Proses Komunikasi Antarbud - Repository | UNHAS

advertisement
1
KOMUNIKASI ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS BUGIS DI
SENGKANG KABUPATEN WAJO (STUDI KOMUNIKASI ANTAR
BUDAYA)
OLEH:
BASO WAHYUDDIN H
E 311 08 261
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Jurusan Ilmu Komunikasi Program Studi Public Relations
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2012
2
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Komunikasi Etnis Tionghoa Dan Etnis Bugis
di
Sengkang, Kabupaten Wajo (Studi Komunikasi
Antarbudaya)
Nama Mahasiswa
: Baso Wahyuddin H
Nomor Pokok
: E31108261
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
DR. H. Muh. Farid, M.Si
NIP.196107161987021001
Muliadi Mau, S.Sos. M.Si
NIP.197012311998021002
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
DR. H. Muh. Farid. M.Si
NIP.196107161987021001
3
HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI
Telah diterima oleh Tim Evaluasi Skripsi Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas
Hasanuddin
untuk
memenuhi
sebagian
syarat-syarat
guna
memperoleh gelar kesarjanaan dalam Jurusan Ilmu Komunikasi Program Studi
Public Relations Pada Hari Senin, Tanggal 13 Agustus 2012.
Makassar, 13 Agustus 2012
TIM EVALUASI
Ketua
: DR. H. Muhammad Farid, M.Si
(…………………)
Sekretaris
: Murniati Muchtar, S. Sos, S.H
(…...…………….)
Anggota
: 1. DR. Jeanny Maria Fatimah, M.Si
(…...…………….)
2. Muliadi Mau, S.Sos, M.Si
(…...…………….)
3. Drs. Kahar. M. Hum
(…...…………….)
4
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat dan
hidayah-Nya dapat memenuhi satu lagi tanggung jawab sebagai seorang penuntut
ilmu dengan merampungkan penulisan skripsi ini. Tak lupa pula shalawat dan
salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabatsahabatnya yang telah menuntun kita menjadi umat yang tercerahkan.
Rasa terima kasih ini akan penulis sampaikan kepada semua yang telah
banyak membantu dalam penyelesaian laporan tugas akhir ini. Pertama-tama,
jutaan terima kasih penulis persembahkan kepada kedua orang tua yakni
Ayahanda Baso Hasbi dan Ibunda Darnah. Terima kasih sebesar-sebesarnya untuk
berjuta-juta doa, dukungan, bimbingan dan nasehat serta kasih sayang yang tak
henti-hentinya tercerah untuk penulis. Beribu-ribu terima kasih pula penulis
sampaikan kepada adik tercinta dan terkasih Baso Imran dan special untuk Siti
Fatimah Kahar yang banyak memberikan dukungan, semangat, thanks for all.
Kepada seluruh keluarga besar penulis yang telah menjadi saudara, motivasi dan
kebahagian dalam hidup penulis.
Pembuatan skripsi ini tak luput dari bantuan berbagai pihak yang diberikan
secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis sehingga skripsi ini
terselesaikan. Oleh karena itu, dengan tidak mengurangi rasa hormat serta tidak
mengesampingkan peran dari masing-masing pihak, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
5
1. Bapak Dr. H. Muhammad Farid, M.Si selaku pembimbing I dan Bapak
Muliadi Mau, Sos. M.Si selaku pembimbing II yang telah meluangkan
waktu dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan untuk penulis.
2. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, Sp.B.,Sp.Bo, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin beserta seluruh jajarannya.
3. Bapak Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajarannya.
4. Bapak Dr. H. M. Farid, M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi.
5. Bapak Drs. Sudirman Karnay, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu
Komunikasi.
6. Para Dosen dan Staf Administrasi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas
Hasanuddin, penulis menghaturkan banyak terima kasih atas ilmu yang
telah diberikan selama ini.
7. Para informan yang sudah membantu secara langsung dan tidak langsung
serta masyarakat di Sengkang yang telah banyak membantu penulis dalam
melakukan penelitian.
8. Kantor Camat Kecamatan Tempe.
9. Kantor Kesatuan dan Kebangsaan Kabupaten Wajo.
10. Rumah kecil KOSMIK. Terima kasih telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menjadi bagian didalamnya. Terima kasih untuk
pengalaman-pengalaman uniknya.
11. Teman-teman seperjuangan (EXIST 08), atas bantuan dan dukungannya
kepada penulis. Kebersamaan kalian adalah kebahagian yang tak ternilai
6
dan semoga Keridhoan Allah senantiasa meliputi langkah kalian.
Terimakasih untuk setiap waktu yang tercipta bersama kalian!!!
12. Senior-senior KOSMIK yang banyak memberikan masukan kepada
penulis.
13. Teman-teman KKN Reguler Gelombang 80 Desa Bonto Mate’ne
Kecamatan Sinoa Kabupaten Bantaeng.
Penulis juga mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang tak dapat
penulis sebutkan satu-persatu. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih ada kekurangan yang disebabkan keterbatasan penulis. Oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan berbagai masukan atau saran konstruktif dari
berbagai pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi semua, Amiin Ya Rabbal Alamin.
Makassar,
Agustus 2012
Baso Wahyuddin H
7
ABSTRAK
BASO WAHYUDDIN H, 2012. Komunikasi Etnis Tionghoa dan Etnis
Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo (Dibimbing oleh Muhammad Farid selaku
pembimbing I dan Muliadi Mau selaku pembimbing II).
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui proses komunikasi
antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang ; (2) Untuk mengetahui
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antarbudaya antara
etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang.
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Wajo. adapun informaninforman ini penelitian ini adalah orang-orang yang ditentukan secara purposive
sampling yaitu dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu bahwa mereka dianggap
berkompeten untuk menjawab pertanyaan peneliti. Data primer diperoleh melalui
observasi dan wawancara mendalam. Data sekunder diperoleh melalui studi
pustaka berupa buku-buku, jurnal dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti.
Hasil Penelitian yang didapatkan menunjukkan proses komunikasi
antarbudaya ditandai dengan adanya : Pertama, Komunikasi Antarpersona, Kedua,
Komunikasi Sosial dan Ketiga, Lingkungan Komunikasi. Sedangkan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antabudaya etnis Tionghoa dan
etnis Bugis sekaligus menjadi faktor pendukung adalah Pertama, Saling
memahami dan saling menghargai budaya masing-masing. Kedua, Dari segi
bahasa kedua etnis ini menggunakan bahasa Bugis. Ketiga, Sikap toleransi kedua
etnis tersebut. Keempat yaitu Kawin silang antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis.
Kelima, Kedua etnis berusaha untuk mempelajari kebudayaan masing-masing
dengan cara mengamati langsung dan bertanya tentang bagaimana budaya
keduanya. Keenam yaitu Kepercayaan dan saling terbuka diantara kedua etnis.
Ketujuh adalah ketika etnis Tionghoa menganggap bahwa dirinya adalah warga
asli yang bermukim di Sengkang sehingga tidak menonjolkan kesukuannya, dan
sebaliknya etnis Bugis tidak pernah menganggap atau bersikap diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa. Faktor penghambat Pertama, adalah Minimnya
pengetahuan tentang budaya keduanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman
makna budaya dari kedua etnis tersebut.
Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara etnis
Tionghoa dan etnis Bugis sudah sangat menyatu, dari segi budaya mereka saling
menghargai kebudayaan masing-masing bahkan sebagian besar dari warga etnis
Tionghoa paham betul dengan kebudayaan-kebudayaan etnis Bugis dan mereka
menganggap bahwa budaya etnis Bugis adalah budaya mereka juga. Etnis
Tionghoa yang lahir dan besar di Sengkang, setiap hari mempelajari budaya etnis
Bugis agar bisa beradapatasi di masyarakat tempat mereka bermukim.
8
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
ii
HALAMAN PENERIMAAN TIM EVALUASI ............................................
iii
KATA PENGANTAR .....................................................................................
iv
ABSTRAK .......................................................................................................
vii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ........................................................................
1
A.
Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B.
Rumusan Masalah ................................................................
8
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..........................................
8
D.
Kerangka Konseptual ..........................................................
9
E.
Definisi Operasional ............................................................
15
F.
Metode Penelitian ................................................................
16
TINJAUAN PUSTAKA................................................................
19
A.
Pengertian Komunikasi ......................................................
19
B.
Pengertian Budaya ...............................................................
21
C.
Pengertian Komunikasi Antarbudaya .................................
24
1.
29
Unsur-unsur Kebudayaan ............................................
9
2. Unsur-unsur Kebudayaan Dalam Komunikasi
BAB III
BAB IV
antarbudaya .................................................................
30
D.
Proses Komunikasi Antarbudaya ........................................
33
E.
Pola Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya.............
36
F.
Potensi Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya ........
39
G.
Deskripsi Teori ....................................................................
41
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .........................
43
A.
Filosofi Kabupaten Wajo ...................................................
43
B.
Kondisi Geografis ................................................................
45
C.
Kondisi Demografis ............................................................
49
D.
Agama dan Kepercayaan ....................................................
54
E.
Objek Wisata Kabupaten Wajo ...........................................
56
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...........................
62
A.
Hasil Penelitian .................................................................
62
1. Profil Informan .............................................................
63
2. Hasil Penelitian ............................................................
66
B.
Pembahasan ....................................................................... 119
1. Proses Komunikasi Antarbudaya Antara Etnis
Tionghoa dan Etnis Bugis di Kabupaten Wajo .......... 119
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Proses
Komunikasi Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis ...........
BAB V
129
PENUTUP .................................................................................... 133
A. Kesimpulan ............................................................................ 133
10
B. Saran ....................................................................................... 135
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
11
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Model Komunikasi Antarbudaya ............................................
12
Gambar 1.2 Bagan Kerangka Konseptual ...................................................
14
Gambar 1.3 Analisis Data Model Interaktif dari Miles & Huberman.........
18
Gambar 2.1 Model Konfergence Lingkaran Tumpang Tindih ...................
41
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Wajo ..............................................................
45
Gambar 4.1 Model Konvergence Lingkaran Tumpang Tindih ...................
125
Gambar 4.2 Model Tumpang Tindih proses komunikasi antarbudaya etnis
Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang
pada tahap Pembauran .......................................................... ........126
12
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Luas Wilayah Kabupaten Wajo menurut Kecamatan ................
46
Tabel 3.2 Jumlah dan rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Wajo
menurut Kecamatan ....................................................................
50
Tabel 3.3 Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo menurut Kecamatan .....
51
Tabel 3.4 Keadaan penduduk Kabupaten Wajo dari Sektor Lapangan Usaha
52
Tabel 3.5 Banyaknya pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Sosial Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Wajo .................................
53
Tabel 3.6 Sarana Pendidikan di KabupatenWajo ........................................
54
Tabel 3.7 Tempat Peribadatan menurut Kecamatan ...................................
55
13
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejak berabad-abad lamanya, etnis Tionghoa telah bermukim di kepulauan
Nusantara dan sebagian besar diantara mereka telah hidup seperti etnis lain serta
melangsungkan aktifitas budayanya dan di setiap daerah mereka membaur dengan
kebudayaan setempat. Namun dalam perjalanan waktu itu mereka senantiasa
mengalami berbagai gejolak sosial yang membuat mereka selalu melakukan
perubahan dalam kehidupannya agar bisa diterima secara sosial, budaya dan
politik.
Menurut Suryadinata (Bahrum, 2008:3) pada era akhir Orde Lama dan
masa berkuasanya Orde Baru ada lebih 60 peraturan dan perundang-undangan
yang telah membuat etnis Tionghoa merasa tidak nyaman sebagai warga negara
karena undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut berbau diskriminasi
rasial. Peraturan dan perundang-undangan itu telah melakukan pelanggaran dan
pembatasan ruang gerak mereka dalam menjalani kehidupannya.
Salah satu peraturan yang membatasi ruang gerak Etnis Tionghoa adalah
Keputusan Presiden No. 127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan orang Cina atau
Tionghoa diharuskan mengganti nama lahir mereka yang menggunakan nama
Cina atau Tionghoa menjadi nama-nama yang mengindonesia, seperti Darmawan,
Wijaya, Sentosa, Kurniawan, Setiawan, Jayasuprana, dan Suparman. Selain itu
peraturan pemerintah No 10 Tahun 1959 yang melarang etnis Tionghoa tinggal
14
jauh di pedalaman dan harus berada di kota, sehingga sangat jarang ditemukan
etnis Tionghoa menjadi petani atau nelayan di pedalaman. Etnis Tionghoa
terkonsentrasi di kota-kota besar menjadi pedagang dan pengusaha dalam
berbagai bidang.
Gerakan Reformasi Indonesia yang dimulai 10 tahun yang lalu telah
memberi banyak berkah bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia. Banyak
kemudahan yang semestinya telah diterima dan dinikmatinya puluhan tahun lalu
namun karena kendala politik pemerintahan di negeri ini membuat semua itu
tertunda. Barulah dalam era reformasi ini terjadi suatu perubahan yang sangat
besar khususnya pada Etnis Tionghoa.
Etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia sudah sejak
lama menyatukan diri dalam kehidupan masyarakat dan budayanya untuk
menciptakan kehidupan yang harmonis. Nurhadiantomo (2004: 127) menyatakan,
bahwa orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia, bahkan yang lahir
di Indonesia sudah merasa menjadi warga negara Indonesia. Mereka tidak mau
lagi disebut sebagai orang Tionghoa, tapi ingin menjadi bagian dari warga negara
Indonesia yang sebenarnya. Mereka berasimilasi dengan cara menyerap
kehidupan masyarakat ditempat mereka berada menjadi kehidupannya pula. Di
Indonesia mereka melakukan perkawinan dengan orang-orang setempat, memakai
bahasa daerah tempat mereka lahir dan bahkan banyak diantara mereka sudah
mengganti nama menggunakan nama-nama lokal. (Bahrum, 2008:57-58)
Kedatangan etnis Tionghoa di beberapa negeri di Nusantara terdorong
oleh dua faktor utama. Pertama adalah etnis Tionghoa dikenal sebagai bangsa
15
yang suka berniaga atau berdagang. Kedua, adanya desakan sistem politik dari
dalam negerinya yang sedang berkecamuk, terutama pada abad ke 17 saat
terjadinya pergeseran kekuasaan di Tiongkok. (Bahrum, 2003:36-37 )
Imigran Tionghoa yang terbesar ke Indonesia dimulai pada abad ke-16
sampai kira-kira pertengahan abad ke-19, berasal dari suku-bangsa Hokkien.
Mereka berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Daerah itu merupakan daerah
yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang cina ke seberang
lautan. Kepandaian berdagang ini yang ada di dalam kebudayaan suku-bangsa
Hokkien dan masih tampak jelas pada Etnis Tionghoa yang bermukim di
Indonesia. (Koenjaraningrat, 2004:353)
Pedagang-pedagang Tionghoa di Indonesia, merekalah yang paling
berhasil karena sebagian besar dari mereka sangat ulet, tahan uji dan rajin. Orang
Hokkien dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan, salah
satunya paling banyak terdapat di Indonesia bagian Timur.
Indonesia bagian Timur meliputi Sulawesi Selatan mempunyai empat suku
terbesar yaitu suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Sebagai provinsi
terbesar dibagian timur Indonesia, Sulawesi Selatan mempunyai 21 Kabupaten,
salah satunya adalah Kabupaten Wajo.
Bugis sebagai suku yang medominasi di Kabupaten Wajo sebuah kota
bernama Siengkang yang berarti tempat berkumpul adalah wilayah subur, tempat
dengan sejarah yang tumbuh dalam berbagai dimensi ruang dan waktu. Mayarakat
lokal berbaur dengan etnis Tionghoa, India, Arab, maupun masyarakat nusantara
lainnya yang datang melakukan perdagangan di tengah kisruh akibat kolonialisasi.
16
Area perdagangan berkembang di belakang Saoraja A. Mangkona di sebelah
sungai, dikenal sebagai Toko Lampe’e (Panjang) milik pedagang cina. Hal ini
tidak lepas dari peran Kota Siengkang di jaman dahulu sebagai kota lalu lintas
perdagangan. (Naing,dkk 2008:288-289)
Sejarah keberadaan rumah toko di Sengkang dimulai dari “toko lampe’E”
yang tak lain adalah milik pedagang cina. Masyarakat menyebutnya lampe’e
karena bangunan ini berderet memanjang sepanjang jalan. Toko ini masih
berkonstruksi kayu berlantai dua (panggung) dan menggabungkan unsur
tradisional melalui penggunaan ornamen-ornamen. Hal ini membuktikan bahwa
sejak zaman dahulu telah berlangsung interaksi antara etnis Tionghoa dengan
etnis Bugis khususnya dalam pembangunan rumah toko di Sengkang.
Menurut pendapat salah satu tokoh masyarakat di Drs. Ambo Asse :
“Interaksi yang terjalin antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Bugis itu
sudah berlangsung sejak lama, terbukti dengan adanya makam cina kuno
yang terdapat di Tosora. Konon sejarahnya pemilik makam itu bernama
Chuming disebut juga Chiung yang diperistrikan oleh La Sattung orang
bugis. Jadi memang dari dulu sampai sekarang terus berlangsung
hubungan interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis”.
Pendapat salah satu masyarakat Etnis Tionghoa, Tauming yang
merupakan keturunan kedua di Sengkang :
“Saya lahir dan besar di Kota Sengkang dan kami berbaur dengan
masyarakat pribumi, hubungan yang terjalin sangat harmonis dan hampir
tidak ada konflik, meskipun kami sama-sama mempunyai budaya yang
sama yaitu berdagang, tapi kami selalu bersaing dengan sehat. Justru
kami memperoleh keuntungan dan tercipta interaksi yang sangat besar
dengan etnis Bugis. orang bugis wajo pun sangat ramah kepada kami”.
Pada kenyataanya kesamaan budaya berdagang antara kedua etnis ini
sangat membantu dalam melakukan interaksi sehingga menciptakan hubungan
17
yang harmonis dan rukun sampai saat ini, sehingga tidak heran jika kita melihat
etnis Tionghoa mempekerjakan etnis Bugis sebagai karyawan ditempat usahanya.
Hubungan yang terjalin antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis tidak
sampai disitu saja, di Sengkang terlihat fenomena bahwa etnis Tionghoa dalam
berkomunikasi dengan masyarakat pribumi mereka menggunakan bahasa bugis.
Keaktifan mereka menggunakan bahasa bugis membuat komunikasi yang
berlangsung sangat efektif. Bukan hanya itu hubungan antara etnis Tionghoa
dengan etnis Bugis sangat berbaur dan menyatu, keduanya saling menghargai dan
saling menunjukkan rasa kebersamaan mereka, misalkan ada acara kawinan,
hakikah, berduka, pesta rakyat dan lain-lain pasti etnis Tionghoa ikut
berpartisipasi dalam kegiatan tersebut, ini menunujukkan bahwa memang etnis
Tionghoa dan etnis Bugis sudah menyatu, tidak ada jarak untuk berinteraksi.
Pendapat lain dikemukakan salah satu tokoh masyarakat di Kabupaten
Wajo Bapak Mappeasse bahwa :
“Etnis Tionghoa yang ada di Kabupaten Wajo sudah sangat berbaur
dengan etnis Bugis, hubungan itu sudah berlangsung cukup lama, bahkan
sebelum terbentuknya kerajaan wajo ada beberapa kerajaan yang
mendahului lahirnya wajo seperti Kedatuan Cina Riaja. Ini menunjukkan
bahwa ada pertalian sejarah antara nenek moyangnya. Etnis Tionghoa
yang cukup lama bermukim di wajo tentu sudah sangat pasif dalam
berbahasa bugis. Dalam sehari-hari Etnis Tionghoa berkomunikasi
menggunakan bahasa bugis. Bahkan untuk sesama Etnis Tionghoa mereka
menggunakan bahasa bugis sebagai bahasa pembuka. Tidak sampai dsitu
saja, bahkan ada Etnis Tionghoa yang sudah memeluk islam”.
Tidak jarang dari
mereka melakukan kawin mawin dan melahirkan
keturunannya. Perkawinan yang terjadi itulah yang kemudian banyak merubah
status agama mereka memeluk islam. Kebudayaan mereka pun sudah membaur
dengan kebudayaan Etnis Bugis dan sudah sulit untuk dipisahkan, unsur-unsur
18
kebudayaan Tionghoa sudah banyak diserap kedalam kebudayaan Indonesia
khusunya di kabupaten Wajo. Hal tersebut membuktikan bahwa hubungan yang
terjalin keduanya sangat harmonis dan bahkan dari mereka sudah menganggap
dirinya sebagai warga pribumi asli karena nenek leluhur mereka yang sudah ada
sejak dulu bermukim di Kabupaten Wajo khusunya di Sengkang .
Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan hubungan dengan orang
lain. Manusia ingin mendapatkan perhatian di antara sesama dan kelompok, untuk
mendapatkan itu diperlukan hubungan dan menggunakan berbagai cara, alat,
media dan lain-lain. Dalam efektifitas komunikasi dikemukakan tentang
pentingnya kontak sosial bagi manusia dan masyarakat, dalam melakukan kontak
atau hubungan yang beranekaragam dilakukan dengan cara dan gaya yang
berbeda-beda pula. Kontak yang paling menonjol dikaitkan dengan perilaku.
Dalam berinteraksi, manusia senantiasa akan membutuhkan komunikasi.
Menurut Mulyana dan Rakhmat (2006:24 ) Hubungan antara budaya dan
komunikasi sangat penting dipahami untuk memahami komunikasi antarbudaya.
Melihat perkembangan dunia saat ini tampak semakin menuju apa yang disebut
“global village” (desa dunia) semakin meningkatnya kontak-kontak komunikasi
dan hubungan antar berbagai bangsa dan negara. Dalam situasi yang demikian
mempelajari komunikasi antarbudaya jelas menjadi sangat penting, karena apabila
masing-masing pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya mempunyai
perbedaan-perbedaan dalam aspek tertentu, misalnya ideologi, orientasi dan gaya
hidup, serta masing-masing pihak tidak mau memahami pihak lainnya, maka
berbagai problema akan terjadi. Problema ini selanjutnya dapat mengakibatkan
19
hal-hal yang tidak diingikan seperti konflik, permusushan, perpecahan,
diskriminasi dan lain-lain. Komunikasi dengan orang yang mempunyai kesamaan
latar belakang budaya saja masih rentan akan konflik, apalagi berbeda budaya.
Mulyana (2005: 10) juga mengungkapkan orang-orang berkomunikasi
karena mereka harus beradaptasi dengan lingkungan. Beradaptasi bukan berarti
menyetujui atau mengikuti semua tindakan orang lain, melainkan mencoba
memahami alasan dibaliknya tanpa kita sendiri tertekan oleh situasi.
Komunikasi Antarbudaya merupakan pertukaran pesan yang disampaikan
secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang berbeda latar
belakang budaya. (Liliweri 2003:9)
Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak terpisahkan, sebagaimana
dikatakan Edward dalam Mulyana ( 2005:14) Budaya adalah komunikasi dan
komunikasi adalah budaya. Begitu kita mulai berbicara tentang komunikasi, tak
terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya. Budaya dan komunikasi
berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi, karena
budaya muncul melalui komunikasi.
Ketertarikan untuk meneliti komunikasi antara Etnis Tionghoa dan Etnis
Bugis, karena adanya fenomena terlihat bahwa hubungan yang terjalin keduanya
sangat harmonis dan rukun. Selain itu juga penting untuk mempelajari komunikasi
antarbudaya untuk menghindari konflik berbeda budaya. Berdasarkan pemaparan
latar belakang diatas, maka peneliti tertarik lebih dalam untuk meneliti bagaimana
KOMUNIKASI ETNIS TIONGHOA DAN ETNIS BUGIS DI SENGKANG
KABUPATEN WAJO ( STUDI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA)
20
B.
Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian, permasalahan yang
diteliti sesuai dengan topik yang diteliti. Adapun permasalahan yang akan diteliti
sebagai berikut :
1. Bagaimana proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis
Bugis di Sengkang ?
2. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap proses komunikasi
antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang ?
C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan
etnis Bugis di Sengkang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses
komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang.
Kegunaan Penelitian
1.
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
serta
menjadi
pertimbangan
demi
terbukanya
wawasan
dan
pengetahuan berpikir dalam proses penyadaran akademik khususnya
pada kajian komunikasi antarbudaya.
2.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
atau bahan literatur dalam rangka pengembangan ilmu pengetahun,
khususnya pada ilmu komunikasi yang membidangi komunikasi
antarbudaya.
21
3.
Manfaat sosial dapat memberikan wawasan kepada masyarakat
tentang pentingnya Komunikasi Antarbudaya dan memberikan
pelajaran kepada daerah-daerah lain tentang bagaiamana komunikasi
yang berlangsung diantara kedua etnis sehingga menciptakan
hubungan yang harmonis.
D.
Kerangka Konseptual
Komunikasi dan budaya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, untuk
itulah sangatlah penting dipahami bahwa interaksi yang terjalin antara dua budaya
yang berbeda tentu akan memerlukan proses komunikasi. Komunikasi
antarbudaya bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi. Semenjak terjadinya
pertemuan antara individu-individu dengan latar belakang kebudayaan yang
berbeda, maka komunikasi antarbudaya sebagai salah satu studi sistematik yang
penting untuk dipahami.
Salah satu hal yang juga sering menjadi pembahasan yang fundamental
dalam kehidupan adalah komunikasi. Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa
ingin berhubungan dengan manusia lainnya. Ia ingin mengetahui lingkungan
sekitarnya, bahkan mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini
memaksa manusia untuk berkomunikasi.
Pembicaraan tentang komunikasi akan diawali dengan asumsi bahwa
komunikasi berhubungan dengan kebutuhan manusia dan terpenuhinya kebutuhan
berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Kebutuhan berhubungan sosial ini
terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai jembatan untuk
mempersatukan manusia-manusia yang tanpa berkomunikasi akan terisolasi. Dari
22
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses
penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Rogers
bersama Kincaid dalam Cangara (2010:20) menyatakan bahwa :
“Komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk
atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada
gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.”
Proses komunikasi juga terjadi dalam konteksi fisik dan konteks sosial,
karena komunikasi bersifat interaktif senhingga tidak mungkin proses komunikasi
terjadi dalam kondisi terisolasi. Konteks fisik dan konteks sosial inilah yang
kemudian merefleksikan bagaimana seseorang hidup dan berinteraksi dengan
orang lainnya sehingga terciptalah pola-pola interaksi dalam masyarakat yang
kemudian berkembang menjadi suatu kebudayaan.
Adapun kebudayaan itu sendiri berkenaan dengan cara hidup manusia.
Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan
sosial, kegiatan-kegiatan ekonomi dan politik dan teknologi semuanya didasarkan
pada pola-pola budaya yang ada di masyarakat. Budaya akan berpengaruh pada
seseorang karena budaya merupakan cara atau aturan seseorang dalam
menjalankan kehidupannya. Dalam memandang budaya di luar budaya kita
sendiri akan tergantung dari bagaimana seseorang mempunyai sikap terhadap
budaya di luar budayanya.
Menurut
Tylor
dalam
Liliweri
(2002:9)
kebudayaan
merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan perwujudan
23
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk
yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya
pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain
yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakatnya.
Peranan komunikasi sangat menjadi sangat besar dalam ekosistem
komunikasi karena karakteristik kebudayaan dalam komunitas dapat membedakan
kebudayaan lisan dan tertulis yang merupakan kebiasaan suatu komunitas dalam
mengkomunikasikan
adat
istiadatnya.
Jadi,
pesan-pesan,
pengetahuan,
kepercayaan, dan perilaku, sejak awal tatkala orang tidak bisa menulis dapat
dikomunikasikan hanya dengan kontak antarpribadi langsung atau oleh
pengamatan yang mendalam terhadap peninggalan artifak sehingga peninggalan
yang minimum pun dapat disebarluaskan. Liliweri (2003:9) mengatakan bahwa :
“Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran makna yang berbentuk
simbol yang dilakukan dua orang yang berbeda latar belakang budayanya.”
Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok
ras, atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antar budaya.
komunikasi
antarbudaya
pada
dasarnya
mengkaji
bagaiamana
budaya
berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi: apa makna pesan verbal dan non
verbal
menurut
dikomunikasikan,
budaya-budaya
bagaiamana
yang
cara
bersangkutan,
apa
mengkomunikasikannya
yang
(verbal
layak
dan
nonverbal), dan kapan mengkomunikasikanya.
Atas dasar uraian di
didasarkan atas hal-hal berikut :
atas, beberapa asumsi komunikasi antarbudaya
24
1. Komunikasi antarbudaya dimulai dengan anggapan dasar bahwa ada
perbedaan persepsi antara komunikator dengan komunikan.
2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi
3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi
4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan
6. Efektifitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya
Model Komunikasi Antarbudaya
Pengaruh budaya atau individu dan masalah-masalah penyandian dan
penyadian pesan tertulis pada gambar berikut sebagaimana dalam Rakhmat dan
Mulyana, (2006:21)
Budaya A
Budaya B
B
A
Budaya C
C
Gambar 1.1
Sumber: Rakhmat dan Mulyana, (2006:21)
25
Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga kelompok bentuk
geometric yang terlukis. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masingmasing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tidak beraturan yang
hampir menyerupai. Segi empat budaya C sangat berbeda dari budaya A dan
budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya
C dan jarak fisiknya dari budaya A dan budaya B.
Dalam setiap budayanya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk
budaya lain. Ini menunjukkan individu telah dibentuk oleh budaya. Bentuk
individu sedikit berbeda dari bentuk yang telah mempengaruhinya. Ini
menunjukkan dua hal. Hal pertama, ada pengaruh-pengaruh lain disamping
budaya yang membentuk individunya. Kedua, meskipun budaya merupakan
kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang-orang dalam suatu budaya
yang mempunyai sifat-sifat yang berbeda.
Penyandian-penyandian balik pesan antarbudaya dilakukan oleh panahpanah yang menghubungkan budaya-budaya itu. Panah-panah ini menunjukkan
pengiriman pesan dari budaya-budaya yang satu kebudayaan lainnya. Ketika sautu
pesan meninggalkan budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna
yang dihendaki oleh penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang
meninggalkan suatu budaya yang mengandung pola yang sama seperti pola yang
ada dalam individu penyandi. Ketika suatu pesan itu mengalami suatu perubahan
dalam arti pengaruh budaya penyandi balik (decoder) telah menjadi bagian dari
makna pesan. Makna yang terkandung dalam pesan yang asli telah berubah
26
selama fase penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya, oleh karena
mengandung makna-makna budaya yang sama seperti yang dimiliki encoder.
Model tersebut menunjukkan bahwa bisa terdapat banyak ragam
perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya
terjadi dalam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang
berbeda ranah budaya secara ekstrim hingga ekstrim hingga interaksi-interaksi
antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi
mempunyai subkultur atau subkelompok berbeda.
Berdasarkan dari uraian diatas, penulis mencoba menggambarkan proses
komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang sebagai
berikut :
EtnisTionghoa
Etnis Bugis
Faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap
proses komunikasi
Proses
Komunikasi
Antarbud
Pembauran
Gambar 1.2
Bagan Kerangka Konseptual
27
E.
Definisi Operasional
1.
Proses komunikasi adalah yaitu suatu proses yang dilakukan oleh
Etnis
Tionghoa
untuk
menyusaikan
diri
yang
secara
berkesinambungan dan berkembang melalui komunikasi dengan
Etnis Bugis dalam lingkungan sosial budaya untuk dapat tinggal dan
menetap di Sengkang.
2.
Etnis Tionghoa adalah etnis yang telah hidup berabad-abad lamanya
di bumi nusantara khususnya di kabupaten wajo dan sebagian besar
dari mereka telah hidup seperti etnis lainnya serta melangsungkan
aktivitas budayanya.
3.
Etnis Bugis adalah penduduk etnis Bugis yang berdomisili di
Sengkang
4.
Komunikasi antarbudaya adalah Komunikasi antara orang-orang
yang berbeda kebudayaan, misalnya antara Etnis Tionghoa dan Etnis
Bugis.
5.
Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu faktor-faktor yang dianggap
penting dalam memberi andil dalam proses komunikasi antara etnis
Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang.
6.
Pembauran yaitu bertemunya dua budaya yang berbeda menjadi satu
sehingga tidak ada budaya yang dominan, baik budaya etnis
Tionghoa atau budaya etnis Bugis di Sengkang.
28
F.
Metode Penelitian
1.
Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Sengkang, Kabupaten Wajo Sulawesi
Selatan sedangkan waktu penelitian ini berlangsung mulai dari April
sampai Juli 2012. Pada bulan april sampai dengan mei, peneliti
mengumpulkan data di lapangan, selanjutnya pada bulan juni sampai
dengan bulan juli peneliti mengolah data yang sudah dikumpulkan.
2.
Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penulis berupaya untuk
menggambarkan
realitas
sosial
yang
terjadi
dengan
penjelajahan lebih dalam mengenai topik penelitian
melakukan
yaitu proses
komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis serta faktor-faktor
apa yang dapat berpengaruh terhadap proses komunikasi antabudaya
diantara keduanya.
3.
Teknik Penentuan Informan
Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling.
Informan dipilih berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan yaitu yang
dianggap dapat memberikan informasi yang terkait masalah yang diteliti.
Informan berjumlah sepuluh orang, yaitu :
a. Dua orang tokoh masyarakat dari etnis Tionghoa, yakni Bapak
Surahman Wijoyo dan Bapak Ka’Seng
b. Tiga orang masyarakat etnis Tionghoa yang memiliki akses lebih
dengan masyarakat etnis Bugis.
29
c. Dua orang tokoh masyarakat dari kalangan etnis Bugis, yakni Bapak
Andi Apuk Zaenal dan Bapak Mappeasse
d. Tiga orang masyarakat etnis Bugis yang memiliki akses lebih dengan
penduduk etnis Tionghoa
4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini
melalui :
a.
Data primer, diperoleh melalui penelitian lapangan yang menemui
para informan secara langsung dan dilakukan dengan dua cara :
-
Observasi / Pengamatan
Penulis melibatkan diri secara langsung di lapangan untuk
mengumpulkan data, terkait fenomena yang sedang diteliti. Penulis
melakukan observasi pada bulan Februari hingga Maret 2012.
-
Wawancara
Penulis melakukan wawancara dengan kesepuluh informan tersebut
yang telah dipih berdasarkan teknik pemilihan informan. Wawancara
yang dilakukan bersifat secara langsung, agar mendapatkan informan
yang akan mendukung data hasil observasi.
b.
Data Sekunder, pengumpulan data jenis ini dilakukan dengan
menelusuri bahan bacaan berupa jurnal-jurnal, buku-buku komunikasi
antarbudaya, artikel, dan berbagai hasil penelitian terkait.
30
5.
Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan analisis data
model interaktif Milles dan Huberman yaitu terdapat tiga proses yang
berlangsung secara interaktif. Pertama, reduksi data, yaitu proses memilih,
memfokuskan, menyederhanakan, dan mengabstraksikan data dari
berbagai sumber data misalnya dari catatan lapangan dokumen, arsip, dan
sebagainya, sedagnkan proses mempertegas, memperpendek, membuang
yang tidak perlu, menentukan fokus, dan mengatur data sehingga
kesimpulan bisa dibuat. Kedua, penyajian data, seperti merakit data dan
menyajikan dengan baik supaya lebih mudah dipahami. Penyajian bisa
berupa matrik, gambar, skema, jaringan kerja, table dan seterusnya. Ketiga
menarik kesimpulan/verifikasi, proses penarikan kesimpulan awal belum
masih kuat, terbuka dan skeptic. Kesimpulan akhir akan dilakukan setelah
pengumpulan data berkahir. (Sugiyono, 2010:246)
Pengumpulan
Data
Penyajian Data
Reduksi
Data
Kesimpulan-kesimpulan:
Penarikan/Verivikasi
Gambar 1.3
Analisis Data Model Interaktif dari Milles & Huberman (1992)
31
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pengertian Komunikasi
Dalam kehidupan, komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia.
Dengan berkomunikasi, manusia dapat saling berhubungan satu sama lain baik
dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, di tempat pekerjaan, di pasar,
dalam masyarakat atau di mana saja manusia berada. Tidak ada manusia yang
tidak akan terlibat dalam komunikasi. Bahkan sejak manusia masih dalam
kandungan, ia sudah mengadakan komunikasi. Komunikasi adalah hal yang tak
dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia baik secara individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Komunikasi juga merupakan topik yang amat sering
diperbincangkan, bukan hanya dikalangan praktisi komunikasi akan tetapi juga
dikalangan orang-orang awam. Ia diperlukan untuk mengatur tatakrama antar
manusia, sebab berkomunikasi dengan baik akan memberi pengaruh langsung
kepada struktur keseimbangan seseorang dalam bermasyarakat.
Menurut Riswandi (2009:1) Kata atau istilah “komunikasi” (Bahasa
Inggris “communication”) berasal dari Bahasa latin “communicatus” atau
communicatio atau communicare yang berarti “berbagi” atau “ menjadi milik
bersama”. Dengan demikian, kata komunikasi menurut kamus bahasa mengacu
pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan.
Berkomunikasi adalah proses dimana seseorang menyampaikan sesuatu
yang mempunyai arti lalu ditangkap oleh lawan bicaranya dan dimengerti. Pesan-
32
pesan itu tercermin melalui perilaku manusia seperti berbicara secara verbal atau
nonverbal, gesture (gerakan isyarat) seperti melambaikan tangan ke orang lain,
menggelengkan kepala, menarik rambut. Semua itu menunjukkan bahwa kita
sedang berkomunikasi.
Harold D. Lasswel mengemukakan pendapatnya dalam Muhammad
(2005:5) bahwa komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang
menjelaskan siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dan
dengan akibat apa atau hasil apa (who says what in which channel to whom and
with what effect).
Komunikasi terjadi setiap saat. Manusia tidak bisa meninggalkan proses
komunikasi dalam hidupnya. Manusia selalu melakukan penyampaian dan
penerimaan pesan tiap waktu, dengan tujuan berbeda didalamnya. Baik itu hanya
sekedar menyampaikan pesan untuk diterima dan dipahami hingga bertujuan
untuk mempengaruhi lawan bicaranya agar mengikuti hendak si pembicara.
Kesamaan bahasa yang digunakan dalam dalam percakapan antara
komunikator dan komunikan tidak dapat menjamin berhasilnya suatu proses
komunikasi. Bahasa yang digunakan antara keduanya boleh jadi dimaknai beda
oleh si komunikan. Proses komunikasi bisa dikatakan efektif bila keduanya,
komunikator dan komunikan, dapat mengerti bahasa dan mampu memaknai pesan
yang disampaikan.
Memahami komunikasi lebih dalam, Bernard Berelson dan Gary A.
Steiner dalam Riswandi (2009:2) mengatakan bahwa :
33
“Komunikasi adalah suatu proses penyampain informasi, gagasan, emosi,
keahlian, dan lain-lain melalui penggunaan symbol-simbol seperti kata-kata,
gambar, angka-angka, dan lain-lain.”
Pendapat lain dikemukakan oleh Everet M. Rogers dan Lawrence Kincaid
dalam Wiryanto (2004:6) :
“Komunikasi adalah suatu proses di mana dua orang atau lebih
membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang pada
gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.”
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran
atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran
ini berupa bisa merupaka gagasanm informasi, opini, dan lain-lain yang muncul
dari benaknya. Pesannya bisa berupaya keyakinan, kepastian, keragu-raguan,
kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan, dan sebagainya yang timbul
dalam dari lubuk hati. (Bungin 2008:31)
B.
Pengertian Budaya
Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu proses representasi
budaya, atau tepatnya suatu peta atas suatu realitas (budaya) yang sangat rumit.
Komunikasi dan budaya adalah dua entitas tak terpisahkan, sebagaimana
dikatakan Edward T. Hall dalam Deddy Mulyana (2005:14) Budaya adalah
komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Begitu kita berbicara tentang
komunikasi, tak terhindarkan kita pun berbicara tentang budaya.
Budaya berkenaan dengan cara hidup manusia, manusia belajar berpikir,
merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.
34
Menurut Sihabuddin (2011:18) Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan
minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, dan diwariskan dari generasi ke
generasi, melalui usaha individu dan kelompok. Budaya menampakkan diri,
dalam pola-pola bahasa, bentuk-bentuk kegiatan, perilaku, dan
gaya
berkomunikasi.
Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana, budaya juga
berkenaan dalam bentuk dan struktur fisik serta lingkungan sosial yang
mempengaruhi hidup kita. Sebagian besar pengaruh budaya terhadap kehidupan
kita tanpa sadar kita tidak menyadarinya, yang jelas budaya secara pasti
mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati, bahkan setelah mati pun
kita dikubur dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya kita.
Menurut Mulyana (2000:237) mengemukakan bahwa budaya adalah suatu
cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang
dan diwarisakan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur
yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni.
Budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam,
maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi. Budaya dan komunikasi
tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa berbicara
dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana komunikasi berlangsung tetapi budaya
juga menentukan bagaiamana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk
peran, dan kondisi-kondisinya untuk mengiri, memperhatikan, dan menafsirkan
35
pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada
budaya tempat kita dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan
komunikasi. Bila budaya beranekaragam maka beranekaragam pula praktekpraktek komunikasi.
Hubungan timbal balik antara komunikasi dan kebudayaan dalam
kehidupan interaksi dan sosialita masyarakat, budaya dan perilakunya hanya dapat
dipahami dengan memahami benar-benar konsep-konsep komunikasi dan konsepkonsep kebudayaan. Keduanya saling tidak terpisahkan, saling mempengaruhi,
saling ketergantungan dan saling melengkapi, serta dalam hubungan secara timbal
balik, termasuk perilaku komunikasinya.
Kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil perilaku manusia
yang teratur oleh kelakuan manusia, harus didapatnya dengan belajar, dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Fokus kajian komunikasi
antarbudaya yang harus selalu diingat adalah karena kebudayaannya yang
berbeda-berbeda, sehingga mempengaruhi pola-pola komunikasi yang beraneka
ragam.
Keseluruhan perilaku manusia yang tingkah lakunya harus didapat dengan
belajar dan dalam kurun waktu tertentu, selanjutnya menjadi milik sekelompok
orang. Proses belajar tingkah laku manusia dengan sesamanya tersebut, secara
keseluruhan menghasilkan perilaku manusia tertentu di mana tata kelakuannya
tidak terlepas dari perilaku komunikasi individu-individu yang beraneka ragam.
Perilaku komunikasi tersebut mentransmisikan pesan dan penerimanya, melalui
saluran dan media tertentu, yang selanjutnya mentransmisikan pewarisan
36
kebudayaan itu dari generasi ke generasi. Dalam berkomunikasi Etnis Tionghoa
membawa kultur budayanya, demikian halnya dengan Etnis Bugis. Perbedaanperbedaan ekspektasi budaya dapat menimbulkan resiko yang fatal. Sekurangkurangnya akan menyebabkan komunikasi tidak lancar, timbul perasaan tidak
nyaman atau kesalahpahaman.
Kadang-kadang kesalahpahaman yang terjadi ketika kita bergaul dalam
kehidupan sehari-hari dengan kelompok yang berbeda. Hal utama yang akan
terjadi menjadi problem disebabkan kecendrungan menganggap budaya kita
sebagai suatu kemestian, tanpa mempersoalkannya lagi, dan karenanya itu
menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya orang lain.
Padahal ketika kita berkomunikasi kita dihadapkan pada bahasa-bahasa, aturanaturan, dan nilai-nilai yang berbeda. Sebenarnya sulit bagi kita memahami
komunikasi orang lain jika kita menganggap bahwa budaya kita lebih baik
dibandingkan dengan budaya lain.
C.
Pengertian Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tak dapat
dipisahkan. Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi
langkah dan cara manusia atau kelompok sosial. Berkomunikasi tanpa memahami
konsep antarbudaya, sama saja dengan berbicara sendirian. Karena kita gagal
mengenali perbedaan-perbedaan penting yang harus menjadi dasar dalam
menyesuaikan komunikasi kita. Sejak manusia yang berbeda budaya dan
kebiasaan di bumi ini mengadakan hubungan, maka komunikasi antarbudaya akan
terus berlangsung.
37
Stewart L. Tubs dalam Saefullah (2007:203) mengatakan bahwa
komunikasi antar budaya dapat terjadi dalam konteks komunikasi apapun, mulai
dari komunikasi antarpersona hingga komunikasi organisasi, dan komunikasi
massa. Setiap kali komunikasi antarbudaya terjadi, perbedaaan kerangka rujukan
(frame of reference) peserta komunikasi membuat komunikasi lebih rumit dan
lebih sulit dilakukan, terutama karena pesertra mungkin tidak menyadari semua
aspek budaya peserta lainnya.
Dalam mempelajari komunikasi antarbudaya menurut Devito dalam
Sihabuddin (2011:4) kita perlu memperhatikan hal-hal berikut :
1. Orang dari budaya yang berbeda komunikasi secara berbeda.
2. Melihat cara perilaku masing-masing budaya (termasuk anda sendiri)
sebagai sistem yang mungkin tetapi bersifat arbitrer.
3. Cara kita berfikir tentang perbedaan budaya mugkin tidak ada
kaitannya dengan cara kita berperilaku.
Dalam komunikasi manusia selalu dipengaruhi oleh budayanya, budaya
bertanggung jawab atas semua perilaku dan makna yang dilakukan oleh si pelaku.
Untuk memahami komunikasi antarbudaya perlu terlebih dahulu untuk lebih dekat
dengan kebudayaan. Menurut Liliweri (2003:112) mengemukakan bahwa
Kebudayaan merupakan jumlah dari seluruh sikap, adat istiadat, dan kepercayaan
yang membedakan dengan kelompok lain, kebudayaan ditransmisikan melalui
bahasa, objek material, ritual, intitusi, dan kesenian, dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya.
38
Setelah memaknai kebudayaan, beberapa ahli mencoba mendifinisikan
komunikasi antarbudaya. “Komunikasi antarbudaya adalah pertukaran pesan yang
disampaikan secara lisan, tertulis, bahkan secara imajiner antara dua orang yang
berbeda latar belakang budaya” (Liliweri 2003:8).
Adapun
definisi
yang
ada
mengenai
komunikasi
antarbudaya
(interculutural communication) menyatakan bahwa komunikasi antarbudaya
terjadi apabila terdapat dua budaya yang berbeda dan kedua budaya tersebut
sedang melaksanakan proses komunikasi.
Komunikasi antarbudaya sendiri juga merupakan proses komunikasi yang
biasa saja, hanya saja mereka yang terlibat didalamnya mempunyai latar belakang
budaya yang berbeda, dalam komunikasi yang terjadi antara dua budaya yang
berbeda itu, maka aspek budaya, seperti bahasa, isyarat, noverbal, sikap,
kepercayaan, watak, nilai, dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan
sebagai perbedaan yang besar seringkali mengakibatkan terjadinya distorsi dalam
komunikasi, namun dalam masyarakat yang bagaimanpun berbeda kebudayaanya,
tetap saja akan terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk melakukan
komunikasi.
Kehidupan masyarakat manusia senantiasa akan selalu mengalami
perubahan. Perubahan tersebut dapat dilihat melalui perbandingan tatanan sosial
dan kehidupan masyarakat yang lama terhadap tatanan sosial dan kehidupan
masyarakat yang baru. Selama masa perkembangan komunikasi antarbudaya,
antara lain :
39
Dari penjabaran-penjabaran berbagai definisi berbagai ahli dalam
memaknai komunikasi antarbudaya maka jelaslah komunikasi antarbudaya
merupakan interaksi anggota-anggota suatu budaya yang berbeda. Saat ini
keberadaan komunikasi antarbudaya sangat penting dibanding masa-masa
sebelumnya, dalam bukunya komunikasi antar manusia De Vito (1997: 475-477)
mengemukanakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan pentingnya
komunikasi antarbudaya, antara lain :
a. Mobilitas
Mobilitas masyarakat tidak pernah berhenti, bahkan karena kemajuan
transportasi yang semakin meningkat, saat ini orang dapat dengan
mudah untuk menjalajahi pelosok-pelosok daerah. Ketika kita
mengunjungi suatu daerah lain maka kita akan berada pada suatu
wilayah dengan atmosfer budaya daerah tersebut. Kontak dengan
daerah sekaligus budaya tersebut akan menyebabkan hubungan
antarpribadi kemudian menjadi hubungan antarbudaya.
b. Saling ketergantungan ekonomi
Saat ini kebanyakan daerah ataupun negara bergantung kepada daerah
atau negara lain, saling ketergantunga ekonomi ini menyebankan
keharusan tiap daerah atau negara untuk menjalin komunikasi
antarbudaya diantara mereka, misalnya hubungan-hubungan kerja
sama ekonomi diantara negara-negara berkembang akan menyediakan
bahan-bahan baku terhadap negara-negara maju. Tentunya kerja sama
40
ini bukan hanya masalah ekonomi saja namun juga akan melibatkan
budaya-budaya dalam pelaksanaannya.
c. Teknologi komunikasi
Perkembangan teknologi komunikasi telah membawa kultur luar yang
ada kalanya sering masuk ke rumah kita, film-film impor yang
ditayangkan di televisi telah membuat kita mengenal adat kebiasaan
riwayat bangsa-bangsa lain. Kita juga setiap hari membaca di mediamedia ketergantugan rasial, pertentangan agama, diskriminasi seks,
yang disebabkan oleh kegagalan komunikasi antarbudaya.
d. Kesejahteraan politik.
Sekarang ini kesejahteraan politik kita sangat bergantung kepada
kesejahteraan politik kultur atau negara lain, kekacauan politik
didaerah lain akan mempengaruhi keamanan kita. Komunikasi dan
saling pengertian antarbudaya saat ini terasa lebih penting ketimbang
sebelumnya.
e. Pola imigran
Di hampir setiap daerah kita dapat menjumpai orang yang berasal dari
daerah atau negara lain, kita kemudian bergaul, bekerja atau
bersekolah denga orang-orang tersebut yang sangat berbeda dengan
kita, pergaulan sehari-hari tersebut lambat laun akan membuat kita
semakin mengenal budaya orang lain.
41
1.
Unsur-Unsur Kebudayaan
Karena kebudayaan memberikan identitas pada sekelompok manusia,
maka muncul suatu persoalan yakni bagaimana cara kita mengidentifikasi aspekaspek atau unsur-unsur kebudayaan yang membedakan satu kelompok
masyarakat budaya dari kelompok masyarakat budaya lainnya. Pengaruhpengaruh terhadapa komunikasi ini sangat beragam dan mencakup semua segi
kegiatan sosial manusia.
Dalam proses
komunikasi
antarbudaya unsur-unsur
yang sangat
menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti
komponen dari suatu sistem stereo, karena masing-masing saling membutuhkan
dan berkaitan.
Namun dalam penelahan, unsur-unsur tersebut dipisah-pisahkan agar dapat
diidentifikasi dan ditinjau secara satu persatu. Unsur-unsur sosial budaya tersebut
dalam Mulyana dan Rakhmat (2006:26-29) adalah :
1) Sistem keyakinan, nilai, dan sikap.
2) Pandangan hidup tentang dunia.
3) Organisasi sosial.
Pengaruh ketiga unsur kebudayaan tersebut pada makna untuk persepsi
terutama pada aspek individual dan subjektifnya. Kita semua mungkin akan
melihat suatu objek atau peristiwa sosial yang sama dan memberikan makna
objektif yang sama, tetapi makan individualnya tidak mustahil akan berbeda.
Koentjaranigrat dalam Bungin (2008:52) merumuskan ada tujuh buah
unsur kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan di
42
dunia atau kebudayaan pranat menyeluruh cultural universal dalam sistem nilai
yaitu :
1) Sistem tekhnologi, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup manusia (
pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi
transport, dan sebagainya
2) Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan,
sistem produksi, sistem distribusi, dan lainnya)
3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi, politik, sistem
hukum, dan sistem perkawinan)
4) Bahasa (lisan dan tertulis)
5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
6) Sistem pengetahuan
7) Religi (sistem kepercayaan)
2.
Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Komunikasi Antarbudaya
Samovar dan Richard dalam Mulyana (2007) mengemukakan enam unsur
kebudayaan yaitu pandangan dunia, kepercayaan, nilai, sejarah, otoritas status dan
persepsi tentang diri dan orang lain. Keenam unsur budaya tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga unsur sosial utama yang besar dan secara langsung
terhadap makna dan persepsi kita, yaitu :
a. Sistem Kepercayaan (Believe)
Sistem kepercayaan, nilai, dan sikap erat hubungannya dengan aspekaspek perceptual komunikasi antarbudaya. Nilai-nilai itu sendiri
adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai dan sikap
43
yang selanjutnya menentukan perilaku mana yang baik atau buruk
sehingga
menjadi
normatif
yang penting
dalam
komunikasi
antarbudaya. Di sisi lain perilaku dan sikap memiliki hubungan erat
yang selanjutnya mempengaruhi pola komunikasi antarbudaya.
Kepercayaan disini mengaitkan hubungan antara objek yang diyakini
inidvidu, dengan sifat-sifat tertentu objek tersebut secara berbeda.
Tingkat, derajat, kepercayaan kita menunjukkan pula kedalaman dan
isi kepercayaan kita. Jika kita merasa lebih pasti dalam kepercayaan
kita ini, lebih besar pula kedalaman dan isi tersebut, karena budaya
memainkan peranan penting dalam proses pembentukan kepercayaan.
b. Nilai-nilai (Values), Sikap (Attitude),dan Pandangan Dunia (World
View)
Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai, sebab nilai-nilai
adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan. Diantara nilai-nilai
tersebut ada sudah membaku dan meresap lama melalui proses
internalisasi kepada individu-individu, yang dinamakan nilai-nilai
budaya.
Sikap tersebut, menurut Berkowits adalah suatu respon yang evaluatif
yang evaluative, dinamis, dan terbuka terhadap kemungkinan
perubahan yang disebabkan oleh interaksi seseorang dengan
lingkungannya. Sedangkan pemahaman pandangan hidup mengenai
dunia adalah melalui substansi dan kerumitan dari pengaruh kuatnya
44
terhadap kebudayaan masyarakat, bangsa-bangsa, yang seringkali
tidak nampak dan tidak disadari.
Selanjutnya perspektif adalah cara pandang terhadap suatu masalah
merupakan cara pandang suatu pengamatan oleh konseptualisasi yang
kita ketahui dan pernah alami mengenai masalah tersebut. Pemahaman
komunikasi antarbudaya di sini adalah masalah konseptualisasi dari
perspektif yang berbeda-beda karena perbedaan budayanya.
Unsur-unsur budaya lainnya yang sangat berpengaruh adalah
pandagan hidup tentang dunia (world views) yakni mengenai Tuhan,
hidup dan mati yang hakikatnya berkaitan dengan sistem nilai-nilai
dan kepercayaan serta norma-norma yang berpengaruh pula secara
berbeda-beda dalam komunikasi antarbudaya.
c. Organisasi Sosial
Organisasi sosial sendiri adalah cara bagaiamana suatu budaya
mengorganisasikan
dirinya
dan
bagaiamana
lembaga-lembaga
mempengaruhi cara anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia,
serta bagaimana pula mereka berorganisasi.
Dengan memiliki unsur-unsur yang ada, dapat ditarik kesimpulan kembali
keterkaitan antara komunikasi dengan budaya. Hubungan antara budaya dan
komunikasi penting untuk dipahami agar dapat memahami komunikasi
antarbudaya, oleh karena itu melalui pengaruh budayalah orang-orang belajar
berkomunikasi.
45
D.
Proses Komunikasi Antarbudaya
Dalam proses komunikasi antarbudaya, lambing-lambang selain bahasa,
mendapat perhatian untuk diketahui. Penekanan pesan non-verbal pada pesan
verbal
dapat
melengkapi
dan
mewarnai
pesan-pesan
sehingga
mudah
diinterpretasikan oleh pembawa pesan kepada penerima pesan melalui pesan yang
dilambangkan seperti bahasa, gambar, warna, gerak tubuh dan artifak.
Kesalahpahaman dalam menginterpretasikan pesan sering diakibatkna karena
pembawa pesan (komunikator) tidak memahami latarbelakang budaya penerima
pesan (komunikan) atau salah dalam memakai saluran/tempat berlalunya pesan.
Dalam kehidupan sehari-hari, terlebih kehidupan di suatu daerah,
pertemuan antarbudaya tak bisa dielakkan, dalam sebuah interaksi yang dilakukan
masyarakat satu dengan masyarakat lain pertemuan budaya lain adalah sebuah
keharusan serta rutinitas yang tak dapat dihindari. Sehingga interaksi dan
komunikasi harus terjadi. Baik komunikasi yang dilakukan secara langsung (tatap
muka) maupun komunikasi yang menggunakan media sebagai saluran.
Dalam proses komunikasinya pun dapat dilakukan secara verbal (katakata) maupun menggunakan non verbal (bahasa tubuh/symbol), bahkan dalam
realitas aktivitas komunikasi yang terjadi selalu terjadi bauran antara verbal
dengan non verbal yang dilakukan oleh para pelaku komunikasi guna
mengefektifkan proses penyampain pesan.
Sebuah proses komunikasi yang terjadi dan dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki latar belakang yang berbeda, seperti perbedaan ras, suku, etnis,
agama, bahasa, tingkat pendidikan, status sosial, bahkan perbedaan jenis kelamin.
46
Kondisi tersebut sering kita dijumpai dalam interaksi masyarakat di
Sengkang, komunikasi antara Etnis Tionghoa dengan Etnis Bugis. Kemajemukan
bangsa Indonesia ini selain memperkaya khasanah budaya juga sekaligus bisa
menjadi bom waktu yang suatu saat dapat melululantahkan integrasi bangasa
secara menyeluruh. Sejarah mencata bahwa konflik dan peperangan antarbangsa
maupun etnis diakibatkan sikap satu sama lain tidak saling memahami dan
menghargai budaya lain.
Dalam membahas proses komunikasi antarbudaya, ada beberapa
pendekatan yang dapat diuraikan disini. (Liliweri 2001:339-340) :
1. Pendekatan Historis
Pendekatan historis merupakan pendekatan yang lebih mengandalkan
catatan sejarah warisan suatu kelompok etnis. Setiap kelompok etnis
seolah-olah merasa bebas menginterpretasi diri sebagai suku yang besar
dan terhormat. Sehingga mereka harus menjadi superior dan mendominasi
status dan peran dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Akibatnya
kelompok etnis superior menciptakan kondisi untuk mendominasi status
dan peran dan menjadi etnis lain secara interior.
2. Pendekatan Sosial Budaya
Pendekatan sosial budaya menekankan bahwa kehadiran antar
kelompok etnis merupakan akibat mobilitas bekas yang melanda mereka.
Mobilitas yang bebas itu justru selalu menjadi dalam masyarakat
majemuk, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Lohman dalam Liliweri
(2001) menurut mereka semakin tidak pasti dan tidak menentu. Gejala-
47
gejala itu ditunjukkan antara lain pengangguran dan kriminalitas yang
menekan psikologi masyarakat majemuk. Individu yang tidak tahan akan
menemukan diri mereka hanya dalam suatu lingkungan yang aman. Satusatunya tempat afiliasi adalah regerence group, termasuk kelompok etnis.
3. Pendekatan Situsional
Pendekatan situsional berasumsi bahwa Etnis merupakan masalah
situsional karena terjadi pada tempat dan waktu tertentu dalam masyarakat
kota. Hal ini berpengaruh terhadap sikap dan perilaku etnis dan ras
tertentu. Sebagai contoh, segregasi pemukiman, pembagian kerja,
penguasaan wilayah, pemisahan pemanfaaatan sarana dan prasarana sosial,
sampai tindakan diskriminasi berdasarkan etnis terjadi karena keadaan
yang memaksa.
4. Pendekatan Psikodinamik
Pendekatan psikodinamik berasumsi bahwa suatu etnis terjadi karena
kelompok etnis yang merasa frustasi sehingga mudah sekali membuat
prasangka etnis. Sikap prasangka selalu dimiliki oleh orang yang secara
psikologis cemas karena kepribadian tertutup, ambigu, tidah tahan, bahkan
tidak toleran terhadap perbedaan. Memiliki kebutuhan-kebutuhan yang
tidak dipenuhi, berpikir negatif, terlalu dogmatis, dan konservatif.
5. Pendekatan Fenomologis
Pendekatan ini berasumsi bahwa suatu etnis ditentukan oleh faktor
individual tertentu, yang mengajarkan orang untuk berpikir dan berbuat
sesuatu terhadap orang lain.
48
6. Pendekatan Objek
Pendekatan objek merupakan pendekatan terhadap kasus demi kasus
yang membangkitkan prasangka. Misalnya mengapa ada perbedaan etnis
dan prasangka. Jadi, pendekatan ini merupakan untuk mendekatkan diri
agar mendapatkan objek yang nyata.
E.
Pola Komunikasi dalam Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi merupakan kegaitan berbahasa yang bersifat dua arah dan
melibatkan penutur dan mitra tutur. Selain bahasa unsur para verbal (seperti
intonasi, kecepatan berbicara dsb), unsur non verbal (gesture dan mimik).
Pembahasan dalam skripsi ini memfokuskan perhatian pada perbedaan lingkup
kehidupan, stereotipe dan prasangka yang mempengaruhi proses komunikasi
antarbudaya.
Menurut Hofstede (1993), yang dikutip oleh Buhlman, Fearns, dan
Gaspardo (2003) dalam Liliweri (2002:105) :
“Perbedaan dan persamaan lingkup budaya dapat diukur berdasarkan
kriteria tempat, waktu, agama dan sejarah, hirarki, kekuasaaan,
keterikatan, antar individu, dominasi maskulin atau feminism dalam
masyarakat dan kepastian hokum. Agama dan sejarah atau lebih tepat
disebut ingatan kolektif suatu masyarakat menentukan nilai-nilai
kehidupan yang berlaku dalam masyarakat tersebut.”
Unsur-unsur antarbudaya dapat mempengaruhi komunikasi dalam bentuk
stereotipe. Stereotipe merupakan generalisasi tentang sekelompok orang dengan
mengabaikan realitas yang ada. Stereotipe dapat positif maupun negatif.
Stereotipe sering kali cara pandang seseorang terhadap orang lain sangat
menentukan cara komunikasi kita. Setiap kali kita berhadapan dengan objek,
49
peristiwa, gagasan atau ide, atau bahkan orang tertentu maka kita akan
mempunyai sikap tertentu, dan dalam sikap itu berisi prasangka terhadap objek.
Martin Fishein dalam Mulyana (2005:24) mengatakan bahwa :
“Sikap adalah sesuatu yang dipelajari, suatu diposisi relatif untuk
merespon suatu objek dalam situasi tertentu, mulai dari yang
menyenangkan entah ditunjukkan kepada orang lain, kelompok, gagasan,
dan situasi.”
Sikap adalah kecendrungan untuk mengevaluasi sesuatu, gagasan,
peristiwa, seseorang atau kelompok orang pada suatu skala, mulai dari yang
paling menyenangkan sampai pada yang tidak menyenangkan.
Dalam komunikasi antarbudaya persepti tentang tutur bahasa sangat
dipengaruhi oleh stereotipe, dan hal ini akan menentukan proses berkomunikasi
yang berdampak pada keberhasilan atau kegagalan penyampaian pesan dalam
suatu komunikasi. Kemampuan berkomunikasi antarbudaya tentunya juga
mensyaratkan keterampilan-keterampilan umum dalam berkomunikasi seperti
kemampuan sosial (antara lain empati, toleransi), kemampuan individual (seperti
kemampuan berbahasa, peran, pengalaman berinteraksi antarbudaya dan
sebagainya), kompetensi dibidang tertentu (penguasaan pengetahuan dalam
pembicaraan antar pakar), ketermapilan dalam proses berkomunikasi.
Disamping keterampilan umum kepekaan terhadap budaya sendiri dan
budaya lain merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu komunikasi. Dalam
hal ini hambatan dalam berkomunikasi dapat terjadi karena persepsi yang keliru
tentang budaya lain (stereotipe tidak berlaku), atau karena adanya penerapan polapola komunikasi yang lazim dalam budayanya.
50
Dalam sebuah proses komunikasi antar manusia, stereotipe pada umumnya
akan menghambat keefektifan dalam melakukan komunikasi, bahkan pada
gilirannya akan menghambat integrasi manusia, dengan demikian keberadaan
stereotipe antar suku bangsa di negara kita pun dapat menghambat integrasi sukusuku bangsa di Indonesia, serta keutuhan bangsa secara menyeluruh.
Oleh karena itu apa yang harus dilakukan oleh masyarakat yang hidup
dalam lingkungan yang plural atau majemuk, dimana didalamnya terdapat ragam
kebudayaan serta nilai yang masing-masing memiliki karakter yang secara kasat
mata seolah bertentangan.
Mereka Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis yang bermukim di Sengkang
tentunya sadar maupun tidak sadar selalu melakukan aktivitas komunikasi
antarbudaya, baik dalam kondisi formal maupun non-formal , kita pun pernah
mengalami mis-komunikasi serta mis-persepsi ketika sedang melakukan aktivitas
interaksi dengan orang lain, bahkan itu kesalahpahaman dalam hal pebedaan
makna verbal yang disampaikan maupun kesalahpahaman dalam memandang
suatu nilai tata kehidupan.
Meskipun demikian kesalahpahaman antarbudaya di atas sebenarnya dapat
diatasi bila kita mengetahui bahasa serta perilaku budaya lain, mengetahui
prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya serta menjadi manusia antarbudaya yang
mampu melakukan komunikasi dengan orang-orang yang memiliki latarbelakang
budaya yang berbeda tanpa harus mengalami kesalahpahaman dalam persepsi
yang akan disampaikan.
51
F.
Potensi Dalam Komunikasi Antarbudaya
Dewasa ini kebutuhan untuk mempelajari komunikasi antarbudaya
semakin penting karena semakin banyak orang-orang yang data ke kota maupun
ke desa-desa, sehingga komunikasi antarbudaya akan lebih sering terjadi di
pedesaan maupun di perkotaan. Oleh karena itu menjadi manusia antarbudaya
merupakan hal yang tepat untuk menciptakan sebuah interakasi yang harmonis,
meskipun menjadi manusia antarbudaya bukanlah suatu status melainkan suatu
proses menjadi, dan ini bukanlah suatu keadaan melainkan suatu pencarian,
namun menjadi manusia antarbudaya mampu mengubah pandangan kita tentang
hakikat perbedaan sebagai suatu nuansa keindahan.
Perbedaan budaya adalah karakteristik khas dari komunikasi antarbudaya.
Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi dengan ciri sumber dan penerima
pesan berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi merupakan fungsi dari
budaya. Oleh karena itu, perilaku komunikasi adalah cerminan budaya asal dari
partisipannya.
Komunikasi bersifat simbolik. Pada saat seseorang menggunakan simbolsimbol, baik berupa kata-kata atau gestura, diasumsikan bahwa orang lain juga
menggunakan sistem symbol yang sama. Hal ini bermasalah ketika komunikasi
itu dilakukan dengan pasangan yang berbeda, karena masing-masing budaya
mengembangkan sistem symbol yang berbeda budaya lainnya.
Dengan demikian perbedaan budaya menyebabkan adanya penggunaan
symbol berbeda dan persepsi berbeda atas pesan yang disampaikan, sehingga
komunikasi tidak dapat mencapai tujuannya. Sebagai contoh, ketika ada
52
perbedaan budaya dalam komunikasi untuk merubah perilaku, maka dapat
menyebabkan perubahan perilaku itu tidak dapat tercapai atau tidak sesuai dengan
maksud penyampain pesan. Oleh karena itu dalam komunikasi antarbudaya
diperlukan kompetensi tertentu sebagai solusi atas masalah komunikasi karena
perbedaan budaya.
 Komunikasi Antarbudaya Dalam Perubahan Sosial
Perubahan sosial adalah fakta sosial yang pasti terjadi dalam kehidupan
manusia. Salah satu faktor penyebab perubahan sosial adalah adanya kontak antar
dua budaya yang berbeda. Kontak antar dua budaya yang berbeda akan
menyebabkan budaya akan menjadi bersifat semakin heterogen dan kompleks.
Keadaan seperti ini kemungkinan akan menimbulkan berbagai kesulitan sehingga
perubahan sosial yang ada akan membawa bencana.
Untuk merespon perubahan sosial yang disebabkan oleh pertemuan dua
budaya yang berbeda adalah dengan mengembangkan bentuk Komunikasi
antarbudaya melalui komunikasi tersebut yang mempunyai latar belakang budaya
yang berbeda akan mengembangkan proses persepti tidak saja berdasarkan
budayanya masing-masing tetapi juga memperhitungkan bagaimana budaya yang
lain itu melakukan persepsi.
Dengan demikian dalam perespon perubahan sosial yang ada tersebut
individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat meresponnya dalam
wawasan yang lebih luas dan lebih dinamis.
53
G.
Deskripsi Teori
Teori Konvergensi dari Kincaid dan Everett M. Rogers. Teori ini
menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses yang memiliki kecendrungan
bergerak kearah satu titik temu (convergence). Dengan kata lain komunikasi
adalah suatu proses dimana orang-orang atau lebih saling menukar informasi
untuk mencapai kebersamaan pengertian satu sama lainnya dalam situasi dimana
mereka berkomunikasi.
A
AB
B
Gambar 2.1
Model Konfergence Lingkaran Tumpang Tindih
Sumber : Liliweri (2001)
Gambar diatas adalah model konfergensi lingkaran tumpang tindih, yang
menunjukkan situasi komunikasi antarbudaya manakalah semakin besar maka
semakin banyak pengalaman yang sama dan komunikasi semakin efektif. Model
ini juga dapat digunakan dalam melihat sejauh mana tingkat konvergensi
masyarakat yang berada pada wilayah yang dihuni oleh beragam etnis dan tingkat
pemaknaan masing-masing etnis dalam berinteraksi. Dalam teori konvergensi
sosial, yang mana beragam kultur bertemu pada satu titik dalam hal ini lingkaran
sebagai bentuk hubungan sosial dimana terjadi proses pertukaran informasi,
54
memiliki empat kemungkinan, yakni pertama dua pihak saling memahami makna
informasi dan menyatakan setuju, dua pihak saling memahami makna informasi
dan menyatakan tidak setuju, dua pihak tidak memahami makna informasi dan
menyatakan setuju, dua pihak tidak memahami makna informasi dan menyatakan
tidak setuju.
55
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Hampir tidak ada negeri yang tidak didatangi orang Wajo sampai ke ujung
dunia pun asalkan ada peluang bisnis dan iklim yang menjamin kebebasan
berusaha, orang Wajo akan datang. Perumpamaan itu tak lain untuk menunjukkan
betapa sifat kewirausahawan telah mendarah daging pada setiap pribadi Orang
Wajo. Sifat ini dituntun pesan leluhur, ajja muelo natunai sekke, naburuki labo
(jangan terhina oleh sifat kikir dan hancur oleh sifat boros).
Berpegang pada Tellu Ampikalena To Wajoe (tiga prinsip hidup) , tau’E
ri Dewatae, siri’E padatta rupatau, siri’E ri Watakkale (Ketaqwaan kepada Allah
SWT, rasa malu pada orang lain dan pada diri sendiri). Orang Wajo memiliki etos
kerja, resopa natimulu natemmanginggi, namalomo nametai pammase Dewata
Sewae (hanya dengan kerja keras, rajin dan ulet, mendapat keridhaan Allah SWT).
Orang Wajo senantiasa mendambakan terciptanya iklim kebebasan
berdasarkan prinsip, Maredeka To WajoE, najajian alaena maradeka, napada
adanna napobbicarana, napogau gaunna, assematurusennami napopuang (orang
Wajo dilahirkan merdeka, bebas berekspresi, bebas berbicara dan kesepakatan
bersama.
A.
FILOSOFI KABUPATEN WAJO
Filosofi pemerintahan dan kemasyarakatan Wajo yang tercermin pada
kedalaman kearifan budaya dan moral masyarakat Wajo yang sejak 600 tahun
yang lalu yaitu sejak Wajo lahir pada tanggal 29 maret 1399, kemudian
56
mengkristal pada tiga kata yang selanjutnya disebut dengan filosofi 3 S ,yaitu
Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge. Filosofi ini menjadi satu tatanan yang
terpisahkan satu sama lain.
SIPAKATAU (saling memanusiakan)
a.
Menghormati harkat dan martabat kemanusian seseorang sebagai
makhluk ciptaan tuhan YME
b.
Semua makhluk disisi tuhan YME adalah sama, yang membedakan
adalah keimanan dan ketakwaan
SIPAKELEBBI (saling memuliakan /menghargai)
a. Menghargai posisi dan fungsi masing-masing di dalam struktur
kemasyarakatan dan pemerintahan
b. Yang muda menghormati yang tua, dan yang tua menyayangi yang
mudah,yang sederajat saling menghormati dan menyayangi.
c. Berprilaku dan berbicara sesuai norma (baik) yang di junjung tinggi oleh
masyarakat dan pemerintah.
SIPAKAINGE (saling mengingatkan / demokrasi)
a.
Menghargai nasehat, saran, kritikan, posisi, dari siapapun
b.
Pengakuan bahwa manusia adalah tempatnya kekurangan dan
kekhilafan.
c.
Aparatur pemerintah dan masyarakat tidak lupuk dari kekurangan,
kekhilafan dan diperlukan ke arifan untuk saling mengingatkan dan
menyadarkan melalui mekanisme yang tidak lepas dari kearifan
Sipakatau dan Sipakalebbi.
57
B.
Kondisi Geografis
1.
Letak geografis,
Secara geografis, Kabupaten Wajo terletak pada posisi 30 390-40 16’ Lintang
Selatan dan 1190530-120027 Bujur Timur, merupakan daaerah yang terletak
ditengah-tengah Provinsi Sulawesi Selatan dan pada zone tengah yang merupakan
suatu depresi yang memanjang pada arah laut tenggara dan terakhir merupakan
suatu selat. Batas wilayah Kabupaten Wajo adalah :
a.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten
Sidenreng Rappang.
b.
Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone.
c.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bone dan Kabupaten
Soppeng.
d.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten
Sidrap.
58
Gambar 3.1
Peta Kabupaten Wajo
Sumber: www.wajo.bps.go.id
Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km2 atau 4,01% dari luas Provinsi
Sulawesi Selatan dengan rincian penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah
85.026 ha (33,92%) dan lahan kering 167,671 ha (66,08%).
Sampai dengan akhir tahun 2010 wilayah Kabupaten Wajo tidak mengalami
pemekaran, yaitu tetap terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan. Selanjutnya dari
keempat-belas wilayah Kecamatan tersebut, wilayahnya dibagi lima menjadi
wilayah-wilayah yang lebih kecil yang disebut desa atau kelurahan. Tetap sama
dengan kondisi pada tahun 2008, wilayah Kabupaten Wajo terbentuk dari 48
wilayah yang berstatus Kelurahan dan 128 wilayah yang berstatus Desa. Jadi
secara keseluruhan, wilayah Kabupaten Wajo terbagi menjadi 176 desa/kelurahan.
Masing-masing wilayah Kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif
kecil, sehingga pemanfaatan sumber-sumber yang ada relatif sama untuk
menunjang pertumbuhan pembangunan di wilayahnya.
Adapun luas wilayah Kabupaten Wajo per Kecamatan sebagai berikut :
Tabel 3.1
LUAS
NO.
KECAMATAN
KM2
(%)
1.
SABBANGPARU
132,75
5,3
2.
TEMPE
38,27
1,53
3.
PAMMANA
162,1
6,47
4.
BOLA
220,13
8,78
59
5.
TAKKALALLA
179,76
7,17
6.
SAJOANGING
167,01
6,66
7.
PENRANG
154,9
6,18
8.
MAJAULENG
225,92
9,01
9.
TANASITOLO
154,6
6,17
10.
BELAWA
172,3
6,88
11.
MANIANGPAJO
175,96
7,02
12.
GILIRENG
147
5,87
13.
KEERA
368,36
14,7
14.
PITUMPANUA
207,13
8,26
2,506,19
100,00
JUMLAH
Sumber: Kabupaten Wajo dalam angka 2011.
Dari data diatas, wilayah yang paling luas adalah Kecamatan Keera dengan
luas 368,36 km2 atau 14,7 % dari wilayah Kabupaten Wajo, sedangkan wilayah
terkecil adalah Kecamatan Tempe dengan luas 38,27 km2 atau 1,53 %.
2.
Kondisi alam
Kondisi topografi di Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan cukup
bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar
wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan lahan/lereng 0 – 2 % luasnya
mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %, sedangkan lahan datar hingga
bergelombang dengan kemiringan / lereng 3 – 15 % luas 21,116 Ha (8,43%),
lahan yang berbukit dengan kemiringan / lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 Ha
(5,50 %) dan kemiringan lahan diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas
3,316 Ha (1,32%).
60
Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas
permukaan laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut :
1.
0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85 %
2.
8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72 %
3.
26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 %
4.
101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50 % dan ketinggian di
atas 500 meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0,66 %.
Kabupaten Wajo berada pada ketinggian antara 0.s.d. 500 meter dari atas
permukaan daerah 3 dimensi yang memiliki sumber daya alam dengan yang
terbagi atas:
1. Tanah berbukit/pegunungan (ketinggian 25 s.d 100 meter dpi seluas
7.378 Ha) berjejer dari selatan yang di mulai dari Kecamatan Tempe ke
Utara memasuki Wilayah kecamatan Maniangpajo, Gilireng, keera, dan
Pitumpanua. Hamparan luas yang merupakan sumber daya hutan
berfungsi sebagai konservasi dan pengamanan tat guna air yang
berkesinambungan.
2. Tanah daratan rendah (0.s.d 25 meter dpi seluas 205.588 Ha) merupakan
hamparan lahan persawahan, perkebunan/tegalan pada wilayah Timur,
tengah dan Barat,
3. Danau Tempe yang merupakan danau terluas di Provinsi Sulawesi
Selatan berada di kawasan, Tengah dan Barat, sedangkan sebelah Timur
terbentang pantai pesisir sepanjang 103 km termasuk kawasan Teluk
61
Bone. Kawasan ini merupakan wilayah untuk pengembangan perikanan
dan budidaya tambak.
Di samping itu kabupaten Wajo di dukung juga dengan potensi dengan
sumber air yang cukup besar untuk pengairan air bersih. Baik air tanah maupun
pemurkaan yang terdapat di danau dan di sungai-sungai besar seperti sungai Bila,
Walennai, Gilireng, Cendranai dan Aw.
C.
Kondisi Demografis
1.
Penduduk dan Ketenagakerjaan
Penduduk daerah di Kabupaten Wajo tahun 2010 sebanyak 386.073 jiwa,
dan terdiri dari penduduk laki-laki sebanyak 184.015 jiwa dan penduduk
perempuan 202.015 jiwa. Berdasarkan data penduduk ini sex raxio penduduk
Kabupaten Wajo pada tahun 2010 sebesar 91,07 persen dan rata-rata laju
pertumbuhan penduduknya dari tahun 2005 sampai 2010 sekitar 0,80 persen.
Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo sebesar 154 jiwa/km2 dan hampir 99,4
persen beragama Islam.
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, maka kepadatan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo pada tahun
2010 sebesar 154 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terdapat di kecamatan tempe
dengan luas wilayah terkecil yaitu sebesar 1,597.10 per km2 , sedangkan
kecamatan Keera dengan luas wilayah terbesar justru memiliki kepadatan terkecil
yaitu sebesar 59.00 jiwa per km2.
Struktur umur penduduk pada suatu daerah sangat ditentukan oleh
perkembangan tingkat kelahiran, kematian dan imigrasi. Oleh karena itu jika
62
angka kelahiran suatu daerah cukup tinggi maka akan mengakibatkan daerah
tersebut tergolong sebagai daerah yang banyak penduduk berusia muda. Jumlah
penduduk terus bertambah setiap tahun, tidak demikian dengan pemerataan
penyebaran penduduk.
Adapun jumlah dan rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Wajo
menurut kecamatan sebagai berikut :
Tabel 3.2
NO
KEC/TAHUN
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata laju
pertumbuhan
1.
SABBANGPARU
25.318
25.702
25.737
25.725
25.834
0,51
2.
TEMPE
54.689
55.039
55.598
56.486
61.121
2,82
3.
PAMMANA
30.949
31.172
31.266
31.252
31.276
0,26
4.
BOLA
20.272
19.412
19.496
19.309
19.384
-1,11
5.
TAKKALALLA
20.060
19.757
20.030
20.304
20.640
0,72
6.
SAJOANGING
19.444
19.157
19.280
19.339
18.807
-0,83
7.
PENRANG
15.839
15.223
15.430
15.489
15.705
0,21
8.
MAJAULENG
32.261
31.125
31.535
31.708
31.329
-0,73
9.
TANASITOLO
36.946
39.742
40.121
40.201
39.271
1,54
10.
BELAWA
30.502
30.896
31.001
31.235
31.985
1,19
11.
MANIANGPAJO
14.091
15.763
15.817
15.846
15,966
3,17
12.
GILIRENG
11.347
11.074
11.321
11.339
11.043
-0,68
13.
KEERA
20.437
21.356
21.536
21.795
21.734
1,55
14.
PITUMPANUA
41.783
41.766
42.353
42.422
41.978
0,12
370.093
373.938
377.184 382.450
386.073
0,80
JUMLAH
Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011
Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo tahun 2010 terbesar terdapat di
Kecamatan Tempe yaitu sebesar 1,597.10 jiwa. Kecamatan yang memiliki
63
penduduk terendah adalah Kecamatan Keera yaitu sebesar 59.00 jiwa per km2.
Sedangkan secara rata-rata keseluruhan, kepadatan penduduk di Kabupaten Wajo
sebesar 154.05 Km2
Kepadatan penduduk Kabupaten Wajo menurut Kecamatan tahun 2010.
Tabel 3.3
Nama Kecamatan
SABBANGPARU
Luas daerah
(KM2)
132,75
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan
(Km2)
25,834
194.61
TEMPE
38,27
61,121
1,597.10
PAMMANA
162,1
31,276
192.94
BOLA
220,13
19,384
88.06
TAKKALALLA
179,76
20,640
114.82
SAJOANGING
167,01
18,807
112.61
PENRANG
154,9
15,705
101.39
MAJAULENG
225,92
31,329
138.67
TANASITOLO
154,6
39,271
254.02
BELAWA
172,3
31.985
185.64
MANIANGPAJO
175,96
15,966
90.74
147
11,043
75.12
KEERA
368,36
21,734
59.00
PITUMPANUA
207,13
41,978
202.66
2,506.19
386,073
154.05
GILIRENG
JUMLAH
Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011
Untuk mengetahui komposisi penduduk Kabupaten Wajo yang bekerja
menurut sektor lapangan usaha, dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Keadaan penduduk Kabupaten Wajo menurut Sektor Lapangan Usaha tahun 2010.
Tabel 3.4
64
NO
Lapangan Pekerjaan Usaha
LakiLaki
Perempuan
Jumlah
1.
195
258
453
2.
Pertanian,Perikanan,Peternakan
dan kehutanan
Pertambangan dan Penggalian
76
4
80
3.
Industri Pengolahan
245
211
456
4.
Listrik,Gas dan Air
94
28
122
5.
Bangunan
255
272
527
6.
528
263
791
99
12
111
8.
Perdagangan, Rumah Makan
dan Hotel
Angkutan, Pergudangan, dan
Komunikasi
Keuangan dan Asuransi
403
272
675
9.
Jasa Kemasyrakatan
162
35
197
Jumlah
1,756
1,353
3,111
7.
Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011
Data yang tercantum dalam tabel diatas menunujukkan bahwa dari 386.073
orang penduduk Kabupaten Wajo yang bekerja menurut sektor lapangan usaha,
sebagian besar bekerja di sektor Perdagangan,Rumah Makan dan Hotel yakni
sebanyak 791 orang. Sedangkan yang paling sedikit adalah penduduk yang
bekerja pada sektor Pertambangan dan Penggalian yakni sebanyak 80 orang.
Dalam hal pekerjaan, penduduk Kabupaten Wajo memberikan peluang yang
cukup besar tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya telah
mendapatkan kesempatan yang sama untuk bekerja di berbagai lapangan kerja.
Adapun untuk mengetahui jumlah banyaknya pencari kerja yang telah terdaftar
65
pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabuparen menurut tingkat
dapat dilihat dalam tabel berikut :
Banyaknya pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Kabupaten Wajo munurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin
2011.
Tabel 3.5
NO.
TINGKAT PENDIDIKAN
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
1.
SD
0
0
0
2.
SLTP
0
1
1
3.
SLTP DAN KEJURUAN
17
18
35
4.
DIPLOMA
3
38
41
5.
SARJANA (S1)
42
75
117
6.
PASCASARJANA (S2)
0
0
0
Sumber: Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011
Dalam pelaksanaan pembangunan sosial, pemerintah telah mengupayakan
berbagai usaha guna terciptanya kesejahteraan masyarakat di bidang sosial yang
lebih baik. Usaha tersebut meliputi kegiatan di bidang pendidikan, agama,
kesehatan, keamanan dan ketertiban masyarakat serta sosial lainnya.
2.
Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, rata-rata pendidikan yang dimiliki oleh
masyarakat di Kabupaten Wajo sudah baik, dimana masyarakat rata-rata telah
mengeyam pendidikan SMA hingga lanjut ke perguruan tinggi.
Sarana Pendidikan di Kabupaten Wajo Tahun 2011 sebagai berikut :
66
Tabel 3.6
NO.
JENIS SARANA PENDIDIKAN
JUMLAH
1.
TK
180
2.
SD/ Sederajat
397
3.
SLTP/ Sederajat
74
4.
SLTA/ Sederajat
16
5.
Akademi
2
6.
Perguruan Tinggi
8
7.
Kursus
5
Sumber: Kabupaten Wajo dalam Angka 2011
Data dalam tabel diatas menunjukkan bahwa jumlah sarana pendidikan di
Kabupaten Wajo dapat dikatakan sangat memadai bagi peningkatan pendidikan
masyarakat. Sebagian besar anak usia sekolah di Kabupaten Wajo sudah bisa
menuntut ilmu dengan baik. Bertambahnya saran pendidikan di Kabupaten Wajo
juga menunjukkan bahwa kepedulian masyarakatnya terhadap pendidikan juga
cukup besar dan hal ini dapat pula menjelaskan secara tersirat dari beberapa tabel
sebelumnya bahwa antara laki-laki dan perempuan telah memiliki kesempatan
yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Bagi mereka yag ingin meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
seperti Perguruan Tinggi maka mereka disekolahkan ke daerah-daerah yang
mempunyai sarana pendidikan yang memadai, terutama menyangkut kualitas
pendidikan itu sendiri.
D.
Agama dan Kepercayaan
Kabupaten Wajo merupakan Kabupaten yang penduduknya memeluk
berbagai macam agama. Untuk lebih jelasnya perbandingan memeluk agama yang
67
ada di Kabupaten Wajo ini terbagi kedalam agama atau aliran kepercayaan yaitu :
islam, protestan, dan agama lain dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Banyaknya tempat peribadatan menurut kecamatan di Kabupaten Wajo tahun
2010.
Tabel 3.7
Tempat Peribadatan
Nama Kecamatan
Masjid
Mushalla
Gereja
Pura
Kelenteng
SABBANGPARU
36
6
-
-
-
TEMPE
62
10
1
-
-
PAMMANA
48
14
-
-
-
BOLA
41
28
-
-
-
TAKKALALLA
26
4
-
-
-
SAJOANGING
28
2
-
-
-
PENRANG
31
5
-
-
-
MAJAULENG
46
4
1
-
-
TANASITOLO
35
1
-
-
-
BELAWA
46
-
-
-
-
MANIANGPAJO
22
4
-
-
-
GILIRENG
16
1
-
-
-
KEERA
32
6
-
-
-
PITUMPANUA
67
2
-
-
-
JUMLAH
536
87
2
-
-
Sumber : Kabupaten Wajo Dalam Angka 2011
Jika kita lihat tabel diatas mengenai jumlah tempat peribadatan, sangat jelas
bahwa di Kabupatenwajo agama yang dominan adalah agama islam, kemudian
agama-agama yang lain seperti kristen dll.
68
Sarana peribadatan yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Kabupaten
Wajo berupa mesjid sekitar 536 buah, musholla sekitar 87 buah, dan gereja 2
buah. Kita melihat sarana peribadatan yang paling banyak adalah mesjid karena
masyarakat Kabupaten Wajo dominan memeluk agama islam.
E.
Objek Wisata Kabupaten Wajo
Sengkang adalah Ibu Kota dari Kabupaten Wajo yang terletak di pinggir
Danau Tempe yang memiliki panorama Indah, Sengkang merupakan kota yang
cukup menyenangkan untuk dikunjungi. Salah satu daya tarik Sengkang adalah
produk kain sutera yang merupakan hasil tenun milik rakyat.
Sengkang memang dikenal sebagai pusat industri sutera. Kain sutera banyak
dijual di pasar Sengkang seperti selendang sutera Namun sayangnya pusat
penenunan sutera milik rakyat umumnya terletak di desa-desa di sekitar Sengkang
yang tidak memiliki akses angkutan umum. Untuk dapat menuju ke desa-desa ini,
Anda harus menyewa angkutan umum.
1.
Danau Tempe
Danau Tempe merupakan danau yang cukup luas namun dangkal yang
menjadi habitat satwa burung. Pinggiran danau merupakan kawasan tanah lumpur
yang juga menjadi tempat bermukim masyarakat setempat. Pengunjung dapat
berjalan-jalan menyusuri danau dengan menggunakan perahu motor hingga ke
Sungai Walanae, mengunjungi Desa Salotangah dan Desa Batu Batu yang berada
di tengah danau.
Danau Tempe terletak di bagian Barat Kabupaten Wajo. Tepatnya di
Kecamatan Tempe, sekitar 7 km dan Kota Sengkang menuju tepi Sungai
69
Walanae. Dari sungai ini, perjalanan ke Danau Tempe dapat ditempuh sekitar 30
menit dengan menggunakan perahu motor (katinting). Perkampungan nelayan
bernuansa Bugis berjejer di sepanjang tepi danau. Nelayan yang menangkap ikan
di tengah danau seluas 13.000 hektare itu dengan latar belakang rumah terapung,
merupakan pemandangan yang sangat menarik.
Dari ketinggian, Danau Tempe tampak bagaikan sebuah baskom raksasa
yang diapit oleh tiga kabupaten yaitu Wajo, Soppeng, dan Sidrap. Sambil
bersantai di atas perahu, wisatawan dapat menyaksikan terbitnya matahari di ufuk
Timur pada pagi hari dan terbenam di ufuk Barat pada sore hari. Di tengah danau,
kita dapat menyaksikan beragam satwa burung seperti belibis yang menyambar
ikan-ikan yang muncul di atas permukaan air Danau Tempe.
Danau ini memiliki spesies ikan air tawar yang jarang ditemui di tempat
tain. Konon, dasar danau ini menyimpan sumber makanan ikan, yang diperkirakan
ada kaitannya letak danau yang berada di atas lempengan dua benua, yaitu
Australia dan Asia.
2.
Wisata Sutera
Agro Wisata Sutra menjadi salah satu andalan di kabupaten ini. Tahap
penanaman murbei hingga proses pembuatan kain sutera sudah lama menjadi daya
tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Wajo.
Lokasi pembibitan dan penanaman murbei terletak pada beberapa desa di
Kecamatan Sabbangparu, sekitar 10 km sebelah Selatan Kota Sengkang, jalan
poros menuiu Kabupaten Soppeng. Di sini, pengunjung dapat menyaksikan proses
penanaman murbei, cara memelihara ulat sutera, proses pemintalan benang sutera,
70
hingga cara menenun kain sutera. Khusus produk sutera yang berupa kain, sarung,
kemeja, dasi, dan berbagai bentuk cinderamata dari kain sutera seperti kipas dan
tas.
Beberapa showroom sutera yang ada di Kota Sengkang menyediakan
berbagai macarn warna maupun motif yang indah. Motif yang banyak diminati
masyarakat umumnya motif Bugis dan motif yang menyerupai ukiran-ukiran
Toraja.
3.
Kawasan Budaya Rumah Adat Atakkae
Kawasan budaya Rumah Adat Atakkae terletak di Kelurahan Atakkae,
Kecamatan Tempe, dibangun tahun 1995 di pinggir Danau Lampulung, sekitar 3
km sebelah Timur Kota Sengkang. Di dalam kawasan ini telah dibangun puluhan
duplikat rumah adat tradisional yang dihimpun dari berbagai kecamacan, sehingga
kawasan ini representatif sebagai tempat pelaksanaan pameran.
Di sekitarnya terdapat bangunan sebagai tempat menginap wisatawan, dekat
dari danau. Hampir setiap tahunnya, kawasan budaya ini ramai dikunjungi
wisatawan, terutama saat digelar berbagai atraksi budaya dan permainan rakyat.
Di dalam kawasan tersebut dibangun sebuah rumah adat yang lebih besar yang
dijuluki Saoraja-istana Tenribali, salah seorang matoa Wajo. Rumah tersebut
rnempunyai tiang sebanyak 101 buah. Setiap tiang beratnya 2 ton, kayu ulin dari
Kalimantan.
Tiang itu didirikan dengan menggunakan alat berat (eskavator). Lingkaran
tiang rumah 1,45 m dengan garis tengah 0,45 m, dan tinggi tiang dari tanah ke
71
loteng 8,10 m. Bangunan rumah adat ini mempunyai ukuran panjang 42,20 m,
lebar 21 m, dan tinggi bubungan 15 m.
4.
Kawasan Bendungan Kalola
Kawasan Bendungan Kalola merupakan kawasan wisata terletak di Desa
Sogi, Kecamatan Alaniangpajo, sekitar 35 km sebelah Utara Kota Sengkang.
Kawasan yang menempati areal seluas 65 hektar ini selalu ramai dikunjungi
wisatawan. Bendungan Kalola yang terdapat dalam kawasan wisata ini memiliki
genangan air 21,5 km dengan debit air 900 m3 per detik, membentang di antara
batuan pegunungan yang ditumbuhi pepohonan rindang, sejuk, dan sangat
mengasyikkan.
Kita dapat menyaksikan kegiatan menangkap ikan oleh penduduk setempat
dengan menggunakan perahu roda. Wisatawan juga bisa memancing ikan, lomba
dayung, bermain ski, dan menikmati pemandangan yang indah di sekitar
bendungan.
Pengunjung biasanya menggelar kemah dan sekitar 3 km dari bendungan
telah dibangun kolam renang dan pondokan. Bagi mereka yang gemar berburu,
dapat menyalurkan hobinya, karena dekat lokasi ini terdapat taman perburuan
rusa.Lokasinya sekitar 5 km dari Bendungan Kalola, tepatnya di Desa Sogi,
Kecamatan Maniangpajo. Taman berupa hutan seluas 500 hektar itu sangat
representatif bagi mereka yang mempunyai hobi berburu. Dahulu, orang berburu
rusa dengan menggunakan kuda dan anjing pemburu.
Bahkan, tingkat keperkasaan dan kedewasaan seorang putra bangsawan saat
itu diukur dari kemampuan dan ketangkasan mereka menangkap rusa. Bagi
72
mereka yang senang dengan petualangan, berburu rusa merupakan salah satu
alternatif.
Lokasi itu dapat dijangkau dengan menggunakan mobil 4 whell drive karena
jalan menuju ke lokasi merupakan bukit yang landai. Di sekitarnya tampak
pemandangan alam dengan permukaan rumput hijau, mengapit lapangan berburu
yang luas. Di sekitar taman ini terdapat sungai kecil dan pepohonan di sela-sela
lembah sebagai pendukung kehidupan satwa rusa.
5.
Situs Tosora
Situs Tosora
terletak sekitar 16 km di sebelah Timur Kota Sengkang.
Tepatnya di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini dapat dijangkau
dengan menggunakan sepeda motor atau mobil. Tosora adalah daerah bekas
ibukota Kabupaten Wajo sekitar abad ke-17.
Wilayah ini dikelilingi 8 buah danau kecil. Banyak peninggalan sejarah dan
kepurbakalaan yang terdapat di sini, misalnya makam raja-raja Wajo, bekas
gudang amunisi kerajaan (geddong), masjid kuno yang dibangun tahun 1621, dan
makam yang bernisan meriam.
Disini juga terdapat sumur bung parani, ternpat prajurit-prajurit tempo dulu
dimandikan sebelum terjun ke medan perang. Banyak wisatawan yang sudah
berkunjung ke sini. Motivasi mereka beraneka ragam, di antaranya datang hanya
untuk melakukan ziarah. Sebagian yang lain datang untuk melepas hajat atau azar,
dan ada juga yang mengadakan pengkajian sejarah.
73
6.
Rumah Terapung
Di waktu malam, wisatawan dapat menginap di rumah terapung. Bersama
nelayan, kita dapat menyaksikan rembulan di malam hari yang menerangi Danau
Tempe sambil memancing ikan.
Sementara itu, para nelayan menangkap ikan diiringi dengan musik
tradisional yang dimainkan penduduk. Tanggal 23 Agustus setiap tahunnya,
merupakan kalender kegiatan pelaksanaan festival laut di Danau Tempe. Acara
pesta ritual nelayan ini disebut Maccera Tappareng atau upacara mensucikan
danau dengan menggelar berbagai atraksi wisata yang sangat menarik.
Pada hari perayaan Festival Danau Tempe ini, semua peserta upacara
Maccera Tappareng memakai baju Bodo (pakaian adat Orang Bugis). Acara ini
juga dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti lomba perahu tradisional, lomba
perahu hias, lomba permainan rakyat (lomba layangan tradisional, pemilihan anak
dara dan kallolona Tanah Wajo), lomba menabuh Iesung (padendang), pagelaran
musik tradisional dan tari bissu yang dimainkan oleh waria, dan berbagai
pagelaran tradisional lainnya. Lomba perahu dayung merupakan tradisi yang turun
temurun dan terpelihara di kalangan para nelayan. Sedangkan Maccera Tappareng
merupakan bentuk kegiatan ritual yang dilaksanakan di atas Danau Tempe oleh
masyarakat yang berdomisili di pinggir Danau Tempe. biasanya ditandai dengan
pemotongan kurban/sapi yang dipimpin oleh seorang ketua nelayan, dan
serentetan acara lainnya.
74
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Dalam rangka untuk mendapatkan data yang akurat dan dijamin
kualitasnya maka sebelum menentukan subjek/informan penelitian akan dilakukan
overview atau penjajakan terhadap anggota masyarakat yang dianggap
representatif memberikan informasi dengan mengajukan beberapa pertanyaan
yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Selanjutnya barulah ditentukan
subjek/informan. Informan awal dipih orang yang dapat membuka jalan untuk
menentukan informan berikutnya dan berhenti apabila data yang dibutuhkan
sudah cukup.
Penelitian ini akan dilakukan dengan cara dipih secara sengaja yaitu orang
yang dianggap dapat memberikan informasi terhadap masalah, melalui wawancara
mendalam dengan total informan sebanyak sepuluh (10) orang yang bertempat
tinggal di Sengkang dengan perincian :
a. Etnis Bugis
: Lima (5) Orang
b. Etnis Tionghoa
: Lima (5) Orang
Informan etnis Tionghoa yaitu dua orang Tokoh masyarakat etnis
Tionghoa dan tiga orang pedagang, sedangkan dari etnis Bugis yaitu dua orang
Tokoh masyarakat etnis Bugis, dua orang pedagang, kemudian satu orang
masyarakat pribumi etnis Bugis.
75
A.1
Profil Informan
Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara terhadap 10 (sepuluh)
orang yakni 5 orang etnis Tionghoa dan 5 orang etnis Bugis.
Informan pertama
Nama
: Surahman Wijoyo
Pekerjaan
: Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa dan Pedagang
Usia
: 60 Tahun
Suku
: etnis Tionghoa
Tempat tinggal
: JL. RA Kartini
Informan kedua
Nama
: Romy
Pekerjaan
: Pedagang
Usia
: 35 Tahun
Suku
: etnis Tionghoa
Tempat tinggal
: JL. RA Kartini
Informan Ketiga
Nama
: Kaseng
Pekerjaan
: Sekertaris Perkumpulan Etnis Tionghoa di Kab. Wajo
Umur
: 40 Tahun
Suku
: etnis Tionghoa
Tempat tinggal
: JL. RA Kartini
76
Informan Keempat
Nama
: Siyyong
Pekerjaan
: Pedagang
Umur
: 40 Tahun
Suku
: etnis Tionghoa
Tempat tinggal
: JL. RA Kartini
Informan Kelima
Nama
: Handoko
Pekerjaan
: Pedagang
Umur
: 55 Tahun
Suku
: etnis Tionghoa
Tempat tinggal
: JL. RA Kartini
Informan Keenam
Nama
: Andi Apuk Zaenal
Pekerjaan
: Mantan Lurah Lapongkoda Periode 1995-2006
Umur
: 64 Tahun
Suku
: etnis Bugis
Tempat tinggal
: BTN Tae JL. Rusa
Informan Ketujuh
Nama
: Mappeasse S.Sos
Pekerjaan
: Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kab. Wajo
Umur
: 46 Tahun
Suku
: etnis Bugis
77
Tempat tinggal
: JL.Bau Baharuddin
Infroman Kedelapan
Nama
: H.Muhtamar
Pekerjaan
: Pedagang
Umur
: 50 Tahun
Suku
: etnis Bugis
Tempat tinggal
: JL. RA Kartini
Infroman Kesembilan
Nama
: H. Kade
Pekerjaan
: Pedagang
Umur
: 67 Tahun
Suku
: etnis Bugis
Tempat tinggal
: JL. RA kartini
Informan Kesepuluh
Nama
: Herwansyah
Pekerjaan
: Wiraswasta
Umur
: 27 Tahun
Suku
: etnis Bugis
Tempat tinggal
: JL. A.Ninnong
78
A.2
Hasil Penelitian
1.
Proses Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis di
Sengkang, Kabupaten Wajo
Hasil wawancara :
Informan 1
Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Surahman Wijoyo selaku
Ketua Perkumpulan Masyarakat Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo, selain itu dia
juga
memiliki profesi utama yaitu seorang Pedagang dan Kontraktor. Pak
Surahman sudah empat tahun menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis
Tionghoa di Kabupaten Wajo. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya sudah empat tahun menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis
Tionghoa di sini (Kabupaten Wajo) ,selain itu saya juga mempunyai
profesi utama yaitu seorang pedagang dan kontraktor. Saya tinggal di
sengkang itu sudah lama sudah 60 Tahun.”
Etnis Tionghoa yang bertahun-tahun lamanya bermukim di kabupaten
Wajo khususnya di Sengkang ditandai dengan adanya kuburan cina yang ada di
Tosora. Konon katanya kuburan itu milik Chuming keturunan dari etnis Tionghoa.
Meskipun Bapak Pak Surahman tidak lahir di Wajo tetapi sejak muda sudah
berusaha disini dan melahirkan kita disini (Sengkang), jadi sejak dulu etnis
Tionghoa dengan etnis Bugis sudah berbaur. Seperti yang diungkapkannya
sebagai berikut :
“Meskipun bapak kita tidak lahir disini, tapi boleh dikata sejak muda
mereka sudah berusaha di Wajo,sampai melahirkan kita disini, jadi
memang dari dulu kita sudah berbaur dengan masyarakat setempat. Etnis
Tionghoa sudah lamami masuk di wajo karena ada buktinya ada kuburan
Tionghoa yang didapat di Tosora. Jadi diperkirakan itu sebelum tahun
1800-an, diperkirakan kota Sengkang belum ada, jadi Sengkang itu
awalnya ditosora, kota budaya disana kan.”
79
Pak Surahman selaku Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa juga lahir dan
besar di Sengkang. Sejak kecil Pak Surahman sudah berbaur dengan masyarakat
etnis Bugis, bahkan bupati Wajo adalah teman kecil dari Pak Surahman sewaktu
masih duduk di bangku SMP. Bukan hanya itu tokoh-tokoh masyarakat di
Sengkang berteman baik dengan Pak Surahman. Seperti yang diungkapkan oleh
Bapak Surahman berikut ini :
“Yah selain kita punya profesi, saya itu lahir dan besar di Wajo, jadi sejak
kecil saya sudah berinteraksi, sudah berbaur dengan masyarakat Bugis,
bahkan Bupati Wajo yang sekarang teman sekolahku waktu masih
SMP,saya juga banyak kenal dengan tokoh-tokoh masyarakat, seperti
tokoh agama, pejabat-pejabat pemerintah Kabupaten Wajo. Jadi dari
kecil kita sudah berbaur dan memiliki hubungan baik dengan masyarakat
setempat.”
Menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa, Pak Surahman
hampir tiap hari berkomunikasi dengan etnis Bugis. selain memiliki profesi
sebagai kontraktor dan pedagang, Pak Surahman juga menjalin hubungan kerja
sama dengan masyarakat setempat. Interaksi mereka tidak hanya pada saat
bekerja, juga berlangsung di lingkungan tempat tinggal dan di luar. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa, jadi pastimi
saya tiap hari ketemu dan berkomunikasi dengan etnis Bugis, apalagi saya
kan banyak kerja sama dengan masyarakat pribumi. Bukan itu ji saja
khusus ini dengan tetangga, baik itu dibelakang, di samping sama di
depan penting sekali membangun hubungan. Hal sederhana bisa membuat
hubungan jadi harmonis. Hampir tiap hari kita berkomunikasi supaya
membangun suatu hubungan yang lebih baik.”
Interaksi yang terjalin antara Pak Surahman dengan masyarakat etnis
Bugis bukan dalam hal pekerjaan saja, tetapi hampir tiap hari Pak Surahman
berinteraksi dengan masyarakat Bugis dan membicarakan masalah-masalah yang
80
sedang ramai dibicarakan di masyarakat seperti, membahas masalah ekonomi,
politik, budaya, membahas masalah yang sedang hangat dibicarakan di TV dan
Media. Interaksi dan komunikasi berlangsung bukan hanya pada saat bekerja,
tetapi Pak Surahman ketika bertemu dijalan saling menyapa, ketika mendapat
undangan dari masyarakat etnis Bugis seperti Hakikah, Pesta Perkawinan, orang
berduka, acara perayaan ulang tahun Wajo, Pak Surahman ikut serta dan
berpartisipasi pada kegiatan tersebut. Berikut penuturan dari Bapak Surahman
sebagai berikut :
“Banyak-banyak kita sering bicara, misalanya di jalan, di tempat kerja,
kawinan, acara adat, hakikah, acara ulang tahun kabupaten wajo, orang
meninggal dan banyak lagi. Kita hadir dan berpartisipasi, apalagi sama
tetangga yang mengundang sudah sepertimi keluarga sendiri jadi pasti
kita hadir. Pokoknya kalo kita ketemu banyak sekali hal-hal dibicarakan,
masalah kondisi kampungta, masalah yang sering dibicarakan di TV,
Politik, Ekonomi, Budaya, masalah kerjaan dan kehidupan sehari-hari.”
Tema pembicaraan Pak Surahman dengan etnis Bugis bukan hanya
membicarakan Politik, Ekonomi, Pekerjaan, tetapi hal pribadi pun tak luput dari
pembicaraan. Pak Surahman menganggap bahwa masyarakat etnis Bugis adalah
sudah seperti keluarga, apalagi Pak Surahman lahir dan besar di Sengkang. Hal
pribadi seperti mengeluarkan isi hati, mengeluarkan unek-unek, meminta saran
dan pendapat, curhat masalah kondisi pekerjaan dan bagaimana Pak Surahman
sebagai masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Sengkang. Pak Surahman
ketika berkomunikasi dengan masyarakat Pribumi menggunakan bahasa Bugis.
Sejak dulu, bahkan dari kecil Pak Surahman sudah pasif berbahasa Bugis. Bahasa
mandarin Pak Surahman jarang terdengar hanya sesekali diperdengarkan ketika
berkomunikasi dengan keluarga. Kalau bahas Indonesia Pak Surahman
81
menyusaikan dengan tempat dan kondisinya. Seperti yang diungkapkannya
sebagai berikut :
“Ya. Kadang-kadang kita membahas hal pribadi. Misalnya minta saran
dan pendapat, mengeluarkan isi hati dan unek-unek, bagaiamana kondisi
usaha dan macam-macam. Jadi orang tidak tanggung-tanggung bicara isi
hatinya sama kita, bagaimana ini Pak Surahman….., sering juga minta
pendapat dan saran sama saya, saya juga memberikan pendapat yang
sebenarnya, yang dia minta sejujurnya, yang bagus, sampe pemukapemuka agama pun. Dulu saya ingat itu anri gurutta saya sering main ke
rumahnya, kalo dia bahas agama, tapi memang kan dari dulu saya banyak
belajar agama Islam sampai SMA, karena kurikulum waktu itu tidak ada
agama Kristen, hanya kurikulum agama islam, waktu saya pergi kemah
saya sering ikut shalat, karena kita mengikuti kondisi yang ada saat itu.
Disamping itu lebih banyak kita membicarakan masalah bisnis karena itu
pekerjaan kita disini. Saya kalo malam sering ke warkop juga biasa
cerita-cerita juga disana sambil minum kopi. Jadi kalo di sengkang saya
sudah berbaur sekalimi, hampir tidak ada yang tidak kenal saya disini
apalagi saya lahir disini juga, jadi saya juga orang pribumi sebenarnya
tapi cuma sukunya saja yang beda . saya kalo bicara jarang pake bahasa
Indonesia disesuaikan saja kondisinya, sehari-hari kita pake bahasa bugis
terus sama teman-teman jadi kalo bahasa bugis bahasa sehari-hari mi.
kalo sesama etnis tionghoa kadang pake bahasa bugis dan pake bahasa
Indonesia juga sesekali diperdengarkan bahasa mandarin.”
Selain membahas tentang Politik, Ekonomi, Pekerjaan, Kehidupan Sosial,
Pak Surahman juga sangat paham dengan kebudayaan etnis Bugis. pengetahuan
tentang budaya etnis Bugis didapatkan dengan cara beradaptasi dengan
lingkungan sehari-hari. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalau ditanya soal kebudayaan etnis Bugis, saya sudah sangat paham
dek. Kenapa saya paham karena memang dari kecil saya sudah berbaur
dengan etnis Bugis, jadi secara tidak langsung saya tahu kebudayaankebudayaan etnis Bugis, seperti adat istiadatnya, perilaku, sifat
masyarakat Bugis, tulisan lontara, lagu-lagu bugis seperti bulu alauna
tempe, festival danau tempe, pesta panen, maccera danau tempe, kalau
perkawinan seperti makna dari mappacci saya tau, dalam hal agama
meskipun saya agama Kristen tetapi saya tau perayaan agama etnis Bugis
seperti sebelum masuk ramadhan ada namanya baca-baca dulu, perayaan
1 Muharram, perayaan maulid yang sering identik dengan telur yang
berwarna warni, terus perayaan isra miraj dan masih banyak kebudayaan
lainnya. Intinya semua kebudayaan disini itu kayak kebudayaanta sendiri,
82
meskipun kita dari etnis beda tapi ada perasaan memiliki dari kita. Semua
kebudayaan-kebudayaan itu saya belajar juga waktu masih sekolah.
Waktu sd saya belajar lontara juga jadi kayaknya kita ini sudah menyatu
dengan budaya etnis Bugis. semua kegiatan-kegiatan pemerintah yang
berkaitan dengan budaya etnis Bugis pasti saya hadir, ikut menunjukkan
kebersamaan kita. Satu lagi budaya etnis Bugis kita sudah menyatu, kalo
memanggil orang yang lebih tua dari kita pasti kita panggil dengan kata
pung, itu tandanya kalo kita menghargai yang lebih tua.”
Pak Surahman yang lahir dan besar di Sengkang tidak sulit untuk
mempelajari budaya-budaya etnis Bugis. Intensitas pertemuan yang sering antara
Pak Surahman dengan masyarakat etnis Bugis sejak dulu membuat Pak Surahman
tidak sulit mempelajari budaya dan adat istiadat etnis Bugis. Pak Surahman tidak
pernah bertanya karena sejak kecil sudah berbaur dengan masyarakat setempat.
Jadi tidak secara langsung Pak Surahman paham atau mengerti kebudayaan
tersebut. Misalkan Perilaku masyarakat etnis Bugis yakni 3S Sipakatau,
Sipakainge, Sipakalebbi. Selanjutnya sifat dari masyarakat etnis Bugis yakni
“Taro ada Taro gau” yang artinya apa yang kita ucapkan itulah yang kita perbuat.
Jadi adat istiadat tesebut menyatu dan diapalikasikan oleh Pak Surahman dalam
bermasyarakat. Adat istiadat lain yang Pak Surahman ketehui adalah dalam adat
perkawinan etnis Bugis ada yang namanya “Mappacci” yang artinya mensucikan
diri sebelum memasuki keluarga yang baru. Pak Surahman juga sangat paham
dengan “Tulisan Lontara” karena sewaktu kecil belajar di bangku sekolah.
Budaya lainnya Pak Surahman juga banyak mengetahui tentang lagu-lagu bugis
seperti lagu “Bulu Alauna Tempe” yang artinya danau tempe bisa dilihat dari bulu
pattirosompe. Sedangkan “Maccera Danau Tempe” artinya tanda kesyukuran
masyarakat Wajo atas hasil ikan yang melimpah.adapun “Pesta Panen” (Manre
Sipulung) dilaksanakan pada saat masyarakat Kabupaten Wajo telah panen dan
83
hasilnya berlimpah ruah. Maksud kegiatan tersebut adalah sebagai tanda syukur
masyarakat Wajo atas melimpahnya hasil panen. Melihat Pah Surahman yang
sudah sangat paham dan mengerti tentang budaya etnis Bugis menandakan bahwa
keduanya sudah berbaur dan menyatu, meskipun Pak Surahman berbeda budaya
tapi timbul perasaan memiliki terhadap budaya tersebut. Kata Pung’ merupakan
kata panggilan kepada seseorang yang lebih tua dengan maksud sebagai bentuk
penghormatan mereka.
Etnis tionghoa yang sudah bertahun-tahun lamanya menetap bahkan lahir
dan besar di Sengkang sudah menjadi bagian dari masyarakat etnis Bugis. etnis
Tionghoa dan etnis Bugis mempunyai kesamaan profesi yakni berdagang. Hal ini
membuat interaksi begitu besar diantara kedua etnis tersebut. Etnis Tionghoa
khususnya Pak Surahman yang mencari nafkah di Sengkang sudah sangat merasa
nyaman dan tentram bermukim di Wajo khususnya di Sengkang, Pak Surahman
menilai etnis Bugis orangnya ramah dan saling menghargai, jarang terdengar
konflik dan perselisihan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Surahman
sebagai berikut :
“Saya ingat waktu tahun 1998 terjadi konflik etnis Tionghoa dengan
masyarakat bugis makasar, kalo di wajo aman-aman saja, karena kita
sudah menyatu, saling menghargai dengan masyarakat setempat. Bahkan
teman-teman mengatakan kepada saya bahwa tenang kalo disini bapak
aman, kita semua adalah saudara. Waktu konflik itu semua anak saya
dibawa ke wajo karena mereka aman disini. Inilah yang saya katakan tadi
bahwa membangun hubungan, silaturahmi, saling menghargai, hal-hal
sederhana tapi manfaatnya sangat luar biasa kepada kita yang bermukim
di sini (Sengkang). Jadi kita merasa aman karena sudah seperti keluarga.
Jadi kalo besok-besok ada gejolak-gejolak konflik diluar imbasnya tidak
sampai disini. Saya selama tinggal di sini tidak pernah ada konflik dengan
masyarakat Etnis Bugis, satu yang selalu saya pegang, uang itu bukan
segala-galanya, tapi tergantung bagaiamana kita bawakan silaturahmi
supaya orang bisa terima kita. Jadi selama hidup saya tidak ada itu
84
diskriminasi-diskriminasi. Orang di luar sering konflik tapi kita di wajo
aman-aman saja. Memang sangat penting untuk membangun suatu
hubungan, apalagi suatu daerah tidak akan berkembang tanpa
masyarakat yang hubungannya harmonis seperti kita yang ada di di
kabupaten wajo khusunya di Sengkang.”
Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sangat baik, jarang
terdengar ada konflik atau perselisihan. Bertahun-tahun lamanya etnis Tionghoa
menetap bahkan dari mereka lahir dan besar di tengah-tengah masyarakat etnis
Bugis. etnis Tionghoa beradapatasi dan mencari nafkah di Sengkang. bukan hal
yang sulit bagi Pak Surahman untuk berkomunikasi dengan etnis Bugis selain
karena lahir dan sudah sangat pasif berbahasa bugis, hubungan pak Surahman
sudah seperti layakanya saudara sendiri.
Informan II
Pada informan kedua, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Romi
yang juga bekerja sebagai pedagang. Seperti informan yang pertama, Pak Romi
juga lahir dan besar di wajo, sudah hampir 36 tahun Pak Romi bermukim di
Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya tinggal di wajo itu sudah hampir 36 tahun, tapi memang saya lahir
dan besar disini, saya kerjaanku sebagai pedagang sama dengan
kebanyakan profesinya orang bugis disini.”
Pak romi yang bermukim di pasar sentral dan tinggal di tengah-tengah
masyarakat etnis Bugis memiliki hubungan yang sangat akrab, bahkan dengan
tetangga-tetangga di lingkungan tempat tinggalnya sudah seperti keluarga sendiri.
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Romi sebagai berikut :
“Sudah lamami saya tinggal di wajo dan berada di tengah-tengah
masyarakat etnis Bugis karena kebanyakan tetangga ku orang bugis
semua dan hubungan kita sudah sangat akrab apalagi sama tetanggatetangga disamping rumah.”
85
Dalam sehari-hari hampir tiap hari Pak Romi berkomunikasi dan
berinteraksi dengan etnis Bugis bukan hanya pada saat ada kepentingan tetapi
komunikasi sudah menjadi kewajiban dalam suatu hubungan. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Hampir tiap hari ki berkomunikasi sama orang disini, karena seperti
meki saudara, apalagi sama tetangga janganmi sudah kayak keluarga
semua. Jadi bukan saat ada kepentingan tetapi komunikasi itu sudah wajib
dalam kehidupan sehari-hari.”
Interaksi dan komunikasi Pak Romi dengan masyarakat etnis Bugis bukan
hanya di tempat kerja, tetapi juga terjadi diluar rumah, seperti pada saat acara
kawinan, acara hakikah atau mappenre tojang, orang berduka, di tempat umum, di
pasar, di jalan dan ditempat olahraga. Jadi tempat berkomunikasi tidak hanya satu
tempat. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Banyak kalo tempat ta bicara, biasa juga di toko kalau ada masyarakat
etnis Bugis yang jual emas atau mau beli emas, sambil jualan cerita-cerita
meki juga. Kalau bukan di toko biasa juga diluar rumah, kayak acara
pengantin, mappenre tojang, tudang penni, acara kematian, biasa juga di
tempat olahraga karena saya juga suka main bulutangkis jadi bukan cuma
di toko ji bicaraki, banyak-banyak juga diluar.”
Tema pembicaraan Pak Romi dengan masyarakat Bugis sangat bervariasi,
tidak terpaku dengan satu pembicaraan saja yaitu dagang. Banyak hal yang
dibicarakan seperti kondisi pekerjaan, masalah sehari-hari, politik, kadang
membahas yang sedang hangat di bicarakan di TV atau di Media.
Sesekali
pembicaraan Pak Romi tentang budaya misalkan Pak Romi bertanya kepada etnis
Tionghoa tentang budaya etnis Bugis seperti bertanya bagaiamana maksud
Mappenre Tojang, Tudang Penni, Menre Bola. Tetapi Pak Romi tidak terlalu tau
mendalam mengenai makna dari budaya etnis Bugis hanya saja Pak Romi sekedar
86
tau saja karena sering menghadiri acara-acara etnis Bugis. Pak Romi juga suka
mengoleksi benda-benda budaya dari etnis Bugis, seperti Keris dan Badik. Pak
Romi mengoleksinya sebagai hiasan saja. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Kalo bertanya tentang budaya orang Bugis biasa ji, hanya saja tidak
terlalu mendalam, tidak terlalu saya paham juga budayanya etnis Bugis
seperti Mappenre Tojang,tapi katanya temanku sebagai syukurannya
agama islam kalau lahir anaknya, seringja juga pergi ke acara tudang
penni,mappacci, tapi kalo maknanya tidak tau ka, tidak pernah juga saya
tanya sama temanku. Tapi kalo acara menre bola baru atau pindah
rumah, saya tau ji sebagai syukuran naik rumah baru. Itu ji yang saya tau.
Tapi saya juga koleksi benda-benda budaya etnis Bugis seperti Keris dan
Badik. Ada lagi budaya yang sudah menyatu sama kita misalkan kita
memanggil orang yang lebih tua dengan Pung’ yang artinya kita hargai
yang lebih tua. Selain budaya banyak sekali yang kita bicarakan misalnya
masalah di tv, masalah sehari-hari, kerjaan, politik, ekonomi.kalau
tentang pribadi tidak pernah karena saya orangnya tertutup sedangkan
sesama warga etnis Tionghoa saja jarang apalagi beda etnis, saya
tertutup karena memang dasarnya saya orangnya pendiam.”
Bahasa yang digunakan Pak Romi ketika berkomunikasi dengan
masyarakat etnis Bugis adalah Bahasa Bugis. Pak Romi lahir dan besar di
Sengkang jadi dari dulu sudah pasif berbahasa Bugis. seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Yah kalo bahasa sudah pasti bahasa Bugis, lingkungan ta banyak orang
Bugis jadi bahasa sehari-hari pasti bahasa Bugis. kalau bahasa Indonesia
sekali-sekali ji dan paling sama keluarga biasanya.”
Hubungan sosial yang berlangsung antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis
tidak dapat dihindari, hampir tiap hari keduanya bertemu dan berkomunikasi. Pak
Romi yang juga lahir di Sengkang sudah mengetahui budaya masyarakat etnis
Bugis dengan menghadiri setiap ada undangan acara dari etnis Bugis, jadi tidak
87
sulit untuk berbaur dengan masyarakat etnis Bugis. Hubungan Pak Romi dengan
masyarakat etnis Bugis sangat baik. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut:
“Kalo hubungan sosial sudah pastimi terjadi karena itu tadi terlalu akrab
meki apalagi saya kan lahir disini ji, jadi saya taumi bagaimana orangorangnya kalo di wajo. Saya juga orang bugis ji kan saya lahir disini.
Saya temanku kebanyakan dari etnis Bugis, apalagi saya juga hobby
bulutangkis jadi saya biasa wakili kabupaten wajo kalo ada pertandingan.
Kalo saya sama etnis Bugis akrab sekalika, seringka minum-minum kopi
juga di warkop, Jadi hubungan dengan etnis Bugis sangat baik dan
komunikasi juga berjalan efektif.”
Pada awal-awal hubungan Pak Romi dengan etnis Bugis sempat ada halhal yang tidak nyaman didengar. Tetapi lama kelamaan hal tersebut tidak pernah
lagi terdengar oleh Pak Romi sendiri. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Iye, saya ingat dulu itu, waktu jaman-jaman dulu kita biasa dipanggil
sama orang bugis dengan “cina-cina”, padahal kita kan sudah warga
pribumi mi juga, cuma suku nya ji yang beda. Tapi lama kelamaan tidak
pernah mi saya dengar ada yang panggil-panggil begitu, mungkin karena
dekat sekali dan sudah akrab makanya tidak pernahmi lagi didengar
begituan.
Meskipun Pak Romi sempat mendengar hal-hal yang kurang enak dari
etnis Bugis tetapi itu tidak mempengaruhi hubungan yang berlangsung diantara
keduanya. Dari waktu ke waktu hubungan antara etnis Tionghoa semakin
harmonis dan suara-suara yang sempat terdengar oleh Pak Romi hilang dengan
sendirinya.
Hubungan Pak Romi dengan masyarakat etnis Bugis sejauh ini sangat
baik, menurut Pak Romi masyarakat etnis Bugis itu sangat menghargai sapa saja
yang bermukim di Wajo khusunya di Sengkang, selain itu masyarakatnya juga
88
sangat ramah, memang manusia pasti ada kekurangan dan kelebihannya tetapi
selama ini tidak pernah terjadi hal-hal yang merusak hubungan.
Informan III
Informan ketiga, Bapak Kaseng yang bertempat tinggal di daerah pasar
sentral, Pak Kaseng yang juga menjabat sebagai Sekertaris Perkumpulan
Mayarakat Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo. Pak Kaseng sudah hampir 40
tahun bermukim dan pak Kaseng juga lahir, besar di Sengkang. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya tinggal di sengkang itu sudah hampir 40 tahun, karena keluargaku
kebanyakan lahir di sini juga.kalo disini saya bekerja sebagai seorang
pedagang, kebetulan ada toko elektronok ku juga, selain pedagang saya
juga menjabat sebagai sekertaris perkumpulan etnis Tionghoa di Wajo.”
Sejak kecil Pak Kaseng lahir dan besar ditengah-tengah masyarakat etnis
Bugis. hampir semua tetangga di lingkungan tempat tinggalnya adalah masyarakat
etnis Bugis. mempunyai profesi yang sama sebagai pedagang dengan masyarakat
bugis membuat komunikasi terjadi hampir tiap hari, bukan hanya hubungan kerja
saja melainkan tercipta hubungan yang lebih dekat. Hal ini ditegaskan oleh Bapak
kaseng sebagai berikut :
“Kalo di pasar sentral kebanyakan yang tinggal itu etnis Bugis, banyak ji
juga etnis Tionghoa tapi lebih banyak orang bugis. apalagi kita punya
profesi sama-sama bergerak dibidang bisnis. Saya sering sekali
berkomunikasi dengan penduduk sekitar apalagi sama tetanggaku,
anggota mi semua.jadi hubunganta sama etnis bugis itu bukan sekedar
kerjaan, tapi betul-betul sudah seperti saudara yang tinggal di satu
daerah. Apalagi sudah lama meki kenal jadi yah sama-sama ki
membutuhkan.”
Interaksi dan komunikasi yang berlangsung sejak lama antara etnis
Tionghoa dan etnis Bugis membuat keduanya tidak canggung dalam melakukan
89
proses komunikasi, keduanya saling membutuhkan karena masing-masing
memiliki kesamaan budaya berdagang. Interaksi dan komunikasi pun tidak
ditempat kerja saja, melainkan diluar kerjaan, seperti menyempatkan waktu ke
warkop untuk sekedar berbincang-bincang masalah pekerjaan, dan banyak hal
dibicarakan, bertemu dijalan, saling bertegur sapa dan bersilaturahmi dengan
berkunjung kerumahnya. Seperti penuturan Pak Kaseng sebagai berikut :
“Kalo interaksi dan komunikasi sama etnis bugis lebih banyak diluar
rumah, biasa juga ada yang datang kerumah untuk silaturahmi ceritacerita. Selain di luar kita juga sering janjian ketemu di warkop untuk
ngopi-ngopi sambil bahas kerjaan, bahas kehidupan sehari-hari,bahas
politik, bahas kinerjanya bupati bagaiamana, pokoknya banyak hal yang
dibicarakan, biasa juga misalkan curhat-curhat, minta saran dan
pendapat. Yah begitu ji karena dekat sekalimi jadi saling menghargai
juga.”
Hubungan yang berlangsung antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis bukan
hanya ditempat kerja, melainkan sering terjadi diluar, misalkan kalo ada undangan
dari etnis Bugis, Pak Kaseng menyempatkan waktu untuk hadir dan berpartisipasi.
Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya itu tidak pernah tidak hadir kalo ada undanganku seperti acara
kawinan, hakikah, orang meninggal dan lain-lain pasti saya datang,
karena itu toh kayak saudara jadi saling menghargai,kita tunjukkan
kebersaman kita sama masyarakat. Biasa kalo ketemu diacara-acara pasti
kita berkomunikasi, sembarang dicerita, masalah kehidupan sehari-hari
juga. Jadi semua tempat pasti kita berkomunikasi dan tidak ada jarak
menurutku untuk tidak berinteraksi apalagi sama masyarakat
setempat.Memang berkomunikasi itu penting sekali, karena komunikasi
dasar dari suatu hubungan.”
Bahasa yang digunakan Pak Kaseng dalam berkomunikasi tidak
menghambat dalam proses komunikasi, selain karena Pak Kaseng lahir di
Sengkang jadi secara tidak langsung pak Kaseng pasif dalam menggunakan
90
bahasa bugis. bahkan hampir tiap hari menggunakan bahasa bugis ketimbang
bahasa Indonesia. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo bicaraki sama orang bugis sudah pstimi pake ki juga bahasa bugis,
kalo bahasa Indonesia jarang sekalimi karena disini lebih banyak pake
bahasa bugis ki. Kalo dari bahasa kita disini tidak ditaumi kalo kita etnis
tionghoa karena pintar sekaliki bahasa bugis.”
Pak Kaseng selama tinggal di Sengkang selalu mempelajari budaya dari
etnis Bugis agar bisa beradapatasi seperti menanyakan langsung kepada
masyarakat setempat, berbicara lepas di warkop, dan kadang juga pada saat acara
Pak Kaseng langsung menanyakan maksud dari budaya etnis Bugis. misalkan Pak
Kaseng pernah bertanya tentang apa makna dari Hakikah atau Mappenre Tojang,
Pak Kaseng juga bertanya kenapa pada saat hakikah selalu menyiapkan makanan
yang manis-manis. Selain bertanya Pak Kaseng juga mengamati langsung tentang
bagaimana budaya etnis Bugis. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
”Ya, pernah. Sebenarnya kita ini selalu mempelajari budayanya orang
Bugis, kenapa supaya kita bisa beradapatasi. Misalkan kalo agama islam
kalau ketemu saya biasa bilang assalamu alaikum. Ada beberapa yang
pernah saya tanyakan seperti maksudnya itu kalau aacara hakikah kenapa
selalu ada makanan yang manis-manis, nah setelah saya tanya ternyata
maksudnya itu adalah supaya ini anak tumbuh dengan kelakuan yang
baik, sifatnya juga baik, manis sifatnya seperti itu tadi makanan. Seperti
itu yang saya pahami maksud dari hakikah tadi. Mengenai tata cara
upacara kematian etnis Bugis tidak terlalu banyak saya tau juga tetapi
secara garis besar ada sedikti saya ta, jadi selain bertanya langsung kita
juga amati, bilang oh ternyata begini, seperti ini, jadi kalau datang ki
acara-acara diperhatikan juga bagaimana budayanya hanya saja tidak
semuanya kita tanya langsung kalau ada yang tidak kita tahu.”
Secara garis besar Pak Kaseng juga mempelajari budaya masyarakat
setempat agar bisa beradaptasi, meskipun hanya sebagian saja yang Pak Kaseng
pahami namun itu sudah sangat membantu dalam proses komunikasinya. Paling
tidak dengan mempelajari budaya etnis Bugis agar terhindar dari kesalahpahaman.
91
Hubungan Pak Kaseng dengan masyarakat Bugis boleh dikatakan sudah
sangat harmonis dan menyatu, melihat hubungan yang terjadi selama ini dimana
Pak Kaseng berusaha untuk mempelajari bagaimana budaya-budaya dari etnis
Bugis agar bisa beradaptasi dengan masyarakat luas, selain itu agar bisa terhindar
dari kesalahpahaman. Meskipun hanya sedikit yang Pak Kaseng pahami tentang
budaya etnis Bugis tapi paling tidak ada usaha untuk mempelajari budaya tersebut
supaya proses komunikasi dapat berjalan efektif dan jauh dari kesalahpahaman.
Informan IV
Informan keempat adalah Bapak Siyyong,berprofesi sebagai pedagang,
dan juga bermukim di pasar sentral. Pak Siyyong lahir dan sudah 40 tahun lebih
menetap di Wajo. Bapak Siyyong mempunyai banyak keluarga etnis Bugis
dibanding etnis Tionghoa. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo saya memang lahir ka di wajo dan sudah hampir 40 tahun tinggal
di Wajo, kebanyakan keluargaku memang orang bugis, bapakku saja
orang atapange jadi lebih banyak keluargaku orang bugis dibanding etnis
Tionghoa.”
Kalo dilingkungan Pak Siyyong kebanyakan yang bermukim etnis Bugis,
apalagi di daerah pasar, selain saya punya profesi pedagang juga jadi kita berpusat
di pasar sentral. Hubungan yang berlangsung antara Pak Siyyong dengan
masyarakat etnis Bugis berjalan dengan harmonis, hampir tidak ada konflik
ataupun perselisihan. Seperti yang diungkapkan Bapak Siyyong sebagai berikut :
“Dilingkungan tempat tinggal saya kebanyakan etnis Bugis jadi hampir
tiap hari saya berinteraksi dan berkomunikasi. Hubungan saya terjalin
baik apalagi dengan tetanggaku sudah kayak keluargami.”
Dalam kehidupan sehari-hari Pak Siyyong sering berkomunikasi dengan
masyarakat etnis Bugis, karena tidak mungkin dalam suatu hubungan orang tidak
92
berkomunikasi, jadi sudah pasti Pak Siyyong sering berkomunikasi dengan etnis
Bugis tentang pekerjaan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Ya,tiap hari saya berkomunikasi dengan masyarakat sini, apalagi
kebanyakan temanku orang Bugis semua, jadi sejak kecil kita sudah
berbaur sama mereka. Kalo ditanya apakah sering bicara ato tidak
pastimi saya jawab sering karena memang dilingkungan ta semua
kebanyakan etnis Bugis, jadi ya sudah jelas kita sering berkomunikasi.
Tapi kadang juga kalau lagi sibuk jaranag ketemu atau bicara, nanti kalo
sore-sore baru kita keluar cerita-cerita depan toko.”
Tempat berkomunikasi Pak Siyyong dengan masyarakat etnis Bugis
banyak terjadi di toko, selain di toko juga terjadi di luar lingkungan pekerjaan
seperti di Warkop, di jalan, di pasar, ditempat umum, dan pada saat ada acara
kawinan, hakikah, dan orang berduka. Tema pembicaraan dengan etnis Bugis
bervariasi hanya saja Pak Siyyong tidak membahas politik karena secara pribadi
Pak Siyyong tidak suka dengan politik. Pembicaraan lainnya seperti membahas
tentang pekerjaan, tentang kondisi sosial masyarakat, dan sesekali Pak Siyyong
bertanya tentang budaya etnis Bugis.Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut:
“Interaksi dan komunikasi saya berlangsung hampir tiap hari, biasa
diluar rumah biasa juga ada pembeli yang datang belanja sambil ceritami
juga tentang masalah kehidupan sehari-hari, ekonomi, masalah
pekerjaan. Kalo masalah politik saya tidak bicarakan karena saya
orangnya tidak suka sama politik, jadi mending bicara soal
kerjaan,apakah ada peningkatan atau tidak. Selain itu saya juga biasa
bertanya tentang bagaimana budayanya orang Bugis, misalkan bertanya
apa maksudnya itu mappenre tojang atau hakikah tapi tidak terlalu
mendalam ji hanya saja garis besarnya saja yang ditanyakan. Sebenarnya
ada ji juga budayanya etnis Bugis yang saya tau, misalkan adat tata cara
upacara kematian, itu saya tau karena saya sering hadir kalo ada orang
Bugis yang meninggal. Sedangkan kalo acara-acara agama saya juga
sering hadiri hanya saja maknanya tidak terlalu saya paham, hanya
sekedar tau saja. banyak sebenarnya budaya-budaya etnis Bugis yang kita
ikuti seperti mappadendang, tapi itu tadi hanya sekedar tau saja, tidak
pernah juga saya tanya secara detail. Kalau budaya etnis Bugis yang
93
sering kita pakai yaitu kata pung’ kalau kita panggil orang yang lebih tua
dari kita.”
Pak Siyyong kadang bertanya kepada teman bagaimana budaya-budaya
etnis Bugis. seperti menayakan maksud dari Hakikah atau Mappenre Tojang tapi
Pak Siyyong tidak terlalu paham hanya saja secara garis besar pasti tahu. Pak
Siyyong tidak pernah salah makna dengan budaya etnis Bugis, karena sangat
menghargai budaya masyarakat setempat, selain itu banyak keluarga Pak Siyyong
yang juga masyarakat etnis Bugis.
Bahasa yang digunakan Pak Siyyong ketika berkomunikasi dengan
masyarakat etnis Bugis adalah bahasa bugis, kalau berkomunikasi dengan
keluarganya kadang menggunakan bahasa Indonesia tetapi lebih sering
menggunakan bahasa Bugis. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo bahasa sudah jelas bahasa bugis yah, dari dulu memang sudah
lancar bahasa bugis, bagaimana tidak lancar rata-rata temanku orang
bugis semua. Kalau orang Tionghoa disini lancar semuami bahasa bugis
apalagi yang memang lahir disini.”
Lingkungan pak Siyyong kebanyakan dari etnis Bugis, bahkan pak
siyyong memiliki banyak keluarga etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa, jadi
hampir tiap hari berinteraksi dan berkomunikasi. Hubungan yang terjalin sangat
baik, apalagi dengan tetanga-tetangga layaknya sudah seperti keluarga. Kita sering
ngumpul bersama dengan teman-teman TV Kabel sekedar untuk bersantai.
Teman-teman pak Siyyong kebanyakan etnis Bugis karena mempunyai aktifitas
lain di daerah sompe, pak Siyyong mempunyai usaha pemancar televisi (TV
Kabel) jadi setiap hari berinteraksi dengan masyarakat etnis Bugis, kalau ada
94
kerusakan
dan
complain
pasti
turun
langsung
ke
masyarakat
untuk
memperbaikinya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya juga sering ngumpul sama teman-teman kerja sekedar untuk
bersantai ji. Kalo saya itu di wajo kebanyakan temanku etnis Bugis,
karena nenekku semua, orang saya juga lahir disini jadi saya tau sekalimi
orang disini. Selama tinggal disini tidak pernah ada kejadian konflik atau
apa, karena itu tadi akrab semuama sama orang disini. Biasa kalo ada
undanganku pergi hakikah, saya pergi kecuali kalo nikahan saya biasa
malu-malu karena saya belum menikah. Biasa ka curhat itu sama temanteman saya bilang jangami panggilka kalo ada acara kawinan soalnya
malu-maluka kesi’. Apalagi saya kan islam, jadi sering jadi panitia juga
kalo ada acara-acara agama. Jadi kita sama etnis bugis hubunganta baik
sekali, tidak ada mi diskriminasi itu ji saja beda etnis ki,tapi sama-samaki
menjaga hubungan”.
Selama ini hubungan yang terjalin antara Pak Siyyong dengan masyarakat
sekitar sangat menyatu dan berbaur, apalagi Pak Siyyong sudah menganggap
dirinya sebagai etnis bugis, karena keluarga kebanyakan dari etnis Bugis. Pak
Siyyong selalu memegang prinsip dalam bermasyarakat bahwa kalau kita baik
sama orang lain, pasti orang lain pasti akan jauh lebih kepada kita. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya itu selama pekerjaanku di sompe, apalagi di sompe kan terkenal
daerah ini, tapi alhamudillah selama 5 tahun tidak pernah ji terjadi
konflik atau apa, seddi iya uwwwakketenni, makkadda ko makessikki akke
tawwe, makessi’pi tu matu ko idi. Jadi selama ini tidak ada hambatan kalo
berkomuikasi karena sudah menyatumi.”
Informan V
Informan kelima, yaitu Bapak Handoko, tinggal di Jl. RA Kartini tepatnya
di daerah pasar sentral. Pekerjaan sehari-hari Pak Handoko sebagai pedagang di
Sengkang. Saya lahir dan besar di Sengkang, umur saya sudah mencapai 55
Tahun jadi sudah 55 Tahun juga saya bermukim di Sengkang. Pak handoko
berada ditengah-tengah penduduk etnis bugis, hubungan pak handoko sangat
95
akrab dengan tetangga dilingkungan tempat tinggal atau pun yang berada diluar.
Bahkan pak handoko lebih akrab dengan etnis Bugis dibandingkan etnis
Tionghoa. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Sudah 55 tahun saya tinggal di wajo dan saya tinggal di tengah-tengah
penduduk etnis Bugis. saya sangat akrab dengan tetangga dilingkungan
tempat tinggal atau yang berada diluar. Bahkan dek saya lebih kenal
etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa di sini.”
Dalam kehidupan sehari-hari Pak Handoko sering berkomunikasi dengan
masyarakat etnis Bugis. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo sehari-hari disini kita sering yah karena karyawanku juga orang
Bugis, terus pembeli yang kesini juga orang Bugis semua jadi tiap hari
mi.”
Interaksi dan komunikasi berlangsung setiap harinya di tempat kerja dan di
luar rumah, kadang-kadang berkunjung ke tetangga dan sebaliknya tetangga
datang bertamu ke toko, misalnya berbelanja alat-alat motor sambil bercerita
mengenai hal-hal sosial yang terjadi disekeliling kita misalkan membicarakan
masalah pekerjaan sedangkan masalah politik jarang dibicarakan, melihat
masyarakat wajo itu tidak suka berpolitik, lebih fokus kepada pekerjaan masingmasing. Tapi sesekali menyinggung masalah kinerja bupati, tapi itu hanya singkat
saja. Kebanyakan membahas masalah kehidupan yang sesuai dengan apa yang
dikerjakan, masalah ekonomi, masalah bisnis, sosial dan budaya yang paling
sering dibicarakan. Kadang-kadang menyinggung masalah pribadi, misalkan
tentang sekolah anak-anak dan bagaiamana kehidupan sehari-harinya. Seperti
yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kadang-kadang juga saya berkunjung ketetangga dan sebaliknya
tetangga juga datang kesini. Sambil belanja kita juga cerita-cerita
tentang kehidupan sosial yang terjadi sekarang. topik pembicaraan
96
macam-macam lah, termasuk ekonomi, politik, bisnis. Kita juga bertukar
informasi sama apa yang kita tau. Tapi kadang juga menyinggung
sedikit masalah pribadi misalkan kondisi anak-anak bagaiamana,
kondisi bisnis bagaiamana. Kalo saya kenal baik mi sama orang disini,
karena lahir disini ja jadi saya tau mi karakternya orang bugis
bagaiamana.”
Mengenai budaya etnis Bugis yang ada di Wajo, Pak Handoko sering
mengikuti kegiatan-kegiatan pemerintah yang berkaitan dengan budaya etnis
Bugis seperti Festival danau tempe, acara perayaan ulang tahun Wajo yang
menampilkan berbagai macam budaya masyarakat wajo seperti tarian-tarian,
lomba perahu dayung dan masih banyak lagi kebudayan-kebudayan lainnya.
Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
Selama ini tidak ada masalah dengan bahasa yang digunakan, karena saya
lahir di Sengkang dari kecil sudah pasif berbahasa daerah yaitu bahasa bugis,
hampir tiap hari mengunakan bahasa bugis, bahkan lebih sering menggunakan
bahasa bugis dibanding bahasa Indonesia. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Kalo saya bicara pake bahasa bugis ja terus, jarang dipakai bahasa
Indonesia. Yah selama tinggal di sini tidak pernah ji ada masalah,
aman-aman saja. Saya melihat masyarakat disini itu sangat ramah dan
bermasyarakat. Hubungan sosial di masyarakat saya kira sudah seperti
keluarga sendiri begitu pun hubungan psikologinya ada kedekatan
pribai dan emosional antara saya dengan masyarakat etnis Bugis.”
Dewasa ini proses komunikasi etnis Tionghoa sangatlah baik hal ini
dibuktikan ketika berinteraksi dan berkomunikasi tidak pernah terjadi konflik atau
perselisihan. etnis Tionghoa tidak sama sekali merasa kesulitan untuk berbaur
dengan etnis Bugis, karena memang masyarakat etnis Tionghoa lahir dan besar di
Sengkang. dalam hal bahasa pun, etnis tionghoa sudah sangat pasif dalam
97
berbahasa bugis. Jalanan, kantor-kantor hingga pasar sekali pun menjadi wadah
bagi etnis Tionghoa untuk berinteraksi, berbaur dan bersosialisasi dengan
masyarakat etnis Bugis. Hampir setiap hari etnis Tionghoa bertemu daengan
masyarakat etnis Bugis, baik dalam hal kepentingan pribadi atau pun sekedar
silaturahmi. Etnis Tionghoa selama ini mempelajari budaya etnis Bugis agar bisa
beradaptasi dengan masyarakat setempat misalkan dengan bertanya langusng jika
ada yang tidak diketahui. Alhasil, terjadi interksi yang sangat besar diantaranya
keduanya. Perbedaan budaya diantara keduanya tidak sama sekali menjadi
penghambat dalam proses komunikasi karena etnis Tionghoa paham dengan
budaya etnis Bugis. Hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis sudah
menyatu, buktinya etnis Tionghoa timbul perasaan memiliki terhadap budaya
etnis Bugis. Jadi memang proses komunikasi yang berlangsung berjalan dengan
efektif karena keduanya sama-sama saling percaya dan saling mengerti.
Informan VI
Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Andi Apuk Zaenal selaku
mantan Lurah Lapongkoda di kecamatan Tempe selama tahun 1995-2006.
Sekarang beliau bekerja di Badan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Wajo.
Meskipun ditempat saya tidak ada yang bermukim etnis Tionghoa, tetapi saya
mempunyai hubungan yang sangat akrab. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Kalo ditempat saya tidak ada etnis Tionghoa yang bermukim, tetapi saya
mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan mereka.”
98
Sewaktu masih menjabat sebagai lurah hampir tiap hari Pak Andi Apuk
Zaenal berkomunikasi dengan etnis Tionghoa.Seperti yang diungkapkannya
sebagai berikut :
“Waktu saya menjabat sebagai lurah selama tahun 1995-2006, hampir
tiap hari saya berkomunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa.”
Dalam sehari-hari Pak Andi Apuk Zaenal berkomunikasi dengan warga
etnis Tionghoa bukan hanya pada saat di tempat kerja, melainkan dimana saja dan
kapan saja misalkan ketika bertemu di jalan saling bertegur sapa, bertemu pada
saat acara kawinan, acara hakikah, orang berduka, acara perayaan ulang tahun
Wajo, juga kadang-kadang berkomunikasi di warkop ketika ada waktu luang.
Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalau komunikasi itu bisa dimana saja, selain kita berkomunikasi di
tempat kerja, kalo ketemuki di jalan saling menyapaki kalo ada acara
pesta nikahan, syukuran, hakikah, ada orang yang meninggal, acara
memperingati hari jadi wajo saling mengundangki juga dan mereka juga
selalu hadir menunjukkan kebersamaannya. Kalau ada waktu luang sering
ketemu juga di warkop, kayak sekarang ini, lagi istirahat mampir dulu ke
warkop ketemu teman-teman disini. Ini juga pemilik warkop etnis
Tionghoa tapi menikah dengan orang Bugis.”
Secara pribadi hubungan Pak Andi Apuk Zaenal dengan etnis Tionghoa
lebih dari hubungan kerja, keduanya memiliki hubungan yang sangat baik, bukan
hanya berinteraksi dan berkomunikasi saat ada kepentingan, tapi setiap saat kita
berkomunikasi. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo saya pribadi hubunganku dengan etnis tionghoa sangat baik sekali,
bukan hanya interaksi saat ada kepentinganta tapi setiap saat kita
berkomunikasi kapan pun dan dimana saja.”
Banyak hal yang dibicarakan Pak Andi Apuk Zaenal ketika berkomunikasi
dengan etnis Tionghoa, misalkan membahas masalah pekerjaan, membahas
99
masalah bisnis, membahas keadaan lingkungan sosial, tetapi pembicaraan dengan
etnis Tionghoa lebih banyak mengarah kepada pembicaraan dagang karena mata
pencaharian warga etnis Tionghoa adalah pedagang dan sebaliknya etnis Bugis
juga memiliki profesi sebagai pedagang. Selain yang disebutkan diatas Pak Andi
Apuk Zaenal juga sesekali membicarakan masalah pribadi, misalkan warga etnis
Tionghoa mengeluarkan isi hati atau unek-unek, seperti warga etnis Tionghoa
mengatakan kepada Pak andi apuk zaenal bahwa warga etnis Tionghoa yang
sudah lama menetap di Wajo menganggap dirinya adalah orang Wajo asli, karena
lahir dan besar di Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Banyak sekali hal-hal yang dibicarakan ketika berkomunikasi, kadangkadang ngumpul di warkop kebetulan pemilik warkop juga orang tionghoa
tapi menikah sama orang pribumi. Banyak hal yang dibicarakan seperti
politik, ekonomi, bisnis, perdagangan sampe hal-hal pribadi kita
bicarakan. Tapi kalo politik tidak terlalu besarji karena orang di Wajo
tidak terlalu suka politik mereka lebih fokus sama usahanya. Jadi banyak
membicarakan masalah bisnis, pekerjaan, dan masalah-masalah sosial
yang ada di kabupaten Wajo. Bahkan sesekali etnis Tionghoa
mengeluarkan isi hati , dia mengatakan bahwa kita ini sebenarnya bukan
etnis Tionghoa lagi karena kita menganggap diri kita ini adalah asli
orang wajo, kita lahir dan besar ,mencari nafkah pun disini. etnis
Tionghoa dengan kita itu sudah tidak canggung tidak ada jarak dengan
mereka dan kita juga sudah menyatu.”
Selain membahas dagang, pekerjaan, pribadi juga Pak Andi Apuk Zaenal
sering berkomunikasi membahas masalah budaya dari etnis Bugis. misalkan
ketika Pak Andi Apuk Zaenal bertamu kerumah warga etnis Tionghoa, sesakali
bertanya tentang apa yang sering dia lihat. Seperti yang diungkapakannya sebagai
berikut :
“Iya pernah dek, itu hari saya datang ke tokonya dan saya liat banyak
sekali hiasan-hiasannya contohnya saya tanya itu apa maksudnya simbolsimbol patung budha yang duduk disitu, terus dia bilang sama saya kalo
itu pak, kepercayaan kita itu, dia adalah orang suci yang penuh dengan
100
kesucian. Terus saya tanya lagi apa maknanya itu Bambu-bambu yang
seiring digantung, dijawabmi lagi katanya itu adalah simbol rejeki
mereka.bahkan ada teman saya yang ambil itu bambu-bambu yang sering
kita lihat di tokonya, saya bilang mauko apai dia bilang tidak ji mauja
bandingkan yang mana cepat datang rejekinya. Terus saya tanya lagi kalo
itu dupa-dupa apa maksudnya itu, dijawabmi lagi katanya dupa-dupa itu
gunanya memanggil roh yang baik sebelum kita masuk sembahyang. Sama
ji sama orang Bugis kalo dia bakar dupa-dupa hanya saja lakonnya yang
beda. Kalau adat istiadat seperi tata cara upacara kematiannya tidak
pernah juga saya tanya karena saya menjaga perasaan mereka. Saya liat
etnis Tionghoa di wajo tidak menonjolkan kebudayaanya, pernahji satu
kali itu dia datangkan barongsai tetapi waktunya tidak pas, jadi itu hari
ditegur karena mempertontonkan barongsai secara demonstran padahal
itu hari bukan hari raya imlek. Sebenranya tidak dilarang tetapi saya kira
kalo waktunya tepat tidak ada masalah. Terus saya liat etnis Tionghoa
juga tidak pernah cerita tentang budayanya, kayaknya dia menutup
prinsip kebudayaanya dan ikut arus sama budaya orang bugis, tetapi
bukan mengikuti secara keseluruhan tapi ikut arus saja. misalkan kalo
acara pesta dia pakai pakean adat itu. Itumi di wajo jarangki ada konflik
sama orang Tionghoa karena mereka jarang menonjolkan kebudayaanya
apalagi mereka sudah menganggap bahwa kita ini adalah orang wajo
asli. Itumi saya tanya supaya tidak terjadi nanti kesalahpahaman tentang
budaya nya mereka. Satu juga saya liat dari mereka (etnis Tionghoa) yang
tadi saya bilang dia ikut sama budayata, kalau dia panggil kita pake kata
Pung’ itu artinya dia hargai kita. Begitu saya liat.”
Bahasa yang digunakan Pak Andi Apuk Zaenal ketika berkomunikasi
dengan warga etnis Tionghoa adalah bahasa Bugis, Warga etnis Tionghoa yang
ada di Sengkang sudah sangat
pasif berbahasa Bugis. seperti
yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo persoalan bahasa dek, semua warga etnis Tionghoa yang ada di
Wajo, 100% sudah pasif berbahasa bugis, bahkan saya liat banyak warga
etnis Tionghoa yang tidak tau bahasa mandarin, jadi kalau bicaraki
lancar itu bahasa bugis, bahkan jarang digunakan bahasa Indonesia.”
Sejauh ini proses komunikasi antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa
tidak ada masalah, proses komunikasi itu bisa berlangsung dimana saja dan kapan
saja, misalkan pada saat Bapak andi apuk aenal bertemu dijalan dan saling
bertegur sapa, bahkan pada saat acara pesta pernikahan, syukuran, hakikah,
101
memperingati hari jadi wajo saling mengundang dan turut hadir untuk
menunjukkan kebersamaaan. Hubungan dan komunikasi Pak andi apuk zaenal
dengan
warga
etnis
Tionghoa
berjalan
sangat
efektif.
Seperti
yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Ya, kita itu sudah berbaur dan menyatu dengan warga etnis tionghoa
yang ada disini khususnya di Wajo yah, contohnya tadi itu yang saya
sebutkan diatas, jadi kalo komunikasi saya kira sangat efektif sampai
sekarang. kenapa saya bilang efektif karena tidak ada jarak dengan warga
etnis Tionghoa. kalau bicara dengan mereka tidak canggung, mereka itu
sangat royal, baik, ramah, dan tidak sombong sama orang bugis. biasa
kan di kota besar itu warga tionghoa menutup diri, tidak mau berbaur
sama masyarakat tapi kalo di Wajo beda, meskipun mereka bisa dibilang
strata sosialnya tinggi tapi dia tidak sombong, dia bergaul sama sapa
saja. jadi inimi kelebihannya warga etnis Tionghoa di Wajo yah.
Contohnya lagi kalo aca acara-acara pemerintah itu, dia ikut dan
berpartisipasi, bahkan dia mau menyumbang. Selanjutnya kalo dipanggil
untuk rapat, dia hadir karena memang warga etnis Tionghoa selalu
menganggap dirinya adalah warga Indonesia yang bermukim di Wajo.
jadi kalo komunikasi dengan mereka saya kira efektif yah karena kita
sudah menyatu dengan mereka.”
Keberadaan etnis Tionghoa sangat diterima baik, karena memang etnis
Tionghoa sudah menjadi bagian dari masyarakat etnis Bugis, selain itu etnis Bugis
menggunakan sistem yang besifat terbuka, jadi masyarakat bisa bertukar pikiran
dan saling bekerja sama. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut “
“Kalo keberadaan etnis Tionghoa di kabupaten Wajo khususnya di
Sengkang diterima secara baik tanpa ada masalah karena mereka sudah
menjadi bagian dari kita. Selain itu etnis Bugis menggunakan system yang
bersifat terbuka, kita bisa bertukar pikiran, dan saling bekerja sama
apalagi etnis Tionghoa dan etnis Bugis mempunyai kesamaan berdagang.
Pada prinsipnya suatu daerah tidak akan berkembang apabila
masyarakatnya tidak menyatu atau berbaur. Karena kalo tidak menyatu
maka pembangunan dan sumber dan manusianya tidak efektif akibat
kurangnya komunikasi, kurang interaksi. Jadi bersyukurlah kita di
Sengkang hubungan yang terjalin sangat harmonis, khususnya etnis
Tionghoa dengan etnis Bugis.”
102
Hubungan yang menyatu antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa sangat
telihat jelas ketika keduanya saling membicarakan hal-hal pribadi, misalkan
mengeluarkan isi hati dan unek-unek, timbul rasa kepercayaan diantara keduanya
sehingga proses komunikasi berjalan dengan efektif.
Meskipun di tempat tinggal Pak andi zaenal tidak ada yang bermukim
etnis Tionghoa tetapi memiliki hubungan yang sangat dekat warga etnis
Tionghoa. Selama menjabat sebagai lurah hampir tiap hari berkomunikasi dengan
etnis Tionghoa, baik itu masalah pekerjaan, masalah sosial bahkan sampai kepada
masalah pribadi.
Hubungan pak andi apuk zaenal dengan etnis warga etnis
Tionghoa sangat baik. Bukan hanya interaksi pada saat ada kepentingan tapi
setiap saat kita berkomunikasi, kapan pun dan dimana saja. Di jalan ketika
bertemu dengan etnis Tionghoa saling bertegur sapa. Di acara pesta yang
diadakan oleh masyarakat atau pemerintah misalnya pesta pernikahan, pesta
syukuran, memperingati hari jadi Wajo kita saling bertegur sapa, mereka juga ikut
berpartisipasi dan menunjukkan rasa kebersamaan dari etnis Tionghoa.
Tema pembicaraan ketika berkomunikasi dengan etnis Tionghoa itu sangat
bervariatif, hampir tiap hari saya berkomunikasi, kadang-kadang ngumpulngumpul di warkop, karena pemilik warkop juga adalah
masyarakat etnis
Tionghoa tetapi sudah kawin mawin dengan etnis Bugis jadi hubungan semakin
akrab. Kalo ketemu membahas tentang politik, ekonomi, bisnis, pedagangan,
sampe hal-hal pribadi pun dibicarakan. Tapi kalo politik tidak terlalu besar
volume pembicaraannya karena di kabupaten Wajo itu khususnya di Sengkang
masyarakat tidak suka politik, kebanyakan masyarakat lebih fokus kepada
103
usahanya. Jadi banyak membicarakan masalah bisnis, pekerjaan, dan masalahmasalah sosial yang ada di masyarakat. Bahkan sesekali etnis Tionghoa
mengeluarkan isi hati , mengatakan bahwa kita ini sebenarnya bukan etnis
Tionghoa lagi karena kita menganggap diri kita ini adalah asli orang wajo, kita
lahir dan besar ,mencari nafkah pun disini. Etnis Tionghoa dengan kita itu sudah
tidak canggung tidak ada jarak dengan mereka. Jadi keberadaan etnis Tionghoa di
Sengkang diterima secara baik tanpa ada masalah karena mereka sudah menjadi
bagian dari kita. Selain itu etnis Bugis menggunakan system yang bersifat
terbuka, kita bisa bertukar pikiran, dan saling bekerja sama apalagi etnis Tionghoa
dan etnis Bugis mempunyai kesamaan berdagang. Pada prinsipnya suatu daerah
tidak akan berkembang apabila masyarakatnya tidak menyatu atau berbaur.
Karena kalo tidak menyatu maka pembangunan dan sumber dan manusianya tidak
efektif akibat kurangnya komunikasi, kurang interaksi. Jadi bersyukurlah di
Kabupaten Wajo khusunya di Sengkang hubungan yang terjalin sangat harmonis,
khususnya etnis Tioghoa dengan etnis Bugis.
Informan VII
Informan ketujuh, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten
Wajo, Bapak Mappeasse, S.Sos, penduduk asli Kabupaten Wajo dan bertempat
tinggal di Jl. Bau Baharuddin. Di Sengkang khususnya di daerah pasar sentral
merupakan tempat bermukim bagi etnis Tionghoa. etnis tionghoa sudah bertahuntahun lamanya bermukim di Sengkang, buktinya ditemukan makam cina kuno
yang ada di tosora. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Di kabupaten wajo khususnya di Sengkang itu tempat tinggalnya etnis
Tionghoa tepatnya di daerah pusat perbelanjaan pasar sentral.
104
keberadaan etnis Tionghoa sudah bertahun-tahunmi buktinya ditosora itu
ada makam cina kuno dan pemilinya itu orang cina. Jadi dari dulu sudah
adami interaksi antara orang bugis sama orang cina. Profesi orang
Tionghoa disini kebanyakan pedagang sama dengan profesinya orang
Bugis.”
Interaksi dan komunikasi antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa sudah
berlangsung sejak lama, selain keduanya memiliki profesi yang sama juga
memiliki hubungan emosional dan nenek moyang kedua etnis tersebut. Hubungan
antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa sudah sangat menyatu, bahkan Pak
Mappeasse susah untuk membedakan mana etnis Tionghoa dan mana masyarakat
pribumi karena masing-masing etnis tidak menonjolkan kesukuannya. Seperti
yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Ya, kalo interaksi dengan masyarakat etnis tionghoa itu saya pikir sudah
berlangsung sejak lama, selain karena tadi saya sebutkan ada makam cina
kuno, juga ada hubungan emosional diantaranya keduanya. Jadi memang
kita sudah menyatu mi dengan etnis tionghoa, bahkan saya sendiri tidak
bisami bedakan yang mana sebenarnya etnis tionghoa dan etnis bugis
karena masing-masing tidak ada yang menonjol kesukuannya.”
Pak Mappeasse sudah lama mengenal etnis Tionghoa dan bisa dibilang
memiliki hubungan yang dekat. Pak Mappeasse sempat memiliki sahabat dari
masyarakat etnis Tionghoa. Interaksi dan komunikasi hampir tiap hari Pak
Mappeasse lakukan ketika bertemu dengan etnis Tionghoa, bukan sekedar untuk
basa-basi tapi memang berkomunikasi dengan etnis tionghoa tidak dapat dihindari
karena Pak Mappeasse menganggap etnis Tionghoa bukan orang asing lagi di
tempat ini. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya bisa dibilang sudah kayak saudara mi sama mereka, apalgi saya
sudah lama kenal dengan masyarakat etnis tionghoa. hampir tiap hari
kalo ketemuki pasti kita bicara-bicara dulu, yah saya kira berkomunikasi
sudah menjadi kewajiban, apalagi sama-samaki tinggal di wajo.”
105
Pak Mappeasse berkomunikasi dengan masyarakat etnis Tionghoa bukan
hanya pada saat ada kepentingan, melainkan sesakali menyempatkan waktu untuk
bersilaturahmi dengan berkunjung ke rumah masyarakat etnis Tionghoa. bukan
hanya bertinteraksi di lingkungan tempat tinggal saja, tetapi pada saat ketemu di
jalan, pada saat menghadiri acara kawinan, hakikah, orang meninggal, saling
bertegur sapa dan berbincang-bincang. Tema pembicaraan pak mappeasse dengan
masyarakat etnis tionghoa bervariatif, bukan hanya membahas masalah pekerjaan,
tetapi menyangkut kehidupan sosial, menyangkut masalah kondisi dimasyarakat.
Pada saat berkomunikasi pun tidak ada hambatan, karena Pak Mappeasse sudah
tau bahwa etnis Tionghoa sangat pasif menggunakan bahasa bugis. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Komunikasita sama etnis Tionghoa bisa dimana saja, di pasar, di jalan,
di acara-acara kita bertemu pasti saling menyapaki. Kalau tema
pembicaraan sama etnis tionghoa macam-macam, biasa pekerjaan,
kehidupan sehari-hari, politik. jadi memang kalo ditanya hubungan saya
dengan etnis tionghoa sangat baik, tidak ada jarak untuk tidak
berkomunikasi karena ada hubungan emosional, ada tali persaudaraan
antara nenek moyang kita dulu-dulu. etnis tionghoa kalo bicara sudah
pasif sekali bahasa bugis jadi enak sekali diajak cerita. Jadi sudah
berbaurmi kedua etnis ini sehingga tidak ada perasaan yang tidak enak
kalo ketemuki.”
Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah berbaur dan
menyatu , sama-sama saling percaya jadi tidak ada kendala untuk berkomunikasi.
Mau berbicara apa saja enak, tidak segang-segang untuk mengeluarkan pendapat.
Pak Mappeasse menganggap mereka adalah saudara sendiri karena sama-sama
bermukim di Sengkang. Pak Mappeasse pernah mengusulkan kepada pemerintah,
bahwa sudah sepatutnya etnis Tionghoa diberikan hak untuk duduk di bangku
pemerintahan, karena melihat etnis Tionghoa merupakan bagian dari masyarakat
106
Kabupaten Wajo, apalagi di bidang ekonomi etnis Tionghoa sangat berperan andil
dalam pembangunan di Wajo, jadi sudah seharusnya pemerintah merangkul untuk
diberikan kesempatan di pemerintah. Kalo di Sengkang itu siapa saja bebas hidup,
pemerintah daerah tidak pernah membeda-bedakan sepanjang mereka mau
berusaha dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bahkan Pak Mappeasse tidak
keberatan kalo nantinya ada pemimpin daerah yang berasal dari etnis Tionghoa,
selama mereka mempunyai kemampuan di bidang itu, kenapa tidak pemerintah
memberikan kesempatan. Jadi kalo secara pribadi Pak Mappeasse setuju-setuju
saja. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya itu dek pernah mengusulkan bahwa sudah sepatutnyami etnis
tionghoa diberikan kesempatan di bangku pemerintahan, bayangkan
mereka juga kan masyarakat disini jadi mereka juga punya hak untuk itu.
Apalagi dibidang ekonomi, banyak sekali sumbangsinya dalam
pembangunan di wajo. yah seperti yang tadi saya bilang sudah saatnya
pemerintah merangkul, kalo kita di wajo siapa saja bisa hidup, tidak
pernah juga dibeda-bedakan yang penting mau berusaha dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Saya setuju-setuju saja kalo ada
etnis tionghoa yang jadi pemimipin, dia kan juga sudah orang wajo, jadi
tidak ada masalah selama dia berkompetensi dibidang itu. Jadi sebagai
putra daerah tidak ada masalah.”
Tema pembicaraan Pak Mappeasse dengan masyarakat etnis Tionghoa
bukan hanya membahas masalah politik, ekonomi, kehidupan sosial, pekerjaan,
tetapi Pak Mappeasse sesekali menanyakan tentang budaya masyarakat etnis
Tionghoa seperti menanyakan pertunjukan Barongsai apakah masuk dalam
kebudayaan atau kepercayaan. Selanjutnya menanyakan apakah Hari Imlek itu
kebudayaan atau kepercayaan. Hanya saja pemerintah belum memberikan
kesempatan kepada etnis Tionghoa untuk mempertontonkan kebudayaan etnis
107
Tionghoa. Jadi pada saat hari raya imlek semua warga etnis Tionghoa ke luar kota
untuk merayakannya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Pernahka bicara-bicara sama orang tionghoa yang ada di pasar sentral,
saya pernah tanyakan itu barongsai kebudayaan kah atau kepercayaan.
Trus dia bilang sama saya, satu ji kurangnya pak, seandainya dikasiki
kesempatan sama pemerintah untuk juga mempertontonkan kebudayaan ta
seperti barongsai, jadi kalo sdh bisa mi itu sdh lengkapmi itu. dia bilang
itu barongsai adalah salah satu kebudayaanta untuk memperingati hari
raya imlek. Jadi saya tanyami lagi kalo ada acara-acra perayaan imlek
kemanaki baisanya, trus dia bilang saya ke makasar untuk merayakannya.
Jd kebudayaanya itu mereka sangat kental sama kepercayaanya. Yang
saya tau kalo acara-acara hari besanya dia semua ke makasar, karena
mugkin juga di wajo tidak terllu banyak orang tionghoa dibanding di kota
besar. Pernah juga saya tanya itu hari imlek, apakah kebudayaan atau
keyakinan Jadi di bilang itu lebih cenderung ke kebudayaan, jadi kita
menampilan kebudayaan dan bernilai sesuatu.”
Mengenai simbol-simbol, agama atau agama menyangkut kepercayaan
etnis Tionghoa, Pak Mappeasse tidak pernah menanyakan secara mendalam. Pak
Mappeasse tidak berani karena itu menyangkut masalah keyakinan, sama halnya
dengan islam yaitu akidah. Jadi Pak Mappeasse sangat menghargai toleransi dan
perbedaan kebudayaan etnis Toinghoa termasuk tidak menanyakan masalah
keyakinan karena takut terjadi kesalahpahaman, tetapi kalo menyangkut budaya
orang Tionghoa seperti Barongsai, membagikan Ampao, hari Raya Imlek, pak
Mappeasse pernah berkomunikasi untuk mengetahui maksud budaya tersebut.
Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Tidak pernah saya singgung kalo masalah simbol-simbol yang biasa
dipajang di tokonya itu,apalagi kalo masalah keyakinan, agama, apa
maknanya itu. Ada ji keinginan untuk tanyakan, tapi saya kan sebagai
orang kesbang berusaha supaya jangan ada yg terisnggung, karena saya
anggap itu kepercayaan mereka. jadi kalo kita tanyakan secara mendalam
jangan sampai dia tersinggung, karena mnyangkut masalah keyakinan
orang. Contohnya itu yg merah-merah digantung di tokonya.itu keyakinan
108
mereka. saya liat di wajo ini ada juga yang beragama nasrani, konghucu,
ada juga yang islam.”
Pak Mappeasse juga pernah menghadiri upacara kematian masyarakat
etnis Tionghoa, tetapi Pak Mappeasse tidak terlalu banyak mengetahui tentang
tata cara adat istiadat masyarakat etnis Tionghoa dalam melakukan upacara
kematian. Pak Mappeasse melihat tata cara upacara kematian dilaksanakan sesuai
dengan kepercayaanya. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo acara-acara kematiannya, kebanyakan saya liat sesuai dengan
agamanya. Itu acara kematiannya tidak terlalu tau tata caranya. Saya
juga pernah hadiri acara kematiaanya, jadi saya lihat sesuai dengan tata
cara agama mereka, karena kita tidak lihat bagaimana prosesnya.”
Sejauh ini pak Mappeasse tidak terlalu banyak mengetahui tentang
keyakinan, apalagi menyangkut agama dan adat istiadat masyarakat etnis
Tionghoa, hanya saja mengenai persoalan budaya etnis Tionghoa, pak Mappeasse
banyak tau selain mengetahui dari informasi-informasi dari luar, pak Mappeasse
juga pernah menanyakan langsung mengenai budayanya seperti Barongsai,
Perayaan Hari Imlek, dan membagikan Ampao. Akan tetapi budaya etnis
Tionghoa di kabupaten Wajo belum terlalu nampak, hanya saja simbol-simbol
kepercayaan sering dilihat di toko masyarakat etnis Tionghoa. Beda halnya
dengan perayaan Hari Imlek, masyarakat etnis Tionghoa memilih untuk ke
Makasar untuk merayakannya, karena di Sengkang etnis Tionghoa belum diberi
kesempatan untuk menunjukkan kebudayaanya seperti, menampilkan Barongsai
yang sering kita lihat pada Hari Raya Imlek. Pak Mappeasse berharap kebudayaan
tersebut ditampilkan pada saat perayaan 17 Agustus supaya memperkaya
kebudayaan di kabupaten Wajo. Pak Mappeasse melihat bahwa selama ini etnis
Tionghoa mengikut kepada kebudayaan etnis Bugis, misalkan pada saat acara
109
kawinan, etnis Tionghoa hadir dengan memakai baju adat bugis. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Artinya kebudayaannya orang Tionghoa di wajo belum terlalu muncul,
tetapi dia ikut sama budaya kita trmasuk mi kalo ada acara-acra
pengantin , seperti acara maccera tappareng dia ikut itu, mappalari lopi,
ikut distu. Jadi dia ikut dengan budaya lokal. Trus maunya dia itu
budayanya dia tmpilkan juga kebudayaan mereka. diantaranya itu
barongsai.. Jadi untuk di wajo belum pernah dia munculkan
kebudayaanya, tapi utk budaya kita lihat dia ikut sama kita. misalkan dia
pake baju tokko, itu yang sering di pake orang bugis kalau pergi
pengantin. trus perempuannya pake baju adat. Itu keunikannya
masyarakat tionghoa karna diterima baik di wajo khusunya di sengkang
karena dia berbaur dengan budaya kita.”
Melihat proses komunikasi khusunya dalam hal budaya, pak Mappeasse
juga banyak mengetahui tentang budaya etnis Tionghoa dengan berkomunikasi
langsung menanyakan hal tersebut, seperti menayakan Barongsai itu seperti apa,
Hari Imlek itu bagaiamana. Pak Mappeasse berharap agar kebudayaan tersebut
juga ditampikan di Kabupaten Wajo khususnya di Sengkang agar memperkaya
kebudayaan-kebudayaan yang ada di kabupaten Wajo.
Informan VIII
Informan kedelapan, H. Muhtamar tinggal di daerah pasar Jl.RA.Kartini.
pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang.
Di lingkungan H. Muhtamar hampir tiap hari bertemu dan berinteraksi
dengan masyarakat etnis Tionghoa. hubungan yang terjalin sangat akrab dan
sudah bertahun-tahun lamanya mengenal etnis Tionghoa. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalau dilingkungan tempat tinggal saya banyak sekali orang tionghoa
yang ditemani bertetangga tetapi sudah akrab semuami, sudah bertahuntahun kita kenal sama mereka bahkan sudah sepertimi saudara sendiri.
Sebenarnya tetangga itu penting sekali karena mereka adalah keluarga
110
paling dekat sama kita. Contohnya kalau ada apa-apa pasti yang pertama
membantu adalah tetangga. Haruski memang berbaur sama siapa saja,
apalagi dengan tetangga.”
Interksi dan komunikasi Pak Muhtamar dengan masyarakat etnis tionghoa
lebih banyak terjadi dilingkungan tempat tinggal, selain itu juga terjadi di jalan, di
pasar dan ketika bertemu Pak Muhtamar pasti saling menyapa. Pembicaraan
dengan etnis tionghoa biasanya membahas mengenai pengalaman-pengalaman
pribadi, bagaiaman kondisi usaha dan lingkungan sekitar. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut “
“Kalau komunikasi ku sama etnis tionghoa lebih sering ditempat kerja,
tetapi bagusnya kalo ketemuki di jalan atau di pasar saling menyapa ki.
Kalau yang dibicarakan palingan pengalaman-pengalaman pribadi,
bagaiamana kondisi usaha dan kehidupan sehari-hari ta.”
Dilingkungan tempat tinggal Pak muhtamar sudah banyak etnis Tionghoa
yang ditemani bertetangga dan sudah saling mengenal, hubungan dengan etnis
Tionghoa sangat akrab sebagai teman bicara dalam segala hal. Bahkan tetangga
itu adalah keluarga yang paling dekat selain keluarga. Misalkan sewaktu-waktu
terjadi musibah pasti yang pertama menolong adalah tetangga kita.
Komunikasi sudah jelas terjadi setiap harinya karena tidak berkomunikasi
tentunya tidak akan saling mengenal dengan lingkungan sekitar kita, komunikasi
adalah hal yang sangat mendasar dalam kehidupan bermasyarakat. Komunikasi
pak Muhhtamar dengan etnis Tionghoa paling sering disekitar tempat tinggal, bila
bertemu dijalan, acara kawinan, hakikah, dan kalau ada yang datang berkunjung
ke toko. Hal-hal yang dibicarakan dengan etnis Tionghoa menyangkut
pengalaman-pengalaman pribadi, mengenai keadaan sosial di masyarakat, dan
masih banyak hal-hal lainnya yang dibicarakan., masalah politik tidak begitu
111
penting dibicarakan karena sama-sama tidak terjung di politik, lebih banyak
membahas masalah bisnis sehari-hari.
Informan IX
Informan kesembilan, penulis melakukan wawancara dengan H. Kade
yang merupakan penduduk asli Kabupaten Wajo dan tinggal d pasar sentral.
Beliau sudah tinggal di Sengkang selama 67 Tahun dan sudah puluhan tahun juga
mengenal masyarakat etnis Tionghoa. Selama mengenal etnis Tionghoa tidak
pernah terjadi konflik atau perselisihan, bahkan hubungan H. Kade sangat baik .
Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya itu nak sudah puluhan tahun ma tinggal di wajo tapi tidak pernah
ka berselisih sama orang, mau itu orang cina, orang bugis, orang jawa
atau apa tidak pernah ada masalah. Nah kalo sama etnis tionghoa
malahan hubunganta baik sekali apalagi bertetanggaki nak.”
H.Kade hampir tiap hari berkomunikasi dengan masyarakat etnis
Tionghoa yang ada di lingkungannya, selain itu H.kade juga menjalin kerja sama
dalam bidang bisnis dagang emas. Interasksi dan komunikasi H.kade bisa dimana
saja, kadang di luar rumah, kadang di toko juga. Tetangga H.kade sering
berkunjung ke tokonya hanya sekedar untuk ngobrol dan menghabiskan waktu
kalo tidak ada pekerjaan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Tiap hari dek saya ketemu sama masyarakat etnis tionghoa, apalagi
yang kasi ragu-raguki na bertetanggaki juga, apalagi ada kerja sama ku
juga sama mereka, kebetulan dia ambil emas juga sama saya. Itu orang
cina yang di depan toko ku sering kesini, kalo pagi datangmi itu ketawaketawa baru berteriak bilang “aji-aji”, kadang sampai sore itu nah di
toko, cerita terus. Jadi pernah orang di toko tanya, kenapa sering ke sini,
trus dia bilang baik katanya aji jadi saya suka. Jadi liatmi nak kalo saya
baik semuaka itu sama orang.”
112
Intensitas pertemuan yang sering membuat hubungan keduanya semakin
akrab, tidak ada perasaan-perasaaan curiga kepada masyarakat etnis Tionghoa. H.
Kade yang juga sebagai tokoh masyarakat di Wajo sangat menjaga hubungan baik
dengan sesama masyarakat. Tema pembicaraan dengan etnis tionghoa macammacam, seperti politik, ekonomi, kehidupan sehari-hari, masalah pekerjaan, tetapi
kalo politik jarang dibicarakan karena H.Kade merasa tidak ada kemampuan
untuk berpolitik. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Itu orang tionghoa kalo datang ke rumah pasti sorepi na pulang,
pokoknya kalo datang ke sini, cerita terus sama saya, sama pegawaiku
juga. Sembarang na cerita, kalo diliat ki bicara kayak orang bugismi,
lancar sekalimi juga bicara bugis, jadi kalo sama kita bicara tidak pernah
bahasa Indonesia, mabbicaraka ogi matteru. Kalo pembicaraan yah biasa
saja, tentang pekerjaan, kehidupan sehari-hari. kalo politik tidak pernah
karena kita tidak terjung sama politik, jadi lebih banyak tentang bisnis.
Mengenai budaya etnis Tionghoa tidak pernah juga saya tanya, karena
saya hargai dan takut tersinggung. Jadi umumnya ji yang ditau misalkan
hari-hari besarnya. Kalo d wajo itu saling menghargai, mau budaya atau
apanya yang penting jangan ganggu usahanya. Itu saja.”
H. Kade tidak merasa keberatan dengan etnis Tionghoa yang ada
dilingkungan tempat tinggalnya. Hubungan dengan etnis Tionghoa sangat akrab,
sebagai penduduk asli kabupaten Wajo yang bermukim di Sengkang, H. Kade
merasa tetangga-tetangganya sudah seperti saudara sendiri. Dalam berkomunikasi
umumnya membicarakan masalah sosial, membicarakan masalah pekerjaan dan
kehidupan sehari-hari. Komunikasi dengan etnis Tionghoa terjadi di sekitar
rumah, di acara pesta, acara nikahan dan di jalan ketika bertemu dengan Etnis
Tionghoa saling menyapa sekedar menanyakan kabar. H.Kade menggunakan
bahasa Bugis ketika berkomunikasi dengan etnis Tionghoa, apalagi mereka sudah
113
lancar menggunakan bahasa daerah. Hubungan interaksi dan komunikasi berjalan
efektif tidak ada masalah karena kita saling menghargai satu sama lain.
Informan X
Pada Informan kesepuluh, penulis melakukan wawancara dengan bapak
Herwansyah tinggal di Jl.Ninnong dan memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta. Di
lingkungan Pak Herwansyah tidak ada yang bermukim etnis Tionghoa. seperti
yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo dilingkunganku yang saya tau tidak ada warga etnis Tionghoa yang
tinggal disini, kebanyakan itu mereka tinggal di pasar sentral karena
pekerjaannya pedagang.”
Dalam
kehidupan
sehari-hari
Pak
Herwansyah
sangat
sering
berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa, hampir tiap hari Pak Herwansyah
bertemu dan berinteraksi dengan warga etnis Tionghoa. seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Iya sering, malahan hampir tiap hari saya ketemu sama warga
Tionghoa. kebetulan temanku banyak warga Tionghoa juga jadi pastimi
tiap hari saya bicara sama mereka.”
Pak Herwansyah ketika berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa
dimana saja dan kapan saja, kadang-kadang Pak Herwansyah berkunjung ke
rumah temannya yang juga warga etnis Tionghoa sebaliknya warga etnis
Tionghoa juga berkunjung ke rumah Pak Herwansyah. Selain di rumah,
komunikasi juga sering terjadi luar atau di tempat-tempat umum, seperti di
Warkop, di pinggir jalan, pada saat ada acara perkawinan, acara hakikah, orang
berduka, acara-acara santai lainnya. Jadi komunikasi dengan warga etnis
114
Tionghoa bukan hanya disatu tempat melainkan banyak tempat. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo tempat ketemu atau bicara-bicara sama warga etnis Tionghoa ya
banyak, kadang saya jalan-jalan kerumahnya bahkan sesekali menginap,
kadang dia juga datang kerumah. tapi lebih sering diluar rumah yah,
misalkan nongkrong dipinggir jalan atau pun pergi ke warkop minumminum kopi sambil cerita-cerita. kalau ada acara-acara biasaka samasama pergi juga.
Tema pembicaraan dengan warga etnis Tionghoa sangat bervariatif, jadi
tidak terpaku pada satu masalah saja, misalkan membicarakan tentang politik,
membicarakan masalah bisnis, masalah lingkungan sekitar, masalah pribadi
seperti Warga etnis Tionghoa menceritakan kepada Pak Herwansyah tentang
kondisi keluarga, kondisi pekerjaan, masalah keungan dan sebaliknya Pak
Herwansyah juga menceritakan masalah pribadinya seperti masalah pekerjaan,
masalah keluarga dan masalah tentang kehidupan sehari-hari.Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya kan kayak saudarami sama mereka, apalagi sama ini temanku yang
warga etnis tionghoa juga, tapi saya tidak pernah anggap dia etnis
tionghoa karena dia lahir disini juga. Kalo bicaraka sama mereka banyak
sekali yang kita bicarakan, apalagi kalo akrab sekali meki, bisaki curhat
juga tentang masalaha pribadi ta, dia pun juga begitu sama kita. Misalkan
curhat tentang keluarganya, curhat tentang kerjaannya, curhat tentang
kehidupan sehari-harinya. Sebenarnya saya juga heran kenapa dia bisa
curhat masalah pribadinya sama kita padahal itu kan aib
seseorang.ternyata lama kelamaan baru saya tau kalo etnis tionghoa itu
sangat percaya sama orang bugis. apalagi kalo dekat sekali, pasti
napercaya ki. Jadi kalo bicara ka sama itu temanku, saling terbuka, saya
juga tidak merasa berat kalo mau cerita karena itu tadi sudah kayak
saudarami.”
Pak Herwansyah dalam berkomunikasi dengan warga etnis Tionghoa,
bukan hanya membahas masalah politik, ekonomi, pribadi, kehidupan sosial tetapi
sesekali Pak Herwansyah menanyakan tentang bagaiamana budaya dari warga
115
etnis Tionghoa seperti menanyakan makna dari Barongsai, Perayaan Hari Imlek,
makna dari tata cara pekuburan warga etnis Tionghoa, makna dari membagibagikan Ampao. Pak Herwansyah bertanya langsung kepada warga etnis
Tionghoa agar bisa mengetahui budaya-budaya dari etnis Tionghoa. seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Ya pasti biasa, apalagi kan budaya ta sama budaya etnis Tionghoa beda
jadi pastimi biasaki bertanya kalo bicara misalkan saya pernah bertanya tentang
apa sebenarnya itu barongsai yang sering diliat di TV atau perayaan hari-hari
besarnya etnis Tionghoa. saya juga pernah tanya itu kenapa kalau orang
Tionghoa meninggal harus dibakar terus debunya disimpan diguci dan disimpan
dirumah, terus bagi-bagi ampao apa artinya, tapi saya juga pernah dikasi ampao
sama mereka. Itu semua saya tanya yang sering diliat. Ada juga yang saya liat
kalau orang Tionghoa itu suka berjudi, biasa juga kalau kerumahnya saya liat Bir
itu kayak air putih, pokoknya banyak-banyak saya tanya tentang bagaimana
budaya mereka. Kalau agama mereka di Wajo itu bervariasi ada agama Hindu,
Budha, sama Kristen.”
Budaya etnis Tionghoa dengan Budaya etnis Bugis sangat berbeda, itulah
yang membuat Pak Herwansyah ingin mengetahui budaya dari etnis Tionghoa.
Pak Herwansyah juga pernah berkomunikasi dan salah makna tentang budaya
etnis Tionghoa, sehingga timbul keinginan untuk bertanya agar bisa memahami
budaya etnis Tionghoa. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya pernah bertentangan dengan temanku yang warga etnis Tionghoa
juga tentang kebudayaanya. Itu hari saya hadiri acara pemakaman warga
etnis Tionghoa yang juga beragama Hindu dan saya lihat jasadnya
dibakar terus dikasi masuk di guci. Kita kan warga etnis Bugis apalagi
mayoritas disini agama islam, jadi kayak lain-lainki diliat itu apalagi
kalau masyarakat yang baru-baru lihatki.tapi pas saya taumi baruka
sadar ternyata itu adat istiadatnya memang begitu.”
Sebelum memahami makna budaya etnis Tionghoa, Pak Herwansyah
pernah jaga jarak dengan masyarakat etnis Tionghoa, Pak Herwansyah merasa
takut akan terpengaruh dengan budaya etnis Tionghoa, tetapi Setelah memahami
116
budaya etnis Tionghoa, tidak lagi pernah salah makna dengan budaya etnis
Tionghoa, Pak Herwansyah sadar bahwa itu adalah adat istiadat dari etnis
Tionghoa. makna dari membakar jasad terus debunya dimasukkan kedalam guci
dan disimpan dalam rumah sebagai persembahan kepada keyakinannya agar
arwahnya kembali.
Bahasa yang digunakan Pak Herwansyah ketika berkomunikasi dengan
masyarakat etnis Tionghoa adalah bahasa Bugis. etnis Tionghoa yang lahir dan
besar di Wajo tentunya sangat pasif dalam berbahasa bugis. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Jelasmi bahasa bugis kalau bicaraki, masa mau bahasa mandarin
sedangkan dia juga tidak taumi. Kalau di wajo orang Tionghoa tidak
adami yang tidak pintar bahasa bugis.”
Intensitas pertemuan sejak dulu antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa
membuat hubungan keduanya harmonis sampai sekarang. Pak Herwansyah
hampir semua mengenal masyarakat etnis Tionghoa yang bermukim di Sengkang.
bukan hanya saling mengenal, tetapi pak Herwansyah memiliki hubungan yang
dekat dan sering berkomunikasi. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya sangat mengenal masyarakat etnis Tionghoa yang ada disini,
bahkan akrab sekalika sama mereka. Semua orang tionghoa yang ada
disini rata-rata kenalka dan anak-anaknya temanku semua.”
Pak Herwansyah sangat intens bertemu dan berkomunikasi dengan etnis
Tionghoa, keduanya menjalin hubungan kerja sama dalam bidang perdagangan.
Bukan hanya menjalin hubungan kerja tetapi keduanya memiliki hubungan lebih
seperti saudara. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Kalo ketemu sama mereka, deh hampir tiap hari apalagi kan saya
menjalin kerja sama sama warga etnis Tionghoa dalam bidang bisnis
117
olahraga, jadi pastimi seringki ketemu. Tapi kalo saya kayak saudara ka
sama mereka, jadi bukan sekedar hubungan kerja saja.”
Pembicaraaan pak herwansyah dengan masyarakat etnis tionghoa tidak
hanya membicarakan tentang pekerjaan, tetapi semua hal bisa kita bicarakan
termasuk hal-hal yang bersifat pribadi sering dibicarakan. Pak Herwansyah
dengan sahabatnya yang juga dari etnis tionghoa tidak tanggung untuk
membicarakan hal pribadi masing-masing, misalkan membahas masalah kondisi
keuangan, membahas masalah kondisi keluarga, kondisi pekerjaan bahkan sampai
ke hal yang sangat pribadi pun tidak ada yang disembunyikan. Pak herwansyah
ketika berkomunikasi dengan etnis tionghoa merasa nyaman, keduanya saling
terbuka dan saling percaya. Intensitas pertemuan yang tinggi diantara keduanya
membuat hubungan tersebut jauh dari konflik atau perselisihan.
Sejauh ini proses komunikasi yang berlangsung diantara keduanya
berjalan dengan harmonis. Intensitas pertemuan keduanya yang bisa dikatakan
sering, membuat keduanya dapat mempelajari dan memahami kondisi msingmasing.
Dalam
proses
komunikasi,
keduanya
tidak
canggung
untuk
berkomunikasi karena etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah menyatu dan berbaur
sekali. Dalam proses komunikasi timbul rasa terbuka dan rasa saling percaya
diantara keduanya, sehingga komunikasi berjalan dengan efektif dan jauh dari
konflik atau perselisihan. Dari segi bahasa ketika berkomunikasi bukan hal yang
sulit karena etnis Tionghoa pasif dalam berbahasa bugis. Meskipun etnis Bugis
dengan etnis Tionghoa beda budaya tapi itu tidak menghambat komunikasi
mereka, seringkali etnis Bugis bertanya kepada etnis Tionghoa tentang apa makna
dari budaya yang pernah mereka lihat agat tidak terjadi kesalahpahaman.
118
2. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Komunikasi
Antarbudaya Etnis Tonghoa dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten
Wajo.
Hasil Wawancara :
Informan I
Penulis melakukan wawancara kepada Bapak Surahman Wijoyo selaku
Ketua Perkumpulan Masyarakat Etnis Tionghoa di Kabupaten Wajo sekaligus
memiliki profesi utama yaitu seorang pedagang dan kontraktor. Pak Surahman
sudah empat
tahun menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Etnis Tionghoa di
Kabupaten Wajo.
Pak Surahman ketika terjadi konflik antara etnis Tionghoa dengan BugisMakassar, Pak Surahman merasa aman dan membawa anak-anaknya ke
Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya ingat itu hadir waktu tahun 1998 tejadi konflik etnis tionghoa
dengan bugis Makassar, kalo disini aman sekali karena kita sudah
menyatu dan saling menghargai dengan masyarakat sekitar. Bahkan dek
teman-teman saya bilang “pak tenang saja kalo disini kita semua
saudarami jadi amanki disini pak”. Bayangkan waktu konflik kemarin
semua anakku saya bawa kesini dari makasar karena disini aman, tidak
ada konflik. Itumi gunanya membangun hubungan silaturahmi, saling
menghargai dengan masyarakat, hal-hal sederhana tapi manfaatnya luar
biasa kepada kita yang bermukim disini. Jadi kita disini merasa aman kalo
besok-besok ada gejolak konflik diluar imbasnya tidak sampai kesini. Saya
selama tinggal di wajo tidak pernah ada konflik dengan masyarakat etnis
bugis, kalau pun ada palingan hanya beda pendapat tapi bisa diselesaikan
dengan cara baik atau kekeluargaan.”
Faktor pendukung dalam proses komunikasi adalah ketika Pak Surahman
merasa aman di Kabupaten Wajo khusunya di Sengkang, terbukti di tahun 1998
pada saat ada gejolak konflik antara etnis Tionghoa dengan Bugis Makasar di
119
Sengkang aman-aman saja. dan Pak Surahman membawa serta anak-anaknya
untuk dibawa ke Sengkang. Inilah yang Pak Surahman katakan bahwa
membangun silaturahmi, saling menghargai dengan masyarakat akan memberikan
manfaat yang sangat besar. Pak Surahman selama tinggal di Sengkang tidak
pernah mengalami konflik, kalau pun ada itu hanya perbedaan pendapat dan tidak
sampai merusak hubungan yang sudah terjalin karena diselesaikan dengan cara
baik-baik.
Selain memiliki hubungan menyatu dengan masyarakat disini, faktor yang
mendukung juga adalah keluarga Pak Surahman banyak yang kawin mawin
dengan masyarakat etnis Bugis termasuk adik Pak Surahman dan kemanakan. Hal
tersebut sangat berpengaruh pada proses komunikasi antara Pak Surahman dengan
etnis Bugis. seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Ada, termasuk adik saya dan kemananku itu menikah sama orang sini,
selain menikah dia juga masuk islam. Nah ini mi saya bilang karena kita
sudah menyatu jadi tercipta rasa kekeluargaan.”
Faktor pendukung dalam proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa
dan etnis Bugis dimana Pak Surahman sangat paham dengan budaya etnis Bugis.
selain paham Pak Surahman juga menganggap bahwa budaya etnis Bugis adalah
budaya kita sendiri karena menetap dan lahir disini. Jadi Pak Surahman tidak
pernah terganggu dengan budaya etnis Bugis, malah perbedaan itu etnis Bugis
dengan etnis Tionghoa sudah menyatu. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Kalo budaya kita sudah menyatu yah, jadi saya paham betul dengan
budaya orang bugis, bagaimana dari kecil kita sudah berbaur kan jadi
secara tidak langsung pasti kita tau.contoh kecil yah dasar budaya bugis,
kita bisa mengadopsi budaya dasar dari masyarakat etnis Bugis. Saya
120
yang memiliki akses lebih dengan masyarakat Bugis, sudah bisa melakoni
budaya Pung’ ketika memanggil orang yang dianggap tua dari saya atau
Sifat-Sifat (Taro ada Taro gau), perilaku masyarakat Bugis (Sipakatau,
Sipakainge, Sipakalebbi). Jadi itu betul-betul sudah menyatu sama kita.”
Informan II
Pada informan kedua, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Romi
yang bekerja sebagai pedagang. Seperti informan yang pertama, Pak Romi juga
lahir dan besar di Sengkang, sudah hampir 36 tahun pak romi bermukim di
Sengkang.
“Saya selama bertetangga dengan etnis Bugis tidak pernah terlibat
cekcok, konflik atau kesalahpahaman yang bisa merusak hubungan, yah
sampai sekarang semuanya berjalan baik, biasaji ada perbedaan
pendapat tapi itu biasa diatur dan dibicarakan baik-baik, tidak ada itu
yang sampai berkelahi atau bagaiamana. Di rumah juga ada etnis Bugis
yang kerja sudah hampir 20 tahu kerja sama saya, sudah kuanggapmi
juga kayak keluarga. Saling menghargai satu sama lain jadi hubunganta
baik sampai sekarang.”
Pak Romi selama bertetangga dengan masyarakat setempat tidak pernah
terlibat atau konflik atau kesalahpahaman yang bisa merusak hubungan yang
sudah ada. Semuanya bisa diatasi dan diselesaikan dengan cara baik-baik supaya
tidak menimbulkan konflik.
Mengenai perbedaan budaya itu tidak menghambat dalam proses
komunikasi. Pak Romi hanya sedikit memahami budaya etnis Bugis tetapi itu
tidak sampai menghambat komunikasi karena Pak Romi sangat menghargai
budaya etnis Bugis.
Dalam suatu hubungan hendaknya sikap saling menghargai sangat
penting, sama hal dengan pak Romi yang selalu menjunjung sikap saling
121
menghargai dengan sesama manusia. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Saya itu pegang prinsip kalo kita hargai orang lain pasti orang lain juga
hargaiki. Biarpun kita lahir disini, tapi kita harus saling menghargai. itu
yang selalu saya pegang kalo turun di masyarakat.”
Informan III
Informan ketiga, Kaseng yang tinggal di daerah pasar sentral, pak kaseng
yang juga menjabat sebagai sekertaris Perkumpulan Mayarakat Etnis Tionghoa di
Kabupaten Wajo. Pak kaseng sudah hampir 40 tahun bermukim di Sengkang,
bukan cuma itu Pak kaseng juga lahir dan besar di Sengkang. seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Memang kita di kabupaten wajo ini sama-sama profesita sama orang
bugis, tapi tidak ada persaingan politik juga dalam hal hal dagang, yah
masing-masing sibuk dengan kerjaannya, yang penting tadi saya katakan
bahwa dalam hubungan itu harus saling menghargai walaupun kita
berbeda budaya. Coba ingatki kapan terdengar di wajo ada konflik, tidak
pernah itu karena masyarakatnya sopanki semua dan saling menghargai,
itu saja kuncinya kalau mauki berbaur sama semua orang.”
Profesi yang sama antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis tidak menjadi
hambatan dalam berkomunikasi, justru dapat saling menguntungkan dan tidak ada
unsur-unsur politik diantaranya keduanya. Hubungan yang terjalin antara pak
Kaseng dengan masyarakat etnis Bugis sangat akrab dan harmonis. Pak Kaseng
juga memperkerjakan orang bugis di tempanya dan sudah hampir 20 tahun.
Selama ini tidak pernah terjadi konflik atau perselisihan, karena pak Kaseng selalu
menjunjung nilai saling menghargai dengan sesama manusia.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi adalah
Pak Kaseng selalu belajar tentang budaya etnis Bugis, misalkan menanyakan
122
langsung kepada etnis Bugis apa yang tidak diketahui. selain mempelajari Pak
Kaseng juga memahami budaya etnis Bugis supaya tidak terjadi kesalahpahaman.
Informan IV
Informan keempat, bapak Siyyong yang berprofesi sebagai pedagang, dan
tinggal di pasar sentral. Lahir di Sengkang dan sudah 40 tahun lebih menetap.
Pak siyyong mempunyai banyak keluarga etnis Bugis dibanding etnis Tionghoa.
seperti yang diungkapkannya sebagai berikut “
“Memang kita saling menghargai baik itu tetangga maupun di lingkungan
luar. Hubungan kita sudah harmonis dan sangat berbaur. Buktinya bahwa
kita sudah berbaur kalau ada acara-acara pasti kita hadir, tapi kalo acara
nikahan saya jarang pergi karena malu-malu soalnya saya belum
menikah. Saya sering curhat kepada teman-teman kalo ada undangan
nikahan saya malu untuk pergi karena sampai sekarang saya belum
menikah. Selama ini hubungan dengan etnis Bugis berjalan dengan
harmonis, selama saya tinggal di sini, tidak pernah terdengar ada konflik
diantara kedua Etnis tersebut, kalau pun ada pasti diselesaikan dengan
cara kekeluargaan. Jadi konflik tersebut cepat diatasi sehingga tidak
berdampak kepada masyarakat. Sesama manusia yang tinggal di
Kabupaten Wajo sudah pasti kita harus saling menghargai, memang kita
berbeda budaya tapi kami sudah menganggap bahwa etnis Tionghoa
adalah bagian dari masyarakat etnis Bugis.”
Seperti penuturan Pak Ka’seng bahwa dalam suatu hubungan itu harus
saling menghargai supaya tidak terjadi konflik atau semacamnya. Meskipun
budaya etnis Tionghoa dengan etnis Bugis berbeda tetapi harus saling menghargai
satu sama lain.
Informan V
Informan kelima, bapak Handoko, tinggal di Jl. RA Kartini tepatnya di
daerah pasar sentral. Pekerjaan sehari-hari sebagai pedagang di Sengkang. Saya
lahir dan besar di Sengkang, umur saya sudah mencapai 55 Tahun jadi sudah 55
123
Tahun juga saya bermukim di Sengkang. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut “
“Sesama manusia kita harus saling menghargai satu sama lain, saya
sangat akrab dengan teteangga dilingkungan tempat tinggal dan maupun
yang berada diluar, bahkan saya lebih akrab dengan etnis Bugis
dibanding etnis Tionghoa yang ada disini.”
Lain halnya yang diungkapkan pak Handoko bahwa hubungan yang
terjalin dengan etnis Tionghoa sangatlah harmonis, bahwa pak Handoko lebih
akrab ketimbang dengan etnis Tionghoa yang ada di kabupaten Wajo. Selama
bermukim di Wajo Pak handoko tidak pernah berselisih dengan masyarakat etnis
bugis, hubungannya berjalan dengan harmonis.
Informan VI
Penulis melakukan wawancara kepada bapak Andi Apuk Zaenal selaku
mantan Lurah Lapongkoda di kecamatan Tempe selama tahun 1995-2006.
Sekarang beliau bekerja di Badan Penanggulangan Bencana di Kabupaten Wajo.
seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya masih ingat waktu tahun 1998 konflik etnis Tionghoa dengan orang
Makassar. Kalo di Wajo itu aman karena seperti yang tadi saya katakan
bahwa etnis Tionghoa sudah menganggap dirinya sebagai penduduk
pribumi, sudah menyatu dengan masyarakat dan menganggap bahwa
mereka adalah bagian dari Kabupaten Wajo.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi adalah
amalgamasi, dimana masyarakat etnis Tionghoa hampir 30% yang kawin mawin
dengan penduduk etnis Bugis. Ini menunjukkan bahwa semakin hari hubungan
yang terjalin semakin akrab. Timbul kepercayaan dari masing-masing etnis untuk
membina rumah tangga. Bukan hanya itu 10% dari masyarakat etnis Tionghoa
124
sudah ada yang yang memeluk agama islam. Hal ini dipertegas kembali oleh
Bapak andi apuk zaenal sebagai berikut :
“Kalo dipersentasikan sekitar 10% etnis Tionghoa masuk islam, saya
pernah islamkan waktu saya masih menjabat sebagai lurah pada waktu
itu. Selanjutanya yang kawin silang saya persentasikan sekitar 30% etnis
Tionghoa yang menikah dengan etnis Bugis. Ini menunujukkan bahwa
hubungan kita dengan etnis Tionghoa sudah menyatu, sangat harmonis ,
komunikasi kita berjalin efektif. Bahkan pada saat kemarin ulang tahun
Kabupaten Wajo mereka turut berpartisipasi. Kalo soal acara-acara etnis
Tionghoa sangat berbaur., mempunyai rasa solidaritas yang tinggi
terhadap etnis Bugis. Saya ingat waktu masih menjabat lurah, tempat
makan siang saya itu di rumah etnis Tionghoa, itu buktinya kalo kita
sudah berbaur sekali. Jadi kita sudah tidak bisa bedakan yang mana etnis
Tionghoa atau etnis Bugis, bahasa bugis dia sudah kuasai, bahasa bugis
100% sudah dikuasai. Jadi kesimpulannya tidak ada jarak untuk tidak
berkomunikasi dengan etnis Tionghoa, hanya saja yang membedakan kita
itu adalah warna kulit. Kalo di Kabupaten Wajo itu sudah tidak ada
diskriminasi beda dengan orang lain, buktinya tidak karena kita sudah
berbaur, kita saling percaya, saling mendukung satu sama lain, dan saling
menghargai. terus etnis Tionghoa itu tidak menyombongkan diri, sapa pun
diajak berkomunikasi”.
Faktor lain yang berpengaruh sekaligus menjadi faktor pendukung dalam
proses komunikasi adalah adanya keingintahuan masyarakat etnis Bugis khusunya
Pak andi apuk zaenal untuk mengetahui bagaimana budaya dari etnis Tionghoa,
mempelajari budaya etnis Tionghoa dengan harapan agar perbedaan-perbedaan
tersebut bukan penghambat dalam proses komunikasi.
Informan VII
Informan ketujuh, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten
Wajo, Bapak Mappeasse, S.Sos, penduduk asli Kabupaten Wajo tinggal di Jl. Bau
Baharuddin. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya pernah mengusulkan kepada pemerintah, bahwa sudah sepatutnya
etnis Tionghoa diberikan hak untuk duduk di bangku pemerintahan,
karena saya lihat etnis Tionghoa sudah merupakan bagian dari
Kabupaten Wajo, apalagi di bidang ekonomi etnis Tionghoa sangat
125
berperan andil dalam pembangunan di Wajo, jadi sudah seharusnya
pemerintah merangkul untuk diberikan kesempatan di pemerintah. Kalo di
kabupaten Wajo itu siapa saja bebas hidup, pemerintah daerah tidak
pernah membeda-bedakan sepanjang mereka mau berusaha dan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Itulah alasan kita juga sangat
berbaur dengan etnis Tioghoa karena mempunyai kesamaan visi yang
sama yaitu berdagang. Selama ini hubungan yang terjalin antara etnis
Tionghoa dengan etnis Bugis itu aman-aman saja, hampir tidak ada
konflik, kalau pun ada pasti diselesaikan secara baik-baik dan tidak
sampai konflik tersebut meluas sampai kemasyarakat”.
Pak Mappeasse mengatakan bahwa sudah sepatutnya etnis Tionghoa
diberikan kepercayaan untuk duduk di bangku pemerintahan karena etnis
Tionghoa sudah menjadi bagian dari kabupaten Wajo. jadi seharusnya pemerintah
merangkul untuk diberikan kesempatan. Di kabupaten Wajo siapa saja bisa hidup,
pemerintah daerah pun tidak pernah membeda-bedakan sepanjang mereka mau
berusaha dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Selain mempunyai visi dan misi
yang sama yaitu berdagang hubungan yang terjalin pun sangat akrab di kehidupan
sosial. Tidak ada konflik yang pernah terdengar, hanya perbedaan pendapat dan
bisa diselesaikan dengan cara baik-baik. Faktor yang berpengaruh terhadap proses
komunikasi bukan hanya dari amalgamasi, sikap menghargai orang asing dan
toleransi. Ternyata di lapangan peneliti menemukan bahwa salah satu faktor
penting juga yang berpengaruh adalah kepercayaan. Etnis Bugis memberikan
kepercayaan kepada etnis Tionghoa sebaliknya etnis Tionghoa memberikan
kepercayaan kepada etnis Bugis sehingga hubungan semakin akrab.
Sejauh ini perbedaan budaya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis tidak
mempengaruhi dalam melakukan komunikasi, keduanya saling menghargai
budaya masing-masing. Pak Mappeasse tidak pernah salah paham dengan makna
budaya etnis Tionghoa, karena pak Mappeasse sangat menghargai, menghormati
126
dan toleransi terhadap perbedaan budaya tersebut. Apalagi menyangkut keyakinan
pak Mappeasse tidak pernah menyinggung hal itu karena takut terjadi
kesalahpahaman sehingga menghambat proses komunikasi. Seperti yang
diungkapkannya sebagai berikut :
“Yah meskipun kita berbeda budaya tetapi tidak pernah ji ada salah
paham mengenai budaya, karena saya liat etnis Tionghoa naterima ji jg
budaya ta, bahkan ada yang ikut sama kita. etrus saya liat budayanya
tidak terlalu muncul pi di wajo. kalo masalah keyakinan atau budaya tidak
pernah ji jadi penghambat dalam berkomunikasi, karena itu tadi saling
menghargai, dan saling toleransi.”
Informan VIII
Informan kedelapan, H. Muktamar tinggal di daerah pasar Jl.RA.Kartini.
pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang. Pak Muktamar selama mengenal
masyarakat etnis Tionghoa tidak pernah berselisih dan hubungannya berjalan
baik. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
“Saya tidak pernah berselisih paham dengan penduduk etnis Tionghoa,
karena memang tidak ada masalah yang sifatnya mengarah kesana,
apalagi etnis Tionghoa dan etnis Bugis hubungannya sangat harmonis
dan sudah berbaur, interaksi dan komunikasi kita berjalan apa adanya.
Walaupun ada masalah yang terjadi itu selalu diselesaikan secara
kekeluargaan agar tidak menimbulkan konflik. Setidaknya dengan
kehadiran etnis Tionghoa mendatangkan kerjasama yang baik kita dapat
saling bertukar pengalaman, apalagi etnis Tionghoa dan etnis Bugis
sama-sama punya profesi yaitu berdagang jadi sangat membantu satu
sama lain. Secara pribadi saya menilai etnis Tionghoa semuanya baikbaik saja tidak ada masalah, saling menghargai dan saling mengerti”.
Seperti yang diungkapkan Pak muktamar bahwa faktor yang berpengaruh
terhadap proses komunikasi adalah saling menghargai dan saling mengerti. Agar
tidak terjadi konflik atau pun berselisih paham dengan etnis Tionghoa.
127
Informan IX
Informan kesembilan, penulis melakukan wawancara dengan H.Kade yang
merupakan penduduk asli Kabupaten Wajo yang tinggal d pasar sentral. beliau
sudah tinggal di Kabupaten Wajo selama 67 Tahun. Seperti yang diungkapkannya
sebagai berikut :
“Kalo secara pribadi. Alhamdulillah sampai sekarang saya tidak pernah
berselisih dengan etnis Tionghoa, justru hubungan kita sangat akrab.
Tetangga di depan sering silaturahmi kesini, hampir tiap hari mereka
datang ke toko saya sekedar untuk ngobrol-ngobrol. Bahkan karyawan
saya pernah bilang kenapa tiap hari kesini, terus dia mengatakan kalo
h.kade katanya sangat baik. Jadi memang kita ini sudah seperti saudara
tidak ada perasaan-perasaan tidak enak terhadap etnis Tionghoa.”
Secara pribadi H.Kade mempunyai hubungan yang baik dengan etnis
Tionghoa, tidak pernah terjadi konflik atau semacamnya, memang selama ini
hubungan dengan masyarakat etnis Tionghoa sudah seperti keluarga.
Informan X
Pada Informan kesepuluh, penulis melakukan wawancara dengan Bapak
Herwansyah tinggal di Jl.Ninnong dan pekerjaannya sebagai wiraswasta.
Intensitas pertemuan sejak dulu antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa
membuat hubungan keduanya harmonis sampai sekarang. Pembicaraaan Pak
Herwansyah dengan masyarakat etnis Tionghoa tidak hanya membicarakan
tentang pekerjaan, tetapi semua hal bisa kita bicarakan termasuk hal-hal yang
bersifat pribadi sering dibicarakan. Pak herwansyah dengan sahabatnya yang juga
dari etnis Tionghoa tidak tanggung untuk membicarakan hal pribadi masingmasing, misalkan membahas masalah kondisi keuangan, membahas masalah
kondisi keluarga, kondisi pekerjaan bahkan sampai ke hal yang sangat pribadi
128
pun tidak ada yang disembunyikan. Pak Herwansyah ketika berkomunikasi
dengan etnis Tionghoa merasa nyaman, keduanya saling terbuka dan saling
percaya. Intensitas pertemuan yang tinggi diantara keduanya membuat hubungan
tersebut jauh dari konflik atau perselisihan. Seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Saya kan kayak saudarami sama mereka, apalagi sama ini temanku yang
dari etnis tionghoa juga, tapi saya tidak pernah anggap dia etnis tionghoa
karena dia lahir disini juga. Kalo bicaraka sama mereka banyak sekali
yang kita bicarakan, apalagi kalo akrab sekali meki, bisaki curhat juga
tentang masalaha pribadi ta, dia pun juga begitu sama kita. Sebenarnya
saya juga heran kenapa dia bisa curhat masalah pribadinya sama kita
padahal itu kan aib seseorang.ternyata lama kelamaan baru saya tau kalo
etnis tionghoa itu sangat percaya sama orang bugis. apalagi kalo dekat
sekali, pasti napercaya ki. Jadi kalo bicara ka sama itu temanku, saling
terbuka, saya juga tidak merasa berat kalo masalah cerita karena itu tadi
sudah kayak saudarami.”
Pak Herwansyah senang bisa memiliki hubungan yang baik dengan warga
etnis Tionghoa, banyak hal yang ia pelajari dari budaya etnis Tionghoa seperti
cara berdagang mereka dan selain itu Pak Herwansyah bisa mempelajari tentang
budaya-budaya etnis Tionghoa yang sering dilihat di TV atau Media Massa
dengan cara bertanya langsung kepada temannya. Pak Herwansyah juga senang
berkomunikasi dengan etnis Tionghoa. seperti yang diungkapkannya sebagai
berikut :
“Kalo menurut saya pribadi etnis Tionghoa itu enak diajak bicara karena
dia orangnya Royal sama kita, baik, tidak sombong, siapa saja ditemani
bergaul, bahkan sampe preman-preman itu dia bergaul, tapi yang penting
adalah saling menghargai.”
Sikap saling menghargai merupakan kunci yang digunakan Pak
Herwansyah untuk berbaur dengan masyarakat etnis Tionghoa sehingga hubungan
yang terjalin sampai sekarang berjalan dengan harmonis dan rukun, hampir tidak
ada konflik atau pun perselisihan.
129
Idealnya sebuah hubungan sosial dalam sebuah masyarakat haruslah
saling menghargai dan menghormati sesama. Hubungan yang baik dapat
menciptakan kehidupan bermasyarakat yang rukun damai, tanpa adanya konflik
yang berarti diantara kedua budaya yang bertemu.
Berikut hasil wawancara peneliti dengan masyarakat yang kawin silang
antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis :
Informan A
Peneliti melakukan wawancara dengan Bapak Chandra Hamdani yang
berprofesi sebagai wiraswasta dan salah satu pemilik warkop yang sering
dikunjungi oleh masyarakat etnis Bugis. Pak Chandra menikah dengan seorang
wanita yang berasal dari etnis Bugis sejak 12 Tahun yang lalu.
Pak Chandra :
“Awal pertemuan kami pada saat itu di wajo yah, kami saling mengenal
sejak 20 tahun yang lalu dan dari situlah kami bermula menjalin suatu
hubungan.”
Ibu Nurdiah :
“Saya ketemu dengan suami saya itu 20 tahun yang lalu, saya tidak
pernah menyangka bakalan ketemu dengan orang yang beda suku apalagi
sampai mejadi suamiku sekarang. tetapi karena namanya jodoh yah
beginimi.”
Berdasarkan penuturan baik dari Pak Chandra maupun Ibu Nurdiah
mereka saling bertemu sejak 20 Tahun yang lalu dan sejak itulah mereka menjalin
hubungan selama melakukan pendekatan. Walaupun berbeda etnis, namun
hubungan mereka langgeng sampai akhirnya mereka menikah setelah berpacaran
selama 10 tahun. Pak Chandra pun melamar Ibu Nurdiah kepada orang tua Ibu
Nurdiah.
130
Pak Chandra :
“Suka dukanya banyak sekali disaat saya masih pacaran dengan istriku,
awal-awal kita pacaran itu susah sekali karena perbedaan budaya
diantara kita, saya dari etnis Tionghoa dan istriku dari etnis Bugis.selama
satu dua tahun hubungan saya itu sulit sekali yah karena masing-masing
orang tua awalnya tidak setuju, apalagi pas saya bilang sama orang tua
kalo calon istriku orang bugis. jadi saat itu sangat berat.barulah sepuluh
tahun kita pacaran akhirnya orang tua saya setuju, karena saya juga
sudah terlanjur suka sama istriku.
Ibu Nurdiah :
“Kalo suka dukanya banyak sekali, termasuk awal-awal kita pacaran
orang tua tidak setuju karena kita beda etnis. Keluarga saya juga
agamanya kuat, jadi berat sekali. Itu saya rasakan pada saat saya
pacaran satu dua tahun, tetapi pas sepuluh tahun saya pacaran barumi
orang tua setuju dengan syarat suamiku masuk islam. Karena kita saling
suka akhirnya saya menikah dan suamiku akhirnya masuk islam.
Sebelum menikah pasangan ini sempat terkendala diawal-awal karena
perbedaan etnis diantara keduanya. Bapak dari Ibu Nurdiah awalnya tidak setuju
karena suaminya dari etnis Tionghoa, tetapi karena saat itu Pak Chandra mau
masuk islam sebagai syarat agar bisa menikah dengan istrinya akhirnya jadilah
pernikahan itu. Karena saling suka apa boleh buat keluarga masing-masing
memberikan restu kepada Pak Chandra dan Ibu Nurdiah untuk menikah.
Setelah menikah, hubungan keluarga Pak Chandra dengan Ibu Nurdiah
tidak pernah terjadi konflik yang berarti, karena Pak Chandra sudah paham betul
dengan budaya etnis Bugis. Selama sepuluh tahun berpacaran Pak Chandra belajar
tentang kebudayaan Ibu Nurdiah, jadi pada saat setelah menikah perbedaanperbedaan tersebut tidak lagi menjadi penghambat dalam hubungan rumah
tangganya.
131
B.
Pembahasan
1. Proses Komunikasi Antarbudaya Etnis Tionghoa dan Etnis Bugis di
Sengkang, Kabupaten Wajo
Komunikasi adalah suatu proses, dimana komunikasi merupakan aktivitas
yang dinamis, aktivitas yang terus berlangsung secara berkesinambungan
sehingga ia terus mengalami perubahan. Komunikasi yang berlangsung antara
etnis Tionghoa dan etnis Bugis merupakan suatu kegiatan yang berlangsung terusmenerus.
Setelah melakukan pengamatan yang mendalam pada proses komunikasi
antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis, maka penulis memberikan analisa
tentang fenomena yang ada dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Proses
komunikasi yang terjadi di Sengkang, ditandai dengan tiga proses yang mendasar
yakni komunikasi antarpersonal, komunikasi sosial dan lingkungan komunikasi
ditinjau dari variabel-variabel komunikasi yang bermanfaat dalam menganalisa
suatu interaksi dari perspektif komunikasi.
Komunikasi
sosial
berkaitan
dengan
komunikasi
antarpersonal
(antarpribadi), dimana melibatkan dua orang atau lebih yang berbeda budaya
saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dalam hubungan ini terjadi proses
saling mempengaruhi, proses saling mempengaruhi dalam kegiatan pergaulan
antar individu ini, disebut komunikasi. Setiap hari etnis Tionghoa dan etnis Bugis
melakukan interaksi dan komunikasi antarpribadi berbadasarkan atas kebutuhan
informasi, pengetahuan yang dimilikinya, pengalaman-pengalaman pribadinya,
menyangkut kehidupan sehari-hari dimasyarakat, partisipasi dan persetujuan
132
dalam bidang tertentu, misalnya dalam bidang perdagangan. Etnis Tionghoa
hampir tiap hari bertemu dan berkomunikasi dengan etnis Bugis, bukan hanya
membahas pekerjaan, melainkan membahas hal-hal lain seperti kondisi sosial,
politik namun volume politik tidak terlalu besar karena di Kabupaten Wajo
masyarakat lebih fokus kepada usaha masing-masing, selain itu kadang membahas
masalah pribadi seperti mengeluarkan unek-unek, isi hati saling bertukar pikiran
meminta saran dan pendapat, membicarakan kondisi keluarga, anak-anak. Bukan
hanya itu, kedua etnis tersebut juga membicarakan tentang budaya mereka
masing-masing. Etnis Tionghoa mempelajari budaya etnis Bugis dengan cara
mengamati dan menanyakan langusng jika ada yang tidak dipahami tetapi
sebagian besar Etnis Tionghoa sudah paham dengan budaya etnis Bugis karena
sejak dulu mereka sudah berbaur dan secara tidak langsung etnis Tionghoa paham
karena sering berinteraksi dengan masyarakat etnis Bugis. bukan hanya itu etnis
Tionghoa sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah
yang menampilkan berbagai macam budaya dari etnis Bugis. Sejauh ini etnis
Tionghoa mampu beradaptasi dengan budaya etnis Bugis, timbul perasaan
memiliki karena mereka menganggap bahwa kita ini adalah warga asli yang
besrmukim di Kabupaten Wajo. Dengan melakukan komunikasi antarpribadi
(antarpersona) diharapkan saling mengisi kekurangan dan kelebihan masingmasing. Hubungan komunikasi antarpribadi diantara mereka terjalin akrab bahkan
sudah seperti keluarga sendiri begitu juga dengan hubungan sosial diantara
mereka antara satu dengan yang lainnya saling mengenal. Komunikasi sosial dan
komunikasi antarpribadi etnis Tionghoa dan etnis Bugis berjalan efektif karena
133
pihak-pihak yang berkomunikasi sudah saling mengenal dan saling menghargai.
Komunikasi sosial yang mencakup komunikasi antarpersona dan komunikasi
massa, ketika bertemu selain membicarakan masalah yang disiarkan lewat televisi
dan radio perkembangan tekhnologi membuat mereka tidak ketinggalan akan
informasi. Ungkapan tersebut di atas membuktikan bahwa keseharian mereka juga
membicarakan berita yang disiarkan di media, seperti TV dan Radio. Selain
masalah perdagangan pemberitaan media merupakan salah satu hal yang sering
diperbincangkan oleh mereka ketika bertemu atau berkumpul.
Lingkungan komunikasi antar etnis Tionghoa dan etnis Bugis di lokasi
penelitian diakui oleh informan berjalan sangat intens. Pergaulan atau interaksi
itu, dimulai dari lingkungan pertetanggan, lingkungan kerja, perkumpulan
olahraga dan lingkungan mereka bertemu dan berkumpul saling berkomunikasi
baik secara individu dan kelompok.
Lingkungan komunikasi juga turut memberi andil dalam mempercepat
proses komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis misalkan ketika bertemu
di jalan saling menyapa, ketika bertemu di luar lingkungan tempat tinggal seperti
saat bertemu di acara kawinan, acara hakikah, orang berduka, perayaan-perayaan
hari jadi Wajo, acara pesta rakyat, jadi lingkungan komunikasi bukan hanya
terpaku pada satu tempat saja melainkan semua tempat mereka gunakan untuk
berinteraksi dan berkomunikasi. Lingkungan komunikasi juga menjadi tempat
belajar bagi etnis Tionghoa untuk memahami budaya etnis Bugis dengan cara ikut
berpartisipasi jika diundang untuk hadir misalkan pada acara hakikah, pesta
134
perkawinan, orang berduka, perayaan hari ulang tahun Wajo dan acara-acara yang
menampilkan kebudayaan etnis Bugis.
Selain proses diatas, menurut Koenjaraningrat (1995:45), ada tujuh buah
kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan di dunia
yang dapat mendokong proses komunikasi antarbudaya yaitu :
a. Bahasa
Salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia yang merupakan syarat
berlangsungnya suatu interaksi adalah pengetahuan tentang bahasa. Bahasa adalah
suatu alat yang dipergunakan ataupun dipakai manusia dalam berkomunikasi dan
berinteraksi dengan sesama manusia.
Etnis Tionghoa yang sudah bertahun-tahun menetap bahkan lahir dan
besar di Sengkang, Kabupaten Wajo tentunya sudah sangat pasif berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa bugis. etnis Tionghoa dalam
berkomunikasi dengan penduduk setempat tidak mengalami hambatan karena
mereka sudah pasif berbahasa bugis, bahkan dari mereka sangat jarang
menggunakan bahasa mandarin ke sesama etnis Tionghoa lebih banyak
menggunakan bahasa Indonesia dan bugis. jadi pada umumnya di Kabupaten
Wajo menggunakan bahasa Indonesia, bugis dalam pergaulan sehari-harinya.
b. Sistem Ilmu Pengetahuan
Latar belakang pendidikan merupakan suatu hal yang memudahkan proses
komunikasi antarbudaya. etnis Tionghoa dan Etnis Bugis mempunyai kesamaaan
budaya berdagang jadi kedua etnis dapat saling bertukar informasi mengenai
135
pengalaman-pengalaman berdagang mereka. Setidaknya pertukaran informasi dan
pengetahuan diantara mereka memudahkan pekerjaan yang mereka kerjakan.
c. Organisasi Sosial
Organisasi sosial sebagai wadah pertemuan dan mempersatukan ide-ide
mereka diharapkan dapat menghindari konflik yang terjadi di masyarakat. Kerja
sama dalam bidang sosial yang melibatkan etnis Tonghoa dan etnis Bugis tidak
lain untuk lebih mempererat rasa persaudaraan diantara mereka dan untuk
menghindari kecemburuan sosial di masyarakat.
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Mengenai sitem peralatan hidup dan teknologi, tergantung dari tingkat
pendapatan masyarakat di Kabupaten Wajo. Peralatan rumah tangga masyarakat
di Kabupaten Wajo baik etnis Tionghoa atau etnis Bugis pada umumnya
mengikuti perkembangan zaman. Seperti peralatan rumah tangga, mereka
menggunakan alat-alat modern, misalnya kompor gas, ac, radio, televisi dan radio
sebagai sarana hiburan. Peralatan rumah tangga dan teknologi yang disebutkan
diatas pada dasarnya dipakai oleh mereka yang mampu tetapi ada juga masyarakat
yang masih menggunakan peralatan tradisional bagi yang kurang mampu.
e. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sistem mata
pencaharian hidup lebih terfokus pada jenis pekerjaan
manusia untuk bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka mereka tidak hanya memiliki satu jenis pekerjaan, tetapi ia juga
menyisihakn waktu diluar pekerjaannya dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya
136
baik terhadap diri sendiri maupun terhadap anggota keluarganya. etnis Tonghoa
dan etnis Bugis mempunyai profesi yang sama yaitu suka berdagang.
f. Religi
Religi merupakan suatu sistem yang merupakan nilai budaya ritual.
Masyarakat di Kabupaten Wajo mayoritas agama islam dan melaksanakan
berbagai kegiatan yang mereka anggap sebagai bagian dari syariat islam.
Walaupun etnis Tionghoa mempunyai agama yang berbeda tetapi itu tidak
mempengaruhi interaksi kedua Etnis tersebut. Sikap saling menghargai yang
dimiliki oleh masyarakat wajo sehingga tidak pernah menimbulkan konflik,
stereotipe-streotipe diantara mereka hampir tidak ada, mereka hidup dalam
kerukunan sebagai umat yang beragama.
g. Kesenian
Setiap etnis dan suku bangsa mempunyai ciri khas tersendiri mengenai
kesenian atau budaya masing-masing. etnis Tionghoa mempunyai kesenian
berbeda sebaliknya etnis Bugis juga mempunyai kesenian yang berbeda.
Kegiatan komunikasi yang berlangsung diantara keduanya menuju pada
satu pencapaian yakni pembauran. Maksudnya adalah ketika bertemunya dua
budaya yang berbeda menjadi satu, sehingga tidak ada budaya yang dominan baik
budaya etnis Tionghoa atau budaya etnis Bugis dan menjadikan komunikasi
sebagai alat untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada guna mencapai
hubungan yang lebih baik, maka pembauran pun telah dicapai keduanya.
Hubungan antara si A (Etnis Tionghoa) dan si B (Etnis Bugis) dapat dijelaskan
137
secara rinci dalam teori konvergensi budaya yang dikemukakan oleh Kincaid dan
Everett M. Rogers.
Teori konvergensi budaya sering pula disebut sebagai model konvergensi
atau model interaktif. Model komunikasi menurut pendekatan konvergensi
menetapkan satu fokus utama yaitu hubungan timbal balik antara partisipan
komunikasi karena mereka saling membutuhkan. Komunikasi disini dilihat tidak
sebagai komunikasi yang berlangsung secara linear dari sumber kepada penerima,
melainkan sebagai sirkum atau melingkar. Yaitu proses dimana sumber dan
penerimaan berganti-ganti peran sampai akhirnya mencapai tujuan, kepentingan,
dan pembauran.
Ada empat kemungkinan hasil komunikasi konvergensi yaitu sebagai
berikut :
1. Dua pihak saling memahami makna informasi dan menyatakan setuju.
2. Dua pihak saling memahami makna dan menyatakan tidak setuju.
3. Dua pihak tidak memahami informasi namun menyatakan setuju.
4. Dua pihak tidak memahami makna informasi dan menyatakan tidak setuju.
Ada tiga model yang termasuk dalam teori konvergensi budaya, yaitu (1)
Model Tumpang Tindih (Overlapping of interest); (2) Model spiral (Helikas); dan
(3) Model Zigzag. Proses komunikasi yang terjadi antara etnis Tionghoa dan etnis
Bugis dapat dijelaskan dalam model tumpang tindih berikut ini :
A
AB
B
138
Gambar 4.1
Model Konvergence Lingkaran Tumpang Tindih
Sumber : Liliweri (2001)
Manakala ruang tumpang tindih makin besar maka semakin banyak
pemahaman dan pengalaman yang sama dan komunikasi semakin efektif. Tidak
ada sebutan pengirim dan penerima, semua partisipan sama derajatnya. Oleh
karena itu, melalui penelitian ini penulis berupa untuk melihat seberapa besar
ruang tumpang tindih dalam proses komunikasi yang dilakukan oleh etnis
Tionghoa dan etnis Bugis.
Etnis tionghoa yang bertahun-tahun lamanya bermukim di kabupaten
wajo, bahkan sebagian besar dari mereka lahir dan besar di tengah-tengah
masyarakat etnis Bugis. Hubungan antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis sudah
berbaur dan menyatu. Intensitas pertemuan yang sering dilakukan mengakibatkan
hubungan tersebut semakin akrab dan tidak ada jurang untuk tidak berkomunikasi.
Interaksi sosial yang baik antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis dapat dijelaskan
dalam gambar di bawah ini yaitu teori konvergensi budaya yang menggunakan
model tumpang tindih, sebagai berikut :
A
AB
B
Gambar 4.2 Model tumpang tindih proses komunikasi antarbudaya etnis
Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten Wajo pada tahap
pembauran.
139
Gambar diatas merupakan keadaan komunikasi antara etnis Tionghoa dan
etnis Bugis di Sengkang, kabupaten Wajo. Awalnya ruang tumpang tindih itu
kecil saat awal-awal pertemuan pertama antara etnis Bugis dengan etnis Tionghoa.
Namun seiiring berjalannya waktu, ruang tumpang tindih itu semakin besar.
Ruang tumpang tindih itu yang makin besar menandakan makin banyaknya
pengalaman yang sama diantara keduanya dan komunikasi berjalan semakin
efektif. Hal ini ditandai dengan hubungan keduanya antara etnis Tionghoa dan
etnis Bugis, yang saling memahami cara berkomunikasi masing-masing sehingga
tercipta rasa saling menghargai dan menghormati sesama.
Model tumpang tindih ini menjelaskan bahwa baik ruang A (Etnis
Tionghoa) maupun B (Etnis Bugis), masing-masing memiliki makna mereka
sendiri untuk simbol-simbol yang mereka pergunakan bersama. Ruang AB,
dimana kedua lingkaran bertumpukan, merupakan makna yang sama antara kedua
pelaku komunikasi tersebut untuk simbol-simbol yang dipergunakan bersama.
Kadang-kadang bagian yang bertumpuk (makna yang sama) sangat besar pada
saat orang berkomunikasi, tetapi ada kalanya hampir tidak ada bagian yang
bertumpukan.
Model ini menekankan pada komunikasi sebagai suatu proses penciptaan
dan pembagian bersama informasi untuk tujuan mencapai saling pengertian
bersama sehingga menciptakan pembauran antara pelakunya. Pihak-pihak yang
terlibat dalam proses komunikasi berganti-ganti peran sebagai sumber atau pun
penerima, yang diistilahkan sebagai transceivers, sampai akhirnya mencapai
140
tujuan, kepentingan atau pengertian bersama sehingga dapat menciptakan
pembauran.
Hal ini dapat dilihat dari hubungan etnis Tionghoa dan etnis Bugis yang
sangat berbaur dan menyatu. Komunikasi sosial yang terjadi dalam proses
komunikasi bukan hanya membahas masalah pekerjaan ataupun masalah
kehidupan sosial melainkan keduanya sudah terbuka dan saling percaya untuk
berkomunikasi
lebih
dengan
membahas
ranah-ranah
pribadi.
Misalkan
mengeluarkan unek-unek atau isi hati, saling bertukar pikiran, saling meminta
saran dan pendapat. Timbul perasaan aman dan nyaman keduanya ketika
berkomunikasi sehingga tidak muncul prasangka-prasangka yang bisa menganggu
komunikasi keduanya. Keduanya saling memberikan pengaruh, dimana memiliki
budaya yang sama yaitu berdagang sehingga mereka saling bekerja sama dan
saling menguntungkan. Budaya turut memberi andil dalam proses komunikasi,
dimana keduanya dapat saling memahami budaya masing-masing, bahwa etnis
Tionghoa mampu beradaptasi dengan budaya etnis Bugis sehingga jauh dari
konflik atau kesalahpahaman.
Mencapai pengertian bersama sampai ke tahap pembauran merupakan
proses yang rumit dan berbelit-belit. Banyak sekali yang dapat keliru dalam
proses ini. Makna tepat dari pesan yang diciptakan oleh sumbernya, boleh
dikatakan tidak pernah sama tepat maknanya bagi seseorang yang menguraikan
pesan itu. Dua orang dapat berkomunikasi berkali-kali, sampai kedua belah pihak
kurang lebih dapat memahami maksud satu sama lain. Semakin lancar
kemampuan
kedua
pelaku
komunikasi
tersebut
dalam
proses
saling
141
berkomunikasi, maka semakinbertambah pula kemungkinan yang ada untuk
saling memahami makna masing-masing.
Konkretnya, seluruh proses komunikasi pada akhirnya menggantungkan
keberhasilan pada tingkat ketercapaian tujuan komunikasi, yaitu sejauh mana para
partisipan memeberikan makna yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Proses
komunikasi seperti inilah yang dapat dikatakan sebagai komunikasi antarbudaya
yang efektif.
Kata Gudykunst, dalam Liliweri (2002;227) yaitu jika dua orang atau lebih
berkomunikasi antarbudaya secara efektif maka mereka akan berurusan dengan
satu atau lebih pesan yang ditukar (dikirim dan diterima). Mereka harus bisa
memberikan makna yang sama atas pesan. Singkat kata, komunikasi yang efektif
adalah komunikasi yang dihasilkan oleh kemampuan para partisipan komunikasi
lantaran mereka berhasil menekan sekecil mungkin kesalahpahaman.
Triandis, dalam Liliweri (2002: 228) pun menegaskan bahwa efektivitas
komunikasi
itu
meliputi
isomorphic
attributions,
yaitu
bagaimana
‘menggambarkan, (description) sesuatu menjadi sama.
2. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Proses Komunikasi
Antarbudaya Etnis Tonghoa dan Etnis Bugis di Sengkang, Kabupaten
Wajo.
Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situsional. Ini berarti
bahwa komunikator harus memperhatikan situasi ketika komunikasi berlangsung,
sebab situasi amat berpengaruh dengan reaksi yang akan timbul setelah proses
komunikasi.
142
Komunikasi yang berlangsung antara komunikator dan komunikan akan
berujung pada berhasil atau tidaknya proses tersebut. Jalannya komunikasi antara
etnis Tionghoa dan etnis Bugis selama ini berjalan dengan mulus karena keduanya
dapat memahami budaya masing-masing. Ada faktor pendukung dan ada faktor
penghambat dalam proses komunikasi antara keduanya.
Komunikasi merupakan keterampilan penting dalam hidup setiap manusia.
Pada dasarnya, manusia adalah makhluk sosial yang bergantung. Manusia adalah
makhluk sosial sehingga tidak bisa hidup secara mandiri dan pasti membutuhkan
orang lain untuk mengatasi kendala yang terjadi dalam kehidupannya. Namun, tak
sekedar komunikasi saja dibutuhkan, tetapi pemahaman atas pesan yang
disampaikan.
Pemahaman
seseorang
harus
tepat
terhadap
pesan
yang
disampaiakan oleh komunikator. Jika tidak, maka komunikasi yang baik dan
efektif tidak akan tercipta.
Komunikasi yang berhasil adalah komunikasi yang berlangsung efektif
antara komunikator dan komunikan, begitu pun sebaliknya. Efektifnya suatu
proses komunikasi berarti meningkatkan kesamaan arti pesan yang dikirim
dengan pesan yang diterima. Komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis
dapat dikatakan berhasil bila keduanya mampu menciptakan kesamaan akan arti
dari suatu pesan.
Sejauh ini, etnis Tionghoa mampu melakukan percakapan dengan
masyarakat etnis Bugis dan menggunakan bahasa Bugis. Apalagi sebagian besar
etnis Tionghoa ini lahir dan besar di Sengkang, Kabupaten Wajo, jadi tidaklah
sulit baginya untuk berkomunikasi dengan etnis Bugis.
143
Proses komunikasi tak selamanya berhasil atau pun efektif dilakukan oleh
para pelaku komunikasi. Akan tetapi jika perbedaaan budaya tersebut dapat
dipahami dan dimengerti maka budaya yang tadinya dapat menghambat
komunikasi dapat berubah menjadi pendukung dalam proses komunikasi.
Budaya kata pung’ di dalam masyarakat etnis Bugis sudah menjadi
kebiasaan yang sering diucapkan ketika bertemu dengan orang yang lebih tua dari
kita. Pung’ merupakan ucapan untuk saling menghormati antar sesama. Budaya
inilah yang diadopsi oleh etnis Tionghoa. Budaya pung’ ini sangat mendukung
dalam proses komunikasi.
Faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antara etnis
Tionghoa dan etnis Bugis sekaligus menjadi faktor pendukung adalah Pertama,
ketika keduanya dapat saling memahami dan saling menghargai budaya masingmasing. Kedua, Dari segi bahasa karena kedua etnis ini menggunakan bahasa
Bugis. Ketiga, ketika kedua etnis tersebut terjadi sikap saling pengertian antar
etnis dalam suasana kebersamaan dan gotong royongan yang merupakan wujud
persaudaraan mereka. Terlihat dengan adanya sikap toleransi mereka, agar dapat
terhindar dari suatu perselisihan. Kadang yang terjadi antara etnis Tionghoa
dengan etnis Bugis hanyalah perbedaan pendapat namun itu tidak sampai
menghambat dalam melakukan proses komunikasi. Keempat adalah dimana etnis
Tionghoa sudah menyatu dengan etnis Bugis, sehingga di kabupaten Wajo
khususnya di Sengkang dapat kita lihat pembauran diantara etnis tersebut, yang
mana etnis Tionghoa kawin mawin dengan masyarakat pribumi, dan kawin mawin
itu yang menyebabkan banyak etnis Tionghoa yang masuk islam. Kelima, Ketika
144
kedua etnis berusaha untuk mempelajari kebudayaan masing-masing dengan cara
mengamati langsung dan bertanya tentang bagaimana budaya keduanya. Keenam
yaitu timbul rasa kepercayaan dan saling terbuka diantara kedua etnis. Ketujuh
adalah ketika etnis Tionghoa menganggap bahwa dirinya adalah warga asli yang
bermukim di Sengkang sehingga tidak menonjolkan kesukuannya, dan sebaliknya
etnis Bugis tidak pernah menganggap atau bersikap diskriminasi terhadap etnis
Tionghoa. Ada faktor pendukung dalam proses komunikasi berarti ada pula faktor
yang dapat menjadi penghambat dalam berkomunikasi dengan dua budaya yang
berbeda. Faktor penghambat Pertama, adalah minimnya pengetahuan tentang
budaya keduanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman makna budaya dari
kedua etnis tersebut. Kesalahpahamn tersebut juda dapat menghambat proses
komunikasi antara etnis tersebut.
Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat proses komunikasi antara
etnis Tionghoa dan etnis Bugis ini semakin disadari oleh keduanya. Hambatan
saat proses komunikasi antar keduanya semakin menipis seiring berjalannya
waktu, keduanya sudah mampu memahami budaya masing-masing. Budaya saling
menghargai yang selalu menjadi pegangan bagi masyarakat Wajo khususnya
masyarakat Sengkang dapat menciptakan hubungan yang harmonis dan jauh dari
konflik atau perselisihan. Hasil akhirnya adalah bahwa sejauh ini proses
komunikasi antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis yang sudah berpuluh-puluh
tahun lamanya bisa mencapai suatu pembauran. Faktor-faktor yang mendukung
dan menghambat dalam proses pkomunikasi pun dapat dijadikan sebagai alat
untuk mencapai suatu hubungan yang baik sehingga mencapai tahap pembauran.
145
BAB V
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang
komunikasi etnis Tionghoa dan Eetnis Bugis di Kabupaten Wajo, maka ada
beberapa hal yang perlu disimpulkan antara lain sebagai berikut :
1.
Proses komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di
Sengkang berjalan harmonis. Etnis Tionghoa yang bertahun-tahun
lamanya menetap tidak mengalami kesulitan dalam beradapatasi dengan
masyarakat etnis Bugis karena memang mereka lahir dan besar di
Sengkang. Sejak dulu mereka sudah berbaur dan berinteraksi dengan
masyarakat sekitar. Keduanya saling memahami budaya masing-masing
sehingga menciptakan hubungan yang rukun dan harmonis di lingkungan
masyarakat. Etnis Tionghoa yang sudah menetap lama di Sengkang tidak
sulit untuk mempelajari budaya etnis Bugis, karena sejak kecil sudah
berbaur dan menyatu dengan budaya setempat. Proses komunikasi
antarbudaya ditandai dengan tiga proses yang mendasar yang ditinjau dari
variabel komunikasi dimulai dengan: Pertama, Komunikasi Antrapersonal
Kedua, Komunikasi Sosial berkaitan dengan komunikasi antarpersona
(antarpribadi), etnis Tionghoa dan etnis Bugis melakukan interaksi dan
komunikasi
antarpribadi
berdasarkan
kebutuhan
dan
informasi,
pengetahuan yang dimilikinya, pengalaman-pengalaman pribadinya, kerja
sama menyangkut kehidupan sehari-hari dimasyarakat dan saling
146
berpartisipasi. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bertemu dan
membicarakan banyak hal seperti politik, ekonomi, budaya, dan kehidupan
sehari-hari. Ketiga, Lingkungan komunikasi antara etnis Tionghoa dan
etnis Bugis dimulai dari lingkungan kerja, lingkungan tetangga dan
perkumpulan olahraga dan lingkungan mereka bertemu dan berkumpul
saling berkomunikasi baik secara individu dan kelompok. Lingkungan
komunikasi
turut
memberikan
andil
dalam
mempercepat
proses
komunikasi antarbudaya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis dimana
mereka bergaul dan berinteraksi. Selain ketiga proses diatas ada 7 buah
kebudayaan yang dapat disebut sebagai isi pokok dari setiap kebudayaan
didunia yang dapat mendorong proses komunikasi antarbudaya yaitu :
bahasa, sistem ilmu pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup
dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup dan kesenian.
2.
Ada beberapa faktor yang mendukung dan menghambat proses
komunikasi antarbudaya etnis Tionghoa dan etnis Bugis di Sengkang.
Faktor yang mendukung adalah Pertama, ketika keduanya dapat saling
memahami dan saling menghargai budaya masing-masing. Kedua, Dari
segi bahasa etnis Tionghoa sangat pasif
menggunakan bahasa Bugis.
Ketiga, ketika kedua etnis tersebut terjadi sikap saling pengertian antar
etnis dalam suasana kebersamaan dan gotong royongan yang merupakan
wujud persaudaraan mereka. Terlihat dengan adanya sikap toleransi
mereka, agar dapat terhindar dari suatu perselisihan. Kadang yang terjadi
antara etnis Tionghoa dengan etnis Bugis hanyalah perbedaan pendapat
147
namun itu tidak sampai menghambat dalam melakukan proses
komunikasi. Keempat adalah dimana etnis Tionghoa sudah menyatu
dengan etnis Bugis, sehingga di Sengkang dapat kita melihat pembauran
kedua etnis tersebut, yang mana etnis Tionghoa kawin mawin dengan
masyarakat pribumi, dan kawin mawin itu yang menyebabkan banyak
etnis Tionghoa yang masuk islam. Kelima, Ketika kedua etnis berusaha
untuk mempelajari kebudayaan masing-masing dengan cara mengamati
langsung dan bertanya tentang bagaimana budaya keduanya. Keenam yaitu
timbul rasa kepercayaan dan saling terbuka diantara kedua etnis tersebut.
Ketujuh adalah ketika etnis Tionghoa menganggap bahwa dirinya adalah
warga asli yang bermukim di Sengkang sehingga tidak menonjolkan
kesukuannya, dan sebaliknya etnis Bugis tidak pernah menganggap atau
bersikap diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Ada faktor pendukung
dalam proses komunikasi berarti ada pula faktor yang dapat menjadi
penghambat dalam berkomunikasi dengan dua budaya yang berbeda.
Faktor penghambat Pertama, adalah minimnya pengetahuan tentang
budaya keduanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman makna budaya
dari kedua etnis tersebut. Kesalahpahamn tersebut juga dapat menghambat
proses komunikasi antara etnis tersebut.
2.
Saran
1. Proses komunikasi antarbudaya antara etnis Tionghoa dan etnis Bugis
yang meliputi, Komunikasi Antapersonal, Komunikasi Sosial, dan
Lingkungan Komunikasi agar tetap dipertahankan dan ditingkatkan demi
148
persatuan dan kesatuan masyarakat. Nantinya agar hubungan-hubungan
yang sudah terjaga, kondisi harmonis dan rukun dijaga seterusnya agar
tidak menimbulkan konflik atau perselisihan di masyarakat.
2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses komunikasi antarbudaya
dapat terjadi dimana dan kapan saja saat seseorang melakukan interaksi
dengan orang lain. Hubungan yang sudah terjalin dengan baik antara
kedua etnis sebaiknya dipertahankan dan dijaga, demi kelancaran
hubungan sosial diantara keduanya. Untungnya faktor-faktor yang
menghambat proses komunikasi dapat diatasi teratasi dengan cepat,
seiiring berjalan waktu, faktor penghambat itu sudah dapat dipelajari oleh
kedua
etnis
tersebut.
Selanjutnya
adalah
mempertahankan
dan
menjaganya. Penulis berharap faktor yang mendukung tersebut dapat
dipertahankan, sedangkan faktor yang menghambat proses komunikasi
dapat berubah menjadi faktor yang dapat mendukung proses komunikasi
diantara keduanya.
3. Melihat deskripsi masyarakat dari para informan yang hidup dalam
suasana kekeluargaan dan persaudaraan diharapkan agar tetap terjaga
dengan baik.
149
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Wajo. 2011. Kabupaten Wajo Dalam Angka
2011. Katalog tidak untuk Diterbitkan. Badan Pusat Statistik
Bahrum, Shaifuddin. 2003. Tionghoa Peranakan Makassar ( Pembauran Melalui
Perkawinan Antarbudaya). Makassar: Baruga Nusantara.
----------. 2008. Metamorfosis Warga Tionghoa Makassar Dalam 10 Tahun
Reformasi. Makassar: Baruga Nusantara
Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma, dan Diskursus
Tekhnologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana
Cangara, Hafied. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Devito, Joseph. 1997. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Book
Koenjaraningrat. 2004. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan
Kriyantono, Rachmat. 2006. Teknik Praktis Riset komunikasi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra
Pustaka Pelajar.
Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
----------. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:
LKIS
----------. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Muhammad, Arni. 2005. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara
Mulyana, Deddy 2000. Human Communication: Konteks-Konteks Komunikasi
Bandung: Remaja Rosdakarya
----------. 2003. Dasar-Dasar
Pustaka Pelajar
Komunikasi
Antarbudaya.
Yogyakarta:
150
----------. Deddy. 2005. Komunikasi Efektif (Suatu Pendekatan Lintasbudaya).
Bandung: Remaja Rosdakarya
----------. Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi
Antarbudaya (Panduan
Berkomunikasi Dengan Orang-Orang Berbeda Budaya) Bandung: Remaja
Rosdakarya.
----------.Deddy. 2007.
Rosdakarya
Pengantar
Ilmu
Komunikasi.
Bandung:
Remaja
Naing, Naidah. dkk. 2008. Wajo dalam Perspektif Arsitektur. Pustaka Refleksino
Nurhadiantomo. 2004. Konflik-Konflik Sosial Pri-nonpri dan Hukum Keadilan
Sosial. Universitas Muhammadiah Surakarta, Surakarta.
Riswandi.2009. Ilmu Komunikasi. Jakarta Barat: Graha Ilmu
Saefullah, Ujang 2007. Kapita Seleksi Komunikasi, Pendekataan Agama dan
Budaya. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Sihabuddin,Ahmad.2011.
Komunikasi
Multidimensi. Jakarta: Bumi aksara.
Antarbudaya,
Satu
Perspektif
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif. Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta
Suryadinata, Leo. 2003. Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa
Dari Asimilasi ke Multikulturalisme Jakarta: Pustaka LP3ES
Wiryanto.2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Grasindo
151
Download