Tidak berjudul - e-Journal UIN Alauddin Makassar

advertisement
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
POLEMIK ALIRAN ISLAM KLASIK TENTANG IMAN, KUFUR,
AKAL DAN WAHYU
Ahmadi Husain
STIT Syamsul Maarif, Bontang
Bontang, Samarinda Kalimantan Timur
Email: [email protected]
Abstract;
This article discusses the polemic streams in the classical Islamic concept of
faith, kufr, reason and revelation. The authors conclude that flow Khawarij said
that people who receive tahkim are infidels, while the most extreme flow said
anyone who did not emigrate into place, then he infidels and must be killed.
While Flow Murji'ah said that people who receive tahkim not a pagan, but a
believer, because he justified God in his heart and diiqrarkan with oral. Another
with the flow Mu'tazilah, they say people who commit major sins is not a
believer nor infidel, but fasiq. Flow Asha'ira said that anyone who sins is a big
believer fasiq, and punishment in the hereafter, it is up to the will of God. Flow
Maturidiyyah say that the great sin, not eternal hell. While the problem of
reason and revelation, the authors came to the conclusion that the flow
Mu'tazila give a great sense role rather than revelation. While Flow Asha'ira
provide reasonable role that small and more emphasis on revelation.
Maturidiyyah flow Samarkand say that knowing Allah, the obligation to know
God, and knowing good and bad, all of which can be known by reason. While
revelation can only know the obligation to do good and bad. Maturidiyyah flow
Bukhara argued that reason and revelation gets the same portion. Intellect can
know God and knows to do good and bad. While revelation can know the
obligation to know God and the obligation to do good and bad.
Keywords;
Faith – Kufr – Reason - Revelation
Abstrak;
Artikel ini membahas polemik aliran-aliran klasik dalam Islam tentang konsep
iman, kufur, akal dan wahyu. Penulis menyimpulkan bahwa aliran Khawarij
mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim adalah kafir, sedangkan aliran
yang paling ekstrem mengatakan barang siapa yang tidak berhijrah ke
tempatnya, maka ia kafir dan wajib di bunuh. Sementara Aliran Murji’ah
mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim bukanlah kafir, tetapi
mukmin, karena ia membenarkan Allah dalam hatinya dan diiqrarkan dengan
lisan. Lain lagi dengan Aliran Mu’tazilah, mereka mengatakan orang yang
berbuat dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin, tetapi fasiq. Aliran
Asy’ariyyah mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasiq, dan hukumannya di akhirat kelak, terserah kepada
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
37
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
kehendak Allah. Aliran Maturidiyyah mengatakan bahwa orang berbuat dosa
besar, tidaklah kekal dalam neraka. Sementara persoalan akal dan wahyu,
penulis sampai pada kesimpulan bahwa aliran Mu’tazilah memberikan
peranan akal yang besar daripada wahyu. Sementara Aliran Asy’ariyyah
memberikan peranan akal yang kecil dan lebih menitik-beratkan pada wahyu.
Aliran Maturidiyyah Samarkand mengatakan bahwa mengetahui Allah,
kewajiban mengetahui Allah, dan mengetahui baik dan buruk, kesemuanya ini
dapat diketahui oleh akal. Sedangkan wahyu hanya dapat mengetahui
kewajiban berbuat baik dan buruk. Aliran Maturidiyyah Bukhara berpendapat
bahwasanya akal dan wahyu mendapat porsi yang sama. Akal dapat
mengetahui Allah dan mengetahui berbuat baik dan buruk. Sedangkan wahyu
dapat mengetahui kewajiban mengetahui Allah dan kewajiban berbuat baik
dan buruk.
Kata Kunci;
Iman – Kafir – Akal - Wahyu
I. PENDAHULUAN
unculnya aliran-aliran teologi dalam Islam tidaklah dapat dilepaskan
dari pertikaian politik. Ini dapat kita lacak ketika terbunuhnya
Khalifah Usman bin Affan r. a., banyak kalangan yang tidak
menerima kematian beliau. Olehnya itu, kebanyakan para sahabat menuntut
kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib untuk segera menghukum pelaku
pembunuhan Usman bin Affan. Puncaknya, terjadinya perang Jamal (tahun 35
H/656 M) antara pasukan Ali dengan pasukan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair,
kemudian di susul dengan perang Shiffin (tahun 36 H/657 M) antara pihak Ali
dan Muawiyah1. Dari peristiwa inilah, maka mulai munculnya kelompok
Khawarij yang tidak sepakat dengan arbitrase tersebut. Kelompok ini
mengatakan bahwa tidak beriman orang yang menerima keputusan arbitrase,
karena siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah di
turunkan Allah adalah kafir. Dari pernyataan kelompok Khawarij inilah,
menimbulkan reaksi dari berbagai kelompok yang tidak setuju dengan
pendapat tersebut, seperti Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah
Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara.
Saling kafir-mengkafirkan pun menjadi sebuah realitas yang tak dapat di
sangkal pada masa ini, bahkan banyak nyawa kaum muslimin melayang dalam
mempertahankan konsep dan pendirian tersebut. Di dalam sejarah tercatat
kaum Khawarij melakukan tindak kekerasan kepada siapapun yang tidak
bersama mereka, baik dalam konsep dan tindakannya. Secara akal manusiawi,
tindakan yang dilakukan oleh kelompok Islam terhadap sesama muslim adalah
hal yang di luar batas. Yang berlalu, biarlah berlalu. Kita tidak bisa
menyalahkan, mana kelompok yang benar dan mana yang salah. Yang penting
bagi kita sekalian adalah bagaimana kita dapat memahami sejarah masa lalu,
M
38
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
agar dikemudian hari tidak lagi terjadi kafir-mengkafirkan, menghakimi
kelompok lain dengan istilah “murtad” dan lain sebagainya. Begitu pula
dengan pemakaian akal dan wahyu dalam pemahaman ke-Islam, banyak
ummat Islam yang menerima dan menolak tentang pentingnya peranan akal
dan wahyu. Perdebatan antara akal dan naqal dalam tradisi Islam berlangsung
hingga kini yang mewujud pada perdebatan tentang tradisionalisme (alashâlah) dan modernitas (al-hadatsah, al-mu'asharah). Perdebatan ini lalu
mengerucut pada fundamentalisme dan liberalisme dalam Islam. Yang pertama
mewarisi tradisi naqal, yang kedua tradisi penalaran. Hemat penulis,
perdebatan dan perbedaan dalam Islam adalah hal yang sangat lumrah.
Semuanya punya pendapat yang relatif di mata Tuhan, karena sama-sama
berpangkal pada interpretasi, pemahaman terhadap agamanya. Keduanya
sama-sama ingin menjadi yang "terbaik". Di sinilah, kedewasaan masingmasing kubu diuji. Tradisi carut marut politik yang membawa-bawa suatu
paham pemikiran untuk mendukung status quo politik tertentu harus kita
hindari, lucuti. Sebab, intervensi negara atas pemahaman keagamaan justru
berpotensi memecah umat dan memburamkan Islam yang rahmatan lil 'alamin.
Gagasan atau pemikiran adalah refleksi terhadap pemahaman terhadap
Al-Qur’an, hadist, fenomena alam, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang
dikeluarkan oleh seorang intelektual. Olehnya itu, adalah memang benar,
jikalau gagasan atau pemikiran akan terus ada dan eksis, walaupun aliran dan
tokoh pencetusnya telah tiada atau terpinggirkan ke jurang kemanusiaan yang
paling jauh. Begitu juga halnya dengan gagasan yang dicetuskan oleh aliran
Khawarij, Syi’ah, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah Samarkand
dan Maturidiyyah Bukhara, akan terus ada dan langgeng sepanjang dunia ini
masih berputar dan manusia menjalani hidup dan kehidupan ini.
Sederhananya, gagasan atau pemikiran tak lekang diterpa terik matahari dan
tak luntur dibasahi air hujan, ia akan terus muncul selama ia diperbincangkan
atau diperdebatkan.
Menulis atau membaca ulang sejarah pemikiran Islam serta terusmenerus melakukan pengkajian terhadapnya adalah sebuah keniscayaan yang
harus ditempuh, agar di kemudian hari dapat memberi pelajaran dan hikmah
dalam menyongsong hidup yang aman, makmur, damai dan tentram,
sebagaimana cita-cita agama Islam, yakni menciptakan masyarakat yang adil,
tentram, sejahtera dan makmur. Meminjam bahasa Wahid Hasyim, kita harus
memahami masa lalu, melihat masa kini untuk merancang masa depan.
Artikel ini akan mengurai bagaimana polemik pemikiran kaum
Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan
Maturidiyyah Bukhara tentang konsep iman dan kufur serta akal dan wahyu.
II. PEMBAHASAN
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
39
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
A. Iman dan Kufur dalam Teologi Islam
Persoalan iman dan kufur adalah persoalan esensial bagi seorang
muslim, karena berkaitan dengan pertanggungjawabannya di akhirat kelak.
Olehnya itu, perdebatan siapa yang mukmin dan siapa pula yang kafir serta
apa yang menjadi parameternya menjadi inti dari permasalahan ini.
Mempertahankan identitas diri adalah sesuatu yang harus, mereka tidak mau
di cap kafir hanya gara-gara sesuatu hal, dan tak segan-segan pula mencari
dalil-dalil untuk menguatkan bahwasanya mereka tidak kafir, tetapi mukmin.
1. Aliran Khawarij
Aliran ini lahir akibat dari ketidaksetujuan atas tahkim yang dilakukan oleh
Ali terhadap penyelesaian persengketaan khalifah dengan Muawiyah Ibn Abi
Sufyan, sehingga mereka memisahkan diri dari kelompok Ali dan menganggap
orang-orang yang terlibat dari peristiwa tersebut adalah orang-orang yang
memutuskan perkara tidak dengan hukum Allah. Olehnya itu, mereka
termasuk orang-orang yang berbuat salah dan berdosa besar. Maka kaum
Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-‘Ash, Abu Musa alAsy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir2, ini sesuai dengan
firman Allah Swt dalam Surah al-Ma’idah ayat 44:



     



  
  
    
    



     
    
  
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara
orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang
alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara
Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu
takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”3.
Dengan ayat inilah, mereka mengambil simbol la hukma illa lillah, maka
orang-orang yang tidak mengambil hukum dari Allah Swt, termasuk orang
yang berdosa besar dan kafir. Atas peristiwa arbitrase inilah, aliran Khawarij
mulai memunculkan persoalan teologi yakni berkaitan dengan pelaku dosa
besar dan stigma yang diperolehnya.
40
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
Dalam perkembangan selanjutnya, Aliran Khawarij ini menggiring
persoalan ke arah konsep kufr, yakni berusaha menentukan dengan pasti
siapakah orang-orang kafir itu? Dan siapa pulalah mereka yang termasuk
masyarakat muslim ideal?4. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut
pemikiran teologi Khawarij dalam perkembangan selanjutnya. Di dalam aliran
Khawarij berkembang beberapa sekte dengan pelbagai corak pemikirannya
tersendiri. Diantaranya, sekte Muhakkimah berpendapat bahwa siapapun yang
melakukan dosa atau ketidaktaatan terhadap perintah Allah, harus dikecam
sebagai orang yang sungguh-sungguh kafir. Sedangkan sekte Azariqah5
berpendapat bahwa orang-orang yang berdosa besar, bukanlah kafir tetapi
musyrik-politeis. Sedangkan sekte Najdiyyah6 berpendapat bahwa orang
berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang
Islam yang tak sefaham dengan golongannya, sedangkan pengikutnya jika
mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam
neraka kemudian akan masuk surga.
Di dalam sejarah Islam, golongan Khawarij adalah golongan yang kuat
ibadahnya, akan tetapi dalam perbedaan pendapat, sangat berbanding terbalik.
Berikut ini adalah suatu kisah yang ditulis Imam Muhammad Abu Zahrah
dalam bukunya yang berjudul “Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah” yang dikutip
dari kitab al-kamil karya al-Mubarrad tentang kontroversialnya sikap kaum
Khawarij. Di antara perangai mereka yang sangat kontroversial ialah mereka
menangkap seorang Muslim dan seorang Nasrani. Orang Muslim mereka
bunuh, sedangkan orang Nasrani mereka nasihati secara baik, dengan
mengatakan: “Peliharalah janji nabi kamu”. Mereka kemudian bertemu dengan
‘Abdullah ibn Khabbab yang sedang membawa al-Qur’an bersama istrinya
yang sedang hamil. Mereka bertanya kepada ‘Abdullah: “Yang sedang engkau
bawa itu memerintahkan kami untuk membunuhmu”. Kemudian
pertanyaannya dilanjutkan: “Apa pendapatmu tentang Abu Bakar dan
‘Umar?”, Abdullah memuji keduanya. Mereka bertanya lagi: “Bagaimana
pendapatmu tentang ‘Ali sebelum peristiwa tahkim dan tentang ‘Utsman
selama 6 tahun pertama masa pemerintahannya?”, Ia juga memuji keduanya.
Mereka terus bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang tahkim itu?. Abdullah
menjawab: “Menurut pendapat saya ‘Ali lebih paham tentang al-Qur’an, lebih
bertakwa, dan lebih jauh pandangannya di banding kamu”. Kemudian mereka
berkata: “Engkau tidak perlu mengikuti orang atas dasar nama-nama mereka”.
Selanjutnya mereka membawa ‘Abdullah ibn Khabbab ke tepi sungai, lalu
menyembelihnya. Dalam peristiwa lain, mereka menawar kurma seorang pria
Nasrani. Karena merasa takut, pria Nasrani ini berkata: “Ambillah untuk
kamu”. Namun, mereka berkata: “Demi Allah, kami tidak akan mengambilnya
kecuali jika kami bayar”. Pria Nasrani itu berkomentar: “Alangkah anehnya,
mengapa kalian membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabbab, tetapi kamu
tidak mau menerima kurma dari kami tanpa membayar?”
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
41
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
2. Aliran Murji’ah
‫ستكؤن فتن القاعد فيها خير من الماشي و الماشي فيها خير من ا لساعي االفا ذا نزلت او وقت فمن كان له‬
‫ يارسول هللا من لم‬:‫ابل فليلحق بابله ومن كان له غنم فليلحق بنغنمه ومن كان له ارض فليلحق بارضه – فقال رجل‬
‫ يعمد الى سيفه فيدق علي حده بحجر ثم لينج ان اسطاع‬:‫ قال عليه الصالة والسالم‬- ‫تكن له ابل والغنم والارض؟‬
‫النجاة‬
(Nanti akan timbul berbagai fitnah, dimana orang yang duduk lebih baik daripada
yang berjalan; yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Jika peristiwa itu tiba,
maka orang yang memiliki unta hendaklah memegang untanya; yang memiliki kambing
hendaklah memegang kambingnya, dan yang memiliki tanah hendaklah bertahan di
tanahnya. Seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana orang yang tidak
memiliki unta, kambing, ataupun tanah?” Jawab Nabi, “Hendaklah ia mengambil
pedangnya dan meletakkannya ke batu, kemudian hendaklah ia menyelamatkan diri,
jika mampu untuk itu)7
Dengan dalil inilah, kaum Murji’ah mengambil sikap tidak mau
menetapkan hukum kelompok mana yang paling benar di antara dua
kelompok yang saling bertikai. Karena tidak mempunyai sikap dalam
pertikaian politik tersebut, maka di dalam sejarah Islam diberi predikat sebagai
aliran teologi yang menjadi pendukung dari khalifah Umayyah ibn Abi
Sufyan8. Sebagai pendukung dinasti yang berkuasa, maka tidaklah heran
jikalau pelbagai corak pemikirannya “meng-counter” pemikiran Khawarij dan
Syi’ah yang getol mengkritisi dan “mengguncang” tampuk kekuasaan Khalifah
Umayyah. Ini dapat kita lihat, bagaimana corak pemikiran Murji’ah yang lebih
berorientasi kepada konsep iman. Aliran ini mengatakan bahwa seorang
mukmin (pemimpin) tidaklah kafir, selama ia masih membenarkan eksistensi
Allah Swt, di dalam hatinya. Mereka sepakat bahwasanya iman adalah
mengetahui Allah dan membenarkan-Nya tanpa melalui perbuatan. Secara
eksplisit, kita dapat mengatakan bahwa khalifah Muawiyah bukanlah pelaku
dosa besar dan kafir, akan tetapi termasuk seorang mukmin dan wilayah
kekuasaannya berada dalam dar al-iman
Terlepas dari wacana di atas, Murji’ah tidak menjadikan perbuatan
sebagai tolak ukur iman. Mereka berpendapat bahwa Iman adalah tasdhiq
keberadaan Allah Swt, di dalam hati sedangkan kufur adalah mendustakan
keberadaannya9, soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah Swt,
untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Menurut aliran ini, iman dan
kufur adalah urusan di dalam hati, tidak nampak dalam perbuatan kehidupan
sehari-hari. Apabila seseorang telah percaya dan yakin akan adanya Allah Swt,
maka orang itu telah dinyatakan beriman, walaupun tindak dan perilakunya
tidak mencermin seseorang itu beriman. Bagi orang Islam yang melakukan
dosa besar bukanlah kafir tetapi mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka.
42
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
Dalam perkembangannya, Aliran Murji’ah terbagi dua, yakni Murji’ah
ekstrim dan Murji’ah moderat. Aliran Murji’ah ekstrem, seperti al-Jahmiah
berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Allah dan kemudian
menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan
kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan bagian dari tubuh manusia 10. AlSalihiah berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Allah dan kufr adalah
tidak tahu pada Allah. Olehnya itu, Shalat, zakat, puasa, dan haji bukanlah
ibadah kepada Allah melainkan hanya kepada Allah.
Di sisi lain, aliran Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman adalah
pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran Rasulrasul Allah serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan
dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang
yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di
tangan Allah. Ada kemungkinan Allah akan mengampuni dosa-dosanya, tetapi
ada pula kemungkinan Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya dan akan
menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia
dimasukkan ke dalam surga, karena ia tak mungkin akan kekal tinggal dalam
neraka. Pendapat ini diakui sendiri oleh al-Bazdawi dengan mengatakan:
“Kaum Murji’ah pada umumnya sependapat dengan ahli sunnah wal jama’ah”
3. Aliran Mu’tazilah
Aliran ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru
pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah, khususnya pada masa Khalifah alMa’mun, menghebohkan pemikiran Islam. Tetapi pada umumnya, ulama
berpendapat bahwa tokoh Washil ibn ‘Atha’ (lahir di Madinah, 81 H dan wafat
pada tahun 131 H) sebagai pencetus aliran ini. Beliau menolak pendapat
Khawarij yang menetapkan hukum terhadap pelaku dosa besar sebagai kafir,
dan tidak sepakat dengan pendapat Murji’ah yang menyatakan orang tersebut
sebagai mukmin, dan juga keluar dari majelis gurunya Hasan al-Basri11 yang
menyatakan bahwa pelaku dosa besar sebagai orang munafik. Ia pun
mengambil tempat dan mengeluarkan pendapat bahwasanya pelaku dosar itu
adalah fasiq (Manzilah bain al-Manzilatain). Washil ibn ‘Atha’ berpendapat
bahwa kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat
diberikan kepada fasiq (orang mukmin, tetapi sudah jauh dalam agama),
dengan dosa besarnya. Begitu pula dengan predikat kafir tidaklah dapat
disandangkan kepadanya, karena ia masih mengucapkan syahadat dan
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik12. Orang serupa ini, kalau meninggal
dunia tanpa taubat, akan kekal dalam neraka, hanya saja siksaannya lebih
ringan dari siksaan yang diterima orang kafir.
4. Aliran Asy’ariah
Peletak dasar aliran ini adalah Abu Hasan al-Asy’ari (Lahir di Basrah,
260 H/873 M, dan wafat di Bagdad, 324 H/935 M), setelah melakukan diskusi
dengan gurunya dari kalangan Mu’tazilah, Abu ‘Ali al-Jubba’I yang berkaitan
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
43
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
dengan kewajiban berbuat terbaik bagi Allah. Setelah melakukan diskusi
dengan gurunya, ia pun berdiam di rumahnya dan mencoba membandingkan
dalil-dalil kedua kelompok tersebut. Dan akhirnya, imam al-Asy’ari keluar
menemui masyarakat dan naik ke mimbar pada hari Jum’at di Masjid Jami’
Bashrah dan beliau pun berkata:
“Barangsiapa yang telah mengenalku, maka sebenarnya ia memang
telah mengenalku, dan barangsiapa yang belum mengenalku, maka kini
saya memperkenalkan diri. Saya adalah Fulan ibn Fulan. Saya pernah
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah tidak terlihat
oleh Indera penglihatan kelak pada hari kiamat, dan bahwa perbuatanperbuatan saya tidak baik, maka saya sendirilah yang melakukannya. Kini
saya bertaubat dari pendapat seperti itu serta siap untuk menolak
pendapat Mu’tazilah dan mengungkap kelemahan mereka (Cetakan tebal
dari pemakalah) Selama ini saya telah menghilang dari hadapanmu karena
saya sedang berpikir. Menurut pendapat saya, dalil-dalil kedua kelompok
itu seimbang. Tidak satupun dalil yang lebih unggul atas dalil yang lain.
Kemudian saya memohon petunjuk kepada Allah maka Allah
memberikan petunjuk kepada saya untuk meyakini apa yang tertera di
dalam kitab saya. Saya akan melepaskan apa yang pernah saya percayai
sebagaimana saya akan menanggalkan baju saya ini”13.
Aliran ini lahir sebagai reaksi cepat melawan Mu’tazilah dan lebih luas
melawan Syi’ah14. Di dalam ajaran-ajarannya Abu Hasan al-Asy’ari banyak
mengikuti jejak Imam Ahmad ibn Hanbal, beliau mengatakan:
“Pendapat dan keyakinan yang kami percayai ialah berpegang
kepada Kitab Allah dan sunnah Nabi serta apa saja yang diriwayatkan
dari para sahabat, tabi’in dan para imam hadits. Kami berpegang kepada
itu semua dan pendapat yang dipedomani oleh Imam Ahmad ibn
Hanbal, serta menjauhi orang-orang yang menentang pendapatnya. Ibn
Hanbal adalah seorang imam yang mulia dan pemimpin yang paripurna
(Cetakan tebal dari pemakalah). Melalui dirinya Allah menerangkan
kebenaran di saat kesesatan sedang merajalela, menunjukkan jalan-Nya,
memalingkan para pembuat bid’ah, serta memalingkan kesesatan orangorang yang sesat dan keraguan orang-orang skeptis. Semoga Allah
memberikan rahmat kepadanya sebagai seorang imam yang terkemuka
dan tokoh yang arif serta kepada seluruh pemimpin kaum muslimin”15
Dari kutipan ini, kita dapat melihat bahwasanya posisi Imam al-Asy’ari
mengikuti jejak tradisi yang dikembangkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan
kembali menghidupkan metode berpikirnya. Tetapi KH. Said Aqil Sirajd
44
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
mengatakan bahwa lahirnya aliran ini sebagai jalan tengah antara pemikiran
Mu’tazilah yang sangat liberal dan paham ahlul hadits yang terlalu tekstual16.
Adapun pendapat Imam al-Asy’ari berkaitan dengan iman dan kufur
adalah bahwa orang Mukmin yang mengesakan Allah tetapi ia fasik, maka
pahala atau siksanya tergantung kepada kehendak Allah. Jika Allah
menghendaki, maka ia diampuni dan dimasukkan ke dalam surga; dan jika
Allah menghendaki, maka ia disiksa karena kefasikannya, kemudian
dimasukkan ke dalam neraka. Dan Rasulullah Saw, mempunyai syafa’at yang
dikabulkan oleh Allah berkaitan dengan orang-orang Mukmin yang mendapat
siksaan. Rasulullah Saw, akan memberikan syafa’at kepada mereka atas
perintah dan izin Allah. Beliau tidak akan memberikannya kecuali kepada
orang-orang yang diridhai-Nya sebagaimana para Rasul lainnya.
     
     
     
   
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Turmudzi
sebagai berikut:
‫ال يبقي في النار من كان في قلبه مثقال ذرة من االيمان‬
“Tidak kekal di dalam neraka, orang yang di dalam hatinya ada iman meskipun
seberat dzarrah”
5. Aliran Maturidiah
Peletak dasar aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad ibn
Muhammad ibn Mahmud atau yang biasa kita kenal dengan nama Abu
Manshur al-Maturidi (lahir + 248 H/862 M dan wafat 333 H/944 M). Di dalam
sejarah dicatat bahwa ia banyak menimba ilmu dari ilmu fiqh dari mazhab
Hanafi dan ilmu kalam dari Nashr ibn Yahya al-Balkhi (w. 268 H). Karena
itulah, ulama menetapkan bahwa pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam
bidang ‘aqidah merupakan akar yang menjadi landasan pemikiran alMaturidi17
Adapun persoalan iman dan kufr menurut aliran Maturidiah adalah
Iman itu tashdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. Barangsiapa yang
percaya akan keberadaan Allah Swt, kemudian “kepercayaannya” itu
diikrarkan dengan hati, maka orang tersebut telah dinyatakan sebagai orang
beriman. Walaupun perbuatan dan tindakannya tidak sejalan dengan apa yang
diyakini dan diikrarkannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
45
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
tidak akan kekal di dalam neraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa
bertaubat. Sebagaimana Allah Swt, menjelaskannya di dalam al-Qur’an:













    
“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi
pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak
dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-An’am: 160)
Jikalau Allah mempersamakan pembalasan antara orang Kafir dan orang
Mukmin yang durhaka, maka hal itu sangat bertentangan dengan
kebijaksanaan dan keadilan Allah, karena Mukmin masih mempunyai iman,
dan al-Maturidi mengatakan bahwa iman adalah a’zam al-khair (nilai kebaikan
yang paling agung). Selanjutnya al-Maturidi menambahkan bahwasanya orang
Mukmin yang berdosa ialah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah. Jika
Allah menghendaki, maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan
dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah menghendaki, maka Dia menyiksa
mereka sesuai dengan kadar dosa mereka, namun mereka tidak akan kekal
dalam neraka. Olehnya itu, syafa’at Rasulullah Saw, perlu bagi orang Mukmin
yang berdosa besar. Mereka pantas mendapatkannya, karena di dalam diri
orang Mukmin terdapat iman. Dan karena iman inilah, mereka mendapatkan
pengampunan dari Allah Swt. Allah Swt, berfirman:
     
     
     
   
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS.
Al-Nisa’: 48)
B. Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam
Belumlah dapat diketahui pastinya kapan persoalan akal menjadi
persoalan yang diperdebatkan di antara teolog-teolog Islam. Tetapi, ada salah
satu sumber yang mengatakan bahwa persoalan akal pertama kali muncul
berkaitan dengan konsep perbuatan manusia yang diperdebatkan antara aliran
Jabariyyah dan Qadariyyah. Apakah perbuatan manusia itu dilakukan oleh
manusia sendiri ataukah ada campur tangan Allah dalam masalah tersebut?
Problema ini tak dapatlah dilepaskan dari persoalan politik yang terjadi pada
masa “al-fithah al-kubra”, yang ujung-ujungnya terjadi pengambilalihan
46
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
kekuasaan secara paksa oleh Bani Umayyah dari Hasan Ali ibn Abi Thalib. Dan
untuk melanggengkan kekuasaannya, maka “dicarilah” alat legalitasdoktrinalnya, seperti dalil-dalil yang berkaitan bahwasanya perbuatan dan
tindakan manusia adalah kehendak Allah Swt semata. Oleh karena itu,
manusia hanya menjadi wayang yang digerakkan ke kiri dan ke kanan oleh
sang dalang. Akhirnya, pemahaman ini terus-menerus berkembang dan
menjadi sebuah sikap beragama, walaupan tak sedikit orang menganggapnya
sebagai sebuah aliran, yang biasa kita kenal dengan aliran Jabariyyah, dengan
tokoh sentralnya al-Ja’d Ibn Dirham (w. 160 H)18.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah aliran Qadariyyah yang
pencetusnya Ma’bad al-Juhani (w. 80 H) dan Ghaylan al-Dimasyqi (w. 99 H),
yang mengkritik doktrin legalitas Bani Umayyah dengan mengatakan bahwa
perbuatan dan tindakan manusia, bukanlah kehendak Allah Swt semata, akan
tetapi kehendak manusia sendiri. Olehnya itu, pertanggungjawaban manusia di
akhirat kelak, menjadi penting adanya.
Sebagai penganut Qadariyyah, Hasan al-Bashri mulai menjadikan akal
sebagai sandaran berpikirnya. Dari sinilah kita menemukan Hasan al-Bashri
dan Wasil ibn ‘Atha “duduk” dalam satu pengajian, walaupun akhirnya
berbeda dalam memberikan posisi terhadap pelaku dosa besar. Dengan
statemennya itulah, Hasan al-Bashri memperkenalkan metode pendekatannya
dengan mengajukan argument akal, bagaimana mungkin Allah menyuruh
hamba-Nya beribadah kepada-Nya namun sekaligus memaksanya untuk
melakukan perbuatan kemaksiatan dan pelanggaran? Manusialah yang berbuat
dan dia pula yang mempertanggungjawabkan sendiri amal perbuatannya19.
Dengan metode pendekatannya inilah mulai merambah ke segala penjuru
aspek, seperti Abu Hanifah (w. 150 H) dalam bidang fiqh dan Mu’tazilah dalam
bidang kalam.
1. Mu’tazilah
Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, kaum Mu’tazilah menjadikan akal
sebagai posisi sentral dalam mengetahui Allah, Kewajiban mengetahui Allah,
mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan
kewajiban menjauhi perbuatan jahat, karena terdorong untuk merombak sistem
pemerintahan Bani Umayyah yang penuh dengan nepotisme, kolusi, harta
warisan, dan keturunan. Kaum Mu’tazilah menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai nilai keistemewaan manusia sebanding dengan kehormatan, harta
warisan dan keturunan20. Dengan penghargaan akal dan ilmu pengetahuan,
maka secara tidak langsung mengurangi kebanggaan atas keturunan,
kelompok dan golongan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa
kebanyakan pengikut kaum Mu’tazilah berasal dari budak21 yang tidak pernah
dihargai, bahkan sangat terpinggirkan baik dalam akses sosial, ekonomi
maupun politik pada masa dinasti Umayyah. Seperti “Washil bin ‘Atha’ dan
‘Amr ibn ‘Ubaid, pendiri mazhab yang terkenal dengan ketakwaan dan
kesalehannya, berasal dari budak. Abu al-Hudzail al-‘Allaf dan Syaikh
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
47
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Mu’tazilah dari Basrah, berasal dari budak. ‘Abd al-Qais, Ibrahim Ibn Sayyar alNizhzam juga budak keluarga Ziyad. Tsumamah ibn Asyras, Syaikh Mu’tazilah
dari Basrah, budak Bani Namir, dan al-Jahizh, seorang alim Mu’tazilah yang
terkenal mempunyai perdaban dan eksiklopedi, juga budak dari Basrah.”
Terlepas dari wacana di atas, Mu’tazilah memberikan proporsi lebih
terhadap akal dibandingkan wahyu dalam pemahaman ke-Islaman, khususnya
dalam masalah ‘aqidah, seperti akal dapat mengetahui Allah, Kewajiban
mengetahui Allah, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan
perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Abu Huzail al-Allaf
menegaskan bahwa seseorang telah wajib mengetahui Allah, sebelum turunnya
wahyu dan jika ia tidak berterima kasih kepada Allah, orang yang demikian
akan mendapatkan hukuman. Begitu pula dengan perbuatan baik wajib
dikerjakan dan perbuatan buruk, wajib dihindari.
Tetapi, kelompok ini tidaklah menafikan wahyu, mereka berpendapat
bahwa tidak semua hal dapat diketahui oleh akal. Kelompok ini, menjadikan
wahyu sebagai alat konfirmasi dan informasi, yakni alat pembuktian dan
pembenaran bahwasanya apa yang diketahui oleh akal adalah benar adanya,
dan juga menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Olehnya itu,
kelompok ini membagi ‫( قبائح عقلية‬perbuatan-perbuatan baik menurut akal) dan
‫(مناكير عقلية‬perbuatan-perbuatan buruk menurut akal) dan ‫( قبائح شرعية‬perbuatanperbuatan baik menurut syar’iyyah) dan ‫( مناكيرشرعية‬perbuatan-perbuatan
buruk menurut syar’iyyah). Dan juga mereka membedakan antara ‫واجبات عقلية‬
(kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh akal) dan ‫( واجبات شرعية‬kewajibankewajiban yang ditentukan oleh syar’iyyah). Dan juga ‫( تكليف عقلي‬pembebanan
secara akal) dan ‫( تكليف سمعي‬pembenanan secara wahyu). Qadi Abdul Jabbar,
seorang tokoh Mu’tazilah menjelaskan lebih jauh bahwa, jika berkaitan dengan
persoalan halal dan haram, maka akal harus tunduk pada naqal, wahyu; jika di
luar halal dan haram, akal wajib didahulukan daripada wahyu. Sebab dalam
kasus ini, teks mempunyai keterbatasan, sedang akal sebagai anugerah Allah
dapat menyelesaikan kasus inderawi serumit apapun. Inilah tempat di mana
silogisme, penalaran, dan otoritas akal beraksi
2. Asy’ariyyah
Aliran Asy’ariyyah menyanggah pendapat Mu’tazilah tersebut.
Asy’ariyyah berpendapat bahwa hanya wahyulah segala kewajiban manusia
dapat diketahui, bukan dengan akal. Menurut aliran ini, akal manusia hanya
mampu mengetahui Allah, sedangkan kewajiban terhadap Allah, mengetahui
baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban
menjauhi perbuatan jahat, diperoleh hanya melalui wahyu.
Tentang pemikiran Al-Asy’ari mengenai kedudukan akal dan wahyu, alBagdadi menjelaskannya bahwa akal dapat mengetahui Allah, tetapi tidak
dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Allah, karena segala
kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Olehnya itu, seseorang tidak
wajib menjalankan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan, sebelum
48
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
datang wahyu kepadanya. Jikalau seseorang dapat mengetahui Allah, sifatsifat-Nya dan kemudian percaya-Nya, sebelum datangnya wahyu, maka orang
demikian adalah mukmin, tetapi tidak berhak untuk mendapatkan upah dari Allah,
jikalau orang itu dimasukkan dalam surga, maka itu adalah atas kemurahan
hati Allah. Dan sebaliknya, jikalau orang itu tidak percaya pada Allah, ia
adalah kafir dan ateis tetapi tidak mesti mendapat hukuman, kalau sekiranya
Allah memasukkannya ke dalam neraka untuk selama-lamanya, maka itu tidak
merupakan hukuman22.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, al-Ghazali (451-505 H) sebagai
murid dan pelanjut teologi Asy’ariyyah membuat pembagian tentang obyek
pengetahuan terbagi tiga, yakni ada sesuatu yang dapat diketahui dengan akal
saja, ada sesuatu yang diketahui dengan wahyu saja, dan ada pula sesuatu
yang diketahui dengan akal dan wahyu. Lanjutnya, beliau pun memberikan
gambaran yang indah tentang kedudukan akal dan wahyu, dalam kitabnya, alIqtishad fi l-I’tiqad,: “Perumpamaan akal adalah laksana penglihatan yang sehat
dan tidak cacat. Sedangkan perumpamaan Al-Qur’an adalah seperti matahari
yang cahayanya tersebar merata, hingga memberi kemudahan bagi para
pencari petunjuk. Amatlah bodoh jika seseorang mengabaikan salah satunya.
Orang yang menolak akal dan merasa cukup dengan petunjuk Al-Qur’an,
seperti orang yang mencari cahaya matahari tapi memejamkan matanya. Maka
orang ini tidak ada bedanya dengan orang buta. Akal bersama wahyu adalah
cahaya di atas cahaya. Sedangkan orang yang memperhatikan pada salah
satunya saja dengan mata sebelah (picak), niscaya akan terperdaya23.
3. Maturidiyyah Samarkand
Menurut al-Maturidi, akal manusia dapat mengetahui adanya Allah,
mengetahui kewajiban berterina kasih kepada Allah, dan mengetahui apa yang
baik dan apa yang jahat. Sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi
perbuatan yang jahat hanya dapat diketahui lewat wahyu Ilahi. Para
pengikutnya, mengatakan bahwa paham al-Maturidi tentang kewajiban
mengetahui Allah itu bersumber pada pendapat Abu Hanifah yang
mengatakan akal dapat mengetahui Allah meskipun tanpa diberitakan oleh
Rasul. Al-Maturidi mengatakan bahwa diulang-ulangnya ayat-ayat yang
berkaitan dengan berpikir dalam surah An-Nahl bukanlah tanpa maksud, akan
tetapi Allah menginginkan untuk mempergunakan akal kita, agar senantiasa
mendapat petunjuk. Allah Swt, berfirman dalam surah An-Nahl: 11-15
     …
     …  
  …    
    
….   
… 
  
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
49
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Al-Maturidi mengatakan bahwa: “Barang siapa yang yang tidak hati-hati
dengan dalil ‘aqli dan tidak bersandar pada dalil naqli dan bermaksud untuk
mencapai apa saja yang tertutup bagi akal pikiran serta meliput seluruh
hikmah keTuhanan dengan akalnya yang tidak sempurna dan amat terbatas,
tanpa berdasarkan petunjuk dari Rasul, maka sebenarnya ia menzalimi akal
dan membenaninya dengan suatu beban yang diluar kesanggupannya.
4. Maturidiyyah Bukhara
Menurut aliran ini, akal manusia dapat mengetahui adanya Allah dan
dapat pula mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat. Sedangkan
kewajiban untuk mengetahui Allah dan kewajiban berbuat baik dan kewajiban
menjauhi perbuatan jahat hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sebagaimana
firman-Nya dalam surah Al-Isra: 15 dan surah Thaha: 134
   
     
     





   
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya
Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka
Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa
tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami
mengutus seorang rasul.











    
   
Dan Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu
(diturunkan), tentulah mereka berkata: "Ya Allah Kami, mengapa tidak Engkau utus
seorang Rasul kepada Kami, lalu Kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum Kami
menjadi hina dan rendah?"
Dengan demikian, peranan akal dan wahyu mendapat porsi yang sama,
akan tetapi banyak dari pemikir teolog Islam menyatakan bahwa Maturidiyyah
Bukhara lebih cenderung ke Asy’ariyyah.
III. PENUTUP
Terkait dengan polemik tentang iman dan kufur, maka dapat disimpulkan
bahwa aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim adalah
kafir, sedangkan aliran yang paling ekstrem mengatakan barang siapa yang
tidak berhijrah ke tempatnya, maka ia kafir dan wajib di bunuh. Dari sejarah
Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial
politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih
50
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan
penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit.
Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak
hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan
Aliran Murji’ah mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim
bukanlah kafir, tetapi mukmin, karena ia membenarkan Allah dalam hatinya
dan diiqrarkan dengan lisan. Aliran Mu’tazilah mengatakan orang yang
berbuat dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin, tetapi fasiq. Kita
tidak boleh memberikan predikat kafir terhadapnya karena ia masih
mempunyai iman dan juga tidak boleh menisbahkan mukmin terhadapnya,
karena ia telah melakukan dosa besar.
Aliran Asy’ariyyah mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasiq, dan hukumannya di akhirat kelak, terserah kepada
kehendak Allah. Aliran Maturidiyyah mengatakan bahwa orang berbuat dosa
besar, tidaklah kekal dalam neraka. Di sinilah Allah memberikan rahmat dan
kebijaksanaannya dengan memberikan izin kepada Rasulullah Saw, untuk
memberi syafa’at kepada orang mukmin yang telah berdosa.
Sementara persoalan akal dan wahyu, penulis sampai pada kesimpulan
bahwa aliran Mu’tazilah memberikan peranan akal yang besar daripada wahyu
dalam mengkaji pemikiran keagamaan, seperti mengetahui Allah, kewajiban
mengetahui Allah, berbuat baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik dan
burukAliran Asy’ariyyah memberikan peranan akal yang kecil dan lebih
menitik-beratkan pada wahyu. Akal, menurut Asy’ariyyah hanya mampu
mengetahui Allah, sedangkan wahyu dapat mengetahui kewajiban mengetahui
Allah, mengetahui berbuat baik dan buruk, dan kewajiban berbuat baik dan
buruk.
Aliran Maturidiyyah Samarkand mengatakan bahwa mengetahui Allah,
kewajiban mengetahui Allah, dan mengetahui baik dan buruk, kesemuanya ini
dapat diketahui oleh akal. Sedangkan wahyu hanya dapat mengetahui
kewajiban berbuat baik dan buruk.
Aliran Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwasanya akal dan wahyu
mendapat porsi yang sama. Akal dapat mengetahui Allah dan mengetahui
berbuat baik dan buruk. Sedangkan wahyu dapat mengetahui kewajiban
mengetahui Allah dan kewajiban berbuat baik dan buruk.
Endnotes
Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik, (Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 9
1
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
51
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
2
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 6
3
Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya.
4
Lih, Toshihiko Izutsu. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of
Iman anda Islam, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dengan judul Konsep Kepercayaan dalam
Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam,( Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994), h. 12
5
Ibid, h. Sekte ini dikenal sebagai ekstremis khawarij. Kelompok ini mempunyai tiga ciri khas
yakni pertama, semua orang muslim yang tidak mengikuti pendapat mereka sampai yang sekecil-kecilnya
adalah Musyrik. Kedua, semua orang sekalipun setuju dengan Azariqah secara teori, namun tidak
berhijrah ke perkampungan mereka adalah Musyrik. Ketiga, istri-istri dan anak-anak dari orang Musyrik
tersebut juga Musyrik. Dan kesemuanya ini secara sah dapat di bunuh dan hartanya di rampas.
6
Harun Nasution, Op. Cit, h.
7
Imam Muhammad Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd.
Rahman dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan’Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos. 1996),
h. 144
8
Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Ittijah Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi AlQur’an ‘inda al-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul
Menalar Firman Allah: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Cet. I; Jakarta: Mizan,
2003), h. 31
9
M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 157
Harun Nasution, Op. Cit., h. 26
10
11
Hasan al-Bashri, apabila di runut dari status sosialnya, adalah seorang budak dari keluarga
Maisan-golongan budak kaum Anshar. Ibunya bernama Khairah, budak milik Ummu Salamah, Istri
Rasulullah Saw. Serangan Umayyah terhadap Irak mencapai puncaknya di era ‘Abd al-Malik ibn Marwan
dan Gubernur Irak kala itu adalah Hajjaj ibn Yusuf. Kuatnya tekanan dari Hajjaj ketika berinteraksi
dengan Hasan al-Bashri dan para pengikutnya membuat Hasan al-Bashri dan para pengikut-setianya lebih
memilih jalan rekonsiliasi dan menyembunyikan sikap (taqiyyah), minimal di hadapan Al-Hajjaj dan
pejabat yang lainnya. Meskipun demikian, mereka tetap mendeklarasikan pemikirannya pada para
pengikutnya yang lain dengan tegas. Hasan al-Bashri lebih memilih taqiyyah ketika berbicara tentang ‘Ali
r. a., walaupun ia bukan orang Syi’ah. Kecintaannya terhadap ‘Ali r. a. menjadi penyebab Bani Umayyah
menyiksanya. Lih. Nashr Hamid Abu Zaid, Op. Cit, h. 49-55
12
13
Harun Nasution, Op. Cit, h. 43
Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 190
14
Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul
Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, (Cet. I. Jakarta: Rajawali Press, 2000),
h. 45. Dan lihat juga Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam
dan Fundamentalisme Neo-liberal. Jakarta: Erlangga, 2006.
15
. Fazlur Rahman, I b I d, h. 194. Dan Ahmad Baso, I b I d, h. 85
16
Mastuki (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, (Jakarta: Pustaka Ciganjur,
1999), h. 20
17
Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 208
Mengenai Ja’d al-Dirham, Abu Zahrah seakan-akan ragu memastikan mengenai terlibatnya ia
dalam paham Jabariyyah. Sedangkan Nashr Hamid Abu Zayd menggolongkan Ja’d al-Dirham sebagiai
golongan Qadariyyah, karena ia di bunuh di bawah mimbar setelah shalat ‘id pada masa Dinasti Bani
Umayyah, khalifah Khalid ibn ‘Abdullah al-Qasri.
18
52
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Ahmadi Husain
19
Ahmad Baso, Op. Cit, h. 72
20
Nashr Hamid Abu Zaid, Op. Cit, h. 71
22
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 82-83
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi l-I’tiqad, Maktabah Syamilah, h. 1
23
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syekh Muhammad. Risalat’ut Tauhid diterjemahkan oleh Firdaus AN
dengan judul Risalah Tauhid, Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Abrahamov, Binyamin. Islamic Theology: Tradisionalism and Rationalism
diterjemahkan oleh Nuruddin Hidayat dengan judul Ilmu Kalam:
Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Teologi Islam, Jakarta: Serambi,
1998
Abu Zaid, Nashr Hamid. Al-Ittijah Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat AlMajaz fi Al-Qur’an ‘inda AL-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh
Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman
Allah: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, Jakarta:
Mizan, 2003
Abu Zahrah, Imam Muhammad. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, diterjemahkan
oleh Abd. Rahman dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik
dan’Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos. 1996
Ahmad, Amin. Yaumul Islam, diterjemahkan oleh Abu Laila dan Muhammad
Tohir dengan judul Islam dari Masa ke Masa, Cet. III; Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1993
Al-Barsany, Noer Iskandar. Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi:
Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari, Jakarta:
Srigunting, 2001
Al-Ghazali, al-Iqtishad fi l-I’tiqad, Maktabah Syamilah, tt
Asmuni, M. Yusran. Ilmu Tauhid. Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1994
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
53
Ahmadi Husain
Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu
Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Neo-liberal. Jakarta: Erlangga, 2006
Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991
Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya
Habanakah, Abdurrahman. Al-Aqidah al-Islamiyah wa Ususuha, diterjemahkan
oleh A. M. Basalamah dengan judul Pokok-pokok Akidah Islam, Cet. VI;
Jakarta: Gema Insani Press. 1998
Hanafi, A. Pengantar Theology Islam. Cet. IV; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra. 1995
Haq, Hamka. Dialog: Pemikiran Islam, Makassar: Yayasan al-Ahkam. 2000
Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlusunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi
NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005
Izutsu, Toshihiko. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis
of Iman and Islam, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dengan judul
Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam,
Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V;
Jakarta: UI Press. 1986
______________. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Cet. II; Jakarta: UI Press. 1986
Mastuki (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, Jakarta: Pustaka
Ciganjur. 1999
Rahman, Fazlur. Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia
dengan judul Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis
Islam, Cet. I; Jakarta: Rajawali Press. 2000
Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas
Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Cet. II; Jakarta: Penamadani. 2003
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XVI; Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada. 2004.
54
AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015
Download