8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran a

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pembelajaran
a. Pengertian Pembelajaran
Beberapa definisi pembelajaran yaitu: 1) Menurut UU No. 20 Tahun
2003 Pasal 1 ayat 20 menyebutkan bahwa pembelajaran merupakan proses
interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar, 2) Dewi Salma Prawiradilaga (2007: 4), menyatakan
pembelajaran adalah upaya menciptakan kondisi dengan sengaja agar tujuan
belajar dapat dipermudah (facilitated) pencapaianya, 3) Syarifudin (2008: 96)
berpendapat bahwa pembelajaran upaya mengorganisasikan lingkungan untuk
menciptakan kondisi belajar bagi peserta didik. 4) Howard dalam Slameto
(2010: 32), pembelajaran adalah suatu aktivitas untuk mencoba menolong,
membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan
keterampilan, sikap, cita-cita, penghargaan, dan pengetahuan.
Berdasarkan teori di atas, maka pembelajaran dapat diartikan sebagai
serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses
belajar pada siswa
dalam rangka mendukung dan mengembangkan
pengetahuan, sikap dan keterampilan pada siswa yang dapat terbentuk dari
interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan lingkungan belajarnya. Dari
pengertian tersebut tampak bahwa antara belajar dan pembelajaran satu sama
lain memiliki keterkaitan substantif dan fungsional. Keterkaitan substantif
belajar dan pembelajaran terletak pada simpul terjadinya perubahan perilaku
dalam diri individu. Keterkaitan fungsional pembelajaran dengan belajar adalah
bahwa pembelajaran sengaja dilakukan untuk menghasilkan belajar atau
dengan kata lain belajar merupakan parameter pembelajaran. Hal yang penting
dalam mengajar adalah bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai
dengan tujuan. Usaha yang dilakukan guru hanya merupakan serangkaian
peristiwa yang dapat mempengaruhi siswa belajar.
8
9
b. Belajar
Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, belajar merupakan faktor
yang menentukan hasil sebagaimana telah ditentukan dan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi serta berperan penting dalam pembentukan pribadi
dan perilaku individu.
Para ahli psikologi menetapkan berbagai definisi karena definisi
merupakan rangkaian kalimat untuk menyatakan suatu konsep. Oleh karena itu,
ada banyak definisi sebanyak pencetusnya walaupun ada persamaan konsep.
Beberapa ahli telah menyusun definisi belajar, yang perumusannya
berbeda-beda. (1) Mulyati (2009: 5) mengemukakan bahwa belajar merupakan
suatu usaha sadar individu untuk mencapai tujuan peningkatan diri atau
perubahan diri melalui latihan-latihan dan pengulangan-pengulangan dan
perubahan yang terjadi bukan karena peristiwa kebetulan. (2) Slameto (2003:
2) berpendapat bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. (3) Sardiman (2007: 20) berpendapat bahwa belajar merupakan
perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan misalnya
membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. (4)
Menurut Witherington dalam Nana Syaodih Sukmadinata (2003: 155) belajar
merupakan perubahan dalam kepribadian, yang dimanifestasikan sebagai polapola respons yang baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,
pengetahuan dan kecakapan. (5) A. Suhaenah Suparno (2001: 2) berpendapat
bahwa belajar merupakan hal yang sangat mendasar bagi manusia dan
merupakan proses yang tidak ada henti-hentinya.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
suatu proses usaha sadar yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan
peningkatan diri atau perubahan diri, dimanifestasikan sebagai pola respon
baru yang berbentuk ketrampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan, dan
kecakapan, yang terjadi sebagai suatu hasil latihan secara berkesinambungan
atau pengalaman-pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan.
10
c. Teori-teori Belajar
Teori-teori yang mendukung dan mendasari pembelajaran kooperatif
yaitu teori belajar kontruktivisme, teori belajar Vygotsky, teori perkembangan
Piaget, teori belajar Ausubel, dan teori belajar Gagne.
1) Teori Belajar Konstruktivis Vygotsky
Teori
nememukan
konstruktivis
Slavin
sendiri
menstransformasikan
dan
menyatakan
bahwa
siswa
informasi
harus
kompleks,
mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya
apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Konstruktivisme mempunyai
pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan proses daripada hasil.
Bagi
siswa
agar
benar-benar
memahami
dan
dapat
menerapkan
pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan
segala sesuaru untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.
Vygotsky berpendapat bahwa siswa membentuk pengetahuan sebagai
hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri melalui bahasa. Menurut
Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut
masih berada dalam jangkauan mereka atau daerah tingkat perkembangan
sedikit diatas daerah perkembangan seseorang saat ini. Ia meyakini bahwa
fungsi mental lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan
kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu
terserap ke dalam individu tersebut. Selain itu ide penting dari Vygotsky
adalah pemberian bantuan kepada anak selama tahap-tahap awal
perkembangannya dan mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah anak dapat melakukannya atau scaffolding
(Trianto, 2009).
Vygotsky menemukan hal penting berkaitan dengan pembelajaran
pada
anak
diantaranya
adalah
mengkonstruksi
pengetahuan
dan
perkembangan kognitif terkait erat dengan interaksi social yang dapat
dihadirkan dalam bentuk kerja sama antar peserta didik. Implikasi
11
pandangan Vygotsky dalam pembelajaran kimia adalah pembentukan
kelompok yang memungkinkan peserta didik dapat berinteraksi dalam
pemecahan masalah. Melalui interaksi yang terjadi selama proses belajar,
akan berpengaruh kepada keberhasilan peserta didik . Interaksi dapat
mengubah kemampuan dan bakat alamiah menjadi pengalaman belajr yang
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Sementara itu, interaksi dengan
metode pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat mempelajari
fenomena alam yang dihadirkan melalui metode pembelajaran. Berdasarkan
cirri pembelajaran kontruktivisme dan perkembangan kognitif Piaget maka
dapat disimpulkan bahwa teori belajar yang diacu dalam penelitian sesuai
dengan pembelajaran dengan model Problem Posing dimana siswa dituntut
aktif dalam membentuk pengetahuan mereka sendiri yaitu dengan belajar
secara berkelompok.
2) Teori Perkembangan Piaget
Jean Piaget merupakan seorang pakar yang banyak melakukan
penelitian tentang perkembangan kognitif manusia. Perkembangan kognitif
merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang didasarkan atas
mekanisme biologis, perkembangan sistem syaraf. Dengan bertambahnya
umur seseorang, maka makin kompleks susunan sel syarafnya, sehingga
makin meningkat pula kemampuannya.
Perubahan struktur kognitif merupakan fungsi dari pengalaman dan
kedewasaan anak terjadi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu. Proses
belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan
sesuai dengan umurnya. Setiap anak akan melewati tahapan demi tahapan
secara hierarki, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan
seseorang tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya.
Piaget dalam Saiful Sagala (2009: 13) membagi tahap-tahap perkembangan
kognitif seorang anak menjadi empat, yaitu: a) tahap sensori-motor (0-2
tahun), b) tahap pra-operasional (2-7 tahun), c) tahap operasional konkret (7
– 11 tahun), dan d) tahap operasional formal (11 tahun – ke atas).
12
Teori perkembangan Piaget menekankan peran aktif siswa dalam
membangun pemahaman mereka tentang realita. Dalam teori Piaget, ada
tiga bentuk pengetahuan yaitu pengetahuan fisik (physical knowledge),
pengetahuan logika-matematik
(logico-mathematical
knowledge) dan
pengetahuan sosial (social knowledge). Pengetahuan fisik merupakan
pengetahuan tentang ciri-ciri fisik dan obyek. Sumber pengetahuan fisik
terutama terdapat dalam obyek itu sendiri, sehingga obyek menjadi sumber
dari pengetahuan sebagai pengamatan. Pengetahuan logika-matematik
bersifat abstrak, terdiri atas hubungan-hubungan yang diciptakan subyek dan
diintroduksikan
pada
obyek-obyek.
Sedangkan
pengetahuan
sosial
merupakan pengetahuan yang dibuat bersama oleh masyarakat, yang
diperoleh dari interaksi dengan orang lain. Jadi pengetahuan sosial
membutuhkan manusia, tanpa interaksi dengan manusia, tidak mungkin bagi
seorang anak untuk memperoleh pengetahuan sosial (Muhibbin Syah, 2009:
24-29).
Walaupun terdapat perbedaan individual dalam hal kemajuan
perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa
tumbuh
dan
melewati
urutan
perkembangan
yang
sama,
namun
pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan
kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan
aktif berinteraksi dengan lingkungan.
3) Teori Belajar Ausubel
David Ausubel menyatakan bahwa teori belajar merupakan titik
berangkat untuk menemukan prinsip-prinsip umum tentang mengajar yang
efektif. Belajar merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang
dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa dalam bentuk struktur kognitif. Oleh karena itu diperlukan
suatu upaya untuk mengorganisasi isi atau materi pelajaran serta penataan
kondisi pembelajaran agar dapat memudahkan proses asimilasi pengetahuan
baru ke dalam struktur kognitif orang yang belajar.
13
Inti dari teori belajar Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna.
Bagi Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses mengaitkan
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur
kognitif seseorang. Guna menekankan fenomena pengaitan ini, Ausubel
mengemukakan istilah subsumer. Subsumer memegang peranan dalam
proses memperoleh informasi baru. Dalam belajar bermakna, subsumer
mempunyai peranan interaktif, memperlancar gerakan informasi yang
relevan melalui penghalang-penghalang perceptual dan menyediakan suatu
kaitan antara informasi yang baru diterima dan pengetahuan yang sudah
dimiliki sebelumnya.
4) Teori Belajar Gagne
Menurut Gagne, belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses
dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat dari
pengalaman. Ada lima bentuk belajar yang diungkapkan oleh Gagne yaitu
belajar
responden,
belajar
kontiguitas,
belajar
operant,
belajar
observasional, dan belajar kognitif. Pertama, pada tingkat emosional yang
paling primitif, terjadi perubahan perilaku diakibatkan dari perpasangan
suatu stimulus tak terkondisi dengan suatu stimulus terkondisi. Sebagai
suatu fungsi pengalaman, stimulus terkondisi itu pada suatu waktu
memperoleh kemampuan untuk mengeluarkan respon terkondisi. Bentuk
belajar semacam ini disebut belajar responden dan menolong kita untuk
memahami bagaimana para siswa menyenangi atau tidak menyenangi
sekolah atau bidang-bidang studi. Kedua, belajar kontiguitas yaitu
bagaimana dua peristiwa dipasangkan satu dengan yang lain pada suatu
waktu, dan hal ini sering kita alami. Ketiga, kita belajar bahwa konsekuensi
perilaku mempengaruhi apakah perilaku itu akan diulangi atau tidak, dan
berapa besar pengulangannya. Belajar semacam ini disebut belajar operant.
Keempat, pengalaman belajar sebagai hasil observasi manusia dan kejadiankejadian. Kita belajar dari metode-metode, dan masing- masing kita
mungkin menjadi suatu metode bagi orang lain dalam belajar observasional.
14
Kelima, belajar kognitif terjadi dalam kepala kita, bila kita melihat dan
memahami peristiwa-peristiwa di sekitar kita (Syaiful Sagala, 2009: 17-28).
2. Model Pembelajaran Problem Posing
a. Pengertian Problem posing
Problem posing adalah istilah dalam bahasa Inggris yaitu dari kata
“problem” artinya masalah, soal/persoalan dan kata “pose” yang artinya
mengajukan. Jadi problem posing bisa diartikan sebagai pengajuan soal atau
pengajuan masalah. Model pembelajaran ini dikembangkan di tahun 1997 oleh
Lynn, dan pada awalnya diterapkan pada mata pelajaran matematika.
Selanjutnya, model pembelajaran ini dikembangkan pada mata pelajaran yang
lain.
Menurut Silver, sebagaimana dikutip oleh Irwan (2011: 4),
mengatakan problem posing merupakan aktivitas yang meliputi merumuskan
soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan
cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui
tersebut serta menentukan penyelesaiannya. Dari pendapat Silver tersebut dapat
disimpulkan bahwa problem posing adalah kegiatan merumuskan soal baru dari
memodifikasi kondisi soal lama sehingga mampu menentukan penyelesaiannya
sendiri.
Model problem posing adalah model pembelajaran yang mewajibkan
para siswa untuk mengajukan soal, menyusunnya kembali menurut pemahaman
siswa lalu menyusun solusi pemecahannya secara mandiri atau berlatih soal (
Pujiastuti, 2001: 3). Problem posing adalah perumusan masalah yang berkaitan
dengan syarat – syarat soal yang telah dipecahkan atau alternatif soal yang
relevan.
Pembelajaran dengan model problem posing dapat dimulai dari
membaca lalu mencari soal, menyusunnya kembali sesuai dengan pemahaman
dan menyelesaikannya. Soal yang dicari dapat berasal dari berbagai sumber
buku yang ada kaitannya dengan materi pembelajaran. Cara ini berkebalikan
dengan cara belajar selama ini, tugas membaca yang diperintahkan kepada
15
siswa biasanya bermula dari materi, lalu menjawab soal pada halaman latihan.
Kelebihan membaca pertanyaan dahulu baru membaca materi, terletak pada
fokus belajar siswa. Ketika siswa membaca pertanyaan terlebih dahulu, maka
mereka akan berusaha mencari jawaban dari pertanyaaan yang mereka baca.
Bagi siswa, pembelajaran problem posing merupakan ketrampilan
mental, siswa menghadapi suatu kondisi dimana siswa diberikan suatu
permasalahan dan siswa memecahkan masalah tersebut. Model pembelajaran
problem posing dapat dikembangkan dengan memberikan masalah yang belum
terpecahkan dan meminta siswa untuk menyelesaikannya
Dalam pelaksanaanya dikenal beberapa jenis model problem posing
antara lain :
1) Problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas – luasnya
untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Siswa dapat
menggunakan soal – soal yang terdapat pada buku sumber dan fenomena
dalam kehidupan sehari – hari sebagai acuan untuk mengajukan soal.
2) Problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/ informasi
terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan
mengaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya.
Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan
konsep tertentu.
3) Problem posing terstruktur, siswa diberikan soal untuk diselesaikan siswa,
kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal
baru.
b. Tujuan dan Manfaat Problem Posing
Terdapat beberapa tujuan dan manfaat dari penggunaan pembelajaran
Problem Posing. Menurut Sema Cildir & Nazan Sezen (2011) dalam jurnalnya
yang berjudul “A Study on the Evaluation of Problem Posing Skills in Terms of
Academic Success. Science Direct”, menjelaskan bahwa Problem Posing dapat
membuat peserta aktif dalam kelas dan memungkinkan berpikir lebih analisis.
Kegiatan problem posing memerlukan penguasaan pada subyek dan mencari
16
hubungan antara komponen yang dapat meningkatkan pemahaman dan
berdampak peningkatan prestasi akademik.
Giving prospective teachers problem posing activities during classes
would both make them active participants in class and enable them to
think more analytically. Moreover, problem posing is an activity that
requires mastery in the subject as well as an ability to draw
relationships between situations. Thus, it is inevitable that prospective
teachers with this skill will be more in command in their fields.
Akay, H & Nihat Boz. (2010), dalam jurnalnya “The Effect of Problem
Posing Oriented Analysis-II Cours on the Attitudes toward Mathematics and Mathematics Self-Efficacy of Elementary Prospective Mathematics Teachers”, menyatakan
bahwa pembelajaran Problem Posing memberikan manfaat yaitu berupa pengaruh
positif terhadap sikap terhadap matematika dan efikasi diri untuk calon guru
matematika sekolah dasar.
To sum up, problem posing oriented course has positive effects on
mathematics selfefficacy beliefs and attitude toward mathematics.
Therefore, we suggest that such a teaching approach could be used in
mathematics courses of Primary Mathematics Teaching Programs.
Terdapat tujuan dan manfaat selain yang dikemukakan diatas.
Menurut Thobroni (2011: 349) menyatakan bahwa problem posing dapat :
1) Membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan dan kesukaan
terhadap pelajaran sebab ide-ide siswa dicobakan untuk memahami
masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan kemampuannya
dalam pemecahan masalah.
2) Membentuk siswa bersikap kritis dan kreatif.
3) Mempromosikan semangat inkuiri dan membentuk pikiran yang
berkembang dan fleksibel.
4) Mendorong siswa untuk lebih bertanggungjawab dalam belajarnya.
5) Mempertinggi kemampuan pemecahan masalah sebab pengajuan soal
member penguatan-penguatan dan memperkaya konsep-konsep dasar.
6) Menghilangkan kesan keseraman dan kekunoan dalam belajar.
7) Memudahkan siswa dalam mengingat materi pelajaran.
8) Memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran.
17
9) Membantu memusatkan perhatian pada pelajaran.
10) Mendorong siswa lebih banyak membaca materi pelajaran
c. Penerapan Pembelajaran Problem Posing
Problem posing dapat dilakukan secara individu atau klasikal,
berpasangan, atau secara kelompok. Dalam penelitian ini menerapkan
pembelajaran problem posing secara berkelompok. Pembelajaran dengan
problem posing ini menekankan pada pembentukan atau perumusan soal oleh
siswa secara berkelompok. Setiap selesai pemberian materi guru memberikan
contoh tentang cara pembuatan soal dan memberikan informasi tentang materi
pembelajaran dan bagaimana menerapkannya dalam problem posing secara
berkelompok. Keuntungan belajar kelompok menurut Roestiyah (2001: 17) ada
lima hal.
1) Dapat memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menggunakan
keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah.
2) Dapat
mengembangkan
bakat
kepemimpinan
dan
mengajarkan
keterampilan berdiskusi
3) Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa sebagai
individu serta kebutuhan belajar
4) Para siswa lebih aktif tergabung dalam pelajaran mereka dan mereka lebih
aktif berpartisipasi dalam diskusi.
5) Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa
menghargai dan menghormati pribadi temannya, menghargai pendapat
orang lain, hal mana mereka telah saling membantu kelompok dalam
usaha mencapai tujuan bersama.
Adapun langkah-langkah penerapan model pembelajaran problem
posing menurut Thobroni & Mustofa (Thobroni, 2011:351) adalah sebagai
berikut :
1) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada para siswa. Penggunaan alat
peraga untuk memperjelas konsep sangat disarankan.
2) Guru memberikan latihan soal secukupnya.
18
3) Siswa diminta mengajukan 1 atau 2 buah soal yang menantang, dan siswa
yang bersangkutan harus mampu menyelesaikannya. Tugas ini dapat pula
dilakukan secara kelompok.
4) Pada pertemuan berikutnya, secara acak, guru menyuruh siswa untuk
menyajikan soal temuannya di depan kelas. Dalam hal ini, guru dapat
menentukan siswa secara selektif berdasarkan bobot soal yang diajukan
oleh siswa.
5) Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Jadi langkah-langkah pembelajaran problem posing dalam penelitian
ini mengacu pada langkah – langkah model pembelajaran problem posing
menurut Thobroni & Mustofa, yaitu :
1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk
belajar.
2) Guru menjelaskan materi pelajaran kepada siswa secara singkat.(Tahap 1)
3) Guru memberikan latihan soal secukupnya dengan melibatkan siswa
dalam pemecahannya. (Tahap 2)
4) Guru membentuk kelompok belajar secara acak dengan anggota 6 siswa
tiap kelompok.
5) Guru memberikan tugas tiap kelompok untuk mengajukan soal yang
sesuai materi sekaligus dituntut untuk mampu menyelesaikan soal yang
bersangkutan. (Tahap 3)
6) Guru meminta soal yang telah dibuat oleh masing-masing kelompok dan
soal tersebut kemudian diberikan kepada kelompok lain.
7) Siswa secara berkelompok mencari penyelesain dari soal tersebut dan
mempersentasikan jawaban atau penemuannya. (Tahap 4)
8) Guru memberikan tugas rumah secara individual. (Tahap 5)
3. Prestasi belajar
Kata prestasi berasal dari bahasa belanda “prestatie” yang berarti hasil
atau usaha yang telah dicapai. Prestasi belajar merupakan hasil yang diperoleh
siswa dari usaha belajarnya. Adanya perubahan dalam pola perilaku
19
menandakan telah terjadi belajar. Perubahan yang diperoleh tersebut dinamakan
hasil belajar.
Keberhasilan siswa dalam belajar ditandai dari prestasi yang dicapai
siswa. Prestasi belajar diperoleh setelah siswa mengikuti proses belajar
mengajar atau dengan kata lain prestasi belajar merupakan pencerminan proses
belajar yang telah berlangsung. Dengan prestasi belajar dapat diketahui tingkat
penguasaan materi pelajaran selama proses belajar mengajar berlangsung atau
seberapa jauh pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap materi yang
diberikan.
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik
tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil
belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga
ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor. Menurut
Adeyemi dan Merry (2009: 24-25) untuk mengetahui perkembangan anak
secara utuh maka ketiga ranah tersebut harus dinilai.
a. Ranah kognitif
Ranah kognitif berkenaan dengan perilaku yang berhubungan dengan
berpikir dan pemecahan masalah. Sudjana (2010: 40) berpendapat bahwa
ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual. Yamin (2008)
tujuan kognitif berorientasi kepada kemampuan berpikir, mencakup
kemampuan intelektual yang sederhana, yaitu mengingat, sampai pada
kemampuan
memecahkan
masalah
yang
menuntut
siswa
untuk
menghubungkan dan menggabungkan gagasan, metode atau prosedur yang
sebelumnya telah dipelajari. kemampuan yang berkaitan dengan pengetahuan
(mengingat), memahami dan menerapkan hanya membutuhkan proses
berfikir rendah (lower level of thinking process), sedangkan menganalisis,
mengevaluasi dan menciptakan membutuhkan proses berfikir tingkat tinggi
(higher level of thinking process).
Anderson melakukan revisi pada taksonomi Bloom tingkatan pada
ranah kognitif (cognitive). Ranah kognitif (C) menurut Anderson terdiri dari
enam tingkatan. Tingkatan yang pertama (C1) adalah mengingat, peserta
20
didik diharapkan dapat menjelaskan jawaban faktual, menguji ingatan dan
pengenalan. Tingkatan kedua (C2) adalah memahami, peserta didik
diharapkan
mampu
menerjemahkan,
menjabarkan,
menafsirkan,
menyederhanakan, dan membuat perhitungan. Tingkatan ketiga ( C3) adalah
menerapkan, peserta didik diharapkan mampu memahami kapan menerapkan,
mengapa menerapkan dan mengenali pola penerapan ke dalam situasi yang
baru, tidak biasa, dan agak berbeda atai berlainan. Tingkatan keempat (C4)
adalah menganalisis, peserta didik diharapkan mampu memecahkan ke dalam
bagian, bentuk, dan pola. Tingkatan kelima (C5) adalah menilai, peserta didik
diharapkan mampu menilai berdasarkan kriteria dan menyatakan alasannya.
Tingkatan yang keenam (C6) adalah menciptakan, peserta didik diharapkan
mampu menggabungkan unsur-unsur ke dalam bentuk atau pola yang
sebelumnya kurang jelas.
b. Ranah afektif
Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan
perasaan, emosi, sistem nilai, dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan
penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tujuan afektif terdiri dari yang
paling sederhana, yaitu memperhatikan suatu fenomena sampai kepada yang
komplek yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan
hati nurani.
Terdapat lima tipe karakteristik afektif yang penting antara lain:
1) Sikap merupakan perasaan positif atau negative terhadap suatu objek
2) Minat merupakan keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek.
3) Konsep diri merupakan suatu pernyataan tentang kemampuan diri sendiri
yang menyangkut mata pelajaran.
4) Nilai merupakan suatu keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek.
5) Moral merupakan suatu tindakan yang dianggap baik dan tidak baik
(Depdiknas. 2003: 7-18).
c. Ranah psikomotorik
Ranah psikomotorik merupakan perilaku yang dimunculkan oleh hasil
kerja fungsi tubuh manusia. Hasil psikomotor tampak dalam bentuk
21
keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotorik
meliputi
peniruan
imitasi,
memanipulasi,
ketepatan,
artikulasi
dan
pengalamiahan. Anita harrow dalam Yulaelawati (2004: 63) mengelola
taksonomi ranah psikomotor menurut derajad koordinasi yang meliputi
koordinasi ketidak sengajaan dan kemampuan yang dilatihkan. Taksonomi ini
dimulai dengan gerak refleks yang sederhana pada tingkatan rendah ke
gerakan otot yang lebih kompleks pada tingkatan tertinggi. Hirarki ranah
psikomotor dapat digolongkan meliputi: (1) gerakan refleks, merupakan
tindakan yang ditunjukkan tanpa belajar dalam menanggapi stimulus, (2)
gerakan dasar, merupakan pola gerakan yang di vaariasi yang terbentuk
berdasarkan campuran gerakan refleks daan gerakan yang lebih kompleks, (3)
gerakan tanggap (perceptual), merupakan penafsiran terhadap segala
rangsang yang membuat seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap
lingkungan, (4) kegiatan fisik, merupakan kegiatan yang memerlukan
kekuatan otot, kekuatan mental, ketahanan, kecerdasan, kegesitan dan
kekuatan suara, (5) komunikasi tidak berwacana, merupakan komunikasi
melalui gerakan tubuh, gerakan tubuh ini merentang dari ekspresi mimik
muka sampai dengan gerakan koreografi.
Arifin (2009: 12) menyebutkan prestasi belajar memiliki beberapa
fungsi antara lain :
1) Prestasi belajar sebagai indikator kuantitas dan kualitas pengetahuan yang
telah dikuasai siswa.
2) Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu.
3) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan.
4) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari institusi
pendidikan.
5) Prestasi belajar dijadikan indikator daya serap (kecerdasan).
Prestasi belajar siswa dapat digunakan untuk memotivasi siswa,
memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran oleh guru. Selain itu,
pemanfaatan hasil belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pembelajaran harus didukung oleh siswa, guru, kepala sekolah, serta orang tua
22
siswa (Depdiknas, 2003: 21). Sedangkan fungsi prestasi belajar bagi siswa
adalah
sebagai
indikator pencapaian
tujuan pembelajaran dan berfungsi
sebagai umpan balik bagi guru dalam rangka peningkatan kualitas proses
pembelajaran agar dapat menentukan langkah apa yang perlu dilakukan untuk
diagnosa, memberi bimbingan dan penempatan anak didik untuk meningkatkan
prestasinya. Sehingga prestasi siswa sangat berperan dalam proses pendidikan.
mencapai prestasi belajar siswa sebagaimana yang diharapkan, maka perlu
diperhatikan beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi belajar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar banyak jenisnya,
tetapi dapat digolongkan menjadi dua golongan saja, yaitu faktor intern dan
faktor ekstern. Faktor intern adalah faktor yang ada dalam diri individu yang
sedang belajar, sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang ada di luar
individu.
a. Faktor intern
1) Faktor jasmaniah, meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.
2) Faktor psikologis, meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif,
kematangan, dan kesiapan.
3) Faktor kelelahan.
b. Faktor ekstern
1) Faktor keluarga, meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang
tua dan latar belakang kebudayaan.
2) Faktor sekolah, meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan
siswa, relasi siswa dengan siswa atau interaksi sosial antarsiswa, disiplin
sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran yang di atas
ukuran, keadaan gedung sekolah, metode belajar, dan tugas rumah.
3) Faktor masyarakat, meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass
media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat.
(Slameto, 2003: 54-72)
Dalam penelitian ini prestasi belajar yang diukur adalah aspek kognitif
dan afektif siswa.
23
4. Kemampuan pemahaman membaca
Membaca merupakan proses pengolahan bacaan secara kritis–kreatif
dengan tujuan memperolah pemahaman secara menyeluruh tentang suatu
bacaan. Menurut Harris (2011: 57), kegiatan membaca merupakan aktivitas
mental memahami apa yang disampaikan penulis melalui bacaan. Pemahaman
terhadap suatu bacaan melibatkan aspek: pemahaman bahasa dan lambang
tertulis, gagasan, serta nada dan gaya.
Untuk dapat memahami sebuah teks dengan baik, seseorang harus
memiliki kemampuan pemahaman yang baik pula. Kemampuan pemahaman
membaca merupakan sesuatu yang sangat penting untuk meraih kesuksesan di
zaman
modern
keterampilan
ini.
Kemampuan
pemerolehan
pemahaman
pengetahuan
yang
merupakan
seperangkat
digeneralisasi,
yang
memungkinkan orang memeroleh dan mewujudkan informasi yang diperoleh
sebagai hasil membaca bahasa tertulis (Bormouth dalam Zuchdi, 2008:22).
Lebih singkat, Nurgiyantoro mengartikan kemampuan pemahaman membaca
sebagai kemampuan untuk memahami informasi yang disampaikan pihak lain
melalui sarana tulisan (2010: 371).
Kemampuan pemahaman membaca berkaitan dengan kemampuan
kognitif (ingatan, pikiran, dan penalaran) seseorang dalam kegiatan membaca.
Kemampuankemampuan kognitif yang dimaksud di sini adalah kemampuan
dalam menemukan dan memahami informasi yang tertuang dalam bacaan
secara tepat dan kritis (Harras, 2011b:78). Yap melaporkan bahwa kemampuan
pemahaman membaca seseorang sangat ditentukan oleh faktor kuantitas
membacanya. Tegasnya, kemampuan berbahasa seseorang itu sangat ditentukan
oleh pengaruh sejauh mana (lamanya) seseorang melakukan aktivitas membaca.
Berbeda dengan Yap, Burmenister mengatakan bahwa kemampuan pemahaman
membaca seseorang itu ditentukan oleh faktor intelegensinya (dalam Harras,
2011a:25-26).
Berbeda dengan pendapat di atas, Ebel berpendapat bahwa faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya kemampuan pemahaman bacaan yang dapat
dicapai oleh siswa dan perkembangan minat bacaannya tergantung pada faktor-
24
faktor
berikut:
(1)
siswa
yang
bersangkutan,(2)
keluarganya,
(3)
kebudayaannya, dan (4) situasi sekolah (Harras, 2011a:27). Begitu pula Omagio
melalui Harras, ia berpendapat bahwa pemahaman bacaan bergantung pada
gabungan pengetahuan bahasa, gaya kognitif, dan pengalaman membaca.
Pemahaman bacaan tidak lepas dari komponen-komponen yang
membentuknya. Golinkoff menyebutkan adanya tiga komponen utama
pemahaman bacaan, yaitu pengodean kembali (decoding), pemerolehan makna
leksikal (memaknai kata tertulis), dan organisasi teks, yang berupa pemerolehan
makna dari unit yang lebih luas dari kata-kata lepas (Zuchdi, 2008:22).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pemahaman membaca adalah kemampuan untuk memahami dan
menyarikan informasi yang ada dalam suatu bacaan seefisien mungkin.
Seseorang dapat mewujudkan informasi yang diperolehnya melalui membaca
tersebut. Kemampuan pemahaman membaca berkaitan dengan kemampuan
kognitif (ingatan, pikiran, dan penalaran) seseorang dalam kegiatan membaca.
Kemampuan-kemampuan kognitif yang dimaksud di sini adalah kemampuan
dalam menemukan dan memahami informasi yang tertuang dalam bacaan
secara tepat dan kritis.
Kegiatan memahami wacana sebagai suatu aktivitas kognitif dapat
dibuat jenjang sesuai taksonomi Barret. Taksonomi Barrett adalah taksonomi
membaca yang mengandung dimensi kognitif dan afektif yang dikembangkan
oleh Thomas C. Barrett pada tahun 1968. Taksonomi ini dapat digunakan untuk
mengembangkan keterampilan pemahaman membaca dan meningkatkan
kecerdasan siswa (Supriyono, 2009:1).
Taksonomi Barret ini memiliki 5 kategori yang terdiri dari:
a. Pemahaman literal
Pemahaman literal adalah pemahaman terhadap apa yang dinyatakan secara
eksplisit dalam teks, pemahaman informasi secara eksplisit didalam teks.
Pemahaman literal atau harfiah adalah kemampuan memahami ide-ide yang
dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Pemahaman leteral lazim juga
disebut dengan pemahaman tersurat. Dalam taksonomi Barret, pemahaman
25
literal merupakan tingkat pemahaman yang paling rendah tetapi penting
sebelum menginjak ke tingkat pemahaman selanjutnya.
b. Reorganisasi
Pemahaman reorganisasi adalah pemahaman yang merupakan kemampuan
untuk menganalisis, menyintesis, atau menggorganisasikan informasi yang
dinyatakan secara eksplisit dalam teks. Kemampuan menggorganisasikan
kembali
meliputi
kemampuan
mengklasifikasikan,
merangkum,
mengikhtisarkan, dan menyintesiskan.
c. Pemahaman inferensial
Pemahaman inferensial adalah kemampuan memahami informasi yang
dinyatakan secara tidak langsung dalam teks (tersirat). Memahami teks
secara inferensial berarti memahami apa yang diimpilkasikan oleh
informasi-informasi yang dinyatakan secara eksplisit
d. Evaluasi, penilaian dan pendapat tentang isi wacana
Pemahaman evaluasi adalah kemampuan mengevaluasi materi teks.
Pemahaman evaluasi pada dasarnya sama dengan pemahaman membaca
kritis. Dalam pemahaman ini, pembaca membandingkan informasi yang
ditemukan dalam teks dengan norma-norma tertentu, dan dengan
pengetahuaan serta latar belakang pengalaman pembaca sendiri untuk
membuat penilaiaan berbagai hal yang berkaitan dengan materi teks.
Pemahaman evaluasi bisa dikatakan penilaian dan pendapat tentang isi
bacaan / wacana.
e. Apresiasi, penghargaan terhadap isi wacana.
Pemahaman apresiasi merupakan kemampuan untuk mengungkapkan
respon emosional dan estetis terhadap teks sesuai dengan standar pribadi
dan standar profesional mengenai, bentuk sastra, gaya, jenis, dan teori
sastra. Pemahaman apresiasi melibatkan seluruh dimensi kognetif yang
terlibat dalam tingkatan pemahaman sebelumnya karena apresiasi berkaitan
dengan impak psikologi dan estetis terhadap teks. Pemahaman apresiasi bisa
dikatakan penghargaan terhadap isi wacana.
26
Dalam penelitian ini pengukuran tes pemahaman membaca didasarkan
pada taksonomi Barret tetapi dibatasi pada kategori pemahaman literal,
reorganisasi,dan evaluasi.
5. Materi hukum – hukum dasar kimia
Berdasarkan pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian
kurikulum KTSP, materi hukum dasar kimia merupakan salah satu materi
subpokok bidang studi ilmu kimia yang diajarkan pada siswa kelas X semester
gasal. Materi ini merupakan materi dasar dalam ilmu kimia yang harus
dipahami oleh siswa karena materi tersebut diperlukan sebagai dasar dalam
mempelajari ilmu kimia selanjutnya. Dalam bab ini terdapat beberapa poin yang
akan dibahas, diantaranya mengenai Hukum Lavoisier, Hukum Proust, Hukum
Dalton, Hukum Gay-Lussac, dan Hukum Avogadro.
a. Hukum Lavoisier
Pernahkah Anda melihat kayu atau kertas terbakar ? Hasil yang
diperoleh berupa sejumlah sisa pembakaran yaitu abu. Jika Anda menimbang
abu tersebut maka massa abu lebih ringan dari massa kayu atau kertas
sebelum dibakar. Benarkah demikian? Dari kejadian tersebut, kita
mendapatkan gambaran bahwa seolah-olah dalam suatu reaksi kimia, ada
perbedaan massa zat, sebelum dan sesudah reaksi.
Antoine
Laurent
Lavoisier
(1743–1794)
seorang
ahli
kimia
berkebangsaan Prancis telah menyelidiki hubungan massa zat sebelum dan
sesudah reaksi. Lavoisier menimbang zat-zat sebelum bereaksi kemudian
menimbang hasil-hasil reaksinya. Ternyata massa zat sebelum dan sesudah
bereaksi selalu sama. Akan tetapi, perubahan-perubahan materi umumnya
berlangsung dalam sistem terbuka sehingga apabila hasil reaksi ada yang
meninggalkan sistem (seperti pembakaran lilin) atau apabila sesuatu zat dari
lingkungan diikat (seperti proses perkaratan besi yang mengikat oksigen dari
udara) maka seolah-olah massa zat sebelum dan sesudah reaksi menjadi tidak
sama. Sedangkan bila kita membakar kayu, maka hasil pembakaran hanya
tersisa abu yang massanya lebih ringan dari kayu. Hal ini bukan berarti ada
27
massa yang hilang. Akan tetapi, pada proses ini kayu bereaksi dengan gas
oksigen menghasilkan abu, gas karbon dioksida, dan uap air. Jika massa gas
karbon dioksida dan uap air yang menguap diperhitungkan, maka hasilnya
akan sama.
Lavoisier menyimpulkan hasil penemuannya dalam suatu hukum yang
disebut hukum kekekalan massa: “Dalam sistem tertutup, massa zat sebelum
dan sesudah reaksi adalah sama“.
Misalnya, reaksi perkaratan besi (besi mengikat oksigen dari udara)
sebagai berikut. Besi yang mempunyai massa tertentu akan bereaksi
dengan sejumlah oksigen di udara membentuk senyawa baru besi oksida
(Fe2O3(s)) yang massanya sama dengan massa besi dan oksigen mulamula.
4 Fe(s) + 3 O2(g)
2 Fe2O3(s)
b. Hukum Proust
Ada berbagai senyawa yang dibentuk oleh dua unsur atau lebih,
sebagai contoh air (H2O). Air dibentuk oleh dua unsur yaitu unsur hidrogen
dan oksigen. Materi mempunyai massa, termasuk hidrogen dan oksigen.
Bagaimana kita mengetahui massa unsur hidrogen dan oksigen yang terdapat
dalam air? Seorang ahli kimia Prancis yang bernama Joseph Louis Proust
(1754–1826) mencoba menggabungkan hidrogen dan oksigen untuk
membentuk air.
Tabel 2.1. Hasil Percobaan Proust
Massa Hidrogen
yang Direaksikan
(gram)
1
2
1
2
Massa Oksigen
yang Direaksikan
(gram)
8
8
9
16
Massa Air yang
Terbentuk
(gram)
9
9
9
18
Sisa Hidrogen
atau Oksigen
(gram)
1 g hidrogen
1 g oksigen
-
Dari gambar di atas terlihat, bahwa setiap 1 g gas hidrogen bereaksi
dengan 8 g oksigen menghasilkan 9 g air. Hal ini membuktikan bahwa massa
28
hidrogen dan massa oksigen yang terkandung dalam air memiliki
perbandingan yang tetap yaitu 1 : 8, berapapun banyaknya air yang terbentuk.
Dari percobaan yang dilakukannya, Proust mengemukakan teorinya yang
terkenal dengan sebutan hukum perbandingan tetap, yang berbunyi:
"Perbandingan massa unsur-unsur penyusun suatu senyawa selalu tetap".
c. Hukum Dalton
Komposisi kimia ditunjukkan oleh rumus kimianya. Dalam senyawa,
seperti air, dua unsur bergabung dan masing-masing menyumbangkan
sejumlah atom tertentu untuk membentuk suatu senyawa. Dari dua unsur
dapat dibentuk beberapa senyawa dengan perbandingan berbeda-beda.
Misalnya, belerang dengan oksigen dapat membentuk senyawa SO2 dan SO3.
Dari unsur hidrogen dan oksigen dapat dibentuk senyawa H2O dan H2O2.
Dalton menyelidiki perbandingan unsur-unsur tersebut pada setiap
senyawa dan mendapatkan suatu pola keteraturan. Pola tersebut dinyatakan
sebagai hukum perbandingan berganda yang bunyinya:
“Apabila dua unsur dapat membentuk lebih dari satu senyawa, massa salah
satu unsur tersebut tetap (sama) maka perbandingan massa unsur yang lain
dalam senyawa-senyawa tersebut merupakan bilangan bulat dan sederhana".
Contohnya nitrogen dan oksigen dapat membentuk senyawa-senyawa N2O,
NO, N2O3, dan N2O4 dengan komposisi massa terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 2.2. Data Percobaan Dalton
Senyawa
N2O
NO
N2O3
N2O4
Massa Nitrogen
(gram)
28
14
28
28
Massa Oksigen
(gram)
16
16
48
64
Perbandingan
(gram)
7: 4
7: 8
7 : 14
7 : 16
Dari tabel tersebut, terlihat bahwa apabila massa N dibuat tetap (sama)
sebanyak 7 g maka perbandingan massa oksigen dalam:
N2O : NO : N2O3 : N2O4 = 4 : 8 : 12 : 16 atau 1 : 2 : 3 : 4, ini merupakan
bilangan bulat dan sederhana.
29
d. Hukum Gay-Lussac
Pada Pada awalnya para ilmuwan menemukan bahwa gas hidrogen
dapat bereaksi dengan gas oksigen membentuk air. Perbandingan volume gas
hidrogen dan oksigen dalam reaksi tersebut adalah tetap, yaitu 2 : 1. Pada
tahun 1808, Joseph Louis Gay Lussac melakukan percobaan serupa dengan
menggunakan berbagai macam gas.
2 satuan volume gas hidrogen + 1 satuan volume gas oksigen → 2 satuan
volume uap air
1 satuan volume gas hidrogen + 1 satuan volume gas klorin → 2 satuan
volume gas hidrogen klorida
Hasil percobaan di atas menunjukkan bahwa:
Volume gas hidrogen : oksigen : uap air = 2 : 1 : 2
Volume gas hidrogen : klorin : hydrogen klorida = 1 : 1 : 2
Hukum tersebut hanya berlaku untuk reaksi-reaksi dalam wujud gas,
dan pada kenyataannya untuk reaksi yang bukan gasmassa zat dan volume zat
cair tidak berlaku. Bila dihubungkan dengan teori atom Dalton terdapat
ketidaksesuaian, karena Dalton menganggap bahwa atom merupakan partikel
terkecil dari suatu zat. Jadi, apabila satuan volume diperkecil akan didapat :
1 volume gas hidrogen + 1 volume gas oksigen → 2 satuan volume uap air
Jika dianggap bahwa gas-gas dalam keadaan sebagai atom, maka:
1 atom hidrogen + 1 atom klorin → 2 atom hidrogen klorida
Bila konsep ini diterapkan pada gas hidrogen dan oksigen, maka didapat:
1 atom hidrogen +
atom oksigen → 1 atom air
Konsep setengah atom bertentangan dengan teori atom Dalton, sebab
tidak ada atom yang separo. Untuk menghindari hal tersebut Amadeo
Avogadro
mengusulkan
hipotesis
yang
dikenal
sebagai
“Hipotesis
Avogadro”.
(Sudarmo, 2004:69-70)
30
e. Hipotesis Avogadro
Mengapa perbandingan volume gas-gas dalam suatu reaksi merupakan
bilangan sederhana? Banyak ahli termasuk Dalton dan Gay Lussac gagal
menjelaskan hukum perbandingan volume yang ditemukan oleh Gay Lussac.
Ketidakmampuan Dalton karena ia menganggap partikel unsur selalu berupa
atom tunggal (monoatomik). Pada tahun 1811, Amedeo Avogadro
menjelaskan percobaan Gay Lussac. Menurut Avogadro, satuan terkecil dari
suatu zat tidaklah harus atom tetapi dapat merupakan gabungan atom yang
disebut molekul. Dengan konsep ini maka teori atom Daltontetap benar dan
fakta percobaan Gay Lussac dapat dijelaskan, sehingga pernyataan tentang
reaksi antara hydrogen dengan oksigen menjadi :
1 molekul gas hidrogen +
(konsep
molekul gas oksigen
1 molekul air
molekul ini dapat dibenarkan jika gas oksigen sebagai molekul
diatomik/ molekul gas oksigen terdiri dari dua atom O)
Berdasarkan hal tersebut, maka Avogadro membuat hipotesis yang
dikenal dengan “Hipotesis Avogadro” yang menyatakan bahwa:
“Pada suhu dan tekanan yang sama semua gas yang volumenya sama akan
mengandung jumlah molekul yang sama.”
Menurut hipotesis Avogadro unsure yang berwujud gas umumnya
merupakan molekul dwi-atom atau diatomic. Bila demikian maka dalam
persamaan reaksinya, dua reaksi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut:
2 H2(g)
+
1 molekul gas hidrogen
H2(g)
1 molekul gas hidrogen
O2(g)
molekul gas oksigen
+
Cl2(g)
1 molekul gas klorin
⎯⎯→ 2 H2O(g)
1 molekul air
⎯⎯→
2 HCl(g)
2 molekul gas
hidrogen klorida
Avogadro juga menemukan pola hubungan antara perbandingan
volume gas-gas yang bereaksi, yaitu:
31
“Pada suhu dan tekanan yang sama, volume gas-gas yang bereaksi dan
volume gas-gas hasil reaksi berbanding sebagai bilangan bulat sederhana.“
Jika diperhatikan ternyata perbandingan volume tersebut sesuai dengan
perbandingan koefisien persamaan reaksinya. Dengan dasar itulah beberapa
rumus molekul gas dapat diramalkan.
(Sudarmo, 2004:70-71)
B. Kerangka Berfikir
Dalam KTSP guru berperan dan berpengaruh terhadap proses dan
hasil belajar. Menyebabkan seorang guru dituntut agar memiliki kreativitas yang
dapat membentuk kompetensi pribadi peserta didik. Oleh karena itu pembelajaran
harus sebanyak mungkin melibatkan peserta didik, agar mereka mampu
bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi
dan kebenaran secara ilmiah. Pembelajaran yang melibatkan peserta didik atau
dikenal dengan istilah student centered learning
Pada kenyataan di sekolah masih banyak guru yang menggunakan
teacher centered pada proses pembelajaran sehingga siswa hanya menerima,
mendengar materi dari apa yang disampaikan oleh guru. Siswa tidak terlibat aktif
dalam pembelajaran, siswa hanya mendengar dan mencatat dari apa yang
disampaikan oleh guru. Pemahaman membaca materi yang bersifat abstrak pun
berkurang dikarenakan siswa jarang membaca buku pedoman dan hanya
bersumber pada guru. Pada akhirnya prestasi belajar siswa menjadi menurun.
Prestasi belajar siswa salah satunya sangat ditentukan oleh pemilihan
model pembelajaran guru. Model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan
materi pelajaran sangat mendukung keberhasilan proses kegiatan belajar
mengajar. Dalam penelitian ini diterapkan pembelajaran problem posing yang
menekankan siswa untuk aktif dalam mencari, merumuskan hingga memecahkan
masalah secara mandiri yang menuntut siswa untuk dapat memahami materi
dengan baik. Sehingga kemampuan pemahaman membaca siswa menjadi
meningkat dan juga prestasi belajarnya pun meningkat.
32
Problem posing merupakan salah satu pendekatan yang mencoba
mengajak siswa mengerjakan soal dimana soal tersebut disusun dan dibuat sendiri
oleh siswa. Dengan demikian penerapan pendekatan ini diharapkan mampu
mengatasi rasa takut dan ketidaksiapan siswa dalam menjawab soal.
Secara sederhana kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 2.1 sebagai berikut :
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
C. Hipotesis Tindakan
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Jika penerapan model pembelajaran problem posing dilaksanakan sesuai
dengan rencana, maka akan terjadi peningkatan prestasi belajar siswa pada
33
materi pokok hukum – hukum dasar kimia kelas X2 Madrasah Aliyah Negeri
Wonogiri.
2. Jika penerapan model pembelajaran problem posing dilaksanakan sesuai
dengan rencana, maka akan terjadi peningkatan kemampuan pemahaman
membaca siswa pada materi pokok hukum – hukum dasar kimia kelas X2
Madrasah Aliyah Negeri Wonogiri.
Download