Infeksi - WordPress.com

advertisement
INFEKSI YANG MENYERTAI KEHAMILAN DAN PERSALINAN
1. HERPES
Infeksi herpes virus hominis pada orang dewasa biasanya ringan. Walaupun demikian, penyakit
ini dapat menyebabkan kematian janin dan bayi. Pada bayi dapat dijumpai gelembung-gelembung
pada kulit di seluruh badan, atau pada konjungtiva dan selaput lendir mulut. Kematian bayi dapat
pula disebabkan oleh ensefalitis herpes virus.
Virus tipe II dapat menyebabkan herpes genitalis dengan gelembung-gelembung berisi cairan di
vulva, vagina, dan servik, yang disebabkan oleh herpes simplex virus (HSV) sehingga sering disebut
herpes simplek. Herpes simplek ditularkan melaluin hubungan seksual
(fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 110)
Penularan kepada anak dapat terjadi melalui:
a. Hematigen melalui plasenta
b. Akibat penjalaran ke atas dari vagina ke janin apabila ketuban pecah
c. Melalui kontak langsung pada waktu bayi lahir
Diagnosis tidak sulit yaitu apabila terdapat gelambung-gelambung di daerah alat kelamin,
ditemukannya benda-benda inklusi intranuklear yang khas di dalam sel-sel epitel vulva, vagina atau
servik setelah dipulas menurut papanicolau, memberi kepastian dalam diagnosis.
Herpes genitalis merupakan infeksi virus yang senantiasa bersifat kronik, recurrent, dan dapat
dikatakan sulit diobati. Sampai saat ini hanya satu cara pengobatan herpese yang cukup efektif, yaitu
antivirus yang disebut acyclovir. Obat-obat analgetik dipakai untuk mengurangi rasa nyeri di daerah
vulva. Acyclovir dalam kehamilan tidak dianjurkan, kecuali bila infeksi yang terjadi merupakan
keadaan yang mengancam kematian ibu, seperti adanya ensefalitis, pneumonitis, dan atau hepatitis,
dimana acyclovir dapat diberikan secara IV. (www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Bila pada kehamilan timbul herpes simplek perlu mendapat perhatian yang serius, karena
melalui plasenta virus dapat masuk ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau
kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60% , separuh yang hidup
menderita cacat neurologis atau kelainan pada mata. Bila transmisi terjadi pada kehamilan trimester I
cebderung terjadi abortus atau malformasi congenital berupa mikroinsefali, sedangkan trimester II
terjadi prematuritas. Pada bayi baru lahir dari ibu yang manderita herpes simplek akan mengalami
kelainan berupa hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokonjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel
herpetiformis dan bahkan bisa lahir mati. (fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular
Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 113)
SC dianjurkan pada wanita yang pada saat kelahiran menunjukkan gejala-gejala akut pada
genetalia, untuk menghindari penularan akibat kontak langsung. Karena bila dengan persalinan
pervaginam 50% bayi akan mengalami infeksi. Pada pasca persalinan, ibu yang menderita herpes
aktif harus diisolasi. Bayinya dapat diberikan untuk menyusui bila ibu telah cuci tangan mengganti
baju yang bersih.
Penatalaksanaan
1. Untuk ibu hamil
Ibu hamil yang menderita herpes simplek genitals primer dalam 6 minggu terakhir masa
kehamilannya dianjurkan untuk SC sebelum atau dalam 4 jam pecahnya ketuban.
2. Untuk bayi lahir dari ibu dengan herpes simplek
banyak runah sakit yang menganjurkan untuk mangisolasi bayi baru lahir dari ibu yang mengalami
herpes simplek. Bayi harus diawasi ketat selama 1 bulan pertama kehidupannya. Untuk bayi dengan
ibu herpes simplek dan melalui pervaginam harus diberikan profilaksis asiklovir intravena selama 5-7
hari dengan dosis 3x10 mg/kgBB/hari.
(fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 118,119)
2. VARICELLA (CACAR AIR/CHICKEN POX)
Varicella merupakan penyakit anak-anak dan sangat jarang dijumpai dalam kehamilan dan nifas. Walaupun umumnya cacar air itu suatu
penyakit ringan, namun pada wanita hamil kadang-kadang bisa menjadi berat dan dapat menyebabkan partus prematurus. Disangka bahwa
telah terjadi penularan intra uterin apabila gelambung-gelambung timbul dalam 10 hari setelah kelahiran. Frekuensi cacar bawaan tidak lebih
tinggi pada para bayi yang lahir dari ibu yang menderita cacar air dalam masa hamil.
A) MASA INKUBASI
Waktu terekspos sampai kena penyakit dalam tempo 2 sampai 3 pekan. hal ini bisa sitandai dengan badan yang terasa panas dingin.
B) GEJALA
Pada permulaannya, penderita akan merasa sedikit demam, pilek, cepat merasa lelah, lesu, dan lemah. Gejala-gejala ini khas untuk
infeksi virus. Pada kasus yang lebih berat, bisa didapatkan nyeri sendi, sakit kepala dan pusing. Beberapa hari kemudian timbullah kemerahan
pada kulit yang berukuran kecil yang pertama kali ditemukan di sekitar dada dan perut atau punggung lalu diikuti timbul di anggota gerak dan
wajah.
Kemerahan pada kulit ini lalu berubah menjadi lenting berisi cairan dengan dinding tipis. Ruam kulit ini mungkin terasa agak nyeri
atau gatal sehingga dapat tergaruk tak sengaja. Jika lenting ini dibiarkan maka akan segera mengering membentuk keropeng (krusta) yang
nantinya akan terlepas dan meninggalkan bercak di kulit yang lebih gelap (hiperpigmentasi). Bercak ini lama-kelamaan akan pudar sehingga
beberapa waktu kemudian tidak akan meninggalkan bekas lagi.
Lain halnya jika lenting cacar air tersebut dipecahkan. Krusta akan segera terbentuk lebih dalam sehingga akan mengering lebih
lama. kondisi ini memudahkan infeksi bakteri terjadi pada bekas luka garukan tadi. setelah mengering bekas cacar air tadi akan menghilangkan
bekas yang dalam. Terlebih lagi jika penderita adalah dewasa atau dewasa muda, bekas cacar air akan lebih sulit menghilang.
C) WAKTU KARANTINA YANG DISARANKAN
Selama 5 hari setelah ruam mulai muncul dan sampai semua lepuh telah berkeropeng. Selama masa karantina sebaiknya penderita
tetap mandi seperti biasa, karena kuman yang berada pada kulit akan dapat menginfeksi kulit yang sedang terkena cacar air. Untuk
menghindari timbulnya bekas luka yang sulit hilang sebaiknya menghindari pecahnya lenting cacar air. Ketika mengeringkan tubuh sesudah
mandi sebaiknya tidak menggosoknya dengan handuk terlalu keras. Untuk menghindari gatal, sebaiknya diberikan bedak talk yang mengandung
menthol sehingga mengurangi gesekan yang terjadi pada kulit sehingga kulit tidak banyak teriritasi. Untuk yang memiliki kulit sensitif dapat juga
menggunakan bedak talk salycil yang tidak mengandung mentol. Pastikan anda juga selalu mengkonsumsi makanan bergizi untuk mempercepat
proses penyembuhan penyakit itu sendiri. Konsumsi buah- buahan yang mengandung vitamin C seperti jambu biji dan tomat merah yang dapat
dibuat juice.
D) PENCEGAHAN
Imunisasi tersedia bagi anak-anak yang berusia lebih dari 12 bulan. Imunisasi ini dianjurkan bagi orang di atas usia 12 tahun yang tidak
mempunyai kekebalan.Penyakit ini erat kaitannya dengan kekebalan tubuh.
E) PENGOBATAN
Varicella ini sebenarnya dapat sembuh dengan sendirinya. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya serangan berulang saat individu
tersebut mengalami panurunan daya tahan tubuh. Penyakit varicella dapat diberi penggobatan “Asiklovir” berupa tablet 800 mg per hari setiap
4 jam sekali (dosis orang dewasa, yaitu 12 tahun ke atas) selama 7-10 hari dan salep yang mengandung asiklovir 5% yang dioleskan tipis di
permukaan yang terinfeksi 6 kali sehari selama 6 hari. Larutan “PK” sebanyak 1% yang dilarutkan dalam air mandi.
Setelah masa penyembuhan varicella, dapat dilanjutkan dengan perawatan bekas luka yang ditimbulkan dengan banyak mengkonsumsi air
mineral untuk menetralisir ginjal setelah mengkonsumsi obat. Konsumsi vitamin C plasebo ataupun yang langsung dari buah-buahan segar
seperti juice jambu biji, juice tomat dan anggur. Vitamin E untuk kelembaban kulit bisa didapat dari plasebo, minuman dari lidah buaya, ataupun
rumput laut. Penggunaan lotion yang mengandung pelembab ekstra saat luka sudah benar- benar sembuh diperlukan untuk menghindari iritasi
lebih lanjut.
Periode inkubasi 10 – 21 hari.Infeksi yang terjadi pada orang dewasa biasanya sangat berat dan dapat menimbulkan komplikasi berbahaya
seperti ensepalitis dan pneumonia.Oleh karena termasuk virus herpes maka virus varicella juga memperlihatkan potensi latensi dalam ganglion
syaraf. Reaktiviasi virus memberikan gejala herpes zoster
f) Diagnosis
Diagnosa ditegakkan atas dasar gambaran klinik meskipun usaha diagnosa juga dapat ditegakkan dengan melakukan biakan virus dari vesikel
dalam jangka waktu 4 hari setelah munculnya ruam-ruam kulit pada varicella didaerah punggung
Pada tes serologi IgM varicella zoster muncul pada minggu ke 2 melalui pemeriksaan ELISA atau CFT. IgG juga meningkat dalam waktu 2 minggu
setelah pemeriksaan IgM.Pemeriksaan untuk menentukan imunitas seorang wanita adalah dengan menggunakan FAMA – Fluorescent Antibody
Membrane Antigen
g) Dampak terhadap kehamilan
5 – 10% wanita dewasa rentan terhadap infeksi virus varicella zoster. Infeksi varicella akut terjadi pada 1 : 7500 kehamilan
Komplikasi maternal yang mungkin terjadi :
1.
Persalinan preterm
2.
Ensepalitis
3.
Pneumonia
Penatalaksanaan :
Terapi simptomatik namun harus dilakukan pemeriksaan sinar x torak untuk menyingkirkan kemungkinan pneumonia mengingat bahwa
komplikasi pneumonia terjadi pada 16% kasus dan mortalitas sampai diatas 40%.Bila terjadi pneumonia maka perawatan harus dilakukan di
rumah sakit dan diterapi dengan antiviral oleh karena perubahan dekompensasi akan sangat cepat terjadi.
Resiko terjadinya sindroma fetal adalah 2% bila ibu menderita penyakit pada kehamilan antara 13 – 30 minggu ; dan 0.3% bila infeksi terjadi
pada kehamilan kurang dari 13 minggu.Bila infeksi pada ibu terlihat dalam jangka waktu 3 minggu pasca persalinan maka resiko infeksi janin
pasca persalinan adalah 24%. Bila infeksi pada ibu terjadi dalam jangka waktu 5 – 21 hari sebelum persalinan dan janin mengalami infeksi maka
hal ini umumnya ringan dan “self limiting”. Bila infeksi terjadi dalam jangka waktu 4 hari sebelum persalinan atau 2 hari pasca persalinan, maka
neonatus akan berada pada resiko tinggi menderita infeksi hebat dengan mortalitas 30%.Imunoglobulin varicella zoster (VZIG) harus diberikan
pada neonatus dalam jangka waktu 72 jam pasca persalinan dan di isolasi. Plasenta dan selaput ketuban adalah bahan yang sangat infeksius.
Pada ibu hamil yang terpapar dan tidak jelas apakah sudah pernah terinfeksi dengan virus varicella zoster harus segera dilakukan pemeriksaan
IgG. Bila hasil pemeriksaan tidak dapat segera diperoleh atau IgG negatif, maka diberikan VZIG dalam jangka waktu 6 minggu pasca paparan.
Imunisasi varciella tidak boleh dilakuykan pada kehamilan oleh karena vaksin terdiri dari virus yang dilemahkan.
(reproduksiumj.blogspot.com/.../varicella-zoster-dalam-kehamilan.html)
4. TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toxoplasma gondii.
Ibu dengan toxoplasma gondii biasanya tidak menampakan gejala walaupun 10%-20% ibu yang terinfeksi didapatkan adanya iymphadenopathy.
Infeksi dapat ditemukan pada sindrom mononucleosislike dengan adanya kelelahan dan lesu, jarang terjadi pada encephalitis.
BBL dengan menderita toxoplasma congenital terinfeksi saat berada di dalam uterus secara transplacental. Choriuretinitis merupakan
manifestasi klinis yang serinng muncul apada BBL sebagai gejala toxoplasma. Berikut adalah temuan-temuan yang didapatkan pada bayi dengan
infeksi toxoplasma congenital: chorioretinitis, hydrocephalus, penyakit kuning, hepatosplenomegali, mikrosefali, glaucoma, kejang, demam,
hipotermi, limpadenopati, mual, diare, katarak, mikroftalmia, syaraf mata atrofi, pneumonia.
(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Penularannya tergantung pada 3 hal yaitu : lingkungan yang memungkinkan perkembangan agen penyakit, adanya induk semang dan agen
penyakit itu sendiri.
Toksoplasmosis dapat ditularkan oleh induk semang. Melalui beberapa cara:
1. Tertelannya ookista infektif yang berasal dari kucing
2. Tertelannya kista jaringan atau kelompok takizoit yang terdapat di dalam daging mentah atau yang dimasak tidak sempurna.
3. Tertelannya induk semang yang telah menelan ookista
4. Melalui plasenta
5. Kecelakaan di laboratorium karena kontaminasi melalui luka, peroral, maupun konjungtiva.
6. Penyuntikan merozoit secara tidak sengaja
7. Transfuse leukosit penderita toksoplasmosis. (sasmita.rochiman,2006,Toxoplasmosis,Surabaya:universitas airlangga,hal 23 )
Agen penyakit toksoplasmosis meliputi :
1) Kucing
Organisme tempat toxoplasma gondii hidup adalah kucing. Sekitar ½ dari beberapa kucing yang diuji mempunyai antibody toxoplasma. Ini
berarti bahwa kucing tersebut terinfeksi karena memakan hewan pengerat dan burung pemakan daging yang terinfeksi. Satu minggu setelah
terinfeksi, kucing mengeluarkan ookista yang terdapat pada fesesnya. Pengeluaran ookista terus menerus sampai sekitar 2 minggu sebelum
kucing itu sembuh atau pulih kembali. Hewan ini mudah terinfeksi lagi dan dapat mengeluarkan ookista ketika terinfeksi oleh organisme lain.
Feses kucing sudah sangat infeksius. Ookist dalam feses menyebar melalui udara dan ketika dihirup akan dapat menyebabkan infeksi. Sporulasi
organisme ini terjadi setelah 1-5 hari dalam kotoran dan dapat dicegah dengan pembuangan sampah setiap hari.
2) Daging
Wabah “christiaan barand” adalah contoh penularan toxoplasma melalui daging. Konsumsi daging yang terinfeksi adalah penyebab utama
toxoplasma di Eropa, dimana dibatasinya penggunaan lemari pendingin dan biasanya daging tidak dibekukan. Seharusnya daging dimasak pada
suhu yang tinggi untuk mecegah terjadinya penularan toxoplasm.
Diagnosis
1) Ibu
Diagnosa klinis toxoplasma akut tidak dapat dipercaya apabila tidak ditemukan tanda yang spesifik berkaitan dengan infeksi. Namun demikian
toxoplasma akut harus dipertimbangkan pada setiap wanita hamil dengan limfa denopati, utamanya meliputi rahim posterior, dan atau gejala
mononucleosisslike.
Diagnosa utama infeksi toxoplasma selama kehamilan adalah meliputi salah satu dari hal berikut:
· Menunjukan hasil yang positif pada uji yang dilakukan
· Terjadi peningkatan antibody yang diperoleh dari serum ibu pada dua kali pemeriksaan yang berbeda, atau
· Terdeteksi antibody IgM toxoplasma
Pada usia remaja dengan infeksi primer jarang terjadi perkembangan antibody IgG dan IgM. Antibody IgG spesifik toxoplasma berkembang
dalam waktu 2 minggu setelah terinfeksi dan berlangsung selamanya. Perkembangan antibody IgM spesifi toxsoplasm terjadi dalam 10 hari
setelah terinfeksi dan meningkat 6 bulan sampai > 7 tahun.
The enzyme linked immunosorbent assay (Uji Elisa) asay test untuk melihat tingginya perkembangan antibody IgM dapat bertahan sampai
beberapa tahun. UJI IVA (Indairec immaunofluorescence Antibody Test untuk IgM toxoplasma spesifik biasanya menunjukan kadar yang tinggi
pada 6 bulan setelah terinfeksi, berikutnya titer akan menurun. Uji IVA lebih bermanfaat dari uji Elisa dalam membedakan infeksi adanya primer
pada wanita hamil.
2) Anak
Gejala klinis pada bayi baru lahir akan dapat ditemukan seperti pada temuan diatas. Gejala klinik yang paling banyak ditemukan adalah
chorioretinitis, penyakit kuning, demam, dan hepatosplenomegali. Adanya IgM toxoplasma spesifik pada bayi baru lahir memperjelas diagnosa
infeksi congenital. Adanya kista toxoplasma gondii pada pemerikaan histology plasenta juga mendukung kuat diagnosa infeksi pada bayi.
3) Diagnosa prenatal
Mendiagnosa toxoplasma pada kehamilan dipercaya dengan cairan amnion atau darah janin yang dapat didiagnosa dengan amniosentesis atau
cordosentesis.
IgM spesifik toxoplasma jika didapatkan pada darah janin dari cordosentesis dapat pula digunakan untuk mendiagnosa infeksi janin namun
sayangnya antibody IgM janin sedikit berekembang sampai umur kehamilan 21 sampai 24 minggu.
( www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
pencegahan
Dengan pemberian imunisasi toksoplasmosis pada manusia maupun hewan merupakan metode yang diterapkan untuk mencegah penyebaran
toksoplasmosis.
Imunisasi diberikan untuk membentuk kekebalan terhadap bakteri toxoplasma gondii. Imunisasi ini diberikan pada anak-anak dan pada calon
pengantin dan ibu hamil. Kekebalan ini tidak dapat menghilangkan infeksi permulaan secara tuntas, hal ini terbukti dari hasil uji jaringan hewan
maupun manusia masih adanya parasit untuk waktu yang lama bahkan selama hidupnya.
(sasmita.rochiman,2006,Toxoplasmosis,Surabaya:universitas airlangga,hal 75 )
Penatalaksanaan
1) Ibu
Prognosa pada infeksi yang akut baik, kecuali pada keadaan imonosekresi yang amat besar. Wanta hamil dengan infeksi akut dapat dirawat
dengan kombinasi pyrimethamine, asam folimik dan sulfonamide. Dosis standar pyrimethamine adalah 25 mg/hari/oral dan 1 gr sulfadiazine
peroral 4 X/hari selam 1 tahun. Pyrimethamine adalah musuh dari asam folik dan oleh karena itu mungkinmemberikan efek teratogenik jika
diberikan pada trimester I. Asam folimik diberikan dengan dosis 6 mg secara IM atau per oral setiap pada hari yang berbeda untuk mengetahui
apakah benar habisnya asam folat disebsbkan oleh Pyrimethamine.
Spiramycin adalah ejen lainyang digunakan pada pengobatan toxoplasma akut dan dapat diperoleh pada pusat pengontrolan penyakit di USA.
2. Janin
Adanya gejala infeksi pada bayi lahir harus ditangani dengan pemberian pyrimethamine dengan dosis 1 mg/kg/hr/oral selam 34 hari,
dilanjutkan dosis 0,5 mg/kg/hr selam 21-30 hari dan sulfadiazine dengan dosis 20 mg/kg per oral selam 1 tahun. Pada saat menginjak remaja
diberikan asam folimik 2-6 mg secara IM atau oral 3 X seminggu walaupun pada saat bayi dia mendapatkan pyrimethamine. Infeksi congenital
pada bayi baru lahir bukan merupakan infeksius, oleh karena itu tidak perlu diisolasi. Bayi baru lahir yang tidak menunjukan infeksi dan positif
antibody IgG toxoplasma spesifiknya mungkin didapatkan dari ibunya secara transplasetal. Pada bayi yang Tidak ditemukannya temuan yang lain
yang mencurigakan terjadinya infeksi congenital., harus dipantau, apabila tidak terinfeksi harus menunjukan adanya penurunan titer antibody
IgG terhadap toxoplasma.
5. INFEKSI TRAKTUS URINARIUS
Infeksi saluran kencing adalah suatu keadaan yang ditandai dengan berkembang biaknya mikroorganisme di dalam saluran kemih. Infeksi ini
merupakan infeksi bakteri yang paling sering dijumpai pada wanita karena pendeknya uretra pada wanita sehingga memudahkan masuknya
bakteri ke dalam kandung kemih.
Pada wanita hamil memiliki peluang lebih tinggi lagi untuk terserang infeksi saluran kencing tersebut. telah terjadi perubahan-perubahan baik
secara anatomik maupun fisiologik maka sistem saluran kemih pada ibu hamil rawan terjadi infeksi. Pada wanita hamil terjadi penurunan tonus
dan aktifitas otot-otot ureter yang berakibat terjadinya penurunan kecepatan pengeluaran urin melalui system pengumpul urin. Ureter bagian
atas dan pelvis renal mengalami dilatasi dan menyebabkan terjadinya hidronefrosis fisiologis pada kehamilan. Hidronefrosis ani adalah akibat
pengaruh progesterone terhadap tonus otot dan peristaltic, dan yang paling penting adalah akibat obstuksi mekanik oleh uterus yang
membesar. Juga didapatkan perubahan pada kandung kemih termasuk penurunan tonus, peningkatan kapasitas, dan pengosongan kandung
kemih yang tidak sempurna. Selain itu terjadi peningkatan pH urin selama kehamilan memudahkan pertumbuhan bakteri. Ini semua merupakan
predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih pada ibu hamil. ( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal 95)
Walaupun bakteri uria asimtomatik merupakan hal biasa, infeksi simtomatik dapat mengenai saluran bawah yang menyebabkan sisititis, atau
menyerang kaliks, pelvis, dan parenkim ginjal sehingga mengakibatkan pielonefritis. komplikasi yang sering timbul pada ibu hamil akibat infeksi
saluran kemih adalah pielonefritis, hipertensi, kematian janin dalam kandungan dan anemia.
(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Kuman penyebab utama infeksi saluran kemih adalah golongan basil gram negative aerobik yang dalam keadaan normal bertempat tinggal di
dalam traktus digestifus ( saluran pencernaan). Pada umumnya penyebab infeksi ini adalah 90% adalah E. Coli, Klebsiella-Enterobacter 5% dan
Proteus mirabilis, enterococcus, Staphylococcus.
Ada 3 cara terjadinya infeksi yaitu:
1. Penyebaran melalui aliran darah yangberasal dari usus halus atau organ lain ke dalam saluran kemih
2. Penyebarn melalui saluran getah bening yang berasal dari usus besar ke buli-buli atau ginjal
3. Secara asenden yaitu terjadinya migrasi mikroorganisme melalui uretra, buli-buli, ureter dan ginjal.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal 93,94)
Tingkatan perjalanan infeksi saluran kemih:
a. Bakteriuria Asimtomatik
kondisi ini mengacu pada perkembangan bakteri yang terus-menerus secara aktif di dalam saluran kemih tanpa menimbulkan gejala. Insiden
selama kehamilan bergantung pada paritas, ras dan status social ekonomi.
Penatalaksanaan bakteriuri asimtomatik pada kehamilan secara keseluruhan meliputi 3 tahap,yaitu:
1. Diagnose awal dan konfirmasi infeksi atau penapisan
Penapisan dilakukan dengan kultur urin pada trimester pertama. Bakteri uria biasanya sudah ada pada saat kunjungan pranatal I dan setelah
biakan urin awal yang negatif, wanita yang mengalami infeksi saluran kemih jumlahnya 1 % atau kurang.
2. Pemberian terapi
Terapi selama 10 hari dengan makrokristal nitrovurantoin 100 mg/hari terbukti untuk sebagian besar wanita. Regimen lain adalah amphicilin,
amoksisilin, chefalosporin, nitrofurantoin, atau sulfonamide 4 X sehari selam 3 hari.
3. Tindak lanjut / follow up
Setelah pengobatan selesai diberikan maka kultur ulang harus dilakukan lagi untuk melihat apakah eradikasi bakteri berhasil. Bila pasien
menunjukkan tanda-tanda sepsis, muntah dan kemungkinan terjadi dehidrasi dan kontraksi uterus maka penderita harus dirawat di rumah
sakit.
b. Pielonefritis Akut
Infeksi ginjal merupakan penyulit medis paling serius pada kehamilan, terjadi pada sekitar 2 % wanita hamil. Adanya bakteriuri asimtomatik
merupakan faktor besar yang mempengaruhi terjadinya pielonefritis akut pada kehamilan. Keseriusan pielonefritis akut selama kehamilan
merupakan penyebab utama syok septic selama kehamilan.
Infeksi ginjal lebih sering terjadi setelah pertengahan kehamilan, pada lebih dari separuh kasus penyakitnya unilateral dan di sisi kanan,
sedangkan pada ¼ bilateral. Pada sebagian besar wanita, infeksi disebabkan oleh bakteri yang naik dari saluran kemih bawah.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal 94)
Gambaran Klinis
Gejala meliputi demam, menggigil hebat, dan nyeri tumpul di salah satu atau kedua regio lumbal. Pasien mungkin mengalami anoreksia, mual
dan muntah. Perjalanan penyakit dapat hipotermia sangat bervariasi dengan demam sampai setinggi 40 C. rasa nyeri biasanya sampai 34 C
dapat ditimbulkan dengan perkusi disalah satu atau kedua sudut costovertebra. Sedimen urin sering mengandung banyak leukosit, seringkali
dalam gumpalan-gumpalan dan banyak bakteri.
Kreatinin plasma harus diukur pada awal terapi. Pielonefritis akut pada sebagian wanita hamil menyebabkan penurunan pada laju filtrasi
glomerulus yang bersifat reversible. Wanita dengan pielonefritis ante partum mengalami insufisiensi pernafasan dengan derajat bervariasi
akibat cidera alveolus dan edema paru yang dipicu oleh endotoksin. Pada sebagian wanita cidera parunya parah sehingga menimbulkan
syndrome gawat nafas akut.
Graham dkk (1983) memastikan bahwa pemberian terapi antimikroba pada wanita ini diikuti oleh peningkatan aktifitas uterus. Hal ini mungkin
disebabkan oleh pelepasan endotoksin. Hemolisis akibat endotoksin juga sering terjadi, dan sekitar 1/3 dari wanita ini mengalami anemia akut.
(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Penatalaksanaan
Hidrasi intra vena agar produksi urin memadai merupakan hal yang esensial. Keluaran urin, tekanan darah dan suhu dipantau secara ketat.
Demam tinggi harus diatasi, biasanya dengan selimut pendingin.
Infeksi saluran kemih yang serius ini biasanya cepat berespon terhadap hidrasi intravenal dan terapi antimikroba. Pemberian antibiotic adalah
golongan penisilin dengan sprektum luas (piperasilin, mezlosilin, tikarsilin/asam klavilanik) atau sefalosforin sprektum luas ( sefotaksim,
sefrisoksim, seftriakson) atau aztreonam atau aminoglikosida.
Gejala klinis umumnya reda dalam 2 hari setelah terapi, tetapi walaupun gejala cepat menghilang dianjurkan agar terapi dilanjutkan hingga 7-10
hari. Apabila biakan urin selanjutnya memberikan hasil positif diberikan nitrofurantoin 100 mg sebelum tidur selama sisa kehamilan.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal 101)
Penatalaksanaan Rawat Jalan
tidak ada perbedaan bermakna dalam respon klinis atau hasil kehamilan antara pasien rawat inap dan rawat jalan. Semua wanita dalam uji ini
mendapat dua dosis ceftriakson IM 1 gr di RS dengan selang 24 jam sebelum mereka yang dimasukan kekelompok rawat jalan diperbolehkan
pulang. Dalam hal ini diperlukan evaluasi ketat sebelum dan setelah pemulangan dari RS.
Penatalaksaan Bagi Mereka Yang Tidak Berespon
Apabila perbaikan klinis belum tampak jelas dalam 48-72 jam, wanita tersebut perlu pemeriksaan obstruksi saluran kemih, untuk mecari ada
tidaknya dipensi abnormal pada ureter atau pielokaliks.
Pemasangan doble-J steent diureter akan mengatasi obstruksi pada sebagian besar kasus. Apabila gagal dilakukan nefrostomi perkutanium.
Apabila gagal juga perlu dilakukan pengeluaran batu ginjal secara bedah agar infeksi reda.
Tindak Lanjut
Bila tidak dilakukan tindakan-tindakan untuk menjamin sterilitas urin, pasien sebaiknya diberi nitrovurantoin 100 mg sebelum tidur sampai
selesai hamil.
c. Pielonefritis Kronik
penyakit ini adalah suatu nefritis interstisial kronik yang diperkirakan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pada banyak kasus, terjadi pembentukan
jaringan parut klasik yang terdeteksi secara radiologis dan disertai refluks ureter selagi berkemih oleh karenanya penyakit ini juga disebut
sebagai nefropatirefluks. Pada kasus lanjut, yang muncul adalah gejala insufisiensi ginjal. Patogenesis penyakit ini masih belum jelas tetapi
tampaknya bukan hanya disebabkan oleh infeksi bakteri persisten.
Prognosis pada ibu dan janin bergantung pada luas kerusakan ginjal. Gangguan fungsi ginjal dan pembentkan jaringan parut ginjal bilateral
berkaitan dengan peningkatan penyulit pada ibu, apabila pielonefritit kronik lainnya mengalami penyulit bakteri uria selama kehamilan, dapat
terjadi pielonefritit akut yang akan memperparah keadaan. Hampir seluruh wanita dengan pembentukan jaringan parut ginjal akibat infeksi
saluran kemih pada masa kanak-kanak akan mengalami bakteri uria saat hamil (Martinel dkk ,
1990).(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
Akibat infeksi saluran kemih pada kehamilan
Pielonefritis akut merupakan penyulit tersering pada kehamilan dapat menimbulkan ancaman yang serius terhadap kesejahteraan ibu maupun
janin. Infeksi saluran kemih baik dalam tingkat pielonefritis akut maupun masih bakteriuria asimtomatik pada kehamilan dapat meningkatkan
risiko persalinan preterm, terjadinya abortus dan lahir mati.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal 95)
4. HEPATITIS
Hepatitis infeksiosa disebabkan oleh virus dan merupakan penyakit hati yang paling sering dijumpai dalam kehamilan. Pada wanita hamil,
pemyebab hepatitis infeksiosa terutama oleh virus hepatitis B. walaupun kemingkinan juga dapat karena virus hepatitis A atau Hepatitis C.
hepatitis virus dapat terjadi pula setiap satt kehamilan dan mempunyai pengaruh buruk pada janin maupun ibunya. Pada trimester I dapat
terjadi keguguran, akan tetapi jarang dijumpai kelainan congenital (anomaly pada janin). Sedangkan pada trimester II dan III sering terjadi
premature. Tidak dianjurkan untuk melakukan terminasi kehamilan dengna induksi atau SC, karena akan mempertinggi risiko pada ibu. Pada
hepatitis B janin kemungkinan dapat tertular melalui plasenta, waktu lahir, atau masa neonates, walaupun masih masih kontroversi penularan
melalui air susu.
Masa inkubasi hepatitis B bervariasi dari 1-6 bulan. Hepatitis B sering tidak menunjukkan gejala ikhterik atau asimtomatik, walaupun dalam
keadaan sangat parah dapat timbul penyakit kuning serta kegagalan hepar yang akut. P.infeksi.
( widodo.joko,2004,Penyakit Infeksi,Jakarta: fakultas kedokteran UI, hal 148)
Penatalaksanaan
1. Istirahat, diberi nutrisi dan cairan yang cukup, bila perlu IV
2. Isolasi cairan lambung dalam atau cairan badan lainnya dan ingatkan tentang pentingnya janin dipisahkan dengan ibunya
3. Periksa HbsAg
4. Kontrol kadar bilirubun, serum glutamic oksaloasetik transaminase (SGOT), serum glutamic piruvic transaminase (SGPT), factor pembekuan
darah, karena kemungkinan telah ada disseminated intravaskular coagulapathy (DIC)
5. Cegah penggunaan obat-obat yang bersifat hepatotoksik
6. Pada ibu yang HbsAg positif perlu diperiksa HbsAg anak karena kemungkinan terjadi penularan melalui darah tali pusat
7. Tindakan operasi seperti SC akan memperburuk prognosis ibu
8. Pada bayi yang baru dilahirkan dalam 2x24 jam diberi suntikan anti hepatitis serum(www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=1263)
6. HIV/AIDS
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperberat kondisi klinik wanita dengan infeksi HIV. Sebaliknya, risiko tentang hasil
kehamilan pada penderita infeksi HIV masih merupakan tanda tanya. Transmisi vertical virus AIDS dari ibu kepada janinnya telah banyak
terbukti, akan tetapi belum jelas diketahui kapan transmisi perinatal tersebut terjadi. Penelitian di AS dab Eropa menunjukkan bahwa risiko
transmisi perinatal pada ibu hamil adalah 20-40%. Transmisi dapat terjadi melalui plasenta, perlukaan dalam proses persalinan, atau melalui
ASI. Walaupun demikian, WHO menganjurkan agar ibu dengna HIV positif tetap menyusui bayinya mengingat manfaat ASI yang cukup besar
dibandingkan dengan risiko penularan HIV.
Bila telah terdiagnosis adanya AIDS perlu dilakukan pemeriksaan apakah ada infeksi PHS lainnya, sepeerti gonorrhea, chlamydia, hepatitis,
herpes, ataupun infeksi toksoplasmik, CMV, TBC dan lain-lain.
Penderita AIDS mempunyai gejala awal yang tidak spesifik seperti fatique, anoreksia, BB menurun, atau mungkin menderita candidiasis
orofaring maupun vagina. Kematian pada ibu hamil dengan HIV positif kebanyakan disebabkan oleh penyakit oportunisyik yang menyetainya,
terutama pneumocystis carinii pneumonia.
Sampai saat ini belum ada pengobatan AIDS yang memuaskan. Pemberian AZT (Zidovudine) dapat memperlambat kematian dan menurunkan
frekuensi serta beratnya infeksi oportunistik. Pengobatan infeksi HIV dan penyakit oportunisyiknya dalam kehamilan merupakan masalah,
karena banyak obat belum diketahui dampak buruknya dalam kehamilan. Dengan demikian, pencegahan menjadi sangat penting peranannya,
yaitu hubungan seksual yang sehat, menggunakan alat kontrasepsi, dan mengadakan tes terhadap HIV sebelum kehamilan.
Dalam persalinan, SC bukan merupakan indikasi untuk menurunkan risiko infeksi pada bayi yang dilahirkan. Penularan kepada penolong
persalinan dapat terjadi dengan rate 0-1% pertahun exposure. Oleh karena itu dianjurkan untuk melaksanakan upaya pencegahan terhadap
penularan infeksi bagi petugas kamar bersalin sebagai berikut:
1.Gunakan pakaian, sarung tangan dan masker yang kedap air dalam menolong persalinan
2.Gunakan sarung tangan saat menolong bayi
3.Cucilah tangan setelah selesai menolong penderita AIDS
4.Gunakan pelindung mata (kacamata)
5.Peganglah plasenta dengan sarung tangan dan beri label sebagai barang infeksius
6.Jangan menggunakan penghisap lendir bayi melalui mulut
7.Bila dicurigai adanya kontaminasi, lakukan konseling dan periksa antibody terhadap HIV serta dapatkan AZT sebagai profilaksis
Perawatan pascapersalinan perlu diperhatikan yaitu kemungkinan penularan melalui pembalut wanita, lochea, luka episiotomi ataupun luka SC.
Untuk perawatan bayi, sebaiknya dilakukan oleh dokter anak yang khusus untuk menangani kasus ini. Perawatan ibu dan bayi tidak perlu dipisah,
harus diusahakan agar pada bayi tidak dilakukan tindakan yang membuat perlukaan bila tidak perlu betul, misalnya jangan lakukan sirkumsisi.
Perawatan tali pusat harus dijalankan dengan cermat. Imunisasi yang menggunakan virus hidup sebaiknya ditunda sampai terbukti bahwa bayi
tersebut tidak menderita virus HIV. Antibodi yang didapatkan pasif dari ibu akan dapat bertahan sampai 15 bulan. Jadi diperlukan pemeriksaan
ulang berkala untuk menentukan adanya perubahan ke arah negatif atau tidak. Infeksi pada bayi mungkin baru tampak pada usia 12-18 bulan.
(alijeco.blogspot.com/2008/05/hiv-aids.html)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan penderita infeksi HIV dibagi menjadi 2:
1. Infeksi dini HIV dengan mencegah timbulnya infeksi oportunistik serta memperpanjang hidup penderita.
2. Tahap lanjut dengan memberikan pengobatan untuk infeksi oportunistik dan keganasan serta perawatan pada fase terminal.
(fahmi.syaiful,1997,Penyakit Menular Seksual,Jakarta:Fakultas kedokteran UI,hal 141)
7. TYPUS ABDOMINALIS
Tifus abdominalis (demam tifoid, enteric fever) ialah penyakit infeksi akut yang biasnya mengenai saluran cerna dengan gejala demam lebih
dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Salmonella typhi, basil gram negatif, bergerak dengan rambut,
tidak berspra. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik), antigen H (flagela) dan antigen Vi.
Typus abdominalis dalam kehamilan, dan nifas menunjukan angka kematian yang lebih tinggi dari pada di luar kehamilan. Penyakit ini mempunyai
pengaruh buruk terhadap kehamilan. Dalam 60-80 % hasil konsepsi keluar secara spontan : lebih dini terjadinya infeksi dalam kehamilan, lebih
besar kemungkinan berakhirnya kehamilan.
Bakteri masuk melaluin saluran cerna, dibutuhkan jumlah seratus ribu sampai satu milyar untuk dapat menimbulkan infeksi. Sebagaian besar
bakteri mati oleh asam lambung. Bakteri yang tetap hidup akan masuk kedalam ileum melalui mikrovili dan mencapai plak payeri, selanjutnya
masuk kedalam pembuluh darah (bakteremia). Pada tahap selanjutnya, s.typoii menuju keorgan sistem retikoendotial.
Gejala klinis
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3-30) hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak semangat.
Pada kasus khas biasa ditemukan gejala klinis berupa demam, gangguan pada saluran pencernaan, dan gangguan kesadaran
Komplikasi
Pada tifus abdominalis dapat terjadi komplikasi berupa perdarahan usus, perforasi usus, peritonitis, miningitis, kolesitis, ensefalopati,
bronkopneumonia, hepatis, dehidrasi, asidosis.
(alijeco.blogspot.com/2008/05/tifus-abdominalis.html)
Pengobatan
1. Isolasi penderita dan desinfeksi pakaian dan ekskreta.
2. Perawatan yang baik untuk menghindarkan komplikasi mengikat sakit yang lama, lemah dan anoreksia dll.
3. Istirahat selama demam sampai dengan 2 minggu normal kembali, yaitu istirahat mutlak, berbaring terus ditempat tidur. Seminggu
kemudian boleh duduk dan selanjutnya boleh berdiri dan berjalan.
4. Diet makanan harus cukup mengandung kalori, cairan dan tinggi protein. Bahan makanan tidak boleh mengandung banyak serat, tidak
meragsang dan tidak banyak menimbulkan gas.
5. Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai.
6. Obat terpilih adalah kloramferikol 100 mg/kg BB/hari dai bagi dalam 4dosis selama 10 hari. Dosis maksimal kloramfenikol 2g/hari. Bla
pasien tidak serasi/alergi dapat diberikan golongan obat lain misalnya penisilin atau kortimoksazol.
Pengobatan dengan kloramfenikol atau tiamfenikol (Urfamycin) biasanya cukup manjur. Waktu ada wabah, semua wanita hamil perlu diberi
vaksinasi. Walaupun kuman-kuman tifus abdominalis tidak di keluarkan melalui air susu, namun sebaiknya penderita tidak menyusui bayinya
karena keadaan umum ibu biasanya tidak mengizinkan, dan karena kemungkinan penuluaran oleh ibu melalui jalan lain tetap ada. Tifus
abdominalis tidak merupakan indikasi bagi abortus buatan.
Download