BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Kajian Teoritis 2.1.1

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1
Kajian Teoritis
2.1.1 Hakekat Empati
Empati adalah sebagai keadaan emosional yang dimiliki seseorang yang sesuai
dengan apa yang dirasakan orang lain (Batso dan Coke dalam Eisenbeng & Trayer, 1987
: 2 ). Selain itu Hetherington dan Park (dalam Hetherington, 1999 : 2 ) menyatakan
bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sama
dengan emosi yang dirasakan orang lain. Empati yang dimiliki dapat membuat seseorang
mengenal dan memahami emosi, pikiran serta sikap orang lain.
Eisenberg dan Mussen (dalam Eisenberg & Strayer, 1987 : 2) berpendapat bahwa
empati merupakan keadaan afektif yang seolah – olah dialami sendiri yang berasal dari
keadaan atau emosi orang lain yang mirip dengan keadaan atau kondisi orang tersebut.
Respon afeksi itu sendiri menurut Hoffman (dalam Goleman, 1995 : 2) lebih jelas
dirasakan sebagai situasi orang lain dari situasi diri sendiri, empati juga sebagai
kemampuan untuk meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan mampu
menghayati pengalaman orang lain tersebut.
Berdasarkan pengertian – pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
empati adalah suatu kemampuan untuk menempatkan diri pada pikiran dan perasaan
orang lain tanpa harus secara nyata terlibat dalam perasaan maupun tanggapan orang
tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi tersebut lebih nyata dirasakan sebagai
situasi orang lain daripada situasi diri sendiri.
Berdasarkan skala empati yang dibuat Davis (1983 : 2) secara global ada dua
komponen dalam empati, yaitu komponen kognitif dan komponen afektif yang masingmasing mempunyai dua aspek yaitu : komponen kognitif terdiri dari Perspective Taking
(PT) dan Fantacy (FS), sedangkan komponen afektif meliputi Empathic Concern (EC)
dan Personal Distress (PD). Keempat aspek tersebut mempunyai arti sebagai berikut :
a. Perspective Taking (PT)
Kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang psikologis orang lain
secara spontan. Mead (dalam Davis, 1983 : 2) menekankan pentingnya kemampuan
dalam perspective taking untuk perilaku non egosentrik, yaitu kemampuan yang tidak
berorientasi pada kepentingan sendiri, tetapi pada kepentingan orang lain. Coke
(dalam Davis, 1983 : 2) menyatakan bahwa perspective taking berhubungan dengan
reaksi emosional dan perilaku menolong pada orang dewasa.
b. Fantacy (FS)
Kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara imajinatif dalam
mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal dalam buku, film atau cerita
yang dibaca dan ditontonnya. Fantacy merupakan aspek yang berpengaruh pada
reaksi emosi terhadap orang lain dan menimbulkan perilaku menolong.
c. Empathic Concern (EC)
Perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap
kemalangan orang lain. Aspek ini juga merupakan cermin dari perasaan kehangatan
yang erat kaitannya dengan kepekaan dan kepedulian terhadap orang lain.
d. Personal Distress (PD)
Menekankan pada kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri sendiri serta
kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal yang tidak menyenangkan.
Personal Distress yang tinggi membuat kemampuan sosialisai seseorang menjadi
rendah.
Agar seseorang dapat berempati, ia harus mengamati dan menginterpretasikan
perilaku orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan
seseorang dalam menginterpretasikan informasi yang diberikan orang lain mengenai
situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap – sikap mereka.
Seseorang dapat menginterpretasikan orang lain bahagia, cemas, sedih, marah
atau bosan biasanya melalui ekspresi wajah yang tampak, seperti tersenyum,
menyeringai, cemberut atau ekspresi lain. Selain itu sikap badan, suara dan gerak isyarat
juga dapat dijadikan petunjuk penting suasana hati yang sedang dialami seseorang.
Kemampuan berempati yang dimiliki oleh masing – masing individu berbeda – beda.
Reaksi empati yang ditujukan pada orang lain seringkali didasarkan pada pengalaman
masa lalu. Biasanya seseorang merespon pengalaman orang lain secara lembih empatik
apabila sebelumnya ia mempunyai pengalaman yang mirip dengan orang tersebut, sebab
itu akan menimbulkan kemiripan kualitas pengalaman emosi.
Krebs (1987 Hal : 3) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah berempati
terhadap orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya daripada orang yang tidak
memiliki kesamaan.
Empati bagi seorang individu mempunyai beberapa fungsi, yaitu :
a. Menyesuaikan Diri
Empati mempermudah proses adaptasi karena ada kesadaran dalam diri bahwa sudut
pandang setiap orang berbeda.
b. Mempercepat Hubungan Dengan Orang Lain
Setiap orang berusaha untuk berempati, maka salah paham, perdebatan dan
ketidaksepakatan antar individu dapat dihindari
c. Meningkatkan Harga Diri
Empati berperan besar dalam hubungan sosial. Richard (Jones, 1992 : 4) menyatakan
bahwa hubungan sosial merupakan media berkreasi dan menyebabkan tumbuhnya
rasa harga diri dalam diri seseorang.
d. Meningkatkan Pemahaman Diri
Kemampuan dalam memahami perspektif orang lain, menyebabkan seorang individu
sadar bahwa orang lain dapat melakukan penilaian berdasarkan perilakunya. Hal itu
akan menyebabkan individu lebih sadar dan memperhatikan pendapat orang lain
tentang dirinya.
2.1.2 Macam dan Ruang Empati
Memang, berempati letaknya di dalam hati. Tetapi empati bisa dituangkan dalam
berbagai bentuk. Hal itu sekaligus memberi banyak kesempatan kepada setiap orang,
untuk peduli kepada sesama. Layaknya obat serba guna, empati bisa mengobati
bermacam luka dan menghibur berbagai derita.
Terdapat banyak hal yang dapat
menjadi sumber inspirasi untuk berempati.
Berikut ini beberapa macam ruang empati yang bisa menjadi bahan renungan bersama
(Tarbawi, 2001 : 9 – 11) antara lain adalah :
a.
Empati Untuk Investasi Sumber Daya Manusia Masa Depan
Lingkup empati bisa dalam bentuk mencegah terjadinya lost generation. Di
Indonesia, ancaman hilangnya generasi sudah sangat serius. Selain karena kekurangan
gizi, juga karena banyak anak – anak yang menjadi korban kerusuhan.
b.
Empati Untuk Keselamatan Hidup di Akhirat
Seseorang bisa berempati terhadap sesama, untuk saling mencari keselamatan bagi
kehidupan di akhirat kelak. Empati itu bisa diwujudkan dengan mengajak diri sendiri dan
orang lain untuk mencari jalan yang diridhai Allah. Dengan cara menda’wahi, memberi
nasehat setulus hati, mengajarkan yang benar, membimbing ke arah yang lurus, juga
dengan mengevaluasi diri sendiri.
c.
Empati Terhadap Korban Pelecehan Atau Penindasan
Banyak bentuk kekerasan terjadi di masyarakat. Tapi tidak banyak yang peduli,
apalagi berempati. Terlebih bila korban kekerasan itu adalah perempuan atau anak – anak
yang mengalami pelecehan dan tindak asusila. Maka, sangatlah berarti bila ada yang mau
memberi tempatnya pada para korban itu. Menampung keluhan mereka, merekam isi hati
mereka.
d.
Empati Terhadap Perlindungan Hak – hak Masyarakat
Banyak layanan yang lazimnya diberikan pemerintah kepada masyarakat.
Setidaknya sebagai imbalan dari pajak yang mereka bayar. Tetapi selalu saja terjadi
kesenjangan antara hak yang mestinya mereka terima dengan kewajiban yang harus
mereka lakukan.
Dalam lingkup seperti itu, seseorang punya celah untuk memupuk rasa empatinya.
Bila memang punya peluang dan latar belakang yang berkaitan dengan lingkup pelayanan
publik, pembelaan masyarakat, penyuluhan dan pemberian informasi – informasi penting
kepada masyarakat, pendidikan dan lain sebagainya, sebaiknya seseorang mengabdikan
dirinya pada jalur itu. Banyak bentuk yang bisa dijadikan saluran empatinya.
e.
Empati Terhadap Hak – hak Rekreatif Masyarakat Yang Sehat
Tak selamanya hidup ini harus kaku seperti rel kereta. Sesekali harus ada proses
memperbarui semangat hidup. Sayangnya, hak untuk mendapat hiburan dan rekreasi yang
sehat masih belum bisa didapatkan oleh masyarakat. Apalagi rekreasi yang alami.
f.
Empati Terhadap Orang – orang Yang Menjadi Tanggungan
Empati juga harus diberikan kepada siapa yang menjadi tanggungan. Suami
terhadap istri dan anak, direktur kepada bawahan, manajer kepada staf, juragan kepada
pembantunya, sopir kepada penumpang, pejabat kepada rakyat, penguasa kepada
masyarakat, serta siapapun yang memegang amanah apapun.
2.1.3 Tingkatan Empati Yang dapat Dicapai Siswa
Ada 5 tingkatan empati yang bisa dicapai oleh siswa (Safaria T, 2005 : 106 – 107) yang
antara lain adalah :
a. Komunikasi verbal dan ekspresi dari siswa tidak sesuai atau malah mengurangi
komunikasi verbal dan ekspresi dari orang lain (sebayanya). Siswa tidak memiliki
kesadaran akan ekspresi yang nyata dan dasar dari orang lain. Siswa hanya
memahami orang lain melalui sudut pandangnya sendiri sehingga siswa kelihatan
terlalu terpusat pada egonya, mudah bosan, tidak tertarik dan tidak memiliki
kesesuaian dengan apa yang diekspresikan oleh orang lain.
b. Siswa dalam berkomunikasi dengan sebaya terkesan hanya menyampaikan pikiran –
pikirannya saja, tidak dapat menyelami apa yang dirasakan oleh orang lain. Sehingga
tidak sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Hal ini mengakibatkan siswa
cenderung mengesampingkan ekspresi emosi yang disampaikan oleh orang lain.
c. Siswa hanya bisa mengalami ekspresi – ekspresi emosional dari orang lain yang
bersifat permukaan saja. Sehingga siswa tidak mampu memahami keadaan emosional
klien yang lebih mendalam, sehingga menimbulkan kesalahan interpretasi dalam
menafsirkan ekspresi orang lain.
d. Siswa mampu memahami baik emosi – emosi permukaan maupun emosi – emosi
yang terdalam dari orang lain, tetapi siswa masih belum mampu menyatu secara
menyeluruh dengan orang lain.
e. Siswa tidak saja mampu memahami dari emosi – emosi permukaan maupun emosi –
emosi yang terdalam dari orang lain. Tetapi siswa juga mampu memahami ekspresi
emosi – emosi yang tidak terekspresikan oleh orang lain dan sulit disadari oleh orang
itu sendiri. Sehingga melalui siswa, orang lain dapat mengetahui emosi – emosi yang
tidak disadarinya tersebut. Akhirnya siswa mampu memahami orang lain secara
menyeluruh dan total sehingga kesesuaian makna terjadi antara orang lain dan anak.
Menurut hasil penelitian yang ada, semua siswa mampu mengembangkan
kemampuan untuk berempati. Ada siswa yang lebih mudah memberikan respon empatis
ketimbang siswa lainnya. Metode disiplin dan pengasuhan orang tua memberikan andil
penting dalam pembentukan kemampuan berempati pada siswa. Salah satu disiplin yang
memfokuskan perhatian anak terhadap perasaan atau reaksi orang lain sangat penting
dalam mengajarkan empati pada siswa. Sebagai contoh, ketika siswa memukul siswa lain
maka orang tuanya berkata pada anaknya.
Anak juga harus mengembangkan sikap hangat terhadap orang lain. Sikap hangat
menurut Goldstein (1980) dicirikan sebagai kemampuan individu untuk membuat orang
lain merasa diterima apa adanya, melalui sikap penerimaan tanpa syarat (unconditional
positif regard), menerima keseluruhan diri orang lain, tanpa penolakan, ketidaksukaan,
paksaan, dan penilaian yang menyudutkan. Kehangatan atau keramahan ini ditandai
dengan ekspresi siswa atau bahasa verbal dan nonverbal dari siswa yang menciptakan
suasana damai, tentang tentram, tanpa paksaan, tanpa penolakan, dengan bahasa tubuh
yang positif kepada orang lain.
Siswa yang berhasil memiliki sikap hangat jarang menunjukkan sikap atau setuju
atau sikap penolakan terhadap pengalaman – pengalaman yang diceritakan oleh orang
lain. Ia dapat menghargai apa adanya keadaan orang lain. Sehingga hal ini membuat
orang lain merasakan suasana yang bebas untuk menumpahkan keluh-kesahnya tanpa
rasa takut untuk dihakimi. Kehangatan bisa diperlihatkan siswa melalui senyuman,
intonasi suara yang lembut, sikap tubuh yang menunjukkan penerimaan dan penghargaan.
Sikap empatis dan hangat menentukan kelanjutan dari proses terciptanya
hubungan interpersonal yang baik. Jika orang lain merasa aman dan bebas untuk
mengekspresikan permasalahannya, maka mereka akan berkomunikasi secara terbuka.
Mereka akan menaruh kepercayaan sehingga anak mampu memahami permasalahan
yang sedang dihadapi.
2.1.4 Langkah – langkah Menanamkan Empati
Untuk dapat bersikap peka dan peduli dibutuhkan tingkat kematangan kepribadian
tertentu. Para pakar ilmu komunikasi dan pendidikan menilai bahwa kepedulian atau
empati merupakan kata kunci dalam tahap akhir kecerdasan emosional. Sebabnya antara
lain, karena untuk berempati kita harus mampu mengobservasi dan melibatkan banyak
paanca indera.
Ada dua modal dasar yang harus di miliki oleh seseorang agar memiliki empati.
Psikolog Michael Nichols dari Albany Medical College menyebutkan, dua modal itu
adalah “ mengerti dan menerima “. Pengertian dan penerimaan sangat penting bila
seseorang ingin menunjukkan kepeduliannya. Mengerti apa yang dirasakan orang lain,
dapat melihat masalah dari sudut pandang mereka, dan menerima keadaan itu.
Ada beberapa langkah praktis agar seseorang bisa belajar menanamkan rasa
empati dan peduli (Tarbawi, 2001 : 12 – 14)
a. Kenali perasaan sendiri. Prosesnya adalah dengan meraba dan menghayati berbagai
perasaan yang berkembang dalam diri seperti sedih, gembira, kecewa, bangga, terharu
dan sebagainya. Mengenali perasaan sendiri merupakan bagian dari tuntutan
kecerdasan emosi. Orang yang mengenali perasaan diri, biasanya mampu
mengendalikan emosinya, sehingga ia tidak melakukan tindakan gegabah saat
mendapati kenyataan di luar dirinya yang berbeda dengan keinginannya.
b. Sediakan waktu menyendiri untuk berpikir apa yang telah terjadi. Ini sebenarnya
termasuk proses pengenalan dan pengendalian emosi. Karena biasanya orang sulit
mempunyai gambaran jernih terhadap suatu persoalan dalam kondisi emosi yang
bermacam – macam. Pasangan suami isteri umumnya merasa lebih empati satu sama
lain ketika mereka sendirian dan memikirkan pasangan mereka. Rasa bersalah
biasanya muncul saat mengemudikan mobil seorang diri ke tempat kerja, di masjid
saat tafakkur, menjelang tidur, saat shalat malam dan sebagainya. Dalam waktu –
waktu tersebut, seseorang mempunyai waktu untuk memikirkan kembali berbagai
masalah yang ia alami. Selanjutnya, memulai yang lebih baik dengan memperbaiki
terlebih dulu dirinya, sebelum menuntut orang lain berlaku baik kepadanya.
c. Cobalah memandang masalah dari sudut pandang orang lain. Empati adalah ketika
seseorang dapat merasakan, apa yang orang lain rasakan dan juga dapat melihat
masalah dari sudut pandang mereka. Masukilah dunia mereka dan cobalah
memandang masalah dari sisi tersebut. Dengan demikian, pihak lain tidak saja hanya
merasa dimengerti tapi ia merasa lebih disukai.
d. Jadilah pendengar yang baik. seseorang lebih mudah merasa empati, memahami
perasaan orang lain dan menempatkan diri dalam keadaan orang lain, kalau kita dapat
mendengar apa yang dialami orang tersebut. Tidak hanya kemampuan mendengarkan
secara seksama, tapi juga membaca isyarat – isyarat non verbal. Sebab, seringkali
bahasa tubuh dan tekanan suara lebih efektif menggambarkan perasaan ketimbang
kata – kata. Orang tua misalnya, harus mampu meningkatkan kemampuan “
mendengarkan “ suara hati anak – anaknya. Anak-anakpun harus belajar “
mendengarkan “ lingkungannya, agar ia bisa terampil dalam kehidupan sosial.
Anjuran mendengarkan berarti mengajak seseorang membuka pintu komunikasi
dengan berbagai objek. Informasi yang diterima dari banyaknya komunikasi itulah
yang akan menjadikan kita bisa memahami dan mengerti.
e. Biasakan menghayati fenomena berbagai hal yang seseorang jumpai. Misalnya, saat
seseorang melihat seorang tunanetra di tengah keramaian, nyatakan dalam hati betapa
sulitnya orang itu memenuhi kebutuhannya. Langkah ini biasanya berlanjut dengan
kesanggupan menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Ketika mendapat anak –
anak yang mengamen dijalanan hingga larut malam, misalnya katakanlah pada diri
sendiri, bagaimana jika mereka itu adalah anak – anak. Jika menyaksikan himpitan
rumah gubuk di pinggiran rel kereta, bayangkanlah bila keadaan itu dialami oleh
keluarga seseorang. Dan seterusnya.
f. Berlatih mengatur dan mengatasi gejolak emosi dalam menghadapi reaksi positif
maupun negatif. Disekitar, banyak peristiwa yang bisa menyulut gejolak emosi. Di
rumah, seorang suami bisa saja menemui segala macam hal yang berantakan. Seorang
istri mendapati suaminya tak banyak memberi nafkah. Dijalanan seorang sopir bisa
menemui banyak peristiwa yang memanaskan. Dalam segala kondisi, berupaya
mengendalikan emosi merupakan perjuangan berat, tapi itu perlu.
g. Latihan berkorban untuk kepentingan orang lain. Sebuah studi di Harvard University,
Amerika Serikat, menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas antara besarnya
tanggung jawab seorang siswa, dengan kecenderungan bersedia mementingkan orang
lain. Empati sangat berhubungan dengan kesediaan berbuat baik (altruisme). Empati
yang tinggi memperbesar kesediaan untuk menolong, untuk berbagi dan berkorban
demi kesejahteraan orang lain. Kesanggupan untuk berempati sendiri adalah
kesanggupan yang ada pada tiap orang.
2.1.5 Mengembangkan Empati Melalui Layanan Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan upaya proaktif dan sistematik dalam
memfasilitasi individu mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan
perilaku yang efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat
individu dalam lingkungannya. Semua perubahan perilaku tersebut merupakan proses
perkembangan individu, yakni proses interaksi antara individu dengan lingkungan
melalui interaksi yang sehat dan produktif. Bimbingan dan konseling memegang tugas
dan tanggung jawab yang penting untuk mengembangkan lingkungan, membangun
interaksi dinamis antara individu dengan lingkungan, membelajarkan individu untuk
mengembangkan, merubah dan memperbaiki perilaku (htt://www.a741k.web44.net).
Penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal,
baik di sekolah maupun madrasah bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya
landasan hukum, undang-undang, karena yang lebih penting dari penyelenggaraan
layanan
bimbingan
dan
konseling
adalah
memfasilitasi
siswa
agar
mampu
mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas perkembangannya secara optimal.
Berdasarkan pada uraian tersebut jelaslah bahwa terdapat berbagai faktor yang
mempengaruhi empati siswa baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal yang berasal
dari dalam diri siswa lebih pada pemusatan perhatian, keingintahuan, kebutuhan, dan motivasi
siswa memanfaatkan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolahnya, di samping
keinginannya memanfaatkan layanan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang berasal dari luar
diri siswa lebih pada ketersediaan fasilitas penunjang layanan, serta kesiapan guru bimbingan
dan konseling atau guru kelas dan guru mata pelajaran sebagai penyelenggara layanan
Download