pengaruh penilaian kinerja karyawan terhadap

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Quality of Work Life (QWL)
Pada prinsipnya Quality of Work Life (QWL) perlu diciptakan oleh
organisasi untuk memberikan keseimbangan pada karyawan dalam
melaksanakan karyawan dan kehidupan pribadi. Program kualitas
kehidupan kerja ini dilakukan karena beberapa alasan yaitu ; Organisasi
memiliki tujuan untuk memikat, memotivasi dan mempertahankan
karyawan yang memiliki kompetensi sesuai harapan. Selain itu sebagian
karyawan dalam organisasi seringkali harus bekerja melebihi jam kerja dan
hari kerja, sehingga mereka membutuhkan waktu kerja yang fleksibel untuk
tetap dapat memenuhi kebutuhan pribadi. Kualitas kehidupan kerja
seringkali diartikan secara berbeda. Berikut ini pengertian kualitas
kehidupan kerja dari beberapa sumber:
1. Kualitas kehidupan kerja merupakan teknik manajemen yang mencakup
gugus kendali mutu, job enrichment, suatu pendekatan untuk
bernegosiasi dengan karyawan, hubungan industrial yang serasi,
manajemen partisipatif dan bentuk pengembangan organisasional
menurut French dalam Arifin, 1999.
2. Menurut Wayne (1989), ada dua pandangan mengenai maksud dari
Kualitas Kehidupan Kerja. Pertama, Kualitas Kehidupan Kerja adalah
sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengkayaan
penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang
aman). Sementara yang kedua, Kualitas Kehidupan Kerja adalah
persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, secara rela mereka
puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang
sebagai layaknya manusia.
3. Kualitas kehidupan kerja berfokus pada pentingnya penghargaan
kepada sumberdaya manusia di lingkungan kerja (Luthan, 1995).
Titin Ekowati. 2009. Jurnal Quality of Work Life : Upaya Antisipasi Stress di Tempat Kerja
7
Dessler (2005) mengemukakan bahwa QWL merupakan keadaan
dimana para karyawan dapat memenuhi kebutuhan mereka yang penting
dengan bekerja dalam organisasi, dan kemudian untuk melakukan hal itu
bergantung pada apakah terdapat adanya:
1. Perlakuan yang fair, adil dan suportif terhadap para karyawan.
2. Kompensasi yang cukup dan fair.
3. Lingkungan yang aman dan sehat.
4. Kesempatan bagi tiap karyawan untuk menggunakan kemampuan
secara penuh dan kesempatan untuk mewujudkan diri, yaitu untuk
menjadi orang yang mereka rasa mampu mewujudkannya.
5. Komunikasi terbuka dan saling mempercayai di antara semua karyawan
6. Kesempatan bagi semua karyawan untuk berperan secara aktif dalam
pengambilan keputusan-keputusan penting yang melibatkan karyawankaryawan mereka.
Menurut Bernardin dan Russel (1993), Quality of Work Life (QWL) is
the degree to which individuals are able to satisfy their important personal
need (e.g. need for independent) while imployed by the firm. yaitu tingkat
individu-individu yang merasa puas atas kebutuhan-kebutuhan penting
mereka seperti kebutuhan untuk bebas dimana mereka bekerja dalam suatu
perusahaan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kualitas kehidupan
kerja ditentukan oleh bagaimana pekerja merasakan perannya dalam setiap
organisasi. Peran disini diartikan sebagai bagian dari cara yang sistematis
dimana karyawan berpartisipasi didalam setiap pengambilan keputusan yang
menyangkut masalah sikap dan terkait dengan pekerjaan, kegiatan, dan
organisasi mereka, sehingga peran tersebut mampu memberikan rasa
tanggung jawab dan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap setiap
pekerjaan yang muncul dari kesepakatan dan keputusan bersama. Ada
delapan kategori utama sebagai kerangka untuk menganalisis QWL, yaitu:
1. Kompensasi yang adil dan memadai.
2. Kondisi kerja yang aman dan sehat.
3. Kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan.
4. Jaminan keamanan untuk tumbuh di masa depan.
8
5. Integrasi sosial dalam perusahaan.
6. Peraturan dalam perusahaan yang berkaitan dengan hak-hak karyawan.
7. Kerja dan ruang kerja secara keseluruhan.
8. Relevansi sosial dalam kehidupan kerja.
Gitosudarmo dan Sudita (1997) mengatakan QWL umumnya
berkaitan dengan berbagai macam perubahan metode kerja tradisional.
Program pemerkayaan dan berbagai macam pola kerja merupakan contoh
dari program QWL. Beberapa program kualitas kehidupan kerja (QWL)
seperti tim kerja otonomi (autonomous work team), komite karyawanmanajemen, dan quality circles. Komponen utama dari semua jenis program
QWL, umumnya adalah bahwa program tersebut mencari cara untuk
meningkatkan kualitas kehidupan kerja dengan menciptakan pekerjaan yang
lebih baik. Hampir semua program QWL memiliki empat sasaran umum,
yaitu:
1. Program QWL mencoba menciptakan organisasi yang lebih demokratis
dimana setiap orang memiliki suara yang besar terhadap sesuatu yang
mempengaruhi kehidupannya.
2. Program QWL mencoba memberikan andil imbalan finansial dari
organisasi sehingga setiap orang mendapatkan manfaat dari kerjasama
yang lebih baik, produktivitas yang tinggi, dan meningkatkan
probabilitas hak pekerja.
3. Program QWL mencoba meningkatkan pengembangan individu dengan
menciptakan kondisi yang mendukung terhadap pertumbuhan pribadi.
4. Program QWL mencoba mencar cara untuk menciptakan keamanan
kerja yang lebih besar dengan meningkatkan daya hidup organisasi dan
lebih meningkatkan hak pekerja.
9
Identitas Perusahaan
Partisipasi Kemasyarakatan
Kepedulian Lingkungan
Kewarganegaraan yang sah
Gaji dan
Keuntungan
yang Kompetitif
Kerjasama Karyawan Dalam Tim
Partisipasi Karyawan Dalam Rapat
Peningkatan Kualitas Tim
Partisipasi
Karyawan
Kebanggaan
Pengembangan
Karir
Perlindungan Jabatan
Pelatihan/Pendidikan
Penilaian Kemajuan
Promosi Dari Dalam
Kompensasi
Yang Layak
Penyelesaian
Konflik
QWL
Lingkungan
Yang Aman
Keterbukaan
Proses Penyampaian
Keluhan secara Formal
Pertukaran Pendapat
Komunikasi
Program Pensiun
Komite Keamanan
Program
Keselamatan Kerja
Keselamatan
Kerja
Komite Keselamatan
Tim Pertolongan Gawat Darurat
Kesehatan
Pertemuan Individu
Pertemuan Kelompok
Publikasi
Pusat Kesehatan
Pusat Kesehatan Gigi
Program Rekreasi
Program Konseling
Program Pusat Kebugaran
Gambar 1. Quality of Work Life (Cascio, 1995)
Menurut Cascio (1995), usaha-usaha untuk merealisasikan QWL
secara berhasil memerlukan beberapa persyaratan antara lain:
1. Manajer seyogyanya menjadi pemimpin dan pembimbing dan bukannya
seorang bos di kantor.
2. Keterbukaan dan saling percaya merupakan persyaratan utama
menerapkan konsep QWL dalam manajemen.
3. QWL tidak dapat dilaksanakan secara sepihak oleh manajemen saja,
melainkan peran serta para karyawan perlu ditingkatkan.
4. QWL harus mengalami secara berkelanjutan mulai dari proses
pemecahan masalah yang dihadapi oleh manajemen dan para karyawan
hingga sampai membentuk mitra kerja diantara mereka.
10
5. Informasi yang berkaitan dengan kegiatan dan manajemen harus
diinformasikan kepada para karyawan, dan saran-saran dari mereka
harus diperhatikan secara serius.
Dari berbagai definisi dan QWL di atas, yang selanjutnya oleh Arifin
(1999) disimpulkan bahwa QWL mempunyai empat dimensi yang perlu
diterapkan oleh manajemen untuk mencapai kinerja yang unggul dan
produktifitas kerja karyawan, yaitu; lingkugan kerja, sistem imbalan yang
inovatif, partisipasi pemecahan masalah dan restrukturisasi kerja.
2.1.1 Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk
diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksanakan
proses produksi dalam suatu perusahaan, namun lingkungan kerja
mempunyai
melaksanakan
pengaruh
proses
langsung
produksi
terhadap
tersebut.
para
karyawan
Lingkungan
kerja
yang
yang
memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya
lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan
akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan.
Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila
manusia dapat melaksnakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan
nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam
jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja
yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih
banyak dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja yang
efisien. Beberapa ahli mendifinisikan lingkungan kerja antara lain sebagai
berikut:
1. Nitisemito (2000), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut:
“Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para
pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugastugas yang diembankan”.
11
2. Sedarmayati (2001), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut:
“Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang
dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode
kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan
maupun sebagai kelompok”.
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja
merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja,
baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung,
yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat bekerja.
Sedarmayanti (2001), menyatakan bahwa secara garis besar, jenis
lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Lingkungan kerja Fisik
Menurut Sedarmayanti (2001), “Lingkungan kerja fisik adalah
semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja
yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua
kategori, yakni: (a) lingkungan yang langsung berhubungan dengan
karyawan (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya) (b)
lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut
lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya
:temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan,
getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
b. Lingkungan Kerja Non Fisik
Menurut Sadarmayanti (2001), “Lingkungan kerja non fisik
adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan
kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan
kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”. Lingkungan non fisik ini
juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
Sentoso (2001) yang mengutip pernyataan Prof. Myon Woo Lee
sang pencetus teori W dalam Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia,
bahwa pihak manajemen perusahaan hendaknya membangun suatu iklim
12
dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk
mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya
mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti inilah yang
selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi
perusahaan untuk mencapai tujuan. Berikut ini beberapa faktor yang
diuraikan Sedarmayanti (2001) yang dapat mempengaruhi terbentuknya
suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan,
diantaranya adalah:
1. Penerangan/cahaya di tempat kerja
2. Temperatur/suhu udara di tempat kerja
3. Kelembaban di tempat kerja
4. Sirkulasi udara di tempat kerja
5. Kebisingan di tempat kerja
6. Getaran mekanis di tempat kerja
7. Bau tidak sedap ditempat kerja
8. Tata warna di tempat kerja
9. Dekorasi di tempat kerja
10. Musik di tempat kerja
11. Keamanan di tempat kerja
2.1.2 Sistem Imbalan yang Inovatif
Sistem imbalan/kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu
sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja.
Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan
bagaimana membuat
karyawan berbuat
sesuai dengan keinginan
organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan
diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi
dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara umum berarti
bahwa karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan
mendapatkan kebutuhan penting yang
mereka perlukan. Dimana
didalamnya termasuk interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan
dan perkembangan.
13
Menurut Handoko (2003), “Faktor pendorong penting yang
menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan dalam diri
manusia yang harus dipenuhi” Dengan kata lain, berangkat dari keinginan
untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja dengan menjual
tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada perusahaan
dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan).
Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan
dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh
terhadap semangat dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan demikian
maka setiap badan usaha harus dapat menetapkan kompensasi yang paling
tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan badan usaha secara lebih
efektif dan lebih efisien. Seberapa besar kompensasi diberikan harus
sedemikian rupa sehingga mampu mengikat para karyawan. Hal ini adalah
sangat penting sebab bila komponen yang diberikan kepada para karyawan
terlalu kecil bila dibandingkan badan usaha lain, maka hal ini dapat
menyebabkan karyawan pindah ke badan usaha yang lain. Dalam
perkembangannya sistem kompensasi sendiri mempunyai tiga komponen
pokok, yaitu:
1. Upah dasar (based pay), merupakan komponen upah dasar bagi
kebanyakan karyawan, dan pada umumnya berdasarkan hitungan
waktu, seperti jam, hari, minggu, bulan atau per tahun.
2. Upah berdasar kinerja (performance related pay), berkaitan dengan
monetary reward dengan basis ukuran atau merupakan upah yang
didasarkan pada ukuran kinerja individu, kelompok atau organisasi.
3. Upah tidak langsung dikenal sebagai employee benefit “keuntungan
bagi karyawan” terdiri dari barang-barang jasa non cash item atau
services yang secara langsung memuaskan sejumlah kebutuhan spesifik
karyawan, seperti jaminan keamanan pendapatan (income security)
termasuk asuransi jiwa, perlindungan kesehatan termasuk medical &
dental plan dan pensiun.
Menurut Mondy (2003), bentuk dari kompensasi yang diberikan
perusahaan kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
14
1. Financial compensation (kompensasi finansial), Kompensasi finansial
artinya kompensasi yang diwujudkan dengan sejumlah uang kartal
kepada
karyawan
yang
bersangkutan.
Kompensasi
finansial
implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Direct Financial compensation (kompensasi finansial langsung)
Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran berbentuk uang
yang karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji/upah,
tunjangan ekonomi, bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang
dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai
jaminan yang pasti, sedangkan upah adalah balas jasa yang
dibayarkan kepada pekerja dengan berpedoman pada perjanjian yang
disepakati pembayarannya.
b. Indirect
Financial
compensation
(kompensasi
finansial
tak
langsung) Kompensasi finansial tidak langsung adalah termasuk
semua penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi
langsung. Wujud dari kompensasi tak langsung meliputi program
asuransi tenaga kerja (jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran
biaya sakit (berobat), cuti dan lain-lain.
2. Non-financial compensation (kompensasi non finansial), Kompensasi
non-finansial adalah balas jasa yang diberikan perusahaan kepada
karyawan bukan berbentuk uang, tapi berwujud fasilitas. Kompensasi
jenis ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Non financial the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa
pekerjaan yang menarik, kesempatan untuk berkembang, pelatihan,
wewenang
dan tanggung
jawab,
penghargaan atas kinerja.
Kompensasi bentuk ini merupakan perwujudan dari pemenuhan
kebutuhan harga diri (esteem) dan aktualisasi (self actualization).
b. Non financial job environment (kompensasi berkaitan dengan
lingkungan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat
berupa supervisi kompetensi (competent supervision), kondisi kerja
15
yang mendukung (comfortable working conditions), pembagian
kerja (job sharing).
Kepentingan perusahaan dengan pemberian kompensasi yaitu
memperoleh imbalan prestasi kerja yang lebih besar dari karyawan.
Sedangkan kepentingan karyawan atas kompensasi yang diterima, yaitu
dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya dan menjadi keamanan
ekonomi rumah tangganya. Bagi perusahaan, kompensasi merupakan
faktor utama dalam kepegawaian. Kebijakan sumber daya manusia banyak
berhubungan dengan pertimbangan untuk menentukan kompensasi
karyawan. Tingkat besar-kecilnya kompensasi sangat berkaitan dengan
tingkat pendidikan, tingkat jabatan, dan masa kerja karyawan.
2.1.3 Partisipasi dalam Pemecahan Masalah
Pandangan dari pemecahan masalah secara partisipatif melibatkan
anggota-anggota
organisasi
pada
berbagai
tingkatan.
Manajemen
partisipatif adalah suatu sistem dimana anggota-anggotanya dilibatkan
dalam pelaksanaan operasional atau kegiatan bisnis di bawah arahan dari
penyelia. Dalam hal ini pekerja memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
atau terlibat didalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi secara
langsung ataupun tidak langsung terhadap pekerjaan mereka. Kualitas
kehidupan kerja tidak dapat didelegasikan secara sepihak oleh manajemen,
namun melalui kesepakatan antara atasan dan bawahan yang kemudian
oleh Arifin (1999) istilah tersebut dikenal dengan konsep employee
involment (keterlibatan pekerja).
Secara teoritis manajemen partisipatif diklasifikasi menjadi dua
bagian. Pertama, setiap individu dalam suatu organisasi sanggup untuk
menyumbangkan perbaikan-perbaikan dalam kerja yang mereka lakukan.
Ini berarti bahwa setiap orang dalam tugas-tugas khusus adalah pekerja
yang paling tahu bidang garapannya masing-masing. Terlebih jika pekerja
dimotivasi untuk dikembangkan lebih banyak untuk mempengaruhi situasi
kerja. Para pekerja lebih cenderung untuk lebih komitmen terhadap
pencapaian tujuan dan perubahan dimana mereka turut membentuknya.
16
Kedua, bahwa hasil dari kelompok kerja bersama-sama akan lebih besar
dari pada jumlah usaha individu secara terpisah.
Penetapan jam kerja harus memperhatikan dan memperhitungkan
bahwa daya tahan manusia ada batasnya. Misalnya di Indonesia jam kerja
rata-rata per hari adalah 8 sampai dengan 9 Jam dengan istirahat. Oleh
karena itu, ada ketentuan cuti yang bisa diambil oleh seluruh karyawan.
Peraturan yang ditetapkan seharusnya juga dapat mendorong karyawan
bekerja dengan leluasa sesuai dengan kreasi dan daya ciptanya.
2.1.4 Restrukturisasi Kerja
Perhatian selanjutnya dalam konteks kualitas kehidupan kerja adalah
restrukturisasi kerja yang secara alami dilakukan oleh karyawan dan
sistem kerja yang melingkupinya. restrukturisasi kerja mencakup
pengawasan, penetapan kerja terutama prosedur dalam pengembangan
para pekerja dengan keterlibatan pekerja. Dengan demikian akan membuat
pekerja menjadi interdependensi sehingga akan terbentur kerjasama yang
solid antar tim. Jika kondisi ini sudah menjadi budaya dalam organisasi,
maka untuk mencapai tingkat kerja yang diinginkan tidak sulit. Dalam hal
ini, kualitas kehidupan kerja mengandung pengertian bahwa kehidupan
kerja
seseaorang,
terdapat
kemungkinan
untuk
mengembangkan
keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya.
Restrukturisasi kerja mencakup perkayaan karyawan, penggunaan
kelompok-kelompok kerja (work group), yang otonom atau desain dan
sistem-sistem teknis yang lengkap dan penetapan kerja, terutama
prosedurnya
dalam
pengembangan
para
karyawan
baru
dengan
keterlibatan yang tinggi. Dalam hal ini, QWL mengandung pengertian
bahwa dalam kehidupan kerja seseorang, terdapat kemungkinan untuk
mengembangkan kemampuannya dan tersedia kesempatan menggunakan
keterampilan atau pengetahuan baru yang dimiliki. Mendesain ulang
karyawan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Job rotation (rotasi karyawan), yaitu pemindahan seorang karyawan
dari satu karyawan ke karyawan lain.
17
2. Job enlargement (perluasan karyawan), yaitu memperbanyak tugas dan
karyawanan kepada seorang karyawan dalam jabatannya untuk
mengurangi sifat karyawan yang membosankan secara horizontal.
3. Job enrichment (pemerkaya karyawan), yaitu teknik untuk memotivasi
karyawan dengan memberikan tanggung jawab dan penambahan
kesempatan yang lebih besar agar dapat meningkatkan pengakuan,
pertumbuhan, dan pencapaian prestasi secara vertikal.
Jika kondisi ini sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka untuk
mencapai tingkat kinerja yang diinginkan tidak terlampau sulit. QWL
dalam hal ini mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan kerja
seseorang terdapat kemungkinan untuk mengembangkan kemampuannya
dan tersedia kesempatan menggunakan keterampilan atau pengetahuan
baru yang dimiliki.
2.2. Pengertian Kinerja
Lower dan Porter (1968) dalam Wijaya (1989) menyebutkan bahwa
prestasi kerja merupakan perpaduan antara motivasi dan kemampuan dalam
menyelesaikan karyawan atau prestasi seseorang tergantung kepada
keinginan untuk berprestasi dan kemampuan yang bersangkutan untuk
melakukannya. Menurut Karjantoro dalam Schuler (1996), kinerja pada
dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai
oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Menurut Rivai (2004) mengemukakan kinerja adalah “merupakan
perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja
yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan”.
Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjamahaan Jimmy Sadeli
dan Bayu Prawira (2001), “menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah
apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”.
Witmore dalam Coaching for Perfomance (1997) “kinerja adalah
pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan,
suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan”. Kinerja merupakan
18
suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak
tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi
dihubungkan dengan visi yang dilaksanakan suatu organisasi atau
perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu
kebijakan operasional. Mink (1993) mengemukakan pendapatnya bahwa
individu yang memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik,
yaitu diantaranya: (a) berorientasi pada prestasi, (b) memiliki percaya diri,
(c) berpengendalian diri, (d) kompetensi.
Di samping itu, dampaknya tidak memotivasi, tetapi justru akan
menurunkan prestasi kerja karyawan. Untuk dapat meningkatkan prestasi
kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu
motivasi, kepuasan kerja, tingkat stres, kondisi fisik karyawanan, sistem
kompensasi, aspek-aspek ekonomi, aspek-aspek teknis, dan perilaku
lainnya. Menurut Wahyudi (1996) mengatakan bahwa penilaian kinerja
bermanfaat untuk:
1. Mengukur prestasi kerja.
2. Mengukur keberhasilan pekerjaan dalam mengikuti program pelatihan
dan pengembangan.
3. Mengumpulkan data yang akan dipergunakan bagi perbaikan kerja.
4. Pengembangan dalam mutasi personal dan pemberian insentif.
Hansen dan Mowen (1995) membedakan pengukuran kinerja secara
tradisional dan kontemporer. Pengukuran kinerja tradisional dilakukan
dengan membandingkan kinerja actual dengan kinerja yang dianggarkan
atau biaya standar sesuai dengan karakteristik pertanggungjawabannya,
sedangkan pengukuran kinerja kontemporer menggunakan aktivitas sebagai
pondasinya. Ukuran kinerja dirancang untuk menilai seberapa baik aktivitas
dilakukan dan dapat mengidentifikasi apakah telah dilakukan perbaikan
yang berkesinambungan. Prinsip-prinsip dalam pengukuran kinerja adalah :
a Konsistensi dengan tujuan perusahaan.
b Memiliki adaptabilitas pada kebutuhan.
c Dapat mengukur aktivitas yang signifikan.
d Mudah diaplikasikan.
19
e Akseptabilitas dari atas ke bawah.
Kompetensi adalah apa yang dibawa oleh seseorang ke dalam
pekerjaannya dalam bentuk jenis dan tingkatan perilaku yang berbeda.
Berikut ini adalah sebuah contoh daftar kompetensi yang dipergunakan oleh
Standar
Chartered
(Amstrong,
1997)
dalam
manajemen
kinerja
organisasinya:
1. Pengetahuan kerja dan professional;
2. Kesadaran komersial atau konsumen;
3. Komunikasi;
4. Keahlian interpersonal;
5. Kerjasama tim;
6. Inisiatif atau kemampuan beradaptasi;
7. Keahlian-keahlian analitis atau pengambilan keputusan;
8. Produktifitas;
9. Kualitas;
10. Manajemen atau pengawasan;
11. Kepemimpinan.
Pada kenyataannya, manajemen kinerja dapat dianggap sebagai suatu
daur yang terus-menerus memperbaharui diri sebagaimana diilustrasikan
pada Gambar 2. Proses yang paling efektif adalah memiliki hubungan yang
jelas dengan daur perencanaan bisnis. Suatu faktor yang memiliki pengaruh
yang besar terhadap keberhasilan pengintegrasian proses tersebut ke dalam
proses manajemen sehari-hari. Berikut ini, ilustrasi Daur Manajemen
Kinerja (Amstrong, 1997) pada Gambar 2.
20
RENCANA DAN
SASARAN ORGANISASI
DEPARTEMENTAL
DAN TIM
KESEPAKATAN
KINERJA
EVALUASI
KINERJA
RENCANA
KINERJA
TINDAKAN
MONITOR,
UMPAN BALIK
SERTA
EVALUASI
Gambar 2. Daur Manajemen Kinerja (Amstrong, 1994)
2.2.1 Evaluasi Kerja
Arep dan Tanjung (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor
manajerial dan sikap yang diukur dalam menilai prestasi kerja karyawan.
Berikut Pengaruh Kinerja Individu dan Kelompok Terhadap Kinerja
Perusahaan pada Gambar 3.
KINERJA
INDIVIDUAL
KINERJA
KELOMPOK
KINERJA
ORGANISASI
Faktor Kinerja :
1. Pengetahuan
2. Keterampilan
3. Motivasi
4. Peran.
Faktor Kinerja :
1. Keeratan tim
2. Kepemimpinan
3. Kekompakan
4. Struktur Tim
5. Peran Tim
6. Norma
Faktor Kinerja :
1. Lingkungan
2. Kepemimpinan
3. Struktur Perusahaan
4. Pilihan Strategi
5. Teknologi
6. Kultur Perusahaan
7. Proses Organisasi
Gambar 3. Pengaruh Kinerja Individu dan Kelompok Terhadap Kinerja
Perusahaan
Pada Gambar 3, kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor
pengetahuan,
keterampilan,
motivasi
dan
peran
individu
yang
bersangkutan. Kinerja individu ini akan mempengaruhi kinerja kelompok
21
dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Evaluasi kerja
membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan organisasi dan karyawan
dengan cara:
1. Memberikan kesempatan kepada manajer untuk mengindikasikan
minat dalam pengembangan karyawan.
2. Memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengindikasikan
arah dan tingkat ambisi mereka.
3. Menyediakan dorongan bagi karyawan yang telah mencoba untuk
bekerja dengan baik.
4. Mengidentifikasikan
bidang-bidang
dimana
pelatihan
khusus
dibutuhkan atau diinginkan dan tersedia.
5. Menyediakan sarana untuk menyampaikan dan mendokumentasikan
ketidakpuasan terhadap kinerja karyawan yang tidak dapat diterima
dan upaya-upaya untuk memperbaikinya.
Masalah-masalah utama yang timbul dalam pelaksanaan evaluasi
kinerja, sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Clive Fletchefr (1993),
adalah:
1. Mengidentifikasikan kriteria untuk mengevaluasi kinerja.
2. Mengumpulkan informasi yang akurat dan lengkap mengenai kinerja
karyawan.
3. Menyelesaikan perselisihan di antara evaluastor dan orang yang
dievaluasi.
4. Perilaku defensive dari individu yang dinilai dalam menanggapi kritik.
2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi kerja di atas,
faktor-faktor yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah motivasi
kerja, kepuasan kerja, kondisi fisik karyawanan, dan kemampuan kerja.
Penilaian prestasi kerja, sebagaimana halnya fungsi-fungsi lain dalam
perusahaan, memiliki manfaat dan tujuan. Manfaat atau tujuan dari
penilaian prestasi kerja atau yang disebut juga penilaian kinerja menurut
Mangkuprawira (2002) adalah:
22
1. Perbaikan Kinerja
Umpan balik kinerja bermanfaat bagi karyawan, manajer, dan spesialis
personal dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki kinerja.
2. Penyesuaian Kompensasi
Penilaian kinerja membantu pengambil keputusan menentukan siapa
yang seharusnya menerima peningkatan pembayaran dalam bentuk
upah dan bonus yang didasarkan pada sistem merit (balas jasa).
3. Kesalahan Rancangan Karyawan
Kinerja buruk mungkin sebagai sebuah gejala dari rancangan
karyawanan yang keliru. Lewat penilaian dapat didiagnosis kesalahankesalahan tersebut.
4. Kesempatan Kerja yang Sama
Penilaian kinerja yang akurat yang secara aktual menghitung kaitannya
dengan kinerja dapat menjamin bahwa keputusan penempatan internal
bukanlah sesuatu yang bersifat diskriminasi.
5. Keputusan Penempatan
Promosi, transfer, dan penurunan jabatan biasanya didasarkan pada
kinerja masa lalu dan antisipatif , misalnya dalam bentuk penghargaan.
6. Kebutuhan Pelatihan
Kinerja buruk mengindikasikan sebuah kebutuhan untuk melakukan
pelatihan kembali. Setiap karyawan hendaknya selalu mampu
mengembangkan diri.
7. Perencanaan dan Pengembangan Karir
Umpan balik kinerja membantu proses pengambilan keputusan tentang
karir spesifik karyawan.
8. Defisiensi Proses Penempatan Staf
Baik buruknya kinerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan kelemahan
dalam prosedur penempatan staf di departemen SDM.
9. Ketidakakuratan Informasi
Kinerja buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi
analisis karyawanan, rencana SDM, atau hal lain dari system
manajemen personal. Hal demikian akan mengarah pada ketidaktepatan
23
dalam keputusan menyewa karyawan, pelatihan, dan keputusan
konseling.
10. Tantangan-tantangan Eksternal
Kadang-kadang kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan
karyawanan, seperti keluarga, financial, kesehatan, atau masalahmasalah lainnya. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi melalui
penilaian,
departemen
SDM
mungkin
mampu
menyediakan
bantuannya.
11. Umpan Balik pada SDM
Kinerja yang baik dan buruk di seluruh organisasi mengindikasikan
bagaimana baiknya fungsi departemen SDM diterapkan.
2.2.3 Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja (performance appraisal) pada dasarnya merupakan
faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan
efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber
daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat
bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan,
melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya
tentang bagaimana kinerja karyawan. Menurut Bernardin dan Russel
(1993) “A way of measuring the contribution of individuals to their
organization“. Penilaian kinerja adalah cara mengukur konstribusi
individu (karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja.
Sistem penilaian kinerja yang dilakukan oleh atasan atau manajer
terhadap bawahannya memiliki unsur-unsur atau kriteria yang mendapat
perhatian utama. Menurut Hasibuan (2001), kriteria atau unsur-unsur
tersebut meliputi beberapa hal, yaitu:
1
Kesetiaan,
penilai
mengukur
kesetiaan
karyawan
terhadap
pekerjaannya, jabatan dan organisasinya.
2
Prestasi kerja, penilai menilai hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas
yang dapat digunakan karyawan tersebut dari uraian pekerjaannya.
24
3
Kreativitas,
penilai
menilai
kemampuan
karyawan
dalam
mengembangkan kreativitasnya dalam penyelesaian tugas.
4
Kepemimpinan,
penilai
menilai
kemampuan
untuk
memimpin,
mempunyai pengaruh yang kuat dan dapat memotivasi orang lain atau
bawahannya untuk bekerja efektif.
5
Kepribadian, penilai menilai karyawan dari sikap perilaku, kesopanan
dan penampilan.
6
Kejujuran, penilai menilai kejujuran dalam melaksanakan tugastugasnya memenuhi perjanjian bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
7
Kerjasama, atasan menilai kesediaan karyawan berpatisipasi dan
bekerja sama dengan karyawan lainnya.
8
Kedisiplinan, penilai menilai kedisiplinan dalam mematuhi aturanaturan yang ada.
9
Tanggung
jawab,
penilai
menilai
kesediaan
karyawan
dalam
mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, pekerjaan dan hasil
kerjanya, sarana dan prasarana yang digunakan serta perilaku kerjanya.
10 Prakarsa, penilai menilai kemampuan berpikir orisinil dan berdasarkan
inisiatif sendiri untuk menyelesaikan masalah.
11 Kecakapan, penilai menilai kecakapan karyawan dalam menyatukan
dan menyelaraskan berbagai macam elemen dalam penyusunan
kebijaksanaan.
2.2.4 Metode Penilaian Kinerja
Manfaat
Penilaian
Kinerja
Kontribusi
hasil-hasil
penilaian
merupakan suatu yang sangat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan
organisasi adapun secara terperinci penilaian kinerja bagi organisasi
adalah:
1. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi.
2. Perbaikan kinerja.
3. Kebutuhan latihan dan pengembangan.
4. Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi,
pemecatan, pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja.
5. Untuk kepentingan penelitian pegawai.
25
6. Membantu diaknosis terhadap kesalahan desain pegawai.
Menurut Rivai (2003), metode atau teknik penilaian kinerja yang
dapat digunakan dengan pendekatan yang berorientasi masa lalu dan masa
depan, metode-metode tersebut yaitu :
1. Metode Penilaian Berorientasi Masa Lalu
Teknik-teknik penilaian kinerja berorientasi masa lalu meliputi :
a. Skala Peringkat (Rating Scale)
Metode yang paling tua dan banyak digunakan dalam penilaian
prestasi kerja, dimana para ahli diharuskan melakukan suatu
penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam
skala-skala tertentu.
b. Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Methode)
Metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan
kritis penilai atas perilaku karyawan.
c. Metode Catatan Prestasi
Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu
catatan penyempurnaan.
d. Skala Peringkat Dikaitkan Dengan Tingkah Laku (Behaviorally
Anchored Rating Scale=BARS)
Metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja karyawan
untuk dalam kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan
skala peringkat prestasi kerja dengan perilaku tertentu.
e. Pendekatan
Evaluasi
Komparatif
(Comparative
Evaluation
Approach)
Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang
dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis.
f. Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Methode)
Metode ini meletakkan tanggung jawab utama dalam melakukan
penilaian pada para ahli penilaian yang bertugas di bagian SDM.
26
g. Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and
Observation)
Jenis-jenis pekerjaan tertentu, penilaian karyawan dapat berupa tes
dan observasi.
2. Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan
Metode penilaian masa depan menggunakan asumsi bahwa
karyawan tidak lagi sebagai objek penilaian yang tunduk dan
tergantung dengan penyelia, tetapi karyawan dilibatkan dalam proses
penilaian. Metode-metode ini yaitu :
a. Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan
sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal
kekuatan dan kelemahannya.
b. Manajemen berdasarkan sasaran (Management by Obyektive).
Manajemen berdasarkan sasaran yang artinya suatu bentuk penilaian
dimana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan tujuantujuan pelaksanaan kerja di waktu yang akan datang.
c. Assessment Centers. Suatu prosedur untuk mengukur tingkat
pengetahuan,
keahlian
dan
kemampuan
seseorang
dengan
menggunakan beberapa instrumen.
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu
Tresna (2006) melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh
quality of work life terhadap motivasi berprestasi karyawan (studi kasus
Kantor pusat PT. Pos Indonesia). Tresna menggunakan metode regresi linier
berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; 1) Motivasi berprestasi
karyawan PT. Pos Indonesia cenderung baik yang ditunjukkan dengan nilai
rataan skor sebesar 4.22 (dalam skala 5) yang berarti bahwa karyawan
berada dalam kondisi termotivasi, 2) Kualitas kehidupan kerja karyawan PT.
Pos Indonesia cenderung baik, pada urutan pertama adalah partisipasi dalam
pemecahan masalah, diikuti oleh sistem imbalan yang inovatis, perbaikan
lingkungan kerja, dan terakhir restrukturisasi kerja, 3) Dari hasil analisis
regresi linier berganda, diperoleh faktor yang paling berpengaruh terhadap
27
motivasi berprestasi adalah faktor perbaikan lingkungan kerja dengan nilai
koefisien korelasi sebesar 2.816. Parameter yang digunakan untuk
mengukur motivasi berprestasi berdasarkan tanggung jawab adalah
kesediaan untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik, kesediaan untuk
menjadi panutan dan kesediaan untuk memperbaiki kesalahan.
Thahir (2001) melakukan penelitian mengenai analisis peningkatan
motivasi berprestasi karyawan melalui penerapan quality of work life (studi
kasus di PT. Indomilk, Jakarta). Hasil penelitiannya dengan menggunakan
uji korelasi Rank Spearman adalah faktor-faktor pemberian tanggung jawab,
kepercayaan, perhatian, koreksi dan desain pekerjaan memiliki hubungan
yang kuat dengan motivasi berprestasi karyawan. Responden merasa QWL
penting
untuk
motivasi
berprestasi,
namun
perusahaan
belum
mengimplementasikan QWL dalam suatu program yang formal, sehingga
motivasi berprestasi responden belum dicapai secara maksimal. Secara
umum, faktor QWL yang dikaji memliki hubungan nyata dengan motivasi
berprestasi karyawan Departemen Produksi SCM Sachet dab Bulk PT.
Indomilk dengan kekuatan pengaruhnya sebagai berikut : kerjasama dalam
tim, desain pekerjaan partisipatif, quality circle, supervisi yang demokratis,
partisipasi dalam pengambilan keputusan dan gain-sharing atau profitsharing. Artinya, bilamana penerapan QWL sesuai faktor-faktor pengukur,
maka diduga dapat meningkatkan motivasi berprestasi karyawan.
Berdasarkan kajian terdahulu, maka didapatkan fokus penelitian
”Pengaruh Faktor-Faktor Quality Of Work Life Terhadap Peningkatan
Kinerja Karyawan Pada Bank Tabungan Negara (Persero)” adalah
mengetahui persepsi karyawan terhadap peningkatan kinerja dan QWL,
menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan kinerja
karyawan dan menganalisa besarnya QWL terhadap peningkatan kinerja
pada sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini
berada dalam persaingan kompetitif sehingga dituntut untuk membenahi
sumber daya yang dimilikinya agar dapat bertahan menghadapi persaingan.
Download