KEDUDUKAN, KEWENANGAN, dan TINDAKAN PEMERINTAH

advertisement
TUGAS MAKALAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas
“HUKUM ADMINISTRASI NEGARA”
Disusun oleh :
Kelompok 6
Kelas A
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL“VETERAN”
JAWA TIMUR
TIM PENYUSUN :
Rio okto dharmawan
Iman dwi saputra
Nakamichi audi P.
Dyfonny Oktavia
(1171010061)
(1171010062)
(1171010051)
(1171010036)
i
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, karena dengan ridhonya
kita dapat senantiasa menjalani aktivitas dengan keadaan sehat jasmani dan rohani. Tak lupa kepada para
dosen pengajar yang memberikan waktu untuk para mahasiswanya agar dapat menyelesaikan tugas yang
di berikan dan pemberian materi yang bermanfaat untuk kelangsungan perkuliahan kami.
Makalah ini adalah salah satu bentuk keseriusan kami dalam mengerjakan tugas sehingga dapat
menjadi tolak ukur kemampuan kami dalam memahami materi yang di berikan oleh para dosen.
Harapan saya makalah ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnnya dan membantu
mahasiswa mendapatkan pengetahuan atau ilmu yang berhubungan dengan Hukum Islam yang sesuai
dengan isi makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini saya akui belum sepenuhnya sempurna atau terperinci tetapi banyak
kekurangan karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang dalam pembuatan makalah ini. Oleh
karena itu, saya membutuhkan masukan berupa kritik dan saran yang dapat menjadikan koreksi untuk
kesempurnaan makalah ini.
ii
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN ..............................................................................................................
i
KATA PENGANTAR........................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
BAB II
PEMBAHASAN ...............................................................................................
13
2. 1 . Pengertian Perbuatan Melawan Hukum...................................................
13
2. 1 . Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah..........................................
13
PENUTUP........................................................................................................
16
3. 1. Kesimpulan ..............................................................................................
16
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................
17
BAB III
iii
BAB I
Pendahuluan
A. Syarat Kebiasaan Tindakan Pemerintah
KEDUDUKAN, KEWENANGAN, dan TINDAKAN PEMERINTAH
Kedudukan Pemerintah
Pemerintah atau Administrasi negara mempunyai kedudukan sebagai wakil dari lembaga publik,
dan sebagai wakil dari badan hukum privat.
Kewenangan Pemerintah
Sesuai asas legalitas bahwa pemerintah diatur oleh peraturan perundang-undangan dalam
kewenangannya. Penerapan asas ini menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan.
Artinya asas legalitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap
pemerintah.
Sumber dan cara memperoleh wewenang pemerintah bersumber dari undang-undang dasar dan
undang-undang.
Secara
teoretis
kewenangan
yang
bersumber
dari
peraturan
perundangan-
undangan tersebut di peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi (Attributie), Delegasi (Delegatie), dan
Mandat (Mandaat).
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang kepada organ
pemerintah, Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah kepada
organ pemerintah lainnya, dan Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Tindakan Pemerintah
Tindakan pemerintah (Bestuurshandeling) yang dimaksud adalah setiap tindakan atau perbuatan
yang dilakukan oleh alat perlengkapan dalam menjalankan pemerintahan (bestuurs organ) dalam
menjalankan fungsi pemerintahan (bestuurs functie). Ada 2 (dua) bentuk tindakan pemerintah yakni:
1.
2.
Tindakan berdasarkan hukum (rechts handeling); dan
Tindakan berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum (feitelijke
handeling).
1
Tindakan pemerintah berdasarkan hukum (rechts handeling) dapat dimaknai sebagai tindakan
yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan suatu hak dan
kewajiban. Tindakan ini lahir sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah sebagai subjek
hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan menimbulkan akibat hukum.
Tindakan pemerintah berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum
(feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan langsung dengan kewenangannya dan
tidak menimbulkan akibat hukum.
Bahwa tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dan organ
administrasi dalam keadaan khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum
administrasi. Jadi dapat dikatakan tindakan hukum pemerintah apabila tindakan yang dimaksud dilakukan
organ pemerintah (bestuurs orgaan) dan menimbulkan akibat hukum khususnya di bidang hukum
administrasi.
Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa penciptaan hubungan hukum yang baru maupun
perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada. Dengan demikian tindakan hukum pemerintah di
maksud memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a.
Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai penguasa,
maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs organ);
b.
Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c.
Tindakan yang dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum (recht gevolgen) di
bidang hukum administrasi;
d.
Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum;
e.
Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah;
f.
g.
Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum; dan
Tindakan Hukum Pemerintah dapat berbentuk tindakan berdasarkan hukum publik dan berdasarkan
hukum privat.
Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam
menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik ini dilakukan berdasarkan kewenangan
pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat lahir dari kewenangan yang bersifat hukum
publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan
hukum keperdataan.
2
Tindakan Badan atau Pejabat dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian yakni:
a.
Tindakan membuat Keputusan (beschikking)
b.
Tindakan membuat Peraturan (regeling)
c.
Tindakan Materiil (materiele daad)
ad. 1.
Membuat Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking)
Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
merumuskan:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan perundang-undangan yang
berlaku yang bersifat konkrit, individual, dan tindakan yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.”
Perumusan ini mengandung arti bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yang memenuhi
unsur-unsur tersebutlah sebagai syarat formal (kumulatif) yang dapat dimohonkan penyelesaiannya di
Peradilan Tata Usaha Negara.
Yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan Tata Usaha Negara
yang tidak ada wujudnya tetapi merupakan suatu sikap diam atau tidak mengeluarkan keputusan yang
telah dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu menjadi kewajibannya. Terhadap sikap Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat dijadikan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana dalam Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986. Hal ini disebut
Keputusan Fiktif Negatif.[4]
Dengan demikian kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai ciri-ciri:
1.
Yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara.
2.
Objek sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara berupa penetapan tertulis, termasuk yang
dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
3
3.
Keputusan yang dijadikan objek sengketa bersifat konkrit, individual, final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
4.
Bukan merupakan keputusan-keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 49 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
ad. 2.
Membuat Peraturan (Regeling)
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum tidak termasuk
Keputusan Tata Usaha Negara dalam arti beschikking, yang berarti terhadap perbuatan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang bersifat umum tidak dapat digugat di Peradilan
Tata Usaha Negara. Misalnya Keputusan Menteri, Keputusan Walikota, dan lain-lain.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang dibentuk oleh Lembaga Negara atau Pejabat berwenang dan mengikat secara
umum.
Perlu dijelaskan bahwa dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2004 “Keputusan” tidak termasuk pada hierarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 7. Istilah keputusan diubah dengan sebutan ”Peraturan” misalnya Peraturan Menteri,
Peraturan Gubernur, Peraturan Walikota, Peraturan Bupati dan lain-lain.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b.
Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang;
c.
Peraturan Pemerintah;
d.
Peraturan Presiden; dan
e.
Peraturan Daerah.
Bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Sesuai Pasal 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2004 dapat diketahui bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur,
Keputusan Bupati/Walikota atau Keputusan pejabat lainnya, harus dibaca sebagai peraturan sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
4
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006
tentang jenis dan bentuk produk hukum daerah menyebutkan jenis produk hukum daerah terdiri atas:
a.
Peraturan Daerah;
b.
Peraturan Kepala Daerah;
c.
Peraturan Bersama Kepala Daerah;
d.
Keputusan Kepala Daerah;
e.
Instruksi Kepala Daerah;
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang merupakan pengaturan yang bersifat umum termasuk perundang-undangan tidak merupakan bagian
dari perbuatan keputusan (beschikking) tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan
peraturan (Reglement Daad van De Administratie).
ad. 3.
Tindakan Materiil (Materiele Daad)
Tindakan materiil adalah tindakan nyata yang tidak melahirkan akibat hukum (Recht Gevolg)
dari perbuatan pemerintah tersebut sedangkan tindakan hukum yaitu ada maksud untuk melahirkan akibat
hukum. Bentuk-bentuk konkrit dari tindakan materiil dapat dicontohkan sebagai berikut:
a.
Perbuatan nyata Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam fungsi pelayanan. Dalam fungsi ini
perbuatan nyata dilihat dari:
-
Fungsi pelayanan jasa misalnya pelayanan jasa pos dan telekomunikasi, pelayanan listrik dan
penyediaan air minum, pelayanan jasa angkutan kereta api, pelayanan jasa angkutan laut (PELNI).
-
Fungsi pelayanan pemerintahan misalnya:
1.
Pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan.
2.
Pihak Kelurahan mewajibkan bagi setiap warga yang membuat KTP untuk membuat pas photo
(wajib photo).
b.
Fungsi Pembangunan misalnya pembangunan jembatan dan gedung pemerintah.
c.
Dalam rangka penegakan hukum misalnya tindakan pengosongan dan penyegelan.
5
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah
Di dalam membuat suatu keputusan (beschikking) pemerintah harus memperhatikan ketentuan atau
syarat-syarat tertentu apabila syarat tertentu dimaksud tidak dipenuhi berakibat keputusan yang dibuat
tidak sah. Oleh karena itu tidak sahnya suatu keputusan yang dibuat pemerintah akan berakibat tidak
sahnya tindakan pemerintah. Tidak sahnya tindakan pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat
keputusan yang dibuat batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah dapat berlaku sebagai keputusan yang sah, maka
harus memenuhi 4 (empat) syarat antara lain:
a.
Keputusan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa membuatnya;
b.
Oleh karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan
kehendak tersebut tidak boleh memuat kekurangan yuridis;
c.
Keputusan tersebut diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan
pembuatnya juga harus memperhatikan cara-cara (prosedure) membuat ketetapan yang dimaksud, apabila
cara yang dimaksud ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut; dan
d.
Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Cacat yuridis keputusan Tata Usaha Negara dan tindakan pemerintah menyangkut 3 (tiga) aspek
utama yakni aspek Kewenangan, Prosedur; dan Substansi/Materi.
Tindakan pemerintahan dijalankan berdasarkan norma wewewang pemerintah baik diperoleh
secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Dengan demikian suatu tindakan pemerintah yang tidak
didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang memberikan wewenang untuk bertindak
adalah sebagai tindakan yang melanggar hukum. Oleh karena norma wewenang sebagai norma
pemerintahan, maka untuk mengukur keabsahan tindakan pemerintah dapat menggunakan 2 (dua) alat
ukur yaitu:
1.
Peraturan perundang-undangan, dan/atau
2.
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Kedua alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 Undang-undang dimaksud memuat alasan-alasan yang
digunakan untuk menggugat pemerintah atas dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha Negara yang
merugikan pihak yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara.
6
Secara lengkap bunyi Pasal 53 adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Orang atau Badan Hukum yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang bewenang yang berisi tuntutan agar
keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Ayat (2) Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan/atau
b.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik.
Ad.1
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, Keputusan dimaksud dapat diuji dari;
a.
b.
Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan;
Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan Tata Usaha Negara yang
diisyaratkan oleh peraturan perundang–undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah ditempuh
atau tidak; dan
c.
Aspek Substansi/Materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangan apakah secara
materi/ substansi telah selesai dengan ketentuan–ketentuan hukum atau peraturan perundang–undangan
yang berlaku.
Ad.2
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas Umum
Pemerintahan yang Baik. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tertulis menurut
penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang meliputi;
a.
Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan Penyelenggara Negara;
b.
Asas Tertib Penyelenggara Negara, yaitu asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan
keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggara Negara;
c.
Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
aspiratif, akomodatif, dan selektif;
7
d.
Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan
rahasia negara;
e.
Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak ddan kewajiban
Penyelenggara Negara;
f.
Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
g.
Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tidak tertulis dikenal sebagai
berikut[5];
1.
Asas-asas formal yang berkaitan dengan pembentukan keputusan;
a.
asas kecermatan formal (zorgvuldige voorbereiding);
b.
asas kejujuran, keterbukaan, dan tidak memihak (fair play);
c.
asas larangan penyalahgunaan prosedur (verbod van detournement de procedure).
2.
Asas-asas formal yang berkaitan dengan rumusan keputusan;
a.
asas pertimbangan harus memadai;
b.
asas kepastian hukum formal.
3.
Asas-asas materil yang berkaitan dengan isi keputusan;
a.
asas kepastian hukum materil;
b.
asas kepercayaan atau asas harapan yang telah ditimbulkan;
c.
asas persamaan perlakuan/larangan diskriminasi;
d.
asas larangan penyalahgunaan wewenang (verbod van detournement de pouvoir);
e.
asas kecermatan materil;
f.
g.
asas keseimbangan;
asas larangan berbuat sewenang-wenang (abus de droit/willekeur).
8
Selain itu ada pula Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam bentuk tidak tertulis yang semula
dikembangkan oleh De’ Monchy, yaitu:[6]
1.
Asas Kepastian Hukum;
2.
Asas Keseimbangan;
3.
Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan;
4.
Asas Bertindak Cermat;
5.
Asas Motivasi Untuk Setiap Keputusan;
6.
Asas Jangan Menyalahgunakan Wewenang;
7.
Asas Permainan Jujur;
8.
Asas Larangan Bertindak Sewenang-wenang (Keadilan);
9.
Asas Pemenuhan Penghargaan Yang Ditimbulkan;
10.
Asas Meniadakan Akibat Dari Keputusan;
11.
Asas Perlindungan Cara Hidup Pribadi;
12.
Asas Kebijaksanaan;
13.
Asas Penyelenggara Kepentingan Umum; dan
14.
Beberapa asas yang dapat digali dalam kearifan lokal masing-masing daerah.
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Apabila Keputusan Tata Usaha Negara menimbulkan sengketa antara seseorang atau badan hukum
perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, maka dapat dilakukan diselesaikan dengan cara
sebagai berikut:
1.
Upaya Administratif; dan
2.
Gugatan.
Ad. 1.
Upaya Administratif
Upaya Administratif yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu suatu prosedur yang
dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu Keputusan
Tata Usaha Negara.
9
Pasal 48 tersebut menentukan:
1.
Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara
tertentu, maka sengketa Tata Usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang
tersedia;
2.
Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud ayat (1), jika seluruh upaya administrasi yang bersengketa telah digunakan.
Bentuk upaya administratif yaitu:
a.
Keberatan;
b.
Banding Administratif; dan
c.
Keberatan dan Banding Administratif.
Tindak lanjut dari upaya administratif
Jika seseorang atau badan hukum perdata masih belum puas terhadap keputusan upaya
administratif yang telah diajukan:
a.
jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang
tersedia adalah keberatan, maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara;
b.
jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang
tersedia adalah banding administratif atau keberatan dan banding administratif, maka penyelesaian
selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai
peradilan tingkat pertama.
ad. 2.
Gugatan
Disamping melalui upaya administratif seperti yang disebutkan diatas, penyelesaian sengketa
Tata Usaha Negara dapat juga dilakukan melalui gugatan. Gugatan tersebut dengan ketentuan tidak ada
upaya administratif yang harus dilalui dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi sengketa. Gugatan juga dapat dilakukan
seseorang atau badan hukum perdata yang sudah melalui upaya administratif dan sudah mendapat
Keputusan Tata Usaha Negara namun masih merasa dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara tersebut.
10
Sesuai dengan Pasal 53 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, menentukan orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi. Dan dalam hal ini juga termasuk
gugatan terhadap Keputusan Fiktif Negatif.
Syarat-syarat gugatan
Pasal 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara menentukan:
Bahwa gugatan harus memuat, antara lain:
a.
Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya;
b.
Nama jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;
c.
Dasar gugatan (posita/fundamentum petendi) dan hal yang diminta (petitum/tuntutan) untuk
diputuskan oleh Pengadilan;
d.
Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus
disertai surat kuasa yang sah;
e.
Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh
penggugat.
Menyangkut tentang surat kuasa yang sah, walaupun pada prinsipnya yang bersengketa di pengadilan tata
usaha negara adalah para pihak itu sendiri, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 57 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka para pihak masingmasing pihak dapat didampingi oleh seseorang atau beberapa orang kuasanya.[7]
Tenggang Waktu Gugatan
Bahwa Pasal 55 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menentukan bahwa gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan
puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha
Negara yaang dimaksud.
Dalam hal yang hendak digugat itu merupakan keputusan, menurut ketentuan:
a.
Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah lewatnya tenggang
waktu yang ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan
yang bersangkutan;
11
b.
Pasal 3 ayat (2), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari dihitung setelah lewatnya batas
waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan;
c.
Perhitungan hari yang dimaksud berdasarkan perhitungan hari kalender dan bukan hari kerja.
Jenis-jenis Putusan
Dari ketentuan Pasal 97 ayat (7) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat diketahui Putusan Pengadilan dapat berupa:
a.
gugatan ditolak;
b.
gugatan dikabulkan;
c.
gugatan tidak diterima;
d.
gugatan gugur.
Perdamaian
Dalam penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal
perdamaian seperti halnya dalam perkara perdata di Peradilan Umum. Namun jika antara para pihak dalam
sengketa Tata Usaha Negara diluar pemeriksaan sidang Pengadilan terjadi perdamaian, maka:
a.
Penggugat wajib mencabut gugatannya secara resmi dalam sidang terbuka untuk umum dengan
menyebutkan alasan pencabutannya;
b.
Apabila pencabutan gugatan dimaksud dikabulkan, maka Hakim memerintahkan agar Panitera
mencoret gugatan tersebut dari register perkara;
c.
Perintah pencoretan tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Namun apabila dalam pencabutan gugatan oleh Penggugat ini terdapat unsur paksaan,
kekeliruan atau tipuan yang dilakukan oleh Tergugat, maka dengan sendirinya Pengadilan tidak akan
mengabulkan pencabutan gugatan yang akan dilakukan oleh Penggugat.
12
BAB II
PEMBAHASAN
PERBUATAN MELAWAN HUKUM OLEH PEMERINTAH
(PMHP)
A.
Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Manusia adalah makhluk social yang sudah tentu berinteraksi dengan manusia yang lain dan itu adalah
sebuah kewajiban. Kehidupan manusia selalu membawa dan menyeret adanya interaksi, kontak antara
individu yang satu dengan yang lainnya. Dengan adanya realita yang seperti ini maka memunculkan
sebuah ikatan diantara manusia. Dan dari situlah terlahir sebuah nilai, norma dan aturan diantara mereka
yang kemungkinan tidak mereka sadari. Hal itu terjadi karena adanya pertukaran hak dan kewajiban,
adanya kepentingan diantara mereka, adanya hati yang menginginkan keteraturan. Dari interaksi ini pula
mereka mengenal adanya sebuah pelanggaran yang dikarenakan perbuatan yang bertentangan dengan
nilai, norma atau keteraturan social yang sudah tumbuh dalam interaksi tersebut.
Hukum selalu mengikuti alamnya, hukum selalu menyesuaikan keadaan dikarenakan hukum selalu
muncul sebab ada rangsangan dari peradaban, rangsangan dari perkembangan intelektual manusia.
Begitupun dalam perkembangan pengertian perbuatan melawan hukum (PMH) asalnya kata ini digunakan
untuk rakyat atau subjek hukum (orang atau badan hukum) yang melakukan perbuatan melawan undangundang. Akan tetapi kini juga dikenal adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
penguasa/pemerintah (PMHP).
B.
Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemerintah
Pada kenyataannya, pemerintah juga melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Di Indonesia
perbuatan melawan hukum oleh pemerintah mengadopsi pengertian dari Negara Belanda. Hal itu tak ayal
karena adanya asas konkosiderasi yang dilakukan oleh Belanda terhadap Negara jajahannya. Perbuatan
Melawan Hukum diatur dalam Pasal 1365 s/d Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1365 menyatakan, bahwa
setiap perbuatan yang melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain menyebabkan orang
karena salahnya menerbitkan kerugian mengganti kerugian tersebut.
Molegraaff menyatakan bahwa Perbuatan Melawan Hukum tidak hanya melanggar undang-undang akan
tetapi juga melanggar kaedah kesusilaan dan kepatutan. Sedangkan Hoge Raad mengatakan Perbuatan
Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan :
◦ Hak Subyektif orang lain.
◦ Kewajiban hukum pelaku.
◦ Kaedah kesusilaan.
◦ Kepatutan dalam masyarakat ( Yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk
memperhatikan kepentingan orang lain).
Pada dasarnya sebuah Negara dalam menjalankan tugasnya perlu diberikan kebebasan atau ruang gerak
yang cukup. Namun kebebasan tersebut ada batasnya, yaitu bahwa negara cq penguasa tidak boleh
menyalahgunakan wewenang yang dia miliki. Namun adakalanya negara dalam menjalankan kekuasaan,
dia melanggar kewanangan atau yang dikenal dengan “detournement de pouvoir”. Artinya penyalah
gunaan wewenang penguasa yang mengalihkan kekuasaannya terhadap kepentingan tang tidak merupakan
suatu keharusan.
13
Kreteria melanggar detournement de pouvoir
Pertama, memposisikan terlebih dulu akan kapasitas atau kedudukan dari badan hukum manakan negara
tersebut bertindak (badan hukum publik atau privat). Apabila negara cq penguasa bertindak dalam
kapasitasnya sebagai hukum privat maka kedudukan negara sama dengan kedudukan badan-badan hukum
lain. Namun apabila dia bertindak sebagai badan hukum publik harus dilihat dulu apakah ada
“detournement de pouvoir”. Jika kondisi terakhir terpenuhi maka negara cq penguasa dapat diminta
pertanggungjawabannya dalam kapasitas sebagai badan hukum publik.
Sejarah menggambarkan bahwa pengertian PMH penguasa mengalami perubahan pasang surut. Awalnya
negara cq penguasa tidak dapat dituntut dengan dasar telah melanggar PMH. Dibawah ini adalah alasan
mengapa negara tidak dapat dituntut dengan dasar PMH:
a)
bahwa hal tersebut masuk dalam hukum publik sehingga tidak ada dasar untuk menggugat di
wilayah privat,
b)
apabila dapat dituntut hal yang demikian seolah-olah terjadi pembatasan ruang gerak penguasa
dalam menyelenggarakan kepentingan umum padahal negara membutuhkan itu dalam pembangunan.
Namun pengertian perbuatan melawan hukum penguasa berkembang terus. Seiring perkembangnya
peradaban perbuatan negara yang merugikan rakyat atau bahkan mendzalimi rakyat bisa digugat.
Kedua, harus dilihat kriteria perbuatan melawan hukum penguasa, dibawah ini akan kami sampaikan
beberapa kriteria mengenai perbuatan melawan hukum oleh pemerintah:
a)
Apakah negara dalam bertindak dan melakukan perbuatan berdasarkan pada aturan hukum atau
tidak. Karena apabila negara cq penguasa bertindak tanpa dasar hukum atau peraturan perundangundangan yang berlaku maka negara dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum.
b)
Apabila tindakan negara cq penguasa tersebut berdasarkan hukum atau peraturan perundangundangan yang perlu dilihat apakah negara cq penguasa tersebut bertindak berdasarkan ukuran kepantasan
artinya apakah tindakan negara cq penguasa itu sesuai atau tidak dengan maksud dan tujuan dari peraturan
perundang-undangan.
c)
Apabila negara cq penguasa bertindak demi “kepentingan umum” harus dipertanyakan apakah
alasan atau tindakan demi “kepentingan umum” itu penting atau tidak penting untuk dilakukan. Karena
tindakan untuk mendahulukan kepentingan umum tetapi tidak begitu penting dan mengorbankan
kepentingan perorangan yang lebih penting dan mendesak menyebabkan negara dapat dituntut dengan
PMH.
d) Ada unsur kesewenang-wenangan negara cq penguasa.
Kasus yang masih segar ditelinga kita adalah mengenai Badan Pelaksana Jaminan Sosial Nasional
(BPJSN). Majelis Hakim PN Jakpus memutuskan pemerintah dan DPR telah melakukan perbuatan
melawan hukum karena belum juga mensahkan RUU BPJS dan membentuk BPJSN yang merupakan
amanat dari UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Ketua Majelis Hakim Ennid Hasanuddin dalam
sidang pembacaan vonis tuntutan pembentukan BPJSN. Selain itu, majelis hakim juga menghukum
Presiden dan DPR segera mengesahkan UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial Nasional (BPJSN). Sidang
diselenggarakan di PN Jakarta Pusat.
Manurut majelis hakim, tindakan Presiden yang tidak melaksanakan perintah UU Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) dengan membuat UU BPSJ merupakan tindakan mengabaikan hukum. Akibat kelalaian
ini, maka banyak masyarakat terancam terlantar.
14
Perlindungan hukum yang diberikan kepada orang/Badan Hukum Perdata atas perbuatan
melawan hukum oleh penguasa, antara lain
1.
Melalui Upaya Administasi
Dasar hukumnya diatur dalam ketentuan pasal 48 ayat (1) dan (2) UUD No. 5 tahun 1986 yang sudah
dirubah dengan UU No. 9 tahun 2004 tentang pengadilan Tata Usaha Negara. Bentuk upaya administrasi
terdiri dari dua macam, yaitu :
 Keberatan
: apabila penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut.
 Banding administrative
: apabila penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut.
2.
Melalui Peradilan Umum
Sesuai ketentuan pasal 1365 KUH Perdata maka suatu perbuatan melawan hukum yang dapat digugat
melalui pengadilan haruslah mengandung unsur-unsur antara lain :
 Adanya suatu perbuatan
 Perbuatan tersebut melawan hukum
 Adanya kesalahan
 Adanya kerugian Unsur kerugian
 Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
3.
Melalui Peradilan Tata Usaha Negara
Sesuai dengan ketentuan pasal 53 UU No 5 tahun 1986 yang sudah dirubah dengan UU No 9 tahun
2004 tentang pengadilan TUN, maka seorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang agar keputusan TUN tersebut dinyatakan batal/tidak syah dengan atau tuntutan ganti atau
rehabilitasi. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan adalah :
 Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
15
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat diambil beberapa kesimpulan tentang Perbuatan Melawan Hukum oleh
Penguasa sebagai berikut :
 pengertian perbuatan melawan hukum tidak hanya meliputi perbuatan yang bertentangan dengan pasalpasal peraturan perundang-undangan yang berlaku tetapi termasuk juga perbuatan yang melanggar
kepatutan masyarakat.
 Perlindungan hukum yang diberikan kepada orang/Badan Hukum Perdata atas perbuatan melawan
hukum oleh penguasa, antara lain :
o Upaya administrasi
o Peradilan umum
o Peradilan Tata Usaha Negara
SARAN :
16
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Ujang.2005. Makalah: Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa.Disampaikan dalam
Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Pemerintah Propinsi Lampung.
Rajagukguk ,Erman. Makalah: Perbuatan Melawan Hukum oleh Individu dan Penguasa serta
Kebijaksanaan Penguasa yang Tidak Dapat Digugat.
17
Download