Document

advertisement
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Penelitian Pendahuluan dan
(2) Penelitian Utama.
4.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui jumlah penambahan
CMC yang tepat digunakan dalam pembuatan mi basah ikan nila. Hasil
penambahan CMC yang diambil adalah 2,5% dari basis yang diinginkan. Skor
dari uji organoleptik dengan metode rentang dapat dilihat pada tabel 7.
Skor dari tabel 7 dipilih berdasarkan skor tertinggi dari seluruh atribut yang
diuji untuk penentuan sampel terpilih pada penelitian pendahuluan menggunakan
uji kesukaan atau hedonik dengan metode rentang yang dapat dilihat pada
lampiran 8.
Tabel 7. Hasil Uji Hedonik dengan Metode Rentang
Sampel
Warna
Rasa
Tekstur
Jumlah
f1
3
2
1
6
f2
3
3
3
9
f3
1
1
1
3
Keterangan :
- f1 adalah formulasi mi basah ikan dengan penambahan 2% CMC.
- f2 adalah formulasi mi basah ikan dengan penambahan 2,5% CMC.
- f3 adalah formulasi mi basah ikan dengan penambahan 3% CMC.
Hasil uji kesukaan panelis terhadap 3 formulasi maka sampel pada
penelitian pendahuluan yang menghasilkan mi basah ikan dengan warna, rasa, dan
tekstur yang paling disukai atau terpilih adalah sampel f2 dengan penambahan
33
34
CMC 2,5%. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempengaruhi
kesukaan para panelis, hal ini dapat dilihat dari segi:
a. Warna
Warna mi basah ikan nila dengan sampel f1 dan f2 memiliki warna yang
paling disukai oleh panelis. Hal ini dikarenakan penambahan CMC yang tidak
terlalu banyak sehingga tidak banyak merubah warna dari mi basah ikan yaitu
putih dengan sedikit transparan.
Warna merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu bahan pangan
sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan secara visual. Suatu bahan pangan
yang bergizi, enak, dan tekstur baik akan kurang disukai jika mempunyai warna
yang menyimpang dari warna yang seharusnya. Penerimaan warna suatu bahan
berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan aspek sosial masyarakat
penerima. Faktor-faktor yang menyebabkan suatu bahan makanan berwarna
adalah pigmen alami yang terdapat dalam bahan pangan tersebut (Winarno, 1992).
Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat
digunakan sebagai indikator kesegaran dan kematangan. Baik tidaknya cara
pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang
seragam dan merata (Winarno, 1992).
b. Rasa
Rasa mi basah ikan nila pada sampel f2 memiliki rasa yang paling disukai
oleh panelis. Hal ini disebabkan oleh penambahan CMC yang optimum sehingga
tidak menghilangkan rasa yang sudah ada dan tidak membuat adanya rasa asing
yang dirasakan oleh panelis.
35
Semakin kental suatu bahan, penerimaan terhadap zat – zat pengental
seperti CMC (Carboxy Methyl Cellulose) dapat mengurangi rasa asam sitrat, rasa
pahit kefein, ataupun rasa manis sukrosa, sebaliknya akan meningkatkan rasa asin
NaCl ataupun rasa manis sakarin (Winarno, 1992).
Rasa merupakan persepsi dari sel pengecap meliputi rasa asin, manis,
asam, dan pahit yang diakibatkan oleh bahan yang terlarut dalam mulut
(Soekarto, 1985).
Rasa berbeda dengan bau dan lebih banyak melibatkan panca indera lidah.
Penginderaan cecapan dapat dibagi menjadi empat cecapan utama yaitu asin,
asam, manis, dan pahit (Winarno, 1992).
c. Tekstur
Tekstur mi basah ikan pada sampel f2 memiliki tekstur yang paling
disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan karena penambahan CMC 2,5% membuat
tekstur dari mi basah ikan nila menyerupai tekstur mi basah pada umumnya yaitu
tidak terlalu keras dan kenyal.
Menurut Winarno (1992), tekstur dan konsistensi suatu bahan akan
mempengaruhi cita rasa yang ditimbulkan oleh bahan tersebut. Perubahan tekstur
atau viskositas bahan dapat mengubah rasa dan bau yang timbul karena dapat
mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan terhadap sel reseptor olfaktori
dan kelenjar air liur.
36
4.2. Hasil Penelitian Utama
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan pati sagu
dan ikan nila serta waktu perebusan terhadap karakteristik dari mi basah ikan nila.
Respon kimia yang dilakukan terhadap hasil penelitian utama untuk mi
basah ikan nila adalah kadar air, kadar protein, dan kadar abu serta uji
organoleptik yang meliputi atribut warna, rasa, dan tekstur serta respon
mikrobiologi dengan cara menghitung total koloni pada mi basah ikan nila.
4.2.1. Respon Kimia
1. Kadar Protein
Selain karbohidrat dan lemak, pemenuhan zat gizi yang baik untuk
pertumbuhan dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung
protein. Protein yang bermutu baik berasal dari bahan pangan yang memiliki
kondisi yang baik, seperti kacang-kacangan, susu, dan lain-lain. Walaupun tak
jarang protein sangat sedikit dikandung oleh makanan yang sebagian besar
mengandung lemak, contohnya produk olahan daging atau ikan.
Protein adalah suatu bahan makanan makronutrien, molekul protein
mengandung unsur yang khusus yang tidak terdapat dalam karbohidrat dan lemak
yaitu unsur nitrogen. Protein sangat penting bagi tubuh, karena zat ini disamping
berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun
tubuh.
Mi basah ikan nila dibuat menggunakan campuran pati sagu dan ikan nila,
dengan adanya pemanasan, protein dalam bahan makanan akan mengalami
perubahan dan membentuk persenyawaan dengan bahan lain, misalnya antara
37
asam amino hasil perubahan protein dengan gula-gula reduksi yang membentuk
senyawa rasa dan aroma makanan. Pemanasan yang berlebihan atau perlakuan
lain mungkin akan merusak protein apabila dipandang dari sudut gizinya
(Sudarmadji, 1989).
Hasil penelitian bervariansi dari setiap perlakuan untuk kadar protein mi
basah ikan nila. Dari hasil analisis kadar protein mi basah ikan nila untuk setiap
perlakuan serta hasil sidik ragam (ANAVA), menunjukkan bahwa interaksi antara
perbandingan konsentrasi pati sagu dan ikan nila (S) dan waktu perebusan mi (T)
berpengaruh nyata terhadap kadar protein mi basah ikan nila yang dapat dilihat
dari tabel 8.
Tabel 8.
Pengaruh Perbandingan Pati Sagu dan Ikan Nila terhadap Kadar
Protein Mi Basah Ikan Nila
Pati Sagu dan Ikan Nila
Lama Perebusan
(S)
(T)
s2
s3
s1
(55%:45%)
(50%:50%)
(45%:55%)
B
B
C (*)
t1
12,11
13,56
22,6
(3 menit)
a
b
c
A
B
B
t2
11,23
16,29
20,61
(5 menit)
c
b
a
C
C
A
t3
13,35
18,22
19,93
(7 menit)
a
b
c
Keterangan : 1. Huruf (kecil) dibaca horizontal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
2. Huruf (besar) dibaca vertikal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%
Tabel 8 perlakuan penambahan perbandingan konsentrasi pati sagu 55% dan
ikan nila 45% (s1) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar
38
protein mi basah pada setiap perlakuan lama perebusan. Perlakuan penambahan
perbandingan konsentrasi pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2) menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap kadar protein mi basah ikan nila pada perebusan 5
menit (t2) dan perebusan 7 menit (t3), tetapi tidak berpengaruh nyata pada
perebusan 3 menit (t1), sedangkan perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu
45% dan ikan nila 55% (s3) memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar
protein mi basah ikan nila pada perlakuan perebusan 5 menit (t2), tetapi tidak
memberikan perbedaan nyata pada perlakuan perebusan 3 menit (t1) dan 7 menit
(t3).
Pada tabel 8 perlakuan lama perebusan 3 menit (t1) menunjukkan perbedaan
yang nyata terhadap kadar protein mi basah ikan nila pada perbandingan pati sagu
45% dan ikan nila 55% (s3), tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap warna mi basah ikan nila pada perbandingan pati sagu 55% dan ikan nila
45% (s1) dan pada perbandingan pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2). Pada
perlakuan perebusan mi basah 5 menit (t2) menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap kadar protein mi basah ikan nila di setiap perlakuanya, dan pada
perlakuan perebusan mi basah 7 menit (t3) menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap kadar protein mi basah ikan nila pada setiap perlakuan perbandingan pati
sagu dan ikan nila.
Hasil analisis pada tabel 8 diatas menyatakan bahwa semakin meningkatnya
konsentrasi dari ikan nila yang diberikan terhadap produk mi basah memberikan
perbedaan nyata terhadap kadar protein. Semakin meningkatnya konsentrasi ikan
nila maka kadar protein yang terkandung dalam mi basah juga semakin besar,
39
karena ikan nila mengandung sejumlah protein, yaitu sebesar 20,08 % sehingga
semakin tinggi konsentrasi ikan nila yang diberikan maka kadar protein pada mi
basah semakin besar, tetapi dengan semakin meningkatnya konsentrasi dari pati
sagu yang diberikan terhadap produk mi basah memberikan perbedaan nyata
terhadap kadar protein, selain itu waktu perebusan juga mempengaruhi kadar
protein pada mi basah ikan nila dimana semakin lama waktu perebusan maka
kadar protein pada mi basah akan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena
protein mengalami kerusakan saat perebusan yaitu proses koagulasi yang
menyebabkan kadar protein pada mi basah ikan nila menurun.
Hasil perhitungan menyatakan kadar protein mi basah ikan nila pada setiap
perlakuan memiliki nilai rata-rata 11,23 - 21,06%, sedangkan menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) tahun 1992 mi basah minimal mempunyai kadar protein
8%, sehingga dapat diketahui kadar protein pada setiap perlakuan mi basah ikan
nila memenuhi SNI. Protein yang tinggi dari mi basah ikan nila didapat dari ikan
nila, dimana ikan nila mempunyai kadar protein sebesar 20,8%. Protein berguna
sebagai zat pembangun tubuh sehingga semakin tinggi kandungan protein maka
semakin baik juga makanan tersebut untuk dikonsumsi.
Kadar protein pada mi basah ikan nila yang dipilih adalah perbandingan
pati sagu 45% dan ikan nila 55% dengan lama waktu perebusan 3 menit (s3t1),
perlakuan ini dipilih karena memiliki kadar protein yang paling tinggi dan
mempunyai waktu perebusan yang paling singkat sehingga dapat menghemat
waktu dan biaya pembuatan mi basah.
40
2. Kadar Abu
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara
lain untuk menentukan baik atau tidaknya suatu pengolahan, mengetahui jenis
bahan yang digunakan, dan sebagai penentu parameter nilai gizi suatu bahan
makanan. Penggilingan gandum, misalnya, apabila masih banyak lembaga dan
endosperm maka kadar abu yang dihasilkannya tinggi. Banyaknya lembaga dan
endosperm pada gandum menandakan proses pengolahan kurang baik karena
masih banyak mengandung bahan pengotor yang menyebabkan hasil analisis
kadar abu menjadi tidak murni. Kandungan abu juga dapat digunakan untuk
memperkirakan kandungan dan keaslian bahan yang digunakan. Kadar abu
sebagai parameter nilai gizi, contohnya pada analisis kadar abu tidak larut asam
yang cukup tinggi menunjukkan adanya kontaminan atau bahan pengotor pada
makanan tersebut. Penentuan kadar abu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pengabuan cara langsung (cara kering) dan pengabuan cara tidak langsung (cara
basah) (Sudarmadju, 2003).
Hasil penelitian bervariasi dari setiap perlakuan untuk kadar abu mi basah
ikan nila. Dari hasil analisis kadar abu mi basah ikan nila untuk setiap perlakuan
serta hasil sidik ragam (ANAVA), menunjukkan bahwa interaksi antara
perbandingan konsentrasi pati sagu dan ikan nila (S) dan waktu perebusan (T)
berpengaruh terhadap kadar abu mi basah ikan nila yang dapat dilihat pada
tabel 9.
41
Tabel 9.
Pengaruh Perbandingan Pati Sagu dan Ikan Nila terhadap Kadar
Abu Mi Basah Ikan Nila
Pati Sagu dan Ikan Nila
Lama Perebusan
(S)
(T)
s2
s3
s1
(55%:45%)
(50%:50%)
(45%:55%)
B
A
B(*)
t1
1,6
1,2
1,49
(3 menit)
b
a
a
A
A
A
t2
0,94
0,94
0,87
(5 menit)
a
a
a
B
A
A
t3
1,82
1,06
0,75
(7 menit)
b
a
a
Keterangan : 1. Huruf (kecil) dibaca horizontal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
2. Huruf (besar) dibaca vertikal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%
Tabel 9 perlakuan penambahan perbandingan konsentrasi pati sagu 55% dan
ikan nila 45% (s1) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu
mi basah pada setiap perlakuan lama perebusan. Perlakuan penambahan
perbandingan konsentrasi pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2) tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu mi basah ikan nila pada
setiap perlakuan perebusan, sedangkan perlakuan perbandingan konsentrasi pati
sagu 45% dan ikan nila 55% (s3) memberikan perbedaan yang nyata terhadap
kadar protein mi basah ikan nila pada perlakuan perebusan 7 menit (t3), tetapi
tidak memberikan perbedaan nyata pada perlakuan perebusan 3 menit (t1) dan 5
menit (t2).
Pada tabel 9 perlakuan lama perebusan 3 menit (t1) tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap kadar abu mi basah ikan nila pada setiap perlakuan
42
perbandingan pati sagu dan ikan nila. Pada perlakuan perebusan mi basah 5 menit
(t2) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu mi basah ikan
nila di setiap perlakuanya, dan pada perlakuan perebusan mi basah 7 menit (t3)
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap kadar abu mi basah ikan nila pada
perlakuan perbandingan pati sagu 55% dan ikan nila 45% (s1) dan tidak
menunjukkan perbedaan nyata pada perlakuan perbandingan pati sagu 50% dan
ikan nila 50% (s2) serta perbandingan pati sagu 45% dan 55% (s3).
Hasil perhitungan menyatakan kadar abu mi basah ikan nila pada setiap
perlakuan memiliki nilai rata-rata 0,75 - 1,82%, sedangkan menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) tahun 1992 mi basah maksimal mempunyai kadar abu
3%, hal ini menunjukkan bahwa mi basah ikan nila mempunyai kadar abu yang
sesuai dengan SNI sehingga mia basah ikan nila layak untuk diproduksi.
Hasil analisis pada tabel 9 menunjukkan bahwa semakin banyak
penambahan ikan nila maka kadar abu pada mi basah ikan nila akan semakin
meningkat, ini terjadi karena ikan nila mengandung mineral sehingga semakin
banyak ikan nila yang ditambahkan maka kadar abu pada mi basah akan semakin
tinggi. Perlakuan waktu perebusan yang berbeda juga mempengaruhi kadar abu
yang ada pada mi basah ikan nila karena semakin lama waktu perebusan yang
diberikan maka kadar abu yang ada pada mi basah ikan nila akan semakin kecil
karena banyak mineral yang telah larut saat perebusan.
Kadar abu yang dipilih pada pembuatan mi basah ikan nila adalah
perlakuan perbandingan pati sagu 45% dan ikan nila 55% serta lama perebusan 3
43
menit (s3t1) karena pada perlakuan ini tidak ada perbedaan nyata dengan lama
perebusan 5 dan 7 menit, sehingga dapat memaksimalkan energi yang digunakan.
3. Kadar air
Kadar air menjadi salah satu parameter utama yang menentukan kualitas
produk makanan seperti mi. Kadar air yang rendah dapat mencegah tumbuhnya
bakteri atau jamur yang dapat menyebabkan kerusakan produk. Kadar air sangat
penting untuk peranannya dalam mempertahankan mutu bahan pangan, semakin
kecil kadar air yang diperoleh semakin baik mutu produk bahan pangan tersebut.
Selain itu kadar air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
terhadap kestabilan iodium dalam bahan pangan (Cahyadi 2008 dan Desmawarni
2007).
Tabel 10. Efek Perbandingan Konsentrasi Pati Sagu dan Ikan Nila (S)
terhadap Kadar Air Mi Basah
Konsentrasi Pati Sagu
Nilai Pengamatan
Taraf Nyata 5%
dan Ikan Nila
50,31
A
s1 (55%:45%)
51,49
A
s2 (50%:50%)
55,46
B
s3 (45%:55%)
Keterangan :
- s1 adalah perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 55% dengan ikan
nila 45%.
- s2 adalah perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 50% dengan ikan
nila 50%.
- s3 adalah perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 45% dengan ikan
nila 55%.
Hasil penelitian bervariansi dari setiap perlakuan untuk kadar air mi basah
ikan nila. Dari hasil analisis kadar air mi basah ikan nila untuk setiap perlakuan
serta hasil sidik ragam (ANAVA), menunjukkan bahwa interaksi antara
perbandingan konsentrasi pati sagu dan ikan nila (S) dan waktu perebusan (T)
tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air mi basah ikan nila, berbeda dengan
44
perbandingan konsentrasi pati sagu dan ikan nila (S) yang secara mandiri
memberikan pengaruh terhadap kadar air produk olahan mi basah antar perlakuan.
Berdasarkan tabel 10 diatas, bahwa dengan semakin menurunnya
konsentrasi dari pati sagu dan meningkatnya konsentrasi ikan nila yang diberikan
terhadap produk mi basah memberikan perbedaan nyata terhadap kadar air,
semakin menurunnya konsentrasi pati sagu maka kadar air yang terkandung dalam
mi basah juga semakin besar. Ini dapat disebabkan karena pati sagu yang menurun
bersamaan dengan daging ikan nila yang meningkat sehingga kadar air pada mi
basah menjadi meningkat karena ada penambahan kandungan air dari ikan nila.
Perlakuan penambahan perbandingan pati sagu 55% dan ikan nila 45% (s1)
dan perbandingan pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2) tidak menunjukkan
perbedaan nyata, berbeda dengan perlakuan penambahan pati sagu 45% dan ikan
nila 55% (s3) yang menunjukkan perbedaaan nyata terhadap kadar air mi basah.
Hasil perhitungan menyatakan kadar air mi basah ikan nila pada setiap
perlakuan memiliki nilai rata-rata 50,31-55,46%, sedangkan menurut Standar
Nasional Indonesia (SNI) tahun 1992 mi basah mempunyai kadar air 20 – 35%.
Kadar air pada mi basah ikan nila melebihi batas kadar air SNI, ini terjadi karena
kesalahan peneliti dalam memperhitungkan penambahan air untuk membuat
adonan, sehingga dengan meningkatnya kadar air pada mi basah ikan nila akan
membuat umur simpan dari mi basah ikan nila menjadi singkat, karena semakin
tinggi kandungan air pada bahan maka akan lebih mudah rusak akibat aktivitas
mikroorganisme yang meningkat.
45
Cara penanggulangan untuk mencegah kerusakan mi basah ikan nila ini
dengan melakukan penyimpanan dengan suhu yang rendah antara 3 - 5oC. Cara
lain yang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan mi basah karena aktivitas
mikroorganisme adalah dengan mengurangi kadar air pada mi dengan cara
pengeringan, hal ini dapat mencegah aktivitas mikroorganisme karena air
merupakan media aktivitas mikroorganisme.
4.2.2. Respon Organoleptik
1. Warna
Penentuan mutu bahan pangan sebelum faktor lain (seperti rasa dan
sebagainya) dijadikan bahan pertimbangan faktor warna tampil lebih dahulu,
kadang-kadang sangat menentukan, suatu bahan pangan yang bernilai gizi, enak
dan tekturnya sangat baik, kurang dinikmati bila memiliki warna yang tidak sedap
dipandang atau memberi kesan telah menyimpang dari warna yang seharusnya
(Winarno, 1992).
Hasil penelitian bervariasi dari setiap perlakuan untuk warna mi basah ikan
nila, dari hasil analisis warna mi basah ikan nila untuk setiap perlakuan serta hasil
sidik ragam (ANAVA), menunjukkan bahwa interaksi antara perbandingan
konsentrasi pati sagu dan ikan nila (S) dan waktu perebusan (T) berpengaruh
terhadap warna mi basah ikan nila yang dapat dilihat pada tabel 11.
46
Tabel 11. Pengaruh Perbandingan Pati Sagu dan Ikan Nila terhadap Warna
Mi Basah Ikan Nila
Perbandingan Pati Sagu dan Ikan Nila
Lama Perbusan
(s)
(t)
s1
s2
s3
(55%:45%)
(50%:50%)
(45%:55%)
A
A
A (*)
t1
3,511
3,467
3,778
(3 Menit)
a
a
b
A
A
A
t2
3,556
3,444
3,733
(5 Menit)
a
a
b
A
B
B
t3
3,467
4,022
3,867
(7 Menit)
a
b
b
Keterangan : 1. Huruf (kecil) dibaca horizontal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
2. Huruf (besar) dibaca vertikal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
Pada tabel 11 perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 55% dan ikan
nila 45% (s1) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap warna mi basah ikan
nila pada perebusan mi basah ikan nila selama 5 menit (t2). Perlakuan
perbandingan pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2) menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap warna mi basah ikan nila pada perebusan 7 menit (t3). Perlakuan
perbandingan pati sagu 45% dan ikan nila 55% (s3) tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata di setiap lama perebusan.
Warna dari mi basah ikan nila berpengaruh oleh perbandingan pati sagu
dan ikan nila karena pada penambahan pati sagu dengan konsentrasi yang
semakin banyak akan membuat warna dari mi basah semakin transparan karena
semakin banyak air yang terperangkap di granula pati yang dapat membiaskan
cahaya.
47
Pada tabel 11 perlakuan lama perebusan 3 menit (t1) menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap warna mi basah ikan nila pada perbandingan pati
sagu 45% dan ikan nila 55% (s3), tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap warna mi basah ikan nila pada perbandingan pati sagu 55% dan ikan nila
45% (s1) dan pada perbandingan pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2). Pada
perlakuan perebusan mi basah 5 menit (t2) menunjukkan perbedaan yang nyata di
setiap perlakuanya, dan pada perlakuan perebusan mi basah 7 menit (t3)
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap warna mi basah pada perlakuan
perbandingan pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2) dan perlakuan perbandingan
pati sagu 45% dan ikan nila 55% (s3), tetapi tidak berpengaruh nyata pada
perlakuan perbandingan pati sagu 55% dan ikan nila 45% (s1).
Warna putih pada pati sagu akan mempengaruhi warna dari mi basah
semakin meningkat konsentrasi yang diberikan warna dari mi basah akan semakin
menurun menjadi lebih muda dari warna sebelumnya yang dikarenakan pati
mengalami gelatinisasi yang membuat warna putih dari mi menjadi transparan.
Hasil uji organoleptik terhadap warna mi basah ikan nila menunjukkan
perlakuan yang berbeda pada taraf nyata 5%, artinya produk mi basah yang
dihasilkan memiliki warna yang tidak seragam. Hal ini dapat disebabkan oleh
faktor pemasakan dan juga adanya perbedaan penggunaan bahan baku ikan nila
dalam pengolahan menjadi produk mi basah. Selain itu pati sagu dan ikan nila
didalam mi basah dapat menyebabkan reaksi maillard yang dapat membuat warna
mi basah menjadi coklat. Hal ini akibat dari suhu yang tidak terkontrol, sehingga
akan menghasilkan warna yang kurang menarik.
48
Warna mi basah pada penelitian ini yang disukai panelis adalah mi basah
dengan perlakuan s3t1 yaitu perbandingan pati sagu 45% dan ikan nila 55% serta
lama perebusan 3 menit dengan warna putih sedikit transparan. Warna perlakuan
s3t1 paling disukai karena mempunyai warna yang tidak terlalu transparan dan
tidak terlalu putih sehingga menarik untuk panelis dalam menentukan pilihannya.
2. Rasa
Umumnya bahan pangan atau produk pangan tidak hanya terdiri dari satu
rasa, tetapi merupakan gabungan dari berbagai macam rasa secara terpadu
sehingga menimbulkan cita rasa yang utuh (Kartika, 1988)
Tabel 12. Pengaruh Perbandingan Pati Sagu dan Ikan Nila serta Lama
Perebusan Terhadap Rasa Mi Basah Ikan Nila
Pati Sagu dan Ikan Nila
Lama Perebusan
(S)
(T)
s1
s2
s3
(55%:45%)
(50%:50%)
(45%:55%)
A
A
C (*)
t1
2,978
3,089
3,622
(3 menit)
a
a
b
A
A
A
t2
3,022
3,089
3,244
(5 menit)
a
a
b
B
B
B
t3
3,244
3,711
3,556
(7 menit)
a
b
b
Keterangan : 1. Huruf (kecil) dibaca horizontal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
2. Huruf (besar) dibaca vertikal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
Hasil penelitian bervariasi dari setiap perlakuan untuk rasa mi basah ikan
nila. Dari hasil analisis rasa mi basah ikan nila untuk setiap perlakuan serta hasil
sidik ragam (ANAVA), menunjukkan bahwa interaksi antara perbandingan
49
konsentrasi pati sagu dan ikan nila (S) dan lama perebusan (T) berpengaruh
terhadap rasa mi basah ikan nila yang dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12 perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 55% dan ikan nila
45% (s1) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap rasa mi basah ikan
nila di setiap waktu perebusan. Perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 50%
dan ikan nila 50% (s2) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap rasa mi basah
ikan nila pada lama perebusan 5 menit (t2) tetapi tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata terhadap rasa mi basah pada lama perebusan 3 menit (t1) dan 7 menit
(t3). Perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 45% dan ikan nila 55% (s3)
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap rasa mi basah pada lama perebusan
3 menit (t1) dan 5 menit (t2) tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
terhadap rasa mi basah ikan nila pada lama perebusan 7 menit (t3).
Tabel 12 perlakuan perebusan 3 menit (t1) menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap rasa mi basah ikan nila pada setiap penambahan perbandingan
konsentrasi pati sagu
dan ikan nila (s). Perlakuan perebusan 5 menit (t2)
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap rasa mi basah pada setiap
penambahan perbandingan konsentrasi pati sagu dan ikan nila (s) begitu juga pada
perebusan 7 menit (t3) menunjukkan perbedaan yang nyata pada setiap
penambahan perbandingan konsentrasi pati sagu dan ikan nila (s).
Rasa merupakan faktor yang cukup penting dari suatu produk makanan
selain warna dan aroma, komponen yang dapat menimbulkan rasa yang
diinginkan tergantung dari senyawa penyusunnya. Misalnya bumbu-bumbu dan
bahan tambahan lainnya yang sengaja ditambahkan yang dapat memberikan rasa
50
yang khas pada beberapa produk makanan. Citarasa suatu bahan pangan biasanya
tidak stabil, dapat mengalami perubahan selama pengolahan, dan penyimpanan.
Rasa pada mi basah ini dapat diakibatkan dari penambahan daging ikan
nila pada adonan mi basah sehingga memberikan rasa gurih. Berdasarkan tabel
diatas, semakin meningkatnya konsentrasi ikan nila yang diberikan, penilaian
panelis terhadap rasa mi basah semakin suka. Hal ini disebabkan karena pada ikan
nila memiliki kandungan protein dan lemak yang tinggi sehingga dapat
menambah cita rasa dari mi basah ikan nila.
Rasa mi basah pada penelitian ini yang disukai panelis adalah mi basah
dengan perlakuan s3t1 yaitu perbandingan pati sagu 45% dan ikan nila 55% serta
lama perebusan 3 menit.
Perlakuan s3t1 mempunyai rasa yang gurih karena penambahan ikan nila
55%, rasa gurih yang timbul dari ikan nila tersebut karena ikan nila mempunyai
lemak dan protein yang akan menambah citarasa dari produk mi basah ikan nila.
4.2.2.3. Tekstur
Tekstur adalah segi penting mutu makanan. Ciri paling penting untuk
penilaian suatu makanan adalah kekerasan dan kandungan air. Tekstur kadangkadang lebih penting daripada bau, rasa, dan warna (deMan, 1997).
Setiap bahan pangan memiliki tekstur yang bermacam-macam. Hal ini
tergantung kepada bahan baku, bahan penunjang yang digunakan serta proses
produksi yang dilakukan. Dalam memproduksi bahan pangan sudah barang tentu
hasil pengolahan harus sesuai dengan apa yang dikehendaki konsumen atau
perdagangan. Kesesuaian ini dapat menyangkut sifat-sifat bahan yang dinilai
51
secara
subjektif
dan
yang
penilaiannya
dapat
dikategorikan
objektif
(Kartika, dkk.,1987).
Hasil penelitian bervariasi dari setiap perlakuan untuk tekstur mi basah ikan
nila. Dari hasil analisis tekstur mi basah ikan nila untuk setiap perlakuan serta
hasil sidik ragam (ANAVA), menunjukkan bahwa interaksi antara konsentrasi
pati sagu (S) dan ikan nila (T) berpengaruh terhadap tekstur mi basah ikan nila
yang dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. Pengaruh Perbandingan Pati Sagu dan Ikan Nila terhadap
Tekstur Mi Basah Ikan Nila
Pati Sagu dan Ikan Nila
Lama Perebusan
(S)
(T)
s2
s3
s1
(55%:45%)
(50%:50%)
(45%:55%)
B (*)
A
B
t1
3,467
3,067
3,356
(3 menit)
b
a
b
B
A
A
t2
3,511
3,267
3,333
(5 menit)
c
a
b
A
B
B
t3
3,089
3,489
3,667
(7 menit)
a
b
c
Keterangan : 1. Huruf (kecil) dibaca horizontal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%.
3. Huruf (besar) dibaca vertikal, huruf yang berbeda menyatakan
perbedaan yang nyata pada taraf 5%
Tabel 13 perlakuan penambahan perbandingan konsentrasi pati sagu 55%
dan ikan nila 45% (s1) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tekstur
mi basah pada setiap perlakuan lama perebusan. Perlakuan penambahan
perbandingan konsentrasi pati sagu 50% dan ikan nila 50% (s2) menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap tekstur mi basah ikan nila pada perebusan 7 menit
52
(t3) tetapi tidak berpengaruh nyata pada perebusan 3 menit (t1) dan 5 menit (t2),
sedangkan perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu 45% dan ikan nila 55%
(s3) tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap tekstur mi basah ikan nila
pada setiap lama perebusan.
Mi dengan bahan dasar campuran tepung sagu memiliki kadar air yang
tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan karena jumlah gugus hidroksil dalam
molekul pati sagu cukup besar sehingga kemampuan menyerap airnya pun besar.
Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang dulunya berada dalam
granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini sudah berada
dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi. Selain itu, suhu
gelatinisasi juga mempengaruhi kandungan kadar air. Makin kental larutan maka
suhu tersebut makin lambat tercapai. Pati sagu apabila dipanaskan akan menjadi
kental sehingga menyebabkan penyerapan air lebih lambat.
Gelatinisasi merupakan peristiwa perkembangan granula pati yang
mulanya bersifat balik. Jika dipanaskan terus menerus hingga mencapai suhu
tertentu, pengembangan granula pati akan bersifat tidak dapat balik dan akan
terjadi perubahan struktur granula. Proses gelatinisasi terjadi karena kerusakan
ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan struktur dan integritas
granula pati. Jumlah fraksi amilosa-amilopektin sangat berpengaruh pada proses
gelatinisasi pati. Amilosa memiliki ukuran yang lebih kecil dengan struktur tidak
bercabang, sementara amilopektin merupakan molekul berukuran besar dengan
struktur bercabang banyak dan membentuk double helix. Saat pati dipanaskan,
beberapa double helix fraksi amilopektin merenggang dan terlepas saat ada ikatan
53
hidrogen yang terputus. Jika suhu yang lebih tinggi diberikan, ikatan hidrogen
akan semakin banyak yang terputus, menyebabkan air terserap masuk ke dalam
granula pati. Mekanisme ini yang menjelaskan bahwa terjadi proses gelatinisasi
pada larutan pati yang dipanaskan, sehingga tekstur mi basah ikan nila menjadi
kenyal (Riyadhul,2013).
Tabel 13 perlakuan perebusan 3 menit (t1) menunjukkan perbedaan yang
nyata terhadap tekstur mi basah ikan nila pada perbandingan konsentrasi pati sagu
50% dan ikan nila 50% (s2). Perlakuan perebusan 5 menit (t2) dan perebusan 7
menit (t3) menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tekstur mi basah ikan nila
pada setiap perlakuan perbandingan konsentrasi pati sagu dan daging ikan nila.
Tekstur merupakan sekelompok sifat fisik yang ditimbulkan oleh elemen
struktural bahan pangan yang dapat dirasakan oleh alat peraba (Purnomo, 1995).
Penilaian terhadap tekstur suatu bahan biasanya dilakukan dengan jari tangan
(Soewarno, 2001).
Purnomo, (1995) menyatakan bahwa banyak hal yang mempengaruhi
tekstur bahan pangan antara lain rasio protein, lemak, suhu pengolahan, kadar air
dan aktivitas air. Pati merupakan komponen utama pembentuk tekstur pada
produk makanan yang sifatnya thickening (mengentalkan) dan gelling (pembentuk
gel) seperti halnya tekstur pada mi yang membentuk gelatinisasi, sehingga
teksturnya kenyal.
Tekstur mi basah ikan nila pada penelitian ini yang disukai panelis adalah
mi basah ikan nila dengan perlakuan s1t1 yaitu perbandingan konsentrasi pati
sagu 55% dan ikan nila 45% serta lama perebusan 3 menit.
54
Tekstur yang didapat dari perlakuan s1t1 adalah tidak terlalu kenyal dan
masih agak keras, ini disebabkan karena lama waktu perebusan yang hanya 3
menit. Perlakuan ini dipilih karena mempunyai waktu perebusan yang paling
sebentar dan perbandingan pati sagu dan ikan nila paling sedikit yang dapat
mengurangi cost dalam pembuatan jika produk mi basah ikan nila dibuat dengan
skala besar.
4.2.3. Respon Mikrobiologi
Angka lempeng total merupakan salah satu cara untuk menghitung
cemaran mikroba, dimana cara ini merupakan bagian dari metode hitung cawan.
Prinsip pada metode hitungan cawan adalah jika sel jasad renik yang masih hidup
ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut akan berkembang
biak membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan dapat dihitung dengan
menggunakan mata tanpa mikroskop.
Hasil dari pengujian angka lempeng total selama 3 hari pada produk mi
basah ikan nila di suhu ruang pada setiap perlakuan adalah pada hari ke-1
perlakuan s2t1 mempunyai total koloni terbanyak yaitu 9x101, hari ke-2 perlakuan
s3t2 mempunyai total koloni terbanyak yaitu 5,8x104, dan pada hari ke-3
perlakuan s3t1 mempunyai koloni terbanyak yaitu 8,9x105, dimana pada setiap
perlakuan selama 3 hari pada pengujian angka lempeng total masih berada di
bawah SNI mi basah yaitu 1,0 x 106 sehingga semua perlakuan pada pembuatan
mi basah ikan nila layak untuk dikonsumsi karena mempunyai total koloni yang
rendah sampai hari ke-3.
Download