A. Jenis Penelitian

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1922 Coca dan Coke memperkenalkan istilah atopik
yang artinya kurang lebih sebagai suatu hipersensitivitas atau keadaan alergi.
Keadaan ini dapat bermanifestasi sebagai penyakit asma, hay fever dan
dermatitis yang cenderung familial dan dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan (Budiarja S.A, 1997).
Secara umum pada saat ini telah diterima konsep yang
menyatakan bahwa dermatitis atopik adalah penyakit radang kulit yang secara
genetik berhubungan dengan keadaan atopik. Keadaan ini menunjukkan
kelainan atau abnormalitas sistem imunitas kulit terhadap stimulasi eksternal
dan akhirnya menyebabkan timbulnya respon inflamasi (Safrida M,Pohan S.S,
1999). Dermatitis atopik dapat pula diklasifikasikan sebagai peradangan kulit
yang berulang, kronis dan gatal yang terjadi pada bayi, anak dan dewasa,
sering disertai peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat stigma atopi
pada penderita dan atau keluarganya (Sularsito S.A, 1993).
Dermatitis atopik sering dihubungkan dengan reaktivitas
berlebihan dari kulit terhadap faktor pemicu yang berasal dari lingkungan yang
mana faktor tersebut bukan merupakan hal yang membahayakan bagi individu
normal yang tidak memiliki atopi (Leung et al, 2004). Meningkatnya paparan
terhadap polutan, alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah,
2
penurunan dalam pemberian ASI kepada bayi sejalan dengan naiknya
kewaspadaan terhadap kejadian dermatitis atopik telah disarankan sebagai
penyebab meningkatnya frekuensi dermatitis atopik (Boguneiwicz dan Leung,
2000).
Prevalensi dermatitis atopik dalam praktek umum diestimasikan
sebesar lima belas orang tiap seribu orang pasien per tahun, tetapi diperkirakan
angka kejadiannya mengalami kenaikan sehingga prevalensinya ikut
meningkat (Verboom et al, 2002).
Dermatitis atopik muncul ketika masa awal anak – anak dengan
mula kejadian sebelum usia dua bulan tetapi kebanyakan pasien menderita
dermatitis atopik ketika berusia lima tahun (Hay et al, 2003). Dermatitis atopik
lebih sering terjadi pada wanita daripada pria (Verboom et al, 2002).
Pasien dengan dermatitis atopik sangat rentan terhadap beberapa
infeksi kulit yang disebabkan oleh bakteri, jamur dan virus (Baker, 2006).
Delapan puluh persen penderita dermatitis atopik mengalami penurunan
imunitas seluler dengan akibat mudah terserang infeksi virus Herpes simplek,
Vaccinia, Coxsackie A dan dermatofitosis kronis (Sularsito S.A, 1993).
Namun, kolonisasi bakteri yang paling dikenal pada penderita dermatitis
atopik ialah Staphylococcus aureus (Baker, 2006).
Tingginya kolonisasi bakteri Staphylococcus aureus pada kulit
yang berlesi maupun yang normal pada pasien dermatitis atopik telah dikenal
jika dibandingkan dengan orang normal (Beltrani dan Boguneiwicz, 2003).
Penelitian lebih jauh mengisyaratkan adanya hubungan sebab akibat antara
3
jumlah bakteri yang muncul pada kulit dengan tingkat keparahan penyakit
pada penderita dermatitis atopik (Baker, 2006).
Nilai penting S. aureus didukung oleh penelitian yang
menyatakan bahwa pada pasien dermatitis atopik dengan infeksi sekunder,
pengobatan kombinasi antara kortikosteroid topikal dan antibiotik anti
Staphylococcus menghasilkan perbaikan klinis yang lebih besar daripada
hanya dengan pemberian kortikosteroid topikal saja (Leung et al, 2004).
Adanya kolonisasi dan infeksi sekunder oleh Staphylococcus aureus perlu
mendapat perhatian sebab menurut Baron et al (2002), meskipun dermatitis
atopik merupakan kondisi yang mendunia, belum terdapat persamaan persepsi
mengenai penatalaksanaan dermatitis atopik di bidang farmakologi di antara
para ahli dermatologi di Inggris, Amerika Serikat dan Jepang.
Penggunaan antibiotik masih menjadi kontroversi, terutama di
Jepang. Hal ini disebabkan karena banyak ahli dermatologi Jepang belum
mengamati perbaikan klinis yang signifikan dari penggunaan antibiotik.
Oleh karena latar belakang di atas penulis tertarik untuk
mengetahui kejadian kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit pasien
dermatitis atopik dan bukan pasien dermatitis atopik di poliklinik kulit dan
kelamin Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
B. Perumusan Masalah
“ Apakah terdapat perbedaan kejadian kolonisasi S. aureus pada
kulit pasien dermatitis atopik dan bukan pasien dermatitis atopik di poliklinik
kulit dan kelamin Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta ? ”
4
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kejadian
kolonisasi S. aureus pada kulit pasien dermatitis atopik dan bukan pasien
dermatitis atopik di poliklinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat memberi masukan bagi perkembangan ilmu
kedokteran dan penelitian selanjutnya tentang kejadian kolonisasi S. aureus
pada pasien dermatitis atopik.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan pertimbangan pemberian terapi pada pasien
dermatitis atopik dan memberikan pengetahuan kepada penderita dermatitis
atopik mengenai kejadian kolonisasi maupun infeksi sekunder oleh S. aureus.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Dermatitis Atopik
a. Definisi
Dermatitis atopik adalah salah satu bentuk eksim (eczema) yang
seringkali muncul pada waktu bayi dan terkenal dengan lokasi/distribusi
yang khas pada tubuh, rasa gatal yang amat sangat, berjalan kronis, sering
kambuh dan terkait dengan penyakit asma alergi (Sampson, 1997).
Dermatitis atopik seringkali bersifat genetik yang ujud kelainan kulitnya
berupa kerak/sisik pada lapisan epidermis, eritema, papula dan vesikula
yang kemunculannya dimodulasi oleh lingkungan (Boiko et al, 1999).
Istilah atopik sendiri mengacu pada latar belakang herediter atau
kecenderungan untuk mengembangkan satu atau lebih dari kumpulan
kondisi seperti rhinitis alergi, asma, eksim, kulit sensitif dan urtikaria
(Murtagh, 2003)
b. Etiologi
Penyebab dermatitis atopik belum diketahui. Banyak faktor
yang berpengaruh terhadap penyakit ini antara lain faktor imunologi,
genetik, fisiologis dan farmakologik (Sularsito S.A, 1993).
Beragam studi mengindikasikan bahwa dermatitis atopik
memiliki etiologi yang kompleks, dengan pengaktivan berbagai jalur
6
imunologi dan inflamasi. Fenotip klinis yang mencirikan dermatitis atopik
merupakan produk dari interaksi kompleks antara gen yang rentan, faktor
lingkungan, kecacatan pada fungsi pelindung (barrier) kulit dan respon
imunologi lokal dan sistemik (Leung et al, 2004).
c. Insidensi dan Prevalensi
Penelitian tentang insiden penyakit ini di Indonesia belum ada
sehingga belum diketahui angka kesakitannya. Di Amerika diperkirakan 7
per 1000 penduduk, prevalensi pada anak paling tinggi yaitu 24 per 1000
(Sularsito S.A, 1993).
Menurut sebuah studi, prevalensi eksim yang terjadi pada anak
berkorelasi dengan kelas sosial ekonomi yang meningkat (Boguneiwicz
dan Leung, 2000), prevalensi atopi meningkat secara menetap di bagian
timur Jerman dibanding bagian barat karena gaya hidup dan lingkungannya
yang lebih western style. Hal ini mengindikasikan bahwa meningkatnya
prevalensi penyakit alergi mungkin berhubungan dengan gaya hidup ala
barat (Sampson, 1997).
d. Histopatologi
Gambaran histologi yang utama ditandai dengan adanya
penebalan yang nyata dari Malphigi lapisan epidermis (akantosis) dengan
penyatuan di sekitar rete ridges dan sel – sel radang kronik yang
menginfiltrasi sekitar pembuluh darah di daerah dermis bagian atas. Istilah
likenifikasi sering digunakan untuk menjelaskan gambaran histologi ini
(Smith, 1990).
7
Pada lesi yang akut terdapat kelainan berupa spongiosis, vesikel
dan udem, pada yang kronis hiperkeratosis, akantosis dan sebukan sel
radang sekitar pembuluh darah di dermis bagian atas.
Pada kulit yang nampaknya normal ditemukan hiperkeratosis
ringan, hiperplasia epitelial, udem interseluler, infiltrat ringan limfosit di
dermis, berbagai perubahan kapiler vena, juga dapat ditemukan udem
interseluler di folikel (Sularsito S.A, 1993).
e. Diagnosis dan Gejala Klinis
Dermatitis atopik tidak mempunyai ujud kelainan kulit dan
parameter laboratorium yang patognomonik sehingga diagnosis ditegakkan
berdasarkan adanya kriteria mayor maupun gejala klinik lain yang
berhubungan. Ciri – ciri utama antara lain pruritus, penyakit yang sering
kambuh dan berjalan kronis, morfologi yang tipikal, distribusi lesi yang
khas dan sejarah atopi (Boguneiwicz dan Leung, 2000).
Kriteria Mayor
1). Pruritus
Pruritus merupakan gejala yang paling mengganggu dan harus
dianggap sebagai gejala yang penting sekaligus lesi primer pada
dermatitis atopik. Gatal yang terjadi pada dermatitis atopik lebih dari
sekedar akibat penurunan ambang rasa gatal, gejala tersebut lebih baik
dianggap sebagai sebuah persepsi bawaan penderita terhadap stimulasi
mekanik yang halus sebagai gatal dan bukan sebagai sentuhan
(Beltrani dan Boguneiwicz, 2003).
8
2). Onset ketika masa anak - anak
Dermatitis atopik biasanya muncul ketika bayi dan 85 % kasus
bermanifestasi pada umur lima tahun (Boiko et al, 1999).
3). Distribusi yang tipikal
Distribusi lesi dari penderita dermatitis atopik berubah seiring
bertambahnya usia penderita. Pada bayi ruam muncul biasanya pada
pipi, lipatan leher dan kulit kepala. Kemudian ruam dapat menyebar
hingga anggota badan dan daerah inguinal. Pada anak – anak dan
pasien yang lebih tua ruam yang lebih kering dan tebal cenderung
untuk muncul pada daerah siku, lipatan belakang lutut (fossa
poplitea), pada tangan dan kaki yang kemungkinan kering, gatal, retak
– retak dan terasa sakit (Murtagh, 2003).
4). Kronis dan sering kambuh
Dermatitis atopik menurut definisi ialah sebuah kondisi yang kronis
atau berjalan kronis. Temuan bahwa pasien telah mendapatkan
beragam pengobatan dengan steroid topikal atau antipruritik oral
menyatakan kekronisan penyakit tersebut (Boiko et al, 1999).
5). Sejarah atopi pada diri sendiri atau keluarga
31 % individu dengan dermatitis atopik mempunyai sejarah alergi,
rhinitis atau asma, 62 % mempunyai sejarah keluarga berupa alergi
pada saluran pernapasan dan hanya 21 % yang tidak mempunyai
sejarah individu maupun keluarga (Boiko et al, 1999).
9
Kriteria Minor
1). Xerosis
Pasien dermatitis atopik biasanya mempunyai kulit kering.Terdapat
perbedaan yang signifikan antara kulit yang berlesi dengan kulit tanpa
lesi maupun dengan kulit orang normal baik dari segi pH/keasaman,
kapasitansi dan trans epidermal water loss (TEWL) (Boguneiwicz dan
Leung, 2004).
2). Ichtyosis Vulgaris
Kaki dengan kerak yang tebal dan kasar mungkin merupakan tanda
dari ichtyosis vulgaris yang terkadang dihubungkan dengan dermatitis
atopik.
3). Hiperlinearitas telapak tangan
Hiperlinearitas telapak tangan terlihat sebagai garis alur tegak lurus
yang melalui sumbu panjang dari peninggian thenar atau hipothenar.
4). Keratosis pilaris
Keratosis pilaris dianggap sebagai defek/kecacatan keratinisasi pada
folikel rambut xerotic, yang mana ujung dari folikel terisi oleh
sumbatan bertanduk yang membuat kulit teraba seperti ampelas atau
kulit ayam.
5). Raut muka orang alergi
Raut muka yang ditandai dengan daerah gelap berwarna biru abu – abu
di sekitar periorbita yang bilateral dan simetris.
6). Garis Dennie-Morgan
10
7). Pityriasis alba (bercak – bercak putih pada wajah)
8). Cheilitis
9). Dermatitis pada areola mammae/nipple eczema
10). Vulvar dermatitis
11). Rentan terhadap infeksi kulit
f. Patofisiologi
Patofisiologi yang tepat dari dermatitis atopik masih dalam
penyelidikan. Hal ini karena dermatitis atopik adalah kondisi
multifaktorial, berhubungan dengan interaksi antara faktor genetik,
sensorik, imunologi, mekanik dan psikologi (Boiko et al, 1999).
Faktor genetik
Studi pemetaan gen dari keluarga yang memiliki atopi telah
mengidentifikasi beberapa daerah dari kromosom ternyata mengandung
predisposisi untuk atopi. Namun, data untuk daerah daerah tersaebut
tidak menunjukkan konsistensi yang mungkin hal itu terjadi karena
heterogenitas genetik atau heterogenitas fenotipik atau keduanya
(Kluken et al, 2003).
Faktor sensorik dan imunologi
Organ sensoris dan imunologi kulit penting dalam menjelaskan
patofisiologi dari pruritus yang muncul pada dermatitis atopik. Kulit
pasien dermatitis atopik memiliki ambang rasa gatal yang lebih rendah
dari normal baik karena stimulasi mekanik maupun kimiawi (Boiko et
al, 1999).
11
Sejumlah besar antibodi IgE diproduksi bila penderita terpapar
antigen. Ikatan alergen dan IgE pada kulit menginduksi pengaktifan sel
mast yang pada akhirnya akan berdampak pada pelepasan histamin,
leukotrien, sitokin dan mediator – mediator peradangan lainnya.
Mediator – mediator tersebut menginduksi rasa gatal, kemudian
berlanjut dengan aktivitas menggaruk terjadilah siklus gatal-garuk (itchscratch cycle) yang pada gilirannya akan mengaktifkan aktivitas
imunologi keratinosit (Boiko et al, 1999).
Keratinosit epidermis pada penderita dermatitis atopik akan
memproduksi sebuah profil chemokin dan sitokin yang unik dan
mendukung terjadinya peradangan (Leung et al, 2004). Selain karena
faktor IgE, sel T juga mempunyai peranan penting pada penyakit
dermatitis atopik. Sebagian besar pasien dermatitis atopik menurut
Saurat dan peneliti lain mengalami mengalami disfungsi pada sel T,
kebanyakan pasien tersebut mengalami penurunan proporsi sel T
CD 3  dan sel CD 8  di dalam sirkulasi (Boiko et al, 1999).
Faktor mekanik dan psikologi
Faktor mekanik meliputi kulit kering (xerosis) dan stres
psikologis. Kulit kering yang biasanya muncul pada udara yang kering
(misal pada rumah atau gedung dengan pemanas ruangan) mempunyai
konsentrasi air kurang dari 10 %, jika dibandingkan dengan dengan
orang normal yang konsentrasinya 15 %. Stratum corneum pada kulit
yang kering menjadi keras dan rapuh, yang dengan cara demikian
12
merusak fungsi pelindung (barrier) kulit dan memudahkan agen
eksternal untuk masuk/mempenetrasi kulit yang berakibat pada rasa
gatal (Boiko et al, 1999).
Stres, secara bertahap telah dikenal sebagai faktor penting dalam
patogenesis dermatitis atopik, tetapi respon terhadap stres bermacam –
macam dan tergantung kepada dasar psikologi yang telah ada pada
pasien dan keluarganya. Kondisi stres, pada pengamatan, sering muncul
sebelum terjadinya eksaserbasi dermatitis atopik (Beltrani dan
Boguneiwicz, 2003).
g. Penatalaksanaan
Aspek Nonfarmakologi
Penjelasan dan konseling merupakan bagian vital dari suksesnya
manajeman dermatitis atopik pada anak – anak. Merupakan hal yang
penting
untuk
berbicara
dalam
istilah
mengontrol
daripada
menyembuhkan. Kondisi dermatitis atopik seharusnya dijelaskan
sebagai kelainan multifaktorial dan harus dijelaskan bahwa tidak ada
istilah “sembuh” dalam arti yang sebenarnya dan tidak ada penyebab
tunggal dari kondisi atopik (Barnetson, 2002). Oleh karena itu perlu
dijelaskan hal – hal yang menyebabkan eksaserbasi dermatitis atopik,
antara lain :
1). Alergen, berupa makanan – makanan tertentu dan tungau debu
rumah. Menghindari makanan yang dicurigai menyebabkan
timbulnya penyakit kemungkinan membantu penyembuhan gejala
13
pada anak muda dengan penyakit yang parah, tetapi biasanya
tidak
membantu
pada
orang
dewasa
(Williams,
2005).
Pengurangan tungau debu dapat mengurangi derajat keparahan
dermatitis atopik (Williams, 2005).
2). Stres psikologis
3). Perubahan suhu yang mendadak
4). Pakaian yang menyebabkan gatal, seperti wol.
Aspek Farmakologi
1). Kortikosteroid topikal
Pengobatan dengan kortikosteroid topikal cukup efektif baik
untuk
lesi
menghambat
akut
maupun
peradangan
kronis,
melalui
kortikosteroid
CGR
bekerja
(cytoplasmic
glucocorticoid receptor) pada sel target. Ikatan kortikosteroid
dengan reseptor tersebut menyebabkan penghambatan proses
transkripsi dari berbagai macam gen proinflamasi yang mengkode
protein seperti sitokin, chemokin, makrofag, inflammatory
protein-1, monocyte chemotactic protein-1 dan molekul adhesi
(ICAM-I, VCAM-I dan E-selectin) (Leung et al, 2004).
2). Penghambat calcineurin topikal
Tacrolimus dan pimecrolimus merupakan contoh agen topikal
penghambat calcineurin.
14
3). Preparat Tar
Preparat tar memiliki efek
anti inflamasi yang lebih kecil
dibandingkan kortikosteroid topikal.
4). Pelembab dan emolien
5) Obat anti infeksi. Terutama untuk infeksi sekunder akibat S.
aureus.
6). Anti histamin
2. Staphylococcus aureus
Habitat dan Morfologi
Meskipun kulit pada umumnya bukan merupakan tempat yang
sesuai
untuk
sebagian
besar
mikroorganisme,
kulit
mendukung
pertumbuhan beberapa mikroba tertentu yang ditetapkan sebagai bagian
dari flora normal kulit (Tortora, Funke, Cast, 1995). Karena kulit terusmenerus berkontak dengan lingkungan sekitarnya, kulit cenderung
mengandung mikroorganisme sementara (Jawetz, Melnick dan Adelberg,
2001). Bahwa kulit manusia tidak steril mudah dimengerti oleh karena
permukaan
kulit
mengandung banyak nutrisi
untuk
pertumbuhan
organisme, antara lain lemak, bahan-bahan yang mengandung nitrogen,
mineral, dan lain-lain yang merupakan hasil tambahan proses keratinisasi
atau yang merupakan hasil apendiks kulit (FK UI,1999).
Organisme yang dominan adalah Staphylococcus epidermidis
yang tidak patogen pada kulit, organisme ini ditemukan lebih sering pada
15
kulit daripada kerabatnya yang patogen yaitu Staphylococcus aureus
(Levinson, 2004).
Bakteri Staphylococcus
merupakan bakteri
gram positif
berbentuk bulat yang pada mikroskop tampak berkelompok seperti buah
anggur (Todar, 2005). Genus Staphylococcus mempunyai paling sedikit 30
spesies. Tiga spesies yang utama adalah Staphylococcus aureus,
Staphylococcus
epidermidis,
Staphylococcus
saprophyticus
(Jawetz,
Melnick dan Adelberg, 2001).
Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang paling
penting dari genus (Parsonnet dan Deresiewicz, 2001). Staphylococcus
aureus berkembang dengan cepat pada suhu 37°C tetapi membentuk
pigmen paling baik pada suhu ruangan ( 20°-25°C) (Jawetz, Melnick dan
Adelberg, 2001). Staphylococcus aureus merupakan bakteri dengan sifat
koagulase
positif
(Levinson,
2004),
yang
membedakannya
dari
Staphylococcus epidermidis yang koagulase negatif (Ryan, 1994).
Staphylococcus aureus membentuk koloni yang agak besar
berwarna kuning pada media kaya (Todar, 2005). Setelah inkubasi selama
satu malam pada media agar darah, Staphylococcus aureus membentuk
koloni yang cembung, rendah, teratur dan halus dengan diameter 2- 3 mm
(Ryan, 1994). Pada media MSA ( manitol salt agar ), Staphylococcus
aureus memfermentasi manitol (Anonim, 2003). MSA merupakan media
yang biasa digunakan untuk tes penyaringan Staphylococcus aureus
16
(Levinson, 2004). Pada media Vogel Johnson koloni Staphylococcus
aureus membentuk koloni berwarna hitam (Remel, 2003).
Patogenesis
Staphylococcus aureus menyebabkan penyakit baik dengan cara
memproduksi toksin maupun dengan cara menginduksi radang pyogenik.
Lesi tipikal yang disebabkan oleh infeksi S. aureus adalah abses.
Beberapa macam toksin dan enzim penting diproduksi oleh S.
aureus. Tiga eksotoksin yang mempunyai arti klinis penting adalah
enterotoksin, toxic shock syndrom toksin dan exfoliatin (Levinson, 2004)
Eksotoksin yang diproduksi S. aureus seperti enterotoksin A, B
dan toxic shock syndrome toxin-1 dapat beraksi sebagai superantigen dan
menyebabkan inflamasi yang persisten maupun eksaserbasi dari dermatitis
atopik. Lebih dari setengah penelitian mengenai penderita dermatitis atopik
menemukan hasil berupa toksin yang disekresikan oleh S. aureus yang
dikultur dari kulit mereka. Para penderita tersebut membuat antibodi IgE
spesifik yang ditujukan kepada toksin yang ditemukan pada kulit mereka
(Hay et al, 2003).
3. Kolonisasi Staphylococcus aureus pada dermatitis atopik
Manusia merupakan reservoir
utama bagi Staphylococcus
aureus di alam (Parsonnet dan Deresiewicz, 2001). Habitat dasar
Staphylococcus aureus pada manusia adalah nasal bagian depan (Ryan,
1994).
17
Kolonisasi Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh faktor
mikroba maupun pejamu dan juga pada dasarnya dengan berkompetisi
dengan flora alami yang bukan Staphylococcus. Pembawaan kuman lebih
sering terjadi pada orang yang secara frekuen terpapar Staphylococus dan
pada mereka yang terbiasa atau secara kronis mengalami gangguan pada
integritas epitel kulit (Parsonnet dan Deresiewicz, 2001).
Kulit pada hampir 100% penderita dermatitis atopik mengalami
kolonisasi oleh Staphylococcus aureus (Breuer et al, 2002). Staphylococcus
aureus merupakan faktor pemicu dermatitis atopik yang telah banyak
diketahui. Selain karena adanya superantigen, eksotoksin lebih lanjut yang
diproduksi oleh Staphylococcus aureus mungkin mempunyai pengaruh
terhadap penyakit tersebut. Superantigen merupakan protein dengan berat
molekul yang tinggi, diproduksi oleh bakteri yang berbeda (Staphylococci,
Streptococci, Yersinia, Mycoplasma) dan virus. Superantigen yang
diproduksi oleh Staphylococcus aureus dapat masuk (penetrasi) pada
epidermis dan dermis dimana mereka berinteraksi dengan sel-sel imun kulit
seperti limfosit T dan APC (antigen presenting cell) lewat jalur inilah
Staphylococcus aureus menyebabkan inflamasi kronis(Breuer et al, 2005).
Kolonisasi persisten Staphylococcus aureus lebih sering terjadi pada pria
(Guzik et al, 2005).
Banyak faktor terlibat dalam kejadian kolonisasi Staphylococcus
aureus pada pasien dermatitis atopik termasuk diantaranya berubahnya
kulit sebagai pelindung ( barrier ), naiknya perlekatan bakteri terhadap
18
kulit, adanya kerusakan dalam mekanisme pembersihan bakteri oleh kulit,
dan menurunnya respon imun alami pada penderita (Baker, 2006).
B. Kerangka Pemikiran
Penderita dermatitis atopik
Berubahnya fungsi kulit sebagai pelindung
Naiknya perlekatan bakteri terhadap kulit
Kerusakan dalam mekanisme pembersihan bakteri
Menurunnya respon imun alami
Ketidakseimbangan flora normal kulit
Kolonisasi bakteri
S. aureus meningkat
Obat-obatan
Higiene pribadi
Status imun
C. Hipotesis
Mengacu pada landasan teori dan kerangka berpikir di atas, maka
dapat dirumuskan suatu hipotesis bahwa ada perbedaan kejadian kolonisasi
Staphylococcus aureus pada kulit penderita dermatitis atopik dan bukan penderita
dermatitis atopik.
19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di poliklinik kulit dan kelamin Rumah
Sakit Dr. Moewardi Surakarta dan di laboratorium Mikrobiologi Fakultas
Kedokteran UNS.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah pria maupun wanita dengan kriteria inklusi :
1. Penderita dermatitis atopik usia 1 – 55 tahun yang telah didiagnosis
oleh dokter
2. Tidak minum antibiotik dalam satu minggu terakhir
3. Tidak memakai kortikosteroid topikal dalam satu minggu terakhir
4. Tidak memakai obat-obatan anti histamin
5. Tidak menderita diabetes
D. Teknik Sampling
Cara pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling.
20
E. Besar Sampel
Besar sampel yang digunakan sebanyak 30 orang, hal ini
disebabkan untuk contoh yang diambil dari populasi normal, kita dapat
mengharapkan derajat kepercayaan bila n ≥ 30 (Walpole, 1993). Sampel
sebanyak 30 orang tersebut dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok
penderita dermatitis atopik dan kelompok bukan penderita dermatitis atopik .
Masing – masing kelompok terdiri dari 15 orang.
F. Alat dan Bahan Penelitian
1. Panduan wawancara
2. Kapas lidi steril
3. NaCl fisiologis ( 0,9 % )
4. Media nutrien agar cair
5. Media Vogel Johnson. Media Vogel Johnson dikembangkan oleh Vogel
dan Johnson sebagai pembaharuan dari agar Tellurite-Glycine yang
pertama kali ditemukan oleh Zebovit, pembaharuan ini dengan
menambahkan lebih banyak manitol dan phenol red sebagai indikator.
Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna hitam karena
mampu mengubah potassium tellurite menjadi metallic tellurium yang
berwarna hitam.(Remel, 2003). Karena memiliki selektivitas dan
sensitivitas yang tinggi media ini boleh digunakan untuk mendeteksi
Staphylococcus aureus secara cepat dari spesimen klinik untuk
mengetahui agen penyebab penyakit (Hardy Diagnostics, 2000)
6. Inkubator
7. Quebec colony counter
21
G. Cara Kerja
1. Pengambilan data dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin RS Dr.
Moewardi Surakarta.
2. Sampel terdiri dari kelompok penderita dermatitis atopik dan bukan
penderita dermatitis atopik.
3. Usap spesimen dapat dilakukan pada daerah tangan, kaki atau muka
menggunakan kapas lidi steril yang dilembapkan di larutan NaCl
fisiologis untuk kemudian ditanam di media nutrien agar cair (inkubasi
selama 24 jam, 37C) dan kemudian ditumbuhkan di media VogelJohnson.
4. Media yang sudah ditanami kemudian diinkubasi selama 24-48 jam pada
suhu 37°C.
5. Setelah 24 jam diamati hasilnya, pada media yang ditumbuhi koloni
bakteri dilakukan pengamatan dan dicatat perkiraan jumlah koloni.
H. Rancangan Penelitian
Pasien Dermatitis Atopik
Bukan Pasien Dermatitis Atopik
Usap spesimen pada daerah
tangan, kaki atau muka
Usap spesimen pada daerah
tangan, kaki atau muka
Di tanam pada media nutrien agar
cair kemudian Vogel Johnson
Di tanam pada media nutrien agar
cair kemudian Vogel Johnson
S. aureus ( + )
S. aureus ( + )
S. aureus ( - )
Uji Statistik
S. aureus ( - )
22
I. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
: Kolonisasi Staphylococcus aureus
2. Variabel terikat
: Penderita dermatitis atopik
3. Variabel luar
a. Terkendali
1). Obat-obatan
b. Tak terkendali ;
1). Status imun
2). Higiene pribadi
J. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
: Kolonisasi Staphylococcus aureus
Kolonisasi dapat diartikan sebagai perkembangan sel dalam suatu bagian
yang
dibawa
oleh
metastasis
(Dorland,
2005).
Bakteri
yang
mengontaminasi kulit dapat hidup dan bermultiplikasi disebut kolonisasi
dan kemudian dapat menimbulkan penyakit infeksi. Kolonisasi berbeda
daripada infeksi, yakni pada kolonisasi hospes tidak memberikan respon
dan dengan demikian pada kolonisasi juga tidak terdapat kenaikan titer
antibodi (FK UI,1999). Kolonisasi Staphylococcus aureus dapat diartikan
sebagai perkembangan bakteri Staphylococcus aureus pada tubuh manusia
yang terjadi akibat kontak dengan bakteri tersebut. Alat ukur yang
digunakan untuk menilai ada tidaknya koloni adalah dengan kultur usap
sampel kulit. Hasil kultur dibedakan menjadi dua kategori yaitu ada koloni
dan tidak ada koloni. Variabel ini menggunakan skala nominal.
23
2. Variabel terikat : Penderita dengan diagnosis dermatitis atopik
Adalah orang yang didiagnosis oleh dokter menderita dermatitis atopik.
Seseorang, menurut Boiko et al (1999), didiagnosis menderita dermatitis
atopik bila memenuhi 4 kriteria major ditambah 3 kriteria minor berikut
ini :
Kriteria mayor :
a. onset penyakit ketika masa anak-anak
b. adanya gatal ( pruritus )
c. distribusi lesi yang khas
d. bersifat kronis atau sering kambuh
e. sejarah atopi pada keluarga
Kriteria minor :
a. Kulit kering ( xerosis )
b. Ichtyosis vulgaris (kulit kaki tebal dan pecah-pecah)
c. Hiperlinearitas telapak tangan
d. Keratosis pilaris
e. Aksentuasi daerah perifolikuler
f. Keterlibatan daerah tangan dan kaki
g. Cheilitis
h. Eksim pada areola mammae
i. Rentan terhadap infeksi kulit
j.
Reaksi hipersensitivitas tipe I
24
Sedangkan menurut Hanifin dan Lobitz kriteria yang harus terdapat pada
penderita dermatitis atopik adalah :
a. Pruritus.
b. Morfologi dan distribusi yang khas: likenifikasi fleksural pada orang
dewasa, gambaran dermatitis di pipi dan ekstensor bayi.
c. Kecenderungan menjadi kronis atau kambuh.
Alat ukur yang digunakan untuk menilai variabel tersebut di atas
adalah diagnosis kerja dokter di poliklinik. Hasil diagnosis adalah
penderita dermatitis atopik dan bukan penderita dermatitis atopik.
Variabel ini menggunakan skala nominal.
3. Variabel luar
Obat-obatan, status imun, higiene pribadi
Menurunnya imunitas humoral termasuk rendahnya jumlah
antibodi dan komplemen atau netrofil merupakan faktor predisposisi
terhadap infeksi bakteri Staphylococcus. Penyakit diabetes maupun
penggunaan obat- obat secara intravena merupakan faktor predisposisi
terhadap infeksi Staphylococcus aureus (Levinson, 2004).
Terapi dengan antihistamin oral dan kortikosteroid topikal
menghasilkan penurunan gejala secara signifikan, hal ini berkorelasi
dengan penurunan jumlah S. aureus dari kulit 70 % pasien yang diberi
terapi (Guzik et al, 2005).
25
K. Teknik Analisis Data
Data
dikelompokkan
dan
yang
diperoleh
dianalisis
dari
secara
hasil
kualitatif
penelitian
dengan
uji
kemudian
statistik
nonparametrik yaitu uji Eksak Fisher dan uji Koefisiensi Kontingensi dengan
program SPSS (Statistical Product and Service Solution) version 10.0 for
Windows.
26
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RS Dr.
Moewardi Surakarta selama bulan Agustus-Oktober 2006 dan dilanjutkan
bulan Januari-Februari 2007. Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 15
orang yang termasuk ke dalam kelompok pasien dermatitis atopik dan 15
orang sebagai kontrol yang terdiri atas mahasiswa dan pasien penyakit kulit
lain yang tidak mempunyai stigma atopi. Pengambilan sampel dilakukan
secara purposive sampling. Untuk mendapatkan data primer dilakukan usap
kulit pada sampel dan disertai dengan panduan wawancara.
Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan data sebagai
berikut :
Tabel 1 : Distribusi kolonisasi S. aureus pada kelompok penderita
dermatitis atopik dan bukan penderita dermatitis atopik
Status
sampel
Kolonisasi S.
aureus
Terdapat koloni
Tidak terdapat
koloni
Kelompok
Dermatitis
atopik
8 sampel
7 sampel
Kelompok
bukan penderita
dermatitis atopik
0 sampel
15 sampel
27
Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa dari 15 sampel
penderita dermatitis atopik terdapat 8 penderita (53,33%) yang melalui
penelitian ditemukan kolonisasi S.aureus pada usapan kulitnya, sedangkan
pada kelompok kontrol dari 15 sampel tidak satupun terdapat kolonisasi S.
aureus pada usapan kulitnya.
Tabel 2 : Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin dan terdapatnya
koloni Staph. aureus
Status pasien
Jenis kelamin
Penderita
dermatitis atopik
4
Bukan penderita
dermatitis atopik
1
Laki-laki
Koloni S. aureus
ada
tidak
0
4
Koloni S. aureus
ada
tidak
0
1
11
14
Perempuan
Koloni S. aureus
ada
tidak
8
3
Koloni S. aureus
ada
tidak
0
14
Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa
jumlah sampel
penderita dermatitis atopik sebanyak 11 orang (73,33%) berjenis kelamin
perempuan sedangkan sebanyak 4 orang (26,67%) berjenis kelamin laki-laki.
Sedangkan pada kelompok kontrol 14 orang (93,33%) berjenis kelamin
perempuan dan 1 orang (6,67%) berjenis kelamin laki-laki. Pada kelompok
pasien dermatitis atopik hasil kultur positif Staphylococcus aureus semua
didapatkan dari pasien perempuan, sedangkan pada kelompok kontrol baik
jenis kelamin laki-laki maupun perempuan tidak terdapat hasil kultur positif.
28
Tabel 3 : Distribusi sampel penderita dermatitis atopik berdasarkan
rentang usia dan terdapatnya kolonisasi Staph. aureus
Rentang usia
Koloni
S. aureus
ada
Tidak ada
Jumlah
pasien
Persentase
jumlah
pasien
1-12 tahun
2
3
5
33,33%
12-20 tahun
2
1
3
20%
21-40 tahun
3
1
4
26,67%
41-55 tahun
1
2
3
20%
Dari tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa jumlah pasien
terbanyak berada pada rentang usia 1-12 tahun (33,33%), kemudian diikuti
dengan jumlah pasien pada rentang usia 21-40 tahun (26,67%) sedangkan
jumlah pasien pada rentang usia 41-55 tahun dan 12-20 tahun keduanya
mempunyai persentase yang sama besar (20 %). Persentase kolonisasi S.
aureus paling banyak didapatkan pada pasien dengan rentang usia 21-40 tahun
yaitu sebanyak 3 orang dari 4 orang pasien (75%), kemudian diikuti pada
pasien dengan rentang usia 12-20 tahun yaitu 2 orang dari 3 orang pasien
(66%), pada pasien dengan rentang usia 1-12 tahun sebanyak 2 orang dari 5
orang pasien (40%), dan terakhir pada pasien dengan usia 40-55 tahun yaitu 1
orang dari 3 orang pasien (33,33%).
29
B. Analisis Data
Data yang telah didapatkan dari hasil penelitian kemudian
diolah dengan SPSS versi 10 menggunakan uji eksak Fisher dan koefisien
kontingensi. Uji eksak Fisher digunakan karena data mempunyai variabel
nominal dan terdapat sel yang bernilai 0, sehingga uji Chi-Square tidak dapat
digunakan.
1. Uji eksak Fisher
Ho : Tidak terdapat perbedaan proporsi kejadian kolonisasi S. aureus
antara kelompok penderita dermatitis atopik dengan kelompok bukan
penderita dermatitis atopik.
Ha : Terdapat perbedaan proporsi kejadian kolonisasi S. aureus antara
kelompok penderita dermatitis atopik dengan kelompok bukan penderita
dermatitis atopik.
Dari pengujian dengan uji eksak Fisher (two tailed) didapatkan
hasil p = 0,002 , di mana p<  : 0,01 sehingga pada  : 0,01 dan taraf
kepercayaan 99% kita dapat menolak Ho dan menerima Ha. Maka dapat
disimpulkan terdapat perbedaan proporsi kejadian kolonisasi S. aureus
antara kelompok penderita dermatitis atopik dengan kelompok bukan
penderita dermatitis atopik.
2. Uji Koefisien Kontingensi
Ho : Tidak terdapat hubungan antara status dermatitis atopik dengan
kejadian kolonisasi S. aureus.
30
Ha : Terdapat hubungan antara status dermatitis atopik dengan kejadian
kolonisasi S. aureus.
Melalui hasil olah data dengan SPSS didapat nilai p = 0,001 dengan nilai
korelasi sebesar 0,516. Dari hasil tersebut kita dapat menolak Ho pada  :
0,01 dan taraf kepercayaan 99%, maka dapat disimpulkan terdapat
hubungan antara status dermatitis atopik dengan kejadian kolonisasi S.
aureus.
31
BAB V
PEMBAHASAN
Berdasarkan data yang diperoleh dari usap kulit sampel yang
telah diolah dengan uji statistik terdapat perbedaan proporsi kejadian kolonisasi S.
aureus yang signifikan antara kelompok penderita dermatitis atopik dengan
kelompok bukan penderita dermatitis atopik.
Perbedaan tersebut menunjukkan adanya perubahan struktur
fisiologis kulit penderita dermatitis atopik. Menurut Baker (2005) , S. aureus
terikat secara kuat pada sel korneosit yang paling atas dari kulit penderita
dermatitis atopik dan kemudian dapat mempenetrasi epidermis lewat ruang
interseluler yang mungkin disebabkan oleh kurangnya lipid pada kulit penderita
dermatitis atopik.
Suseptibilitas kulit pasien dermatitis atopik terhadap kolonisasi
oleh S. aureus dapat dijelaskan sebagai berikut: S. aureus mempunyai reseptor
bernama adhesins yang terletak pada dinding selnya, reseptor ini mampu
mengadakan ikatan dengan fibronectin dan fibrinogen yang terdapat dalam lapisan
epidermis dan dermis kulit manusia. Pada penderita dermatitis atopik ikatan
tersebut dipermudah karena stratum korneum kulit penderita dermatitis atopik
tidak lagi intak akibat deteriorasi kompisisi lipid kulit yang pada gilirannya
meningkatkan perlekatan kulit terhadap S. aureus (Breuer et al, 2002).
32
Pada penderita dermatitis atopik rata-rata tingkat keasaman
(pH) kulit sedikit lebih basa, dan jumlah sphingosine stratum korneum mengalami
penurunan baik pada kulit yang berlesi maupun tidak berlesi. Sphingosine
merupakan salah satu metabolit sphingolipid yang memiliki potensi efek
antimikrobial pada tingkat fisiologis, selain itu sphingosine memiliki peranan
penting dalam mekanisme pertahanan terhadap bakteri pada kulit orang normal
(Arikawa et al, 2001).
Selain karena kurangnya sphingosine, menurut penelitian yang
dilakukan oleh Pilgram et al (2001) terdapat perbedaan komposisi lipid kulit
antara penderita dermatitis atopik dengan orang normal dalam hal jumlah ceramid
dan asam lemak bebas yang mengakibatkan naiknya TEWL (trans epidermal
water loss) dan rusaknya fungsi barrier kulit.
Faktor
lain
yang
memberikan
kontribusi
terhadap
meningkatnya kolonisasi S. aureus pada kulit pasien dermatitis dapat dilihat pada
gambar berikut :
Th2 >>
Th1
Gambar 1. Defek sistem imun alami pada kulit pasien dermatitis atopik
Diambil dari jurnal Clinical and Experimental Immunology, 144: 4.
The Role of Microorganisms in Atopic Dermatitis, B.S. Baker, 2006.
33
Pada gambar di atas dapat dilihat pada penderita dermatitis
atopik terjadi ketidakseimbangan proporsi sel Th2 dan Th1 dalam imunitas kulit
mereka, di mana sel Th2 mengalami predominansi jika dibandingkan dengan sel
Th1. Hal tersebut berakibat pada naiknya sitokin-sitokin yang diproduksi oleh sel
Th2 seperti IL-4 dan IL-13, sitokin-sitokin tersebut mempunyai efek inhibisi pada
sintesis molekul-molekul antimikrobial kulit seperti HBD-2/3 (Human β Defensin
2/3), LL-37 (anggota cathelicidin), iNOS (induced nitric oxide synthetase) dan IL8. Menurunnya jumlah molekul antimikrobial kulit tersebut berakibat pada
naiknya perlekatan bakteri pada kulit penderita dermatitis atopik.
Pada kelompok kontrol tidak ditemukan S. aureus dari hasil
usap sampel kulit mereka, hal ini disinyalir karena fungsi barrier kulit tidak
mengalami perubahan baik ditinjau dari komposisi lipid maupun sistem
imunitasnya.
Dari hasil penelitian didapatkan pula jumlah keseluruhan
bakteri yang berbeda pada masing-masing sampel, oleh peneliti jumlah bakteri
dikelompokkan dalam tingkatan :
1 : tidak ada koloni yang tumbuh
2 : rendah (<10 koloni /plate)
3 : sedang ( 11-100 koloni/plate)
4 : tinggi (>100 koloni/plate)
pada kelompok dermatitis atopik jumlah bakteri yang tumbuh beragam dari satu
sampel dengan yang lain, mulai dari tidak ada koloni yang tumbuh hingga sampel
34
yang memiliki jumlah koloni tinggi (>100/plate). Hal ini terjadi karena peneliti
tidak membedakan tingkat keparahan lesi pada kulit penderita dermatitis atopik
sehingga didapatkan hasil yang beragam, sebab menurut Baker (2005) terdapat
hubungan sebab-akibat antara jumlah bakteri yang terdapat pada kulit dengan
tingkat keparahan penyakit pada penderita dermatitis atopik selain itu peneliti juga
tidak membedakan antara pasien kontrol (yang telah mendapatkan pengobatan)
dengan pasien baru (belum mendapatkan pengobatan) hal ini disebabkan karena
penelitian berjenis observasional analitik dengan pendekatan cross sectional.
35
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Terdapat perbedaan proporsi kejadian kolonisasi S. aureus antara kelompok
penderita dermatitis atopik dengan kelompok bukan penderita dermatitis
atopik.
2. Terdapat hubungan antara penyakit dermatitis atopik dengan kejadian
kolonisasi S. aureus.
B. Saran
Peneliti menyarankan untuk meneruskan penelitian dengan :
1. Membedakan derajat tingkat keparahan penyakit pada masing-masing
sampel sehingga hubungan antara derajat keparahan penyakit dan jumlah
koloni bakteri dapat diketahui.
2. Meneliti efek pengobatan terhadap kejadian kolonisasi S. aureus pada
penderita dermatitis atopik.
36
DAFTAR PUSTAKA
Arikawa et al.(2002).Decreased Level of Sphingosine, a Natural Antimicrobial
Agent, may be Associated with Vulnerability of The Stratum Corneum
from Patient with Atopic Dermatitis to Colonization by Staphylococcus
aureus. J Invest Dermatol.119:433-39.
Baker B.S.(2005).The Role of Microorganism in Atopic Dermatitis.
Clin Exp Imm.144:1-9.
Barnetson R.St.C.(2002).Childhood Atopic Eczema.
BMJ.324(7350):1376-9.
Baron E.D et al.(2002).Management of Atopic Dermatitis.
Br J Dermatol.147:710-715
Beltrani V.S, Boguneiwicz M.2001.Atopic Dermatitis.
http://www.medscape.com (25 Maret 2006).
Breuer K et al.(2002).Staphylococcus aureus: colonizing features and influence of
an antibacterial treatment in adult with atopic dermatitis. Br J
Dermatol.147:55-61
Daniel W.W, 1989.Statistika Nonparametrik Terapan.
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Djuanda S, Sularsito S.A, 1999.Dermatitis.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta, FK UI, p:133.
Geo F.Brooks, Janet S.Butel, Stepher A.Moore, 2001.The Staphylococci. In:
Jawets, Melnic and Adelberg’s Lange Medical Microbiology 22nd ed.
Boston, McGraw-Hill, pp:415-22.
Guzik T.J et al.(2005).Persistent Skin Colonization with Staphylococcus aureus in
Atopic Dermatitis: Relationship to Clinical and Immunological
Parameters. Clin Exp Allergy.35(4):448-55.
Hardy Diagnostics.2000.Criterion TM Vogel and Johnson Agar.
http://www.hardydiagnostics.com (1 Mei 2006).
Hay W.W et al, 2003. Atopic Dermatitis in Current Pediatric Diagnostic and
Treatment 16th ed. Boston, McGraw-Hill, pp:516.
37
Jeffrey Parsonnet, Robert L.Deresiewics,2001.Staphylococcal infections. In:
Harrison Principles of Internal Medicine vol.I. Boston, McGraw-Hill,
pp:197-202.
John Murtagh, 2003. Common Skin Disease in General Practice. Boston,
McGraw-Hill, pp:1150-53.
Kenneth J.Ryan, 1994.Staphylococci. In: Sherris Medical Microbiology: an
Introduction to Infectious Disease. Connecticut, Appleton and Lange,
pp:253-55.
Kluken et al.(2003).Atopic Eczem/Dermatitis Syndrome-a Genetically Complex
Disease.New Advances in Discovering the Genetic Contribution.
Allergy.58:5-12.
Levinson W, 2004.Medical Microbiology and Immunology: Examination and
Board Review 8th ed. Boston, McGraw-Hill, pp:103-6
Leung D.Y.M et al.(2004).New Insight to Atopic Dermatitis.
J Clin Invest.113(5):651-7.
Leung D.Y.M, Greaves M.2000.Allergic Skin Disease: a Multidisciplinary
Approach. New York, Mercel Dekker Inc, pp:128-34.
Murti B, 1994.Penerapan Metode Statistika non Parametrik dalam Ilmu-Ilmu
Kesehatan. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Patricia Boiko, Susan E. Boiko, 1999.Dermatitis-Eczema. In: Barry D.Lewis
Primary Care. Boston, McGraw-Hill, pp:415-22.
Pilgram et al.(2001).Aberrant Lipid Organization in Stratum Corneum of Patients
with Atopic Dermatitis and Lamellar Ichtyosis. J Invest
Dermatol.117:710-17.
Remel.2003.Vogel and Johnson Agar.
http://www.remel.com (1 Mei 2006).
Sampson H.A.(1997).Food Sensitivity and The Pathogenesis of Atopic
Dermatitis. J R SocMed.90(suppl 30):2-8.
Sularsito S.A, 1993.Dermatitis.
Jakarta, Yayasan Penerbitan IDI, pp:5-13.
Todar K.2005.Staphylococcus.
http://www.textbookofbacteriologi.net (31 Maret 2006).
38
Tortora G.J, Funke B.R, Case C.L, 1995.Microbiology: an Introduction 5th ed.
California, The Benjamin/Cummings Publishing Company Inc, p:516.
Verboom P et al.(2002).The Cost of Atopic Dermatitis in the Netherlands: an
international comparison. Br J Dermatol.147:716-724.
Walpole R.E, 1995. Pengantar Statistika edisi ke 3.
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
William H.C.(2005).Atopic Dermatitis.
N Engl J Med.352:2314-24.
Wiryadi B.E, 1999.Mikrobiologi Kulit. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta,
FK UI, pp:19-20.
Download