Di Balik Kata “CINA”

advertisement
Di Balik Kata “CINA”
Apa sebenarnya arti kata “Cina”? Mengapa orang-orang keturunan Cina di Indonesia
merasa keberatan untuk dipanggil “Cina”? Bahkan beberapa tahun yang lalu pernah
ada sinetron Indonesia yang berjudul “Jangan Panggil Aku Cina”. Apa arti kata “Cina”
sebenarnya dan mengapa kata itu menjadi sangat sulit diterima?
Lalu bagaimana pula dengan kata “Tiongkok”, “Tionghoa” dan “Mandarin” yang sering
digunakan untuk menyebut negara, bangsa dan bahasa China? Dari mana asal
kata-kata tersebut? Saya mencoba mengumpulkan data-data untuk memberikan
informasi mengenai hal itu.
ASAL KATA “CINA”
Sebenarnya nama Cina atau China sendiri sudah dikenal oleh orang Barat sebelum
Marco Polo masuk ke Tiongkok (Marco Polo masuk ke Tiongkok pada zaman Dinasti
Yuan), dan periode semenjak ditutupnya Jalur Sutera hingga zaman Marco Polo sama
sekali tidak ada kontak antara Barat dengan Cina (saat itu pula pedagang-pedagang
dari Arab dan Gujarat belum lagi merintis jalur laut yang menghubungkan antara
Barat dengan Cina). Kalau kita ingat pula ada salah satu pepatah Arab yang
mengatakan: “Uthlubul ‘ilma walaw bish shiin” atau “Tuntutlah Ilmu sampai ke Negeri
Cina” (di sini Cina dituliskan dalam bahasa Arab “Shiin”). Katakanlah Islam baru tiba
di Arab tahun 600-an Masehi dan masuk ke Cina era Khalifah Utsman bin Affan,
yang manapun, nama “Shiin” atau “Cina” berarti sudah dikenal 1200 tahun sebelum
Invasi Jepang ke Cina.
(http://www.eramuslim.com/ustadz/hds/…ina-adakah.htm)
Kata Cina sendiri diperkirakan berasal dari serapan bahasa Barat untuk menyebut
“Negara Qin (baca: Cin)”. Pada era Reunifikasi Cina, Negara Qin menyatukan seluruh
Cina Daratan dalam satu aturan, satu ukuran, satu negara, satu bahasa, dan satu
1
tulisan, yaitu Aturan Qin, Ukuran Qin, Negara Qin, Bahasa Qin, dan Tulisan Qin.
“Tulisan Qin” (The Qin Writing) ini lalu menjadi dasar bagi tulisan Cina hingga
sekarang. Besar kemungkinan dari nama tulisan inilah nama “Cina” diserap.
Oleh orang Arab, Qin disebut sebagai “Shiin”, kemungkinan besar ini lalu
diparafrasekan menjadi “Sino”, dari sini (mungkin) nama “Sino” lalu dibawa ke Eropa
dan diserap dalam Dialek Germanic “Chine” (Franks: baca “Sin”), yang pada akhirnya
lalu oleh orang Inggris menjadi “China” (ini karena sebagian bahasa Inggris
terpengaruh juga oleh serapan dari bahasa Perancis selain dari Induk Bahasa
Germanic).
Teori Pertama, ketika Napoleon Bonaparte menguasai Eropa (termasuk Belanda),
mungkin juga kata ini masuk ke Belanda yang lalu membawanya ke Indonesia.
Teori kedua adalah bahwa kata “Cina” berasal dari bahasa Portugis “Cino”
(kemungkinan besar terpengaruh dialek Perancis) yang lalu terbawa ke Melayu.
Teori ketiga adalah bahwa dari Arab, kata “Shiin” dibawa ke Nusantara yang lalu
diadopsi menjadi “Cina”. Yang manapun teori ini…yang pasti adalah bahwa kata yang
baku dalam bahasa Indonesia sebenarnya adalah “CINA” bukan “CHINA”. Ini karena
dalam Aksara Jawa, tidak dikenal “CH” dan sebutan “Ai” untuk “i”. Mengenai dari
akar bahasa mana dikenal Cina, mungkin sekali adalah dari Bahasa Jawa, tapi
“CHINA” adalah EJAAN YANG HANYA DIKENAL DALAM BAHASA INGGRIS
(padahal Inggris baru masuk ke Indonesia tahun 1805). Bahasa Jerman sebagai
induk bahasa Inggris hanya mengenal “China”(dibaca: Cina).
ASAL KATA “TIONGKOK” DAN “TIONGHOA”
Tiongkok berasal dari kata “Zhong Guo” (baca: Chung Kuo)
yang diartikan sebagai “Negara Pusat” atau “Dataran Pusat”. Sementara itu
Tionghoa berasal dari kata “Zhong Hua” (baca: Chung Hua) atau yang berarti “Segala
sesuatu mengenai Dataran (Negara) Pusat”. Tiongkok dipakai untuk menyebut
seluruh wilayah nasional Cina, sementara Tionghoa menunjukkan hal kebangsaan.
2
Menyebut “Tiongkok dan Tionghoa” sama saja seperti menyebut “Great Britain dan
British”. Oleh karena itu, kita tidak menyebut “Negara Tionghoa” melainkan “Negara
Tiongkok”, juga tidak menyebut “Bahasa Tiongkok” tapi “Bahasa Tionghoa”.
ASAL KATA “MANDARIN”
“Mandarin” sendiri sebenarnya berasal dari kata “Mantrin” atau dalam Bahasa
Melayu berarti “Magistrate” (ini berasosiasi dengan kata “Mantri” yang lalu
diartikan sebagai “Menteri”). Ini mungkin untuk menyebut Perwalian dari Dinasti
Ming di Tiongkok atas wilayah-wilayah koloni di sekitar “Nan Hai” atau Laut China
Selatan (antara lain Cham Papura, Tumasik, Malaya, Majapahit, Cha-li-fo-che, dan
Annam).
(http://akula9.blogspot.com/2007/11/another-china-discussion-dari-forum-ke.html)
MENGAPA “CINA” BERKONOTASI NEGATIF
Saya pernah bertanya kepada beberapa teman keturunan Cina, mengapa mereka
tidak mau dipanggil “Cina” tetapi tidak keberatan kalau dipanggil dengan sebutan
China (baca: Cayna), Chinese (Caynis) atau Tionghoa. Mereka bilang, tidak terlalu
tahu alasannya namun rasanya tidak enak saja mendengarnya. Sepertinya kata “Cina”
memiliki konotasi negatif. Berdasarkan beberapa sumber saya menemukan beberapa
alasan mengapa kata “Cina” terkesan tidak enak didengar, yaitu:
Menurut para ahli estimologi atau ahli asal kata yang menyusun kamus bahasa
Inggris Oxford, kata China kemungkinan besar mengacu pada dinasti Qin, yang
menguasai Tiongkok pada abad ke-3 SM. Artinya, kurang lebih adalah “orang-orang
dari dinasti Qin”. Tetapi harian Kompas pernah mencatat dalam artikel tanggal 23
Oktober 2005 yang berjudul “Kebangkitan Si Orang Sakit” bahwa kata China
mungkin juga berasal dari bahasa Jepang “Zhi na” yang artinya orang sakit.
Ada juga yang berpendapat, istilah China digunakan oleh Jepang karena kata itu
bermakna “daerah ujung” atau “daerah pinggiran” alias “orang udik”. Dengan arti
yang demikian, sebutan Cina untuk penduduk RRC oleh fasis Jepang tentu
dimaksudkan sebagai sebuah ejekan atau makian.
(http://indonesian.cri.cn/1/2006/07/21/[email protected])
Konotasi negatif itu begitu membekas sehingga sampai sekarangpun orang-orang
keturunan Cina tidak ingin dipanggil dengan sebutan Cina. Sehingga dapat dipahami
alasan di balik kata “Cina”.
3
Download