidentifikasi kondisi modal sumberdaya di
wilayah KPHK Kuala Lupak, (b) mengkaji interaksi masyarakat di dalam dan sekitar
hutan di wilayah KPHK Kuala Lupak dengan sumberdaya hutan, (c) mendeskripsikan
implementasi program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di wilayah
KPHK Kuala Lupak, (d) mengevaluasi program pemberdayaan masyarakat yang telah
dilaksanakan di wilayah KPHK Kuala Lupak, dan merumuskan model pemberdayaan
masyarakat di di wilayah KPHK Kuala Lupak Kuala Lupak dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan kelestarian hutan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara
penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pembahasan hasil analisis penelitian
kuantitatif akan dapat lebih mendalam dan tidak kering jika dikombinasikan dengan
hasil analisis penelitian kualitatif. Dengan kombinasi ini, akan memberikan pemahaman
yang lebih luas terhadap masalah-masalah penelitian. Penelitian akan dilaksanakan di
desa-desa di wilayah KPHK Kuala Lupak yang mempunyai karakteristik lahan hutan
rawa.
Luaran penelitian terdiri atas luaran wajib dan luaran tambahan. Luaran wajib
pada tahun pertama berupa publikasi ilmiah dalam jurnal International Journal of
Science and Research (IJSR) dengan Impact Factor (IF) 3.358, menjadi penyaji dalam
seminar nasional, dan draft Buku Ajar.
Kata Kunci:Pemberdayaan, Pengelolaan, Sumberdaya Hutan, Hutan Rawa
vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu faktor penyebab degradasi hutan adalah permasalahan dalam
manajemen pengelolaan dan ketidakjelasan institusi yang mengelola seluruh wilayah
hutan yang ada, sehingga diperlukan institusi yang dapat mengelola kawasan hutan
dengan lebih baik. Institusi pengelola yang dimaksud adalah dengan membentuk
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Elvida, 2009:55). KPH dianggap sebagai solusi
atas semakin meluasnya hutan negara yang secara de facto menjadi open access. Ini
berarti KPH dapat menjadi wujud kelembagaan yang menjadi ajang mobilisasi
sumberdaya kehutanan ke lapangan sehingga dapat menahan dinamika perubahan
tata ruang di daerah. Diharapkan dengan keberadaan KPH, kawasan hutan dapat
dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, sehingga tujuan pengelolaan hutan lestari
dapat tercapai.
Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) bertujuan untuk menata
kembali seluruh kawasan hutan produksi, lindung dan kawasan konservasi menjadi
unit pengelolaan sesuai dengan tipe tapak untuk menjamin kelestarian usaha yang
rasional dan menguntungkan yang dapat menyediakan hasil hutan dan manfaat
lainnya bagi pembangunan nasional, pembangunan daerah dan masyarakat sekitar
hutan secara berkelanjutan.
Lahan rawa di Indonesia diperkirakan seluas 25.6 juta ha, tersebar di Pulau
Sumatera 8.9 juta ha (34.8%), Pulau Kalimantan 5.8 juta ha (22.7%) dan Pulau Irian
10.9 juta ha (42.6%). Luas lahan rawa di Kalimantan Selatan mencapai 235.677
hektare. Dari luasan itu, lahan rawa yang sudah ditanami tanaman pangan mencapai
78.544 hektare dan lahan potensial lain yang dapat dikelola untuk pangan di rawa
lebak mencapai 90.000 hektare. Lahan rawa gambut di Kalimantan Selatan banyak
dijumpai di Kabupaten Barito Kuala yang merupakan lahan terluas (63,87%) yang
saat ini sebagian berada dalam wilayah KPH Konservasi Kuala Lupak.
Berdasarkan penelitian Fauzi (2009), secara ekonomis kondisi kehidupan
masyarakat di desa-desa di sekitar wilayah KPH Konservasi Kuala Lupak tergolong
miskin 56,15% dan hampir miskin 25,08%. Konsekuensi dari rendahnya pendapatan
1
masyarakat adalah sumber daya hutan cenderung semakin rusak karena eksploitasi
kayu galam oleh para peramu, masyarakat semakin sulit mengembangkan potensi
diri, standar minimal kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi, dan pada akhirnya
masyarakat kurang dapat berpartisipasi dalam program pembangunan. Kurangnya
lapangan kerja yang tersedia menyebabkan masyarakat semakin tergantung pada
sumber daya hutan dan masyarakat cenderung melegalkan segala cara dalam
mengeksploitasi sumber daya hutan. Kurangnya lapangan kerja mengakibatkan
banyak pengangguran maupun setengah penganggur, sehingga produktivitas
masyarakat rendah dan mudah dihasut untuk melakukan kegiatan yang cenderung
merusak lingkungan. Akibatnya, kelestarian sumber daya hutan semakin terancam.
Himpitan kemiskinan dan ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan
berpotensi mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan semakin besar dan hutan
menjadi semakin rusak.
Di sisi lain, dengan interaksi masyarakat dengan sumberdaya maka kesadaran
masyarakat menjaga dan memelihara kelestarian sumber daya hutan juga semakin
besar. Dalam pengelolaan hutan, sejak dulu masyarakat telah menunjukkan kearifan
lokal (indigenous knowledge) yang menjadi bagian terpenting dalam melanjutkan
upaya melestarikan alam, lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya mereka. Mereka
memperlakukan hutan sebagai aset jangka panjang, seperti rekening bank yang bisa
diuangkan sewaktu-waktu. Pendorong utama untuk melanjutkan penanaman hutan
adalah kepentingan komersial, meski tidak bisa dipungkiri nilai-nilai ekologis juga
dipertimbangkan. Petani sangat memahami nilai sebenarnya hutan mereka, sehingga
mereka terus menjaganya (Hinrichs et.al., 2008).
Upaya pemberdayaan masyarakat perdesaan hutan merupakan alternatif
untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat berperan serta dalam pengelolaan
hutan secara berkelanjutan dan mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan dan
lahan hutan. Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelibatan masyarakat lokal
(partisipasi) dalam rangka pelestarian hutan merupakan hal yang mendasar dan
positif, di mana kesadaran kritis masyarakat dibangun dan dikembangkan, sehingga
masyarakat dapat menjadi sutradara bagi dirinya sendiri dan dapat melakukan
kontrol sepenuhnya terhadap pengelolaan sumber daya hutan (Suprayitno & Lokal,
2008:137). Hal ini sejalan dengan pendapat Cary (1970) bahwa untuk menjamin
2
kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan dan
harus tetap diperhatikan dan dikembangkan.
Pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan merupakan hal
yang baru. Kementerian Kehutanan dan berbagai lembaga serta elemen masyarakat
lainnya telah banyak mengeluarkan kebijakan dan kegiatan yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat di seperti Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH),
Gerakan Rehailitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), Hutan kemasyarakatan (HKm),
pengembangan perlebahan, Perhutanan Sosial, Kebun Bibit Rakyat, dan Hutan
tanaman Rakyat (HTR).
Walapun sudah banyak program pemberdayaan masyarakat di bidang
kehutanan dilaksanakan, namun masih jauh dari apa yang diharapkan visi kehutanan
mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Sehingga perlu ada evaluasi
terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan selama ini.
Dengan adanya evaluasi tersebut, akan dapat diketahui sampai sejauh mana kegiatan
tersebut mampu membangun perilaku masyarakat yang peduli terhadap kelestarian
hutan.
Pada saat KPHK Kuala Lupak ditetapkan oleh Menteri Kehutanan, UPTD
KPHK Kuala Lupak belum mempunyai perencananaan pemberdayaan masyarakat di
dalam wilayah KPHK Kuala Lupak, yang ada hanya berupa rencana kegiatan fisik
atau teknis saja. Padahal menurut Menurut Marfai (2005:122), keberhasilan maupun
kegagalan pembangunan hutan tidak lepas dari peran serta masyarakat lokal. Oleh
karena itu, agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu model
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pengaturan yang baik atas
alokasi, akses dan pengawasan dapat menjadi faktor pendorong (incentive) yang
cukup efektif untuk pengelolaan hutan yang lestari, namun sebaliknya kesalahan
dalam mengelola ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan hancurnya sistem hutan
(Barber et al., 1994). Oleh karena itu agar program pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar hutan dapat berjalan dengan baik, maka pola alokasi, akses, dan
pengawasan harus mendapatkan perhatian yang seimbang dan menyeluruh yang
diatur di dalam suatu konstruksi pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
3
B. Perumusan Masalah Penelitian
Rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana kondisi modal sumberdaya (modal sosial, modal manusia, modal
finansial, modal sumberdaya alam dan modal fisik) di KPHK Kuala Lupak?
b) Sejauh mana program pemberdayaan masyarakat yang telah dilaksanakan di
KPHK Kuala Lupak mampu merubah perilaku pelaku pemberdayaan masyarakat
dan masyarakat yang diberdayakan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah menggambarkan pemberdayaan
masyarakat di KPHK Kuala Lupak. Sedangkan tujuan khusus penelitian di tahun
pertama (2015) adalah:
a) Mengidentifikasi kondisi modal sumberdaya masyarakat di wilayah KPHK Kuala
Lupak,
b) Mengkaji perilaku masyarakat di wilayah KPHK Kuala Lupak terkait program
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi semua parapihak baik
dalam tataran akademis (keilmuan) maupun praktis. Kegunaan penelitian yang
dimaksud adalah:
1.
Kegunaan dalam tataran akademis/keilmuan
a)
Memperkaya khasanah keilmuan tentang aspek-aspek perilaku sebagai hasil
proses
pembelajaran
dalam
pemberdayaan
dan
pemahaman
proses
pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang dapat meningkatkan keberdayaan
masyarakat secara berkelanjutan
b) Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemahaman modal sumberdaya yang
penting bagi pemberdayaan.
c)
Memperkaya khasanah keilmuan tentang pemberdayaan sebagai bagian
pembangunan yang berpusat pada manusia
2.
Kegunaan dalam tataran praktis
a) Sebagai referensi bagi semua stakeholders dalam merancang dan melakukan
evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan.
4
b) Sebagai referensi para pengambil kebijakan dalam mengimplementasikan
desain model pemberdayaan masyarakat di wilayah KPHK Kuala Lupak.
D. Keutamaan Penelitian
Penelitian ini sangat penting dilaksanakan mengingat keberadaan masyarakat
sangat menentukan keberlanjutan pengelolaan hutan, termasuk hutan rawa. Banyak
pihak menyadari bahwa dalam pembangunan sektor kehutanan, secara teknik
kehutanan (budidaya dan penanaman) sudah sangat maju, namun dalam hal
keterlibatan dan partisipasi masyarakat sangatlah terabaikan. Awang (2004:142)
mengatakan bahwa rimbawan pada umumnya tidak serius memahami sumberdaya
alam dari perspektif non-teknis.
Dari sisi kebijakan, penelitian ini juga penting dilakukan karena dalam
rencana strategis Kementerian Kehutanan telah ditetapkan 8 prioritas pembangunan
kehutanan yaitu Pemantapan kawasan hutan, Rehabilitasi hutan dan peningkatan
daya dukung daerah aliran sungai (DAS), Pengamanan hutan dan pengendalian
kebakaran hutan, Konservasi keanekaragaman hayati, Revitalisasi pemanfaatan hutan
dan industri kehutanan, Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, Mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan dan Penguatan kelembagaan kehutanan
(Kementerian Kehutanan, 2010). Sementara itu dalam Rencana Induk Penelitian
(RIP) Unlam tahun 2015-2016, aspek pemberdayaan masyarakat menjadi isu
strategis dalam rangka menemukenali solusi terbaik upaya-upaya penyejahteraan
masyarakat.
E. Kebaruan (Novelty)
Nilai kebaruan (Novelty) dari penelitian ini terletak pada penyusunan model
pemberdayaan dengan menggunakan hasil pengkajian terhadap perilaku masyarakat
yang diberdayakan dan penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan dengan
pendekatan dasar teori pembelajaran perilaku (behavioristik) dan teori pembelajaran
humanistik sesuai Taksonomi Bloom. Model pengelolaan sumberdaya hutan berbasis
pemberdayaan masyarakat dalam kawasan hutan KPHK Kuala Lupak juga sesuatu
yang baru karena dalam pendekatan penyusunan model mempertimbangkan secara
komprehensif faktor interaksi
masyarakat
dengan
hutan,
kondisi
modal
5
sumberdaya, evaluasi hasil pemberdayaan sebelumnya, dan kriteria sosial ekonomi
ekologi.
F. Kerangka Pikir Penelitian
Keberadaan penduduk yang mendiami wilayah yang sekarang dalam KPHK
Kuala Lupak telah ada sejak tahun 1950-an dengan suku asli Kuala Lupak. Dalam
pemikiran ekosistem, sangat jelas bahwa hutan dan fungsi hutan tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan. Hal
ini sesuai dengan teori ekologi Urie Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan
menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari
interaksi orang yang bersangkutan dengan lingkungan di luarnya.
Pemberdayaan dalam penelitian ini merupakan proses pembelajaran yang
diberikan kepada individu terutama orang dewasa agar terjadi perubahan perilaku.
Pemberdayaan dalam bentuk pembelajaran dilakukan melalui proses pendidikan,
pelatihan, kursus, sosialisasi, pertemuan kelompok, kunjungan lapang, dan
pendampingan dalam kegiatan pembangunan hutan. Paradigma tersebut mengacu
pada teori belajar sosial merupakan salah satu aliran teori dalam psikologi yang saat
ini diterima cukup luas. Bila diteliti secara lebih dalam lagi, teori kognitif sosial
adalah perspektif psikolog yang menekankan perilaku, lingkungan, dan berpikir
sebagai faktor kunci perkembangan seorang manusia (Bandura, 2001).
Program-program pemberdayaan masyarakat perdesaan hutan yang telah
dilaksanakan tentunya perlu dievaluasi, karena fakta di lapangan menunjukkan angka
kemiskinan masih cukup tinggi sekitar 66,15% (Fauzi,2010), dan keberhasilan
tumbuh tanaman reboisasi masih rendah. Evaluasi dalam penelitian ini akan
difokuskan pencapaian pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia (penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan
dan masyarakat yang diberdayakan), dimana menurut Teori Taksonomi Bloom
(Kibler, Robert et.al, 1979) aspek kualitatif SDM mencakup tiga kawasan perilaku
yaitu kawasan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Proses tercapainya perilaku
tersebut dikaji dengan pendekatan Thorndike (1928) yang terkenal dengan teori
belajar Trial and Error, B.F. Skinner (1965) dengan teori operant conditioning, dan
Bandura (2001) dengan teori social learning (belajar sosial).
6
Proses pemberdayaan masyarakat dievaluasi dari keterlibatan masyarakat
dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan kontrol.
Dalam menyusun model pemberdayaan masyarakat selain dikaitkan dengan hasil
evaluasi pemberdayaan masyarakat yang selama ini telah dilaksanakan, juga harus
dikaitkan dengan potensi atau asset komunitas masyarakat sebagai modal dasar
dalam melakukan pemberdayaan.
Secara singkat kerangka pikir penelitian
pemberdayaan masyarakat hutan divisualisasikan pada Gambar 1.
Kawasan KPHK
Kuala Lupak
Teori Ekologi Perilaku
(Bronfenbrenner)
Masyarakat Desa Hutan
Modal Komunitas
Program Pemberdayaan
Masyarakat
Pemberdayaan
(Proses
Pembelajaran)
Teori Behavioristik
 Belajar Trial and
Error (Thorndike)
 Pengkondisian
Operan (Skinner)
 Teori Belajar
Sosial (Bandura)
Teori Humanistik
Teori Bloom
(Taksonomi Bloom)
Interaksi
Perhutanan
Sosial
Evaluasi Pemberdayaan
Masyarakat
Perilaku
Proses
Pemberdayaan
Pembangunan
Hutan
Teori FRM
(Simon)
Teori Perilaku Sosial
Pertukaran Sosial
(Homans)
Model Pemberdayaan
Model Pengelolaan SDH
Model Pengelolaan SDH
Model Pemberdayaan
Berbasis Pembelajaran
Gambar 1. Kerangka pikir Penelitian Pemberdayaan Masyarakat dalam pengelolaan
sumberdaya hutan di KPHK Kuala Lupak
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Tentang Hutan Rawa Gambut
Jumlah areal rawa di dunia diperkirakan 420 juta hektar.
Di Indonesia
penyebarannya cukup luas diperkirakan mempunyai cadangan gambut seluas 17 juta
hektar dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan cadangan gambut terbesar
keempat di dunia setelah Kanada (170 juta hektar), Rusia (150 juta hektar), dan
Amerika Serikat (40 juta hektar). Soepraptohardjo & Drieesen (1976) dalam Endang
Suarra (1988) menyebutkan areal gambut di Indonesia tersebar di pantai timur
sumatera (9,7 juta ha), Kalimantan (6,3 juta hektar) dan lain-lain (1,3 juta hektar).
Menurut Andriesse (1988), fungsi lahan gambut selain digunakan sebagai
kawasan untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, atau sebagai bahan tambang yang
dapat dimanfaatkan untuk sumber energi atau industri, lahan gambut juga memiliki
fungsi lingkungan antara lain berkaitan dengan masalah iklim global, hidrologi,
perlindungan lingkungan dan penyangga lingkungan.
B. Konsepsi Pemberdayaan Masyarakat
1.
Pengertian
Menurut
definisinya,
pemberdayaan
diartikan
sebagai
upaya
untuk
memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat
(Mas’oed, 1990). Keberdayaan masyarakat oleh Sumodiningrat (2007) diartikan
sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam
membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan.
Paul (2008) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan
yang adil sehingga meningkatkan kesadaran politis kekuasaan kelompok yang lemah
serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan.
2. Modal Sumberdaya terkait Pemberdayaan Masyarakat
Carney et.al, 1999) mengidentifikasi ada 5 (lima) modal yang berkaitan
dengan sumber penghidupan (livelihoods), yaitu modal manusia, modal sumberdaya
alam, modal finansial, modal sosial dan modal fisik. Dalam kenyataan yang ada di
masyarakat tidak hanya satu atau dua aspek atau modal saja yang harus diperhatikan
8
tetapi juga aset atau modal yang lain. Aset-aset yang ada di masyarakat perlu untuk
dipertimbangkan dan diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat.
3.
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Proses Pembelajaran Orang Dewasa
Pemberdayaan sebagai proses merupakan proses belajar mengajar. Dari
proses belajar tersebut akan diperoleh suatu hasil belajar, dalam hal ini proses belajar
akan efektif apabila dilakukan secara sadar dan terorganisir dengan baik serta
didasarkan pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Secara garis besar, tujuan
pendidikan yaitu perubahan perilaku seseorang yang meliputi aspek kognitif
(pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan).
4. Interaksi Masyarakat dengan Hutan
Dalam pemikiran ekosistem, sangat jelas bahwa hutan dan fungsi hutan tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh manusia dalam memanipulasi penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya hutan untuk kepentingan kehidupan dan lingkungan.
Jutaan masyarakat, kehidupannya tergantung kepada produksi dan jasa hasil hutan
rekreasi, penelitian, sumber ekonomi, penjaga lingkungan dan penjaga kelestarian
plasma nuftah untuk kebutuhan manusia, tumbuhan dan hewan, dan lainnya
(Awang, 2003:83).
C. Landasan Teori
1. Teori Belajar
a) Teori Behavioristik (Perilaku)
Menurut teori belajar behavioristik, belajar adalah perubahan dalam tingkah
laku sebagai akibat dari interaksi antara strimulus dan respon. Atau lebih tepat
perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah
laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon
(Irawan, et.al., 1997:2). Belajar dalam pandangan behavioristik merupakan sebuah
bentuk perubahan yang dialami dalam bentuk kemampuannya untuk bertingkah laku
dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons
(Budiningsih, 2005:20).
Thorndike (1928) yang menyelidiki respon tertentu berkaitan dengan
stimulus tertentu. Menurutnya bahwa perkembangan “bond” atau hubungan antara
9
stimulus dan respons terjadi sebagai akibat dari proses trial and error.
Teori
pengkondisian operan yang dikemukakan B.F Skinner (1965) menyebutkan perilaku
operan dapat meningkatkan sebuah perilaku dan mengulanginya kembali atau bahkan
menghilangkan perilaku sesuai dengan yang diinginkan. Teori belajar Sosial yang
dikemukakan Bandura (2001:11) menyatakan pentingnya proses mengamati dan
meniru perilaku dalam proses belajar, membentuk sikap, serta memengaruhi reaksi
orang lain dalam proses belajar.
b) Teori Belajar Humanistik
Menurut teori Humanistik, tujuan belajar adalah untuk “memanusiakan
manusia” (Budiningsih, 2005:68). Proses belajar harus berhulu dan bermuara pada
manusia itu sendiri. Penganut aliran humanistik ini meyakini adanya perasaan,
persepsi, keyakinan, dan maksud-maksud tertentu sebagai perilaku-perilaku batiniah
yang menyebabkan seseorang berbeda dengan orang lain (Irham dan Wiyani,
2013:190).
Taksonomi Bloom digunakan dalam penelitian ini. Hal ini didasarkan pada
makna pemberdayaan masyarakat sebagai proses pembelajaran yang dapat merubah
perilaku tidak hanya menyangkut aspek kognitif saja tapi juga pada peningkatan
kemampuan afektif dan psikomotorik. Taksonomi Bloom yang dikenal dengan
segitiga taksonomi terdiri atas pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan
keterampilan (psikomotorik). Interaksi pengetahuan, sikap dan keterampilan
seseorang merupakan refleksi dari perilaku yang baik. Segitiga taksonomi Bloom
seperti pada Gambar 2.
10
Gambar 2. Taksonomi Perilaku Bloom (1956)
2. Paradigma Perilaku Sosial
Teori perilaku sosial yang dikemukaan George C.Homans (1974) dikenal
sebagai teori pertukaran sosial (Exchange theory). Manusia digambarkan sebagai
individu yang bertindak selalu atas dasar kepentingan-kepentingan tertentu, dan oleh
karenanya masalah utama (menurut paradigma ini) adalah mencari dan menelaah
kepentingan itu. Terdapat suatu hubungan langsung antara frekuensi tingkah laku
ber-reward dengan frekuensi respons terhadap reward.
3. Teori Ekologi Manusia
Teori yang berorientasi lingkungan dalam psikologi lebih banyak dikaji oleh
behavioristik. Perilaku terbentuk karena pengaruh umpan balik dan pengaruh
modelling. Digambarkan bahwa manusia sebagai black-box yaitu kotak hitam yang
siap dibentuk menjadi apa saja. Dalam psikologi teori ekologi dengan tokohnya Urie
Bronfenbrenner yang berparadigma lingkungan menyatakan bahwa perilaku
seseorang tidak berdiri sendiri, melainkan dampak dari interaksi orang yang
bersangkutan dengan lingkungan.
4. Teori Pembangunan Hutan Berbasis Masyarakat
Menurut Simon (2001:76), pengelolaan sumberdaya hutan bertujuan tidak
11
hanya untuk untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan
sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di
tempat yang bervariasi menurut lokasi. Orientasi pengelolaan hutan bagi kepentingan
dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan sekitar
hutan sehingga diupayakan memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan
hutan.
Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu
pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan
kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk
pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource
Management).
D. Penelitian Terdahulu
Penelitian sebelumnya lebih banyak mengkaji dari aspek teknis dan biofisik
pada hutan rawa gambut seperti yang dilakukan Wahyuni (2011) yang berjudul
“Rancang Bangun Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPH) Kuala Lupak
Kabupaten Barito Kuala” yang merekomendasikan arah pembangunan hutan untuk
konservasi perlindungan cagar alam. Penelitian Suyanto (2009) menitikberatkan
aspek potensi keanekaragaman tumbuhan obat yang berada pada hutan rawa di
Kalimantan Selatan. Penelitian Fauzi (2011) yang meneliti Pola Agroforestry pada
Hutan Rakyat di Lahan Rawa Bergambut menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman
Jelutung yang ditanam dengan pola agrorestry mengalami peningkatan karena
adanya input hara tidak langsung pada saat pemupukan tanaman pertanian. Fauzi
(2009) meneliti keadaan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan
hutan di Kabupaten Barito Kuala dimana diketahui pada umumnya pendapatan
masyarakat tergolong miskin 46,15% dan hampir miskin 23,08%. Ketergantungan
masyarakat terhadap lahan hutan tergolong tinggi dengan skor 15,87. Masyarakat
menggunakan lahan hutan rawa untuk kepentingan budidaya tanaman pertanian
berupa sawah dan perkebunan. Akhdiyat (2009) meneliti partisipasi masyarakat yang
ada di dalam program hutan rakyat tergolong rendah.
12
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara
paradigma post-positivistik (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik
(penelitian kualitatif). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengukur persepsi
masyarakat terhadap kondisi modal sumberdaya yang ada di lokasi penelitian,
mengevaluasi program pemberdayaan yang telah dilaksanakan di KPHK Kuala
Lupak, khususnya yang berkaitan dengan pencapaian kemampuan masyarakat yang
diberdayakan dan penyuluh kehutanan ditinjau dari komponen aspek perilaku (ranah
kognitif,afektif dan psikomotorik) serta partisipasi masyarakat dalam proses
pemberdayaan. Pendekatan kuantitatif juga digunakan untuk mengukur keberhasilan
fisik perhutanan sosial dan menyusun model pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya hutan. Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian ini
bermaksud untuk mendapatkan gambaran atau deskripsi mengenai interaksi
masyarakat desa dengan hutan, kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah
dilaksanakan, dan perilaku penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan, dan
masyarakat yang diberdayakan.
B. Penentuan Lokasi
Berdasarkan data awal yang telah dikumpulkan dan hasil diskusi dengan
Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan diperoleh
informasi bahwa wilayah kawasan hutan konservasi di Kalimantan Selatan
merupakan lahan rawa bergambut yang sebagian besar telah dikuasai oleh
masyarakat. Kawasan Konservasi dalam penelitian ini adalah SM Kuala Lupak dan
SM Pulau Kaget. Lokasi penelitian ini di Desa Kuala Lupak (kawasan Suaka
Margasatwa Kuala Lupak), dan Desa Tabunganen Muara, Desa Tabunganen Kecil,
dan Desa Sungai Telan Kecil (kawasan Cagar Alam Pulau Kaget).
13
C. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan untuk penelitian ini diperoleh langsung dari
responden, informan dan hasil pengukuran tanaman pada lahan perhutanan sosial
pada plot terpilih, serta dari literatur pustaka.
1. Populasi dan Responden
Populasi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai keseluruhan (universum)
dari obyek penelitian yang berupa individu anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) di
desa terpilih yang pernah terlibat dalam program pemberdayaan masyarakat di
bidang perhutanan sosial. Sejak tahun 2003 telah dilaksanakan 7 paket program
perhutanan sosial dalam bentuk pembangunan hutan sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Program Perhutanan Sosial di lokasi penelitian
No
1
Kegiatan
Gerhan 2003
Jumlah Peserta (KK)
50
2
Gerhan 2004
113
3
Gerhan 2004
39
4
HKm 2005
50
5
HKm 2008
89
6
7
Agroforestri 2007
Agroforestri 2009
Jumlah
124
75
540
Cara pengambilan sampel dengan teknik purposive random sampling dengan
pertimbangan sebagaimana penentuan populasi. Penetapan jumlah sampel didasarkan
pada banyaknya jumlah individu sesuai yang dirumuskan oleh Slovin pada taraf
kepercayaan 95% atau tingkat toleransi terjadinya galat 5% (Steph Ellen, 2005).
Berdasarkan kriteria pengambilan populasi dan sampel di atas, maka jumlah
responden disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sebaran populasi dan responden setiap desa di lokasi penelitian
Jumlah (jiwa)
No.
Nama Desa
Unit Populasi
Unit Sampel
113
1.
Kuala Lupak
48
174
2.
Telan Kecil
74
139
3
Tabunganen Muara
59
114
4.
Tabunganen Kecil
49
Jumlah
540
230
14
2. Informan Penelitian
Penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling dan snowball
sampling. Pada awalnya informan dipilih berdasarkan tujuan tertentu (purposive)
didasarkan kepada pengetahuan, pengalaman, dan jabatannya berkaitan dengan
kebijakan kehutanan di KPHK Kuala Lupak, dan perhutanan sosial. Selanjutnya
berdasarkan informasi yang diperoleh dari informan sebelumnya itu, peneliti dapat
menetapkan informan lainnya yang diharapkan dapat memberikan data lebih
lengkap.
D. Variabel Penelitian
1. Kondisi Modal Sumberdaya
a) Modal fisik (physical capital)
Variabel modal fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi
responden terhadap sarana produksi, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan
transportasi dengan sejumlah parameter (Tabel 3).
Tabel 3. Indikator dan Variabel Modal Fisik
No. Indikator
Parameter (patokan)
1.
Sarana Produksi
- Ketersediaan lahan untuk perhutanan sosial
- Ketersediaan bibit unggul
- Keterjangkauan harga bibit
- Ketersediaan Pupuk
- Ketersediaan alat-alat pertanian
2.
Sarana
Prasarana - Keberadaan tempat untuk diklat kehutanan
Pendidikan
bagi masyarakat
- Kelayakan tempat Gedung untuk diklat
kehutanan bagi masyarakat
- Ketersediaan alat belajar mengajar
- Ketersediaan tenaga fasilitator
3.
Sarana
Prasarana - Keberadaan Gedung Puskesmas, Klinik, dll
Kesehatan
- Kelayakan Gedung Puskesmas, Klinik, dll
- Ketersediaan alat-alat medis
- Ketersediaan obat-obatan
- Ketersediaan tenaga paramedis
4.
Sarana
Prasarana - Tingkat ketersediaan lembaga penyedia modal
Ekonomi
seperti perbankan, KUD dan sejenisnya
- Tingkat Kelayakan Lembaga Penyedia modal
seperti perbankan, KUD dan sejenisnya
- Tingkat ketersediaan fasilitas pasar
- Tingkat kelayakan fasilitas pasar
5.
Sarana
Prasarana - Ketersedian Peralatan Jaringan Komunikasi
Komunikasi
- Kelayakan Jaringan Komunikasi
15
6.
Sarana
transportasi
-
Prasarana
Ketersediaan Kantor Pos
Kelayakan kantor Pos
Ketersediaan prasarana transportasi (darat/air)
Kelayakan sarana transportasi (sepeda motor,
mobil, perahu)
b) Modal Manusia (human capital)
Variabel modal manusia berupa persepsi responden terhadap tingkat
pendidikan, kesehatan dan pengalaman perhutanan sosial (Tabel 4).
Tabel 4. Indikator dan parameter modal manusia
No. Indikator
Parameter (Ukuran)
1.
Tingkat Pendidikan
- Tingkat Pendidikan formal
2.
Tingkat Kesehatan
3.
Tingkat Pengalaman
Perhutanan Sosial
-
Frekuensi terjangkit penyakit
Frekuensi mengunjungi tempat berobat
Kesempurnaan fisik/cacat fisik permanen
Diklat Perhutanan Sosial
Pengalaman Perhutanan Sosial
c) Modal Sosial (social capital)
Variabel modal sosial adalah persepsi responden terhadap berupa jaringan
kerja, kepercayaan antar sesama, ketaatan terhadap norma, kepedulian dan keaktifan
dalam organisasi sosial (Tabel 5).
Tabel 5. Indikator dan parameter modal sosial
No. Indikator
Parameter (Ukuran)
1.
Jaringan Sosial/kerja - Kerelaan dalam membangun jaringan kerjasama
antar sesama
- Keterbukaan dalam melakukan hubungan atau
jaringan sosial/kerja
- Tingkat motivasi untuk melakukan hubungan atau
jaringan sosial/kerja
- Keaktifan dalam penyelesaian konflik
- Keaktifan dalam memelihara dan mengembangkan
hubungan atau jaringan sosial/kerja yang lebih baik
2.
Kepercayaan antar
- Tingkat kepercayaan pada sesama
sesama
- Tingkat kepercayaan pada norma yang berlaku
- Tingkat kepercayaan pada tokoh masyarakat
- Tingkat kepercayaan pada orang luar
- Tingkat kepercayaan pada Pemerintah
16
3.
4.
5.
2.
Ketaatan terhadap
norma
-
Kepedulian terhadap sesama
Keterlibatan dalam aktivitas organisasi
sosial
-
Tingkat ketaatan terhadap norma agama yang
dianut
Tingkat ketaatan terhadap norma adat yang berlaku
Tingkat ketaatan terhadap aturan hukum formal
Kepedulian terhadap sesama
Kedekatan dengan orang yang diberi perhatian
Tingkat keinginan untuk menambah dan membagi
pengalaman terhadap sesama
Frekuensi mengikuti kegiatan organisasi sosial
Jumlah organisasi sosial yang diikuti
Partisipasi dalam pengambilan keputusan pada
organisasi sosial
Perilaku Masyarakat
Sebagaimana disampaikan dalam Bab 2 bahwa pemberdayaan merupakan
proses pembelajaran, maka ruang lingkup evaluasi pemberdayaan dilakukan dalam
perspektif penilaian proses dan hasil belajar. Proses pemberdayaan menyangkut
keterlibatan masyarakat dalam proses identifikasi masalah, organisasi, pelaksanaan
dan evaluasi. Ruang lingkup evaluasi pembelajaran dalam perspektif domain hasil
belajar dapat mengikuti pengelompokkan dari Benyamin S.Bloom, dkk (1956) yang
membagi hasil belajar menjadi tiga domain, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik
terhadap penyuluh kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan dan masyarakat yang
diberdayakan.
Model evaluasi yang digunakan berupa model pengukuran (measurement
model) dalam bentuk tes tertulis berupa quesioner. Mengingat responden masyarakat
belum tentu terbiasa dengan menulis langsung maka peneliti melakukan wawancara
langsung dengan responden dengan berpedoman pada quesioner evaluasi.
a) Aspek Perilaku
Indikator dan parameter penyuluh kehutanan dan keberdayaan masyarakat
disajikan dalam Tabel 6 dan Tabel 7.
17
Tabel 6. Parameter Kemampuan Penyuluh Kehutanan sebagai Pelaku Pemberdayaan
No Ranah/Jenjang Parameter
A. Ranah Kognitif
Memahami pengetahuan pemberdayaan, penyuluhan,
1
Memahami
teknis kehutanan,pemasaran hasil hutan
Mengaplikasikan hasil pelatihan seperti pengendalian
2
Menerapkan
kebakaran, pengaturan jarak tanam, pemilihan jenis
tanaman
Menganalisis program pemberdayaan yang telah
3
Menganalisis
dilaksanakan dan konflik lahan
4
Mengevaluasi
Mereview kegiatan yang telah dilaksanakan
5
Menciptakan
Membangun demplot percontohan, hasil hutan unggulan
B
Ranah Afektif
Menerima pengetahuan tentang pemberdayaan, perhutanan
1
Menerima
sosial, teknis kehutanan
Menanggapi pengetahuan yang diterima dan curahan
2
Menanggapi
pendapat masyarakat
3
Menilai
Menilai pengetahuan dan curahan pendapat masyarakat
4
Mengelola
Mengorganisasi nilai-nilai kegiatan pemberdayaan
5
Menghayati
Menghayati peran sebagai tenaga penyuluh kehutanan
C
Ranah Psikomotorik
Mempunyai persiapan yang tergambar dalam Rencana
1
Kesiapan
Penyuluhan Kehutanan
Reaksi yang
2
Menerapkan penyuluhan kehutanan sesuai pedoman
diarahkan
Menerapkan keterampilan kehutanan secara alami untuk
3
Reaksi natural
mengatasi berbagai hal
Reaksi yang
Mengembangkan berbagai keterampilan seperti inventore
4
kompleks
hutan, silvikultur, pemanenan dan jaringan kerja pemasaran
Penyuluh mampu beradaptasi dengan situasi kondisi lokal
5
Adaptasi
di masyarakat
Penyuluh mempunyai kreativitas materi maupun metode
6.
Kreativitas
penyuluhan
18
Tabel 7. Indikator dan Parameter Tingkat Keberdayaan Masyarakat
No Indikator
Parameter
A. Ranah Kognitif
Memahami pengetahuan dalam pengelolaan hutan, teknis
1
Memahami
pembangunan hutan, dan pemasaran
2
Menerapkan Mengaplikasikan hasil pelatihan yang diperoleh
Membuat kesimpulan, mencari sumber pengetahuan lain,
3
Menganalisis membedakan jenis tanaman, pupuk, kualitas bibit, & solusi
masalah
Menilai hasil, membandingkan pengetahuan, dan menetapkan
4
Mengevaluasi
ketepatan rekomendasi penyuluh
5
Menciptakan Merencanakan membangun demplot, rencana pemberdayaan
B
Ranah Afektif
Menghadiri dan mendengarkan penyuluhan dan diklat,
1
Menerima
meminati program penyuluhan kehutanan dalam rangka
pemberdayaan masyarakat
Menyampaikan pendapat/opini dan dukungan terhadap
2 Menanggapi
program kehutanan
3 Menilai
Kepuasan terhadap program kehutanan berbasis masyarakat
Keberanian mengkombinasikan berbagai pengetahuan
4 Mengelola
kehutanan hutan berbasis masyarakat
Memilki kepedulian, dan menghayati peran sebagai pelaku
5 Menghayati
pembangunan hutan
C Ranah Psikomotorik
Petani trampil meniru aktivitas pembangunan hutan yang
1 Peniruan
dilakukan orang lain
Petani trampil mereproduksi aktivitas pembangunan hutan
2 Manipulasi
berdasarkan instruksi tertulis atau verbal
Petani trampil melakukan aktivitas pembangunan hutan tanpa
3 Presesi
fasilitasi, arahan, pendampingan
Petani trampil mengintegrasikan keahlian dalam aktivitas
4 Artikulasi
pembangunan hutan
5 Naturalisasi
Petani trampil mengembangkan kreativitas
b) Proses Pemberdayaan
Proses pemberdayaan diukur dari persepsi responden terhadap keterlibatan
masyarakat mulai dari kegiatan kajian atau analisis masalah, merencanakan dan
melaksanakan program serta terlibat dalam evaluasi. Indikator dan paramater proses
pemberdayaan dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 8.
19
Tabel 8. Indikator dan parameter proses pemberdayaan
No. Indikator
Parameter (Ukuran)
1.
Analisis
- Keterlibatan dalam melakukan kajian terhadap kondisi
Masalah
situasi yang dihadapai masyarkat.
- Keterlibatan dalam identifikasi potensi yang dimiliki
- Keterlibatan dalam melakukan identifikasi masalah yang
dihadapi
- Keterlibatan dalam penentuan prioritas masalah yang
harus dipecahkan
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan analisis masalah
No. Indikator
Parameter (Ukuran)
2.
Perencanaan
- Keterlibatan dalam menentukan jenis program apa yang
dilakukan
- Keterlibatan dalam menentukan siapa yang melakukan
program
- Keterlibatan dalam menentukan input yang digunakan
- Keterlibatan dalam menentukan sumber dan besarnya
biaya yang digunakan
- Keterlibatan dalam menentukan waktu dan lokasi
pelaksanaan program
3.
Kelembagaan
- Keterlibatan dalam organisasi kelompok tani hutan
- Keterlibatan secara aktif dalam KTH
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan akhir
4.
Pelaksanaan
- Keterlibatan dalam pelaksanaan sosialisasi program
- Keterliabatan dalam rekrutmen sasaran program
- Keterlibatan dalam pencairan dana
- Keterlibatan dalam pelaksanaan program
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan akhir
5.
Evaluasi
- Keterlibatan dalam perencanaan evaluasi
- Keterlibatan dalam pelaksanaan evaluasi
- Keterlibatan dalam pembuatan laporan evaluasi
E. Instrumen
Instrumen yang digunakan berupa kuesioner, pedoman wawancara dan tally
sheet. Bentuk pertanyaan dalam kuesioner adalah pertanyaan terstruktur (tertutup)
dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang alternatif
jawabannya sudah ada dalam kuesioner yang disediakan jawaban alternatif,
sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memungkinkan responden
untuk menguraikan secara bebas dalam menjawab pertanyaan. Pertanyaan terbuka
sangat bermanfaat dalam memperjelas dan memperdalam jawaban yang ada di
pertanyaan tertutup.
Data tanaman dimasukkan dalam buku ekpedisi dan
direkapitulasi menggunakan tally sheet.
20
1.
Validitas
Uji validitas dilakukan untuk mengukur ketepatan dan kecermatan quesioner
yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan tujuan fungsinya untuk mencapai
tujuan penelitian ini.
Teknik yang digunakan untuk mengukur validitas item
kuesioner domain kognitif (pengetahuan) menggunakan uji koefisien korelasi biserial,
karena data berupa data diskret atau dikotomik (kontinum). Sedangkan, uji validitas
item
kuesioner
domain
afektif
(sikap)
dan
psikomotorik
(keterampilan)
menggunakan validitas konstruk dengan uji korelasi Product Moment.
2. Reliabilitas
Pertanyaan yang sudah valid selanjutnya dilakukan uji reliabilitas.
Reliabilitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan
pengukuran. Untuk mengetahui reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai
Cronbach’s Alpha dengan nilai konstanta (0,6). Dalam uji reliabilitas ini, bila
Cronbach’s Alpha > konstanta (0,6), maka pertanyaan tersebut reliabel.
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Data Sosial
Teknik pengisian kuesioner digunakan dalam rangka pengumpulan data yang
bersifat kuantitatif yang dilakukan dengan teknik wawancara terstruktur terhadap
responden. Untuk perekaman data dilakukan secara tertulis dan dilengkapi dengan
tape recorder. Dalam penelitian ini kuesioner digunakan untuk mendapatkan datadata mengenai sikap dan cara pandang masyarakat mengenai modal sumberdaya
yang dimiliki masyarakat, dan evaluasi terhadap pemberdayaan masyarakat dalam
pengelolaan sumberdaya hutan (perilaku dan proses pemberdayaan).
Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan cara trianggulasi yaitu
pengumpulan data dari yang sumber yang sama dengan berbagai cara meliputi
penggabungan wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi.
G. Analisis Data
a. Analisis data untuk mencapai tujuan: mengkaji kondisi modal sumberdaya
Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif. Dalam analisis deskriptif
kuantitatif ini, langkah awal setelah didapatkan data adalah pengolahan komponen
21
data yang terdiri dari pengkategorian data awal, dan pengolahan data menggunakan
teknik distribusi frekuensi melalui perhitungan statistika sederhana.
Tingkatan penilaian kondisi modal sumberdaya dihitung berdasarkan jawaban
responden menggunakan skala ordinal yang diklasifikasikan sebagai berikut:
Tabel 9. Katagore Tingkatan Modal Sumberdaya berdasarkan persentase pencapaian
Skor Maksimum
No. Pencapaian Skor Maksimum
Katagore Penilaian
1.
≥ 33,33-55,55
Rendah/tidak tersedia
2.
> 55,55-77,77
Sedang/cukup tersedia
3.
> 77,77-100
Tinggi/tersedia
Hasil perhitungan kuantitatif dianalisis dengan menggunakan pendekatan
deskriptif yang selanjutnya menjadi bahan masukan bagi analisis secara kualitatif
berdasarkan model interaktif Miles dan Huberman.
b. Analisis untuk mencapai tujuan : mengevaluasi perilaku masyarakat dalam
pengelolaan hutan di KPHK Kuala Lupak
Evaluasi
terhadap
program
pemberdayaan
masyarakat
yang
telah
dilaksanakan dilakukan terhadap perilaku (penyuluh kehutanan dan masyarakat
sasaran), proses pemberdayaan, dan kinerja atau output fisik dari program
pemberdayaan. Aspek perilaku dianalisis dengan pendekatan Taksonomi Bloom.
Berdasarkan pendekatan Taksonomi Bloom perilaku penyuluh kehutanan dan
masyarakat yang diberdayakan dianalisis berdasarkan 3 ranah yaitu ranah kognitif
(pengetahuan), ranah afektif (sikap), dan ranah psikomotorik (keterampilan) terkait
dengan pengelolaan sumberdaya hutan.
Ranah kognitif berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual,
seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Ranah afektif berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat, sikap,
apresiasi, dan cara penyesuaian diri. Ranah psikomotor berisi perilaku-perilaku yang
menekankan aspek keterampilan motorik untuk berbuat dan bertindak.
Pengukuran perilaku ranah pengetahuan dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan berupa objective test berbentuk pilihan ganda dengan menggunakan
rumus:
22
Dimana:
Sk
B
S
N
Bb
= Skor
= Jumlah Jawaban Betul
= Jumlah Jawaban Salah
= Alternatif Pilihan
= Bobot Jawaban Betul
Pengukuran perilaku ranah sikap, keterampilan, dan proses pemberdayaan
dilakukan dalam bentuk non-test dengan menggunakan skala likert yang merupakan
skala ordinal. Untuk setiap indikator diajukan sejumlah pertanyaan tertutup kepada
responden. Skala Likert yang digunakan terdiri dari lima katagore jawaban yang
tersebar dari sangat tidak setuju (skor 1), tidak setuju (skor 2), ragu-ragu/netral (skor
3), setuju (skor 4), dan sangat setuju (skor 5). Setiap skor jawaban dari semua
variabel yang diukur dijumlahkan untuk memperoleh skor kumulatif. Skor kumulatif
dari responden kemudian dikelompokkan ke dalam 3 tingkatan jenjang dengan
rentang interval terbesar menggunakan rumus berikut:
i = (R – r)/k
Dimana:
i = nilai interval
R = skor kumulatif tertinggi
r = skor kumulatif terendah
k = jumlah kelas
Untuk mencari skor rata-rata masing-masing responden dengan rumus
sebagai berikut (Levis, 2010):
Dimana:
= skor rata-rata untuk responden ke-1
L
= nilai skala likert yang diperoleh (1,2,3,4,5)
n
= Jumlah pertanyaan
23
Untuk mengetahui pada tingkatan manakah domain dan katagore masingmasing sikap, pengetahuan, keterampilan seorang responden berada maka dapat
dihitung dengan rumus:
x 100%
x 100%
x 100%
Dimana
= skor rata-rata untuk responden ke-1
= skor rata-rata pengetahuan responden ke-i
= skor rata-rata sikap responden ke-i
= skor rata-rata keterampilan responden ke-i
Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diperoleh skor rata-rata perilaku
responden dengan menggunakan rumus (Levis, 2010):
skor rata-rata perilaku responden ke-i
Klasifikasi
katagore
berdasarkan
prosentase
pencapaian
skor
maksimum
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Katagore Tingkatan Perilaku dan Proses Pemberdayaan Masyarakat
berdasarkan persentase pencapaian Skor Maksimum
No. Pencapaian Skor Maksimum
Katagore Penilaian
1.
≥ 33,33-55,55
Rendah
2.
> 55,55-77,77
Sedang
3.
> 77,77-100
Tinggi
Proses pemberdayaan dianalisis secara kuantitatif dengan mengkalkulasi
tingkatan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat selama ini.
Rumus yang digunakan dan katagore yang dijadikan indikator sama dengan analisis
perilaku ranah sikap.
24
Hasil perhitungan kuantitatif dianalisis dengan menggunakan pendekatan
statistik deskriptif yang selanjutnya dipertegas dan digali informasi lebih mendalam
menggunakan pendekatan wawancara terhadap dengan informan yang selanjutnya
dilakukan analisis secara kualitatif berdasarkan model interaktif Miles dan
Huberman.
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Modal Sumber Daya Masyarakat
1.
Modal Sumberdaya Fisik (Physical Capital)
Modal fisik merupakan suatu hal yang penting dalam melakukan proses
pemberdayaan. Modal fisik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sarana
produksi, pendidikan, kesehatan, komunikasi dan transportasi.
Data empiris
menunjukkan bahwa persepsi masyarakat di sekitar KPHK Kuala Lupak terhadap
modal fisik sebagaimana disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Persepsi responden terhadap ketersediaan modal fisik
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Variabel
Ketersediaan sarana produksi pertanian
Ketersediaan sarana pendidikan
Ketersediaan sarana kesehatan
Ketersediaan sarana ekonomi
Ketersediaan sarana komunikasi
Ketersediaan sarana transportasi
Rata-rata
Skor
66.35
52.35
55.45
54.26
57.83
55.52
56.96
Tingkat Penilaian
cukup tersedia
kurang tersedia
kurang tersedia
cukup tersedia
cukup tersedia
Kurang tersedia
cukup tersedia
Tabel 11 menunjukkan bahwa secara umum sarana fisik di sekitar kawasan
hutan masih cukup tersedia (skor 56,96). Sarana produksi pertanian termasuk
budidaya hutan yang terdiri atas alat-alat produksi pertanian, bibit, pupuk dan bahan
untuk pengendalian hama. Sarana produksi tersebut hanya tersedia di ibukota
kabupaten, sehingga jika masyarakat ingin memperoleh sarana produksi seperti
pupuk, dan pestisida harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Khusus untuk
bibit tanaman kehutanan dapat diperoleh melalui skema pendanaan kebun bibit
rakyat (KBR). Skema ini memungkinkan petani memproduksi bibit dengan bantuan
Kementerian Kehutanan dengan alokasi anggaran Rp 50.000.000 untuk 25.000
batang per KTH.
Ketersediaan pupuk menjadi persoalan karena sangat sulit untuk memperoleh,
khususnya untuk pupuk bersubsidi. Pengadaan pupuk bersubsidi hanya bisa
dialokasikan untuk mereka yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan), dimana kelompok tani tersebut memang benar-benar melaksanakan
26
aktivitas di bidang pertanian tanaman pangan dan/atau hortikultura. Sedangkan bagi
Kelompok Tani Hutan (KTH) yang notabene memelihara tanaman hutan tidak
mempunyai akses untuk memperoleh pupuk tersebut. Selama ini KTH hanya bisa
memperoleh pupuk bantuan kehutanan atau membeli pupuk non subsidi yang
harganya lebih mahal dengan jumlah terbatas. Padahal menurut (Suratiyah K, 2008),
pupuk sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman karena akan membantu proses
metabolisme tanaman, dengan pemberian pupuk sesuai dengan dosis yang di berikan
akan membuat tanaman lebih subur lagi.
Ketersediaan sarana produksi seperti lahan, alat-alat pertanian, pupuk, obatobatan dan sarana pengairan yang memadai akan mendorong masyarakat yang
bermata pencaharian sebagai petani untuk melakukan kegiatan usahataninya secara
optimal (Sidu, 2006). Usaha untuk menyediakan sarana fisik di bidang pertanian,
merupakan suatu upaya untuk memberdayakan masyarakat perdesaan hutan agar
mereka dapat memperoleh penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan keluarga
melalui kegiatan usaha pertanian. Usaha pertanian yang dilakukan secara serius dan
didukung oleh sarana yang memadai diharapkan dapat meningkatkan tingkat
kesejahteraan keluarganya dan mengurangi tekanan terhadap hutan. Dengan
penghasilan yang diperoleh dari hasil pertanian akan dapat menutupi kebutuhan
selagi menunggu pemanenan hasil hutan (kayu) yang baru bisa dipanen minimal
umur 7 tahun.
Sarana pertanian yang memadai akan lebih optimal pemanfaatannya jika
didukung oleh sumberdaya manusia (petani) yang memiliki pengetahuan dan
ketrampilan terhadap bidang usaha yang ditekuninya. Peningkatan pengetahuan dan
keterampilan masyarakat sekitar kawasan hutan dapat dilakukan melalui pendidikan
formal dan non formal. Untuk mendukung terselenggaranya pendidikan, maka
pemerintah perlu menyediakan sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, komunikasi
dan transportasi yang memadai.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia merupakan hal yang utama dalam
usaha menuju terciptanya masyarakat yang berdaya dan mandiri. Oleh karena itu,
agar masyarakat dapat meningkatkan sumberdayanya maka perlu didukung dengan
kondisi kesehatan yang prima. Masyarakat yang memiliki kesehatan yang prima akan
sangat mendukung dalam melakukan aktivitas pendidikan dengan baik. Oleh karena
27
itu, jaminan kesehatan melalui pelayanan yang prima, kematangan ekonomi,
interaksi dan mobilitas masyarakat yang terbangun dengan dasar saling
menguntungkan merupakan pendukung untuk meningkatkan sumberdaya manusia
yang berkualitas.
Pelayanan kesehatan yang prima hanya dapat dilakukan jika sarana kesehatan
yang ada di desa-desa sekitar kawasan hutan tersedia. Masyarakat yang
membutuhkan pelayanan kesehatan tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi dan
komunikasi yang tinggi untuk mencari tempat berobat yang memiliki fasilitas yang
baik, obat-obatan dan tenaga medis yang memadai.
Kematangan
ekonomi
masyarakat
merupakan
hal
penting
dalam
meningkatkan tingkat pendidikan. Kematangan ekonomi masyarakat sekitar kawasan
hutan akan tercapai, jika sarana ekonomi yang dibutuhkan dalam menciptakan dan
memperkuat usaha-usaha produktif sudah memadai, misalnya adanya lembaga
penyedia modal dengan prosedur administrasi yang mudah dan suku bunga yang
terjangkau. Selain itu, sarana pasar juga sangat penting sebagai tempat terjadi proses
jual beli hasil-hasil usaha yang dilakukan masyarakat. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa keberadaan pasar merupakan salah satu kendala bagi
masyarakat yang memiliki hasil usaha, terutama hasil pertanian untuk diperjual
belikan.
Kondisi ini salah satu faktor yang mendorong masyarakat untuk tetap
melakukan kegiatan usaha pertanian yang konsumtif bukan untuk di perdagangkan.
Proses interaksi masyarakat melalui bentuk-bentuk komunikasi tertentu sangat
berperan dalam menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilan masyarakat.
Jika dikaitkan dengan era globalisasi saat ini, sarana komunikasi sangat membantu
masyarakat untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan keterampilannya secara
cepat melalui informasi, baik melalui media elektronik maupun media cetak. Tidak
kecuali masyarakat desa yang ada di sekitar kawasan hutan, sarana komunikasi perlu
menjadi perhatian yang serius bagi semua pihak yang memiliki kepentingan dengan
kelestarian kawasan hutan. Demikian juga ketersediaan sarana transportasi
merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dengan sarana-sarana yang lain yang
mendukung kegiatan keseharian masyarakat. Transportasi yang memadai akan
mendukung mobilitas masyarakat dalam beraktivitas dalam rangka pemenuhan
28
kebutuhannya. Sarana komunikasi melalui jaringan telpon seluler (telkomsel,
indosat, XL) telah bisa diakses dengan baik. Begitu juga dengan akses kantor pos
dan media cetak, masyarakat bisa memperolehnya walaupun harus ke ibukota
kecamatan.
Kelembagaan ekonomi setiap desa seperti koperasi dan lembaga ekonomi
desa lainnya belum ada, sehingga kalau ada anggota masyarakat yang ingin
memperoleh tambahan modal terpaksa harus meminjam rentenir atau bank di ibukota
Kecamatan/Kabupaten.
2.
Kondisi Modal Sumberdaya Manusia (Human Capital)
Di era globalisasi seperti sekarang ini, keberhasilan seseorang atau kelompok
tidak hanya ditentukan oleh modal dalam bentuk fisik seperti bangunan, tanah,
kendaraan dan modal fisik lainnya, tetapi modal manusia seperti pendidikan dan
kesehatan yang memadai serta kemampuan membangun jaringan untuk memperkuat
hubungan interaksi antar sesama akan memegang peranan penting dalam
keberhasilan suatu usaha. Hasil analisis tentang modal manusia disajikan pada Tabel
12.
Tabel 12. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya Manusia
No.
1.
2.
3.
Variabel
Tingkat Pendidikan
Tingkat Kesehatan
Pengalaman Perhutanan Sosial
Rata-rata
Skor
49.83
63.74
77.82
63.80
Tingkat Penilaian
rendah
sedang
Tinggi
sedang
Tabel 12 menunjukan bahwa secara umum modal manusia yang dimiliki
responden adalah kategori sedang (skor 63,80). Menurut Alhumami (2005), aspek
SDM bernilai sangat strategis dalam pembangunan. Nasseri (2002) berpendapat
bahwa modal manusia adalah akumulasi dari bakat dan pengetahuan individu yang
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, pengalaman dan kognisi. Untuk dapat
memacu pertumbuhan ekonomi, justru faktor modal manusia (human capital)
bertumpu pada pendidikan yang sangat diperlukan.
29
Kualitas modal manusia yang berada pada kategori sedang disumbangkan
oleh pengalaman masyarakat dalam perhutanan sosial. Hal ini lebih jelas ditegaskan
oleh informan Bapak Basrani:
Kalau dalam urusan pengalaman angggota kelompok tani di sini rata-rata
sudah berpengalaman dalam menanam tanaman hutan. Untuk
meningkatkan pengetahuan, hampir tiap tahun sebelum pelaksanakan fisik,
kami sering mengikuti diklat yang dilaksanakan pihak kehutanan seperti
Pengelolaan Hutan Mangrove, Gerhan, Hutan Kemasyarakatan,
Agroforestri, perlebahan dll. Kami pun pernah studi banding ke Jawa
(Program PHBM Perhutani) (Wawancara tanggal 27 Mei 2015)
Menurut Kolb (1984) proses belajar yang terjadi pada orang dewasa
merupakan “proses pengalaman”. Proses pengalaman tersebut terjadi melalui empat
tahap, yaitu : dari pengalaman nyata, pengamatan dan refleksi, pembentukan konsep
(pembuatan kesimpulan), dan penerapan atau praktek. Agar orang dewasa dapat
belajar dengan efektif ia membutuhkan kemampuan-kemampuan yang berbeda. Ia
harus mampu melibatkan dirinya sendiri secara penuh, terbuka dan tidak ada bias
dari pengalamannya yang baru; ia harus mampu merefleksikan dan mengamati
pengalaman tersebut dari berbagai sudut pandang; ia harus mampu merumuskan
konsep dari hasil pengalamannya menandai teori yang logis; dan ia harus mampu
mempergunakan konsep tersebut sebagai panduan dalam melakukan kegiatan.
Setelah keempat langkah tersebut dilalui, seseorang akan memperoleh pengalaman
baru, dimana pengalaman baru tersebut akan direfleksikan kembali, lalu dibuat
kesimpulan baru, dan diterapkan demikian seterusnya hingga daur belajar akan
terulang kembali.
Pengalaman perhutanan sosial diperoleh melalui pelatihan yang sering
diadakan sebelum proyek fisik kehutanan yang bertujuan untuk mempersiapkan
anggota kelompok tani melaksanakan kegiatan fisik agar tercapai tujuan
pembangunan hutan yang diharapkan. Melalui pelatihan, seseorang atau komunitas
akan mampu mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, sikap, keterampilan) agar
mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson, 1981;12). Menurut Brundage
(1981:73), pelatihan pada umumnya ditujukan kepada orang dewasa.
Pelatihan yang diikuti anggota KTH sebagai upaya meningkatkan kualitas
keahliannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Sayuti (1995:131), ada tiga
30
aktivitas yang dapat dilakukan individu-individu yang mungkin meningkatkan
kualitas keahliannya, yaitu: (1) pengetahuan dari pendidikan formal; (2)
memperbaiki keahlian atau ketrampilan melalui pengalaman kerja, dan (3) melalui
pelatihan khusus yang direncanakan untuk meningkatkan produktivitas pekerja,
khususnya dalam industri dan jasa.
Lebih jauh Marzuki (2015), menyatakan bahwa dengan pelatihan diharapkan
terjadi perbaikan tingkah laku pada partisipan pelatihan yang sebenarnya merupakan
anggota suatu organisasi, dan bagi organisasi akan menjadi lebih efektif. Kondisi ini
diakui informan Bapak Junaedi :
Pelatihan kehutanan membuat pengetahuan kami menjadi bertambah dan
meningkatkan motivasi kami untuk melaksanakan kegiatan perhutanan
sosial (wawancara tanggal 28 Mei 2015)
Pernyataan yang terakhir ini tentunya sesuai dengan Theodore Schultz,
peletak dasar teori human capital modern (1960), bahwa proses perolehan
pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk
konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Tingkat pendidikan-dalam hal ini pendidikan formal-masyarakat tergolong
rendah (skor 49,83). Menurut responden dan informan ada berbagai faktor yang
menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan di lokasi penelitian. Masyarakat belum
sepenuhnya memahami bahwa pendidikan merupakan investasi masa depan. Di
benak sebagian masyarakat di pedesaan memahami bahwa pendidikan yang tinggi
identik dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar dan jika selesai belum tentu
menjamin hidup yang lebih baik. Bagi mereka tidak perlu sekolah yang tinggi,asal
ada ijazah sekolah sudah bisa bekerja di perusahaan HTI, perkebunan ataupun
pertambangan. Biaya pendidikan yang semakin mahal dan kemampuan ekonomi
yang rendah juga merupakan penyebab menurunnya keinginan masyarakat untuk
meningkatkan kemampuannya melalui pendidikan formal. Pada intinya masyarakat
memandang bahwa pendidikan adalah unit cost yang harus dibayar, tanpa pendidikan
tinggi mereka sudah bisa bekerja dan memperoleh pendapatan sendiri.
Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat sangat terkait dengan tingkat
kesehatan masyarakat. Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai
akan lebih memahami pentingnya menjaga kesehatan dan demikian sebaliknya
masyarakat yang memiliki kesehatan yang baik akan lebih besar peluangnya untuk
31
mengikuti pendidikan dengan baik dibanding yang kurang sehat. Penerimaan
terhadap pelajaran di sekolah juga akan berbeda antar yang memiliki tingkat
kesehatan yang baik dengan yang kurang sehat.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Todaro (2005) yang menyatakan bahwa
modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi
kesehatan karena banyak program kesehatan bergantung pada keterampilan dasar
yang dipelajari di sekolah, termasuk kesehatan pribadi dan sanitasi. Di sisi lain,
kesehatan yang baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam
pendidikan karena kesehatan merupakan faktor utama agar dapat mengikuti proses
pembelajaran formal.
Pendidikan dan kesehatan yang memadai akan sangat membantu masyarakat
dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai terhadap usaha atau kegiatan yang akan dilakukan akan menentukan
berhasil tidaknya usaha dan kegiatan tersebut. Misalnya seorang petani yang
memiliki pengetahuan dan ketrampilan bertani yang memadai cenderung bertani
lebih baik dan memperoleh hasil yang lebih memuaskan dibanding petani yang tidak
memiliki pengetahuan dan ketrampilan sama sekali. Mereka akan lebih hati-hati
dalam melakukan aktivitas pertanian yang mengakibatkan kerusakan lingkungan,
karena mereka paham akibat yang ditimbulkan jika lingkungan (hutan) itu rusak.
Kaitannya dengan proses pemberdayaan, masyarakat yang memiliki tingkat
pendidikan dan kesehatan yang baik cenderung memiliki pengetahuan dan
ketrampilan serta kemampuan membangun jaringan/hubungan antar sesama yang
memadai, sehingga mereka akan lebih berpartisipasi dalam kegiatan yang memiliki
nilai positif terhadap kehidupan bermasyarakat. Keterlibatan atau partisipasi
masyarakat dalam proses pemberdayaan merupakan salah satu kunci keberhasilan
dalam membentuk masyarakat berdaya dan mandiri, baik berdaya secara sosial,
ekonomi maupun politik.
Berdaya secara sosial artinya, masyarakat memiliki kemampuan mengakses
sumber-sumber produktif, terbuka dengan dunia luar sehingga dapat bersaing secara
rasional dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha. Berdaya secara
ekonomis artinya, masyarakat dengan usaha yang dilakukannya dapat memperoleh
keuntungan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan dapat merencanakan
32
kebutuhan masa depannya yang lebih baik. Berdaya secara politik artinya,
masyarakat memiliki kebebasan dalam proses pengambilan keputusan terhadap sikap
yang diambil dalam proses politik, tidak dalam keadaan tertekan, dipaksa atau
diintimidasi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap keberadaan
dirinya.
Peningkatan kualitas modal manusia masyarakat merupakan hal penting
dalam menghadapi perkembangan teknologi dan informasi saat ini. Semua pihak
harus memahami bahwa modal manusia memiliki pengaruh terhadap keberhasilan
dalam berusaha. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Coleman (1998), Fukuyama
(2002), Todaro (2005) bahwa modal untuk usaha tidak lagi melulu berwujud tanah,
pabrik, alat-alat dan mesin melainkan akan segera didominasi oleh modal manusia
seperti; pendidikan, kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan serta keeratan
hubungan antara sesama.
3.
Kondisi Modal Sumberdaya Sosial (Social Capital)
Modal sosial dapat dipahami sebagai suatu norma atau nilai yang telah
disepakati bersama oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan kerjasama
yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi
dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antara sesama/kelompok/institusi dalam
rangka tercapainya tujuan bersama. Dalam penelitian ini, aspek modal sosial yang
dikaji adalah terjalinnya kerjasama yang baik, tumbuhnya kepercayaan dan
kepedulian antar sesama, kepatuhan terhadap norma yang ada dan keterlibatan dalam
aktivitas organisasi sosial masyarakat. Aspek-aspek modal sosial tersebut diharapkan
akan selalu tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih positif di kalangan
masyarakat. Secara rinci hasil penilaian terhadap kualitas modal sosial yang dimiliki
responden disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sosial
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel
Jaringan Kerja
Kepercayaan antar sesama
Kepatuhan terhadap norma
Kepedulian terhadap sesama
Keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial
Rata-rata
Skor
72.78
68.61
59.65
61.57
69.83
66.49
Tingkat Penilaian
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
33
Tabel 13 menunjukkan bahwa aspek-aspek modal sosial yang dikaji termasuk
dalam kategori sedang (skor 66.49). Tjondronegoro (2005) menjelaskan bahwa
modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk
pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia.
Hasil analisis data empiris menunjukkan bahwa secara umum masyarakat
dalam
melakukan kerjasama
masih mengedepankan
kepentingan bersama,
berprasangka baik (percaya) terhadap sesama, patuh terhadap norma bersama, peduli
atas kondisi orang lain dan selalu terlibat dalam organisasi sosial masyarakat.
Aspek kerjasama antar sesama menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi
penelitian memiliki jiwa kerjasama yang baik yang diwujudkan melalui kerjasama
dalam bidang pendidikan, pertanian dan kepentingan bersama dalam masyarakat.
Dengan kerjasama yang baik antara warga masyarakat tentunya akan mampu mencari
solusi dari permasalahan yang dihadapi sebagaimana yang dikemukan Brehm dan
Rahn (1990) dalam Bahtiar (1997). Dalam implementasinya ketika dimulai
pembukaan lahan perladangan, anggota masyarakat secara bersama-sama melakukan
gotong royong dengan sistem “arian”. Lahan anggota masyarakat yang akan digarap,
secara bersama-sama dibersihkan dulu pada hari tertentu, kemudian pada hari lainnya
membersihkan lahan lainnya. Kerjasama inilah yang menurut Grootaert dan Basteler
(2007) sebagai salah satu dari tiga manfaat modal sosial (social capital), yaitu
partisipasi individu dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan ketersediaan dengan
biaya rendah. Keterlibatan anggota kelompok dalam membuka lahan menunjukkan
bahwa jaringan antar individu dalam membuka lahan secara bersama menjadi lebih
efisien dalam penguasaan lahan oleh masyarakat. Hubungan individu dalam
kelompok keluarga yang harmonis menjadi cerminan jaringan yang dibangun oleh
masyarakat untuk mewujudkan penguasaan lahan yang dibuka secara bersama
menujukkan bahwa penguasaan lahan oleh masyarakat didominasi oleh modal sosial.
Dalam konteks modal sosial, keterkaitan jaringan antara petani dengan petani
dalam hal pembukaan lahan merupakan bentuk modal sosial yang masih sangat kuat
karena adanya kerjasama dan pengakuan batas-batas kepemilikan lahan oleh sesama
petani, bahkan dalam perjalanannya hingga sekarang jarang ditemukan konflik antara
petani dengan petani dalam hal tata batas wilayah kepemilikan. Hal ini sejalan
34
dengan pemikiran Bourdieu (1986) bahwa modal sosial menunjuk pada kewajibankewajiban sosial (koneksi) yang dalam kondisi tertentu dapat ditukar dengan modal
ekonomi.
Aspek tingkat kepercayaan terhadap sesama masyarakat di lokasi penelitian
tergolong tinggi. Salah satu pilar utama modal sosial menurut Paldam (2000), adalah
kepercayaan (trust). Dalam lingkup keluarga dan anggota masyarakat masih terjalin
rasa saling percaya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa keterkaitan rasa saling
percaya (trust) dalam hal status penguasaan lahan hutan antara petani dengan petani
dijumpai dalam bentuk pengakuan hak atas lahan hutan, Pengakuan hak penguasaan
lahan antara sesama petani merupakan wujud kerjasama yang terkoordinasi sehingga
rasa saling percaya antara petani dengan petani merupakan modal sosial yang
terbangun melalui proses pemilikan lahan. Sedangkan dalam hal peralihan hak
pengelolaan lahan dijumpai dalam bentuk bentuk warisan, mangaruni (bagi hasil),
sanda (gadai), dan jual beli lahan. Proses peralihan hak kelola tidak dilakukan secara
administrasi tertulis, kecuali jual beli akan tetapi berdasarkan rasa saling percaya
dalam pemenuhan hak dan kewajiban yang merupakan wujud modal sosial yang kuat
diantara petani. Hal ini sejalan dengan pendapat Putnam (1993) bahwa Modal
sosial merupakan pondasi dasar komunitas yang terdiri dari persediaan kepercayaan
sosial, norma dan jaringan kerja dimana masyarakat dapat menggambarkan
penyelesaian problem umum, sehingga semakin kuat modal sosial, semakin kecil
kemungkinan terjadinya konflik.
Dalam penelitian ini, kepercayaan anggota masyarakat berkaitan dengan
orang luar, dalam hal ini dengan pihak kehutanan masyarakat lebih berhati-hati
dalam melakukan interaksi. Masyarakat di lokasi penelitian lebih percaya tokoh
masyarakat atau tokoh agama dari pada pemerintah atau pihak luar yang sering
mengobral janji yang jarang diwujudkan sesuai aspirasi. Masyarakat menganggap
pemerintah atau pihak luar hanya menjadikan masyarakat sebagai alat untuk
memperoleh paket bantuan atau program. Setelah bantuan atau program tersebut
didapatkan, masyarakat tidak memperoleh sesuai rencana. Tidak jarang bantuan atau
program itu hanya dinikmati oleh orang-orang pemerintah atau pihak ketiga,
sementara implementasi di lapangan tidak sesuai dengan apa yang diprogramkan.
Hal ini ditegaskan informan Bapak Basrani:
35
Tahun 2011, kami disuruh membuat proposal bantuan sosial (bansos)
berupa reboisasi berbasis karet senilai Rp 50.000.000. Namun begitu
realisasi, dana yang kami terima hanya sekitar Rp 35.000.000. Kami waktu
itu tetap harus menandatangani senilai Rp 50.000.000. Katanya untuk biaya
administrasi dan lobby supaya gol, karena banyak anggota kelompok tani
lain yang mengusul. Sebelumnya kami juga pernah di “provokasi” untuk
menanam sengon, kakao dan nilam, karena nilai jualnya tinggi. Dalam
perjalanannya juga tidak berhasil karena sedikitnya pembinaan, dana
pemeliharaan dan ketidakjelasan pasar. Sekarang ini, kami kurang begitu
percaya lagi dengan kehutanan (Wawancara tanggal 21 Mei 2015)
Padahal menurut (Coleman,1998:102) agar orang-orang dengan kepentingan
berbeda dapat bekerjasama untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah mereka
tetapkan, mereka tidak hanya perlu mengetahui satu sama lain tetapi juga
mempercayai satu sama lain untuk mencegah adanya eksploitasi maupun
kecurangan dalam hubungan mereka.
Aspek kepatuhan terhadap norma, kaidah atau aturan yang menjadi
kesepakatan bersama tergolong kategori sedang (skor 59,65). Hal ini disebabkan
karena responden atau masyarakat umumnya masih memiliki norma, kaidah atau
aturan tertentu yang mengatur perilaku bermasyarakat. Masyarakat mengenal norma,
kaidah dan tata cara bertani yang harus ditaati oleh masyarakat, terutama yang
bermata pencaharian sebagai petani.
Bagi masyarakat, norma atau kaidah/aturan hidup bermasyarakat didasarkan
pada hubungan kekerabatan seperti: pergaulan antara anggota keluarga inti, di
lingkungan keluarga luas, dan di luar keluarga inti. Norma, kaidah atau aturan
pergaulan masyarakat yang didasarkan pada kekerabatan yang terbangun melalui
hubungan perkawinan. Tata cara perkawinan masyarakat sepenuhnya diatur dengan
norma-norma adat. Misalnya, jika seorang pemuda meminang seorang gadis, syarat
utama yang harus dipenuhi adalah adanya kemampuan untuk memadukan
kematangan intelektual dan emosi dalam perilakunya. Jika syarat itu sudah dipenuhi,
maka sang pemuda menyampaikan keinginannya kepada orangtua sambil
menyebutkan nama gadis pilihannya untuk dipertimbangkan oleh orangtua dan
keluarga siapa yang dianggap cocok dan layak menjadi istri sang pemuda, baru orang
tua memulai tahapan proses perkawinan menurut adat setempat. Setelah menjadi
36
keluarga baru, maka masyarakat harus mentaati norma, kaidah atau aturan pergaulan
dalam bermasyarakat akibat ikatan perkawinan.
Pertama, norma, kaidah atau aturan pergaulan terhadap keluarga inti.
Keluarga inti terdiri dari suami, istri dan anak. Pergaulan dalam keluarga inti ditandai
dengan adanya kerjasama, kesetiaan, solidaritas dan kasih sayang. Dalam pola
pergaulan keluarga inti menggariskan suatu keharusan-keharusan, larangan-larangan
dan pantangan, tanggungjawab, kewajiban dan hak serta peranan dan fungsi baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Pada masyarakat, pergaulan
antar anggota keluarga inti, misalnya antar suami dan istri secara tradisional
mempunyai norma, kaidah atau aturan bahwa suami/istri harus saling mengayomi,
menghargai, menjaga, memelihara, dan mencintai. Jika hal-hal tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya, misalnya terjadi pelanggaran, maka akan menimbulkan
disharmonisasi dalam keluarga yang dapat berakhir pada perceraian. Pergaulan antar
orangtua dan anak masyarakat didasarkan pada nilai yang diungkapkan secara
tradisional dengan norma, kaidah atau aturan yang ditanamkan kepada anak
misalnya: anak mencintai orangtua, orangtua mencintai anak dan anak memuliakan
orangtua dan orangtua menghargai anak. Kedua ungkapan tersebut merupakan
landasan orang tua dan anak dalam melakukan interaksi atau aturan dasar dari
interaksi antara orangtua dan anak.
Di lokasi penelitian norma atau aturan yang mendasari interaksi antara anak
dan orangtua sebagai besar masih terjaga. Norma, kaidah atau aturan pergaulan
dengan lingkungan di luar keluarga adalah pergaulan suami istri dengan teman dan
kerabat mereka pada tingkat dan derajat pertama, misalnya mertua, paman/bibi, ipar
dan sepupuh kedua belah pihak. Bagi masyarakat, perkawinan tidak hanya mengikat
suami istri tetapi meleburkan dua keluarga ke dalam satu kesatuan. Hal ini
dibuktikan dari kerjasama yang kuat dalam mempersiapkan perkawinan. Mas kawin
bukan hanya tanggung jawab dari orangtua laki-laki, tetapi merupakan hasil
patungan atau sumbangan dari famili dan kerabat dekat.
Bagi suami, orangtua istri adalah orangtuanya dan disapa seperti menyapa
orangtuanya sendiri. Secara umum keluarga istri adalah keluarga suami dan
sebaliknya. Pola hubungan ini sudah mulai pudar seiring perkembangan zaman.
Anak-anak sudah mulai membantah orang tuanya, dan orangtua juga kadang
37
menelantar anaknya dalam arti tidak diberi kesempatan untuk menikmati masa
kanak-kanaknya, tetapi anak-anak sejak kecil (umur sekolah) sudah diberi beban
untuk membantu orangtua mencari nafkah. Hal seperti ini sudah terjadi di semua
lokasi penelitian. Oleh karena itu, kedepan pola hubungan tradisional masyarakat
perlu dimasyarakatkan kembali melalui muatan lokal pendidikan.
Berdasarkan pengamatan dilapangan pudarnya norma, kaidah atau aturan
pergaulan antara anak dan orangtua sebagian besar didasari oleh ketidaktahuan dan
pengaruh media yang berkembang sangat pesat. Peningkatan modal manusia dapat
dilakukan melalui pendidikan baik secara formal maupun non formal. Melalui
pendidikan, masyarakat akan beinteraksi dan berasosiasi antar sesama, sehingga
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang memadai. Namun perlu diingat,
bahwa masyarakat akan dapat mengikuti pendidikan dengan baik, jika memiliki
kesehatan jasmani dan rohani yang baik pula. Dengan demikian masyarakat dapat
dikatakan memiliki modal manusia yang berkualitas jika memiliki tingkat pendidikan
dan kesehatan yang memadai serta berinteraksi/berasosiasi dengan sesamanya sesuai
dengan norma, kaidah atau aturan yang berlaku.
Faktor lain yang berperan dalam pembentukan dan penguatan modal sosial
masyarakat adalah faktor kemampuan para stakeholders dalam penelitian ini disebut
pelaku pemberdayaan. Pelaku pemberdayaan adalah orang-orang yang memiliki
kepedulian dan komitmen yang tinggi untuk menolong dan memberdayakan
masyarakat yang tidak memiliki daya dan kesempatan untuk mengoptimalkan
potensi dirinya dan mengakses sumberdaya secara optimal.
Pelaku pemberdayaan dalam kehidupan masyarakat pedesaan dan pengeloan
hutan lebih dikenal dengan penyuluh kehutanan atau fasilitator.
Pelaku
pemberdayaan yang memiliki kemampuan yang memadai akan dapat membantu
masyarakat untuk mengenal kondisi sosial budaya, jenis kebutuhan dan potensi
sumberdaya yang dimiliki. Dengan demikian, pelaku pemberdayaan akan membantu
menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa untuk memenuhui kebutuhan dan
mengembangkan pontesi memerlukan keterlibatan orang lain. Oleh karena itu, perlu
ditumbuhkan dan dikembangkan semangat bekerjasama, saling mempercayai, taat
terhadap norma yang berlaku, peduli terhadap sesama, dan aktif dalam kegiatan
organisasi dalam masyarakat.
38
Keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial masyarakat tergolong sedang
(skor 69,83). Masyarakat di sela-sela kesibukannya masih selalu meluangkan waktu
untuk mengikuti kegiatan organisasi sosial masyarakat. Masyarakat masih
meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan pengajian, Maulid Habsy, pertemuan di
tingkat lingkungan paling tidak sekali sebulan. Selain itu, masyarakat juga tetap
memenuhi kewajibannya membayar iuran pokok perkumpulan tertentu, seperti
perkumpulan yasinan dan rukun kematian. Perkumpulan rukun kematian secara
ekonomi manfaatnya tidak signifikan, tetapi secara sosial budaya memiliki makna
yang sangat dalam. Antara lain, dengan menjadi anggota perkumpulan rukun
kematian diharapkan selalu mengingat mati, sehingga dengan demikian maka untuk
menghadapi mati harus dipersiapkan sejak dini, misalnya harus selalu berbuat baik,
taat terhadap agama dan lain sebagainya.
4.
Modal Sumberdaya Finansial (Financial Capital)
Sumberdaya finansial merupakan sumber-sumber pembiayaan finansial, baik
yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan pertanian, pembukaan usaha baru,
ataupun pemenuhan kebutuhan mendesak dan sehari-hari. Masyarakat petani
memiliki keterbatasan informasi dan keberanian untuk mengakses sumberdaya
finansial yang tersedia, sehingga petani tidak bisa mengembangkan usaha
pertaniannya lebih baik lagi. Modal keuangan yang tersedia bagi rumah tangga
pedesaan berasal dari hasil produksi pertanian, hasil hutan. Mereka juga dapat
menggunakan kredit formal dan informal untuk melengkapi sumber keuangan
mereka.
Secara rinci hasil penilaian terhadap kualitas modal sumberdaya finansial
yang dimiliki responden disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Persepsi responden terhadap modal sumberdaya Finansial
No.
1.
2.
3.
Variabel dan Indikatornya
Skor
Tingkat Penilaian
Pendapatan
Tabungan
Akses mendapatkan modal
Rata-rata
62.35
48.96
51.65
54.32
Sedang
rendah
rendah
Sedang
39
Analisis kekuatan aspek keuangan, secara umum dapat dijelaskan bahwa
untuk modal kerja produksi tidak mengalami banyak kendala, karena pendanaan
untuk pembangunan hutan pada tahun pertama dan kedua mendapat bantuan dari
UPT BPDAS Barito dan BP2HP Kementerian Kehutanan serta Dinas Kehutanan
Kabupaten dan Provinsi. Hanya saja yang menjadi persoalan ketika memasuki tahun
ketiga (pemeliharaan tahun kedua), masyarakat seringkali mengalami kesulitan
pendanaan karena sebagian besar peserta program tidak memiliki dukungan finansial
yang lebih, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan standar minimal dan melakukan
aktivitas usaha pertanian tanaman pangan.
Pada umumnya masyarakat tidak memiliki tabungan dalam bentuk uang.
Bagi masyarakat tabungan diinvestasikan dalam bentuk kepemilikan sapi, tanah,
kebun buah, kebun karet dan perhiasan.
Gambar 3 merupakan alur penggunaan sumberdaya finansial untuk kegiatan
pertanian.
Biaya Sehari-hari
Tabungan
Hutang
- Penyedia Pupuk,
Pestisida
- Koperasi
- Bank
- Tetangga
Modal
Proyek Kehutanan
- KBR
- Gerhan
- dll
Penanaman
Pemeliharaan
Pemeliharaan
Pendapatan
Pemeliharaan
Pemeliharaan
Hasil Hutan
Gambar 3. Alur Penggunaan Sumberdaya Finansial
40
5. Modal Sumberdaya Alam
Bagi masyarakat perdesaan di lokasi penelitian yang termasuk dalam
sumberdaya alam antara lain tanah (lahan), sumberdaya hutan (hasil hutan kayu,
hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan), air, dan bahan mineral. Berdasarkan
penilaian responden maka kondisi sumberdaya alam di KPHK Kuala Lupak
termasuk dalam katagore tinggi. Secara rinci hasil penilaian terhadap modal
sumberdaya alam di kawasan KPHK Kuala Lupak disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Persepsi responden terhadap Kualitas Modal Sumberdaya Alam
No.
1.
2.
3.
Variabel
Lahan
Hutan
Air
Rata-rata
Skor
72.78
75.74
66.43
71.65
Tingkat Penilaian
sedang
tinggi
Sedang
sedang
Lahan di sekitar pemukiman masyarakat merupakan kawasan hutan yang
sebagian besar telah di kapling status “kepemilikannya”. Kawasan KPHK Kuala
Lupak dimana di dalamnya terdapat potensi sumber daya masyarakat yang cukup
baik di bidang budidaya tanaman, dimana pada kawasan ini merupakan penghasil
buah-buahan seperti Durian, Cempedak, Langsat, Rambutan dan lain-lain selain
untuk dijual langsung juga dapat dimanfaatkan sebagai kawasan wisata agro yang
dapat menarik wisatawan.
Lahan-lahan hutan yang ada sebagian masih merupakan lahan tidur yang
tidak produktif yang tidak termanfaatkan. Tanah merupakan salah satu sumberdaya
utama bagi sebagian besar masyarakat perdesaan. Ketersediaan lahan tergantung
pada banyaknya rumah tangga dan sistem kepemilikan lahan.
Biasanya petani
memiliki akses tanah melalui warisan, sewa (gadai) dan beli tanah. Namun
belakangan dalam kehidupan perdesaan masyarakat, distribusi tanah tersebut mulai
ditinggalkan. Oleh karenanya, mulai terdapat ekspansi lahan pertanian pada lahanlahan lindung. Akibatnya jumlah pemilik lahan menurun dan rumah tangga yang
tidak memiliki lahan meningkat. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan
keinginan dan aspirasi yang kuat untuk memanfaatkan lahan tidak produktif dengan
melakukan pembudidayaan jenis tanaman, dimana responden di Desa Kuala Lupak,
setuju dengan prosentase 73,33%. Responden yang memberikan tanggapan “tidak
41
tahu” karena memang selama ini kurang mengetahui teknologi pemanfaatan lahan,
sedangkan responden yang setuju relatif memahami karena pernah terlibat dalam
program GN-RHL/Gerhan sejak tahun 2003, dimana saat ini sudah ada sebagian
lahan yang telah ditanam. Secara rinci dapat dilihat aspirasi responden terkait dengan
pemanfaatan lahan yang ada sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.
.Gambar 4. Persepsi Responden tentang Pemanfaatan Lahan Hutan (%)
6.
Pentagon Modal Sumberdaya
Antonio Syafe'i (2003) menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi yang
menciptakan trickle down effect adalah pembangunan yang melibatkan rakyat secara
langsung. Namun dalam konsep pembangunan, pembangunan baru bisa dikatakan
berhasil bila mampu mewujudkan penghidupan yang berkelanjutan, sekarang dan
untuk generasi mendatang. Tidak sepotong atau satu aspek saja, namun meliputi
segenap sumberdaya yang menopang penghidupan manusia (holistic) dengan tetap
memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan (sustainability).
Penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood) ditopang oleh lima
unsur yaitu; Sumberdaya Manusia, Sumberdaya Sosial, Sumberdaya Alam,
Sumberdaya Fisik dan Sumberdaya Finansial. Kelima sumberdaya penghidupan
(Livelihoods Resources) inilah yang melingkupi kehidupan setiap individu, keluarga
dan masyarakat. Karenanya pembangunan perlu menempatkan manusia sebagai
42
fokus utama (people centered), pembangunan tidak bernilai apa-apa bila tidak
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan hasil pendeskripsian
kondisi modal sumberdaya di lokasi penelitian, maka apabila dibuat pentagon asset
dapat digambarkan sebagai berikut:








Kerjasama (tinggi)
Kepercayaan (tinggi)
Kepatuhan terhadap
norma (sedang)
Kepedulian (sedang)
Aktivitas Organisasi
(sedang)



Pendidikan Masyarakat
(rendah)
Kondisi Kesehatan (sedang)
Pengalaman di bidang
kehutanan (tinggi)
Potensi Lahan (sedang)
Potensi hutan (tinggi)
Potensi SD air (tinggi)









Pendapatan (rendah)
Tabungan (rendah)
Akses Modal (sedang)
Sarana Produksi cukup Tersedia
Sarana Pendidikan kurang Tersedia
Sarana Kesehatan kurang Tersedia
Sarana Ekonomi cukup tersedia
Sarana Komunikasi cukup tersedia
Sarana Transportasi kurang tersedia
Gambar 5. Grafik Pentagon Aset untuk menggambarkan kondisi sumberdaya di
lokasi penelitian
Berdasarkan Gambar 5, maka urutan skoring yang tertinggi hingga terendah
adalah sumberdaya alam tinggi (71,65), sumberdaya sosial sedang (66,49),
sumberdaya fisik sedang (59,72), sumberdaya manusia sedang (63,80), dan
sumberdaya finansial sedang (54,32).
Secara keseluruhan, aset penghidupan
masyarakat tergolong sedang. Ini mengindikasikan bahwa pembangunan desa,
termasuk pembangunan hutan yang melibatkan masyarakat selama ini belum mampu
mengangkat kehidupan masyarakat perdesaan hutan, sehingga ke depan perlu akses
yang lebih baik dan kondusif guna meningkatkan aset penghidupan masyarakat
secara berkelanjutan.
43
Sumberdaya sosial juga merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhitungkan, karena bila suatu instrument tidak memiliki nilai sosial maka sesuatu
kegitan tersebut tidak akan bermanfaat bagi manusia yang lain dan tidak layak untuk
dikatakan sebagai sebuah kegiatan yang produktif. Pada hakikatnya kegiatan yang
produktif adalah kegitan yang mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
manusia, sumberdaya seperti itu pulalah yang terdapat dalam pemberdayaan.
Potensi sumberdaya manusia yang ada di KPHK Kuala Lupak sangat
mendukung pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan, karena mayoritas
penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani dan telah mempunyai
pengalaman dalam perhutanan sosial. Penduduk sendiri sebenarnya memiliki etos
kerja yang tinggi baik dilihat dari hari kerjanya maupun dari jam kerjanya per hari.
Dengan bermata pencarian sebagai petani, pengalaman perhutanan sosial dan
memiliki etos kerja yang tinggi, pemberdayaan akan dapat berjalan dan mampu
menopang serta memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Kondisi sosial yang ada di lokasi penelitian juga sangat mendukung
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan hutan, hal tersebut bukan merupakan
sesuatu yang tak mungkin karena dukungan modal kerjasama dan kepercayaan
masyarakat antar sesama relatif tinggi. Sudut pandang budaya dan psikologi
masyarakat tidak akan mendapatkan hambatan yang berarti. Kohesi sosial antar
masyarakat juga sangat kuat, dikarenakan memiliki satu keyakinan yang sama
sekaligus juga dikarenakan adanya aktivitas kelompok masyarakat yang masih hidup
dan rutin diadakan oleh masyarakat.
Dari segi finansial di lokasi penelitian walaupun pendapatan masyarakat
masih rendah, namun cukup banyak alternatif permodalan khususnya berasal dari
program Kementerian Kehutanan melalui bantuan modal kerja melalui mekanisme
Kebun Bibit Rakyat (KBR), Kelompok Usaha Produktif (KUP), Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Sehingga dengan adanya alokasi
dana yang bersifat produktif dengan diperkuat oleh lembaga keuangan akan mampu
mengangkat derajat masyarakat miskin dari kubangan kemiskinan.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa juga terdapat banyak hambatan,
pemberdayaan masyarakat antara lain adanya anggapan masyarakat beranggapan
bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan hanya sekedar keproyekan,
44
takut lahan yang sudah dikuasai akan diambil pemerintah, dan masalah
pendidikan/sekolah bukan soal penting bagi mereka dan tidak menjanjikan pekerjaan
yang layak bagi mereka lebih tertarik mencari uang daripada sekolah. Masih banyak
masyarakat yang terjerat para tengkulak yang menawarkan modal dengan tingkat
bunga yang tinggi, dan rata-rata pendapatan masyakat miskin khususnya sebagai
buruh tani tidak cukup memadai untuk mencicil hutang.
Gambar 5 tampak bahwa walaupun kondisi modal sumberdaya alam tergolong
tinggi, namun tidak mempunyai korelasi yang kuat dalam peningkatan aspek
finansial, sumberdaya manusia, sosial, dan fisik. Kondisi ini sesuai dengan tesis yang
disampaikan oleh Richard Auty (1993) yang menggambarkannya sebagai kutukan
sumber daya ketika dia menjelaskan bagaimana negara-negara yang SDA-nya
berlimpah tidak mampu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi
mereka dan bagaimana mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat
daripada negara-negara yang SDA-nya sedikit.
B. Perilaku Masyarakat
1. Kemampuan Penyuluh Kehutanan Sebagai Pelaku Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat menjadi paradigma baru penyuluhan kehutanan,
sehingga penyuluhan kehutanan didefinisikan sebagai proses pemberdayaan
masyarakat dalam mengembangkan pengetahuan dan sikap perilaku masyarakat
sehingga menjadi tahu, mau, dan mampu melakukan kegiatan pembangunan hutan
dan kehutanan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya serta
mempunyai kepedulian dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian hutan dan
lingkungan.
Dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat perdesaan hutan
yang berkaitan dengan pembangunan hutan, pemerintah menetapkan penyuluh
kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan. Lippit (1958) dan Rogers (1983)
menyebutnya sebagai “agen perubahan (agent of change), yaitu seseorang yang atas
nama pemerintah atau lembaga pemberdayaan masyarakat berkewajiban untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh (calon) penerima
manfaat dalam mengadopsi inovasi.
Dalam
bidang kehutanan,
tenaga
pemberdayaan
masyarakat
sering
diistilahkan dengan penyuluh kehutanan bagi yang berstatus PNS, penyuluh
45
kehutanan swadaya masyarakat (PKSM) bagi yang berasal dari masyarakat setempat
dan fasilitator bagi yang tenaga non PNS yang direkrut oleh pihak kehutanan
(Pusluhhut, 2002:4 dan Fauzi,2011:5). Penyuluh kehutanan dibedakan atas penyuluh
trampil dan penyuluh ahli. Tenaga penyuluh sangat diperlukan dalam dalam rangka
pemberdayaan masyarakat untuk menjadi pelaku pembangunan
hutan
dan
kehutanan terutama dalam mendukung berbagai kebijakan yang selalu dinamis
untuk
tujuan
pelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat (Pusluhhut,
2007:3).
Menurut Mardikanto (2015:139), pelaku pemberdayaan berdasarkan atas
status dan tempatnya bekerja dibedakan atas 3 (tiga) kategore yaitu:
(1) Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu pegawai negeri yang ditetapkan dengan status
jabatan
fungsional
sebagai
Penyuluh/Fasilitator.
Penyuluh/Fasilitator
Pemberdayaan Masyarakat PNS mulai dikenal sejak awal 1970 seiring dengan
dikembangkannya konsep “catur sarana unit desa” dalam program BIMAS.
Sedang jabatan fungsional penyuluh, mulai dibicarakan sejak pelaksanaan proyek
penyuluhan tanaman pangan (National Food Crops Extension Project/NFCEP)
sejak tahun 1976.
(2) Penyuluh/Fasilitator Swasta, yaitu fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang
berstatus sebagai karyawan perusahaan swasta (produsen pupuk, pestisida,
perusahaan benih/benih/ alat/mesin pertanian, dll). Termasuk kategori penyuluh
swasta adalah, penyuluh dari lembaga swadaya masyarakat (LSM)
(3) Penyuluh/Fasilitator, yaitu fasilitator Pemberdayaan Masyarakat yang berasal
dari masyarakat yang secara sukarela (tanpa imbalan) melakukan kegiatan
pemberdayaan masyarakat di lingkungannya. Termasuk dalam kelompok ini
adalah, penyuluh/fasilitator yang diangkat dan atau memperoleh imbalan dari
masyarakat di lingkungannya.
Dalam menjalankan program yang berkaitan dengan pembangunan hutan,
penyuluh kehutanan mempunyai peran yang sangat strategis, baik dalam rangka
meningkatkan kapasitas dan kemandirian masyarakat, maupun dalam upaya
pelestarian sumberdaya hutan. Hal ini sejalan dengan pergeseran pembangunan
kehutanan dan pelaksanaan otonomi daerah, maka telah dilakukan reorientasi
paradigma penyuluhan kehutanan, yang semula merupakan proses alih teknologi dan
46
informasi menjadi penyuluhan kehutanan yang merupakan proses pemberdayaan
masyarakat (Pusluhhut, 1997:3). Menurut (Susetyo, 2006:1), penyuluhan kehutanan
pada intinya adalah pemberdayaan masyarakat. Mengacu pada pengertian
penyuluhan kehutanan itu sendiri yang merupakan proses pembelajaran bagi pelaku
utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan
mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan
dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi,
usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam
pelestarian fungsi lingkungan melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap (Dephutbun, 2000). Maka jelaslah bahwa dalam penyuluhan, tujuan pendidikan
tidak hanya pada kognitif saja tapi juga pada peningkatan kemampuan afektif dan
psikomotorik.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses
yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah atau suatu lembaga
pemberdayaan
masyarakat
agar
masyarakat
selalu
tahu,
mau,
dan
mampu mengadopsi inovasi demi tercapainya peningkatan produktivitas dan
pendapatan usahatani guna memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan masyarakat
secara keseluruhan (Mardikanto, 2015:139). Karena itu, kegiatan pemberdayaan
masyarakat membutuhkan tenaga-tenaga fasilitator yang handal agar dapat
melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang direncanakan.
Istilah
fasilitator di sini menurut Mardikanto (2015:139) diidentikkan sebagai pekerja atau
pelaksana pemberdayaan masyarakat yang seringkali disebut sebagai penyuluh.
Menurut (Utama, 2013:1), penyuluh kehutanan sebagai ujung tombak dalam
pembangunan kehutanan di lapangan. Sebagai tenaga ujung tombak, maka penyuluh
kehutanan harus kompeten dan profesional. Untuk mewujudkan peran yang
diembannya, penyuluh kehutanan harus memiliki kemampuan memberdayakan
masyarakat. Pelaku pemberdayaan diharapkan memiliki kemampuan, sikap dan
ketrampilan yang memadai dalam mendampingi, membina dan mengarahkan
masyarakat dalam menjalankan program-program yang berkaitan dengan pelestarian
hutan dan pembebasan masyarakat dari belenggu ketidakberdayaan dan kemiskinan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Chamala dan Shingi (1997) bahwa penyuluh harus
memiliki
kompetensi
dalam
menjalankan
empat
peranan
penting
yaitu
47
pemberdayaan, pengelolaan kelompok dan penguatan kelembagaan masyarakat,
pengembangan sumberdaya petani, serta pemecahan masalah dan pendidikan.
Keberadaan pelaku pemberdayaan di lapangan tidak hanya berfungsi sebagai
pendamping/pembina kelompok tani saja (sebagaimana tersebut di atas tadi) tetapi
secara praktis di lapangan memiliki multi fungsi, baik sebagai motivator, inovator
sekaligus sebagai mediator dalam pemberdayaan masyarakat/kelompok tani
setempat.
Sebagai motivator seorang pelaku pemberdayaan akan berperan sebagai
pembangkit gairah dan semangat kerja bagi masyarakat dengan memberikan
penjelasan, pemahaman dan dorongan untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam
berbagai kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan. Pendamping harus selalu
berada dekat dan sering melakukan komunikasi serta pendekatan baik secara
individu (contact person) maupun secara kelompok (pertemuan formal dan non
formal) kepada masyarakat agar segala pekerjaan fisik di lapangan yang menjadi
tanggung jawab mereka dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, untuk itu
sangat diperlukan kepribadian dan budi pekerti yang baik, sopan, rendah hati serta
penuh adab dan tata krama yang tinggi pada diri seorang pelaku pemberdayaan, yang
mana dari semua itu akan memberikan kesan menarik bahkan menimbulkan rasa
sayang dan simpatik dari masyarakat sehingga segala apa yang disampaikan akan
lebih mudah mereka terima dan laksanakan, yang pada akhirnya partisipasi dan peran
aktif masyarakat akan meningkat signifikan.
Sebagai inovator, seorang tenaga pelaku pemberdayaan berperan membawa
kelompok tani kepada perubahan dan pengembangan teknologi baru, terutama yang
mudah dimengerti serta sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang ada
(teknologi bidang pertanian, kehutanan, dll).
Untuk itu diperlukan kemampuan
pelaku pemberdayaan dalam menggunakan cara penyampaian yang baik, pemilihan
sasaran dan situasi kondisi yang tepat, penggunaan bahasa yang halus, sederhana dan
mudah dimengerti, serta menghindari timbulnya kesan seolah-olah menggurui agar
tidak menyinggung perasaan mereka sehingga siap menerimanya dengan lapang
dada.
Sebagai
mediator,
seorang
pelaku
pemberdayaan
berperan
untuk
mempertemukan antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat
48
sehingga tercipta suatu kondisi dimana hak-hak dan kewajiban masyarakat dan
pemerintah dalam setiap kegiatan (yang berhubungan dengan keproyekan) dapat
terjamin. Selain itu selalu berusaha mencari solusi untuk membantu memecahkan
berbagai permasalahan baik yang timbul di dalam masyarakat/kelompok tani itu
sendiri (intern) maupun permasalahan dengan pihak luar (ekstern). Oleh sebab itu
seorang pelaku pemberdayaan dituntut memiliki kemampuan yang “lebih” untuk
mampu bersikap dan bertindak secara arif dan bijaksana dalam membantu
menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada demi terpenuhinya kepentingan bagi
semua pihak tanpa ada yang merasa dirugikan (win-win solution).
Selain berbagai peran tersebut di atas, seorang pelaku pemberdayaan
merupakan ujung tombak bagi perlindungan, pembelaan dan penyelamatan hak-hak
dan kepentingan masyarakat/kelompok tani. Dalam hal munculnya gejala dan
indikasi ke arah terjadinya penyelewengan atau penyimpangan dari aturan
sebenarnya yang akan merugikan masyarakat/kelompok tani maka penyuluh
kehutanan lah yang akan bertindak secara pro aktif melakukan pencegahan,
pembelaan dan penyelamatan hak-hak masyarakat tersebut. Seorang pelaku
pemberdayaan tidak akan langsung bertindak secara frontal dan membabi buta
(kontradiktif)
dengan
mengangkat
isu
tersebut
ke
permukaan
atau
mempublikasikannya ke berbagai media massa untuk mempermalukan pihak-pihak
tertentu dan diketahui khalayak ramai, karena cara-cara tersebut masih kurang efektif
dan kurang berhasil guna, tetapi secara pro aktif seorang penyuluh kehutanan akan
lebih mengutamakan tindakan langsung sebagai langkah nyata dengan melakukan
pencegahan persuasif, pendekatan secara manusiawi, arif dan bijaksana namun tetap
menunjukkan sikap yang tegas dan berwibawa. Ternyata cara ini memang sangat
ampuh dan memberikan hasil nyata bagi penyelamatan hak-hak masyarakat yang
terindikasi akan dikebiri.
a. Kemampuan Kognitif (Pengetahuan) Penyuluh Kehutanan
Berdasarkan Tabel 16 dari aspek kognitif, penyuluh kehutanan memiliki
kemampuan kognitif yang sedang (skor 71,55).
49
Tabel 16. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan
No
Katagore *
Skor
Kriteria Penilaian
1 Kemampuan Memahami
77.57
tinggi
2 Kemampuan Menerapkan
78.96
tinggi
3 Kemampuan Menganalisis
74.09
sedang
4 Kemampuan Mengevaluasi
62.96
sedang
5 Kemampuan Menciptakan
64.17
sedang
Rata-rata
71.55
sedang
Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom versi Revisi (Krathwohl,
2002:215)
Kemampuan pemahaman penyuluh relatif baik dengan katagore tinggi
(77,57). Menurut (Krathwohl, 2002:215), memahami/mengerti berkaitan dengan
membangun sebuah pengertian dari berbagai sumber seperti pesan, bacaan dan
komunikasi yang bersumber dari pengetahuan dari memori atau ingatan yang telah
lampau, baik yang baru saja didapatkan maupun yang sudah lama didapatkan. Pada
tahap ini, penyuluh dapat memahami hal-hal penting berkaitan dengan visi misi
penyuluhan kehutanan, materi dan metode penyuluh kehutanan dan pemberdayaan
masyarakat, teknis kehutanan seperti agroforestri, silvikultur, pemanfaatan dan
pemahaman hasil hutan. Kemampuan ini dimanfaatkan untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks (Gunawan & Palupi, 2013:26).
Dari aspek pengetahuan kehutanan, para penyuluh sudah memadai, namun
berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat menyebutkan bahwa pelaku
pemberdayaan yang memfasilitasi program-program pemberdayaan selama ini
kurang memiliki pengetahuan tentang mekanisme pemasaran yang menguntungkan
bagi petani, jaringan pemasaran dan tata usaha peredaran hasil hutan.
Dari sisi kemampuan menerapkan (applying), penyuluh kehutanan di
Kabupaten Barito Kuala pada umumnya telah mampu mengaplikasikan teknikteknik yang berkaitan dengan kehutanan berdasarkan ilmu pengetahuan yang
dipelajari pada saat kuliah atau pelatihan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Misalnya setelah mengikuti pelatihan Silvikultur Intensif (SILIN), mereka sudah
bisa menerapkan pengaturan jarak tanam. Pada saat membuat arah larikan tanaman
dengan jarak tanam yang sudah ditentukan, kalau luasannya kecil maka
pengerjaannya relatif mudah, tapi kalau sudah mencapai puluhan hektar maka
praktiknya di lapangan akan susah. Ketika penyuluh yang mempunyai pengetahuan
50
mengenai hal tersebut tentunya hal ini dengan mudah bisa diterapkan pada lahan
yang akan ditanami. Begitu pula dalam hal pengendalian kebakaran lahan hutan,
penyuluh telah bisa ikut membantu pemadaman kebakaran berdasarkan ilmu yang
dipelajari pada saat pelatihan. Hal ini ditegaskan informan Bapak Riza Ali:
Di daerah binaan saya, setiap musim kemarau panjang pasti terjadi
kebakaran lahan dengan areal yang sangat luas sehingga menyebabkan
kematian tegakan pohon yang telah ditanam sejak tahun 2003. Pada tahun
2011, saya ikut pelatihan pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang
dilaksanakan oleh BKSDA Kalsel, dan hasilnya saya terapkan di lahan
masyarakat. Salah satunya dengan membuat sekat bakar, sehingga lahan
tanaman masyarakat sampai sekarang tidak pernah lagi terbakar
(Wawancara tanggal 23 Mei 2015)
Berkaitan dengan hal tersebut, penyuluh kehutanan pada umumnya telah
mampu memiliki kemampuan menerapkan sebagaimana yang disampaikan
(Krathwohl, 2002:216), menerapkan menunjuk pada proses kognitif memanfaatkan
atau mempergunakan suatu prosedur untuk melaksanakan percobaan atau
menyelesaikan permasalahan.
Penerapan tersebut didasarkan pada pengetahuan
yang diperolehnya. Menurut (Gunawan & Palupi, 2013:27), menerapkan berkaitan
dengan dimensi pengetahuan prosedural (procedural knowledge). Menerapkan
meliputi kegiatan menjalankan prosedur (executing) dan mengimplementasikan
(implementing).
Menjalankan
prosedur
merupakan
proses
kognitif
dalam
menyelesaikan masalah dan melaksanakan, di mana penyuluh sudah mengetahui
informasi tersebut dan mampu menetapkan dengan pasti prosedur apa saja yang
harus dilakukan.
Dari aspek analisis, penyuluh kehutanan memiliki skor tinggi (74,09).
Menurut
(Krathwohl,
2002:216),
menganalisis
merupakan
kemampuan
memecahkan suatu permasalahan dengan memisahkan tiap-tiap bagian dari
permasalahan dan mencari keterkaitan dari tiap- tiap bagian tersebut dan mencari
tahu bagaimana keterkaitan tersebut dapat menimbulkan permasalahan sehingga
dapat dicarikan solusinya. Pada tahap ini, penyuluh kehutanan sudah memiliki
kemampuan untuk melakukan analisis terhadap berbagai persoalan. Misalnya pada
tahun 2015 saat terjadi konflik lahan dimana pada sebagian lahan konsesi yang
IUPHHK PT. Prima Multi Banua telah diklaim masyarakat sebagai lahan miliknya
dan menguasai lahan tersebut. Pada saat itu, tim konsultan melibatkan para
penyuluh kehutanan untuk menemukan resolusi konflik lahan sehingga akhirnya
51
dicapai kesepakatan bahwa lahan hutan yang dikuasai masyarakat dilakukan
pengelolaan hutan dengan sistem bagi hasil (sharing profit). Aspek kemampuan
analisis memiliki posisi yang sangat penting sehingga wajar Gunawan & Palupi,
(2013) menyatakan kemampuan menganalisis sering kali cenderung lebih penting
daripada dimensi proses kognitif yang lain.
Aspek mengevaluasi yang dimiliki penyuluh kehutanan masih tergolong
sedang (62,96). Para penyuluh belum terbiasa melakukan evaluasi yang menurut
Kuswana
(2015:65)
berkaitan
dengan
kemampuan
memberikan
penilaian
berdasarkan kriteria dan standar yang sudah ada. Bagi para penyuluh urusan evaluasi
bukanlah wewenangnya melainkan tugas atasan langsung. Hanya 28,57% penyuluh
yang memilki kemampuan evaluasi, padahal menurut Kuswana (2015:66), posisi
evaluasi dalam taksnomi sangat dihormati sebagai langkah tertinggi, karena
merupakan proses dan hasil berpikir yang komplek yang menyangkut kombinasi
tingkah laku mulai dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis dan sintesis.
Informan Bapak Riza Ali sebagai Penyuluh kehutanan yang telah memiliki
kemampuan mengevaluasi menyatakan bahwa:
Setiap berakhir kegiatan programa penyuluhan, saya selalu mereview sudah
sampai sejauh mana realisasi kegiatan, dan temuan permasalahan di
lapangan. Hal ini menjadi catatan khusus bagi saya untuk dijadikan
penyempurnaan
pada
kegiatan
selanjutnya.
Saya
pun
bisa
menginformasikan hal ini kepada penyuluh lainnya (wawancara tanggal 23
Mei 2015)
Kemampuan penyuluh kehutanan tersebut menurut Bloom (1956:171)
merupakan bagian dari kemampuan melakukan evaluasi. Kemampuan evaluasi
berkaitan dengan kemampuan menemukenali dan menimbang nilai-nilai yang
dilibatkan dalam tindakan alternatif, kemampuan mengidentifikasi dan menilai
pertimbangan nilai-nilai yang dilibatkan dalam pilihan dari suatu tindakan.
Evaluasi
merupakan
suatu
kegiatan
yang
penting,
namun
sering
dikesampingkan dan konotasinya negatif, karena dianggap mencari kesalahan,
kegagalan dan kelemahan dari suatu kegiatan penyuluhan kehutanan. Sebenarnya
evaluasi harus dilihat dari segi manfaatnya sebagai upaya memperbaiki dan
penyempurnaan program/kegiatan penyuluhan kehutanan sehingga lebih efektif,
efisien dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi penyuluhan
kehutanan dapat digunakan untuk memperbaiki perencanaan kegiatan/program
52
penyuluhan, dan kinerja penyuluhan, mempertanggungjawabkan kegiatan yang
dilaksanakan, membandingkan antara kegiatan yang dicapai dengan tujuan yang
telah ditetapkan.
Dari aspek menciptakan, penyuluh kehutanan memiliki kemampuan yang
sedang (64,17). Menciptakan sangat berkaitan erat dengan pengalaman belajar para
penyuluh tidak saja dari belajar formal di kelas namun juga praktik di lapangan.
Menciptakan di sini mengarahkan pada kemampuan menempatkan bagian-bagian
secara bersama-sama ke dalam suatu ide, semuanya saling berhubungan untuk
membuat hasil yang baik (Krathwohl, 2002). Menciptakan di sini menurut Kuswana
(2015:118), dalam katagore proses kognitif mencakup kemampuan menghasilkan,
merencakan, dan membangun. Hasil konkret dari kemampuan penyuluh dalam
menciptakan adalah keberhasilan bersama masyarakat membangun unit pengolahan
minyak atsiri di Desa Sungai Telan, demplot agroforestri di Desa Sungai Telan dan
Tabunganen Muara, dan membuat perencanaan penyuluhan kehutanan. Ini
menandakan sebagian penyuluh kehutanan telah mampu menciptakan (create)
berbasis pengetahuan yang telah diperoleh.
Berdasarkan kondisi di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek
kognitif penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 6.
53
Gambar 6. Kemampuan Kognitif Penyuluh Kehutanan (diadaptasi dari model
Taksonomi Bloom (1956) versi (Krathwohl, 2002)
Berdasarkan kondisi tersebut secara umum dari sisi pengetahuan, para
penyuluh kehutanan di Kabupaten Barito Kuala sudah mempunyai dasar-dasar
pengetahuan praktis pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan hutan, namun masih
perlu ditingkatkan dan dikembangkan. Hal ini senada dengan yang dikemukakan
Berlo (1960) bahwa seorang penyuluh harus memiliki 3 (tiga) kemampuan
pengetahuan. Pertama, mengenai isi, fungsi, manfaat, dan nilai-nilai yang
terkandung dalam inovasi yang disampaikan, baik secara konseptual (keilmiahan)
maupun secara praktis. Seorang penyuluh kehutanan harus memilki pengetahuan
praktis seperti teknologi penyuluhan dan komunikasi, teknik fasilitasi dan teknik
pendampingan, menguasai pengetahuan dan teknik pemberdayaan masyarakat,
memiliki pengetahuan teknis kehutanan dan memahami pengetahuan sosial ekonomi
di bidang agrisylvobisnis (Anonim, 2010:2). Hal ini sesuai dengan pendapat Hidayat
(2003:3), penyuluh kehutanan harus memiliki kemampuan minimal yaitu menguasai
dan memahami teknologi penyuluhan, kelembagaan masyarakat, substansi kehutanan
54
dan sistem agrosilvobisnis. Yang dimaksud dengan teknologi penyuluhan adalah
berbagai aspek teknis yang sangat erat hubungannya dengan pengelolaan
penyampaian pesan dan mengolah respon dari sasaran penyuluhan. Hal ini sangat
terkait dengan metode dan materi serta sistemnya. Penyuluh kehutanan bukan hanya
harus menguasai teknik kehutanan tetapi juga memiliki wawasan dan penguasaan
yang lebih luas termasuk kebijakan, jaringan kerja kehutanan, isu internasional
tentang kehutanan dan sebagainya.
Kedua, penyuluh harus memiliki pengetahuan mengenai latar belakang dan
keadaan masyarakat penerima manfaatnya, baik yang menyangkut perilaku, nilainilai sosial budaya, keadaan alam, maupun kebutuhan-kebutuhan nyata yang
diperlukan masyarakat penerima manfaatnya. Dalam usaha mengembangkan
swadaya dan kemandirian masyarakat, seorang penyuluh harus memahami
kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki masyarakat. Untuk memahami hal
tersebut, seorang penyuluh harus memiliki kemampuan untuk menganalisa dan
mengkaji secara mendalam apa yang menjadi minat dan kebutuhan masyarakat,
kebutuhan apa saja yang dapat dipenuhi oleh ketersediaan sumberdaya alam serta
prioritas dari minat dan kebutuhan tersebut. Hal ini penting agar penyuluh mampu
mengenali potensi lokal sebagaimana yang dikemukakan Jamasy (2004), seorang
penyuluh harus mengutamakan penggalian dan pengembangan potensi lokal.
Pengembangan potensi lokal untuk merintis kemandirian dan memperkecil terjadinya
ketergantungan kepada pihak luar. Pengembangan potensi lokal yang konsisten, juga
mengandung maksud agar masyarakat sadar bahwa kontribusi itu jauh lebih
realistis untuk tujuan rasa memiliki. Berkaitan dengan hal tersebut, informan Bapak
Riza Ali (penyuluh):
Kami telah memiliki pengetahuan memetakan potensi lokal yang ada di
setiap desa, dan merekomendasikan hasil hutan unggulan. Misalnya, di
Desa Kuala Lupak banyak terdapat kebun buah Durian dengan kualitas
yang bagus maka bisa dilakukan pengembangan budidaya durian dan
peningkatan nilai tambah misalnya dibuat lempok. Sedangkan daerah
Telan, karena banyak terdapat pohon Rambai yang tumbuh alami
Masyarakatnya pun banyak yang menjadi peramu Akar rambai.
(Wawancara tanggal 21 April 2015)
Kemampuan kognitif ketiga yang menjadi persyaratan pelaku pemberdayaan
menurut
Berlo
(1960)
adalah
mengetahui
segala
sesuatu
yang
yang seringkali menyebabkan warga masyarakat suka atau tidak menghendaki
55
terjadinya perubahan maupun segala sesuatu yang menyebabkan masyarakat
seringkali cepat atau lamban mengadopsi inovasi. Sementara itu, Hawkins, et al
(1982) menekankan agar setiap penyuluh/fasilitator harus kompeten, artinya
memahami dan menguasai segala sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang
disampaikannya (baik yang bersifat teknis, ekonomi, maupun kaitannya dengan nilainilai sosial budaya.
b. Kemampuan Afektif (Sikap) Penyuluh Kehutanan
Penilaian responden terhadap ranah afektif penyuluh kehutanan sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan
No
Indikator *
Skor
Kriteria Penilaian
1 Menerima (receiving/attending)
73.04
tinggi
2 Kemampuan Menanggapi
71.04
tinggi
3 Kemampuan Menilai
71,83
tinggi
4 Kemampuan Mengelola
67,74
sedang
5 Kemampuan Menghayati
56.61
sedang
Rata-rata
68,05
sedang
Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom (1956: 77).
Pada tingkatan receiving (attending), penyuluh kehutanan merasa bahwa pada
saat mengikuti pelatihan, masukan dari atasan ataupun masyarakat petani, mereka
mau menerima keberadaan fenomena atau stimulus tersebut. Hal ini menurut
penyuluh kehutanan didasarkan pada kesadaran bahwa secara teoritis mungkin
mereka tahu namun pengalaman di lapangan petani tentu lebih banyak
mempraktekkannya. Menurut Krathwohl (1964: 180), kondisi dimana terdapat
kesadaran (awareness) merupakan salah satu dari sikap menerima pada ranah afektif.
Kesadaran agak berbeda dengan perilaku kognitif, terutama pada saat merespon
sebuah stimulus. Di dalam perilaku kognitif, pembelajar dapat mengungkapkan
respon atas sebuah stimulus, sedangkan di sub level ini pembelajar hanya menerima
stimulus tersebut tanpa ada kewajiban untuk menyatakan sebuah respon. Sebagai
contoh diungkapkan saat mengikuti pelatihan, mereka menerima begitu banyak
materi tentang pemberdayaan ataupun teknis kehutanan. Mereka sadar bahwa
pengetahuan yang didapat akan berguna pada saat berada di tempat tugas. Pada tahap
56
selanjutnya, penyuluh kehutanan telah dapat telah mampu memilah antara satu
pendekatan dengan lainnya saat memberikan penyuluhan. Misalnya, ketika
memberikan penyuluhan yang dihadiri oleh mayoritas Suku Barito Kuala akan
berbeda pendekatannya dengan Suku Jawa. Menurut penyuluh, pada umumnya
warga suku Banjar saat dilakukan penyuluhan jarang ada yang mengemukakan
pendapat atau pertanyaan, walaupun mereka tidak mengerti atau tidak setuju dengan
apa yang disampaikan. Bagi penyuluh yang tidak memahami karakter orang Banjar
mungkin akan menganggap “diam itu berarti setuju”. Pendekatan yang sebaiknya
dilakukan justru akan lebih efektif dalam diskusi-diskusi informal seperti di warung.
Kebiasaan “urang Banjar” terkenal dengan “budaya mewarung” bisa dimanfaatkan
penyuluh untuk mentransformasikan materi penyuluhan.
Pada tingkatan menanggapi (responding), penyuluh kehutanan menyatakan
bahwa dalam setiap pelatihan mereka sering memberikan tanggapan terhadap suatu
fenomena yang disampaikan fasilitator, jadi lebih dari hanya sekadar memperhatikan.
Sebagai penyuluh kehutanan, mereka juga merasa cukup mempunyai kemampuan
berempati, kemampuan merespons kondisi yang ada di lingkungannya, fleksibelitas
dalam bertindak, luwes dalam berkomunikasi, dan terbuka untuk mendengarkan,
menerima saran, pendapat dan kritikan dari luar serta memiliki tanggungjawab.
Menurut Krathwohl (1964:180), tingkatan selanjutnya adalah valuing, dimana
pembelajar akan menunjukkan komitmennya berdasarkan nilai yang dianutnya yang
selanjutnya akan menuntun perilaku pembelajar. Kondisi ini sangat berbeda dengan
konsep motivasi eksternal yang hanya mengarah kepada kepatuhan. Terdapat 3 (tiga)
sub tingkatan valueing, yaitu penerimaan terhadap nilai-nilai yang dianut (acceptance
of value), preferensi nilai, dan komitmen. Pada sub-tingkatan acceptance of value,
pembelajar telah memiliki keyakinan bahwa dirinya telah memiliki nilai-nilai tertentu
dalam dirinya dan memiliki kemauan untuk dapat diidentifikasi oleh orang lain
berdasarkan keyakinan tersebut. Misalnya, seorang seorang penyuluh memiliki
keyakinan bahwa dirinya dapat bertoleransi dengan teman sejawat dan kelompok
masyarakat yang berasal dari berbagai daerah asal. Pada sub-tingkatan preference of
value, penyuluh tidak hanya yakin pada nilai yang telah dia miliki, namun juga
berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut. Sedangkan pada sub-tingkatan
commitment, seseorang tidak hanya percaya terhadap suatu nilai tetapi juga berusaha
57
berkomitmen kepada nilai tersebut sehingga pada akhirnya akan menjadi sebuah
motivasi dalam melakukan suatu tindakan.
Pada tingkatan organisasi (organization), penyuluh sudah sampai pada
tahapan mempercayai nilai-nilai tertentu, selanjutnya ia akan dihadapkan pada lebih
dari satu nilai atau beberapa nilai yang harus dipercayainya. Pada tingkatan ini,
penyuluh mulai mengorganisasi nilai-nilai tersebut dan mencari hubungan antara satu
nilai dengan nilai yang lain, dan selanjutnya berusaha menemukan nilai yang
menurutnya paling dominan. Salah satu indikator yang dicapai yaitu kemampuan
memilih materi yang akan disampaikan dan metode yang digunakan. Di wilayah
binaan masing-masing sudah terdapat hasil hutan unggulan, maka materi penyuluhan
akan disesuaikan dengan hal tersebut.
Pada tingkatan yang terakhir yaitu characterization by value set atau value
complex, menurut Krathwohl (1964: 180), seseorang dianggap telah memiliki nilai
yang kuat di dalam dirinya, maka ia akan berusaha melakukan generalisasi terhadap
perilakunya dan mengintegrasikan keyakinan, ide dan tingkah laku menjadi sebuah
filosofi hidup. Berdasarkan Gambar 7, hanya 21,43% penyuluh yang menghayati
peran sebagai penyuluh kehutanan sedangkan sisanya merasa tidak menghayati
perannya. Dalam kondisi ini lebih dari 50% yang tidak memiliki sikap menghayati,
sehingga memang sulit melakukan generalisasi terhadap perilakunya dan
mengintegrasikan keyakinan, ide dan tingkah laku menjadi sebuah filosofi hidup
sebagaimana yang dikemukakan Krathwohl (1964).
Berkaitan dengan hal ini
Anonim (2000:23) dan Mardikanto (2015,144) menyatakan penyuluh kehutanan
harus memiliki sikap menghayati dan bangga terhadap profesinya. Kebanggaan
terhadap profesi akan melahirkan sikap menyukai dan mencintai masyarakat sasaran
penyuluhan, dan merasakan bahwa kehadirannya sebagai penyuluh diperlukan
masyarakat serta memberikan motivasi kepada masyarakat. Dalam melakukan
pekerjaannya pun dilakukan secara profesional, tidak sekedar melaksanakan tugas
ataupun mencari kredit point untuk mengejar sertifikasi penyuluh misalnya.
58
Gambar 7. Sikap menghayati peran sebagai penyuluh kehutanan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek
kognitif penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kemampuan Afektif Penyuluh Kehutanan
59
Berkaitan dengan kemampuan afektif, Tjokrowinoto (2001) mengemukakan
bahwa seorang pelaku pemberdayaan setidaknya harus memiliki minimal lima
bentuk kemampuan, yakni: kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada,
kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang perlu dengan
mengacu pada misi yang ingin dicapai, kemampuan mengidentifikasikan subjeksubjek yang mempunyai potensi memberikan berbagai input dan sumber bagi proses
pembangunan, kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan
program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan kemampuan
memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri. Keterpaduan dari kelima
kemampuan pelaku pemberdayaan tersebut patut dijadikan rujukan oleh seluruh
unsur stakeholders, terutama yang mempunyai tanggungjawab langsung terhadap
keberhasilan pembangunan. Namun dukungan kelima kemampuan ini pun tidak akan
berarti kalau tidak disertai dengan sikap perilaku adil dan komitmen yang kuat.
Lebih rinci Jamasy (2004) menguraikan tujuh syarat kemampuan umum yang
harus dimiliki pelaku pemberdayaan dan kesemuanya harus terefleksi dalam kegiatan
aksi
program,
yakni:
kemampuan
mempertahankan
keadilan,
kemampuan
mempertahankan kejujuran (pada diri sendiri dan orang lain), kemampuan
melakukan problem solving, kemampuan mempertahankan misi (sense of mission
atau mission driven profesionalism), kemampuan memfasilitasi dan kemampuan
menjual inovasi, social marketing (termasuk kemampuan melakukan asistensi dan
promosi).
Menurut Tilden (2007:54), sekurang-kurangnya ada 4 (empat) komponen
sikap yangg penting yang harus dimiliki penyuluh yaitu: Problem solving
(pemecahan masalah); Sense of Community (perduli terhadapa masyarakat); Sense of
mission (komitmen terhadap misi proyek); dan Honesty with self and with others
(jujur kepada diri sendiri dan orang lain).
Sejalan dengan hal tersebut, Jamasy (2004) menyatakan prinsip-prinsip yang
harus dijadikan kekuatan internal pelaku pemberdaya. Para pelaku utama
pemberdaya dan seluruh unsur stakeholders, harus berlaku adil (melaksanakan
prinsip kerja berdasarkan keadilan dan komitmen untuk meningkatkan kualitas kerja
yang adil). Seluruh unsur stakeholders harus jujur (jujur kepada diri sendiri dan jujur
60
kepada orang lain). Kejujuran adalah sifat dasar manusia, namun seringkali berubah
(menjadi tidak jujur) karena terkalahkan oleh kepentingan emosi pribadinya.
Kemampuan melakukan problem solving, menumbuhkan dan memasarkan inovasi,
asistensi, fasilitasi, promosi, dan social marketing. Memecahkan masalah (problem
solving) adalah proses bagaimana semua pihak menerima jalan keluar yang
ditawarkan. Pemecahan masalah, bisa jadi dari sipemilik masalah itu sendiri. Dalam
hal ini terdapat seni bagaimana proses dialog yang baik berlangsung ketika proses
mencarai jawaban dari sebuah masalah. Tenaga pemberdaya harus trampil dan kreatif
mencari inovasi (ide dan pemikiran baru atau terobosan baru); juga trampil
melakukan asistensi dan fasilitasi (bimbingan dan dampingan); demikian juga dalam
hal promosi dan sosial marketing. Kerjasama dan koordinasi seluruh unsur
stakeholders berdasarkan kemitraan. Kendatipun ada struktur pengelolaan program
dengan berbagai atribut jabatannya, namun dalam proses perjalanannya harus
berlangsung secara kemitraan. Mengejar misi dan mencapai tujuan program adalah
tugas bersama. Apabila ada persoalan, semestinya menjadi tanggungjawab bersama
untuk mengatasinya, dan tidak dibenarkan apabila pihak pimpinan atau pihak tertentu
mengatakan “itu adalah tugasmu dan kamulah yang harus bertanggungjawab”.
c.
Kemampuan Psikomotorik (Keterampilan) Penyuluh Kehutanan
Hasil penilaian terhadap kemampuan psikomotorik penyuluh kehutanan
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Kemampuan Psikomotorik Penyuluh Kehutanan
No
1
2
3
4
5
6.
Indikator
Kesiapan
Reaksi yang diarahkan
Reaksi natural
Reaksi yang kompleks
Adaptasi
Kreativitas
Rata-rata
Skor
79.30
78.78
76.52
68.17
75.48
64.26
73.75
Kriteria Penilaian
tinggi
tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
sedang
Menurut Bloom (1956), aspek kesiapan menyangkut kemampuan untuk
mempersiapkan diri, baik fisik, mental, dan emosi dalam diri menghadapi sesuatu.
Hal
ini
diimplementasikan
dalam
bentuk
keterampilan
setiap
penyuluh
61
mempersiapkan
rencana
kerja
penyuluhan
sebagai
penjabaran
programa
penyuluhan. Rencana kegiatan penyuluhan tidak lagi ditetapkan oleh penyuluh,
tetapi merupakan kesepakatan antara masyarakat yang didampingi dengan penyuluh
sebagai pendamping. Rencana kegiatan penyuluhan ini sebagai acuan bersama dan
kendali bagi pencapaian keinginan bersama antara penyuluh dan masyarakat.
Menurut Sofia (2010:3), programa penyuluhan kehutanan adalah rencana kerja
kelompok jabatan fungsional penyuluh kehutanan, memuat keadaan karakteristik
wilayah kerja, permasalahan, metode dan teknik penyuluhan, rencana detail kegiatan
dan lokasi sasaran, rencana anggaran serta sarana/alat bantu penyuluhan kehutanan.
Persiapan lainnya dilakukan dalam bentuk persiapan media, alat bantu, dan
penguasaan materi. Hal ini ditegaskan informan Bapak Riza Ali berikut:
Setiap tahun kami wajib membuat rencana kerja penyuluhan kehutanan
untuk dilaksanakan pada tahun berjalan. Sebelum melakukan penyuluhan,
biasanya saya mempersiapkan dulu materi yang akan disampaikan, metode,
dan mempelajari siapa saja kelompok sasaran suluh. Dengan biaya sendiri,
saya membuat leaflet sederhana yang ada gambarnya supaya mudah
dipahami masyarakat. Bagi sebagian besar masyarakat, penyuluh dianggap
orang yang serba tahu, sehingga kita memang harus membekali diri dengan
pengetahuan apapun bahkan di luar ilmu kehutanan. Seringkali penyuluhan
harus dilakukan secara mendadak, misalnya ketika saat berada di desa, ada
masyarakat yang memanggil saya untuk mencarikan jalan keluar terkait
dengan serangan hama penyakit tanaman Gaharu. Untungnya saya pernah
belajar banyak tentang Gaharu, sehingga saya bisa mencarikan solusinya.
Di lain waktu, ada juga yang menanyakan tentang penanggulangan hama
pisang, hama padi bahkan sampai persoalan rumah tangga (wawancara
tanggal 28 Mei 2015)
Persiapan yang dilakukan penyuluh di atas senada dengan yang dinyatakan
Mardikanto (2015:146-148), bahwa penyuluh harus mempersiapkan 4 hal yaitu
persiapan kepribadian, persiapan kajian lapang, persiapan untuk belajar, dan
persiapan perlengkapan. Lippit (1958) secara tegas menyatakan bahwa, keberhasilan
seorang penyuluh/fasilitator sangat ditentukan oleh kepribadian yang tercermin pada
penampilannya pada saat pertama kali ia berhadapan dengan masyarakat sasarannya
atau yang disebutnya sebagai "the first impression" yang harus dapat diperagakannya
sebelum ia berbuat sesuatu bagi masyarakatnya. Sebelum melaksanakan tugasnya,
setiap penyuluh harus terlebih dahulu melakukan kajian lapang. Kajian lapang yang
dimaksud di sini adalah, upaya pengenalan karakteristik wilayah kerja (baik yang
berkaitan dengan masalah-masalah teknis maupun
sosial ekonomi), dan
62
inventarisasi hasil-hasil penelitian atau kajian-kajian yang telah pernah dilakukan di
wilayah tersebut atau diwilayah lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan
wilayah kerja selaras dengan perkembangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang menghasilkan inovasi-inovasi yang akan disebarluaskan kepada
masyarakat sasarannya, maka setiap penyuluh
harus mempersiapkan diri untuk
selalu mau belajar secara terus menerus dan berkelanjutan. Persiapan seperti ini,
harus dimiliki dan dihayati oleh setiap penyuluh. Tanpa kesediaan untuk belajar
secara berkelanjutan, mustahil dia dapat mengajarkan, menganalisis, dan sekaligus
memberikan nasehat tentang penerapan inovasi yang disampaikannya. Untuk
meningkatkan efektivitas kegiatan pemberdayaan masyarakat, seringkali seorang
penyuluh harus mampu menyediakan dan menggunakan beragam perlengkapan yang
diperlukan, baik berupa alat bantu maupun peraga.
Aspek psikomotorik lainnya berkaitan dengan reaksi yang diarahkan (Guided
Response). Dalam hubungannya dengan kegiatan penyuluhan kehutanan, hal ini
berkaitan dengan keterampilan melakukan penyuluhan sesuai arahan, petunjuk, atau
manual. Pada tahap ini biasanya penyuluh menyampaikan informasi tentang program
kehutanan yang sedang diluncurkan, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa,
Kebun Bibit Rakyat, atau Hutan Tanaman Rakyat. Penyuluh tinggal mempelajari
kebijakan, dan panduan yang telah dibuat oleh Kementerian Kehutanan. Biasanya
sebelum itu, Kementerian Kehutanan melalui UPT yang ada di daerah melakukan
sosialisasi atau pelatihan terlebih dahulu. Berbekal panduan yang diterima, penyuluh
melakukan sosialisasi, fasilitasi dan pendampingan terhadap kelompok yang akan
mengajukan proposal kegiatan. Prosentase penyuluh dalam melakukan penyuluhan
berdasarkan arahan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 9.
63
Gambar 9. Keterampilan Penyuluh Kehutanan berdasarkan arahan
Berdasarkan Gambar 9, sebagian besar penyuluh telah melakukan
penyuluhan berdasarkan arahan yang diberikan. Menurut Bloom (1956:29),
kemampuan ini merupakan dasar untuk melakukan keterampilan yang lebih
kompleks berdasarkan arahan atau instruksi. Dalam bidang kehutanan, sudah banyak
sekali panduan teknis pembangunan hutan, seperti perencanaan hutan, silvikultur,
manajemen hutan, perlindungan hutan dan pelestarian alam, reboisasi dan rehabilitasi
hutan, pemanenan hasil hutan, dan pengusahaan hutan. Dalam Program hutan
kemasyarakatan misalnya telah diatur mulai dari SK Menhut sampai petunjuk
operasionalnya termasuk prosedur perijinannya, sehingga penyuluh tinggal
menyampaikannya dengan masyarakat sasaran.
Reaksi natural (mechanism) dalam penelitian ini diindikasikan dengan
keterampilan penyuluh mengolah pengetahuan yang diperoleh melalui berbagai
sumber menjadi materi, metode, pendekatan, dan strategi penyuluhan kehutanan.
Bahan-bahan tersebut menjadi rujukan yang sangat penting bagi penyuluh, apalagi
dengan perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat menuntut penyuluh
tidak gagap teknologi. Referensi tersebut kemudian bisa dibuat dalam bentuk leaflet,
poster, brosur, siaran pedesaan melalui radio/televisi dan demplot.
64
Penyuluh
kehutanan
mendapatkan
pengetahuan
tersebut
kemudian
ditransformasikan kepada masyarakat menggunakan bahasa-bahasa yang mudah
dipahami masyarakat. Dalam ilmu kehutanan banyak sekali istilah-istilah yang tidak
familiar dengan masyarakat, misalnya yang paling sederhana yaitu istilah “kawasan
hutan”. Bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang kehutanan sudah tahu betul
bahwa “kawasan hutan” adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan
oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, sedangkan
bagi masyarakat “kawasan hutan” dimaknai secara sederhana sebagai wilayah yang
sebagian besar disusun oleh tanaman berkayu (pohon). Menurut penyuluh,
memberikan pemahaman seperti ini saja membutuhkan keterampilan tersendiri agar
bisa diterima masyarakat. Hal lainnya ditegaskan Bapak Riza Ali berikut:
Sebagai penyuluh kehutanan, kami dibekali dengan berbagai ilmu
kehutanan. Namun hal tersebut tidak bisa langsung disampaikan dengan
masyarakat karena bisa terjadi perbedaan persepsi yang berpotensi
menimbulkan konflik. Misalnya ketika ada kebijakan hutan kemasyarakatan
(HKm) yang memberikan ijin bagi masyarakat menggarap lahan hutan.
Tidak sedikit masyarakat menganggap bahwa lahan tersebut bisa menjadi
lahan hak miliknya, sedangkan kalau mengacu aturan yang berlaku lahan
hutan tersebut hanya dibebani hak kelola yang berlaku selama 35 tahun dan
bisa diperpanjang. Secara bertahap kami memberikan pemahaman
mengenai hal tersebut agar bisa diterima masyarakat. Kami ilustrasikan
kalau Bapak/Ibu mendapat ijin HKm selama 35 tahun dan diperpanjang
sebetulnya secara tidak langsung lahan tersebut telah menjadi milik
mereka, asalkan tetap dipelihara. Dengan pemahaman tersebut, masyarakat
memiliki persepsi yang sama tentang “Hak Kelola” dalam HKm
(wawancara tanggal 13 Mei 2015).
Keterampilan penyuluh yang demikian tersebut menurut Bloom (1956) dapat
dikatagorekan sebagai keterampilan reaksi yang kompleks. Dalam kondisi tersebut
penyuluh bisa disebutkan telah mampu melakukan sesuatu dimana hal ini terlihat dari
kecepatan, ketepatan, efsien dan efektif. Tindakan dilakukan secara spontan, lancar,
cepat, tanpa ragu (Utari, 2003:6). Gambaran Keterampilan penyuluh dapat dilihat
pada Gambar 10.
65
Gambar 10. Persentase Keterampilan Penyuluh Kehutanan pada tingkatan Complex
Overt Response
Tahap berikutnya dalam ranah psikomotorik adalah adaptasi sebagai
kemampuan mengembangkan keahlian, dan memodifikasi pola sesuai dengan yang
dibutuhkan (Utari, 2003:6). Pada tahap ini keterampilan penyuluh dapat dilihat
dari kemampuannya memberikan penyuluhan menyesuaikan dengan kondisi yang
ada di masyarakat dan tidak bisa mutlak sesuai dengan aturan Kementerian
Kehutanan. Misalnya, dalam aturan reboisasi komposisi jenis tanaman adalah
70% tanaman hutan:30% tanaman MPTS. Kalau kebijakan ini diterapkan,
masyarakat tidak akan ada mau menanam. Untuk itu penyuluh bisa memberikan
rekomendasi komposisi tersebut diturunkan menjadi 60:40, atau 50:50 setelah
konsultasi dengan pihak kehutanan.
Kemudian adaptasi dari sisi pendekatan, dilihat dari karakteristik sosial
masyarakat desa lokasi penelitian yang sebagian besar berprofesi sebagai petani,
peladang dan berburu binatang di hutan dimana waktu kerjanya adalah dari pagi
sampai sore hari, maka bisa dikatakan bahwa masyarakat memiliki waktu luang yang
lebih banyak untuk aktivitas sosial kemasyarakatan adalah pada malam hari,
sehingga pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan juga rata-rata diselenggarakan
pada malam hari. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan pada malam hari
66
biasanya malam Jum’at dan dilaksanakan sehabis Isya (penyebutan istilah waktu
yang lebih sering dipakai dari pada penyebutan waktu dalam format jam) atau kirakira pukul 19.30 WIB, meskipun dalam pelaksanaannya baru dimulai acara sekitar
pukul 20.00 WIB atau 20.30 WIB. Pelaksanaan pertemuan pada malam hari memang
membawa kondisi pertemuan masyarakat lebih santai dan akrab, namun dilihat dari
durasi waktu, maka waktu yang tersedia pada pertemuan di malam hari cukup
terbatas, apalagi dilaksanakan berbarengan dengan kegiatan keagamaan dan kegiatan
lain, padahal materi-materi yang harus disampaikan kepada masyarakat cukup
banyak sehingga banyak agenda-agenda yang terlewatkan.
Keterampilan adaptasi penyuluh ini memang masih sedang (74,82), dimana
35,71% kadang menerapkan, 28,57% jarang menerapkan, 21,43% sering
menerapkan, dan pasti menerapkan 7,14%. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Prosentase Keterampilan Penyuluh Kehutanan pada Tingkat Adaptasi
Berdasarkan Gambar 11, keterampilan penyuluh yang terbesar pada tingkat
kadang-kadang memodifikasi pengetahuan (adaptasi) sesuai dengan keadaan spesifik
lokal sebanyak 35,71%. Penyuluh lebih banyak melakukan penyuluhan dalam
pengelolaan hutan berdasarkan panduan atau arahan. Penyuluh juga cenderung
menggunakan bahan atau materi penyuluhan yang "siap pakai" yang berasal dari
rekan sejawat, hasil demonstrasi atau pengujian yang telah dilaksanakan di wilayah
lain.
67
Bagi penyuluh kehutanan yang memiliki keterampilan memodifikasi keahlian
yang sesuai dengan kondisi lokal mendasarkan pemikiran bahwa panduan yang “siap
pakai” yang berasal dari pusat atau daerah lain belum tentu bisa diterapkan di daerah
binaannya, bahkan bisa ditolak oleh masyarakat. Hal ini ditegaskan oleh Bapak
Syamsu Rizal:
Kalau mau masyarakat mengadopsi pengetahuan yang kita suluh, maka
jangan terlalu menggunakan materi yang tersedia, karena belum tentu
sesuai dengan kondisi lokal, bahkan kita harus bisa menyesuaikan dengan
pengetahuan lokal. Kalau tidak, ada kemungkinan materi tersebut akan
ditolak oleh petani, walaupun materi tersebut dianggap baik dan ilmiah
(wawancara tanggal 20 April 2015).
Keterampilan psikomotorik yang paling tinggi adalah kreativitas yaitu
kemampuan untuk menciptakan pola baru yang sesuai dengan kondisi/situasi
tertentu dan juga kemampuan mengatasi masalah dengan mengeksplorasi
kreativitas diri (Utari, 2003:7). Para penyuluh harus dibebaskan dalam bekerja
sehingga bisa kreatif. Kondisi lapangan yang dinamis harus mendapatkan sentuhan
kreativitas agar bisa meningkatkan produktivitasnya (Bahri,2014). Keterampilan
penyuluh kehutanan pada tingkat ini dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Keterampilan Penyuluh Kehutanan Pada Tingkat Kreativitas
68
Berdasarkan Gambar 12, sebagian besar penyuluh kehutanan memiliki
keterampilan yang rendah dalam kreativitas, baik materi maupun metode penyuluhan.
Ini semakin menegaskan bahwa mereka lebih banyak mendasarkan kepada panduan
atau arahan yang sudah ada. Padahal menurut Heriwan (2013), para penyuluh harus
memiliki pikiran yang faktual, kreatif, cerdas, mau bekerja keras dan tuntas dalam
menghadapi beragam masalah penyuluhan selama ini. Sementara itu, penyuluh
kehutanan yang memiliki kreativitas akan selalu mencari, menggali dan menciptakan
sebuah karya yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain (Hidayat, 2007:81). Hal
ini ditegaskan Bapak Bambang Haryanto, ketika terjadi kelangkaan serta tingginya
harga pupuk dengan mengatakan:
Kelangkaan serta tingginya harga pupuk telah menyebabkan rendahnya
aplikasi pemupukan. Pada satu sisi pendapatan usaha berkurang karena
menurunnya produksi, sedangkan di sisi lain biaya produksi dan biaya
operasi mengalami peningkatan. Upaya-upaya teknis mensiasati
kelangkaan pupuk tersebut kami (penyuluh) dengan menganjurkan kepada
petani melakukan efisiensi pemupukan melalui pemanfaatan pupuk
majemuk, pemanfaatan pupuk organik, pupuk hayati dan organo-hayati
serta rasionalisasi pemupukan. Kami menganjurkan petani memanfaatkan
biomasa dan membatasi keluarnya unsur hara semaksimal mungkin (limbah
kulit buah, penaung, penutup tanah, integrasi ternak-tanaman). Kami juga
merancang pemanfaatan limbah kotoran sapi menjadi pupuk kandang
dengan menggunakan teknologi EM-4. Saat ini pupuk tersebut selain
dimanfaatkan sendiri, juga telah dijual kepada petani lain dan pengusaha
tambang (wawancara tanggal 14 Mei 2015).
Menurut (Hawadi, dkk, 2001:13), nilai penting kreativitas dalam kehidupan
secara nyata adalah adanya kemampuan untuk melahirkan sesuatu yang baru yang
berupa pikiran maupun karya nyata dalam mengerjakan persoalan hidup bagi orang
kreatif. Dengan kreatifnya seseorang dapat melakukan pendekatan secara bervariasi
dan memiliki bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu
persoalan. Dari potensi kreatifnya, seseorang dapat menunjukkan hasil perbuatan,
kinerja/karya, baik dalam bentuk barang maupun gagasan secara bermakna dan
berkualitas. Hal ini ditambahkan Karyono (2008:9), bahwa dengan adanya kreativitas
penting untuk mengembangkan semua bakat dan kemampuan individu dalam
pengembangan prestasi hidupnya. Peningkatan sumberdaya manusia dalam era
globalisasi dan era reformasi menunjukkan betapa pentingnya segi kreativitas
diprioritaskan untuk dikelola dan dikembangkan secara optimal (Ikbal,2011:93).
69
Dengan demikian kreativitas tinggi dalam proses pemberdayaan, terutama bagi
penyuluh. Penyuluh diperlukan kemampuan untuk menciptakan suasana yang
menyenangkan dan kondusif agar masyarakat termotivitasi untuk lebih ingin
mengetahui materi, senang menanyakan, dan berani mengajukan pendapat, serta
melakukan percobaan yang menuntut pengalaman baru.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek
psikomotorik penyuluh kehutanan sebagaimana dapat diihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Kemampuan Psikomotorik Penyuluh Kehutanan (diadaptasi dari
model Taksonomi Bloom (1956)
d. Perilaku Penyuluh Kehutanan dan Faktor yang Mempengaruhinya
Hasil analisis terhadap kemampuan pelaku pemberdayaan masyarakat di
sekitar kawasan hutan berdasarkan penilaian komponen yang telah diuraikan
sebelumnya sebagaimana disajikan pada Tabel 19.
70
Tabel 19. Hasil Penilaian terhadap Kemampuan Penyuluh Kehutanan
No Indikator
Skor
Kriteria Penilaian
1 Tingkat kemampuan kognitif
71.55 tinggi
2 Tingkat kemampuan afektif
68,05 sedang
3 Tingkat kemampuan psikomotorik
73,75 tinggi
Rata-rata
71.21 tinggi
Selang skor 20-100. Kategori penilaian: 20-36 = sangat rendah,>36-52 = rendah;
>52-68= sedang, >68-84 = tinggi; >84-100=Sangat Tinggi
Tabel 19 menunjukkan bahwa perilaku penyuluh kehutanan sebagai pelaku
pemberdayaan tergolong tinggi (skor 71,21). Menurut Lewin (dalam Andersen,
1980), perilaku seseorang merupakan fungsi dari watak (kognitif, afektif, dan
psikomotor) dan karakteristik lingkungan saat perilaku atau perbuatan ditampilkan.
Jadi tindakan atau perbuatan seseorang ditentukan oleh watak dirinya dan kondisi
lingkungan.
Di lihat dari aspek kognitif, penyuluh kehutanan yang berperilaku mampu
memberdayakan masyarakat mestinya memiliki pengetahuan kehutanan yang luas
seperti silvikultur, manajemen hutan, perhutanan sosial dan teknologi hasil hutan.
Mereka juga harus mampu memperbaharui pengetahuan kehutanan yang semakin
berkembang dan mudah untuk diakses baik melalui buku, koran, buletin, jurnal
maupun secara daring. Penyuluh kehutanan juga harus mempunyai wawasan jauh ke
depan apalagi masalah pembangunan kehutanan tidak cukup satu atau dua tiga tahun
namun minimal tujuh tahun baru memasuki 1 daur, sehingga ketika ada kesalahan
memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk membudidayakan tanaman
tertentu maka itu akan berdampak secara luas pada masyarakat. Penyuluh yang
memberdayakan masyarakat juga mampu mengenal kebutuhan dan potensi yang
dimiliki masyarakat, serta memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang
perencanaan partisipatif dan ilmu komunikasi. Kemampuan ilmu komunikasi penting
dimiliki seorang penyuluh agar pesan-pesan pembangunan kehutanan dapat diterima
oleh masyarakat sasaran secara baik dan benar.
Kemampuan cepat tanggap, fleksibel, komunikatif, komitmen yang tinggi
terhadap kepentingan masyarakat dan bertanggung jawab merupakan perilaku afektif
yang merupakan ciri penyuluh kehutanan yang diharapkan bisa memberdayakan
masyarakat perdesaan hutan. Sementara itu bermodalkan kemampuan pengetahuan
71
dan sikap yang telah dimiliki maka seorang penyuluh kehutanan dapat
mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat secara baik dan
tepat, trampil memotivasi dan memfasilitasi masyarakat, trampil memanfaatkan
teknologi modern dalam mencari informasi peluang baru secara baik dan membantu
memfasilitasi masyarakat dalam pemasaran.
Menurut Mardikanto (2000:3), penyuluhan kehutanan adalah proses
pengembangan pengetahuan, sikap dan perilaku kelompok masyarakat sasaran agar
mereka tahu, mau dan mampu memahami, melaksanakan dan mengelola usaha-usaha
kehutanan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan sekaligus mempunyai
kepedulian dan berpartisipasi aktif dalam pelestarian hutan dan lingkungan.
Untuk melaksanakan hal tersebut, kemampuan yang dituntut bagi penyuluh
kehutanan sebagai pelaku pemberdayaan masyarakat harus terlebih dahulu memiliki
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang memadai (Sidu, 2006:37).
Menurut Yumi, et al.(2011:202), aspek kompetensi penyuluh dan pendamping yang
berpotensi mempengaruhi intensitas belajar petani adalah kemampuan penyuluh
dalam
menganalisa
permasalahan,
meningkatkan
kapasitas
petani
dan
mengembangkan wawasan teknis petani.
Berdasarkan paparan sebelumnya, dapat disarikan kemampuan perilaku
penyuluh kehutanan sebagaimana Gambar 14.
Gambar 14. Kemampuan Penyuluh Kehutanan ditinjau dari Aspek Perilaku
72
Keterangan:
1
=
2
=
3
4
5
=
=
=
6
7
=
=
8
9
10
11
=
=
=
=
12 =
13 =
14 =
15 =
Memahami
pengetahuan
pemberdayaan,
penyuluhan,
teknis
kehutanan,agrosilvobisnis (Skor 77,57)
Mengaplikasikan hasil pelatihan seperti pengendalian kebakaran,
pengaturan jarak tanam, pemilihan jenis tanaman (skor 78,96)
Menganalisis program pemberdayaan yang telah dilaksanakan (74,09)
Mereview kegiatan yang telah dilaksanakan (skor 62,96)
Pengetahuan membangun demplot percontohan, hasil hutan unggulan
(skor 64,17)
Menerima pengetahuan pemberdayaan, PS, teknis kehutanan (skor 75,82)
Menanggapi pengetahuan yang diterima dan pendapat masyarakat (skor
74,63)
Menilai pengetahuan dan curahan pendapat masyarakat (skor 75,82)
Mengorganisasi nilai-nilai kegiatan pemberdayaan (skor 76,21)
Menghayati tugas sebagai tenaga penyuluh kehutanan (skor 49,82)
Mempunyai persiapan materi, metode, dan sasaran yang tergambar dalam
Rencana Penyuluhan Kehutanan (skor 80,24)
Menerapkan penyuluhan sesuai pedoman; reaksi yang diarahkan (skor
79,42)
Menerapkan reaksi natural, tanggap secara alami (skor 77,83)
Introduksi keterampilan sesuai lokasi (skor 74,82)
Penyuluh mempunyai kreattivitas (64,39)
Merujuk uraian yang dikemukakan dapat disimpulkan para pelaku
pemberdayaan (penyuluh kehutanan) yang dapat memberdayakan masyarakat
sebaiknya memiliki kemampuan yang memadai yang tercermin pada tiga aspek
perilaku yaitu: aspek pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan penyuluh kehutanan, bahwa
faktor-faktor utama yang mempengaruhi kinerja (perilaku) mereka sebagai penyuluh
kehutanan adalah jumlah PK dan pengembangan karier.
Jumlah tenaga penyuluh kehutanan pada saat berada di bawah Dinas
Kehutanan Kabupaten Barito Kuala sebanyak 8 orang (2003), 11 orang (2005), 10
orang (2006), dan 14 orang (2008), Pada tahun 2009, tenaga fungsional penyuluh
kehutanan di Kabupaten Barito Kuala berjumlah 17 orang dan berada di bawah
Badan Pelaksana Penyuluhan (Bappeluh) Kabupaten Barito Kuala bergabung dengan
para penyuluh pertanian dan perikanan. Hal ini sebagai implikasi dari keluarnya
Undang-Undang tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan,
nomor 16 tahun 2006.
73
Kalau dari sisi jumlah sebenarnya penyuluh kehutanan Kabupaten Barito
Kuala masih di bawah rasio yang seharusnya. Idealnya dalam 1 kecamatan yang
berada dan berbatasan dengan kawasan hutan harusnya terdiri dari 1 penyuluh
kehutanan ahli dan 3 penyuluh kehutanan trampil. Adapun sebaran penyuluh
kehutanan Kabupaten Barito Kuala dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Sebaran Penyuluh Kehutanan di Kabupaten Barito Kuala
No.
Wilayah
A
B.
Kabupaten
Kecamatan
Telaga Bauntung
Sei Pinang
Pengaron
Aranio
Simpang Empat
Karang Intan
Jumlah
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tenaga Penyuluh Kehutanan
(orang)
Ahli
Trampil
2
1
1
1
5
2
2
2
2
1
9
Jumlah (orang)
2
1
3
3
2
2
1
14
Saat ini jumlah penyuluh kehutanan tinggal 14 orang, karena 3 orang
penyuluh kehutanan pindah atas kemauan sendiri ke instansi teknis (struktural), dan
yang sedang mengajukan pindah sebanyak 5 orang. Menurut Subyek Bapak Misran
yang pernah bekerja di Bapeluh Barito Kuala dan sekarang mutasi ke Bakorluh
Kalsel menyatakan bahwa:
Kepindahan penyuluh kehutanan yang notabene merupakan tenaga fungsional
ke tenaga struktural di instansi teknis SKPD Barito Kuala disebabkan oleh
karena persoalan penjenjangan karier sebagai penyuluh tidak ada peningkatan.
Begitu menetapkan diri sebagai penyuluh maka selamanya akan tetap jadi
penyuluh. Beda kalau yang bersangkutan berada di struktural, maka karier akan
cenderung menanjak selama tidak ada masalah kepegawaian. Di pemda bahkan
pernah ada masa dimana banyak orang menganggap penyuluh kehutanan
adalah “orang buangan”. Ketika seseorang masuk menjadi penyuluh di
Bakorluh, orang bertanya-tanya salah apa dia kok jadi penyuluh. (Wawancara
tanggal 19 April 2015)
Kondisi ini diperparah dengan terbitnya PP Nomor 62/1998 dan PP Nomor
25/2000 yang menyatakan antara lain bahwa penyuluhan kehutanan merupakan salah
satu
urusan
bidang
kehutanan
yang
kewenangannya
diserahkan
kepada
kabupaten/kota. Setelah berlakunya otonomi daerah maka kelembagaan formal yang
74
bertugas menangani penyuluhan kehutanan baik di Dinas Kehutanan Provinsi dan
Dinas yang menangani kehutanan di kabupaten/kota menjadi sangat bervariasi.
Beberapa daerah provinsi dan kabupaten/kota ada yang memberikan perhatian cukup
terhadap penyuluh dan kegiatan penyuluhan kehutanan, sebaliknya beberapa daerah
lain perhatian dan dukungannya sangat kurang. Selain itu, penyuluh kehutanan
banyak yang dialihtugaskan ke jabatan struktural atau dialihfungsikan pada tugastugas lain di luar tupoksinya sebagai tenaga fungsional penyuluh kehutanan. Situasi
dan kondisi ini menyebabkan Penyuluh Kehutanan seperti “anak ayam yang
kehilangan induk”, yang berdampak pada kesejahteraan dan perkembangan kariernya
yang kurang lancar.
Penyuluhan kehutanan akan berjalan lebih baik apabila terdapat kepastian
karier bagi penyuluhnya, adanya penghargaan profesinya dan jaminan kesejahteraan
bagi penyuluhnya serta aturan operasional penyuluhan kehutanan yang jelas.
Sebetulnya sudah ada kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka mendukung
pelaksanaan penyuluhan kehutanan tersebut. Paling terdapat 6 (enam) kebijakan
yang terbagi dalam 2 bagian yaitu kebijakan terkait dengan pengembangan karier dan
penghargaan profesi penyuluh kehutanan. Kebijakan yang terkait dengan
pengembangan karier berupa SK MENPAN No. 130/KEP/M.PAN/12/2002 tanggal 3
Desember 2002, yang mengatur tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan
Angka Kreditnya, SK Ka BKN No 35 Tahun 2003 tentang Juklak Jabatan Fungsional
Penyuluh Kehutanan dan SK Menhut No 272/Kep-II/2003 tentang Juknis Jabatan
Fungsional Penyuluh Kehutanan. Selanjutnya satu pondasi untuk mendukung
kesejahteraan dan penghargaan profesi adalah Perpres No. 33/2007 yang mengatur
tentang Tunjangan Fungsional Penyuluh Kehutanan. Sebelumnya tunjangan
fungsional penyuluh kehutanan diatur dengan Perpres No. 27/2006 menetapkan,
bahwa penerimaan tunjangan fungsional penyuluh kehutanan berkisar antara Rp.
197.000,- s/d Rp. 440.000,- per bulannya dari jenjang terendah sampai jenjang
tertinggi. Dengan ketentuan yang baru tersebut, tunjangan fungsional penyuluh
kehutanan berkisar antara Rp. 240.000,- s/d Rp. 550.000,- per bulan yang nilainya
sama dengan penyuluh pertanian yang tunjangannya diatur Perpres No. 32/2007,hal
tersebut karena Penyuluhan kehutanan juga termasuk dalam tenaga fungsional
rumpun ilmu hayati.
75
2.
Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pemberdayaan
Proses pemberdayaan adalah suatu rangkaian tindakan atau perbuatan yang
dapat memberi dan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat
agar mereka memiliki daya, kekuatan atau kemampuan dalam mengidentifikasi,
menganalisis, menetapkan kondisi dan potensi serta masalahmasalah yang perlu
diatasi dan sekaligus memilih dan melaksanakan alternative pemecahan masalah
secara mandiri. Makna "memperoleh" daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk
pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan
atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan.
Kelestarian lingkungan tidak terlepas dari peran masyarakat, terutama
masyarakat yang memiliki akses dan peluang yang tinggi untuk mengganggu atau
merusak lingkungan. Misalnya masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan, baik
itu hutan produksi, hutan konversi, hutan biasa dan apalagi hutan lindung.
Kelestarian lingkungan/hutan memang penting, tetapi keberlanjutan kehidupan
masyarakat yang ada di sekitarnya juga tidak kalah pentingnya. Kedua hal tersebut
harus dipikirkan secara bersamaan agar keduanya tetap berkelanjutan. Kaitannya
dengan pelestarian hutan, pemerintah telah banyak menggulirkan dana melalui
program-program yang berkaitan dengan perbaikan fisik lingkungan seperti
penghijauan, reboisasi, hutan kemasyarakatan dengan memberdayakan masyarakat
sekitar kawasan hutan untuk berpartisipasi dalam program tersebut.
Secara rinci penilaian responden terhadap proses pemberdayaan masyarakat
sekitar kawasan hutan disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Penilaian terhadap Keterlibatan Masyarakat dalam Proses
Pemberdayaan
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Variabel
Identifikasi Masalah
Keterlibatan Perencanaan
Keterlibatan pengorganisasian
Keterlibatan pelaksanaan
Keterlibatan monitoring dan evaluasi
Rata-rata
Skor
51,32
64,56
66,83
76,10
51,97
35.75
Tingkat Penilaian
Rendah
sedang
sedang
sedang
rendah
rendah
Tabel 21 menunjukkan bahwa Hasil analisis data empiris menunjukkan
bahwa secara umum partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan di lokasi
76
penelitian tergolong rendah. Dari 4 aspek penilaian, hanya aspek pelaksanaan yang
tergolong kategori sedang (skor 55) dan aspek lainnya rendah (skor 23-36). Padahal
menurut Ruhimat (2013:256), salah satu usaha yang
dapat dilakukan untuk
meningkatkan efektivitas implementasi kebijakan publik
meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam
setiap
adalah
dengan
tahapan implementasi
kebijakan publik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan penilaian.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses pemberdayaan, masyarakat
hanya dilibatkan sebagai pelaksanaan program saja. Masyarakat belum terlibat secara
optimal dalam proses perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Keterlibatan
masyarakat pada seluruh proses pemberdayaan harus mendapat perhatian yang serius
yaitu; mulai dari indentifikasi masalah, potensi dan kelompok-kelompok strategis,
perencanaan kegiatan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi
kegiatan. Pemerintah dan swasta atau lembaga lain harus sadar bahwa yang paling
mengenal dan paham terhadap kondisi masyarakat sasaran adalah masyarakat itu
sendiri. Oleh karena itu dalam menjamin keberlanjutan program pemberdayaan
sekitar kawasan hutan maka pelibatan masyarakat sekitar kawasan hutan adalah
suatu keharusan. Namun juga perlu disadari oleh semua pihak bahwa keterlibatan
dalam suatu proses pemberdayaan memiliki aturan main yang harus dipahami dan
diamalkan secara bersama. Artinya bahwa setiap pihak terlibat berdasarkan batasbatas kewenangan dan peran masing-masing.
Data Tabel 21 menunjukkan kurangnya pelibatan masyarakat terutama pada
saat perencanaan, dan evaluasi. Masyarakat hanya dilibatkan pada saat pelaksanaan
sehingga terkesan adanya pemaksaan. Artinya masyarakat yang merupakan sasaran
program dalam hal ini masyarakat di sekitar kawasan hutan harus melaksanakan
program tersebut pada hal program tersebut belum tentu sama dengan kebutuhan
prioritas. Paradigma perencanaan program pemberdayaan sudah saatnya diubah dari
perencanaan yang bersifat top down dan sentralistik berubah menjadi perencanaan
yang bersifat botom up yang mengutamakan partisipasi masyarakat.
Berdasarkan pengakuan dari sebagian besar responden bahwa mereka hanya
dilibatkan pada awal pelaksanaan dan rekrutmen peserta program, karena ada
kaitannya
dengan
persyaratan
pencairan
dana.
Pada
saat
perencanaan,
pengorganisasian dan evaluasi masyarakat tidak dilibatkan sama sekali. Jadi tidak
77
heran kalau sebagian besar program pemberdayaan kurang berhasil, apalagi
berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa semua program tersebut tidak
membuat masyarakat berdaya/mandiri atau jumlah masyarakat miskin berkurang,
tetapi justru sebaliknya hanya membuat masyarakat semakin tergantung bantuan dari
pihak luar.
Sesungguhnya proses pemberdayan masyarakat di sekitar hutan dalam rangka
pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama yang
implementasinya dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis
diberbagai DAS sejak tahun PELITA I (1970-an). Semua program tersebut
dimaksudkan supaya nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan dapat melembaga di
masyarakat. Dari segi keproyekan sudah ribuan ha lahan yang sudah direboisasi,
dihijaukan dan direhabilitasi. Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan
orang dilatih dan disuluhkan nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan. Namun
demikian isu dan permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan
masih saja menjadi isu atau problematik yang menarik untuk dibicarakan dan
memerlukan penanganan tersendiri. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dalam
satuan DAS seperti kekeringan, banjir, erosi dan sedimentasi masih saja terjadi
bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa laju
kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh melebihi kemampuan untuk
merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000 s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari beberapa
laporan menunjukkan bahwa:
1.
tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan DAS masih rendah
2.
banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan
3.
kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of interest)
4.
intervensi masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah mamasuki
zona lindung. Padahal undang-undang telah menegaskan bahwa setiap
masyarakat atau lembaga yang mengelola atau memanfaatkan sumberdaya alam
diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan konservasi tanah dan air.
Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dan
lahan Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak
pemanfatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep pengelolaan
hutan lestari. Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai pengelolan hutan
78
lestari masih rendah, belum diikuti oleh partisipasi masyarakat. Mengapa demikian?
Salah satu penyebabnya adalah strategi yang dilaksanakan selama ini kurang
melibatkan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan menjadi
terbatas bahkan di berbagai lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat
merasa asing terhadap lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di
beberapa tempat kegiatan mereka di hutan dianggap illegal. Lebih jauh lagi, rasa
memiliki mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang. Di berbagai daerah di
Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak swasta (HPH) dan
BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat dengan pemerintah berkaitan
dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan. Dampak dari keadaan ini adalah
kerusakan hutan yang tak terkendali disamping itu kesejahteraan masyarakat juga
tidak kunjung membaik.
Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah bahwa
problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan tetapi
merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan bersifat top down
dan instruksional serta kurang memperhatikan faktor-faktor yang mendorong
terjadinya proses pelembagaan baik dari aspek teknologi maupun dari aspek
organisasi dan nilai yang menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya
merupakan paket yang ditentukan dari pusat, demikian juga dalam penentuan
organisasi kelompok tani peserta kegiatan proyek tertentu.
Terkait dengan proses pemberdayaan dalam beberapa kasus, masyarakat
hanya dilibatkan sebagai pelaksana program saja. Masyarakat belum dilibatkan
secara optimal dalam proses perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi. Menurut
Fauzi (2009), adakalanya masyarakat hanya dilibatkan pada awal pelaksanaan dan
rekrutmen peserta program, karena ada kaitannya dengan persyaratan pencairan
dana. Pada saat perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi masyarakat tidak
dilibatkan sama sekali. Jadi tidak heran kalau sebagian program pemberdayaan
jarang berhasil, apalagi berkelanjutan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa
banyak program tersebut tidak membuat masyarakat berdaya/mandiri atau jumlah
masyarakat miskin berkurang, tetapi justru sebaliknya hanya membuat masyarakat
semakin tergantung bantuan dari pihak luar.
79
Kegagalan program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan yang
dilakukan selama ini, selain disebabkan oleh tidak dilibatkannya masyarakat,
terutama pada waktu perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi juga disebabkan
oleh para pelaku yang tidak memiliki komitmen dan keberpihakan pada masyarakat
(Sidu,2006:213). Pelaku pemberdayaan lebih cenderung mengutamakan kepentingan
pribadi dan kelompoknya daripada memikirkan bagaimana program tersebut berhasil
dan berkelanjutan atau dengan kata lain hanya menyelamatkan diri sendiri. Idealnya
seorang pelaku pemberdayaan harus menjadi fasilitator motivator, mediator dan
advokasi terhadap seluruh kepentingan masyarakat yang diberdayakan, bukan
sebaliknya mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan masyarakat untuk
kepentingan pribadi dan kelompok.
Terciptanya masyarakat yang berdaya tidak terlepas dari keterlibatan ketiga
pilar utama pembangunan yaitu: pemerintah, masyarakat dan swasta. Ketiga pilar
pembangunan ini harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah, artinya
ketiganya saling terkait dan melengkapi tanpa ada yang merasa bahwa yang satu
lebih penting dari yang lainnya. Keberhasilan program pemberdayaan sangat
ditentukan oleh kepedulian, keberpihakan dan komitmen pemerintah dan swasta
dalam
menyusun
program-program
pemberdayaan.
Selain
itu
keterlibatan
masyarakat dalam proses pemberdayaan merupakan kata kunci dan jaminan
keberlanjutan program-program pemberdayaan tersebut.
Salah
satu fungsi
pemerintah dalam
proses
pemberdayaan adalah
menyediakan sarana dan prasarana penunjang dan menyediakan prangkat prangkat
hukum pelaksanaan kegiatan, seperti, peraturan daerah (Perda), peraturan bupati
(perbup) dan lain sebagainya. Pihak swasta dan lembaga-lembaga donor lainnya
berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator terhadap pihak-pihak yang
memiliki kepedulian dan komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. Masyarakat
berperan sebagai pelaku utama dan penentu keberhasilan suatu program
pemberdayaan, sehingga masyarakat diyakinkan bahwa program tersebut dari
mereka, oleh mereka dan untuk mereka.
Artinya program pemberdayaan itu
berdasarkan pada kondisi dan permasalahan yang mereka hadapi, sehingga
masyarakatlah yang menentukan dan melaksanakan alternatif pemecahannya dan
hasil dari upaya itu akan masyarakat rasakan sendiri.
80
Menurut
informan
keterlibatan
warga
masyarakat
dalam
proses
pemberdayaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain faktor ketersediaan
sarana dan prasarana fisik, modal manusia yang berkualitas, modal sosial yang kuat
dan kemampuan pelaku pemberdayaan yang memadai.
Proses pemberdayaan memiliki hubungan yang cukup kuat dengan faktor
kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial, dan modal fisik. Hal ini
mengandung makna bahwa, dalam memperbaiki proses pemberdayaan warga
masyarakat dapat dilakukan melalui peningkatan kemampuan pelaku pemberdayaan
yang didukung oleh modal sosial yang kuat dan ketersediaan modal fisik yang
memadai. Pelaku pemberdayaan memiliki peran yang penting dalam proses
pengalihan daya, kekuatan atau kemampuan kepada warga masyarakat yang lemah
atau yang diberdayakan sehingga mereka menjadi berdaya, berkekuatan atau
berkemampuan dalam menolong dirinya sendiri. Modal manusia menunjukkan nilai
korelasi yang lemah dan signifikan dengan proses pemberdayaan warga masyarakat.
Tingkat pendidikan warga masyarakat sebagian besar (59%) tamat SMP.
Pengembangan dan pelaksanaan program pemberdayaan warga masyarakat oleh para
pengambil kebijakan (pemerintah) belum memperhatikan kualitas sumberdaya
manusia secara sungguh-sungguh, tetapi masih berorientasi pada pencapaian target
proyek semata. Misalnya dalam menyalurkan dana bergulir dengan jumlah tertentu
pada program penguatan ekonomi rakyat belum memperhatikan kemampuan
masyarakat dalam mengelola dana tersebut. Akibatnya, banyak dana tidak kembali
dan akhirnya gagal. Jarang program pemberdayaan yang mengutamakan bagaimana
proses berjalan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat sasaran serta
bagaimana keberlanjutannya setelah jangka waktu proyek itu berakhir. Semua
tahapan kegiatan program pemberdayaan mulai dari perencanaan sampai evaluasi
dilakukan oleh pihak luar, warga masyarakat hanya menunggu dan menerima
intruksi dari para pelaku pemberdayaan tentang apa yang harus dikerjakan. Kondisi
inilah yang terjadi di lokasi penelitian sehingga hasil yang diperoleh bukan
keberdayaan warga masyarakat tetapi mendorong terbentuknya masyarakat yang
memiliki mental menunggu uluran tangan dari pihak luar dan akhirnya
ketergantungan masyarakat terhadap pihak luar akan semakin tinggi.
81
Faktor
modal
sosial
berpengaruh
nyata
dengan
perbaikan
proses
pemberdayaan terutama berkaitan dengan faktor tingkat kerjasama, kepercayaan
antar sesama warga masyarakat dan kepatuhan terhadap norma atau aturan yang
berlaku. Ketidakberhasilan proses pemberdayaan warga masyarakat di lokasi
penelitian saat ini sangat terkait dengan kesadaran warga masyarakat untuk secara
bersama-sama dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi.
Faktor kemampuan pelaku pemberdayaan berpengaruh nyata terhadap
perbaikan proses pemberdayaan terutama berkaitan dengan tingkat ketrampilan dan
sikap keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Mayarakat sekitar kawasan
hutan lebih senang jika seseorang atau pelaku pemberdayaan langsung memberikan
contoh bagaimana melakukan sesuatu yang dapat mendatangkan hasil dibanding
dikumpul dan diberi ceramah. Pelaku pemberdayaan yang hanya pandai berteori dan
menunjukkan sikap serba tahu cenderung dijauhi oleh masyarakat dan sebaliknya
pelaku pemberdayaan yang tidak banyak berteori tetapi suka bekerja, memiliki
ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan rendah hati serta
membaur dengan masyarakat akan lebih disukai. Pelaku pemberdayaan yang
memiliki ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan rendah hati
serta membaur dengan masyarakat akan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya kerjasama, saling mempercayai, patuh terhadap orma/aturan, peduli
terhadap sesama dan terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan.
2. Perilaku Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi
Tujuan pembangunan adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
yang dilakukan melalui proyek-proyek/program-program pembangunan yang
berpihak pada masyarakat. Proyek atau program pembangunan, terutama yang
berkaitan dengan pembebasan masyarakat dari ketidakberdayaan. Salah satu
permasalahan yang sedang dan yang akan dihadapi oleh masyarakat saat ini adalah
tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin tinggi, kurangnya lapangan kerja dan
kerusakan lingkungan. Lingkungan merupakan hal yang sangat vital bagi
keberlangsungan kehidupan manusia. Lingkungan yang sehat akan menciptakan
suasana kehidupan manusia yang harmonis, sehat dan berkelanjutan.
Demikian juga sebaliknya lingkungan yang tidak sehat/rusak akan
menimbulkan permasalahan yang serius dan bahkan jadi malapetaka serta ancaman
82
bagi kehidupan mahluk secara keseluruhan. Oleh karena itu, kelestarian lingkungan
merupakan hal yang penting dan mendesak untuk dipikirkan upaya-upaya yang
signifikan agar lingkungan tersebut dapat tetap lestari. Kelestarian lingkungan tidak
terlepas dari peran masyarakat, terutama masyarakat di sekitar dan dalam kawasan
hutan yang memiliki akses dan peluang yang tinggi untuk mengganggu atau merusak
lingkungan.
Kelestarian hutan memang penting, tetapi keberlanjutan kehidupan
masyarakat yang ada di sekitarnya juga tidak kalah pentingnya. Kedua hal tersebut
harus dipikirkan secara bersamaan agar keduanya tetap berkelanjutan. Kaitannya
dengan pelestarian hutan pemerintah telah banyak menggulirkan dana melalui
program-program yang berkaitan dengan perbaikan fisik lingkungan seperti
penghijauan, reboisasi dengan memberdayakan masyarakat sekitar kawasan hutan
untuk berpartisipasi dalam program tersebut.
Sulistiyani (2004) menjelaskan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari
pemberdayaan masyarakat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan
mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu
kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan
memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi
mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan
daya/kemampuan yang dimiliki. Masyarakat berdaya harus memiliki kemampuan
dalam berpikir, bersikap, bertindak dan berinovasi dalam dimensi politik, sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Keempat dimensi tersebut harus terintegrasi dalam
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hal ini sejalan dengan pendapat Mardikanto (2015:19), pemberdayaan
diharapkan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan
melalui kegiatan proses belajar mengajar. Perilaku digolongkan menjadi 3 kelompok
yaitu: 1) pengetahuan dan informasi atau kognitif, 2) sikap dan apresiasi atau afektif,
dan 3) ketrampilan dan performansi atau psikomotorik.
83
a.
Kemampuan Kognitif Masyarakat yang diberdayakan
Hasil penilaian responden terhadap tingkat keberdayaan masyarakat di lokasi
penelitian dalam ranah kognitif disajikan pada Tabel 22 yang tergolong sedang (skor
71,22). Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan kemampuan daya nalar atau
berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam rangka
mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi.
Tabel 22. Hasil Penilaian terhadap ranah kognitif Masyarakat
No Indikator *
Skor
Kriteria Penilaian
1
Kemampuan Memahami
77.83
Tinggi
2
Kemampuan Menerapkan
74.61
Sedang
3
Kemampuan Menganalisis
73.30
Sedang
4
Kemampuan Mengevaluasi
67.39
Sedang
5
Kemampuan Menciptakan
62.96
Sedang
Rata-rata
71.22
Sedang
Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom versi Revisi (Krathwohl,
2002:215)
Kemampuan pemahaman masyarakat dalam pengelolaan hutan memiliki
katagore sedang (71,22). Kemampuan pemahaman ini dapat dimanfaatkan untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan yang jauh lebih kompleks (Gunawan &
Palupi, 2013:26). Pada tahap ini, masyarakat telah memahami mengenai pengelolaan
hutan berbasis masyarakat, budidaya lahan pertanian seperti ladang, sawah, kebun
dan hutan. Masyarakat mempunyai dasar pengetahuan lokal dalam kaitannya dengan
pengelolaan hutan. Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di
lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang
diwariskan secara turun-temurun (Awang, 2004:8). Hal ini lebih jelas ditegaskan
oleh informan Bapak H. Makmur:
Kalau dalam urusan pengalaman masyarakat di sini rata-rata sudah
berpengalaman dalam menanam tanaman hutan. Bagi kami hutan adalah
sumber kehidupan. Sejak dulu nenek moyang kami mengajarkan
pengetahuan mengelola alam dengan bijaksana. (Wawancara tanggal 21
Mei 2015)
Masyarakat lokal khususnya yang berada di Desa Tabunganen Kecil dan
Tabunganen Muara merupakan suku Dayak Bakumpai mengenal perbedaan bentuk
permukaan bumi, terutama berkaitan dengan pembagian peruntukan pengelolaan
lahan. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dalam suatu balai, wilayah adat dalam
84
satu balai dibagi menjadi beberapa kelompok penggunaan lahan. Sebagian besar dari
kawasan adat merupakan katuan (hutan) larangan. Hutan ini tidak boleh digunakan
untuk bahuma (bertanam) karena dipercayai sebagai kediaman leluhur masyarakat
balai.
Kedudukan hutan sebagai nafas kehidupan masyarakat adat Dayak Bakumpai
bertimbal balik dengan kesadaran mereka menjaga dan memelihara hutan dengan
baik. Hutan menjadi landasan ideologi, sosial, dan sekaligus sumber penunjang
perekonomian mereka. Mereka percaya bahwa Jubata Duwata
kepercayaan
masyarakat
dayak
Meratus
akan
mengutuk
dalam sistem
mereka
yang
menghancurkan hutan.
Terdapat lima prinsip dasar yang bisa dicermati dalam budaya yang terpatri
dalam pengetahuan dan kearifan lokal yaitu keberlanjutan, kebersamaan,
keanekaragaman hayati, subsisten, dan kepatuhan kepada hukum adat. Bila kelima
prinsip ini dilaksanakan secara konsisten maka akan menghasilkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang mencakup secara ekonomis
bermanfaat, secara ekologis tidak merusak, dan secara budaya menghormati nilainilai kemanusiaan.
Pengetahuan lokal tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan dalam
metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman
(insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan
lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari,
astrologi, kondisi geologis dan meteorologis. Pengetahuan asli yang dimiliki suatu
komunitas, kata Chambers & Richards (1995:xiii) tidak lagi dipandang sebagai
takhayul (superstition), tetapi telah mengajarkan kita pada kerendahan hati dan
kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka.
Kadang-kadang pengetahuan lokal yang sudah beradaptasi dengan baik dan
efektif untuk mengamankan kehidupan mereka dalam lingkungan tertentu menjadi
tidak sesuai lagi di bawah kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi (Thrupp,
1989). Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat
diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem
bertani mereka. Hal ini bisa didapat melalui pelatihan dan/atau interaksi dengan
pihak lain. Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi
85
lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri.
Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumber daya alam dan
bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di dalam teknik bertani
maupun ketrampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam.
Pelatihan yang sering diadakan sebelum proyek fisik kehutanan bertujuan
mempersiapkan anggota kelompok tani melaksanakan kegiatan fisik agar tercapai
tujuan pembangunan hutan yang diharapkan. Melalui pelatihan, seseorang atau
komunitas akan mampu mengembangkan tingkah laku (pengetahuan, sikap,
keterampilan) agar mencapai sesuatu yang diinginkan (Robinson, 1981;12). Menurut
Brundage (1981:73), pelatihan pada umumnya ditujukan kepada orang dewasa. Hal
ini ditegaskan informan Bapak Junaedi berikut:
Pengetahuan tentang teknis kehutanan juga didapat melalui pelatihan.
Hampir tiap tahun sebelum pelaksanakan fisik, kami sering mengikuti
pelatihan yang dilaksanakan pihak kehutanan seperti Gerhan, Hutan
Kemasyarakatan, Agroforestri, perlebahan dll. Kami pun pernah studi
banding ke Jawa (Program PHBM Perhutani) (Wawancara tanggal 7 Mei
2015)
Pelatihan yang diikuti anggota KTH sebagai upaya meningkatkan kualitas
keahliannya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan Sayuti (1995:131), ada tiga
aktivitas yang dapat dilakukan individu-individu yang mungkin meningkatkan
kualitas keahliannya, yaitu: (1) pengetahuan dari pendidikan formal; (2)
memperbaiki keahlian atau ketrampilan melalui pengalaman kerja, dan (3) melalui
pelatihan khusus yang direncanakan untuk meningkatkan produktivitas pekerja,
khususnya dalam industri dan jasa.
Hal ini senada dengan Sunaryo (2003:3), pengetahuan merupakan kapasitas
manusia untuk memahami dan menginterpretasikan baik hasil pengamatan maupun
pengalaman. Menurut Kolb,D (1984) proses belajar yang terjadi pada orang dewasa
merupakan “proses pengalaman”. Proses pengalaman tersebut terjadi melalui empat
tahap, yaitu: dari pengalaman nyata, pengamatan dan refleksi, pembentukan konsep
(pembuatan kesimpulan), dan penerapan atau praktek. Agar orang dewasa dapat
belajar dengan efektif ia membutuhkan kemampuan-kemampuan yang berbeda. Ia
harus mampu melibatkan dirinya sendiri secara penuh, terbuka dan tidak ada bias
dari pengalamannya yang baru; ia harus mampu merefleksikan dan mengamati
pengalaman tersebut dari berbagai sudut pandang; ia harus mampu merumuskan
86
konsep dari hasil pengalamannya menandai teori yang logis; dan ia harus mampu
mempergunakan konsep tersebut sebagai panduan dalam melakukan kegiatan.
Setelah keempat langkah tersebut dilalui, seseorang akan memperoleh pengalaman
baru, dimana pengalaman baru tersebut akan direfleksikan kembali, lalu dibuat
kesimpulan baru, dan diterapkan demikian seterusnya hingga daur belajar akan
terulang kembali.
Lebih jauh Marzuki (2015), menyatakan bahwa dengan pelatihan diharapkan
terjadi perbaikan tingkah laku pada partisipan pelatihan. Kondisi ini diakui informan
Bapak Basrani berikut:
Setelah mengikuti pelatihan, wawasan pengetahuan kami menjadi
bertambah dan motivasi kami menjadi tinggi untuk melaksanakan proyek
kehutanan. Ketika kami ikut pelatihan Kebun Bibit Rakyat (KBR), kami jadi
tahu cara memproduksi bibit berkualitas. Kami juga bisa membuat daftar
pengelolaan keuangan KT, surat menyurat dan membuat proposal. Tidak
percuma kami ikut pelatihan, sudah gratis, diberi uang saku bahkan
berguna untuk meningkatkan taraf hidup kami nantinya (wawancara
tanggal 7 Mei 2015)
Pernyataan tersebut tentunya sesuai dengan pendapat Theodore Schultz
(1960), bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan
bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan
suatu investasi.
Dengan demikian dari sisi kemampuan menerapkan (applying), masyarakat
pada umumnya telah mampu mengaplikasikan teknik-teknik yang berkaitan dengan
kehutanan berdasarkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari ilmu warisan
(pengetahuan lokal) dan pelatihan. Namun dari sisi analisis, masyarakat memiliki
skor rendah. Bagi mereka pemahaman yang diperoleh melalui pengetahuan lokal,
dan pelatihan sudah baik sehingga tinggal diterapkan saja di lapangan, jadi tidak
perlu dianalisis. Padahal menurut Sunaryo & Joshi, (2003:7), perlu disadari bahwa
seperti halnya pengetahuan ilmiah, pengetahuan lokal pun mempunyai beberapa
keterbatasan. Ada cukup bukti historis maupun baru yang menunjukkan bahwa
penduduk indigenous kadang-kadang juga melakukan ‘dosa’ lingkungan seperti
halnya penggembalaan yang berlebihan, perladangan berpindah, perburuan yang
kebablasan atau pengurasan tanah melebihi daya dukungnya. Sehingga, perlu ada
kemampuan menganalisis yang dimiliki masyarakat agar bisa berdampak positif
87
terhadap mereka. Meskipun demikian ada juga masyarakat yang telah memiliki
kemampuan analisis tinggi sebagaimana dapat dilihat dari kemampuan (a) membuat
kesimpulan dari hasil pemahaman yang diperoleh, (b) mencari sumber-sumber
pengetahuan lainnya, (c) membedakan misalnya jenis-jenis tanaman hutan yang
toleran dan intoleran, pupuk organik dan anorganik, bibit berkualitas baik dan tidak
(d) cara mengukur jarak tanam, cara menghitung potensi hutan. Sebagai ilustrasi
ditegaskan oleh informan Bapak Basrani:
Semenjak mendapat bimbingan dari penyuluh kehutanan, kami dapat
mengetahui tentang pupuk organik. Dulunya kami biasa menggunakan
pupuk buatan pabrik seperti urea, TSP, atau KCl, kami menganggap yang
terbaik adalah pupuk tersebut. Dulu kami menanam pohon Ulin di padang
terbuka dan tidak pernah berhasil. Setelah diberi pemahaman oleh
penyuluh bahwa setiap jenis tanaman dapat dibedakan dari jenis tahan
tidaknya terhadap naungan, kami pun jadi tahu hal tersebut. (wawancara
tanggal 8 Mei 2015).
Kemampuan kognitif tingkat selanjutnya yaitu aspek kemampuan evaluasi
yang dimiliki masyarakat masih tinggi (69,19). Pada tahap ini kemampuan
masyarakat dapat dilihat dari kemampuan menilai hasil kegiatan (sedang),
membandingkan pengetahuan lokal yang ada selama ini dengan pengetahuan yang
diperoleh melalui pelatihan dan media lainnya (rendah), dan menetapkan apakah
rekomendasi para penyuluh sesuai dengan kondisi di lapangan (rendah). Dari aspek
menciptakan, masyarakat memiliki kemampuan yang sedang (61,94). Pada tingkat
ini diukur dari kemampuan menginisiasi perencanaan unit pengolahan minyak atsiri
di Desa Sungai Telan, demplot agroforestri, dan membuat perencanaan
pemberdayaan masyarakat bersama penyuluh kehutanan. Berdasarkan kondisi di
atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek kognitif masyarakat sebagaimana
dapat diihat pada Gambar 15.
Berdasarkan kondisi tersebut secara umum dari sisi pengetahuan, masyarakat
telah mempunyai dasar-dasar pengetahuan pengelolaan hutan, namun masih perlu
ditingkatkan dan dikembangkan. Dengan dasar tersebut pemberdayaan ke depan
dapat dilakukan dengan memperkuat pada tingkat menganalisis, menilai, dan
menciptakan.
88
Gambar 15. Kemampuan Kognitif Masyarakat (diadaptasi dari model Taksonomi
Bloom (1956)
b. Kemampuan Afektif Masyarakat
Penilaian kemampuan afektif masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 23.
Tabel 23. Hasil Penilaian terhadap Ranah Afektif Masyarakat
No
1
2
3
4
5
Indikator *
Skor
Kriteria Penilaian
Menerima (receiving/attending)
60.35
sedang
Kemampuan Menanggapi
48.61
rendah
Kemampuan Menilai
53.91
rendah
Kemampuan Mengelola
54.35
rendah
Kemampuan Menghayati
44.87
rendah
Rata-rata
52.42
rendah
Keterangan: * Indikator mengacu Taksonomi Bloom (1956: 77).
Berdasarkan Tabel 23, kemampuan masyarakat dalam aspek afektif termasuk
katagore rendah (52,42). Pada tingkatan receiving (attending), direflesikan dalam
bentuk kemauan menghadiri, mendengarkan dan meminati program pemberdayaan
masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan.
89
Tingkat kemauan masyarakat untuk hadir dalam kegiatan pertemuanpertemuan dan pelatihan dalam rangka pengelolaan hutan tergolong sedang dengan
skor 55,48 (Lampiran 10). Sebanyak 27.42% responden menyatakan kadang-kadang
datang menghadiri setiap undangan pertemuan yang dilaksanakan dalam kegiatan
program pemberdayaan masyarakat, 29,84% responden jarang datang, 14.52%
responden tidak pernah datang, 20,16% responden sering datang dan 8,06%
responden pasti datang (Gambar 16).
Gambar 16. Diagram Kemauan Masyarakat Untuk Menghadiri Pertemuan dan
Pelatihan dalam rangka pengelolaan hutan
Meskipun dalam setiap pertemuan atau pelatihan, semua anggota kelompok
atau warga yang diundang dapat berhadir, namun Bapak Saleh menyatakan:
Dalam setiap pertemuan jarang sekali lengkap dihadiri seluruh anggota
kelompok tani, walaupun kami sudah berupaya mengundang lewat surat atau
SMS. Alasan ketidakhadiran biasanya masih bekerja di ladang, mau istirahat
setelah seharian bekerja, sakit, ada keperluan keluarga, atau malas hadir.
Walaupun demikian, saya bisa pastikan setiap kali pertemuan selalu dihadiri
unsur pengurus kelompok tani, aparat desa, dan anggota kelompok. Anggota
kelompok juga terdiri dari berbagai etnis yang ada di desa, dan kelompok
produktif (tua muda) (wawancara tanggal 18 Mei 2015).
90
Menurut Jamasy (2004), partisipasi tidak hanya diukur oleh jumlah
melainkan harus juga diukur oleh seberapa banyak elemen masyarakat yang
terlibat, misalnya dari latar belakang jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), latar
belakang usia (tua dan muda), latar belakang sosial-ekonomi (kaya – menengah dan
miskin) dan lain sebagainya. Bias partisipasi seringkali dijumpai, misalnya
pertemuan yang dihadiri oleh 40 orang dan yang dihadiri oleh 20 orang. Dari aspek
jumlah, 40 orang lebih baik dari yang 20 orang, tetapi dari aspek kualitas mungkin
saja yang 20 orang akan menjadi lebih baik dan partisipatif karena mereka adalah
wakil dari seluruh elemen masyarakat, sementara yang 40 orang hanyalah dari
tertenu saja.
Minat masyarakat untuk terlibat dalam rangka pengelolaan hutan di KPHK
Barito Kuala tergolong sedang dengan nilai 56,61 (Lampiran 10). Sebanyak 13,71%
responden menyatakan berminat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan, 7,26%
responden menyatakan sangat berminat, 45,16% responden menyatakan tidak
berminat dan 13,71% menyatakan sangat tidak berminat (Gambar 17).
Gambar 17. Minat Masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan
Menurut J. Holland (1990), minat yang sesuai merupakan faktor penting yang
menentukan individu dapat berprestasi. Minat adalah kesadaran individu terhadap
sesuatu hal yang bersangkut paut dengan dorongan sehingga individu memusatkan
91
seluruh perhatiannya terhadap objek tertentu dengan senang hati melakukan aktivitas
yang berhubungan dengan objek (Fisher, 1930:34). Menurut Asher (dalam Hanani,
1995) minat merupakan aktivitas psikis manusia yang menyebabkan individu
memberikan perhatiannya kepada suatu objek yang kemudian diikuti, kecenderungan
untuk mendekati objek tersebut dengan perasaan senang, karena individu mengetahui
bahwa apa yang dikerjakannya itu akan mendatangkan hasil yang sesuai dengan
harapannya. Berdasarkan uraian di atas minat adalah kondisi di mana individu
memusatkan seluruh perhatiannya pada suatu objek tertentu dengan perasaan senang.
Menurut Crow & Crow (1973) faktor-faktor yang mempengaruhi minat
adalah faktor dorongan dari dalam individu, motif sosial, dan faktor emosional.
Faktor dorongan dari dalam individu muncul dari adanya kebutuhan-kebutuhan dasar
individu, misalnya dorongan untuk mencari makan karena lapar. Faktor motif sosial,
individu didorong untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat diterima
dan diakui oleh lingkungan tersebut misalnya minat untuk mengenakan pakaian
mahal dan bermerk, dan faktor emosional berkaitan erat dengan perasaan atau emosi
keberhasilan dalam suatu aktivitas memunculkan perasaan senang dan mendorong
timbulnya minat untuk melakukan hal yang sama dikemudian hari. Dan kegagalan
sering menyebabkan hilangnya minat. Istilah minat digunakan dalam dua cara pada
psikologi, yang pertama minat diartikan sebagai suatu rasa senang yang dihasilkan
dari adanya perhatian khusus terhadap sesuatu atau aktivitas tertentu dan yang kedua
diartikan sebagai sikap atau kondisi psikologis yang ditandai oleh adanya
kecenderungan untuk memahami suatu pengalaman yang akan selalu diulangi (Ahser
dalam Hanani,1995). Berdasarkan uraian di atas minat dipengaruhi oleh faktor
dorongan dari dalam individu, faktor motif sosial, dan faktor emosional.
Pada tingkatan menanggapi (responding) direflesikan dalam bentuk
penyampaian pendapat/opini atas materi yang disampaikan penyuluh, dan dukungan
terhadap program kehutanan yang melibatkan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
pendapat (Rahman, 2010:3), responding merupakan partisipasi aktif sebagai bagian
dari perilakunya. Pada tingkat ini masyarakat tidak saja memperhatikan fenomena
khusus tetapi ia juga bereaksi. Hasil pemberdayaan pada ranah ini menekankan pada
pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi
respons.
92
Tingkat partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan atau usulan
dalam kegiatan pertemuan-pertemuan yang dilakukan tergolong rendah dengan nilai
47,42, dimana pada umumnya warga yang aktif dalam berpendapat hanya orangorang tertentu saja, dan kebanyakan warga selalu mengikut pendapat-pendapat yang
disampaikan tokoh-tokoh masyarakat atau pengurus KTH. Sebagian besar responden
atau sebanyak 38,71% responden menyatakan jarang menyampaikan usul dalam
setiap pertemuan yang dilaksanakan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat,
7,26% responden selalu menyampaikan usul, 20,16% responden menyatakan
kadang-kadang menyampaikan usulan, 7,26% responden menyatakan jarang
menyampaikan
usulan
dan
24,19%
responden
menyatakan
tidak
pernah
menyampaikan usulan (Gambar 18).
Gambar 18. Diagram Partisipasi Masyarakat Menyampaikan Respon Dalam
Pertemuan dan Pelatihan
Tingkat
keterbukaan
masyarakat
dalam
bentuk
perbincangan
atau
pembahasan kegiatan pemberdayaan masyarakat di luar forum pertemuan formal di
desa lokasi penelitian tergolong rendah dengan nilai 50,32, dimana beberapa warga
suka memperbincangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat
di luar forum
93
pertemuan. Sebanyak 12,10% responden menyatakan sering memperbincangkan
kegiatan pembangunan yang dilaksanakan pemberdayaan masyarakat di luar forum
pertemuan pemberdayaan masyarakat, 5,65% responden menyatakan sangat sering,
31,45% responden menyatakan kadang-kadang memperbincangkan, 29,84%
responden
menyatakan
jarang
memperbincangkan
dan
20,97%
responden
menyatakan tidak pernah memperbincangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di
luar forum pertemuan pemberdayaan masyarakat (Gambar 19).
Gambar 19. Diagram Penyampaian Aspirasi Masyarakat di Luar Forum Pertemuan
atau Pelatihan
Bagi masyarakat di desa, keberadaan program perhutanan sosial bisa
dianggap sebagai peluang untuk menyampaikan aspirasinya dalam bentuk usulanusulan proyek kehutanan yang melibatkan masyarakat. Berkaitan dengan dukungan
masyarakat terhadap program pemberdayaan masyarakat dapat diihat pada Gambar
20.
94
Gambar 20. Sikap Dukungan Masyarakat terhadap Kegiatan Program Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Berdasarkan Gambar 20, dapat diketahui bahwa 30,65% respoden
mendukung dan sangat mendukung terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan hutan. Hal ini dapat dilihat dalam bentuk perasaan senang
terhadap program yang dilaksanakan. Sebagai contoh diungkapkan saat mengikuti
pendidikan dan pelatihan, mereka menerima begitu banyak materi tentang programprogram kehutanan yang melibatkan masyarakat, prosedur pelaksanaan, kebijakan,
teknis kegiatan, dan manfaat yang akan diperoleh. Mereka juga merasa senang
dengan adanya program kehutanan karena dapat menciptakan tambahan kesempatan
berusaha, meningkatkan pendapatan, dan membuat lingkungan jadi lebih baik.
Berikut beberapa kutipan wawancara dengan responden yang menerima dengan baik:
Beberapa waktu lalu, penyuluh telah memberikan materi penyuluhan
tentang pupuk bokashi, cara pembuatan, dan penggunaanya. Kami
menganggap apa yang disampaikan tersebut sangat bermanfaat. Kami juga
menerima dengan senang hati program pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan hutan seperti Gerhan, HKm, KBR, reboisasi agroforestri
(wawancara dengan Bapak Junaedi tanggal 8 Mei 2015)
Kami senang ada program kehutanan di daerah kami, karena lahan di sini
sudah banyak yang gundul akibat perusahaan kayu dan tambang batubara.
Kalau tidak dihijaukan, air sungai/sumur akan cepat kering, cuacanya
panas, dan rawan longsor. Kami juga senang karena bisa meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja lebih baik daripada harus mengambil
kayu di hutan jauh-jauh (wawancara dengan Bapak Basrani tanggal 7 Mei
2015 )
95
Dulu warga Tabunganen Kecil dan Tabunganen Muara meramu Gaharu
dari hutan namun hasilnya terus berkurang dan sulit didapat, padahal itu
mata pencaharian utama kami selain berladang. Sejak pihak kehutanan
memberikan penyuluhan tentang budidaya dan Inokulasi Gubal Gaharu,
saya mengikuti dan mematuhi apa yang diarahkan penyuluh dengan
menanam di lahan pekarangan sebanyak 300 batang. Saat ini pohon
Gaharu sebagian sudah disuntik dengan bantuan penyuluh dan siap panen
(wawancara dengan Bapak Rahmat tanggal 18 Mei 2015 )
Temuan penelitian menunjukkan bahwa pilihan masyarakat untuk ikut dalam
kegiatan pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan manfaat atau keuntungan yang
akan diperoleh manakala mereka terlibat dalam program pemberdayaan. Pada saat
mereka ikut program gerhan, mereka diberi kesempatan untuk mengelola lahan
mereka dengan mendapat bantuan fisik (bibit, pupuk, dll) dan pendanaan dari
pemerintah, bahkan mendapat pelatihan dan pendampingan. Apabila lahan yang
ditanami memasuki masa panen, maka hasilnya 100% menjadi hak mereka, dan
untuk hasil hutan kayu diatur dalam tata usaha kayu rakyat sesuai dengan Permenhut
No.33/2007.
Berkenaan dengan pilihan, Friedman dan Hechter (1988), menghimpun apa
yang mereka sebut sebagai model “kerangka” teori pilihan rasional. Teori pilihan
rasional memusatkan perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai manusia yang
mempunyai tujuan atau maksud. Artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakannya
tertuju pada upaya untuk mencapai tujuan itu. Aktor pun dipandang mempunyai
pilihan (atau nilai, keperluan). Teori pilihan rasional tak menghiraukan apa yang
menjadi pilihan atau apa yang menjadi sumber pilihan aktor. Yang penting adalah
kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan
tingkatan pilihan aktor (Ritzer,2015:357). Aktor menurut konsep ini adalah pelaku
aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan menilai dan memilih dari alternatif
tindakan. Walaupun aktor tidak mempunyai kebebasan total namun ia mempunyai
kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan.
Berkaitan dengan manfaat dari keterlibatan masyarakat dalam kehutanan
(perhutanan sosial), Mardikanto (2009:23) menyatakan sebagai berikut:
1. Perbaikan dan perluasan tanaman, yang diikuti pula dengan tingkat keberhasilan
tinggi,
karena
masyarakat
berpartisipasi
dalam
pemeliharaan
dan
pengamanannya.
96
Pengalaman di Sanggau, Kalimantan Barat, kegiatan rehabilitasi partisipatip yang
dilakukan proyek perhutanan-sosial, terbukti memiliki tingkat keberhasilan lebih
dari 80% dibanding proyek-proyek rehabilitasi pada umumnya yang hanya
sekitar 30%.
2. Perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat desa hutan, baik
yang secara langsung terlibat dalam kegiatan perhutanan sosial, maupun yang
melakukan
kegiatan-kegiatan
pendukungnya,
seperti:
pengadaan
dan
perdagangan bibit, pengadaan dan perdagangan pupuk
3. Perbaikan mutu sumberdaya manusia, yang dapat diharapkan dari beragam
kegiatan pelatihan yang dilaksanakan terkait dengan pengembangan perhutanan
sosial, seperti: pelatihan teknis agroforestri, pelatihan keorganisasian, pelatihan
usaha produktif.
Sementara itu berdasarkan Gambar 20, sebanyak 63,71% tidak mendukung
program kehutanan di daerahnya. Ada berbagai alasan yang menyebabkan penolakan
tersebut sebagaimana ditegaskan oleh informan berdasarkan pengalaman historis
mereka:
Banyak proyek kehutanan yang pernah dikembangkan di sini gagal,
misalnya dulu pernah proyek reboisasi dengan tanaman Akasia. Akibat
banyaknya tanaman Akasia, tanaman lain tidak bisa berkembang dengan
baik, malah sering terjadi kebakaran. Pernah juga tanam Sengon tahun
2000, ternyata ketika di panen harganya murah sekali. Belum lagi harus
mengeluarkan biaya ekstra karena terkena kebijakan peredaran kayu hutan.
Kadangkala teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan bahkan
belum tentu lebih baik dari yang sudah ada (wawancara dengan Bapak
Saladeri tanggal 8 Mei 2015)
Pihak kehutanan terlalu menekankan komposisi jenis yang harus 70%
tanaman hutan : 30% tanaman MPTS. Bagi kami tidak menarik karena
tidak menguntungkan secara ekonomis. Misalnya yang 30% tersebut
tanaman Karet, maka dalam 1 hektarnya hanya bisa menanam 150 batang.
Kalaupun semuanya bisa menghasilkan tetap akan rugi karena tidak bisa
menutup ongkos pemeliharaan)-(wawancara dengan Bapak Matleh tanggal
7 Mei 2015)
Mengapa para petani menolak teknologi inovasi yang telah direkomendasikan
pihak kehutanan melalui penyuluh? Ada beberapa alasan yang menurut Fujisaka
(1993) dan Pretty (1995), yakni teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak
97
menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran, teknologi yang ditawarkan sulit
diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang
sudah ada, inovasi teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena
kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat, penerapan teknologi
membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai,
sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu
menyampaikan pesan dengan tepat, adanya ketidakpedulian petani terhadap tawaran
teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu, dan adanya
ketidakpastian dalam penguasaan sumber daya lahan. Pengalaman empiris
pembangunan hutan selama ini menurut informan Bapak Junaedi:
Tanaman Sengon yang kami tanam sebagian besar banyak yang gagal,
akibat pertumbuhan tanaman yang tidak sesuai harapan. Pada saat
disampaikan pihak kehutanan bahwa Sengon mempunyai prospek yang
bagus, dalam umur 7 tahun diameternya bisa mencapai 40 cm, namun
kenyataannya maksimal 27 cm. Disamping itu juga ketidakjelasan status
pemasaran hasil hutan kayu apabila sudah menghasilkan, padahal lahan
sudah terlanjur ditanami dengan tanaman hutan. Katanya kalau menjual
kayu Sengon harus ada ijin lagi dari kehutanan termasuk biaya resmi dan
tidak resmi yang harus dikeluarkan. Padahal kayunya hasil tanaman kami
sendiri. Beda apabila lahan tersebut dikembangkan tanaman Sawit,
pendapatan yang akan diterima lebih menjanjikan dan bisa didapat setiap
hari sehingga kebutuhan anggota keluarga lebih terjamin (wawancara
tanggal 8 Mei 2015).
Selama ini memang ada kecenderungan pemilihan jenis tanaman tidak
dilakukan analisis kesesuaian lahan secara mendalam, hanya didasarkan pada
“promosi” dari kehutanan pusat atau keberhasilan di daerah lain. Maka daerah lain
mengambil kebijakan serupa, padahal belum tentu cocok dan sesuai. Pengalaman
serupa juga pernah terjadi ketika digalakkan program “sengonisasi” di Kalimantan
Selatan yang mengadopsi keberhasilan petani hutan di Kabupaten Kuningan Jawa
Barat. Dari aspek tata niaga kayu, sebenarnya telah diatur dalam Permenhut
98
No..P.63/Menhut-II/2006 untuk hutan negara, dan Permenhut No. P.62/MenhutII/2006 untuk Hutan Hak (Syahadat & Dwiprabowo, 2008:201). Hanya saja sebagian
besar masyarakat tidak mengetahui hal tersebut atau malas mengurus, akibatnya
dengan berbekal surat jalan dari Kepala Desa, masyarakat menjual kayu ke luar
daerah dan ketika ada razia kayu terpaksa harus berurusan dengan pihak berwajib
karena dianggap membawa kayu illegal tanpa dokumen yang sah.
Dengan kondisi tersebut, masyarakat lebih memilih cara yang aman dan lebih
menjanjikan yaitu dengan membudidayakan tanaman Karet yang sudah terbukti
meningkatkan pendapatan masyarakat. Sampai saat ini di tingkat masyarakat, belum
ada satu pun komoditi kehutanan (kayu) yang nilai ekonomi dan pasarnya
menandingi karet.
Pilihan anggota masyarakat untuk tidak ikut atau tidak berpartisipasi aktif
dalam program mempunyai alasan beragam seperti kualitas jenis tanaman yang
diberikan pada program terdahulu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, jenisnya
tidak “marketable”, dan tidak ekonomis. Pada beberapa kasus program serupa,
masyarakat tidak mengetahui secara pasti kemana mereka harus menjual kayu
nantinya, sehingga kayu-kayu yang telah hampir mendekati periode pemanenan
terpaksa ditebang dan diganti dengan tanaman yang lebih komersial seperti Karet
Pilihan untuk tidak ikut program pemberdayaan masyarakat juga sering
disebabkan oleh hal yang lebih ekstrim lagi, kalau dana yang seharusnya mereka
terima sering tidak sesuai di bawah nilai yang tertulis pada bukti pembayaran. Setiap
dana yang akan dicairkan maka terlebih dahulu harus ada bukti-bukti pengeluaran
uang dan penandatangan sejumlah berita penerimaan barang yang sebenarnya belum
diberikan. Jadi terkesan bahwa sebenarnya uang telah dicairkan, padahal sebenarnya
99
tidak. Persyaratan “tandatangan terlebih dahulu” inilah yang sering dikeluhkan petani
dan pelaksana proyek, namun kebijakan pusat memang harus seperti itu.
Ada juga yang memilih untuk tidak ikut karena alasan bahwa program
pemberdayaan masyarakat tersebut tidak bisa menghasilkan “uang” dalam waktu
yang cepat, karena menunggu waktu panen, padahal mereka butuh uang untuk
keperluan hidup sehari-hari.
Sementara itu alasan lainnya berkaitan dengan persoalan konflik lahan
sebagaimana disampaikan informan berikut:
Kami takajut pas di kabun gatah wan dukuh ampun kami sakalinya ada
patuk habang. Waktu ditakunakan wan pambakal, sakalinya nangitu patuk
batas kawasan hutan. Artinya kabun kami barada dalam kawasan hutan
pamarintah (Kami terkejut ketika di kebun karet dan kebun buah punya
kami ternyata telah dipasang patok merah. Saat ditanyakan dengan kepala
desa, ternyata patok tersebut adalah patok batas kawasan hutan. Artinya
kebun kami berada dalam kawasan hutan pemerintah).
Penggunaan kawasan hutan bagi masyarakat di Desa Sungai Telan, Kuala
Lupak, Tabunganen Kecil dan Tabunganen Muara telah dimulai bersamaan dengan
awal terbentuknya desa induk yang dulu bernama Kampung Sungai Pinang sendiri
tahun 1948. Masyarakat asli yang mendiami wilayah ini pada mulanya adalah
masyarakat Dayak Bakumpai Barito Kuala. Mereka mengelola hutan sebagai lahan
pertanian lahan kering yang ditanami bermacam-macam buah, umbi-umbian,
tanaman obat, ada juga masyarakat yang menggunakan lahan kosong sebagai areal
sawah. Jadi sejak dahulu, kawasan hutan sudah digarap oleh masyarakat sekitar
kawasan tersebut yang berada di belakang kampung. Kegiatan pemanfaatan hutan
berlangsung terus sampai diwariskan kepada anaknya.
Sistem kepemilikan tanah bagi masyarakat penduduk asli didasarkan pada
kesepakatan dan kepercayaan dalam aturan adat tanpa menggunakan bukti tertulis.
100
Jadi meskipun tanah tersebut secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat, tidak
satu pun dari mereka memiliki surat kepemilikan tanah. Batas-batas tambit
(kepemilikan tanah) yang digunakan adalah penanaman tanaman perdu tinggi
Hanjuang (Cordyline sp) dan sungai. Penentuan batas ini merupakan kesepakatan
antar pemilik-pemilik lahan yang berbatasan langsung sehingga tidak timbul masalah
di kemudian hari.
Menurut informan dari Desa Kuala Lupak dan Sungai Telan, keberadaan
mereka dengan segala aktivitas sosial ekonominya mendahului penunjukan atau
penetapan kawasan hutan. Saat ini sebagian lahan kampung sedang diusulkan untuk
mendapatkan status Enclave, namun tidak sedikit lahan “milik” lainnya yang tidak
diusulkan dalam status enclave tetapi berada di dalam kawasan hutan
Di sisi lain, pihak pemerintah (instansi kehutanan pusat dan daerah)
bersikeras bahwa lahan-lahan yang dikuasai masyarakat berada dalam kawasan
hutan. Dokumen legal yang dimiliki KPHK Barito Kuala atas nama negara adalah
menurut Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (SK Menhut No. 247/Kpts-II/1984),
Peta Penunjukan Kawasan Hutan sesuai Permenhut No.453/1999 yang kemudian
direvisi dengan Permenhut No.435/2009. Inilah yang menjadi pemicu konflik lahan
hutan antara masyarakat dengan pihak kehutanan. Jadi, akar dari persoalan konflik
di kawasan hutan dapat dipadatkan dalam kalimat “tidak adanya kepastian
penguasaan tanah-tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat”.
Penunjukan status hutan setelah kehadiran masyarakat yang telah lebih
dahulu bermukim di wilayah tersebut menjadikan konflik penggunaan lahan semakin
komplek. Terkait dengan hal ini masyarakat sepenuhnya tidak bisa disalahkan karena
secara de facto masyarakat telah dahulu menguasai wilayah tersebut meskipun secara
101
de jure statusnya adalah kawasan hutan. Keberadaan dusun/kampung/desa definitif
di dalam kawasan hutan adalah realita di banyak daerah di Indonesia akibat dari
berbagai alasan atau latar belakang (kasus per kasus) yang perlu dipahami benar
guna penanganannya yang tepat dan adil. Keberadaan kampung di dalam kawasan
hutan bisa karena memang sudah ada sebelum ditetapkan sebagai kawasan, bisa
karena program pemerintah di masa lalu dan juga bisa karena pendudukan kawasan
hutan terutama pada masa reformasi. Disamping mempertimbangkan aspek
kesejarahan tersebut, adalah penting untuk pengkajian ulang mengenai penetapan
fungsi kawasan itu sendiri, serta manfaat kawasan bagi kehidupan masyarakat
(interaksi masyarakat dan lingkungannya). Bilamana muncul permasalahan, dituntut
perumusan solusi secara dialogis dan partisipatif khususnya pelibatan aktif
masyarakat/warga setempat. Pemerintah sendiri harus memberikan contoh kepada
masyarakat tentang komitmen, konsekuensi dan konsistensi terhadap setiap
keputusan yang diambil menyangkut penetapan fungsi kawasan hutan.
Hal lain yang mendorong terjadinya penguasaan tanah di dalam kawasan
hutan adalah adanya penetapan desa definitif sebanyak 34 buah dan 7 pemukiman
transmigrasi yang belum dienclave dikeluarkan dari kawasan hutan, akibatnya dalam
satu tapak yang sama terdapat dua kewenangan yaitu BKSDA Kalsel, dan
pemerintahan daerah (desa). Akibatnya dengan dalih untuk menyejahterakan
warganya, ada oknum membagi lahan hutan bagi warga, termasuk warga pendatang
dengan dalih yang disampaikan Bapak Junaedi berikut:
Selama ini kami melihat bahwa hutan yang katanya dikuasai pemerintah
tidak pernah dikelola pihak kehutanan, sehingga menjadi lahan tidur dan
tidak produktif. Disisi lain, masyarakat perlu lahan untuk dibudidayakan
demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, diantaranya untuk Tambak
Ikan Bandeng. Itulah alasannya kenapa lahan hutan tersebut dibagikan
102
kepada masyarakat. Namun pembagiannya berdasarkan kemampuan dan
keperluan masing-masing (wawancara tanggal 7 Mei 2015).
Dengan demikian, penolakan warga yang berhubungan dengan konflik lahan
menurut informan disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, sebagai buntut belum
dipenuhinya tuntutan warga kepada pihak pemerintah (Kehutanan) untuk
mengeluarkan lahan yang mereka kuasai dari status sebagai kawasan hutan (enclave),
sedangkan dari sisi pemerintah hanya akan melakukan enclave untuk lahan
pemukiman. Artinya lahan-lahan hutan yang telah digarap dan atau dikuasai tidak
akan berubah statusnya menjadi lahan milik, kecuali lahan seluas rumah yang
dimilikinya. Permasalahan tersebut sampai penelitian ini dilaksanakan belum selesai,
sehingga warga berkomitmen menolak apapun program kehutanan sebelum masalah
ini dituntaskan. Kedua, Adanya kekhawatiran warga kalau program kehutanan yang
akan masuk ke desanya sebagai upaya membujuk warga agar tidak melakukan
tuntutan atas lahan yang dikuasainya atau paling tidak menyetujui tawaran enclave
menurut versi pemerintah. Jadi, daripada termakan bujuk rayu pemerintah, lebih baik
tidak menerima sama sekali program kehutanan, dan yang ketiga, keterbukaan arus
informasi melalui media cetak dan media elektronik termasuk internet di zaman
reformasi menyebabkan masyarakat banyak mengetahui tentang persoalan klaim
lahan oleh masyarakat di daerah lain terhadap lahan hutan yang dikuasai negara atau
korporasi, sehingga menginspirasi mereka untuk melakukan tuntutan serupa. Kalau
dulu karena berada di bawah tekanan penguasa, masyarakat cenderung tidak berani
melakukan tuntutan apapun.
Akibat dari komitmen warga untuk menolak kegiatan kehutanan di
daerahnya, tentu akan berimbas kepada tidak terlaksananya program kehutanan yang
103
telah dan akan disusun, termasuk kegiatan KPHK Barito Kuala yang akan mulai
betul-betul beroperasi di tahun 2016.
Kondisi tersebut tentu saja sejalan dengan pendapat Freunden-berger (1994)
mengajukan tiga alasan status penguasaan tanah (lahan) sedemikian penting dalam
pogram manajemen sumber daya alam: pertama, penguasaan tanah itu berdampak
pada orang-orang yang memiliki akses terhadap sumber daya; kedua, penguasaan
tanah itu menentukan apakah orang mau ikut serta dalam aktivitas proyek itu atau
tidak; dan ketiga, penguasaan tanah itu berdampak pada distribusi manfaat program
itu.
Penyelesaian konflik memungkinkan adanya pengakuan berbagai pihak
terhadap kawasan hutan. Kalau sudah terjadi pengakuan tersebut, maka upaya
pembangunan hutan lestari akan lebih mudah tercapai. Hal ini sesuai dengan
pendapat Simon (2006:145), kunci tercapainya pengelolaan hutan yang lestari salah
satunya adalah kepastian batas kawasan hutan yang diakui oleh semua fihak. Oleh
karena itu adanya batas kawasan hutan yang tetap sangat penting, sebab kalau tidak
demikian kegiatan membangun hutan akan sangat terganggu karena masa
berproduksi hutan bersifat jangka panjang dan pengelolaannya tidak dapat diatur
untuk cepat mengalami perubahan dalam waktu singkat atau mendadak. Misalnya,
kalau tidak ada batas kawasan hutan yang tetap, pekerjaan membangun hutan dapat
sia-sia kalau sebelum waktu masak tebang batas kawasannya dilanggar untuk
kepentingan lain oleh masyarakat.
Kemampuan selanjutnya dalam ranah afektif menurut Krathwohl (1964: 180),
adalah valuing atau menilai. Sikap yang ditunjukkan pada tahap ini adalah kepuasan
hasil pemberdayaan, meyakini teknologi pengelolaan hutan yang tepat, memilih
104
teknologi dan mengusulkan perencanaan program perhutanan sosial.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil kegiatan yang dilaksanakan
dalam pemberdayaan masyarakat tergolong rendah, dengan nilai rata-rata 49,84.
Berdasarkan Gambar 21, sebagian besar responden atau sebanyak 59,68% responden
menyatakan tidak puas, dan sebanyak 4,84% responden menyatakan sangat puas,
8,06% responden menyatakan cukup puas, 8.1% responden menyatakan kurang puas
dan 15,32% menyatakan sangat tidak puas terhadap program pembangunan hutan
yang melibatkan masyarakat selama ini. Ketidakpuasan sebagian besar masyarakat
merupakan bentuk lain dari penolakan warga terhadap pembangunan hutan sebelum
adanya kepastian kawasan.
Gambar 21. Diagram Kepuasan Masyarakat Terhadap Kegiatan Pemberdayaan
Pada tahap selanjutnya diketahui tingkat keyakinan setelah mengikuti
agenda-agenda pengembangan kapasitas pemberdayaan masyarakat pengelolaan
hutan dalam tergolong sedang dengan nilai rata-rata 52,74, misalnya masyarakat
105
menjadi lebih yakin mengembangkan tanaman hutan, melakukan pemberantasan
hama dan penyakit dengan teknologi yang ramah lingkungan, mengajukan pendapat
dalam forum-forum pertemuan dan lebih berani memimpin forum karena telah
memiliki bekal-bekal kepemimpinan selama pelaksanaan siklus. Sebagian besar
responden atau sebanyak 39,52% responden menyatakan masih tidak yakin
masyarakat bisa berdaya dalam pembangunan hutan berbasis masyarakat, sebanyak
8,06% responden menyatakan sangat yakin, 27,42% responden menyatakan biasabiasa saja, 18,55% responden menyatakan sudah yakin dan sebanyak 6,45%
responden menyatakan sangat tidak yakin mampu melaksanakan pembangunan hutan
(Gambar 22).
Gambar 22. Diagram Tingkat Keyakinan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Ketidakyakinan masyarakat disebabkan masih adanya ketergantungan
terhadap perusahaan dan pemerintah, khususnya dalam pendanaan dan sarana
parasarana. Kalau dihubungkan dengan hasil penelitian, ketika program PMDH dan
comdev dilaksanakan, nampak masyarakat yang diberdayakan cenderung menjadi
tergantung dengan perusahaan ataupun pemerintah pelaksana program. Di kalangan
106
peserta muncul ketergantungan terhadap petugas penyuluh yang merepresentasikan
pemerintah atau fasillitator perusahaan yang melaksanakan program comdev. Ini
tercemin dari penuturan beberapa peserta yang selalu mengharapkan bantuan pupuk,
obat-obatan, bibit dan beberapa peralatan lainnya.
Persepsi sebagian besar
masyarakat terhadap istilah Proyek yang dikaitkan dengan bantuan cuma-cuma
mengakibatkan
adanya
kesan
keberhasilan
bukanlah
prioritas
utama.
Ketergantungan kepada ketua kelompok juga masih kuat, sehingga menyebabkan
kurangnya kreatifitas petani karena hanya mengandalkan seseorang yang dianggap
lebih pintar dan lebih bisa menguasai keadaan dari yang lain.
Hal ini dapat
mengakibatkan sikap malas pada anggota kelompok dan kurang memotivasi mereka
untuk mengembangkan lahannya
Ini berarti bahwa pembinaan dan bantuan selama ini yang sebenarnya
dimaksudkan untuk merangsang dan menumbuhkan kemandirian peserta, tetapi yang
sebaliknya terjadi adalah muncul ketergantungan warga masyarakat. Dengan kondisi
ini, pembinaan dan bantuan terhadap masyarakat desa masih memerlukan waktu
yang relatif lama, memerlukan kesabaran dan berusaha untuk mengusahakan mereka
sampai dapat memetik hasilnya. Pada masyarakat pedesaan kebanyakan, mereka
masih memerlukan bukti bahwa program yang ditawarkan memang memberikan
hasil yang positif terlebih dahulu. Penegasan ini penting mengigat selama ini mereka
dalam melaksanakan kegiatan perladangan berpindah tidak pernah berkenalan
dengan berbagai produk teknologi pertanian, keculai pupuk kandang yang berasal
dari kotoran ternak. Di samping itu perlu perubahan paradigma istilah keproyekan
sebagai kegiatan bantuan cuma-cuma menuju kepada kesadaran bahwa proyek
sifatnya hanya sementara dan pancingan yang nantinya kegiatan selanjutnya tumbuh
dari kesadaran masyarakat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan sampai
pembiayaan.
Keyakinan terhadap kemampuan dalam mengelola hutan dilanjutkan dengan
107
kemampuan memilih teknologi, model dan pola apa saja yang tepat untuk
dilaksanakan. Pada tahap ini tingkat kemampuan memilih dengan pertimbangan yang
tepat tergolong sedang dengan nilai rata-rata 55,81. Sebagian besar responden atau
sebanyak 64.5% responden menyatakan cukup mampu, dan sebanyak 21%
responden menyatakan kurang mampu, 6.5% responden menyatakan biasa-biasa saja,
8.1% responden menyatakan kurang mampu dan tidak ada responden yang
menyatakan tidak mampu mengelola hutan berbasis masyarakat.
Pada tahap ini masyarakat sudah mampu memilih berbagai teknologi dalam
pengelolaan hutan. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan petani bisa memilih
menggunakan pestisida alami dari daun mimba dalam membasmi hama ulat daun
pada tanaman gaharu, memilih tanaman yang cocok untuk dikembangkan dalam pola
tumpang sari, memilih teknik silvikultur yang digunakan dalam budidaya tanaman.
Tingkatan Valuing masyarakat terhadap pelaksanaan program pemberdayaan
juga terlihat dari tingkat kekritisan warga dalam menyampaikan usulan atau kritik
terhadap program-program yang dijalankan. Meskipun apabila dilihat secara lebih
dekat dapat diketahui bahwa warga yang kritis hanya personil itu-itu saja yang
notabene merupakan kelompok elite warga yang antara lain terdiri dari tokoh agama,
tokoh masyarakat, tokoh pemuda, perangkat desa, dan pegawai, namun adanya
kelompok warga yang kritis bisa dijadikan sebagai pendorong dan pemacu serta
sumber pembelajaran bagi anggota masyarakat yang lain untuk lebih peduli terhadap
permasalahan dalam komunitasnya.
Pada tingkatan organisasi (organization), direflesikan dalam bentuk
keberanian petani mengambil keputusan dalam mengkombinasikan berbagai bentuk
perlakuan pembuatan tanaman hutan (bibit), mengkombinasikan pola agroforestri
108
yang tepat, menata pola tanam berdasarkan keruangan (spasial) dan waktu,
membandingkan keuntungan dan kekurangan pupuk organik dan anorganik, dan
mengelola hutan berbasis masyarakat.
Tingkat keberanian masyarakat untuk bertanggungjawab dalam setiap
pengambilan keputusan tergolong sedang dengan skor 60,32, misalnya keputusan
untuk menentukan pemanfaatan dana dan keputusan untuk menentukan prioritas
kegiatan. Sebagian besar responden atau sebanyak 38,71% responden menyatakan
cukup berani dalam memutuskan sesuatu keputusan untuk kepentingan masyarakat
sekitarnya, dan sebanyak 20,97% responden menyatakan berani, 11.29% responden
menyatakan biasa-biasa saja, 20,97% responden menyatakan kurang berani dan
sebanyak 18.55% responden menyatakan tidak berani memutuskan sesuatu untuk
kepentingan masyarakat sekitarnya (Gambar 23).
Gambar 23. Diagram Keberanian Masyarakat Dalam Pengambilan Keputusan
109
Pada tingkatan yang terakhir yaitu characterization by value set atau value
complex berkaitan dengan pengamalan yang didasarkan kepada nilai moral.
Pengamalan berhubungan dengan pengorganisasian dan pengintegrasian nilai-nilai
ke dalam suatu sistem nilai pribadi (Suciati,2005:45). Pada tingkat ini, masyarakat
bukan saja telah mencapai perilaku-perilaku pada tingkat yang lebih rendah, tetapi
telah mengintegrasikan nilai tersebut ke dalam suatu filsafat hidup yang lengkap,
meyakinkan, dan perilakunya akan selalu konsisten dengan filsafat hidup tersebut.
Filsafat hidup tersebut merupakan bagian dari karakter.
Tingkatan ini direflesikan dalam bentuk perubahan perilaku yang meyakini
bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi umat manusia dan lingkungannya,
maka dia berusaha mempertahankan kelestarian hutan, menanam hutan, dan
mencegah hal-hal destruktif terhadap hutan. Sayangnya anggota masyarakat yang
memiliki tingkatan ini hanya dikatagorekan rendah (skor 44,87). Keyakinan ini
hanya diperlihatkan oleh kelompok tani dan masyarakat di Desa Sungai Telan yang
dimotori Bapak Basrani. Dalam penelitian ini, karena figur Kepala Desa Sungai
Telan bekerja keras sangat mendukung dan mempertahankan kawasan hutan agar
tidak dialih fungsi. Oleh sebab itu, pemerintah memberikan berbagai penghargaan
(sebagai bentuk reinforcement) terhadap mereka yang berprestasi. Sebagai reward
terhadap mereka yang berprestasi tersebut, Bapak Baserani Kepala Desa Sungai
Telan mendapat penghargaan dari pemerintah seperti Kepala Desa Peduli Hutan
Wana Lestari dari Kementerian Kehutanan, KT Karya Muda Mandiri sebagai Juara
II Hutan Rakyat Tingkat Provinsi, dan KT Sejahtera Lestari sebagai Juara III Kanitap
terbaik Tingkat Provinsi. Hal ini sesuai dengan teori dorongan berprestasi (need for
110
achievement/n-Ach) dari David McClelland yang menyampaikan konsep kebutuhan
untuk berprestasi.
Bagi personal anggota kelompok tani, pengurus dan aparat desa yang
berprestasi harus mendapat perhatian dan penghargaan atas prestasinya baik secara
formal maupun non formal, semakin sering tindakan khusus seseorang diberi hadiah,
semakin besar kemungkinan orang melakukan tindakan itu. Di lokasi penelitian, kita
dapat melihat figur Kepala Desa Sungai Telan misalnya merupakan pribadi-pribadi
yang yang memiliki dorongan berprestasi tinggi, dan mampu memotivasi warganya
untuk berpartisipasi aktif dalam mempertahankan kawasan hutan di wilayahnya,
bahkan melakukan rehabilitasi hutan. Begitu juga dengan para pelaku pemberdayaan
(penyuluh, fasilitator) mestinya memang memiliki hal tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek
afektif masyarakat sebagaimana dapat diihat pada Gambar 24.
111
Gambar 24. Kemampuan Afektif Masyarakat (diadaptasi dari model Taksonomi
Bloom (1956)
c. Keberdayaan Masyarakat berdasarkan Kemampuan Psikomotorik
Hasil penilaian terhadap kemampuan psikomotorik masyarakat sebagaimana
dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Kemampuan Psikomotorik Masyarakat
No
1
2
3
4
5
Indikator
Peniruan (imitation)
Manipulasi (manipulation)
Presesi (Precesion)
Artikulasi (Articulation)
Naturalisasi (Naturalization)
Rata-rata
Skor
74.78
75.04
72.26
66.87
64.78
70.75
Kriteria Penilaian
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
112
Untuk katagore peniruan, petani termasuk mempunyai keterampilan yang
sedang dengan skor 74,78. Pada tahun 2003, berdasarkan sosialisasi, promosi dan
penyuluhan yang dilakukan, masyarakat banyak yang tertarik untuk menanam Jati.
Kala itu berbagai jenis Jati di tawarkan seperti Jati super, Jati Plus, Jati Supra, dan
Jati Emas. Berhubung keterbatasan anggaran pemerintah, maka hanya bisa dibangun
2 unit seluas 50 ha di Desa Sungai Telan dan Desa Kuala Lupak. Menurut data hasil
penilaian tanaman, pertumbuhan pada tahun pertama (t+1), persentase hidupnya
berkisar antara 95,83%-98,50% dengan kondisi tanaman sehat rata-rata 97,50%. Ini
berarti pada umur 1 tahun tanam dikatagorekan berhasil mengacu Pedoman
Direktorat Bina Program Ditjen RRL Departemen Kehutanan. Pada tahun 2004,
masyarakat beramai-ramai meniru menanam Jati, baik melalui dana swadaya
maupun kerjasama dengan pemodal dengan sistem bagi hasil.
Hal yang sama juga terjadi pada saat gencar-gencarnya disosialisasikan
penanaman Gaharu dengan kemungkinan keuntungan yang sangat fantastis di tahun
2005, masyarakat pun ikut meniru menanam Gaharu di lahan garapannya. Menurut
informan Bapak Baserani menyampaikan proses peniruan masyarakat dalam
menanam Gaharu sebagai berikut:
Saya mengikuti pelatihan budidaya Gaharu tahun 2004 di Martapura yang
diadakan oleh BPDAS Barito yang ditindaklanjuti dengan pengajuan
proposal. Pada tahun 2005, proposal kami diterima dan disetujui mendapat
pendanaan sebanyak 3 unit seluas 75 ha. Namun hanya 1 unit yang bisa kami
laksanakan, karena 2 kelompok tani lainnya mengurungkan niatnya
melaksanakan karena khawatir gagal dan menjadi pekerjaan sia-sia seperti
proyek sebelumnya. Saya bersama anggota kelompok tani yang saya pimpin
tetap berkomitmen menanam Gaharu, dan Alhamdulillah pada saat
dilakukan evaluasi oleh penilai independen, tanaman Gaharu kami
dinyatakan berhasil dengan persentase hidup 100%. Pada tahun berikutnya
kami mendapat kembali kesempatan untuk mengerjakan 2 paket Agroforestri
berbasis Gaharu seluas 50 ha. Melihat keberhasilan yang kami lakukan,
banyak warga masyarakat Desa Sungai Telan dan desa tetangga lainnya
yang tertarik dan meniru menanam Gaharu bahkan dengan dana sendiri
113
hingga saat ini di Desa Sungai Telan, Kuala Lupak, Tabunganen Kecil, dan
Tabunganen Muara mencapai luas tanam sekitar 500 ha dengan jumlah
tanaman tidak kurang dari 100.000 pohon (wawancara tanggal 27 Mei
2015).
Sebenarnya kategori peniruan yang paling nyata adalah pembangunan Sawit
Rakyat, karena dilakukan tanpa melalui proses penyuluhan dan dengan biaya sendiri.
Masyarakat meniru dengan melihat keberhasilan petani lainnya dalam menanam
karet. Fakta di lapangan, semakin luas kebun Sawit maka semakin tinggi
kesejahteraan hidupnya. Sehingga menimbulkan keinginan warga lainnya untuk ikutikutan menanam Sawit.
Berdasarkan paparan informan tersebut, dapat diyakini bahwa proses
peniruan ini termasuk kemampuan psikomotorik kategori imitasi atau peniruan yang
menurut (Dave,1975:82) menunjukkan perilaku yang meniru tindakan dari yang
ditunjukkan orang lain, mengamati kemudian mereplikasi. Hal ini sejalan dengan
teori difusi inovasi penyuluhan sebagai suatu perembesan atau penyebaran adopsi
inovasi dari satu individu yang telah mengadopsi ke individu lain dalam system
sosial masyarakat sasaran penyuluhan yang sama (Anonim, 2000:8). Sebagian besar
masyarakat yang meniru atau mengadopsi merupakan golongan yang melihat dulu
keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan yang dilakukan oleh golongan yang
disebut Rogers (1971) sebagai perintis atau innovator yang dalam hal ini adalah
Bapak Suroso dan anggota kelompok taninya sebagai golongan penerap dini atau
pelopor (early adopter). Golongan yang ikut mengadopsi ini oleh Rogers (1971)
dianggap sebagai penganut dini atau early majority dan golongan penganut lambat
(late majority).
Hal tersebut sejalan dengan teori yang dikemukakan Bandura (2001:17)
tentang teori belajar social yang mengatakan bahwa proses peniruan tersebut sebagai
114
proses modelling, dimana kebanyakan perilaku manusia dipelajari sebagai hasil
pengamatan. Dari berbagai proses pengamatan membentuk sebuah perilaku yang
akan digunakan sebagai patokan dalam bertindak. Lebih lanjut Sugiyono dan
Hariyanto (2011:66-67) menyebutkan proses modelling ditentukan oleh beberapa
komponen tahapan-tahapan berupa adanya attensi (perhatian) artinya apabila ingin
mempelajari sesuatu harus memerhatikannya dengan seksama, penuh konsentrasi dan
kesungguhan. Selanjutnya retensi (ingatan) artinya agar modelling berhasil maka
harus ada usaha dan kemampuan mengingat dan mempertahankan kegiatan atas apa
yang telah diamati. Adanya motivasi berupa dorongan dan alasan-alasan tertentu
yang mendorong seseorang melakukan peniruan.
Aspek psikomotorik berikutnya berkaitan dengan manipulation (Dave, 1975)
atau diistilahkan oleh Simpson (1972) sebagai reaksi yang diarahkan (Guided
Response). Dalam hubungannya dengan kemampuan masyarakat, hal ini berkaitan
dengan keterampilan mereka dalam membangun demplot Agroforestri berbasis Jati,
demplot Agroforestri berbasis Gaharu, atau demplot Agroforestri berbasis Karet
berdasarkan arahan, petunjuk, atau manual. Pada tahap ini biasanya pada awalnya
penyuluh menyampaikan informasi tentang program kehutanan yang sedang
diluncurkan, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Kebun Bibit Rakyat,
atau Hutan Tanaman Rakyat. Dengan arahan penyuluh atau fasilitator, masyarakat
mulai menyusun proposal sesuai skema pendanaan masing-masing. Biasanya
penyuluh membuat “master file” yang berisi contoh dokumen surat permohonan,
daftar nama kelompok, deskripsi wilayah yang diambil dari data profile desa, dan
proposal. Kelompok tani tinggal menyesuaikan dengan kondisi masing-masing
dengan bimbingan penyuluh. Menurut informan Bapak Riza Ali (penyuluh):
115
Kelompok Tani mempunyai keterbatasan dalam hal administrasi dan
menyusun proposal, walaupun disetiap desa sudah memiliki perangkat
komputer bantuan Pemda. Agar program bisa jalan, maka kami yang
jemput bola ke desa binaan yang berminat mengajukan proposal kegiatan
kehutanan. Di samping kami serahkan CD file, kami tetap melakukan
pendampingan mengarahkan mereka hingga proposal diantar ke BPDAS
Barito atau Dishut Barito Kuala. Kalau tidak seperti itu, sedikit sekali
kemungkinan proposal bisa selesai (wawancara tanggal 5 Juni 2015).
Pada tahapan kegiatan fisik, masyarakat sudah trampil melakukan pekerjaan
sesuai instruksi tertulis atau verbal. Sebagai contoh, masyarakat bisa membuat bibit
tanaman proyek KBR sesuai standar perbenihan tanaman hutan. Misalnya untuk jenis
Jelutung dipersyaratkan bibit Jelutung Satu - Dua Payung berbatang tunggal siap
tanam, batang atas (entrys) berasal dari kebun entres yang sudah dimurnikan oleh
instansi berwenang dengan klon anjuran, bibit Jelutung batang bawah (rootstock)
yang diokulasi sudah berumur minimal 9 bulan, umur bibit minimal 2,5 bulan (dalam
polybag) berwarna hitam, ukuran minimal 25 x 13 cm, tebal minimal 0,06 mm
diberi lubang, tinggi bibit minimal 50 cm, keadaan bibit bebas dari hama dan
penyakit. Begitu pula bibit Gaharu harus bibit generatif berasal dari sumber benih,
tinggi bibit minimal 50 cm, diameter pangkal batang bibit minimal 5 mm, media
tumbuh kompak, dan kondisi bibit normal, yaitu bibit yang sehat, berbatang tunggal
dan leher akar berkayu. Untuk mencapai persyaratan tersebut, petani mendapat
arahan dari penyuluh langsung baik secara teori maupun praktek di persemaian.
Hal lainnya berupa keterampilan menggunakan alat ukur GPS untuk
membuat
peta,
melakukan
pemberantasan
gulma
menggunakan
herbisida
(pembakaran minimal), menanam bibit pohon yang baik dan benar, menggunakan
phi band untuk mengukur diameter pohon, menghitung potensi kayu, membuat
pupuk kompos bokashi, memelihara tanaman hutan, mencegah dan memadamkan
kebakaran hutan, membuat terasering, dan membuat biogas. Pada awalnya mendapat
116
arahan dan pendampingan dari penyuluh atau membaca manual aturan penggunaan,
yang kemudian meningkat pada keterampilan tahap precision, dimana kelompok tani
sudah trampil melakukan tanpa arahan atau instruksi langsung. Untuk keterampilan
menggunakan GPS sudah 35% anggota kelompok yang mahir mengoperasikannya,
trampil melakukan penyemprotan gulma tanpa membakar 87%, trampil menanam
bibit 93,5%, trampil menggunakan phiband 86,5%, menghitung potensi kayu 18,5%,
membuat pupuk organik 22,3%, memelihara tanaman hutan 32,5%, mencegah dan
memadamkan kebakaran hutan 28,7%, membuat biogas 18,2%, membuat terasering
21,5%, dan trampil membuat dokumen tata usaha kayu 1 orang.
Kemampuan
psikomotorik
berikutnya
adalah
artikulasi,
dimana
dideskripsikan sebagai kemampuan mengintegrasikan keahlian, mengkoordinasikan
serangkaian tindakan, mencapai harmonisasi, dan konsistensi internal. Pada tahap ini
salah satu contohnya direflesikan dalam bentuk kemampuan kelompok tani di Desa
Sungai Telan membangun sistem pertanian terpadu biocyclofarming (BCF) pola
agrosilvopasture secara sederhana. Bio Cyclo Farming (BCF) adalah suatu proses
keterpaduan antar sektoral pada bidang pertanian yang saling memanfaatkan sisa dari
proses pengelolaan dari suatu sektor, yang kemudian dimanfaatkan kembali pada
sektor lainnya untuk menghasilkan suatu manfaat lain yang berguna. BCF akan
dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan, yakni dengan mereduksi
keberadaan limbah pada lingkungan. Sehingga dengan demikian dapat mengurangi
pencemaran lingkungan, dan dapat menjaga kelestarian lingkungan disekitarnya
(Utomo, 1989). Dalam hal ini petani mengintegrasikan keterampilan pengelolaan
lahan dengan mengkombinasikan budidaya tanaman pangan, tanaman hutan,
beternak, dan membuat pupuk dalam satu siklus yang saling berkaitan. Menurut
117
Aryadi & Fauzi (2015:553), limbah dari kegiatan pertanian, kehutanan dan
peternakan kemudian dibuat kompos dan biogas untuk meningkatkan hasil pertanian
dan
pemenuhan
kebutuhan
energi. Teknologi pertanian terpadu ini dirancang
sebagai suatu proses multiple cropping yang dapat menghasilkan produksi sepanjang
tahun yang terdiri dari: Panen harian yang diperoleh dari telur unggas dan karet;
Panen bulanan berupa hasil tanaman sayuran; Panen musiman yang diperoleh dari
budidaya tanaman pangan seperti
padi,
jagung
dan
kedelai;
Panen tahunan
dari budidaya sapi; Panen winduan dari hasil budidaya jati dan sengon.
Keterampilan artikulasi lainnya yaitu dalam hal pembukaan lahan. Kalau
dulunya dengan sistem pembakaran tidak terkontrol, maka sekarang petani sudah
menggunakan prinsip-prinsip pembakaran terkontrol, dimana semak belukar yang
sudah ditebas dikumpulkan dalam satu tempat kemudian dibakar dan dijaga agar
jangan sampai membakar lahan lain. Mereka juga menerapkan system pembakaran
“bakar balas” yaitu membakar areal terluar sedemikian rupa sehingga api menuju
bagian dalam areal. Keterampilan ini terintegrasi dengan keterampilan penyemprotan
lahan menggunakan herbisida, sehingga pembakaran lahan bisa diminimalkan. Kalau
pun harus membakar biasanya batang, cabang dan ranting pohon yang tidak bisa
disemprot.
Sayangnya, pada katagore artikulasi ini hanya dilakukan oleh 34,7%
responden, sedangkan selebihnya belum memiliki keterampilan tersebut. Pada
umumnya keterampilan artikulasi dilakukan oleh mereka yang memang sudah dari
awal termasuk katagore innovator dan penerap dini sebagaimana dijelaskan pada
bagian keterampilan imitation (peniruan).
118
Katagore paling tinggi dari keterampilan psikomotorik adalah naturalization,
dimana menurut Dave (1975), dideskripsikan sebagai performa tingkat tinggi,
menjadi natural tanpa memerlukan banyak berpikir tentang hal tersebut. Ketika
menghadapi suatu persoalan atau pekerjaan maka secara alamiah sudah mahir untuk
mengatasinya, mampu merancang, menspesifikasi dan mengelola dengan baik.
Kelompok masyarakat pada katagore ini memiliki kreativitas yang tinggi, tanpa
tergantung dengan penyuluh atau fasilitator. Golongan masyarakat pada tingkat ini
termasuk katagore sedang (skor 64,52)
Tingkat kreativitas masyarakat dalam bentuk pemunculan ide-ide baru
tergolong sedang, dengan nilai rata-rata 64,52, dimana sebagian masyarakat suka
menyampaikan ide-idenya untuk pembangunan desanya misalnya penataan sistem
irigasi yang lebih baik, namun banyak juga warga yang masih tidak bisa secara
langsung merumuskan ide-idenya untuk kemajuan komunitasnya. Sebagian besar
responden atau sebanyak 33.06% responden menyatakan sering menyampaikan ideide baru untuk pembangunan lingkungannya, dan sebanyak 20,97 % responden
menyatakan selalu mendapatkan ide-ide baru, 8,87% responden menyatakan kadangkadang menyampaikan ide-ide baru, 15,32% responden menyatakan jarang dan
sebanyak 21,77% responden menyatakan tidak pernah mendapatkan ide-ide baru
(Gambar 25).
119
Gambar 25. Diagram Kreativitas Masyarakat dalam Pembangunan Hutan
Kreativitas juga dilihat dari kemampuannya menggunakan keterampilan
dan pengetahuan yang diperoleh. Misalnya dalam pemberantasan gulma
menggunakan herbisida, kalau 100% memakai herbisida biayanya tentu akan
sangat mahal. Kemudian, ada anggota masyarakat yang menambahkan pupuk urea
dalam campuran herbisida, hasilnya disamping lebih murah juga waktu tumbuhnya
gulma kembali setelah mati gulma akan lebih lambat.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat tahapan capaian aspek
psikomotorik masyarakat sebagaimana dapat diihat pada Gambar 26.
120
Gambar 26. Kemampuan Psikomotorik Masyarakat (diadaptasi dari model
Taksonomi Bloom versi Dave (1975)
d. Keberdayaan Masyarakat berdasarkan Perilaku
Sebagaimana dijelaskan pada uraian terdahulu bahwa pemberdayaan
masyarakat berkaitan dengan perubahan perilaku masyarakat yang diberdayakan.
Berdasarkan hasil penilaian setiap komponen perilaku (pengetahuan, sikap,
keterampilan), maka dapat diketahui rekapitulasi hasil penilaian sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Rekapitulasi Hasil Penilaian Perilaku Masyarakat
No.
1.
2.
3.
Variabel
Tingkat kemampuan kognitif
Tingkat kemampuan psikomotorik
Tingkat kemampuan afektif
Rata-rata
Skor
71,22
70,75
52,42
64,79
Tingkat Penilaian
Sedang
Sedang
rendah
sedang
121
Berdasarkan Tabel 25, aspek pengetahuan dan keterampilan masyarakat
untuk terlibat dalam pembangunan hutan tergolong sedang, namun tidak didukung
oleh perilaku sikap yang termasuk katagore rendah. Sikap yang rendah ini
disebabkan oleh beberapa faktor, namun yang paling mengemuka di tingkat
masyarakat adalah masalah land tenurial yang sampai penelitian ini belum
terselesaikan dengan baik.
Penguasaan ketrampilan dapat menimbulkan perubahan sikap. Demikian juga
dengan bertambahnya pengetahuan dapat menumbuhkan sikap yang baik terhadap
materi belajar dan proses belajar. Kondisi afektif adalah merupakan perasaan yang
dimiliki oleh individu yang meliputi aspek minat, respon, semangat, jiwa kejuangan
yang berkaitan dengan tata nilai/norma dan diharapkan dapat diintervensi untuk
mencapai keberdayaan dalam bentuk sikap. Kemampuan psikomotorik merupakan
kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya mendukung
masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan. Dari ranah
psikomotorik, masyarakat di lokasi penelitian sudah memiliki keterampilan yang
tinggi dalam pembangunan hutan.
Terjadinya keberdayaan pada ketiga aspek tersebut (kognitif, afektif dan
psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada terciptanya kemandirian
masyarakat yang dicita-citakan. Karena dengan demikian, dalam masyarakat akan
terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang
memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan
kebutuhannya.
Masyarakat berdaya harus mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu
kelompok atau organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan
122
kepentingannya. Di dalam kelompok atau organisasi, masyarakat secara bebas dan
terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan
pemenuhan kebutuhannya baik dalam penentuan sikap politiknya, pengembangan
dan peningkatan skala usahanya (ekonomi), menentukan pola interaksi dan jaringan
sosial maupun menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat. Agar mampu
mengintegrasikan keempat dimensi (politik, sosial, ekonomi dan lingkungan), maka
masyarakat harus memiliki sifat-sifat seperti, bebas merdeka sebagai pribadi yang
luhur, memahami diri dan lingkungannya, proaktif untuk mau bersama, menganggap
pihak lain sebagai mitra, jujur, adil dan bertanggung jawab serta memposisikan
dirinya sebagai subjek.
Keberdayaan masyarakat dari aspek perilaku di kawasan hutan KPHK Barito
Kuala merupakan indikator bahwa program-program pemberdayaan selama ini masih
perlu ditingkatkan. Pada hal jika dirunut sejak tahun 1988-sekarang program
pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan pelesetarian hutan sudah cukup
banyak, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten. Program yang sering
dilakukan dan menelan biaya miliyaran rupiah itu seperti program reboisasi,
pengahijauan, HTI dan sekarang berjalan program Gerakan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan (Gerhan). Semua program tersebut selalu mensyaratkan pelibatan masyarakat
melalui kelompok-kelompok.
Masyarakat di lokasi penelitian pada dasarnya memiliki kemampuan yang
memadai dalam melakukan kegiatan yang sudah menjadi rutinitas dalam
kesehariannya. Mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam bertani,
beternak dan memahami secara baik manfaat dan status keberadaan kawasan hutan.
Berdasarkan analisis data menunjukkan 94 % responden menyadari dan memahami
status dan fungsi hutan serta akibat yang ditimbulkan jika hutan rusak dan
123
memahami bahwa sistem bertani yang dilakukan saat ini tidak cukup memadai untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya jika sarana dan prasarana pendukung tidak
tersedia.
Secara umum pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya masyarakat untuk
mengenal, menggali dan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan berbuat sesuai
dengan harkat dan martabat sebagai manusia di dalam melaksanakan tanggungjawab
dan menerima serta memanfaatkan hak-haknya sebagai komunitas manusia dan
warga negara.
Pemberdayaan dalam penelitian ini merupakan proses pembelajaran yang
diberikan kepada individu terutama orang dewasa agar terjadi perubahan perilaku.
Dalam pendidikan orang dewasa, pandangan tentang orang dewasa itu bukanlah
seperti cangkir kosong yang tidak mengetahui apa-apa melainkan “secangkir air “
yang memiliki pengetahuan dalam bentuk pengalaman.
Mengacu pada pengertian penyuluhan kehutanan itu sendiri yang merupakan
proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan
mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar,
teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas, efisiensi, usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan
kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan melalui peningkatan pengetahuan,
keterampilan dan sikap. Maka jelaslah bahwa dalam penyuluhan tujuan pendidikan
tidak hanya pada kognitif saja tapi juga pada peningkatan kemampuan afektif dan
psikomotorik. Oleh karena itu, taksonomi yang lebih tepat adalah taksonomi Bloom.
Sebagaimana disebutkan oleh Wilson (dalam Sumaryadi, 2005) tentang
empat tahapan dalam proses pemberdayaan masyarakat, yaitu tahap awal berupa
penyadaran (awakening), tahap kedua sudah mengarah kepada pemahaman
(understanding), tahap ketiga sudah menuju pada ranah pemanfaatan (harnessing)
dan tahap yang terakhir yaitu menjadikan proses-proses dalam pemberdayaan
124
masyarakat sebagai suatu kebiasaan
(using), maka
perkembangan proses
pemberdayaan masyarakat di desa lokasi penelitian baru pada tahap penyadaran,
kecuali di Desa Sungai Telan yang sudah mengarah kepada pemahaman. Setelah
masyarakat menyadari dan mengerti tentang pemberdayaan maka mereka
memutuskan untuk menggunakannya bagi kepentingan komunitasnya.
Untuk dapat dikatakan mencapai tahapan pembiasaan, masyarakat masih
membutuhkan lebih banyak pembelajaran untuk meningkatkan kapasitas mereka
sehingga dapat dinyatakan siap untuk secara penuh bertangggungjawab dalam
pengelolaan pembangunan di tingkat komunitas atau dalam lingkup desa. Selama ini
tingkat ketergantungan masyarakat desa di lokasi penelitian untuk minta diarahkan
oleh fasilitator pendamping masih tinggi, dimana ketika peran fasilitator berkurang
maka aktivitas dalam masyarakat pun belum benar-benar dapat berjalan secara
mandiri.
Ditinjau dari sisi individu masyarakatnya, maka sebuah komunitas dapat
dikatakan berdaya apabila masing-masing individu masyarakat telah memahami
konsep pemberdayaan yang ada sehingga dapat tergerak untuk berperan aktif di
dalamnya dan lama kelamaan hal tersebut menjadi sebuah budaya dan mendarah
daging dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Individu-individu masyarakat Desa
lokasi penelitian yang selama ini aktif terlibat atau peduli terhadap program
pemberdayaan masyarakat masih didominasi oleh tokoh-tokoh masyarakat, tokoh
agama, aktifis pemuda, perangkat desa dan tokoh perempuan, sedangkan keterlibatan
individu lain seperti warga miskin dan kelompok rentan lainnya masih kurang,
bahkan bisa dikatakan sedikit sekali terlibat.
125
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan dari penelitian yang ini maka berdasarkan hasil dan
pembahasan yang sudah diuraikan pada bab sebelumnya dapat dikemukakan
kesimpulan sebagai berikut
1) Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat atau meningkatkan kualitas masyarakat harus memperhatikan atau
memahami kondisi masyarakat termasuk aset-aset yang ada di dalamnya.
Kondisi modal sumber daya ditandai dengan sarana fisik di sekitar kawasan
hutan masih cukup tersedia (skor 57,05), modal sumberdaya manusia tergolong
sedang (skor 54,62), modal sosial termasuk kategori sedang (skor 65.95), modal
finansial tergolong sedang (56,89), dan modal sumberdaya hutan termasuk tinggi
(78,73).
2) Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang
masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka
tidak hanya melihat hutan sebagai sumber daya potensial saja, melainkan
memang merupakan sumber pangan, obat-obatan, energi, sandang, lingkungan
dan sekaligus tempat tinggal meraka. Bahkan ada sebagian masyarakat
tradisional yang meyakini bahwa hutan memiliki nilai spiritual, yakni percaya
bahwa hutan atau komponen biotik dan abiotik yang ada di dalamnya sebagai
obyek yang memiliki kekuatan dan/atau pesan supranatural yang mereka patuhi.
Bentuk interaksi masyarakat yang berdomisili di dalam wilayah KPHK Kuala
Lupak adalah memungut (mengekstraksi) hasil hutan (kayu dan bukan kayu),
126
memanfaatkan lahan (kebun buah, perladangan, sawah, wanatani pekarangan,
dan tambak ikan).
3) Hasil evaluasi kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap
kemampuan penyuluh kehutanan, masyarakat yang diberdayakan, dan proses
pemberdayaan.
a) Kemampuan
penyuluh
kehutanan
sebagai
pelaku
pemberdayaan
menunjukkan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik tergolong
sedang.
b) Perilaku masyarakat yang diberdayakan dilihat dari aspek kognitif dan
psikomotorik tergolong sedang, sedangkan kemampuan afektif rendah.
c) Keterlibatan masyarakat dalam proses pemberdayaan masih rendah yang
ditunjukkan dari katagore identifikasi masalah, perencanaan, organisasi dan
evaluasi.
B. Saran
1.
Saran Teoritik
Saran teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut:
a)
Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pembelajaran perlu menggunakan
teori-teori pembelajaran yang menghasilkan perubahan perilaku positif. Dengan
teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi yang dikemukakan Edward Lee
Thordike (1928) dalam (Tomlinson, 1997:368)maka respon masyarakat untuk
bersikap menerima atau tidak terhadap program pemberdayaan masyarakat
dalam pengelolaan hutan harus distimulus dengan pemberian peran dalam proses
pemberdayaan, pengakuan atas lahan kelola masyarakat, penghargaan atas
127
prestasi, dan peran aktif pelaku pemberdayaan sebagai ujung tombak
pembangunan kehutanan. Dengan menggunakan teori pengkondisian operan
(operant conditioning) yang dikemukakan B.F Skinner (1904-1990) dapat
meningkatkan sebuah perilaku dan mengulanginya kembali melalui adanya
penguatan (reinforcement), seperti penghargaan,hadiah, dan pujian.
Dengan
teori belajar Sosial (social learning) yang dikemukakan Albert Bandura
(Bandura, 2001:11), pembelajaran dalam pemberdayaan dapat dilakukan melalui
aktivitas peniruan (imitation) dan penyajian-penyajian contoh perilaku
(modelling).
b) Perlunya menambahkan ranah relasisebagai bagian dalam proses pembelajaran
dalam taksonomi Bloom (1956) dan (Krathwohl, 2002)yang sebelumnya
meliputi ranah kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik
(keterampilan).Karena kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik seseorang
terbatas pada faktor internal yang berkaitan dengan perasaan dan proses
merasakan dalam diri seseorang (personal), padahal dalam pembelajaran juga
perlu menghasilkan kemampuan sosial (komunitas/masyarakat) berkaitan erat
dengan kepedulian antar sesama, kerjama, membangun hubungan yang
harmonis, dan proses interaksi seseorang dengan orang lain di sekitar atau
lingkungan sekitar. Kemampuan seseorang untuk merasakan hal-hal positif dan
negatif dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap sikap seseorang.
c)
Dalam pemberdayaan harus dimulai dengan mengedepankan hati, emosi,
perasaan (sikap), karena walaupun sudah memiliki pengetahuan (kognitif) dan
keterampilan (psikomotorik) yang tinggi maka pengelolaan hutan tidak akan
berjalan dengan baik bahkan mengalami penolakan sebagaimana ditemukan
128
dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, point utama yang dapat mendorong
sikap (hati) masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan adalah penyelesaian
konflik lahan hutan, disamping tentu saja faktor penyebab lainnya. Apabila hati
telah menerima dengan baik, maka pengetahuan dan keterampilan akan dapat
dengan mudah diterima. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat yang
sikap (hati)-nya mau menerima program kehutanan memiliki pengetahuan dan
keterampilan kehutanan yang lebih dibandingkan dengan mereka yang hati-nya
menolak. Hasil penelitian ini memperkuat proposisi yang dikemukakan Aryadi
(2012:202), bahwa keberadaan Q (kalbu) perlu ditambahkan dalam pokok
pikiran Mead dalam tahapan tindakan yaitu Mind, Self and Society.
2.
Saran Praktis
Beberapa saran praktis dari hasil penelitian ini yang dapat dijadikan dasar
dalam pengambilan kebijakan oleh pihak-pihak terkait antara lain:
1) Diperlukan penguatan (reinforcement) terhadap penyuluh kehutanan sebagai
pelaku pemberdayaan dan masyarakat yang diberdayakan melalui penyuluhan dan
pelatihan berkaitan dengan teknis dan non teknis kehutanan, penghargaan atas
prestasi, dan peningkatan peran dalam setiap proses pemberdayaan
2) Dalam setiap desa perlu dibangun areal demplot pembangunan hutan yang
terjamin keberhasilannya dengan menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan
sumberdaya hutan (forest resource management) karena menurut teori belajar
sosial Bandura dan teori pengkondisian operan, masyarakat akan lebih tertarik
meniru praktik-praktik pengelolaan SDH manakala demplot (modelling) yang
dibangun dipandang masyarakat sukses dan menguntungkan
129
3) Perlu ada penelitian mendalam mengenai kesesuaian jenis tanaman dan daya
dukung lahan pada areal yang direkomendasikan untuk kegiatan pengelolaan
sumberdaya hutan pada masing-masing desa.
130
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Itervensi Komunitas:
Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Lembaga Penerbit FE-UI.
Jakarta.
Akhdiyat, M. 2009. Aktvitas Sosial Ekonomi Masyarakat Desa di dalam dan sekitar
hutan. Jurnal Hutan Tropis Borneo 10 (25): 132-139
Anonim. 2004. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan. Pusat Penyuluhan Kehutanan
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta
Aryadi, Mahrus. 2015. Hutan Rakyat:Fenomenologi Adaptasi Budaya Masyarakat.
UMM Press. Malang
Asley C dan D. Carney, Sustainable Livelihood: Lessons from Early Experience,
London DFID, 1999.,hlm.25-60.
Awang, S. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Bandura, A., 2001. Social cognitive theory: An agentic perspective. Annual review of
psychology,
52(1),
pp.1–26.
Available
at:
http://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.psych.52.1.1.
Baslemah,A. dan Syamsu.M. 2011. Teori Belajar Orang Dewasa (cetakan I). PT.
Remaja Rosda Karya. Bandung.
Bloom,B.S. (ed.). 1956. Taxonomy of Educational Objectives:The Classification of
Educational Goals dalam Handbook 1: Cognitive Domains. McKay. New
York
Budiningsih, A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta
Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan
Kualitatif. Airlangga University Press. Surabaya
Bruenig, E.F., 1996, Conservation and Management of Tropical Rainforests,
Cambridge University Press, Wallingford, xxii-339
Brundage,D.H. 1980. Adult Learning Principles and their Application to Program
Planning. Ministry of Education. Ontario
Byrne, B.M. 2009. Structural Equation Modeling With AMOS: Basic Concepts,
Applications, and Programming (2nd ed., p. 418). New York: Routledge
Taylor & Francis Group. doi:10.4324/9781410600219
Conway, G.R, 1983, Agroecosystem Analysis, ICCET Series E No ! 1983, Centre for
Environmental Technology and Department of Pure and Applied Biology,
The Imperial College of Science and Technoogy, London SW7 ILU, United
Kingdom
Elvida YS & Iis Alviya. 2009. Implementasi Dan Strategi Pembangunan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Kuala Lupak. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. Vol.
6 No. 1, April 2009 : 57 - 70
131
Fauzi, H. 2009. Profil Aktivitas Sosial Ekonomi Masyarakat Di Dalam dan Sekitar
Kawasan Hutan di Kabupaten Barito Kuala. Jurnal Hutan Tropis Borneo
7.(28): 63 – 82
Gunawan, I., & Palupi, A. R. (2013). Taksonomi Bloom-Revisi Ranah
Kognitif:Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Penilaian.
Program Studi PGSD FIP IKIP PGRI Madiun. Retrieved from
http://www.ikippgrimadiun.ac.id/ejourna
Ilham, Wahyuni,. 2011 Rancang Bangun KPHK Kuala Lupak. Balai Konservasi
Sumberdaya Alam. Kuala Lupakbaru
Irham,M. dan Novan,A.W. 2013. Psikologi Pendidikan:Teori dan Aplikasi dalam
Proses Pembelajaran. Ar-Ruzz Media. Yogyakarta.p.328
Krathwohl, D.R., 2002. A Revision of Bloom’s Taxonomy: An Overview. Theory
Into Practice, 41(4), pp.212–218. Available at: http://www.tandfonline.com
/abs/. doi 10.1207/s15430421tip4104_2.
Levis, R.L. 2013. Metode Penelitian Perilaku Petani. Penerbit Ledalero.
Maumere.p.230
Mardikanto, T. 2015. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik.
Alfabeta. Bandung
Miles, Matthew B. dan Huberman, A. Michael, 1992, Analisis Data Kualitatif,
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Rahman, A. (2010). Pengembangan Perangkat Penilaian Hasil Belajar (3rd ed.,).
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta. p. 432
Sardjono, Mustofa Agung. 2004. Mosaik Sosiologis Kehutanan: Masyarakat Lokal,
Politik dan Kelestarian Sumberdaya. Debut Press. Jogjakarta. pp. 300.
Simon, H. 1994. Merencanakan Pembangunan Hutan untuk Strategi Kehutanan
Sosial, Yayasan Pusat Studi Sumber Daya Hutan. Yogyakarta
Simon, H. 1999.
Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest
Management). Penerbit Bigraf Publishing. Yogyakarta
Siyamta. 2013. Ranah Kognitif Dalam Pembelajaran. Program Studi S3 Teknologi
Pembelajaran Program Pasca Sarjana Universitas Negeri. Malang (tidak
dipublikasikan).
Skinner,B.F. 1965. Science and Human Behavior. A Division of Simon & Schuster
Inc. New York. Maufur (Penterjemah). 2013. Ilmu Pengetahuan dan Perilaku
Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membentuk Pola Perilaku
Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat.
Bogor: IPB Press
Suciati. 2005. Taksonomi Tujuan Instruksional (edisi kelima). PAU-PPAI
Universitas Terbuka. Jakarta
132
Tomlinson, S., 1997. Edward Lee Thorndike and John Dewey on the science of
education. Oxford Review of Education, 23(3), pp.365–383. Available at:
http://links.jstor.org/sici?sici=03054985%28199709%2923%3A3%3C365%3AELTAJD%3E2.0.CO%3B2-8.
133
Lampiran 1. Susunan organisasi tim peneliti dan pembagian tugas
Nama
dan
akademik
Hamdani
Fauzi,S.Hut,M.P
Gelar Bidang Keahlian


Kehutanan
Sosial
Budidaya
Hutan
(Agroforestri)
Curahan
Waktu
(jam/mingg
u)
10
Uraian tugas
Tugas peneliti terkait
dengan manajemen
penelitian adalah:
• Menjamin setiap peneliti
yang terlibat melakukan
tanggungjawab
penelitiannya dengan baik
seperti yang disepakati.
• Menjamin bahwa semua
aktivitas seperti tertulis
pada
research plan dilaksanakan
dengan memuaskan dan
tercapai tujuannya.
• Merintis dan menjaga
kolaborasi dengan semua
pihak yang terlibat secara
tidak langsung dalam
penelitian ini.
• Menjamin bahwa laporan
penelitian dan keuangan
dilakukan dengan tepat
waktu dan akuntabel
seperti yang disyaratkan.
• Menjaga kerjasama
antara semua pihak yang
terlibat dalam penelitian
pada saat penelitian
dilaksanakan hingga
selesai.
Tugas Ketua Peneliti yang
terkait dengan Teknis
Penelitian:
• Penelusuran informasi
dari narasumber terutama
134
penyusuna model
pemberdayaan
Dr.Ir.H.Mahrus
Aryadi,M.Sc
Dra. Titien
Maryati,M.M



Sosiologi
Pedesaan
Agroforestri
8
• Mengkoordinasi proses
pengumpulan data
• Bertanggung jawab pada
survey primer
Sosiologi
Pedesaan
8
• Bertanggung jawab pada
data sekunder
• Mengkoordinasi proses
entry data
135
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian
136
Lampiran 3. Peta Lokasi Penelitian
137
Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian
Gambar 1. Koordinasi dan Konsultasi dengan Kepala BKSDA Kalimantan Selatan
Gambar 2. Pertemuan dengan warga dan tokoh masyarakat Desa Sungai telan
138
Gambar 4. Wawancara dengan responden penelitian di Desa Sungai Telan
139
Download