analisis faktor-faktor yang memengaruhi

advertisement
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA TANGERANG SEBELUM
DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH
OLEH
MERRY VERONIKA
H14070099
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
MERRY VERONIKA PARDEDE. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi
Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Sebelum dan Pada Masa Otonomi Daerah.
(dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM)
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam
melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara
ataupun daerah. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan
yang merata sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) dan laju pertumbuhannya atas dasar harga konstan. Pertumbuhan ekonomi
yang cepat akan menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini disebabkan
oleh kebijakan pemerintah yang bersifat sentralisasi. Pada tahun 1999 pemerintah
mengubah kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi dengan memberlakukan
Otonomi Daerah. Hal tersebut memberikan harapan dalam upaya mengurangi tingkat
kemiskinan dan ketimpangan antar daerah.
Kota Tangerang sebagai salah satu daerah pelaksana otonomi daerah berusaha
untuk memaksimalkan potensi sumberdaya manusianya untuk mengolah potensi yang
ada. Perkembangan pembangunan Kota Tangerang tidak terlepas dari peranan
pemerintah daerah yang menentukan prioritas pembangunannya sesuai dengan
potensi yang dimiliki oleh Kota Tangerang tersebut. Dalam lingkup daerah, salah satu
tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi yang diperlukan untuk
evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari pertumbuhan angka
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Laju pertumbuhan PDRB Kota Tangerang
yang berfluktuasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti investasi, sumber daya
manusia, pekembangan teknologi dan faktor lainnya.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi memerlukan modal yang relatif besar yang
akan digunakan untuk memperkuat infrastruktur, baik fisik maupun sosial. Dana yang
dibutuhkan untuk menambah modal tersebut biasa disebut investasi. Selain investasi,
faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi bila tidak disertai dengan ketersediaan lapangan
pekerjaan akan menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran. Tenaga kerja adalah
modal bagi geraknya roda pembangunan. Salah satu faktor yang memengaruhi
permintaan tenaga kerja adalah tingkat upah.
Dari uraian di atas, penting untuk diketahui seberapa besar pengaruh investasi,
jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja, terhadap pertumbuhan ekonomi Kota
Tangerang. Dengan demikian pemerintah kota dapat mempersiapkan strategi
pembangunan dan menerapkan kebijakan yang tepat guna mencapai pertumbuhan
ekonomi yang diinginkan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis seberapa
besar pengaruh pertumbuhan investasi, jumlah tenaga kerja, serta upah tenaga kerja
terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB Kota Tangerang serta
melihat seberapa besar keberhasilan kebijakan Otonomi Daerah yang berjalan di Kota
Tangerang tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan model
ekonometrika. Untuk meramalkan bagaimana pengaruh variabel-variabel bebas
(independent variables) terhadap variabel terikat (dependent variable) digunakan
metode pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Software yang digunakan adalah
Eviews6. Data yang digunakan sebagai bahan analisis penelitian ini adalah data
sekunder dalam bentuk time series dari tahun 1995 sampai tahun 2009. Data
diperoleh dari beberapa sumber antara lain BPS Kota Tangerang, BPS Pusat, Dinas
Tenaga Kerja dan BKPM.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada taraf nyata sepuluh persen
(α=10%), tingkat PDRB Kota Tangerang dipengaruhi oleh investasi, jumlah tenaga
kerja, dan variabel dummy otonomi daerah. Variabel investasi dan jumlah tenaga
kerja mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap PDRB Kota
Tangerang dengan nilai koefisien masing-masing adalah 0,1720 dan 2,8674.
Sedangkan variabel upah tenaga kerja mempunyai nilai koefisien yang positif tetapi
tidak signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang dengan koefisien 0,1618.
Sedangkan dummy otonomi daerah juga berpengaruh positif dan signifikan terhadap
PDRB Kota Tangerang dengan koefisien 0,5694, dengan kata lain PDRB pada saat
otonomi daerah lebih baik daripada sebelum otonomi daerah.
Dari penelitian ini, ada beberapa tindakan kebijakan yang dapat diambil
antara lain diharapkan pemerintah Kota Tangerang mampu menciptakan atau menarik
investasi yang bersifat labour intensive dan juga di sektor-sektor perekonomian yang
memberi nilai tambah besar seperti sektor industri pengolahan dan sektor
perdagangan. Dengan demikian investasi yang labour intensive di sektor-sektor
tersebut dapat memberikan pengaruh yang lebih besar dalam peningkatan PDRB
Kota Tangerang. Pemerintah Kota Tangerang jua sebaiknya lebih aktif dalam
menciptakan lapangan kerja yang baru di Kota Tangerang agar mengurangi angka
pengangguran, dan perlu dirumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas
sumber daya manusia di Kota Tangerang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian atau
usaha lebih lanjut dalam meningkatkan kinerja Otonomi Daerah, sehingga dapat
memberikan pengaruh lebih besar di kemudian hari terhadap PDRB Kota Tangerang.
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
PERTUMBUHAN EKONOMI KOTA TANGERANG SEBELUM
DAN PADA MASA OTONOMI DAERAH
Oleh:
MERRY VERONIKA
H14070099
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG
BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN
TINGGI
ATAU
LEMBAGA
MANAPUN.
Bogor, April 2012
Merry Veronika
H14070099
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Merry Veronika Pardede lahir pada tanggal 15 Januari 1990,
di Jakarta. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang terlahir dari
pasangan Bonggar Sahala Pardede dan Palty Saur Barita. Penulis menamatkan
sekolah dasar di Sekolah Dasar Tarakanita V Jakarta pada tahun 2001, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Tarakanita IV Jakarta dan lulus pada
tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di Sekolah Menengah Atas
Negeri 77 Jakarta dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan
Tinggi Negeri) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada
Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di
berbagai kepanitiaan fakultas dan jurusan seperti Economic Contest dan Hipotex-R.
Penulis juga aktif di berbagai organisasi mahasiswa lainnya seperti Paduan Suara
Mahasiswa IPB Agriaswara dan juga Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa
Kristen (Komkes PMK).
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena atas bekat rahmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi
Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Sebelum dan Pada Masa Otonomi
Daerah.” Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati penulis
ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. sebagai dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, mengarahkan dalam
proses penyusunan skripsi sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Ibu Dr. Sri Mulatsih, M.Sc, Agr. selaku dosen penguji utama dan Bapak
Salahuddin el Ayyubi, MA.Lc. selaku dosen penguji dari komisi pendidikan atas
segala masukan, kritik, dan saran yang membangun untuk perbaikan skripsi
penulis.
3.
Para dosen, staf, dan seluruh civitas akademika Departemen Ilmu Ekonomi
FEM-IPB yang telah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis selama
menjalani studi di Departemen Ilmu Ekonomi.
4.
Papa dan mama tercinta Bonggar Sahala Pardede dan Palty Saur Barita atas
segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang tidak terhingga kepada penulis juga
kakak Prita Alverina dan Benny Perdana atas semangat, doa, dan dukungan moril
yang telah diberikan.
5.
Ibu Fifi Diana Thamrin atas bimbingan, dan waktunya, dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
6.
Saudara Fritz Ondoy Sinaga atas doa, semangat, dan waktunya untuk menemani
penulis selama menyusun skripsi.
7.
Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 khususnya Ajeng, Nancy, Reni, Retni,
Aya, Hilman, Kristina, Hesti, Irma, Nilam, Putri, atas dukungan doa, semangat
dan memberikan bantuan selama penulis menyusun skripsi.
8.
Teman-teman kubus Yunetta, Greth, Gita, Meikhal, Fauzan, Yuliana, Fajri serta
teman-teman Paduan Suara Agriaswara Tasha, Imam, Fitriani atas dukungan doa,
semangat, dan memberikan bantuan selama penulis menyusun skripsi.
9.
Bapak Sihar Tobing selaku wakil kepala Badan Pusat Statistik dan staf yang
banyak memberikan bantuan dan informasi yang memudahkan penulis menyusun
skripsi.
10. Teman-teman di Purwacaraka Music Studio Nila, Ika, Rika, Fitri, Pak Iwan,
Melissa, dan murid-murid serta orangtuanya yang memberikan permakluman
selama proses penulis menyusun skripsi.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, April 2012
Merry Veronika
H14070099
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL...............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….....
v
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………….
vi
I.
PENDAHULUAN..................................................................................
1
1.1.
Latar Belakang………………………………………………….
1
1.2.
Perumusan Masalah……………………………………………..
7
1.3.
Tujuan Penelitian………………………………………………..
9
1.4.
Manfaat Penelitian………………………………………………
10
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian………………………………………
10
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................
11
2.1.
Konsep Wilayah dan Pembangunan Wilayah..............................
11
2.2.
Otonomi Daerah………………………………………………...
13
2.3.
Pertumbuhan Ekonomi………………………………………….
17
2.4.
Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)………………...
20
2.5.
Teori Investasi…………………………………………………..
25
2.5.1. Penanaman Modal Asing (PMA).....................................
26
2.5.2. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).....................
28
2.6.
Teori Tenaga Kerja dan Upah………………..............................
29
2.7.
Upah Minimum Regional (UMR)………………………………
32
II.
2.8.
Penelitian Terdahulu………………………………………......... 35
2.8.1. Penelitian Mengenai Pertumbuhan Ekonomi………….... 35
2.8.2. Penelitian Mengenai Otonomi Daerah………………….
37
Kerangka Pemikiran…………………………………………….
38
METODE PENELITIAN........................................................................
40
3.1.
Jenis dan Sumber Data……………………………………….....
40
3.2.
Model Ekonometrika………………………………………........
40
3.3.
Metode Analisis Data……………………...................................
41
3.4.
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik………………............
41
2.9.
III.
3.4.1. Uji t (Uji Parsial)…………………………………........... 41
3.4.2. Uji F (Uji Serempak)……………………………………. 42
3.4.3. Uji Koesfisien Determinasi (R2)………………………...
3.5.
42
Uji Ekonometrika…………………………………….................. 43
3.5.1. Heteroskedastisitas…………………………...................
43
3.5.2. Autokorelasi………………………………….................. 44
3.5.3. Normalitas………………………………………............. 44
3.5.4. Multikolinearitas………………………………............... 45
IV.
3.6.
Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS).....
46
3.7.
Model Regresi Berganda…………………………………….....
47
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN...............................
49
4.1.
Keadaan Umum Wilayah Penelitian…………………………....
49
4.1.1. Geografi dan Tata Guna Lahan………………………....
49
4.1.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan……………...................
50
4.2.
Perekonomian Kota Tangerang……………................................
55
4.2.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi………………....................
55
4.2.2. Perkembangan Keuangan Daerah…………………........
56
HASIL DAN PEMBAHASAN...............................................................
58
5.1.
Hasil Estimasi Variabel Dependen PDRB……………………...
58
5.2.
Uji Statistik dan Uji Ekonometrika………………......................
58
5.3.
Analisis Hubungan Antara Faktor-faktor dengan PDRB.............
61
5.3.1. Investasi............................................................................
61
5.3.2. Jumlah Tenaga Kerja........................................................
63
5.3.3. Upah Tenaga Kerja...........................................................
66
5.3.4. Variabel Dummy Otonomi Daerah..................................
69
KESIMPULAN DAN SARAN...............................................................
70
6.1.
Kesimpulan..................................................................................
70
6.2.
Saran............................................................................................
70
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
72
LAMPIRAN........................................................................................................
75
V.
VI.
DAFTAR TABEL
Nomor
1.1.
Halaman
Distribusi Presentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut
Lapangan Usaha 2005 – 2009............................................................
5
Laju Pertumbuhan dan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun
1995-2009...........................................................................................
51
Data Perkembangan Angkatan Kerja Kota Tangerang Tahun 19952009.....................................................................................................
54
Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 1998-1999 dan 2007-2009.........................................
55
4.4.
Jumlah Penerimaan daerah riil Kota Tangerang Tahun 1995-2009...
57
5.1.
Hasil Estimasi Penduga PDRB...........................................................
58
4.1.
4.2.
4.3.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
1.1.
Halaman
Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun
1995-2009.................................................................................
4
Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita, Investasi, Jumlah
Tenaga Kerja, dan UMR Kota Tangerang tahun 1995-2009....
8
2.1.
Kurva Penawaran Tenaga Kerja................................................
29
2.2.
Kurva Excess Supply of Labour................................................
30
2.3.
Kurva Kebijakan Upah Minimum.............................................
34
2.4.
Kerangka Pemikiran..................................................................
39
5.1.
Investasi Kota Tangerang 1995-2009.......................................
62
5.2.
Jumlah Tenaga Kerja Kota Tangerang 1995-2009...................
64
5.3.
Upah Minimum Regional Kota Tangerang 1995-2009............
67
1.2.
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Data Time Series Model Pertumbuhan PDRB...................................
76
2.
Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB....................................
77
3.
Uji Ekonometrika Model Pertumbuhan PDRB.................................
77
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam
melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara
ataupun daerah. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan
yang merata sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto
riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau
berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil.
Dalam upaya mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
pemerintah daerah sebagai otoritas pembangunan dituntut untuk menerapkan
kebijakan yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi kegiatan-kegiatan
produktif para pelaku ekonomi. Salah satu kebijakan yang diperlukan untuk mencapai
pertumbuhan tersebut adalah dengan mendorong terciptanya iklim investasi yang
mendukung. Peran pemerintah daerah dapat dijalankan melalui salah satu instrumen
kebijakan, yaitu pengeluaran pemerintah (baik belanja rutin maupun pembangunan
dan atau pemeliharaan dan belanja modal), dimana pengeluaran pemerintah
mencerminkan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan
kebijakan tersebut. Pengeluaran pembangunan (dan atau belanja modal dan
pemeliharaan) merupakan pengeluaran pemerintah untuk pelaksanaan proyek-proyek
terdiri dari sektor-sektor pembangunan dengan tujuan untuk melakukan investasi.
2
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah diukur dengan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhannya atas dasar harga konstan. PDRB
dapat diartikan sebagai total nilai barang dan jasa yang diproduksi di wilayah tertentu
dalam waktu tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan menimbulkan
ketimpangan distribusi pendapatan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah
yang
bersifat
sentralisasi
dimana
pemerintah
tidak
memerhatikan
apakah
pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk
atau perubahan struktur ekonomi.
Pada tahun 1999 pemerintah mengubah kebijakan sentralisasi menjadi
desentralisasi dengan memberlakukan Otonomi Daerah. Hal tersebut memberikan
harapan dalam upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan antar daerah.
Pada hakekatnya otonomi daerah merupakan upaya pelaksanaan pembangunan
daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional guna mewujudkan
pertumbuhan dan perkembangan daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat (Ahmad, 1998). Pelaksanaan otonomi daerah merupakan desentralisasi
dari kebijakan pemerintah dalam menangani daerah masing-masing sesuai dengan
kebutuhan masing-masing. Pelaksanaan desentralisasi diharapkan sebagai suatu
pemecahan dan jalan keluar yang lebih baik terhadap permasalahan yang timbul dari
sentralisasi pembangunan selama ini yang mengakibatkan timbulnya ketimpangan
pembangunan antar daerah.
Penerapan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah sejak 1
Januari 2001, membuat pemerintah mengatur daerahnya masing-masing agar sesuai
3
dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya. Kota Tangerang sebagai salah satu
daerah pelaksana otonomi daerah berusaha
untuk memaksimalkan potensi
sumberdaya manusianya untuk mengolah potensi yang ada. Partisipasi dari
masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masyarakat
seharusnya mendukung pemerintah daerah dalam mengolah semua sumberdaya yang
ada di daerah tersebut.
Kota Tangerang yang merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan
Kota Jakarta, sehingga daerah ini merupakan daerah limpahan aktivitas dari Kota
Jakarta antara lain limpahan industri, limpahan pemukiman, perkantoran, dan
infrastruktur jalan serta kereta api. Perkembangan pembangunan Kota Tangerang
tidak terlepas dari peranan pemerintah daerah yang menentukan prioritas
pembangunannya sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh Kota Tangerang tersebut.
Adapun strategi pemerintah dalam merencanakan pembangunan ekonomi Kota
Tangerang adalah: (1) Strategi mendorong pertumbuhan/kinerja ekonomi berbasis
ekonomi lokal untuk peningkatan daya beli masyarakat; (2) Strategi peningkatan
kualitas Hidup masyarakat dengan pemenuhan hak dasar masyarakat; (3) Strategi
Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah, yang meliputi kapasitas sistem,
kapasitas kelembagaan, dan kapasitas sumber daya manusia aparatur (BPS
Tangerang, 2007).
Seperti yang sudah disampaikan, salah satu tolok ukur keberhasilan
pembangunan di bidang ekonomi yang diperlukan dalam lingkup daerah untuk
evaluasi dan perencanaan ekonomi makro, biasanya dilihat dari pertumbuhan angka
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik atas dasar harga berlaku maupun
4
berdasarkan atas dasar harga konstan. Dari Gambar 1.1. terlihat bahwa laju
pertumbuhan PDRB Kota Tangerang dalam kurun waktu dari tahun 1995-2009
berfluktuasi di mana angka tertinggi ditunjukan pada tahun 1998 yaitu 51,89 persen
yang kemudian turun drastis menjadi 8,88 persen di tahun 1999. Pada masa setelah
diberlakukannya otonomi daerah laju pertumbuhan PDRB Kota Tangerang cenderung
stabil dan angka paling rendah ditunjukkan pada tahun 2004 yaitu 10,00 persen.
Sumber: BPS Kota Tangerang 1995-2009 (diolah)
Gambar 1.1. Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan 1995-2009
Laju pertumbuhan PDRB yang berfluktuasi ini dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti investasi, sumber daya manusia, perkembangan teknologi dan faktor
lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan diperlukan untuk dapat
mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat, selain itu juga memerlukan modal
yang relatif besar yang akan digunakan untuk memperkuat infrastruktur, baik fisik
maupun sosial. Dana yang dibutuhkan untuk menambah modal tersebut biasa disebut
investasi.
5
Tabel 1.1.Distribusi Presentase PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut
Lapangan Usaha 2005-2009 (%)
No.
Tahun
Lapangan Usaha
2005
1
Pertanian
2006
2007
2008
2009
0,18
0,16
0,15
0,16
0,16
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
56,78
55,03
53,07
50,43
47,54
Pertambangan dan
2
Penggalian
3
Industri Pengolahan
Listrik, Gas, dan Air
4
bersih
1,33
1,11
0,86
0,76
0,71
5
Konstruksi
1,65
1,65
1,74
1,93
2,11
24,42
25,52
27,95
29,94
31,06
10,72
11,40
10,93
11,10
12,17
Perdagangan, Hotel &
6
Restoran
Pengangkutan &
7
Komunikasi
Keuangan, Real estate
8
& Jasa Perusahaan
2,95
3,01
3,14
3,32
3,60
9
Jasa-jasa
1,97
2,13
2,20
2,37
2,66
100,00 100,00
100,00
TOTAL
100,00 100,00
Sumber: BPS Kota Tangerang, 2005-2009
Dari Tabel 1.1, dapat dilihat kontribusi sektor yang terbesar di Kota
Tangerang adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan
restoran.
Oleh
sebab
itu
sebaiknya
pemerintah
Kota
Tangerang
lebih
mengembangkan sektor-sektor tersebut seperti menanamkan investasi yang besar
terhadap yang memberi nilai tambah besar.
6
Selain investasi, faktor lain yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi
adalah sumber daya manusia. Dilihat dari jumlah penduduk, Kota Tangerang
merupakan kota yang kepadatan penduduknya tergolong besar yaitu 10.043,09 jiwa
per km2. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat mengakibatkan
peningkatan kebutuhan ekonomi pada masing-masing penduduk. Misalnya saja,
kebutuhan orang dewasa tentu saja berbeda dengan kebutuhan anak-anak.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi bila tidak disertai dengan ketersediaan lapangan
pekerjaan akan menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran.
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
berlangsungnya proses demografi. Salah satu faktor yang memengaruhi permintaan
tenaga kerja adalah tingkat upah. Bagi pekerja, kenaikan upah akan memperbaiki
daya beli pekerja yang akhirnya akan mendorong kegairahan bekerja dan peningkatan
produktivitas bekerja, sedangkan bagi perusahaan, upah merupakan salah satu
komponen biaya produksi yang dipandang dapat mengurangi tingkat laba yang
dihasilkan. Oleh karena dipandang sebagai biaya faktor produksi, maka pengusaha
berusaha menekan upah tersebut sampai pada tingkat yang paling minimum, sehingga
laba perusahaan dapat ditingkatkan. Untuk menghindari perbedaan kepentingan
antara pengusaha dan pekerja, maka pemerintah memandang perlu untuk mengatur
masalah pengupahan ini. Penetapan upah minimum oleh pemerintah merupakan salah
satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup pekerja.
Dari uraian di atas, penting untuk diketahui seberapa besar pengaruh
investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja, terhadap pertumbuhan ekonomi
7
Kota Tangerang. Dengan demikian pemerintah kota dapat mempersiapkan strategi
pembangunan dan menerapkan kebijakan yang tepat guna mencapai pertumbuhan
ekonomi yang diinginkan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis seberapa
besar pengaruh pertumbuhan investasi, jumlah tenaga kerja, serta upah tenaga kerja
Kota Tangerang terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB Kota
Tangerang dengan menggunakan metode analisis regresi (Ordinary Least Square
(OLS). Serta melihat seberapa besar keberhasilan kebijakan otonomi daerah yang
berjalan di Kota Tangerang tersebut.
1.2.
Perumusan Masalah
Pemerintah daerah dalam setiap pengambilan kebijakan pembangunannya
tidak selamanya tepat dan benar. Hal itu terlihat dari masih adanya ketimpangan yang
nyata pada pembangunan antar daerah atau wilayah dan kelompok tertentu.
Masyarakat jelas mengharapkan pemerataan kesejahteraan dan meminimumkan
ketimpangan pembangunan antar daerah atau wilayah dan kelompok tertentu.
Kebijakan
pembangunan
yang
tersentralisasi
telah
menyebabkan
ketimpangan yang nyata pada pembangunan antar wilayah dan kelompok pendapatan.
Dengan demikian keadaan ini akan menyebabkan pembangunan di Indonesia rentan
terhadap goncangan yang terjadi sehingga menimbulkan krisis ekonomi, sosial politik
yang pada akhirnya menyengsarakan masyarakat.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah merupakan awal dari redistribusi
kekayaan negeri ini, pemerataan kesejahteraan dan meminimalisir ketimpangan pusat
dan daerah. Selain itu otonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan sektor
8
perekonomian di daerah tersebut dan juga dapat menyerap tenaga kerja yang lebih
banyak.
Sumber : BPS Kota Tangerang, BKPM, Dinas Tenaga Kerja 1995 - 2009
Gambar 1.2 Laju Pertumbuhan PDRB Perkapita, Investasi, Jumlah Tenaga
Kerja, dan UMR Kota Tangerang tahun 1995-2009
Kota Tangerang merupakan kota dengan kepadatan penduduk yang cukup
besar diantara kota-kota lain yang ada di Pulau Jawa serta memiliki potensi sumber
daya manusia dan alam cukup memadai, tetapi kondisi perekonomian dan
pertumbuhan ekonominya dilihat dari PDRB perkapita relatif tertinggal dibandingkan
dengan kota-kota besar lain di Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, dan Bogor. Hal
itu tercermin dari tingkat penyerapan angkatan kerja dalam pasar tenaga kerja belum
optimal. Demikian pula dengan investasi yang belum menunjukkan angka yang
menggembirakan.
Dalam perspektif yang lebih luas, pertumbuhan ekonomi bukanlah satusatunya kunci keberhasilan pembangunan di suatu daerah. Aspek-aspek seperti
kualitas kehidupan manusia, pemerataan hasil-hasil pembangunan, keberlanjutan
9
(sustainability), kualitas pelayanan publik, serta partisipasi masyarakat juga menjadi
tolok ukur. Meskipun demikian pertumbuhan ekonomi tetaplah aspek dominan yang
harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam merencanakan program
pembangunan.
Sehubungan dengan informasi yang disampaikan, maka permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Seberapa besar pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga
kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang sebelum dan pada saat
otonomi daerah?
2. Apakah otonomi daerah yang dicanangkan sudah memberi dampak positif
terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang disebutkan maka
tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Menganalisis pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja
terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang sebelum dan pada saat
otonomi daerah.
2. Menganalisis dampak otonomi daerah yang dicanangkan terhadap
pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang.
10
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini memberi gambaran mengenai pengaruh investasi, jumlah
tenaga kerja, dan upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota
Tangerang sebelum dan pada masa otonomi daerah yaitu dari kurun waktu tahun
1995-2009.
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah Kota
Tangerang dalam mengembangkan faktor-faktor yang signifikan dan berpengaruh
positif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian ini dapat
dijadikan bahan pustaka untuk penelitian selanjutnya dalam menganalisis faktorfaktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi pada masa otonomi daerah atau
pada masa sebelum diberlakukan otonomi daerah.
1.5.
Ruang Lingkup
Penelitian ini menganalisis pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, serta
upah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang dari tahun 19952009 yaitu pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah dan pada masa
otonomi daerah sampai saat ini, serta melihat apakah kebijakan otonomi daerah sudah
terlaksana dengan baik di Kota Tangerang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Konsep Wilayah dan Pembangunan Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang
terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi (2006) wilayah dapat
didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana
komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara
fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi
seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen
biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia
dengan sumberdaya-sumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit
geografis tertentu.
Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan
untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah
bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Sedangkan menurut
Tarigan (2005), pembangunan wilayah
dilakukan untuk
mencapai tujuan
pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan
keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial
ekonomi wilayah.
12
Pembangunan di suatu wilayah atau daerah pada dasarnya sangat
dipengaruhi oleh kondisi ekonomi di daerah lain, dan kebijakan ekonomi makro dari
negara bersangkutan. Dengan demikian, terdapat ketergantungan antar daerah,
sehingga pertumbuhan produksi perkapita di suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh
lokasi daerah dan aktivitas di daerah yang bersangkutan, akan tetapi juga kondisi dan
aktivitas yang ada di daerah lain. Kondisi ketergantungan ini telah melahirkan paling
tidak dua teori yang berkaitan dengan kerangka konseptual pembangunan daerah,
yaitu :
1. Konsep Basis Ekonomi
Teori ini beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat
meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh parkir
basis (ekspor) dan parkir non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi parkir lokal
hanya dapat meningkat apabila pendapatan lokal meningkat. Sementara disisi lain,
peningkatan pendapatan ini hanya akan terjadi apabila parkir basis meningkat. Oleh
karena itu, menurut konsep ini ekspor daerah adalah merupakan faktor penentu dalam
pembangunan ekonomi. Disinilah peranan mempromosikan daerah dan subsidi
langsung kepada investor menjadi sangat penting.
2. Konsep Perbedaan Tingkat Imbalan (Rate of Return)
Pemahaman dalam konsep perbedaan tingkat imbalan didasarkan pada
pemikiran bahwa suatu daerah terbelakang bukanlah disebabkan karena tidak
beruntung atau kegagalan pasar, akan tetapi disebabkan oleh produktivitasnya yang
rendah. Oleh karena itu, investasi dalam prasarana adalah penting sebagai sarana
pembangunan daerah.
13
Kedua teori di atas nampaknya sangat relevan untuk dipergunakan sebagai landasan
didalam melihat proses pembangunan yang terjadi di suatu daerah (Tarigan, 2005).
2.2.
Otonomi Daerah
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang
diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap
masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kesenjangan antara daerah selama ini terjadi karena begitu banyaknya
campur tangan pemerintah pusat dalam menangani daerah sehingga terkadang apa
yang menjadi kebutuhan daerah tersebut tidak sesuai dengan apa yang menjadi
program dari pemerintah pusat. Riyanto (1997) mengatakan bahwa otonomi daerah
merupakan penjabaran dari pelaksanaan asas desentralisasi yaitu penyerahan sebagian
urusan kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti
bahwa daerah
mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna hasil dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat.
Menurut UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, pemberian
otonomi daerah kepada suatu daerah harus dipertimbangkan oleh pemerintah apakah
daerah tersebut memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat
digunakan untuk mengembangkan daerah tersebut. Selain itu juga harus
dipertimbangkan kemampuan daerah tersebut untuk mengurus rumah tangganya
14
sendiri dan mempunyai sistem pemerintahan yang bersih sehingga daerah tersebut
mampu berkembang. Otonomi daerah diberikan supaya tidak terjadi kesenjangan
antar daerah. Oleh sebab itu diharapkan daerah yang sudah berkembang dapat
membantu daerah yang belum berkembang. Riyanto (1997) berpendapat bahwa
prinsip-prinsip dasar dalam melaksanakan otonomi daerah adalah otonomi yang
nyata, dinamis, dan bertanggung jawab. Nyata disini maksudnya adalah bahwa
pemberian otonomi daerah kepada daerah otonom harus didasarkan pada faktor,
perhitungan, tindakan, dan kebijaksanaan yang benar-benar menjamin wilayah
bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangganya. Dinamis artinya
bahwa otonomi daerah tidak bersifat kaku tetapi dapat dikembangkan dan
dimekarkan karena keadaan yang terus berkembang di masyarakat. Bertanggung
jawab maksudnya bahwa pemberian otonomi daerah harus sejalan dengan tujuannya,
yaitu melancarkan kegiatan pembangunan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan
untuk kesejahteraan masyarakat.
Diharapkan dengan adanya pemberian otonomi daerah persatuan dan
kesatuan bangsa semakin erat. Diharapkan juga dengan adanya otonomi daerah
pertumbuhan ekonomi daerah semakin kuat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi
nasional. Seperti halnya pendapat Afrianto (2000) mengatakan bahwa pada tahuntahun mendatang program deswentralisasi dan pembangunan otonomi daerah akan
mendominasi pembangunan ekonomi daerah. Hal ini jauh lebih luas dari
pembangunan ekonomi daerah, yaitu meningkatkan keadilan, mengembangkan
pasrtisipasi masayarakt serta untuk menjaga dan memperkokoh kesatuan bangsa.
15
Pada hakekatnya pelaksanaan dan penerapan otonomi daerah diharapkan
untuk mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat untuk melaksanakan
pembangunan di daerah. Mengingat bahwa penentu kebijakan daerah lebih dekat
dengan masyarakat dan lebih tahu tentang apa yang menjadi kebutuhan dari daerah
tersebut dan lebih mengerti apa yang menjadi aspirasi dari masyarakat tersebut.
Perubahan yang diharapkan tidaklah akan berjalan secara mulus karena akan
banyak sekali menuntut perubahan pola pikir, pola bertindak dan kemauan dari pihak
Pusat maupun Daerah. Penerapan otonomi daerah diharapkan mengurangi
ketergantungan daerah terhadap pusat untuk melaksanakan pembangunan di daerah.
Berikut adalah karakteristik dasar dari desentralisasi menurut Haris (2005) :
1. Unit-unit pemerintahan setempat bersifat otonom, mandiri, dan jelas-jelas
sebagai unit pemerintahan bertingkat yang terpisah dari pusat. Pusat
melakukan sedikit, atau tidak ada kontrol langsung oleh pusat terhadap unitunit tersebut.
2. Pemerintah daerah mempunyai batas-batas geografis yang jelas dan diakui
secara hukum dimana mereka menggunakan kekuasaan dan menjalankan
fungsi-fungsi publik.
3. Pemerintah daerah mempunyai status dan kekuasaan mengamankan sumber
daya yang dimiliki untuk menjalankan fungsinya.
4. Implikasi desentralisasi adalah kebutuhan mengembangkan pemerintahan
lokal sebagai institusi, yang dilihat warga setempat sebagai organisasi yang
memberikan pelayanan, dan sebagai unit pemerintahan yang mempunyai
pengaruh.
16
5. Dengan
desentralisasi
berarti
ada
hubungan
timbal
balik,
saling
menguntungkan, dan hubungan yang terkoordinasikan antar pemerintah
pusat dengan pemerintahan daerah.
Otonomi daerah belum sepenuhnya efektif dilaksanakan. Daerah masih
sangat tergantung terhadap pusat terutama dalam merencanakan dan melaksanakan
program-program daerah dan kegiatan pembangunan. Terkadang suatu daerah ikutikutan melaksanakan otonomi daerah padahal sebenarnya daerah tersebut belum
mampu dan siap dalam melaksanakan otonomi daerah, sehingga daerah tersebut
belum tentu dapat melaksanakan otonomi daerah dengan baik. Permasalahan Pokok
yang biasa terjadi pada pelaksanaan otonomi daerah menurut Haris (2005) adalah
sebagai berikut:
1.
Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
2.
Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai dan
penyesuaian peraturan perundangan-undangan yang ada dengan UU 22 /
1999 masih sangat terbatas
3.
Sosialisasi UU 22 / 1999 dan pedoman yang tersedia belum mendalam dan
meluas;
4.
Manajemen penyelenggaraan otonomi daerah masih sangat lemah;
Pengaruh perkembangan dinamika politik dan aspirasi masyarakat serta
pengaruh globalisasi yang tidak mudah dikelola;
5.
Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah;
17
6.
Belum jelas dalam kebijakan pelaksanaan perwujudan konsep otonomi yang
proporsional ke dalam pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah sesuai prinsipprinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta
potensi dan keanekaragaman daerah dalam kerangka NKRI.
2.3.
Pertumbuhan Ekonomi
Kuznets dalam Todaro (2000) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi adalah
kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan
semakin banyak barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini
tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, penyesuaian kelembagaan, dan ideologi
yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga komponen yakni: 1) Pertumbuhan
ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan
barang; 2) Teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang
menentukan derajat kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada
penduduk dan; 3) Penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan
penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga penyesuaian inovasi yang
dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan secara tepat.
Menurut Todaro (2000), komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi
suatu masyarakat adalah akumulasi modal, pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja,
serta kemajuan teknologi. Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan
ditabung dan diinvestasikan dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di
kemudian hari. Demikian pula investasi dalam sumberdaya manusia dapat
18
meningkatkan kualitasnya dan dengan demikian akan menghasilkan efek yang sama
terhadap produksi, bahkan akan lebih besar lagi seiring dengan bertambahnya jumlah
manusia. Pendidikan formal dan informal akan dapat ditingkatkan lebih efektif lagi
supaya dapat menghasilkan tenaga terdidik yang dapat memperbesar produktivitas.
Pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja merupakan faktor positif dalam merangsang
pertumbuhan ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah
tenaga produktif, sedangkan pertambahan penduduk yang lebih besar akan
menambah luasnya pasar domestik. Kemajuan teknologi bagi para ahli ekonomi
merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih penting karena berarti
ditemukannya cara berproduksi atau perbaikan produksi. Kemajuan teknologi dapat
meningkatkan nilai tambah yang tinggi.
Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat
yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di
daerah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dengan nilai riil, artinya
dinyatakan dengan harga konstan. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi
faktor-faktor produksi yang beroperasi di wilayah tersebut yang berarti secara kasar
dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah
selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilyah tersebut juga
ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer-payment yaitu bagian pendapatan yang
mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah. Pemerintah
pusat telah melihat bahwa masing-masing wilayah memiliki keunggulan yang
kompetitif serta komparatif yang berbeda. Dengan adanya perbedaan keunggulan
19
komparatif tiap daerah, maka harus dapat dimanfaatkan dan ditetapkan skala prioritas
bagi masing-masing wilayah (Saptomo, 2008).
Teori klasik dimotori Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan
ekonomi bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Adanya pertambahan
penduduk menyebabkan pertambahan output. Selain Adam Smith, yang termasuk
dalam teori klasik lainnya adalah David Ricardo. Ricardo menyatakan bahwa faktor
pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu
saat
akan
menyebabkan
jumlah
tenaga
kerja
melimpah,
sehingga
dapat
mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk
membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami stasioner.
Teori klasik berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh
Harrod-domar dan Robert Solow. Harrod-Domar beranggapan bahwa modal harus
dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan
pertumbuhn modal tersebut. Teori Harod dan Domar juga membahas tentang
pendapatan nasional dan kesempatan kerja.
Model
pertumbuhan
Solow
menjelaskan
bagaimana
stok
kapital,
pertumbuhan angkatan kerja dan perkembangan teknologi berinterksi dalam
perekonomian. Ketiganya memengaruhi produk nasional atau Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan teori neoklasik pertumbuhan output ekonomi
regional dipengaruhi oleh pertumbuhan stok kapital, pertumbuhan tenaga kerja, dan
kemajuan teknologi. Pengukuran pertumbuhan ekonomi secara konvensional
biasanya dengan cara menghitung presentase Produk Domestik Bruto (PDB),
sedangkan untuk tingkat suatu daerah atau kota dengan cara menghitung presentase
20
PDRB. PDRB mengukur pengeluaran total dari suatu perekonomian terhadap
berbagai barang dan jasa yang baru diproduksi pada saat atau tahun serta pendapatan
total yang diterima dari adanya seluruh produksi barang dan jasa tersebut di suatu
daerah. Berbagai model pertumbuhan ekonomi muncul mengikuti perekonomian dari
waktu ke waktu (Linda, 2005).
Dari berbagai teori pertumbuhan ekonomi yang ada yaitu Harrod-Domar dan
Neoklasikal dari Solow maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor
utama dari pertumbuhan ekonomi, yakni: 1) akumulasi modal yang meliputi semua
bentuk atau jenis investasi baru, 2) pertumbuhan penduduk, dan 3) kemajuan
teknologi. Dalam penelitian ini, faktor yang diambil dalam memengaruhi
pertumbuhan ekonomi yaitu investasi, jumlah tenaga kerja, dan upah tenaga kerja.
2.4.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu daerah
dapat diperoleh dari PDRB. Sebagai salah satu indikator makro ekonomi, PDRB
adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam wilayah
tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
seluruh unit ekonomi. Penghitungan PDRB menggunakan dua macam harga, yaitu
PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar
harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan
menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada
satu tahun tertentu sebagai tahun dasar penghitungannya.
21
PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran
struktur ekonomi, sedangkan harga konstan dapat digunakan untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan
indikator untuk mengatur sampai sejauh mana keberhasilan pemerintah dalam
memanfaatkan sumber daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan
pengambilan keputusan.
Dari dua penyajian PDRB ini diperoleh beberapa indikator ekonomi makro
yang banyak digunakan oleh berbagai kalangan baik birokrasi pemerintah, peneliti
maupun masyarakat di dunia usaha (BPS, 2004). Indikator tersebut adalah:
1. Tingkat pertumbuhan ekonomi
Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari PDRB daerah
tersebut. Apabila angka-angka PDRB disajikan atas dasar harga konstan, akan
menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Apabila angka-angka dalam
PDRB tersebut menigkat setiap tahunnya hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi daerah tersebut meningkat dan sebaliknya apabila angka-angka yang
disajikan dalam PDRB menurun setiap tahunnya maka hal itu menunjukkan tingkat
pertumbuhan ekonomi daerah tersebut menurun.
2. Tingkat kemakmuran suatu daerah
Suatu daerah yang mempunyai pertumbuhan perekonomian yang tinggi
belum tentu menjamin kemakmuran yang tinggi pula bagi masyarakatnya. Apabila
daerah tersebut mempunyai pertumbuhan penduduk yang tinggi. Biasanya
pertumbuhan
perekonomian
dihitung secara
makro
sehingga belum
tentu
menunjukkan daerah tersebut makmur atau tidak. Apabila suatu daerah dikatakan
22
sudah makmur maka daerah tersebut minimal sudah mampu memenuhi kebutuhan
pokok sendiri. Oleh sebab itu, salah satu indikator yang digunakan untuk melihat
tingkat kemakmuran suatu daerah adalah dengan menggunakan tingkat pertumbuhan
pendapatan per kapita. Tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita lebih
menunjukkan perkembangan kemakmuran sebab bila dilihat dari sudut konsumsi
berarti masyarakat di daerah tersebut mempunyai kualitas yang lebih baik.
Untuk mengetahui tingkat kemakmuran suatu daerah harus tersedia angka
pembanding dari daerah lain, dan untuk mengetahui perkembangannya diperlukan
adanya suatu angka perkembangan secara berkala.
3. Tingkat inflasi
Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh pemerintah adalah tingkat
infalsi yang selalu melonjak setiap tahunnya. Peningkatan pendapatan berupa uang
yang diterima masyarakat akan tidak berarti apabila diikuti oleh tingkat inflasi yang
tinggi, sebab akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat. Oleh sebab itu
pemerintah harus menjaga tingkat inflasi agar tetap stabil yaitu salah satu caranya
dengan cara investasi yang besar seperti misalnya pada sektor perdagangan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi disajikan dalam bentuk statistik pendapatan
regional secara berkala sebagai bahan perencanaan pembangunan ekonomi regional
sekaligus bahan evaluasi program pembangunan yang telah berjalan (BPS Kota
Tangerang, 2009).
23
Ada dua metode dalam penghitungan PDRB adalah (Dumairy, 1996):
a. Metode Langsung
Metode langsung didasarkan pada data yang terpisah antara data daerah dan
data nasional, sehingga hasil perhitungannya mencakup seluruh produk barang dan
jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah. Metode ini dalam penghitungan PDRB
menggunakan tiga pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Produksi
Jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi dalam
suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu adalah sebagai dasar penghitungan PDRB
nya. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 sektor
(dapat juga dibagi menjadi 9 sektor) yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan
galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas, dan air minum; (5) bangunan; (6)
perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan
lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintah; (11) jasa-jasa.
2. Pendekatan Pendapatan
Jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang turut serta
dalam proses produksi di suatu wilayah dalam jangka waktu setahun adalah sebagai
dasar penghitungan PDRBnya. Balas jasa produksi meliputi upah dan gaji, sewa
tanah, bunga modal dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak
penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan
dan pajak-pajak tak langsung netto. Jumlah komponen semua pendapatan per sektor
disebut nilai tambah bruto sektoral. Oleh sebab itu, PDRB menurut pendekatan
24
pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau
lapangan usaha
3. Pendekatan Pengeluaran
Jumlah seluruh komponen permintaan akhir yang meliputi pengeluaran
konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan,
pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok, pengeluaran konsumsi
pemerintah, dan ekspor netto (ekspor-impor) yang semuanya berada dalam jangka
satu tahun adalah sebagai dasar penghitungan PDRBnya.
b. Metode Tidak Langsung atau Alokasi
Metode tidak langsung atau alokasi ini dalam menghitung PDRB dilakukan
dengan cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan
mengalokasikan nilai tambah nasional ke dalam masing-masing ekonomi pada
tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar
pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.
PDRB yang disajikan atas dasar harga konstan, akan menggambarkan
tingkat pertumbuhan riil perekonomian suatu daerah baik secara agregat maupun
sektoral. Pertumbuhan perekonomian yang timbul tersebut apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk masing-masing tahun, maka akan dapat pula mencerminkan
tingkat perkembangan pendapatan perkapita penduduk. Jika pendapatan perkapita
penduduk suatu daerah dibandingkan dengan pendapatan per kapita daerah lain, maka
angka-angka tersebut dapat dipakai sebagai indikator untuk membandingkan tingkat
kemakmuran material dengan daerah lainnya.
25
Penyajian PDRB, baik atas dasar harga berlaku maupun harga konstan, juga
dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat inflasi ataupun deflasi yang terjadi.
Demikian pula apabila disajikan secara sektoral akan dapat juga memberi gambaran
tentang struktur perekonomian suatu daerah.
2.5.
Teori Investasi
Investasi merupakan komitmen sejumlah dana suatu periode untuk
mendapatkan pendapatan yang diharapkan di masa yang akan datang sebagai
kompensasi unit yang diinvestasikan (Sumanto, 2006). Alasan utama orang melakukan
investasi adalah untuk memperoleh keuntungan dan tingkat keuntungan yang disebut
return. Return yang diharapkan investor adalah kompensasi atas biaya kesempatan
(opportunity cost) dan risiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi.
Pada dasarnya investasi dapat dibedakan menjadi investasi finansial dan
investasi non finansial. Investasi finansial adalah bentuk pemilikan instrumen finansial
seperti uang tunai, tabungan, deposito, modal, surat berharga, obligasi, dan sejenisnya.
Sedangkan investasi non finansial direalisasikan dalam bentuk investasi fisik (Badan
Koordinasi Pasar Modal, 2005).
Investasi merupakan salah satu komponen penentu yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Berdasarkan konsep pendapatan
nasional yang mengacu pada A system of National Account dalam BPS (2003),
pengertian investasi adalah selisih antara stok capital pada tahun (t) dikurangi dengan
stok capital pada tahun (t-1), atau setiap ada penambahan atau penimbunan modal.
Besarnya investasi secara fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu
26
dicerminkan oleh besarnya Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Sedangkan
yang dimaksud dengan PMTB adalah mencakup pengadaan, pembuatan, dan
pembelian barang modal baru baik dalam negeri maupun luar negeri, yang termasuk
dalam PMTB adalah perbaikan barang modal yang mengakibatkan tambahan umur
pemakaian ataupun meningkatkan kemampuan barang modal tersebut dikurangi
dengan penjualan barang modal bekas. Barang yang dikategorikan sebagai barang
modal mempunyai ciri-ciri yaitu barang tersebut memiliki unsur ekonomis lebih dari
satu tahun, nilai barang relatif besar dibandingkan dengan output yang dihasilkan,
serta dapat digunakan berulang kali dalam proses produksi. Yang termasuk dalam
investasi barang modal dan bangunan adalah pengeluaran-pengeluaran untuk pembelian
pabrik, mesin, peralatan produksi, bangunan/gedung yang baru.
2.5.1.
Penanaman Modal Asing (PMA)
Investasi asing atau biasa disebut Penanaman Modal Asing (PMA) adalah
salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah modal untuk pembangunan ekonomi
yang bersumber dari luar negeri. Salvatore (1997) menjelaskan bahwa PMA terdiri
atas:
1. Investasi portofolio (portfolio investment), yakni investasi yang
melibatkan hanya asset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham yang
didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi
portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga
keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun dan sebagainya.
27
2. Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment), merupakan PMA
yang meliputi investasi ke dalam asset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrikpabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan
produksi, dan sebagainya.
Wiranata (2004) berpendapat bahwa investasi asing secara langsung dapat
dianggap sebagai salah satu sumber modal pembangunan ekonomi yang penting.
Semua negara yang menganut sistem ekonomi terbuka, pada umumnya memerlukan
investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk
kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika modal asing tetap dibutuhkan
guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan
penciptaan kesempatan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal
asing sangat diperlukan terutama sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak
mencukupi. Untuk itu berbagai kebijakan di bidang penanaman modal perlu
diciptakan dalam upaya menarik pihak luar negeri untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
Masuknya PMA di Indonesia diatur oleh pemerintah dalam UU No 1 tahun
1967 tentang penanaman modal asing dan dilengkapi serta disempurnakan oleh UU
No 11 tahun 1970 juga tentang penanaman modal asing. UU itu didukung oleh
berbagai kemudahan yang dilengkapi dengan berbagai kebijakan.
28
2.5.2.
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
Pengertian PMDN yang terkandung dalam UU No.6 tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) mencakup kriteria sebagai berikut (Bank Indonesia,
1995):
a.
Bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia;
b.
Dimiliki oleh negara ataupun swasta nasional dan swasta asing yang
berdomisili di Indonesia;
c.
Guna menjalankan suatu usaha;
d.
Modal tersebut tidak termasuk dalam pengertian pasal 2 UU No.1 tahun
1967 tersebut diatas (Pasal 1 ayat 1)
PMDN merupakan bagian dari penggunaan kekayaan yang dapat dilakukan
secara langsung oleh pemilik sendiri atau secara tidak langsung, antara lain melalui
pembelian obligasi, saham, deposito, dan tabungan yang jangka waktunya minimal
tahun. Menurut Undang-Undang tersebut, perusahaan yang dapat menggunakan
modal dalam negeri dapat dibedakan antara perusahaan nasional dan perusahaan
asing, dimana perusahaan nasional dapat dimiliki seluruhnyaa oleh negara dan atau
swasta nasional ataupun sebagai usaha gabungan antara negara dan atau swasata
nasional dengan swasta asing dimana sekurang-kurangnya 51% modal dimiliki oleh
negara atau swasta nasional. Pada prinsipnya semua bidang usaha terbuka untuk
swasta/PMDN kecuali bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak dan
strategis seperti listrik, dan air.
29
2.6.
Teori Tenaga Kerja dan Upah
Tenaga kerja adalah orang yang melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat (UU RI
No.13 Tahun 2003) Tenaga kerja dapat juga diartikan sebagai penduduk yang berada
dalam batas usia setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan atau jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Tenaga
kerja disebut juga dengan golongan produktif.
Upah (W)
SL = Penawaran tenaga kerja
We
DL = Permintaan tenaga kerja
Ne
Jumlah tenaga kerja (N)
Gambar 2.1. Kurva Tenaga Kerja
Jumlah orang yang menawarkan tenaganya untuk bekerja adalah sama
dengan jumlah tenaga kerja yang diminta, yaitu masing-masing sebesar Ne pada
tingkat upah keseimbangan We. Dengan demikian, titik keseimbangan adalah titik E.
Pada tingkat upah keseimbangan We, semua orang yang ingin bekerja telah dapat
bekerja. Berarti tidak orang yang menganggur. Secara ideal keadaan ini disebut full
employment pada tingkat upah We (Walad, 2011).
Tenaga kerja adalah modal bagi geraknya roda pembangunan. Jumlah dan
komposisi tenaga kerja akan terus mengalami perubahan seiring dengan
30
berlangsungnya proses demografi. Pertumbuhan tenaga kerja yang tidak diimbangi
dengan pertumbuhan lapangan pekerjaan akan menyebabkan tingkat kesempatan
kerja cenderung menurun sehingga mengakibatkan timbulnya pengangguran.
Pengangguran ini adalah mereka yang tidak bekerja tetapi sedang berusaha mencari
pekerjaan. Penduduk yang tidak aktif secara ekonomi digolongkan dalam kelompok
bukan angkatan kerja yang terdiri dari kelompok mereka yang bersekolah, kelompok
yang mengurus rumah tangga, yaitu mereka yang mengurus rumah tangga tanpa
memperoleh upah dan golongan lainnya. Dengan semakin meningkatnya jumlah
pengangguran maka akan meningkatkan jumlah penduduk miskin karena masyarakat
tidak mempunyai pendapatan untuk menghidupi kebutuhan hidupnya.
Upah (W)
Excess Supply of Labour
W1
SL = Penawaran tenaga kerja
DL = Permintaan tenaga kerja
N1
N2
Jumlah Tenaga Kerja (N)
Gambar 2.2. Kurva Excess Supply of Labour
Pada gambar 2.2, terlihat adanya excess supply of labor. Pada tingkat upah
W1, penawaran tenaga kerja (SL) lebih besar daripada permintaan tenaga kerja (DL).
Jumlah orang yang menawarkan dirinya untuk bekerja adalah sebanyak N2,
sedangkan yang diminta hanya N1. Dengan demikian, ada orang yang menganggur
pada tingkat upah W1 sebanyak N1-N. (Walad, 2011).
31
Upah bagi pekerja memiliki banyak manfaat, yaitu sebagai imbalan atau
balas jasa terhadap produksi yang dihasilkan dan sebagai pendorong bagi peningkatan
produktivitas serta sebagai pemenuhan hidup sehari-hari. Bagi pekerja, kenaikan upah
minimum akan memperbaiki daya beli pekerja yang akhirnya akan mendorong
kegairahan bekerja dan peningkatan produktivitas bekerja, sedangkan bagi
perusahaan, upah merupakan salah satu komponen biaya produksi yang dipandang
dapat mengurangi tingkat laba yang dihasilkan. Kenaikan tingkat upah akan
mengakibatkan kenaikan biaya produksi, sehingga akan meningkatkan harga per unit
produk yang dihasilkan. Apabila harga per unit produk yang dijual ke konsumen naik,
reaksi yang biasanya timbul adalah mengurangi pembelian atau bahkan tidak lagi
membeli produk tersebut. Sehingga akan muncul perubahan skala produksi yang
disebut efek skala produksi (scale effect) dimana sebuah kondisi yang memaksa
produsen untuk mengurangi jumlah produk yang dihasilkan, yang selanjutnya juga
dapat mengurangi tenaga kerja perusahaan (Kusnaini, 1998).
Suatu kenaikan upah dengan asumsi harga barang-barang modal yang lain
tetap, membuat pengusaha mempunyai kecenderungan untuk menggantikan tenaga
kerja dengan mesin. Penurunan jumlah tenaga kerja akibat adanya penggantian
dengan mesin disebut efek substitusi (substitution effect). Oleh karena dipandang
sebagai biaya faktor produksi, maka pengusaha berusaha menekan upah tersebut
sampai pada tingkat yang paling minimum, sehingga laba perusahaan dapat
ditingkatkan.
Untuk menghindari perbedaan kepentingan antara pengusaha dan pekerja,
maka pemerintah memandang perlu untuk mengatur masalah pengupahan ini. Tujuan
32
pengaturan ini adalah untuk menjaga agar tingkat upah tidak merosot terlalu bawah,
meningkatkan daya beli pekerja, dan mempersempit kesenjangan secara bertahap
antara mereka yang berpenghasilan tertinggi dan terendah. Penetapan upah minimum
oleh pemerintah merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kesejahteraan
hidup pekerja (Kusnaini, 1998).
2.7.
Upah Minimum Regional (UMR)
Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-03/Men/1997
tentang Upah Minimum Regional Bab 1 Pasal 1 ayat (a) menyebutkan bahwa: Upah
Minimum Regional adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan
termasuk tunjangan tetap di wilayah tertentu dalam suatu provinsi. Undang-Undang
RI No. 23 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada bagian kedua mengenai
pengupahan pasal 111 menyebutkan bahwa “(2) Penetapan upah minimum
dilaksanakan untuk tingkat daerah; Penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk daerah tertentu dapat dilaksanakan menurut sektor dan sub
sektor”. Lebih lanjut PP No.8/1981 memberi pengertian tentang upah minimum
adalah upah yang ditetapkan secara minimum regional, sektoral regional, maupun sub
sektoral. Dalam hal ini upah minimum adalah upah pokok dan tunjangan.
Simanjuntak (2002) menyatakan bahwa pemerintah setiap tahun atau sekali
dalam dua tahun menetapkan upah minimum untuk setiap provinsi atau untuk
beberapa daerah kabupaten yang berdekatan. Tujuan penetapan upah minimum
adalah untuk:
33
a.
Menghindari atau mengurangi persaingan yang tidak sehat sesama pekerja
dalam kondisi pasar kerja yang surplus, yang mendorong mereka menerima
upah dibawah tingkat kelayakan;
b.
Menghindari atau mengurangi kemungkinan eksploitasi pekerja oleh
pengusaha yang memanfaatkan kondisi pasar kerja untuk akumulasi
keuntungannya;
c.
Sebagai jaring pengaman untuk tingkat upah karena satu dan lain hal jangan
turun lagi;
d.
Mengurangi tingkat kemiskinan absolut pekerja, terutama apabila tingkat
upah minimum tersebut dikaitkan dengan kebutuhan dasar pekerja dan
keluarganya;
e.
Mendorong peningkatan produktivitas baik melalui perbaikan gizi dan
kesehatan pekerja maupun melalui upaya manajemen untuk memperoleh
kompensasi atas peningkatan upah minimum;
f.
Meningkatkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi secara umum;
g.
Menciptakan hubungan industrial yang lebih aman dan harmonis.
34
Upah (W)
SL
W2
E2
W1
E3
Upah Minimum
E1
DL
N2
N1
N3
Jumlah Tenaga Kerja (N)
Gambar 2.3. Kurva Kebijakan Upah Minimum
Pada gambar 2.3. terlihat bahwa keseimbangan pasar tenaga kerja berada
pada titik keseimbangan E1 dengan tingkat upah sebesar W1 dan tingkat penggunaan
tenaga kerja sebesar N1 yang ditentukan dari interaksi permintaan D dan penawaran S
terhadap tenaga kerja. Adanya penetapan nilai upah minimum akan meningkatkan
tingkat upah menjadi W2 sehingga keseimbangan akan bergeser menjadi E2 dan
permintaan tenaga kerja turun menjadi N2. Penetapan nilai upah minimum
mengakibatkan penawaran tenaga kerja yang lebih tinggi (E3) dibandingkan
permintaan tenaga kerja oleh perusahaan (E2) sehingga akan terjadi pengangguran
(N2-N3) (Prastyo, 2010).
Dalam menetapkan upah tersebut perlu dipertimbangkan beberapa faktor
antara lain: kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya, tingkat upah pada umumnya di
negara yang bersangkutan, biaya hidup dan perubahannya, sistem jaminan sosial
nasional, kondisi dan kemampuan perusahaan, serta tujuan nasional seperti
mendorong pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan peningkatan
produktivitas. Ketentuan upah minimum dapat ditetapkan berlaku untuk seluruh
daerah di suatu negara, atau semua sektor di seluruh daerah atau berbeda menurut
35
daerah dan sektor. Semakin banyak variasi ketentuan upah minimum semakin lebih
mencerminkan kondisi pasarnya akan tetapi semakin besar beban administrasinya
(Simanjuntak, 1996).
2.8.
Penelitian Terdahulu
2.8.1.
Penelitian Mengenai Pertumbuhan Ekonomi
Menurut penelitian Linda (2005) yang berjudul Analisis Pengaruh Investasi
dan Tenaga Kerja terhadap PDRB Sumatera Utara, menggunakan metode OLS. Dari
hasil penelitian dijelaskan bahwa Investasi PMDN tahun sebelumnya berpengaruh
positif terhadap PDRB Sumatera Utara. Hal ini berarti bahwa semakin meningkatnya
investasi di Sumatera Utara maka akan meningkatkan juga PDRB Sumatera Utara.
Selanjutnya nilai koefisien regresi dari variabel PMA tahun sebelumnya juga bernilai
positif, hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi PMA Sumatera Utara tahun
sebelumnya akan meningkatkan PDRB Sumatera Utara. Selanjutnya pengaruh tenaga
kerja sendiri juga memberikan pengaruh positif terhadap PDRB Sumatera Utara. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah tenaga kerja maka semakin tinggi
PDRB Sumatera Utara.
Penelitian Laila (2005) mengenai kontribusi investasi swasta terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia menyimpulkan bahwa investasi memiliki pengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil regresi menunjukkan bahwa investasi
baik swasta maupun pemerintah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tenaga kerja dan lag pertumbuhan PDB
memiliki pengaruh yang negatif dan tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
36
Sedangkan ekspor memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan. Variabel
lainnya yaitu dummy krisis memberikan pengaruh yang negatif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya penulis menjelaskan bahwa kontribusi
investasi swasta sedikit lebih besar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi
dibandingkan investasi pemerintah. Hal ini berarti peranan pemerintah tetap
diperlukan
terutama
dalam
penyediaan
barang-barang
publik
yang
dapat
memperlancar kegiatan produksi pihak swasta sehingga investasi swasta dapat
meningkat dan memperlancar proses pembangunan ekonomi di Indonesia.
Saptomo (2008) menganalisis mengenai pengaruh pertumbuhan investasi
publik, investasi swasta, dan pertumbuhan penduduk, terhadap pertumbuhan ekonomi
kota Semarang dengan menggunakan metode OLS. Nilai koefisien regresi dari
variabel investasi publik adalah positif yang berati apabila pertumbuhan investasi
publik atau dana pembangunan pemerintah meningkat maka pertumbuhan ekonomi
Kota Semarang meningkat. Koefisien regresi variabel pertumbuhan investasi swasta
juga memberikan tanda positif yang berarti semakin meningkat pertumbuhan
investasi yang dilakukan pihak swasta akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
Kota Semarang. Selanjutnya Koefisien regresi variabel pertumbuhan penduduk
memberikan tanda negatif yang berarti bahwa pertumbuhan penduduk yang semakin
tinggi dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi sehingga perlu dilakukan usahausaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk misalnya melalui program KB
(Keluarga Berencana).
37
2.8.2.
Penelitian Mengenai Otonomi Daerah
Penelitian yang dilakukan oleh Sihombing (2006) tentang dampak otonomi
daerah terhadap pertumbuhan sektor pereknomian di Kabupaten Tapanuli Utara
dengan analisis shift share menyimpulkan, bahwa perekenomian Kabupaten Tapanuli
Utara sebelum otonomi daerah termasuk dalam kelompok pertumbuhan yang lambat.
Sesudah otonomi daerah, pertumbuhan ekonominya menjadi maju. Lestari (2006)
mengenai analisis pertumbuhan kesempatan kerja pra dan pasca otonomi daerah di
Provinsi Jakarta (1996-2004) dengan analisis shift share menyimpulkan bahwa
kebijakan otonomi daerah yang baru berjalan lima tahun
belum menunjukkan
pengaruh yang signifikan. Tetapi karena terdapat peningkatan pertumbuhan
kesempatan kerja walaupun tidak besar, maka terdapat optimisme bahwa kebijakan
ini akan membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik.
Anjani (2007) dalam penelitiannya mengenai analisis pertumbuhan sektorsektor perekonomian sebelum dan pada saat otonomi daerah (studi kasus: Kota
Depok) dengan analisis shift share menyimpulkan bahwa setelah otonomi daerah,
pertumbuhan ekonomi Kota Depok mengalami peningkatan. Yusdianto (2008),
mengenai kapasitas produksi listrik di kawasan Timur Indonesia dengan model panel
data menyimpulkan
bahwa otonomi
daerah
berpengaruh
negatif
terhadap
pertumbuhan PDRB, sedangkan pada penelitian ini menggunakan persamaan
simultan.
38
2.9.
Kerangka Pemikiran
Selama tahun 1995-2009 perekonomian selalu mengalami perubahan.
Demikian juga dengan perekonomian di Kota Tangerang. Otonomi daerah yang
berawal pada tahun 2001 telah membawa perubahan pada kondisi ekonomi Kota
Tangerang. Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu
indikator untuk melihat tingkat pertumbuhan suatu daerah.
Pertumbuhan daerah yang berubah-ubah itu tentu saja dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Dari teori pertumbuhan yang ada yakni teori Harrod Domar dan
Solow maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor utama dalam
pertumbuhan ekonomi, yakni: 1) akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau
jenis investasi baru, 2) pertumbuhan penduduk dan 3) kemajuan teknologi. Dalam
penelitian ini diambil beberapa faktor yang mewakili yaitu investasi, jumlah tenaga
kerja, dan upah tenaga kerja. Penelitian ini juga akan melihat kondisi perekonomian
Kota Tangerang pada masa sebelum diberlakukannya otonomi daerah dan pada saat
otonomi daerah.
Analisis persamaan regresi adalah salah satu cara yang bisa digunakan untuk
mengetahui adanya hubungan atau tidak antara faktor-faktor tersebut dengan
pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari PDRB Di Kota Tangerang dimana nantinya
dapat ditentukan apakah pengaruh faktor-faktor tersebut positif atau negatif terhadap
PDRB Kota Tangerang. Diharapkan faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang. Dengan demikian, dengan pengambilan
kebijakan yang sesuai di Tangerang, maka diharapkan dapat meningkatkan pendapatan
dan pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang.
39
Perekonomian Kota Tangerang
Sebelum otonomi daerah
Pada masa otonomi daerah
PDRB Kota Tangerang
Investasi
Jumlah tenaga kerja
Analisis Regresi (Metode OLS)
Strategi meningkatkan
pertumbuhan ekonomi
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
Upah tenaga kerja
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam
bentuk time series dari tahun 1995 sampai tahun 2009. Data yang digunakan dalam
model struktural adalah nilai PDRB, investasi Kota Tangerang, jumlah tenaga kerja,
dan upah tenaga kerja yang diperoleh dari beberapa sumber antara lain BPS Pusat,
BPS Kota Tangerang, Pusat dan Dinas Tenaga Kerja, BKPM, dalam pencarian dan
perlengkapan data yang dibutuhkan.
3.2.
Model Ekonometrika
Penelitian ini menggunakan persamaan struktural yang akan diestimasi.
Model struktural pertumbuhan PDRB dapat dirumuskan:
LnPDRBt = α0 + α1LnINVt + α2LnTKt + α3LnUPAHt + α4Dummy + e
Keterangan:
PDRB
: PDRB Kota Tangerang (Rupiah)
INV
: Investasi Kota Tangerang (Rupiah)
TK
: Jumlah tenaga kerja di Kota Tangerang (Jiwa)
UPAH
: Upah minimum per bulan di Kota Tangerang (Rupiah)
Dummy : Dummy Otonomi Daerah
αn
: Parameter yang diduga (n = 1,2,3,…)
e
: error
41
3.3.
Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Untuk
memudahkan dalam pengolahan data yang digunakan, maka data tersebut dimasukan
ke dalam Microsoft Excel 2007 dan diolah dengan menggunakan Eviews 6.
3.4.
Pengujian Kriteria Ekonomi dan Statistik
Setelah menentukan parameter estimasi maka langkah selanjutnya yang
dilakukan adalah melakukan pengujian terhadap parameter estimasi tersebut agar
suatu model dapat dikatakan baik. Pengujian-pengujian tersebut yaitu uji statistik
terhadap model penduga melalui uji F dan pengujian untuk parameter-parameter
regresi melalui uji t serta melihat berapa persen variabel bebas dapat dijelaskan oleh
variabel-variabel
terikatnya melalui
koefisien
determinasi
(R-squared).
Uji
ekonometrika yang akan dilakukan antara lain uji heteroskedastisitas, uji autokorelasi,
uji multikolinearitas, dan uji normalitas.
3.4.1.
Uji t (Uji Parsial)
Uji t (uji parsial) dilakukan untuk melihat apakah masing-masing variabel
bebas (independent variable) secara parsial berpengaruh pada variabel terikatnya.
Probability t-statistik menunjukkan besarnya pengaruh nyata untuk masing-masing
variabel. Apabila probability untuk masing-masing variabel bebas bernilai lebih kecil
dari taraf nyata (prob < α), maka dapat disimpulkan variabel bebas tersebut
berpengaruh nyata. Begitu pula sebaliknya, jika probability lebih besar dari taraf
42
nyata (prob > α), maka variabel bebas tersebut tidak memengaruhi PDRB Kota
Tangerang.
3.4.2.
Uji F ( Uji Serempak)
Probability F-statistic digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh
secara keseluruhan dari variabel bebas (independent variabel) terhadap PDRB Kota
Tangerang. Hipotesis untuk melakukan uji F-statistik adalah :
H0 : semua αi = 0, artinya tidak ada variabel bebas yang berpengaruh terhadap PDRB
Kota Tangerang
H1 : αi ≠ 0, artinya minimal ada satu variabel bebas yang berpengaruh terhadap PDRB
Kota Tangerang
Apabila probability F-statistik kurang dari taraf nyata (prob < α), maka
kesimpulannya adalah tolak H0, artinya minimal ada satu variabel bebas yang
memengaruhi PDRB Kota Tangerang secara nyata. Namun sebaliknya jika
probability F-statistik lebih besar dari taraf nyata (prob > α), maka dapat disimpulkan
terima H0, artinya tidak ada variabel bebas yang berpengaruh terhadap PDRB Kota
Tangerang.
3.4.3.
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Uji koefisien determinasi digunakan untuk melihat sejauh mana variabel
bebas mampu menerangkan keragaman variabel terikatnya. Nilai R2 mengukur
tingkat keberhasilan model regresi yang digunakan dalam memprediksi nilai variabel
terikatnya. Nilai R2 memiliki dua sifat yaitu memiliki besaran positif dan besarnya
43
adalah 0 ≤ R 2 ≤ 1. Jika R2 sebesar nol, maka hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas. Sedangkan jika R2 sebesar
satu maka terdapat kecocokan yang sempurna antara variabel terikat dengan variabel
bebas.
3.5.
Uji Ekonometrika
3.5.1.
Heteroskedastisitas
Suatu fungsi dikatakan baik apabila memenuhi asumsi homoskedastisitas
(tidak terjadi heteroskedastisitas) atau memiliki ragam error yang sama. Adanya
heteroskedastisitas akan menyebabkan parameter yang diduga menjadi tidak efisien.
Heteroskedastisitas tidak merusak ketakbiasan dan konsistensi dari penaksir Ordinary
Least Square (OLS), tetapi penduga OLS tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil
maupun besar (yaitu asimtotik) (Gujarati, 1997). Untuk mendeteksi ada tidaknya
pelanggaran ini dengan menggunakan White Heteroscedasticity Test. Nilai
probabilitas Obs*R-squared dijadikan sebagai acuan untuk menolak atau menerima
H0 : homoskedastisitas.
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka tolak H0
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka terima H0
Apabila H0 ditolak maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas, begitu juga
sebaliknya apabila terima H0 maka tidak akan terjadi gejala heteroskedastisitas.
44
3.5.2.
Autokorelasi
Kendall dan Buckland dalam Gujarati (1997) mengatakan istilah
autokorelasi bisa didefinisikan sebagai korelasi diantara anggota observasi yang
diurut menurut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas
sektoral). Sebagaimana halnya dengan masalah heteroskedastisitas, penduga OLS
tidak lagi efisian atau ragamnya tidak lagi minimum jika ada autokorelasi. Untuk
mendeteksi ada tidaknya autokorelasi dapat digunakan Breusch-Godfrey Serial
Correlation LM Test.
Probabilitas Obs*R-squared < taraf nyata α, maka terdapat autokorelasi
Probabilitas Obs*R-squared > taraf nyata α, maka tidak terdapat autokorelasi
3.5.3.
Uji Normalitas
Uji ini dilakukan karena data yang digunakan kurang dari 30. Uji ini
digunakan untuk melihat apakah error term mendekati distribusi normal. Kriteria uji
yang digunakan:
1. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque Bera ≥ taraf nyata (α), maka model tidak
memiliki masalah normalitas masalah normalitas atau dapat dikatakan error term
terdistribusi secara normal.
2. Jika diperoleh nilai probabilitas Jarque Bera ≤ taraf nyata (α), maka model
memilki masalah normalitas atau dapat dikatakan error term tidak terdistribusi
secara normal.
45
3.5.4.
Multikolinearitas
Multikolinearitas terjadi apabila pada regresi berganda tidak terjadi
hubungan antar variabel bebas atau terjadi karena adanya korelasi yang nyata antar
peubah bebas. Pelanggaran asumsi ini akan menyebabkan kesulitan untuk menduga
yang diinginkan. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas adalah dengan
memperhatikan hasil probabilitas t-statistik hasil regresi (Gujarati, 1997). Jika banyak
koefisien parameter yang diduga menunjukkan hasil yang tidak signifikan maka hal
ini mengindikasikan adanya multikolinearitas. Salah satu cara yang paling mudah
untuk mengatasi pelanggaran ini adalah dengan menghilangkan salah satu variabel
yang tidak signifikan tersebut. Hal ini sering tidak dilakukan karena dapat
menyebabkan bias parameter yang spesifikasi pada model. Kemudian cara lain adalah
dengan mencari variabel instrumental yang berkorelasi dengan variabel terikat namun
tidak berkorelasi dengan variabel bebas lainnya. Namun hal ini agak sulit dilakukan
mengingat tidak adanya informasi tentang tipe variabel tersebut.
Ada beberapa cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinear. Salah satu
caranya menurut Gujarati (2007) yaitu melalui correlation matric, dimana batas
terjadinya korelasi antar sesama variabel bebas adalah tidak lebih dari | 0.80 |.”
Selain itu ada cara lain menurut Gujarati (2007) untuk mendeteksi ada
tidaknya multikolinearitas yaitu dengan menggunakan Uji Klein. Menurut Uji Klein,
apabila terjadi nilai korelasi yang lebih tinggi dari | 0.80 |, multikolinearitas dapat
diabaikan selama nilai korelasi tersebut tidak melebihi Adjusted R-squared-nya.
46
3.6.
Beberapa Kelemahan Metode Ordinary Least Square (OLS)
Ketika menggunakan data runtut waktu (time series), seringkali muncul
kesulitan-kesulitan yang sama sekali tidak dijumpai pada saat menggunakan data
seksi silang (cross section).
Sebagian besar kesulitan tersebut berkaitan dengan
urutan pengamatan. Ada beberapa hal yang menjadi kelemahan dari metode
Ordinary Least Square (OLS) dengan menggunakan data time series (Sarwoko,
2005) antara lain :
1. Suatu kondisi di mana suatu variabel time series berubah secara koefisien dan
terprediksi sebelum variabel lain ditentukan demikian. Jika suatu variabel
mendahului variabel lain, tidak dapat dipastikan bahwa variabel pertama
tersebut menyebabkan variabel lain berubah, namun hampir dapat dipastikan
bahwa kebalikannya adalah bukan hal itu.
2. Variabel-variabel independen nampak lebih signifikan dari yang sebenarnya,
yaitu apabila variabel-variabel itu memiliki trend menaik yang sama dengan
variabel dependennya dalam kurun waktu periode sampel.
3. Terkadang variabel time series tidak stasioner. Maksudnya rata-rata dan
variannya tidak konstan sepanjang waktu dan nilai kovarian antara dua
periode waktu tergantung dari jarak atau lag antara kedua periode dari waktu
sesungguhnya di mana kovarian itu dihitung dan bukan dari periode pada
waktu itu.
4. Terkadang variabel time series tidak mempunyai kointegrasi yaitu dalam
jangka waktu tertentu tidak terdapat keseimbangan.
47
5. Sulit untuk menentukan kapan sebuah variabel bebas masuk ke dalam
persamaan regresi. Apakah variabel tersebut penting sebagaimana dijelaskan
dalam teori atau sebaliknya teorinya kurang jelas, maka akan muncul dilema.
6. Sulit untuk menentukan model persamaan mana yang lebih baik.
7. Perlakuan terhadap error semua model persamaan adalah sama.
3.7.
Model Regresi Berganda
Model regresi berganda adalah model dalam variabel tak bebas (dependence
variabel) tergantung pada dua atau lebih variabel yang menjelaskan atau variabel
bebas (explanatory variabels / independence variabel). Tujuan dari model ini adalah
untuk menghitung parameter-parameter estimasi dan untuk melihat apakah ada atau
tidakanya hubungan antara variabel-variabel tersebut (Gujarati, 1997). Variabel yang
diestimasi adalah variabel terikat dimana pada penelitian ini melihat pertumbuhan
ekonomi Kota Tangerang yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB Kota Tangerang,
sedangkan variabel yang memengaruhi adalah variabel bebas yaitu investasi, jumlah
tenaga kerja, dan upah tenaga kerja. Hal ini digunakan untuk melihat bagaimana
pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap PDRB Kota Tangerang, apakah positif atau
berhubungan negatif.
Dalam menggunakan model regresi berganda pada hakekatnya asumsi yang
digunakan antara lain (Firdaus, 2004):
1. E (εi) = 0 untuk setiap i.
2. Cov (εi, εj) = 0, i ≠ j. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi tidak adanya korelasi
berurutan atau tidak adanya autokorelasi.
48
3. Var (εi) = σ2, untuk setiap i, asumsi ini dikenal sebagai asumsi
homoskedastisitas, atau varians sama.
4. Cov (εi I X2i) = Cov (εi I X3i) = 0. Artinya kesalahan pengganggu εi dan
variabel bebas X tidak berkorelasi.
5. Tidak ada multikolinearitas (multicolinearity) yang berarti tidak terdapat
hubungan linearitas yang pasti di antara variabel bebas.
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
4.1
Keadaan Umum Wilayah Penelitian
4.1.1
Geografi dan Tata Guna Lahan
Menurut Badan Pusat Statistik (2009) Kota Tangerang merupakan dataran
rendah dengan ketinggian rata-rata ±7 meter di atas permukaan laut, 6º 6 LS - 6º 13
Lintang Selatan dan 106º 36 - 106º - 42º Bujur Timur. Luas wilayah Kota Tangerang
adalah 164,55 Km² termasuk Bandara Soekarno Hatta seluas 19,69 Km².
Kota
Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Banten, Indonesia, tepat di
sebelah barat kota Jakarta, serta dikelilingi oleh Kabupaten Tangerang di sebelah
selatan, barat, dan timur. Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta
ketiga terbesar di kawasan perkotaan Jabotabek setelah Jakarta.
Posisi Kota Tangerang tersebut menjadikan pertumbuhannya pesat. Pada
satu sisi wilayah Kota Tangerang menjadi daerah limpahan berbagai kegiatan di
Ibukota Negara DKI Jakarta. Di sisi lain Kota Tangerang dapat menjadi daerah
kolektor pengembangan wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan
sumber daya alam yang produktif. Pesatnya pertumbuhan Kota Tangerang dipercepat
pula dengan keberadaan Bandara
nternasional Soekarno-Hatta yang sebagian
arealnya termasuk ke dalam wilayah administrasi Kota Tangerang. Gerbang
perhubungan udara Indonesia tersebut telah membuka peluang bagi pengembangan
kegiatan perdagangan dan jasa secara luas di Kota Tangerang.
Wilayah administrasi Kota Tangerang terbagi menjadi 13 kecamatan yang
dibagi lagi atas 104 kelurahan. Dahulu Tangerang merupakan bagian dari wilayah
50
Kabupaten Tangerang, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi kota administratif,
dan akhirnya ditetapkan sebagai kotamadya pada tanggal 27 Februari 1993. Sebutan
kotamadya diganti dengan kota pada tahun 2001.
4.1.2
Penduduk dan Ketenagakerjaan
Jumlah penduduk di suatu daerah merupakan asset dan potensi
pembangunan yang sangat besar manakala penduduk yang pesat tetapi dengan
kualitas yang rendah akan menjadi beban besar bagi proses pembangunan yang akan
dilaksanakan. Jumlah penduduk Kota Tangerang tahun 2009, berdasarkan hasil
proyeksi penduduk sebanyak 1.652.590 jiwa. Dari jumlah tersebut jumlah perempuan
lebih banyak dari jumlah laki-laki dengan rasio jenis kelamin sebesar 98,52 artinya
setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98,52 penduduk laki-laki, hal ini
dipengaruhi banyaknya tenaga kerja wanita pada industri padat karya di Kota
Tangerang yang cukup tinggi.
Pertumbuhan penduduk di Kota Tangerang tidak hanya disebabkan oleh
pertumbuhan secara alamiah, tetapi tidak lepas karena pengaruh imigran yang masuk
yang disebabkan daya tarik Kota Tangerang dengan berkembangnya potensi industri,
perdagangan dan jasa sehingga mengakibatkan tersedianya lapangan kerja dan
kondusifnya kesempatan berusaha. Disamping itu sebagai daerah yang berbatasan
dengan ibukota negara, Kota Tangerang mau tidak mau harus menampung pula
penduduk yang aktifitas ekonomi kesehariannya di wilayah DKI Jakarta.
Kota Tangerang merupakan daerah yang cukup padat, tiap kilometer persegi
rata-rata dihuni 10.043 jiwa. Kecamatan Larangan merupakan Kecamatan dengan
51
kepadatan tertinggi (16.157 jiwa/km2), sementara kecamatan Neglasari masih banyak
terdapat lahan kosong sehingga kepadatan penduduknya merupakan yang terendah
(5.137 jiwa/km2). Berdasarkan kelompok umur ternyata jumlah penduduk terbanyak
adalah penduduk umur produktif (15-64) dengan rasio ketergantungan sebesar 42,28
artinya setiap 100 penduduk usia produktif harus menanggung 42,28 penduduk non
produktif (0-14 dan 65 tahun keatas). Angka ini ada kecenderungan meningkat dari
tahun ke tahun, hal ini dikarenakan terus meningkatnya jumlah penduduk usia tua
(65+) seiring dengan meningkatnya angka harapan hidup di Kota Tangerang.
Tabel 4.1. Laju Pertumbuhan dan Jumlah Penduduk Kota Tangerang Tahun
1995-2009
Jumlah Penduduk
Pertumbuhan Penduduk
Tahun
(jiwa)
(persen)
1995
1.096.916
12.09
1996
1.138.584
3.66
1997
1.180.930
3.59
1998
1.223.922
3.51
1999
1.267.547
3.44
2000
1.311.746
3.37
2001
1.354.226
3.14
2002
1.416.842
4.42
2003
1.466.577
3.39
2004
1.437.377
-2.03
2005
1.455.185
1.22
2006
1.481.591
1.78
2007
1.508.414
1.78
2008
1.531.666
1.52
2009
1.652.590
7.32
Sumber: BPS Kota Tangerang 1995-2009 (diolah)
Berdasarkan tabel 4.1, pertumbuhan penduduk tertinggi dicapai pada tahun
1995 yaitu sebesar 12,09 persen. Sedangkan pada tahun 2004 pertumbuhan penduduk
52
menurun drastis menjadi -2,03 persen. Hal ini disebabkan karena adanya pemekaran
wilayah Kota Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan, sehingga jumlah
penduduk di Kota Tangerang menjadi menurun.
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan sendirinya akan
mencerminkan laju pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi pula. Cepatnya laju
pertumbuhan angkatan kerja yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan kesempatan
kerja akan menimbulkan berbagai persoalan contohnya adalah penganggutan.
Disamping masalah kesempatan kerja, hal lain yang juga berhubungan dengan
kependudukan adalah persoalan kemiskinan. Pada tahun 2001, otonomi daerah mulai
efektif diberlakukan. Sebelum otonomi daerah, Kota Tangerang masih berada
dibawah pemerintahan Provinsi Jawa Barat, namun setelah diberlakukannya otonomi
daerah, Kota Tangerang berada dibawah pemerintahan Provinsi Banten. Hal itu
dikarenakan terjadinya pemekaran Provinsi Banten dari Provinsi Jawa Barat. Dengan
adanya kebijakan otonomi daerah, diharapkan kesempatan kerja terbuka secara luas
sehingga pertumbuhan ekonomi akan meningkat dan berdampak pada pengurangan
kemiskinan di Kota Tangerang.
Ketenagakerjaan merupakan salah satu indikator penting pembangunan
ekonomi khususnya dalam upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan. Hal
ini karena tenaga kerja adalah modal bagi geraknya pembangunan. Masalah
penyediaan lapangan kerja terjadi masalah yang cukup serius di Kota Tangerang,
kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan lowongan yang tersedia semakin jauh
dari tahun ke tahun, Menurut data Disnaker Kota Tangerang jumlah lowongan kerja
yang terdaftar sampai bulan Desember 2009 tercatat sebanyak 13.731 lowongan
53
sementara pencari kerja yang mendaftar sebanyak 33.949 orang. Seperti tahun
sebelumnya pencari kerja ini masih didominasi tamatan SLTA sebanyak 27.573
orang. Indikaor lain untuk menggambarkan ketenagakerjaan adalah TPAK, Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja tahun 2009 tercatat sebesar 68,50 meningkat dari tahun
sebelumnya yang sebesar 58,24, hal ini cukup baik karena semakin banyak penduduk
usia kerja yang bekerja atau berusaha mendapatkan pekerjaan.
Tingginya persentase penduduk kelompok usia muda di Kota Tangerang
akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap jumlah angkatan kerja di masa
mendatang. Salah satu usaha untuk menghambat angkatan kerja muda adalah melalui
perluasan sarana pendidikan. Pendidikan memang dapat menunda masuknya
penduduk usia muda dalam pasar tenaga kerja. Di samping memperluas sarana
pendidikan, peningkatan mutu pendidikan juga perlu dilakukan. Dengan demikian
akan tercipta tenaga kerja yang terampil dan tepat guna. Masalah pengangguran
merupakan suatu masalah serius di Kota Tangerang karena memiliki laju
pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja yang tinggi. Pada umumnya tingkat
pengangguran yang tinggi terjadi di daerah perkotaan seperti Kota Tangerang
disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya yaitu karena adanya urbanisasi dari desa
ke Kota Tangerang. Sementara mereka yang datang ke kota dengan berbekal
pendidikan dan keterampilan yang rendah hanya akan menambah angka
pengangguran.
Urbanisasi yang terlalu cepat dan tidak teratur tidak hanya mengakibatkan
masalah pengangguran, tetapi juga masalah lain seperti kondisi perumahan yang tidak
sehat, penyebaran penyakit dan bertambahnya kaum tuna wisma. Di samping itu
54
meningkatkan tingkat kriminalitas. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk
melakukan pembangunan secara komprehensif dan integral di kota dan desa. Salah
satu cara yang diperlukan selain merencanakan berbagai program dalam bidang
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, politik dan hukum juga
mengevaluasi rencana tersebut secara berkala. Disinilah koordinasi dan integrasi yang
didukung dengan data yang baik dan benar perlu diwujudkan secara nyata.
Tabel 4.2. Data Perkembangan Angkatan Kerja Kota Tangerang Tahun 19952009
Tahun
Pekerja (jiwa)
Pengangguran (persen)
1995
393731
5,66
1996
425320
8,87
1997
455348
5,03
1998
520668
10,05
1999
511628
8,75
2000
552066
11,77
2001
466298
9,22
2002
529045
11,15
2003
532716
16,24
2004
545708
16,47
2005
577034
11,12
2006
543793
17,96
2007
543704
20,43
2008
642049
18,62
2009
645953
18,13
Sumber: BPS Kota Tangerang (diolah)
Jumlah angkatan kerja di Kota Tangerang pada tahun 2009 yaitu sebanyak
788.955 jiwa. Angkatan kerja tersebut terdiri dari 645.954 jiwa yang bekerja atau
18,13 persen sebagai pencari kerja atau pengangguran. Selama periode 1995-2009
jumlah tenaga kerja dan pengangguran berfluktuasi dari tahun ke tahun. Upah yang
layak sangat berarti bagi pekerja/buruh bagi kelangsungan hidup dalam pemenuhan
55
kebutuhan dasar serta meningkatkan taraf hidup. Kemampuan dan keahlian yang
dimiliki seseorang sangat memengaruhi penerimaan upah. Upah kepada pekerja di
Kota Tangerang mengalami kenaikan setiap tahun yang akan menyesuaikan dengan
hasil survey kebutuhan layak minimum.
4.2.
Perekonomian Kota Tangerang
4.2.1.
Laju Pertumbuhan Ekonomi
PDRB merupakan indikator pertumbuhan ekonomi di Kota Tangerang. Jika
terjadi peningkatan PDRB dalam jumlah yang besar maka pertumbuhan ekonomi
tersebut juga mengalami peningkatan. Adanya perubahan pertumbuhan ekonomi dari
tahun ke tahun menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi.
Tabel 4.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Tangerang Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 1998-1999 dan 2007-2009 (%)
Tahun
No.
Lapangan Usaha
1998
1999
2007
2008
2009
1
Pertanian
4,94
8,04
6,08
16,82
11,20
2
Pertambangan dan Penggalian
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3
Industri Pengolahan
74,63
9,10
8,06
7,91
4,06
4
Listrik, Gas, dan Air bersih
21,35
15,96 -13,08
0,13
3,27
5
Konstruksi
6
7
-13,96
3,49
17,77
26,60
20,49
Perdagangan, Hotel & Restoran
74,21
9,19
22,58
21,75
14,52
Pengangkutan & Komunikasi
-8,71
6,10
7,50
15,26
21,05
-23,99
9,65
17,02
20,21
19,47
Keuangan, Real estate & Jasa
8
Perusahaan
9
Jasa-jasa
16,17
12,54
15,40
22,38
24,07
Total
51,89
8,88
12,05
13,55
10,39
Sumber: BPS Kota Tangerang
56
Berdasarkan informasi pada Tabel 4.3, pada tahun 2008 laju pertumbuhan
ekonomi yang paling besar di Kota Tangerang adalah sektor konstruksi yaiu sebesar
26,60 persen dan diikuti oleh sektor jasa-jasa sebesar 22,38 persen dan sektor
perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 21,75 persen. Sedangkan di tahun 2009, laju
pertumbuhan ekonomi yang paling besar adalah sektor jasa-jasa yaitu sebesar 24,07
persen.
Pada tahun 2008 PDRB atas dasar harga berlaku mencapai Rp 13,52 triliun
dan pada tahun 2009 nilalinya mencapai Rp 14,73 triliun. Sektor-sektor dengan
kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB tahun 2009 adalah sektor indstri
pengolahan (47,54 persen), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (31,06 persen),
serta sektor pengangkutan dan komunikasi (12,17 persen). Walaupun presentase
distribusi PDRB sektor perdagangan hotel dan restoran bukan yang terbesar
dibanding industri pengolahan, namun dapat dilihat pada Tabel 4.3. laju pertumbuhan
sektor perdagangan hotel dan restoran pada masa otonomi daerah lebih besar dan
lebih stabil dibanding laju pertumbuhan sektor industri pengolahan.
4.2.2.
Perkembangan Keuangan Daerah
Penerimaan daerah merupakan salah satu faktor utama untuk membiayai
pembangunan. Dalam masa otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) diharapkan
mampu menggali sumber-sumber keuangan lokal, khususnya melalui Pendapatan
Asli Daerah karena dana transfer dari pemerintah pusat dari tahun ke tahun harus
semakin dibatasi.
57
Berdasarkan pada tabel 4.4, penerimaan daerah Kota Tangerang pada tahun
anggaran 2009 sebesar Rp 654,276,802 ribu. Jumlah penerimaan daerah riil Kota
Tangerang pada periode tahun 1995-2009 terus meningkat tiap tahunnya, kecuali
pada tahun 2000 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh masa peralihan dari
kebijakan pemerintah sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Setelah itu pada
tahun 2001 pertumbuhan penerimaan daerah meningkat drastis menjadi 112,52
persen.
Tabel 4.4. Jumlah Penerimaan daerah riil Kota Tangerang Tahun 1995-2009
Penerimaan daerah
(ribu rupiah)
1995
157.167.062
1996
184.514.754
1997
186.249.983
1998
124.049.706
1999
176.028.404
2000
150.212.646
2001
319.238.603
2002
365.462.589
2003
409.821.978
2004
475.305.012
2005
505.093.861
2006
587.733.227
2007
614.490.666
2008
622.377.302
2009
654.276.802
Sumber: BPS Kota Tangerang (diolah)
Tahun
Pertumbuhan
(persen)
49,12
17,40
0,94
-33,40
41,90
-14,67
112,52
14,48
12,14
15,98
6,27
16,36
4,55
1,28
5,13
Selama periode tahun 1995-2009, jumlah penerimaan daerah Kota
Tangerang yang terbesar berasal dari DAU (pada masa otonomi daerah) dan dana
sumbangan (pada masa sebelum otonomi daerah) yang berasal dari pemerintah pusat,
kemudian diikuti oleh dana bagi hasil pajak, dan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Estimasi Variabel Dependen PDRB
Penelitian ini menggunakan analisis regresi berganda dengan metode
pendugaan Ordinary Least Square (OLS). Data pada penelitian ini dimasukkan dalam
Microsoft Excel 2007 kemudian diolah dengan Eviews 06. Hasil estimasi koefisien
penduga model pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh PDRB dapat dilihat
pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Hasil Estimasi Penduga PDRB
Variabel
Investasi
Jumlah tenaga kerja
Upah tenaga kerja
Dummy otonomi daerah
C
R-squared
Adjusted R-squared
5.2.
Koefisien
0,171969
2,867433
0,161828
0,569369
-26,85196
0,972223
0,961113
Std. Error
t-Statistik
0,085778
2,004819
0,324867
8,826482
0,212568
0,761298
0,126973
4,484166
5,113779
-5,250905
F-statistic
Prob(F-statistic)
Durbin-Watson stat
Prob.
0,0728
0,0000
0,4641
0,0012
0,0004
87,50403
0,000000
1,614815
Uji Statistik dan Uji Ekonometrika
Berdasarkan Tabel 5.1, maka diperoleh persamaan regresi sebagai berikut:
LnPDRB = -26.85196 + 0.171969 LnINV + 2.867433 LnTK + 0.161828 LnUPAH +
0.569369 DUMMY
Estimasi parameter regresi dengan menggunakan Ordinary Least Square
(OLS) harus memenuhi lima asumsi dasar yang disebutkan dalam bab tiga oleh
Firdaus (2004). Untuk melihat apakah kelima asumsi dasar tersebut terpenuhi, perlu
59
dilakukan pengujian setelah penghitungan dan uji hipotesis dilakukan. Pengujian
asumsi dasar tersebut meliputi multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji
heteroskedastisitas, dan uji normalitas. Pengujian ini dimaksudkan untuk mendeteksi
ada tidaknya pelanggaran terhadap asumsi dasar tersebut. Bila terjadi pelanggaran
maka akan diperoleh hasil yang tidak valid.
Berdasarkan hasil pendugaan parameter pada Tabel 5.1, persamaan nilai
PDRB tersebut memiliki daya penjelas (Adjusted R-squared) sebesar 0,961113.
Artinya yaitu variasi variabel dependen dari persamaan tingkat PDRB tersebut dapat
dijelaskan secara linier oleh variabel independen di dalam persamaan sebesar 96,11
persen, dan sisanya 3,89 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar persamaan.
Mengacu pada nilai probabilitas F-statistik yaitu sebesar 0,000, maka persamaan ini
lulus uji-F. Nilai ini menandakan bahwa ada minimal satu parameter dugaan yang
tidak nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel dependennya (PDRB)
pada taraf nyata lima persen.
Berdasarkan nilai statistik uji-t menunjukkan bahwa ada tiga variabel yang
berpengaruh secara nyata dan signifikan pada tingkat kepercayaan sepuluh persen
atau 0,1. Variabel yang berpengaruh secara signifikan adalah investasi, jumlah tenaga
kerja dan dummy otonomi daerah. Variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan
yaitu upah tenaga kerja.
Pengujian heteroskedastisitas dapat dilihat dari Uji White dalam Lampiran 3.
Pengujian ini dilakukan agar kesalahan pengganggu tidak konstan pada semua
variabel independen. Uji White digunakan untuk melihat apakah terdapat
heteroskedastisitas dalam hasil regresi. Sebuah persamaan tidak mengalami
60
heteroskedastisitas jika nilai probabilitas Obr*R-squared lebih besar dari taraf nyata.
Persamaan PDRB ini memiliki nilai probabilitas Obr*R-squared sebesar 0,2824. Jadi
dapat disimpulkan bahwa probabilitas Obr*R-squared nya lebih besar dari taraf nyata
sehingga persamaan ini tidak mengalami heteroskedastisitas pada taraf nyata sepuluh
persen.
Pengujian autokorelasi dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan antara
residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Autokorelasi dapat dilihat
dengan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Apabila nilai
probabilitas Obr*R-squared lebih besar dari taraf nyata sepuluh persen, maka
persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi. Pada persamaan PDRB ini
memiliki nilai probabilitas Obr*R-squared (LM Test) sebesar 0,1670. Maka dapat
disimpulkan bahwa persamaan tersebut tidak mengalami autokorelasi karena nilai
probabilitas Obr*R-squared-nya lebih besar dari taraf nyata sepuluh persen.
Pengujian multikolinearitas dilakukan untuk melihat apakah terdapat
hubungan linear antara beberapa atau semua variabel bebas dari model regresi. Pada
penelitian ini, uji multikolinearitas dilihat dengan menggunakan Uji Klein dan
menunjukkan bahwa tidak adanya gejala multikolinearitas. Hal ini dapat dilihat dari
correlation matric (Lampiran 3). Sekalipun pada correlation matric tersebut masih
terdapat nilai korelasi yang lebih besar dari |0,80|, namun karena pada uji
multikolinearitas ini menggunakan Uji Klein sehingga multikolinearitas masih bisa
diabaikan apabila nilai korelasi-korelasi antar variabel tersebut tidak melebihi
Adjusted R-squared-nya. Pada analisis ini nilai Adjusted R-squared-nya sebesar
0,961113, sedangkan korelasi yang terbesar yang terjadi antar variabel adalah
61
0,909902, maka dapat disimpulkan bahwa persamaan ini tidak mengalami gejala
multikolinearitas.
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan
persamaan PDRB ini memenuhi lima asumsi dasar pada bab tiga, yaitu tidak
mengalami ganguan ekonometrika, baik itu heteroskedastisitas, autokorealsi, dan
multikolinearitas.
5.3.
Analisis Hubungan antara Faktor-faktor dengan PDRB
5.3.1.
Investasi
Variabel investasi yang digunakan pada penelitian ini berasal dari data yang
diperoleh dari BKPM yang merupakan total dari Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Pada Tabel 5.1, koefisien parameter
pada variabel X1 (investasi) sebesar 0,171969, artinya kenaikan satu persen pada
jumlah investasi yang ditanam menyebabkan peningkatan sebesar 0,171969 persen
terhadap PDRB Kota Tangerang, asumsi ceteris paribus. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa jumlah investasi yang ditanam mempunyai pengaruh yang positif terhadap
pertunbuhan PDRB Kota Tangerang, maka apabila pemerintah memperhatikan
pertumbuhan investasi ini dengan berbagai kebijakan maka akan memberikan
sumbangsih yang besar terhadap PDRB Kota Tangerang, asumsi ceteris paribus.
Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa probabilitas variabel investasi sebesar 0,0728.
Hal ini menandakan bahwa nilai investasi mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap PDRB dengan tingkat taraf nyata sepuluh persen. Berdasarkan hasil estimasi
bahwa nilai investasi berpengaruh nyata terhadap PDRB.
62
Sumber : BKPM
Gambar 5.1. Investasi Kota Tangerang 1995-2009
Gambar 5.1. menunjukkan pergerakan investasi Kota Tangerang dari tahun
1995-2009. Investasi yang termasuk dalam penelitian ini adalah total dari investasi
domestik atau Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan investasi asing atau
Penanaman Modal Asing (PMA). Dapat dilihat pada gambar, bahwa pergerakan
investasi yang terjadi di Kota Tangerang masih sangat fluktuatif. Pada dasarnya
penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.
Perubahan laju pertumbuhan investasi tersebut memengaruhi tinggi rendahnya
pembangunan ekonomi di Kota Tangerang. Oleh karena itu, Kota Tangerang
berupaya menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi tersebut agar masuk
ke dalamnya.
Investasi baik asing maupun domestik akan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi melalui proses industrialisasi, guna meningkatkan ekspor barang manufaktur
dan memenuhi kebutuhan pasar domestik (substitusi impor). Proses industrialisasi
63
diharapkan dapat berkembang bersamaan dengan proses alih teknologi, alih
kepemilikan, perluasan kesempatan kerja yang disertai dengan peningkatan keahlian
dan keterampilan. Namun, dalam proses tersebut harus dihindari dominasi
perekonomian nasional oleh modal asing. Oleh karena itu, untuk menjaga nilai dari
investasi tersebut sangat penting karena investasi yang baik dapat menentukan suatu
sektor itu dapat berkembang di masa yang akan datang. Peranan pemerintah Kota
Tangerang juga sangat diperlukan untuk menjaga investasi supaya dapat berkembang
dengan baik.
5.3.2. Jumlah Tenaga Kerja
Faktor jumlah tenaga kerja yang dihitung adalah setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun masyarakat. Dalam hal ini data jumlah tenaga kerja dilihat
per tahun dari tahun 1995 sampai tahun 2009.
Menurut hipotesis dikatakan bahwa faktor jumlah tenaga kerja mempunyai
pengaruh yang positif terhadap PDRB Kota Tangerang, sehingga dapat dikatakan
bahwa secara makro peningkatan PDRB tersebut sebagian dipengaruhi oleh
peningkatan jumlah tenaga kerja.
Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa koefisien parameter pada variabel jumlah
tenaga kerja sebesar 2,867433. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif
antara jumlah tenaga kerja dengan pertumbuhan PDRB Kota Tangerang. Artinya
bahwa peningkatan pada jumlah tenaga kerja sebesar satu persen menyebabkan
kenaikan sebesar 2,867433 persen terhadap PDRB Kota Tangerang. Begitu juga
64
sebaliknya, penurunan pada jumlah tenaga kerja sebesar satu persen menyebabkan
penurunan pada PDRB Kota Tangerang sebesar 2,867433 persen.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa probabilitas variabel jumlah tenaga kerja
sebesar 0,0000. Nilai ini lebih kecil dari taraf nyatanya sebesar sepuluh persen atau
0,1, hal ini menunjukkan variabel jumlah tenaga kerja mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kota Tangerang. Semakin banyak jumlah
tenaga kerja maka semakin besar produktifitas dari perusahaan. Permintaan tenaga
kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya tingkat upah, teknologi, serta
produktivitas tenaga kerja.
Sumber : Dinas Tenaga Kerja
Gambar 5.2. Jumlah Tenaga Kerja Kota Tangerang 1995-2009
Berdasarkan Gambar 5.2, dapat dilihat bahwa jumlah tenaga kerja di kota
Tangerang cukup stabil namun peningkatannya masih belum begitu optimal
mengingat variabel jumlah tenaga kerja berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
karena menigkatkan produktifitas. Dengan demikian pemerintah Kota Tangerang
65
harus mengupayakan peningkatan permintaan tenaga kerja dengan memperhatikan
faktor-faktor yang memengaruhinya.
Selain tingkat upah, permintaan tenaga kerja juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor lain seperti teknologi, produktifitas tenaga kerja, dan kualitas tenaga kerja.
Penggunaan teknologi dalam perusahaan akan memengaruhi berapa jumlah tenaga
kerja yang dibutuhkan. Kecanggihan teknologi saja belum tentu mengakibatkan
penurunan jumlah tenaga kerja. Karena dapat terjadi kecanggihan teknologi akan
menyebabkan hasil produksi yang lebih baik, namun kemampuannya dalam
menghasilkan produk dalam kuantitas yang sama atau relatif sama. Yang lebih
berpengaruh dalam menentukan permintaan tenaga kerja adalah kemampuan mesin
untuk menghasilkan produk dalam kuantitas yang jauh lebih besar dari pada
kemampuan manusia.
Selanjutnya, jumlah tenaga kerja yang diminta dapat ditentukan oleh berapa
tingkat produktivitas dari tenaga kerja itu sendiri. Apabila untuk menyelesaikan suatu
proyek tertentu dibutuhkan lima puluh karyawan dengan produktivitas standar yang
bekerja selama sembilan bulan. Namun dengan karyawan yang produktivitasnya
melebihi standar, proyek tersebut dapat diselesaikan oleh dua puluh lima karyawan
dengan waktu sembilan bulan. Pembahasan mengenai kualitas berhubungan erat
dengan pembahasan mengenai produktivitas. Karena dengan tenaga kerja yang
berkualitas akan menyebabkan produktivitasnya meningkat. Kualitas tenaga kerja ini
tercermin dari tingkat pendidikan, keterampilan, pengalaman, dan kematangan tenaga
kerja dalam bekerja.
66
5.3.3.
Upah Tenaga Kerja
Variabel upah tenaga kerja yang diestimasi merupakan upah minimum Kota
Tangerang yang ditetapkan oleh dari tahun 1995 sampai tahun 2009 dengan data
tahunan. Dalam hal ini variabel upah tenaga kerja ingin diestimasi untuk melihat
pengaruh kebijakan tersebut terhadap PDRB Kota Tangerang.
Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa koefisien parameter dari variabel upah tenaga
kerja sebesar 0,161828. Artinya, bahwa peningkatan satu persen pada upah tenaga
kerja akan menyebabkan kenaikan sebesar 0,161828 persen PDRB Kota Tangerang.
Begitu juga sebaliknya, penurunan sebesar satu persen pada upah tenaga kerja akan
menyebabkan penurunan sebesar 0,161828 persen PDRB Kota Tangerang. Asumsi
ceteris paribus. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan negatif antara tingkat upah dengan PDRB karena upah merupakan salah
satu komponen biaya produksi yang dipandang dapat mengurangi tingkat laba yang
dihasilkan.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari variabel upah
tenaga kerja adalah sebesar 0,4641. Nilai ini lebih besar dari taraf nyata pada
penelitian ini sebesar sepuluh persen. Artinya, bahwa upah tenaga kerja mempunyai
pengaruh yang tidak signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang. Bagi perusahaan,
kenaikan tingkat upah akan mengakibatkan kenaikan biaya produksi, sehingga akan
meningkatkan harga per unit produk yang dihasilkan. Apabila harga per unit produk
yang dijual ke konsumen naik, reaksi yang biasanya timbul adalah mengurangi
pembelian atau bahkan tidak lagi membeli produk tersebut. Sehingga akan muncul
perubahan skala produksi yang disebut efek skala produksi (scale effect) dimana
67
sebuah kondisi yang memaksa produsen untuk mengurangi jumlah produk yang
dihasilkan, yang selanjutnya juga dapat mengurangi tenaga kerja perusahaan. Oleh
sebab itu jumlah tenaga kerja dan upah tenaga kerja berbading terbalik.
Sumber: BPS Kota Tangerang
Gambar 5.3. Upah Minimum Regional Kota Tangerang 1995-2009
Gambar 5.3 menunjukkan pergerakan tingkat upah minimum dari tahun 19952009 di kota Tangerang. Dapat dilihat dalam gambar bahwa tingkat upah minimum
setelah diberlakukan otonomi daerah cenderung meningkat. Kebijakan upah
minimum pada dasarnya dibuat untuk menghindari perbedaan kepentingan antara
pengusaha dan pekerja. Tujuan pengaturan ini adalah untuk menjaga agar tingkat
upah tidak merosot terlalu bawah, meningkatkan daya beli pekerja, dan
mempersempit kesenjangan secara bertahap antara mereka yang berpenghasilan
tertinggi dan terendah. Namun, upah minimum adalah sebuah kontroversi , bagi yang
mendukung kebijakan tersebut mengemukakan bahwa upah minimum diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan pekerja agar sampai pada tingkat pendapatan "living
68
wage", yang berarti bahwa orang yang bekerja akan mendapatkan pendapatan yang
layak untuk hidupnya. Upah minimum dapat mencegah pekerja dalam pasar
monopsoni dari eksploitasi tenaga kerja terutama yang low skilled. Upah minimum
dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mengurangi konsekuensi
pengangguran seperti yang diperkirakan teori ekonomi konvensional (Kusnaini,
1998). Bagi yang tidak setuju dengan upah minimum mengemukakan alasan bahwa
penetapan
upah
minimum
mengakibatkan
naiknya
pengangguran
dan
juga
memungkinkan kecurangan dalam pelaksanaan yang selanjutnya berpengaruh pada
penurunan tingkat upah dalam suatu sektor yang tidak terjangkau kebijakan upah
minimum.
Dampak pemberlakuan kebijakan upah minimum tergantung pada kadar
keseriusan pelaksanaannya. Jika kebijakan itu tidak dipaksakan dan diawasi
pelaksanaannya, maka tidak akan ada perubahan yang berarti. Pemberlakuan upah
minimum juga bisa menjadi tidak efektif kalau masih tertumpu pada asumsi umum
bahwa seluruh pekerja itu homogen dan tingkat upah minimum berlaku bagi segenap
pekerja. Dalam pekerja-pekerja itu tidak homogen, melainkan bermacam-macam, dan
tingkat upah minimum biasanya hanya diperuntukkan untuk kelompok pekerja
tertentu, dalam kadar yang bervariasi. Jadi disini tidak akan terlihat pengaruh
pemberlakuan upah minimum terhadap total tenaga kerja, melainkan hanya pada
kelompok-kelompok tertentu yang mendapat perlindungan hukum upah minimum.
69
5.3.4. Variabel Dummy Otonomi Daerah
Pada penelitian ini dummy yang digunakan adalah otonomi daerah. Dummy
otonomi daerah digunakan untuk melihat apakah pertumbuhan PDRB Kota
Tangerang yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti investasi, jumlah tenaga kerja,
dan upah tenaga kerja lebih baik pada masa otonomi daerah atau sebelum
diberlakukannya otonomi daerah.
Menurut hipotesis bahwa pertumbuhan PDRB yang dipengaruhi beberapa
faktor tersebut akan lebih baik pada masa otonomi daerah dibanding pada masa
sebelum otonomi. Hal ini bisa dikatakan karena biasanya daerah lebih mengerti apa
yang menjadi kebutuhannya. Pada Tabel 5.1, terlihat bahwa koefisien parameter dari
variabel dummy sebesar 0,569369. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang
positif dengan pertumbuhan PDRB. Artinya, pertumbuhan PDRB Kota Tangerang
lebih baik pada masa otonomi daerah dibanding sebelum diberlakukannya otonomi
daerah. Hal ini sesuai dengan hipotesis. Nilai PDRB sebelum otonomi daerah dan
pada masa otonomi daerah berbeda sebesar 0,569369 persen.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa nilai probabilitas dari variabel dummy
sebesar 0,0012. Nilai probabilitas variabel dummy lebih kecil dari taraf nyata sebesar
sepuluh persen. Hal ini menunjukkan bahwa otonomi daerah berpengaruh secara
signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kota Tangerang. Mengingat bahwa penentu
kebijakan daerah lebih dekat dengan masyarakat dan lebih tahu tentang apa yang
menjadi kebutuhan dari daerah tersebut dan lebih mengerti apa yang menjadi aspirasi
dari masyarakat tersebut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang sebelum otonomi daerah dan pada masa
otonomi daerah, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Berdasarkan hasil analisis variabel investasi dan jumlah tenaga kerja
berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB Kota Tangerang, sedangkan
variabel upah tenaga kerja berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap
PDRB Kota Tangerang.
2.
Pertumbuhan ekonomi Kota Tangerang lebih baik pada masa otonomi daerah
dibanding sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini ditunjukkan oleh
nilai koefisien variabel otonomi daerah yang bernilai positif.
6.2.
1.
Saran
Berdasarkan penelitian ini otonomi daerah berpengaruh signifikan dalam
meningkatkan PDRB Kota Tangerang. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian /
usaha lebih lanjut dalam meningkatkan kinerja otonomi daerah, sehingga dapat
memberikan pengaruh lebih besar di kemudian hari terhadap PDRB Kota
Tangerang.
2.
Variabel investasi dan tenaga kerja berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap PDRB Kota Tangerang, oleh sebab itu diharapkan pemerintah Kota
71
Tangerang mampu menciptakan / menarik investasi yang bersifat labour
intensive dan juga di sektor-sektor perekonomian yang memberi nilai tambah
besar seperti sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan. Dengan
demikian investasi yang labour intensive di sektor-sektor tersebut dapat
memberikan pengaruh yang lebih besar dalam peningkatan PDRB Kota
Tangerang.
3.
Pemerintah Kota Tangerang sebaiknya lebih aktif dalam menciptakan lapangan
kerja yang baru di Kota Tangerang agar mengurangi angka pengangguran. Dan
perlu dirumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya
manusia di Kota Tangerang misalnya melalui penambahan subsidi bidang
pendidikan, wajib belajar lebih dari 9 tahun, menggandeng pihak swasta
melalui program CSR (Corporate Social Responsibility) untuk mengalokasikan
sebagian dananya dalam penyelenggaraan beasiswa/sekolah gratis, pendirian
Balai Latihan Kerja (BLK) yang merata untuk menciptakan tenaga kerja yang
terampil dan mempunyai keahlian khusus.
4.
Untuk penelitian selanjutnya, bisa ditambahkan faktor-faktor yang mungkin
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kota Tangerang.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, R. 2000. Analisis Pembangunan Wilayah Pertanian Dalam Menghadapi
Otonomi Daerah [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Ahmad, R. 1998. Kajian Percontohan Otonomi Daerah Tingkat II Tahun Ke-3
Bidang Transmigrasi. Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah
Hutan, Jakarta.
Anjani, A. 2007. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi
Daerah (Studi Kasus: Kota Depok). [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Koordinasi Pasar Modal. 2005. Perkembangan Persetujuan dan Izin Usaha
Tetap Penanaman Modal Februari 2005. Biro Perencanaan dan Informasi
BKPM, Jakarta.
Bank Indonesia. Statistik Keuangan Ekonomi Indonesia. Beberapa Edisi. Bank
Indonesia, Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1995-2009. Tangerang Dalam Angka. Tangerang.
Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta.
Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara, Jakarta.
Gujarati, D. 1997. Ekonometrika Dasar. Erlangga., Jakarta.
Haris, S. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Penerbit LIPI Press, Jakarta.
Kusnaini, D. 1998. Permintaan dan Penawaran Tenaga Kerja serta Upah: Teori
Serta Beberapa Potretnya di Indonesia. Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta.
Laila, 2005. Kontribusi Investasi Swasta terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Lestari, E. F. 2006. Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja Pra dan Pasca
Otonomi Daerah di Provinsi DKI Jakarta (1996-2004). [Skripsi]. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
73
Linda, N. 2005. Analisis Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja terhadap PDRB di
Sumatera Utara. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Mankew, N. G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi ke-5. Imam Nurmawan
[penerjemah]. Jakarta : Erlangga
Pranata, E. W. 2004. Analisis Sektor Basis Perekonomian dalam Pembangunan
Wilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Cianjur, Propinsi
Jawa Barat) [Skripsi]. Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Prastyo, A. A. 2010. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Tingkat Kemiskinan
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Diponogoro, Semarang.
Riyanto. 1997. Analisis Kepekaan Sektor Perekonomian dalam Pembangunan
Wilayah Kabupaten Dati II Bangkelan Jawa Timur [Tesis]. Program Pasca
Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rustiadi.. 2006. Penerimaan dan Pengembangan Wilayah. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Munandar dan Sumiharti [penerjemah].
Erlangga, Jakarta.
Saptomo, T. 2008. Pengaruh Pertumbuhan Investasi Publik Investasi Swasta dan
Pertumbuhan Penduduk Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kota Semarang
[Tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Diponogoro, Semarang.
Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Sihombing, R. E. 2006. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Sektor
Perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Simanjuntak, P. 1996. Teori dan Sistem Pengupahan. Himpunan Pembina SDM
Indonesia. Jakarta.
--------------------. 2002. Masalah Upah dan Jaminan Sosial. Depnakertrans. Jakarta.
Sumanto, E. 2006. Analisis Pengaruh Perkembangan Pasar Modal Terhadap
Perekonomian Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tarigan, R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT. Bumi Aksara, Jakarta.
74
Todaro, M. P. 2000. Pembangunan Ekonomi. Haris Munandar. Penerbit Erlangga,
Jakarta.
Walad. 2011. Pasar Tenaga Kerja dan Upah Minimum. http://walad.blog.usu.ac.id/.
[Mei 2012]
Wiranata, S. 2004. “Pengembangan Investasi di Era Globalisasi dan Otonomi
Daerah”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, XII (1) 2004.
Yusdianto, S. 2008. Dampak Otonomi Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan
Pengembangan Kapasitas Produksi Listrik di Kawasan Timur Indonesia.
[Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
LAMPIRAN
76
Lampiran 1. Data Time Series Model Pertumbuhan PDRB
Tahun
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
PDRB
(juta rupiah)
6,091,213
7,395,759
8,904,183
13,524,637
14,725,844
16,205,997
18,239,046
21,069,664
23,864,029
26,249,946
30,021,777
35,123,889
39,356,399
44,690,816
49,332,257
Investasi
(ribu rupiah)
440,359,134
779,608,827
935,905,467
1,171,038,554
1,267,309,380
503,920,551
898,087,129
209,399,440
571,584,857
605,012,491
635,974,196
765,417,961
781,364,292
798,124,344
844,371,333
Jumlah Tenaga Kerja
(jiwa)
393,731
425,320
455,348
520,668
511,628
552,066
466,298
529,045
532,716
545,708
577,034
543,793
543,704
642,049
645,953
UMR
(rupiah/bulan)
323,655
341,138
337,708
222,801
240,984
230,000
312,041
349,425
377,627
393,377
417,340
445,153
471,215
466,953
455,966
77
Lampiran 2. Output Estimasi Model Pertumbuhan PDRB
Dependent Variabel: Y
Method: Least Squares
Date: 03/12/12 Time: 14:36
Sample: 1995 2009
Included observations: 15
Variabel
Coefficient
X1
X2
X3
DUMMY
C
0.171969
2.867433
0.161828
0.569369
-26.85196
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.972223
0.961113
0.127621
0.162872
12.63725
87.50403
0.000000
Std. Error
t-Statistic
0.085778 2.004819
0.324867 8.826482
0.212568 0.761298
0.126973 4.484166
5.113779 -5.250905
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
Prob.
0.0728
0.0000
0.4641
0.0012
0.0004
16.80200
0.647172
-1.018300
-0.782283
-1.020814
1.614815
Lampiran 3. Uji Ekonometrika Model Pertumbuhan PDRB
Olah data dengan metode OLS mengharuskan adanya pengujian terhadap
asumsi-asumsi yang mendasarinya. Pengujian-pengujian ini sangat perlu agar
diperoleh hasil estimasi yang terbaik yang tidak bias (BLUE/Best Linier Unbiased
Estimator). Pengujian estimasi tersebut meliputi uji heteroskedastisitas, uji
autokorelasi uji multikolinearitas, dan uji normalitas.
Multikolinearitas
Y
X1
X2
X3
Y
1.000000
0.046633
0.909902
0.636444
X1
0.046633
1.000000
0.061716 -0.094924
X2
0.909902
0.061716
1.000000
0.401601
X3
0.636444 -0.094924
0.401601
1.000000
DUMMY
0.836224 -0.219761
0.602950
0.761573
Korelasi Antar Variabel Bebas Persamaan Pertumbuhan PDRB
DUMMY
0.836224
-0.219761
0.602950
0.761573
1.000000
78
Autokorelasi
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic
Obs*R-squared
1.253865
3.579836
Prob. F(2,8)
Prob. Chi-Square(2)
0.3360
0.1670
Prob. F(12,2)
Prob. Chi-Square(12)
Prob. Chi-Square(12)
0.2516
0.2824
0.8469
Heteroskedastisitas
Heteroskedasticity Test: White
F-statistic
Obs*R-squared
Scaled explained SS
3.367112
14.29254
7.159317
Normalitas
5
Series: Residuals
Sample 1995 2009
Observations 15
4
3
2
1
0
-0.1
-0.0
0.1
0.2
0.3
Mean
Median
Maximum
Minimum
Std. Dev.
Skewness
Kurtosis
1.66e-15
-0.013582
0.258421
-0.128093
0.107860
0.939004
3.254108
Jarque-Bera
Probability
2.244679
0.325517
Download