pemanfaatan kelimpahan folikel melalui teknik superovulasi untuk

advertisement
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997
PEMANFAATAN KELIMPAHAN FOLIKEL MELALUI
TEKNIK SUPEROVULASI UNTUK MENINGKATKAN
SEKRESI ENDOGEN HORMON KEBUNTINGAN DAN
HORMON MAMOGENIK DALAM UPAYA PENINGKATAN
EFISIENSI REPRODUKSI DAN PRODUKSI DOMBA
WASNEN MANALU', M.Y . SUMARYADI 2 , SUDJATMoGo-1 dan ARYANI S. SATYANINGTIJAS I
JJurusan Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
zl aboratorium Fisiologi dan Rcproduksi, Fakultas Petemakan, Universitas Jenderal Soedirman
FFakultas Petemakon, Universitas Diponegoro
RINGKASAN
Suatu rangkaian penelitian tentang penggunaan teknik superovulasi uniuk meningkatkan
sekresi endogen hormon kebuntingan clan hormon mamogenik selama kebuntingan telah dilakukan
untuk memperbaiki pertumbuhan anak prenatal, pertumbuhan kelenjar susu clan produksi susu
dengan sasaran akhir peningkatan daya talian hidup anak, perbaikan pertumbuhan dan bobot sapih
anak, yang keseluruhannya menggambarkan perbaikan efisiensi reproduksi clan produksi hewan
mammalia . Penelitian pertaina mengukur pertumbuhan prenatal (embrio dan fetus), pertumbuhan
uterus dan pertumbuhan dan perkembangan differensial kelenjar susu pada umur kebuntingan 7
dar 15 minggu pada domba yang tidak dan yang disuperovulasi . Penelitian kedua, dengan protokol
percobaan yang sama dengan percobaan pertama, telah dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh
superovulasi terhadap pertumbuhan kelenjar susu, produksi susu, bobot lahir anak, pertumbuhan
anak prasapih, bobot sapih dan kematian prasapih . Hasil percobaan menunjukkan bahwa
superovulasi berhasil meningkatkan jumlah korpus luteum (dari 133 sampai 207%), sekresi
endogen progesteron (mulai dari 84 sampai 354%), pertumbuhan uterus (umilai dari 37 sampai
66%), rataan bobot embrio dan fetus (24 sampai 40%) sampai umur kebuntingan 15 mirggu .
Superovulasi juga meningkatkan pertumbuhan differensial kelenjar susu selama kebuntingan
berdasarkan gambaran kandungan kollagen, DNA dan RNA . Seperovulasi tidak nyata
mempengarulu bobot lahir anak, nanuin penampilan dan poster anak liasil superovulasi lebih besar
dan Iebill panjang seria lebilu seliat dan kuat . Superovulasi sangat dramatis meningkatkan
pertumbuhan kelenjar susu clan produksi susu (61%), dan menunmkan mortalitas serta
memperbaiki pertumbuhan prasapih dan bobot sapih anak, sehingga secara keseluruhan
meningkatkan efisiensi reproduksi dan produktivitas induk domba percobaan . Disimpulkan bahwa
teknik yang ditemukan ini mempunyai masa depan yang sangat baik untuk diterapkan, dan
mempunyai dampak yang sangat besar dalain pembangunan peternakan nasional .
Kata kunci : Superovulasi, progesteron, uterus, fetus, kelenjar susu, produksi susu
PENDAHULUAN
Daya reproduksi hewan mammalia sangat ditentukan oleh keberhasilan induk uniuk
menghasilkan anak yang sellat dan kuat pada saat penyapihan . Jumlah dan bobot anak yang
disapih ditentukan oleh bobot lahir anak, daya talian anak selama prasapih dan produksi susu
induk selama laktasi (OBST el al., 1980 ; SlrrAn4A et al., 1988 ; SITrAMA, 1992 ; TIESNAMURTI,
1992) . Bobot lahir anak ditentukan oleh pertumbuhan prenatal (selama di dalam kandungan) yang
55
SeminarNosional Peternakan don Veteriner 1997
merupakan kumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio clan fetus sampai
dilahirkan (DZIm, 1992) . Pertumbuhan prenatal ditentukan oleh lingkungan uterus clan plasenta
tempat embrio clan fetus dipelihara clan dibesarkan sebelum dilahirkan (MCDONALD, 1980 ;
ASHWORTH, 1992) . Pertumbuhan pada fase embrio sangat dipengaruhi oleh kesiapan endometrium
uterus untuk menyediakan makanan clan senyawa kimia lain (faktor pertumbuhan clan hormon)
yang selanjutnya akan memandu perkembangan embrio (GADOLFI et al ., 1992) . Pertumbuhan clan
perkembangan kelenjar uterus berada di bawah pengaturan hormon-hormon reproduksi yang
dihasilkan oleh ovarium selama siklus berahi clan oleh korpus luteum clan uterus itu sendiri selama
fase luteal siklus berahi atau awal kebuntingan (ERICKSON, 1987 ; NORMAN clan LITWACK, 1987 ;
BERNE clan LEVY, 1988 ; MULHOLLAND et al ., 1994 ; KEYS clan KING, 1995 ; TUJu clan MANALu,
1996x) .
Setelah organogenesis selesai (yang merupakan akhir fase embrio), embrio tersebut akan
masuk ke plasenta yang selanjutnya akan mendapatkan zat-zat makanan, untuk pertumbuhan clan
perkembangannya, dari sistim sirkulasi induk melalui plasenta (MCDONALD, 1980 ; FOWDEN,
1995) . Pertumbuhan fetus, dengan demikian, tergantung pada tingkat pertumbuhan dan
perkembangan yang dicapai pada periode embrio sebelumnya clan ketersediaan zat-zat makanan di
dalam sistim sirkulasi induk yang mencapai plasenta .
Sejak lahir sampai penyapillan, anak mammalia masih mengandalkan penyediaan makanan
oleh induk melalui sekresi kelenjar susu induk . Pertumbuhan dan daya tahan anak selanjutnya
dipenganihi oleh bobot lahir anak dan tingkat produksi susu induk selama laktasi (TIESNAMURTI,
1992). Produksi susu induk selama laktasi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel-sel epitel
kelenjar susu selama periode kebuntingan (ANDERSON, 1975 ; ANDERSON, 1985 ; SHEFFIELD dan
ANDERSON, 1985 ; TUCKER, 1985, TUCKER, 1987 ; WANG et al., 1990) clan ketersediaan zat-zat
makanan di kelenjar susu (WILDE clan KNIGHT, 1989) . Pertumbuhan clan perkembangan kelenjar
susu terutarna diatur oleh hormon-hormon mamogenik yang juga menupakan hormon kebuntingan
(estrogen, rclaksin, progesteron, clan laktogen plasenta) dengan kecukupan hormon-hormon
prolaktin, somatotropin, kortisol clan tiroksin (KNIGHT clan PEAKER, 1982 ; ANDERSON, 1985 ;
TUCKER, 1985 ; FORSYTH, 1986, TUX clan MANALII, 1996b) .
Dengan demikian, ketersediaan hormon-hormon kebuntingan yang dihasilkan oleh korpus
luteum clan plasenta (RICKETTS clan FLINT, 1980 ; SHELDRICK et al., 1981) selama periode
kebuntingan sangat berperan dalam pertumbullan jaringan uterus, pertumbullan embrio dan fetus,
perkembangan plasenta, dan pert umbullan clan perkembangan kelenjar susu serta produksi susu,
yang secara keselunihan akan menentukan keberhasilan induk untuk membesarkan anak sampai
penyapilian, yang menupakan tujuan akhir proses reproduksi .
RANGKUMAN HASIL PENELITIAN
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa konsentrasi progesteron selama siklus berahi
meningkat dengan meningkatnya jumlah korpus luteum (SUMARYADI dan MANALU, 1995) . Induk
yang mempunyai korpus lutemn yang lebill banyak juga mempunyai konsentrasi progesteron yang
lebill tinggi selama kebuntingan (MANALu el al., 1995) . Konsentrasi progesteron meningkat
dengan meningkatnya jumlah fetus yang dikandung clan dengan bertambalinya umur kebuntingan
(MANALu et al., 1995 ; SUMARYADI dan MANALu, 1996 ; MANALU dan SUMARYADI, 1997b) .
Pada hewan domba sebagai model hewan ternak politokus, semakin banyak anak yang
dikandung semakin kecil keberhasilan induk untuk membesarkan anak sampai lepas sapih
56
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
(BRADFORD et al., 1986) . Faktor apa yang menyebabkan keadaan tersebut ? Mengingat faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sejak dikandungan sampai penyapihan
adalah hormon kebuntingan dan hormon mamogenik, pola hormon tersebut kemudian diamati
lebih lanjut . Semakin banyak jumlah anak yang dikandung semakin kecil rataan bobot lahir anak,
padahal konsentrasi hormon progesteron dalam darah induk semakin meningkat (MANALU dan
SumARYADi, 1997a) . Semakin tinggi konsentrasi progesteron dalam darah induk dalam suatu
kelompok jumlah anak yang dikandung selama kebuntingan semakin besar pula bobot lahir anak,
namun sumbangan peningkatan progesteron terhadap peningkatan bobot lahir anak lebih kecil
dengan semakin meningkatkaa jumlah anak yang dikandung (MANALU dan SUMARYADI, 1995 ;
MANALU dan SUMARYADI, 1997a ; SumARYADi dan MANALU, 1997a) . Hasil pengamatan
selanjutnya menunjukkan bahwa rasio progesteron per ekor anak yang dikandung semakin
berkurang, jauh lebih rendah dibandingkan dengan pada induk domba yang mengandung anak
satu . Fakta ini mengandung arti bahwa konsentrasi hormon yang tersedia untuk merangsang
pertumbuhan dan perkembangan uterus dan plasenta dalam pemeliharaan kebuntingan semakin
sedikit per ekor fetus yang dikandung . Dengan demikian, kemungkinan bahwa pertumbuhan dan
perkembangan uterus yang dapat dirangsang oleh tingkat konsentrasi honnon yang ada tidak
mencukupi untuk menopang pertumbuhan jaringan uterus dan plasenta untuk memberi makan dan
melindungi serta membesarkan anak yang sedang dikandung .
Bagaimana hubungan antara peningkatan konsentrasi hormon kebuntingan selama
kebuntingan dengan perkembangan kelenjar susu ? Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu selama kebuntingan sejalan dengan peningkatan
konsentrasi progesteron dalam darah induk (MANALu dan SUMARYADi, 1997b; SUMARYADi dan
MANALU, 1997b) . Induk yang mempunyai hormon progesteron yang lebih tinggi selama
kebuntingan mempunyai kelenjar susu yang berkembang lebih baik pada akhir kebuntingan dan
menghasilkan susu yang lebili banyak pada saat laktasi (MANALu dan SUMARYADI, 1996 ;
SUMARYADI dan MANALU, 1997c) . Namun peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar
susu dan produksi susu tersebut ti** fnier dengan peningkatan jumlah anak yang dikandung.
Dengan demikian, walaupun terjadi peningkatan produksi susu, jumlah susu per ekor anak
semakin berkurang dengan semakin banyaknya jumlah anak yang disusui . Pengamatan ini juga
menunjukkan bahxva tingkat perkembangan kelenjar susu yang dapat dirangsang oleh tingkat
konsentrasi honnon yang tersedia tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anak yang
semakin bertambah .
Dari hasil-hasil penclitian pendahuluan ini muncul pemikiran dxn hipotesis bahwa proses
pertumbuhan fetus selama dikandungan dxn selama pascalahir sebelum penyapihan dapat
diperbaiki dengan meningkatkan konsentrasi hormon-hormon yang mempengaruhi perkembangan
uterus dan kelenjar susu selama periode kebuntingan . Bagaimana caranya meningkatkan
konsentrasi hormon tersebut, apakah disuntikkan secara eksogen dari luar selama kebuntingan?
Mengingat hewan betina mempunyai ratusan ribu folikel yang sudah ada pada ovarium sejak lahir,
namun hanya sebagian kecil yang diovulasikan selama hidup hewan betina tersebut, maka folikel
yang berlimpah itu merepokan sumberdaya biologis yang dimiliki oleh hewan betina sebagai
sumber hormon endogen yang alamiah . Daripada menyuntikkan dari luar (secara teknis akan
merepotkan dan secara ekonomis akan menambah biaya yang tidak sedikit), pemanfaatan potensi
folikel yang berlimpah itu sebagai kelenjar pensekresi hormon-honnon kebuntingan dan
mamogenik selama kebuntingan untuk merangsang pertumbuhan uterus, embrio,
kelenjar susu menjadi pilihan .
fetus dan
57
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997
Hasil penelitian berikut ini merupakan pengamatan pada suatu rangkaian penelitian
penggunaan teknik superovulasi (peningkatan jumlah folikel yang berovulasi dalam satu siklus
berahi) untuk meningkatkan jumlah korpus luteum penghasil hormon-hormon kebuntingan yang
selanjutnya akan memperbaiki pertumbuhan dan perkembangan uterus, embrio, fetus, clan kelenjar
susu dalam upaya meningkatkan bobot lahir anak, produksi susu induk, clan daya tahan hiclup clan
bobot sapih anak sebagai faktor yang menentukan efisiensi reproduksi clan produksi induk hewan
mamalia.
Superovulasi meningkatkan jumlah korpus luteum sebesar 133 dan 207% (P< 0,01) clan
jumlah fetus sebesar 69 (P< 0,01) clan 20% (P< 0,05) masing-masing pada domba yang dipotong
pada umur kebuntingan 7 clan 15 minggu . Superovtilasi secara dramatis meningkatkan (P< 0,01)
konsentrasi progesteron dalam serum induk sebesar 354 clan 84% masing-masing pada domba
yang dipotong pada umur 7 dae 15 mieggu. Konsentrasi estradiol dalam serum induk tidak nyata
berbeda antara induk yang disuperovulasi clan yang fdak disuperovulasi baik pada umur
kebuntingan 7 maupun 15 mieggu. Data ini menunjukkan bahwa superovulasi meningkatkan
sekresi endogen progesteron, tanpa perbedaan yang nyata pada estradiol, melalui peningkatan
jumlah korpus luteum penghasil hornion tersebut . Perbedaan pada estradiol mungkin belum
kelihatan, karena*honnon ini biasanya meningkat pada akhir kebuntingan menjelang kelahiran.
Domba superovulasi mempunyai bobot uterus yang lebih tinggi sebesar 66 clan 37% jika
dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi (P< 0,05), masing-masing untuk domba yang
dipotong pada umur kebuntingan 7 dae 15 mieggu . Hasil ini menunjukkan bahwa uterus domba
yang disuperovulasi tumbuh dan berkembang lebih baik.
Tabel 1 .
Rataan jutnlah korpus luteum, junilah fetus, konsentrasi progesteron, estradiol dalam
serum, bobot uterus clan bobot total serta rataan bobot fetus pada domba yang
disuperovulasi dan yang tidak disuperovulasi pada umur kebuntingan 7 minggu'
Perlakuan
Parameter
Jumlah CL
Jumlah fetus
Progesteron (ng/ml)
Estradiol (pg/mI)
Bobot uterus (g)
Bobot fetus
Total/induk (g)
Rataan (g)
Tidak Disuperovulasi
Disuperovulasi
3,00 f 0,44'
1,33 f 0,24'
4,58 t 0,40'
4,83 t 0,40'
132,30 f 32,05'
7,00 t 0,58b
2,25 f 0,48b
20,77 t 1,89b
5,56 t 0,37'
219,43 t 39,18 b
- - 11,27 t 1,64'
28,18 t 6,78b
8,73 ± 0,42'
12,18 t 1,30b
Rataan dan SE dari masing-masing 6 dan 3 domba tidak disuperovulasi dan disuperowlasi .
Superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan antara domba yang tidak dan
disuperovulasi (P < 0,05).
Total clan rataan bobot fetus masing-masing meningkat sebesar 150 dan 40% pada dombt
superovulasi yang dipotong pada umur kebuntingan 7 minggti (P<0,01). Akan tetapi, pada domb
yang dipotong pada umur kebuntingan 15 minggu, jumlah fetus hanya meningkat 29% sementan
rataan bobot fetus meningkat 24% (P<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan sekres
58
SeminarNa
valPetermakan don keteriner;1997
hormon-hormon yang dihasilkan oleh korpus luteum melalui =superovulasi meningkatkan
pertumbuhan fetus, walaupun dalam kasus yang diamati dalam percobaan ini jumlah fetus yang
dikandung juga neningkat . Pertumbuhan fetus yang lebili pesat tentunya dihasilkan melalui
perbaikan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu uterus, penghasil makanan bagi embrio
yang sedang berkembang.
Indeks pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu pada umur kebuntingan 7-dan 15
minggu masing-masing disajikan pada Tabel 3 dan 4 . Dom'a yang disuperovulasi secara nyata
mempunyai bobot kering bebas lemak kelenjar susu yang lebih tinggi (33%) dibandingkan dengan
yang tidak disuperovulasi (P < 0,05) pada umur kebuntingan 7 minggu . Akan tetapi pada domba
yang dipotong pada umur kebuntingan 15 minggu, tidak terlihat perbedaan yang nyata pada bobot
kering bebas lemak kelenjar susu antara yang tidak dan yang disuperovulasi, walaupun secara
numerik ada peningkatan .
Tabel2 .
Raman jumlah korpus luteum, jumlah fetus, konsentrasi progesteron, estradiol
dalam serum, bobot uterus clan bobot total serta rataan bobot fetus pada domba yang
disuperovulasi clan yang tidak disuperovulasi pada umur kebuntingan 15 minggu'
Perlakuan
Parameter
Junilah CL
Jumlah fetus
Progesteron
(ng/ml)
Estradiol
(pg/ml)
Bobot uterus (g)
Bobot fetus
Total/induk (g)
Rataan (g)
Tidak Disuperovulasi
Disuperovulasi
2,67 t 0,678
1,67 t 0,338
6,92 t 1,41 8
8,20 t 1,07b
2,00 t 0,638
12,75 f 2,04b
11,04 t 0,748
11,57 t 0,428
482,83 f 63,408
663,10 f 96,02'
885,20 t 169,38
1 .137,80 ± 230,048
525,53 t 32,128
651,97 t 64,9lb
Rataan dan SE dari masing-masing 3 dan 5 domba Tidak disuperovulasi dan dsuperovulasi .
Superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan antara domba yang tidak dan
disuperovulasi (1) -_ 0,05).
Konsentrasi DNA per grain jaringan kering bebas lemak kelenjar susu menurun (29%) pada
domba yang disuperovulasi yang dipotong pada umur kebuntingan 7 mingglt . Sementara pada
domba yang dipotong pada umur kebuntingan 15 minggit superovulasi meningkatkan konsentrasi
DNA per jaringan kering bebas lemak kelenjar susu (30,27 vs 33,73 Ftg/ mg BKBL), walaupun
tidak berbeda secara statistik . Total kandungan DNA pada kelenjar susu antara domba yang
disuperovulasi tidak berbeda tetapi secara numerik lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak
disuperovulasi pada lnnur kebuntingan 7 minggu . Pada umur kebuntingan 15 minggu domba yang
disuperovulasi mempunyai total kandungan DNA yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang
tidak disuperovulasi (249,90 vs 335,93 ing).
59
SemmarAfasionall wemakandan-Yweraner 1997
Pada domba yang dipotong pada umur kebuntingan 7 minggu tidak terdapat perbedaan dalam
konsentrasi RNA, akan tetapi kandungan total RNA -dalam kelenjar susu meningkat Sebesar 33%
(P<0,05) pada domba yang disuperovulasi dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi . Pada
umur kebuntingan 15 minggu domba yang disuperovulasi mempunyai konsentrasi RNA yang lebih
tinggi 82% (P<0,01) . Akan tetapi kandungan total RNA dalam kelenjar susu tidak berbeda secara
statistik walaupun meningkat secara nurnerik (77,49 vs 117,30 mg) antara yang disuperovulasi dan
yang tidak disuperovulasi .
Tabel 3.
Indeks tumbuh kembang kelenjar susu domba yang tidak dbm yang disuperovulasi
pada umur kebuntingan 7 minggu)
Perlakauan
Parameter
BK13L (g)
DNA (jig/mg)
Total DNA (mg)
Konsentrasi RNA (1tg/mg)
Total RNA (mg)
Konsentrasi kollagen (ltg/mg)
Total kollagen (mg)
Konsentrasi protein (KOmg)
Total protein (mg)
Konsentrasi glikogen (gg/mg)
Total glikogen (mg) -
Tidak Disuperovulasi
Disuperovulasi
1,03 f 0,11 8
35,02 t 1,97'
35,65 t 3,776,18 f 1 ;09'
6,11 f 1,068
51,41 f 3,358
52,78 t 6,11 8
311,09 f 11,42'
322,59 f 40,61'
5,24 t 0,41'
5,48 t 0,808
1,37 t 0,086
24,92 1,936
33,91 f 2,40'
5,89 0,36'
8,14 0,886
63,37+2,056
86,56 * 3,996
312,96 f 12,79431,05 f 38,326
5,21 ± 0,417,06 ± 0,356
Rataan dan SE dari masing-masing 6 dan 3 domba yang tidak disuperovulwi dan yang di superovulasi .
Superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan antlra domba yang tidak dan disuperovulasi
(P < 0,05).
Pada umur kebuntingan 7 minggu, konsentrasi dan kandungan total kollagen pada domba
yang disuperovulasi masing-masing meningkat sebesar 23 dan 64% (P< 0,05) jika dibandingkan
dengan yang tidak disuperovulasi . Pada umur kebuntingan 15 minggu, tidak terdapat perbedaan
statistik dalam konsentrasi dan kandungan total kollagen kelenjar susu, walaupun secara numerik
terdapat peningkatan.
Tidak ada perbedaan konsentrasi protein antara domba yang disuperovulasi dan yang tidak
disuperovulasi, akan tetapi kandungan total protein meningkat sebesar 34% (P< 0,05) pada umur
kebuntingan 7 minggu . Pada umur kebuntingan 15 minggu tidak ada perbedaan yang bermakna
dalam konsentrasi clan total kandungan protein kelenjar susu, walaupun secara numerik terdapat
peningkatan.
Pada umur kebuntingan 7 minggu, tidak ditemukan perbedaan dalarn konsentrasi glikogen,
tetapi kandungan total glikogen kelenjar susu meningkat sebesar 29% (P< 0,05) pada domba yang
disuperovulasi dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi . Pada umur kebuntingan 15
minggu, konsentrasi glikogen pada domba yang disuperovulasi meningkat sebesar 22% (P< 0,05),
akan tetapi kandungan total glikogen kelenjar susu tidak berbeda secara statistik (44,46 vs 60,23
mg) .
60
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
Tabel 4.
Indeks tumbuh kembang kelenjar susu domba yang tidak dan yang disuperovulasi
pada umur kebuntingan 15 minggu t
Perlakuan
Parameter
BKBL (g)
Konsentrasi DNA (ltg/mg)
Total DNA (mg)
Konsentrasi RNA (Itg/mg)
Total RNA (mg)
Konsentrasi kollagen (gg/mg)
Total kollagen (mg)
Konsentrasi protein (gg/mg)
Total protein (mg)
Konsentrasi glikogen (gg/mg)
Total likogen (mg)
Tidak Disuperovulasi
Disuperovulasi
8,77* 4,32'
30,27 t 1,82'
249,90 f 111,31'
7,23 :k 1,10'
77,49 f 46,32'
21,04 t 7,12'
103,27 f 23,60'
360,16 f 21,893
3418,01 1946,858
5,31 f 0,21'
44,46 f 21,32'
9,10 :k 3,43'
33,73 f 2,16'
335,93 t 152,16'
13.16 f 0,46°
117,30 f 40,74'
23,97 f 4,94'
145,32 f 18,50'
399,45 f 18,89"
3938,87 :1 1709,87 2
6,48 t 0,18"
60,23 t 23,20'
tiataan dan SE dari masing-masing 3 dan 5 domba yang tidak disuperovulasi dan yang disuperovulasi .
Superskript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan anwa domba yang tidak dan disuperovulasi
(P < 0,05) .
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa superovulasi memperbaiki pertumbuhan differensial
kelenjar susu selama kebuntingan . Kelenjar susu tumbuh clan berkembang secara bertahap seirama
dengan perkembangan sekresi hormon-hormon mamogenik dengan bertambahnya umur
kebuntingan . Pada awal kebuntingan, atas perangsangan awal estrogen pada saat estrus, sekresi
progesteron yang meningkat akan merangsang pertumbuhan saluran kelenjar susu yang terutama
merupakan komponen jaringan ikat yang bisa digambarkan oleh kollagen . Setelah saluran kelenjar
susu terbentuk, pada fase kebuntingan selanjutnya akan terjadi pembelahan sel-sel epitel (yang
ditandai dengan peningkatan DNA) untuk membentuk lobul alveolar pada ujung-ujung saluran
kelenjar susu tersebut . Pada akhir fase pertumbuhan kelenjar susu, setelah sistim lobul alveolar
terbentuk, akan terjadi peningkatan aktivitas sintesis kelenjar susu yang ditandai dengan
peningkatan RNA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umur kebuntingan 7 minggu
pada domba, kelenjar susu induk yang disuperovulasi mempunyai konsentrasi clan kandungan total
kollagen yang lebih thiggi dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi . Dengan demikian,
peningkatan sekresi progesteron melalui superovulasi telah nyata meningkatkan pertumbuhan
saluran kelenjar susu. Pada umur kebuntingan 15 minggu terlihat peningkatan kandungan DNA
clan RNA kelenjar susu yang menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan lobul alveolar serta
aktivitas sintetik kelenjar susu. Hasil ini menggambarkan pertumbuhan kelenjar susu yang lebih
pesat pada induk yang disuperovulasi .
Induk domba yang disuperovulasi mempunyai kelenjar susu dengan bentuk eksterior (fisik)
yang berkembang jauh lebili pesat dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi . Perkembangan
itu terlihat dalam ukuran pembelahan dan dimensi jarak dari ligamentum (kelenjar susu jauh lebih
besar dan lebih panjang turun dari pangkal paha). Pengamatan ini menguatkan data kimia yang
diukur pada penelitian sebelumnya . Pada umur kebuntingan 4 bulan, domba yang disuperovulasi
mempunyai kelenjar susu yang telah berkembang seperti perkembangan kelenjar susu pada saat
melahirkan pada domba yang tidak disuperovulasi . Pengukuran berat kering bebas lemak kelenjar
61
Seminar Na .sionalPeternakan dan Veteriner 1997
susu pada akhir laktasi menunjukkan bahwa domba yang disuperovulasi mempunyai BKBL 14,55g
sementara yang tidak disuperovulasi hanya 11,58 g (terjadi peningkatan sebesar 26%).
Dalam kelompok domba penelitian ini, superovulasi tidak nyata meningkatkan jumlah anak
yang dilahirkan oleh induk, walaupun secara numerik induk yang inelahirkan kembar lebih banyak
pada kelompok domba yang disuperovulasi yaitu 23 ekor beranak 1 (8 vs 15), sembilan ekor
beranak 2 (5 vs 4), clan satu ekor beranak 4 pada domba yang disuperovulasi . Kisaran seperti ini
umum ditemukan dalam sebaran jumlah anlk pada domba ekor tipis.
Bobot lahir anak yang dilahirkan oleh induk yang disuperovulasi dan yang tidak
disuperovulasi tidak berbeda nyata (Tabel 5) . Nanrtin pada pengamatan fisik terlihat bahwa anakanak yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi mempunyai rangka tubuli yang lebiit besar
dibandingkan dengan anak yang dihasilkan oleh induk yang tidak disuperovulasi .
Tabel 5.
Bobot lalur (kg) anak domba yang tidak disuperovulasi dan yang disuperovulasi
dengan tingkat pemberian pakan protein kasar 12% dan TDN 65% (P1) serta
protein kasar 18% dan TDN 75% (P2)
Pakan
Perlakuan
Tidak Disuperovulasi
kb
n.e
Disuperovulasi
P1
1,76 t 0,09an
1,74 + 0,15aA
P2
2,03 * 0,17a^
1,77 t 0,15a"
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan antara yang disuperovula_ci dan yang
tidak disuperovulasi .
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan antara kualitas pakan.
Selama periode laktasi kelompok domba yang disuperovulasi mempunyai kurva produksi susu
yang secara konsisten lebih tinggi dibandingkan dengan domba yang fdak disuperovulasi . Domba
yang disuperovulasi sebelum perkawinan mempunyai total produksi susu yang lebih tinggi 61%
(P< 0,01) jika dibandingkan dengan domba yang tidak disuperovulasi '(39,62 vs 24,57 kg), terlepas
dari jenis pakan yang diberikan . Pemberian pakan P2 berhasil meningkatkan produksi susu
sebesar 31% (P< 0,05) jika dibandingkan dengan pakan P1 (36,25 vs 27,65 kg), terlepas dari
perlakuan superovulasi . Pada domba yang menerima pakan P1, superovulasi meningkatkan
produksi susu sebesar 60% (P< 0,05) jika dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi (36,83
vs 23,07 kg) . Pada domba yang diberikan pakan P2, superovulasi meningkatkan produksi susu
sebesar 50% (P< 0,05) jika dibandingkan dengan yang tidak disuperovulasi (41,22 vs 27,56 kg)
(Tabel 6). Pada domba yang tidak disuperovuIasi, pemberian pakan P2 meningkatkan produksi
susu sebesar 19%jika dibandingkan dengan pemberian pakan P1 (27,56 vs 23,07 kg) . Pada domba
yang disuperovuIasi, pemberian pakan P2 meningkatkan produksi susu sebesar 12% jika
dibandingkan dengan pemberian pakan P1 (41,22 vs 36,83 liter) (Tabel 6). Walaupun persentase
peningkatan produksi susu akibat superovulasi pada pakan P1 clan P2, atau akibat pakan pada
domba yang disuperovulasi dan yang tidak disuperovulasi berbeda, namun pertambahan absolut
adalah sama.
62
Seminar Nasional Peternakan don Vetenner 1997
Hasil produksi susu ini menguatkan semua hasil-hasil yang dipercleh dalarn rangkain
penelitian ini bahwa peningkatan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu melalui
peningkatan sekresi hormon mamogenik akibat superovuiasi terbukti dapat meningkatkan produksi
susu secara drastis jauh melebihi peningkatan produksi susu akibat perbaikan pakan.
Produksi susu (kg) selama 84 hari laktasi pada doinba yang tidak disuperovulasi
dan yang disuperovulasi dengan tingkat pemberian pakan protein kasar 12% dan
TDN 65% (P1) serta protein kasar 18% dan TDN 75% (P2)
Tabel 6.
Pakan
Perlakuan
Tidak Disuperovulasi
Disuperovulasi
P1
23,07 ± 1,69"A
36,83 f 1,85bA
P2
27,56 ± 1,39""
41;22± 2,19""
"b
Superskrip yang berbeda pada bans yang sama menunjukkan perbedaan antara yang disuperowlasi dart yang tidak
disuperovulasi .
A,B
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan antara kualitas pakan.
Pertumbulian anak domba yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi pada awalnya
kelihatan sama. Pada unutr 2 bulan setelah lahir, anak-anak yang dihasilkan oleh induk yang
disuperovulasi kelihatan lebih kuat dan lebih besar dibandingkan dengan yang ddak
disuperovulasi . Pertumbuhan yang lebih baik ini, akibat produksi susu induk yang lebih banyak,
memberikan bobot sapih yang lebih baik pada anak domba yang dihasilkan oleh induk yang
disuperovulasi, walaupun domba yang beranak keinbar lebih banyak . Bobot sapih anak domba
yang dihasilkan oleh induk yang disuperovulasi adalah 10,06 (PI) dan 9,44 kg (P2), sedangkan
pada yang tidak disuperovulasi adalah 7,68 (P1) dan 8,01 kg (P2) (Tabel 7). Bobot sapih tertinggi
pada kelompok domba yang disuperovulasi adalah 14,8 kg, sementara pada kelompok domba yang
tidak disuperovulasi hanya mencapai 11,8 kg.
Tabel 7.
Bobot sapih (kg) anak domba yang tidak disuperovulasi dart yang disuperovulasi
dengan tingkat pemberian pakan protein kasar 12% dart TDN 65% (PI) serta
protein kasar 18% dart TDN 75% (P2)
Pakan
Perlakuan
Tidak Disuperovulasi
PI
P2
ab
A'B
7,68 ± 0,50"A
8,01 ± 1,18aA
Disuperovulasi
10,06 ± 1,48bA
9,44 ± 0,77"A
Superskrip yang tvrbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan antara yang disuperovulasi dart yang tidak
disuperovulasi.
Superskrip yang berbeda pada kolom yang lama menunjukkan perbedaan antara kunlitas padcan.
Seminar Masionai PeteraakandanVetemner 1997
Selain pertuntbuhan yang Iebih =beik, daya tahan hidup-anak-.domba hasil superovulasi jugs
lebih baik. Dari 33 tkor induk<domba-percobaan, indukyang .gagal membesarkan stiaknya sampai
penyapihan lebih banyak Vada kelommpok yang tidak disuperovulasi . Persentase induk yang tidak
berhasil menghidupi anak-.sampai penyapihan secara berturut-turut adalah 15,15 ; 12,12 ; 6,06; dan
0% untuk kelompok induk P1-NSO, P2-NSO, P1-SO dan P2-SO. Dari keseluruhan induk yang
tidak berhasil membesarkan anak sampai penyapihan, 45,4, 36,4, 18,2 dan 0% disumbangkan oleh
induk P1-NSO, P2-NSO, PI-SO dan P2-SO.
KESIMPUIAN
Hasil keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah korpus luteum
melalui superovulasi dapat meningkatkan sekresi honnon kebuntingan dan hormon mamogenik
selama kebuntingan, yang selanjutnya meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan kelenjar
susu selama kebuntingan, dan meniperbaiki tingkat pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu
pada awal laktasi, dan meningkatkan produksi susu pada periode laktasi .
Peningkatan ukuran kerangka pada saat lahir, yang disertai dengan peningkatan produksi
susu selama laktasi akan lebili cepat mengisi kerangka yang telah terbentuk, yang dengan
demikian akan meningkatkan daya tahan hidup anak dan bobot sapih yang lebih tinggi. Daya
tahan hidup dan bobor sapih anak yang lebih besar secara keseluruhan akan meningkatkan
efisiensi reproduksi dan produktivitas hewan mammalia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada proyek ARMP-DEPTAN (nomor kontrak PL.420..
206.6911/P4N), PAU-Ilinu Hayat IPB ( nomor kontrak 005/P4M/DPPM/L .3311/PAU/ 1992 dan,
007/P4M/DPPM/L.331 I/PAU/ 1993), dan Kanror Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Dewan,
Riset Nasional melalui RUT III (nomor kontrak 3247/SP-KD/PPIT/IV/95) atas penyediaan dana
sehingga rangkaian penelitian ini bisa terlaksana .
DAFTAR PUSTAKA
ANDERSON, R.R. 1975. Mainmary gland growth in sheep . J. Anint . Sci. 41 :118-123 .
ANDERSON, R. R. 1985. Mammary gland. Dalam: Lactation . Larson, B.L. (Editor) . Iowa State University
Press, Ames. Halaman 3-38.
ASHwoRTH, C.J., 1992. Synchrony embryo-utents . Anim . Reprod. Sci. 28:259-267.
BERNE, R.M. dan M.N. I.Evv. 1988. Physiologv. Mosby Company, St . Louis. 1077 halaman .
BRADFORD, G.E., J.F. QmRKE, P. SITORUS, 1. INOUNU, B. TIESNAMURTI, F.L. BELL, I.C. FLETCHER dan D.T.
ToRREL . 1986. Reproductio n in Javanese sheep : Evidence for a gene with large effect on ovulation
rate and litter size. J. Anini. Sci. 63 :418-431 .
Dzitnc, P.J. 1992. Embryonic development and fetal growth . Dalain:Clinical Trends and Basic Research in
Anintal Reproduction . Dieleman, S.J., B. Colenbrander, P. Booman dan T. Van der Lende (Editor),
Anim. Reprod Sci . 28:299-308.
ERICKSON, G.F. 1987. The ovary: Basic Principles and Concepts. Dalant: Endocrinologv and Metabolism .
Ed. ke-2. Felig, P., J .D. Baxter, A.E. Broadus, dan L.A. Frolunan (Editor) . McGraw-Hill Inc ., New
York. halatnan 971 .
64
SeminarNasionalPeternakan dan Vetenner 1997
FoRSYTH, I.A. 1986 . Variation among species in the endocrine control of mammary growth and function : The
roles of prolactin, growth hormone, and placental lactogen . J. Dairy Sci. 69 :886-903 .
FoWDEN, A.L . 1995 . Endocrine regulation of fetal growth.
Reprod. Fert. Develop. 7:351-363 .
Dalam: Progress in Perinatal Physiology.
GADoLyi, F ., BREvim, T.A.L., MODINA, S. dan PAsoNi, L., 1992 . Early embryonic signals: embryo-maternal
interactions before implantation . Anim. Reprod Sci. 28 :269-276 .
KEYS, J.L . dan G.J . King . 1995 . Morphology of pig uterine subepithelial capillaries after topical and
suystemic oestrogen treatment. J. Reprod. Fert. 105:287-294 .
KNIGHT, C.H . dan M. PEAKER. 1982 . Development of the mammary gland. J. Reprod. Feri. 65 :521-536 .
MANALu, W. dim M.Y . SumARYADi. 1995 . Hubungan antara konsentrasi progesteron dan estradiol dalam
serum induk selama kebuntingan dengan total massa fetus pada akhir kebuntingan . Prosiding
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Pengolahan dan Komunikasi Hasil Pertanian .
Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian . Ciawi, Bogor halaman 57-62.
MANALu, W., M.Y . SumARYADI dan N. KusumoRnat : 1995 . The effects of fetal number on maternal serum
progesterone andestradiol of ewes during pregnancy. Bull. Anim. Sci. Special Edition:237-241 .
MANALu, W. dar -MY SumARYADI. 1996 . Peranan sekresi progesteron cahun peningkatan efisiensi
reproduksi psda domba. Jurnal Ilmu Penaitian Indonesia 6(2) . (In Press).
MANALu, W. dan M.Y. SumARYADI. 1997a. Correlation between average maternal serum progesterone
concentration during pregnancy and lamb birth weight at parturition in Javanese thin-tail ewes
carrying different fetal number . Diserahkan'untuk dipublikasikan di Small Ruminant Research.
MANALu, W. dan M.Y. SumARYADi. 1997b. Maternal serum progesterone concentration during gestation and
mammary gland growth and development at parturition in Javanese thin-tail ewes carrying a single
or multiple fetuses. Small Ruminant Research (1n press).
McDONALD, L.E . 1980 . Veterinary Endocrinology
Philadelphia . 560 halaman.
and Reproduction .
Ed . ke-3 .
Lea & Febriger,
MuLHOLLAND, J., D. Roy, dan S.R. GLASSER. 1994. Progesterone directed gene expression in rat uterine
stromal cells. Dalam: Ehdoerfnologp of ErirbPy*sZtdometrium Interactions. Glasser, S.R .,
MuLHOLLAND, J. dan Psychoyos, A. (Editors Plenum Press, New Yak, halaman 33-39.
NORMAN, A. W. dare G. LITwAcK. 1987. Hormones: Academic Press, San Diego. 805 hal.
OBST, J .M, T. BoYEs dan T. CHANiAco. 1980 . Reproductive performance of Indonesian sheep and goats.
Proc. Aust. Soc. Anim. Prod. 13 :321-324 .
RicKErrs, A.P . dan A.P .F . FLINT.
Endocrinol. 86 :337-347 .
1980 .
Onset of synthesis of progesterone by ovine placenta. J.
SHEFFIELD, L.G . dan R.R . ANDERSON . 1985 . Relationship between milk production and marnmary,gland
indices of guinea pigs. J. Dairy Sci. 68 :638-645 .
SHELDRICK, E.L., A.P . RICKETTS dan A.P .F . FLINT. 1981 . Placental production of 5P-pregnnne-3a,2W-diol
in goats . J. Endocrinol. 90 :151-158 .
SumARYADI, M.Y. dan W. MANALu. 1995. The effects of corpora luteal number on serum progesterone and
estradiol of ewes during luteal phase of estrous cycle and pregnancy . Bull. Anim . Sci. Special
Edition:231-235 .
65
Seminar Nastonal Peternakan don Ystenner 1997
SumARYADI, M.Y . dan W. MANALU . 1996 .
estradiol dalain
Pengaruh jumlah fetus terhadap konsentrasi progesteron-dan
serum induk domba selama .fase plasentasi periode kebunturgan.
Prosiding Seminar Nasional Petemakan dan Veteriner.
Dalam:
Jilid 2. Hastioro, S., B. Haryanto, A.P.
Sinurat, I.K . SuTAMA, T.D . Sudjana, Subandryo, P. Ronohardjo, S. Partoutomo, S. Bahri, S.
Hardjoutomo, dan Supar (Editor). Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian . Halaman 441445 .
SumARYADI, M.Y . dan W. MANALU . 1997a.
Prediction of lamb birth weight based on blood hormonal and
Diserahkan untuk dipublikasikan
metabolite profiles during pregnancy in Javanese thin-tail ewes .
di
Asitm Australasian J. Anini. Sci.
ST mARYADt, M.Y . dan W. MANALU . 1997b.
Prediction of manunary gland growth and development at the
end of gestation based on blood hormonal and metabolite profiles during pregnancy in Javanese
thin-tail ewes .
Diserahkan untuk dipublikasikan di Small Ruminant
SumARYADI, M.Y . dan W. MANALU . 1997c .
Research .
Prediction of mammary gland involution and milk yield in the
first month of lactation based on blood hormonal and metabolite profiles during pregnancy in
Javanese thin-tail ewes . Diserahkan untuk dipublikasikan di Small Ruminant Research .
SuTAMA, I.K .
1992 . Reproductive development and performance of small ruminants in Indonesia .
Nee+ , TechnoloKv for Small Ruminant Production in Indonesia, P.
Dalam:
Ludgar dan S. Scolz (Editor).
Winrock International Institute for Agricultural Development, Morritton, Arkansas . Halaman 7-14 .
SuTAMA, I.K ., T.N . EDEY dan I.C . FLETCHER .
Aust . J. Agric. Res. 39 :7113-711 .
TIESNAMURTI, B. 1992 .
1988 .
Studies on reproduction of Javanese Thin-tail ewes.
Reducing the preweaning mortality rate of Javanese Thin-tail sheep. Dalam:
Technology for Small Ruminant Prmluction in Indonesia, P.
New
Ludgar dan S. Scolz (Editor), Winrock
International hlstitute for Agricultural Development, Morritton, Arkansas . Halaman 71-80.
TUCKER, H.A . 1985 . Endocrine and neural control of the mammary gland.
(Editor) . Iowa State University Press, Ames. halaman 39-79.
TUCKER, H.A .
1987 .
review .
Dalarn : Lactation.
Larson, B.L .
Quantitative estimates of mammary growth during various physiological states: A
70 :1958-1966 .
J. Dairy Sci.
Turu, E. ADELIEN dan W. MANALU .
1996a . Hubungan antara konsentrasi progesteron dan estradiol dalarn
seninl induk dengan laju pertumbuhan fetus pada tikus putih dengan berbagai kisaran jumlah anak .
Prosiding Tennt Ilmiah Hasil-Hasil Penelitian Petemakan: Hasil-hasil Penelitian untuk
Industri Petemakan Rabyat . Basuno, E., P.B . Mallyuddin, Y. Saepudin dan S. Hidayat (Editor) .
Dalam:
Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Petemakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor. Halaman 339-347.
Turu, E. ADELIEN dan W. MANALU .
1996h. Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar anlbing tikus selama
periode kebuntingan dikaitkan dengan jumlah fetus yang dikandung dan konsentrasi progesteron
dan estradiol dalam senun induk . Dalatn : Prosiding Seminar Nasional Peteniakan dan Veteriner.
Jilid 2.
Hasfiono, S., 13 . Haryanto, A.P . Sirurat, I.K . SuTAMA, T.D . SUdjana, Subandryo, P.
Ronohardjo, S. Partoutomo, S. Bahri, S. Hardjoutomo, dan Supar (Editor) .
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Petemakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian .
Halaman 447-452.
WANG, S., L.J . COUNTERMAN dan S.Z . HASLAM . 1990 . Progesteron e action in normal mouse mammary gland.
Endocrinology 127:2183-2189 .
WILDE, C.J. dan C.H . KNIGHT . 1989 . Metabolic adaptations in mammary gland during the declining phase
of lactation. J. Dairyy Sci. 72 :1679-1692 .
66
Seminar Nasional Peternakan don Yeteriner 1997
DISKUSI
Polmer Situmorang (Tanggapan Umum)
Tennak ruminansia kecil terbukti tidak efisien mengoptimalkan folikel yang secara alami
tersedia menjadi kelahiran anak. Usalia untuk meningkatkan produksi anak bisa dilakukan dengan
superovulasi (SO) akan tetapi keberhasilan untuk meningkatkan ovulasi tidak secara nyata diikuti
keberhasilan jumlah anak yang meningkat .
Faktor lain yang menunmkan reproduktifitas ruminansia kecil adalah kekurangan produksi
susu yang tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan anak prasapih terutama pada jumlah anak
lebih dari 1 .
Penelitian yang dilaporkan adalah usalia meningkatkan produksi dengan melalui perlakuan
superovulasi .
Superovulasi terbukti meningkatkan jumlah CL yang akhirnya juga meningkatkan kadar
progesteron akan tetapi kemampuan untuk meningkatkan kadar progesteron tidak hanya
berhubungan dengan jumlah CL akan tetapi yang lebih penting adalah kualitas CL.
Dalam phase kebuntingan kadar progesteron akan meningkat dengan meningkatkaa umur
kebuntingan sampai periode tertentu diatas umur kebuntingan 100 hari didapat konsentrasi
progesteron yang lebili tinggi clan menurun secara cepat pada saat/waktu melahirkan sehingga
level progesteron yang lebih rendah pada kebuntingan 15 minggu dibanding 7 minggu perlu
mendapat perhatian .
Perlu penjelasan lebili lanjut dari kepastian yang lebih dominan (Progesteron atau Estrogen)
untuk usaha meningkatkan produksi susu dan respons yang perlu dicatat adalah jumlah sel kelenjar
susu dalam hubungannya dengan produksi susu disamping data-data yang telah dilaporkan pada
penelitian ini . Penganih superovulasi terhadap bobot lahir sebagknya diikuti dengan pengulcuran
ukuran linear badan . Hal lain yang perlu penjelasan mengapa respon ternak yang disuperovulasi
terhadap makanan lebili relatif lebih rendah dibanding ternak yang tidak disuperovulasi.
Wasmen Manalu : Semakin banyak CL maka semakin sedikit progesteron per CL, yang
merupakan kejadian alami dengan SO maka CL menjadi lebih besar. Progesteron pada minggu ke
15 lebih rendah dari minggu ke 7 karena domba perlakuan berbeda . Diketahui CL domba minggu
ke 15 lebih kecil dari ke 7 (mungkin faktor umur dan lain sebagainya) . Stimulasi FSH maka
peningkatan estrogen selanjutnya terjadi pada progesteron . Progesteron untuk pembentukan
kerangka jaringan mammae, estrogen untuk kelenjar mammae . DNA per sel relatif konstan, jadi
jika DNA meningkat maka sel meningkat . Semakin tinggi aktivitas sintetis sel, maka semakin
tinggi jumlah DNA. Respon SO dan NSO tidak nyata terhadap perlakuan pemberian pakan. Hal ini
yang menyebabkan SO dengan pakan rendah (basal) dapat menghasilkan produksi susu tinggi.
Hasil SO memungkinkan lebih besar, nannin tidak meningkatkan komponen daging .
Tanya Jawab
Ismeth Inounu : Apabila dilakukan SO maka CL meningkat, dan anak meningkat jumlahnya,
namun diperoleh keterbatasan kapasitas uterus induk . Apa menningkinkan penyuntikan
progesteron untuk meningkatkan produksi susu atau yang di SO tidak dikawinkan tetapi ditanam
embrio sehingga dapat diketahui perbedaan sekresi hormon dari perbedaan jumlah anak yang
ditransfer.
67
Seninar Nosional Peternakan dan Yetmriner 1997
Wasmen Manalu : Harapan dengan anak pada jumlah lebih sedikit pada perlakuan SO,
didapatkan bobot lebih tinggi . Jadi bobot anak .dengan progesteron tinggi pada jumlah anak lebih
rendah dihasilkan bobot lebih tinggi.
Endang Triwulanningsih : Bagaimana mendapatkan progesteron banyak tanpa SO. Bagalmana
hubungan interferon terhadap blastosis yang menempel di uterus ?
Wasmen Manalu : Pada fase troboplast, interferon diduga akan meniugkat .
Wiwie Caroline : Hormon apa yang dipergunakan untuk SO. Hormon progesteron tidak hanya
dihasilkan CL, tetapl juga oleh embrio .
Wasmen Manalu : Perlakuan hormonal m mggunakan FSH-Progesteron tidak hanya dihasilkan
oleh CL, tetapl juga uterus dan placenta . Tetapi lebih banyak vieh CL-dan plasenta.
Tati Setiawati : Bagaimana pengaruh SO terhadap produksi susu periode berikutnya ?. Bagaimana
nilai ekonomis dari perlakuan dalam penelitian ?
Wasmen Manalu : Penelitian baru dilakukan pada tahap laboratorium clan diharapkan juga akan
dilaksanakan pengamatan terhadap produksi berikutnya. Nilai ekonomi dilihat perhitungan kasar
SO memedukan biaya Rp 10.000 per ekor, clan mungkin dilihatdari produksi susu yang dihasilkan
tidak begitu merugikan .
Download