fakultas kedokteran universitas indonesia rumah sakit persahabatan

advertisement
Makalah Bedside Teaching
ASMA
Disusun oleh:
Jeane Andini
Jody Felizio
Lutfie
Mario Markus Nugraha
Mellisya Ramadhany
Michael Christian
Muncieto Andreas
Reiva Wisdharilla MD
Samuel Raymond Rumantir
Wahyu Permatasari
Yohanes Edwin Budiman
STASE PULMONOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
RUMAH SAKIT PERSAHABATAN
JAKARTA
NOVEMBER 2012
BAB 1
PENDAHULUAN
Asma adalah gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi dan elemennya yang berhubungan dengan hipereaktivitas bronkus, sehingga dapat
muncul serangan episodik berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada, dan batuk
terutama malam atau dini hari. Perburukan terkait dengan luasnya peradangan, variabilitas, dan
beratnya obstruksi jalan napas yang bersifat reversibel baik spontan maupun dengan pengobatan.
Epidemiologi
Asma merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang
seperti Indonesia. Diperkirakan 300 juta orang di dunia menyandang asma. Menurut laporan
berbagai studi prevalensi asma dan mengi pada anak dan dewasa, prevalensi asma berkisar antara
1-18% pada populasi dari berbagai negara. Diperkirakan 15 juta usia produktif hilang setiap
tahunnya karena asma.1 Jika angka tersebut dikalikan dengan nilai produktivitas usia produktif,
maka kerugian yang terjadi amatlah besar setiap tahunnya.
Prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir akan tetapi sekarang angkanya
cenderung menetap.2 Pada negara berkembang dimana angka kejadian asma lebih rendah,
terdapat insidensi yang meningkat yang diduga terkait dengan urbanisasi. Di Indonesia sendiri,
berbagai penelitian menunjukkan bahwa prevalensi asma bervariasi bergantung kepada kondisi
wilayah, populasi target, dan metodologi yang digunakan. Pada tahun 2008 di lima wilayah
Jakarta dan kepulauan seribu pada anak SLTP usia 13-14 tahun dilakukan penilaian asma dengan
kuesioner ISAAC. Dari 2075 responden didapatkan 7,1% recent asthma dan 12,2% memiliki
riwayat asma.
Umumnya, pandangan masyarakat adalah bahwa untuk mendapatkan penanganan asma
dibutuhkan biaya yang relatif mahal. Walaupun demikian, harus dipahami bahwa jauh lebih
mahal beban sosial dan beban ekonomi jika asma tidak ditatalaksana dengan tepat.
Etiologi dan Faktor Risiko
Asma merupakan penyakit heterogen yang dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan. Beberapa faktor risiko telah diketahui dan dipelajari dalam hal tercetusnya asma.
Faktor risiko asma dapat dibagi menjadi faktor yang mempengaruhi berkembangnya asma dan
faktor yang mempengaruhi gejala asma. Faktor yang mempengaruhi berkembangnya asma
adalah faktor pejamu, khususnya genetik, sedangkan faktor yang mempengaruhi timbulnya
gejala asma disebut sebagai faktor pencetus. Berbagai faktor pencetus antara lain adalah alergen,
infeksi virus pernapasan, polutan, dan obat- obatan.
Interaksi antara faktor pejamu dan faktor lingkungan mempengaruhi berkembangnya atau
terjadinya asma. Meskipun demikian, mekanisme bagaimana pengaruhnya sangatlah rumit dan
saling terkait antara gen, faktor lingkungan, dan dipengaruhi pula oleh berbagai aspek seperti
respon imun, waktu pertama kali terpajan infeksi, serta ras, etnis, keadaan sosial-ekonomi, dll.
Tabel 1. Faktor yang Berperan pada Kejadian Asma
Faktor Pejamu
Predisposisi genetik, atopi, hiperreaktivitas
saluran napas, jenis kelamin, ras
Faktor Pencetus
Alergen, ISPA viral, olahraga, hiperventilasi,
udara dingin, beta blocker, aspirin, stress, iritan
Faktor Lingkungan
Lingkungan indoor dan
alergen, passive smoking
outdoor
dengan
Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai faktor, antara lain etiologi, fenotip
inflamasi, berat penyakit, dan kondisi terkontrol.
Klasifikasi asma berdasarkan etiologi berhubungan dengan faktor lingkungan yang
mensensitisasitimbulnya asma seperti asma alergi dan asma kerja. Klasifikasi ini memiliki
keterbatasan, yaitu banyak asma yang tidak dapat diidentifikasikan faktor lingkungan sebagai
penyebab atau pencetus asma.
Klasifikasi berdasarkan fenotip inflamasi yang terjadi menggambarkan interaksi antara
genetik pasien dengan lingkungan serta dikaitkan dengan pengobatan. Termasuk di dalamnya
adalah asma akibat aspirin, asma eosinofilik, asma non-eosinofilik, dll. Identifikasi fenotip
bermanfaat terutama bagi pasien dengan asma berat untuk pendekatan penanganannya dan
kegiatan riset.
Sejak tahun 1992 dengan berbagai revisi hingga tahun 2004, GINA telah
mengklasifikasikan beratnya asma berdasarkan gambaran klinis dikaitkan dengan pengobatan
dan perencanaan jangka panjang tatalaksana asma. Pada penilaian awal sebelum pasien
mendapatkan pengobatan, beratnya asma dinilai berdasarkan gambaran klinis yang termasuk di
dalamnya adalah gejala, eksaserbasi asma, kebutuhan reliever dan nilai faal paru. Tetapi jika
pasien sudah dalam pengobatan, maka beratnya asma dinilai berdasarkan gambaran klinis asma
dan pengobatan.
Tabel 2. Klasifikasi Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Intermiten
Gejala
Gejala malam
PEF atau
FEV1 prediksi
PEF
< 1 per minggu
</= 2 kali per
bulan
>/= 80%
< 20%
> 2 kali per bulan
>/= 80%
20-30%
> 1 kali per
minggu
60%-80%
> 30%
sering
</= 60%
> 30%
Asimptomatik dan
PEF normal di luar
serangan
> 1 per minggu
tapi < 1 per hari
Persisten
ringan
Serangan dapat
mengganggu
aktivitas dan tidur
Setiap hari
Persisten
sedang
Serangan
mengganggu
aktivitas dan tidur
Terus- menerus
Persisten
berat
Aktivitas fisik
terbatas
Berdasarkan EBM, didapatkan bahwa sebagian besar pasien asma dapat dikontrol walau
asma berat sekalipun jika diberikan pengobatan yang tepat. Hal itu penting tidak hanya sekedar
untuk informasi ilmiah, tetapi juga untuk implementasi di lapangan dalam penanganan asma.
Maka itu, sejak tahun 2006, pedoman penatalaksanaan asma dengan teagas menyatakan tujuan
pengobatan untuk mencapai asma terkontrol, dengan klasifikasi asma berdasarkan pada kondisi
terkontrolnya asma.
Tabel 3. Klasifikasi Asma Berdasarkan Terkontrolnya Asma
Karakteristik Terkontrol total
Gejala
harian
Tidak ada atau <=
2 per minggu
Terkontrol
sebagian
Tidak
terkontrol
>2x per minggu
Terdapat >= 3
kriteria dari
Keterbatasan Tidak ada
aktivitas
Ada
asma terkontrol
sebagian dalam
setiap minggu
Asma malam
Tidak ada
Ada
Kebutuhan
pelega
Tidak ada atau <=
2 per minggu
>2x per minggu
APE atau
VEP1
Normal
<80%
prediksi/nilai
terbaik
Pada praktiknya, berbagai instrumen dikembangkan untuk menilai status terkontrolnya
asma secara klinis, salah satunya adalah Asthma Control Test(ACT). Instrumen ACT merupakan
salah satu instrumen yang valid dan dapat dipercaya, direkomendasikan secara internasional,
dapat dilakukan oleh pasien sendiri, sudah tersedia dalam berbagai bahasia dan terdistribusi
dalam internet dan dalam bentuk formulir penilaian yang dapat dilingkapi sebelum atau selama
konsultasi dengan dokter. Terdapat 5 pertanyaan yang harus dijawab pasien, dan dari jawaban
pasien, diberikan skor untuk menilai kondisi dan skor dijumlah untuk menentukan derjat asma
pasien.
Tabel 4. Interpretasi Hasil ACT
Nilai
Arti
Yang harus dilakukan
<= 19
Tidak terkontrol
Tingkatkan
pengobatan
terkontrol
Strategi
penatalaksanaan
tahapan Cari faktor penyebab:
hingga
- Pengobatan
yang
digunakan
- Cara
menggunakan
- Kepatuhan
- Kendala
- Komorbid
Upayakan mencapai
terkontrol
dengan
mengatasi masalah
Tingkatkan
pengobatan
20-24
Terkontrol sebagian
Pertimbangkan
tingkatkan
tahapan
Sama dengan strategi
25
Terkontrol total
pengobatan sampai
terkontrol total,
dengan
memperhatikan
kepuasan pasien, efek
samping obat,
kemungkinan laksana
di atas
Pertahankan kondisi,
turunkan pengobatan,
tetap pertahankan
terkontrol dan
minimalkan efek
samping
Pertahankan dengan
pengobatan yang sama
bila stabil
Jika stabil 3-6 bulan,
turunkan pengobatan
bertahap dengan
mempertahankan
kondisi terkontrol
Monitoring kondisi
asma dan respon
terhadap pengobatan,
identifikasi bila ada
perburukan
BAB II
PATOFISIOLOGI dan GEJALA KLINIS
Fisiologi Paru
Fungsi utama sistem respirasi adalah menjamin ketersediaan O2 untuk kelangsungan
metabolisme sel tubuh serta mengeluarkan CO2 hasil metabolisme sel secara terus-menerus.
1.
2.
a.
b.
c.
d.
Respirasi mencakup
Respirasi internal – proses metabolik intraseluler di mitokondria (konsumsi O2 - produksi
CO2)
Respirasi eksternal – pertukaran gas antara lingkungan luar dengan sel-sel tubuh
Ventilasi  pertukaran udara antara udara luar-udara dalam alveoli
Difusi  pertukaran gas antara udara alveoli-darah kapiler paru
Transpor gas oleh sistem sirkulasi
Perfusi  pertukaran gas antara kapiler jaringan-sel jaringan melalui difusi
Peran sistem respirasi terbatas pada proses ventilasi dan difusi, proses selanjutnya
dilakukan oleh sistem sirkulasi.
Mekanika Pernafasan
Inpirasi
Inspirasi merupakan proses aktif yang memerlukan kontraksi otot-otot inspirasi. Pada
inspirasi tenang, pembesaran rongga dada disebabkan oleh kontraksi diafragma (otot inspirasi
utama) serta m. interkostalis eksternus. Pada pernapasan kuat, otot-otot inspirasi tambahan ikut
mengangkat iga: m. sternokleidomastoideus, m. pektoralis mayor dan minor, m.skalenus, m.
seratus postikus posterior.
Ekspirasi
Pada pernapasan tenang (eupnea), ekspirasi merupakan proses pasif, bukan oleh kontraksi
otot melainkan oleh relaksasi otot inspirasi. Jaringan paru yang teregang pada inspirasi kembali
ke posisi semula karena daya recoil paru dan dinding dada. Pada awal ekpirasi, masih terdapat
kontraksi ringan otot inspirasi yang menimbulkan hambatan pada daya recoil sehingga ekspirasi
berlangsung lambat. Pada pernapasan kuat, relaksasi otot inspirasi lebih diperlambat, sehingga
peralihan fase inspirasi-ekspirasi dapat berlangsung mulus.
Otot
Inspirasi
Tabel 5. Otot – otot Pernapasan
Kontraksi
saat perangsangan
Diafragma
Interkostalis eksternus
Skalenus,
sternokleidomastoideus
Ekspirasi
Abdominal
Interkostalis internus
Bergerak ke bawah, meningkatkan dimensi
vertical rongga dada
Menarik iga ke atas-luar, meningkatkan
dimensi antero-posterior dan lateral rongga
dada
Menarik sternum dan dua iga teratas,
memperbesar bagian atas rongga dada
Setiap inspirasi, otot
inspirasi utama
Setiap inspirasi, otot
inspirasi kedua
Inspirasi kuat , otot
inspirasi tambahan
Meningkatkan
tekanan
abdomen, Ekspirasi aktif
mendorong
diafragma,
mengurangi
dimensi vertical rongga dada
Menarik iga ke bawah-dalam, mengurangi Ekspirasi aktif
dimensi tranversal rongga dada
Terdapat tiga tekanan berbeda yang penting pada ventilasi:
1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang
ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer terhadap benda-benda
di permukaan bumi. Pada ketinggian permukaan laut, tekanan ini
sama dengan 760 mmHg. Tekanan ini berkurang seiring dengan
penambahan ketinggian di atas permukaan laut.
2. Tekanan intra-alveolus (tekanan intrapulmonalis), adalah
tekanan di dalam alveolus.
3. Tekanan intrapleura, adalah tekanan di dalam kantung pleura.
Tekanan ini juga dikenal sebagai tekanan intratoraks, yaitu
tekanan yang terjadi di luar paru di dalam rongga toraks.
Biasanya lebih kecil dari tekanan atmosfer, rata-rata 756 mmHg
saat istirahat.
Volume Paru
Dalam keadaan normal, paru mengandung sekitar 2 sampai 2,5 liter udara selama siklus
respirasi, tetapi dapat diisi sampai 5,5 liter atau dikosongkan sampai tersisa 1 liter. Pada orang
dewasa sehat, rata-rata, jumlah maksimum udara yang dapat dikandung oleh kedua paru adalah
sekitar 5,7 liter pada pria dan 4,2 liter pada wanita. Bentuk anatomis, usia, distentibilitas paru,
dan ada atau tidaknya penyakit pernapasan mempengaruhi kapasitas paru total ini. Secara
normal, selama proses bernapas biasa, paru tidak pernah mengalami pengembangan maksimum
atau penciutan yang mendekati volume minimumnya.
Dengan demikian, secara normal paru mengalami pengembangan tingkat sedang selama
siklus pernapasan. Pada akhir ekspirasi tenang (biasa), paru masih mengandung sekitar 2.200 ml
udara. Selama satu kali bernapas biasa dalam keadaan istirahat, sekitar 500 ml udara dihirup dan
udara dalam jumlah yang sama dihembuskan, sehingga selama bernapas tenang volume paru
bervariasi antara 2.200 ml pada akhir ekspirasi dan 2.700 ml pada akhir inspirasi. Selama
ekspirasi maksimum, volum paru dapat menurun sampai 1.200 ml pada pria dan 1.000 ml pada
wanita, tetapi paru tidak akan pernah dapat dikosongkan secara total karena saluran pernapasan
kecil akan kolaps selama ekspirasi paksa pada volume paru yang rendah, sehingga aliran keluar
udara lebih lanjut dicegah.
Konsekuensi penting dari ketidakmampuan mengosongkan paaru secara total tersebut
adalah bahwa pertukaran gas antara darah yang mengalir ke paru dan udara alveolus yang tersisa
dapat tetap berlangsung, bahkan selama ekspirasi maksimum. Terlebih lagi, tidak terjadi
fluktuasi yang lebar dalam penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 oleh darah karena paru tidak
mengalami pengosongan atau pengisian maksimum dalam setiap proses bernapas. Hal ini
menyebabkan kandungan gas dalam darah yang keluar dari paru untu disalurkan ke jaringan
tetap konstan sepanjang siklus pernapasan. Selain itu, perlu diingat bahwa usaha yang diperlukan
untuk mengembangkan alveolus yang sudah mengembang sebagian lebih mudah daripada
alveolus yang kolaps total.1
Jenis Volume dan Kapasitas Statis Paru





Volume Tidal (Tidal volume = TV/ isi alun nafas) adalah volume udara yang masuk dan
keluar selama satu kali proses pernafasan tenang. Besar volume tidal selama pernafasan yang
tenang sekitar 500ml.
Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV) adalah volume udara
ekstra yang masih dapat masuk ke paru setelah inspirasi biasa. Volume ini dapat dicapai
dengan kontraksi maksimal diafragma, m. intercostal internus dan otot-otot inspirasi
tambahan. Nilai normalnya sekitar 3000ml.
Kapasitas Inpirasi (Inspiratory Capacity = IC) adalah volume udara maksimal yang dapat
masuk ke dalam paru pada akhir ekspirasi normal. (IC = TV + IRV) nilai normalnya sekitar
3500ml.
Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV) adalah jumlah udara
yang dapat dikeluarkan secara aktif dari paru melalui kontraksi otot-otot ekspirasi setelah
ekspirasi biasa. Normalnya sekitar 1000ml.
Volume Residu (Residual Volume = RV) adalah volume udara yang masih tersisa dalam
paru pada akhir ekspirasi maksimal. Volume ini tidak dapat diukur dengan spirometer karena
tidak bergerak masuk atau keluar dari paru. Pengukurannya secara tidak langsung dengan
dilusi gas.



Kapasitas
Residu
Fungsional
(Functional Residual Capacity =FRC)
adalah volume udara pada paru setelah
ekspirasi pasif biasa. (FRC = ERV +
RV). Besar kapasitas ini normalnya
2200ml.
Kapasitas Vital (Vital Capaity = VC)
adalah volume udara maksimal yang
dapat masuk atau keluar paru selama
satu siklus pernafasan dengan inspirasi
maksimal dan ekspirasi maksimal.
Kapasitas
vital
menggambarkan
kemampuan pengembangan paru dan
dada. Nilai normalnya kira-kira
4500ml. (VC = IRV + TV + ERV).
Kapasitas Paru Total (Total Lung
Capacity = TLC) adalah jumlah udara
maksimal yang dapt dikandung paru
(TLC = VC + RV). Normalnya sekitar
6000ml pada paria dan 4200 ml pada
wanita.
Jenis Volume Dinamis Paru

Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capacity/ FVC)
Volume udara maksimum yang dapat dihembuskan secara paksa. Nilai rata-rata normalnya =
4 L dicapai dalam 3 detik.

Forced Expired Volume in One Second (FEV)
Volume udara yang dapat dihembuskan paksa pada satu detik pertama. Nilai rata-rata
normalnya = 3.200 ml.
Spirometri dan Flow-Volume Loop
Spirometri, yang juga dikenal sebagai Tes Fungsi Paru (TFP), adalah suatu bentuk
pengukuran fungsi paru, khususnya dengan mengukur volume dan kecepatan udara yang dihirup
maupun yang dihembuskan. Spirometri merupakan suatu alat yang penting untuk menguji
penyakit pada paru seperti asma, kistik fibrosa, dan PPOK. Hasilnya biasa disajikan dalam
bentuk data mentah (liter, liter per detik) dan bentuk prediksi yang dinyatakan dalam persen.
Spirometri juga menghasilkan suatu bentuk grafik yang disebut dengan Flow-Volume Loop,
yang secara grafis menggambarkan total volume yang dihirup maupun yang dihembuskan.
Aliran ditunjukkan sepanjang sumbu-X dan volume ditunjukkan sepanjang sumbu-Y.
Perubahan-perubahan volume paru yang terjadi selama bernapas dapat diukur dengan
menggunakan spirometer. Pada dasarnya, spirometer terdiri atas sebuah tong berisi udara yang
mengapung dalam wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara
ke dalam tong tersebut melalui sebuah selang yang menghubungkan mulut ke wadah udara, tong
akan naik dan turun di wadah air. Naik dan turunnya tong tersebut dapat dicatat sebagai
spirogram yang dikalibrasikan ke perubahan volume. Sebuah pencatat akan mencatat inspirasi
sebagai defleksi ke atas dan ekspirasi sebagai defleksi ke bawah.
Spirometri
dapat
memonitor
pernapasan dan mengukur volume tidal,
dan juga dapat memberikan gambaran
informasi mengenai kapasitas vital.
Spirometri juga dapat digunakan untuk
mengukur kekuatan dan volume ekspirasi
dan untuk menghitung rasio FEV/FVC.
Namun, alat ini tidak bisa mengukur
secara pasti total volume dalam paru,
karena spirometer hanya dapat mengukur
udara yang masuk dan keluar paru. Oleh,
karena itu, penghitungan volume residual
dan kapasitas fungsional residual tidak
bisa menggunakan alat ini.
Nilai positif menunjukkan ekspirasi, nilai negatif menunjukkan inspirasi. Tes spirometri
sendiri pada dasarnya adalah tes yang sederhana, tergantung sepenuhnya kepada alat yang
digunakan. Dengan alat ini, seseorang diminta untuk menghirup napas sedalam-dalamnya yang
ia bisa lakukan, lalu kemudian udara dihembuskan ke dalam mesin sekeras yang ia mampu dan
selama yang ia sanggup lakukan. Dengan alat yang terbaru saat ini, pasien diminta untuk
bernapas secara normal melalui mouthpiece, kemudian dilanjutkan dengan cara yang sama.
Untuk tes ini, filter mouthpiece digunakan untuk mencegah penyebaran kuman, serta juga
digunakan soft clips untuk mencegah keluarnya udara melalui hidung. Tes ini dilakukan tiga
sampai empat kali atau lebih untuk meyakinkan bahwa hasil yang didapatkan lebih akurat dan
dapat dipercaya.
Oleh karena tes ini sangat tergantung kepada si pasien, tes fungsi paru standar hanya
dapat dilakukan pada anak yang sudah cukup umur karena sudah dianggap cukup bisa mengerti
dan mengikuti instruksi yang diberikan. TFP terhadap bayi yang baru lahir adalah mungkin,
namun hal tersebut sepenuhnya merupakan proses yang terpisah yang memerlukan sedasi.
Resistensi Paru dan Jalan Napas
Aliran udara pada proses pernapasan tidak hanya tergantung pada gradien tekanan, tetapi
juga pada resistensi.
𝐹=
∆𝑃
𝑅
F= laju aliran udara (airflow rate)
∆P= perbedaan antara tekanan atmosfer dan intra-alveolus
R= resistensi saluran pernapasan, yang ditentukan oleh jari-jari
Penentu utama resistensi terhadap aliran udara adalah jari-jari saluran pernapasan. Pada
pembahasan sebelumnya kita mengabaikan resistensi saluran pernapasan karena pada sistem
pernapasan yang sehat, jari-jari saluran pernapasan cukup besar, sehingga resistensi sangat
rendah. Dengan demikian dalam keadaan normal gradien tekanan antara alveolus dan atmosfer
merupakan faktor utama penentul laju aliran udara.
Pada orang sehat, diameter sistem saluran udara cukup besar sehingga tahanan relatif
rendah. Oleh karena itu, perbedaan tekanan atmosfer-intra-alveoli merupakan faktor utama yang
menentukan kecepatan aliran udara. Beberapa faktor fisiologis dan patologis dapat menyebabkan
terjadinya penyempitan lumen saluran udara, sehingga tahanan jalan napas meningkat. Pada
penyakit paru obstruktif terdapat peningkatan tahanan jalan napas, dibutuhkan perbedaan
tekanan yang lebih besar untuk mempertahankan aliran udara normal melalui peningkatan kerja
otot-otot pernapasan.
PPOK mencakup asma bronkialis, bronchitis kronis dan emfisema. Pada asma, hambatan
saluran napas disebabkan oleh: konstriksi bronkiolus akibat spasme otot polos saluran napas,
sumbatan oleh mucus kental, edema dinding saluran udara oleh histamine.
Tabel 6. Perbedaan Bronkonkstriksi dan Bronkodilatasi
Status jalan udara Tahanan
jalan Penyebab
udara
Bronkokonstriksi
lumen mengecil
Faktor patologik:
tahanan meningkat
- Spasme jalan napas akibat alergi terhadap
materi anafilaktik
histamin
- Sumbatan fisik jalan napas akibat
mucus berlebih
edema dinding bronkus
kolaps saluran udara
Bronkodilatasi
lumen besar
tahanan rendah
Faktor fisiologik:
- Rangsang parasimpatis
- Kadar CO2 lokal rendah
Faktor patologik: Faktor fisiologik:
- Rangsang simpatis
- Epinefrin
- Kadar CO2 lokal rendah
Patogenesis
Patogenesis secara umum adalah hipersensitivitas tipe I. Faktor lingkungan, infeksi dan
faktor lain berperan sebagai pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi
terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermitten ataupun asma persisten.
Jenis Inflamasi
Inflamasi Akut
a. Reaksi asma tipe cepat (immediate reaction)
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel
mast tersebut. Degranulasi yang terjadi mengeluarkan preformed mediator seperti histamin,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan PAF. Mediatormediator tersebut dapat menyebabkan bronkospasme (dominan), dan peningkatan produksi
mukus melalui atau tanpa melalui refleks neurologis (vagal).
b. Reaksi fase lambat
Timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen. Fase ini ditandai dengan tibanya
leukosit terutama eosinofil, neutrofil, dan lebih banyak sel T. Proses perekrutan leukosit-leukosit
ini dilakukan oleh sel mast, sel T, sel epitel dan sitokin-sitokin. Sitokin-sitokin tersebut
dihasilkan oleh sel epitel yang diinduksi oleh obat, gas ataupun agen infeksi.
Inflamasi Kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah Limfosit T,
eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast, dan otot polos bronkus.
1. Limfosit T
Limfosit T CD4+ berperan dengan mengeluaran sitokin antara lain IL-4, IL-3, IL-5, IL13 dan GM-CSF. IL 4 dapat menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13
menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5, dan GM-CSF berepran dalam maturasi,
aktivasi, dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
2. Sel Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel
dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi, endhotelin, nitric oxide synthase,
sitokin atau kemokin.
Epitel pada asma dapat mengalami sheeding. Mekanisme nya masih diperdebatkan
namun dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen-free-radical,
TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
3. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinofil) karakteristik untuk asma namun tidak spesifik.
Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi.
Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sitokin seperti IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF,
TNF-alfa, serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL3, IL5, dan GM CSF
meningkatkan maturasi, aktivasi, dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang
mengandung granul protein adalah ECP, MBP, EPO, dan EDN yang toksik terhadap epitel
saluran napas.
4. Sel mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE
dengan "factors" pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan protease serta newly generated mediators
antar lain prostaglandin D2 dan leukotrien. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antar lain TNfalfa, IL-3, IL-4, IL-5, dan GM-CSF.
5. Makrofag
Merupakan sel terbanyak. didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus.
Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrien, PAF, serta sejumlah
sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway
remodelling. Peran tersebut melalui sekresi growth promoting factors untuk fibroblast, sitkoin,
PDGF, dan TGF-beta.
Airway Remodelling
Proses inflamasi kronik pada asma kana menimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan dan menghasilkan perbaikan dan pergantian sel
yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang
rusak/injury dengan jenis sel parenkim yang sama dan jaringan ikat. Kedua proses tersebut
berontribusi dalam proses airway remodelling.
Perubahan struktur yang terjadi antara lain:
a. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos  bronkospasme berat
b. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus  peningkatan sekresi mukus
c. Adanya sel-sel inflamasi yang persisten  inflamasi kronik
d. Peningkatan fibrogenic growth factor  deposisi kolagen pada RBM dan ECM
e. Elastolysis  penurunan elastisitas saluran napas
Gejala Klinis
Gejala pasien asma sangat bervariasi, yaitu batuk berulangm sesak napas, rasa berat di
dada, napas berbunyi (mengi/wheezing). Mengi pada umumnya bilateral, polifonik, dan lebih
terdengar pada fase ekspirasi. Pada beberapa pasien dengan obstruksi jalan napas yang tidak
berat, intensitas mengi tidak keras, nada tidak tinggi dan hanya terdengar pada saat ekspirasi.
Semakin berat obstruksi jalan napas yang terjadi, intensitas semakin keras, nada semakin tinggi,
dan terdengar di kedua fase pernapasan (inspirasi dan ekspirasi). Namun, pada obstruksi jalan
napas yang sangat berat, mengi tidak terdengar, dan biasanya pasien menunjukkan gejala gelisah,
penurunan kesadaan, dan sianosis. Kondisi ini dikenal dengan istilah silent chest.
Gejala-gejala ini juga dialami oleh penyakit pernapasan lain, misalnya bronkitis, PPOK,
dan lain-lain. Pola yang dialami oleh penderita asma, yang cukup khas adalah episodik,
variabilitas, reversibel.
1. Episodik:
Serangan yang berulang, dan diantara serangan terdapat periode bebas serangan.
2. Variabilitas:
Bervariasinya kondisi asma pada waktu-waktu tertentu seperti perubahan cuaca dan
provokasi faktor pencetus. Variasi dapat terjadi dalam 1 hari misalnya dengan perburukan
pada pagi hari atau malam hari.
3. Reversibel:
Meredanya gejala asma dengan atau tanpa obat bronkodilator. Dengan demikian dapat
diketahui bahwa dominasi obstruksi disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkus.
Selain itu, kondisi lain yang juga dapat mendukung diagnosis adalah,
1.
2.
3.
4.
Gejala disertai rinitis alergi
Gejala atopi (misal konjungtivitis alergi, dermatitis atopi)
Riwayat alergi dalam keluarga
Batuk pilek yang berlangsung lama dan sering terjadi komplikasi pada saluran napas
bawah
Secara klinis, gejala yang juga dapat menguatkan diagnosis asma adalah ditemukannya
keluhan berikut pada eksaserbasi akut, yaitu peningkatan nadi dan frekuensi napas, penggunaan
otot-otot bantu napas, serta pulsus paradoksus.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis asma membutuhkan penunjang standar dan penunjang tambahan.
1. Pemeriksaan penunjang standar
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri adalah salah satu metode yang direkomendasikan untuk
menilai fisiologi paru. Pemeriksaan ini sangat bergantung dari usaha pasien, untuk
dapat melakukan manuver yang tepat, serta sangat membutuhkan pemeriksa yang
ahli. Pada pemeriksaan ini dinilai 2 hal, yaitu penilaian obstruksi jalan napas dan
penilaian reversibilitas. Pemeriksaan obstruksi jalan napas, berdasarkan rasio VEP1
dan KVP, nilai normalnya adalah diatas 75-80%. Sedangkan reversibiltas menilai
perubahan cepat dari VEP1 atau APE setelah diberikan bronkodilator. Perubahan
sebesar 12% dan 200 ml mengindikasi adanya obstruksi akibat kontraksi otot polos.
b. Pengukuran APE (Arus Puncak Ekspirasi)
Metode lain yang dapat dilakukan untuk menilai diagnosis asma adalah pengukuran
APE. Kelebihan pengukuran ini adalah tidakmahal, portable, dan mudah dipakai.
Pengukuran APE tidak sama dengan VEP1, dan tidak cukup baik menggambarkan
derajat obstruksi jalan napas. Pengukuran APE digunakan untuk menilai
reversibiltas, bila perubahan ≥ 60l/menitn atau 20% setelah penggunaan
brnkodilator dan variabilitas, yang diukur pada pagi hari (nilai terendah), dan
malam hari (nilai tertinggi).
2. Pemeriksaan penunjang tambahan
a. Uji provokasi bronkus untuk menilai hipereaktivitas bronkus. Uji ini dilakukan
pada pasien dengan gejala sesuai asma, namun pemeriksaan fisik dan faal paru
normal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cari inhalasi metakolin atau histamin
sebagai zat provokasi. Penurunan VEP1 20% menunjukan adanya hiperreaktivitas
bronkus. Pemeriksaan ini sensitif namun kurang spesifik.
b. Uji alergi untuk menilai status alergi. Penyakit asma memiliki hubungan erat
dengan rinitis alergi, sehingga kondisi alergi meningkatkan probabilitas asma. Uji
ini dilakukan dengan menusukan kulit dengan alergen (skin prick test).
c. Pemeriksaan serum IgE spesifik. Pemeriksaan ini relatif mahal, dan mempunyai
keterbatasan dalam menilai status alergi. Konfirmasi terhadap pajanan harus
dilakukan. Pengukuran IgE total tidak mempunyai nilai sebagai uji diagnostik
alergi atau atopi.
Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.
5.
Sindrom hiperventilasi dan serangan panik
Obstruksi saluran napas atas dan benda asing
Disfungsi pita suara
Bronkitis kronik
PPOK
6. Bronkiolitis
7. Diffuse Parenchymal Lung Disease
8. Kondisi lain bukan respirasi (misal gagal ventrikular)
BAB III
PENATALAKSANAAN ASMA
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualitas
hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas seharihari. Adapun bila dirinci, tujuan asma antara lain sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
Mencegah eksaserbasi akut
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise
Menghindari efek samping obat
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma ditujukan untuk mengontrol penyakit, dengan kriteria asma
dikatakan terkontrol bila:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise
Kebutuhan bronkodilator (agonis β2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)
Variasi harian APE kurang dari 20 %
Nilai APE normal atau mendekati normal
Efek samping obat minimal (tidak ada)
Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
Bila asma telah berada pada tahapan terkontrol, maka kondisi ini harus terus diupayakan
tetap stabil melalui dilakukannya pemantauan lanjutan dan dipertahankannya pengobatan
setidaknya selama beberapa bulan. Umumnya pasien akan diminta melakukan kunjungan setiap
1 – 3 bulan, kemudian dalam waktu 3 – 4 bulan dinilai perbaikan kondisinya. Bila dirasa perlu,
maka penderita dapat ditingkatkan tahapannya.
Tatalaksana tersebut dapat dilakukan melalui intervensi farmakologis maupun non
farmakologis.
Terapi Farmakologis
Ditinjau dari aspek farmakologis, pengobatan pada asma disesuaikan dengan penilaian
pada pasien. Adapun pengobatan dilakukan dalam beberapa tahapan.
Tahapan Pengobatan Asma
Tahap 1 didefinisikan sebagai kemunculan gejala asma yang sangat jarang, dimana tidak
ada gejala dan ditemukan faal paru normal di antara episodik, dan belum ada riwayat pengobatan
dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi.
Pada pasien dalam tahapan ini, diberikan pengobatan pelega (reliever) jika perlu, yaitu
inhalasi Short Acting Beta – 2 Agonists (SABA). Contoh SABA yang sering digunakan adalah
salbutamol 100 μg/kali, terbutalin 0,5 mg/kali, prokaterol 20 μg/kali, dan fenoterol 100 μg/kali.
Di samping itu, dapat pula diberikan SABA oral atau kombinasi dengan teofilin / aminofilin /
antioklineergik kerja singkat. Sesuai namanya, obat ini bekerja dengan cara aktivasi reseptor β2
yang menimbulkan efek relaksasi otot polos bronkus.
Efek samping yang umumnya dapat ditemukan antara lain tremor, rasa gugup, khawatir,
takikardia, palpitasi, nyeri kepala, mual, ataupun muntah, yang umumnya jarang terjadi pada
pemberian secara inhalasi. Pemberian obat ini harus dilakukan secara hati – hati pada pasien
dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, hipertiroid, maupun
diabetes.
Tahap 2 ditujukan bagi penderita asma dengan gejala dan eksaserbasi periodik, sehingga
dalam hal ini dibutuhkan pengontrol kortikosteroid inhalasi dokter rendah dan pelega (SABA)
hanya jika diperlukan. Alternatif yang dapat diberikan adalah leucotrien modifiers / anti –
leukotrien, dengan indikasi utama pasien yang mengalami efek samping pada penggunaan
kortikosteroid inhalasi dan rinitis alergika dominan. Pada pasien dengan asma nokturnal, dapat
pula diberikan teofilin lepas lambat.
Pilihan kortikosteroid yang dapat digunakan beserta dosisnya terangkum pada tabel 7.
Tabel 7. Dosis Harian Kortikosteroid untuk Tatalaksana Asma
Kortikosteroid Inhalasi
Beklometason dipropionat
Budesonid
Siklesonid
Flunisolid
Flutikason
Mometason Furoate
Triamsinolon
Dosis Rendah (μg)
200 – 500
200 – 400
80 – 160
500 – 1000
100 – 250
200 – 400
400 – 1000
Dosis Sedang
>500 – 1000
400 - 800
160 – 320
1000 – 2000
250 – 500
400 – 800
1000 – 2000
Dosis Tinggi
1000 – 2000
800 – 1600
320 – 1280
> 2000
500 – 1000
800 – 1200
> 2000
Tahap 3 dimulai bila tidak ditemukan masalah pada cara penggunaan obat, kepatuhan,
serta faktor lain dari penderita, akan tetapi masih menunjukkan gejala yang belum terkontrol
dalam 12 minggu berada pada tahapan 2. Selain itu, tahap 3 juga dapat dimulai segera bila gejala
sering muncul. Pada tahapan ini, diberikan kombinasi antara inhalasi kortikosteroid dosis rendah
dan Long Acting Beta – 2 Agonists (LABACS). Contoh LABA yang sering digunakan adalah
indacaterol dan procaterol. Alternatif yang dapat diberikan adalah kortikosteroid inhalasi dosis
sedang, ataupun dosis rendah yang dikombinasikan dengan anti leukotrien maupun teofilin lepas
lambat.
Bila pasien yang berada pada tahap 3 tidak juga terkontrol, pasien perlu segera dirujuk ke
dokter spesialis yang ahli dalam penanganan asma.
Tahap 4 adalah fase lanjutan yang pasti didahului oleh tahapan sebelumnya, yaitu pada
tahap 3 yang belum terkontrol. Pengobatan yang diberikan adalah kombinasi inhalasi
kortikosteroid dosis sedang - tinggi dengan LABA. Apabila kortikosteroid yang diberikan pada
kombinasi memiliki dosis tinggi, masa pengobatan pun harus dibatasi hanya untuk 3 – 6 bulan
saja. Anti leukotrien dan teofilin lepas lambat dapat dipertimbangkan untuk diberikan bila
ternyata memang dibutuhkan. Ketika pengobatan dengan tahap 4 masih belum dapat mengontrol
asma, dalam hal ini penderita mengalami keterbatasan beraktivitas disertai eksaserbasi sering,
maka tatalaksana dilanjutkan pada tahap 5.
Pada tahap 5, dilakukan adisi kombinasi obat dengan kortikosteroid oral dosis terendah,
misalnya metilprednisolon, maupun anti IgE dapat dipikirkan.
Adapun pada keseluruhan rangkaian terapi ini, pengkajian pada kepatuhan, cara
penggunaan obat, komorbiditas, serta pencetus harus selalu menjadi perhatian. Setiap prinsip
yang dilakukan juga sebaiknya disesuaikan dengan biaya, kepuasan, serta efek samping yang
muncul pada penderita.
Setelah dilakukan pengobatan, dilakukan monitor pada kondisi pasien selama beberapa
bulan. Pada umumnya, bergantung kepada kondisi pasien, dokter akan memutuskan untuk
menurunkan, menghentikan, maupun meningkatkan pengobatan.
Terapi untuk Eksaserbasi Akut
Eksaserbasi didefinisikan sebagai episodik perburukan yang ditandai dengan
meningkatnya gejala disertai penurunan arus ekspirasi melalui pemeriksaan faal paru. Adapun
tatalaksana awal yang diberikan terdiri atas pemberian oksigen dengan target saturasi oksigen
mencapai 90% pada orang dewasa dan 95% pada anak – anak.
Di samping itu, diberikan pula bronkodilator berupa SABA secara nebulisasi sebanyak
maksimal 3 kali dalam 1 jam dengan rentang waktu 15 – 20 menit.
Bronkodilator diindikasikan karena efek bronkodilatasi yang kuat dan onset kerja yang
cepat. Adapun cara pemberian yang dianjurkan adalah inhalasi dengan IDT memakai spacer.
Dalam praktiknya, SABA seringkali dikombinasikan dengan antikolinergik, yaitu ipratropium
bromide. Bila masih belum menunjukkan hasil yang optimal, dapat diberikan aminofilin secara
bolus intravena secara perlahan – lahan dengan dosis 5 – 6 mg/kg BB dilanjutkan dengan drip
dosis 0,5 – 0,9 mg/kgBB/jam.
Kortikosteroid juga diindikasikan pada kejadian eksaserbasi akut, terutama apabila belum
ditemukan respons optimal dengan bronkodilator, eksaserbasi pada terapi kortikosteroid oral,
serta kondisi eksaserbasi berat. Efek yang ditimbulkannya bukanlah bronkodilatasi secara
langsung, melainkan hambatan produksi kemokin, sitokin, eikosanoid, hambatan pada
peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit lain di jaringan paru, serta menurunkan permeabilitas
vaskular.
Pada umumnya, pemberian dosis tunggal besar bila diperlukan pun dapat dibenarkan,
terutama apabila terdapat kondisi yang mengancam jiwa pasien. Namun, perlu diperhatikan
bahwa penghentian tiba – tiba atau penggunaan kortikosteroid berkepanjangan diketahui
berhubungan dengan meningkatnya risiko infeksi, hipertensi, ulkus lambung / duodenum,
hiperglikemia, dan osteoporosis. Pada praktik sehari – hari, pemberian yang dianjurkan adalah
prednison oral 50 mg, metilprednisolon 125 mg intravena, atau hidrokortison 500 mg intravena.
Setelah terapi, kembali dilakukan monitor pada kondisi pasien. Dalam 1 – 2 jam
berikutnya, kembali dilakukan penilaian untuk melihat apakah diperlukan tindakan selanjutnya.
Bila pengobatan berespons baik dan pasienn telah stabil, pasien dapat dipulangkan.
Terapi Non Farmakologis
Di samping terapi secara farmakologis, dapat pula dilakukan terapi secara non
farmakologis, di antaranya:
1. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan keluarga, untuk menjadi mitra dokter dalam penatalaksanaan asma.
Edukasi yang baik akan menurunkan morbidity dan mortality, menjaga penderita agar tetap
masuk sekolah / kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena berkurangnya serangan akut
terutama jika membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat / perawatan rumah sakit.
Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk :






meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri)
meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma)
meningkatkan kepuasan
meningkatkan rasa percaya diri
meningkatkan kepatuhan (compliance)
membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
Bentuk pemberian edukasi dapat beraenka ragam, mulai dari komunikasi / nasehat saat
berobat, penyuluhan, latihan / training, supervisi, diskusi, tukar menukar informasi (sharing of
information group), film/video presentasi, serta leaflet, brosur, dan buku bacaan.
Komunikasi yang baik adalah kunci kepatuhan pasien, oleh karenanya, upaya
meningkatkan kepatuhan pasien perlu untuk dilakukan, yaitu dengan:
1. Edukasi dan mendapatkan persetujuan pasien untuk setiap tindakan/penanganan yang
akan dilakukan. Jelaskan sepenuhnya kegiatan tersebut dan manfaat yang dapat dirasakan
pasien
2. Tindak lanjut (follow-up). Setiap kunjungan, menilai ulang penanganan yang diberikan
dan bagaimana pasien melakukannya. Bila mungkin, kaitkan dengan perbaikan yang
dialami pasien (gejala dan faal paru).
3. Menetapkan rencana pengobatan bersama-sama dengan pasien.
4. Membantu pasien/keluarga dalam menggunakan obat asma.
5. Identifikasi dan atasi hambatan yang terjadi atau yang dirasakan pasien, sehingga pasien
merasakan manfaat penatalaksanaan asma secara konkret.
6. Menanyakan kembali tentang rencana penganan yang disetujui bersama dan yang akan
dilakukan, pada setiap kunjungan.
7. Mengajak keterlibatan keluarga.
8. Pertimbangkan pengaruh agama, kepercayaan, budaya dan status sosioekonomi yang
dapat berefek terhadap penanganan asma
2. Pengukuran peak flow meter
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
1. Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien di
rumah.
2. Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
3. Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di atas >
5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang sulit/tidak
mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk mendapat serangan
yang mengancam jiwa.
Pada asma mandiri, pengukuran APE dapat digunakan untuk membantu pengobatan
seperti :




Mengetahui apa yang membuat asma memburuk
Memutuskan apa yang akan dilakukan bila rencana pengobatan berjalan baik
Memutuskan apa yang akan dilakukan jika dibutuhkan penambahan atau penghentian
obat
Memutuskan kapan pasien meminta bantuan medis/dokter/IGD
4.
Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
5.
Pemberian oksigen
6.
Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
7.
Kontrol secara teratur
8.
Pola hidup sehat, dapat dilakukan dengan :



Penghentian merokok
Menghindari kegemukan
Kegiatan fisik misalnya senam as ma
Pencegahan
Pencegahan pada asma meliputi pencegahan primer, sekunder, dan tersier
1. Pencegahan Primer
Mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma
2. Pencegahan Sekunder
mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma
3. Pencegahan Tersier
Mencegah agar tidak terjadi serangan / manifestasi klinis asma pada penderita yang sudah
menderita asma
Komplikasi
1. Pneumothoraks
2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis
3. Atelektasis
4. Aspergilosis bronkopulmonar alergik
5. Gagal nafas
6. Bronchitis
7. Fraktur iga
Prognosis
Nilai mortalitas akibat asma termasuk rendah. Dari studi epidemiologi, didapatkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta.
Namun, angka kematian cenderung meningkat di daerah dengan fasilitas kesehatan yang
terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan
pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa
kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma dengan usia 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis
pertama bervariasi dari 26 sampai 78 persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi
persentase anak yang menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen).
Tidak seperti penyakit saluran napas yang lain seperti bronchitis kronik, asma tidak
progresif. Walaupun ada laporan pasien asma yang mengalami perubahan fungsi paru yang
irreversible, pasien ini seringkali memiliki rangsangan komorbid seperti perokok berat. Bahkan
jika tidak diobati, pasien asma tidak akan berubah dari penyakit yang ringan menjadi penyakit
yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian mengatakan bahwa remisi spontan
terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen
atau lebih diharapkan membaik dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang
sewaktu pasien di usia tua.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood L. Sistem Pernapasan. In: Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Pendit BU, Santoso
BI, eds. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.p.430.2.
2. Ganong WF. Fungsi Paru. In: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Widjajakusumah D, Irawati D,
Siagian M, Moeloek D, Pendit BU, eds. 20th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2003.p.627-9.
3. Guyton AC, Hall JE. Ventilasi Paru. In: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Setiawan I, ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997.p.603-4.
4. PDPI. Asma: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2004
5. DAI. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta: Dewan Asma Indonesia; 2006.
6. Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th edition. New
York: McGraw Hill; 2001.p.297-315.
7. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. hal. 66-82, 273-97.
Download