MENGATASI PERILAKU MARAH SISWA SMA 01 SEKOLAH

advertisement
MENGATASI PERILAKU MARAH SISWA SMA 01 SEKOLAH
OENGAN WELLNESS COUNSELING
Lucia Hernawati
Fakultas Psikologi - Unika Soegijapranata
ABSTRACT
Anger problems among senior high school students at schools in
Semarang are increasing both quantitatively and qualitatively from year to year.
This issue has impacted on students' low academic achievement, low social
relation quality, violence at schools, and the worsening of students' mental health
which will affect the next development phase. Being angry is an acute emotional
reaction triggered by a number of situations that stimulate anger induding treat,
verbal attack, disappointment and frustration. Senior high school students' anger
is commonly triggered by unsatisfied feeling towards relations with parents,
teachers and friends. Unsatisfactory usually causes uncontrollably expressed
anger. Senior high school students' anger at school can be in the form of
keeping anger, having verbal quarrel, fighting, even murdering. Students' anger
impacts on students' low academic achievement, low social relation quality,
violence at schools, and the worsening of students' mental health. Students have
to be assisted to manage their anger emotion. This can be done by giving them
weI/ness counseling as an effort to educate students to have life orientation that
is healthy and satisfactory life focused and spiritually. psychologically, physically
integrated. This is to enable them to actualize all of the potential which will lead
them to happiness.
Key words : angry. well counseling
PENOAHULUAN
Fakta menunjukkan bahwa tipe, intensitas dan frekuensi kemarahan
siswa di Sekolah-Sekolah Menengah Atas (SMA) di Semarang meningkat
dari tahun ke tahun. Siswa cenderung sangat mudah marah walaupun
sebenamya dipicu oleh hal yang sepele seperti tersenggol anggota
tubuhnya secara tidak sengaja, saling tatap mata, olok-olokan eh
facebook. Ekspresi kemarahan ini dapat berupa memendam kemarahan,
percekcokan verbal, perkelahian, tawuran
pengrusakan fasilitas sekolah. (Sukri, 2011).
hingga pembunuhaan dan
45
Hal yang disebutkan diatas
sejalan dengan ungkapan beberapa
guru BK SMA di Semarang pada pertemuan yang dilaksanakan bulan
Januari
2015.Disebutkan
bahwa
siswa
SMA dari
hari
ke
hari
menunjukkan kecenderungan mudah marah walau dipicu dengan hal
sepele. Misalnya teguran teman karena melihat tatanan rambutnya yang
tidak seperti biasanya atau sapaan guru saat melihat siswa belum pulang
walau sekolah sudah usaL Apalagi jika
pemicunya dianggap berat
misalnya pacar direbut teman lain, atau ditegur guru karena tidak
mengerjakan pekerjaaan rumah
maka kemarahan yang hebat akan
segera ditunjukkan. Pada umumnya kemarahan siswa diekspresikan
dengan berkata-kata kasar yang menyakiti pihak lain, membanting pintu,
berkelahi lain yang
sangat berpotensi menimbulkan konflik yang
berkepanjangan.
Hasil penelitian Hernawati tahun 2014 tentang fenomena marah
siswa SMA di Semarang
menunjukkan bahwa kemarahan siswa di
sekolah termasuk pad a kategori tinggL Temuan ini semakin mendukung
fakta bahwa sekolah bukan lagi menjadi tempat yang kondusif untuk
belajar namun malah membentuk karakter yang negatif.
Sekolah idealnya
berperan sebagai tempat untuk memperoleh
," .
berbagai ilmu pengetahuan dan menjadi tempat pembentukan karakter
yang positif bagi siswa. Salah satu karakter yang dikembangkan di
sekolah adalah kemampuan mengelola kemarahan. Kemampuan ini
menjadi
penting
karena
ketidakmampuan
mengelola
emosi
akan
memungkinkan individu melakukan perilaku destruktif bagi diri sendiri
maupun
orang
lain.
Safari
dan
Saputra
(2009)
ketidakmampuan siswa mengelola emosinya akan
menyesal setelah marah, dan terjalinnya relasi
dengan orang lain.
menyebutkan
menimbulkan rasa
yang tidak harmonis
Dampak terburuknya adalah akan terbawanya
ketidakmampuan mengelola emosi ini pada fase perkembangan yang
berikutnya
sehingga
akan
memperburuk kesehatan
mental
siswa.
Sementara tokoh lain yang be mama Campano dan Munakata (2004)
.c·':'-:/Pus ·:.:~;· r:
46
menyebutkan bahwa dampak kemarahan siswa di sekolah yang tidak
kerkendali adalah pencapaian nilai akademik yang rendah, penolakan
teman sebaya dan munculnya psychosomatis syndrome. Selanjutnya
kemarahan siswa yang tidak terkontrol akan menyebabkan kekerasan di
sekolah.
Seharusnya siswa SMA mampu mengelola emosi marahnya karen a
mereka pada usianya yang berkisar antara 15 sampai dengan 17 tahun
termasuk fase remaja akhir. Santrock (2007) menyebutkan pada usia ini
individu telah mampu berpikir formal operasional (membuat analisa dan
sintesa); mampu bertanggungjawab;
ketergantungan pada orangtua
semakin berkurang; mampu memasuki struktur sekolah yang lebih besar
dengan jumlah siswa yang semakin banyak; mampu beradaptasi dengan
berbagai karakter guru dan metode mengajar;
mampu memasuki
kelompok teman sebaya yang semakin banyak dan heterogen.
Semarang adalah salah satu proponsi di Indonesia yang terletak di
Jawa Tengah. Kota ini adalah kota industri yang disibukkan oleh berbagai
perdagangan dan menjadi pusat pemerintahan daerah di Jawa Tengah.
Berdasarkan pengalaman penulis dalam membantu konseli pada sesi
konseling di kota Semarang sejak tahun 2007 hingga kini, diketahui
bahwa sebagian besar penduduk Semarang adalah pendatang dari
berbagai kota lain yang memiliki karakteristik dan nilai-nilai sosial sangat
heterogen. Pada umumnya penduduk bekerja sebagai wirausahawan,
pegawai di bidang swasta dan pegawai pemerintahan.Tuntutan pekerjaan
di tempat kerja membuat suami dan isteri meninggalkan rumah mulai pagi
hingga petang. Pendidikan formal anak dan pengembangan karakternya
dipercayakan sepenuhnya pada sekolah. Kurangnya waktu bertemu
membuat relasi orangtua dan anak menjadi kurang berkualitas.
Sang~t
jarang orangtua mengajari anak untuk membuat interpretasi positif pada
berbagai
pengalamannya,
memahami
berbagai
perasaannya,
dan
mengekpresikannya dengan tepat. Saat anak berkembang menjadi
remaja hal seperti ini sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai
47
masalah emosional dan perilaku, termasuk didalamnya kemarahan remaja
di sekolah. Agresivitas remaja yang tidak terkontrol orang tua akan
berkembang pada relasi teman sebaya. Karena tanpa disadari tekanan
untuk melakukan apa yang dilakukan oleh teman sebaya menjadi
fenomena penting dalam upaya menjalin relasi sosial yang harmonis
diantara mereka. Pada situasi seperti ini relasi sosial yang penuh dengan
agresivitas berpotensi terjadi. Remaja saling mengajari tentang cara
mengekspresikan kemarahan dengan agresif. T ermasuk didalamnya
mengekspresikan kemarahan karena adanya pengalaman yang tidak
diharapkan di sekolah. Sekolah kerap tidak berdaya mengatasi semua ini
bisa jadi karena tidak tahu caranya atau sama sekali tidak peduli dengan
pengelolaan emosi mn baharah
siswa. Keadaan yang demikian tidak
boleh dibiarkan, perlu dilakukan konseling yang berdasarkan pada wellbeing sehingga mampu mengajak siswa untuk memiliki orientasi hidup
yang sehat dan bahagia.
KEMARAHAN SISWA DI SEKOLAH: PENGERTIAN, CIRI-CIRI,
EKSPRESI, DAN PENGELOLAAN EMOSI MARAH
1.Pengertian Kemarahan Siswa Di Sekolah
Furlong & Smith (2006) menjelaskan bahwa marah di sekolah
adalah reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi
menstumulasi yang dialami siswa di sekolah. Sedangkan Tokoh lain
yang bernama Safaria dan Saputra (2009) menyebutkan ekspresi emosi
marah siswa di sekolah adalah reaksi emosional siswa yang disebabkan
adanya berbagai tekanan, agresivitas fisik dan verbal, kekecewaan serta
frustasi yang dial ami siswa di sekolah.
Jadi kemarahan siswa di sekolah adalah reaksi emosinal
SiSV\id
karena adanya berbagai pengalaman di sekolah yang menstimulasi
seperti tekanan, agresivitas fisik dan verbal, kekecewaan serta frustasi.
48
2. Ciri-Ciri Individu yang Sedang Marah
Safaria dan Saputra (2009) mengemukakan ciri ciri individu
yang sedang marah:
a. Ciri pada wajah, warna kulit berubah menjadi kuning pucat, tubuh
terutama pad a
ujung-ujung jari bergetar keras, timbul buih pada
sudut mulut, bola mata memerah, hidung kembang kempis, gerakan
menjadi tidak terkendali, serta terjadi perubahan-perubahan lain
pada fisik.
b.Ciri pada Iidah: meluncurnya makian, celaan,
kata-kata yang
menyakitkan, dan ucapan-ucapan keji yang membuat orang berakal
sehat merasa risih untuk mendengarnya.
c. Ciri pada anggota tubuh: munculnya keinginan untuk memukul,
melukai, merobek, bahkan membunuh. Jika amarah tersebut tidak
terlampiaskan pada orang yang dimarahinya, kekesalannya akan
berbalik pada dirinya sendiri.
d.Ciri pada hati:
munculnya rasa benci, dendam dan dengki,
menyembunyikan keburukan, merasa gembira dalam dukanya serta
merasa sedih atas kegembiraannya, memutuskan hubungan, dan
menjelek-jelekkannya.
3. Ekspresi Emosi Marah
Spielberger (1998) menyebutkan bahwa cara mengekspresikan
kemarahan tiap orang berbeda-beda. Hal terse but dapat dibedakan
menjadi tiga macam yaitu anger out, anger in, dan anger contro/.
a. Angerin
Pengungkapan
emosi
marah
yang
dirasakan
seseorang,
cenderung ditekan ke dalam dirinya tanpa mengekspresikannya ke
luar. Misalnya ketika sedang marah, seseorang lebih memilih diam
dan tidak mau menceritakannya pada siapa pun atau tidak menegur
seseorang yang membuatnya marah
b. Anger out
49
Reaksi ke luar yang dimunculkan oleh seseorang ketika dalam
keadaan marah atau reaksi yang dapat diamati secara umum.
Kondisi ini bisa menjadi perbuatan merusak, misalnya memukul atau
menendang sesuatu yang ada didekatnya, namun setelah itu akan
dirasakan kelegaan karena perasaan marah yang dirasakan sudah
terpuaskan. Anger out berkaitan dengan ketidakmampuan individu
mengekspresikan emosinya secara konstruktif dan asertif.
c. Anger control
Kemampuan seseorang untuk mengontrol atau melihat sisi positif
dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha konsisten menjaga
sikap positif walau menghadapi situasi yang buruk.
Megargee ( dalam Davey, Day & Howells, 2004) menyebutkan
ekspresi marah seeorang berbeda-beda. Secara umum
dapat
diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu undercontrolled dan overcontrolled. Ekspresi marah seseorang termasuk dalam kategori
undercontrolled
bila
cenderung
tidak
mampu
mengontrol
kemarahannya yang impulsive. Perilaku berang dapat menjadi
ekspresi marahnya. Sedangkan over-controlled adalah kategori
untuk seseorang yang jarang merasakan kemarahannya demikian
pula mengekspresikannya. Seseorang termasuk ke dalam kategori
over-controlled
bila baru akan marah kalau tak mampu lagi
menahan rasa marahnya yang demikian besar
4. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kemarahan Siswa Di Sekolah
a. Relasi yang tidak berkualitas antara orangtua dan remaja.
Relasi orangtua dan remaja yang tidak berkualitas berpotensi
memunculkan
komunikasi
tidak
lancar.
Remaja
tidak
maU
menceritakan perasaan dan emosinya dalam aktivitas sehari-hari
kepada orangtua dan selanjutnya orangtua tidak dapat mengajarinya
50
untuk mengelola emosi yang salah satunya adalah emosi marah agar
dapat diekspresikan dengan tepat (Kerr & Statin, 2000).
b.Tekanan ternan sebaya
Kim, Hetherington, & Reis (2009) menemukan bahwa relasi dengan
ternan sebaya
yang penuh tekanan membuat siswa tidak mampu
membuat coping yang positif saat
mengalami pengalaman yang
membuatnya marah.
c. Kepribadian Narsisistik
Dalam relasi sosial, remaja yang memiliki kepribadian narsisistik
kerap menimbulkan kemarahan bagi orang lain karena ia hanya
mengekspresikan kebanggaan diri (self admiration) namun ia tidak
memberi perhatian pada orang lain (Barry & Malkin, 2010)
d.lklim Sekolah
Iklim
sekolah
yang
negatif
membuat
siswa
cenderung
mengembangkan karakter tidak respek pada guru, sesama siswa,
dan
staf
administrasi
di
lingkungan
sosial
sekitar
sekolah.
Selanjutnya berdampak pada proses pembelajaran yang tidak efektif
di kelas (Wilson, 2004).
5.Kemampuan Mengatasi Perlaku Marah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2005), kemampuan
mengelola emosi marah diartikan sebagai kecakapan mengatur atau
mengontrol emosi marah. Spielberger (1998) menyebutkan kemampuan
mengelola emosi marah adalah kemampuan
untuk mengontrol atau
melihat sisi positif dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha
konsisten menjaga sikap positif walau menghadapi situasi yang buruk.
Dengan demikian kemampuan mengendalikan
emosi marah dapat
diartikan sebagai kecakapan untuk mengontrol atau melihat sisi positif
dari permasalahan yang dihadapi dan berusaha konsisten menjaga sikap
positif walau menghadapi situasi yang buruk.
51
Menurut pandangan teori kognitif, emosi banyak ditentukan oleh
hasil interpretasi individu terhadap peristiwa yang dialaminya. Persepsi
yang negatif menyebabkan emosi yang negatif seperti kemarahan. Salah
satu cara untuk mengendalikan emosi marah yaitu dengan memahami
peristiwa yang dialami dan membuat interpretasi positif terhadapnya
(Safaria & Saputra, 2009). WeI/ness Counseling sebuah pendekatan
konseling yang berkarakteristik kognitif behavioral menyebutkan bahwa
pengendalian emosi marah dapat dilakukan dengan mengembangkan
awarenes tentang berbagai pengalaman yang mungkin dialami secara
spritual-psikis-fisik (Myers, Sweeney, & Witmer, 2000)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pengendalian emosi
marah dapat dilakukan dengan mengembangkan awarenes tentang
berbagai pengalaman yang mungkin dialami secara spiritual-psikis-fiik
seperti yang ditawarkan weI/ness counseling.
WELLNESS
COUNSELING:
PENGERTIAN,
CIRI-CIRI,
DAN
PROSEDUR
1.Pengertian wellness counseling,
Larson (1999) menyebutkan bahwa Aristoteles pada abad 5
Sebelum Masehi merupakan orang pertama yang mengemukakan
konsep weI/ness. Saat itu istilah yang dipakai Aristoteles adalah
eudaimonia yang berarti kebahagiaan
Menurut Aristoles manusia
berupaya memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Namun bahagia
bukanlah
diperoleh
jalan
dengan
mengejar
kenikmatan
dan
menghindari rasa sakit, atau terpenuhinya segala kebutuhan individu,
melainkan melalui tindakan nyata yang mengaktualisasikan potensipotensi
yang
dikembangkan
dimilikinya.
oleh
Selanjutnya
Descartes
dengan
konsep
Aristoteles
menggabungkan
ini
konsep
weI/ness dengan konsep dualitas mind and body. Pada akhir abad 20
konsep
weI/ness ini berkembang
menjadi orientasi
hidup yang
52
terintegrasi dalam spirit-mind-body untuk mengaktualisasikan seluruh
potensi diri yang pad a akhirnya membawa individu pad a kebahagiaan.
Hettler (1984) menyebutkan weI/ness adalah sebuah proses untuk
menyadari kepuasan hidup dan secara aktif membuat pilihan agar
dapat hidup lebih optimum. Tokoh lain yang bernama Myers &
Sweeney (2008) menyebutkan bahwa weI/ness adalah orientasi hidup
menuju kesehatan dan kepuasan hidup yang optimal, terintegrasi
dalam spirit-psikis-fisik individu yang membuatnya dapat hidup lebih
bahagia diantara manusia lain maupun alam.
Counseling dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
proses pemberian bantuan dari seseorang yang terlatih dan profesional
(konselor) kepada seseorang yang memiliki masalah namun tidak dapat
menyelesaikan sendiri (konseli) (Corey, 2010).
WeI/ness counseling adalah proses pemberian bantuan dari
seorang konselor kepada seorang konseli agar konseli memiliki
orientasi hidup menuju kesehatan dan kepuasan hidup yang optimal,
terintegrasi dalam spirit-psikis- fisik yang dapat membuatnya
hidup
lebih bahagia diantara manusia lain maupun alam.
2. Ciri-ciri individu yang berada pad a keadaan weI/ness
Menurut Larson (1999) individu yang berada pad a keadaan
weI/ness akan merasa bahagia karena mampu mengaktualisasikan
seluruh potensi dirinya. Sementara (Egbert (1980) menyebutkan ciri-ciri
individu yang mengalami weI/ness
kemampuan
untuk
mampu memotivasi diri, memiliki
menyelesaikan
masalah
secara
kreatif,
berpengharapan, dan terbuka pada penggalangan relasi dengan orang
lain maupun alam. Tokoh lain Hattie, Myers & Sweeney (2004)
menyampaikan kemampuan untuk merefleksikan seluruh potensi diri
dan mengoptimalkannya agar memberi dampak yang positif adalah ciri
dari individu mengalami weI/ness. Senada dengan kedua tokoh diatas,
53
Lauren (2009) menyebutkan ciri-ciri individu yang berada pada keadaan
weI/ness adalah
mampu memaksimalkan seluruh potensi
dirinya
dengan cara terintegrasi antara spirit-psikis-fisik
3. Konsep weI/ness
Dalam konseling yang berbasis konsep weI/ness, pada
umumnya didasarkan pada konsep the wheel of weI/ness atau the
indivisible self. Dibawah ini penjelasannya secara terperinci.
Sweeney dan Witmer (1991) mengembangkan konsep weI/ness
dengan menggabungkan pandangan Adler yang menyebutkan bahwa
fisik
dan
mental
mempengaruhi
adalah
dengan
satu
berbagai
kesatuan
konsep
dan
dari
keduanya
studi
saling
psikologi ,
antropologi, sosiologi,agama, dan pendidikan. Konsep weI/ness yang
dikemukakan Sweeney dan Witmer dikenal dengan the wheel of
weI/ness. Disebutkan individu harus mengembangkan 5 hal utama
dalam hidupnya yaitu spirituality, work and leisure, friendship, love, and
self direction. Kelima hal utama tersebut selanjutnya dibagi kedalam12
tugas yang harus dilakukan individu dalam hidup yaitu sense of worth,
sense of control, realistic beliefs, emotional awareness dan coping,
sense of humour, nutrition, exercise, self-care, stress management,
gender identity, dan culture identity. Berdasarkan konsep diatas telah
disusun pula alat ukur The Wheel of WeI/ness of Lifestyle (WEL) untuk
mengetahui kepuasan hidup individu. Sexton ( 2001) menyebutkan
konsep wel/nes dan alat ukur WEL banyak dipakai konselor untuk
membantu konseli merefleksikan tingkat kesehatan dan kepuasan
hidupnya saat ini dan upaya untuk meningkatkannya agar dapat
mencapai kebahagiaan. Konseling yang berbasis konsep weI/ness
disebut konseling weI/ness (weI/ness counseling).
Pada tahun 2004 Hattie, Myers dan Sweeney merevisi konsep
weI/ness yang dikembangkan Sweeney dan Witmer
tahun 1991.
Disebutkan terdapat 3 dimensi yang terstruktur dalam weI/ness.
54
Dimensi terdalam yang menjadi pusat dari individu adalah the
indivisible self. Dimensi kedua terdiri dari 5 hal yaitu creative, coping,
sosial, essential, dan physical. Dimensi ketiga terdiri dari 12 hal yaitu
thinking, emotion, control, work, positive humour, leisure, stress
management, self worth, realistic beliefs, frienship, love. spirituality,
gender identity, cultural identity, self- care, exercise, nutrition. Dimensi
pertama sebagai pusat individu sedangkan dimensi ketiga mendukung
dimensi kedua secara kategorial. Dimensi thinking, emotion, control,
work, positive humour mendukung dimensi creative. Dimensi leisure,
stress management, self worth, realistic beliefs mendukung dimensi
coping. Dimensi friendship, love mendukung dimensi sosial. Dimensi
spirituality, gender identity, cultural identity, self- care mendukung
dimensi
essential. Dimensi exercise, nutrition mendukung dimensi
physical. Konsep weI/ness ini lebih menunjukkan hubungan antara satu
dimensi dengan dimensi
lainnya dibandingkan konsep sebelumnya.
Alat ukur yang bernama Five Factor WeI/ness Inventory (SF-Wei)
dikembangkan Myers dan Sweeney pada tahun 2005 berdasar konsep
weI/ness yang terakhir ini. Konsep weI/ness dan alat ukur 5F-Wel ini
juga dipakai konselor untuk membantu konseli merefleksikan tingkat
kesehatan dan kepuasan hidupnya (weI/ness) serta meningkatkannya
pada berbagai dimensi untuk mencapai kebahagiaan. Pada penelitian
in; konsep tentang weI/ness yang terakhir dan alat ukur 5F-Wel yang
akan dipakai.
4. Prosedur pelaksanaan wellnes counseling
Dalam
weI/ness counseling, setelah building raport dan konseli
menceritakan permasalahannya selanjutnya dilakukan 4 tahapan
aktivitas sebagai berikut :
a. Konselor menjelaskan konsep wellnes.
Dimulai dari penjelasan bahwa indivisible self merupakan self
yang tak terbagi. Antara spirit, psikis dan fisik merupakan satu
55
kesatuan dan saling mempengaruhi.
Self menjadi pusat diri
individu. Dalam realisasinya self memancar keluar menjadi
Kemampuan
creative
yang
memungkinkan
(1)
individu
mengembangkan diri secara unik. Adapun kemampuan creative ini
didukung
oleh
kemampuan
berpikir
yang
terbuka,
mampu
mengekspresikan emosi positive atau negatif secara tepat, mampu
mencapai tujuan yang telah direncanakan, merasa puas dengan
pekerjaan yang dilakukan dan uang yang diperoleh, mampu
menertawakan
manakala
individu
membuat
kesalahan;
(2)Kemampuan melakukan coping. Kemampuan ini memungkinkan
individu untuk merespon pengalaman hidup dan menangkap proses
pembelajaran dibalik pengalaman negatif. Kemampuan ini didukung
oleh kemampuan mengelola stress, mengembangkan keyakinan
yang realistik, merasa diri berharga, mampu menikmati waktu luang
untuk
berekreasi;
(3)Kemampuan
bersosialisasi
yang
memungkinkan individu untuk menggalang relasi sosial dalam
keluarga
dan
kemampuan
Iingkungan
bersosialisasi
sosial
yang
didukung
lebih
luas.
Adapun
oleh kemampuan
untuk
percaya pada orang lain dan kemauan untuk memberikan support
bila diperlukan; (4) Kemampuan untuk mengembangkan aspek
essential. Kemampuan ini memungkinkan individu untuk memberi
makna
pada
proses
hidupnya
maupun
hidup
orang
lain.
Kemampuan ini didukung oleh penyadaran bahwa manusia lebih
dari hanya sekedar aspek material, merasa puas pada peran
gender yang dimiliki, merasa puas dengan budayanya, mampu
berupaya untuk mencapai kebahagiaan; (5) Kemampuan untuk
mengembangkan aspek physical. Kemampuan ini memungkinkan
individu untuk menggunakan aspek biologinya secara maksimal .
Kemampuan ini didukung kemampuan untuk berolahraga secara
teratur dan mengkonsumsi makanan yang bergizi.
56
Selanjutnya konseli diminta untuk menyampaikan opininya
tentang konsep weI/ness yang baru dibicarakan dan menceritakan
konsep weI/ness menurutnya. Berikutnya konseli distimulasi untuk
merefleksikan pengalaman hidupnya pada tiap dimensi dalam
konsep weI/ness yang disampaikan konselor untuk menemukan
pada dimensi mana yang masih kurang optimum dikembangkan
dan dimensi mana yang telah optimum dikembangkan.
Tujuan dari tahap ini (1 )menyampaikan kepada konseli
perlunya mencapai kesehatan dan kepuasan hidup yang optimum
secara
terintegrasi
spirit-psikis-
fisik
agar
dapat
mencapai
kebahagiaan dalam berealasi dengan orang lain dan alam;
(2)mengajak konseli berpikir kritis tentangnya dan merefleksikan
pengalaman-pengalaman hidupnya pada area-area pembentuk
weI/ness secara umum.
b. Pengukuran keadaan weI/ness konseli
Pada tahap ini konselor dapat
mengajak konseli untuk
merefleksikan diri pad a tiap dimensi dari konsep weI/ness dengan
jawaban
berkisar
antara
skala
1
sampai
10.
Skala
1
mencerminkan sangat tidak sehat dan tidak puas akan hidup (very
low weI/ness) dan skala 10 mencerminkan sangat sehat dan puas
akan hidup (very high weI/ness) Dari aktivitas ini dapat diketahui
dimensi mana yang menurut konseli masih perlu ditingkatkan dan
dimensi mana yang tidak perlu lagi ditingkatkan. Atau konselor
dapat meminta konseli untuk mengisi alat ukur 5F-Wel kemudian
dilakukan skoring. Bagian yang mendapat skor rendah berarti
masih perlu ditingkatkan dan bagian yang mendapat skor tinggi
berarti tidak perlu lagi ditingkatkan.
Tahap kedua ini sangat bermanfaat untuk menentukan
keadaan weI/ness konseli sekarang dan membut rancangan untuk
meningkatkan keadaan weI/ness konseli secara optimum.
57
c. Intervensi untuk meningkatkan keadaan wellness konseli
Pada
tahap
ini
konselor
meminta
konseli
untuk
memperhatikan dimensi dari konsep weI/ness yang memiliki skor
rendah. Bila dimensi tersebut lebih dari satu maka konseli diminta
memilih 1 atau 2 dimensi dari konsep weI/ness yang akan
ditingkatkan. Tidak disarankan untuk meningkatkan lebih dari dua
dimensi secara bersama-sama karena akan memberikan be ban
secara
berlebihan.
Meningkatkan
1 atau
2
dimensi
akan
mempengaruhi yang lain juga. Selanjutnya konselor dan konseli
membuat perencanaan yang dapat dilakukan konseli untuk
meningkatkan dimensi weI/ness yang dipilih untuk ditingkatkan.
d.Evaluasi dan follow-up
Setelah dilaksanakan aktivitas yang telah direncanakan
maka pada tahap ini dilakukan evaluasi untuk mengetahui
sejauhmana aktivitas yang telah direncanakan dapat dijalankan
dan dapat memberi dampak yang positif. Bila teryata aktivitas
yang direncanakan tidak dapat dilaksanakan atau tidak memberi
dampak positif maka perlu dipikirkan ulang untuk direncanakan
aktivitas yang lebih sesuai. Pada tahap ini pula konseli perlu diberi
dukungan sosial agar memiliki motivasi yang tinggi untuk terus
menjalankan aktivitas yang telah direncanakan.
Konselor memberi dukungan bagi konseli pad a membuat
perencanaan
jangka
menjalankannya.
Pada
pendek
dan
proses
jangka
konseling
panjang
kepada
serta
konseli
diperkenalkan konsep weI/ness, diajarkan cara mengukur keadaan
weI/ness
yang
dimiliki
saat
ini,
diajarkan
cara
membuat
perencanaan, dan mengevaluasi serta melakukan fol/ow up.
Dalam
jangka
panjangnya
diharapkan
konseli
mampu
mengembangkan pemahaman weI/ness khas milik diri sendiri
yang bisa jadi berbeda dengan konsep weI/ness miliki Hatti, Myers
58
& Sweeney dan mewujudkannya dalam kehidupan riil. (Myers,
Sweeney, & Witmer, 2000)
5 Keterkaitan pengendalian emosi marah siswa dengan weI/ness
counseling
Siswa SMA berada pada fase remaja akhir. Santrock (2007)
menyebutkan pada usia ini individu telah mampu berpikir
formal
operasional, mampu membuat analisa dan sintesa pada berbagai
pengalaman hidupnya, mampu mengontrol diri, bertanggungjawab,
mampu berelasi sosial dengan damai sehingga memungkinkannya
untuk mengelola emosi marahnya
Emosi marah bukan hanya melibatkan aspek psikis namun juga
fisik maka membantu siswa dalam mengelola kemarahannya tidak
cukup dengan pendekatan konseling yang fokus pad a aspek kognitif
saja seperti pendekatan konseling realitas atau afektif saja seperti
pendekatan konseling client centered atau perilaku saja seperti
pendekatan konseling behavioural namun perlu pendekatan konseling
yang bersifat komprehensip yang mampu mengekplorasi aspek spirit,
psikis
dan
fisik
serta
mengoptimalkannya
untuk
mencapai
kebahagiaan. Dengan demikian diperlukan weI/ness counseling.
WeI/ness counseling adalah konseling yang mendasarkan
seluruh aktivitasnya pada konsep weI/ness. Dalam sejarah, weI/ness
counseling
dilaksanakan
berdasar
konsep
weI/ness
yang
dikembangkan oleh Sweeney dan Witmer pada 1991 yaitu the wheel
of weI/ness
atau yang dikembangkan oleh Hattie, Myers dan
Sweeney tahun 2004 yaitu the indivisible self (Myers & Sweeney,
2008).
Emosi marah siswa di sekolah muncul karena adanya berbagai
pengalaman yang menstimulasi seperti tekanan, agresivitas fisik dan
verbal, kekecewaan serta frustrasi. Selanjutnya pengalaman tersebut
diinterpretasikan secara negatif. Dalam weI/ness counseling, konseli
59
yang nota bene siswa SMA diajak untuk memahami dan menyadari
bahwa orientasi hidup menuju kesehatan dan kepuasan hidup yang
optimal akan dapat menjadikan hidup lebih bahagia. Untuk itu siswa
diajak
untuk
merefleksikan
mengekspresikan
emosi
kemampuan
positive
atau
berpikir
negatif
secara
terbuka,
tepat,
kemampuan mencapai tujuan yang telah direncanakan, perasaan
puas dengan
kemampuan
peke~aan
yang dilakukan dan uang yang diperoleh,
menertawakan diri manakala membuat kesalahan,
kemampuan mengelola stress, mengembangkan keyakinan yang
realistik, merasa diri berharga, kemampuan menikmati waktu luang
untuk berekreasi, kemampuan mempercayai orang lain dan kemauan
untuk memberikan support pada orang lain, penyadaran bahwa
manusia lebih dari hanya sekedar aspek material, merasa puas pada
peran gender yang dimiliki,
merasa puas dengan budayanya,
kemampuan berolahraga secara teratur dan mengkonsumsi makanan
yang bergizi. Selanjutnya konseli diminta
memberi skor yang
bergerak dari 1 (sangat rendah) hingga 10 (sangat tinggi) pad a tiap
dimensi. Maksimal 2 dimensi harus dipilih konseli untuk diubah.
Strategi untuk meningkatkan dimensi yang dipilih konseli ditetapkan
bersama
dengan
konselor.
Setelah
perencanaan
dilaksanakan
berikutnya dilakukan evaluasi dan follow up.
Penyadaran yang semakin luas tentang spirit-psikis-fisik setelah
mengikuti wellness counseling membuat siswa berupaya membuat
interpretasi positif pada pengalaman yang mengecewakan di sekolah,
mampu mengekpresikan emosi dengan tepat, mampu mengelola
stress, mampu memanfaatkan waktu luang untuk rekreasi, mampu
berelasi sosial dengan kasih, berolahraga teratur dan makan teratur
agar fungsi fisik normal dan mampu mentoleransi kelelahan.
60
DAFTAR PUSTAKA
Barry, C.T, & Malkin, M.L. (2010). The relation between adolescent
narcIssism
and
internalizing
problems
depends on
the
conceptualization of narcissism. Journal of Research in Personality,
Vol.30, NO.30
Campano, J.P., & Munakata, T, (2004). Anger and aggression among
Filipino students. Journal of Adolescence, Vol 37, No.156
Corey, G. (2010) Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy
(8th ed.). United States: Brooks/Cole.
Furlong, M.J., & Smith D.C. (2006). Cross-validation and rasch analyses of
the australian version of the multidimensional school anger inventory
- revised . Journal of Psychoeducational Assessment, Vol. 24,No.3,
225-242.
Hattie, J.A., Myers, J.E, &Sweeney, TJ. (2004). A factor structure of
wellness: Theory, assessment, analysis, and practice. Journal of
Counseling & Develompent, 77,339-343.
Hernawati, L. (2014). Fenomena Kemarahan Siswa SMA Di Sekolah.
Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan .
Hettler, W.(1984). Weliness:Encouraging a lifetime pursuit of excellence.
Health Values: Achieving High Level WeI/ness, 8, 13-17.
Keer, M., & Statin, H. (2000). What parent know, how they know it, and
several forms of adolescent adjustment. Journal of Developmental
Psychology, 36, 366-380
Kim, J.E., Hetherington, E.M., & Reiss, D. (2009). Associations among
family relationship, antisocial peers, and adolescent's externaling
behavior: gender and family type differences. Journal of Child
Development, 70, 1209-1230.
Larson, D.D.(1999).The conceptualization of health.
Research and Review, 56, 123-136
Medical Care
Myers, Sweeney, & Witmer, 2000.The Wheel of Wellness Counseling for
Wellness: A Holistic Model for Treatment Planning. Journal of
Counseling and Develompment JCD; Summer 2000; 78,3.
Myers J.E, & Sweeney. T.J, (2008). Well ness Counseling: The evidence
base for practice. Journal of Counseling and Development JeD;
86,482-493.
61
Safaria, T, & Saputra, N.E (2009). Manajement Emosi. Sebuah Panduan
Cerda~ Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda,.
Jakarta: Bumi Aksara.
Santrock, J.W.(2007), Remaja [Adolescence], Jakarta: Erlangga
T(2001).
Evidence-based
counseling
intervention
Sexton,
programs:Practicing "best practices." In D.C. Locke, J.E.Myers,
&E.H.Herr(eds), The handbook of counseling (pp.499-512).
Thousand Oaks, CA:
Spielberger, 1998. Factor Structure of The State-Trait Anger Expression
Inventory. Departemet of Psychology University of South Florida.
Florida.497 -507
Sukri, S.S. (2011). Suara Merdeka On line. Kenakalan
Meningkat
Siswa Semakin
Sweeney, TJ . & Witmer,J.M. (1991). Beyond social Interest: Striving
toward optimum
Health and wellness. Individual Psychology, 47,527-540
Sweeney, TJ., & Myers,J.E., (2004). The Indivisible Self: An evidencebased model of
weI/ness. Greensboro, NC:Authors
Wilson (2004). The interface of school climate and school connectedness
and relationships with aggreSSion and victimization. Journal of
School Health, Vo1.74, NO.7.
Download