POTENSI ANTIOKSIDAN SENYAWA

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ficus racemosa, Linn
1. Taksonomi
Berikut adalah taksonomi tanaman Ara (Shikhsarthi et al., 2011).
Kingdom
:
Plantae
Subkingdom
:
Tracheobionata
Superdivisi
:
Spermathophyta
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Magnoliopsida
Subkelas
:
Hamamelididae
Ordo
:
Urticales
FamilI
:
Moraceae
Genus
:
Ficus
Spesies
:
Ficus racemosa, Linn atau Ficus
glomerata, Roxb
2. Habitat dan Morfologi
Ficus racemosa, Linn termasuk dalam genus ficus yang terdiri dari 750-800
spesies yang memiliki manfaat medis dan telah digunakan secara empiris untuk
pengobatan berbagai penyakit (Shiksharti et al., 2011). Tanaman ini merupakan
tumbuhan asli Australia, Asia Tenggara dan semenanjung India.
8
Biasanya tumbuh di hutan tropis dan dekat dengan air (Joseph et al., 2011).
Habitat terbaik pada ketinggian sekitar 1200 m di atas permukaan laut. Tinggi
tanaman dapat mencapai 12 m (Paarakh, 2009).
3. Efek Farmakologi
Dalam sistem pengobatan tradisional India, semua bagian tanaman ini dapat
digunakan sebagai obat (Shikhsarthi et al., 2011). Beberapa kegunaan empiris
yang pernah dilaporkan disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Penggunaan empiris tanaman Ara untuk tujuan pengobatan
Tujuan Pengobatan
1.Lepra, diare, menorhagi, gangguan pernapasan
dan sirkulasi darah
Referensi
Buah
(Joseph et al., 2010; Sharma et
al., 2008)
2.Anti kanker dan untuk pengobatan scabies, Buah
myalgia, epididimitis, haemoptysis dan gangguan
kesuburan
(Paarakh, 2009; Bheemachari et
al., 2007)
3.Gangguan ginekologi, penyakit kulit, disentri, Batang
gonorrhoae,
leucorrhoae,
mennorrhagie, dan
galactogogue, asma, diabetes dan untuk tujuan kulit
aborsi
(Kumar et al., 2011; Shikhsarthi
et al., 2011)
4.Edema, parotitis, vaginal disorders, aprodisiak,
analgesik pada sakit gigi, anti infeksi dan untuk Lateks
penyembuhan luka
(Paarakh, 2009)
5.Bronkitis, astringent, pengobatan abses dan anti Daun
infeksi pada mulut
(Bheemachari et
Paarakh, 2009)
6.Disentri, diabetes dan anti inflammasi
(Shikhsarthi et al., 2011)
Akar
al.,
2007;
9
Uji farmakologis tanaman Ara yang pernah diteliti dan dilaporkan adalah
seperti ditunjukkan Tabel 2.
Tabel 2. Aktivitas farmakologi tanaman Ara yang telah diteliti dan dilaporkan
Uji Farmakologi
Sediaan
Referensi
1. Anti diuretik
Rebusan batang
Ratnasooriya et al., 2003
2. Antitusif
Ekstrak metanol dari kulit
batang
Bhaskara et al., 2003
3.Antelmintik
Ekstrak dari batang
Chandrasekhar et al., 2008
4.Anti bakteri
Ekstrak alkohol dari daun
Shaikh, T et al., 2010
5.Analgesik
Malairajan et.al, 2006
6.Hepatoprotektif
Ekstrak dari batang dan
daun
Ekstrak etanol dari daun
7.Antioksidan
Ekstrak etanol dari daun
Veerapur et al., 2009
8.Antipiretik
Ekstrak etanol/air dari kulit
batang
Rao et al., 2002
9.Anti filariasis
Ekstrak metanol dari kulit
batang
Mishra et al., 2000
10. Anti inflammasi
Ekstrak air dari buah
Mandal et al., 2000; Li et al.,
2004
11. Anti fungi
Ekstrak etanol dari daun
Deraniyagala et al.,
Vonshak et al., 2003
12. Hipolipidemik
Ekstrak
metanol
dari
batang
Ekstrak metanol dari kulit
batang
Sophia et al., 2007
Ekstrak etanol dari akar
(Goyal, 2012)
Goyal, 2012
13. Hipoglikemik
14. Antimikroba
Mandal et al., 2009
Kar et al., 2003
1998;
10
4. Akar Tanaman Ara
Akar tanaman Ara berwarna kecoklatan, panjang dan memiliki rasa dan bau
yang khas. Bentuknya relatif tak beraturan seperti terlihat pada Gambar 1.
Menurut
Krishna et al. (2011), akar mengandung glikosida, flavonoid dan
senyawa fenolik lain.
Gambar 1. Tanaman Ara (Ficus racemosa, Linn) dan akar tanaman Ara (Ficus
racemosa, Linn)
B. Flavonoid
1. Pengertian Umum
Istilah flavonoid diberikan untuk senyawa-senyawa fenol yang berasal dari
flavon, yaitu nama dari salah satu jenis flavonoid yang paling banyak jumlah dan
sebarannya. Senyawa flavon ini mempunyai kerangka 2 fenil kromon. Struktur
senyawa ini memiliki kerangka C6-C3-C6. Pengelompokan golongan flavonoid
didasarkan pada pola substitusi pada kedua cincin aromatik dan pola yang berbeda
pada C3 menjadi flavon, flavonol, flavanon, antosianidin, katekin dan kalkon.
Struktur umum flavonoid seperti terlihat pada Gambar 2 (Harborne, 1987).
11
flavon
isoflavon
flavonol
katekin
flavonon
dihidroflavonol
antosianin
kalkon
Gambar 2. Struktur umum senyawa flavonoid
Flavonoid merupakan metabolit sekunder yang paling banyak jumlahnya
yaitu sekitar 5-10% total metabolit sekunder. Senyawa ini terdapat dalam tanaman
terutama yang berpembuluh (kecuali alga). Diperkirakan 2% dari karbon yang
difotosintesis tumbuhan akan menjadi flavonoid dengan struktur dan fungsi yang
berbeda. Flavonoid terdapat dalam semua bagian tanaman seperti buah, biji, akar,
batang, kayu batang, daun dan bunga (Markham, 1998).
Di alam, keberadaan flavonoid umumnya tidak tunggal
karena
adanya
pengaruh air, panas matahari dan enzim maka strukturnya cepat berubah bentuk
dan seringkali terdapat pada suatu kesetimbangan. Hal ini bisa kita pahami bila
melihat alur biogenesis dari flavonoid secara umum seperti Gambar 3.
12
O
Jalur asetat-malonat
O
O
CH 3 C CH 2 C CH 2 C SCoA
O
O
OH
OH
OH
O
HO
OH
Jalur shikimat
O
SCoA
flavanon
O
dihidrocalkon
O
OH
O
OH
OH
HO
O
OH
CH
HO
HO
OH
OH
O
OH
auron
calkon
OH
OH
O
O
HO
OH
O
OH
HO
O
HO
OH
O
OH
O
OH
flavon
OH
O
OH
flavanol
OH
HO
HO
OH
OH
HO
O
pterocarpan
OH
OH
O
O
O
antosianidin
O
OH
O
O
HO
OH
OH
isoflavon
O
OH
HO
OH
dihidroflavonol
OH
O
O
flavonol
OH
rotenoid
Gambar 3. Alur biosintesis beberapa senyawa flavonoid (Mabry et al., 1970)
2. Efek Farmakologi
Flavonoid memiliki aktivitas biologi seperti sebagai anti bakteri, anti
kolesterol, anti hiperlipidemia, anti virus, anti diabetes, anti radang, anti kanker
(Neldawati et al., 2013; Nakamura et al., 2003). Flavonoid juga dapat berlaku
sebagai antioksidan karena sifatnya sebagai akseptor yang baik terhadap radikal
bebas, yaitu suatu spesies yang memiliki satu atau lebih elektron tak berpasangan
dalam orbitalnya seperti hidroksi radikal dan superoksida yang biasa disebut
sebagai ROS (Reactive Oxigen Species) (Sathiskumar et al., 2008).
OH
13
Efek antioksidan senyawa flavonoid disebabkan oleh adanya penangkapan
radikal bebas melalui donor proton hidrogen dari gugus hidroksil flavonoid (Amic
et al., 2003). Aktivitas antioksidan
pada flavonoid terutama dipengaruhi
substitusi gugus hidroksi pada posisi orto dan para terhadap gugus OH dan OR
(Pratiwi, 2006).
C. Radikal bebas
1. Pengertian Umum
Secara terminologi, pengertian oksidan dan radikal bebas seringkali dianggap
sama. Aktivitas keduanya menghasilkan akibat yang serupa walaupun prosesnya
berbeda. Namun secara kimia, keduanya adalah berbeda karena istilah oksidan
dimaksudkan untuk spesies kimia yang bisa menerima elektron, yaitu senyawa
yang dapat menarik elektron seperti halnya Fe3+ yang dapat menarik elektron
sehingga menjadi Fe2+ sedangkan radikal bebas adalah suatu bahan kimia baik
berupa atom maupun molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada
lapisan luarnya (Droge, 2002).
Pada proses metabolisme normal, tubuh memproduksi radikal bebas. Atom
atau molekul dengan elektron bebas ini dapat digunakan untuk menghasilkan
tenaga dan beberapa fungsi fisiologis seperti kemampuan untuk membunuh virus
dan bakteri dan mengatur tonus otot polos pada organ tubuh dan pembuluh darah.
14
Namun karena mempunyai tenaga yang sangat tinggi dan kecenderungan
untuk berikatan dengan elektron dari substrat lain, zat ini akan merusak jaringan
normal terutama jika jumlahnya terlalu banyak. Radikal bebas dapat mengganggu
produksi DNA, lapisan lipid pada dinding sel, mempengaruhi pembuluh darah,
dan produksi prostaglandin (Droge, 2002).
Radikal bebas juga dijumpai pada lingkungan, beberapa logam (misalnya
besi dan tembaga), asap rokok, polusi udara, obat, bahan beracun, makanan dalam
kemasan, bahan aditif dan sinar ultraviolet dari matahari maupun radiasi.
Radikal bebas dapat terbentuk in vivo dan in vitro dengan cara :
a. Pemecahan satu molekul normal secara homolitik. Proses ini jarang terjadi
pada sistem biologi karena memerlukan tenaga yang tinggi dari sinar
ultraviolet, panas dan radiasi ion.
b. Kehilangan satu elektron dari molekul normal.
c. Penambahan elektron pada molekul normal.
Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen
yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS), termasuk
oksigen triplet (3O2), tunggal (singlet/1O2), anion superoksida (O2.-), radikal
hidroksil (-OH), nitrit oksida (NO-), peroksi nitrit (ONOO-), asam hipoklorit
(HOCl), hidrogen peroksida (H2O2), radikal alkoksi (LO-),
dan radikal peroksil
(LO-2). Radikal bebas yang mengandung karbon (CCl3-) yang berasal dari oksidasi
radikal molekul organik.
15
Radikal yang mengandung hidrogen hasil dari penyerangan atom H (H-).
Bentuk lain adalah radikal yang mengandung sulfur yang diproduksi pada
oksidasi glutation menjadi radikal tiol (R-S-), radikal yang mengandung nitrogen
juga ditemukan seperti radikal fenildiazin (Araujo et al., 1998).
ROS dapat menginduksi kerusakan oksidatif berbagai makromolekul seperti
asam lemak tak jenuh dalam membran sel, karbohidrat, protein dan DNA yang
mengganggu kesetimbangan homeostasis. Radikal bebas dapat menyebabkan
berbagai penyakit di antaranya arterosklerosis, diabetes, alzheimer, parkinson dan
penurunan kekebalan tubuh (Amic et al., 2003).
2. Senyawa Penangkap Radikal Bebas/Antioksidan
Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menginaktifkan radikal
bebas yang dihasilkan oleh berbagai proses normal tubuh, radiasi matahari, asap
rokok, asap kendaraan bermotor dan faktor-faktor lain (Osawa et al., 1992).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibagi menjadi 3 yaitu antioksidan
primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer bekerja dengan cara mencegah
pembentukan senyawa radikal bebas yang terbentuk menjadi molekul yang kurang
aktif, termasuk di dalamnya adalah sistem antioksidan tubuh. Antioksidan
sekunder bekerja dengan cara mendonorkan proton pada spesies radikal bebas
sehingga terbentuk senyawa yang bersifat netral yang umumnya merupakan
senyawa dari luar tubuh seperti vitamin dan senyawa fitokimia.
16
Sedangkan antioksidan tersier bekerja dengan cara memperbaiki kerusakan
yang ditimbulkan oleh radikal bebas.
Sejatinya, tubuh mempunyai mekanisme sendiri dalam upaya mereduksi
efek berbahaya dari radikal bebas (oksidan) yang terbentuk karena proses
fisiologis, namun karena faktor tertentu seperti penurunan fungsi organ penghasil
antioksidan endogen, malnutrisi dan usia maka mutlak diperlukan antioksidan dari
luar (eksogen). Antioksidan endogen misalnya enzim superoksida, katalase dan
glutation peroksidase sedangkan antioksidan eksogen seperti vitamin A, vitamin E,
betakaroten dan flavonoid.
3. Pengukuran Potensi Suatu Antioksidan
Potensi antioksidan dapat diukur dengan berbagai metode. Salah satu
metode yang tepat dan valid untuk menetapkan aktivitas antioksidan senyawasenyawa alam adalah dengan DPPH assay (Kumar et al., 2013). Parameter yang
diperoleh adalah IC50, yaitu banyaknya konsentrasi senyawa flavonoid yang
diperlukan untuk menghambat aktivitas radikal bebas DPPH sebesar 50 %
(Molyneux, 2004; Mosquera et al., 2007) dengan ketentuan makin kecil nilai IC50
yang diperoleh maka efektifitas antioksidannya makin tinggi. Untuk kontrol
positif, digunakan asam askorbat atau senyawa antioksidan lain. Mekanisme
penangkapan radikal bebas (DPPH) oleh suatu senyawa uji ditandai oleh adanya
perubahan warna larutan DPPH karena proses reduksi dari ungu menjadi kuning
seperti reaksi pada Gambar 4.
17
ungu
kuning
Antioksidan
Gambar 4. Reaksi peredaman radikal bebas DPPH oleh antioksidan
(Molyneux, 2004)
D. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid
1. Aspek Umum
Isolasi merupakan proses untuk memisahkan senyawa aktif dari komponen
lain yang tidak diinginkan. Istilah isolasi ini kemudian berkembang
menjadi
ekstraksi yaitu metode untuk menarik komponen aktif dari suatu bahan
berdasarkan prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut yang
dimulai dari lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk kedalam pelarut
(Harborne, 1987).
Untuk ekstraksi bahan alam, tidak ada metode yang benar-benar baku dan
bisa diterapkan untuk semua kasus, karena banyak variabel yang berpengaruh
terutama dari bahan alam yang akan diekstraksi (Zhide et al., 2002).
18
Oleh karena itu, harus ada modifikasi pada metode yang digunakan dan
standarisasi pada bahan yang akan diekstraksi. Menurut Satishkumar et al. (2008),
faktor-faktor yang berpengaruh dalam ekstraksi senyawa flavonoid adalah waktu
ekstraksi, suhu, jenis dan komposisi pelarut serta perbandingan pelarut terhadap
bahan yang akan diekstraksi.
2. Isolasi Senyawa Flavonoid
Metode ekstraksi untuk senyawa flavonoid yang sederhana namun
memberikan hasil yang baik adalah maserasi (Turkmen et al., 2006), yaitu dengan
melakukan perendaman bahan lalu dilanjutkan dengan pemisahan menggunakan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Metode ini walaupun sederhana namun dapat
diandalkan dan dapat memberikan hasil yang sepadan dibandingkan metode lain
yang lebih rumit (Yaxin et al., 2005; Svetlana et al., 2013).
Metode maserasi cocok untuk mengekstraksi senyawa flavonoid mengingat
karakteristiknya yang cenderung mudah teroksidasi dan tidak tahan panas bila
dilakukan dengan metode lain seperti refluks dan destilasi. Prinsip metode ini
adalah adanya perbedaan gradien tekanan antara bagian dalam sel dan luar sel
sehingga akan terjadi pembengkakan dan pemecahan membran serta dinding sel
sehingga akan terjadi difusi bahan aktif yang akan masuk/tertarik kedalam sistem
pelarut yang digunakan. Proses ini biasanya berlangsung antara 1- 3 hari bahkan
dalam Farmakope disebutkan bahwa proses maserasi bisa berlangsung sampai 10
hari (Anonim, 2000).
19
3. Pemisahan Senyawa Dengan KLT
a. Prinsip Kerja KLT
Pemisahan bahan aktif dilakukan dengan 2 tahap, yaitu skrining fitokimia
melalui fraksinasi dan dilanjutkan dengan pemisahan untuk tujuan pemurnian.
Fraksinasi merupakan proses yang didasarkan pada adanya perbedaan kelarutan
bahan uji terhadap pelarut yang digunakan.
Tahap fraksinasi diawali dengan pelarut non polar lalu dilanjutkan secara
bertahap dengan pelarut yang lebih polar (Harborne, 1987). Jenis pelarut dipilih
berdasarkan sifat bahan aktif yang akan diisolasi. Untuk senyawa flavonoid,
fraksinasi diawali dengan heksana dan
diakhiri dengan pelarut polar. Metode
pemisahan yang umum digunakan untuk bahan alam
di antaranya adalah
kromatografi seperti kromatografi kertas, kromatografi kolom, kromatografi cair
kinerja tinggi dan kromatografi gas. Tiap metode
memiliki kelemahan dan
kelebihan masing-masing dan tidak ada metode yang diklaim paling baik.
Secara umum, untuk senyawa-senyawa yang berada pada rentang polar
sampai semi polar (seperti senyawa flavonoid), KLT cocok digunakan dan
efektifitas pemisahan diperoleh dengan melakukan
penetapan komposisi fase
gerak sedemikian rupa sehingga diperoleh hasil pemisahan yang sempurna
(Harborne, 1987).
20
Prinsip KLT adalah adanya interaksi senyawa uji terhadap fase diam
(adsorben) atau terhadap fase gerak (eluen) yang digunakan. Fase diamnya terikat
pada suatu lempeng kaca, plastik atau aluminium. Bahannya
berupa alumina,
selulosa, diatomae atau silika (SiO2). Jenis yang paling banyak digunakan adalah
silika gel. Senyawa uji akan naik mengikuti fase gerak sesuai dengan kemampuan
interaksinya terhadap adsorben. Makin kuat interaksinya, maka dia akan sedikit
bergerak (berinteraksi kuat dengan adsorben) sehingga memiliki jarak rambat
yang rendah. Sebaliknya, jika senyawa uji memiliki interaksi yang lebih besar
dengan fase gerak maka dia akan mempunyai jarak rambat yang lebih jauh.
Pemilihan pelarut sebagai fase gerak merupakan faktor penentu berhasil
tidaknya suatu matriks campuran dapat dipisahkan dari komponen penyusunnya
dengan sempurna (Sastrohamidjojo, 1991). Data kualitatif yang diperoleh dari
KLT adalah Rf (Retardation factor), yaitu :
Rf = jarak rambat senyawa
Jarak perambatan
Suatu senyawa uji dianggap identik bila memiliki harga Rf yang sama/mirip
dengan harga Rf suatu senyawa standar pada perlakuan yang sama.
b. High Performance Thin Layer Chromatography (HPTLC)
Untuk meningkatkan kapasitas dan selektifitas KLT maka dikembangkan
fase diam KLT dengan ukuran partikel yang sangat kecil
dan diintegrasikan
dengan penotol otomatis, chamber otomatis dan perangkat visualisasi yang
mumpuni yang selanjutnya diperkenalkan sebagai HPTLC.
21
Tujuan utamanya adalah meningkatkan separasi bercak senyawa sehingga
pola kromatogram yang terbentuk dapat digunakan sebagai sidik jari bagi suatu
matriks senyawa uji. Penggunaan HPTLC kini makin banyak digunakan karena
prosesnya cepat dan limit deteksinya tinggi. Keunggulan HPTLC dibandingkan
dengan KLT konvensional dirangkum dalam Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan keunggulan HPTLC dibandingkan KLT konvensional
(Wagner et al., 1996).
Parameter
HPTLC
KLT
Ukuran partikel fase diam
5 – 6 m
10 – 12 m
Distribusi ukuran partikel
4 – 8 m
5 – 20 m
Jumlah sampel dalam satu plat
< 36
< 10
Sampel volume
0,1 – 0,5 L
1 – 5 L
Batas deteksi
100 – 500 pikogram
1 -5 nanogram
Dimensi bercak
Sferis
Tidak beraturan
Diameter separasi bercak
2 - 6 mm
6 - 15 mm
Waktu elusi
3 – 20 menit
30 – 200 menit
4. Pemisahan Senyawa Dengan Kromatografi Kolom
Prinsip utama kromatografi kolom hampir sama dengan KLT, perbedaan
terletak pada jumlah fase diam dan fase gerak yang digunakan. Pada kromatografi
kolom fase diam yang dipakai tergantung pada panjang dan besar kolom yang
digunakan, begitu juga fase geraknya tergantung pada jumlah senyawa yang akan
dipisahkan dan dimensi kolom yang dipakai.
22
Oleh karena itu kromatografi kolom efektif untuk tujuan kuantitatif artinya
dapat digunakan untuk isolasi senyawa dalam jumlah besar.
E. Identifikasi Senyawa Flavonoid
1. Pereaksi Semprot
Identifikasi awal senyawa golongan flavonoid dapat dilakukan dengan
berbagai cara di antaranya adalah menggunakan pereaksi semprot pada lempeng
KLT seperti terlihat pada Tabel 4 berikut (Harborne, 1987).
Tabel 4. Jenis pereaksi semprot dan flavonoid yang terdeteksi (Harborne, 1987)
Pereaksi
1.
Referensi
Difenil-asam
borat-etanolamin
(1% dalam etanol)
2.
Feri
klorida(metanolik)
3.
Aluminium klorida
( 2% dalam metanol),
UV
4.
Zirkonium
oksiklorida ( 2% dalam
metanol), UV
5.
Ceric sulfat (70 %
dalam H2SO4)
6. Amonia (uap), UV
7.
Amoniakal
nitrat
Tipe
flavonoid
Dass dan Weaver, 1972; Quarmby,
1968;
Gupta, 1968; Neu, 1957
Sebagian
Spiegel, 1969; Kirchner, 1967; Beck besar
dan Knox ,1971
flavonoid
Stahl, 1969
Dass dan Weaver, 1972; Kirchner,
1967;
Mabry et.al, 1970
Sebagian
besar
flavonoid
perak Harborne, 1987
8. NaOH ( 1 % dalam Dass dan Weaver, 1972
Metanol)
Sebagian
besar
flavonoid
23
2. Spektroskopi UV -VIS
Cara lain yang dipakai untuk identifikasi senyawa flavonoid adalah
menggunakan spektroskopi UV-VIS yang saat ini umum digunakan karena
sifatnya yang tidak destruktif. Prinsip utama metode ini adalah mendeteksi
adanya serapan gelombang UV-VIS
pada cincin aromatis terkonjugasi dari
struktur flavonoid yang menyebabkan pita pada dua daerah yang berbeda yaitu
300-560 nm (pita I) dan 230-295 nm (pita II). Hal ini tejadi karena struktur umum
flavonoid terdiri dari dua kerangka gugus kromofor yaitu cincin benzoil (pita II)
dan cincin sinamoil (pita I) seperti terlihat pada Gambar 5.
5'
4'
6'
8
1'
O
1
7
2
3'
2'
3
6
4
5
O
O
PITA II (240 -280 nm)
Kromofor Benzoil
O
PITA I (300 -550 nm)
Kromofor Sinamoil
Gambar 5. Struktur penyusun senyawa flavonoid
24
Adapun interpretasi dari panjang gelombang UV -VIS yang terdeteksi akan
terlihat seperti pada Tabel 5 (Markham, 1998).
Tabel 5. Rentangan serapan spektrum UV -VIS pada flavonoid (Markham, 1998)
Pita II
250-280
250-280
250-285
245-275
275-295
230-270
230-270
270-280
Pita II
310-350
330-360
350-383
310-330
300-330
340-390
380-430
465-560
Jenis flavonoid
Flavon
Flavonol (3-OH tersubstitusi)
Flavonol
Isoflavon
Flavanon dan Dihidroflavonol
Calkhon
Auron
Antosianidin dan Antosianin
F. Penentuan Struktur
Penentuan struktur flavonoid secara umum dapat ditentukan dengan
menginterpretasi spektrum
yang
dari spektroskopi IR, MS, 1H-NMR dan
13
C-NMR
diolah sedemikian rupa hingga diperoleh struktur yang sebenarnya dan
dapat ditentukan jenis dan golongannya. Berikut jenis spektroskopi yang dapat
digunakan untuk menentukan struktur suatu flavonoid.
1. Spektroskopi Infra Merah (IR)
Prinsip dari spektroskopi ini didasarkan pada adanya vibrasi atom pada
suatu molekul. Vibrasi terjadi pada ikatan antar atom berupa uluran, bengkokan
dan guntingan yang terjadi karena adanya interaksi dengan gelombang infra
merah yang diberikan.
25
Frekuensi vibrasi ini khas dan spesifik untuk tiap ikatan atom dan sesuai
dengan panjang gelombang IR yang diserap. Panjang gelombang IR berada pada
rentang 625cm-1- 4000cm-1.
Area pada 625cm-1 -1300cm-1 merupakan sidik jari (finger print) dari setiap
senyawa dan menunjukkan kekhasan yang tinggi (Sastrohamidjojo, 1991).
Spektroskopi IR terutama digunakan untuk mengetahui gugus-gugus fungsional
suatu senyawa (Silverstein, 1991).
2. Spektroskopi NMR
Interpretasi dari NMR akan menghasilkan kerangka utama suatu senyawa.
Tantangan
menggunakan
spektroskopi
ini
adalah
karakteristiknya
yang
memerlukan bahan yang cukup banyak yaitu antara 5-50 mg, sehingga cukup
menyulitkan
untuk
isolat
bahan
aktif
yang
berada
pada
kisaran
g
(Sastrohamidjojo, 1991; Silverstein, 1991).
a. Spektroskopi
13
C-NMR
Spektroskopi
13
C-NMR dapat memberikan informasi tentang posisi dan
jumlah atom karbon (C) dalam suatu molekul. Hal tersebut diperoleh dengan
mengolah data tentang pergeseran kimia (), nilai integral dan pola splitting dari
spin yang terbentuk.
26
b. Spektroskopi 1 H-NMR
Jenis spektroskopi ini dapat mengungkapkan keberadaan proton (H) baik
posisi relatif terhadap proton sekitar dan jumlahnya dalam suatu molekul.
Informasi tersebut merupakan interpretasi dari pola splitting, coupling, nilai
integral spin dan pergeseran kimia yang terjadi (Silverstein, 1991).
3. Spektroskopi Massa
Spektroskopi jenis ini akan memberikan gambaran umum suatu molekul.
Data yang diperoleh berupa fragmentasi hasil penembakan molekul oleh elektron
berkekuatan tinggi (Sastrohamidjojo, 1991; Silverstein, 1991).
Download