DISKUSI UTAN KAYU Wahhabisme - Center for Islamic Pluralism

advertisement
| Depan | Tokoh | Kolom | Diskusi | Wawancara | Situs | E-Books | Kliping |
Tanggapan | Tentang Kami | Kontak | Jaringan |
====================================================
DISKUSI UTAN KAYU
Menimbang Kembali Pemikiran Wahhabisme
====================================================
Teater Utan Kayu Jakarta, 6 Maret 2003
Penyelenggara:
Komunitas Islam Utan Kayu
Moderator:
Ulil Abshar-Abdalla
Narasumber:
Dr. Fuad Jabali
Wahhabisme:
Sebuah Potret Kelelahan Intelektual[1]
Fu’ad Jabali
Alih-alih menyamakan Islam dengan terorisme, The Two Faces of Islam; The
House of Sa’ud from Tradition to Terror yang ditulis Stephen Schwartz ini
mencoba menghadirkan dua muka Islam yang saling bertentangan. Yang pertama
adalah ‘mainstream Islam’ atau ‘traditional Islam’ dan yang kedua Wahhabisme.
Bagi Schwartz, Traditional Islam adalah Islam yang sebenarnya, yang sangat
potensial untuk membangun peradaban manusia bersama kelompok masyarakat
lain, sementara Wahhabisme adalah “sumber sebenarnya dari masalah kita
sekarang” (h. xiii).
Dari ujung ke ujung Schwartz mengungkapkan pertarungan antara kedua sisi
Islam di berbagai tempat seperti Afghanistan, Albania, Bosnia, Pakistan, Mesir
dan Amerika. Dalam pertarungan itu dia menemukan bahwa Saudi Arabia ada di
balik gerakan fundamentalisme Islam dunia. Dengan hasil minyaknya, Saudi
Arabia melakukan fungsi ganda: Di permukaan mereka menunjukkan, terutama
kepada Amerika, bahwa mereka adalah kelompok Islam moderat, kawan terbaik
Amerika di Timur Tengah (bukan Iraq atau Iran), tetapi pada saat sama mereka
mengeluarkan banyak sekali uang untuk mendukung kolonialisme agama.
Islam Tradisional
Islam Fundamentalis/Wahhabisme
Moderation, equanimity, patience
and fairness (h. 8), love and
admiration of his [the prophet’s]
quest for compassionate (h. 9),
compassion and mercy (h. 22), just
and tolerant (h. 29), consensus (h.
43), pluralist and lovers (h. 45),
tolerant, pluralist and spiritual (h.
63), based its guidance on
knowledge and ethics (h. 132)
separatism, supremacism, frenzy, aggression
(h. 8), ignore the personality of the Prophet
(h. 9), purism and extrimism (h. 22),
separatism, purism, and fundamentalism (h.
35) hunters of heresy and haters (h. 45),
[based its guidance on] violence and
subversion (h. 132)
belief alone is sufficient for
salvation (h. 43)
Faith must be judged in terms of outward
conduct (h. 43)
Mystics (h. 45)
legalists (45)
Abrahamic solidarity, Abrahamic
dialog, Abrahamic reconciliation (h.
xx-xxi)
Shi’ah (h. 37)
Khawarij (h. 35)
Ikhwan (h. 92), “who reproduced the
mentality of the Khawarij (105)
Ikhwanul Muslimin (h. 129)
Ali b. Abi Talib (h. 36)
Ibn Hanbal (h. 41)
Abu Hanifa (h. 41)
Ibn Hazm (h. 47)
Al-Hallaj (h. 46)
Ibn Taymiyya (h. 54)
Jalaluddin Rumi (h. 46)
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab (h. 66)
Al-Ghazali (h. 46)
Mawdudi (h. 131)
Ibn al-‘Arabi (h. 47)
Usama b. Laden
Ibn Rushd (h. 47)
Nasser (h. 129)
Islam di Spanyol (abad 8-15), Turki
Uthmani (abad 15-18), Balkan (abad
20) (Albania, Sarajevo, Bosnia, dll)
Saudi Arabia
abandonment of four traditions [Maliki,
Hanafi, Hanbali and Shafi’i)] although his
followers would claim to be the followers of
the Hanbali school (h. 71)
Crisis, social dislocations – wars,
migrations, economic adjustments (h. 67)
totalitarian system – a dictatorship resting
on an idiological militia (h. 104)
Muslim Public Affairs Muslim (MPAC),
Council on American-Islamic Relations
(CAIR), American Muslim Council (AMC),
American Muslim Alliance (AMA) Islamic
Society of North America (ICNA), Muslim
Students Association (MSA)
Schwartz menyebut Hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah sebagai peristiwa penting
dalam pemunculan dua muka Islam yang berbeda tersebut. Dia bisa dilihat secara
bertentangan: pertama sebagai sikap pemisahan diri dari msyarakat non Muslim,
yang kemudian akan membawa pada purisme dan ekstrimisme; kedua sebagai
awal memasuki dunia, walaupun dalam keadaan sulit, yang akan membawa pada
pluralisme dan toleransi (h. 11). Di Madinah Mabi menggariskan prinsip bahwa
konflik harus diselesaikan dengan cara damai, berbagi tanggung jawab, arbitrasi
dan mediasi. Tradisional Islam adalah Islam yang berdasar pada kontrak, yang
justeru menjadi dasar dari sebuah negara modern (h. 15). Schwartz menolak
istilah ‘Islam politik’ sebagai lawan dari Islam keyakinan, karena semua Islam
adalah politik (h. 15). Sementara itu, Khawarij, gerakan separatisme dan
fundamentalisme pertama dalam Islam, melihat Hijrah dengan cara kedua, dan ini
yang kemudian diadopsi oleh Wahhabisme (h. 97). Islam Khawarij adalah Islam
yang menarik diri ke dalam, sementara Islam tradisional adalah Islam yang
merangkul dan menyebar. Jika saja sikap mengkerut Khawarij ini yang dominan
maka Islam tidak akan berhasil membangun peradaban seperti yang diperlihatkan
sejarahnya.
Sebagai seorang Yahudi, Schwartz sangat mengagumi masyarakat Muslim di
Spanyol yang telah memberikan perlindungan yang baik terhadap kelompok
agama lain, terutama Yahudi. Di Spanyollah tradisi intelektual dan spiritual Yahudi
berkembang di bawah pengaruh Islam. “Islam telah membebaskan hati dan fikiran
orang-orang yang dalam pencarian baik dari kalangan Yahudi maupun Kristen” (h.
53). Ketika Granada jatuh ke tangan Kristen pada tahun 1492, yang diikuti dengan
inquisi, pola hubungan Islam, Yahudi dan Kristen berubah. Orang-orang Yahudi
yang diusir dari Spanyol dan Portugis diterima dengan baik di wilayah Turki
Uthmani. Melihat bagaimana mereka diperlakukan, Schwatz mempertanyakan
bayangan buruk orang-orang Eropa (baik Yahudi maupun Kristen) terhadap
konsep dhimmi (status non Muslim di wilayah kekuasaan Islam), misalnya.
Perlakuan sultan-sultan Turki terhadap Yahudi jauh lebih baik disbanding
perlakukan penguasa-penguasa Kristen, belum lagi kalau dibandingkan dengan
Holocaust pada abad ke 20.
Bagi Schwartz, sejauh hubungan antara Barat-Islam atau Yahudi-Kristen-Islam,
masyarakat Muslim yang ada di Balkan bisa dijadikan model. Mereka orang Eropa
yang Islam, atau orang Islam yang sudah di-Eropa-kan, dan karena itu, mereka
tidak anti-Barat dan memiliki kadar penerimaan yang baik terhadap Yahudi dan
Kristen. Islam mereka Islam tradisional (terutama sufisme) yang sekarang justeru
sedang terancam karena ekspansi Wahhabisme (dengan dukungan finansial dari
Saudi Arabia) pasca peperangan. Namun uniknya, dan ini menjadi kredit tersendiri
bagi Schwartz, tidak seperti di tempat lain, mereka gigih melakukan resistensi
terhadap ekspansi ini.
Kebencian yang berlebihan, membuat Schwartz membuat penilaian yang tidak
adil kepada Wahhabisme. Bani Umayyah dan Abbasiyyah, yang bisa dianggap
sebagai pendukung Islam Tradisional, yang menjadi musuh orang Khawarij
kelompok ekstrim pertama dalam sejarah Islam, juga melakukan kesalahan besar
yang menyebabkan hilangnya banyak nyawa Misalnya perlakuan mereka pada
Shi’ah. Bani Umayyah, yang kemudian menjadi penguasa Spanyol, yang dikagumi
Schwartz, dibangun atas dasar penolakan pada Khalifah ‘Ali yang shah,
sementara Abbasiyyah melakukan terror besar-besaran terhadap lawanlawannya, terutama turunan Umayyah, sebelum akhirnya membangun dinasti
sendiri.
Membaca buku ini, orang akan digiring untuk melihat Wahhabisme selalu identik
dengan kejahatan dan dianggap berada di luar rumah Islam yang sebenarnya.
Tulisan berikut ini akan mencoba memahami akar teologis dari gerakan ini, paling
tidak untuk menegaskan kembali bahwa Wahhabisme merupakan salah satu hasil
dari pergumulan masyarakat Islam yang panjang dalam memahami tauhid, dan
semuanya berawal dari niat baik. Secara singkat akan didiskusikan beberapa
persoalan teologis: sifat Tuhan, perbuatan manusia, sumber nilai, penciptaan
alam, monisme dan pemujaan orang suci. Dari keenam masalah ini akan kelihatan
bahwa munculnya berbagai gerakan dalam Islam antara lain berakar dari
pertarungan mereka dalam memahami ajaran Islam yang paling dasar: tauhid.
Kenapa Wahhabi sangat membenci praktek-praktek keagamaan sufi, pemikiran
ktritis dan terbuka, dan sangat kaku juga bisa difahami lewat perdebatan teologis
ini.
Akar Teologis Wahhabisme
Wahhabisme atau Wahhabiyyah bukanlah nama yang dipakai oleh para pengikut
Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab (w. 1787) untuk menyebut dirinya. Walaupun
nama pendirinya Muhammad, lawan-lawannya tidak mau menyebut aliran ini
Muhammadiyyah (seperti halnya mereka menyebut Malikiyyah, Hanafiyyah,
Hanbaliyyah dan Syafi’iyyah). Nampaknya, Muhammadiyyah bukanlah nama yang
cocok karena bisa diidentikkan dengan pengikut Nabi Muhammad, padahal, di
mata pengkritiknya, justeru mereka mengingkari semangat Nabi. Walaupun
kurang baik, Wahhab, salah satu nama Tuhan yang tepat, dijadikan nisbat
gerakan yang sekarang banyak dikritik ini.
Para pengikut Ibn ‘Abd al-Wahhab sendiri lebih senang menyebut dirinya
Muwahhidun (orang-orang yang mengesakan Tuhan), sebab menurut mereka,
gerakan mereka semata-mata untuk menegakkan kembali kemurnian Tauhid
Islam yang sudah terkotori oleh kepercayaan dan tradisi lokal yang tidak ada
dasarnya dalam al-Qur’an dan Hadith. Untuk memahami klaim mereka, kita akan
melihat ke belakang, ke masa Ahmad ibn Hanbal (w. 855), tokoh yang sangat erat
dikaitkan dengan gerakan radikal Islam. Ibn Hanbal hidup pada saat dunia Islam
dibanjiri filsafat Hellenisme. Gerakan rasional, yang dimotori Mu’tazilah, dalam
penafsiran Islam sangat kuat sehingga, paling tidak di mata kaum Tradisionalis,
mengancam otoritas wahyu. Dengan dukungan kekuasaan, Mu’tazilah melakukan
inquisi, memaksa kaum Tradisionalis untuk mengadopsi cara fikir rasional. Disiksa
dan dipenjarakan, Ibn Hanbal terus melawan. Perdebatan teologis, seperti di
bawah ini, adalah ekspresi dari konflik keras kedua kelompok tersebut.
Nama lain yang mereka sukai adalah ahlul hadith, karena mereka sangat
menjunjung tinggi Hadith Nabi. Lagi-lagi nama ini muncul di bawah pengaruh
Ahmad ibn Hanbal. Untuk membatasi peran akal, posisi Hadith diperkuat. Tidak
heran kalau mereka, walupun menolak apapun, termasuk madhhab-madhhab fiqh
yang salah satunya adalah Hanbaliyyah, yang datang setelah abad ke 2 H/8 M.,
diidentikkan dengan Hanbaliyyah.
1. Sifat Tuhan
Konsep tauhid dalam Islam terutama dikemukakan dalam syahadat pertama dari
dua kalimah syahadat, ashadu alla ilaha illallah (aku bersaksi tiada Tuhan selain
Allah). La ilaha illallah adalah formulasi yang mengandung penafian (nafy) semua
tuhan dan pengukuhan (ithbat) Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Tapi siapakah
Tuhan itu? Pertanyaan ini diajukan oleh orang-orang musyrik kepada Nabi: “Coba
jelaskan Tuhanmu kepada kami!” Menjawab pertanyaan ini, Tuhan mewahyukan
Surat al-Ikhlas kepada Nabi[2]. “Katakanlah Allah itu Esa. Allah tempat bergantung.
Tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Dan tidak ada satupun yang
menyamainya.”
Semua aliran pemikiran dalam Islam setuju bahwa Tuhan itu Esa, tapi tentang apa
makna keesaan Tuhan tersebut mereka berbeda. Perbedaan itu antara lain
disebabkan oleh firman Tuhan yang menyatakan bahwa Dia itu memiliki NamaNama Yang Baik (al-asma ` al-husna) (QS. 7:180; 17:110; 20:8). Dari nama-nama
ini berkembanglah konsep sifat. Sementara ‘nama’ adalah deskripsi tentang
Tuhan seperti disebutkan dalam al-Qur’an, sifat adalah kualitas abstrak yang ada
di balik nama itu. Yang menjadi masalah adalah hubungan antara sifat Tuhan
tersebut dengan dhatNya. Apakah sifat-sifat Tuhan tersebut ada dalam dhzatNya
atau diluar dhatNya? Kalau ada dalam dhatNya, apakah akan ada dualisme di
dalam diri Tuhan? Kalau sifat tuhan itu kekal seperti halnya dhatNya, apakah
berarti akan ada dua kekekalan dalam diri Tuhan? Atau apakah sifat Tuhan itu
sama dengan dzat Tuhan? Tuhan adalah sifatNya dan sifatNya adalah Tuhan?
Kalau sifat Tuhan tersebut berada di luar dhatNya, apakah berarti Tuhan
bergantung kepada sesuatu yang ada di luar diriNya?
Demi menjaga keesaan Tuhan, Wasil b. ‘Ata’ (w. 748) menolak keberadaan sifat
Tuhan. Menurutnya, “Siapa saja yang menetapkan adanya sifat Tuhan yang kekal
berarti dia telah menetapkan adanya dua Tuhan (man athbata sifah qadimah faqad athbata ilahayn)."[3] Dalam pandangannya, juga dalam pandangan
kelompoknya Mu’tazilah, meyakini adanya sifat Tuhan adalah shirik (politheisme).
Bagi Mu’tazilah, jika memang sifat-sifat Tuhan berbagai keabadian dengan Tuhan,
maka ia juga akan berbagi ketuhanan denganNya.[4] Tuhan yang Esa adalah
Tuhan yang tidak memiliki sifat. Tuhan mengetahui bukan dengan sifatNya tetapi
dengan dzatNya,[5] atau, dengan meminjam kata-kata Abu al-Hudhayl (w. 840),
tokoh lain Mu’tazilah, “Pengetahuan Tuhan adalah Tuhan itu sendiri (inna ‘ilm
Allah huwa Allah).[6] Karena pandangannya tentang sifat Tuhan yang sangat ketat
inilah kelompok Mu’tazilah menyebut dirinya sebagai “pendukung tauhid” (as-hab
al-tawhid),[7] mirip dengan nama yang dipakai kelompok Wahhabi yang secara
prinsipil bertentangan dengan Mu’tazilah.
Bagi kalangan Tradisionalis pandangan Mu’tazilah tersebut tidak lebih dari
membuat Tuhan sebagai sesuatu yang kosong. “Mu’tazilah telah membersihkan
Tuhan dari semua isiNya dan menjadikanNya tidak memuaskan bagi kesadaran
keagamaan.”[8] Kaum Tradisionalis tetap berpandangan bahwa Tuhan itu memiliki
sifat yang abadi, namun keabadian sifat Tuhan dan keabadian Tuhan tidak
menjadikan adanya dua keabadian. Ahmad b. Hanbal memberikan analogi untuk
menjelaskan kesatuan Tuhan dengan sifatNya ini. Seperti pohon palm, demikian
katanya. Walaupun memiliki batang, ranting, daun dan sebagainya, namanya
masih tetap satu yaitu pohon palem dengan semua bagian-bagiannya. “Demikian
halnya Tuhan,” tegasnya.[9] Setelah melalui diskusi yang sangat panjang,
hubungan Tuhan dan sifatNya tersebut diformulasikan sebagai “Sifat Tuhan
tersebut bukan Tuhan dan juga bukan-bukan Tuhan (hiya la huwa wa-la
ghayruh).” Formulasi ini merupakan bagian dari orthodoxi Islam.
Namun formulasi yang dikemukakan Mu’tazilah dan Tradisionalis ini masih
mendapat kritikan dari al-Sijistani, seorang Isma’ili yang wafat tahun 971. Dia
yakin bahwa semua formulasi tentang keesaan Tuhan pada akhirnya akan
berakhir dengan kegagalan, karena akan terjerumus kalau tidak pada tashbih
(menyamakan Tuhan dengan manusia seperti dalam kasus kaum Tradisionalis)
pada (pengosongan Tuhan seperti kasus Mu’tazilah). Bahkan al-Sijistani
mengemukakan bahwa ta’til pada dasarnya tashbih yang tersembunyi karena ia
masih menyamakan Tuhan dengan apa yang ada dalam pikiran manusia. Lebih
lanjut al-Sijistani mengemukakan bahwa jika ingin mensucikan tauhid dan
membebaskan diri dari shirik, seseorang harus menegasikan ta’til, atau
menegasikan negasi tashbih sehingga dia menjadi negasi ganda.[10] Semangat
dari negasi ganda ini adalah bahwa keesaan Tuhan, bahkan apapun tentang
Tuhan, tidak bisa dicakup oleh satu deskripsi tertentu. Menetapkan sifat Tuhan
seperti kalangan Tradisionalis tidak benar. Sama tidak benarnya adalah
menafikan sifat Tuhan seperti yang dilakukan Mu’tazilah. Semua gambaran
tentang Tuhan pada akhirnya hanya akan membatasi Tuhan sebab “bahasa
manusia hanya syah dipakai untuk membicarakan apa-apa yang ada di wilayah
manusia dan hanya Tuhan yang bisa berbicara tentnag diriNya kepada mansia
karena bahasa manusia tidak cukup.”[11]
2. Penciptaan Alam
Menerima keesaan Tuhan berarti menerima Tuhan sebagai satu-satunya
pencipta. Dia adalah sumber dari segala ciptaan, meliputi benda dan kejadian.
Bahwa kekuatan mencipta dihubungkan dengan keesaan Tuhan bisa dilihat,
misalnya, dalam QS. 35:3, dan bahwa ciptaanNya itu meliputi segala hal bisa
dilihat, misalnya, dalam QS 54:49. Kedua kata ‘menciptakan (khalaqa)’ dan
‘ukuran (qadar)’ yang ditemukan dalam ayat itu mengandung arti bahwa Tuhan
menjadikan segala sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada.[12] Semua
aliran pemikiran dalam Islam setuju bahwa Tuhanlah satu-satunya pencipta,
namun mereka berbeda dalam memahami bagaimana prosesnya dan apa yang
dimaksud ‘segala sesuatu’ itu. Termasuk ke dalam masalah yang pertama adalah
proses penciptaan alam, sementara ke dalam masalah yang kedua adalah
sumber dari perbuatan dan kehendak manusia, serta nilai. Seperti yang akan
dijelaskan di bawah, ketiga masalah ini juga terkait erat dengan konsep
monotheisme.
Tentang penciptaan alam. Maslahnya adalah bagaimana Tuhan yang abstrak,
simple dan transenden menjkadi sumber dari dari alam yang nyata dan sangat
beragam ini. Al-Farabi (w. 950) menjawab pertanyaan ini dengan konsep emanasi
(al-fayd). Menurutnya segala sesuatu yang ada di alam ini memancar dari Tuhan
dengan sendirinya “bukan karena pilihan dan kehendak manusia” dan “bukan
tujuan Tuhan.” Dengan cara yang natural ini al-Farabi menjelaskan keberadaan 10
akal dan planet.[13] Tetapi, jika alam ini memancar dari Tuhan, maka dia akan ada
sepanjang Tuhan ada. Karena Tuhan abadi, maka alam yang memancar dariNya
juga akan abadi. Al-Ghazzali (w. 1111) mengkritik pemikiran ini dan
mengangapnya ‘kafir’,[14] sebuah istilah yang pertama kali dipakai untuk menyebut
orang-orang Mekah yang menolak mengakui keesaan Tuhan dan
mempertahankan kepercayaan politheistik.
3. Perbuatan Manusia
Dalam masalah ini, masyarakat Muslim terbagi menjadi tiga kelompok besar
Jabbariyyah, Qadariyyah/Mu’tazilah dan Tradisinionalis. Dalam pandangan
Jabbariyyah semua perbuatan manusia –baik atau buruk—semuanya berasal dari
Tuhan. Tokoh utama aliran ini adalah Jahm b. Safwan (w. 745-6). Menurutnya,
manusia tidak memiliki kekuasaan apa-apa atas apapun, mereka tidak memiliki
sifat mampu (istita’ah), tetapi dipaksa untuk melakukan segala perbuatannya;
mereka tidak punya kekuatan, kehendak atau pilihan.[15] Akibat dari keimanan
kepada keesaan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan pemilik dari segala
sesuatu termasuk perbuatan manusia, Jahm dan pengikutnya menolak kebebasan
manusia.
Aliran Qadariyyah/Mu’tazilah berpendapat sebaliknya. Bagi mereka, manusia
memiliki kontrol terhadap perbuatannya. Wa>s}il b. ‘At}a>’, salah seorang
tokohnya, berpendapat bahwa manusia adalah pemilik perbuatannya, baik atau
buruk, iman atau kufur, ta’at atau maksiat; dialah pelakunya.[16] Dalam teologi
Mu’tazilah, persoalan ini biasanya didiskusikan di dalam rubrik “keadilan Tuhan”:
Manusia harus bebas menentukan pilihan kalalau mereka harus bertanggung
jawab atas perbuatannya dan, jika Tuhan adil, Dia tidak bisa disifati dengan
kejahatan dan kezaliman, dan Dia tidak bisa meminta manusia untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan perintahNya.[17]
Di mata kaum Tradisionalis pandangan Mu’tazilah tersebut bukan hanya
membatasi kebebasan Tuhan (bahwa Dia tidak bisa meminta manusia untuk
melakukan sesuatu …), juga bertentangan dengan keesaan Tuhan. Keesaan
Tuhan mengharuskan adanya keesaan perbuatan, dhat dan sifat.[18] Keesaan
dalam perbuatan berarti “tidak satupun makhluk yang memiliki suatu perbuatan,
karena Tuhanlah Pencipta dari perbuatan segala sesuatu yang diciptakanNya,
Nabi, malaikat, dan yang lainnya.”[19] Mengingkari Tuhan sebagai sumber
kejahatan berarti mengakui adanya sumber dari sesuatu selain Tuhan, atau
mengakui manusia sebagai pencipta perbuatannya sama saja dengan mengakui
adanya pencipta selain Tuhan. Ini musyrik. Bagaimana dengan kenyataan bahwa
manusia sesungguhnya bisa menentukan perbuatannya sendiri? Untuk
memecahkannya, al-Ash’ari (w. 935-6), tokoh yang diidentikan dengan
Ahlussunnah wal-Jama’ah, dan para pengikutnya mengembangkan konsep
iktisab, dimana hubungan antara tindakan yang diciptakan Tuhan dan tanggung
jawab manusia dijembatani.
4. Sumber Nilai
Jika Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu, Dia juga adalah satu-satunya Dzat
yang menentukan nilai dari segala sesuatu (baik atau buruk) melalui wahyu
kepada nabi-nabiNya. Dalam muqaddimah bukunya al-Ibanah, al-Ash’ari
menegaskan bahwa melalui nabi-nabiNya Tuhan menginformasikan kepada kita
shari’at, hukum, halal dan haram.[20] Pandangan ini dianut oleh kalangan
Tradisionalis, yang bisa disebut sebagai pengikut subjektifisme theistik: Baik dan
buruk dan sejenisnya tidak memiliki arti lain selain yang dikehendaki Tuhan.[21]
Pandangan ini sama sekali bersebrangan dengan objektifisme yang dianut
Mu’tazilah: Nilai seperti keadialn dan kebaikan memiliki eksistensi tersendiri yang
independen dari kemauan siapapun, termasuk Tuhan.[22] Tetapi pandangan
manapun yang diambil, tetap menyisakan persoalan. Meyakini Tuhan sebagai
satu-satunya pemberi nilai memunculkan masalah seperti “Kenapa Tuhan mesti
tidak menyukai keburukan yang berasal dariNya?” dan, sebaliknya, meyakini
independensi nilai sama saja dengan mengakui adanya sumber nilai selain Allah.
5. Monisme
Masalah lain yang juga potensial untuk dinggap ‘merusak’ tauhid ada dari
kalangan sufi terutama pandangan mereka yang monistik serta pemujaan
terhadap orang suci. Monisme cenderung menafikan pemisahan antara Tuhan
dan ciptaanNya. Dalam pandangan ini semua realitas, termasuk manusia, ada
dalam wilayah Tuhan. Ibn ‘Arabi, misalnya, berpandangan bahwa eksistensi
ciptaan Tuhan tidak lain dari esensi eksistensi Penciptanya.[23] Bisa jadi dengan
kata-katanya ini Ibn ‘Arabi justeru hendak menegaskan keesaan Tuhan: Karena
hanya Tuhan yang ada maka apapun selainNya ada dalam keberadaan Tuhan. Di
kalangan Tradisionalis pandangan ini bertubrukan dengan konsep keesaan Tuhan
dimana Pencipta dan makhluk ciptaanNya sama sekali berbeda. Tidak mungkin
dalam diri pencipta ada benda-benda yang diciptakannya yang banyak ini.
“Berbeda dengan ciptaaNya (mukhalafah li-al-hawadith)” adalah salah satu dari 21
sifat Tuhan yang diyakini Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Atas dasar ini kalangan
Tradisionalis menolak ajaran Sufi papapun yang bisa membawa pada penyatuan
antara Tuhan dengan hambanya seperti konsep kesatuan wujud (wihdat alwujud).
6. Pemujaan Orang Suci
Dalam sufisme, fungsi orang suci (syaikh) adalah untuk membimbing para
pengikutnya ke jalan sufi yang benar. Sebelum masuk ke dalam suatu aliran sufi,
seseorang biasanya akan melakukan bay’at, suatu penyerahan diri sepenuhnya
kepada gurunya dalam menpapai ketinggian spiritual. Hal ini bisa menumbuhkan
pandangan bahwa gurunya adalah satu-satunya mediator yang bisa
menghubungkan dirinya dengan Tuhan. Lewat para sufilah Tuhan disembah.
Masyarakat Muslim bisa terjerumus pada shirik, sebab bisa jadi, ketika beribadah,
yang lebih kuat muncul justeru bayangan guru sufinya ketimbang Tuhan. Meuurut
Ignaz Goldziher, dalam perkembangannya, orang-orang suci tersebut menjadi
medium dimana keyakinan politheistik diekspresikan.[24] Kalau ini benar, maka
hak Tuhan sebagai Dzat yang patut disembah terkurangi oleh keberadaan para
orang suci dari kalangan sufi tersebut.
Wahhabisme dan Kelelahan Intelektual
Sekali lagi, diskusi tentang masalah-masalah tersebut diatas menujukkan bahwa
semua kalangan, baik teolog, filosof, sufi masupun Tradisionalis, mengalami
kesulitan untuk menjelaskan keesaan Tuhan. Semua deskripsi yang mereka
berikan pada akhirnya reduktif dan membatasi keberadaan Tuhan. Posisi apapun
yang diambil, deskripsi apapun yang dipilih, tetap problematik. Ibn Hanbal, juga Ibn
Taymiyyah dan Ibn ‘Abd al-Wahhab, sangat merasakan betapa perdebatan ini tidak akan
berujung dan mengandung banyak lubang yang bisa menjerumuskan masyarakat Muslim
pada kemusyrikan. Mereka memutuskan untuk tidak melanjutkannya, paling tidak bagi
orang lain. Mereka lelah. Mereka mengkritik dengan pedas kelompok teolog, filosof dan
kelompok sufi.
Dengan sendirinya, ketika penafsiran ditutup, ketika kekhawatiran sesat yang
berlebihan muncul, maka yang akan dianut adalah kebenaran literal al-Qur’an.
Kelompok Fundamentalis sangat tidak mempercayai akal dalam tradisi beragama.
Pandangan mereka kepada manusia sangat negatif: bahwa pada dasarnya
manusia tidak akan mampu mencari kebenaran sendiri. Kebenaran tidak dicari,
tapi diberikan oleh al-Qur’an. Kalau tidak jelas, maka penjelasannya harus dilihat
dalam Hadith Nabi. Hadith Nabi, dengan demikian, menempati posisi yang sangat
penting dalm gerakan fundamentalisme. Sebagaimana al-Qur’an, hadithpun dilihat
sebagai system yang tertutup dan statis. Kebenaran sudah diformulasikan dengan
sempurna oleh generasi Salaf, yang hidup sampai abad ke-2 H/8 M. Apapun yang
muncul setelah masa itu termasuk madhhab-madhab dalam Islam akan ditolak
dan bisa dengan mudah dicap sebagai bid’ah.
Ketika menekankan pentingnya Islam pada abad ke-2/8 M., sebelum ramburambu penafsiran dibangun para imam madhhab dan kemudian mempersempit
ruang gerak masyarakat Muslim, kelompok Wahhabiyah sesungguhnya ada pada
posisi yang sama dengan kelompok Islam liberal (baca: JIL). Kelompok yang
terakhir ini, karena ingin mendapatkan ruang yang lebih besar untuk
mengekpresikan keberagamaan mereka dan untuk menjadikan Islam kembali
lincah dan fleksibel dalam menghadapi persoalan yang demikian kompleks,
berusaha merampingkan Islam dengan mengembalikan Islam kepada prinsipprinsip dasarnya. Yang muncul adalah Islam dan masyarakat Islam awal: Salaf. Ini
juga yang ada dalam banyangan aliran Wahhabisme. Perbedaannya, sementara
kelompok Islam liberal memperlakukan kerampingan Islam itu secara terbuka,
Wahhabi mematikannya. Keadaan yang bertolak belakangpun muncul. Ketika
diperlakukan secara dinamis, Islam yang sudah ‘diperkecil’ memiliki ruang yang
sangat lebar untuk dimasuki benda-benda baru yang ditemukan sekarang.
Sebaliknya, Islam yang ‘sudah diperkecil’ lalu dimatikan tidak akan mampu
menampung benda-benda baru tersebut. Tidak ada ruang di dalamnya. Seperti
memasukkan gajah ke lubang semut.
Semua kelompok muslim, baik dari kalangan teolog, filosof, sufi, Muhammadiyah,
NU, Wahhabis, JIL, dll., pada dasarnya sedang melakukan hal yang sama:
memahami Islam dan mengamalkannya dengan baik untuk dirinya dan untuk
masyarakatnya. Mereka semua sedang menangkap pesan-pesan Allah yang
Maha Luas, Yang tak terbatas, sementara semua merekia mengakui keterbatasan
diri mereka masing-masing. Jangan sampai ada satu keterbatasan dipakai untuk
membatasi yang tak terbatas. Semua model penafsiran pada akhirnya relatif. Bisa
jadi suatu saat mereka kelelalahan dan memutuskan untuk membangun rumah
Islam di suatu tempat bagi dirinya. Tapi jangan sampai kelelalan itu diwariskan
kepada orang lain dan memaksa orang lain untuk tinggal di rumahnya.[]
Kembali Ke Atas
| Depan | Tokoh | Kolom | Diskusi | Wawancara | Situs | E-Books | Kliping | Tanggapan
| Tentang Kami | Kontak | Jaringan |
Hak Cipta (C) Jaringan Islam Liberal 2002
Download