Gambaran Histologis Kelenjar Tiroid pada Tikus (Rattus norvegicus

advertisement
BioSMART
Volume 3, Nomor 1
Halaman: 14-18
ISSN: 1411-321X
April 2001
Gambaran Histologis Kelenjar Tiroid pada Tikus (Rattus norvegicus)
setelah Pemberian Tempe Lamtoro Gung
SHANTI LISTYAWATI1,4, M.P. EDDY MOELJONO2,4, SUSILO HANDARI3,4
1.
Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta
3.
Fakultas Biologi UGM Yogyakarta
4.
Program Studi Biologi, Program Pascasarjana UGM Yogyakarta
2.
ABSTRACT
Lamtoro gung tempeh (LGT) is a food produced from fermentation process of lamtoro gung seeds. The food contains
high protein equal to other tempeh, made of other grains. Although tempeh contains high nutrient, the anti-nutrient
substances, like phytic acid, tannin and mimosine, remain in the tempeh. The objectives of this study were to assess
the effect of LGT on the activity of rat’s thyroid gland. Completely Randomized Design with five treatments, i.e.
aquadest (placebo), LGT of 0, 0.9, 1.8, 2.7 grams/animal/day during 45 days was used in this study. The thyroid
gland was prepared by using paraffin method and stained with Hematoxylin-Eosin. The thyroid gland was observed
from histologic features, i.e. the height of the follicle’s epithelia, the color of the colloids and the appearance of
endocytocic vesicles. The collected data were statistically analyzed by Analysis of Variance and Least Significant
Differences. The results of the experiment indicated the thyroid gland’s activity increased with the increasing weight
of the LGT given into the animals.
Keywords: lamtoro gung tempeh, thyroid
PENDAHULUAN
Tanaman lamtoro gung (Leucaena leucocephala
(LMK) de Wit) banyak digunakan sebagai tanaman
penghijauan, hal ini mendorong masyarakat untuk
memanfaatkan tanaman ini secara maksimal, di
antaranya adalah memanfaatkan bagian-bagian
tanaman lamtoro gung sebagai bahan makanan bagi
manusia dan ternak. Beberapa daerah di Indonesia
memanfaatkan bijinya yang sudah tua sebagai
bahan dasar tempe lamtoro gung.
Tempe lamtoro gung (TLG) mengandung
protein yang cukup tinggi, setara dengan kacangkacangan lain yang biasa dibuat tempe, sehingga di
daerah-daerah yang banyak ditanami pohon
lamtoro
penduduk menggunakannya sebagai
sumber protein alternatif. Namun, selain
kandungan proteinnya tinggi, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tempe tersebut juga
mengandung zat anti gizi yang berasal dari biji
lamtoro gung, berupa asam fitat, tanin, mimosin
dan dihidroksipiridin, yang mungkin dapat
mengganggu kualitas zat gizi di dalamnya. Asam
fitat dan tanin merupakan senyawa-senyawa yang
dapat menghambat absorpsi beberapa jenis mineral
dan protein, sedangkan mimosin merupakan
senyawa anti-tiroid yaitu dapat menghambat
sintesis hormon tiroid (Astuty,1989; Komari,
1993).
Pembuatan tempe lamtoro gung diawali dengan
proses prafermentasi yaitu perebusan, pembuangan
kulit biji, perendaman dan pengukusan, yang
dilanjutkan dengan fermentasi menggunakan ragi
yang dapat berupa Rhizopus oligosporus atau dapat
juga dengan laru yang merupakan campuran
beberapa ragi (Slamet, 1982). Proses pembuatan
tempe ini
menguntungkan karena
dapat
meningkatkan kecernaan protein, penyerapan zat
besi dan menurunkan zat anti gizi (Hartono, 1986;
Almashuri et al., 1991; Komari, 1993).
Mimosin merupakan asam amino bebas dengan
BM 198 yang selalu ada pada tanaman yang
tergolong Mimosaceae. Nama lain dari mimosin
yaitu leucaenol, leucaenin atau β-[N-(3
hidroksipirolidon-4)]-α aminopropionat (Adams &
Jones dalam Dai et al.,1984).
Struktur mimosin mempunyai cincin aminobenzena mirip dengan tirosin, menyebabkannya
mampu menghambat sintesis hormon tiroid dan
tidak dapat dipulihkankan dengan pemberian iodida
© 2001 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
LISTYAWATI dkk. – Histologi Kelenjar Tiroid Rattus norvegicus
(Turner & Bagnara,1976; Brook & Marshall,
1996). Mimosin merupakan senyawa toksik bagi
hewan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kuda, babi, kambing, tikus dan unggas yang
memakan bagian tanaman Leucaena sp. sebagai
campuran pakan, mengakibatkan kerontokan bulu
dan rambut. Pada wanita dewasa dan anak-anak
setelah makan daun, polong dan biji lamtoro, 48
jam kemudian menunjukkan kerontokan rambut,
alis dan kulit kepala terasa sakit dan beberapa
bagian badan mengalami edema setempat.
Penelitian secara in vitro oleh Dai et al. (1984)
menunjukkan bahwa Mimosin dapat menghambat
sintesis DNA sehingga pembelahan sel juga
terhambat, tetapi sifat penghambatan ini dapat
dipulihkan dengan menghilangkan mimosin.
Kelenjar tiroid pada hewan menyusui terletak di
cranial trakea menempel pada kartilago tiroidea.
Kelenjar tiroid ini terdiri dari 2 lobus yang masingmasing terletak di setiap sisi trakea yang
dihubungkan oleh isthmus. Ukuran organ ini
bervariasi tergantung umur, kebiasaan makan dan
status fisiologisnya (Hadley, 1992; Brook &
Marshall, 1996; Junquiera et al., 1998).
Kelenjar tiroid tersusun oleh folikel-folikel yang
ukuran dan bentuknya bervariasi, sferis sampai
bulat. Pada tikus normal, kelenjar tiroid
mempunyai ± 100.000 folikuli dengan ukuran yang
bervariasi, diameter folikelnya berkisar antara 0.02
mm – 0,9 mm. Folikel-folikel dilapisi oleh kapsula
yang tersusun dari jaringan ikat longgar.
Pada bagian tengah folikel terdapat lumen yang
dikelilingi oleh selapis epitelium yang melekat
pada lamina basalis. Lumen folikel berisi koloid
yang merupakan hasil sekresi dari sel-sel epitelium
yang mengelilinginya. Koloid terutama berisi
tiroglobulin,
yang
dengan
pewarnaan
Hematoksilin-Eosin berwarna merah jambu, selain
itu juga terdapat protein, glikoprotein dan enzim.
Banyaknya koloid yang mengisi lumen bervariasi
tergantung kegiatan kelenjar.
Pada keadaan normal, epitelium yang melapisi
folikel ini berbentuk kuboid. Pada keadaan tidak
aktif, banyak koloid yang ditimbun sehingga sel
epitel berbentuk pipih atau kuboid pendek. Apabila
kelenjar tiroid dirangsang menjadi aktif maka selsel epitelium menjadi kolumner dan jumlah
koloidnya berkurang (Hadley, 1992; Junquiera et
al., 1998).
Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid
yang terdiri atas 2 macam hormon yaitu
triiodotironin (T3) dan tetraiodotironin (T4) atau
tiroksin. Hormon tiroid berfungsi untuk mengatur
metabolisme tubuh. Pada dosis fisiologis dapat
meningkatkan anabolisme protein, penggunaan
15
ATP, absorpsi glukosa dan lipolisis jaringan lemak
(Hadley, 1992; Brook & Marshall, 1996).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji
pengaruh konsumsi tempe lamtoro gung terhadap
gambaran histologis kelenjar tiroid. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar
informasi ilmiah mengenai pengaruh konsumsi
tempe lamtoro gung terhadap aktivitas kelenjar
tiroid tikus putih (Rattus norvegicus L.) dan
manfaat praktis yang diharapkan adalah supaya
dapat memberikan informasi tingkat keamanan
mengkonsumsi tempe lamtoro gung jika
dimanfaatkan sebagai makanan alternatif sumber
protein.
BAHAN DAN METODE
TLG untuk perlakuan dibuat berdasarkan proses
yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Biji lamtoro
gung yang sudah tua diperoleh dari Umbulharjo
Yogyakarta. Biji ini kemudian dibersihkan dan
direbus dengan air yang cukup selama dua jam.
Setelah rebusan biji dingin, kulit biji dikupas
dengan cara digilas dengan penggilas kayu,
kemudian dicuci bersih untuk menghilangkan
lendirnya.
Keping biji dicuci dan direndam semalam
selanjutnya dikukus selama 15 menit, kemudian
diinokulasi dengan dua gram inokulum tempe
untuk setiap 100 gram keping biji dan diinkubasi
selama 48 jam.Tempe yang sudah jadi dihaluskan
dan diencerkan dalam akuades hangat untuk
perlakuan.
Hewan uji yang digunakan adalah 25 ekor tikus
jantan (Rattus norvegicus L.) dikelompokkan ke
dalam 5 kelompok perlakuan yaitu: kontrol;
plasebo; 0,9 g TLG/hari, 1,8 g TLG/ hari dan 2,7 g
TLG/hari selama 45 hari. Pakan dan minum
diberikan secara ad libitum. Setelah 45 hari, hewan
uji dibunuh, diambil kelenjar tiroidnya untuk dibuat
preparat histologi dengan metode parafin dan
pewarnaan hematoksilin-eosin.
Data kuantitatif yang diamati adalah tinggi sel
epitelium folikel tiroid, dipilih dari folikel yang
memiliki diameter terbesar dari preparat seri. Data
kualitatif diperoleh dengan pengamatan secara
deskriptif pada preparat histologi kelenjar tiroid
meliputi bentuk dan warna sel epitelium, kehadiran
vesikel pada lumen folikel dan warna koloid.
Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis
dengan Analisis Varians pada tingkat kepercayaan
95%, apabila didapatkan perbedaan nyata antar
perlakuan dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata
Terkecil (Sokal & Rohlf, 1996).
16
BioSMART Vol. 3, No. 1, April 2001, hal. 13-18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan struktur histologis kelenjar
tiroid tikus putih (Rattus norvegicus) setelah
perlakuan
dengan
tempe
lamtoro
gung
menunjukkan bahwa, kelenjar tiroid tersusun dari
folikel-folikel dengan berbagai bentuk dan ukuran.
Bentuk dari folikel-folikel tersebut oval sampai
bulat. Folikel yang berukuran besar lebih banyak
terkumpul di bagian perifer kelenjar, sedangkan
folikel-folikel kecil cenderung berada di bagian
tengah. Di antara folikel-folikel terdapat ruang
interfolikuler yang menurut Junquiera et al.,
(1997), berisi jaringan ikat dan pembuluh darah.
Folikel tersusun dari jaringan epitelium dan
lumen. Sel-sel epitelium berbentuk pipih atau
kuboid. Inti sel epitelium berbentuk bulat,
berukuran relatif besar, dengan pewarnaan
Hematoksilin Erlich-Eosin (H-E) tampak berwarna
ungu. Sitoplasma berwarna merah muda. Sel-sel
epitelium ini tersusun selapis mengelilingi lumen
yang terletak di tengah folikel .
Lumen folikel berisi koloid yang terwarna
merah jambu, lebih muda dari warna sitoplasma
epiteliumnya. Warna merah jambu ini terjadi
karena di dalamnya mengandung globulin
(McManus, 1960). Di bagian tepi lumen ini
kadang-kadang ditemukan bulatan-bulatan bening
yang menurut Turner & Bagnara (1976) &
Junquiera (1998), merupakan vesikula-vesikula
yang terbentuk karena adanya aktivitas endositosis
tiroglobulin yang teriodinasi, ke dalam sel
epitelium folikel.
Pada kelompok kontrol dan plasebo, lumen
folikel tampak lebih besar, penuh berisi koloid,
vesikula endositosis tampak pada koloid bagian
tepi dalam jumlah sedikit. Epitelium berbentuk
pipih dan kuboid pendek (Gambar 1a dan 2b). Pada
kelompok perlakuan C (Gambar 1c), dapat dilihat
bahwa sel-sel epitelium berbentuk kuboid,
beberapa tempat pada koloid tampak adanya
vesikula-vesikula kecil karena adanya endositosis
koloid ke dalam epitelium folikel (Gambar 2c).
Dibandingkan dengan kelompok kontrol dan
plasebo, vesikula endositosis yang tampak pada
kelompok perlakuan C lebih banyak, koloid berkurang dengan adanya ruang kosong pada lumen.
Hasil
pengamatan
kuantitatif
dengan
pengukuran tinggi sel epitelium folikel, diperoleh
hasil bahwa semakin banyak kadar tempe lamtoro
gung yang diberikan, semakin meningkat juga
tinggi sel epitelium folikel tiroid. Rerata tinggi sel
epitelium tertinggi terdapat pada kelompok
perlakuan E yaitu sebesar 3,32 ± 0,31 um,
sedangkan terendah terdapat pada kelompok
perlakuan A yaitu 1,87 ± 0,31um (Tabel 1.)
Tabel 1. Tinggi Sel Epitelium Folikel Tiroid setelah
Perlakuan dengan Tempe Lamtoro Gung (TLG)
Kelompok
Perlakuan
Tinggi sel epitel
folikel (µm)
A
Kontrol
1,87 ± 0,31 a
B
Plasebo
2,17 ± 0,35 a
C
0,9 g TLG/ hari
2,47 ± 0,28 a
D
1,8 g TLG/ hari
3,30 ± 0,26 b
E
2,7 g TLG/ hari
3,32 ± 0,31 b
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang
berbeda, menunjukkan perbedaan nyata pada taraf uji
5%.
Hasil analisis varian menunjukkan ada
perbedaan yang signifikan di antara perlakuanperlakuan tersebut dan hasil uji lanjut dengan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) menunjukkan
perbedaan yang signifikan tersebut terdapat antara
kelompok perlakuan A, B dan C dengan kelompok
perlakuan D dan E.
Tinggi epitelium folikel, timbulnya vesikulavesikula endositosis dan afinitas terhadap zat
warna, menurut Junquiera (1997), merupakan
faktor-faktor yang berhubungan dengan aktivitas
kelenjar tiroid. Pada folikel yang tidak aktif, sel-sel
epitelium akan menjadi pipih karena mendapat
tekanan dari koloid yang memenuhi lumen. Koloid
yang memenuhi lumen ini akibat tidak terjadi
aktivitas endositosis tiroglobulin yang sudah
teriodinasi oleh sel-sel epitelium. Hal ini
mengakibatkan kadar hormon tiroid dalam darah
berkurang. Rendahnya kadar hormon tiroid dalam
darah akan merangsang sekresi TSH dari hipofisis.
TSH akan memacu kemampuan sekresi hormon
tiroid walaupun kelenjar tiroid belum mampu
melakukan sisntesis hormon (Turner & Bagnara,
1976). Bertambahnya tinggi sel epitelium dan
berkurangnya diameter lumen folikel ini
menunjukkan ada peningkatan ekskresi hormon
tiroid, sehingga timbunan koloid dalam lumen
berkurang. Berkurangnya volume koloid ini
berakibat mengecilnya diameter lumen dengan
demikian epitelium menjadi lebih tinggi.
Peningkatan sekresi hormon dari kelenjar ini
dipengaruhi oleh fungsi TSH dari hipofisis, karena
terjadi hambatan dalam sintesis hormon, sehingga
kadar hormon di dalam darah berkurang. Kondisi
ini akan merangsang TSH untuk memacu sekresi
hormon dengan meningkatkan endositosis koloid,
walaupun kelenjar tiroid belum mampu melakukan
sintesis hormon (Turner & Bagnara, 1976).
Peningkatan endositosis ini dapat dilihat pada
gambar 1d dan 1d, pada gambar tampak adanya
vesikula endositosis di sepanjang tepi koloid dalam
jumlah yang banyak. Beberapa lumen folikel
tampak kosong karena koloid sudah disekresikan.
LISTYAWATI dkk. – Histologi Kelenjar Tiroid Rattus norvegicus
17
Gambar 1. Lima gambaran penampang kelenjar tiroid tikus putih, pewarnaan H-E; ef: epitelium folikel; L: lumen;
ve: vesikula endositosis.
Hambatan sintesis hormon tiroid dapat
disebabkan beberapa faktor, diantaranya adalah
adanya senyawa anti-tiroid. Tempe lamtoro gung
yang digunakan sebagai perlakuan masih
mengandung zat anti-tiroid yaitu mimosin sebesar
210 mg/ 100 g TLG. Menurut Turner & Bagnara
(1976), struktur kimia dari mimosin yang
mengandung cincin amino benzena dan mirip
dengan tirosin dapat menghambat secara kompetitif
masuknya tirosin ke dalam sel epitelium folikel,
selain itu mimosin juga menghambat dalam proses
iodinasi tiroglobulin.
Penghambatan sintesis hormon tiroid ini
menyebabkan berkurangnya kadar hormon yang
beredar dalam darah, sehingga akan merangsang
sekresi TSH dari hipofisis, yang salah satu
fungsinya merangsang sekresi hormon tiroid
dengan
meningkatkan
endositosis
koloid.
Peningkatan
endositosis
ini
menyebabkan
berkurangnya koloid dan tekanan terhadap
epitelium berkurang, hal ini yang menyebabkan
bertambah tinggi epitelium.
18
BioSMART Vol. 3, No. 1, April 2001, hal. 13-18
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat
disimpulkan bahwa semakin banyak tempe lamtoro
gung yang dikonsumsi menimbulkan perubahan
histologis berupa peningkatan tinggi sel epitelium
dan kenampakan vesikula endositosis, serta
berkurangnya diameter lumen dan jumlah koloid.
Dari hasil penelitian ini, disarankan untuk tidak
mengkonsumsi tempe lamtoro gung secara
berlebihan karena dapat mengganggu fungsi
kelenjar tiroid dan perlu dipertimbangkan kembali
adanya anjuran untuk mengkonsumsi tempe
lamtoro gung sebagai sumber protein alternatif.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Proyek DUE UNS atas
bantuan dana penelitian dan teman-teman di minat
studi Fisiologi Hewan atas saran-sarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Almashuri, H. Yuniati dan
D.S. Slamet. 1990.
Kandungan Asam Fitat dan Tanin dalam Kacangkacangan yang dibuat Tempe. Penelitian Gizi dan
Makanan 13: 65-72
Almashuri, H. Yuniati dan D.S. Slamet. 1991 Pengaruh
Penempean terhadap Penyerapan Besi dari Kacangkacangan. Penelitian Gizi dan Makanan 15: 135138.
Astuty, M., R. Indrati dan Y. Atmajaya. 1989. Tempe
Lamtoro (Leucaena leucocephala) Pengaruhnya
terhadap Absorpsi Zat besi pada Tikus. Agritech 8
(1): 2-17.
Brook, C. & N. Marshall. 1996. Essential
Endocrinology. Third edition. Oxford: Blackwell
Science Ltd.
Christian, J.L. & J.l. Geger. 1978. Nutrition for Living.
New York: The Benjamin/Cummings Publishing
Company Inc.
Church, D.C. & W.G. Pond. 1988. Basic Animal
Nutrition and Feeding. New York: John Wiley &
Sons (SEA) Pre, Ltd.
Dai, Y.M., GJK. Bo, Wiswanatha, & S,L. Rhode. 1984.
Mimosine Inhibits Viral DNA Synthesis Through
Ribonucleotida Reductase. Virology 205: 210-216.
Fradson, R.D., 1986. Anatomy and Physiology of Farms
Animals. 4th edition. Lea & Febiger. Philadelphia.
Pennsylvania. USA. p. 187.
Hadley, M.P. 1992. Endocrinology. Third edition.
Prentice Hall, New Jersey: Englewood Cliffs..
Hartono. 1986. Menilai Daya Cerna Protein Tempe
Lamtoro Gung Secara In Vitro. Tesis Pasca Sarjana.
Yogyakarta: FTP UGM..
Henneman G. & Rotterdam. 1985. Etiology of Sporadic
Goitre dalam Naskah Lengkap Temu Ahli dan
Simposium Tiroid II. Fak. Kedokteran UNDIP- R. S.
Karyadi Semarang.
Junqueira, L.C., J. Carneiro, & R.O. Kelley. 1998.
Histology Dasar,diterjemahkan oleh TambaIong,
Jakarta: Penerbit EGC.
Kasmidjo, R.B. 1990. Tempe, Mikrobiologi dan
Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya.
Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Komari. 1993. Composition of Leucaena Tempe,
ASEAN Food Journal 8 (4): 157-158.
Komari. 1994. Detoksifikasi Biji Lamtoro Gung. Hayati
1(2): 47-50.
Komari dan
R. R. Septimurni. 1996. Analisis
Ketersediaan Biologis Zat Besi Kaitannya dengan
Kandungan Asam Fitat dan Tanin pada Lima Jenis
Kacang-kacangan. Hayati 3 (2): 43 –46.
Marshall, P.T. & G..M. Hughes. 1980. Physiology of
Mammals and Other Vertebrates. 2nd edition.
Cambridge University Press. Cambridge. p. 76-80.
McDonald, L.G. 1980. Veterinary Endocrinology and
Reproduction. 3rd ed. Philadelphia: Lea & Febiger.
Mc Manus, J.F.A. & R.W. Mowry., 1960. Staining
Methods Histologic and Histochemical. New York:
Paul B. Hoeber Inc. Medical Division of Harper and
Brother.
Mursyidi, A., Haryadi, C. Anwar, 1990. Analisis Bahan
Tambahan, Ikutan dan Cemaran dalam Pangan.
Yogyakarta: PAU Pangan dan Gizi UGM.
Slamet, D.S. 1982. Lamtoro Gung (Leucaena
leucocephala) sebagai Bahan Sumber Gizi untuk
Manusia. Proseding Seminar Nasional Lamtoro I.
Jakarta.
Sudarmadji, S., B. Hariono dan
Suhardi. 1981.
Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Sokal, R.R. dan
F.J. Rohlf. 1996. Pengantar
Biostatistika. Edisi ke-2 diterjemahkan oleh
Nasrullah. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Tangendjaya, B. 1985. Pengaruh Perlakuan Air Hangat
terhadap Toksisitas Daun Lamtoro pada Itik.
Proseding Seminar Penelitian Peternakan Forum
peternak dan Aneka Unggas Puslitbang Peternakan
Bogor. Hal: 92 – 96.
Turner, C.D. & J.T. Bagnara, 1976. General
Endocrinology. 2nd edition. London: WB. Saunders
and Co.
Williams, H., 1983. Textbook of Endocrinology. 6th ed.
Philadelpia: Saunder Company.
Winarno, F.G. 1985. Tempe Peningkatan Mutu dan
Statusnya di Masyarakat. Simposium Pemanfaatan
Tempe dalam Peningkatan Upaya Kesehatan dan
Gizi, Jakarta 15 – 16 April 1985.
Download