Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi

advertisement
Tinjauan Pustaka
Peran Antagonis Kalsium dalam
Penatalaksanaan Hipertensi
Lucky Aziza
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Abstrak: Hipertensi merupakan masalah kesehatan yang utama hingga saat ini. Hipertensi
dapat mengakibatkan komplikasi pada berbagai organ target, sehingga memerlukan
penatalaksanaan serius. Penatalaksanaan hipertensi dibagi dua yaitu non-medikamentosa
dan medikamentosa. Penatalaksanaan medikamentosa berupa pemberian obat anti hipertensi
(OAH); salah satunya antagonis kalsium (AK). AK bekerja menghambat masuknya Ca ke
dalam sel melalui channel-L. AK dibagi dua yaitu golongan dihidropiridin yang terutama
bekerja pada arteri dan golongan non-dihidropiridin yang menyebabkan vasodilatasi perifer
serta menurunkan resistensi perifer. AK memiliki efek antihipertensi yang baik pada kasus
hipertensi ringan maupun sedang, berhubungan dengan dosis serta baik untuk pasien yang
tidak mematuhi diet garam. Dibandingkan β-blockers dan diuretik, AK lebih baik dalam
menurunkan kejadian hipertrofi ventrikel kiri. AK merupakan obat yang aman dan sama
efektifnya dengan OAH lain dalam terapi hipertensi. AK baik untuk hipertensi dengan penyakit
penyerta seperti diabetes melitus, asma bronkhial dan renovaskular.
Kata kunci: obat antihipertensi, dihidropiridin, non-dihidropiridin
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007
259
Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi
The Role of Calcium Antagonist in the
Management of hypertansion
Lucky Aziza
Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine University of Indonesia/
Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta
Abstract: Hypertension (HT) is still the leading health problem. HT may cause complication on
many target organ, thus it should be treated seriously. Management of HT consist of nonpharmacdogical and pharmacdogical treatment. Pharmacdogical therapy consist of giving an
antihypertensive drugs and calcium channel blockers (CCBs). CCBs works through calcium
inhibition into the cell by channel-L. CCBs divided in two groups, dihydropyridine that works at
the arteries and non-dihydropyridine that cause perifer dilatation and reduction of perifer resistance. CCBs have good anti HT effects in mild and moderate HT, is dose dependent, and is suitable
for patients who are not compliant to salt diet. Compared with β-Blockers and diuretics, CCBs are
better in lowering its incidence of left ventricular hyperthrophy. CCBs is safe and has equal
effectiveness with other anti hypertensive drugs. CCBs is suitable for hypertensive patients with
diabetes mellitus, asthma and renovascular disease.
Key words: antihypertensive drugs, dihydropyridine, non-dihydropyridine
Pendahuluan
Hipertensi tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat meskipun obatnya telah sekitar tiga puluh tahun
ditemukan. Patofisiologi hipertensi mencakup interaksi
genetik dengan lingkungan yang meliputi proses retensi
garam, penurunan ambang filtrasi ginjal, hiperaktivitas
simpatis, kelebihan sistem renin angiotensin, perubahan
membran sel, hiperinsulinemia dan disfungsi endotel.1 Diagnosis hipertensi ditegakkan bila tekanan darah (TD) lebih
tinggi atau sama dengan 140/90 mmHg, yang menetap pada
pengukuran berulang minimal dua kali selama beberapa
minggu, kecuali bila TD sangat tinggi yang memerlukan
tindakan atau terapi segera.
Pada penatalaksanan hipertensi harus dilakukan
stratifikasi pasien berdasarkan klasifikasi tingginya TD,
identifikasi kerusakan organ sasaran yang telah terjadi, dan
keadaan klinis terkait akibat hipertensi. Berdasarkan hal
tersebut, ada lima prinsip penatalaksanaan hipertensi. Prinsip
pertama adalah deteksi dini dan terapi dini sebelum timbul
kerusakan organ sasaran yang reversibel. Prinsip kedua
memulai terapi dengan memberikan komponen dasar yaitu
komponen non obat (modifikasi gaya hidup) yang diikuti
dengan pemberian obat anti hipertensi (OAH) apabila TD
belum terkendali. Prinsip ketiga adalah menurunkan target
tekanan darah diastolik (TDD) lebih rendah dari 90 mmHg
yang dilakukan secara perlahan-lahan secara gradual
dengan memantau kualitas hidup dan tanda vital pasien.
260
Prinsip keempat mempertimbangkan derajat tingginya tekanan
darah dan tekanan sistolik dalam menetapkan prognosis
hipertensi. Pemilihan OAH yang sesuai atau sedikitnya
mendekati faktor penyebab hipertensi merupakan prinsip
terakhir dalam penatalaksanaan hipertensi.2
Pemilihan OAH
Pemilihan OAH harus berdasarkan jumlah faktor risiko
yang menyertai dan kerusakan organ sasaran atau keadaan
klinis terkait. Pemilihan tersebut memperhatikan efek samping
seperti efek metabolisme, efek terhadap organ lain (bronkospasme, batuk, dsb), kondisi tertentu pasien (hamil, usia
lanjut, olahragawan) dan faktor kemampuan pasien
mengingat OAH harus dikonsumsi dalam jangka panjang.3
Terapi hipertensi dengan obat dimulai dengan dosis
terendah yang masih efektif dan dosis dinaikkan bila efek
terapi masih kurang. Untuk menambah efek hipotensif dan
mengurangi efek samping dapat diberikan terapi kombinasi
yang tepat. Pemilihan OAH yang bekerja 24 jam lebih mudah
dipatuhi pasien, selain itu tekanan darah akan menurun secara
merata sepanjang hari.
Sesuai indikasi, dapat dipilih salah satu dari 6 OAH yang
banyak dipakai saat ini, yaitu: golongan diuretik, penghambat
beta, penghambat angiotensin converting enzyme (ACE),
kalsium antagonis, antagonis A II receptor blocker, dan
alpha-1 blocker.
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007
Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi
Antagonis Kalsium sebagai Obat Hipertensi
Antagonis kalsium (AK) bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium ke dalam sel melalui chanel-L.
AK dibagi 2 golongan besar, yaitu AK non-dihidropiridin
(kelas fenilalkilamin dan benzotiazepin) dan AK dihidropiridin
(1,4-dihidropiridin). Golongan dihidropiridin terutama bekerja
pada arteri sehingga dapat berfungsi sebagai OAH, sedangkan golongan non-dihidropiridin mempengaruhi sistem
konduksi jantung dan cenderung melambatkan denyut
jantung, efek hipertensinya melalui vasodilatasi perifer dan
penurunan resistensi perifer.
Penelitian yang membandingkan efek antihipertensi AK
dengan obat lain menunjukkan efek antihipertensi yang sama
baiknya pada pasien dengan hipertensi ringan dan moderat.
Efek anti hipertensi AK berhubungan dengan dosis, bila
dosis ditambah maka efek antihipertensi semakin besar dan
tidak menimbulkan efek toleransi. AK tidak dipengaruhi
asupan garam sehingga berguna bagi orang yang tidak
mematuhi diet garam.3
Menurut beberapa studi penggunaan AK dalam
hipertensi secara umum tidak berbeda dalam efektivitas, efek
samping, atau kualitas hidup dibandingkan dengan OAH
lain. Ditinjau dari mortalitas, tidak ada perbedaan bermakna
antara diuretik, AK dan penghambat ACE dalam pengobatan
hipertensi.4 Hanya mungkin ada sedikit perbedaan dalam
respons terapi sesuai usia dan kelompok suku bangsa atau
warna kulit. AK sebagai OAH banyak dipakai pada pasien
dengan hipertensi esensial, pasien dengan hipertensi
renovaskular, hipertensi pada pasien kulit hitam (dimana
respons penyakit terhadap β blocker atau ACE biasanya
kurang memuaskan) dan pasien hipertensi dengan diabetes
mellitus, hipertensi dengan asma bronkhial, serta hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri.
AK mempunyai efek tambahan yang menguntungkan
pasien. AK dan penghambat ACE lebih baik dari penghambat
beta dan diuretik dalam mengurangi kejadian hipertrofi
ventrikel kiri yang merupakan risiko independen pada
hipertensi.5,6 Banyak studi menunjukkan AK mempunyai efek
proteksi vaskular dengan mengurangi remodelling vaskular
dan memperbaiki faal endothelium.7,8 Beberapa studi jangka
panjang pada penggunaan AK (kelompok diltiazem) sebagai
OAH menunjukkan hasil bahwa AK dapat mengurangi
kejadian stroke sampai 20%. 9 Kontraindikasi utama
penggunaan AK adalah gangguan konduksi (heart block)
gagal jantung berat dan sindrom sick sinus.4
Semua AK menyebabkan vasodilatasi. Potensi relatif
sebagai vasodilator bervariasi dengan nifedipin dianggap
paling poten sedangkan verapamil dan diltiazem kurang
poten. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa beberapa
AK (nifedipin, nisoldipin, isradipin) berikatan di saluran
kalsium tipe L di pembuluh darah dengan beberapa sifat
selektif, sedangkan verapamil berikatan sama baiknya di
saluran kalsium tipe L pada jantung dan pembuluh darah.
Semua kelas AK menurunkan aktivitas sinus jantung dan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007
memperlambat konduksi arterioventrikular (AV), sedangkan
di klinik, hanya verapamil dan diltiazem yang menghambat
konduksi AV atau menyebabkan berkurangnya aktivitas sinus. Semua kelas AK menyebabkan kontraksi otot jantung
yang tergantung konsentrasi pada in vitro, sedangkan in
vivo hanya verapamil dan diltiazem yang menunjukan hal
tersebut. Perbedaan in vitro dan in vivo mungkin dapat
dijelaskan dengan aktivasi simpatis yang terjadi sebagai
respons terhadap vasodilatasi yang diinduksi oleh dihidropiridin, yang mengurangi efek kronotropik dan inotropik
negatif.
Efek Antihipertensi
Di Amerika Serikat (AS), AK yang digunakan sebagai
antihipertensi antara lain amlodipin, diltiazem, felodipin,
isradipin, nikardipin, nifedipin, nisoldipin dan verapamil.
Semuanya menurunkan tekanan darah selama pemberian per
oral jangka panjang. Kebanyakan mempunyai waktu kerja
panjang sehingga dapat diberikan 1 kali sehari. Di AS, AK
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama jika ada alasan
yang kuat untuk tidak menggunakan tiazid atau β-blocker.10
On et al11 melaporkan bahwa pemberian amlodipin dan
vitamin C secara terus menerus dalam jangka waktu lama
akan memperbaiki fungsi endotel pada pasien hipertensi.
Pada terapi dengan antihipertensi, jika target tekanan
darah 125/75 mmHg tidak tercapai seperti direkomendasikan
Modification of Diet in Renal Disease (MDRD), penambahan
AK dihidropiridin dapat bermanfaat, namun pemantauan
tekanan darah dan protein urin harus dilakukan secara ketat.12
Efek Antiproteinuria
Proteinuria merupakan pencerminan tekanan intra-glomerulus, tetapi mungkin juga merangsang kerusakan ginjal
karena proteinuria itu sendiri menyebabkan kerusakan
tubulointerstisial. Proteinuria merupakan penentu yang
penting pada memburuknya fungsi ginjal. Penurunan proteinuria diikuti dengan perbaikan fungsi ginjal, karena itu
penurunan proteinuria dianggap sebagai hasil akhir yang
penting.
Pemberian verapamil dosis sedang, menimbulkan sedikit
efek pada tekanan darah tetapi meningkatkan proteinuria dan
glomerulosklerosis, sedangkan verapamil dosis tinggi
menurunkan tekanan darah namun tidak meningkatkan proteinuria atau glomerulosklerosis secara bermakna.12
Kanazawa et al.13 melaporkan kombinasi azelnidipin
(AK) dan temokapril (penghambat ACE) mempunyai efek
renoprotektif dan antihipertensi. Pemberian kombinasi obat
tersebut secara simultan mempunyai efek renoprotektif yang
lebih besar daripada pemberian temokapril sebagai monoterapi. Pada uji klinis pasien nondiabetik, penurunan proteinuria berhubungan dengan kestabilan fungsi ginjal.
Semakin besar penurunan proteinuria, semakin besar
perlambatan progresivitas penyakit ginjal. Peningkatan
261
Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi
tekanan darah dan proteinuria merupakan prediktor
gangguan kardiovaskular dan gagal ginjal pada pasien
diabetik. Efek antiproteinuria dan penurunan tekanan arteri
< 130/85 mmHg dapat mengurangi progresivitas penyakit
ginjal.14
AK mungkin efektif pada pasien diabetes melitus (DM).
Dihidropiridin mempunyai efek antiproteinuria pada pasien
dengan albuminuria < 500 mg/24 jam tetapi tidak ada efek
pada pasien dengan albuminuria > 500 mg/24 jam. Verapamil
dan diltiazem tampaknya lebih efektif daripada dihidropiridin
dalam menurunkan proteinuria, tetapi penurunan tekanan
darah pada kelompok verapamil dan diltiazem juga lebih jelas
sehingga mungkin penurunan tekanan darah tersebut
berperan dalam menurunkan proteinuria.12
AK tetap dibutuhkan untuk mencapai target tekanan
darah (130/85 mmHg bila albuminuria <1g/24 jam atau 120/75
mmHg bila albuminuria >1 g/24 jam) pada pasien DM, terutama
pada kombinasi dengan penghambat ACE atau antagonis
angiotensin II.15
AK merupakan salah satu pilihan terapi untuk pasien
hipertensi dengan DM, karena tidak ditemukan efek samping
pada metabolisme glukosa, lipid atau fungsi ginjal. Pada
binatang, nondihidropiridin meningkatkan aliran darah renal
dan filtrasi glomerulus dengan menghambat vasokonstriksi
preglomerulus. Pada suatu studi dengan jumlah sampel kecil
ditemukan bahwa pada pasien hipertensi dan DM, dihidropiridin tidak memperlambat perkembangan proteinuria atau
gagal ginjal, namun tidak demikian halnya dengan verapamil
atau diltiazem. Pada studi kecil lain, nifedipin memperlambat
peningkatan proteinuria pada pasien diabetes yang normotensi, akan tetapi kurang efektif dibandingkan dengan
lisinopril.
African American Study of Kidney Disease on Hypertension (AASK) tidak merekomendasi penggunaan AK kelas
dihidropiridin pada penyakit ginjal atau DM karena dapat
memperburuk fungsi ginjal. Penelitian tersebut menganjurkan
penggunaan penghambat ACE atau antagonis angiotensin
II, tetapi dalam penelitian tersebut pada pasien hipertensi
dan insufisiensi ginjal, risiko kematian pada penggunaan
dihidropiridin tidak berbeda bermakna dibandingkan
penggunaan penghambat ACE.
Efek pada Fungsi Ginjal
Mekanisme perlindungan AK pada ginjal yang telah
diketahui dan dipostulasikan adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan tekanan darah sistemik
2. Menurunkan hipertrofi ginjal
3. Modulasi alur mesangial makromolekul
4. Menurunkan aktivitas metabolisme pada ginjal remnant
5. Memperbaiki nefrokalsinosis uremia
6. Mengurangi efek mitogenik pada faktor pertumbuhan
7. Menghambat tekanan yang menginduksi pemasukan
kalsium
8. Mengurangi pembentukan radikal bebas
262
Obat antihipertensi paling efektif untuk menghambat
penurunan LFG. Pada studi MDRD, pengontrolan tekanan
darah sistolik lebih baik daripada tekanan darah diastolik
dalam melindungi ginjal. Fungsi ginjal terbaik dijaga pada
pasien dengan tekanan darah sangat rendah yaitu antara
135/85 mmHg-125/75 mmHg. Menurut Joint National Committee (JNC) VII, target tekanan atau lebih rendah lagi darah
pada pasien tanpa proteinuria adalah 140/90 mmHg, pada
proteinuria <1 g/24 jam target tekanan darah sampai dengan
130/80 mmHg, sedangkan jika proteinuria >1 g/24 jam maka
target tekanan darah 125/75 mmHg. Dengan demikian, pasien
hipertensi dengan proteinuria memerlukan terapi antihipertensi yang efektif.12
Zuchelli et al,16,17 membandingkan kaptopril dengan
nifedipin pada 121 pasien non-diabetik dengan insufisiensi
ginjal dan proteinuria yang diikuti selama 3 tahun. Secara
keseluruhan, tidak ada perbedaaan bermakna pada memburuknya fungsi ginjal, tetapi tekanan darah menurun akibat
kedua obat tersebut (tekanan darah turun dari 165/100 mmHg
menjadi 139/82 mmHg). Kelemahan penelitian ini adalah lebih
banyak pasien yang diobati dengan nifedipin selama tindak
lanjut (follow up) yang memerlukan hemodialisis, walaupun
tidak berbeda bermakna. Jumlah pasien yang diikuti menjadi
berkurang (37 pasien vs 31 pasien), sehingga efek negatif
AK dibandingkan penghambat ACE tidak dapat diketahui
sebenarnya. Piccoli et al,18 menemukan pada 31 pasien yang
diberikan dihidropiridin, penurunan fungsi ginjal lebih cepat
daripada enalapril. Penurunan rata-rata proteinuria lebih besar
pada kelompok enalapril daripada dihidropiridin. Perlu dicatat
pada kedua kelompok pengobatan, hanya terdapat sedikit
penurunan tekanan darah, dan mean arterial pressure (MAP)
± 110 mmHg pada akhir studi. Secara keseluruhan, studi yang
terakhir menyiratkan bahwa dihidropiridin kurang efektif
dibandingkan penghambat ACE dalam menurunkan gagal
ginjal progresif terutama apabila penurunan tekanan darah
hanya sedikit.
Pada pasien insufisiensi ginjal dengan proteinuria,
didapatkan fungsi ginjal yang memburuk secara bervariasi
dan tidak tergantung pada aktivitas penyakit ginjal dasar.
Hipertensi glomerulus menyebabkan glomerulosklerosis (jalur
akhir yang umum pada progresivitas penyakit ginjal). Penurunan efek sistemik terhadap glomerulus dengan penghambat
ACE atau diet rendah protein menghambat glomerulosklerosis dan insufisiensi ginjal. Menurut teori tersebut proteinuria merupakan suatu gambaran kerusakan glomerulus.
Baru-baru ini fokus pengamatan dialihkan kepada kerusakan
tubulointerstisial pada penyakit ginjal progresif. Proteinuria
dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan sel tubulus yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan interstisial.12
Terjebaknya makromolekul pada mesangial menyebabkan kerusakan mesangial akibat stimulasi inflamasi lokal
terutama ekspansi sel mesangial dan/atau matriks dengan
progresi glomerulosklerosis. AK juga bertindak dengan
memodulasi efek mitogenik sitokin dan sel-sel pertumbuhan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007
Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi
termasuk platelet-activating factor (PAF) dan platelet-derived growth factor (PDGF). Nifedipin, verapamil, diltiazem
menghambat efek mitogenik PDGF dan trombin pada sel
mesangial. Amlodipin menghambat proliferasi sel mesangial
seperti sintesis protein dan hipertropi. AK menghambat
stimulasi produksi PAF oleh sel endotel yang diinduksi
trombin sehingga produksi PAF yang menginduksi
kerusakan glomerulus dapat dibatasi.19 Mekanisme lain
berupa gangguan overload kalsium pada mitokondria yang
menyebabkan malfungsi sel dan pada akhirnya kematian sel.
Pemberian benidipin 3 mg dan 5 mg/kg BB/hari pada
tikus dengan mesangioproliferatif glomerulonefritis progresif,
meningkatkan nilai bersihan kreatinin, mencegah kerusakan
glomerulus dan tubulointerstisial. Pemberian 5 mg dapat
mengurangi ukuran glomerulus, namun tidak sampai tingkat
terkontrol. Benidipin mencegah progresivitas ke arah gagal
ginjal terminal tergantung pada dosis yang diberikan.
Kemampuan renoprotektif benidipin dengan cara supresi
ekspresi transforming growth factor(TGF)-ß dan a-SMA
pada glomerulus.21
Rossing et al,19 membandingkan efek dihidropiridin kerja
lama nisoldipin dengan penghambat ACE lisinopril mengenai
proteinuria dan penurunan LFG pada 49 pasien hipertensi
dengan diabetes melitus tergantung insulin (insulin dependent diabetes melitus=IDDM). Setelah 1 tahun proteinuria
menurun sebesar 47% pada kelompok lisinopril, sedangkan
nisoldipin tidak mengalami penurunan proteinuria.
Sebaliknya penurunan LFG hanya sedikit pada kelompok
nisoldipin dibandingkan lisinopril. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dihidropiridin melalui mekanisme yang tidak
tergantung pada efek mikrosirkulasi ginjal tetap bersifat
renoprotektif.
AK dan obat antihipertensi konvensional mempunyai
efek renoprotektif yang sama pada pasien hipertensi dengan
transplantasi ginjal, jika terapi dimulai 3 bulan setelah
transplantasi.20
Manidipin mempunyai mekanisme proteksi ginjal
berhubungan dengan efek peroksida lipid. Salah satu
mekanisme pengurangan proteinuria oleh manidipin adalah
dengan mengurangi akumulasi produk peroksida lipid pada
korteks ginjal.21
Hipertrofi glomerulus mempengaruhi kerusakan ginjal.
Pencegahan hipertrofi glomerulus dilakukan untuk mengurangi kerusakan ginjal dan glomerulosklerosis. Kerusakan glomerulus tidak hanya tergantung pada tekanan dalam
kapiler glomerulus tetapi juga pada tegangan dalam dinding
vaskular. Tegangan dipengaruhi oleh tekanan glomerulus
dan radius pembuluh darah, sehingga jika radius kapiler glomerulus meningkat pada hipertrofi ginjal, maka tegangan
dinding vaskular akan meningkat secara hemodinamika dan
stuktural.22
Peran AK pada Gagal Ginjal
AK kelas dihidropiridin kerja pendek menyebabkan
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007
peningkatan infark miokard sedangkan kerja panjang risiko
kematiannya serupa dengan obat antihipertensi yang lain.
Pada gagal ginjal kronis tampaknya terdapat milieu (suasana)
biokimia yang berbeda dengan populasi umum. 23-24
Pengambilan kesimpulan mengenai penggunaan AK pada
populasi umum tidak dapat disamakan dengan pasien gagal
ginjal, karena pada beberapa penelitian, AK justru memberi
keuntungan pada pasien uremia.
AK merupakan obat antihipertensi yang sangat efektif
untuk menurunkan tekanan darah pada pasien gagal ginjal
yang dianggap resisten terhadap obat antihipertensi lain.
AK terutama dihidropiridin meningkatkan ekskresi natrium
dan air, sebagian dengan menurunkan reabsorbsi natrium
pada tubulus proksimal. Mekanisme itu menguntungkan
terutama pada pasien gagal ginjal karena tidak meretensi air
dan garam (mengurangi edema). Dihidropiridin mungkin juga
menghambat reabsorbsi protein di tubulus. Setelah pemberian
nifedipin terjadi peningkatan ekskresi beta 2 mikroglobulin
pada urin (petanda reabsorbsi protein di tubulus proksimal).
Keuntungan lain AK yaitu tidak menyebabkan hiperkalemia
seperti golongan penghambat ACE dan antagonis angiotensin (AA) II. Solomon et al,12 melaporkan pada pasien gagal
ginjal terminal penggunaan AK diltiazem meningkatkan
pengeluaran kalium.
Pada penelitian the United States Renal Data system
Dialysis Morbidity and Mortality Study Wave II (USRDS
DMMS II), yang melibatkan 4065 pasien gagal ginjal terminal
yang menjalani dialisis, ternyata penggunaan AK menurunkan
mortalitas yang bermakna dibandingkan dengan obat
antihipertensi lain (penghambat ACE, penyekat beta).
Didapatkan angka kematian 21% lebih rendah dari semua
penyebab kematian dan 26% penurunan angka kematian pada
penyebab penyakit kardiovaskular, serta 32% angka kematian
lebih rendah pada pasien yang sebelumnya mempunyai
riwayat penyakit kardiovaskular. Untuk diltiazem sendiri,
penurunan mortalitas mencapai 48% pada pasien dengan
riwayat penyakit kardiovaskular serta 38% lebih rendah pada
semua penyebab kematian. Risiko kematian yang lebih rendah
pada penggunaan AK pada pasien gagal ginjal tersebut
dihubungkan dengan peran AK yaitu menurunkan tekanan
darah, mengurangi kejadian hipertrofi ventrikel kiri dan
memperbaiki kalsium intrasel yang menguntungkan pasien
gagal ginjal terminal.
Terapi Kombinasi AK dengan OAH lain
AK telah dipakai dengan hasil baik bila dikombinasikan
dengan OAH lain, sebagai obat lini kedua atau obat tambahan
ketiga terutama pada pasien dengan hipertensi yang refrakter.
AK paling baik dikombinasikan dengan penghambat beta
atau penghambat ACE yang akan menambah efek hipotensif.
Golongan dihidropiridin menyebabkan peningkatan efek
simpatis yang mengakibatkan takikardia sedangkan penyekat
beta akan menghambat efek simpatis tadi dan dapat
menimbulkan bradikardia. Sebaliknya AK dapat menetralisir
263
Peran Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Hipertensi
timbulnya vasokonstriksi perifer akibat pemberian penghambat beta.12
Pada pasien dengan hipertensi berat dan gangguan faal
jantung, kombinasi AK dengan penghambat ACE merupakan
kombinasi yang efektif untuk menurunkan tekanan darah
dengan aman. Obat pilihan kelompok hipertensi usia lanjut
(usia lebih dari 60 tahun) dengan jumlah penderita hipertensi
sistolik terisolasi mencapai lebih 50% adalah diuretik tiazid
dosis rendah. Pilihan kedua bila diuretik tidak berhasil adalah
AK dihidropiridin. Golongan AK dihidropiridin juga
merupakan pilihan kedua setelah alfa metildopa untuk OAH
pada ibu hamil. Indikasi AK pada penyakit gangguan fungsi
ginjal adalah sebagai obat kombinasi dengan penghambat
ACE dan bila gagal ginjal telah lanjut. Penggunaan AK untuk
hipertensi yang timbul akibat penyakit ginjal (penyakit ginjal
non-diabetik, penyakit ginjal diabetik dan penyakit ginjal
transplantasi) bertujuan untuk mengurangi risiko memburuknya penyakit kardiovaskuler dan mencapai target TD
yaitu <130/80 mmHg.13
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Kesimpulan
Dalam pengobatan hipertensi AK merupakan obat yang
efektif, aman dan sama efektifnya dengan OAH yang lain.
AK baik untuk hipertensi dengan penyakit penyerta seperti
diabetes melitus, asma bronkhial dan renovaskular. Efek
tambahan AK selain efek antihipertensi bersifat menguntungkan pasien.
17.
18.
Daftar Pustaka
19.
1.
20.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
264
Kaplan NM, Clinical hypertension, 7ed. Baltimore: William and
Wilkins; 1998.
Guidelines subcommittee. WHO-ISH Guidelines for the Management of Hypertension. J Hypertension 1999;17:151-83.
Trisnohadi HB. Peran antagonis kalsium dalam hipertensi: Symposium pendekatan holistic penyakit kardiovaskular III &
Karimun III. Jakarta; 2004.
The ALLHAT (The Antihypertensive and Lipid Lowering treatment to prevent Heart Attack Trial) Collaborative Research
group Sponsored by the National Heart, Lung, and Blood Institute (NHBLI) JAMA,2002;288:2981-97.
Dahlof B, Pennert K, Hansson L. Revesal of left ventricular
hypertrophy in hypertensive patients. A meta-analysis of 109
treatment studies. Am J Hyperten 1992;5(2):95-110.
Schlaich MP, Schmieder RE. Left ventricular hypertrophy and
its regression: Pathophysiology and therapeutic approach: focus
on treatment by antihypertensive agents. Am J Hypertension
1998;11(111):1394-404.
Virdis A, Ghiadoni L, Sudano I. effect of antihypertensive drugs
on endothelial function in humans. J Hypertens 1998;16
(Suppl.8):S103-10.
Schiffrin EL. Vascular protection with newer antihypertensive
agents. J Hypertension 1998.
Hansson L, Hedner T, Lun-Johansen P. Randomised trial or old
and new antihypertensive drugs in elderly patients: cardiovascu-
21.
22.
23.
24.
lar mortality and morbidity the Swedish Trialin Old Patients-2
study. Lancet 1999;354:1751-6.
Abernethy DR, Schwartz JB. Calcium-antagonist drugs. The New
England Journal of Medicine 1999; 341(19):1447-57.
On YK, kim CH, sohn DW, oh BH, Lee MM, Park YB, et al.
Improvement of endothelial function by amlodipine and vitamin C in essential hypertension. Korean J Intern Med
2002;17(2):131-7.
Kloke HJ, branten AJ, Huymans FT, Wetzels JF. Antihypertensive treatment of patients with proteinuric renal diseases: risks
or benefit of cakcium channel blockers? Kidney Int 1998;53:155973.
Kanazawa M, Kohzuki M, Yoshida K, Kurosawa H, Minami N,
Saito T, et al. Combination therapy with an angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor and a calcium antagonist.: beyond the renoprotective effects of ACE Inhibitor monotherapy
in spontaneous hypertensive rat with renal ablation. Hypertens
Res 2002;25(3):447-53.
Bakris GL, Weir MR, dequattro V, McMahon FG. Effects of an
Ace Inhibitor/calcium antagonist combination on proteinuria in
diabetic nephropathy. Kidney Int 1998;54:1283-9.
Ruilope LM, Campo C, Segura J. The calcium channel blocker
controversy in patients with diabetic nephropathy: Is there an
issue? Current Hypertens Rep 2001;3(5):419-21.
Zuchelli P, Zuccala A, Borghi M, Fusaroli M, Sasdelli M, Stallone
C, et al. Long-term comparison between captopril and nifedipine
in the progression of renal insufficiency. Kidney Int 1992;42:4528.
Zuchelli P, Zuccala A, Gaggi R. Comparison of the effects of ace
inhibitor and calsium channel blockers and the progression of
renal failure. Nephrol Dial Transplant 1995;10 (suppl 9):46-51.
Piccoli A, Favaro E, Piva M, Bisetto F, Calvazara P, Arduini R, et
al. The progression rate of chronic renal failure with hypertension and proteinuria can be slowed by treatment with angiotensin
converting enzime inhibitor. Curr Ther Rest 1993;53:309-15.
Epstein M. Calcium antagonists and renal disease. Nephrology
forum. Kidney Int 1998;54:1771-84.
Rose GW, Kano Y, Ikeburo H, Kaneko M, Kaneko K, Kanno T,
et al. Cilnidipine as effective as benazepril for control of blood
pressure and proteinuria in hypertensive patient benign nephrosclerosis. Hypertens Rest 2001;24(4):377-83.
Nakamura T, Obata JE, Onitsuka M, Shimada Y, Yoshida Y,
Kawachi H, et al. Benidipine, a long-acting calcium-channel
blocker, prevents the progression to end stage renal failure in a
rat mesangio-proliferative glomerulonephritis. Nephron
2000;86(3):315-26.
Dworkin LD, Benstein JA, Parker M, Tolbert E, Veiner HD.
Calcium antagonist and converting wenzime inhibitor reduce renal injury by different mechanisme. Kidney Int 1993;43:80814.
Zhank YB, Smogorzewski M, Ni Z, et al. Altered systolic cytosolic calcium homeostasis in rats cardiac miocyt in CRF. Kidney Int
1994;45:1113-9.
Alexiewicz JM, Smogorzewski M, Akmal M, et al. Nifedipine
reverses the abnormalities in [ca2+], end proliferation of b cells
from dialysis patient. Kidney Int 1996;50:1249-54.
SS
Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 8, Agustus 2007
Download