ekonomikesejahteraansyariah

advertisement
1
EKONOMI KESEJAHTERAAN SYARIAH
M. SUYANTO
www.msuyanto.com
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan
Ekonomi Kesejahteraan Syariah.
1.1.1. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ekonomi Kesejahteraan merupakan cabang ilmu ekonomi yang menggunakan
teknik ekonomi mikro untuk menentukan secara serempak efisiensi alokasi dari
ekonomi makro dan akibat distribusi pendapatan yang berhubungan dengan itu
(O’Connel, 1982). Ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan
oleh sebagian besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang
diinginkan masyarakat (Rosen, 2005:99). Ekonomi kesejahteraan menyediakan
dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat kebijakan dalam alokasi
sumberdaya (Besley, 2002). Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai guna
(utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari
citarasa dan teknologi.
Ekonomi kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari
kesejahteraan sosial dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada
dalam
masyarakat.
Kesejahteraan
ekonomi
mempunyai
kaitan
dengan
kesejahteraan dari individu, sebagai lawan kelompok, komunitas, atau masyarakat
sebab ekonomi kesejahteraan berasumsi bahwa individu adalah unit dasar
pengukuran. Ekonomi kesejahteraan juga berasumsi bahwa individu merupakan
2
hakim terbaik bagi kesejahteraan mereka sendiri, yaitu orang-orang akan
menyukai kesejahteraan lebih besar daripada
kesejahteraan lebih kecil, dan
kesejahteraan itu dapat diukur baik dalam terminologi yang moneter atau sebagai
suatu preferensi yang relatif.
Kesejahteraan sosial mengacu pada keseluruhan status nilai guna bagi
masyarakat. Kesejahteraan sosial adalah sering didefinisikan sebagai penjumlahan
dari kesejahteraan semua individu di masyarakat. Kesejahteraan dapat diukur baik
secara kardinal yang dalam dollar (rupiah) atau “utils”, atau diukur secara ordinal
dalam terminology nilai guna yang relatif. Metoda kardinal adalah jarang
digunakan sekarang ini oleh karena permasalahan agregat yang membuat
ketelitian dari metoda tersebut diragukan. Ada dua sisi dari ekonomi kesejahteraan,
yaitu efisiensi ekonomi dan distribusi pendapatan. Efisiensi ekonomi adalah
positif lebih luas dan berhadapan dengan " ukuran dari kue". Distribusi
Pendapatan adalah jauh lebih normatif dan berhadapan dengan " pembagian atas
kue".
1.1.2. Pengertian Ekonomi Kesejahteraan Syariah
Ekonomi kesejahteraan konvensional hanya menekankan pada kesejahteraan
material saja, dengan mengabaikan kesejahteraan spiritual dan moral. Ekonomi
kesejahteraan syariah
bertujuan mencapai kesejahteraan manusia secara
menyeluruh, yaitu kesejahteraan material, kesejahteraan spiritual dan moral.
Konsep ekonomi kesejahteraan syariah bukan saja berdasarkan manifestasi nilai
ekonomi, tetapi juga nilai moral dan spiritual, nilai sosial dan nilai politik Islami.
Dengan demikian ekonomi kesejahteraan syariah mempunyai konsep lebih
komprehensif (Mannan, 1970:358).
3
Ekonomi kesejahteraan syariah dapat didefinisikan sebagai suatu cabang ilmu
ekonomi yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan tujuan,
tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan keseimbangan makroekonomi
dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan
sosial serta jaringan moral masyarakat. Tujuan mendorong kesejahteraan manusia
akan membantu menyediakan suatu arah yang tegas baik bagi pembahasan teoritis
maupun resep kebijakan (Chapra, 2001:108).
1.2.Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional dan
Ekonomi Kesejahteraan Syariah.
1.2.1. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Ada dua pendekatan yang dapat diambil terhadap ekonomi kesejahteraan,
yaitu pendekatan Neo-Klasik dan pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru.
Pendekatan Neo-klasik telah dikembangkan oleh Pigou, Bentham, Sidgwich,
Edgeworth, dan Marshall. Pendekatan Neo-Klasik berasumsi bahwa nilai guna
merupakan kardinal dan konsumsi tambahan itu menyediakan peningkatan yang
semakin kecil dalam nilai guna (diminishing marginal utility). Pendekatan NeoKlasik lebih lanjut berasumsi bahwa semua individu mempunyai fungsi nilai guna
yang serupa, oleh karena itu hal tersebut mempunyai makna untuk
membandingkan nilai guna individu dengan nilai guna milik orang lain. Oleh
karena asumsi ini, hal tersebut memungkinkan untuk membangun suatu fungsi
kesejahteraan sosial dengan hanya menjumlahkan seluruh fungsi nilai guna
individu.
4
Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru didasarkan pada yang dikerjaan
oleh Pareto, Hicks, Kaldor, Boulding, Arrow, Robbin, Scitovsky, Galbrairh dan
Sen). Pendekatan ekonomi kesejahteraan yang baru dengan tegas mengenalkan
perbedaan antara bagian efisiensi dari disiplin dan bagian distribusi serta
memperlakukannya dengan cara yang berbeda. Pertanyaan dari efisiensi ditaksir
dengan ukuran-ukuran seperti efisiensi Pareto dan uji kompensasi Kaldor-Hicks,
sedangkan pertanyaan dari distribusi pendapatan dicakup di dalam spesifikasi
fungsi kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, efisiensi tidak perlu memerlukan ukuran
kardinal nilai guna, nilai guna ordinal adalah cukup untuk analisis ini. Banyak
titik-tolak pemikiran ekonomi dapat diambil untuk membahas masalah welfare
(kemakmuran) dan welfare economics (ilmu ekonomi yang berorientasi
kemakmuran). The American Economics Association yang menempatkan
Kenneth Boulding sebagai salah satu pemikir ekonomi konpemtorer pada waktu
itu, bersejajaran dengan tokoh-tokoh lain seperti John Kenneth Galbraith, ragnar
Nurkse, Paul A. Samuelson, Wassly Lointief, Mozez Abramoritz, Andreas
Papandreou, Norman Buchanan, Paul Baran dan Milton Friedman. Lebih dari
setengah abad yang lalu, Howard S. Ellis dari University of California, Berkeley
selaku editor menerbitkan buku A Survey of Contemporary Economic I
(Homewood: Irwin, 1949) yang disponsori oleh The American Economics II
terbit pula dengan editor Prof. Bernard F. Haley dari Stanford University
(Homewood: Irwin 1952), yang juga disponsori oleh the American Economics
Association. Kedua jilid buku ini sebagai kesatuan boleh dibilang merupakan
karya monumental dalam pemikiran ekonomi. Setengah abad yang lalu itu masih
dengan tegas dikatakan oleh Kenneth Boulding bahwa the subject matter of
5
welfare economic, berbeda dengan lain-lain bentuk welfare, harus didekati dari
konsep harta atau “riches” ekonomi. Dengan pendekatannya ini ia lebih lanjut
memperkukuhkan konsepsi yang telah dikenal sebagai “social optimum”, yaitu
Paretian optimality (optimalitas ala Pareto dan Edgeworth), di mana economics
efficiency mencapai social optimum bila tidak seorangpun bisa lagi menjadi lebih
beruntung (better-off) tanpa membuat orang lain merugi (worse-off). Dalam pada
itu pemborosan (dalam konsepsi social optimum ini) masih terjadi bila seseorng
masih bisa menolong orang lain tanpa merugi. Apa yang dikemukakan Boulding
ini, dalam kaitan Vilfredo Pareto dan Francis Edgeworth, Alfried Marshall dan
A.C. Pigou, pada dasarnya adalah “old utilitarian” dan tidak terlepas dari
mekanisme perfect competition dalam pasar. Welfare dan competition menjadi
dua sejoli diangkat di sini sebagai paradigma klasikal oleh kaum Smithian. Inilah
“old welfare economics” yang berdasar pada utilitas, berorientasi harta atau
kekayaan ekonomi individu dan self-interest maximizalition, yang menegaskan
tercapainya Pareto efficiency. Dengan demikian “social optimum” semacam ini
menggambarkan berlakunya institusi ekonomi berdasar paham individualisme dan
liberalisme ekonomi (Swasono,2005).
Efisiensi alokatif (allocative efficiency) sumber-sumber ekonomi ke
tingkat optimal yang menjadi titik tolak pemikiran kaum klasik Paretian ini (dan
kemudian juga neoklasik) ternyata tidak dengan sendirinya membawakan
kesejahteraan sosial (societal welfare). Bagaimanapun juga pareto efficiency tidak
membukakan kondisi untuk terbentuknya a good society (Sen, 2002) dan tidak
peka terhadap masalah distribusi. Welfare economics setengah abad yang lalu
berhenti di situ. Boulding kemudian dalam bukunya Economics as a Science
6
(1970) kurang lebihnya melepaskan pendapat awalnya tentang social optimum
yang sempit itu. Apa yang disebut sebagai “new welfare economics” mulai
muncul, kemudian menjadi “contemporerary welfare economics” sejak Kenneth
Arrow mengajukan “impossibility theorem”-nya, yaitu theorem yang ia
kembangkan sebagai upaya menggabungkan preferensi-preferensi masing-masing
anggota masyarakat menjadi preferensi sosial (social preference). Dari sini
ditunjukkan
secara
teoritis
bagaimana
sulitnya
menggabung
dan
mentransformasikan preferensi-preferensi individual menjadi preferensi sosial.
sepanjang yang saya ketahui Arrow-lah yang mengawali secara teoritikal proses
transformasi ini. Bila proses transformasi ini saya kaitkan dengan paham
kebersamaan (mutualisme, bukan individualisme). Kesimpulan saya demikian itu
karena dalam berpola interaksi sosial maka individu-individu sebagai makhluk
sosial akan berprilaku berdasar pada kaidah-kaidah nonekonomi yang lebih
kompleks. Dengan kata lain akan terjadi transformasi perilaku individu-individu
dalam pola interaksi sosial, bahkan mungkin terjadi transformasi mind-set,
terbentuk suatu coherent collective mind and behavior. Ada suatu possibility
teoritikal bila dari preferensi-preferensi individual. Preferensi sosial adal secara
independent, sebagai kehendak individu yang hidup bermasyarakat karena “rasa
bersama”. Di sinikah barangkali impossibility theorem-nya Arrow mendapatkan
sambungan dan bagi saya mengagumkan (Swasono,2005).
Sementara itu John Kenneth Galbraith, dengan mengemukakan pandangan
Sraffa (1926), John Robinson (1933) dan Chamberlain (1932) ikut menegaskan
bahwa persaingan (competition) patut diasumsikan sebagai tidak sempurna (non
perfect). Galbraith bisa memahami karya Arthur R. Burn The Decline of
7
Competition (1936) di mana elemen monopoli tidak lagi dipandang sebagai
sekedar kejadian sekali-kali eaktu ataupun deviasi dari persaingan bebas. Ia
berkesimpulan bahwa masalah kebijaksanaan monopoli sejak lama merupakan
masalah intellectual property of men whose faith is in competition. Sejak awal
(1950) Galbraith memprihatinkan bahwa perkembangan monopoli dan konsentrasi
merupakan penyalahgunaan (abuse) kekuasaan ekonomi. Dalam bukunya The
affluent Society (1958) ia menggambarkan keterdiktean konsumen oleh iklan yang
berlebih-lebihan. Iklan semacam itu merupakan pemborosan sosial. selanjutnya
secara konsisten ia membela kepentingan masyarakat luas terhadap konsentrasi
kekuatan ekonomi swasta, sebagaimana ia kemukakan (1992) “…. The
privatization of social services and public enterprises are aimed at altering
property relations and hence the distribution of wealrh and political power toward
the greater empowerment of the rich, big business, and the rentiers at the cost of
the underclass….”. (Privatisasi sarana-sarana dan perusahaan-perusahaan
negara bertujuan merubah hubungan-hubungan pemilikan dan selanjutnya pula
distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat posisi kelompok kaya,
kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi atas korban masyarakat
bawah).
Setelah dengan sangat brilian dan teliti menggambarkan hubungan antara
welfare and competition (dianggap sebagi dua sejoli) akhirnya Tibor Scitovsky
mengemukakan melalui bukunya yang terkenal Welfare and Competition (1951),
bahwa competition memiliki berbagai kelemahan (shortcomings). Bila kaum
ekonom mengaggap peran kebijaksanaan ekonomi adalah mempertahankan
pekerjaan (employment) dan stabilitas harga (price stability), tugas negara adalah
8
mengobati kelemahan-kelemahan yang ada pada diri competition demi menjamin
welfare. Negara, menurut Scitovsky, harus menyediakan jasa-jasa yang
masyarakat secara kolektif dapat mengambil manfaat. Ia mendukung antitrust
legislation dan menolak aggressive competition yang bertujuan menegakkan
monopoli. Namun ia pada dasarnya tetap berkecenderungan memihak orde
kompetisi dan menghendaki pembatasan terhadap kontrol oleh negara.
Setelah Reder dan Samuelson melemparkan kritik terhadap welfare
economics-nya Boulding, Paul A. Baran lima tahun kemudian (1957) menegaskan
bahwa welfare economics barunya Reder dan Samuelson itu pun masih terbatas
pada masalah perlu tidaknya makna dan dimensi welfare di luar ekonomi an sich
perlu diperhitungkan. Baran secara kritis menunjukkan bahwa efisiensi ekonomi
memang memberikan kontribusi kepada human welfare berdasar kriteria bahwa
pada dirinya efisiensi ekonomi merupakan suatu orde sosial ekonomi yang hidup
di dalam masyarakat. Namun bagi Prof. Baran, posisi welfare economics yang
mengundang perdebatan teoritikal dan moral sesungguhnya terletak pada
melencengnya orde sosial ekonomi dari tujuan kehidupan ekonomi yang lebih
utuh dan mulia, dimana hubungan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada
masyarakat kapitalis (yang mendewakan self interest, perfect individual liberty,
consumers’ sovereignty dan stelsel laissez faire itu) telah menghalangi
tercapainya well being masyarakat sebagai tujuan kehidupan ekonomi masyarakat
yang utuh, yaitu “… suatu masyarakat yang bebas dari keapatisan mental dan
psikis (mental and psychic stupor) yang diakibatkan oleh ideology kapitalis yang
melumpuhkan masyarakat miskin….”. Pada kesempatan ini Baran sempat
mengungkit keheranannya terhadap sikap John Stuart Mill, Alfred Marshall, K.
9
Wicksell dan A.C. Pigou yang terganggu oleh munculnya keraguan terhadap “the
visible hand”. Baran memuji F. Bastiat dan J.B. Clark yang menempatkan
welfare berdasar stelsel laissez faire sebagai “iron low” yang mengabaikan noble
sentiments dan high ethical standards para protagon yang menghendaki prinsipprinsip ekonomi yang sehat dalam orde ekonomi. Paretian optimum, kata Baran,
mengundang suatu pemikiran untuk reformasi sosial. sedang “The new
economics”-nya Keynes, meskipun dilihat oleh Baran (1952) sebagai dasar-dasar
perencanaan untuk mencapai full employment dalam sistem kapitalisme, telah
menegaskan tidak terjadinya otomatisme pasar atau tidak adanya mekanisme built
in untuk menjaga aggregate effective demand
dalam mempertahankan full
employment. Namun Keynes tidak melihat kemerosotan aggregate demand itu
sebagai masalah struktural dalam alokasi sumber-sumber ekonomi.
Kita perlu pula mencatat apa yang dikemukakan oleh Abramovitz (1952),
bahwa “….Our interest in economic growth stems from, and is relevant to, our
interest in long term changes in economics welfare. But the two subjects are not
equivalents….” (Kepentingan kita pada pertumbuhan ekonomi bermula dari, dan
relevan dengan, kepentingan kita pada perubahan kesejahteraan ekonomi dalam
jangka panjang. Tetapi kedua subjek itu tidaklah sama). Dengan penegasannya ini
ia sepaham dengan Clark. Sampai saat ini kiranya masih berlaku, yaitu bahkan
saat ini banyak di antara kita yang berbicara mengenai growth namun
mengabaikan economic welfare pada tataran sosialnya (dalam dimensi societal
welfare).
Pandangan mengenai welfare economics, substansi dan dimensinya terus
makin berkembang, diawali antara lain oleh Robert A. Dahl dan Charles A.
10
Lindblom dalam buku
Politics, Political Economics and Welfare (1963).
Sementara itu, Oscar Lange melepaskan diri dari percaturan mengenai apakah
welfare economics hanya berdasar kriteria ekonomi sempit ataukah harus
mengandung nilai-nilai etikal, apakah welfare economics berlandaskan pada ilmu
ekonomi “positif” atau “normatif”, apakah berdasar pada proposisi “what there
is” atau “what there ought to be “. Lange menegaskan bahwa lingkup ilmu
ekonomi adalah menentukan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan ekonomi
yang telah ditentukan secara politik. Tujuan ekonomi yang ia maksudkan itu
adalah dalam tatarannya sebagai social preference dan social choice.
Dahl dan Lindblom menyayangkan bahwa istilah “political economy”
tidak bisa digunakan saat ini tanpa memainkan trik-trik mistik rohnya Adam
Smith, David Ricardo dan Stuart Mill. Berikut ini ia kemukakan dalam mengawali
bukunya yang terkenal itu : Dalam teori formal, ilmu politik dan ilmu ekonomi
acapkali dianggap sebagai kerabat jauh dan tidak begitu bicara satu sama lain.
Dahl dan Lindblom berusaha mencari jalan untuk menyatukan aspek-aspek
tertentu dari politik dan ekonomi ke dalam teori utuh yang konsisten. Pada ujud
pertamanya, pertanyaannya terpusat ke dalam masalah etika daripada masalah
ilmu. Kedua tokoh ini menegaskan bahwa tidak akan ada teori yang dapat
menyatukan ilmu politik dan ilmu ekonomi kecuali teori ini mengeksplisitkan
premis-premis sosiologi dan psikologi yang dikandung oleh masing-masing ilmu
politik dan ilmu ekonomi. Akhirnya dari situ perlu dapat ditarik suatu “rational
sosial action” untuk mencapai maksimisasi tujuan-tujuan good life, yang harus
dicapai dengan perjuangan melalui kalkulasi rasional dan control demokratis,
yaitu untuk meraih nilai-nilai dasar “freedom”, “equality” dan “progress”.
11
Makna welfare akhirnya bukan lagi sekedar tercapainya economic gain
secara optimal belaka. Efisiensi berdimensi sosial, politik, psikologi dan filosofi,
menjangkau tujuan humanisasi dan humanisme. Akhirnya dahl dan Lindblom
membuka jalan untuk suatu diskusi public yang lebih pelik, suatu yang open
ending dan mungkin akan makin membingungkan kaum ekonom konvensional.
Selanjutnya masalah welfare, lebih mengemuka lagi, setelah Amartya Sen
mengedepankan masalah etika dalam bukunya On Ethics and Economics
(Oxford : Basel Blakwell, 1987) dan demikian pula Amitai Etziomi, seorang
sosiolog terkemuka, dengan buku monumentalnya The Moral Dimensions:
Toward a New Economics (New York : Free Press, 1988).
Dalam relevansi dengan Orasi ini barangkali Hatta (negarawan), Baran
(idelog), Galbraith (reformis), Myrdal (reformis), Sen (ekonom), dan Etzioni
(sosilog) yang melihat bahwa preferensi sosial itu ada secara indpenden, di mana
individu-individu hidup di dalam suatu masyarakat sebagai kenyataan yang given.
Amartya Sen a.l. dalam bukunya Rationality and Freedom (Cambride: Berknap of
Harvard University Press, 2002), bertitik tolak dari social preference, social
choice dan impossibility theorem-nya Kenneth Arrow, menuju social welfare
judgements dan mekanisme social decision. Selanjutnya theorem-nya Arrow
makin berkembang canggih (memerlukan ketekunan dan kedalaman teoritikal
serta subtilitas nilai-nilai untuk memahaminya) berkat pencerahan lebih lanjut
oleh Sen, yang memberi makna lebih pada well being (kesejahteraan dalam arti
luas) dengan freedom (kebebasan) sebagai lawan dari unfreedom.
Welfare economic-nya Sen menjadi suatu gambaran dan proses rasional ke
arah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan
12
(unfreedom) selanjutnya dengan mencari kriteria yang lebih luas (ecletic)
diharapkan dapat lebih memberi makna well being yang lebih mapan, dengan
ukuran-ukuran (performance criteria) barunya seperti “tingkat kehidupan” (levels
of living), “pemenuhan kebutuhan pokok” (basic needs fulfillment), “kualitas
kehidupan” (quality of life) atau “pembangunan manusia” (human development).
Sedangkan Bornstein secara normatif (“The Comparations of Economics System”,
1994) mengajukan “performance criteria” untuk social welfare yang makin luas,
sekaligus makin sulit menentukan batasannya, meliputi output, growth, efficiency,
stability, security, inequality dan freedom yang harus dikaitkan dengan suatu
social preference (Swasono,2005).
1.2.2. Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan Konvensional
Karena penekanan pada keadilan inilah, para fuqaha telah meletakkan sejumlah
qaidah ushul (legal maxim) yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan
untuk semua dalam cara yang seimbang dan adil. Diantara kaidah-kaidah ini
adalah sebagai berikut :

Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk
menyelamatkan pengorbanan atau kerugian publik, dan suatu maslahat
yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang
lebih besar

Suatu kerugian yang lebih besar dapt digantikan oleh kerugian yang lebih
kecil. Kemaslahatan mayoritas yang lebih
besar harus didahulukan
daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik
harus dikedepankan daripada kemaslahatan privat.
13

Penghapusan
kesulitan
dan
bahaya
harus
didahulukan
daripada
mendapatkan kemaslahatan.

Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin.
Semua qaidah ushul di atas jelas bertentangan dengan konsep Pareto Optimal
yang tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari
sekelompok kecil (orang-orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan yang
lebih banyak (orang-orang miskin). Karena itu, konsep ini dalam keadaan
apapun, tidak mungkin mendapatkan kedudukan tinggi dalam paradigma ilmu
ekonomi kesejahteraan syariah, seperti yang didapatkannya dalam ekonomi
kesejahteraan konvensional (Chapra, 2001:59).
1.3.Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional dan Efisiensi
Ekonomi Syariah
1.3.1. Pengertian Efisiensi Ekonomi Konvensional
Kebanyakan ahli ekonomi menggunakan efisiensi Pareto, sebagai tujuan
efisiensi mereka. Menurut ukuran ini dari kesejahteraan sosial, suatu situasi
adalah optimal hanya jika tidak ada individu dapat dibuat lebih baik tanpa
membuat orang lain lebih buruk. Kondisi ideal ini hanya dapat dicapai jika empat
kriteria dipenuhi. Rata-rata marginal substitusi dalam konsumsi harus identik
untuk semua konsumen ( tidak ada konsumen dapat dibuat lebih baik tanpa
membuat konsumen yang lain lebih buruk). Rata-rata transformasi di dalam
produksi harus identik untuk semua produk ( adalah mustahil meningkatkan
produksi setiap barang baik tanpa mengurangi produksi dari barang-barang yang
lain) Biaya sumber daya marginal harus sama dengan produk pendapatan
marginal untuk semua proses produksi (produk fisik marginal dari suatu faktor
14
harus sama dengan semua perusahaan yang memproduksi suatu barang) Rata-rata
marginal substitusi konsumsi harus sama dengan rata-rata marginal transformasi
dalam produksi. (proses produksi harus sesuai dengan keinginan konsumen) Ada
sejumlah kondisi-kondisi yang, kebanyakan ahli ekonomi setuju, boleh tidak
efisien
meliputi: struktur pasar yang tidak sempurna ( seperti monopoli,
monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan persaingan monopolistik) alokasi faktor
tidak efisien ( lihat dasar-dasar teori produksi), kegagalan pasar dan eksternalitas
( lihat juga biaya sosial), diskriminasi harga (lihat juga skimming harga),
penuruanan biaya rata-rata jangka panjang (lihat monopoli alami), beberapa jenis
pajak dan tariff. Untuk menentukan apakah suatu aktivitas sedang menggerakkan
ekonomi ke arah efisiensi Pareto, dua uji kompensasi yang telah dikembangkan,
setiap perubahan pada umumnya membuat sebagian orang lebih baik selagi
membuat orang yang lain tidak lebih buruk, maka uji ini menanyakan apa yang
akan terjadi jika pemenang mengganti kompensasi kepada yang kalah.
Menggunakan kriteria Kaldor suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk
Pareto optimal jika jumlah maksimum pemenang siap membayar lebih besar dari
jumlah minimum yang siap diterima oleh yang kalah.
Di bawah kriteria Hick, suatu aktivitas akan memberi kontribusi untuk
Pareto optimal jika sejumlah maksimum yang kalah disiapkan untuk menawarkan
kepada pemenang dalam rangka mencegah perubahan yang kurang dari sejumlah
minimum pemenang disiapkan untuk menerima sebagai uang suap untuk
membatalkan perubahan. Uji kompensasi Hick melihat dari sudut pandang yang
kalah, sedangkan uji kompensasi Kaldor melihat dari sudut pandang pemenang.
Jika kedua kondisi dapat memuaskan yang kalah maupun yang menang maka
15
baik pemenang maupun yang kalah akan setuju bahwa aktivitas yang diusulkan
akan menggerakkan ekonomi ke arah Pareto optimal. Ini adalah dikenal sebagai
efisiensi Kaldor-Hicks atau kriteria Scitovsky.
1.3.2. Pengertian Efisiensi Ekonomi Syariah
Efisiensi dalam pengertian Optimum Pareto yang netral nilai dan ekuilibrium
modern juga tidak muncul dalam literatur Islam. Ini tidak berarti bahwa konsep
efisiensi tidak dikenal. Konsep ini telah diidentifikasi dalam beberapa pengertian.
Salah satunya adalah dalam pengertian usaha untuk melakukannya yang terbaik.
Rasulullah saw. Menjunjung tinggi kualitas dengan menekankan ihsan kebaikan)
dan itqan (kesempurnaan). Beliau mengatakan,”Allah telah mewajibkan kamu
untuk berbuat baik (ihsan) dalam segala hal,” dan bahwa “Allah menyukai orang
yang melakukan pekerjaan, ia melakukannya dengan sempurna”. Upaya untuk
merealisasikan ihsan dapat melengkapi usaha melakukan itqan, dan keduanya
bersama-sama dapat membantu mewujudkan penggunaan sumber-sumber daya
manusia dan alam dengan cara yang paling efisien dan adil. Efisiensi juga perlu
dalam berbagai konteks sementara sumber-sumber daya tidak boleh disia-siakan
atau disalahgunakan karena adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan. Menurut
salah satu nasihat Abu Yusuf kepada Harun ar-Rasyid, yang didasarkan pada
hadits, pertanggungjawaban ini berlaku bagi semua sumber daya, termasuk usia
manusia, ilmu, kekayaan, dan semua kemampuan fisiknya. Pertanggungjawaban
ini menuntut bahwa sumber-sumber daya dipergunakan untuk membantu
memaksimalkan kesejahteraan manusia. Pertanggungjawaban ini berlaku bagi
sumber-sumber daya, tidak pandang apakah itu SDM atau SDA, langka atau
melimpah, mengandung biaya atau gratis (Zarqa,1980:4).
16
Dengan demikian, penggunaan sumber-sumber daya yang paling efisien
dalam ilmu ekonomi konvensioanl dapat didefinisikan menurut Optimum Pareto,
sementara dalam suatu perekonomian Islam akan ditentukan berdasarkan
maqashid. Setiap penggunaan yang menggagalkan realisasi maqashid harus
dipandang sebagai kesia-siaan dan inefisiensi (Faridi,1983:40). Sebagai contohnya,
dalam ilmu ekonomi konvensional, konsep Optimum Pareto membolehkan
penghancuran kelebihan output jika hal ini memungkinkan pelaku bisnis menahan
penurunan labanya tanpa membuat konsumen menjadi lebih buruk (kondisinya)
karena naiknya harga. Namun, cara seperti ini tidak dapat diterima dalam
paradigma Islam karena perilaku seperti ini tidak hanya akan merusak sumbersumber daya yang telah disediakan oleh Allah sebagai suatu bentuk amanah
melainkan juga menimbulkan ketidakadilan kepada para konsumen. Meskipun
usaha mempertahankan harga pada tingkat sekarang tidak dapat dibuat menjadi
lebih bermanfaat jika kelebihan output tersebut tidak dihancurkan, harga akan
turun atau kelebihan itu dapat dibagikan kepada orang-orang miskin. Begitu juga,
waktu dan energi yang dipergunakan untuk shalat dan berpuasa akan tampak siasia jika dipandang menurut kerangka materialisme, karena hal itu akan
menyebabkan, meskipun tidak selalu, penurunan output sehingga menghambat
maksimalisasi output dan laba. Namun, jika dipandang dari sudut kontribusi si
kaya yang akan dapat menciptakan character building dan peningkatan spiritual
serta kesejahteraan manusia, maka shalat dan puasa sesungguhnya memiliki
keunggulan positif. Barangkali karena alasan ini, dan alasan lain, seperti yang
ditunjukkan sebelumnya bahwa salah satu qaidah ushul membolehkan penetapan
suatu pengorbanan privat yang lebih sempit untuk mendapatkan kemaslahatan
17
public yang lebih besar. Umumnya para ulama memandang bahwa syariat, dengan
strategi dan nilai-nilai moral yang disediakan untuk menanamkan nilai-nilai ini
secara efektif dalam masyarakat, bukan saja akan membantu menjamin keadilan
dan kesejahteraan bagi semua, melainkan juga mendorong kemajuan manusia. AlMawardi mengindikasikan bahwa ajaran-ajaran Islam telah terbukti menjadi
fondasi yang solid bagi peningkatan dan stabilitas di dunia. Ibnu Khaldun juga
menekankan bahwa sebuah negara tidak dapat mencapai kemajuan dan kekuatan
kecuali dengan menerapkan syariat (Chapra, 2001:61).
1.4. Distribusi Pendapatan Konvensional dan Dstribusi
Pendapatan Syariah
1.4.1. Distribusi Pendapatan Konvensional
Ada banyak kombinasi dari nilai guna konsumen, dagan produksi, dan
kombinasi konsisten dari faktor input dengan efisiensi. Sesungguhnya, ada suatu
ketidak terbatasan dari konsumen dan keseimbangan produksi yang menghasilkan
Pareto optimal. Ada banyak optima yang merupakan titik batas berbagai
kemungkinan agregat produksi. Karenanya, efisiensi Pareto adalah dibutuhkan,
tetapi tak satu pun kondisi yang memenuhi untuk kesejahteraan sosial. Masingmasing Pareto optimal berhubungan dengan distribusi pendapatan yang berbeda
dalam ekonomi. Beberapa mungkin melibatkan ketidakseimbangan yang besar
dari pendapatan. Maka bagaimana cara kita memutuskan Pareto optimal yang
mana yang paling diinginkan? Keputusan ini dibuat, baik
maupun
secara diam-diam
secara terbuka, ketika kita menetapkan fungsi kesejahteraan sosial.
Fungsi ini berwujud keputusan nilai tentang nilai guna yang hubungan antar
18
pribadi. Fungsi kesejahteraan sosial adalah suatu cara secara matematika yang
menyatakan kepentingan relative individu-individu yang ada dalam masyarakat.
Suatu fungsi kesejahteraan nilai guna (juga disebut suatu fungsi
kesejahteraan Benthamite) menjumlahkan nilai guna dari tiap individu dalam
rangka memperoleh kesejahteraan keseluruhan masyarakat. Semua orang
diperlakukan yang sama, bukan masalah pada tingkat awal nilai guna mereka.
Satu unit nilai guna tambahan untuk seorang yang miskin tidaklah dilihat untuk
segala nilai lebih besar dibanding suatu unit tambahan dari nilai guna untuk
seorang jutawan yang mempunyai semua kekayaan yang ia pernah belanjakan.
Pada ekstrim yang lain adalah fungsi Max-Min yang diusulkan oleh John
Rawls. Menurut kriteria Max-Min, kesejahteraan maksimalkan jika nilai guna
anggota masyarakat itu yang mempunyai nilai guna paling kecil adalah yang
terbesar. Tidak ada kegiatan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan sosial
kecuali jika kegiatan itu meningkatkan posisi dari anggota masyarakat yang lebih
buruk (merugi). Kebanyakan ahli ekonomi menetapkan fungsi kesejahteraan
sosial itu adalah pertengahan antara dua ekstrim tersebut.
Fungsi kesejahteraan sosial adalah secara khas diterjemahkan ke dalam
kurva indiferens sedemikian rupa sehingga dapat digunakan di dalam ruang grafis
yang sama sebagai fungsi yang lain yang saling berhubungan. Suatu kurva
indiferens sosial nilai guna adalah
linier dan garis miring ke bawah yang
mengarah ke kanan. Kurva indiferens sosial Max-Min mengambil bentuk dari dua
garis lurus yang berpotongan sehingga membentuk suatu sudut 90 derajat. Suatu
kurva indiferens sosial yang digambar dari suatu fungsi kesejahteraan sosial
antara adalah suatu garis miring ke bawah yang mengarah ke kanan.
19
Bentuk antara dari kurva indiferensi sosial dapat ditafsirkan sebagai
peningkatan ketidakseimbangan, suatu peningkatan semakin besar nilai guna dari
individu yang secara relatif kaya diperlukan untuk mengganti kerugian nilai guna
dari individu yang secara relatif miskin. Suatu fungsi kesejahteraan sosial yang
kasar dapat dibangun dengan mengukur nilai dolar subyektif dari barang dan jasa
yang didistribusikan ke pemain di dalam ekonomi ( lihat juga surplus konsumen).
1.4.2. Distribusi Pendapatan Syariah
Beberapa alasan
yang menjadi dasar pemikiran distribusi pendapatan
diantara berbagai faktor produksi. Pertama, pembayaran sewa, umumnya pengacu
pada pengertian surplus yang diperoleh suatu unit tertentu dari suatu factor
produksi melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk mempertahankan
factor itu dalam posisi yang sekarang, tampaknya hal ini tidaklah bertentangan
dengan jiwa Islam. Dijelaskan bahwa sewa dan bunga sangatlah berbeda.
Kedua, perbedaan upah akibat perbedaan bakat dan kesanggupan diakui
oleh Islam. Syarat-syarat pokonya ialah para majikan tidak akan mengisap para
pekerja dan dia harus membayar hak mereka sedangkan para pekerja tidak akan
mengeksploitir majikan mereka melalui serikat buruh, dan mereka juga harus
melaksanakan tugasnya dengan tulus dan jujur.
Ketiga, terdapat kontroversi antara riba dan bunga. Tapi bila arti riba
dipandang dalam perspektif sejarahnya tepat, tampaknya tidak ada perbedaan
antara riba dan bunga. Suatu survai singkat tentang semua teori modern mengenai
bunga mengungkapkan bahwa para ahli ekonomi tidak berhasil menemukan
jawaban yang jelas mengapa bunga harus dibayar. Di pihak lain teori Islam
tentang modal mengakui bahwa bagian modal dalam kekayaan nasional hanyalah
20
sejauh sumbangan yang akan ditentukan sebagai persentase berubah dari laba
daripada suatu persentase yang ditetapkan dari modal itu sendiri. Penulis cukup
yakin bila para pemimpin kaum Muslimin melakukan upaya yang tulus, maka
sangatlah mungkin untuk memiliki perekonimian yang bebas bunga. Tidak dapat
disangkal lagi bahwa
karena
bungalah
tumbuh kapitalisme dengan segala
kejahatan yang menyertainya dalam masyarakat. Bunga menimbulkan masalah
pengangguran, memperlambat proses kepulihan depresi menyebabkan masalah
pelunasan utang bagi negeri-negeri terbelakang, juga menghancurkan prinsip
pokok kerja sama, saling bantu, dan
menjadikan orang mementingkan
diri
sendiri.
Keempat, Islam memperkenankan laba biasa – bukan laba monopoli atau
laba yang timbul dari spekulasi. Akhirnya, telah kami jelaskan beberapa prinsip
yang umumnya diterima dari hukum waris Islam, yang dewasa ini merupakan
suatu system tetap, ilmiah dan indah lagi harmonis. Sumbangan paling positif
dari hukum waris Islam ialah bahwa ia mengakui peran serta wanita dalam proses
kegiatan ekonomi yang rumit.
1.5. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional dan
Kesejahteraan Sosial Syariah
1.5.1. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Konvensional
Masalah ekonomi kesejahteraan dasar adalah untuk menemukan suatu fungsi
kesejahteraan sosial maksimum secara teoritis, tunduk kepada berbagai kendala
seperti status dari teknologi dalam produksi, sumber alam yang yang tersedia,
infrastruktur
nasional, dan kendala perilaku seperti maksimalisasi nilai guna
konsumen dan maksimalisasi keuntungan produsen. Di ekonomi kemungkinan
21
yang paling sederhana ini bisa dilakukan dengan memecahkan tujuh penyamaan
secara serempak. Dalam persamaan Ekonomi yang sederhana ini misalnya hanya
mempunyai dua konsumen ( konsumen 1 dan konsumen 2), hanya dua produk
( produk X dan produk Y), dan hanya dua faktor-faktor produksi yaitu tenaga
kerja (L) dan modal (K)). Model dapat dinyatakan sebagai berikut :
Memaksimalkan kesejahteraan sosial: W=F(U1 U2) tunduk kepada terhadap
kendala : K= Kx+ Ky (Jumlah modal yang digunakan untuk produksi dari barang
X dan Y)
L= Lx+ Ly (Jumlah tenaga kerja yang digunakan di produksi barang X dan Y)
X= X(Kx Lx) ( Fungsi produksi untuk produk X)
Y= Y(Ky Ly) ( Fungsi produksi untuk produk Y)
U1= U1(X1 Y1) ( Preferensi (pilihan) dari konsumen 1)
U2= U2(X2 Y2) ( Preferensi dari konsumen 2)
Solusi masalah tersebut menggunakan Pareto Optimum. Contoh yang
realistis adalah menggunakan jutaan konsumen, jutaan produk dan beberapa
faktor produksi, tetapi persamaan matematiknya sangat kompleks. Juga,
menemukan sebuah solusi terhadap sebuah fungsi abstrak yang tidak secara
langsung menghasilkan sebuah rekomendasi kebijakan. Dengan kata lain,
pemecahan sebuah persamaan tidak memecahkan permasalahan sosial. Meskipun
demikian, sebuah model seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipandang
sebagai sebuah argumen yang memecahkan sebuah persoalan sosial (seperti
pencapaian distribusi pareto optimal dari kekayaan) merupakan paling tidak dapat
memungkinkan secara teori.
22
Hubungan antara Produksi dan Konsumsi dalam sebuah model 7 persamaan
sederhana (model 2x2x2) dapat ditunjukkan secara grafik. Dalam Gambar 1.1,
batas yang mungkin produksi agregat, diberi label PQ menunjukkan seluruh titik
dari efisiensi dalam produksi barang X dan Y.
Jika ekonomi menghasilkan
kombinasi barang X dan Y ditunjukkan di titik A, kemudian rata-rata marginal
transformasi (MRT), X funtuk Y sama dengan 2.
Gambar 1.1.
Efisiensi Produksi dan Konsumsi
Titik A mendefinisikan sebuah diagram kotak Edgeworth dari konsumsi. Itu
merupakan kombinasi yang sama dari produk yang diproduksi di titik A, dapat
dikonsumsi oleh dua konsumen dalam ekonomi yang sederhana. Preferensi relatif
konsumen ditunjukkan oleh kurva indeferen di dalam kotak Edgeworth. Di titik B
23
rata-rata narginal substitusi (MRS) sama dengan 2, sementara di titik C rata-rata
marginal substitusi sama dengan 3. Hanya di titik B konsumsi seimbang dengan
produksi (MRS=MRT). Kurva 0BCA di dalam kotak Edgeworth (kadangkala
disebut sebuah kurva kontrak) mendefinisikan tempat titik-titik efisiensi dalam
konsumsi (MRS1=MRS2). Sebagaimana yang kita bergerak sepanjang kurva,
kita mengubah kobinasi barang X dan Y yang individu 1 dan individu 2 memilih
untuk mengkonsumsi. Data nilai guna yang menghubungkan dengan masingmasing titik pada kurva ini dapat digunakan untuk membuat fungsi nilai guna.
Fungsi nilai guna (utility function) dapat diturunkan dari titik-titik pada kurva
kontrak (contract curve). Beberapa fungsi nilai guna dapat diturunkan, satu untuk
masing-masing titik pada garis batas kemungkinan produksi (pada diagram di atas
PQ). Sebuah garis batas nilai guna (juga disebut sebuah garis batas nilai guna
utama) dapat diperoleh dari selubung luar seluruh fungsi nilai guna ini. Masingmasing titik pada sebuah garis batas nilai guna sosial menggambarkan suatu
alokasi efisiensi sumberdaya ekonomi yang merupakan Pareto optimal dalam
alokasi faktor produksi, konsumsi dan interaksi produksi dan konsumsi
(permintaan dan penawaran).
Pada Gambar 1.2, kurva MN merupakan sebuah garis batas nilai guna sosial.
Ttitik D berhubungan dengan titik B dari diagram sebelumnya. Titik D ada pada
garis batas nilai guna sosial karena rata-rata marginal substitusi pada titik B sama
dengan rata-rata marginal transformasi di titik A. Titik E berhubungan dengan
titik C dalam diagram sebelumnya dan terletak di dalam garis batas nilai guna
sosial (menunjukkan inefisien) karena MRS pada titik C tidak sama dengan MRT
pada titik A. Meskipun seluruh titik pada garis batas nilai guna sosial utama
24
merupakan efisiensi Pareto, hanya satu titik yang menunjukkan kesejahteraan
sosial maksimum. Titik tersebut adalah titik Z (kadangkala disebut titik
kebahagiaan) dimana garis batas nilai guna sosial MN menrupakan tangent
terhadap kurna indiferen sosial yang mungkin yang tertinggi yang diberi label SI.
Gambar 1.2.
Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial
1.5.2. Maksimalisasi Kesejahteraan Sosial Syariah
Banyak yang meragukan apakah sebuah fungsi nilai guna kardinal (atau
fungsi kesejahteraan social kardinal) adalah sembarang nilai. Bagaimana Anda
menjumlahkan nilai guna beberapa orang yang mempunyai nilai guna marginal
uang yang berbeda (kaya dan miskin)? Beberapa tetap meragunak nilai dari
25
fungsi nilai guna ordinal. Mereka telah mengusulkan pengertian lain dari
pengukuran “well-being” sebagai suatu alternative untuk menetan indeks harga,
fungsi “ketidakmauan untuk membayar” dan ukuran yang berorientasi pada harga
lain. Ukuran yang berbasis pada harga ini terlihat sebagai peningkatan
konsumerisme dan produktivisme dengan banyak. Ukuran yang berbasis pada
harga akan dicatat bahwa
itu mungkin untuk melaksanakan ekonomi
kesejahteraan tanpa menggunakan harga , meskipun ini tidak selalu dilaksanakan.
Secara eksplisit asumsi nilai dalam fungsi kesejahteraan dan seca implicit
dalam pemilihan criteria efisiensi, membuat ekonomi kesejahteraan bidang yang
sangat subyektif dan normatif. Ini dapat membuat controversial. Jika asumsiasumsi nilai ini tersembunyi atau diterima secara tidak kritis, ekonomi kesejahtn
akan menjadi berbahaya. Teknik ekonomi kesejahteraan merupakan pegangan
untuk posisi awal permulaan. Maksimalisasi kesejahteraan merupakan optimum
secara relatif terhadap posisi awal permulaan.
Dalam salah satu doanya, Rasulullah saw. Memohon perlindungan kepada
Allah dari ilmu yang tidak bermanfaaat. Mengacu kepada doa ini, tes untuk
menentukan keberhasilan dan kegagalan suatu cabang ilmu pengetahuan adalah
sejauh mana konmtribusi langsung atau tidak langsung dari sains tersebut
terhadap realisasi kesejahteraan manusia yang secara jelas merupakan target
maqashidusy syariah yang akan dibahas dalam bab ini. Ilmu ekonomi pun tidak
dikecualikan. Sekalipun ilmu ekonomi Islam akan tetap berkonsentrasi pada aspek
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya, persis seperti ilmu ekonomi
konvensional, namun tujuan utamnya hatus merealisasikan maqashid. Hal ini
akan mengesampingkan kemungkinan melihat tiap-tiap ekulibrium pasar sebagai
26
keadaan optimum. Hanya ekuilibrium pasar yang harmoni, atau apaling tidak
mengandung konflik dengan maqashid yang dapat dipandang sebagai optimum
dan bisa diterima. Mengingat optimum Pareto selalu dikaitkan dengan tiap-tiap
ekulibrium pasar, maka perlu menggantikannya dengan konsep optimum Islam,
yang berarti bahwa ekulibrium pasar yang merefleksikan realisasi serentak tingkat
optimalitas aspek efisiensi dan pemerataan yang selaras dengan maqashid.
Suatu perekonomian dapat dikatakan telah mencapai tingkat efisiensi
optimum jika telah mampu menggunakan keseluruhan potensi sumberdaya
material dan manusianya dalam suatu cara di mana barang dan jasa yang
memenuhi kebutuhan dapat diproduksi dalam jumlah maksimal dengan tingkat
stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan laju pertumbuhan masa depan
yang
berkesinambungan.
Uji
untuk
efisiensi
demikian
terletak
dalam
ketidakmampuan untuk mencapai suatu keadaan yang secara sosial lebih dapat
diterima tanpa menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkepanjangan atau tanpa merusak institusi keluarga dan keharmonisan sosial
atau jaringan moral masyarakat. Suatu perekonomian dapat dikatakan telah
mencapai pemerataan (keadilan) optimal jika barang dan jasa yang diproduksi
dapat didistribusikan dalam suatu cara di mana kebutuhan individu (tanpa
memandang apakah mereka kaya atau miskin, pria atau wanita, muslim atau
nonmuslim) dapat dipenuhi secara memadahi dan juga terdapat distribusi
kekayaan dan pendapatan yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja,
menabung, investasi dan melakukan usaha (Chapra, 2001:100).
1.6. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional dan
Kesejahteraan Sosial Syariah
27
1.6.1. Mengukur Kesejahteraan Sosial Konvensional
Bagaimana kesejahteraan diukur ? Ini tidak adak jawaban yang telah
disepakati terhadap pertanyaan tersebut baik dalam disiplin ataupun lintas disiplin
tersebut. Meskipun demikian ada dua pendekatan untuk mengukur kesejahteraan
tersebut, yaitu pendekatan pengukuran secara obyektif dan pendekatan
pengukuran secara obyektif.
Sebagian besar yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan ekonomi
adalah pendapatan nyata rumah tangga yang dimiliki orang, yang disesuaikan
dengan perbedaan ukuran rumah tanggga dan komposisi demografi (Ravallion dan
Lokshin, 2000). Ini dapat didefinisikan sebagai pendapatan total rumah tangga
dibagi dengan sebuah garis kemiskinan yang memberikan biaya dari tingkat nilai
guna (utility) beberapa referensi pada harga yang berlaku dan demografi rumah
tangga. Di bawah kondisi tertentu, rasio ini dapat diintepretasikan sebagai metrik
uang yang nyata dari nilai guna yang mendefinisikan konsumsi yang lebih
(Blackorby dan Donaldson, 1987).
Praktek yang standar adalah mengkalibrasi fungsi biaya dari perilaku
permintaan konsumen. Parameter-parameter fungsi biaya adalah dapat dikenali
secara umum dari perilaku permintaan pada saat atribut-atribut rumah tangga
berubah (Pollack dan Wales, 1979).
Masalah ini masih mengganggu jika
diaplikasikan dalam dunia nyata dan intepretasi kebijakan data pada kesejahteraan
ekonomi meliputi profil kemiskinan mengarahkan untuk memberikan ukuran
kemiskinan yang konsisten melwati subkelompok dari masyara.
Organisasi-organisasi internasional menggunakan indikator kualitas hidup
untuk mengevaluasi dan membandingkan kinerja sosio-ekonomi negara Misalnya
28
yang terkenal adalah Human Development Index dari United Nations. Untuk
membangun masing-masing indeks, membutuhkan subindikator untuk dipilih.
Pilihan ini bergantung pada dimensi yang dipertimbangkan relevan, misalnya
pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan pendapatan (Carbonell,2002).
Beberapa ekonom telah mengubah data pada persepsi kesejahteraan itu
sendiri sebagai sumber informasi tambahan untuk merlakukan idendifikasi. Ada
beberapa pendekatan, Van Praag (1968,1971) memperkenalkan the Income
Evaluation Question (IEQ) yang bertanya apakah pendapatan dianggap “sangat
jelek”,”jelek”, “tidak baik”, “tidak jelek”,”baik”, dan “sangat baik”. Metode yang
lain didasarkan pada the Minimum Income Question (MIQ) yang bertanya apakah
pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar mencukupi.
Garis kemiskinan subyektif dapat dikalibrasikan terhadap jawaban
(Kapteyn, 1988). Dengan pendekatan ini, indikator kesejahteraan masih diambil
untuk mengukur pendapatan secara obyektif atau pengeluaran yang dinormalisasi
dengan (subyektif) garis kemiskinan. Carbonell (2000), menggunakan Subjective
Well-Being (SWB) atau General Satisfaction (GS) individu untuk menjawab
pertanyaan kesejahteraan subyektif. Welfare menggambarkan kepuasan individu
dalam arti yang sempit, yaitu kepuasan financial, sedangkan well-being
merupakan kepuasan individu dalam arti yang luas, yaitu kepuasan individu dalam
kehidupan. Tanggapan terhadap pertanyaan subyektif mengenai kepuasan dengan
domain yang kongkrit dari kehidupan merujuk pada Domain Satisfactions (DS),
yang dalam literature ekonomi terdiri dari Financial Satisfaction (FS), Job
Satisfaction (JS) dan Health Satisfaction (HS).
1.6.2. Mengukur Kesejahteraan Sosial Ekonomi Syariah
29
Kelemahan dari konsep Pareto Optimal adalah tidak dapat digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah soial yang mendasar dari distribusi dan redistribusi.
Islam sangat memperhatikan masalah-masalah social ini. Ekonomi kesejahteraan
konvensional pada saat mempunyai masalah dalam alokasi dan mencoba
memecahkan masalah alokasi tersebut berdasarkan pada pertimbangan nilai yang
berubah-ubah dari alokasi tersebut. Pertimbangan nilai yang berubah-ubah
tersebut berlaku pada fungsi kesejahteraan konvensional. Pengertian ini bukan
dasar yang kokoh dari ilmu ekonomi kesejahteraan (Chowdhury,1999). Tetapi
pertimbangan moral dan sosial dalam Islam yang saling berhubungan harus
mencakup pertimbangan nilai yang dikandung Al-Qur’an. Fungsi kesejahteraan
semacam ini hanya dibatasi pada masyarakat Islam. Jika para ekonom tidak
mengetahui bagaimana membedakan antara berkembang dan kurang berkembang
yang dihasilkan dari sebuah perubahan kebijakan yang seharusnya terhadap
keputusan investasi baru, maka keputusan tersebut tidak dapat memberikan setiap
rekomendasi mengenai setiap alokasi sumberdaya.
Ini tidak ada cara yang
mempertimbangkan hasil bersih yang berdasarkan prioritas obyektif meskipun
masalah perbandingan antar personal. Hanya merupakan jalan keluar berupa
rumusan dari seperangkat pertimbangan nilai secara eksplisit yang memungkinkan
para analis untuk mengevaluasi keputusan investasi yang berdasarkan pada
kriteria kesejahteraan. Prinsip syariah akan menyediakan dasar untuk membuat
alokasi, produksi dan distribusi secara adil dan sah. Oleh karena itu, prinsip
syariah merupakan penting sekali untuk mengelompokkan kriteria umum yang
akan membantu untuk membangun peringkat nilai guna (utility) dari kombinasi
yang berbeda dari barang yang dikonsumsi oleh anggota masyarakat Islam. Peta
30
indeference pada keputusan individu didasarkan barangkali dianggap sebagai
fungsi kesejahteraan social dan moral Islam (Manna, 1984).
Konsep nilai guna dalam Islam merupakan sebuah konsep yang lebih luas
daripada konsep nilai guna dalam ekonomi kesejahteraan konvensional.
(maslahah-al-Ibad). Bentuk maslahah merujuk pada kesejahteraan yang luas dari
manusia. Menurut Al-Shatibi, maslahah merupakan kepenilikan atau kekuatan
barang atau jasa yang menguasai elemen dasar dan sasaran kehidupan manusia di
dunia. Ada lima elemen dasar kehidupan di dunia, yaitu kehidupan (al-nafs),
kepemilikan (al-mal), kebenaran (ad-din), kecerdasan (al-aql) dan keturunan (alnasl). Semua barang dan jasa yang mempunyai kekuatan untuk menaikkan lima
elemen dasar ini yang dikatakan mempunyai maslahah dan barang dan jasa yang
mempunyai maslahah akan dinyatakan sebagai kebutuhan. Keinginan dalam
ekonomi konvensional ditentukan oleh konsep nilai guna sementara kebutuhan
dalam Islam ditentukan oleh konsep maslahah (Khan, 1989).
Konsep barang juga berbeda dalam Islam. Dalam Islam barang merupakan
karunia yang terbaik dari Tuhan pada manusia. Menurut Al-Qur’an barang
konsumsi adalah barang yang melambangkan nilai moral dan ideologi mereka
(manusia). Dalam Al-Qur’an, barang dinyatakan dalam dua istilah, yaitu altayyibat dan al-rizq. Kata al-tayyibat digunakan 18 kali, sedangkan kata al-rizq
digunakan 120 kali dalan Al-Qur’an. Al-tayyibat merujuk pada suatu yang bail,
suatu yang murni dan baik, sesuatu yang bersih dan murni, sesuatu yang baik dan
menyeluruh serta makanan yang terbaik. Al-rizq
merujuk pada makanan yang
diberkahi Tuhan, pemberian yang menyenangkan dan ketetapan Tuhan (Ali, 1975).
Menurut Islam, barang konsumen adalah berdaya guna, materi yang dapat
31
dikonsumsi yang bermanfaat yang bernilai guna yang menghasilkan perbaikan
material, moral, spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan
dilarang dalam Islam bukan merupakan barang dalam pengertian Islam. Dalam
barang ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi
barang dalam Islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan berdaya guna
secara moral (Choudhury, 1991).
Kriteria kesejahteraan akan bekerja dalam kondisi untuk memilih di antara
proyek-proyek investasi yang berbeda untuk mengalokasikan sumberdaya dengan
dasar Syariah secara Islam. Memanglah, sebagian besar kriteria ini tumpang
tindih satu dengan yang lainnya.
Meskipun, kriteria yang disebutkan tersebut
merupakan kriteria yang hanya indikatif, tetapi tidak yang mendalam. Kriteria
kesejahteran tersebut, antara lain peningkatan ideologi, efisien penggunaan
sumberdaya, keadilan dalam distribusi pendapatan, baik secara kolektif, prioritas
terhadap kebutuhan yang mendesak, stabilitas, kepastian, keberlangsungan,
produktivitas, pertimbangan manusia, universal, etikan dan moral (Choudhury,
1991).
1.7. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah
1.7.1. Keadilan Konvensional dan Keadilan Syariah
Penelitian organisasional dewasa ini menitik beratkan pada perbedaan
antara keadilan distributif dan keadilan prosedural. Kemajuan-kemajuan tersebut
digambarkan dalam bagian ini dan diringkas dalam GAMBAR 1.3. Satu dari
kebanyakan tugas-tugas dasar yang dihadapi oleh para peneliti keadilan
organisasional saat ini telah menetapkan bahwa perbedaan antara keadilan
distributif dan keadilan prosedural tidak sesederhana sebagai sebuah teori semata,
32
tetapi lebih sebagai sesuatu yang nyata dari perspektif fenomenologi pekerja.
Meskipun beberapa penelitian telah menentukan bahwa daftar pertanyaan (item)
dari ukuran-ukuran keadilan prosedural dan keadilan distributif secara statistik
bebas satu sama lain (Alexander dan Ruderman, 1987, Tyler dan Caine, 1981
dikutip oleh Greenberg, 1996:30), adalah penting untuk menentukan apakah
para pekerja secara intuitif sadar atas perbedaan tersebut. Dua penyelidikan telah
diarahkan pada persoalan-persoalan ini (Greenberg, 1986a: 6, Sheppard dan
Lewicki, 1987 dikutip Greenberg,1996:30). Masih dalam Greenberg (1996:30),
Sheppard dan Lewicki (1987) meminta sebuah sampel atas para manajer yang
menggambarkan kejadian-kejadian kritikal dari perlakuan adil dan tidak adil yag
dilakukan para bos mereka sendiri, dan prinsip yang membuat tindakan-tindakan
adil atau tidak adil ini.
Organizational
Justice
Procedural
Justice
Distributive
Justice
 Greenberg (1986a)
 Sheppard & Lewicki
(1987)
System
Satisfaction
Outcome
Satisfaction
 Folger & Konovsky
(1989)
 Fryxell & Gordon
(1989)
33
Sumber: Greenberg,1996:31
GAMBAR 1.3.
KEADILAN DISTRIBUTIF VERSUS KEADILAN PROSEDURAL
Terdapat enambelas prinsip yang diidentifikasi, termasuk di antaranya
prinsip yang sesuai dengan kategori-kategori Leventhal dan gagasan Thibaut dan
Walker tentang pengendalian proses, selain prinsip keadilan Adam. Berdasarkan
konteks manajerial umum, bagaimanapun penelitian ini dilakukan, adalah hal
yang wajar jika beberapa prinsip tambahan telah muncul. Sebagai contoh, aturan
yang berkenaan dengan “menyediakan informasi yang cukup memadai” dan
“memberikan kerja yang menarik dan bermakna” berada di antara prinsip-prinsip
yang dilaporkan oleh para responden, tetapi tidak terdapat dalam tulisan-tulisan
tentang keadilan sebelumnya. Faktor-faktor distributif dan prosedural
bebas dapat dikenali oleh para manajer.
secara
Mereka peduli dengan distribusi
penempatan kerja yang pantas dan adil serta imbalan-imbalan jabatan selain
prosedur-prosedur pengumpulan masukan mereka, penekanan/pengurangan
prasangka individual, dan diperbolehkan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan.
Menitikberatkan pada konteks performa penilaian/penaksiran yang lebih
spesifik, diperlukan sampel atas para manajer dari beberapa industri untuk
menggambarkan peristiwa-peristiwa yang secara khusus adil atau tidak
berdasarkan performa penilaian-penilaian (Greenberg, 1986a : 6). Tujuh buah
kategori yang dapat dipercaya muncul, yang mana kelompok manajer yang lain
kemudian diminta menanggapi atas arti penting yang mereka terima sebagai
determinan/faktor penentu atas penilaian-penilaian adil. Analisis-analisis faktor
34
atas penilaian-penilaian ini memunculkan dua faktor (yaitu, faktor-faktor penentu
prosedural dan faktor-faktor penentu distributif) yang diperhitungkan hampir
95 % dari nilai varian.
Faktor keadilan distributif terdiri dari dua determinan yang diteorisasikan
untuk mencerminkan alokasi hasil-hasil organisasional yang adil dalam sebuah
konteks performa penilaian-penilaian (Greenberg, 1987b : 7), yaitu menerima
penilaian-penilaian atas dasar performa yang dicapai dan membuat rekomendasirekomendasi bagi gaji dan promosi atas dasar penilaian-penilaian. Temuantemuan ini secara kuat menunjukkan bahwa para manajer sadar dan peduli
terhadap determinan-determinan keadilan distributif dan prosedural. Hal itu juga
mendukung tuntutan teoritis yang berkenaan dengan keberadaan berbagai elemen
yang beragam dari keadilan prosedural (misalnya, Leventhal, 1980; Thibaut dan
Walker, 1975 dalam Greenberg, 1996:32).
Dalam salah satu dari penelitian-penelitian pertama pada wilayah ini,
Alexander dan Ruderman pada tahun 1987 menggunakan sebuah daftar pertanyaan terhadap kira-kira 2.800 orang pegawai pemerintah federal. Mereka
menemukan bahwa indeks-indeks dari penilaian-penilaian keadilan prosedural
para pegawai ini secara signifikan berhubungan dengan ukuran-ukuran kunci
semacam itu sebagai kepercayaan mereka terhadap manajemen, maksud dan
tujuan
untuk
pergantian,
penilaian/evaluasi
terhadap
pengawas
mereka,
pertentangan/keselarasan, dan kepuasan terhadap pekerjaan. Lagipula, dengan
pengecualian pamrih pergantian, keputusan-keputusan keadilan prosedural dalam
ukuran-ukuran tidak bebas ini diperhitungkan secara signifikan
dibanding keadilan distributif.
berbeda
Rupanya, baik keputusan-keputusan keadilan
35
distributif maupun prosedural adalah penting, meskipun masing-masing mungkin
menjadi penduga bagi tindakan-tindakan yang berbeda. Gagasan ini sesuai dengan
hasil penelitian Tyler yang dilakukan tahun 1984 terhadap evaluasi-evaluasi para
terdakwa terhadap pengalaman-pengalaman ruang pengadilan mereka. Temuantemuan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa keadilan prosedural secara kuat
berhubungan dengan tindakan-tindakan terdakwa terhadap sistem pengadilan,
sedangkan keadilan distributif secara kuat berhubungan dengan kepuasan
terdakwa terhadap putusan-putusan. Meramalkan kemungkinan dari temuantemuan semacam itu, beberapa ahli menyimpulkan bahwa “keadilan prosedural
secara khusus mempunyai pengaruh-pengaruh yang kuat terhadap tindakantindakan yang berkaitan dengan institusi atau otoritas sebagai yang berlawanan
dengan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan hasil-hasil khusus”. Gagasan
bahwa kepuasan sistem berhubungan dengan keadilan prosedural, sedangkan
kepuasan hasil berhubungan dengan keadilan distributif adalah logis, sepanjang
ini adalah sistem yang mempergunakan prosedur-prosedur dan hasil-hasil yang
membentuk dasar bagi distribusi.
Gagasan ini telah menemukan dukungan dalam beberapa penelitian
organisasional. Sebagai contoh, penelitian yang pernah dilakukan oleh Folger dan
Konovsky pada tahun 1989, menemukan ukuran-ukuran keadilan prosedural dan
keadilan distributif dipolakan setelah laporan-laporan diri yang menerima
perlakuan adil yang diperoleh dalam penelitian survei open-ended saya
(Greenberg, 1986a : 6). Ukuran-ukuran ini ditemukan berbeda dalam kaitannya
dengan beragam kerja yang berhubungan dengan hasil-hasil dalam suatu cara
yang serupa dengan data Tyler 1984. Tegasnya, persepsi-persepsi penggunaan
36
prosedur-prosedur untuk menentukan upah menaikkan secara khas kontribusinya
terhadap faktor-faktor semacam itu sebagai komitmen organisasional dan
kepercayaan terhadap
pengawasan, sedangkan persepsi-persepsi
keadilan
distributif secara unik berkaitan dengan kepuasan upah miik seseorang.
Hasil-hasil yang sejalan diperoleh dalam penelitian Fryxell dan Gordon
pada 1989 tentang reaksi para pekerja terhadap sistem keluhan organisasional.
Menggunakan sampel yang bermacam-macam, mereka menemukan bahwa
ukuran-ukuran keadilan prosedural yang diterima dapat meramalkan kepuasan
dengan sistem keluhan yang secara signifikan lebih baik dibanding ukuran-ukuran
keadilan distributif.
Lagipula, kepuasan terhadap kesatuan (yang membantu
memberikan hasil-hasil yang diinginkan) secara lebih kuat berhubungan dengan
persepsi-persepsi keadilan distributif dibanding kepuasan tehadap manajemen
(yang menghalangi hasil-hasil yang diinginkan). Kecenderungan bagi keadilan
prosedural untuk berhubungan dengan kepuasan sistem keluhan didorong oleh
derajat yang mana hubungan-hubungan dengan kesatuan ditentukan dan
dipaksakan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tyler pada 1986 dalam
wilayah non-organisasional, Gordon dan Fryxell pada tahun 1989 melaporkan
bahwa hubungan-hubungan antara keadilan prosedural dan kepuasan institusional
(kepuasan sistem keluhan dalam kasus ini) meningkat ketika hubungan-hubungan
organisasional ditetapkan (seperti sebagaimana di antara para pegawai di
perusahaan agensi, yang mewajibkan pembayaran hak-hak secara seragam).
Diambil bersama-sama, penelitian-penelitian ini membuat sebuah kasus yang kuat
bagi peran-peran relatif keadilan distributif dan keadilan prosedural
dalam
meramalkan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kerja. Meskipun
37
persepsi-persespsi keadilan prosedural cenderung dihubungkan dengan penilaianpenilaian sistem organisasioal (khususnya di antara para pegawai yang secara
tidak sengaja berhubungan dengan sistem), persepsi-persepsi keadilan distributif
cenderung dihubungkan dengan hasil-hasil yang diterima.
1.7.2. Keadilan Syariah
Jika sumber-sumber daya merupakan suatu bentuk amanah dari Allah dan
manusia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan-Nya , maka tak ada opsi,
kecuali
menggunakannya
dengan
keadilan.
Al-Qur’an
dan
as-Sunnah
menempatkan penekanan tegas terhadap keadilan, menjadikannya salah satu
tujuan pokok syariat. Persaudaraan, salah satu tujuan syariat pokok lainnya akan
hampa sekiranya tidak diperkuat oleh keadilan dalam alokasi dan distribusi
sumber-sumber daya yang telah diberikannya. Menurut Al-Qur’an, penegakan
keadilan merupakan salah satu tujuan pokok Allah menurunjan para rasul (alHadiid:25). Al-Qur’an menempatkan posisi keadilan paling dekat kepada
ketakwaan. Ketakwaan, dengan demikian, merupakan hal yang paling penting
karena berfungsi sebagai batu loncatan bagi semua amal saleh, termasuk keadilan.
Rasulullah saw. Menyamakan ketiadaan keadilan dengan “kegelapan mutlak” dan
memperingatkan
“takutlah
kepada
kezaliman
karena
kezaliman
akan
menyebabkan kegelapan pada hari kiamat”. Ini merupakan keniscayaan karena
merupakan kezaliman menghapuskan persaudaraan dan solidaritas, mempertajam
konflik, ketegangan dan kejahatan, memperburuk problem kemanusiaan, dan pada
gilirannya akan mengantarkan kepada kegelapan di dunia dan azab di akhirat
(Chapra,2001:56).
38
Islam memerintahkan keadilan dalam seluruh persoalan yang berhubungan
dengan masyarakat manusia. Ajaran-ajaran Islam yang mendasar terkandung di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pada masa Rasulullah dan Kulafaur Rasyidin,
memberikan gambaran hidup mengenai pelaksanaan ajaran-ajarannya secara
praktis. Pandangan Islam terhadap sebuah tatanan sosio-ekonomi dapat
disimpulkan berkenan dengan ajaran-ajaran dasar tersebut dan catatan sejarah dari
periode Islam yang pertama.
Menurut Al-Qur’an, tujuan utama Tuhan memberikan petunjuk melalui
utusan-Nya adalah agar umat manusia mampu mendirikan keadilan, seperti firman
Allah :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa buktibukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. 57:25).
Tuhan telah menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi,
seperti dalam firmanNya :
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi” (QS.
2:30)
Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil pada setiap orang,
seperti dalam firman-Nya :
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS.5:8).
Tidak ada permasalahan yang lebih dekat hubungannya dengan konsep
keadilan daripada ‘hak-hak asasi manusia’. Sumber hukum Islam yang pertama
39
(syariah), yaitu Al-Qur’an, meletakkan elemen-elemen yang fundamental dari
sebuah piagam hak-hak asasi manusia yang mana memiliki kekuatan mengikat,
baik tanggungjawab moral maupun sistem hukum. Dan lebih lanjut, dilengkapi
dengan sumber hukum Islam yang kedua, yaitu perkataan dan perbuatan Nabi
SAW, yang biasa dikenal dengan sebutan Sunnah. Dengan menggabungkan
keduanya, mereka menjanjikan penghilangan segala bentuk
eksploitasi,
penindasan, dan ketidakadilan (Iqbal, 1994).
Seluruh hak-hak asasi manusia yang diberikan oleh Islam didasarkan pada
prinsip ‘kemaslahatan umum’ (al-maslahah-al-‘ammah). Hak-hak asasi manusia
yang diberikan oleh Islam didasarkan pada prinsip ‘Kemaslahatan umum’ (almaslahah al-‘ammah). Hak-hak asasi tersebut yang memiliki hubungan khusus
dengan permasalahan kajian ini adalah sebagai berikut :
a. Hak untuk hidup. Kehidupan manusia adalah suci dan tidak dapat
diganggu gugat, serta setiap usaha (karya) diciptakan untuk melindungi
kehidupan manusia itu sendiri.
b. Kebebasan profesi (pekerjaan). Ada kebebasan untuk memasuki semua
profesi yang diperkenankan oleh Islam.
c. Semua orang adalah sama di hadapan hukum dan berhak terlindungi oleh
hukum sesuai dengan syariah.
d. Setiap orang berhak untuk memiliki harta kekayaan baik secara pribadi
ataupun bekerjasama dengan pihak lain. Negara memiliki kekuasaan yang
sah terhadap sumber-sumber daya ekonomi tertentu bagi kepentingan
umum.
40
e. Kaum miskin berhak atas kekayaan kaum kaya sedemikian sehingga
kebutuhan dasar setiap orang dalam masyarakat dapat dipenuhi.
f. Eksploitasi manusia pada tingkat tertentu, atau bentuk tertentu, ataupun
dalam keadaan bagaimanapun juga adalah anti Islam dan harus diakhiri.
Kesejahteraan yang berkeadilan adalah komponen yang terpenting dalam
tatanan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah.. Segi yang paling patut
diperhatikan dalam skema kesejahteraan yang berkeadilan sebagaimana
dipertimbangkan oleh Islam adalah adanya jaminan pemenuhan kebutuhan dasar
bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahapan pembangunan sebuah negara. Hal ini
menyiratkan secara tidak langsung pemberantasan yang sempurna terhadap apa
yang disebut dalam literatur perekonomian mutakhir sebagai ‘kemiskinan absolut’.
Aspek yang kedua dari kesejahteraan yang berkeadilan yang adalah berkaitan
dengan pola umum pemerataan pendapatan di dalam masyarakat. Dalam hal ini,
tinjauan Islam lebih fleksibel di mana garis pedoman untuk pola pemerataan
pendapatan dan kekayaan yang diharapkan terkandung dalam AL Qur’an dan
Sunnah, yang tertulis dalam ketentuan-ketentuan umum dan memperkenankan
banyak sekali kebijaksanaan dalam menghadapi persoalan ini.
Desakan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh umat
manusia harus dilihat dalam segi pandangan Islam mengenai tempat manusia di
alam semesta. AlQur’an mengumumkan bahwa Tuhan telah memberi kehormatan
pada anak cucu Adam dan telah membuat ketetapan hal-hal yang baik untuk
mereka. Manusia merupakan wakil-Nya di muka bumi, dan adalah tugas manusia
untuk menata urusan-urusan dunia dimana semua orang memiliki kewajiban untuk
berbagi ‘hal-hal yang baik’ dari kehidupan. Tuhan telah menyediakan seluruh
41
sumber-sumber daya yang diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan dasar umat
manusia, apapun yang diciptakan di surga dan bumi, telah diciptakan untuk
tunduk pada manusia. Sumber-sumber daya tersebut diciptakan oleh-Nya sebagai
hadiah untuk seluruh umat manusia dan apa saja yang menjadi milik seorang
individu akan diperlukan sebagai ’titipan’. Titipan ini tidak dapat dikatakan untuk
dilepas kecuali jika masing-masing atau setiap orang cukup mendapatkan
kepuasan sedikitnya kebutuhan dasarnya.
Kepercayaan agama Islam memberi tekanan pada sifat tidak kekalnya
kehidupan manusia di bumi dan mendorong manusia untuk melakukan perbuatan
yang baik demi keselamatannya di Akhirat. Namun demikian, amatlah ditentang
penolakan terhadap dunia ini demi memperoleh kebahagiaan di Akhirat. Dengan
jelas Al Qur’an menyatakan bahwa Tuhan menginginkan kemudahan bagi umat
manusia dan bukannya kesukaran. Demikian sabda Nabi SAW dengan jelas
menyatakan bahwa kemiskinan dan deprivasi (perampasan) bukanlah merupakan
suatu kebaikan yang patut dihargai oleh Islam, dan setiap usaha mesti dilakukan
untuk menghilangkan kemiskinan dan deprivasi tersebut.
Untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat,
Islam menetapkan suatu prinsip bahwa kaum miskin memiliki ‘hak’ (haqq) atas
pendapatan dan kekayaan para anggota masyarakat yang mampu. Menurut Islam,
umat manusia adalah satu-satunya ciptaan Tuhan, dan seluruh manusia
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh makanan dari sumber-sumber daya
pemberian Tuhan. Betapapun, untuk alasan tertentu, jika ada beberapa anggota
persaudaraan manusia yang gagal memperoleh persediaan yang cukup untuk
42
memenuhi kebutuhan dasar mereka dengan melalui usaha mereka sendiri, maka
mereka berhak atas penghasilan dan kekayaan anggota-anggota lain.
Islam menggunakan baik peringatan moral maupun aturan hukum untuk
menghilangkan kemiskinan dan deprivasi, sehingga kebutuhan dasar bagi seluruh
rakyat dapat dipenuhi sebagaimana mestinya. Sejumlah ayat dalam Al Qur’an
menekankan kebaikan infaq, yaitu pemberian sukarela untuk kesejahteraan kaum
miskin. Sebagai contoh, telah dinyatakan bahwa tidak ada perkara dimana
manusia akan mencapai kesalehan kecuali jika ia dengan rela mengeluarkan
kekayaannya dengan cara yang diatur oleh Tuhan untuk mereka yang melarat dan
kaum fakir miskin. Bagi mereka yang melakukan infaq telah dijanjikan menjadi
orang-orang pilihan yang memperoleh kenikmatan di surga. Nabi SAW sendiri
menjadikan dirinya sebagai contoh teladan dalam banyak memberi untuk
kesejahteraan kaum miskin. Beliau mendesak para pengikutnya agar saling
mengungguli dalam memberi pertolongan kepada kaum miskin. Beliau juga tiada
henti-hentinya mengingatkan para pengikutnya bahwa sebuah masyarakat yang
gagal memelihara kebutuhan kaum fakir miskin tidak dapat dipandang Islami.
Demikian beliau pun memberi peringatan kepada para pengikutnya apabila ada
suatu tempat dimana seorang masih kelaparan di malam hari maka Tuhan akan
meninggalkan mereka.
Islam sangat peduli bahwa kaum miskin mesti ditolong dengan cara
tertentu yang tidak membuat harga diri mereka terluka. Cara yang terbaik untuk
menolong orang miskin, maka seorang pengangguran disumbang dengan bantuan
tertentu yang mampu membuat drinya berdiri sendiri. Al Qur’an memerintahkan
orang untuk pergi dan mencari orang-ornag tertentu yang membutuhkan tetapi
43
tidak membiarkan mereka mengulurkan tangan untuk meminta. Al Qur’an juga
memberi peringatan bahwa derma menjadi kurang bernilai di hadapan Tuhan
apabila derma tersebut diikuti dengan suatu tindakan yang melukai perasaan si
penerima.
Islam mengakui bahwa masyarakat tidak berperilaku seragam dalam
berbuat sesuai dengan ajaran moral untuk menolong kaum fakir miskin melalui
sebuah sistem jaminan sosial yang sangat kuat. Islam memerintahkan negara
bertugas menghimpun retribusi wajib yang dikenal dengan zakat dari hasil
pendapatan bagian masyarakat yang mampu diperuntukkan bagi tujuan-tujuan
tertentu dalam rangka menolong kaum fakir miskin yang dapat diperhitungkan
secara jelas. Sistem jaminan sosial ini diatur dijaman Nabi SAW. dan berfungsi
secara efektif pada periode Islam pertama dan dalam beberapa waktu tertentu pada
periode berikutnya. Pada kenyataannya, catatan sejarah memperlihatkan bahwa
terdapat beberapa contoh dalam periode ini dimana pada daerah-daerah tertentu
tidak ditemukan seorang fakir miskin yang dipandang bisa memperoleh derma.
Para penguasa pada periode islam yang pertama sangat menyadari
tanggungjawab mereka terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga
negara. Keempat khalifah pertama yang berkuasa memerintah negara-negara
Islam setelah wafatnya Nabi SAW. telah menganggap pemenuhan kebutuhan
sebagai salah satu tujuan dasar dari kebijaksanaan negara. Dalam periode khalifah
pertama, Abu Bakar, ada segolongan penduduk yang telah menolak untuk
membayarkan zakat. Penolakan mereka untuk membayar zakat dipandang sebagai
sebuah tindakan pemberontakan yang menentang negara sehingga tindakan yang
bersenjata dilakukan untuk melawan mereka sampai mereka sependapat untuk
44
membayar zakat. Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggungjawab
ini sehingga ia mengumumkan: ‘Jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi
sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggungjawaban saya terhadap
hal itu. Para ahli fiqh Islam telah menulis secara mendalam mengenai prinsip
pemenuhan kebutuhan. Mereka semua setuju bahwa secara umum pemenuhan
kebutuhan merupakan kewajiban masyarakat bersama sehingga tak seorangpun
yang dijumpai masih merasa kehilangan keperluan hidup yang mendasar.
Sejumlah ahli fiqh Islam mempunyai suatu pandangan bahwa perlindungan
hukum harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan kebutuhan sehingga
setiap warga negara bisa melapor ke pengadilan agar mendapat jaminan
pelaksanaan atas prinsip tersebut.
Para ahli fiqh juga telah membahas pertanyaan penting mengenai
identifikasi kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi bagi seluruh warga
negara. Al Qur’an dan sunnah telah berulang kali menekankan pemberian
makanan kepada mereka yang sedang kelaparan, demikian pemenuhan kebutuhan
gizi bagi setiap oarng harus diperhitungkan secara jelas untuk meringankan
penderitaan kaum miskin. Adapun pemenuhan kebutuhan dasar lainnya yang
menempati prioritas tinggi adalah pakaian dan perumahan. Para ahli fiqh Islam
telah menjelaskan bahwa selain makanan, pakaian dan perumahan
yang
diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan hidup, maka ada beberapa
kebutuhan tertentu lainnya yang harus diperhatikan oleh masyarakat Islam.
Literatur para ahli hukum membatasi perbedaan antara tiga jenis kebutuhan
manusia
dan
diklasifikasikan
sebagai
daruriyyat
(kebutuhan),
hajiyyat
(kesenangan) dan tahsiniyyat (kehalusan budi). Kebutuhan tidak saja termasuk
45
hal-hal yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga nafs (fisik luar manusia)
melainkan juga hal-hal yang dapat melindungi din (agama), ‘Aql (intelek atau
pikiran), nas (keturunan) dan mal (harta kekayaan). Hajiyyat meningkatkan
kualitas kehidupan dan menghilangkan, baik penderitaan maupun kesukaran
sementara tahsiniyyat menambah keindahan dan kecantikan hidup tanpa
melampaui batas-batas yang berlebihan. Adalah pandangan para ahli hukum Islam
bahwa merupakan tanggung jawab masyarakat bersama untuk menjamin
pemenuhan daruriyyat dalam perkara apapun dan juga hajiyyat apabila sumbersumber dayanya memungkinkan. Telah diakui bahwa karena perubahanperubahan keadaan maka pembatasan terhadap tiga jenia kebutuhan yang
disebutkan tadi tidak dapat berlaku secara terus menerus dari waktu ke waktu.
Yang terpenting adalah jaminan pemenuhan kebutuhan dasar harus tersedia bagi
setiap individu, bahkan ketentuan yang jelas terhadap kebutuhan dasar tersebut
dan unsure-unsur pokok dim luar itu yang beragam dapat dipuaskan dalam waktu
kapan saja, harus diputuskan sesuai dengan kondisi yang nyata dan standar hidup
rata-rata sebuah Negara.
Terlepas dari usaha pembrantasan kemiskinan absulot dan uapaya
pemenuhan kebutuhan dasari bagi seluruh umat manusia, maka pandangan islam
terhadap sebuah tatanan sosio-ekonomi yang adil juga mempertimbangkan pola
pemerataan pendapatan dan kekayaan. Al Qur’an dan Sunnah membuat
penjelasan lebih lanjut bahwa Islam tidaklah mencari upaya pelenyapan semua
bentuk ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan. Pada kenyataannya, hal
tersebut memperlihatkan kehadiran perbedaan pendapatan tertentu sebagai bagian
dari rencana Tuhan atas segala sesuatu. Al Qur’an mengemukakan bahwa Tuhan
46
meninggikan kehidupan dan derajat social beberapa orang di atas orang-orang lain
sedemikian sehingga ‘beberapa orang tersebut dapat menggunakan jasa orangorang lain dalam pekerjaan mereka. Dalam perkataan lain, Islam menghargai
perbedaan pendapatan tertentu sebagaimana mestinya demi kepentingan laju
ekonomi yang lancar.
Islam secara tegas mencela ketidak merataan pendapatan yang ditimbulkan
dari praktek – praktek yang eksploitatif. Akan tetapi, bukan berarti Islam
menetang perbedaab pendapatan, selama pendapatan itu secara umum merupakan
usaha yang jujur dari jenis kegiatan ekonomi yang beragam dan dibolehkan. Al
Qur’an memerintahkan : ‘Berilah takaran yang penuh, dan janganlah menjadi
orang-orang yang suka memberi sedikit (dari yang seharusnya), menunjukkan
bahwa orang seharusnya mendapatkan kompensasi yang adil atas pekerjaan
mereka sepadan dengan kecakapan dan usaha mereka. Walaupun Islam tidak
menentang kebedaraan perbedaan pendapatan dan kekayaan tertentu di dalam
masyarakat, Islam tetap tidak menyetujui kelaziman ketidakmerataan pendapatan
dan kekayaan yang menyolok. Al Qur’an berhati-hati terhadao ketidakmerataan
pendapatan dan kekayaan yang menyolok dimana dalam ayat 59 : 7 menyebutkan
bahwa kekayaan diperbolehkan menjadi barang dagangan yang beredar diantara
kaum kaya saja di antara kamu’ Ajaran Islam, baik yang berkaitan dengan
perilaku pribadi atau kebijaksanaan Negara, mempunyai orientasi redistribusi
yang tegas. Keadilan social adalah salah satu aspek yang tidak dapat dicabut dari
keimanan Islam, dan demikian pula ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan
yang menyolok kecuali malah mengotori jiwa keimanan.
47
Patut diperhatikan bahwa bertentangan dengan desakan yang tetap
terhadap pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh umat manusia dalam setiap
keadaan dan waktu, maka Isalam tidak menetapkan standar yang kaku terhadap
pemerataan pendapatan dimana seluruh masyarakat dalam semua umur harus
menyesuaikan diri sebagaimana mestinya. Tidak ada konsep tentang batas-batas
jumlah kekayaan individu meski norma-norma mengenai penghasilan dan
pengeluaran kekayaan secara jelas telah ditetapkan. Tampaknya adalah tujuan
Islam agar tingkat ketidak merataan pendapatan yang dapat diterima ditentukan
oleh masyarakat mengingat hal ini berkaitan dengan keadaan mereka sendiri.
Islam berupaya untuk meningkatkan sepenuhnya pemikiran saling ketergantungan
fungsi pemanfaatan. Islam juga sama sekali mengutuk pemakaian kekayaan yang
dibelanjakan secara berlebih-lebihan dan komsumsi yang menyolok. Kedua hal
ini mencerminkan adapt istiadat sosial sebuah masyarakat dan memiliki hubungan
yang penting dengan tingkat ketidakmerataan yang dapat diterima. Tidak ada cara
apapun untuk menetapkan pemerataan pendapatan yang optimal kecuali jika
cukup diketahui oleh adat istiadat social dari sebuah masyarakat. Betapapun,
memang dapat dinyatakan secara umum bahwa adapt istiadat suatu masyarakat
yang didasari oleh semangat al – ‘adl dan al – ihsan, yang diperintahkan oleh Al
Qur’an dan Sunnah, dan sedikit bagian penduduk yang kaya memperturutkan
konsumsi menyolok, maka semakin tinggi toleransi masyarakat terhadap
ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan. Di lain pihak, semakin jelasnya
deprivasi dipandang relative oleh sebagian penduduk sebagai hasil dari tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar dan konsumsi menyolok yang dilakukan oleh kaum
kaya, maka semakin rendahlah toleransi masyarakat terhadap ketidakmerataan.
48
Dengan memperlihatkan sepenuhnya kepedulian terhadap lesejahteraan para kaum
miskin melalui pembrantasan kemiskinan absolute dan dengan memelihara
ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan dalam batas-batas yang dapat diterima,
maka periode Islam yang pertama memberikan demostrasi yang praktis mengenai
tatanan ekonomi kesejahteraaan keadilan syariah (Ahmad, 1998 : 9).
49
BAB 2
IMPLIKASI EKONOMI KESEJAHTERAAN DAN
KEADILAN SYARIAH DALAM EKONOMI GLOBAL
2.1. Kemiskinan dan Ketidakadilan
Setiap masyarakat manusia menggunakan sumber daya yang tersedia
untuk menghasilkan sejumlah produksi yang akan didistribusikan dalam berbagai
cara diantara para anggota. Kesejahteraan yang berkeadilan dalam ketetapan
pemerintah terhadap produksi barang-barang dan jasa serta pemerataan hasil kotor
nasional menjadi pusat perhatian sepanjang sejarah manusia. Meskipun teratur,
namun kurang lebih pemerataan pendapatan yang tidak adil, dapat diamati
diseluruh bagian masyarakat setiap waktu. Uraian gagasan dan kebijakan terhadap
pemecahan masalah kemiskinan dan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan
menempati sebuah spektrum besar. Uraian ini tersusun mulai dari dukungan
perizinan untuk berperan secara penuh dalam kekuatan pasar bebas dengan sedikit
campur tangan terhadap perusahaan swasta sampai pada pengawasan pemerintah
yang sempurna terhadap produksi dan distribusi. Ekonomi kesejahteraan dan
keadilan syariah menguraikan keunggulan pendekatan yang menyolok terhadap
permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa
sekarang, dan bab ini diakhiri dengan sebuah identifikasi mengenai keunggulan
ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap masalah tersebut.
50
Sejak lama dalam sejarah manusia, sebagian besar proses produksi dan
distribusi diatur oleh tradisi. Dalam masyarakat masa lalu yang terikat tradisi, adat
istiadat dan keturunan merupakan faktor utama yang menentukan pembagian kerja
masyarakat berkelompok terpaksa menjadi yang terpaksa menjadi masyarakat
yang egalitar dikarenakan mereka harus memeperbaiki keadaan hidup sehari-hari
dengan susah payah dan melalui usaha sendiri, dan mereka tidak mempunyai
kemampuan memproduksi pertambahan ekonomi yang cukup besar sebagaimana
yang tersedia oleh kelompok tertentu. Keadaan ini kemudian diikuti dengan
masyarakat hortikultura sederhana yang sebagian besar berkembang di bagian
Eropa, Timur Tengah, dan Asia tenggara. Kelompok mereka biasanya lebih besar,
lebih produktif dan kurang egaliter (Lenski, 1966). Namun demikian,
ketidakadilan jauh dari kenyataan jauh dari kenyataan karena tanah yang tersedia
berlimpah-limpah dan sebagian besar materi yang diperlukan denagn mudah
tersedia bagi semua.
Fakta pertama yang menandai ketidakadilan pendapatan dan kekayaan
ditemukan dalam masyarakat holtikultura maju dimana awal perkembangan
mereka dimulai di Timur Tengah sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu dan
kemudian menyebar di lima benua terbesar. Karena kemajuan teknologi dalam
holtikultura, maka besar kemungkinan untuk memproduksi lebih dari kebutuhan
nafkah hidup seseorang. Pertambahan ini sebagian besar diambil oleh kepala suku
yang secara relatif hidup dalam kesenangan yang lebih besar dan juga untuk
membiayai sejumlah pegawai yang bergantung padanya. Lembaga perbudakan
juga muncul dalam periode ini. Pelaksanaan pemberian hadiah istimewa oleh
para kepala suku atau raja membangkitkan hak-hak yang istimewa bagi kaum
51
bangsawan. Adapun di lapisan bawah terdapat kelompok terbesar yang
merupakan masyarakat biasa, yang memproduksi pertambahan itu, dimana kelaskelas yang diistimewakan bergantung untuk memperoleh kemudahan dan
kesenangan hidup. Uang, yang pada saat itu dalam bentuk kulit kerang, dan ternak
merupakan jenis-jenis baru dari berbagai aset nyata yang memudahkan
penimbunan harta kekayaan dan perpindahannya dari generasi ke generasi
berikutnya.
Masyarakat agraris, yang merupakan masyarakat yang lebih maju dari
masyarakat holtikultura maju, bercirikan peningkatan yang lebih besar pada
spesialisasi diperlukan untuk menunjukan secara tidak langsung adanya
perkembangan perdagangan dan perniagaan, serta munculnya kelas pedagang
yang
khas.
Masyarakat
agraris
di
kebanyakan
daerah
banyak
sekali
memperlihatkan dengan jelas ketidakadilan sosial. Penguasa agraria kenyataanya
menikmati hak-hak properti terhadap seluruh tanah dan bisnis yang berada dalam
wilayahnya. Pelaksanaan hak-hak properti ini, melalui pengumpulan pajak, uang
upeti, sewa dan jasa pelayanan, menjadi sumber penghasilan utama bagi
kebanyakan penguasa agraria. Diperkirakan oleh berbagai cendekiawan bahwa
sekelompok kecil penduduk yaitu tidak lebih dari 2 persen dari jumlah penduduk
berbagi tanggung jawab pemerintah dengan mereka. Seringkali para penguasa
menghadiahi anggota-anggota kelas pemerintahan sejumlah tanah milik yang luas
atau pendapatan yang sesungguhnya diambil dari sekelompok kecil penduduk itu.
Menurut barbagai kajian penelitian tertentu, ‘Keliahatan bahwa kelas-kelas
pemerintahan di masyarakat agraria sedikitnya menerima seperempat pendapatan
nasional negara –negara agraria, dan biasanya kelas pemerintah dan penguasa
52
sama-sama menerima tidak kurang dari separoh. Dalam keadaan tertentu,
gabungan pendapatan antara keduanya bisa mendekati dua pertiga dari jumlah
keseluruhan (Lenski, 1966). Para petani, yang membentuk kelompok terbesar dari
jumlah penduduk, hidup hampir mendekati tingkat yang cukup untuk
menyambung hidup. Mereka juga menjadi sasaran dari kerja rodi atau kerja paksa.
Di berbagai daerah tertentu, para petani dibatasi tanah oleh hukum dan adat
kebiasaan. Para bangsawan feodal mengikat mereka dalam batasan-batasan yang
menyeluruh, dalam sejarah ekonomi keadaan ini dikenal dengan perbudakan.
Keadaan ekonomi kaum miskin yang menyedihkan didalam masyarakat
agraria menimbulkan berbagai protes dari para pembaharu sosial pada saat itu
(Heilbroner, 1975:32). Ajaran agama-agama samawi seperti Yahudi, Nasrani dan
Islam menyediakan dasar kritikan moral yang tegas terhadap keberadaan tatanan
perekonomian. Pengaruh kemanusiaan yang kuat dari agama bervariasi dari abad
ke abad dan dari daerah ke daerah. Implementasi pelaksanaan ajaran-ajaran Islam
di jazirah Arab dan di antara wilayahnya pada periode Islam pertama, yang
termasuk di dalamnya pengenalan sistem jaminan sosial Islam, telah
menghasilkan perubahan yang menyolok terhadap nasib kaum miskin. Masyarakat
Muslim memelihara bias egalitarian yang tegas untuk beberapa waktu tertentu
(Taleqani, 1983:76-77), tetapi kemudian sehubungan dengan pengabaian ajaran
Islam yang dilakukan oleh kedua kelompok baik penguasa maupun yang dikuasai,
maka tanggungjawab pertama terhadap perbaikan penderitaan kaum miskin sangat
berkurang dan sistem jaminan sosial yang diatur oleh negara menjadi tidak
bermanfaat (Ahmad, 1998:68).
53
Zaman pertengahan memperlihatkan peningkatan ketidakpuasan para
petani atas nasibnya dan perjuangan yang terus menerus untuk membebaskan
mereka dari genggaman perbudakan. Para ahli sejarah mencatat ribuan
pemberontakan petani pada periode ini di negara-negara Eropa dan daerah lainnya
dimana mereka mendapat perlakuan penindasan yang kejam (Braudel, 1982:251255).
Pada mulanya Revolusi Industri yang terjadi di negara-negara Eropa
diiringi dengan keyakinan yang besar terhadap sifat baik perekonomian pasar
bebas sebagaimana yang dicontohkan dalam filosofi laisses-faire. Inti dari filosofi
ini adalah bahwa peranan kekuatan bersaing yang bebas dalam komoditi dan
komponen pasar, tidak dirintangi oleh pengaruh hak masyarakat untuk bertindak,
merupakan resep yang terbaik untuk kemajuan ekonomi. Pertumbuhan pasar
kapitalis yang bersaing dalam fase-fase pertamanya ditandai oleh penderitaan
masyarakat yang dahsyat. Nasib orang-orang tidak bekerja bahkan lebih buruk
lagi. Dominasi laisses-faire meningkatkan sikap acuh tak acuh yang tidak
berperasaan terhadap keadaan kaum miskin yang menyedihkan (Samuelson dan
Nordhaus, 1985:49). Para ahli ekonomi terkemuka masa itu memperlakukan
buruh dalam pandangan mereka sebagai bentuk komoditi lain yang harganya
(upahnya) ditentukan oleh peranan kekuatan pasar yang bebas terhadap persediaan
dan permintaan. Sikap umum terhadap kemiskinan pada masa-masa itu
digambarkan dalam kata-kata sebagai berikut:
…kaum miskin dipandang sebagai obyek yang memalukan atau hina,
bergantung pada kemanusiaan si pengamal, tetapi tidak pernah dipandang
sebagai subyek peningkatan ekonomi melalui tindakan sosial. Beberapa orang
54
memandang kaum miskinsebagai penderita yang tak disengaja dan dikarenakan
nasib buruk...Yanglainnya berpendapat bahwa kaum miskin hanya dapat
mempermasalahkan diri mereka sendiri terhadap tingkat kehidupan mereka yang
rendah…Malthus (seorang ahli ekonomi terkemuka) bahkan mengusulkan
penghapusan bentuk keringanan kaum miskin yang terbatas (yang muncul pada
masa itu) dan menganjurkan agar kepala keluarga dididik…bahwasanya ia tidak
mempunyai hak untuk menuntut porsi makanan terkecil dari masyarakat, kecuali
untuk membayarkan usaha (kerja)nya secara adil. Sementara Malthus
berkeinginan untuk menghentikan keringanan kaum miskin sehingga bisa
menghapuskan jalan menuju kelaparan dan dengan demikian mengesahkan cara
berpikirnya bahwa kaum miskin tak berguna, maka ahli lainnya melihat
kemiskinan sebagai pemacu efisiensi buruh dan rangsangan untuk konformitas
sosial…Sikap negatif yang sama diimpor oleh negara Amerika Serikat dimana
para pengamat memandang kemiskinan sebagai hasil dari perbuatan jahat atau
kemalangan individu, dan tidak pernah dipandang sebagai penderitaan ekonomi
yang tersebar luas yang dihasilkan dari pelaksanaan sistem sosio-ekonomi itu
sendiri sehingga diperlukan tindakan-tindakan sosial untuk menanggulanginya
(Perlman, 1976:4-5).
Meskipun terdapat dominasi filosofi laisseez-faire pada periode itu namun
beberapa suara bangkit menentang ketidakadilan sistem yang berdasarkan filosofi
ini, dan terhitung berbagai reformasi sporadis terjadi dari waktu ke waktu. Di
Inggris, misalnya, seorang tokoh pembangunan di tahun 1795 menyusun Hukum
Speenhamland yang memberikan jaminan bahwa subsidi bantuan upah harus
diberikan sesuai dengan skala harga roti, sehingga pendapatan minimum kaum
55
miskin terjamin, terlepas dari penghasilan mereka (Polanyi, 1957:77-80). Namun
demikian, hukum ini tidak lama bertahan dan telah dihapus pada tahun 1834.
Abad ke 20 menampilkan batasan yang besar dalam sejarah manusia
sehingga
masalah
kemiskinan
dan
pemerataan
pendapatan
merupakan
permasalahan terpenting yang menjadi perhatian di seluruh dunia. Abad ke 19
menjadi saksi ketidakpuasan pertumbuhan akibat kebijakan laisseez-faire gagal
memberikan pemecahan yang efektif terhadap masalah kemiskinan dan
pemerataan pendapatan. Filosofi laisseez-faire hampir ditinggalkan secara
menyeluruh di seluruh dunia selama abad 20. dan memberikan jalan pada dua
pendekatan besar terhadap pembuatan kebijakan perekonomian yang digambarkan
sebagai ‘sosialisme’ dan ‘kapitalisme yang dikelola’ dalam literatur ekonomi
terakhir. Meski kedua pendekatan ini memiliki perbedaan yang substantif akan
tetapi keduanya mewakili usaha perbaikan sosial melalui intervensi negara yang
aktif (Ahmad, 1998:71).
Tujuan-tujuan sosialisme yang terkenal adalah menghapuskan kemiskinan
dan mencipatakan sebuah negara yang melayani masyarakat, mengurangi
ketidakadilan pendapatan dan kekayaan secara tegas serta perencanaan ekonomi
yang memberi kesempatan kerja penuh dan stabilitas. Menurut Karl Marx,
seseorang yang mempunyai reputasi baik dalam menjabarkan doktrin sosialis,
tujuan-tujuan ini hanya dapat dicapai jika kapitalisme telah dirobohkan. Marx
percaya bahwa sistem kapitalisme memiliki sifat kontradiksi yang berbelit-belit
yang tak dapat dielakkan akan mengakibatkan kematiannya. Marx tidak
meragukan kemampuan sistem kapitalis memprodksi peningkatan jumlah barangbarang dan jasa tetapi merasa bahwa akibat exploitasi kapitalis terhadap buruh,
56
maka keadaan rakyat menjadi tak tertahankan lagi sehingga membangkitkan
pemberontakan dan penggulingan sistem kapitalis. Kapitalisme akan diambil alih
oleh sosialisme dimana seluruh alat-alat produksi dinasionalisasikan, seluruh
pendapatan pribadi kecuali upah dihapuskan, dan para pekerja akan menerima
upah dengan nilai yang penuh terhadap apa yang mereka produksi sedikit dari apa
saja yang dicadangkan untuk simpanan masyarakat. Produksi dan distribusi
barang-barang dan jasa akan dilaksanakan dengan cara yang direncanakan oleh
badan-badan pemerintah. Menurut Marx, sosialisme, akhirnya akan memberikan
jalan bagi komunisme dimana negara akan mengarah dan individu akan berperan
dalam kehidupan umum, membangkitkan pendapatan masyarakat menurut
kebutuhan daripada menurut kemampuan individu untuk memproduksi (Marx dan
Engels, 1937).
Pandangan Marx terhadap pendirian sebuah masyarakat sosialis melalui
penggulingan tatanan kapitalis secara revolusioner oleh kaum buruh tidak
didukung oleh semua pemikir sosialis. Sebagai contoh, sosialis Fabian
mempercayai bahwa sebuah masyarakat sosialis dapat dihidupkan melalui
kemauan demokrasi dari masyarakat yang tidak puas terhadap cara kerja sistem
kepitalisme (Shaw, 1908).
Para pendukung ‘kapitalisme yang dikelola’ mempunyai pandangan bahwa
ketidakcakapan kapitalisme leisse-faire dapat diatasi dengan intervensi negara
yang tepat tetapi tanpa mengorbankan segi-segi fundamental dari sistem
kapitalisme. Mereka mengakui bahwa ada hal-hal tertentu dalam cara kerja
mekanisme pasar bebas yang dapat mengakibatkan kegagalan untuk mencapai
tujuan-tujuan sosial dari masyarakat. Lingkaran siklus dari ‘ledakan dan
57
kemerosotan ekonomi’ yang dialami oleh negara-negara industri pada abad ke 19
telah mengguncang keyakinan terhadap postulasi dasar ekonomi klasik
bahwasanya perekonomian pasar yang bersaing telah terpasang dengan
mekanisme yang memperbaiki sendiri sehingga dapat menghindari periode
ledakan dan kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan. Masa Depresi Berat di
tahun 1930-an menghadapi pukulan terakhir terhadap keyakinan tersebut dan
mengancam kelangsungan hidup kapitalisme sebagai sebuah sistem ekonomi.
Makro-ekonomi Keynes, yang mengganti peranan positif kebijakan moneter dan
fiskal pemerintah sebagai pengganti leisse-faire, merupakan salah satu penyelamat
kapitalisme. Para ahli ekonomi mengidentifikasikan sejumlah kasus lainnya, yang
dijabarkan sendiri, tidak bisa beroperasi sebaik-baiknya untuk menghasilkan
keuntungan sosial. Peranan yang tepat bagi pemerintah untuk menghadapi
kegagalan-kegagalan tersebut juga menjadi bagian dari pemikiran ekonomi baru.
Pengetahuan juga digunakan untuk menghadapi berbagai permasalahan yang
berupa kemiskinan yang terus menerus dan ketidakadilan pendapatan dan
kekayaan yang nmenyolok serta perhatian yang meningkat diperlihatkan untuk
mencari jalan dan cara yang lebih adil dalam membagi keuntungan pembangunan
dibawah rezim kapitalisme yang dikelola.
Kebangkitan politik liberalisme di negara-negara Barat yang berekonomi
maju
menjadi
faktor
penting dalam
masalah-masalah
kemiskinan
dan
ketidakadilan pendapatan. Setelah peralihan abad, pemerintah dari negara ini tidak
lagi berkeinginan untuk berkeinginan untuk membiarkan kekuatan pasar
menentukan sendiri tingkat kesempatan kerja, produksi dan pendapatan. Mereka
mendapatkan perlunya campur tangan dalam urusan-urusan ekonomi pada bagian
58
yang cukup luas. Intervensi negara mengambil bentuk yang bragam seperti
kepemilikan umum terhadap alat-alat produksi, pemanfatan kebijakan pajak
secara aktif untuk mengurangi ketidak adilan pendapatan dan kekayaan, serta
program-progarm kesejahteraan umum dan jaminan sosial yang memadai. Bias
redistribusi yang ditekankan dalam kebijakan ekonomi di negara-negara tersebut
dan kecemasan yang jelas terhadap kaum miskin menjadikan mereka memperoleh
julukan ‘negara-negara persemakmuran’.
Negara-negara yang sedang berkembang atau dunia ke tiga yang
mempunyai penduduk miskin terbesar di dunia, juga mengikuti sejumlah
strategiyang
beragam
untuk
mngurangi
kemiskinan
dan
menurunkan
ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. ‘ Kapitalisme yang dikelola’ menjadi
kerangka kerja untuk perilaku kebijakan ekonomi di kebanyakan negra-negara ini.
Secara umum dapat dikatakan, negara-negara Dunia Ketiga yang mengikuti model
‘kapitalisme yang dikelola’ tidak memiliki sistem jaminan sosial sebagaimana
ditemui di negara-negara maju. Beberapa negara di Dunia Ketiga tidak
mempunyai sistem jaminan sosial yang baik, sementara negara-negara lainnya
mempunyai sistem jaminan sosial yang memberi batasan-batasan keuntungan
tertentu terhadap kelompok-kelompok penduduk tertentu. Beberapa negara sedang
berkembang memilih untuk mengikuti model pembangunan sosialis.
Dari sudut pandang manajeman ekonomi, dan khususnya dari sudut
kebijakan untuk mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan
pendapatan dan kekayaan, maka negara-negara di dunia saat ini secara kasar dapat
diklasifikasikan menurut tiga kelompok besar: (1) negara-negara kapitalis dengan
sistem jaminan sosial yang baik, (2) negara-negara kapitalis tanpa sistem jaminan
59
sosial atau mempunyai sistem jaminan sosial yang kurang baik, (3) negara-negara
sosialis. Patut diperhatikan bahwa negara-negara yang memiliki sistem jaminan
sosial yang berkembang baik semuanya merupakan negara-negara berkembang
yang berpendapatan tinggi. Tidak ada negara-negara kapitalis yang berpendapatan
rendah dan menengah yang mempunyai sistem jaminan sosial yang baik. Juga
penting untuk dicatat bahwa bahkan diantara negara-negara yang dianggap
kapitalis dan negara-negara yang dianggap sosialis pun, terdapat perbedaan besar
dalam jenis-jenis kebijakan ekonomi dan pola pemerataan pendapatan.
2.2. Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Sosialis
Pemberantasan kemiskinan dan pencapaian pola pemerataan pendapatan
yang sangat egalitarian merupakan tujuan sosialisme yang terbesar. Dalam teori
ekonomi sosialisme, semua alat-alat produksi harus dibawah kepemilikan dan
pengawasan negara. Pengalokasian sumber-sumber daya harus diselesaikan
melalui keputusan administrasi daripada melalui mekanisme pasar. Koordinasi
ekonomi diantara badan-badan negara yang berbeda-beda harus diberdayakan
melalui sebuah sistem perencanaan yang komprehensif terutama berdasarkan
anggaran belanja sumber daya material. Penghapusan kepemilikan kapitalis
swasta terhadap alat-alat produksi diharapkan dapat menghasilkan sebuah pola
pemerataan pendapatan yang adil. Model pembangunan sosialis pertama kali
diperkenalkan di Russia pada tahun 1917. Sejak itu negara ini melaksanakan
strategi pembangunan sosialis yang berbeda-beda. Periode awal ditandai dengan
menasionalisasikan bank-bank dan industri –industri besar, pengkolektifan usaha
tani, pemanfaatan kekuatan negara untuk membasmi kepemilikan tanah yang
lebih subur oleh petani (‘kulaks’), cara hidup buruh yang teratur dan penekanan
60
pada pembangunan industri berat. Era perencanaan yang komprehensif dimulai
pada tahun 1928, dan sejak itu rencana lima tahun berturut-turut dimanfaatkan
untuk membentuk langkah dan arah perubahan ekonomi. Dorongan kebijakankebijakan telah berhasil membuat Uni Soviet sebagai salah satu dari dua kekuatan
terbesar di dunia dan menjadi negara yang sangat industrialisasi. Dengan
menggunakan
perencanaan
yang
komprehemsif
memungkinkan
negara
menyediakan tingkat pekerjaan yang tinggi dan jaminan pendapatan pada
masyarakatnya. Sistem jaminan sosial menjamin pendidikan yang gratis,
pelayanan medis yang gratis, dan tunjangan pensiun bagi penduduk usia lanjut.
Informasi mengenai perubahan pemerataan pendapatan di Uni Soviet agak sedikit.
Sebagaimana diharapkan oleh negara yang sepenuhnya sosialis, maka
penghapusan pendapatan dari para pemilik yang banyak harta kekayaannya
menghasilkan penurunan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang berarti.
Akan tetapi masih banyak perbedaan-perbedaan yang muncul diantara kelompok
berpendapatan tinggi dan rendah. Menurut seorang analis, kesenjangan antara
kelompok berpendapatan tinggi dan rendah di Uni Soviet pada tahun 1971 adalah
satu berbanding tiga setengah (1:3,5), dan hampir satu pertiga dari keluargakeluarga mempunyai pendapatan dibawah garis kemiskinan (Grutchy, 1977:523).
Selain Uni Soviet, model pembangunan sosialis dilaksanakan disejumlah
negara Eropa Timur pada periode setelah Perang Dunia ke 2. Hingga tahun 1953,
negara-negara ini sangat dekat berhubungan dengan Uni Soviet dan kebijakankebijakan ekonomi mereka hampir identik dengan kebijakan-kebijakan yang
diterapkan di Uni Soviet. Lebih lanjut, negara-negara ini membuat lebih banyak
kebijakan-kebijakan sendiri. Dan beberapa diantaranya mengadopsi sistem alokasi
61
sumberdaya dan pengambilan keputusan produksi yang lebih fleksibel (Bornstein,
1973).
Dua
negara
Eropa
Timur,
Hungaria
dan
Yugoslavia,
bahkan
memperkenalkan prinsip-prinsip perdagangan/pemasaran tertentu dalam kerangka
kerja sosialis secra menyeluruh. Yugoslavia juga membuat sebuah permulaan
yang penting dari sebuah sistem terpusat (sentraisasi) di tahun 1950-an dengan
memperkenalkan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan secara kolektif
oleh para pekerja (Elliott, 1985:408-429). Meski data-data mengenai perubahanperubahan pola pemerataan pendapatan sedikit, informasi-informasi terbatas yang
tersedia menunjukkan bahwa bagian kelompok miskin yang berjumlah 20 persen
dari penduduk di negara-negara ini berkisar antara 6,6 sampai 11,2 persen
sementara itu bagian kelompok kaya yang berjumlah 20 persen dari penduduk
berkisar antara 34,3 sampai 40,7 persen. Juga telah dilaporkan bahwa dorongan
kebijakan-kebijakan di negara-negara ini telah membantu menurunkan dan dalam
perkara tertentu menghapuskan bentuk-bentuk yang buruk dari kemiskinan dan
degradasi (Griffin, 1989:218-219).
Diantara negara sosialis lainnya, Cina patut dikemukakan secara khusus.
Sebelum revolusi di tahun 1949, Cina pada dasarnya marupakan negeri feodal
dengan ketidakadilan pendapatan dan kekayaan yang menyolok. Sejak itu
kebijakan pertmbuhan yang seimbang telah menghasilkan kemajuan industri yang
besar. Pada mulanya Cina memiliki sistem ekonomi yang sangat terpimpin
(terpusat) dengan mengkolektifikasikan pertanian dan secara ketat mengendalikan
perindustrian. Meski demikian sistem pedesaan yang akrab diperbaikidalam tahun
1960-an untuk memulihkan beberapa insentifmaterial yang hilan akibat kebijakan
kolektivisasi. Di tahun 1980-an, perusahaan industri negara telah otonomi yang
62
lebih besar sebagai usaha untuk meningkatkan efisiensi dalam produksi mereka.
Perbaikan-perbaikan terakhir diusahakan untuk meningkatkan bentuk-bentuk
organisasi ekonomi yang bervariasi, dengan beberapa perusahaan negara
desewakan kepada perorangan atau kelompok. Kebijakan yang lebih aktif
didorong untuk menarik investor luar negeri untuk melakukan joint venture atau
investasi yang eksklusif ke dalam perusahaan yang diperlukan untuk modernisasi
ekonomi. Sebagai hasil dari penekanan pembatasan upah dan perbedaan gaji,
maka pemerataan pendapatan di Cina lebih adil daripada di kebanyakan negaranegara sosialis lainnya. Meskipun negara ini tetap memiliki pendapatan perkapita
yang rendah, akan tetapi kebijakan pemerataannya berusaha untuk menjamin
kecukupan jumlah bahan makanan dan pelayanan sosial yang banyak ragam
(Grutchy, 1977:628).
Filosofi sosialis telah mempengaruhi pengambilan keputusan ekonomi di
sejumlah negara sedang berkembang. Meskipun, hanya sedikit diantara mereka
yang memiliki sifat tatanan ekonomi sosialis yang pokok. Menurut seorang analis,
hanya enam negara di Dunia Ketiga yang bisa diklasifikasikan sebagai sosialis
‘yang tak dapat dibantah lagi’. Negara-negara ini adalah Cina, Kuba, Kamboja,
Mongolia, Korea Utara dan Vietnam. Fakta yang ada membuktikan bahwa,
dibandingkan dengan negara-negara sedang berkembang lainnya, maka negaranegara yang disebutkan tadi tercatat menampilkan prestasi yang lebih baik,
berkaitan dengan pengurangan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan
pendapatan dan kekayaan (Griffin, 1989:194-225).
Meskipun negara-negara sosialis telah mencapai hasil-hasil penting dalam
upaya mencapai pola pemerataan pendapatan yang lebih adil, akan tetapi mereka
63
dikelilingi oleh sejumlah permasalahan yang agaknya memaksa mereka untuk
melakukan permalaan yang penting bagi model pembangunan sosialis ortodoks.
Tingkat pertumbuhan yang menurun, memperlambat langkah perubahan teknologi,
birokrasi yang tidak efisien dalam cara kerja negara yang mengandalkan industri,
dan ketidakpuasan konsumen terhadap persediaan barang-barang yang digunakan
sehari-hari yang sedikit dan tidak tentu merupakan bidang perhatian terbesar.
Walaupun beraneka ragam permasalahan individu di berbagai negara berbedabeda, akan tetapi sesuatu telah muncul dalam pola pembaharuan ekonomi yang
umum. Hal ini terdiri dari pergerakan yang menjauh dari pepengawasan ekonomi
terpimpin yang sangat ketat menuju ekonomi yang berorientasi pasar
desentralisasi yang meningkatkan hasil perusahaan dan manajemen pabrik,
pemakaian yang lebih efektif terhadap insentif individu, dan perhatian yang lebih
besar pada kesejahteraan konsumen. Pada saat yang sama, dikebanyakan negaranegarasosialis, masyarakat memperlihatkan ketidakpuasan terhadap sifat sistem
polotik mereka yang otoriter yang telah mengingkari hak dan kebebasan polotik
mereka sebagaimana ditemui dalam masyarakat yang pluralistik demokrasi. Hal
ini diketahui merupakan ekspresi yang paling konkrit pada pergolakan polotik
yang dapat disaksikan di beberapa negara Eropa Timur selama tahun 1989
terakhir dan awal tahun 1991. Perekonomian negara-negara ini sedang dalam
keadaaan yang terus berubah dan jalannya peristiwa yang dipakai di masa depan
masih belum ada kepastian.
2.3.Kelemahan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Kapitalis
Di negara-negara kapitalis yang berpendapatan tinggi, kelancaran jaminan
sosial dan egalitarianisme memperhatikan kontras yang sangat dengan
64
pembangunan kapitalis di abad ke 18 dan 19. Sebenarnya, awal keredupan negara
persemakmuran dibeberapa negara dapat dirunut kembali pada akhir abad ke 19
ketika Bismarck Jerman mensponsori asuransi kesehatan dan asuransi lanjut usia,
sebagai reaksi defensif terhadap perkembangan pemikiran sosialis. Perintis lain
dari negara persemakmuran yang modern adalah program kesejahteraan sosial
yang dicanangkan Pemerintahan Liberal Di Kerajaan Inggris, berkembang di
tahun 1908, program ini memuat asuransi sosial untuk kesehatan dan
pengangguran, pensiunan, dan tunjangan bagi pekerja yang berpendapatan rendah
melalui ketetapan undang-undang upah minimum (Schnitzer, 1987:153-154).
Pengangguran yang berskala besar selama masa depresi berat di tahun 1930-an,
memacu kebangkitan negara persemakmuran di negara-negara Barat. Setelah
tahun 1929 Partai Demokrasi Sosial menjadi unsur terbesar dalam sistem politik
di sejumlah negara Skandinavia, dan di bawah pengaruh dan bimbingan mereka,
kebijakan ekonomi dinegara-negara ini menekankan orientasi pada kesejahteraan.
Corak politik dari partai yang berkuasa di negara-negara maju kapitalis lainnya
menjadi faktor terpenting dalam mengatur langkah kebijakan kesejahteraan sosial
dalam periode waktu yang berbeda. Meskipun demikian, seluruh negara kapitalis
yang berpendapatan tinggi telah mengembangkan dengan baik sistem jaminan
sosial yang memberikan perlindungan dari ketidakkokohan sistem kapitalisme.
Ciri-ciri terpenting dari program jaminan sosial di negara-negara kapitalis
maju adalah bahwa pada umumnya ia dirancang untuk semua warga negara,
terlepas dari posisi keuangan seseorang. Fakta yang ada membuktikan bahwa
program semacam ini telah banyak melakukan sesuatu untuk mengurangi
kemiskinan. Akan tetapi, bahkan di negara-negara yang paling maju pun,
65
kemiskinan belum dapat diberantas secara sempurna. Di negara Amerika Serikat,
misalnya menurut survey tahunan yang terakhir dari Biro Sensus, pada tahun 1988
secara resmi ditemukan sekitar 13 persen dari penduduk berada dibawah garis
kemiskinan. Berdasarkan studi penelitian yang baik mengenai profil kemiskinan
di empat negara maju, sekitar 10 persen dari penduduk di negara-negara ini yang
berada dibawah garis kemiskinan pada tahun 1973.
Dengan perubahan sifat kapitalisme selama abad ini, pembagisn
pendapatan nasional yang adil menjadi tujuan nasional yang dipertahankan secara
luas di negara-negara kapitalis maju. Namun demikian, masing-masing negara
mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap sejauh mana mereka harus
menjamin tujuan ini. Sebuah studi di 1976 yang dilakukan oleh Organisasi
Kerjasama
Ekonomi
dan
Pembangunan
mengenai
ukuran
pemerataan
pengembalian pajak pendapatan pribadi disepuluh negara-negara industri,
mengungkapkan bahwa Kerajaan Inggris dan negara-negara lainnya seperti
Norwegia dan Swedia, yang mengikuti kebijakan-kebijaka yang lebih egaliter,
memiliki sedikit ketidakadilan dalam pengembalian pajak pendapatan daripada
negara-negara tertentu lainnya seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Jerman.
Tampak dalam banyak analisa bahwa bahkan setelah kedatangan ‘kapitalisme
yang dikelola’, kebijakan ekonomi yang dikejar di banyak negara maju tidak
menghasilkan kekuatan yang menyebabkan penurunan ketidakadilan pendapatan
dan kekayaan
yang berarti.
kecenderungan
pemerataan
Menurut studi
pendapatan
yang terperinci
disejumlah
negara,
mengenai
kelompok
berpendapatan tinggi di dua negara maju yang berjumlah 20 persen berbagi 50
persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara. Menurut studi yang sama,
66
kelompok berpendapatan renadah di 17 negara berkembang yang berjumlah 20
persen rata-rata berbagi 5,5 persen dari jumlah keseluruhan pendapatan negara
(Kakwani, 1980:397-398).
Massa terbesar dari masyarakat yang dilanda kemiskinan hidup dalam
yang dikenal dengan sebutan Dunia Ketiga. Kolonialisme adalah faktor terpenting
yang mempertahankan masyarakat miskin di negara-negara Dunia Ketiga berada
di bawah dominasi luar negeri. Setelah memperoleh kemerdekaan, negara-negara
yang sedang
berkembang mengalami konfrontasi dengan ‘revolusi harapan yang memuncak’
sehingga mereka menggunakan usaha yang berani untuk mengatasi kemunduran
ekonomi dan kemiskinan untuk memenuhi harapan-harapan itu. Beberapa negara
ini mengikuti model pembangunan sosialis sementara negara lainnya mengkuti
jalan kapitalisme yang dikelola. Pengalaman pembangunan negara-negara sosialis
telah diceritakan sebelumnya. Pembangnan ekonomi dalam kerangka kerja
kepitalis telah memberikan hasil yang beragam. Beberapa negara-negara yang
sedang berkembang mencapai keberhasilan yang berarti dalam menurunkan angka
dan proporsi penduduk yang hidup dalam kemiskinan dan dalam memperbaiki
pola pemerataan pendapatan. Jenis pembangunan yang dijalankan oleh sejumlah
besar negara, bagaimanapun, belum memberikan pengaruh yang kuat terhadap
kemiskinan dan malah kenyataannya menghasilkan pemerataan pendapatan yang
buruk (Griffin dan Khan, 1978).
Fakta yang ada memperlihatkan bahwa dalam periode setelah Perang
Dunia ke 2 negara-negara sedang berkembang telah mencatat keberhasilan yang
gemilang dalam usaha mereka untuk meningkatkan tingkat pertumbuhan hasil
67
kotor nasional. Telah dilaporkan bahwa ‘GNP per kapita negara-negara sedang
berkembang tumbuh dengan tingkat rata-rata 3,4 persen setahun selama 19501975 atau 3 persen jika Republik Rakyat Cina diabaikan. Keadaan ini lebih cepat
daripada negara-negara berkembang atau negara sedang berkembang yang
tumbuh dalam periode sebelumnya yang sebanding dengan tahun1950, dan
melampaui baik tujuan-tujuan yang remi maupun harapan-harapan pribadi’.
Betapapun, disejumlah besar negara, pertumbuhan disertai dengan peningkatan
ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Disalah satu penelitian, yang meneliti
data yang berkaitan dengan 43 negara-negara non sosialis setelah periode Perang
Dunia ke 2, telah ditemukan bahwa sebagaiman dihasilkan oleh pertumbuhan
ekonomi, bagian 60 persen dari kelompok penduduk miskin menurun secara
relatif. Juga telah ditemukan bahwa di negara-negara yang lebih miskin
pendapatan kelompok penduduk miskin yang berjumlah 40 persen turun secara
absolut, dan bahwa penduduk ini mempunyai pendapatan yang rendah
sebagaimana ketentuan yang absolut pada akhir dua dekade pembangunan
daripada yang mereka miliki pada awal pembangunan. Data crosssectional
mengenai pola pemerataan pendapatan di sejumlah negara yang dikumpulkan oleh
Bank Dunia, telah beberapa kali memperlihatkan kembali ketidakadilan
pendapatan yang menyolok. Menurut angka-angka ini, bagian 20 persen dari
kelompok rumah tangga yang paling miskin dalam jumlah keseluruhan
pendapatan berkisar antara 1,9 sampai 7,5 persen di 14 negara yang diliputi oleh
studi sementara bagian 20 persen ari kelompok rumah tangga yang paling kaya
berkisar antara 43,4 sampai 66,6 persen. Keterangan mengenai dimensi kuantitatif
dari kemiskinan agak sedikit. Terdapat sangat sedikit perkiraan tentang ‘jurang
68
kemiskinan’ dan perkiraan mengenai jumlah pensduduk dibawah ‘garis
kemiskinan’ yang berbeda dari studi yang satu ke studi lainnya. Menurut salah
satu studi, 35,6 persen dari penduduk di sembilan negara Asia yang meliputi oleh
studi hidup dibawah garis kemiskinan. Persentase penduduk yang hidup dibawah
garis kemiskinan di tujuh negara Afrika yang diliputi oleh studi adalah sekitar 36
persen sedangkan angka untuk limabelas negara Amerika Latin adalah 13 persen.
Angka rata-rata ini sedapat mungkin menyembunyikan perbedaan antar negara.
Kemudian, di negara-negara Asia, proporsi penduduk yang hidup dibawah garis
kemiskinan berkisar antara 1,21 sampai 41,33 persen dan di negara-negara
Amerika Latin antara 0,93 dan 27,46 persen.
Presentasi yang sangat tidak seimbang dari negara-negara yang berbeda
dalam upaya mengurangi kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan
menjadi permasalahan pokok dalam berbagai diskusi yang mendalam diantara
para ahli ekonomi dan sosiologi dalam tahun-tahun terakhir. Sampai pada tahun
1960-an telah diyakini secara luas bahwa harapan yang terbaik untuk penurunan
kemiskinan yang segera adalah dengan memusatkan perhatian pada upaya
mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi yang menyeluruh. Akan tetapi,
analisa terhadap pelaksanaan pembangunan di sejumlah negara menunjukkan
bahwa tingkat pertumbuhan yang tinggi tidak memberikan suatu jaminan bahwa
keuntungan pertumbuhan tersebut akan turun mengalir kepada rakyat banyak. Hal
ini membangkitkan pemikiran baru terhadap alternatif strategi pembangunan
tetapi sedemikian jauh tidak ada kebulatan suara mengenai jalan terbaik yang
sebaiknya diikuti.
69
Beberapa ahli ekonomi memiliki pandangan bahwa terdapat kekuatan
sistematis yang mengatur perubahan pola pemerataan pendapatan seiring dengan
pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. ‘Hipotesa-U’ menyatakan bahwa
pemerataan pendapatan akan memperburuk dalam tahapan pertama pertumbuhan
tetapi akan memperbaiki tahapan selanjutnya. Alasan dibalik hipotesa ini adalah
sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi melibatkan pergantian kegiatan-kegiatan
dari sektor tradisional ke sektor moderen. Ketidak adilan dalm sektor tradisional
lebih sedikit dari pada dalam sektor moderen. Sebagai mana sektor berkembang
luas seiring dengan pembangunan, maka peningkatan berat badan pada bagian
penduduk sektor moderen akan mempunyai arti peningkatan ketidak adilan
pendapatan secara keseluruhan. Kemudian,pada tahapan pertumbuhan yang lebih
tinggi, kecenderungan ini dibalikan dimana terdapat arus pendapatan yang lebih
besar kepada kelompok yang berpendapatan rendah dengan makin bertambahnya
sektor modern yang lebih luas. Berdasarkan hipotesa ini, diusulkan bahwa
perhatian terpenting dalam strategi pembangunan seharusnya adalah untuk
menekan akibat-akibat yang dihasilkan oleh proses modernisasi dengan tanpa
terlalu banyak memperhatikan pola pemerataan pola pendapatan pada tahap awal
pertumbuhan. Namun demikian, pendekatan ini kehilangan dukungan yang
banyak dalam tahun-tahun terakhir. Telah dikemukakan bahwa ‘Hipotesa-U’
bukanlah sebuah hukum alam. Ia kurang memiliki dasar teori yang kuat dan
memberikan perhatian yang tidak cukup terhadap peranan kebijakan untuk
mempengaruhi lintasan waktu ketidakadilan. Banyak analis mengemukakan
bahwa dorongan strategi pembangunan dan hasil struktur ekonomi lebih jauh
mempengaruhi pemerataan pendapatan daripada income per kapita, dan
70
‘Hipotesa-U’ tidak membenarkan pengejaran kebijakan pemerataan pendapatan
yang netral sebagai hasil pertumbuhan (Papanek, 1978).
Pembahasan strategi pembangunan yang luas dengan memusatkan
perhatian pada permasalahan pemerataan pendapatan dikenal sebagai ‘redistribusi
pertumbuhan’. Intisari dan strategi ini adalah untuk menggantikan tekanan
pembangunan dari pembangunan yang menekankan pada pembagian manfaatmanfaat pertumbuhan yang lebih adil. Sebuah kerangka kerja kebijakan untuk
strategi semacam ini telah lama dibahas dalam lingkungan akademis akan tetapi
gagasan ini menjadi populer ketika pusat pembangunan penelitian Bank Dunia
dibawah pimpinan Hollis Chenery menghasilkan kajian yang terperinci terhadap
permasalahan tersebut. Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa perbaikan
yang sangat berharga bagi sekelompok penduduk miskin yang berjumlah 40
persen selama periode waktu yang terus menerus adalah memungkinkan melalui
sebuah kebijakan pola pengalihan investasi menurut kebutuhan mereka. Selama
pendapatan yang rendah dihasilkan dari kurangnya modal fisik, akses pada infra
struktur, dan masukan yang beraneka ragam, maka kebijakan pemerintah harus
diarahkan untuk mengatasi rintangan-rintangan ini.
Pendekatan lain yang dibahas secara luas untuk memecahkan masalah
kemiskinan dikenal sebagai pendekatan ‘kebutuhan dasar’. Intisari dari
pendekatan ini adalah prioritas secara definitif terhadap pemenuhan kebutuhan
dasar kaum miskin. Pendekatan ini dengan tegas dikemukakan oleh Organisasi
Buruh se-Dunia (international Labout Organization/ ILO) pada tahun 1970-an.
ILO telah menetapkan kebutuhan dasar dengan memasukkan ‘kebutuhankebutuhan minimum dari sebuah keluarga untuk dikonsumsi secara pribadi’,
71
khususnya makanan, tempat berlindung (rumah) dan pakaian (sandang), serta
‘pelayanan-pelayanan penting lainnya yang disediakan oleh dan untuk masyarakat
luas, seperti air minum yang sehat, kebersihan transportasi umum, serta saranasarana kesehatan dan pendidikan. Selain menguraikan pendekatan ini, ILO
mengakui bahwa tujuan pemenuhan kebutuhan dasar dikebanyakan negara-negara
yang sedang berkembang tidak bisa tercapai jika tanpa redistribusi pendapatan
dan kekayaan yang substansial.
Meskipun terdapat perhatian yang lebih besar terhadap permasalahan
kemiskinan dan pemerataan pendapatan di negara-negara yang sedang
berkembang selama dua dekade terakhir bahkan lebih, namun kenyataannya
kemajuan-kemajuan yang dicapai tetap saja mengecewakan. Walau beberapa
negara telah mengubah berbagai cara dengan mengadopsi strategi pembangunan
yang redistributif, akan tetapi berbagai perubahan dalam kebijakan-kebijaka
sangatlah terbatas untuk memberikan hasil-hasil yang berarti. Besarnya usaha
yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah kemiskinan dapat dinilai dari hasilhasil pelaksanaan simulasi yang diadakan oleh ILO pada tahun 1970-an dan
diterbitkan pada tahun 1976. Dalam salah satu perhitungannya, diperkirakan
bahwa nilai GNP akan naik secara terus menerus sebesar 6 persen setiap tahun
dan jumlah penduduk diberbagai daerah akan meningkat secara lamban sesuai
dengan perkiraan PBB. Diketahui bahwa bahkan untuk memuaskan kebutuhankebutuhan dasar yang ditaksir secara hati-hati selama periode 30 tahun, maka
bagian dari 20 persen kelompok paling miskin dari penduduk akan lebih dari dua
kali lipat jika dibandingkan dengan bagian dari mereka pada tahun 1970-an di
sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang, dan pada umumnya di
72
negara-negra tropis Afrika bagian dari kelompok miskin akan meningkat 3-4 kali.
Keseluruhan jumlah redistribusi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan dasar akan menjadi semakin lebih besar jika tingkat pertumbuhan GNP
dipastikan kurang dari 6 persen setiap tahunnya.
Perdebatan
mengenai
bentuk
dan
cara
penanggulangan
masalah
kemiskinan dan pemerataan pendapatan masih berlanjut tetapi sekarang secara
umum diakui bahwa tidak akan ada harapan untuk memberantas kemiskinan
jukalau strategi pembangunan menetapkan redistribusi yang bias. Beberapa analis
menyatakan sikap pesimis mereka tentang kemungkinan mengadopsi strategistrategi tertentu, karena mereka sangat meragukan kesediaan kelompok
berpendapatan tinggi untuk melakukan pengorbanan yang dibutuhkan. Beberapa
analis lainnya menaruh harapan pada kekuatan ‘koalisi berbagai kepentingan’
karena mereka melihat beberapa keuntungan yang dicapai dalam melaksanakan
strategi distribusi, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa beberapa bagian
diantaranya menghasilkan kegagalan yang relatif. Berbagai penelitian yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF
mengenai masalah-masalah pembangunan, juga memperlihatkan kebutuhan
terhadap komitmen pemerintah yang kuat untuk mencari solusi yang efektif dalam
upaya memecahkan masalah kemiskinan.
2.4. Keunggulan Pendekatan Ekonomi Kesejahteraan dan Keadilan Syariah
Setelah meninjau kembali berbagai pendekatan terkemuka terhadap
permasalahan kemiskinan dan pemerataan pendapatan di masa lalu dan masa
sekarang, maka dianjurkan sekarang untuk mengalihkan pandangan pada
pengidentifikasian keistimewaan pendekatan Islam yang khas terhadap masalah
73
kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Kerangka kerja kebijaksanaan terhadap
upaya memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan pendapatan,
sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, telah dikemukakan pada bab
sebelumnya.
Berbagai
komponen
yang
beragam
dari
kerangka
kerja
kebijaksanaan ini beriisikan konsep-konsep keTuhanan yang secara langsung
berkaitan dengan struktur dasar masyarakat yang memperlihatkan skema
pemerataan dan distribusi yang nyata di dalam masyarakat.Jika seorang mencari
ciri-ciri yang istimewa dari struktur dasar masyarakat, maka elemen-elemen yang
dominan bersandar pada konsep manusia tentang ‘perwalian’. Melalui konsep
perwalian ini, Islam mencoba untuk mengilhami para pengikutnya dengan rasa
tanggung jawab yang kuat terhadap kesejahteraan setiap orang dimasyarakat. Inti
dari konsep perwalian ini adalah bahwa Tuhan adalah pemilik segala sesuatu yang
ada di dunia, dan apa yang dipegang oleh manusia sebagai barang milik
mempunyai sifat sebagai titipan yang diberikan atas kehendak Tuhan. Jika konsep
ini mengendap dalam jiwa manusia maka akan jelas akan mendatangkan tatanan
sosio-ekonomi yang adil dan kesamarataan. Betapapun, Islam tidak hanya
membatasi pada pengajaran prinsip-prinsip etika. Islam memanfaatkan kekuasaan
negara, sepanjang dianggap perlu, untuk menjamin keadilan di seluruh hubungan
manusia, dan hal ini termasuk keadilan ekonomi, dalam pengertian dimana
masyarakat terbebas dari kemiskinan dan kekacauan akibat ketidakadilan
pendapatan dan kekayaan. Garis-garis pedoman untuk semua perbuatan individu
dan negara diambil dari Al Qur’an dan perkataan dan perbuatan Nabi SAW yang
dikenal sebagai sunnah. Pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah
terhadap pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan
74
kekayaan dalam batas-batas tertentu dengan demikian merupakan paduan elemenelemen etika, sosial-politik dan yuridiksi, yang diambil dari sumber-sumber
agama, yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan lainnya yang tidak
dikelilingi oleh ajaran-ajaran agama tertentu.
Fakta bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah
terhadap upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidaladilan
pendapatan dan kekayaan didasarkan pada ajaran-ajaran agama, sedangkan
pendekatan-pendekatan lainnya menggambarkan hasil pemikiran keduniaan tidak
berarti bahwa tidak ada hal-hal tertentu yang sama antara pendekatan Islam
dengan pendekatan-pendekatan lainnya. Apabila tujuan akhirnya adalah sama,
maka terdapat beberapa kesamaan antar sistem. Beberapa uraian kebijaksanaan
pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan pendapatan dan
kekayaan
sebagaimana disimpulkan dari ajaran-ajaran Islam, mendapatkan
imbangan dari pendekatan-pendekatan lainnya. Betapapun, meski ada beberapa
kesamaan, namun pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah
memiliki kekhasan tersendiri, dan merupakan sistem yang berdiri sendiri.
Islam berbagi dengan sosialisme dalam permasalahan pemerataan
pendapatan dan kekayaan yang adil (merata). Akan tetapi, sangatlah ditentang
beberapa alat-alat kebijakan yang dianjurkan oleh filosofi sosialis pada
penghapusan harta milik pribadi dan pengsosialisasian alat-alat produksi tidak
seimbang dengan keunggulan perusahaan swasta dalam sistem Islam. Islam
melekatkan
kepentingan
yang
besar
terhadap
kebebasan
individu
dan
perlindungan terhadap kehormatan manusia. Hal ini mengharuskan alat-alat
produksi tidak dimonopoli oleh negara dan masyarakat bebas untuk menggunakan
75
seluruh kegiatan yang diizinkan menurut kecenderungan dan pilihan mereka
sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, negara-negara sosialis itu sendiri mulai
menyadari kekurangan dari penghapusan harta milik pribadi, dan dalam hal ini
berbagai
perubahan
yang
berarti
disejumlah
negara
tercipta
dengan
meliberalisasikan kebijakan-kebijakan mereka.
Perbedaan Islam dan sosialisme tidak hanya pada kepemilikan dan
pengontrolan alat-alat produksi; keduanya juga memiliki perbedaan yang tajam
dalam pusat kekuasaan perekonomian, sistem motivasional dan proses-proses
social untuk mengkoordinasikan perekonomian. Negara sosialis memiliki
kebebasan yang tak terkekang dalam merancang kebijaksanaan-kebijaksanaan
mereka untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan. Namun, dalam Islam,
kekuasaan yang dilaksanakan oleh negara tidaklah tidaklah mutlak. Menurut
Islam, kedaulatan adalah milik Tuhan. Dengan demikian, kekuasaan negara hanya
bisa dilaksanakan berdasarkan norma-norma yang digariskan oleh shari’ah.
Berkaitan dengan hal ini, beberapa ukuran yang telah diadopsi dari sejarah
sosialisme untuk memberantas kemiskinan dan menurunkan ketidakadilan
pendapatan dan kekayaan gagal mendapatkan legimitasi dalam kerangka kerja
Islam. Misalnya, cara hidup yang digunakan oleh negara sosialis tertentu untuk
mengakhiri pengangguran dan kemiskinan tidak bisa dibuat sebagai bagian dari
strategi Islam untuk memberantas kemiskinan karena Islam menentangnya.
Demikian pula, pemerataan pendapatan fungsional, yang dalam negara yang
berdasarkan system Islam pada dasarnya ditentukan oleh kekuatan pasar meski
negara diharapkan untuk campur tangan setiap kali mempertimbangkan keadilan
social memerlukan intervensi tertentu.
76
Filosofi sosialis tidak banyak bersandar pada instink filantropi manusia
untuk membantu upaya pemberantasan kemiskinan dan penurunan ketidakadilan
pendapatan. Sosialisme tanpa ragu-ragu menyatakan secara langsung penerimaan
tanggungjawab kolektif untuk memberantas kemiskinan dan menyetujui prioritas
yang tinggi terhadap keringanan penderitaan dan ketidakberuntungan masyarakat.
Akan tetapi, secara eksklusif ia bersandar pada alat negara untuk mencapai tujuan
ini. Di lain pihak, Islam mewajibkan peranan infaq yang menonjol (pemberian
sukarela demi kesejahteraan kaum miskin) dalam memperkuat pola pemerataan
pendapatan. Islam menerpakan system yang menitikberatkan motivasi yang tajam,
berdasarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan, untuk menciptakan dorongan
terhadap kelompok masyarakat yang berlebih untuk memberi amal kesejahteraan.
Selain menolong mengatasi masalah kemiskinan dan pemerataan pendapatan,
pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan rasa solidaritas social, sedangkan
tujuan pendekatan sosialisme adalah murni mekanisitik dan impersonal.
Proses-proses sosial untuk mengkoordinasikan ekonomi juga menandai
perbedaan antara kedua system. Negara sosialis mempengaruhi kebijaksanaan
mereka melalui system perencanaan terpimpin yang komprehensif dan
mengembangkan mesin birokratis yang terperinci, walau ada juga beberapa
contoh sosialisme desentralisasi dan mereka banyak melakukan upaya
memperbarui system untuk memindahkan kekuasaan dan menyebarluaskan
kekuatan dan tanggungjawab. Komoditas produksi campuran ditentukan secara
umum oleh kekuasaan negara dan dapat berbeda-beda tergantung dari pilihanpilihan konsumen. Harga komoditas dikontrol. Perbedaan upah didalam
masyarakat sosialis juga ditentukan oleh para penguasa negara, dan dengan
77
demikian tidak banyak diperlukan kebijakan fiscal dan moneter untuk memberi
perubahan yang diinginkan dalam pola pemerataan pendapatan. Di lain pihak,
dalam system Islam keputusan produksi pada dasarnya tidak diatur oleh kekuatan
perencanaan yang terpusat, tetapi meresponsi permintaan konsumen meskipun
mungkin ‘kedaulatan konsumen’ agak terbatas jika perintah-perintah Islam sangat
dituntut. Harga- harga komoditas ditentukan oleh factor-faktor persediaan dan
permintaan, dan pemakaian control harga tidaklah disukai kecuali dalam keadaan
yang luar biasa. Perbedaan upah secara umum ditentukan oleh kekuatan pasar.
Kekuatan pasar diperkenankan untuk beroperasi dalam komponen pasar yang lain
meskipun negara diharapkan untuk campur tangan bila pasar menghasilkan
penderitaan bagi kelompok penduduk miskin dan berjalan berlawanan dengan
tujuan-tujuan sosio-ekonomi yang lain. Berbeda dengan kedudukannya dalam
negara sosialis, maka kebijakan mengenai
perekonomian
Islam
diharapkan
moneter dan fiscal
memainkan
peranan
penting
dalam
dalam
menghasilkan perubahan-perubahan yang diinginkan terhadap pola pemerataan
pendapatan.
Pendekatan ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah terhadap
pemberantasan kemiskinan dan penahanan ketidakadilan pendapatan dan
kekayaan dalam ‘batasan-batasan yang diterima’ memiliki keunggulan tertentu
yang membedakannya dengan pendekatan yang diterapkan dalam sistem
perekonomian kapitalis untuk menanggulangi permasalahan kemiskinan dan
ketidakadilan pendapatan dan kekayaan. Keunggulan yang paling membedakan
adalah bahwa pendekatan ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah terhadap
78
pemberantasan kemiskinan merupakan sifat perintah dari sistem jaminan sosial
Islam. Al Qur’an menyatakan:
Artinya : “Ambillah zakat dari kekayaan mereka, dimana dengannya akan
membersihkan dan membuat kekayaan mereka bertambah…” (QS . 9 : 103)
Keunggulan sistem jaminan sosial Islam yang utama, sebagaimana
mengambil bentuk dari masa periode Islam yang pertama, yaitu masa Rasulullah
dan Kulafaur Rasyidin. Para ahli hukum menyetujui bahwa, terlepas dari tahap
pembangunan sebuah negara dan income per kapitanya, ajaran-ajaran Islam
mengikatkan negara untuk mengelola sistem jaminan sosial dengan suatu
pandangan yang dapat memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang tetap
tercabut dari keperluan hidup yang mendasar. Tidak ada kekuatan tertentu yang
memaksa didalam filosofi kapitalis mengenai pembangunan. Sejarah kapitalisme
memperlihatkan bahwa hingga seperempat abad ini, negara-negara kapitalis yang
berkembang bahkan tidak berpikiran untuk membuat sistem jaminan sosial yang
komprehensif. Malahan sekarang perasaan umum yang nampak adalah bahwa hal
tersebut merupakan kemewahan yang hanya dapat dicapai oleh negara-negara
yang sangat kaya saja. Dan meskipun berkembang perhatian yang semakin besar
terhadap kaum miskin, namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa negaranegara kapitalis tetap tidak memiliki ‘perlindungan yang aman’ bagi kaum miskin.
Sistem jaminan sosial yang telah dilembagakan dinegara-negara yang
sangat berkembang selama abad ini memperoleh sejumlah dukungan pada saat itu.
Akan tetapi, tidak seperti sistem Islam (Syariah), sistem jaminan sosial tersebut
tidak berdasarkan pada kesucian agama apapun sehingga manfaat yang mengalir
kepada kelompok masyarakat yang miskin tidak diterima dengan sebenarnya.
79
Pada kenyataannya, berbagai lobi muncul dari kelompok yang lebih menyukai
adanya penghentian sistem jaminan sosial. Kelompok-kelompok politik yang
berpengaruh disejumlah Negara industri yang berkembang mendukung penurunan
jangkauan bahwa disejumlah Negara yang memiliki system jaminan sosial yang
baik tidak ditemukan komitmen pemerintah yang tegas bahwa setiap orang yang
membutuhkan akan memperoleh jaminan penghasilan minimum. Bertentangan
dengan hal ini, dalam system Islam, setiap manusia harus mendapat jaminan
tingkat kehidupan minimum, dan banyak ahli hukum mempunyai pandangan
bahwa perlindungan yang sah harus diberikan sesuai dengan prinsip pemenuhan
kebutuhan sehingga setiap warganegara bisa mengadu ke pengadilan untuk
memperoleh pelaksanaan prinsip ini.
Keistimewaan sistem jaminan sosial Islam yang khas lainnya adalah
bahwa syariah menitikberatkan secara khusus pemberantasan kemiskinan,
sedangkan program-program jaminan sosial negara-negara kapitalis maju
dirancang untuk seluruh warga negara, tanpa memperhatikan posisi keuangan
mereka masing-masing. Barangkali karena alasan inilah sehingga meskipun
bentuk program-program jaminan sosial tersebut berukuran luas, akan tetapi
kemiskinan tidak terberantas secara sempurna dinegara-negara ini. Program
jaminan sosial dinegara-negara kapitalis maju secara umum terstruktur sebagai
sebuah sistem yang bersifat kesejahteraan dan jaminan. Dalam kebanyakan
permasalahan, sifat jaminan jauh lebih berbobot daripada sifat kesejahteraan.
Banyak analis memiliki pandangan bahwa dinegara-negara kapitalis maju, kaum
miskin menerima transaksi yang relative sedikit dari masyarakat, dan sejumlah
uang yang sangat besar diredistribusi oleh tindakan pemerintah yang
80
mencerminkan transaksi ‘ulang alik’ diantara kelompok berpendapatan menengah
(Siddiqi, 1988:251-286).
Sifat yang sangat istimewa dari sistem jaminan sosial Islam adalah bahwa
ia mencoba untuk memberantas kemiskinan melalui sebuah pendekatan yang
multi cabang dan tidak hanya membatasi dirinya pada mendermakan uang kepada
kaum miskin untuk penyambung hidup belaka. Pada kenyataannya, system ini
dirancang menurut sifat alamiah dan apat menggunakan cara-cara yang beragam
untuk mencegah kemiskinan dan menghilangkan penderitaan yang disebabkan
oleh kemiskinan. Sejarah masa periode Islam yang pertama memperlihatkan
bahwa system jaminan social bahkan dibayarkan untuk biaya perkawinan bagi
orang-orang yang benar-benar dalam kesusahan dan juga untuk membayarkan
hutang seseorang yang sudah meninggal. Penekanan dititikberatkan pada
pemanfaatan sistem jaminan social untuk menolong orang-orang yang tidak
mempunyai pekerjaan dengan memberikan aset modal kepada mereka agar
mereka memperoleh penghasilan hidup. Berbagai studi tentang program system
jaminan social di negara-negara kapitalis maju menunjukkan bahwa penekanan
utama dari program-program tersebut adalah pada ‘pemberian kompensasi bagi
orang-orang yang tidak bekerja’ daripada menolong orang-orang yang secara tak
sengaja menganggur dengan memberi pekerjaan yang menguntungkan (Ornati.
1966:115-119).
Bagian terbaik dari program sistem jaminan sosial yang dilaksanakan
dinegara-negara kapitalis maju adalah ia dibiayai oleh pajak penghasilan. Untuk
kebanyakan ahli waris, bagian yang terbaik pada dasarnya adalah program
pension, yang baik pengusaha maupun pekerja turut mengambil andil dalam
81
pembiayaan program. Pajak yang dibayarkan oleh kelompok kerja digunakan
untuk membayar para pensiunan. Artinya bahwa, setiap generasi dari pekerja
memberikan bantuan pada kelompok non-kerja atau yang tidak memenuhi syarat
untuk bekerja secara mutlak menginginkan perlakuan yang sama. Sifat system
jaminan social Islam mempunyai cirri yang berbeda. Unsur pension sama sekali
tidak diperhitungkan. Ataupun sifatnya sebagai rencana simpanan sumbangan
wajib bagi masa depan. Sistem jaminan sosial Islam hanya mencerminkan dana
solidaritas dimana dana tersebut diperoleh dari bagian kelompok penduduk yang
berlebih (kaya) dan diperuntukkan membantu mereka yang fakir miskin.
Kebaikan yang memenuhi syarat dari system jaminan sosial Islam tidaklah
bergantung pada seseorang yang lazim memberikan sumbangan terhadap
pembiayaan
system ataupun kebaikan yang diterima tidak berkaitan dengan
sumbangan utama seseorang.
Sistem jaminan sosial Islam bertujuan untuk mencegah dan mengatasi
kemiskinan. Akan tetapi, hanya ada satu unsur dari kerangka kerj kebijaksanaan
yang dilaksanakan Islam untuk menghadapi permasalahan ini. Beberapa unsur
dari paket kebijaksanaan yang dibahas, semuanya bertujuan untuk menolong
upaya memberantas kemiskinan.
Selain memberantas kemiskinan, memelihara pemerataan yang adil juga
berada dalam urutan yang paling tinggi dalam prioritas social dari ekonomi
kesejahteraan dan keadilan syariah. Keistimewaan pendekatan ekonomi
kesejateraan dan keadilan syariah yang paling khas adalah memuat ‘batasanbatasan yang diterima’ dalam ketidakadilan pendapatan dan kekayaan dimana
ukuran pemerataan atau redistribusi dirinci secara tegas menurut syariah
82
(pedoman yang diberikan oleh Al Qur’an dan Sunnah) yang wajib dilaksanakan,
ukuran lainnya yang dipakai harus tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus
tidak melanggar ajaran-ajaran Islam dan harus memenuhi persyaratan al-adl
(keadilan). Juga patut diperhatikan bahwa untuk mencapai tujuan pemerataan
yang adil, Islam tidak mengandalkan badan pemerintahan sendiri tetapi mencoba
untuk mengaktifkan kesadaran moral manusia untuk bertindak adil terhadap
sesamanya dan menolong orang-orang yang membutuhkan dengan semangat
persaudaraan yang universal.
Secara khusus sistem ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah
mengamanatkan negara untuk melembagakan pungutan khusus yang dikenal
dengan zakat yang diperolehnya hanya dapat digunakan untuk tujuan-tujaun yang
telah ditetapkan. Selama ruang lingkup zakat adalah pada kelompok penduduk
yang kaya dan perolehannya diutamakan dikeluarkan untuk memberantas
kemiskinan selama masih ada kemiskinan, hal ini berlaku sebagai tujuan
redistribusi. Secara luas, zakat dikeluarkan untuk bentuk aset-aset yang produktif,
sehingga perolehan zakat membri peningkatan pendapatan bagi kelompok
penduduk miskin.
Pemerataan harta kekayaan orang yang meninggal sesuai dengan hukum
warisan secara tegas dinyatakan dalam syariah berjasa untuk menurunkan
ketidakadilan pendapatan dan kekayaan setiap waktu dalam masyarakat Islam.
Keistimewaan hukum warisan Islam bersandar pada kenyataan bahwa, jika
dibandingkan dengan hukum warisan dan adat istiadat yang lazim dibanyak
masyarakat lainnya, maka hokum warisan Islam menghasilkan penyebaran
penumpukan kekayaan yang meluas.
83
Ajaran-ajaran Islam sangatlah melarang semua bentuk transaksi yang
berdasarkan bunga. Pelarangan ini menyingkirkan kemungkinan bentuk
pertambahan kekayaan apapun terhadap pemilik modal uang, kecuali jika
pemakaian modal tersebut menciptakan pertambahan kekayaan. Eksploitasi
terhadap kelompok penduduk yang lemah oleh penyewa uang pribadi, yang
memungut tingkat bunga yang sangat tinggi, tidak dapat dibenarkan dalam
ekonomi kesejateraan dan keadilan syariah yang harus mengadakan ketetapan
alternative untuk memenuhi kebutuhan keuangan dari seluruh bagian masyarakat
sesuai dengan cita-cita Islam yang ideal terhadap keadilan sosial.
Islam menguraikan sejumlah keistimewaan hukum keluarga, yang diantara
hukum-hukum lainnya berbeda, memberikan hak yang sah bagi kerabat dekat
tertentu untuk menuntut bantuan pemeliharaan dari mereka yang berada dalam
posisi baik untuk menolong. Ajaran-ajaran Islam mendorong manusia untuk
membantu secara sukarela kerabat-kerabat mereka yang miskin dan apabila ajaran
ini diabaikan, maka pengadilan berwenang untuk menyelenggarakan bantuan
perlindungan yang layak.
Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menerapkan pendekatan yang
khas dalam mengatur hasil keuntungan dari berbagai faktor-faktor produksi untuk
meningkatkan pemerataan yang adil. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah
menolak keuntungan apapun yang diperoleh dari modal uang kecuali jika pemilik
modal bersedia berbagi resiko bisnis (usaha) yang berasal dari modal tersebut.
Berbagi laba/rugi dipandang sebagai sistem yang lebih adil. Ajaran-ajaran Islam
menekankan bahwa buruh harus dijamin dengan ‘upah yang adil’ yang
melindungi martabat manusia. Negara diharapkan untuk turut campur tangan
84
setiap kali pemilik factor produksi tampak mengeksploitasi pihak yang lemah
dalam proses produksi.
Ajaran-ajaran Islam menguraikan dengan agak terperinci pedomanpedoman yang mengatur praktek-praktek bisnis dan mempercayakan negara
dengan tanggung jawab untuk menjamin praktek-praktek nyata sesuai dengan
pedoman-pedoman tersebut. Tujuannya adalah untuk melindungi kepentingan
pihak yang lemah dan mencegah keuntungan yang tidak patut dalam transaksi
bisnis apapun. Pada masa periode Islam yang pertama sebuah lembaga khusu
dibuat yang dikenal dengan hisbah, selain hal-hal lainnya, yang memiliki
tanggungjawab untuk meningkatkan praktek-praktek bisnis yang adil.
Islam memperkenankan sejumlah fleksibilitas bagi penguasa negara yang
dalam hal tertentu tidak diperintahkan oleh syariah. Pada kenyataannya, syariah
hanya menguraikan elemen-elemen penting dari dasar strategi, sedangkan ukuran
kebijaksanaan yang terperinci mesti disusun oleh para penguasa negara sesuai
dengan keadaan masing-masing negara. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa
berbagai kebijaksanaan yang diadopsi harus memberikan kontribusi yang positif
terhadap realisasi maqasid (tujuan-tujuan) tanpa menyebabkan pelanggaran
apapun terhadap prinsip-prinsip syariah. Unsur-unsur utama dari kerangka kerja
kebijaksanaan yang memuat ketidakadilan pendapatan dan kekayaan menurut
‘batasan yang diterima’ dalam keadaan sekarang, sebagaimana disimpulkan dari
ajaran-ajaran Islam.
Beberapa kebijaksanaan dari paket kebijaksanaan yang menyerupai
sejumlah kebijaksanaan yang dipakai oleh negara-negara kapitalis setelah
menanggalkan kebijakan laissez-faire dibawah rezim ‘kapitalis yang dikelola’.
85
Akan tetapi, bahkan dalam masalah-masalah ini sering terdapat perbedaan
penekanan dan nuansa kebijaksanaan. Khususnya, hal ini dapat diketahui dalam
hal peranan ‘kedaulatan konsumen’ dan kebijakan moneter, fiscal dan kebijakan
perintah lainnya yang menentukan pengalokasian sumber-sumber daya.
Komposisi hasil di negara-negara kapitalis secara umum ditentukan oleh
pilihan-pilihan konsumen. Dalam sistem Ekonomi kesejahteraan dan keadilan
syariah juga, pilihan-pilihan konsumen memberikan ruang lingkup yang luas
tetapi ‘kedaulatan konsumen’ tunduk pada pengendalian sesuai dengan
kepentingan keadilan sosial. Filosofi kapitalis adalah bahwa manusia bebas
mengeluarkan penghasilannya denagn cara apapun yang ia sukai dan struktur
produksi haruslah menanggapi permintaan konsumen terlepas dari karakter dari
permintaan ini. Pengalokasian sumber daya yang dihasilkan dari interaksi antara
permintaan dan persediaan ini dianggap optimal. Dilain pihak, ajaran-ajaran Islam
menilai optimalitas alokasi sumber daya berasal dari sudut pandang al’adl (adil).
Para ahli hukum menggariskan perbedaan antara tiga jenis kebutuhan manusia
yang digolongkan sebagai daruriyyat (keperluan mendesak), hajiyyat (kesenangan
hidup) dan tahsiniyyat (budi pekerti). Para ahli hukum juga mengindikasikan
bahwa merupakan tanggungjawab masyarakat bersama untuk mengutamakan
pemenuhan daruriyyat terlebih dulu dari pada kedua kategori lainnya. Lebih lanjut,
dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah, komposisi hasil tidak bisa
dibiarkan untuk menentukan sendiri kekuatan pasar tetapi harus diatur menurut
kepentingan keadilan sosial.
Untuk alasan yang sama, kebijakan moneter, fiskal dan kebijakan
pemerintah lainnya tidak dapat menjadi nilai netral dalam Ekonomi kesejahteraan
86
dan keadilan syariah. Dinegara-negara kapitalis kebijakan moneter pada umumnya
berkaitan dengan stabilitas moneter dan pertumbuhan ekonomi, sedang tujuantujuan keadilan dalam pemerataan tidak diperhitungkan secara jelas sebagai tujuan
kebijakan moneter. Pada kenyataannya, penyelenggaraan sistem perbankan
tampak menjadi faktor yang penting dalam mempertajam ketidakadilan
pendapatan dan kekayaan disejumlah negara. Bank-bank dalam negara-negara
kapitalis menyediakan uang terutama pada para pengusaha ‘creditworthy’ yang
umumnya sudah memiliki kekayaan pribadi yang besar jumlahnya dan
kemampuan menawarkan jaminan yang disyaratkan oleh bank. Bank juga
mempraktekkan ‘diskriminasi harga’ dengan memungut tingkat bunga yang lebih
rendah kepada klien kaya yang mengambil kredit dalam jumlah yang besar.
Kedua faktor ini cenderung mempertambah ketidakadilan pendapatan dan
kekayaan. Di lain pihak, kebijakan moneter diharapkan memainkan peranan yang
penting dalam upaya mencapai tujuan-tujaun egaliter dari Ekonomi kesejahteraan
dan keadilan syariah (Chapra, 1985:173-174).
Kebijakan fiskal dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah
dibatasi oleh sejumlah norma yang diuraikan dalam syariah. Negara tidak bisa
menerima pinjaman yang didasarkan bunga untuk menutupi anggaran belanja
defisit. Ajaran-ajaran Islam menekankan perekonomian sepenuhnya pada
pengeluaran pemerintah. Banyak ahli hukum yang mengkaitkan hal ini dengan
ketegasan Al Qur’an mengenai pemborosan yang dilakukan oleh individu maupun
pemerintah. Ajaran-ajaran Islam juga menekankan pajak harus diambil hanya dari
biaya ‘pengeluaran pokok’ dan beban pajak harus didistribusikan secara adil.
Meski pemerintah dalam perkonomian Islam tidak dihalangi untuk menjalankan
87
anggaran deficit, tetapi pemerintah harus mengelola keuangannya dehingga
stabilitas moneter tetap terpelihara. Ekonomi dalam pengeluaran pemerintah,
keadilan dalam pemerataan beban pajak, dan kebijakan ‘keuangan yang bijaksana’
diterima sebagai norma yang diinginkan dari kebijakan fiskal dalam
perekonomian kapitalis juga ajaran-ajaran Islam menginvestasikan mereka dengan
tekanan moral yang lebih besar.
Selain kebijakan moneter dan fiskal, seluruh orientasi kebijakan
pemerintah lainnya memiliki pengaruh yang penting terhadap pola pemerataan
pendapatan. Telah diamati bahwa meskipun tujuan-tujuan egalitar dinyatakan,
namun kebijakan-kebijakan pemerintah di negara-negara kapitalis tidak
menghasilkan keberhasilan dalam menurunkan ketidakadilan pendapatan dan
kakayaan sementara di negara-negara lain ketidakadilan cenderung meningkat
setiap waktu. Kebanyakan negara kapitalis tetap berikrar untuk meningkatkan
kondisi pasar bersaing tetapi pada kenyataannya praktek perekonomian di banyak
negara diciri-cirikan dengan elemen-elemen monopoli. Kelemahan kekuatan
persaingan dan munculnya struktur pasar yang oligopolistik dalam banyak bidang
kegiatan menghasilkan akibat-akibat yang tidak diinginkan terhadap pola
pemerataan pendapatan. Sejarah perekonomian negara Amerika Serikat dan
sejumlah negara Eropa memperlihatkan bahwa setiap waktu pengontrolan industri
semakin
dan
lebih
terpusat.
Hal
ini
menyebabkan
beberapa
penulis
menggambarkan system perekonomian pada saat itu di negara-negara yang
disebutkan tadi sebagai ‘kapitalisme monopoli’. Serupa dengan hal ini, di banyak
negara sedang berkembang, berbagai kebijakan pemerintah yang berhubungan
dengan perdagangan, bea cukai, dan perindustrian serta perizinan terhadap pola
88
pemerataan pendapatan. Dalam kerangka kerja Islam, semua kebijakan
pemerintah diharapkan mengikuti petunuj yang ditetapkan dalam ayat 59 : 7 dari
Al Quran, bahwa kekayaan tidak diperkenankan menjadi ‘barang dagangan antara
kaum kaya di antara kamu’.
Akan tampak dalam pembahasan ini bahwa negara diharapkan memainkan
peranan yang sangat penting dalam Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah
untuk memberantas kemiskinan dan membolehkan ketidakadilan pendapatan dan
kekayaan dalam batasan-batasn yang diterima. Hal ini tanpa menyebutkan bahwa
untuk memperlengkapi pengharapan ini maka para penguasa perlu mengikuti
petunjuk dari ajaran-ajaran Islam.
Islam tidak mengandalkan badan pemerintahan saja untuk menghasilkan
pemerataan yang adil. Islam mencoba untuk membuat para pengikutnya memiliki
perasaan tanggungjawab sosial yang kuat terhadap kesejahteraan kelompok
masyarakat yang miskin. Jika ajaran-ajaran Islam dilaksanakan, maka pemerataan
yang adil dapat dicapai sementara kebebasan individu terpelihara dan cara hidup
yang teratur dihindari. Ada satu bagian dalam buku ini yang mengemukakan
bahwa
beberapa
analis
mengemukakan
sejumlah
pesimisme
terhadap
kemungkinan memberantas kemiskinan di negara-negara sedang berkembang
dimana mereka sangat meragukan kelompok yang berpendapatan tinggi akan
bersedia untuk memberikan perngorbanan tertentu yang diperlukan. Keengganan
ini diatasi dengan memasukkan nilai-nilai moral yang mendorong manusia untuk
melihat lebih jauh dari kepentingan dirinya sendiri. Meningkatkan gagasan saling
ketergantungan dari pemanfaatan fungsi, dapat juga membantu mengatasi masalah
ini. Terakhir sangat jelas terlihat bahwa di sejumlah wilayah penting,
89
perekonomian beratanggungjawab atas pelaksanaannya yang tidak bagus sebab
tanpa memanfaatkan ‘perbuatan baik’ yang minimal. Sejumlah karya mengenai
peranan altruisme dalam perekonomian telah muncul dalam tahun-tahun trakhir.
Sumbangan ini banyak menekankan bahwa sekali persepsi seseorang tebangun,
maka perbuatan baik menjadi perilaku yang rasional dan dapat diharapkan
menyebar diseluruh masyarakat. Yang dimaksud dari perspektif ini, adalah
pemberantasan kemiskinan dan pemeliharaan keadilan pemerataan yang lebih
besar, sebagai tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
90
BAB 3
KESIMPULAN
Kesejahteraan yang berkeadilan merupakan komponen yang paling
penting dalam
ekonomi
kesejahteraan
dan
keadilan
syariah.
Ekonomi
kesejahteraan dan keadilan syariah berpihak pada upaya pemberantasan
kemiskinan absolute yang sempurna dan pengorganisasian kehidupan ekonomi
dengan suatu cara dimana kebutuhan dasar seluruh masyarakat dapat terpenuhi.
Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah tidaklah menyeru permusuhan semua
ketidakadilan pendapatan dan kekayaan tetapi mewaspadai ketidakadilan yang
terlalu menyolok. Untuk menjamin pemenuhan kebutuhan – kebutuhan dasar bagi
seluruh rakyat, maka ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menyatakan
suatu prinsip bahwa kaum miskin “berhak” atas pendapatan dan kekayaan anggota
masyarakiat lainnya yang berlebihan (kaya). Hukum-hukum Islam dan ajaranajaran ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah dalam bidang produksi,
konsumsi, transaksi, dan pemerataan dan menjamin pola pemerataan pendapatan
dan kekayaan yang adil (merata).
Hal-hal yang pokok dari kerangka kerja ekonomi kesejahteraan dan
keadilan syariah terhadap upaya pemberantasan kemiskinan dan pencapaian
pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil (merata) sebagaimana
disimpulkan dan dipandang dari ajaran-ajaran Islam. Pertama-tama, ekonomi
91
kesejahteraan dan keadilan syariah mendorong usaha yang produktif. Ia
menganjurkan seluruh orang yang bertubuh sehat untuk memeliki penghasilan
hidup dan berhenti mencari bantuan dari orang-orang lain kecuali dalam keadaan
darurat yang sangat mendesak membutuhkan pertolongan. Dengan cara membuat
strategi bagi pembangunan, maka pesan-pesan umum ekonomi kesejahteraan dan
keadilan syariah adalah perubahan yang dinamis dari waktu ke waktu melalui
kemajuan teknologi. Disamping tingkat pertumbuhan yang menyeluruh, ekonomi
kesejahteraan
dan
keadilan
syariah
sangat
memperhatikan
mekanisme
pertumbuhan dan pola pertumbuhuan. Islam memerpertim bangkan kegiatan yang
produktif untuk dilaksanakan terlebih dahulu yang didasarkan pada perusahaan
swasta tetapi juga memberi hak bagi Negara untuk mempengaruhi dan mengatur
pekerjaan sector swasta agar tujuan-tujuan ekonomi kesejahteraan dan keadilan
syariah tercapai. Ekonomi kesejahteraan dan keadilan syariah menginginkan
bahwa sebaiknya pertumbuhuan menjadi landasan utama, dan pembangkitan
kesempatan kerja yang layak secara maksimum merupakan tuntutan yang terkuat
sebagai prioritas utama dalam strategi pertumbuhuan yang berorientasi syariah.
Ajaran-ajaran Islam menguraikan kode etik bisnis yang komprehensif
yang mencoba untuk menghilangkan seluruh bentuk praktek eksploitatif. Tujuan
utama mengatur praktek bisnjios adalah untuk mencegah pengkayaan yang tidak
patut dari beberapa orang atas pengeluaran banyak orang dan juga untuk
mengekang ketidakadilan pendapatan dan kekayaan.
Islam sangat menentang stratifikasi social dan menekankan pada
kesempatan yang adil. Hak memiliki harta kekayaan pribadi di dalam Islam
dibebani oleh beberapa kewajiban tertentu. Apabila kewajiban-kewajiban tersebut
92
tidak diamalkan, maka Negara dapat turut campur tangan demi kepentingan
keadilan social. Pemerataan harta kekayaan orang yang sudah meninggal harus
dijalankan dengan cara tegas sesuai dengan hokum-hukum warisan Islam yang
menghasilkan penyebaran timbunan kekayaan antar generasi.
Ajaran-ajaran Islam memiliki sikap yang penting terhadap factor
kemitraan dan pemerataan pendapatan fungsional yang selanjutnya mempunyai
implikasi terhadap ukuran pemerataan pendapatan perseorangan. Modal uang
menolak hak keuntungan apapun jika ia hanya dipinjamkan pada orang lain untuk
bebrapa waktu yang ditentukan. Hal ini berarti bahwa tidak seorangpun dalam
system perekonomian Islam yang dapat memperoleh penghasilan dengan cara
memungut bunga.
Pembagian keuntungan/kerugian lebih disukai sebagai sistem pengaturan
faktor keuntungan yang adil. Ajaran-ajaran Islam menekankan agar buruh dijamin
dengan ‘upah yang adil’ yang memelihara kehormatan manusia. Negara
diharapkan untuk mengintervensi pada setiap saat pemilik faktor produksi
diketahui mengeksploitasi pihak yang lemah dalam proses produksi.
Islam sangat mendorong pemberian sukarela untuk kesejahteraan kaum
miskin. Memberi makan orang yang kelaparan ditegaskan berulang-ulang,
sedemikian sehingga menghardik anak yatim dan mengabaikan pemberian
makanan kepada kaum miskin adalah sama dengan mendustakan agama. Jumlah
kekayaan yang harus dikeluarkan untuk kesejahteraan kaum miskin tidak diperinci
secara khusus menurut ketentuan yang jelas. Betapapun, petunjuk umum dalam
salah satu ayat dalam Al Qur’an bahwa setiap pertambahan kekayaan diatas
kebutuhan hidup seseorang harus dikeluarkan. Hukum-hukum keluarga Islam
93
memberikan hak yang sah terhadap kerabat dekat tertentu untuk menuntut bantuan
pemeliharaan dari orang-orang yang berada dalam posisi untuk membantu.
Ajaran-ajaran Islam mendesak manusia untuk memberikan bantuan secara
sukarela kepada kerabat dekat yang miskin, akan tetapi jika ajaran-ajaran ini
diabaikan, maka pengadilan mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan
bantuan penyelelenggaraan yang layak.
Kebijakan moneter dan fiskal diharapkan memainkan peranan yang sangat
penting dalam upaya pemberantasan kemiskinan dan mengekang ketidakadilan
pendapatan dan kekayaan dalam system perekonomian Islam. Kebijakan pajak
harus memiliki nilai keadilan dan berhenti dari mempertambah ketidak adilan
pendapatan dan kekayaan. Pemberantasan kemiskinan dan penghilangan
penderitaan yang dialami oleh kelompok penduduk yang miskin harus
diperhitungkan secara jelas dalam prioritas pengeluaran publik. Untuk membantu
mencapai tujuan-tujuan sosio-ekonomi Islam, maka kebijakan moneter perlu
digunakan untuk mengatur penggunaan sumber dana keuangan system
perbankkan sehingga secara berarti menolong ketidak adilan pendapatan dan
kekayaan dan mendapatkan hasil campuran yang sesuai dengan batasan prioritas
Islam. Kebijakan fiskal dan moneter diharapkan meningkatkan stabilitas moneter,
yang selain hal-hal lainnya mengamankan kepentingan kaum miskin.
Ajaran-ajaran Islam membebankan pada Negara tanggungjawab yang
penting untuk menjamin sedikitnya standar kehidupan minimum seluruh
warganegara. Berkaitan dengan hal ini, merupakan
kewajiban Negara untuk
menetapkan system jaminan social yang religius dengan menobatkan pemungutan
zakat (hak orang yang miskin) agar memainkan peranan utama. Bagian terbesar
94
dari pembiayaan yang dibutuhkan untuk melaksanakan system jaminan social
Islam diharapkan dating dari hasil perolehan zakat. Betapapun, sekiranya hasil
perolehan zakat tidak mencukupi untuk tujuan tersebut, maka pembiayaannya
harus ditamabhkan dari dana anggaran umum sejumlah yang dianggap perlu.
Studi ini mencoba untuk mengemukakan keistimewaan pendekatan Islam
terhadap
permasalahan
kemiskinan
dan
pemerataan
pendapatan
dengan
membandingkan pendekatan sistematis tertentu lainnya. Buku ini meninjau sikap
dan kebijaksanaan masa kuno hingga masa modern terhadap kemiskinan dan
ketidakadilan pendapatan dan kekayaan, dan secara khusus mencatat beberapa
kesamaan dan perbedaan antara pendekatan Islam dengan dua pendekatan yang
dipengaruhi oleh dua sistem terbesar yaitu kapitalisme yang dikelola dan
sosialisme. Terlihat bahwa meskipun Islam berbagi dengan sosialisme dalam hal
pemerataan pendapatan dan kekayaan yang adil, namun Islam dengan tegas
menentang aspek-aspek kebijaksanaan
Jika dibandingkan dengan kapitalisme yang dikelola, maka yang paling
istimewa dari pendekatan Islam terhadap pemberantasan kemiskinan adalah sifat
pemerintah dari sistem jaminan sosialnya. Dari sejarah kapitalisme terlihat bahwa
sampai seperempat abad yang pertama dari abad ini, negara-negara yang sangat
maju dari negara kapitalis tidak berfikir untuk membuat sebuah sistem jaminan
sosial yang komprehensif. Dan sampai sekarangpun ada pemikiran umum bahwa
sistem jaminan sosial merupakan suatu kemewahan dimana hanya negara-negara
yang sangat kayalah yang mampu melakukannya. Fakta yang ada adalah bahwa
meski terdapat perhatian yang berkembang terhadap keadaan kaum miskin, akan
tetapi mayoritas negara-negara yang kapitalis tetap tidak memberi ‘jaminan
95
keamanan’ bagi kaum miskin. Bertentangan dengan hal ini, ajaran-ajaran Islam
mengikat negara untuk mengorganisir sebuah sistem jaminan sosial yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat, terlepas dari tahaptahap pembangunan sebuah negara dan sistem jaminan sosial dan income per
kapita negara tersebut. Studi ini juga mencatat titik-titik perbedaan yang utama
antara pendekatan Islam dan sistem jaminan sosial dari negara-negara yang
berekonomi maju pada saat ini.
Beberapa kebijakan yang dianjurkan oleh Islam untuk kepentingan
pemerataan yang adil banyak menyerupai kebijakan sejumlah negara kapitalis
yang memilih mengikuti kebijakan setelah ditinggalkannya kebijakan laissez-faire.
Namun demikian, ada beberapa perbedaan yang berkenaan dengan penekanan dan
nuansa dari kebijaksanaan. Hal ini dapat diketahui dari peranan ‘kedaulatan
konsumen’ dan kebijakan moneter, fiskal serta kebijakan-kebijakan lainnya untuk
menentukan pengalokasian sumber daya.
96
DAFTAR PUSTAKA
Abbaasi, .M..,K.W. Hollman dan J.H. Murray, 1990. Islamic Economics:
Foundations and Practices. International Journal of Social Economics.
Jilid V.
Ahmad, Ziauddin. 1998. Islam, Proverty and Income Distribution. The Islamic
Fondation, Lahore
Aronsson,T.,Lofgren,K.G. and Backlund,K. 2004. Welfare Measurement In
Imperfect Markets : A Growth Theoretical Approach, Cheltenham,
Edward Elgar.
Arrow, K.J. and Scitowsky,T. 1969. Readings in Welfare Economics, HomeWood,
hal.255-283
Asheim,G.B. and Buchholz,W. 2004. A General Approach to Welfare
Measurement Through National Income Accounting, Scandinavian Journal
of Economic 106, hal. 361-384.
Asheim,G.B. and Weitzman,M.L. 2001. Does NNP Growth Indicate Welfare
Improvement?, Economics Letters 73, hal. 233-239.
Atkinson, A. 1975. The Economics of Inequality, Oxford University Press,
London.
Besley,Timothy. 2002. Welfare Economics and Public Choice, London School of
97
Economics and Political Science, London, April., hal 1-3.
Boadway,R.W. 1974. The Welfare Foundations of Cost-Benefit Analysis,
Economic Journal 86, Desember, hal. 926-939.
Bornstein, Morris. 1973. Plan and Market, Economic Reform in Eastern Europe,
Yale University Press.
Braudel, Fernand. 1982. Civilization and Capitalism, Harper & Row, hal.251-255.
Carbonell, A.F. 2002. Subjective Questions To Measure Welfare and Well-being,
Discussion Paper, Tinbergen Institute, Amsterdam, hal 1-5.
Chapra, M. Umer, 1970. The Economic System of Islam : Discussion of its Goal
and Nature, The Islamic Cultural Centre, London.
______________, 1979. Objectives of the Islamic Order, The Islamic Foundation,
United Kingdom.
______________, 1979. The Islamic Welfare State and its Role in the Economy,
The Islamic Foundation, United Kingdom.
______________, 1986. Toward a Just Monetary System, The Islamic Foundation,
United Kingdom.
______________, 1992. Islam and the Economic Challenge Order, The Islamic
Foundation, United Kingdom.
______________, 2000. The Future of Economics : An Islamic Perspective, The
Islamic Foundation, United Kingdom.
Choudhury, Masudul Alam and Houque, M. Ziaul. 2003 Islamic Finance: A
Westen Perspective – Revisited , International Journal of Islamic Financial
Services, Volume 5, Number 1, April-June
98
Chowdhury, A. Abdul Mannan. 1999. Resource Allocation, Investment Decision
and Economic Welfare : Capitalism, Socialism and Islam, University of
Chittagong, Banladesh
Creswell, John W. 1994. Research design : Qualitative & Quantitative
Approaches, SAGE Publicatios, London
Crone, P. 1987. Meccan Trade and Rise of Islam, Oxford, Basil Blackwell
Elliot, John E.. 1985. Comparative Economic Systms, Wadsworth Publishing
Company, Belmont, hal.408-429.
Fabozzi, Frank J Franco, Modigliani, Ferri, Michael G.,1994. Foundations of
Financial Markets and Institutios, Prentice-Hall Inc.
Friedman, Thomas L., 2001. The Lexus and The Olive Tree: Undertanding
Globalization, Achor Book, New York
Ghazali, Imam. 1937. Al-Mustasyfa, Al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, Kairo,
Vol.I hlm 139
Giddens, Anthony,
2000. Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial
(Terjemahan dari Judul Asli: The Third Way: The Renewal of Social
Democracy), (Penerjemah: Ketut Arya Mahardika), PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, Cetakan ketiga, Juni, Tebal: (xxviii + 189) halaman
Griffin, Keith.
1989. Alternative Strategies for Economic Development,
Macmillan, London, hal.218-219.
Grutchy, Allan G.
1977. Comparative Economic Systms, Mifflin Company,
Houghton.
Hause,J.C. 1975. The Theory of Welfare Cost Measurement, Journal of Political
Economy 83, Juni, hal. 1145-1182.
99
Heilbroner, Robert.L, 1975. The Making of Economics Society, Prentice Hall,
hal.32.
Heilbroner, Robert dan Lester Thurow, 1994. Economic Explained, New
York:Simon & Schuster,
Hyman David N., 2005. Public Finance : A Contemporary Application of Theory
to Policy with Economic Applications, 8th Edition , New York, Dryden
Press.
Kakwani, Nanak C. 1980. Income Inequality and Proverty, Oxford University
Press, hal.397-398.
Kazarian, E. 1991. Finance and Economic Development, Islamic Banking in
Egypt, Lund Economic Studies No.45, University of Lund, Lund.
Kegley, Charles W., Wittkopfl Eugene R. , 2001. The Global Agenda: Issues and
Perspectives, , Penerbit: McGraw-Hill Higher Education – A Division of
The McGraw-Hill Companies, Inc., Singapore, International Edition, Sixth
Edition, Tebal: (xiv + 503) halaman.
Khaldun, Ibnu. 1964. Muqaddimah, hlm 3,4,39
Khan, M. Fahim 1999. Financial Modernization in 21st Century and Challenge
for Islamic Banking, International Journal of Islamic Financial Services,
Volume 1, Number 3, Oct-Dec.
Khan, M. Mushin 1979. Sahih Al-Bukhari : Arabic-English, Islamic University
Al-Medina Al-Munawara, Kazi Publication, Lahore, Vol.7 No.277.
hal.208-209
Little, I. 1973. A Critique of Welfare Economics, 2nd edition, Oxford University
Press, London.
100
Lenski, Gerhard.E. 1966. Power and Privilege : A Theory of Social Strattification,
Mc Graw Hill.
Majid Fakhry, 1997. A Short Introduction in Islamic Philosophy, Theology and
Mysticism, Oneworld Publications, Oxford, England.
Mannan, M. A.,1970. Islamic Economics, Theory and Practic. The Islamic
Foundation, United Kingdom.
Marx, Karl. dan Engels, Friedrich. 1937. Manifesto of the Communist Party.
International Publishers Co., New York.
McKenzie,G.W. 1982. Welfare Measurement : A Syntesis, The American
Economic Review 72(4), September, hal. 669-682.
Nadwi, S.Abu Hasan Ali.1975. The Four Pillars of Islam, Majlis Nashreyat-eIslam, Karachi, Edisi kedua,hal.98.
Noman, Abdullah M. 2002. Imperatives of Financial Innovation for Islamic
Banking, International Journal of Islamic Financial Services, Volume 4,
Number 3, Oct-Dec..
Nomani, Shibli. 1962. Seeratun Nabi, Matbee Maarif Azamgarh, Karachi, Vol.1,
hal.573.
O'Connell, J. 1982. Welfare Economic Theory, Auburn House Publishing, Boston.
Ornati, Oscar. 1966. Proverty Amid Affluence, A Report on Research Project, The
Twentieth Century Fund, New York.
Perlman, Richard. 1976. The Economics of Proverty, Mc Graw Hill, hal.4-5.
Qureshi, Anwar Iqbal, 1946. Islam and the Theory of Interest, Lahore, Sh. Md.
Ashraf.
101
Rahardjo, Dawam, 2002. Sejarah Ekonomi Islam, The International Institute of
Islamic Thought, Jakarta, Indonesia
Rahman, Afzalur.,1980. Islamic Doctrine on Banking and Insurance, Muslim
Trust Company, London
Rahman, Yahia Abdul. 1999, Islamic Instruments for Managing Liquidity,
International Journal of Islamic Financial Services, Volume 1, Number 1,
Apr-Jun.
Ravallion, M. and Lokshin,
M. .2000. Subjective Economic Welfare,
Development Research Group, World Bank.
Rosen, Harvey S.2005. Public Finance, McGraw-Hill.
Sabzwari, MA.1979. Zakah and Ushr with Special Reference to Pakistan,
Industries Printing Press, Karachi, hal.5
____________.1982. The Concept of Saving in Islam,
An NIT Publication,
Karachi, hal.1
Samuelson, P.A. dan Nordhaus, William D. 1985. Economics, Edisi kedua belas,
Mc Graw Hll, hal.49.
Sarker, Abdul Awwal. 1999. Islamic Business Contracts : Agency Problems and
The Theory of The Islamic Firms , International Journal of
Islamic
Financial Services, Volume 1, Number 2, Jul-Sep.
Schnitzer, Martin C.
1987. Comparative Economic Systms, South-Western
Publishing Group, Cincinnati.
Sen, Amartya. 1998. Social Choice, Welfare Distribution and Poverty, Trinity
College, Cambridge, United Kingdom..
102
Siddiqi, Muhammad Nejatullah.1982. Recent Work on History of Economic
Thought in Islamic Survey, International Centre for Research in Islamic
Economic, King Abdul Aziz University, Jeddah.
__________________________. 1988. Distributive Justice and Need Fulfilment
in on Islamic Economy, International Intitute of Islamic Economic,
Islamabad, The Islamic Foundation, Leicester, hal. 251-286.
Siddiqui, Amir Hasan.1962. Studies in Islamic History, The Jamiyatul Falah
Publications, Karachi, hal.102.
Smith,V.K. and Haefen,R.V. 1997. Welfare Measurement and Representative
Consumer Theory, Discussion Paper, Washinton DC, hal.2-4.
Stiglitz, Joseph E. ,2002. Globalization and Its Discontent, Penerbit: WW Norton
& Company, New York – London, Edisi pertama, Tebal: (xxii + 282)
halaman.
Swasono, Sri-Edi. 2003. Ekspose Ekonomika : Kompetensi dan Integritas Sarjana
Ekonomi, Jakarta, UI-Press
_________________. 2004. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosal : Dari
Klasikal dan Neoklasikal Sampai ke The End of Laissez-Fair, Jakarta,
Perkumpulan PraKarsa.
Taleqani, Sayyed Mahmood. 1983. Islam and Ownership, Mazda Publishers,
Lexington. Hal.76-77.
Vartia, Y. 1983. Efficient Methods of Measuring Welfare Change and
Compensated Income in Terms of Ordinary Demand Functions ,
Econometrica 51, hal. 79-98.
103
Wilson, R.,1983. Banking and Finance in the Arab Middle East, Macmillan,
London.
Woodhouse, Mark B.,1994. A Preface to Philosophy, Wadsworth, A Division of
International Thomson Publishing Inc.
Yazdi, M. Taqi Mishbah. 1999. Philosophical Instructions : An Introduction in
Contemporary Islamic Philosophy, Institute of Global Studies, University
of Binghamton.
Download