ideologi yang terkandung dalam film “letters from iwo jima”

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
SEMINAR MEDIA
PRESENTASI INDIVIDU
Fakultas
Program Studi
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Program
Studi Broadcasting
Tatap Muka
10
Kode MK
Disusun Oleh
11872
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Abstract
Kompetensi
Seminar Media adalah sarana bagi
para mahasiswa/i untuk tampil di
depan kelas menunjukan talentanya
sebagai pembicara. Sehingga dari
pertemuan
setelah
UTS
mahasiswa/i menjadi penyaji dalam
seminar secara individu, dalam
bentuk seminar mengenai outline
riset media mereka masing-masing.
Melalui
modul
berbagai
tema
ini,
riset
dijabarkan
media
mahasiswa/i
dalam
fenomena
komunikasi
dari
menunjukan
ranah
broadcasting dengan bentuk seminar
secara individu.
IDEOLOGI YANG TERKANDUNG DALAM FILM “LETTERS FROM
IWO JIMA”
OUTLINE SKRIPSI
DWI ISWANTO
44112110072
PROGRAM STUDI BROADCASTING
FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
JAKARTA
2014
2014
2
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
“Letters from Iwo Jima” adalah sebuah film berdasarkan peristiwa nyata yang terjadi
pada perang pasifik era perang dunia ke II. Peristiwa perang tersebut terjadi di sebuah pulau
bernama Iwo Jima yang merupakan bagian dari negeri Jepang. Perang tersebut merupakan
salah satu peristiwa paling bersejarah dalam perang pasifik perang dunia ke II karena karena
menandai serangan pertama tentara Amerika Serikat di wilayah Jepang serta mengakibatkan
begitu banyak korban yang jatuh. Pulau Iwo Jima terletak di Pasifik Barat. Sementara bagi
Jepang, Iwo Jima memiliki arti penting karena berfungsi sebagai peringatan dini tentang
serangan bom atau invasi sekutu.
Penulis mencoba mengangkat tema ini karena ketertarikan terhadap sejarah dan dasar
nilai-nilai ideologi yang begitu kuat semasa berlangsungnya peristiwa perang dunia. Dalam
film “Letters from Iwo Jima” kita bisa melihat perseteruan 2 ideologi yang berbeda bertemu
di medan perang. Penulis akan mencoba menelisik lebih dalam paham idelogi terhadap 2
negara yang telibat dalam peristiwa ini.
Ideologi berasal dari kata idea (Inggris), yang artinya gagasan, pengertian. Kata kerja
Yunani oida = mengetahui, melihat dengan budi. Kata “logi” yang berasal dari bahasa
Yunani logos yang artinya pengetahuan. Jadi Ideologi mempunyai arti pengetahuan tentang
gagasan-gagasan, pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas atau ajaran tentang
pengertian-pengertian dasar. Dalam pengertian sehari-hari menurut Kaelan ‘idea’ disamakan
artinya dengan cita-cita.
Dalam perkembangannya terdapat pengertian Ideologi yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Istilah Ideologi pertama kali dikemukakan oleh Destutt de Tracy seorang
2014
3
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Perancis pada tahun 1796. Menurut Tracy ideologi yaitu ‘science of ideas’, suatu program
yang diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Perancis. Karl
Marx mengartikan Ideologi sebagai pandangan hidup yang dikembangkan berdasarkan
kepenti-ngan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi.
Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang
manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang sekaligus
membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita-citanya. Ideologi merupakan sesuatu yang
dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa
komitmen (keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis
seseorang, maka akan semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya.
Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya sebagai
ketentuan yang mengikat, yang harus ditaati dalam kehidupannya, baik dalam kehidupan
pribadi ataupun masyarakat. Ideologi berintikan seperangkat nilai yang bersifat menyeluruh
dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh seseorang atau suatu masyarakat sebagai
wawasan atau pandangan hidup mereka. Melalui rangkaian nilai itu mereka mengetahui
bagaimana cara yang paling baik, yaitu secara moral atau normatif dianggap benar dan adil,
dalam bersikap dan bertingkah laku untuk memelihara, mempertahankan, membangun
kehidupan duniawi bersama dengan berbagai dimensinya. Pengertian yang demikian itu juga
dapat dikembangkan untuk masyarakat yang lebih luas, yaitu masyarakat bangsa.
Dalam penelitian ini, penulis akan menganalisa lebih dalam mengenai ideologi dari 2
bangsa yang terlibat dalam film “Letter from Iwo Jima”, yaitu Jepang dan Amerika Serikat
dalam perang Iwo Jima. Perang Iwo Jima sendiri merupakan perang terlama dan salah satu
peristiwa perang dunia ke II yang menjatuhkan korban paling banyak. Film ini meraih gelar
2014
4
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sebagai film terbaik dalam ajang American Film Institute Awards tahun 2007. Oleh sebab itu
penulis ingin menganalisa film “Letters from Iwo Jima”.
1.2
Perumusan Masalah
Penulis ingin menganalisa pengaruh ideologi timur dan barat, dalam kasus ini Jepang
dan Amerika dalam peristiwa perang di Iwo Jima. Adapun poin-poin permasalahan yang
akan dibahas dalam skripsi ini adalah : Bagaimana representasi ideologi yang terkandung
dalam film “Letter from Iwo Jima”?
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, tujuan penelitian ini antara lain untuk
mengetahui ideologi yang terkandung dalam film “Letter from Iwo Jima”.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Dalam manfaat akademis penelitian mengenai ideologi dalam film “Letter from Iwo
Jima”, dapat menjadi bahan kajian di bidang broadcasting tentang nilai-nilai ideologi yang
terkandung dalam sebuah film.
1.4.2 Manfaat Praktis
Manfaat dari penelitian ini adalah agar praktisi film dapat lebih memperhatikan pesan
yang terdapat dalam suatu program tayangan ciptaannya. Meskipun dalam film ini
2014
5
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
menyajikan sudut pandang dari Negara Jepang, namun keseimbangan cerita masih tetap
terjaga, atau sang pembuat film tidak berpihak pada satu sisi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ideologi
2.1.1 Definisi Ideologi
Ideologi berasal dari kata Yunani idein yang berarti melihat, atau idea atau yang
berarti raut muka, perawakan, gagasan, buah pikiran, dan kata logia yang berarti ajaran.
Dengan demikian ideologi adalah ajaran atau ilmu tentang gagasan dan buah pikiran atau
science des ideas 1. Puspowardoyo (1992) menyebutkan bahwa ideologi dapat dirumuskan
sebagai kompleks pengetahuan dan nilai yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi
seseorang atau masyarakat untuk memahami jagat raya bumi seisinya serta menentukan sikap
dasar untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya, seseorang menangkap
apa yang dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik.
1
Subandi, Al Marsudi. (2001). Pancasila dan UUD'45 dalam paradigma reformasi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Hal 57.
2014
6
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pengertian ideologi secara umum adalah suatu kumpulan gagasan, ide, keyakinan,
serta kepercayaan yang bersifat sistematis yang mengarahkan tingkah laku seseorang dalam
berbagai bidang kehidupan.
2.1.2 Ideologi Menurut Para Ahli
Pengertian Ideologi Menurut Para Ahli untuk lebih memahami tentang pengertian
ideologi itu,berikut ini dikemukakan beberapa pengertian ideologi menurut para ahli :
a) Traccy, “Ideologi adalah suatu sistem penilaian mengenai teori politik, sosial budaya
dan ekonomi”.
b) Karl Marx, Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama struktur
kekuasaan, sedemikian rupa sehingga orang menganggapnya sah, padahal jelas tidak
sah.
c) Ensiklopedia Populer Politik Pembangunan Pancasila, ideologi merupakan cabang
filksafat yang mendasari ilmu-ilmu seperti sosiologi dan politik.
d) Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi itu bukan cita-cita yang sudah hidup dalam
masyarakat, melainkan berupa cita-cita sebuah kelompok yang mendasari suatu
program untuk mengubah dan memperbaharui masyarakat. Ideologi tertutup adalah
musuh tradisi2. Kalau kelompok itu berhasil merebut kekuasaan politik, ideologinya
itu akan dipaksakan pada masyarakat. Pola dan irama kehidupan norma-norma
kelakuan dan nilai-nilai masyarakat akan diubah sesuai dengan ideologi itu. Ideologi
2
Suseno, Franz Magnis. (1989). Etika Politik Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, Hal 50-51.
2014
7
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
tertutup biasanya bersifat totaliter, jadi menyangkut seluruh bidang kehidupannya.
“Dengan ideologi disini dimaksud segala macam ajaran tentang makna kehidupan,
tentang nilai-nilai dasar dan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.
e) Kenet R Hoover menyatakan bahwa ideologi merupakan bagian yang sangat
mendasar dari kehidupan politik. Menurut beliau : Generally, an ideologi consist of
idea about how power in society ought to be organized. These ideas are derived from
a view of the problems and possibilities inhernt in human nature in its individual and
social aspects….ideologi is a crucial part of political life3.
Dalam pandangan Apter, sebuah ideologi biasanya terdiri dari pemikiran-pemikiran
tentang bagaimana untuk mengatur kekuasaan yang ada didalam masyarakat. Beliau lebih
memandang identitas dan karakteristik dari kondisi manusia, sekalipun hal ini merupakan
suatu penyangkalan bahwa semua orang berbagi sifat yang biasa. Karakterisasi kehidupan
tersebut menggunakan gambaran tentang hubungan kekuasaan antara individu dan
masyarakat. Namun Frans Magnis Suseno lebih memandang secara filsafat, dalam
pandangannya meskipun ideologi tidak lepas dari masyarakat, namun harus dibedakan
daripadanya karena juga bekerja dalam bentuk abstrak, sebagai keyakinan atau kepercayaan
seseorang yang dipegangnya dengan teguh, kekuatan ideologi terletak dalam pegangannya
terhadap hati dan akal kita. Merangkul ideologi berarti meyakini apa saja yang termuat di
dalamnya
dan
kesediaan
untuk
melaksanakannya.
Ideologi
memuat
agar
orang
mengesampingkan penilainnya sendiri dan bertindak sesuai dengan ajarannya. Di sini
dimaksudkan bukan hanya ideologi dalam arti keras dan tertutup, melainkan setiap ajaran dan
kepercayaan yang memenuhi definisi di atas. Agama pun dapat dikelompkkan di sini.”
3
Hoover, Kenneth R. (1994). Ideology and Political Life. USA: Wadsworth Publishing Company Hal 4-5.
2014
8
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kenneth R. Hoover lebih melihat bahwa tentang spektrum ideologis itu, sisi yang
terletak disebelah kiri dihubungkan dengan keyakinan bahwa persamaan antara orang-orang
lebih penting daripada perbedaannya4. Dan sisi yang terletak disebelah kanan dihubungkan
dengan keyakinan bahwa perbedaan lebih penting daripada persamaan. Kemudian mengenai
kajiannya secara sistemik, elemen-elemen dari setiap ideologi digambarkan diantara warga
negara dan masyarakat. Ideologi merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
politis. Masyarakat modern membangun struktur otoritas yang sangat besar pada konsep
kekuasaan yang berasal dari ideologi. Dalam cakupan sistem, ideologi mencakup pemikiranpemikiran dari ilmu ekonomi, sosiologi, politik dan filosofi yang menyediakan tema-tema
intelektual yang bergabung dari suatu kultur. Kita tidak bisa menentukan secara meyakinkan
mengenai apakah pemikiran-pemikiran ini memang benar-benar menentukan tindakan kita,
tetapi tidak ada keraguan bahwa setiap tindakan itu selalu terhubung dengan pemikiran.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, pokok persoalan ideologiideologi dapat ditemukan dalam koridor pertanyaan simpel menyangkut kebebasan dan
otoritas (freedom and authority). Karena pada dasarnya manusia memiliki hak kebebasan
yang menyatu dengan kewajibannya, apa yang menapikan kebebasannya itulah batasan
kebebasan apa yang dilakukannya. Beberapa ideologi diorientasikan untuk kekuasaan negara.
Namun, berkaitan dengan perilaku politik, ideologi berjalan secara bebas pada pertimbangan
atas golongan, kepentingan pribadi dan dinamika politik-birokrasi. Kemudian dalam
kaitannya dengan suatu keputusan, ideologi dapat memaksa pandangan dan kehendak banyak
orang kepada pokok persoalan tertentu, dan ideologi juga mampu mempengaruhi keputusankeputusan dalam pemungutan suara. Dengan demikian secara lebih luas ideologi tidak hanya
4
Ibid Hal 8 .
2014
9
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mampu merasuk dalam pemikiran orang banyak, tetapi meresap terhadap aspek jiwanya yang
akan tampak dalam tidakan dalam kesehariannya.
2.1.3 Ideologi Politik
Dari bentuk katanya, ideologi politik (Political Ideology) merupakan gabungan dari
dua buah kata, dimana masing-masing kata memiliki definisi konseptual yang mandiri, yaitu
ideologi dan politik. Tetapi, dalam penggunaannya, ideologi politik seringkali tidak diartikan
secara terpisah. Kedua kata tersebut, walaupun memiliki definisi konseptual masing-masing,
dipandang sebagai kesatuan kata yang melahirkan definisi baru5.
Istilah ideologi dimasukkan ke dalam khazanah bahasa ilmu-ilmu sosial oleh S.L.C.
Destutt de Tracy (1754-1836), seorang politisi dan filsuf pada awal abad 19. Kata ideologi,
pada awalnya berarti ilmu tentang ide (science of ideas), yaitu studi tentang asal mula,
evolusi dan sifat dasar dari ide. Dari kata ini, diturunkan sebuah kata yaitu ideologues, yang
berarti orang-orang yang berjuang untuk melahirkan ide-ide, dalam hal ini gagasan-gagasan
progresif seperti hak asasi manusia atau negara konstitusional6.
Secara umum, ideologi dipandang sebagai seperangkat keyakinan yang berorientasi
pada tingkah laku (an action-oriented set of belief). Sistem pemikiran yang didasarkan atas
ideologi, akan menghasilkan perbuatan. Hal ini memunculkan sebuah logika yaitu, bahwa
dengan mengamati perbuatan seseorang, maka dapat diketahui apa ideologinya. Dengan kata
lain, bilamana keyakinan-keyakinan tersebut tidak mampu memaksakan perbuatan, maka itu
bukan ideologi.
Secara sosial, fungsi dari ideologi politik mendapat berbagai tafsiran. Fungsi dari
ideologi politik sendiri telah menjadi salah satu tema kajian utama dalam psikologi politik.
5
Magnis Suseno, Frans. (1992). Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
6
Ibid
2014
10
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
McGuire (1993), seperti yang dikutip oleh Maritza Montero (1997, dalam Fox dan
Prileltensky, 1997) menyatakan bahwa, di Amerika Serikat, ideologi lebih diartikan sebagai
sistem keyakinan. Di bagian dunia lain (Amerika Latin dan Eropa), ideologi dipahami
sebagai hegemoni atau dominansi dari gagasan-gagasan tertentu terhadap gagasan lain.
Sedang dalam wilayah yang telah dipengaruhi oleh pemikiran Marx, ideologi dipahami
sebagai kesadaran palsu (false consciousness). Secara umum, Reo M. Christension dalam
kata pengantar buku Ideologies and Modern Politic (1972) berpendapat bahwa ideologi
politik berfungsi sebagai:
1. Sebagai sistem keyakinan politis, ideologi yang memberikan suatu struktur kognitif
2. Memberikan suatu formula yang bersifat menentukan—suatu arahan bagi individu dan
tindakan serta pertimbangan kolektif.
3. Sebagai alat untuk mengatasi dan mengintegrasikan konflik.
4. Mengetahui identifikasi diri (self-identification) seseorang.
5. Untuk mengetahui kekuatan dinamis dalam kehidupan individu dan kolektif,
memberikan suatu pengertian mengenai misi dan tujuan, serta suatu komitmen hingga
tindakan yang dihasilkan.
Pendapat lain tentang fungsi ideologi politik dikemukakan oleh Roy C. Macridis
dalam bukunya Contemporary Political Ideologies, Movement and Regime (1989) yaitu:
1. Ideologi politik sebagai alat legitimasi
2. Ideologi politik sebagai alat solidaritas dan mobilisasi
3. Ideologi politik sebagai alat ekspresi
4. Ideologi politik sebagai alat kritik dan utopia
5. Ideologi politik sebagai ideologi dan tindakan politik
2014
11
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2.1.4 Macam – Macam Ideologi
Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang
segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai
serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh
anggota masyarakat (definisi ideologi Marxisme). Dengan memberikan dasar etika pada
pelaksanaan kekuasaan politik, ideologi bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau
pengikut suatu gerakan yang berusaha mengubah negara. Ideologi inilah yang
memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin. Ideologi
juga merupakan suatu pedoman untuk memilih kebijkan dan perilaku politik. Karena itu
keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit banyaknya merupakan masalah kepercayaan
yang lahir keyakinan yang rasional.
Berikut ini dijelaskan mengenai beberapa macam ideologi yang dianut dan diterapkan
pada beberapa negara didunia7:
Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang
didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara
umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan
berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari
pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas,
ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan
suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap
7
Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Hal 105.
2014
12
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi
tumbuhnya kapitalisme.
Perkembangan awal ideologi liberal erat kaitannya dengan pemikiran – pemikiran
yang lahir pada masa Pencerahan dan Revolusi Perancis pada akhir abad ke – 18. Dan perlu
diketahui bahwa liberalisme merupakan ideologi kelas tertentu yang mencirikan kepentingan
tertentu.Tidaklah diragukan kalau liberalisme klasik adalah ideologi yang paling erat
kaitannya dengan kapitalisme laissez faire yang menegaskan kebajikan dan kemampuan
indivudi dalam rangka pengusahaan ekonomi dan kecerdikan usaha. Pandangan-pandangan
liberalisme dengan paham agama seringkali berbenturan karena liberalisme menghendaki
penisbian dari semua tata nilai, bahkan dari agama sekalipun 8 . meski dalam prakteknya
berbeda-beda di setiap negara, tetapi secara umum liberalisme menganggap agama adalah
pengekangan terhadap potensi akal manusia.Jadi, secara ringkas ciri – ciri ideologi
liberalisme adalah sebagai berikut. demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang lebih
baik. anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan
berbicara, kebebasan beragama, dan kebebasan pers Pemerintah hanya mengatur kehidupan
masyarakat secara terbatas Kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal
yang buruk. Suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu atau sebagian
terbesar individu berbahagia9.
Sosialisme
Sesudah Perang Dunia II, sosialisme berekspansi ke luar Eropa. Di Asia dan Afrika,
sosiolisme dipadukan dengan nasionalisme dan menjadi basis ideologi dalam perjuangan
8
Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Hal 132.
9
Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama Hal 35.
2014
13
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
melawan dominasi kolonialisme. Sesudah memperoleh kemerdekaan, negara – negara bekas
jajahan di Asia dan Afrika bermaksud menjadikan sosialisme sebagai dasar pembangunan
kehidupan ekonomi dan sosial. Dalam sejarah perkembangannya sosialisme telah mengalami
komplikasi pengertian. Sehingga muncul beragam tipe sosialisme, antara lain : sosiolisme
demokrasi ( di negara – negara Barat ), sosiolisme komunisme ( di negara – negara komunis
), sosiolisme religius ( yang dipelopori oleh Saint – Simon ).
Sosialisme ini tampil sebagai kritik terhadap liberalisme. Prinsip dasar sosiolisme ini
berasal dari transformasi Eropa Barat pada abad ke – 18 dan ke – 19. Faktor pendorongnya
adalah Revolusi Inggris, munculnya kelas borjuis dan prolateriat, serta tuntutat demokrasi
dari Revolusi Perancis. Paham sosialis ini banyak diterapkan di negara – negara Eropa Barat.
Dari penjelasan diatas bahwa sosialisme adalah suatu ajaran yang mendukung pemilikan
bersama atau kontrol atas sarana – sarana produksi yang besar. Yang terlihat dari
perkembangan tersebut ialah bahwa sarana – sarana produksi yang besar hanya dimiliki oleh
sekelompok kecil individu, yang kemudian dengan sesuka hati menumpuk kekayaan dari
masyarakat. Lebih jauh kaum sosialis itu mencela sistem hak milik pribadi serta cara
pencapaian keuntungan dalam kehidupan masyarakat liberal – kapitalis. Di mata mereka
sistem itulah yang menjadi awal permasalahan perjuangan kompetitif demi memenuhi
kebutuhan material.
Jelas dari uraian di atas memperlihatkan bahwa bahwa yang diimpikan oleh kaum
sosialis adalah kebebasan sosial, dan bukan kebebasan kaum individual yang menjadi impian
kaum liberal – kapitalis. Sedangkan cita – cita sosialisme ialah menciptakan kesejahteraan
sosial bagi seluruh lapisan masyarakat.
Komunisme
2014
14
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia, selain kapitalisme dan ideologi
lainnya. Komunisme lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme di abad ke-19, yang mana
mereka itu mementingkan individu pemilik dan mengesampingkan buruh. Istilah komunisme
sering dicampuradukkan dengan Marxisme. Komunisme adalah ideologi yang digunakan
partai komunis di seluruh dunia. Racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga
dapat
pula
disebut
“Marxisme-Leninisme”.
Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari peran Partai Komunis. Logika secara
ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar,
namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil jika bernaung di bawah dominasi partai.
Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial
hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme
menjadi “tumpul” dan tidak lagi diminati.
Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat
kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi. Prinsip semua adalah
milik rakyat dan dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat secara merata. Komunisme
sangat membatasi demokrasi pada rakyatnya, dan karenanya komunisme juga disebut anti
liberalisme. Komunisme tidak memandang semua bentuk pemerintah dan organisasi politik
sebagai sesuatu yang paling tidak oleh semangat manusia dan kebebasan yang utuh. Bahkan
dalam mayarakat komunis yang paling sempurna, beberapa bentuk organisasi politik masih
akan tetap diperlukan. Bagi kaum komunis, pemilikan pribadi tak dapat tidak akan membawa
ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik. Jika kekayaan dan status sosial tidak terbagi secara
rata, kekuasaan politik jaga demikian10.
10
Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Hal 110.
2014
15
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Indonesia pernah menjadi salah satu kekuatan besar komunisme dunia. Kelahiran PKI
pada tahun 1920an adalah kelanjutan fase awal dominasi komunisme di negara tersebut,
bahkan di Asia. Tokoh komunis internasional seperti Tan Malaka misalnya. Ia menjadi salah
satu tokoh yang tak bisa dilupakan dalam perjuangan di berbagai negara seperti di China,
Indonesia, Thailand, dan Filiphina. Bukan sperti Vietnam yang mana perebutan kekuatan
komunisme menjadi perang yang luar biasa. Di Indonesia perubuhan komunisme juga terjadi
dengan insiden berdarah dan dilanjutkan dengan pembantaian yang banyak menimbulkan
korban jiwa. Dan tidak berakhir disana, para tersangka pengikut komunisme juga diganjar
eks-tapol oleh pemerintahan Orde Baru dan mendapatkan pembatasan dalam melakukan
ikhtiar hidup mereka. Secara umum komunisme sangat membatasi agama pada rakyatnya,
dengan prinsip agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi
rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata. Paham komunis berkeyakinan perupahan
atau sistem kapitalisme harus dicapai dengan cara – cara revolusi, dan pemerintahan oleh
diktator proletariat sangat diperlukan pada masa transisi11.
Fasisme
Fasisme adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Fasis berusaha
untuk mengatur bangsa menurut perspektif korporatis, nilai, dan sistem, termasuk sistem
politik dan ekonomi. Berdasarkan dasar teori sebelumnya telah diketahui arti dari Ideologi
dan Fasisme. Sehingga dari kedua kata tersebut dapat disimpulkan bahwa Ideologi Fasisme
merupakan sebuah paham politik yang menjunjung kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Ada
pula yang mengartikan bahwa ideologi Fasisme adalah suatu paham yang mengedepankan
bangsa sendiri dan memandang rendah bangsa lain. Dalam paham ini, nasionalisme yang
sangat fanatik dan juga otoriter sangat terlihat.
11
Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama, Hal 38.
2014
16
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Fasisme (fascism) merupakan pengorganisasian pemerintah dan masyarakat secara
totoaliter, oleh kediktatoran partai tunggal yang sangat nasionalis rasialis, militeristis, dan
imperialis. Italia merupakan negara pertama yang menjadi Fasis (1922) menyusul jerman
tahun 1933 dan kemudian Spanyol melalui perang saudara yang pecah tahun 1936. Di Asia
Jepang berubah menjadi fasis dalam tahun 1930-an melalui perubahan secara perlahan ke
arah lembaga-lembaga yang totaliter setelah menyimpang dari budaya aslinya.
Fasis muncul dan berkembang di negara-negara yang relatif lebih makmur dan secara
teknologi lebih maju. Fasis merupakan produk dari masyarakat-masyarakat prademokrasi dan
pasca industri. Kaum fasis tidak mungkin merebut kekuasaan dinegara-negara yang tidak
memiliki pengalaman demokrasi sama sekali. Pengalaman negara demokrasi yang dirasakan
semu oleh masyarakat bahkan mengalami kegagalan dengan indikator adanya proses
sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbentunya monopoli dan oligopoli
dibidang ekonomi, besarnya tingkat pengangguran baik dikalangan kelas bawah seperti
buruh, petani atau kelas menengah atas seperti kaum cendikiawan, kaum industrialis, maupun
pemilik modal, ini adalah lahan yang subur bagi gerakan fasis untuk melancarkan
propagandanya.
Basis awal bagi fasisme ada didalam masyarakat kelas menengah dan menengah
bawah, dan dengan demikian harus sudah mengalami tingkat perkembangan industri yang
bermakna. Dengan demikian ideologi fasis kekurangan dalam hubungan rasional dan
konsistensi logis. Demikianlah ideologi dan jebakan fasisme sangat sesuai dengan teknikteknik untuk mendapatkan kekuasaannya12.
2.1.5 Ideologi dalam Film
12
Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, Hal 156.
2014
17
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki
oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok
tersebut. Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam penyampaiannya, film menyampaikan
ideologi dengan lebih halus serta memiliki unsur paksaan. Hal itu dikarenakan ketika kita
menonton film komunikasi yang terjadi lebih bersifat satu arah. Dimana kita sebagai
penonton akan disuguhi berbagai macam informasi yang ada dan ditampilkan dalam film, dan
kita secara tidak sadar diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan
dalam film tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari
pembuatnya. Memang film sudah terbukti bisa mempengaruhi ideologi penontonnya.
Film sebagai media pada dasarnya merupakan hiburan tersendiri bagi penonton.
Selain sebagai hiburan tersendiri, ketika film yang sebenarnya memiliki ideologi bisa
menyampaikan pesan dan penontonnya bisa terpengaruh maka film itu berhasil dalam
menyampaikannya. Ketika calon penonton pada umumnya menikmati film sebagai sajian
audio-visual ini memilihnya sebagai hiburan, mereka mencoba menyelam bersama dalam
film itu. Mencoba menikmati saat bersama, tertawa, menangis dan merasa ikut ambil bagian
di dalam film tersebut. Selain itu ketika menonton film ada semacam upaya untuk katarsis,
melarikan diri sesaat dari hiruk pikuk persoalan sehari-hari. Kemudian film juga
dimanfaatkan sebagai alat untuk mendukung propaganda ideologi, pendidikan politik dan
hal-hal lainnya. Pada kondisi ini penonton digiring untuk menonton, memahami dan menjadi
bagian dari propaganda politik dalam pembuatan film.
2.2
FILM
2.2.1 Definisi Film
2014
18
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Film adalah media komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu
pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu13. Pesan film pada
komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi film tersebut. Akan tetapi,
umumnya sebuah film dapat mencakup berbagai pesan, baik itu pesan pendidikan, hiburan
dan informasi. Pesan dalam film adalah menggunakan mekanisme lambang-lambang yang
ada pada pikiran manusia berupa isi pesan, suara, perkataan, percakapan dan sebagainya.
Film juga dianggap sebagai media komunikasi yang ampuh terhadap massa yang
menjadi sasarannya, karena sifatnya yang audio visual, yaitu gambar dan suara yang hidup.
Dengan gambar dan suara, film mampu bercerita banyak dalam waktu singkat. Ketika
menonton film penonton seakan-akan dapat menembus ruang dan waktu yang dapat
menceritakan kehidupan dan bahkan dapat mempengaruhi audiens.
Dewasa ini terdapat berbagai ragam film, meskipun cara pendekatannya berbedabeda, semua film dapat dikatakan mempunyai satu sasaran, yaitu menarik perhatian orang
terhadap muatan-muatan masalah yang dikandung. Selain itu, film dapat dirancang untuk
melayani keperluan publik terbatas maupun publik yang seluas-luasnya.
Pada dasarnya film dapat dikelompokan ke dalam dua pembagian dasar, yaitu
kategori film cerita dan non cerita. Pendapat lain menggolongkan menjadi film fiksi dan non
fiksi. Film cerita adalah film yang diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang, dan
dimainkan oleh aktor dan aktris. Pada umumnya film cerita bersifat komersial, artinya
dipertunjukan di bioskop dengan harga karcis tertentu atau diputar di televisi dengan
13
Effendy, Onong Uchjana. (1986). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remadja Karya CV Hal 134.
2014
19
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
dukungan sponsor iklan tertentu. Film non cerita adalah film yang mengambil kenyataan
sebagai subyeknya, yaitu merekam kenyataan dari pada fiksi tentang kenyataan14.
Film merupakan salah satu alat komunikasi massa, tidak dapat dipungkiri bahwa
antara film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang dalam kajian para ahli
komunikasi. Sebuah film adalah tampilan gambar-gambar dan adegan bergerak yang disusun
untuk menyajikan sebuah cerita pada penonton.
Film memberikan pengalaman yang amat mengasyikan. Film membuat orang
tertahan, setidaknya, saat mereka menontonnya lebih intens ketimbang medium lainnya.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 8 tahun 1992 disebutkan bahwa, film
merupakan karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandangdengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita
video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau
tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem proyeksi
mekanik, elektronik, dan atau lainnya.
Sebagai salah satu media komunikasi massa, menurut M. Alwi Dahlan, film memiliki
keunggulan di antaranya15:
1. Sifat informasi
14
Sumarno, Marselli . (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo, Hal 10.
15
Dahlan, M Alwi. (1981). Film Dalam Spektrum Tanggunga Jawab Komunikasi Massa, Seminar Kode Etik
Produksi Film Nasional. Jakarta, Hal 142.
2014
20
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Film memberikan keunggulan dalam menyajikan informasi yang lebih matang secara utuh.
Pesan-pesan didalamnya tidak terputus-putus, namun memberikan pemecahan suatu
permasalah dengan tuntas.
2. Kemampuan distorsi
Sebagai media informasi, film dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu. Untuk mengatasinya
media ini menggunakan “distorsi” dalam proses konstruksinya, baik di tingkat fotografi
ataupun perpaduan gambar dengan tujuan untuk memungkinkan seseorang untuk
menciptakan atau mengubah informasi yang ditangkap.
3. Situasi komunikasi
Film membawakan situasi komunikasi yang khas yang menambah intensitas khalayak. Film
dapat menimbulkan keterlibatan yang seolah-olah sangat intim dengan memberikan gambar
wajah atau bagian badan yang sangat dekat.
4. Kredibilitas
situasi komunikasi film dan keterlibatan emosional penonton dapat menambah kredibilitas
pada suatu produk film. Karena penyajian disertai oleh perangkat kehidupan (pranata sosial),
manusia dan perbuatannya, hubungan antar tokoh dan sebagainya yang mendukung narasi,
umumnya penonton dengan mudah mempercayai keadaan yang digambarkan walaupun
terkadang tidak logis atau tidak berdasar kenyataan.
Film sangat berbeda dengan seni sastra, seni rupa, seni suara, seni musik, dan
arsitektur yang muncul sebelumnya. Seni film mengandalkan teknologi, baik sebagai bahan
baku produksi maupun dalam hal penyampaian terhadap penontonya. Film merupakan
penjelmaan terpadu antara berbagai unsur yakni sastra, teater, seni rupa, dengan teknologi
2014
21
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
canggih dan modern serta sarana publikasi16. Menurut Baksin, pesan-pesan komunikasi film
juga dikelompokkan dalam proses pembuatan dan penyampainnya, yang biasa disebut
dengan genre. Dalam sebuah genre film terdapat suatu unsur-unsur yang disebut repertoire of
elements17, unsur-unsur tersebut meliputi:
1. Themes, yakni ide pokok atau gagasan yang menjiwai seluruh cerita.
2. Style, adalah cara penyajian seperti camera angles, editing, lighting, warna dan
elemen-elemen teknikal lainnya
3. Setting, seperti lokasi, periode waktu dll
4. Narrative atau alur cerita-bagaimana cerita disajikan
5. Iconography, berupa representasi simbolis
6. Characters, para aktor atau artis yang terlibat
7. Props, yakni properti yang digunakan dalam film
2.2.2 Genre Film
Genre film adalah bentuk, kategori atau klasifikasi tertentu dari beberapa film yang
memiliki kesamaan bentuk, latar, tema, suasana dan lainnya. Beberapa genre film utama:
Aksi, Petualangan, Komedi, Kriminal, Drama, Epik, Musikal, Sains fiksi, Perang. Dari genre
utama tersebut, genre film dapat dibagi lagi ke dalam beberapa sub bagian, seperti: olahraga,
komedi aksi, remaja, Film noir dll. Genre film lain yang sering dibuat oleh para pembuat
film, yaitu: Seru, Cerita, Fantasi, Jagal, Horor.
2.3
Semiotika
2.3.1 Definisi Semiotika
16
Baksin, Askurifai. (2003). Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung : Katarsis, Hal 3.
Branston, Gill, and Roy Stafford. (2003). The Media Student’s Book. London: Routledge Tailor & Francis
Group.
17
2014
22
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Secara etimologis istilah semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti
’tanda’ 18 atau seme,yang berarti ”penafsir tanda” 19 . Semiotika kemudian didefinisikan
sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja20.
Adapun nama lain dari semiotika adalah semiologi. Jadi sesunguhnya kedua istilah ini
mengandung pengertian yang persis sama, walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah
tersebut biasanya menunjukkan pemikiran pemakainya; mereka yang bergabung dengan
Peirce menggunakan kata semiotika,dan mereka yang bergabung dengan Saussure
menggunakan kata semiologi. Namun yang terakhir, jika dibandingkan dengan yang pertama,
kian jarang dipakai 21. Ada kecenderungan, istilah semiotika lebih populer daripada istilah
semiologi sehingga para penganut Saussure pun sering menggunakannya.
Pokok perhatian semiotika adalah tanda. Tanda itu sendiri adalah sebagai sesuatu
yang memiliki ciri khusus yang penting. Pertama, tanda harus dapat diamati, dalam arti tanda
itu dapat ditangkap. Kedua, tanda harus menunjuk pada sesuatu yang lain. Artinya bisa
menggantikan, mewakili dan menyajikan.
Preminger
22
berpendapat semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tandatanda, semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang
memungkikan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Sementara Pierce
23
mengatakan
pengertian semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala
18
Zoest, Aart Van. (1996). “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Sudjiman, P dan Aart Van Zoest (E.d). SerbaSerbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hal vii.
19
Cobley, Paul & Litza, Jansz. (1999). Introducing Semiotics. New York : Icon bBoks, Hal 4.
20
Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, Hal 16.
21
Ibid, Hal 2
22
Pradopo, Rachmat Djoko. (2003). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Hal 119.
23
Zoest, Aart Van. (1978). Semiotika Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya.
Soekowati, Ani. 1993. Jakarta: Yayasan Sumber Agung, Hal 1.
2014
23
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
pengunaan tanda.
Dari Pengertian Semiotik di atas dapat disimpulkan bahwa semiotik adalah ilmu untuk
mengetahui tentang sistem tanda, kovensi-konvensi yang ada dalam sastra dan makna yang
tekandung di dalamnya.
2.3.2 Tokoh-Tokoh Semiotika
a) Ferdinand de Saussure (1857-1913)
Ferdinand de Saussure dilahirkan di Jenewa tanggal 26 November 1857 dari keluarga
pemeluk taat Protestan Perancis yang bermigrasi dari wilayah Lorraine ketika terjadi perang
agama pada akhir abad ke-16. Dalam usia 15 tahun ia telah menulis sebuah karangan
mengenai bahasa yang berjudul “Essai sur les Languages”. Pada tahun 1874 Ia mempelajari
bahasa Sangsakerta. Awalnya Ia mempelajari ilmu kimia dan fisika di Universitas Jenewa,
kemudian belajar ilmu bahasa di Leipzig pada tahun 1876-1878 dan di Berlin tahun 18781979. Pada tahun 1880 Ia meraih gelar doktor dari Universitas Leipzig dengan disertasinya
De l’emploi du genitif absolu en sanscrift24.
Saussure juga dikenal sebagai tokoh besar strukturalis berkat buku “Course de
Linguistiqe General” atau linguistik umum. Buku itu merupakan kumpulan bahan kuliah
yang dikumpulkan oleh mahasiswanya dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Dalam buku itu,
ia mengajukan dua dikotomi, yaitu langue dan parole dan tautan simtagmatik dan tautan
paradigmatik25.
24
Hidayat, Asep Ahmad Hidayat. (2006). Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna, dan Tanda.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Hal 105.
25
Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Hal 77.
2014
24
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sedikitnya, ada lima pandangan Saussure yang kemudian menjadi peletak dasar
strukturalisme, yaitu:
1.) signifier (penanda) dan signified (petanda);
2.) form (bentuk) dan content (isi);
3.) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran);
4.) synchronic (sinkronik) dan diachronic (diakronik);
5.) syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik)26
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Tanda adalah
kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified).
Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda adalah gambaran mental, pikiran atau
konsep atau aspek mental dari bahasa. Istilah form (bentuk) dan content (materi, isi)
diistilahkan juga dengan expression dan content, yang satu berwujud bunyi dan yang lain
berwujud ide.
b) Charles Sanders Pierce (1839-1914)
Charles
Sanders Pierce adalah filsuf Amerika
yang paling orisinil
dan
multidimensional. Bagi teman-teman sejamannya ia terlalu orisinil. Dalam kehidupan
bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam
kemiskinan. Perhatian pada karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman-temannya.
Pierce banyak menulis tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan
sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931-1935 Charles
Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul
26
Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Hal 46.
2014
25
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957 terbit jilid ketujuh dan
kedelapan yang dikerjakan oleh Arthur W Burks dan jilid terakhir berisi biografi dan tulisan
Pierce.
Menurut Pierce, manusia dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat
berkomunikasi dengan sarana tanda. Semiotika merupakan persamaan dari kata logika, dan
logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia
berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh
alam semesta. Bagi Pierce, semiotika adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence)
atau kerja sama tiga subjek, yaitu tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant).
Pierce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: 1) semiotik sintaksis yang
mempelajari hubungan antar tanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama; 2)
semiotik semantik yang mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya.
Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis; 3) semiotik pragmatik
yang mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Pendekatan
yang dilakukan oleh Pierce adalah pendekatan triadic, karena mencakup tiga hal yakni tanda,
hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu
menangkap tanda tersebut.
Peirce mengungkapkan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness), yaitu saat tanda itu dikenali pada tahap awal secara prinsip saja, apa
adanya tanpa merujuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial.
Kemudian tahap kekeduaan (secondness), yaitu saat tanda dimaknai secara individual.
Kemudian keketigaan (thirdness), yaitu saat tanda dimaknai secara tetap sebagai konvensi.
Dalam analisis semiotiknya, Peirce membagi tanda berdasarkan sifat dasar (ground) atau
sesuatu yang digunakan agar tanda dapat berfungsi. Ia membagi tanda tersebut menjadi tiga
2014
26
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kelompok, yakni qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada
tanda. Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda. Sedangkan
legisign adalah norma yang dikandung oleh petanda. Peirce mengemukakan teori segitiga
makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama yakni tanda (sign), object,
dan interpretant.
c) Roland Barthes (1915-1980)
Roland Barthes yang dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang getol
mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussure. Barthes lahir tahun 1915 dari
keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat
pantai atlantik di sebelah barat daya Prancis27.
Karena Barthes adalah tokoh semiotika yang meneruskan dan mengembangkan
pemikiran de Saussure maka metode pemaknaan tanda-tanda Barthes disebut semiologi
Barthes. Istilah semiologi makin lama makin ditinggalkan. Ada kecenderungan orang-orang
lebih memilih kata semiotika daripada semiologi, sehingga kata semiotika lebih populer
daripada semiologi.
Pemikiran Barthes tentang semiotika dipengaruhi Saussure. Kalau Saussure
mengintrodusir istilah signifier dan signified berkenaan dengan lambang-lambang atau teks
dalam suatu paket pesan maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk
menunjuk tingkatan-tingkatan makna. Maka denotasi adalah makna tingkat pertama yang
bersifat objektif (first order) yang dapat diberikan terhadap lambang-lambang, yakni dengan
mengaitkan secara langsung antara lambang dengan realitas atau gejala yang ditunjuk.
Kemudian makna konotasi adalah makna-makna yang dapat diberikan pada lambang27
Parwito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta:LKiS, Hal 163.
2014
27
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya yang karenanaya berada pada tingkatan
kedua (second order).
Yang menarik berkenaan dengan semiotika Roland Barthes adalah digunakannya
istilah mitos (myth), yakni rujukan bersifat kultural (bersumber dari budaya yang ada) yang
digunakan untuk menjelaskan gejala atau realitas yang ditunjuk dengan lambang-lambang
penjelasan mana yang notabene adalah makna konotatif dari lambang-lambang yang ada
dengan mengacu sejarah (di samping budaya). Dengan kata lain, mitos berfungsi sebagai
deformasi dari lambang-lambang yang kemudian menghadirkan makna-makna tertentu
dengan berpijak pada nilai-nilai sejarah dan budaya masyarakat.
Bagi Barthes, teks merupakan konstruksi lambang-lambang atau pesan yang
pemaknaannya tidak cukup hanya dengan mengaitkan signifier dengan signified semata
sebagaimana disarankan oleh Saussure, namun juga harus dilakukan dengan memerhatikan
susunan (construction) dan isi (content) dari lambang. Karena hal ini maka pemaknaan
terhadap lambang-lambang, bagi Barthes, selayaknya dilakukan dengan merekonstruksi
lambang-lambang bersangkuan. Dalam upaya rekonstruksi ini, deformasi rupanya tak
terelakkan: banyak hal di luar (atau tepatnya di balik) lambang (atau mungkin bahasa) harus
dicari untuk dapat memberikan makna-makna terhadap lambang-lambang, dan inilah yang
disebut mitos.
Barthes
menekankan
bahwa
semiologi
hendaknya
mempelajari
bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial manusia. Memaknai (to
signify) dalam hal ini tidak dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to
communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam
2014
28
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur
dari tanda28. Barthes menciptakan sebuah peta tentang bagaimana tanda bekerja.
Gambar 2.1
Peta tanda Roland Barthes
1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotative signifier
5. Connotative signified
(penanada konotatif)
(Petanda konotatif)
6. Connotative sign (tanda konotatif)
Sumber : Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2009, hal. 69
Dari peta Barthes terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan
petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif dalah juga penanda konotatif
(4).
Untuk menganalisis film dapat menggunakan model Roland Barthes, yaitu dilakukan
dengan mengkaji pesan yang dikandungnya. Metode ini dapat diterapkan dalam film dengan
menganalisa pesan yang terkandung dalam:
28
Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, Hal 15.
2014
29
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat dalam film)
2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto film- yang hanyak
berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat)
3. Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan)
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun
sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada
sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua.
Mitos menurut Barthes terletak pada tingkatan kedua penandaan. Setelah terbentuk
sistem sign-signifier-signifid, tanda tersebut akan menjadi penanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka
makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Gambar 2.2
Signifikansi dua tahap Roland Barthes
2014
30
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sumber: John Fiske. Cultural and Communication Studies: Sebuah pengantar Paling Komperhensif,
Jalasutra: Yogyakarta, 2004, hal. 122
Model barthes ini adalah model matematis yang sering disebut sebagai signifikansi
dua tahap Barthes. Tahapan pertama adalah pemaknaan tanda yang berdasarkan atas realita
dari tanda dan tahapan kedua adalah tahapan penandaan yang didasarkan atas kultur atau
budaya yang ada di dalam masyarakat. Dari kedua tahapan penandaan ini kemudian
muncullah istilah denotasi, konotasi, dan mitos. Keterangan lebih detail tentang signifikansi
penandaan. Barthes adalah sebagai berikut
1. Denotasi
Tatanan pertandaan pertama adalah landasan kerja Saussure. Tatanan ini
menggambarkan relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan antara tanda
dengan referennya dalam realitas eksternal. Barthes menyebut tatanan ini sebagai
denotasi.
2. Konotasi
2014
31
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam istilah yang digunakan Barthes, konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu
dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan
interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi
penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi
adalah penanda dalam tatanan pertama. Penanda tantan pertama merupakan tanda
konotasi.
3. Mitos
Cara kedua dari tiga cara Barthes mengenai cara bekerjanya tanda dalam tatanan
kedua adalah melalui mitos. Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu
kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami
sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda, mitos
merupakan tatanan kedua dari petanda.
Aspek lain dari mitos yang ditekankan Barthes adalah dinamismenya. Mitos
berubah dan beberapa diantaranya dapat berubah dengan cepat guna memenuhi
kebutuhan perubahan dan nilai-nilai cultural dimana mitos itu sendiri menjadi bagian
dari kebudayaan tersebut.
Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna
paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan
signifikasi tahap ke dua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu
dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi
mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Pemilihan kata-kata
kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan “memberi
2014
32
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap
sebuah objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.
Pada signifikasi tahap ke dua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui
mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa
aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah
memiliki suatu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan
dewa dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini misalnya mengenai feminitas,
maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan.
Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Petanda lebih
miskin dari penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan konsep secara
berulang-ulang dalam bentuk-bentuk yang berbeda. Miotlogi mempelajari bentuk-bentuk
tersebut karena pengulangan konsep terjadi dalam wujud pelbagai bentuk tersebut.
Barthes mengartikan mitos sebagai cara berpikir kebudayaan tentang sesuatu, sebuah
cara mengkonseptualisasi atau memahami sesuatu hal. Barthes menyebut mitos sebagai
rangkaian konsep yang saling berkaitan. Mitos adalah sistem komunikasi, sebab ia
membawakan pesan. Maka itu, mitos bukanlah objek. Mitos bukan pula konsep ataupun
suatu gagasan, melainkan suatu cara signifikansi, suatu bentuk. Lebih jauh lagi, mitos tidak
ditentukan oleh objek ataupun materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara
mitos disampaikan. Mitos tidak hanya berupa pesan yang disampaikan dalam bentuk verbal
(kata-kata lisan ataupun tulisan), namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran
antara bentuk verbal dan nonverbal. Misalnya dalam bentuk film, lukisan, fotografi, iklan,
dan komik. Semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan pesan.
Jadi disini mitos menurut Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep
mitos dalam artian umum. Yaitu mitos yang dimengerti sebagai percobaan manusia untuk
2014
33
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mencari jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tentang alam semesta, termasuk
dirinya sendiri seperti tertulis dalam mitologi yunani.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
2014
Tipe Penelitian
34
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan yang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau
gejala dari kelompok yang dapat diamati29.
Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang berbentuk katakata frasa, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan angka-angka. Dengan demikian hasil
penelitian ini berisi analisis data yang sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan,
menganalisis dan menafsirkan30. Dalam penelitian ini penulis akan mendeskripsikan ideologi
yang terkandung dalam film “Letters From Iwo Jima”.
3.2
Metode Penelitian
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian kualitatif mengenai representasi
ideologi dalam film “Letters From Iwo Jima”, adalah metode semiotika oleh Roland Barthes.
Untuk menganalisis film dapat menggunakan model Roland Barthes, yaitu dilakukan dengan
mengkaji pesan yang dikandungnya, sebagai berikut:
1. Pesan linguistik (semua kata dan kalimat)
2. Pesan ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam film- yang hanyak
berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat)
3. Pesan ikonik tak terkodekan (denotasi dalam film)
Lexy J., Moleong. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Hal 6.
Satoto, Soediro. (1992). Metode Penelitian Sastra Bagian I (BPK). Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press,
Hal 15.
29
30
2014
35
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya
sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilainilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.
Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda dan tanda, namun
sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada
sebelumnya atau, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran ke-dua.
3.3
Unit Analisis
Dalam kajian analisis, penulis mengamati dengan seksama seluruh konten dalam film
“Letters From Iwo Jima” baik berupa kalimat setiap tokoh, obyek benda dalam film, maupun
mimik dari setiap karakter yang berada dalam film tersebut. Namun, peneliti akan
memfokuskan kajian penelitian terhadap 2 tokoh utama yang berada dalam film tersebut,
yaitu: General Kuribayashi dan Saigo. Kajian ini bertujuan untuk menganalisa lebih dalam
ideologi yang tercermin dalam film “Letters From Iwo Jima”, baik verbal maupun tandatanda lainnya.
3.4
Teknik Pengumpulan Data
a) Data Primer
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan
observasi film yang diteliti melalui setiap percakapan antar tokoh maupun setiap tanda yang
muncul dalam film “Letters From Iwo Jima”. Dalam observasi tersebut peneliti melakukan
pencatatan sebagai bahan kajian penelitian yang digunakan sebagai data primer yang
kemudian disandingkan dengan data sekunder.
b) Data Sekunder
2014
36
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam data sekunder, peneliti mencari bahan baik melalui internet maupun literatur
terkait subjek penelitian dimana dalam film yang diteliti memiliki latar belakang perang
dunia ke 2. Peneliti juga melakukan kajian dalam hal sejarah khususnya pada masa perang
dunia ke 2 yang terjadi di Iwo Jima antara Amerika Serikat dengan Jepang. Selain itu,
peneliti juga mencari bahan mengenai metode semiotika yang digunakan peneliti dalam
melakukan penelitiannya.
3.5
Definisi Konsep
Ideologi
dalam film “Letters From Iwo Jima” merupakan kajian yang didasari
kepedulian peneliti terhadap persoalan tayangan film yang belakangan ini tidak memiliki
nilai pesan yang kuat terhadap penontonnya, khususnya film buatan dalam negeri. Oleh sebab
itu penelitian ini dilakukan.
Ideologi dalam penelitian ini lebih menekankan pada ideologi politik, karena dalam
film ini kedua negara memiliki pandangan yang berbeda mengenai hal teresebut. Ideologi
dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu,
sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang
dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominan kepada seluruh anggota masyarakat
(definisi ideologi Marxisme). Dengan memberikan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan
politik, ideologi bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu gerakan yang
berusaha mengubah negara. Ideologi inilah yang memungkinkan adanya komunikasi simbolis
antara pemimpin dan yang dipimpin. Ideologi juga merupakan suatu pedoman untuk memilih
kebijkan dan perilaku politik. Karena itu keberhasilan suatu ideologi tertentu, sedikit
banyaknya merupakan masalah kepercayaan yang lahir keyakinan yang rasional.
2014
37
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Film sebagai media pada dasarnya merupakan hiburan tersendiri bagi penonton.
Selain sebagai hiburan tersendiri, ketika film yang sebenarnya memiliki ideologi bisa
menyampaikan pesan dan penontonnya bisa terpengaruh maka film itu berhasil dalam
menyampaikannya. Ketika calon penonton pada umumnya menikmati film sebagai sajian
audio-visual ini memilihnya sebagai hiburan, mereka mencoba menyelam bersama dalam
film itu. Mencoba menikmati saat bersama, tertawa, menangis dan merasa ikut ambil bagian
di dalam film tersebut. Selain itu ketika menonton film ada semacam upaya untuk katarsis,
melarikan diri sesaat dari hiruk pikuk persoalan sehari-hari. Kemudian film juga
dimanfaatkan sebagai alat untuk mendukung propaganda ideologi, pendidikan politik dan
hal-hal lainnya. Pada kondisi ini penonton digiring untuk menonton, memahami dan menjadi
bagian dari propaganda politik dalam pembuatan film.
3.6
Fokus Penelitian
Fokus penelitian yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini terdiri dari berbagai
unsur sebagai berikut: 1. Adegan (scene), 2. Narasi (dialogue), 3 . Obyek (object). Dalam
melakukan penelitian ini peneliti menggunakan metode semiotika Charles Sanders Pierce.
Barthes menekankan bahwa semiologi hendaknya mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal dalam kehidupan sosial manusia. Memaknai (to signify) dalam
hal ini tidak dapat dicampur adukan dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana
objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari
tanda31. Barthes menciptakan sebuah peta tentang bagaimana tanda bekerja.
Model semiotika Roland Barthes membahas pemaknaan atas tanda dengan menggunakan
signifikasi dua tahap signifikasi yaitu mencari makna yang denotatif dan konotatif yakni makna
sesungguhnya dan Ideologi dalam film “Letter From Iwo Jima”.
31
Ibid Hal 22
2014
38
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tabel 2.3 Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier (Penanda)
2. Signified (Petanda)
3. Denotative Sign (tanda denotatif)
4. CONNOTATIVE SIGNIFIER
5.CONNOTATIVE SIGNIFIED
(PENANDA KONOTATIF)
(PETANDA KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
(Sumber: Ibid, Hal 29)
Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan
petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotasi adalah juga penanda konotatif.
Dengan kata lain hal tersebut merupakan unsur material. Dalam konsep Barthes, tanda
konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian
tanda denotatif yang melandasi keberadaannya32.
3.7
Teknik Analisis Data
Analisa pengumpulan data yang diambil penelti melalui film “Letters From Iwo Jima”
yang di download di internet, dengan hal ini peneliti dapat menontonnya berulang-ulang
tanpa mengkhawatirkan kerusakan data. Peneliti juga mudah untuk memilih scene yg diteliti.
Metode semiotika Roland Barthes pada film “Letters From Iwo Jima” akan berpusat pada: 1.
Analisa adegan (scene) yang mewakili ideologi dalam film tersebut, 2. Narasi (dialogue)
yang mengandung nilai atau mewakili ideologi, 3. Obyek (object) yang mempunyai makna
mengenai ideologi dalam film tersebut.
32
Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, Hal 69.
2014
39
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam analisa ini peneliti menonton film “Letters From Iwo Jima” secara berulang
kali untuk mendapat scene, dialogue, atau object yang dapat mewakili baik ideologi timur
maupun ideologi barat yang terkandung dalam film tersebut. Peneliti akan memilih satu atau
dua bahan analisa yang kemudian akan menjadi bahan dalam penelitian ini.
Daftar Pustaka
Alwasilah, A. Chaedar. (2008). Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Baksin, Askurifai. (2003). Membuat Film Indie Itu Gampang. Bandung : Katarsis
Branston, Gill, and Roy Stafford. (2003). The Media Student’s Book. London: Routledge
Cobley, Paul & Litza, Jansz. (1999). Introducing Semiotics. New York : Icon bBoks
Cristhol, Carl Quenby, and Grene, Thomas H. (2002). Pengantar Ilmu Politik. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Dahlan, M Alwi. (1981). Film Dalam Spektrum Tanggunga Jawab Komunikasi Massa,
Seminar Kode Etik Produksi Film Nasional. Jakarta
Effendy, Onong Uchjana. (1986). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remadja Karya CV
Hidayat,
Asep
Ahmad
Hidayat.
(2006).
Filsafat
Bahasa:
Mengungkap
Hakikat
Bahasa, Makna, dan Tanda. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Hoover, Kenneth R. (1994). Ideology and Political Life. USA: Wadsworth Publishing
Company
Lexy J., Moleong. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya
Magnis Suseno, Frans. (1992). Berfilsafat dari Konteks. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Parwito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta:LKiS
2014
40
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pradopo, Rachmat Djoko. (2003). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Satoto, Soediro. (1992). Metode Penelitian Sastra Bagian I (BPK). Surakarta: Universitas
Sebelas Maret Press,
Sobur. A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya
Subandi, Al Marsudi. (2001). Pancasila dan UUD'45 dalam paradigma reformasi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka Utama
Suseno, Franz Magnis. (1989). Etika Politik Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Sumarno, Marselli . (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo
Zoest, Aart Van. (1996). “Interpretasi dan Semiotika”, dalam Sudjiman, P dan Aart Van
Zoest (E.d). Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
2014
41
Seminar Media
Christina Arsi Lestari, M.Ikom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download