Studi korelasi antara proses geomorfik dan

advertisement
 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Geomorfik
Pengertian geomorfologi menurut beberapa ahli, yaitu : geomorfologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang evolusi bentuk lahan (landform) dan bentang
lahan (landscape) terutama menyangkut proses erosi (Desaunettes, 1977) dan
menurut Verstappen (1985 dalam Suparto, Marsoedi, dan Gunawan, 1993),
geomorfologi adalah ilmu yang mempelajari bentuk permukaan bumi, terutama
mengenai proses, genesis, litologi, bentuk lahan, dan hubungan timbal balik
dengan lingkungannya seperti tanah dan vegetasi.
Menurut Wiradisastra, Tjahjono, Gandasasmita, Barus, dan Munibah (2002),
morfologi permukaan bumi, secara garis besar terbentuk oleh 3 (tiga) proses
geomorfik yang bersifat alamiah, yaitu : eksogenetik, endogenetik, dan
ekstraterestrial (Tabel 1). Proses geomorfik adalah semua perubahan baik fisik
maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Proses
eksogenetik adalah proses yang mengubah dan membentuk muka bumi dari luar,
yaitu gradasi dan organisme. Proses endogenetik adalah proses yang mengubah
dan membentuk muka bumi dari dalam, seperti diastrofisme dan volkanisme,
sedangkan proses ekstraterestrial adalah proses yang mengubah dan membentuk
muka bumi yang tidak berasal dari proses eksogenetik dan endogenetik, seperti
meteorit jatuh.
Tabel 1. Garis Besar Proses Geomorfik (Wiradisastra, Tjahjono, Gandasasmita,
Barus, dan Munibah, 2002).
Proses Eksogenetik
a. Gradasi
1. Degradasi :
™ Weathering (hancuran iklim)
™ Mass wasting (gerakan massa)
™ Erosi oleh :
1. Air mengalir
2. Air tanah
3. Gelombang, arus pasang
surut, dan tsunami
4. Angin
5. Gletser
Proses
Endogenetik
a. Diastrofisme
b. Volkanisme
Proses
Ekstraterretrial
Meteorit Jatuh
3
Tabel 1. (Lanjutan)
2. Agradasi oleh :
1. Air mengalir
2. Air tanah
3. Gelombang,arus pasang
surut, dan tsunami
4. Angin
5. Gletser
b. Pengaruh makhluk hidup termasuk
manusia
Proses geomorfik menghasilkan satuan-satuan bentuk permukaan bumi yang
identik dengan satuan-satuan lahan (landform units) pada suatu bentang lahan
(landscape) tertentu.
2.2 Konsep Bentang Lahan (Landscape) dan Bentuk Lahan (Landform)
Secara konseptual keadaan bentang lahan (landscape) sangat erat terkait
dengan keadaan topografi dan jenis batuan, sedangkan bentuk lahan (landform)
merupakan diferensiasi dari bentang lahan.
Tabel 2. Perbedaan antara Bentang Lahan (Landscape) dan Bentuk Lahan
(Landform)
Landscape
Landform
Pengertian Puslittanak (2004) :
Realita keberadaan muka bumi
yang dicirikan oleh bentuk,
perbedaan tinggi, tinggi tempat,
kemiringan,
dan
kondisi
permukaannya (datar dan rata,
datar dengan relief mikro) dan
jenis serta sifat batuan.
Puslittanak (2004) :
Bentukan
alam
mengenai
permukaan bumi yang terjadi
melalui serangkaian proses
geomorfik.
Wiradisastra et al., (2002) :
Terbentuk
melalui
proses
tektonik
dan
volkanisme,
sedangkan denudasi (hasil total
dari semua proses pemindahan
sampai terjadi bentuk lahan)
terjadi melalui proses erosi dan
gerakan massa (mass wasting).
Desaunettes (1977) :
Hasil dari berbagai proses
geomorfik yang terjadi pada
berbagai macam batuan dan
bahan induk yang berbeda untuk
waktu tertentu.
Contoh
Bentang
lahan
volkanik Landform
seperti
Dataran
punggung
volkan
tengah
(volcanic landscape).
berbahan induk batuan andesit,
bentuk wilayah datar, dan tidak
tertoreh (Va.3.1.0).
4
Bentuk lahan (landform) menghasilkan suatu Satuan Lahan yang dikenal
dengan Satuan Peta Lahan (SPL). SPL digunakan sebagai wadah Satuan Peta
Tanah (SPT). Menurut Desaunettes (1977), maka SPL dibagi menjadi 3 (tiga),
yaitu : sistem, subsistem, bentuk lahan. Pengkelasan tersebut berdasarkan kriteria
relief, litologi dan genesis.
Deskripsi bentuk lahan : lereng atas gunung
api berbahan induk andesit, landai (2-5 %),
tertoreh ringan
Contoh : Va 2.1.1 Keterangan :
V
: Grup fisiografi = volkan
a
: Litologi = andesit
2 : Subgrup : morfologi = lereng atas gunung api
1 : Bentuk wilayah = landai
1: Tingkat torehan = tertoreh ringan
Penggunaan SPL sebagai pembeda SPT ataupun sebagai fase suatu takson,
akan sangat tergantung pada tingkat pemetaan atau skala petanya. Makin detil
tingkat pemetaan (makin besar skala petanya), maka SPL yang digunakan akan
semakin detil pula, seperti yang tertera pada Tabel 3.
Tabel 3. Hubungan antara Skala Peta dan Satuan Peta Lahan/SPL (Puslittanak,
2004)
Skala 1:250.000
(Pemetaan Tingkat Tinjau)
SPL
yang
digunakan
masih berupa satuan yang
lebih besar/kasar.
Contoh: kerucut volkan
(volcanic cone).
Skala 1: 50.000
(Pemetaan Semidetil)
SPL yang muncul akan
lebih rinci.
Contoh : lereng bawah
kerucut volkan.
Selain itu terdapat klasifikasi
Skala 1 : 10.000
(Pemetaan Detil)
SPL yang digunakan
bersifat lebih sempit lagi
yaitu land facet atau
land element.
Contoh : lereng bawah
volkan 3-5%.
Satuan Bentuk Lahan lain, seperti yang
dikemukakan oleh Dalrymple, Blong, and Conacher (1968 dalam Selby, 1985).
Model klasifikasinya dikenal dengan nama Model 9 (Sembilan) SBPL (Satuan
Bentuk Permukaan Lahan) seperti tertera pada Gambar 1.
•
•
1
2
3
(1968 dalam Selby, 1985)
Longsor, jatuhan, hancuran fisik dan kimia
5 4
5
6 Dinding sungai
7 Dasar
sungai
8 9 6
Transportasi bahan-bahan menuju
lembah oleh pergerakan air
permukaan, agradasi berkala
7
Korosi tebing, jatuhan
Kaki
lereng
koluvial
Pengendapan bahan-bahan aluvial, proses-proses
yang disebabkan pergerakan air bawah tanah
Lereng tengah
pengangkutan
Pengendapan bahan-bahan yang berasal dari
pergerakan massa dan sebagian hasial pencucian,
pembentukan kipas aluvium, transportasi bahan,
rayapan, aktivitas air bawah permukaan tanah
4 Transportasi bahan-bahan akibat pergerakan massa
(aliran, longsoran, rayapan), pembentukan teras,
aktivitas air permukaan dan bawah permukaan
LERENG
2 Rayapan tanah , pembentukan teras
1 Pencucian secara fisik dan kimia oleh pergerakan air secara lateral
PUNCAK
Puncak
lereng
pemisah
Proses-proses pedogenesis berasosiasi dengan pergerakan air bawah permukaan tanah secara vertikal
5
KAKI LERENG
Lereng
perembesan
Lereng
perayapan
cembung
3 Tebing
Kaki
lereng
aluvial
8
9
Gambar 1. Diagram Model Sembilan Satuan Bentuk Permukaan Lahan dari Dalrymple et al.,
6
Menurut Marsoedi, Widagdo, Dai, Suharta, Darul, Hardjowigeno, Hof, dan
Jordens (1997), landform/bentuk lahan diklasifikasikan kedalam 9 (sembilan)
grup atau kelompok utama yang selanjutnya dibagi lebih lanjut sesuai dengan sifat
masing-masing. Pembagian kelompok utama tersebut tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Klasifikasi Bentuk Lahan (Marsoedi et al., 1997)
No.
Grup Fisografi Utama
Simbol
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Alluvial (Alluvial Landform)
Marin (Marine Landform)
Fluvio-Marin (Fluvio Marin Landform)
Gambut (Peat Landform)
Eolin (Aeolian Landform)
Karst (Karst Landform)
Volkanik (Volcanic Landform)
Tektonik dan Struktural(Tectonic and Structural Landform)
Aneka (Miscellaneous Landform)
A
M
B
G
E
K
V
T
X
2.3
Proses Pedogenesis
Pedogenesis
adalah
ilmu
yang
mempelajari
tentang
proses-proses
pembentukan tanah dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut konsep
pedologi, tanah adalah benda alam bebas yang kompleks dan dihasilkan oleh
sejumlah proses (Rachim dan Suwardi, 2002). Soil Survey Staff (2010),
mendefenisikan tanah sebagai suatu sistem yang kompleks, bersifat terbuka dan
dinamik serta didalamnya terjadi aktifitas kimia, fisik, dan biologi. Tanah dengan
karakteristiknya dihasilkan oleh interaksi kerjasama secara simultan antara
relief/topografi (r), iklim (c), bahan induk (p), waktu (t), dan organisme (o),
(Jenny, 1941) atau dapat dituliskan :
Tanah : f(r, c, p, t, o) Tabel 5. Komponen-Komponen Proses Pedogenesis dan Uraiannya
No.
1.
Komponen
Relief
Uraian
Relief mempengaruhi proses pembentukan tanah melalui :
a. Tebal atau tipisnya lapisan tanah. Daerah yang
memiliki topografi miring dan berbukit akan memiliki
lapisan tanah yang lebih tipis karena tererosi,
sedangkan daerah yang datar akan memiliki lapisan
tanah yang tebal karena terjadi sedimentasi.
7
Tabel 5. (Lanjutan)
2.
Iklim
3.
Bahan Induk
4.
Waktu
b. Sistem drainase/pengaliran. Daerah yang memiliki
drainase jelek, seperti sering tergenang menyebabkan
tanahnya menjadi asam.
Iklim mempengaruhi proses pembentukan tanah melalui
unsur-unsur iklim utama yaitu suhu dan curah hujan :
a. Suhu akan berpengaruh terhadap proses hancuran
bahan induk. Apabila suhu tinggi, maka proses
hancuran iklim (weathering process) akan
berlangsung cepat sehingga pembentukan tanah akan
berjalan cepat pula.
b. Curah hujan akan berpengaruh terhadap kekuatan
erosi dan pencucian tanah, sedangkan pencucian
tanah yang cepat menyebabkan tanah menjadi asam
(pH tanah menjadi rendah).
Bahan Induk terdiri dari batuan volkan, batuan beku,
batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf. Batuan
induk itu akan hancur menjadi bahan induk, yang akan
mengalami hancuran iklim menjadi tanah. Susunan kimia
dan mineral bahan induk akan mempengaruhi intensitas
tingkat hancuran iklim dan vegetasi diatasnya. Bahan
induk yang banyak mengandung unsur Ca akan
membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula
sehingga dapat menghindari pencucian asam silikat dan
sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna
kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kadar ion Ca
membentuk tanah yang warnanya lebih merah.
Proses pembentukan tanah yang terus berjalan mengubah
bahan induk tanah menjadi tanah muda (immature / young
soil), tanah dewasa (mature soil), dan akhirnya menjadi
tanah tua (old soil).
Tanah muda merupakan tanah yang berasal dari
proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral yang
membentuk horison A dari horison C. Tanah dewasa
merupakan proses yang lebih lanjut dari tanah-tanah
muda. Tanah ini ditandai dengan proses pembentukan
horison B akibat pelapukan mineral dan pencucian unsur
hara belum lanjut, sedangkan pada tanah tua terjadi
perubahan yang lebih nyata, yaitu pada horison A dan B,
dimana terjadi hancuran mineral dan pencucian basa-basa
semakin meningkat, sehingga tertinggal mineral-mineral
yang resisten (sukar hancur) di dalam tanah, dan akhirnya
tanah menjadi kurus dan masam (Hardjowigeno, 1985).
8
Tabel 5. (Lanjutan)
5.
Organisme
Menurut Rachim dan Suwardi (2002), tanah muda
jika perkembangan horison-horison tanah belum jelas.
Tanah dewasa jika perkembangan horison-horison tanah
sudah sempurna, sedangkan tanah tua jika tanah tersebut
telah mengalami perkembangan lanjut sehingga basa-basa
telah tercuci dan sebagian besar top soil (lapisan atas)
telah tererosi. Hal ini menyebabkan tanah muda dan tanah
dewasa tergolong subur, sedangkan tanah tua memiliki
tingkat kesuburan yang rendah karena lapisan atasnya
telah banyak tercuci.
Organisme sangat berpengaruh terhadap proses
pembentukan tanah dalam hal :
a. Membuat proses pelapukan, baik pelapukan organik
maupun pelapukan kimiawi. Pelapukan organik adalah
pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan
dan tumbuhan), sedangkan pelapukan kimiawi adalah
pelapukan yang terjadi oleh proses kimia seperti batu
kapur larut oleh air.
b. Membantu proses pembentukan humus. Tumbuhan
akan menyisakan daun-daunan dan ranting-ranting
yang jatuh dan menumpuk di permukaan tanah. Daun
dan ranting itu akan membusuk dengan bantuan jasad
renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah.
c. Pengaruh jenis vegetasi terhadap sifat-sifat tanah
sangat nyata terjadi di daerah beriklim humid.
Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan
warna merah, sedangkan vegetasi rumput akan
membentuk tanah yang berwarna hitam karena banyak
kandungan bahan organik yang berasal dari akar-akar
dan sisa-sisa rumput.
d. Kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada
tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah.
Contoh, pohon cemara akan memberi unsur-unsur
kimia, seperti Ca, Mg, dan K yang relatif rendah,
sehingga tanah di bawah pohon cemara tersebut
memiliki tingkat derajat keasamannya lebih tinggi.
9
2.4 Konsep Tanah dan Klasifikasinya
Menurut Arsyad (2006), tanah sebagai produk alami yang bersifat heterogen
dan dinamik, maka ciri dan perilaku tanah dapat berbeda dari satu tempat ke
tempat lain dan dari waktu ke waktu. Ilmu Tanah memandang tanah dari dua
konsep utama, yaitu : pendekatan pedologi yang merupakan hasil proses hancuran
iklim terhadap bahan induk melalui proses bio-fisik-kimia dan pendekatan
edafologi yang merupakan habitat tumbuhan.
Klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengelompokkan tubuh-tubuh tanah
yang sama berdasarkan sifat-sifat penciri tertentu. Kepentingan klasifikasi tanah
didasarkan atas terbentuknya tanah yang berbeda-beda pada posisi landscape
berbeda dan atau faktor-faktor pembentuk tanah berbeda (Rachim dan Suwardi,
2002). Sistem klasifikasi tanah dikelompokkan kedalam dua macam, yaitu :
klasifikasi teknikal dan klasifikasi alami. Klasifikasi teknikal disusun atas dasar
keperluan-keperluan khusus dengan memilih ciri-ciri tertentu, sedangkan
klasifikasi alami disusun berdasarkan semua sifat atau ciri alami yang dijumpai di
alam (Soepardi, 1983).
Menurut Rachim dan Suwardi (2002), sistem klasifikasi tanah yang
digunakan adalah Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah (Soil Taxonomy) yang
dikembangkan oleh USDA/Soil Survey Staff mulai Tahun 1975 yang dikenal
sebagai Agricultural Handbook No. 436 (Edisi Pertama Soil Taxonomy) dan
sampai saat ini masih mengalami pembaharuan-pembaharuan. Indonesia termasuk
negara yang merekomendasikan penggunaan Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah
dalam kegiatan Survei Tanah, karena Taksonomi Tanah dinilai lebih
komperhensif dibandingkan dengan sistem yang dikembangkan sebelumnya, yaitu
: Dudal Soepraptohardjo (1957), Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1980) dan FAO/
UNESCO (1974).
Sistem Klasifikasi Taksonomi Tanah memiliki enam kategori dengan sifatsifat faktor pembeda mulai dari kategori tertinggi sampai terendah, yaitu : Order,
Suborder, Great Group, Subgroup, Family, dan Series (Soil Survey Staff, 1975)
yang setara dengan Kategori Golongan, Kumpulan, Jenis, Macam, Rupa, dan Seri
Tanah (PPT, 1983).
10
2.5 Hubungan antara Proses Geomorfik dan Pedogenesis
Sistem lahan dan tanah terbentuk melalui proses geomorfik dan pedogenesis.
Proses geomorfik berperan dalam membentuk dan mengubah permukaan bumi
melalui proses penghancuran, deposisi, pergerakan massa, dan pengendapan baik
secara lateral maupun vertikal yang disebabkan oleh perbedaan posisi dan
kemiringan lereng pada setiap satuan bentuk lahannya (Gambar 2), sehingga
terbentuk berbagai landform, sedangkan proses pedogenesis menghasilkan tubuh
tanah. Sejalan dengan adanya kesamaan faktor genetik dan proses genesis antara
tanah dan lahan, maka van Wambeke dan Forbes (1986) menjelaskan, proses
pembentukan lahan (proses geomorfik) hanya didasarkan pada faktor abiotik
sedangkan faktor biotik hanya berperan sebagai indikator dan proses pembentukan
tanah (proses pedogenesis) didasarkan pada faktor-faktor abiotik (iklim, bahan
induk, topografi, waktu) dan biotik (vegetasi). Hal ini menunjukkan bahwa proses
geomorfik mempunyai hubungan yang erat dengan proses pedogenesis, yaitu :
pembentukan, sifat, dan ciri tanah.
Puncak/ Cembung (Erosional)
Lereng / Lurus (Transportasional)
Kaki Lereng / Cekung (Deposisional)
Gambar 2. Hubungan antara Posisi Lereng dengan Proses yang Terjadi Secara Umum
(Wiradisastra et al., 2002)
Download