jurnal “yustitia” - Fakultas Hukum

advertisement
 Penerapan
Asas
Kebebasan
Berkontrak;
 Tanggung Jawab yang lahir dalam
suatu Surat Kuasa;
 Lembaga Arbitrase sebagai Pilihan
forum dalam sengketa;
 Hak Tanggungan sebagai Lembaga
Jaminan;
 Sifat delik dalam Pencurian Aliran
Listrik.
 Kedudukan Perseroan Terbatas
sebagai badan usaha;
Volume 9, No.1 Nop 2009
Volume 9, No.1, Nop 2009
ISSN 1412-2928
i
JURNAL “YUSTITIA”
Pimpinan Umum/Penanggung Jawab
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Madura
Pimpinan Redaksi
Muhammad, S.H.,MH.
Wakil Pimpinan Redaksi
Achmad Rifai, S.H., M.Hum.
M.Amin Rachman, S.H., MH.
Sekretaris Redaksi
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.
Konsultan Redaksi
Drs. H. Kutwa, M.Pd.
Drs. H. Abd. Roziq, MH.
H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.
Redaksi Pelaksana
H. Gatot Subroto, S.H.,M.Hum.
Ummi Supratiningsih, S.H.,M.Hum.
Win Yuliwardani, S.H.,M.Hum.
Adrianana Pakendek, S.H., MH.
Anni Puji Astutik, S.H., MH.
Pembantu Umum
Wasilaning Rahayu
Toyyib Muniri
Alamat Redaksi
Jl. Raya Panglegur Km.3,5 Telp. (0324) 322231, Fax. (0324) 327417 Pamekasan
E-mail: [email protected]
Yustitia diterbitkan satu kali dalam setahun, sebagai media komunikasi ilmu pengetahuan hukum dan
pembangunan. Untuk itu, redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah yang belum pernah diterbitkan dalam
media lain, dengan persyaratan seperti yang tercantum pada halaman sampul belakang.
ii
Volume 9, No.1, Nop 2009
EDITORIAL
Pada dasarnya suatu kontrak keabsahannya tidaklah terletak pada saat
penanda-tanganan kontrak itu sendiri. Melainkan, suatu kontrak adalah sah di samping
telah memenuhi syarat sahnya perjanjian juga tidak dibuat atas dasar dwang, dwaling,
dan bedrog. Demikian juga dengan pemberian kuasa yang dituangkan dalam suatu surat
kuasa harus dibuat atas dasar pemenuhan syarat sahnya perjanjian.
Ketika suatu sengketa timbul di bidang perdagangan, maka para pihak an sich
dapat menyelesaikan persengketaannya dengan cara memilih cara letigasi atau non
letigasi. Namun dalam praktik, yang lebih menguntungkan dari segi waktu, tenaga dan
biaya adalah pilihan lembaga arbitrase. Mengingat lembaga ini dalam menyelesaikan
sengketa yang diajukan kepadanya hanya diberikan waktu hari saja sebagaimana hal ini
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Pada tulisan ke empat, disajikan tentang penerapan Hak Tanggungan yang
dijadikan pilihan oleh debitor dan kreditor dalam perjanjian kredit. Hak Tanggungan
tiada lain hak kebendaan yang keberadaannya tidak jauh berbeda dengan hipotik yang
sebelumnya telah diberlakukan sebelum lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan.
Tulisan ke lima adalah tentang tindak pidana pencurian aliran listrik, di mana
bilamana kerugian yang timbul dalam pencurian aliran listrik itu diganti dengan uang,
maka pemberian ganti kerugian tersebut tidak mempengaruhi proses penyidikan atas
perkara dimaksud.
Sedangkan pada tulisan ke enam diuraikan tentang keberadaan Perseroan
Terbatas sebagai bentuk badan usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan subyek
hukum. Sehingga konsekuensinya akan melahirkan tanggungjawab perdata atas diri
badan hukulm tersebut, artinya terhadap kepentingan hukum yang timbul dalam
kaitannya dengan Perseroan Tersebut dimaksud menjadi tanggung jawab dari Perseroan
Terbatas itu sendiri artinya pada diri pengurus tidak terbebani tanggungjawab perdata.
Editor
Volume 9, No.1, Nop 2009
iii
DAFTAR ISI
EDITORIAL
……………………………………………………
1. Sukirman, S.H.,M.Hum.
Pembatasan Kebebasan Berkontrak
……………………………………
ii
1
2. H. Firman Sjah, S.H.M.Hum.
Wanprestasi Pemegang Kuasa Dalam Perjanjian Pemberian Kuasa ………. 17
3. Sri Sulastri, S.H., M.Hum.
Penyelesaian Sengketa Kontrak Joint Venture melalui Forum Arbitrase ..
37
4. H.Akh. Munif S.H., M.Hum.
Pelaksanaan Hak Tanggungan Berdasarkan Undang-Undang No. 4 /1996
49
5. Nur Hidayat, S.H.,M.Hum.
Sifat Delik Dalam Pencurian Aliran Listrik ………………………………
76
6. M.Amin Rachman, S.H.,MH.
Kepailitan Perusahaan dan Tanggungjawab Direksi menurut UundangUndang No.1/1995
……………………………………………………..…
101
iv
Volume 9, No.1, Nop 2009
PEMBATASAN KEBEBASAN BERKONTAK
Oleh:
Sukirman, S.H.,M.Hum.*
Abstrak
Kebebasan berkontrak selalu (harus) melandasi setiap
kontrak yang akan dibuat oleh para pihak, baik dalam forum
nasional dengan dasar pasal 1338 ayat 1 BW, maupun
dalam kontrak internasional yang mengacu pada azas
“pacta sunt servanda”. Kebebasan berkontrak dimaksud
memberikan hak kepada para pihak yang akan mengikatkan
dirinya dalam suatu kontrak untuk memilih bentuk kontrak
dan menentukan isi kontraknya. Kendati demikian,
hendaknya para pihak dalam membuat suatu kontrak atau
perjanjian tidaklah bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan ataupun ketertiban umum serta penyalah-gunaan
keadaan.
Kata kunci: Kebebasan Berkontrak – Pembatasan.
LATAR BELAKANG
Sistem hukum di Indonesia yang dipengaruhi Belanda adalah sistem hukum
Eropa atau disebut juga sistem hukum Eropa atau romawi Jerman. Sedangkan sumber
dari sistem hukum Eropa atau Romawi Jerman ini adalah hukum Romawi Kuno yang
dikembangkan di Eropa oleh negara-negara Prancis, Spayol, Portugis dan lain-lain.1
Berkembangnya sistem hukum Romawi Jerman adalah berkat usaha dari
Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau Code Napoleon dengan
bersumber dari hukum Romawi. Sistem hukum ini pertama kali berkembang dalam
hukum perdatanya atau private law atau civil law yaitu hukum yang mengatur hubungan
sesama anggota masyarakat. Oleh karena itu, sistem hukum Romawi Jerman ini lebih
terkenal dengan nama sistem hukum Civil Law. 2
Di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law dikenal azas kebebasan
berkontrak, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk Wetboek).
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan.
1
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.II, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1996, h.15
2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.209 1
Volume 9, No.1, Nop 2009
v
Azas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 ayat 1 tersebut menyimpulkan pengertian
bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka atau beginsel der contractsvrujheid,
hal itu dapat dibuktikan dari kata “semua” yang ada di depan kata “perjanjian”,
sehingga seolah-olah dalam membuat perjanjian kita diperbolehkan membuat perjanjian
apa saja dan itu akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang.
Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan “ketertiban dan
kesusilaan umum”.3
Kebebasan berkontrak yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW (Burgerlijk
Wetboek) adalah tercantum dalam buku III yang mengatur tentang perikatan
(verbintenissen). Buku III BW terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus.
Bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya,
misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan
sebagainya. Bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian
yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu,
misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian dab
sebagainya.
Buku III BW menganut azas kebebasan dalam hal membuat perjanjian,
sebagaimana telah diuraikan di atas. Namun penerapan azas kebebasan menjadi tidak
sinkron jika dirangkai dalam sebuah kalimat “kebebasan perjanjian” atau “kebebasan
perikatan” atau “kebebasan perhutangan”, karenanya dalam tulisan ini perlu terlebih
dahulu diklarifikasi pengertian “hukum perikatan”, “hukum perutangan”, “hukum
perjanjian” dan “hukum kontrak”.
“Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua atau lebih pihak,
dalam
mana pihak satu mempunyai kewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak
lain.”4 Dengan demikian hukum perikatan adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum antara dua atau lebih pihak dalam mana pihak satu mempunyai kewajiban
memenuhi sesuatu yang menjadi hak pihak lain.
Hukum perutangan adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan
hukum antara orang dengan orang (hak-hak perorangan), meskipun mungkin yang
menjadi obyek juga suatu benda. Namun oleh karena sifat hukum yang termuat dalam
buku III itu selalu berupa tuntut-menuntut, maka isi buku III itu juga dinamakan
“hukum perhutangan.”5
Hukum perjanjian adalah hukum yang mengatur suatu peristiwa, di mana
seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua
3
Subekti. R., Aneka Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. I), Cet.VII, Alumni, Bandung,
1985.h.5
4
Mashudi. H. dan Mohammad Chidir, Bab-bab Hukum Perikatan (Pengertian-pengertian
elementer), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1995, h.55
5
Subekti. R., Pokok Pokok Hukum Perdata (selanjutnya disebut Subekti.R.II), Cet.XX, Intermasa,
Jakarta, 1985, h.123.
vi Volume 9, No.1, Nop 2009
orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu
rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan
atau ditulis.6
Sedangkan Hukum kontrak didefinisikan sebagai “an agreement made
between two or more parties, whereby legal rights and obligations are created which
the law will enforce”. 7
Dengan demikian kontrak adalah merupakan persetujuan yang telah dibuat oleh dua
pihak atau lebih guna melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing.
Istilah kontrak dalam wacana hukum kontrak merupakan kesepadanan dari
istilah “contract” dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia
sebenarnya sudah lama ada, dan bukan merupakan istilah yang asing. Misalnya dalam
hukum kita sudah lama dikenal istilah “kebebasan berkontrak”, bukan “kebebasan
berperjanjian”, bukan pula “kebebasan berperutangan” ataupun “kebebasan
berperikatan”.
Sebelumnya hukum kontrak dikonotasikan sebagai perjanjian atau persetujuan
yang tertulis.8 Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang
perjanjian-perjanjian tertulis semata. Sehingga orang sering menanyakan “mana
kontraknya”, yang melahirkan suatu paham bahwa kontrak adalah perjanjian yang
bersifat tertulis.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum perikatan
disebut juga dengan hukum perutangan. Sedangkan hukum perjanjian adalah sama
dengan hukum persetujuan, adapun hukum kontrak adalah merupakan bagian dari
hukum perjanjian. Hal ini dikarenakan hukum kontrak adalah merupakan perjanjian
yang khusus dibuat secara tertulis.
Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjianperjanjian dalam dunia bisnis semata dengan kewajiban prestasi dilakukan oleh kedua
belah pihak. Sehingga untuk perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh salah satu pihak
tidak dapat disebut kontrak, misalnya hibah ataupun warisan, tidak dapat disebut
kontrak hibah atau kontrak warisan.
Hukum kita dalam hal ini BW, memberikan rumusan pengertian kontrak
adalah sama dengan perjanjian.9 Di mana pasal 1313 BW mendefinisikan bahwa
kontrak adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih.
6
Subekti. R., Hukum Perjanjian (selanjutnya disebut Subekti R. III), Cet.VI, Intermasa, Jakarta,
7
Clive Turner, Australian Commercial Law, XXth Ed., The Law Book Company Limited, Sydney,
1979, h.1.
1995, h.53.
8
Subekti, R.III, Op.Cit., h.1
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cet.I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, h.4.
Volume 9, No.1, Nop 2009
vii
9
Dengan demikian “contract” dalam kata benda adalah perjanjian, dan dalam
kata kerja adalah mengadakan perjanjian.10 Sebagaimana contract dalam Kamus Hukum
diterjemahkan sebagai verbintenis, adapun verbintenis itu sendiri adalah perjanjian yang
didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana seorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seseorang lain atau lebih.11
Dalam berkontrak dikenal azas kebebasan berkontrak sebagaimana tertuang
dalam pasal 1338 (1) BW, azas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh
mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undangundang. Karenanya azas kebebasan berkontrak ini dikenal juga dengan sebutan sistem
terbuka.12
Dengan dicantumkannya ajaran “misbruik van omstandigheden”
(penyalahgunaan keadaan) ke dalam Nieuw Burgerlijk Wetboek dapat disimpulkan
bahwa Hukum Perjanjian (verbintenissen recht) atau Hukum Kontrak telah mengalami
perkembangan yang sangat penting dan diramalkan akan mendapat tanggapan (respons)
yang baik di Indonesia. Praktek peradilan di Indonesia sebenarnya telah juga
menerapkan ajaran “misbruik van omstandigheden” ini, meskipun hal itu masih sangat
terbatas.
Berkaitan dengan perkembangan di bidang Hukum Kontrak itu, penulis akan
membatasi permasalahannya hanya menyangkut bentuk perjanjian kredit (hutang
piutang) yang berlaku di kalangan perbankan. Hal inipun ditujukan untuk membuktikan
secara tegas bahwa azas kebebasan berkontrak tidak hanya dibatasi oleh larangan agar
tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, melainkan setiap kontrak yang dibuat
juga agar tidak melanggar ajaran “misbruik van omstandigheden”.
Ciri-ciri suatu kehidupan masyarakat modern ditandai dengan adanya
kecenderungan mendapatkan pelayanan jasa yang bersifat praktis, efisiensi dan efektif.
Sejalan dengan cerminan kehidupan modern itu, pelaksanaan pelayanan kredit oleh
pihak bank telah dilengkapi berbagai bentuk perjanjian yang dapat disebut kontrak
baku.
Adapun kontrak baku isinya telah dicetak dalam bentuk formulir, dengan
tujuan agar pembuatan atau penutupan perjanjian kredit bank bisa dilaksanakan dengan
cepat dan efisien. Tujuan utama dengan penyediaan bentuk kontrak baku dalam
perjanjian kredit itu adalah untuk lebih memberikan jaminan kepastian bahwa pihak
debitur dapat mengembalikan pinjaman kredit sesuai dengan perjanjian yang mereka
buat dan telah disetujui.
Wojowasito. S., Kamus Umum Lengkap Inggeris – Indonesia Indonesia – Inggeris,Cet.X,
Pengarang, Bandung, 2000, h.71.
11
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Edisi Lengkap, Aneka, Semarang, 1977, h.284.
12
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Cet.I, Alumni, Bandung, 1982, h.84.
viii Volume 9, No.1, Nop 2009
10
RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah jika diartikan secara umum adalah sebagai pertanyaan yang
memerlukan pemecahan atau sebagai celah antara keadaan yang ingin dicapai dan
keadaan yang sebenarnya.
Atas dasar uraian singkat di atas, maka pembahasan dalam tulisan ini
mendasarkan pada permsalahan-permasalahan yang dapat saya rumuskan sebagai
berikut:
a. Apa makna kebebasan berkontrak?
b. Adakah pembatasan kebebasan berkontrak?
KEBEBASAN BERKONTRAK
a.
Kebebasan dalam Menentukan Bentuk Kontrak
Kebebasaan berkontrak merupakan perwujudan kehendak bebas dari pancaran
hak azasi manusia, sebagaimana ini telah ditegaskan dalam azas-azas dasar hak asasi
manusia yaitu bahwa setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi (vide pasal 3 (3) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia).
Keseimbangan para pihak dalam berkontrak merupakan konsep dasar yang
bersifat imperatif dari pemahaman prinsip equality before the law, hal ini harus selalu
menjadi acuan dalam tiap-tiap penerapan azas kebebasan berkontrak, sebagaimana
ditegaskan dalam pasal 1338 BW. Kebebasan berkontrak selalu melahirkan
konsekuensi, bahwa kontrak yang akan dibuat selalu berlandaskan
pada
dua
kepentingan yang tidak
sama
dan mengarah pada tujuan yang sama yaitu
pemenuhan prestasi. Acapkali dalam kebebasan berkontrak yang notabene dilandasari
semangat liberalisme yang mengagungkan individu, juga dipengaruhi semboyan dalam
revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”13 dengan akibat memberi peluang
kepada golongan ekonomi kuat untuk menekan dan mengalahkan golongan ekonomi
lemah.
Tujuan terpenting dari adanya azas kebebasan berkontrak adalah diberinya
kebebasan kepada para pihak untuk memilih dan menentukan sendiri bentuk kontrak
yang akan disepakati oleh kedua belah pihak. Para pihak dapat memilih dan
menentukan sendiri isi kontraknya, apakah cukup dituangkan dan disepakati secara lisan
20
Agus Yuda Hernoko, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standar (Pengembangan Konsep
Win-win Solution sebagai Alternatif Baru dalam Kontrak Bisnis), Puspa Ragam Informasi dan Problematika
Hukum, Karya Abdi Tama, Surabaya, 2000, h.99.
Volume 9, No.1, Nop 2009
ix
saja atau kesepakatan kontrak tersebut akan dituangkan secara tertulis dalam sebuah
akta.
Bilamana suatu kontrak dibuat dan dituangkan secara lisan, maka yang
terpenting agar kontrak tersebut menjadi sah secara hukum adalah para pihak harus
secara tepat menjadikan kontrak itu sesuai dengan syarat sahnya perjanjian yang telah
ditetunkan dalam pasal 1320 BW. Artinya para pihak telebih dahulu menyepakati isi
kontrak yang telah dibicarakan sebelumnya, kemudian para pihak dipandang perlu
adalah orang-orang atau badan (jika salah satunya badan usaha) yang cakap bertindak,
dan syarat yang ketiga adalah bahwa hal yang menjadi obyek kontrak “haruslah” hal
tertentu atau jelas serta “harus” pula kontrak itu dibuat karena atau ada causa yang
diperbolehkan.
Pada kata harus dalam tanda kutip di atas, mengandung arti bahwa kontrak
yang dibuat secara lisan itu akan menjadi sia-sia adanya, jika obyek kontrak tidak jelas
dan alasan atau sebab terjadinya kontrak jelas-jelas tidak diperbolehkan, baik oleh
undang-undang, kesusilaan ataupun ketertiban umum.
Sedangkan kata sepakat dari para pihak tidak ditekankan sebagai keharusan
untuk berkata secara tegas telah sepakat dan para pihak adalah cakap bertindak, hal ini
dikarenakan dua hal yang terakhir di mana disebutkan dalam pasal 1320 BW sebagai
syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua, yaitu sepakat dan cakap adalah
merupakan syarat-syarat subyektif sahnya perjanjian. Adapun tentang obyek kontrak
adalah diwajibkan harus jelas dan sebab kontrak yang harus diperbolehkan adalah
merupakan syarat-syarat obyektif sahnya perjanjian atau kontrak.
Kecuali itu, oleh karena kontrak tersebut pada akhirnya akan mengikat para
pihak dan para pihak harus tunduk, sebagaimana ia tunduk dan patuh pada hukum,
maka kontrak itu sendiri adalah merupakan hukum. Adapun hukum hanya dapat
mengatur perbuatan manusia bukan sikap batin, artinya hukum tidak dapat mengatur
terhadap kehendak untuk setuju namun belum dinyatakan secara lisan. Hal ini
bersesuaian dengan azas cogitationis poenam nemo patitut, yaitu bahwa tiada
seorangpun yang dapat dihukum hanya karena apa yang difikirkan atau dibatinnya.14
Apabila syarat subyektif sahnya perjanjian dalam suatu kontrak tidak
dipernuhi, maka kontrak tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar), dan apabila syarat
obyektif sahnya perjanjian tidak dipenuhi dalam suatu kontrak, maka kontrak tersebut
batal demi hukum (nietig).15
Kata sepakat adalah suatu syarat yang logis dalam suatu kontrak, karena dalam
kontrak setidak-tidaknya harus terdapat dua orang yang saling berhadapan dan
mempunyai kehendak untuk saling mengisi atau saling memberi. Kesepakatan sebagai
persesuaian kehendak saja antara dua orang belum menimbulkan suatu perikatan dalam
suatu kontrak, sebab hukum hanya mengatur kehendak manusia yang diwujudkan dalam
14
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum suatu Pengantar (selanjutnya disebut Sudikno
Mertokusumo I), Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1999, h.12
15
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan Dari
Undang-undang), Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 1994, h.65.
x Volume 9, No.1, Nop 2009
suatu tindakan. Kehendak tersebut harus saling bertemu dan untuk dapat saling bertemu
harus dinyatakan. Namun demikian, pertemuan dua kehendak saja belum cukup untuk
menimbulkan kontrak yang dilindungi oleh hukum. Perjanjian seperti itu tidak
mengandung unsur prestasi yang mempunyai nilai uang dan karenanya tidak
menimbulkan perikatan sebagaimana yang dimaksudkan buku III BW. Kendati
demikian, harus diakui bahwa BW sendiri mengakui adanya perjanjian yang tidak
mengandung prestasi yang bernilai uang, seperti perjanjian untuk melakukan sesuatu,
yang tidak mengadung unsur upah di dalamnya yaitu perjanjian penitipan barang tanpa
upah. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya ketentuan pasal 1696 BW.
Pada dasarnya kesepakatan dalam suatu kontrak tiada lain adalah penawaran
yang diakseptir oleh pihak lainnya dalam kontrak itu sendiri.16 Artinya, tidak ada suatu
kontrak, tanpa adanya penawaran yang dilakukan pihak yang satu dan diterima oleh
pihak yang lainnya. Dengan demikian penawaran dan akseptasi merupakan unsur pokok
yang menentukan lahirnya perjanjian.
Walaupun penawaran dan penerimaan para pihak dalam suatu kontrak adalah
merupakan unsur pokok, tetapi undang-undang tidak memberikan ketentuan sebagai
rujukan dalam menentukan tentang saat mengikatnya suatu penawaran yang diterima
oleh pihak lainnya dalam kontrak.
Sebagai gambaran untuk menentukan saat mengikatnya kontrak dapat
ditelusuri dari tindakan dalam menutup kontrak itu. Menutup suatu kontrak adalah suatu
tindakan hukum dan karenanya kehendak yang mendasar tindakan hukum tersebut harus
ditujukan kepada timbulnya suatu akibat hukum tertentu yang dikehendaki.
Sebagaimana disadari bahwa suatu kontrak pada azasnya tidak mungkin timbul tanpa
adanya kehendak dari para pihak. Tetapi apa yang sebenarnya dikehendaki oleh
seseorang tidak akan dapat diketahui demikian saja oleh pihak lainnya tanpa dinyatakan
bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum dalam kontrak tersebut.
Dengan demikian hubungan hukum dalam suatu kontrak apabila ditelusuri
lebih jauh, maka hubungan hukum itu harus terjadi antara dua orang atau lebih. Pihak
yang berhak atas prestasi, pihak yang aktif adalah kreditur atau yang berpiutang dan
pihak yang wajib memenuhi prestasi, pihak yang pasif adalah debitur atau si berhutang
adalah merupakan para pihak yang disebut dengan subyek kontrak.
Debitur dalam suatu kontrak harus jelas diketahui dan dikenal baik oleh
kreditur, sebab seorang debitur yang tidak dikenal baik, jika terjadi wanprestasi akan
sulit pelaksanaan pemenuhan prestasinya. 17 Dalam suatu kontrak pihak kreditur dan
debitur dapat disubstitusi, dengan syarat proses substitusinya sama-sama diketahui oleh
pihak debitur atau kreditur. Hal ini dimaksudkan guna mengantisipasi penyimpangan
terjadinya pemenuhan prestasi dari debitur.
16
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian buku I, Cet.II, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, h.165.
17
Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya,
Cet.I, Alumni, Bandung, 1996, h.3
Volume 9, No.1, Nop 2009
xi
Demikian halnya, jika suatu kontrak dituangkan secara tertulis atau dalam
sebuah akta, maka segala syarat yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW menjadi
tetap berlaku. Sementara itu, akta yang biasa digunakan dalam dunia kontrak adalah
bisa dengan akta otentik dapat pula kontrak itu dituangkan dalam sebuah akta di bawah
tangan.
b. Kebebasan dalam Menentukan Isi Kontrak
Pada Prinsipnya, para pihak dalam membuat suatu kontrak bebas mengatur
sendiri kontrak tersebut sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of contract),
sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 1338 ayat 1 BW. Pasal 1338 BW ayat 1
tersebut menentukan bahwa semua kontrak yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
Banyak jenis kontrak yang masing-masing bagian-bagiannya mengandung
unsur kontrak bernama yang berbeda-beda. Sedangkan mengenai bagian-bagian dari
kontrak tersebut dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Bagian dari kontrak yang esensial
Bagian dari kontrak yang esensial ini merupakan bagian utama dari kontrak
tersebut, di mana tanpa bagian tersebut, suatu kontrak dianggap tidak pernah
ada. Misalnya bagian “harga” dalam suatu kontrak jual beli.
Bagian dari kontrak yang natural
Yang disebut bagian dari kontrak yang natural adalah bagian dari kontrak
yang telah diatur oleh aturan hukum, tetapi aturan hukum tersebut hanya
aturan yang bersifat mengatur saja.
Bagian dari kontrak yang aksidental
Bagian dari kontrak yang aksidental ini adalah bagian dari kontrak yang sama
sekali tidak diatur oleh aturan hukum, tetapi terserah dari para pihak untuk
mengaturnya sesuai dengan azas kebebasan berkontrak (freedom of
contract).18
Sebagaimana dikemukakan di atas, pada dasarnya kontrak tersebut berbeda
tentang isi yang akan dituangkan di dalamnya. Isi kontrak dapat saja memuat tentang
perjanjian bernama, sebagaimana yang diatur secara jelas dalam BW pada buku III, bab
V sampai dengan bab XVIII. Namun khusus untuk bab X tentang hibah, kalangan
xii
18
Munir Fuady, Op.Cit., 28.
Volume 9, No.1, Nop 2009
sarjana hukum tidak menjadikannya sebagai bagian dari kontrak, karena prestasi yang
terjadi antara kreditor dan debitor hanya berlangsung sepihak yaitu dari kreditor saja.19
Mereka yang akan membuat kontrak juga bebas menentukan isi dari kontrak
yang akan disepakatinya, tidak hanya isi kontrak tersebut perjanjian bernama saja
sebagaimana diatur secara eksplisit dalam BW. Melainkan para pihak dapat membentuk
isi kontrak dengan materi perjanjian tidak bernama, yang selama ini lahir dan
terpraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dan tidak diatur dalam suatu undang-undang
yang secara khusus mengaturnya, misalnya leasing. Atau juga para pihak dalam suatu
kontrak dapat membuat isi kontrak yang termasuk dalam perjanjian campuran, misalnya
kontrak sewa beli.
Dengan demikian yang dimaksud dengan azas kebebasan berkontrak dalam hal
bebas berdasarkan kesepakatan para pihak, adalah kontrak dapat dibuat dengan isi
tentang perjanjian bernama, tentang perjanjian tidak bernama, dan tentang perjanjian
campuran. Artinya, sepanjang para pihak menyetujui suatu kontrak atau perjanjian yang
diatur dalam buku III BW notabene bersifat mengatur (aanvullen recht) atau sebagai
pelengkap, maka para pihak cukup tunduk pada segala hal yang telah disepakatinya
dalam suatu kontrak dan bilamana dalam kontrak tersebut ternyata terdapat suatu hal
yang tidak diatur, maka berlakulah ketentuan buku III BW.
2. Pembatasan Kebebasan Berkontrak
Selain hal-hal yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka yang tidak
kalah pentingnya untuk diperhatikan dalam suatu pembuatan kontrak adalah bahasa
dalam kontrak.20 Hal ini dikarenakan tanpa kesatuan pengertian dan penafsiran yang
sama dalam satu kalimat pada suatu kontrak tidak mungkin melahirkan kesepakatan
yang bersumber pada kebebasan berkontrak.
Sebagaimana diketahui bahwa bahasa yang kita gunakan sehari-hari penuh
dinamika (dinamis), artinya bahasa yang kita gunakan selalu berkembang dari waktu ke
waktu, baik menyangkut kosa kata, idiom, termasuk istilah asing yang diadopsi ke
dalam bahsa Indonesia. Oleh karenanya, para perancang kontrak (legal drafter) juga
harus memiliki pengetahuan yang luas terutama bagaimana mengatasi masalah di
bidang bahasa ini, dengan mengikuti perkembangan bahasa, terutama “bahasa hukum”
yang dipergunakan dalam suatu kontrak.
Seorang legal drafter atau pembuat kontrak sama sekali tidak boleh
menganggap remeh soal bahasa dalam kontrak. Sangat banyak sengketa yang terjadi
19
Yohanes Sogar Simamora, Catatan Kuliah Hukum Kontrak (selanjutnya disingkat Yohanes
Sogar Simamora II), Program Pascasarjana Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Narotama,
Surabaya, 2001. tgl. 02 Juni 2001.
20
Hasanuddin Rahman, Seri Keteerampilan Mahasiswa Fakultas Hukum dalam Merancang
Kontrak Perorangan/Bisnis Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h.133
Volume 9, No.1, Nop 2009
xiii
yang timbul sebagai akibat kondisi isi kontrak, karena bahasa atau istilahnya
diinterpretasikan secara berbeda oleh para pihak. Dalam kasus demikian, biasanya para
pihak menginterpretasikan secara sendiri-sendiri sehingga melahirkan pengertian
terhadap kosa kata atau istilah hukum tidak dapat diakomodir dari isi kontrak itu.
Lebih parah lagi, jika suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang melakukan
kesepakatan itu sendiri. Kendati kontrak tersebut dibuat oleh legal drafter perusahaan,
maka hampir dapat dipastikan ia membuatnya dalam bahasa perusahaan yaitu
menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh pihaknya atau bahkan memang secara
sengaja hanya mengakomodir kepentingan-kepentingan perusahaan tempat ia bekerja.
Dalam kontrak demikian, tidak jarang ditemukan kata-kata atau istilah yang
dipergunakan secara sengaja untuk menjebak pihak yang akan menjadi client dalam
kontrak yang akan dibuatnya. Sementara, seorang legal drafter atau perancang kontrak
haruslah adil dan
independent, agar kontrak yang dihasilkan benar-benar
mencerminkan azas kebebasan berkontrak yang dikehendaki hukum.
Kontrak yang dibuat oleh legal drafter dengan bahasa yang hanya
mengakomodir kepentingan sepihak, biasanya banyak terjadi dalam kontrak atau
perjanjian baku, yang oleh Pitlo dinamakan dengan perjanjian adhesi.21
Di dalam perpustakaan dikatakan bahwa latar belakang tumbuhnya perjanjian baku ini
adalah karena tuntutan keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar semi pemerintah
atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi
dan untuk kepentingannya menciptakan syarat-syarat tertentu, secara sepihak untuk
diajukan kepada partner kontraknya. Pihak partner kontrak yang pada umumnya
mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik karena posisinya maupun karena
ketidaktahuannya lalu hanya menerima apa yang disodorkan itu. Perjanjian ini jelas
mengandung kelemahan karena syarat-syarat yang ditentukan secara sepihak dan pihak
lainnya terpaksa menerima keadaan itu, karena posisinya yang lemah. Kelemahan
perjanjian baku ini juga disinyalir oleh beberapa ahli.
Pitlo mengemukakan perjanjian baku ini adalah suatu dwangkontract, karena
kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh pasal 1338 BW sudah dilanggar. Pihak yang
lemah terpaksa menerima hal ini sebab mereka tidak mampu berbuat lain.Terhadap
perbuatan, di mana kreditur secara sepihak menentukan isi perjanjian baku akan
melahirkan legio particuliere wetgevers.22
Subekti mengemukakan bahwa azas konsesualisme terdapat di dalam pasal
1320 yunkto pasal 1338 BW. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan
perjanjian itu tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang.23
Hal-hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian baku bertentangan, baik dengan
azas-azas hukum perjanjian (pasal 1338 yunkto pasal 1320 BW) maupun kesusilaan.
Akan tetapi dalam praktek, perjanjian ini tumbuh karena keadaan menghendaki dan
harus diterima sebagai kenyataan.
21
Ibid., h.134
Ibid, h.135.
Subekti R.III, Op.cit., h.14-15.
Volume 9, No.1, Nop 2009
22
23
xiv
Kontrak baku biasanya merupakan perjanjian baku di mana kontrak-kontrak itu
telah dipersiapkan secara baku dan dicetak dalam jumlah yang banyak dengan blanko
untuk beberapa bagian yang menjadi obyek transaksi, seperti besarnya nilai transaksi,
junis dan jumlah barang yang ditransaksikan dan sebagainya. Sehingga, dengan kontrak
baku ini, lembaga pembiayaan yang mengeluarkannya tidak membuka kesempatan
kepada pihak lain untuk melakukan negosiasi mengenai apa yang akan disepakati untuk
dituangkan dalam kontrak.
Perjanjian kredit adalah salah satu bentuk kontrak baku, sebab perjanjian kredit
telah diformat secara baku dan biasanya pihak bank tinggal mengisi data pribadi dan
data tentang loan yang diambil. Sedang terms dan condition-nya telah dicetak secara
baku.24
Kendati dalam membuat kontrak para pihak dapat bebas mengaturnya
sebagaimana yang dibolehkan dalam pasal 1338 ayat 1 BW sebagai azas kebebasan
berkontrak, tetapi hendaknya kontrak itu harus dibuat secara sah agar dapat mengikat
para pihak dalam kontrak itu. Adapun kontrak yang sah harus memenuhi syarat sahnya
menurut pasal 1320 BW.
Masalahnya adalah apakah azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
dapat diterapkan dalam hubungan hukum antara bank dengan nasabahnya? Apabila
dikaji secara mendalam hakikat dari azas kebebasan berkontrak dan azas kesepakatan
tersebut dapat dikatakan ada, bilamana posisi tawar menawar (bargaining position) para
pihak adalah setara dalam arti para pihak dapat saling mengemukakan apa yang
dikehendaki masing-masing.25
Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan
perjanjian baku seperti ini, antara lain berkenaan dengan legalitas perjanjian baku dan
berkenaan dengan klausul yang memberatkan. Hal ini dapat kita buktikan dari proses
aplikasi kredit yang diajukan oleh nasabah terhadap suatu bank.
Setiap proses aplikasi kredit nasabah harus melalui permohonan guna
memperoleh persetujuan permohonan kredit. Adapun persetujuan permohonan kredit
adalah keputusan bank untuk mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan kredit
dari calon debitur.26
Surat keputusan bank dalam mengabulkan permohonan kredit calon debitur
dituangkan dalam surat penegasan persetujuan permohonan kredit, dengan
mencantumkan syarat-syarat antara lain:
a. Maksimum/limit fasilitas kredit.
b. Jangka waktu berlakunya fasilitas kredit.
c. Bentuk pinjaman.
d. Tujuan penggunaan kredit secara jelas.
24
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer (selanjutnya disebut Munir Fuady II), Cet.I,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, h.41
25
Sentosa Sembiring, Hukum Perbankan, Cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2000, h.62.
26
Thomas Suyatno dkk., Dasar-dasar Perkreditan, Ed.IV, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1999,
h.80.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xv
e. Suku bunga.
f. Bea meterai kredit yang harus dibayar.
g. Provisi kredit commitment fee management fee.
h. Keharusan menandatangani surat perjanjian kredit, yaitu keharusan
menandatangani surat aksep khusus bagi kredit yang mendapat bantuan
likuiditas dari Bank Indonesia. Surat aksep tersebut harus diperbaharui setiap
jatuh waktu sesuai masa laku kredit likuiditas Bank Indonesia yang
bersangkutan, perincian barang-barang jaminan, serta surat pemilikan dan
cara pengikatannya.
i. Penutupan asuransi barang-barang jaminan.
j. Sanksi-sanksi seperti:
denda terlambat pembayaran bunga
denda terlambatnya pembayaran angsuran, atau terlambatnya pelunasan
denda atas overdraft
sanksi untuk penyimpangan dari syarat-syarat lainnya dalam perjanjian
kredit.
k. Ketentuan-ketentuan lain yang ditentukan sesuai keperluan (jaminan
pribadi/borgtocht dan lain-lain).
l. Syarat-syarat untuk pengajuan permohonan perpanjangan dan tambahan
fasilitas kredit.
m. Laporan-laporan yang harus diserahkan.27
Dengan menyimak persyaratan persetujuan permohonan kredit di atas, sangat
jelas sekali bahwa kontrak demikian hampir seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan setidaknya telah ditentukan. Sementara pihak calon debitur tidak mempunyai
peluang untuk melakukan tawar atau merundingkan isi kontrak kredit itu, sehingga
tercipta kesepakatan para pihak dengan tanpa salah satu pihak khususnya debitur merasa
terjepit atau kepepet.
Dengan model pelaksanaan kontrak yang demikian, dapat dipastikan akan
banyak menimbulkan masalah berkenaan dengan sah tidaknya kontrak yang akan
dilaksanakan, kendati para pihak telah menandatangani kontrak yang telah dibuatnya.
Hal ini dikarenakan setiap kontrak yang telah disetujui oleh para pihak, yang
dijewantahkan dalam wujud penandatanganan kontrak, tidaklah pasti sah. Dengan dasar
pertimbangan, bahwa kontrak baru dapat dikatakan sah disamping harus memberikan
kebebasan para pihak dalam berkontrak, juga hendaknya kontrak itu dibuat menurut
syarat sahnya yang telah ditentukan dalam pasal 1320 BW.
Kontrak baku atau standard contract, dalam hal ini adalah perjanjian kredit
segala hal yang berkaitan dengan perjanjian kredit itu telah diatur terlebih dahulu
sedemikian rupa, sebelum kredit mengajukan aplikasi kredit. Bahkan jauh sebelum
debitur ada niat mengajukan aplikasi kredit bank. Di mana perjanjian demikian menurut
xvi
27
Ibid.
Volume 9, No.1, Nop 2009
pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen dapat
dibatalkan.
Dalam suatu kontrak baku, acapkali terdapat klausula-klausula yang
memberatkan sesuatu pihak, yaitu memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan
kontrak baku tersebut dengan tanpa bargaining position. Dalam kontrak baku tersebut
telah tertera segala persyaratan-persyaratan yang harus ditentukan oleh kreditur dan
harus diikuti oleh debitur. Kontrak baku ini hanya melahirkan dua pilihan bagi debitur
yaitu setuju dan tidak, tanpa ada kesempatan bagi debitur untuk melakukan tawar
menawar.
Bentuk kontrak baku di atas tiada lain merupakan kontrak yang mengandung
penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) yang dapat dimintakan
pembatalannya. Suatu kontrak standar dapat mengandung misbruik van omstandigheden
bilamana dalam kontrak tersebut terdapat:
a. keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti: keadaan
darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak
berpengalaman;
b. suatu hal yang nyata (kenbaarheid)
disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui
bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup
suatu perjanjian;
c. penyalahgunaan (misbruik)
salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun di mengetahui
atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya;
d. hubungan kausal (causaal verband)
Adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu, maka perjanjian
itu tidak akan ditutup.28
Suatu kontrak yang mengandung misbruik van omstandigheden, bukanlah
kontrak yang mengandung cacat kehendak klasik sebagaimana yang dimaksudkan
dalam pasal 1321 BW yang berupa:
kesesatan (dwaling);
paksaan (dwang);
penipuan (bedrog).
Misbruik van Omstandigheden atau penyalahgunaan keadaan dalam suatu
kontrak selalu berhubungan dengan terjadinya kontrak itu sendiri.
Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada
terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi kontrak atau
maksudnya menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang
disalahgunakan menjadi tidak bebas. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Van
Dunné.29
28
Henry P.Panggabean, Op.Cit., h.41
Ibid., h.43
Volume 9, No.1, Nop 2009
29
xvii
Ajaran penyalahgunaan keadaan dibedakan dalam dua hal, yaitu (a)
penyalahgunaan keunggulan ekonomi, (b) penyalahgunaan keunggulan kejiwaan.
Adapun terdapatnya unsur penyalahgunaan keadaan dalam suatu kontrak, terdiri dari:
(a) adanya kerugian yang diderita satu pihak, dan (b) adanya penyalahgunaan
kesempatakan oleh para pihak pada saat terjadinya perjanjian.30
Syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat dikatakan mengandung
penyalahgunaan keunggulan ekonomi, yaitu bahwa suatu pihak harus mempunyai
keunggulan ekonomi terhadap pihak yang lain, dan pihak lain terpaksa mengakan
perjanjian.
Adapun suatu kontrak dapat dikualifikasikan sebagai mengandung
penyalahgunaan kejiwaan bilamana salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan
relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri,
dokter pasien, dan lain sebagainya. Sedangkan kontrak yang mengandung
penyalahgunaan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, misalnya adanya
gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang
tidak baik.31
Terhadap penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian yang tertuang pada suatu
kontrak baku, baik penyalahgunaan keunggulan ekonomis ataupun penyalahgunaan
keunggulan kejiwaan menurut Van Dunné diimplikasikan dalam bentuk:
a. berlakunya itikad baik secara terbatas;
b. penjelasan normatif dari perbuatan hukum;
c. pembatasan berlakunya persyaratan baku;
d. penyalahgunaan hak.32
Berlakunya itikad baik secara terbatas adalah sejalan dengan penerapan pasal
1338 ayat 1 BW tentang azas kebebasan berkontrak, maka seharusnya para pihak wajib
memperhatikan dan memperhitungkan kepentingan pihak patner kontrak untuk tidak
menerapkan itikad baik guna melaksanakan kontrak dengan merugikan pihak ke tiga.
Sebagai contoh dalam kontrak jual beli barang berupa tanah, dimana sebenarnya
pembeli sudah tahu bahwa tanah yang ditawarkan padanya adalah merupakan tanah
jaminan hutang, namun dalam kontraknya dikemas sedemikian rupa menjadi kontrak
jual beli, sehingga penjual berkedudukan sebagai pemilik atas tanah itu dan bukan
sebagai obyek jaminan hutang. Kedudukan penjual yang sepertinya adalah pemilik
tanah, tidak dapat disalahgunakan oleh pembeli dengan dasar itikad baik guna membeli
tanah itu.
Penjelasan normatif dari perbuatan hukum yang dituangkan dalam suatu
kontrak hendaknya disusun secara teliti, sehingga hak dan kewajiban para pihak
menjadi jelas bilamana para pihak menghendaki untuk bersama-sama melaksanakan isi
kontrak itu.
30
Ibid., h.44
Ibid.
ibid., h.64-67.
xviiiVolume 9, No.1, Nop 2009
31
32
Pernjelasan normatif tiada lain adalah penjelasan resmi atau recital yaitu
merupakan latar belakang atas sesuatu keadaan dalam suatu kontrak yang dibuat.33
Dengan merujuk pada recital ini, bilamana terdapat isi kontrak yang kurang jelas dapat
dilakukan penafsiran dengan cara merujuk pada recital tersebut.
Adapun hubungan antara recital dengan penyalahgunaan keadaan, bilamana
dalam suatu kontrak telah ditentukan secara tegas bahwa kerugian akibat pelaksanaan
kontrak tidak termasuk dalam kontrak tersebut. Hal ini perlu dilakukan penjelasan
normatif atau recital, dengan cara menafsirkan dari kandungan recital kontrak
dimaksud, yaitu bahwa cara penafsiran kontrak yang tertuang dalam recital tidak selalu
dapat diterapkan, sebab kerugian pada penyalahgunaan keadaan tidak selalu harus
merupakan kerugian dalam arti obyektif.
Dengan merujuk pada uraian di atas, maka seharusnya hakim tidak berkuasa
untuk mencampuri suatu kontrak, baik dalam menilai atau membatalkan suatu kontrak.
Hal ini dikarenakan kontrak tersebut telah dibuat secara bebas oleh para pihak, dan
bilamana terdapat salah satu pihak yang merasa dirugikan atas adanya kontrak itu, ia
dapat membuat kesepakatan dengan para pihak dalam kontrak itu untuk membatalkan.
Bilamana cara ini tidak diporoleh, maka salah satu pihak dapat mengajukan pembatalan
sebagai perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik atas dasar
dwang, dwaling, bedrog ataupun karena adanya misbruik van omstandigheden. Artinya
hakim atas inisiatif sendiri secara ex officio tidak dibenarkan untuk membatalkan
perjanjian.
KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan atas kedua permasalahan yang dirumuskan dalam bab
I tersebut, maka dapatlah kini disimpulkan:
a. Azas kebebasan berkontrak mengandung makna, bahwa para pihak diberikan
kebebasan untuk menentukan bentuk kontrak yang akan dibuat, baik secara
lisan ataupun dalam bentuk sebuah akta (tertulis). Sedangkan jika dibuat secara
tertulis atau sebuah akta, mereka dapat memilih secara bebas untuk
menuangkan isinya dalam akta otentik atau di bawah tangan;
Di samping itu, para pihak juga diberikan kebebasan untuk menentukan isi dari
kontrak yang akan dibuat, apakah akan berisi perjanjian bernama, perjanjian
tidak bernama atau perjanjian campuran;
Segala kebebasan dalam berkontrak tersebut yang notabene didasarkan pada
azas kebebasan berkontrak, ternyata tidak demikian saja diberikan kebebasan
yang sebebas-bebasnya. Artinya para pihak agar dalam membuat perjanjian
atau kontrak tersebut harus selalu mengindahkan dan tidak bertentangan serta
33
Hardijan Rusli, Op.Cit., h.170
Volume 9, No.1, Nop 2009
xix
b.
tidak melanggar perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum, juga
tidak dibenarkan kontrak itu mengandung unsur penyalahgunaan keadaan;
Kontrak baku tiada lain adalah merupakan perjanjian adhesi, jika isi kontrak
telah ditentukan secara sepihak oleh kreditur, dengan tanpa diberikan
hak tawar kepada debitur, karenanya kontrak demikian lebih merupakan
dwang contract. Adapun dasar pertimbangan yang dapat dijadikan rujukan
sehingga memperoleh kesimpulan bahwa kontrak baku adalah dwang contract,
dikarenakan pihak debitur hanya mempunyai dua pilihan atas kontrak tersebut
yaitu menerima atau menolak. Sementara debitur sangat membutuhkan
keberhasilan/disetujuinya kontrak itu oleh kreditur, karenanya kontrak baku
tersebut telah mengandung unsur penyalahgunaan keadaan secara ekonomi,
yang secara yuridis dapat dimintakan pembatalan atas keabsahan dari kontrak
tersebut. Dengan dasar pertimbangan pada kontrak demikian telah
mengandung cacat kehendak.
SARAN
a.
b.
xx
Oleh karena setiap kontrak tidak selalu dapat terbebas dari kemungkinan terjadinya
wanprestasi atau salah satu pihak, maka adalah sangat bijaksana jika penempelan
meterai serta keikut-sertaan saksi-saksi dijadikan sebagai syarat tambahan dalam
tiap-tiap pembuatan suatu kontrak di bawah tangan. Hal ini didasarkan pada fakta,
bahwa kendati suatu kontrak telah sah jika telah memenuhi syarat sahnya perjanjian
dalam pasal 1320 BW, namun jika suatu kontrak telah diperkarakan keberadaannya
sebagai tidak sah, maka siapa dan apa yang dapat dilakuan untuk menguatkan dan
membenarkan kontrak tersebut.
Secara ekstrim dapat disarankan, oleh karena civil law system membedakan
kekuatan hukum atas kontrak yang dituangkan secara otentik dan di bawah tangan,
maka ada baiknya jika kontrak itu selalu dituangkan dalam bentuk akta otentik. Hal
ini merupakan ciri khas dari civil law system dari common law system.
Sudah saatnya dibuatkan ketentuan yang dapat mengikat secara imperatif terhadap
kontrak baku yang dibuat dengan bertentangan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum serta mengandung penyalahgunaan keadaan, guna dibatasi agar
tidak lagi kreditur dapat secara sewenang-wenang membuat dan menentukan isi
kontrak dengan tanpa persetujuan debitur, misalnya melalui surat-surat edaran yang
dikeluarkan langsung oleh Menteri Keuangan.
Volume 9, No.1, Nop 2009
WANPRESTASI PEMEGANG KUASA
DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA
Oleh:
H. Firman Sjah, S.H.M.Hum.*
ABSTRAK
Perjanjian Pemberian Kuasa tiada lain adalah merupakan
perjanjian pada umumnya, namun dalam penerapan pemberian
kuasa hanya didasari oleh surat kuasa yang ditanda-tangani oleh
pihak pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa. Bentuk perbuatan
hukum demikian seolah tidak mengatur tentang hak dan kewajiban
diantara keduanya. Untuk itu dalam tulisan ini akan diperjelas
tentang sejauh mana tanggung gugat para pihak dalam perjanjian
pemberian kuasan.
Kata Kunci: Perjanjian Pemberian Kuasa – Wanprestasi
Pemegang Kuasa.
LATAR BELAKANG
Dalam hubungan ini para ahli sosiologi yang menaruh minat dan perhatian
pada bidang hukum mengatakan bahwa hukum itu tidak hanya dilihat sebagai
seperangkat peraturan yang bersifat statis, tetapi hukum yang menentukan hubunganhubungan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat dapat dilihat juga sebagai suatu
proses sosial, karena sebelum hubungan-hubungan itu mempunyai bentuk yang sesuai
dengan nilai sosial didalam masyarakat.34
Adanya anggota-anggota masyarakat yang saling bertemu dalam rangka
mengadakan hubungan yang secara timbal balik dalam berbagai segi kehidupan
masyarakat, maka hubungan ini melahirkan suatu kerjasama yang terjalin sesama
anggota masyarakat, dan ini merupakan suatu hal yang sukar untuk dikesampingkan
dalam kehidupan, karena masalah kerjasama ini amat diperlukan bilamana seseorang
tidak mampu melaksanakan suatu perbuatan hukum sebagaimana yang dikehendaki
aturan hukum, misalnya pelaksanaan perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang lain
dengan pemberian kuasa.
Pemberian kuasa menurut pasal 1792 KUHPerdata, disebutkan bahwa
pemberian kuasa adalah perjanjian dimana seseorang memberi kekuasaan (kewenangan)
kepada orang lain yang menerimanya untuk dan atas nama pemberi kuasa melakukan
*Penulis adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan.
34
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. XXX, Raja Granfindo Persada, Jakarta,
2000, hal. 191.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxi
perbuatan hukum (undang-undang mengatakan “melaksanakan suatu urusan”).35
Dengan adanya rumusan pasal tersebut tersimpul bahwa untuk melaksanakan suatu
perbuatan tersebut, pada dasarnya terdapat dua pihak yang saling berhadapan yakni
pihak pemberi kuasa sebagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan pihak yang
diberi kuasa atau pemegang kuasa yang berkedudukan sebagai wakil yang
menyelenggarakan kepentingan itu. Pihak yang diberi kuasa ini mempunyai peranan
dan memiliki kekuasaan dalam menyelenggarakan urusan yang dilimpahkan
kepadanya.36
Peranan pemegang kuasa yang dimaksud adalah menjalankan tugasnya dengan
kewajiban mengurus kepentingan sebagaimana yang dilimpahkan, sedangkan kekuasaan
merupakan pelimpahan wewenang yang didalamnya menyangkut tanggungjawab
terhadap pemberian kuasa itu.
Dengan demikian tanggung jawab pemegang kuasa menjadi suatu masalah
yang harus benar-benar diperhatikan didalam pemberian kuasa, karena masalah
tanggung jawab ini sebagai konsekuensi dari penerimaan kekuasaan untuk
menyelenggarakan suatu urusan pihak pemberi kuasa, tetapi agaknya tanggung jawab
sering diabaikan dalam penyelenggaraan suatu urusan bahkan jarang dibicarakan oleh
pemberi kuasa dan pemegang kuasa dalam menentukan sejauh mana batas-batas
pertanggungjawaban, bilamana terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan pihak
pemegang kuasa tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai wakil dari pemberi kuasa
itu.
Persoalan yang berkisar pada batas-batas pertanggungjawaban didalam
penyelenggaraan suatu kepentingan atas nama pemberi kuasa disertai hak substitusinya,
maksudnya dari hak substitusi adalah si pemegang kuasa yang diberikan wewenang itu
dapat menunjukkan orang lain untuk melakukan tugasnya, hak substitusi ini didalam
KUH Perdata membenarkan adanya si pemegang kuasa boleh menunjuk pihak lain
untuk menggantikan kedudukannya sebagai kuasa, tetapi si pemegang kuasa
bertanggung jawab atas segala kesalahan yang dilakukan oleh orang lain yang ditunjuk
itu. Penunjukan orang lain atau pihak lain membuktikan bahwa masalah pertanggung
jawaban didalam pemberian kuasa cukup penting untuk diperhatikan khusus dalam
pemberian kuasa bagi pihak yang diberi kuasa atau si pemegang kuasa, sebab
kesalahan-kesalahan yang timbul akibat kelalaian baik oleh si pemegang kuasa sendiri
maupun orang yang ditunjuk, tetap dipersoalkan tanggung jawab menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan walaupun dalam pemberian kuasa tidak disebutkan
mengenai perihal boleh atau tidaknya menunjuk orang lain.
Dalam praktek misalnya pemegang kuasa khusus maupun umum jika
bertindak melampaui batas-batas kewenangannya, maka konsekuensinya bagi pihak
Pemberi kuasa dapat mengajukan tuntutan untuk menggugat ganti kerugian maupun
35
Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Cet. II, Tarsito, Bandung 1991, hal.
99.
36
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Cet. VII,
Sumur Bandung, Jakarta, 1981, h. 152.
xxiiVolume 9, No.1, Nop 2009
pembatalan persetujuan perjanjian di dalam pemberian kuasa itu, dalam hal ini agaknya
masalah pertanggungjawaban pihak pemegang kuasa ini telah menjadi bagian penting
untuk ditelusuri lebih jauh baik penelitiannya dilakukan secara teoritis maupun melalui
studi empiris di lapangan, sehingga refleksi suatu peraturan perundang-undangan yang
berlaku di dalam masyarakat dapat diketahui dengan jelas efektifitasnya.
Dalam pasal 1797 KUHPerdata dirumuskan bahwa si kuasa tidak
diperbolehkan melakukan sesuatu apapun yang melampaui kekuasaannya yaitu yang
diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan perdamaian, sekali-kali tidak
mengandung kekuasaan untuk menyerahkan perkaranya kepada putusan wasit.37
RUMUSAN MASALAH
Penulis memilih judul tersebut diatas dikarenakan akhir-akhir ini banyak
terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari yaitu seringnya dijumpai adanya
perjanjian pemberian kuasa. Urusan pemberian kuasa sebagaimana tertuang dalam
perjanjian pemberian kuasa dari orang yang satu pada orang yang lainnya.
Jika ditelaah lebih jauh terhadap kewajiban pemegang kuasa, sebenarnya pihak
pemegang kuasa mengimformasikan tentang apa-apa yang telah diperbuat selama
menjalankan kuasanya, pemegang kuasa dengan lengkap menyampaikan semua
perbuatan-perbuatan yang sudah sejauh mana dicapainya, sehingga laporan ini setidaktidaknya memberi gambaran awal dari pelimpahan wewenang kepada pemegang kuasa,
oleh karena bentuk laporan ini boleh disebut laporan yang hanya berisi pokok-pokok
masalah yang telah dicapainya. Adapun kewajiban lain bagi seorang pemegang kuasa
adalah memberikan laporan bahwa pemegang kuasa telah menjalankan kekuasaannya
sebagaimana yang dikehendakinya, dan sebagaimana suatu bukti yang menandakan
pemegang kuasa telah memenuhi kewajiban yang ada pada dirinya, tetapi semua ini
terlepas dari apakah laporan itu benar-benar merupakan laporan sebagai yang bertindak
dalam kedudukannya mewakili pihak lain atau laporan itu hanya laporan bersifat fiktif,
artinya laporan yang diberikan tidak berdasarkan keadaan sesungguhnya yang dihadapi.
Kewajiban lain dari pemegang kuasa juga menyangkut tanggung jawabnya
terhadap penunjukan pihak lain sebagai pengganti dirinya, ini lazimnya dikenal sebagai
hak substitusi yaitu si pemegang kuasa diperkenankan untuk menunjuk orang lain untuk
melakukan kuasanya, dan kalau orang yang ditunjuk itu ternyata tidak mampu
melaksanakan kuasa yang disubstitusikan itu maka dengan sendirinya ia harus
bertanggung jawab penuh atas kesalahannya itu. Akibat dari hak Substitusi ini adalah
bahwa antara si kuasa dan orang yang ditunjuk itu ada persetujuan pemberian kuasa
baru, hanya dapat dipersalahkan apakah ada hubungan hukum langsung antara si
Pemberi kuasa dengan orang yang ditunjuk itu.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat mengemukakan
rumusan masalah yang bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah adalah
sebagai berikut :
37
Subekti , Aneka Perjanjian (selanjutnya disingkat Subekti I), Cet. Ke X, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1995, h. 144.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxiii
1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemberian kuasa?
2. Bagaimanakah Tanggung Jawab Pemegang Kuasa apabila terjadi Wanprestasi ?
PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA BESERTA AKIBAT HUKUMNYA
1. Hak dan Kewajiban Pemegang Kuasa
Dengan dilimpahkannya wewenang kepada pihak yang diberi kuasa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan bagi kepentingan pihak pemberi kuasa,38 maka
pelimpahan wewenang ini juga didalamnya terkandung kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan atau dipenuhi, walaupun kewajiban-kewajiban ini tidak tersurat atau
disebutkan dengan jelas dalam pemberian kuasa.
Dalam hubungan ini, rumusan KUHPerdata mengisyaratkan ada beberapa
kewajiban yang disebabkan kepada pihak pemegang kuasa didalam menyelenggarakan
urusan yang dikuasakan. Kewajiban-kewajiban ini adalah merupakan bagian penting
yang tidak dapat terelakan atau dikesampingkan begitu saja, tapi harus dipahami dan
diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam mekanisme pemberi kuasa, terutama
pihak pemegang kuasa itu sendiri.
Adapun kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan antara lain : si kuasa
diwajibkan selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung
segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak
dilaksanakannya kuasa tersebut. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang
sudah mulai dikerjakannya pada waktu si pemberi kuasa meninggal, jika dengan
tidak segera menyelesaikannya dapat timbul suatu kerugian (pasal 1800).39
Masih dalam kaitan dengan kewajiban-kewajiban pihak pemegang kuasa,
bahwa si kuasa juga bertanggung jawab atas kelalaian dalam menjalankan tugasnya,
yaitu apabila ia kurang waspada seperti yang dapat diharapkan dari padanya.
Pertanggungan jawab ini dapat diperlunak, apabila si kuasa tidak mendapat upah.40
Kewajiban untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja jelas tidak dapat dipungkiri, dan perbuatan lain yang berupa
kelalaian dalam menjalankan kuasanya, sehingga dengan demikian tercermin bahwa
kewajiban seorang pemegang kuasa dengan pertanggung jawabannya menjadi amat
penting dalam lalu lintas hubungan hukum.
Jadi antara pembuatan yang dilakukan dengan sengaja dan adanya kelalaian,
maka keduanya tidak luput dari jangkauan pasal tersebut diatas, kecuali dalam realitas
bahwa praktek pemberian kuasa itu dilakukan dengan cuma-cuma, tetapi dapat diamati
bahwa praktek pemberian kuasa dewasa ini menunjukkan lebih banyak memberikan
upah.
38
Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 155.
Subekti I, Op.Cit., h.146
Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit.
xxivVolume 9, No.1, Nop 2009
39
40
Kewajiban lain bagi pemegang kuasa, adalah memberikan laporan,41 maksud
dari pada laporan ini menunjukkan bahwa ia telah menjalankan kuasanya sebagaimana
yang dikehendaki dan sebagai suatu bukti yang menandakan ia memenuhi kewajiban
yang dibebankan pada dirinya, tetapi semuanya ini terlepas dari apakah laporan itu
benar-benar merupakan laporan sebagai seorang yang bertindak dalam kedudukan
mewakili pihak lain, atau laporan itu hanya bersifat fiktif, artinya laporan yang
diberikan tidak berdasarkan keadaan yang sesungguhnya dihadapi.
Namun keseluruhan laporan akan diberikan pada waktu berakhirnya pemberian
kuasa, dengan memberikan perhitungan terhadap segala sesuatu yang telah diterimanya
berdasarkan kekuasaan yang dilimpahkan, semua yang menjadi urusan akan
dipertanggung jawabkan. Sesungguhnya laporan semacam ini memang sudah menjadi
tanggung jawab seorang pemegang kuasa, dan ini secara tersurat telah dirumuskan
dalam pasal 1802 KUHPerdata, antara lain menyebutkan si kuasa diwajibkan
memberikan laporan tentang apa yang telah diperbuatnya dan memberikan perhitungan
kepada si pemberi kuasa tentang segala apa yang telah diterimanya berdasarkan
kuasanya, sekalipun yang diterimanya itu tidak seharusnya dibayar kepada si pemberi
kuasa.42
Menurut Prof. Dr. R. Wirjono Projodikoro, SH, maksud dari ketentuan
tersebut yang belakangan ini, ialah bahwa si kuasa tidak boleh membayar
kembali uang itu melainkan harus menunggu perintah dari si pemberi kuasa,
dinyatakan tidak praktis, bahwa orang ketiga yang menuntut pembayaran
kembali uang yang terlanjur dibayarkan tetapi sebetulnya tidak diwajibkan,
tidak dapat menegur si kuasa melainkan hanya dapat menegur si pemberi
kuasa, karena sudah dengan sendirinya dapat disimpulkan dari sifat
perwakilan, yang membentuk suatu perhubungan langsung antara si pemberi
kuasa dengan pihak ketiga.43
Bagian lain dari pemegang kuasa juga menyangkut tanggung jawabnya
terhadap penunjukan pihak lain sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya,
dinamakan “hak substitusi”, 44 yaitu si pemegang kuasa diperkenankan untuk menunjuk
orang lain untuk melakukan kuasanya, dan kalaun orang yang ditunjuk itu ternyata tidak
mampu melakukan tugasnya, maka si kuasa bertanggung jawab penuh atas
kesalahannya.45
Akibat dari hak substitusi ini ialah bahwa antara pemberian kuasa baru hanya dapat
dipersoalkan apakah ada perhubungan hukum langsung antara si pemberi kuasa semula
dari orang yang ditunjuk itu.46 Tetapi dalam kaitan dengan persoalan di atas Prof.
41
Subekti I, Op. Cit, h. 147.
Ibid.,
Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 156.
44
Subekti I, Loc. Cit.,
45
Wirjono Projodikoro, Loc.Cit.,
46
Ibid, h. 157.
Volume 9, No.1, Nop 2009
42
43
xxv
Dr.R.Wirjono Projodikoro, SH, masih mempertanyakan apakah sebaliknya orang yang
ditunjuk itu, juga langsung menegur si pemberi kuasa,47 agaknya masalah ini masih
terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sarjana.
Pendapat yang satu seperti Hofmann dan Vollmar mengatakan bahwa orang
yang ditunjuk langsung itu dapat menegur si pemberi kuasa, 48 oleh karena adanya
perhubungan ini berakibatkan bahwa orang tersebut tidak hanya mempunyai kewajiban
saja terhadap si pemberi kuasa, melainkan juga memiliki hak, sedangkan pendapat yang
lain seperti Van Brakel dan Asser berpendirian orang yang ditunjuk langsung itu tidak
dapat menegur si pemberi kuasa, justru oleh karena tidak disebutkan dalam pasal
tersebut, dan pendapat kedua ini menurut Wirjono Projodikoro adalah lebih memuaskan
karena pada pokoknya tidak ada perhubungan langsung antara si pemberi kuasa dan
orang yang ditunjuk oleh si kuasa.49
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan kalangan sarjana tersebut, dapat
diberi komentar bahwa ketentuan yuridis yang dipakai sebagai pegangan terutama
menyangkut persoalan di atas, maka jelas bahwa orang yang ditunjuk langsung itu tidak
dapat menegur pihak pemberi kuasa, karena pada dasarnya orang yang ditunjuk ini
dalam melaksanakan kuasa yang diberikan pihak pemegang kuasa berkedudukan
sebagai pengganti, ia lebih banyak berhubungan dengan pihak pemegang kuasa itu
sendiri, hubungan ini bersifat langsung sedangkan dengan si pemberi kuasa
menunjukkan tidak ada hubungan sama sekali, atau boleh disebut hubungan yang
bersifat tidak langsung.
Oleh karenanya, pendapat kalangan sarjana seperti yang dikemukakan di atas
yang membolehkan orang yang ditunjuk dapat menegur pihak pemberi kuasa tidak
dapat dibenarkan, mengingat bahwa didalam rumusan perundangan yang mengatur soal
yang diperbincangkan ini, tidak mengisyaratkan dengan jelas dan tegas atau dalam
pengertian bahwa tidak diatur sama sekali, sehingga lebih tepat kalau pendapat tersebut
dijadikan landasan dalam menyimak dan memecahkan persoalan yang bersangkutan,
dan memang pendapat tersebut setidak-tidaknya lebih memuaskan dan juga dalam
literatur tidak begitu mendapat bantahan.
Jadi dapat dikatakan bahwa rumusan pasal-pasal di atas lebih menitik beratkan
pertanggungan jawab secara individu atau perorangan, walaupun dalam pemberian
kuasa itu dikehendaki beberapa orang yang berkedudukan sebagai pemegang kuasa.
Kewajiban lain si pemegang kuasa menurut pasal 1805 KUHPerdata
menyebutkan ; si kuasa harus membayar bunga atas uang yang dipergunakan atau
dipakainya untuk kepentingan sendiri, terhitung mulai saat ia dihitung mulai ia memakai
uang itu dan mengenai uang yang harus diserahkannya pada penutupan perhitungan,
bunga itu dihitung mulai hari ia dinyatakan lalai.50
47
Ibid.,
Ibid.,
49
Ibid.,
50
Subekti I, Op. Cit, h. 148.
xxviVolume 9, No.1, Nop 2009
48
Kewajiban-kewajiban pemegang kuasa juga tercantum dalam pasal 1806
KUHPerdata, yang menyebutkan bahwa penerima kuasa yang telah memberitahukan
kepada pihak ketiga dengan siapa ia mengadakan perjanjian dalam kedudukannya
sebagai kuasa, tidaklah bertanggung jawab tentang apa yang terjadi diluar batas kuasa
nya, kecuali jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.51
Rumusan pasal tersebut di atas pada pokoknya menyinggung tanggung jawab
seorang pemegang kuasa yang berkisar pada kewenangan yang dimilikinya. Ia tidak
bertanggung jawab terhadap masalah-masalah yang timbul diluar batas kuasanya,
kecuali dalam kenyataan menunjukkan bahwa ia memang secara langsung menjalankan
kuasanya diluar wewenang yang telah digariskan dalam pemberian kuasa, untuk hal ini
secara yuridis tetap bertanggung jawab sebagaimana lazimnya.
Dengan demikian pokok pembahasan tentang kewajiban-kewajiban pihak
pemegang kuasa, yang secara yuridis diatur dengan jelas dalam beberapa rumusan
pasal-pasal KUHPerdata sebagaimana telah dikemukakan di atas, sehingga setidaktidaknya memberikan gambaran ruang lingkup tentang kewajiban-kewajiban seorang
pemegang kuasa selama ia belum dibebaskan diri melaksanakan kuasanya.
Kewajiban yang dimulai dari menanggung segala biaya kelalaian-kelalaian
yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya, memberikan laporan, membayar bunga,
mengganti kerugian dan kewajiban-kewajiban lainnya, semua yang menjadi tanggung
jawab seorang pemegang kuasa ini sudah dirumuskan dalam pasal 1801 sampai dengan
1806 KUHPerdata, dan dalam hal ini dipakai sebagai landasan yuridis, guna menyimak
persoalan yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban didalam suatu perjanjian
pemberian kuasa.
Pada prinsipnya pihak pemegang kuasa mempunyai tanggung jawab terhadap
pelimpahan wewenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang mengikat
pihak pemberi kuasa dengan pihak ketiga,52 dalam kuasa umum maupun khusus
masalah pertanggung jawaban ini meliputi segala sesuatu yang dikuasakan, tetapi dalam
prakteknya agaknya kedua macam kuasa ini tidak dibedakan masalah tanggung
jawabnya, ini masih berkaitan dengan ketentuan yuridis yang dimuat dalam
KUHPerdata, dan juga tidak membedakan dengan tugas masing-masing kuasa dengan
pertanggung jawabannya, perumusan KUHPerdata hanya secara umum dalam mengatur
soal ini.
Sejauh mana tanggung jawab pihak pemegang kuasa dalam menjalankan itu
pada prinsipnya pemegang kuasa bertanggung jawab terhadap apa-apa yang dikuasakan,
dan pemegang kuasa bertindak atas nama si pemberi kuasa,53 misalnya mencari seorang
patner dalam usaha bersama dan sebagainya, yang jelas pertanggungan jawab itu
dibatasi pada wewenang yang dilimpahkan.
51
Suryodiningrat, Op. Cit., h. 102.
Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 151.
Yahya Harahap, Op. Cit, h. 306.
Volume 9, No.1, Nop 2009
52
53
xxvii
Namun tindakan pemegang kuasa yang mewakili pihak pemberi kuasa itu,
sekiranya melebihi batas-batas kewenangan sebagaimana yang diberikan kepadanya,54
maka ia juga harus memberikan pertanggungan jawab terhadap pokok-pokok masalah
yang dikuasakan sepanjang yang menjadi wewenangnya itu.
Sejalan dengan pendapat di atas kalangan lain juga mengatakan bahwa
pemegang kuasa bertanggung jawab penuh atas perbuatan-perbuatan itu yang dilakukan
dengan sengaja itu. Sedangkan pendapat lain mengatakan pemegang kuasa bertanggung
jawab sesuai dengan masalah-masalah yang dikuasakan. Ia tidak bertanggung jawab
terhadap akibat yang timbul dari hubungan hukum yang telah dilakukan,55 misalnya
adanya penipuan oleh pihak ketiga. Dan pertanggungan jawab seperti itu adalah atas
kehendak yuridis, juga merupakan pertanggungan jawab yang bersifat etis.
Dalam pemberian kuasa , diperkenankan juga untuk menunjuk beberapa orang
kuasa mewakili pihak yang memberikan kuasa.56 Untuk itu pihak-pihak yang mewakili
ini tidak dapat melepaskan diri dari beban pertanggung jawaban dalam konteks ini
masih mengandung beberapa alternatif, ini menurut pendapat yang berkembang
dikalangan praktisi hukum.
Biasanya dalam pemberian kuasa, apalagi terdapat beberapa pihak yang
bertindak sebagai kuasa mewakili, maka sudah disebutkan masing-masing tanggung
jawab terhadap urusan-urusan yang dilimpahkan, pertanggungan jawab ini tegasnya
lebih menekankan kepada individu, sebab ia yang bertindak dalam menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan pemberi kuasa.57
Berbeda dengan jawaban yang diberikan kalangan praktisi hukum lainnya,
dalam hal ini ada yang berpendapat, bahwa pertanggungan jawab itu baik secara
individu maupun bersama-sama jadi harus dipisahkan dalam mempertanggung
jawabkan wewenang yang diberikan, dan dalam pernyataan dalam pemberian kuasa itu
telah ditegaskan bahwa masing-masing individu memiliki wewenang untuk mewakili,
maka itu jelas bahwa ia harus bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikuasakan,
begitu pula sebaliknya, pendapat lain mengatakan kasus seperti itu adalah
pertanggungan jawab secara perikatan tanggung menanggung,58 atau secara kolektif
bersama-sama.
Bahwa didalam pemberian kuasa dikenal juga adanya hak substitusi,59 maka
pertanggungan jawab itu harus ditentukan secara tegas.60 Baik itu individu maupun
bersama-sama, tapi pendapat ini lebih menekankan pertanggungan jawab yang bersifat
kolektif atau bersama-sama, kalangan praktisi hukum lain juga berpendapat, bahwa
pertanggungan jawab pemegang kuasa yang terdiri dari beberapa pihak yang
54
Ibid, h. 309
Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, h. 83.
56
Subekti I, Loc. Cit,
57
Qirom Syamsudin Meliala, Op. Cit, h. 82.
58
Suryodiningrat, Op. Cit, h. 102-103.
59
Ibid, h. 101.
60
Yahya Harahap, Op. Cit, h. 321.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxviii
55
berkedudukan sebagai kuasa yang mewakili adalah bersifat kolektif atau bersama-sama,
kecuali dalam surat kuasa itu ditegaskan bersifat individu.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban ini, maka atas kehendak pemberi kuasa
dapat saja pemberi kuasa menarik kembali kuasa yang telah dilimpahkan dan sementara
dilaksanakan pihak pemegang kuasa semula, dan dalam hal ini ketentuan yuridis
(KUHPerdata) juga memperkenankan pemberi kuasa untuk melaksanakan
pengangkatan seorang pemegang kuasa baru dalam menyelenggarakan kepentingankepentingannya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya.61
Terhadap masalah ini, maka pihak pemegang kuasa lama hanya mempunyai
kewajiban mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan hukum yang telah dilakukan
sesuai dengan pelimpahan wewenang itu, dan dengan adanya pengangkatan kuasa baru,
berarti pertanggung jawaban secara otomatis dilimpahkan kepada pemegang kuasa baru
tersebut.
Pemegang kuasa lama harus mempertanggungjawabkan kuasanya selama
dalam mengurus kepentingan-kepentingan pihak pemberi kuasa, meskipun ada
pengangkatan kuasa baru, ia bertanggung jawab sejauh wewenang yang diberikan dan
telah dilakukan sebelum ada pengangkatan kuasa baru tersebut. Dengan demikian ia
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang merugikan pihak pemberi kuasa, apabila kuasa
baru belum menjalankan kuasanya itu, dengan pengangkatan baru, maka tanggung
jawab sepenuhnya dilimpahkan kepada pemegang kuasa yang bersangkutan. Memang
penarikan kembali kuasa yang dibenarkan oleh ketentuan yuridis, tapi berlakunya surat
kuasa itu harus ditegaskan, dalam konteks ini, pemegang kuasa yang sudah
menggunakan kuasa itu serta melakukan kewajiban-kewajiban, kemudian dicabut, ia
tetap bertanggung jawab dalam batas-batas kekuasaan yang diberikan,62 ia juga tidak
dapat luput dari tanggung jawabnya, apabila ia tidak bertindak di luar batas-batas
kewenangannya.
Masalah lain yang berhubungan erat adalah dengan meninggalnya pihak
pemegang kuasa, ada pendapat mengatakan, secara yuridis menunjukkan berakhirnya
pemberian kuasa 63 atau tepatnya hubungan hukum itu putus, dan dengan sendirinya
tidak ada beban pertanggungan jawab, tapi sebaliknya apabila ada kelalaian dan
kerugian yang timbul dalam pemberian kuasa itu, berarti ahli warisnya yang
mempertanggung jawabkan.
Sedangkan kalangan lain mengisyaratkan, bahwa sesuai dengan ketentuan
hukum perdata, ahli waris harus bertanggung jawab atas kelalaian dan kerugian yang
timbul dalam pemberian kuasa meninggal, pertanggung jawaban ini ditujukan kepada
ahli waris yang mengetahui maupun yang tidak mengetahui adanya pemberian kuasa
itu. Menurut hukum gugurnya pertanggungan jawab ini apabila pemegang kuasa
meninggal.64 Tapi masih dipertanyakan lagi apakah para ahli waris mengetahui adanya
61
Subekti I, Loc. Cit,
Yahya Harahap, Loc. Cit,.
63
Subekti I, Op. Cit, h. 153.
64
Yahya Harahap, Op. Cit, h. 314.
Volume 9, No.1, Nop 2009
62
xxix
pemberian kuasa itu, namun yang dijelaskan pendapat ini menekankan bahwa
pertanggungjawaban mesti harus dialihkan kepada segenap ahli warisnya, apabila
pemberi kuasa itu mengakibatkan timbulnya kerugian-kerugian bagi pihak pemberi
kuasa.65
Dari pembahasan mengenai tanggung jawab pemegang kuasa tersebut di atas,
berikut ini akan dibeberkan rangkuman permasalahannya, yaitu :
-Bahwa prinsipnya pihak pemegang kuasa bertanggung jawab terhadap
pelimpahan wewenang dalam rangka pelaksanaan pemberian kuasa itu, dan
pertanggungan jawab itu adalah dalam batas-batas yang menjadi kekuasaannya
selama kuasa itu belum berakhir.
-Bahwa pihak pemegang kuasa dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum,
dan ia bertindak melampaui batas-batas kewenangan yang diberikan, secara
yuridis tetap memberikan pertanggungan jawab, tapi secara etis ia tidak juga
harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan dengan sengaja itu.
-Bahwa pihak pemegang kuasa yang sementara melaksanakan kewajibankewajiban, tapi kuasa itu ditarik dan sekaligus terjadi pengangkatan pemegang
kuasa baru, maka kuasa lama bertanggung jawab sejauh wewenang yang
dilimpahkan dan telah dilakukan sebelum ada pengangkatan kuasa baru.
-Bahwa dalam suatu pemberian kuasa terdapat beberapa orang yang bertindak
sebagaimana kuasa mewakili, maka pertanggungan jawab terhadap wewenang
yang diberikan itu, nampaknya terdapat perbedaan-perbedaan pendapat ada
yang mengatakan pertanggungan jawab itu dapat secara individu dan bisa juga
bersifat kolektif atau bersama-sama, tergantung dari ketegasan ini kuasa itu.
Tapi pendapat lain mengisyaratkan dengan lebih menitik beratkan
pertanggungan jawab secara kolektif.
-Bahwa dengan meninggalnya pihak pemegang kuasa, maka pendapat-pendapat
tersebut menunjukkan semuanya sepakat, bahwa secara otomatis putusnya
hubungan hukum yang ada, hanya apabila ada kelalaian dan kerugian yang
timbul, maka di alihkan kepada ahli warisnya untuk mempertanggung
jawabkan segala sesuatu yang dikuasakan, pertanggungan jawab ini bisa
ditujukan kepada ahli waris yang mengetahui maupun tidak mengetahui sama
sekali adanya pemberian kuasa itu.
3. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa
Sehubungan dengan wewenang yang diberikan kepada pemegang kuasa untuk
melakukan suatu perbuatan hukum guna mengikatkan pihak pemberi kuasa dengan
pihak ketiga, maka diisyaratkan bahwa perlu adanya perincian masalah-masalah yang
akan dikuasakan. Dalam hubungan ini ada pendapat yang menyatakan, bahwa itu tidak
lain bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian di kemudian hari apabila
65
Ibid,.
Volume
9, No.1, Nop 2009
xxx
pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan hukum di luar batas-batas
wewenangnya.66
Pendapat lain juga menyebutkan, bahwa kewenangan pihak pemegang kuasa
harus disebutkan secara tegas dalam surat kuasa itu, misalnya kewajiban-kewajiban apa
saja yang harus dilakukan oleh pemegang kuasa, maka berlakunya surat kuasa itu batal
dan sebagainya. Sebenarnya hal ini untuk menghindari perbuatan surat kuasa secara
tidak benar atau untuk obyek yang menyimpang dari undang-undang.
Masih berkisar pada wewenang pemegang kuasa ini, ada pendapat lain yang
mengatakan, bahwa ada baiknya untuk menjamin kepastian hukum, maka harus
disebutkan secara tegas dan terperinci tentang wewenang yang akan diberikan, sebab ini
berhubungan dengan pertanggungan jawab pemegang kuasa kelak dikemudian
hari. Jadi perincian masalah-masalah yang akan dikuasakan itu (misalnya kuasa khusus)
adalah menyangkut hak dan kewajiban pemegang kuasa dalam menjalankan kuasanya, 67
sehingga tidak merugikannya.
Adanya alasan penting lainnya sehingga ditekankan bahwa perlu ada rumusan
yang jelas dan tegas pada waktu dilakukan pemberian kuasa. Apabila timbul
perselisihan di kemudian hari, diharapkan mampu ditarik garis pemisah tentang
siapakah yang telah melakukan pelanggaran atas surat kuasa itu, sehingga akan dapat
dengan mudah untuk menentukan pihak mana yang telah melakukan kesalahan.
Sedangkan pendapat lain mensinyalir, bahwa supaya kepentingan pihak
pemberi kuasa dapat terjamin dari tindakan pemegang kuasa yang melanggar batasbatas kewenangannya, juga dapat menghindari salah tafsir sehingga tidak menimbulkan
konflik didalam pemberian kuasa itu, jadi patut diperhatikan, bahwa wewenang pihak
pemegang kuasa adalah sejauh mana yang termuat dengan jelas dan terperinci dalam
surat kuasa. Ia tidak dibenarkan untuk bertindak yang melampaui wewenangnya, 68 dan
ini terjadi resikonya ia harus mempertanggung jawabkan tindakannya itu.
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan tersebut berikut ini dibeberkan
rangkuman permasalahannya, yaitu :
- Bahwa pada prinsipnya wewenang pihak pemegang kuasa dikehendaki untuk
dirumuskan dengan jelas dan tegas didalam suatu pemberian kuasa, dan ini
bertujuan untuk mencegah timbulnya kerugian-kerugian akibat perbuatanperbuatan hukum pemegang kuasa diluar batas-batas kewenangannya.
- Perincian masalah-masalah yang dikuasakan dalam surat kuasa sebenarnya
mempertegas kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang
kuasa, disamping itu untuk mencegah pembuatan surat kuasa yang
menyimpang dari undang-undang.
- Perincian wewenang yang diberikan adalah berkaitan dengan pertanggungan
jawab pihak pemegang kuasa, sehingga dapat menghindari perselisihan
66
Subekti I, Loc. Cit,
Subekti I, Loc. Cit.,
Yahya Harahap, Loc. Cit.,
Volume 9, No.1, Nop 2009
67
68
xxxi
-
dikemudian hari, dan menjamin kepentingan pihak pemberi kuasa dari
tindakan pemegang kuasa yang melampaui batas kewenangannya.
Perincian wewenang dalam pemberian kuasa itu juga bertujuan untuk
mencegah pihak pemegang kuasa itu agar tidak dirugikan apabila ia
memberikan pertanggungan jawab.
3. Berakhirnya Pemberian Kuasa
Dalam pasal 1813 KUH Perdata ditentukan tentang bermacam-macam cara
berakhirnya pemberian kuasa, yaitu:
a. dengan ditariknya kembali kuasanya si jurukuasa;
b. dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si jurukuasa;
c. dengan meninggalnya, pengampuannya atau pailitnya si pemberi kuasa
maupun si penerima kuasa;
d. dengan perkawinan si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.
Pada sub d dari pasal 1813 KUH Perdata di atas, sejak dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1963 kedudukan seorang
perempuan bersuami dinyatakan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dengan
tanpa ijin atau didampingi oleh suaminya. 69
Pada umumnya suatu perjanjian tidak berakhir dengan meninggalnya salah
satu pihak, tetapi khusus pemberian kuasa berakhir apabila si pemberi kuasa atau si
penerima kuasa meninggal dunia. Pemberian kuasa tergolong pada perjanjian di mana
prestasi sangat erat hubungannya dengan pribadi para pihak. Dalam praktik kita juga
tidak memberi kuasa kepada orang yang belum kita kenal, tetapi kita memilih orang
yang dapat kita percaya untuk mengurus kepentingan-kepentingan kita.
Mengenai kawinnya seorang perempuan yang memberian atau menerima
kuasa, sebagai mana dikemukakan di atas, dengan lahirnya yurisprudensi yang
menganggap seorang perempuan yang bersuami sepenuhnya cakap menurut hukum,
ketentuan yang berkenaan dengan kawinnya seorang perempuan, dengan sendirinya
tidak berlaku lagi.70
Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya, manakala itu dikehendakinya,
dan jika ada alasan untuk itu, memaksa penerima kuasa untuk mengembalikan kuasa
yang dipegangnya (pasal1814 KUH Perdata). Ketentuan ini mengandung maksud
bahwa si pemberi kuasa dapat menghentikan kuasa itu kapan saja, asal dengan
pemberitahuan penghentian dengan mengingat waktu yang secukupnya. Bila penerima
kuasa tidak mau menyerahkan kembali kuasanya secara sukarela, ia dapat dipaksa
berbuat demikian lewat pengadilan.
69
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Cet.VI, Mandar Maju, Bandung, 1989, h.239
70
Subekti R., Aneka Perjanjian, Cet.VII, Alumni, Bandung, 1985, h.151
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxxii
Penarikan kembali yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa, tidak
dapat diajukan terhadap orang-orang pihak ketiga yang karena mereka tidak mengetahui
tentang penarikan kembali itu, telah mengadakan suatu perjanjian dengan penerima
kuasa. Ini tidak mengurangi tuntutan pemberi kuasa kepada penerima kuasa, hal ini
sebagaimana diatur dalam pasal 1815 KUH Perdata.
Dalam praktik penarikan kembali itu diumumkan dalam beberapa surat kabar
dan diberitahukan dengan surat kepada para pihak atau relasi yang berkepentingan.
Bahwa penerima kuasa dapat menuntut penerima kuasa yang melakukan tindakantindakan tanpa dasar hukum.
Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan
yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa yang pertama, terhitung mulai hari
diberitahukannya kepada orang yang terakhir ini tentang pengangkatan tersebut. Artinya
sejak pemberitahuan tersebut, maka penerima kuasa yang lama tidak mempunyai
kewenangan untuk menjalankan pekerjaan kuasa tersebut.
Dalam pada itu Penerima Kuasa dapat membebaskan diri dari kuasanya dengan
pemberitahuan pengehentian itu, atas dasar alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh
undang-undang, kecuali penerima kuasa dalam ketidakmampuannya meneruskan
kuasanya tersebut. Bilamana pemberi kuasa dapat mengakhiri atau menarik kembali
kuasanya setiap waktu manakala itu dikehendakinya, begitu pula dari pihak penerima
kuasa juga setiap waktu dapat membebaskan diri dari kuasanya, asal dengan
mengindahkan tenggang waktu yang cukup dalam memberitahukan penghentian kepada
si pemberi kuasa dimaksud.
TANGGUNG GUGAT DALAM PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA
1. Masalah yang timbul dalam pemberian kuasa
Pada dasarnya sering dihadapi berbagai ragam masalah yang timbul dalam
pelaksanaan pemberian kuasa, baik itu yang dialami pihak pemberi kuasa maupun
pemegang kuasa itu sendiri, dalam hal ini biasanya bagi pemberi kuasa yang
menghadapi masalah-masalah yang timbul dan ini dapat disebut sebagai hambatan,
adalah pemegang kuasa tidak segera melaksanakan kuasanya. Akibatnya akan
menimbulkan suatu kerugian apabila kuasa itu diberikan dengan tanggung jawab atau
tenggang waktu yang pendek, disamping itu kelalaian dan perbuatan-perbuatan hukum
yang melampaui batas wewenangnya,71 yang sengaja dilakukan pemegang kuasa dan
sebagainya.
Kenyataan sebagaimana yang ditemukan itu dengan sendirinya akan membawa
efek-efek yang kurang menguntungkan pihak pemberi kuasa, misalnya tindakan seorang
pemegang kuasa yang menjual dengan harga yang sangat murah, mengadakan
perdamaian dan sebagainya, yang tidak dikehendaki oleh pihak pemberi kuasa, dan
71
Subekti I, Loc.Cit,.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxxiii
pemegang kuasa yang secara nyata tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang
dilimpahkan, maka akibatnya bisa menghambat pelaksanaan pemberian kuasa itu.
Hambatan lain yang selalu dirasakan pihak pemberi kuasa, biasanya
menyangkut pemegang kuasa yang tidak memberikan perhitungan tentang segala
sesuatu yang telah diperbuat sebagaimana yang dilimpahkan, meskipun menurut
kenyataannya apa yang telah diterima itu tidak harus diberikan atau diserahkan kepada
pemberi kuasa. Masalah ini juga mewarnai setiap pelaksanaan pemberian kuasa pada
umumnya, demikian pengamatan kalangan praktisi hukum.
Pendapat lain mengatakan, pemegang kuasa senantiasa tidak mematuhi
kewajiban-kewajiban yang telah dikuasakan, misalnya tidak menghadiri sidang-sidang
pengadilan yang ditetapkan, dan sebagainya, sedangkan pendapat lain juga mensinyalir
masalah yang sering dihadapi pihak pemberi kuasa umumnya pemegang kuasa
disamping tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi bersamaan dengan
kedudukan sebagai kuasa mewakili, ia seringkali menyalahgunakan surat kuasa yang
dilimpahkan,72 untuk itu pihak pemberi kuasa disarankan agar berhati-hati dalam setiap
pemberian kuasa.
Bagi pemegang kuasa yang sering mengalami masalah-masalah yang timbul
dalam pemberian kuasa, adalah biasanya menyangkut pembayaran kembali biaya-biaya
yang telah dikeluarkan ketika menjalankan kuasanya, bahkan untuk membayar upah
yang telah diperjanjikan, kadang-kadang tidak terpenuhi pihak pemberi kuasa, suatu
hambatan konvensional dijumpai pada setiap pelaksanaan pemberian kuasa, baik itu
dalam kuasa umum maupun kuasa khusus.73
Begitu pula dengan hubungan-hubungan hukum yang dilakukan untuk
mengikatkan dengan pihak ketiga, juga tidak jarang mengalami hambatan-hambatan,
misalnya tidak memenuhi perikatan-perikatan untuk kepentingannya, juga kerugian lain
yang timbul disekitar pemberian kuasa yang seharusnya menjadi tanggung jawab pihak
pemberi kuasa, misalnya membayar bunga atas persekot-persekot yang dikeluarkan
pemegang kuasa,74 sering diabaikan pihak pemberi kuasa untuk memenuhi kewajiban.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut, berikut ini adalah
merupakan rangkuman permasalahannya :
- Masalah-masalah yang timbul dalam pemberian kuasa, yang sering dialami
pihak pemberi kuasa adalah pemegang kuasa tidak segera melaksanakan
kuasanya dan ini membawa efek yang kurang menguntungkan pihak pemberi
kuasa apabila kuasa itu diberikan dengan tenggang waktu yang pendek.
- Tindakan pemegang kuasa atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan
Sengaja, misalnya mengadakan perdamaian yang tidak dikehendaki pihak
pemberi kuasa, ini bisa menghambat pelaksanaan pemberi kuasa juga
72
Nawawi, S.H., Taktik Dan Strategi Membela Perkara Perdata, Cet. I, Fajar Agung, Jakarta,
1987, h. 55.
73
Ibid, h. 53.
Ibid, h. 149.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxxiv
74
-
-
-
pemegang kuasa kadang-kadang tidak menjalankan kewajiban-kewajiban
yang dilimpahkan.
Hambatan lain yang selalu dirasakan pihak pemberi kuasa, adalah pemegang
kuasa tidak memberikan perhitungan tentang segala sesuatu yang telah
diperbuat selama menjalankan kuasanya, dan bersamaan dengan kedudukan
sebagai kuasa mewakili, ia seringkali menyalahgunakan surat kuasa yang
dilimpahkan.
Suatu hambatan konvensional yang senantiasa dialami pemegang kuasa
dalam suatu pemberian kuasa mengakibatkan atau mengabaikan kewajibankewajibannya untuk membayar kembali biaya-biaya maupun upah yang telah
diperjanjikan.
Hubungan hukum yang dilakukan pemegang kuasa dengan pihak ketiga,
agaknya pemberi kuasa sebagai pihak yang berkepentingan, sering tidak
memenuhi perikatan – perikatan yang menjadi tanggung jawabnya, juga
Kerugian – kerugian lain yang timbul disekitar pelaksanaan pemberian kuasa
itu.
2. Kelalaian Pemegang Kuasa
Didalam pemberian kuasa untuk berbuat atas nama pihak pemberi kuasa, pada
prinsipnya pemegang kuasa melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana yang
dikuasakan, tetapi dalam kenyataannya, pemegang kuasa senantiasa tidak dapat luput
dari perbuatan-perbuatan yang merugikan, baik itu terhadap pihak pemberi kuasa
maupun pemegang kuasa itu sendiri. Misalnya perbuatan-perbuatan pemegang kuasa itu
sendiri yang melampaui batas-batas kewenangannya,75 jika dapat berupa kelalaian yang
timbul dalam penyelenggaraan kuasa itu dan sebagainya.
Konsekuensinya dari semua ini, bagi pemegang kuasa harus memberikan
pertanggungan jawab atas perbuatannya tersebut, sebab perbuatan kelalaian misalnya,
membawa pengaruh dan berakibat menimbulkan kerugian-kerugian bagi pihak pemberi
kuasa, sebagai contoh pemegang kuasa yang seharusnya menyelesaikan segala urusan
yang berkaitan dengan kuasanya pada waktu meninggalnya pihak pemberi kuasa, tetapi
lalai dengan kedudukannya yang membenarkan ia bertindak lebih lanjut misalnya lagi ia
tidak memberikan laporan tentang apa-apa yang telah diperbuatnya.76
Kelalaian pemegang kuasa terhadap kewajiban-kewajibannya dapat dituntut
untuk meminta pertanggungan jawabnya, dan tuntutan itu bisa bersifat intern, artinya
tidak dibatalkan perjanjian pemberian kuasa itu, kecuali pihak ketiga beri’tikat tidak
baik, dan ini bisa diajukan ke Pengadilan. Sedangkan pendapat yang lebih menekankan
kepada kerugian pihak yang diderita pihak pemberi kuasa, menghendaki dilakukan
penuntutan ganti rugi dan pertanggungan jawabnya melalui proses pengadilan.77
75
Subekti 1, Loc. Cit,.
Ibid, h. 147.
Subekti I, Loc. Cit,.
Volume 9, No.1, Nop 2009
76
77
xxxv
Bagaimana pemegang kuasa yang lalai menjalankan kewajibannya harus
bertanggung jawab kepada pihak pemberi kuasa, selanjutnya pemberian kuasa itu
dicabut, dan menempuh proses pengadilan kalau pemegang kuasa itu segan untuk
bertanggung jawab sepenuhnya. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa dalam
menghadapi kelalaian pemegang kuasa yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka
konsekuensinya ia harus menyerahkan kembali kuasa yang diterimanya itu sekaligus
semua berkasnya. Pendapat ini juga menyetujui tuntutan ganti rugi dengan mengajukan
ke Pengadilan.
Kelalaian pemegang kuasa ini umumnya dipandang dari segi pelaksana
kewajiban-kewajiban didalam suatu pemberian kuasa dan dalam realitasnya ia lalai
menjalankan kewajiban sebagaimana yang dibebankan, dan perbuatan ini
mengakibatkan timbulnya kerugian pihak pemberi kuasa, maka secara yuridis ia harus
digugat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan tersebut, berikut ini adalah merupakan
rangkuman permasalahannya :
- Dalam
pelaksanaan
pemberian
kuasa,
pemegang
kuasa
senantiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang berakibat
menimbulkan kerugian-kerugian pihak pemberi kuasa misalnya perbuatan
kelalain, dan konsekuensinya ia harus mempertanggung jawabkan
perbuatan tersebut.
- Kelalain pemegang kuasa yang dipersoalkan kalangan praktisi
hukum, adalah difokuskan kepada kewajiban – kewajiban yang
sering tidak
dipenuhinya, terhadap kenyataan ini semua
sepakat untuk mengajukan tuntutan ganti rugi melalui proses
pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
- Kelalaian pemegang kuasa disamping ada yang berpendapat
bahwa pemberian kuasa itu harus dicabut meskipun tenggang waktu
pemberian kuasa belum berakhir, dan konsekuensinya menurut pendapat
kalangan lain sehubungan dengan
kelalaian
pemegang
kuasa
tersebut, ia harus
menyerahkan kembali kuasanya yang
diterimanya itu, sekaligus semua berkasnya.
3. Perbuatan Melawan Hukum Pemegang Kuasa
Dalam suatu pemberian kuasa untuk menyelenggarakan urusan pihak pemberi
kuasa, baik itu kuasa umum maupun kuasa khusus, maka suatu hal yang sering tampak
dalam kenyataan dan sukar untuk dibantah, adalah pemegang kuasa melakukan
perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, dan perbuatan pemegang kuasa yang
dimaksud adalah perbuatan yang melanggar batas-batas wewenang yang diberikan
kepadanya,78sebagaimana yang dikuasakan atau digariskan serta membawa kerugian
78
Yahya harahap, Loc. Cit,.
Volume
9, No.1, Nop 2009
xxxvi
terhadap orang lain,79 sebab masalahnya menyangkut hubungan hukum dengan pihak
ketiga dalam konteks pemberian kuasa itu.
Cukup banyak pemegang kuasa yang sering melakukan perbuatan melawan
hukum,80 seperti manipulasi wewenang yang telah diberikan pihak pemeberi kuasa
untuk kepentingan dirinya. Ini berangkali bersumber dari kurangnya pengetahuan,
sehingga menyebabkan perbuatan itu merugikan pihak yang memberikan kuasa, tapi
diakui bahwa masih banyak pemegang kuasa yang mempunyai itikad baik dalam
melaksanakan kewajibannya atau melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya.81
Pendapat lain juga mengatakan, didalam menjalankan kewajiban sebagai kuasa
mewakili, maka pemegang kuasa sering kali melakukan perbuatan yang melanggar
hukum, ini memang sudah banyak diketahui oleh masyarakat dan agaknya sudah
menjadi suatu rahasia umum, tapi tidak semua pemegang kuasa itu bertindak demikian
sebagai kuasa mewakili, yang jelas perbuatan semacam itu sebenarnya tergantung dari
pada pribadi atau individu-individu, tapi ada yang berpendapat bukan itu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan pemegang kuasa, tetapi juga akibat-akibat kelalaian
atau kealpaan didalam menjalankan tugasnya. 82
Bahkan ada pendapat lain yang langsung menunjuk pada langkah konkrit untuk
menyelesaikan pelaksanaan pemberian kuasa itu, pendapat ini mensinyalir bahwa
perbuatan melawan hukum itu kalau benar-benar merugikan,83maka segera diambil
tindakan cepat dengan mengajukan tuntutan terhadap pemegang kuasa itu.
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan diatas, maka berikut ini adalah
merupakan rangkuman permasalahannya :
- Perbuatan melawan hukum pemegang kuasa pada hakekatnya adalah
merupakan perbuatan yang melanggar wewenang yang diberikan dalam
suatu pemberian kuasa untuk kepentingan
dirinya, perbuatan ini
mengakibatkan timbulnya kerugian pihak pemberi kuasa.
- Perbuatan melawan hukum pemegang kuasa ini, dalam kenyataannya
memang sudah banyak diketahui masyarakat apabila dilakukan suatu
pemberian kuasa, tapi diketahui bahwa perbuatan pelanggaran ini sebenarnya
tergantung dari masing-masing individu pada waktu menjalankan kuasa yang
diberikan.
- Perbuatan melawan hukum yang dilakukan pemegang kuasa, dikatakan
Sebagai perbuatan kelalaian ketika melaksanakan tugas yang dibebankan
dalam pelaksanaan pemberian kuasa itu.
- Untuk menyelamatkan kuasa yang diberikan dari perbuatan melawan hukum
yang dilakukan pemegang kuasa dan benar-benar merugikan, maka diajukan
79
Marhainis Abdulhay, S.H., Hukum Perdata Material, Jilid II, Cet. I, Pradnya Paramita, Jakarta, h.
14.
80
Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan, Cet. I Mandar Maju, Bandung, 1994, h.84
Subekti I, Loc. Cit,.
82
Ibid, h. 146-147.
83
Kansil, C.S.T., dan Christine S.T.Kansil, Modul Hukum Perdata (Termasuk Asas-asas Hukum
Perdata), Cet. III, Pradnya Paramita, Jakarta, 1995, h. 214.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxxvii
81
Tuntutan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan itu melalui proses
pengadilan.
4. Tindakan Hukum Terhadap Pemegang Kuasa
Untuk mengajukan suatu gugatan berdasarkan ketentuan yuridis yang berlaku
(pasal 123 HIR), diperlukan suatu kuasa khusus tertulis.84 Pemberian kuasa tersebut
dalam rangka mempersiapkan langkah-langkah untuk meminta pertanggung jawabkan
melalui proses pengadilan.
Sedangkan alasan utama yang menjadi dasar untuk melakukan tindakan hukum
terhadap pemegang kuasa, hal ini sebenarnya bersumber dari berbagai perbuatan hukum
yang dilakukan pemegang kuasa, sebagaimana contoh : perbuatan yang diperbuat
dengan sengaja yang mengakibatkan kerugian, tidak memberikan laporan, kelalaian
ketika bertindak sebagai kuasa mewakili dan sebagainya.
Masalah pertanggung jawaban pemegang kuasa ini agaknya juga dibedakan
yakni apabila dalam kedudukan sebagai kuasa mewakili melakukan tindakan yang
melampaui batas-batas wewenangnya,85 juga dibebankan suatu pertanggungan jawab
dan pertanggungan jawab itu tidak hanya menyangkut aspek wewenang yang
diterimanya, tetapi juga terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
diluar batas-batas yang dikuasakan, dan pertanggungan jawab ini lebih ditujukan kepada
pemegang kuasa yang bertindak menjalankan kuasa secara individual atau perorangan.
Dalam hubungan ini ketentuan yuridis membenarkan adanya tindakan hukum
terhadap pemegang kuasa, sebab masalahnya erat kaitannya dengan tanggung jawab
yang meliputi hal-hal yang dikuasakan. Dan yang jelas tindakan hukum ini
sesungguhnya adalah mengandung tekanan, bahwa pemegang kuasa lebih terikat untuk
memenuhi prestasinya.86
Tindakan hukum yang dilakukan misalnya menyangkut kelalaian pemegang
kuasa,87 maka ia harus mempertanggung jawabkan dengan memenuhi kewajibankewajiban yakni membayar ganti rugi atas perbuatan yang mengakibatkan kerugian
pihak pemberi kuasa dan tuntutan melalui proses pengadilan adalah merupakan suatu
upaya untuk memperoleh kembali hak dan kepentingan yang dikuasakan dalam konteks
pemberian kuasa itu.
Pendapat lain juga mensinyalir, adanya pertanggung jawaban terhadap ganti
rugi dan kemudian disusul dengan perbuatan kuasa. Tindakan itu mempertegas bahwa
perbuatan kelalaian cukup mempengaruhi hubungan hukum dengan pihak ketiga.88
Dalam hal ini pihak ketiga bisa mengalahkan diri dengan tidak mengakui lagi perikatanperikatan yang dilakukan pemegang kuasa sebagai kuasa mewakili.
84
Subekti I, Loc. Cit,.
Ibid,.
86
Abdulkadir Muhammad I, Op. Cit, h. 18.
87
Wirjono Projodikoro, Op. Cit, h. 159.
88
Yahya Harahap, Op. Cit, h. 307.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxxviii
85
-
-
-
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan di atas, maka berikut ini adalah
merupakan rangkuman permasalahannya :
Tindakan hukum terhadap pemegang kuasa, umumnya yang menjadi alasan utama
adalah bersumber dari perbuatan hukum yang mengakibatkan kerugian pihak
pemberi kuasa juga kelalaian ketika bertindak sebagai kuasa mewakili dan sebagainya.
Ketentuan yuridis membenarkan adanya tindakan hukum terhadap pemegang kuasa, ini
adalah berkaitan dengan masalah pertanggung jawaban dalam pemberian kuasa.
Tindakan hukum terhadap pemegang kuasa karena akibat kelalaiannya, maka ia harus
mempertanggung jawabkan yakni membayar ganti rugi atas perbuatannya itu, dan
perbuatan melalui proses pengadilan ini adalah untuk
memperoleh kembali
hak pihak pemberi kuasa sebagaimana yang dikuasakan.
Tindakan hukum terhadap pemegang kuasa,disamping ia bertanggung jawab terhadap
ganti rugi dan kemudian disusul dengan pencabutan kuasa itu dan tersirat bahwa
perbuatan kelalaian itu cukup mempengaruhi hubungan
hukum dengan
pihak ketiga, karena bisa saja pihak ketiga ini mengalahkan Diri dari perikatanperikatan yang telah dilakukan pemegang kuasa.
KESIMPULAN
Pada uraian ini adalah merupakan uraian terakhir yang merupakan uraian
penyimpulan atas seluruh uraian bahasan yang telah dikemukakan pada uraian-uraian
sebelumnya. Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam tesis ini adalah sebagai
berikut :
a. Bahwa pertanggungan jawab pihak pemegang kuasa disamping sejauh wewenang
yang diterimanya, tetapi juga sengaja diluar batas-batas yang dikuasakan, beban
pertanggungan jawab ini tampaknya dipersoalkan dalam hubungan hukum,
khususnya menyangkut pemberian kuasa. Pertanggungan jawab pihak pemegang
kuasa yang terdiri dari beberapa orang, masih menimbulkan perbedaan pandangan
di kalangan praktisi hukum, ada pendapat yang mengatakan tanggung jawab
secara individual, yang mengatakan tanggung jawab lebih bersifat kolektif atau
bersama-sama, meskipun dengan jelas semuanya itu tergantung dari pada
penegasan isi pemberian kuasa yang diberikan. Apabila ada penarikan kuasa
yang sementara dilaksanakan dan sekaligus terjadi pengangkatan, pemegang kuasa
lama tetap bertanggung jawab sejauh wewenang yang diterimanya dan telah
diperbuat sebelum kuasa itu ditarik, dan dengan adanya pengangkatan pemegang
kuasa baru, maka secara otomatis beban pertanggungan jawab dialihkan kepada
pemegang kuasa baru yang bersangkutan.
b. Atas dasar surat kuasa itu, pihak pemegang kuasa memperoleh kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum guna mengurus kepentingan pihak pemberi kuasa
dalam hal ini mengurus perkara pihak pemberi kuasa. Konsekuensi pemberian
wewenang itu, haruslah dilakukan dengan penuh tanggung jawab, yaitu pemegang
Volume 9, No.1, Nop 2009
xxxix
kuasa tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan-tindakan yang melampaui
wewenang yang telah diberikan dan ditegaskan dalam surat kuasa tersebut. Akibat
hukum atas perbuatan pemegang kuasa yang melawan hukum, sehingga
menyebabkan kerugian pada pihak pemberi kuasa dapat mengajukan tuntutan ganti
rugi pada pemegang kuasa atas perbuatannya itu melalui proses pengadilan.
Dengan meninggalnya pihak pemegang kuasa, maka menurut hukum berakhirnya
pemberian kuasa, dan secara otomatis tanggung jawab pihak pemegang kuasa juga
tidak dapat dipersoalkan lagi, tetapi apabila ada kelalaian yang menimbulkan
kerugian pihak pemberi kuasa baik yang dilakukan pemegang kuasa maupun para
ahli waris, maka beban tanggung jawab dialihkan kepada segenap ahli warisnya, ini
sebagai konsekuensinya dari pada penerima kuasa itu.
SARAN
Dari seluruh uraian pada uraian-uraian sebelumnya, maka dapatlah penulis
memberikan saran-saran sebagai sumbangan atas hasil pembahasan di atas, yaitu :
Dalam pelaksanaan perjanjian pemberian kuasa, acap kali para pihak saling
melanggar isi perjanjian yang ditentukan dalam surat kuasa tersebut, untuk itu perlu
penegasan dalam aturan hukum tentang hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian pemberian kuasa;
Demikian halnya dengan masalah tanggung gugat pemegang kuasa, dipandang
perlu diatur secara khusus, sehingga pemegang kuasa dapat demikian saja
menentukan hak-haknya dan menyimpangi serta menghindari apa yang menjadi
kewajibannya.
xl
Volume 9, No.1, Nop 2009
PENYELESAIN SENGKETA KONTRAK JOINT VENTURE
MELALUI FORUM ARBITRASE
Oleh:
Sri Sulastri, S.H.,M.Hum.*
Arbitrase adalah merupakan suatu lembaga peradilan di
luar lingkungan peradilan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Arbitrase
sebagai suatu lembaga peradilan, mampu menyelesaikan
perkara atau sengketa dagang dengan lebih cepat, lebih
sederhana, dan lebih murah. Karenanya di kalangan
pebisnis, lembaga ini lebih banyak dipilih guna
menyelesaikan sengketa dagang.
Kata Kunci: Arbitrase – Lembaga Peradilan – Kewenangan.
LATAR BELAKANG
Kontrak di bidang perdagangan (kontrak bisnis) merupakan kontrak yang
timbul dari interaksi hubungan bisnis antara para pihak. Hukum kontrak di bidang bisnis
dari waktu ke waktu terus berkembang mengikuti perkembangan dunia bisnis yang
makin beraneka ragam. Oleh karena itu hukum yang mengaturnya pun terus berubah,
sebagaimana dikatakan oleh djojodigoeno89 bahwa hukum adalah suatu proses perataan
yang terus-menerus memperbaharui dirinya secara langsung oleh masyarakat atau
melalui penguasa untuk perbuatan dan tingkah laku anggota-anggotanya dalam
hubungan patembayan (zakelijke verhoudingen) yang bertujuan untuk menjadi dasar
dan memelihara ketertiban, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Mariam Darus90 hukum antara lain berfungsi mengabdi masyarakat,
menjaga agar gerak masyarakat berjalan dengan lancar, kepentingan-kepentingannya
terpenuhi. Jika kepentingan masyarakat berubah, hukum harus diperbarui dan hukum
yang tidak sesuai dengan tugas pengabdiannya harus dibuang, ditinggalkan.
Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dimulai sejak Pelita I atau sejak
berlakunya Undang-Undang no:1/1967 tentang MPA dan Undang-Undang no.6/1968
tentang PMDN telah melahirkan berbagai kegiatan yang baik berhubungan dengan
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan.
89
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya di Indonesia, USU,
90
Ibid.
1980, h.2.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xli
pembangunan itu sendiri, maupun kegiatan yang timbul akibat adanya pembangunan
tersebut. Bertambahnya lembaga-lembaga hukum sejalan dengan laju pertumbuhan dan
semakin majemuknya kegiatan bisnis, mendorong timbulnya kontrak-kontrak yang
sebelumnya tidak dikenal dalam sistematika kontrak yang ada.
Tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan bentuk kontra tersebut tidak
lepas dari beberapa faktor yang antara lain faktor intern. Faktor intern merupakan faktor
yang datang dari berbagai kebijaksanaan pemerintah dalam melaksanakan fungsinya
sebagai pengembang penciptaan kemakmuran negara dan rakyat Indonesia, sehingga
harus turut campur dalam bidang ekonomi. Hal ini merupakan manifestasi dari corak
negara kesejahteraan yang tercermin dalam Pancasila dan UUD 1945.salah satu contoh
faktor intern yang mempengaruhi suasana dan kegiatan bisnis nasional adalah
dikeluarkannya berbagai paket deregulasi yang membuka kesempatan berbagai pihak
baik pribumi maupun asing untuk berpartisipasi menanamkan usahanya di Indonesia.
Misalnya PAKDES 27, 1987,pakto 27,1988 dan PAKNOV 24,1988 yang memberikan
perlunakan dan memperbesar bidang usaha yang tadinya tertutup, kini dibuka kembali
untuk orang asing di Indonesia, walaupun masih terbatas, pada mulanya dengan PP
no.36/1977 tentang pengakhiran kegiatan usaha asing dalam bidang perdagangan
berdasarkan Bedrijfsreglementeringsordonantie 1934 (s. 1938 no.86),dapat dikatakan
bahwa kegiatan usaha asing telah dihentikan. Tetapi dengan PAKDES 27 1987,
pemerintah telah membuka kembali usaha asing di bidang produksi yang didirikan
berdasarkan UU No. 1/1967 tentang PMA, para pengusaha asing diperkenankan
melakukan pemasaran produknya di dalam negeri sampai tingkat penyalur, tetapi
usahanya harus melalui usaha patungan (joint venture) antara perusahaan asing yang
bersangkutan dengan perusahaan nasional yang bertindak sebagai penyalur atau agen.
Pengertian joint venture menurut Friedman dibedakan dua macam.91 pertama
joint venture yang tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga kerjasama
tersebut hanya terbatas pada “know how” yang di bawa, ke dalam joint venture.
Know-how mencakup “technical service agreement, franchise and brand use agreement,
construction and other job performance contract, management contract and rental
agreements”.
Jenis joint venture kedua ditandai oleh partisipasi modal, untuk membedakan
jenis pertama dengan kedua, ia menggunakan istilah “joint venture” untuk jenis pertama
dan untuk jenis kedua “equity joint venture”.
Dalam praktek sehari-hari pengertian joint venture merupakan suatu perusahaan baru
yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan baru yang didirikan bersamasama oleh beberapa perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa
perusahaan yang berdiri sendiri dengan menggabungkan potensi usaha termasuk knowhow dan modal, dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut perjanjian yang
telah sama-sama disetujui.92
91
Holganng G. Friedman and George Kalmanaff: ”Joint International Venture”, New York,
1961,h. 110-111.
92
B. Natipulu, joint venture di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1975, h. 34.
xlii Volume 9, No.1, Nop 2009
Dari pengertian sehari-hari tersebut joint venture dapat dikatakan memiliki tanda-tanda
sebagai berikut:
1. perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan lain.
(Joint Company).
2. modal joint company terdiri dari know-how dan modal saham yang disediakan
oleh masing-masing perusahaan pendiri.
3. perusahaan-perusahaan pendiri joint venture tetap memiliki eksistensi dan
kemerdekaan masing-masing.
4. khusus untuk Indonesia seperti yang kita kenal sampai sekarang, joint venture
merupakan kerjasama antara perusahaan domestik dan perusahaan asing, tidak
menjadi soal apakah modal pemerintah atau modal swasta.
Menurut Sumaryati Hartono Joint Venture adalah kerjasama antara pemilik
modal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian
belaka (contraktueel).93
Dalam arti yang luas, pengertian joint venture tidak saja mencakup suatu
kerjasama di mana masing-masing pihak melakukan penyertaan modal (equity joint
venture). Tetapi juga bentuk-bentuk kerjasama lainnya yang lebih longgar, yang kurang
penanaman sifatnya, serta tidak harus melibatkan partisipasi modal.
Pola yang pertama mengarah kepada pembentukan suatu badan hukum,
sedangkan pada pola yang kedua perwujudannya nampak dalam berbagai bentuk
kontrak keerjasama (contractual joint venture); dalam bidang manajemen (manajement
contract), pemberian lisensi/Lisence agreement), bantuan tehnik dan keahlian(technical
assistance and know-how agreement, dan lain sebagainya.94
Sementara itu, joint venture dapat juga diartikan sebagai usaha patungan, dan
perjanjian yang dibuat (misalnya oleh pengusaha Indonesia dan pihak asing) dalam
rangka kerjasama itu, merupakan suatu kontrak yang bersifat internasional. Hal itu
disebabkan perjanjian itu dibuat antara pihak-pihak di mana masing-masing pihak
adalah tunduk pada sistem hukum nasional yang berlainan.95
Sedangkan dalam Black`s Law Dictionary seperti yang dikutip oleh Amirizal
(1996) di jelaskan bahwa joint venture adalah suatu badan hukum (legal entity) yang
berwujud suatu perserikatan (in the nature of apartnership) yang diperjanjikan dalam
usaha bersama. Suatu kumpulan dari beberapa orang yang secara bersama-sama
menjalankan usaha komersial, ”joint venture” memerlukan persamaan kepentingan
dalam menjalankan pokok urusan, adanya hak dan kewajiban untuk mengarahkan atau
pengurusan dalam kebijaksanaan atau pengurusan dengan kebijaksanaan tertentu, yang
93
Sumaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di
Indonesia, Alumni, Bandung, 1972, h.127.
94
Amirizal, Hukum Bisnis Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia teori dan Praktek, djambatan,
Jakarta, 1996, h. 83.
95
Sudargo Gautama, Beberapa Persoalan Berkanaan Dengan Perjanjian Joint Venture Di
Indonesia, Hukum dan Pembangunan, 5 Oktober 1990, h. 447.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xliii
dapat diubah melalui perjanjian, untuk memperoleh keuntungan dan menanggung
kerugian secara bersama-sama.96
Jika kita mengacu pada pengertian yang luas, berdasarkan suatu perjanjian,
maka kerjasama (joint venture) adalah bentuk suatu perjanjian yang menekankan pada
usaha patungan yang tidak sementara sifatnya. Usaha patungan yang berbentuk ketika
dua pihak atau lebih, baik secara pribadi maupun perusahaan, masing-masing
bermaksud menjadi mitra dalam suatu kegiatan, dan mengaturnya secara bersama
dengan membentuk perusahaan baru yang saham-sahamnya juga dimiliki secara
bersama-sama.97
Pada umumnya perusahaan patungan dimulai dengan suatu perjanjian patungan
(joint venture agreement). Perjanjian tersebut dibuat antara para pemegang saham
menjelang perusahaan patungan itu berdiri, yang menggambarkan ekuitas kekuasaan
yang nyata melalui saham-saham dalam perusahaan setelah perusahaan terwujud.
Di Indonesia, perjanjian patungan mengenai penanaman modal asing dan joint
venture bukan hanya tunduk pada UU no.1/1967 dan KUH Perdata khususnya buku 3,
bab 2, tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan pada ketentuan-ketentuan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diputuskan oleh pemerintah mengenai penanaman
modal asing.98
RUMUSAN MASALAH
Suatu transaksi joint venture akan membawa pula dampak pada pengaturan dan
hubungan hukum antara para pihak dari segi hukum perdata internasional, sebab di
dalamnya terkait unsur asing. Oleh karena itu, untuk adanya kepastian hukum maka halhal yang diperjanjikan dalam hubungan kerjasama tersebut (joint venture agreement).
Hal-hal yang menimbulkan persoalan dari suatu perjanjian, adalah menyangkut
peradilan atau arbitrase harus disepakati yang akan ditentukan secara bersama, hal
tersebut sangat berguna untuk menengahi, apabila timbul perselisihan di antara mereka
di kemudian hari.
Bertitik tolak pada problem hukum di atas, maka penulis dapat mengangkat
judul penulisan ini dengan judul penyelesaian sengketa kontrak joint venture tergantung
kepada kesepakatan kedua belah pihak, jika yang disepakati arbitrase yang bakal
menyelesaikan sengketa antara mereka, maka pihak-pihak tersebut harus tunduk dan
melaksanakannya. Dan teori yang digunakan adalah teori dari Huala Andolg, hukum
arbitrase komersial internasional.
PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL ASING (JOINT VENTURE)
96
97
Amirizal, Op.cit., h. 80.
Eman Radjaguguk, Indonesianisasi Saham, Bina Aksara, Jakarta,1 985, h. 12.
98
Ibid., h.13.
xlivVolume 9, No.1, Nop 2009
Berdasarkan pasal 23 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman
Modal Asing, tidak semua bidang usaha terbuka bagi penguasaan penuh modal asing.
Dalam bidang-bidang tertentu umpamanya yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak,
investor asing harus mengadakan kerjasama dengan pengusaha (mitra)lokal.
Selanjutnya hal ini dapat kita lihat dalam daftar negative investasi di mana dalam
bidang-bidang usaha tertentu dapat dilaksanakan “joint venture”. Berdasarkan
keputusan Menteri Negara Penggerak Dana investasi/ketua badan koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) no. 15/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan
Saham Perusahaan yang Didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing, pada pasal 8
tercantum bidang-bidang usaha yang harus diselenggarakan oleh perusahaan “joint
venture” yaitu: Pelabuhan, Produksi, Transmisi dan Distribusi Tenaga Listrik untuk
umum; Telekomunikasi, Pelayaran, Penerbangan, Air Minum, Kereta Api Umum,;
Pembangkitan Tenaga Atom dan Mass Media.
Selain alasan keharusan oleh undang-undang seperti tersebut di atas, faktorfaktor penting lainnya yang mendorong investor asing berusaha dalam bentuk “joint
venture” dengan mitra lokal adalah :99
a. peranan mitra lokal sangat penting karena menjual produk asing di suatu
negara tertentu sangat sulit bagi orang asing, dalam hal ini investor asing dapat
memperoleh akses ke pasar domestik yang dimiliki oleh mitra lokal.
b. Pemerintah biasanya merupakan pembeli (konsumen) yang besar, namun di
sisi lain ada kebijakan bahwa pembelian di utamakan bagi barang-barang
produksi dalam negeri. Oleh karena P.T. “joint venture” dianggap sebagai
perusahaan dalam negeri, maka peluangnya menjadi terbuka untuk menjual
hasil produksi kepada pemerintah.
c. Dengan bentuk “joint venture” lebih mudah untuk mendapatkan dan menjaga
hubungan baik dengan pemerintah serta mendapatkan kemudahan dan
perlakuan sama, diantaranya melalui deregulasi.
d. Mitra lokal yang bisa diandalkan, dalam banyak hal akan lebih mampu
menerobos hambatan birokrasi, bahkan dapat mempengaruhi tindakan
birokrasi melalui hubungan baik dengan para pejabatnya .
e. Dengan “joint venture”, kesulitan mendapatkan sumber daya manusia dan
semangat serta kekuatan moralnya dapat diatasi dengan baik.
Apabila dilihat dari kepentingan mitra lokal (investor lokal), maka “joint
venture” akan memberikan keuntungan yaitu:100
1. mitra lokal mendapatkan bantuan pendanaan dengan memanfaatkan
modal asing.
2. mitra lokal dapat memanfaatkan kemampuan manajemen asing yang
kaya pengalaman.
99
Amirizal, Op.Cit6. ,hal. 95.
Ibid . , hal. 96.
Volume 9, No.1, Nop 2009
100
xlv
3.
mitra lokal dapat memanfaatkan dan menembus pasar di luar negeri
yang dikuasai oleh investor asing.
4. mitra lokal dapat menerima alih teknologi asing.
5. mitra lokal dapat meningkatkan kemampuan karyawan domestik
dengan latihan yang diberikan oleh investor asing.
Sedangkan kerugian yang mungkin diderita mitra lokal sehubungan dengan
kerja sama “joint venture” adalah:101
1. manajemen tidak dapat dikuasai sepenuhnya oleh mitra lokal, melainkan harus
dibagi dengan pihak investor asing yang lebih mempunyai kemampuan.
2. jika joint venture dilakukan dengan pihak Mulu Nasional Corporation
(MNC),maka strategi dan pasar akan ditentukan menurut cara-cara yang
berlaku di dalam MNC tersebut.
3. pelatihan dan manajemen belum tentu diberikan dalam batas-batas kemampuan
yang memadai untuk standar asing.
4. kemungkinan transfer teknologi dari partner asing dilakukan dalam ukuran
yang kurang optimal. Selain itu hasil penelitian dan pengembangan tidak
seluruhnya diberikan kepada “joint venture”.
5. kemungkinan transfer nilai harga dengan perusahaan induk dalam dimensi
lebih besar dapat dilaksanakan yang bisa menyebabkan kerugian bagi mitra
lokal, karena besar prosentase sahamnya turun.
Keputusan ketua BKPM No. 12/sk/1986 tanggal 4 Juni 1986 tentang
persyaratan pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing,
menetapkan bahwa perusahaan penanaman modal asing harus berbentuk usaha
patungan (“joint venture”) dengan penyertaan modal nasional sekurang-kurangnya 20%
dan meningkat menjadi 51% dalam waktu 10 tahun sejak dimulainya produksi
komersial perusahaan. Ketentuan tersebut dengan perkembangan waktu dan
perkembangan kebutuhan akan modal asing, menjadi melunak. Besarnya penyertaan
saham lokal dalam perusahaan “joint venture” berbeda-beda dari waktu ke waktu.
Ketentuan yang berikut mengatur PMA dalam bentuk “joint venture” di Indonesia,
tertuang dalam beberapa paket deregulasi yaitu:
a. PP No. 50 tahun 1993. paket Deregulasi bulan Oktober 1993 ini lebih berani
dibandingkan paket deregulasi bulan Juli 1992, memuat ketentuan:
1) Di kawasan berikat produksi dengan tujuan ekspor ini dimungkinkan PMA 100%
bagi bidang yang maksimum 25% produknya untuk pasaran dalam negeri.
Komposisi pemilikan saham antara investor asing dengan mitra lokal menjadi 80%
dibanding 20% dalam waktu 20 tahun dimulai sejak 10 tahun berproduksi
komersial.
2) Untuk investasi besar dengan modal di setor minimal 50 juta dollar AS di daerah
tertentu dimungkinkan juga PMA 100%. Kepemilikan saham antara investor asing
101
Ibid ., h. 97.
Volume
9, No.1, Nop 2009
xlvi
dengan mitra lokal menjadi 49% dibanding 51% dalam waktu 20 tahun dimulai
sejak 10 tahun berproduksi komersial.
3) Investasi modal asing 100% dimungkinkan untuk perusahaan yang menghasilkan
bahan penolong barang setengah jadi atau komponen untuk industri lain dengan
modal minimal 2 juta dollar AS. Kepemilikan saham antara investor asing dengan
mitra lokal menjadi 49% dibanding 51% dalam waktu 20 tahun sejak dimulainya
produksi komersial.
b. PP No. 20 tahun 1994. paket deregulasi ini memuat ketentuan :
1) untuk perusahaan yang melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, maka komposisi modal antara
investor asing dengan mitra lokal adalah 95% dibanding 5%. Sedangkan
perkembangan peningkatan kepemilikan saham mitra lokal diserahkan kepada para
pihak berdasarkan kesepakatan yang meliputi jangka waktu maupun
perimbangannya. Dengan kata lain PP ini tidak mengharuskan adanya
indonesiasisasi saham.
2) Di luar bidang-bidang yang telah ditentukan (berdasarkan daftar negatif investasi),
maka PMA boleh 100%,dengan ketentuan dalam jangka waktu 15 tahun sejak
berproduksi komersial harus menjual sebagian sahamnya kepada WNI atau badan
hukum Indonesia, secara langsung maupun melalui pasar modal. Pengalihan saham
kepada mitra lokal tidak mengubah status perusahaan.
Kerjasama “joint venture” yang isinya antara lain mengenai besarnya modal
yang akan ditanamkan, bagian masing-masing pihak dalam bentuk saham, susunan
Direksi dan komisaris (manajemen), transfer, teknologi, pengalihan saham, hukum yang
berlaku terhadap perjanjian ”joint venture” tersebut. Sebagian dari isi perjanjian “joint
venture” dituangkan dalam Anggaran Dasar PT. “joint venture”, seperti mengenai
besarnya modal, Susunan Direksi dan Komisaris. Namun demikian sebaliknya pada saat
pembuatan konsep, tidak semua ketentuan dalam Anggaran Dasar PT> “joint venture”
dituangkan dalam perjanjian “joint venture”. Perjanjian “joint venture” dan Anggaran
Dasar PT. ”joint venture” merupakan “konstitusi” dari PT. “joint venture”.
Menurut Hukum Indonesia, perusahaan ”joint venture” yang berbentuk PT.
Maka perusahaan “joint venture” tersebut terlepas dari perusahaan induknya dan
bertanggung jawab terhadap pihak ketiga sebatas kekayaan yang dimiliki oleh
perusahaan PT. ”joint venture” tersebut. Anggaran dasar PT. “Joint venture” dan
ketentuan lain terdapat dalam akta pendirian. Sebagian dari Anggaran dasar PT
merupakan penuangan dari isi perjanjian “joint venture” . sehingga dapat dikatakan
bahwa hubungan antara perjanjian “joint venture’ menjadi sumber dan pokok-pokoknya
tertuang dalam Anggaran Dasar PT. “joint venture”. Hal-hal yang bisa dimasukkan
dalam Anggaran Dasar PT. “joint venture” yang berasal dari perjanjian “joint venture”
akan dimasukkan. Oleh karenanya sangat jarang atau bahkan tidak pernah bahwa isi
dari anggaran dasar PT. “joint venture” berbeda atau bertentangan dengan isi dari
perjanjian “joint venture”. Secara yuridis sengketa mengenai perjanjian “joint venture”
Volume 9, No.1, Nop 2009
xlvii
mengacu kepada klausula dispute settlement yang sebagian besar memilih arbitrase,
sedangkan anggaran dasar PT. “joint venture” mengacu kepada UU No.1 tahun 1995.
dalam pengajuan ijin kepada BKPM, para pihak diwajibkan mengirimkan sebagai
lampirannya adalah perjanjian “joint venture” yang sudah disetujui dan ditanda-tangani
oleh para pihak serta konsep (draft) dari anggaran dasar PT. ”joint venture”. Prosedur
ini ditempuh karena BKPM akan melihat kalau ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan ataupun ada hal-hal yang merugikan pihak investor
lokal.
PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK JOINT VENTURE
Sebagai mana telah disinggung dalam bab pendahuluan bahwa penyelesaian
sengketa kontrak joint venture tergantung kepada kesepakatan pihak-pihak yang telah
tertuang dalam perjanjian joint venture. Jika telah disepakati penyelesaian sengketa
akan diselesaikan melalui forum arbitrase, maka forum arbitraselah yang akan
menyelesaikan. Oleh karena itu perlu diperhatikan maksud klausula arbitrasenya.
Pembahasan mengenai arbitrase dalam bagian ini dititik beratkan kepada
pembuatan, penyusunan dan perumusan klausula-klausula arbitrase harus dilakukan
dengan cermat dan teliti. Sesuai dengan azas hukum perjanjian, maka Asas Kebebasan
Berkontrak sebagaimana yang terdapat pada pasal 1338 KUH Perdata (BW) akan
mengikat mereka yang membuat perjanjian bagaikan undang-undang. Keputusan
Mahkamah Agung no. 117 K/Sip/1971 antara lain menyatakan bahwa : “perjanjian
adalah undang-undang bagi kedua belah pihak”. Klausula arbitrase merupakan dasar
pijakan bagi kewenangan para arbiter untuk memeriksa serta memutuskan perkaranya.
Klausula arbitrase juga menentukan seluas apa serta sejauh mana ruang lingkup
kewenangan para arbiter. Dalam membuat klausula arbitrase harus diperhatikan secara
seksama syarat-syarat Konvensi New York 1958 dan juga syarat-syarat yang ditetapkan
oleh hukum nasional yang berlaku terhadap klausula arbitrase.
Tidak semua sengketa dapat diserahkan penyelesaiannya pada lembaga
arbitrase. Hanya sengketa-sengketa mengenai hak-hak subyektif yang sepenuhnya
dikuasai para pihak saja yang dapat diajukan pada peradilan arbitrase. Pasal 616 RV
menyatakan bahwa: “tidaklah diperkenankan, atas ancaman kebatalan, untuk
mengadakan suatu persetujuan perwasitan mengenai penghibahaan atau penghibah
wasiat nafkah, mengenai perceraian atau perpisahan dari meja dan tempat tidur antara
suami dan istri, mengenai hukum seseorang, ataupun mengenai lain-lain sengketa
tentang mana ketentuan-ketentuan undang-undang tidak diperbolehkan mengadakan
suatu perdamaian”.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xlviii
Salah satu instrument arbitrase yang mensyaratkan sahnya suatu perjanjian
arbitrase internasional untuk dapat diakui dan dilaksanakan, secara lengkap telah diatur
dalam Konvensi New York 1958 pada pasal II, yaitu:102
a. perjanjian tersebut harus dibuat secara tertulis.
b. Perjanjian tersebut mengatur sengketa-sengketa yang telah timbul atau yang
mungkin timbul di antara para pihak.
c. Sengketa-sengketa yang telah timbul tersebut adalah sengketa-sengketa yang
berasal dari suatu hubungan hukum baik yang sifatnya kontraktual atau bukan.
d. Sengketa-sengketa tersebut adalah masalah-masalah yang dapat diselesaikan oleh
arbitrase.
e. Para pihak dalam perjanjian tersebut memiliki kemampuan hukum menurut hukum
yang berlaku kepada mereka.
f. Perjanjian arbitrase harus sah menurut hukum para pihak dan apabila tidak ada
pengaturan seperti itu, maka perjanjian tersebut harus sah menurut negara di mana
suatu putusan arbitrase dibuat.
Dalam penyelesaian sengketa antar para pihak dalam PT. “joint venture”, para
investor asing lebih suka memilih arbitrase dari pada penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, karena alasan-alasan sebagai berikut :103
1. sidang arbitrase tidak terbuka untuk umum sehingga tidak akan mengurangi
pandangan (image) terhadap PT. “joint venture” tersebut. sifat dari arbitrase
adalah sesuai dengan keinginan dari para pihak yaitu pravitasasi sengketa,
sehingga terhinadar adanya publikasi media massa yang berlebihan dan kadang
memojokkan yang menyebabkan berkurangnya kredibilitas dan bonafiditas dari
kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa dalam arbitrase mengarah kepada
penyelesaian yang menguntungkan kedua pihak (win-win solution). Sebaliknya
sidang-sidang pengadilan terbuka untuk umum, penyelesaian sengketa di
pengadilan untuk mencari kebenaran baik formal maupun materiil. penyelesaian
di pengadilan akan memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lain
(win lose solution). Suasana adanya pihak yang salah dan kalah, merupakan
situasi dan kondisi yang harus dihindari apabila kerja sama akan dilanjutkan.
2. penyelesaian sengketa melalui arbitrase relatif lebih singkat apalagi putusan
arbitrase adalah merupakan putusan yang final and binding. Arbitrase dianggap
lebih cepat dari pada pengadilan karena ada ketentuan dalam arbitrase mengenai
batas waktunya sehingga lebih menguntungkan dalam segi waktu. Jangka waktu
kerja arbitrase dibatasi oleh undang-undang seperti di Indonesia oleh peraturan
hukum acara perdata (reglement op de burgerlijke rechtsvordering, di singkat
R.V.). dalam pasal 644 R.V, memberi batas waktu penyelesaian sidang 6 bulan
sampai pada putusan akhir dan final. Sedangkan B.A.N.I memberikan batas
waktu 3 bulan dengan kesempatan perpanjangan tambahan 3 bulan lagi. Dalam
ketentuan I.C.C (international chamber of commerce) pada arbitrase pasal 2
102
Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Grafindo Persada Jakarta, 1994, h. 40.
Girsing, Arbitrase Jilid II, Mahkamah Agung, Jakarta , 1992, h. 3-4.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xlix
103
3.
4.
5.
l
disebutkan bahwa apabila para pihak memilih wasit tunggal, maka diberi batas
waktu untuk penentuan wasit tersebut sampai 30 hari sejak klaim untuk sidang
arbitrase diterima oleh pihak lain. Apabila tidak tercapai maka penunjukan wasit
ditentukan oleh sidang pengadilan P.T. “joint venture” yang hasil dari produknya
diperdagangkan sampai ke pasar internasional membutuhkan penyelesaian
sengketa ssecara cepat, karena bila berlarut-larut akan menghambat gerak laju
dari perusahaan itu, merugikan para pemegang saham sedangkan di lain pihak
akan menguntungkan para pesaing. Dengan cepatnya penyelesaian sengketa
berupa putusan majelis arbitrase maka juga berarti menghemat biaya bagi para
pihak. Adanya putusan dari majelis arbitrase masih terbuka peluang untuk
melanjutkan kerja sama antar para pihak dalam P.T. “joint venture”.
sedangkan penyelesaian sengketa di pengadilan lebih panjang karena adanya
pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan
Peninjauan Kembali. Penyelesaian yang lambat dari Peradilan Pemerintah
terutama disebabkan adanya sistem (melsel) tukar-menukar kesimpulan. Sistem
ini dalam arbitrase tidak tertulis, namun biasanya persiapan tertulis dari suatu
penanganan secara lengkap dianggap tidak dapat di hilangkan. Pada arbitrase
menghemat waktu karena persidangan perkara diputus dalam satu tahap saja.
Namun demikian proses arbitrase yang rumit acapkali tidak lebih cepat dari
penanganan oleh Pengadilan Negeri. Contohnya adalah kasus sengketa perkara
Hotel Kartina Plaza, antara AMCO Asia Corporation, Pan American
Development limited dan P.T. Amco Indonesia melawan Republik Indonesia,
yang diajukan pertama kali pada tanggal 15 Januari 1981 dan baru diputus 4
tahun kemudian.104
arbitrase dipilih oleh para pihak sendiri sehingga integritasnya terpercaya, begitu
juga pengalaman dan keahlian mereka, terlebih lagi persengketaan mengenai
usages of trade dan teknologi modern dianggap para pihak sebaiknya ditangani
oleh para profesional sendiri. Di lai n pihak hakim pengadilan terkadang
bukanlah orang yang ahli dalam bidang yang di persengketakan.
dalam bidang arbitrase tidak banyak formalitas yang dituntut dan harus diikuti
oleh para pihak. Berbeda halnya dengan peradilan biasa yang penuh dengan
formalitas. Seperti tata cara pemanggilan, tata cara penyampaian exploit, jangka
waktu tertentu untuk melakukan tindakan hukum, seperti pembatasan untuk naik
banding, penyampaian waktu untuk sidang, bentuk atau format untuk risalahrisalah atau lain-lainnya. Ketidak tepatan dalam mengikut formalitas tersebut
diatas, dapat menyebabkan hilangnya kesempatan untuk melanjutkan
pemeriksaan. Hal ini pun bisa terjadi dalam mengeksekusi putusan arbitrase yang
memerlukan bantuan dari pengadilan. Ini adalah merupakan bentuk
ketergantungan dari arbitrase kepada pengadilan. Selama para pihak mempunyai
itikad baik dan masih adanya sportifitas dari keduanya, maka penyelesaian
104
The Hon Mr. Justice Kerr, International Arbitrase V, Litigation, Hongkong: 1979, h. 165.
Volume 9, No.1, Nop 2009
permasalahan tidak terlalu sukar. Namun adakalanya yang kalah dalam arbitrase
masih juga berupaya mencari ikhtiar lain yaitu melakukan upaya hukum di
pengadilan. Padahal sudah ada kesepakatan umum bahwa apabila sudah melalui
arbitrase maka tidak dibolehkan lagi melalui pengadilan. Di sinilah letak
sportifitas dari para pihak yang bersengketa. Pengusaha yang tidak jujur dan
tidak beritikad baik akan selalu berupaya untuk mengelak dari kewajibannya dan
berusah untuk mengulur-ulur waktu dengan berbagai cara, termasuk menempuh
upaya hukum untuk menganulir putusan majelis arbitrase. Oleh karenanya
arbitrase hanya bermanfaat bagi para pengusaha yang beritikad baik.
6. bagaimanapun juga pada era globalisasi ini, perjanjian antar para pihak
penyelesaian persengketaan di dunia bisnis internasional termasuk persengketaan
dalam P.T. “joint venture”, yang menyerahkan penyelesaiannya ke pengadilan
relatif jarang dan akan bertambah langka. Di antara alasan kenapa para pihak
lebih memilih arbitrase daripada pengadilan tersebut adalah karena banyak
bentuk standar kontrak yang dipergunakan dalam dunia bisnis internasional
biasanya dalam bahasa Inggris, kebanyakan transaksi yang dilakukan tiap hari
dalam negosiasinya menunjuk penyelesaian sengketa dengan melalui arbitrase.
Hal ini disebabkan arbitrase siap digunakan dalam segala situasi dan kondisi,
nasional maupun internasional. Bahkan kalaupun dalam perjanjian mereka
menunjuk kepada arbitrase ad hoc, karena salah satu atau kedua belah pihak
sering kali adalah merupakan anggota dari assosiasi perdagangan yang aturanaturannya mengarah kepada arbitrase, atau lebih familiar dengan istilah kontrak
standar dari klausula arbitrase, sehingga menghendaki klausula yang demikian
yang ingin dimasukkan dalam perjanjiannya.
Sebagian besar dari perjanjian “joint venture” dalam rangka penanaman modal
asing memilih arbitrase luar negeri sebagai tempat penyelesaian sengketa, di samping
itu ada yang memilih arbitrase dalam negeri yaitu badan arbitrase nasional Indonesia
(B.A.N.I). ada perjanjian “joint venture’, yang dalam rumusan klausula pemerintah
sebelum masuk penyelesaian sengketa mengenai materinya (substansinya). Oleh
karenanya suatu perjanjian yang memuat klausula arbitrase yang jelas akan sangat
bermanfaat bagi penyelesaian sengketa. Klausula arbitrase seharusnya mencantumkan
dengan jelas apakah arbitrase tersebut dilaksanakan melalui arbitrase “ad hoc” atau
melalui arbitrase permanen.
Menurut Sumaryati Hartono, sampai kini kebanyakan sengketa ekonomi
diselesaikan secara berdamai antara kedua belah pihak.105 kadang-kadang suatu instansi
pemerintah, seperti badan koordinasi penanaman modal bertindak sebagai penengah.
Misalnya dalam hal terjadi sengketa antara penanaman modal asing dengan penanam
luar negeri. Seringkali pula BKPM bahkan mencarikan partner baru (asing maupun
Indonesia) untuk menjaga kelangsungan suatu joint venture yang terlibat dalam
sengketa antar penanam modal asing dengan pengusaha Indonesia. Dalam hal-hal
105
Sumaryati hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina cipta, Bandung, 1982,
h. 161.
Volume 9, No.1, Nop 2009
li
seperti ini BKPM sebenarnya tidak bertindak sebagai arbiter (karena memang tidak ada
landasan hukum yang memberi wewenang untuk menyelesaikan sengketa ekonomi)
akan tetapi BKPM sekedar bertindak dalam rangka melancarkan PMA. Dalam rangka
ini bahkan BKM hampir-hampir bertindak sebagai konsultan.106
KESIMPULAN
penyelesaian sengketa kontrak joint venture dapat diselesaikan sesuai bunyi
kontrak yang telah mereka sepakati. Sesuai dengan asas perjanjian yang tertuang dalam
pasal 1338 KUH Perdata (BW) jo, Keputusan Mahkamah Agung RI no. 117/k/sip/1971
tanggal 2 Juni 1971 antar lain menyatakan bahwa :’perjanjian adalah undang-undang
bagi kedua belah pihak jika dalam kontrak joint venture terdapat klausula jika terjadi
persengketaan di kemudian hari akan diselesaikan melalui forum arbitrase tidak di
forum pengadilan, maka jika terjadi kasus, arbitraselah yang akan menyelesaikan
sengketa tersebut. Jadi klausula arbitrase merupakan dasar pijakan bagi kewenangan
para arbiter untuk memeriksa serta memutus perkaranya.
Dalam praktek sebelum sengketa joint venture itu dianjurkan ke forum
arbitrase, sebelumnya dapat diselesaikan melalui musyawarah (perdamaian), yaitu
melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai penengah. Dengan
tujuan untuk menjaga kelangsungan suatu joint venture antara investor asing dengan
investor lokal.
lii
106
ibid
Volume 9, No.1, Nop 2009
PELAKSANAAN HAK TANGGUNGAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996
Oleh:
H. Akh. Munif, S.H.,M.Hum.*
ABSTRAK
Ketika lembaga jaminan masih hipotik, proses
eksekusinya tetap merujuk pada acara perdata dalam
HIR. Dengan berlakunya Undang-undang Hak
Tanggungan diharapkan segala hambatan yang
dialami oleh hipotik dapat ditutupi, namun dalam
praktiknya pelaksanaan Hak Tanggungan juga
menghadapi masalah yang serupa dengan hipotik.
Kata Kunci: Hak Tanggungan – Pengaturannya – Proses
eksekusinya
LATAR BELAKANG
Hukum Pertanahan yang berlaku di Indonesia sebelum berlakunya UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) yang telah diundangkan pada tanggal 24 September
1960 dan telah dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 104 tahun
1960107 bersamaan dengan berbagai perangkat Hukum Agraria, ada yang bersumber
pada Hukum Adat yang berkonsepsi komunalistik religius, ada yang bersumber pada
Hukum Perdata Barat yang individualistik-liberal dan ada pula yang bersumber dari
berbagai bekas Pemerintahan Swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal108. Dengan
lahirnya UUPA telah dihapuskan dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria
kolonial dan berakhirnya dualisme dalam hukum agraria109 yang berlaku di Indonesia
yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan bangsa110. UUPA merupakan suatu
* Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan.
107
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya),Jilit I, Djambatan, Jakarta 1999, hal 1.
108
Ibid, hal 1.
109
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cet.Keenam, PN Balai
Pustaka, Jakarta 1984, hal 318.
110
Agus Sekarmadji, Pluralisme Hukum di Bidang Pertanahan (Tinjauan dari Aspek Antropologi
Hukum), Yuridika Volume 16, Nomor 2, Maret 2001.
Volume 9, No.1, Nop 2009
liii
Undang-Undang yang progresif111, maka pada tanggal 24 September 1960 merupakan
suatu tanggal yang penting dalam kehidupan hukum pertanahan di Indonesia.
Asas yang diletakkan dalam pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria yang
mengatakan, bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara112, hal ini sesuai dengan jiwa dan alam bangsa Indonesia. Dengan demikian
kelihatan adanya titik terang dan jaminan yang pasti bagi bangsa dan rakyat Indonesia
atas tanah. Dengan Undang-Undang Pokok Agraria yang baru ini sebagai pelaksanaan
pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Tentu saja mengenai Undang-Undang yang baru
disini adalah dimaksudkan Undang-Undang Agraria yang berdasarkan Hukum Adat.
Kiranya mengenai hukum adat yang telah berabad-abad berkembang disamping hukum
Eropa tentunya akan mengalami pengaruh-pengaruh yang tidak sedikit113,
karena
bagi hukum Eropa itu mempertegak sistem Liberalisme, hukum adatpun akan
mengandung dalam beberapa hal unsur-unsur tersebut. Karenanya buat hukum adat itu
perlu dibersihkan dari pengaruh-pengaruh tersebut yang tidak sesuai lagi dengan dasardasar Sosialisme Indonesia. Sedang bagi landasan Undang-Undang Pokok Agraria ialah
hukum adat yang dibersihkan dari unsur-unsur yang bersifat pemerasan serta
mengindahkan Undang-Undang Agama. Kalau tadi kita sebutkan bahwa landasan
UUPA adalah hukum adat, hal ini tepat sekali karena hal ini sesuai dengan pribadian
kita, karena hukum adat merupakan hukum asli bagi bangsa Indonesia114.
Dalam
penjelasan pasal 5 UUPA sendiri mengatakan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari
hukum agraria yang baru115, hal ini mengandung unsur nasionalisme sehingga lebih
cepat diterima oleh masyarakat. Mendasarkan pada hukum Adat berarti bahwa asas-asas
hukum adat tentu kita pakai sebagai dasar pengaturan hukum agraria. Itupun harus
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dan Negara yang modern atau dengan
perkataan lain disesuaikan dengan kebutuhan jaman. Menafsirkan pasal 5 UUPA
sebagai yang disebut terakhir, yaitu menafsirkan UUPA didasarkan atas hukum adat
yang telah disesuaikan dengan kebutuhan jaman, mempunyai keuntungannya, bahwa
UUPA masih bisa menampung asas-asas lain yang bermanfaat bagi perkembangan
hukum Agraria sekalipun tidak dikenal dalam hukum adat116.
Tanah merupakan salah satu jenis benda tetap yang memiliki kedudukan yang
sangat penting dalam tata kehidupan masyarakat. Terlebih lagi ketika era modernisasi,
segenap lintasan mulai dipacu, peranan tanah semakin mengedepan. Pada gilirannya
111
Kukuh Achmadi, Pengantar Hukum Agraria, Diktat Kuliah Hukum Agraria, Universitas
Jember, Jember 1777, hal 12.
112
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan-Buku I, Cet. I,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 25.
113
Kukuh Achmadi, Op Cit, hal. 13
114
Ibid, hal. 13
115
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah), Cet.
Ketujuh, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1986, hal. 37.
116
J. Satrio, Op Cit hal. 27.
liv
Volume 9, No.1, Nop 2009
nilai tanah menjadi semakin tajam dialami oleh masyarakat kota yang tingkat
pertumbuhannya semakin pesat, sehingga kebutuhan terhadap tanah menjadi bertambah
rumit dan langka. Berdasarkan fakta di atas, maka masalah tanah akan semakin sentral
menyita perhatian banyak kalangan.
Pada dasarnya hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh seseorang dan
sudah barang tentu dapat pula dialihkan, memiliki nilai ekonomis yang cukup sentral.
Oleh sebab itu hak-hak atas tanah tersebut memungkinkan pula untuk dijadikan obyek
jaminan dengan dibebani Hak Tanggungan.
Berdasarkan ketentuan pasal 51 UUPA yang menegaskan bahwa Hak
Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 UUPA diatur dengan Undang-Undang117.
Sedangkan Undang-Undang yang dimaksudkan dalam pasal 51 UUPA tersebut belum
terwujud, sesuai dengan ketentuan pasal 57 UUPA yang berlaku adalah ketentuanketentuan mengenai Hypotheek yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia (BW) dan ketentuan tentang Crediet Verband sebagaimana
tersebut dalam Staatsblad 1908 – 542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937
– 1990 yang dipergunakan sehubungan dengan pengikatan jaminan kredit.
Ketentuan-ketentuan tentang Hypotheek dan Crediet Verband masih
diberlakukan sementara118 sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Hak
Tanggungan tersebut. Hypotheek dan Crediet Verband merupakan peninggalan zaman
kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum adanya
hukum tanah nasional119.
Ketentuan tentang Hypotheek dan Crediet Verband itu tidak sesuai dengan
asas-asas hukum tanah nasional dan dalam kenyataannya tidak dapat menampung
perkembangan yang terjadi dalam bidang perkreditan dan hukum jaminan sebagai
akibat dari kemajuan pembangunan ekonomi. Akibatnya ialah timbulnya perbedaan
pandangan dan penafsiran mengenai berbagai masalah dalampelak sanaan hukum
jaminan atas tanah, misalnya mengenai pencantuman titel eksekutorial, pelaksanaan
eksekusi dan lain sebagainya. Sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dirasa
kurang memberikan jaminan kepastian hukum dalam kegiatan perkreditan (Penjelasan
Umum Undang-Undang Hak Tanggungan)120.
Dengan demikian berlaku dualisme aturan yang mengatur mengenai jaminan
khususnya hak-hak atas tanah berikut benda-benda yang ada di atasnya yaitu ketentuanketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana termaktub dalam Buku II Kitab Undang117
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah), Op Cit hal 20.
118
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan (Asasasas Dan Permasalahan yang
dihadapi Perbankan), Jurnal Hukum Bisnis, Volume 1, Yayasan Pembangunan Hukum
Bisnis, Jakarta, 1997, hal 5.
119
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok Dan Masalah
masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Cet. Pertama, Airlangga niverty Press, Surabaya, 1996, hal 1.
120
Ibid, hal 2.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lv
Undang Hukum Perdata Indonesia (BW) dan ketentuan-ketentuan tentang Crediet
Verband sebagaimana termaktub dalam Staatsblad 1908 – 542 sebagaimana telah
diubah dengan Staatsblad 1937 - 1990121.
Dualisme aturan yang mengatur tentang jaminan122 tersebut hanya hak-hak atas tanah
yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang dapat dibebani
dengan hak tanggungan berupa Hypotheek dan Crediet Verband, begitu pula bendabenda lain selain hak-hak atas tanah tersebut dan bangunan yang ada di atasnya tidak
diatur dalam dua lembaga jaminan tersebut di atas. Padahal kita tahu bahwa macammacam hak-hak atas tanah sesuai dengan ketentuan pasal 16 UUPA, banyak sekali
macam-macam hak-hak atas tanah yang boleh dimiliki oleh setiap orang baik
perorangan ataupun secara bersama-sama atau Badan Hukum. Dua aturan lembaga
jaminan yaitu Hypotheek dan Crediet Verband belum menampung keinginan para
pengguna jasa lembaga pengkreditan (Kreditor dan Debitor), sehingga sangat
diperlukan suatu aturan yang mengatur mengenai jaminan atau Hak Tanggungan yang
bisa menampung keinginan para pelaku bisnis khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
Melewati rentang waktu lebih dari tigapuluh lima tahun 123 kemudian setelah
lahirnya UUPA dan sebagai wujud dari tuntutan amanat dari pasal 51 UUPA, maka
Undang-Undang Hak Tanggungan yang dijanjikan tersebut terwujud tepatnya pada
tanggal 9 April 1996 yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan
tanah.
Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah, maka terwujudlah sudah unifikasi Hukum
Tanah Nasional124.
Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dengan
mengambil alih atau mengacu asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok dari hypotheek
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Bila kedua lembaga
jaminan ini diperbandingkan, maka banyak asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok
dari Hypotheek yang diambil alih atau ditiru dari Hypotheek. Namun ada pula asas-asas
dan ketentuan-ketentuan pokok Hak Tanggungan yang berbeda bahkan ada asas-asas
121
Mariam D. Badrulzaman, Posisi Hak Tanggungan Dalam Hukum Jaminan Nasional, Jurnal
Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta 1997, hal 32.
122
Eko Handoko, Beberapa Pembahasan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, Materi
dalam Penataran Dan Lokakarya Hukum Perdata, Hukum Dagang Dan Hukum Ekonomi tanggal 29 sampai
dengan 31 Juli 1996, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, hal 1.
123
Maria S.W. Sumarjono, Prinsip Dasar Dan Isyu di Seputar UUHT, Jurnal Hukum Bisnis,
Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta 1997, hal 37.
124
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan
Pokok Dan Masalah-masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Loc. Cit,
lvi
Volume 9, No.1, Nop 2009
dan ketentuan-ketentuan pokok dari Hak Tanggungan yang baru yang tidak terdapat
dalam Hypotheek.125
Selain itu masih adanya tanah-tanah yang statusnya tidak dapat dijadikan jaminan
hutang dengan dibebani hak tanggungan126 misalnya tanah sewa Kotamadya, tanah sewa
PJKA, tanah Hak Pakai atas tanah Hak Milik, Bangunan yang mengunakan ruang
bawah tanah yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di
atas permukaan bumi di atasnya, dan tanah-tanah yang walaupun didaftar akan tetapi
menurut sifat dan tujuannya tidak dapat dipindah tangankan.
RUMUSAN MASALAH
Dengan berlakunya dualisme aturan yang mengatur mengenai jaminan
khususnya hak-hak atas tanah berikut benda-benda yang ada di atasnya yaitu ketentuanketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana termaktub dalam Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata Indonesia (BW) dan ketentuan-ketentuan tentang Crediet
Verband sebagaimana termaktub dalam Staatsblad 1908 – 542 sebagaimana telah
diubah dengan Staatsblad 1937 – 1990, serta kedua aturan tersebut hanya mengatur
tentang jaminan hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna
Bangunan, begitu pula benda-benda lain selain hak-hak atas tanah tersebut dan
bangunan yang ada di atasnya tidak diatur dalam dua lembaga jaminan tersebut. Padahal
berdasarkan ketentuan pasal 16 UUPA, banyak sekali macam-macam hak-hak atas
tanah yang dapat dimiliki oleh setiap orang baik perorangan ataupun secara bersamasama atau Badan Hukum. Sehingga dipandang perlu untuk dikeluarkan Undang-Undang
tentang Hak Tanggungan baru yang bisa menampung keinginan pengguna jasa lembaga
pengkreditan (Kreditor dan Debitor) dan para pelaku bisnis khususnya serta
masyarakat pada umumnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis dapat mengemukakan
rumusan masalah yang bertitik tolak dari judul dan latar belakang masalah dalam
penulisan ini, yaitu sebagai berikut :
Bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ?
3. Pelaksanaan Hak Tanggungan
Perjanjian Hak Tanggungan adalah Perjanjian Accesoir127. Perjanjian Hak
Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Keberadaannya adalah
125
Sutan Remy Sjahdeine, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok Dan Masalahmasalah yang dihadapi oleh Perbankan, Op. Cit. hal. 2.
126
Eko Handoko, Ibid hal 2.
127
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas Dan Permasalahan Yang Dihadapi
Perbankan, Op Cit. Hal 10.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lvii
karena adanya perjanjian lain yang disebut perjanjian induk. Perjanjian Induk bagi
perjanjian hak tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang
yang dijamin itu. Dengan kata lain perjanjian hak tanggungan adalah suatu perjanjian
accesoir.
Sesuai dengan ketentuan pasal 10 UUHT, bahwa pemberian hak tanggungan
harus didahului dengan adanya janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu. Janji itu harus dituangkan didalam dan merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang dijamin itu atau dari
perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Diharuskannya terlebih dahulu
ada perjanjian yang menimbulkan utang itu adalah sesuai dengan sifat dari hak
tanggungan yang accesoir, yaitu merupakan ikutan dari perjanjian pokoknya128.
Berdasarkan penjelasan pasal 10 ayat (1) UUHT, perjanjian pokok yang
menimbulkan utang itu dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dengan akta
otentik, bergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dengan
kata lain, apabila materi perjanjian ini diharuskan oleh ketentuan hukum dibuat dengan
akta otentik, maka perjanjian pokok itu (yaitu yang menimbulkan utang yang dijamin
dengan hak tanggungan) haruslah dibuat dengan akta otentik. Namun apabila menurut
ketentuan yang berlaku untuk materi perjanjian itu cukup apabila perjanjiannya dibuat
dengan akta dibawah tangan, maka perjanjian pokoknya itu cukup dibuat dengan akta
dibawah tangan.
Dalam praktek perbankan129, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang
mengharuskan perjanjian kredit dibuat dengan akta otentik. Perjanjian Kredit dapat
dibuat baik dengan akta di bawah tangan maupun akta otentik (akta notaris). Praktek
yang berlaku ialah, untuk kredit-kreditnya dibuat dengan akta notaris. Sedangkan untuk
kredit-kredit yang berjumlah kecil antara lain Kredit Usaha Kecil (KUK) cukup dibuat
dengan akta dibawah tangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian utang, berdasarkan ketentuan
pasal 3 UUHT, bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan hak tanggungan dapat
berupa utang yang telah ada atau utang yang belum ada tetapi sudah diperjanjikan
misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditor untuk
kepentingan debitor dalam rangka pelaksanaan bank garansi atau yang telah
diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi
Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian hutang piutang atau
perjanjian lain yang menimbulkan hubungan hutang piutang130.
128
Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Hasil Seminar dalam
Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996 hal.77.,
129
Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Loc Cit.
130
Bambang Setijoprojo, Pengamanan Kredit Perbankan Yang dijamin oleh Hak Tanggungan,
Hasil Seminar dalam Persiapan Pelaksanaan Hak Tanggungan Di Lingkungan Perbankan, Cet. I, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996 hal. 54.
lviiiVolume 9, No.1, Nop 2009
KUH Perdata tidak memberikan pengaturan secara umum yang khusus
mengenai utang dan pengertian utang. Ketentuan mengenai utang hanya terdapat dalam
materi tertentu dan tidak diatur secara umum, misalnya terdapat dalam :
(1) Pasal 1754 sampai dengan pasal 1769 KUH Perdata tentang pinjam meminjam,
yang memberikan pengertian pinjam meminjam sebagai persetujuan dengan mana
pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang habis karena pemakaian, dengan syarat pihak yang belakangan ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula. Hutang yang terjadi karena peminjaman uang hanyalah terdiri atas jumlah
uang yang disebutkan dalam persetujuan. Perjanjian Kredit menurut R. Subekti,
pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam meminjam.
(2) Pasal Pasal 1176 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu hipotik hanyalah sah,
sekadar jumlah uang untuk mana ia telah diberikan adalah tent dan ditetapkan
dalam akta. Jika hutangnya bersyarat ataupun jumlahnya tidak tertentu, maka
pemberian hipotik senantiasa sah sampai jumlah harga taksiran, yang para pihak
diwajibkan menerangkan di dalam aktanya.
Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT menjelaskan bahwa Sesuai dengan sifat
accesoir dari hak tanggungan, pemberiannya harus merupakan ikutan dari perjanjian
pokok , yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang
dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang piutang ini
dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau harus dibuat dengan akta otentik,
tergantung pada ketentuan hukum yang mengatur materi perjanjian itu. Dalam hal
hubungan utang-piutang itu timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian
kredit, perjanjian tersebut dapat dibuat di dalam maupun diluar negeri dan
pihakpihak yang bersangkutan dapat orang perseorangan atau badan hukum asing
sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan
di wilayah Republik Indonesia.
a. Obyek Hak Tanggungan.
Menurut UUPA, yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, sebagaimana
diatur dalam pasal 25, 33 dan 39 UUPA. Namun dengan lahirnya UUHT merupakan
ketentuan baru yang mengatur penjaminan hak atas tanah, meskipun namanya Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
Terlebih lagi apabila dikaitkan pada asas pemisahan horisontal yang menjiwai UUPA,
maka sebenarya judul yang paling baik adalah Hak Tanggungan Atas Tanah saja
tanpa melibatkan benda-benda lain yang melekat pada tanah. Obyek Hak Tanggungan
yaitu hak tanah atas tanah terdaftar, mirip dengan obyek hypotheek dalam N.N.BW
(Nieuwe Nederlands Burgerlijk Wetboek) yaitu semua benda terdaftar. Belanda telah
mengadakan pembagian baru atas benda, sehingga selain terdapat pembedaan benda
bergerak dan tidak bergerak juga pembedaan benda terdaftar dan tidak terdaftar.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lix
Indonesia setelah berlakunya UUPA juga harus mengadakan pembedaan baru atas
benda yang bertitik tolak dari pemikiran UUPA yang menganut asas pemisahaan
horisontal dan asas nasionalitas (proteksi terhadap hak atas tanah tertentu, Hak Milik,
HGU dan HGB), sehingga pembedaan benda akan menjadi : benda tanah dan bukan
tanah. Selain itu perkembangan pada negara maju yang telah membedakan atas
benda terdaftar dan tidak terdaftar perlu pula diterapkan131.
Pada prinsipnya, obyek hak tanggungan adalah hak atas tanah yang memenuhi
dua persyaratan, yakni wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat
dipindah tangankan (untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran hutang yang dijamin
pelunasannya)132. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, artinya apabila salah satu
syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan utang
dengan dibebani hak tanggungan133
Syarat-syarat hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan diperluas oleh I. Soegiarto, yaitu :
1. Dapat dinilai dengan uang (karena utang yang dijamin berupa uang),
2. Merupakan hak yang telah didaftar (daftar umum pendaftaran tanah sebagai syarat
untuk memenuhi asas publisitas),
3. Bersifat dapat dipindah tangankan (dalam hal debitor cidera janji benda tersebut
dapat dijual dimuka umum), dan
4. Memerlukan penunjukan dalam peraturan perundang-undangan.134
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Sugiri Kadarisman yang menyatakan
bahwa obyek Hak Tanggungan adalah bidang tanah (satu bidang atau lebih) yang telah
terdaftar (telah diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya) dan mempunyai sifat dapat
dipindah tangankan135.
Selanjutnya dalam Bab II pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
menyebutkan bahwa :
"(1) Hak-hak Atas Tanah yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah
:
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
131
Djuhaendah Hasan, Hak Tanggungan Implikasinya Terhadap Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, Jurnal Hukum Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta,1997, hal 45.
132
Maria S.W. Sumardjono, Prinsip Dasar Dan Beberapa Isu Di Seoputar Undang-Undang Hak
Tanggungan, dalam Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang berkaitan dengan tanah
Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hal 43.
133
Urip Santoso, Op cit, hal 332
134
Soegiarto, I, “”, Jurnal Hukuim Bisnis, Volume I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis Hak
Pakai Atas Tanah Negara, Jakarta, 1997, hal.97.
135
Sugiri Kadarisman, Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan,,Makalah Seminar Fakultas Hukum U niversitas Trisakti bekerjasama dengan Kantor Menteri
Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah tanggal 10 April
1996, hal.3
lx Volume 9, No.1, Nop 2009
c. Hak Guna Bangunan.
(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai
atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar
dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani hak
tanggungan.
(3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada Hak Atas Tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan
milik pemegang Hak Atas Tanah yang pembebanannya dengan tegas
dinyatakan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan.
(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang Hak Atas Tanah, pembebanan
Hak Tanggungan Atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan
dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu
olehnya dengan akta otentik."
Berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut di atas
yaitu Hak Atas Tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria, menunjukkan bahwa
pada asasnya yang menjadi obyek hak tanggungan sesuai
dengan obyek pengaturan UUPA berdasarkan pasal 1 sub 2, pasal 2 sub 1 dan pasal 5
adalah Tanah atau Hak Atas Tanah. Namun dari ketentuan tersebut di atas kita juga tahu
bahwa tidak semua hak atas tanah sekalipun merupakan hak atas tanah menurut UUPA,
bisa menjadi obyek Hak Tanggungan.
Selanjutnya sekalipun tidak dinyatakan secara tegas, tetapi kita bisa
menyimpulkan dari ketentuan tentang hak atas tanah yang sekarang berlaku bahwa yang
dimaksud di atas adalah hanya hak-hak atas tanah menurut UUPA.
Hak Milik Atas Tanah Adat sekalipun memakai nama yang sama - hak milik - sebelum
hak itu dikonversi menjadi hak atas tanah menurut UUPA tidak bisa dijadikan obyek
Hak Tanggungan, kecuali dengan penjaminan itu sekaligus diproses konversinya dan
didaftarkan (pasal 10 ayat 3 Undang-Undang Hak Tanggungan).
Sudah bisa dibayangkan bahwa diberikannya kemungkinan untuk
menjaminkan hak atas tanah milik adat seperti tersebut di atas, adalah untuk memenuhi
kebutuhan sebagian daripada para calon pengambil kredit yang merupakan kelompok
ekonomi lemah, yang hanya memegang petok atau letter C, sebagai bukti kepemilikan
tanahnya. Namun masih ada yang menghendaki agar diberikan jalan keluar yang lebih
luwes lagi, mengingat kemungkinan adanya hambatan birokrasi dan biaya 136.
136
J. Satrio, S.H. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku I, Cet.I, PT.
Citra Aditya Bakti , Bandung, 1997, hal 178.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxi
Dalam praktek dunia perbankan sangat sulit sekali Kreditur untuk menerima
obyek hak tanggungan berupa hak milik atas tanah adat sekalipun juga dijamin dengan
sekaligus diproses konversinya dan didaftarkan. Mungkin hal itu bisa saja dilakukan
dengan pengecualian bagi debitur-debitur yang memang sudah tidak diragukan lagi oleh
Kreditur, dalam artian kepercayaan kepada Debitur memang sudah tidak diragukan lagi.
Penyebutan hak-hak atas tanah dalam pasal 4 tersebut di atas sebenarnya
hanyalah merupakan pengulangan belaka atas apa yang sudah dikatakan dalam pasal 25,
33 dan pasal 39 UUPA. Mengenai apa yang dimaksud dengan hak milik, hak guna
usaha dan hak guna bangunan, kita perlu melihatnya dalam UUPA dan peraturan
pelaksanaannya. Hanya saja beberapa segi yang lain yang dalam UUPA dijanjikan akan
diatur dalam peraturan lebih lanjut, banyak yang sampai kini belum terwujud.
Dalam penjelasan dikatakan bahwa hak guna bangunan meliputi juga hak guna
bangunan atas tanah negara, diatas tanah hak pengelolaan dan hak milik. Adanya hak
guna bangunan atas tanah negara dan hak milik sudah disebutkan dalam pasal 37
UUPA, sedang yang atas hak pengelolaan telah diatur dalam PMDN No. 5/1974.
Selama ini yang banyak kita temui adalah hak guna bangunan atas tanah negara, sedang
yang atas tanah hak milik belum pernah menjumpainya dalam praktek 137.
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan memberikan suatu
ketentuan bahwa yang memungkinkan Hak Pakai dijadikan sebagai obyek Hak
Tanggungan. Ini merupakan suatu ketentuan yang baru karena selama ini belum ada
ketentuan yang memungkinkan hak pakai dijadikan obyek hipotik. Dalam UndangUndang atas rumah susun, Hak Pakai memang bisa dijaminkan untuk menjamin suatu
hutang tetapi melalui lembaga Fiducia. Jadi Hak Milik atas satuan rumah susun dalam
lembaga Hypotik dianggab sebagai benda bergerak.
Di atas telah disebutkan bahwa Hak Pakai bisa dijadikan jaminan dengan
memakai lembaga Hak Tanggungan, tetapi untuk sementara ini baru Hak Pakai tertentu
saja, karena berdasarkan pasal 4 ayat 2 tersebut di atas, Hak Pakai yang bisa menjadi
obyek Hak Tanggungan harus Hak Pakai Atas Tanah Negara dan menurut ketentuan
yang berlaku harus didaftarkan dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan.
Ada beberapa jenis hak pakai, berdasarkan ketentuan pasal 41 UUPA yang
menjelaskan bahwa ada Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Hak Pakai Atas Tanah Milik
orang lain. Bila dipahami dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan,
Hak Pakai yang termasuk dalam obyek hak tanggungan adalah : Hak Pakai Atas Tanah
Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan serta menurut sifatnya
dapat dipindah tangankan.
Sedangkan berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (3) menjelaskan bahwa
mengenai tanah Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Syarat lain tentang obyek Hak Tanggungan yaitu bahwa Hak Atas Tanah
tersebut juga harus sudah terdaftar, namun demikian dalam kenyataannya ada hak atas
137
Ibid, h.al 179.
Volume
9, No.1, Nop 2009
lxii
tanah walaupun sudah terdaftar tetapi masih tidak bisa dipergunakan sebagai obyek hak
tanggungan, seperti ketentuan tentang hak pakai yang termuat dalam pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Hak Tanggungan. Sehingga diperlukan juga syarat lain yaitu bahwa
obyek hak tanggungan tersebut juga harus bisa dipindah tangankan Syarat ini
mengingatkan kita kepada pasal 1320 jo. Pasal 1332 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang sahnya suatu perjanjian yang mengatakan bahwa "Hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan".
Dalam ketentuan tentang Hypotik juga ada syarat "barang-barang yang dapat
diperdagangkan", seperti yang tercantum dalam pasal 1164138.
Ketentuan diatas dimaksudkan bahwa obyek hak tanggungan tersebut adalah
barang-barang yang dapat dipindah tangankan dalam artian obyek tersebut mudah untuk
diperjual belikan atau diperdagangkan. Hak ini dimaksudkan bilamana Debitur
Wanprestasi, maka Kreditur sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undangundang mempunyai kewenangan untuk mengeksekusinya, yang tidak lain merupakan
suatu penjualan di depan umum kecuali dalam hal-hal tertentu bisa dilakukan dibawah
tangan.
Suatu perkembangan baru dalam dunia perbankan kita khususnya mengenai
lembaga jaminan, yang semula tidak pernah kita temukan. Dalam ketentuan pasal 4 ayat
(4) dan ayat (5) Undang-Undang Hak Tanggungan ternyata juga memberi peluang yang
sangat besar yaitu seseorang dapat menjaminkan juga bangunan, tanaman dan hasil
karya yang ada atau akan ada yang bersatu atau nantinya akan bersatu dengan tanah
tersebut. Pembebanan atas bangunan, tanaman dan hasil karya yang ada atau akan ada
di atas bidang tanah yang menjadi obyek hak tanggungan tersebut dengan tegas akan
dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
b. Pihak-Pihak Dalam Hak Tanggungan
Pihak-pihak yang terkait dalam hubungan hak tanggungan yaitu :
a. Pemberi Hak Tanggungan,
b. Pemegang Hak Tanggungan.
2.2.3.1 Pemberi Hak Tanggungan.
Pemberi Hak Tanggungan, yaitu pihak yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.
Pemberi hak tanggungan bisa orang perseorangan atau badan hukum. Pemberi hak
tanggungan disebut juga Debitor yaitu pihak yang berutang dalam hubungan utang
piutang139.
Yang dapat menjadi pemberi hak tanggungan berdasarkan ketentuan pasal 8 UUHT
adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap byek hak tanggungan yang bersangkutan.
Dengan demikian oleh karena obyek hak tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna
138
Ibid, h. 181.
Urip Santoso, Op Cit, hal. 336.
Volume 9, No.1, Nop 2009
139
lxiii
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara, maka sejalan dengan
ketentuan pasal 8 UUHT, yang dapat menjadi pemberi hak tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Ha Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah Negara. Serta kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) UUHT harus telah dan masih ada pada pemberi
hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan (Pasal 8 ayat (2)
UUHT).
Dalam hal pemberi hak tanggungan adalah suatu perseroan terbatas, pelaksanaannya
haruslah memperhatikan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Menurut ketentuan pasal 88 ayat (1) UU tersebut, Direksi wajib
meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang
seluruh atas sebagian besar kekayaan perseroan. Selanjutnya menurut pasal 88 ayat
(4) UU tersebut, bahwa untuk melakukan perbuatan hukum mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagaian besar kekayaan perseroan itu,
diumumkan dalam 2 (dua) Surat Kabar Harian paling lambat 30 (tigapuluh) hari
terhitung sejak pebuatan hukum tersebut dilakukan140.
Mengenai siapa aja yang berhak sebagai pemegang/pemilik Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Gunan Bangunan dan Hak Pakai atas tanah negara dapa dilihat pada
ketentuan UUPA dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas tanah.
Menurut UUPA, yang dapat mempunyai Hak Milik adalah orang perseorangan
Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum tertentu. Menurut pasal 21 ayat (1)
UUPA, orang perseorangan yang dapat mempunyai Hak Milik adalah Warga Negara
Indonesia. Dengan demikian, orang asing tidak mungkin mempunyai tanah dengan
hak milik. Selanjutnya dalam pasal 21 ayat (2) UUPA, oleh pemerintah ditetapkan
badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dengan syarat-syarat. Dengan
demikian pada asasnya Badan Hukum tidak mungkin dapat mempunyai tanah
dengan hak milik kecuali ditentukan secara khusus oleh Undang-Undang atau
peraturan lainnya, seperti yang telah ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 1973, yaitu :
a.
b.
c.
Bank-bank yang didirikan oleh negara,
Perkumpulan-perkumpulan Koperasi pertanian yang didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 79 Tahun 198.
Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Agama.
140
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas Dan Permasalahan Yang Dihadapi
Perbankan, Op Cit. Hal. 56.
lxivVolume 9, No.1, Nop 2009
d.
Badan-badan sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria setelah
mendengar Menteri Sosial.
Menurut pasal 30 ayat (1) UUPA Jo pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1996, yang dapat
mempunyai Hak Guna Usaha ialah Warga Negara Indonesia, dan Badan Hukum
yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sehingga
dengan demikian orang asing tidak dapat mempunyai hak atas tanah di Indonesia
yang berupa HGU, seperti halnya tidak pula dapat mempunyai Hak Milik atas tanah.
Menurut pasal 36 ayat (1) UUPA Jo. Pasal 19 UU Nomor 40 Tahun 1996, yang
dapat mempunyai HGB ialah Warga Negara Indonesia , dan Badan Hukum yang
didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Sehingga
ketentuan mengenai siapa yang dapat mempunyai HGB tidak berbeda dengan
ketentuan mengenai siapa yang dapat mempunyai HGU.
Menurut pasal 42 UUPA Jo. Pasal 39 UU Nomor 40 tahun 1996, yang dapat
mempunyai hak pakai ialah :
a.
b.
c.
Warga Negara Indonesia,
Orang-orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
Badan Hukum yang didikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia,
d. Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak Pakai yang dimaksudkan adalah hak pakai yang diberikan kepada perseorangan
dan badan-badan hukum selama jangka waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau
usaha. Tidak termasuk hak pakai yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan adalah
yang diberikan kepada instansi-instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badanbadan keagamaan dan sosial serta Perwakilan Negara Asing, yang peruntukannya
tertentu dan menurut sifatnya tidak dapat dipindah tangankan. UUHT membuka
kemungkinan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah berdasarkan pasal 43
ayat (2) dikemudian hari juga menjadi obyek hak tanggungan, apabila pada
waktunya telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
dapat dinilai dengan uang karena hutang yang dijamin berupa uang,
termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum karena harus memenuhi syarat
publisitas,
mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji
benda yang dijadikan jaminan akan dijual dimuka umum, dan
memerlukan penunjukan dengan Undang-Undang, (tersurat dan tersirat dalam
Penjelasan Umum angka 5 dan penjelasan pasal 4 ayat (1) UUHT) 141.
141
Boedi Harsono dan Sdaryanto Wirjodarsono, Konsepsi Pemikiran Tentang Undang-Undang
Hak Tanggungan, dalam Seminar Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang berkaitan
dengan tanah Kelompok Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Cet. I, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 11.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxv
Berdasarkan Ketentuan pasal 9 UUHT, Pemegang Hak Tanggungan adalah
orang perseorangan atau Badan Hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang. Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang hak tanggungan adalah
siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk memberikan
utang, yaitu baik untuk orang perseorangan Warga Negara Indonesia maupun orang
asing.
Berkenaan dengan Pemberi Hak Tanggungan dengan Debitor, menurut hemat
penulis bisa merupakan satu kesatuan (satu Subyek Hukum) atau mungkin juga
berlain (dua Subyek hukum). Bilamana antara Pemilik Jaminan (Obyek Hak
Tanggungan) juga dimiliki oleh Debitor, maka disini antara Pemilik Jaminan dan
Debitor merupakan satu kesatuan (satu Subyek Hukum). Begitu pula bilamana
Pemilik Jaminan (Obyek Hak Tanggungan) dimiliki oleh orang lain tidak dimiliki
oleh Debitor, maka disini ada dua Subyek Hukum.
c. Pemegang Hak Tanggungan.
Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Ia dapat Warga Negara Indonesia atau
Badan Hukum Indonesia. Pemegang Hak ini dapat pula orang asing yang
berkedudukan di Indonesia atau Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di
Indonesia. Pemegang Hak Tanggungan disebut juga Kreditor, yaitu pihak yang
berpiutang dalam satu hubungan utang-piutang142.
Berdasarkan ketentuan pasal 9 UUHT, Pemegang hak tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.
Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang hak tanggungan adalah siapapun
juga yang berwengang melakukan perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu
baik orang perseorangan Warga Negara Indonesia maupun Orang Asing.
d. Janji-Janji Dalam Hak Tanggungan.
Menurut pasal 11 ayat (2) UUHT, dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan,
dapat dicantumkan janji-janji tertentu. Dalam pasal 11 ayat (2) UUHT ditentukan
bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara
lain;
142
Urip Santoso, Loc Cit.
Volume
9, No.1, Nop 2009
lxvi
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau
mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka,
kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Haak
Tanggungan;
Janji Yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk
mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak
Tanggungan;
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua
Pengadilan Negeriyang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak
Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera;
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan
untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan
untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mecegah menjadi hapusnya atau
dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak
dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk
menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor
cidera janji;
Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggunan pertama bahwa
obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;
Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas
obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari
pemegang Hak Tanggungan;
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya
oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan
umum;
Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau
sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk
pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;
Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak
Tanggungan pada waaktu eksekusi Hak Tanggungan;
Janji yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (4).
Berdasarkan penjelasan pasal 11 ayat (2) UUHT, janji-janji yang dicantumkan tersebut
bersifat fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya Akta Pemberian Hak
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxvii
Tanggungan143. Pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak
menyebutkan janji-janji tersebut dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Serta pasal
11 ayat (2) juga mengandung sifat yang tidak limitatif dari janji-janji yang disebutkan
itu maksudnya boleh dicantumkan janji-janji lain selain dari jenis-jenis janji yang sudah
disebutkan di dalam pasal 11 ayat (2) UUHT tersebut. Dengan pencantuman janji-janji
yang bersifat tidak limitatif tersebut bisa merugikan debitor, karena debitor sebagai
pihak yang lemah (yang membutuhkan kredit) selalu akan menerima saja apa yang
menjadi keinginan dari kreditor, yang mana janji yang dicantumkan tersebut
merugikan/dirasa sangat memberatkan debitor. Namun semikian perlu diperhatikan
pembatasan yang diatur dalam pasal 12 UUHT yang meyatakan : “Janji yang
memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki obyek
Hak Tanggungan untuk memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji,
batal demi hukum”144.
e. Peringkat Hak Tanggungan.
Dalam pasal 5 ayat (1) UUHT menentukan bahwa suatu obyek Hak
Tanggungan dapat dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan
lebih dari satu utang.
Dari pasal 5 ayat (2) dan dari pasal 6 UUHT, dapat diketahui bahwa Hak-Hak
Tanggungan yang dibebankan di atas suatu obyek Hak Tanggungan berperingkat antara
yang satu dengan yang lainnya. Menurut pasal 5 ayat (2) UUHT, peringkat masingmasing Hak Tanggungan itu ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor
Pertanahan.
Menurut ayat (3) pasal 5 UUHT ditentukan bahwa apabila ada Hak
Tanggungan yang didaftarkan pada tanggal yang sama, maka peringkatnya ditentukan
menurut tanggal pembuatan Akta Pembuatan Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Bagaimanakah peringkat dari beberapa Hak Tanggungan yang didaftarkan
pada tanggal yang sama dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dari masingmasing Hak Tanggungan itu bertanggal sama pula ? Ketentuannya dapat diketahui dari
penjelasan ayat (3) dari pasal 5 UUHT. Menurut penjelasan itu, oleh karena pembuatan
beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut hanya dapat dilkukan oeh PPAT
yang sama, maka dalam hal terjadi tersebut diatas, peringkat Hak Tanggungan tersebut
ditentukan oleh nomor urut akta pemberiannya.
Oleh karena mendasarnya ketentuan mengenai urutan peringkat Hak
Tanggungan sebagaimana telah dikemukankan diatas itu, untuk semua norma seyognya
tidak sekedar hanya dikemukakan didalam penjelasan pasal 5 UUHT, tetapi ditentukan
143
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas Dan Permasalahan Yang Dihadapi
Perbankan, Op Cit. Hal 22.
144
Yuda Hernoko, Hukum Perjanjian Kredit Dan Jaminan (Aspek Hukum Jaminan dan Lembaga
Jaminan), Diktat Kuliah Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2001, hal 38.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxviii
sebagai salah satu ayat dari pasal 5 UUHT itu agar mempunyai kekuatan mengikat yang
kuat.
Penjelasan pasal 5 ayat (3) UUHT tersebut diatas yang mengemukakan bahwa
pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan hanya dapat dilakukan pada
PPAT yang sama menimbulkan keheranan.
Sedangkan dalam pasal-pasal UUHT tidak terdapat ketentuan yang
menentukan bahwa pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan harus
dibuat oleh PPAT yang sama.
Apa tujuan pembatasan itu ? Hal ini oleh perbankan dirasakan tidak praktis dan
tidak akomodatif. Apabila memang akan diatur seperti itu (sekalipun sebaiknya tidak
diatur seperti itu), maka ketentuan itu karena merupakan suatu norma seyogianya diatur
dalam pasal-pasalnya. Atau apabila telah terlanjur tidak diatur demikian, maka
seyogianya diatur dengan ketentuan tersendiri, misalnya dengan Surat Keputusan
Menteri Negara Agraria, tetapi tidak di dalam Memori Penjelasan UUHT.
Oleh karena tidak ditentukan di dalam pasal-pasal UUHT, namun hanya
dijelaskan di dalam Memori Penjelasan dari UUHT itu, maka timbul pertanyaan, apa
konsekwensi hukumnya apabila pembuatan beberapa Akta Pemberian Hak Tanggungan
tersebut dilakukan oleh PPAT yang berlainan ? Batal demi hukumkah Akta Pemberiaan
Hak Tanggungan itu ? hal-hal yang termuat dalam Memori Penjelasan itu tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dan oleh karena itu tentunya dapat
diabaikan (bila dirasakan menghambat dalam pelaksaannya).
Ketentuan mengenai penentuan dari urutan pertingkat dari beberapa Hak
Tanggungan yang telah dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana dikemukakan
diatas, merupakan perbaikan dari ketentuan mengenai penentuan peringkat dari
beberapa hipotik yang dibukukan pada tanggal yang sama sebagaimana ditentukan di
dalam pasal 1181 ayat (2) KUH Perdata. Menurut pasal 1181 ayat (2) KUH Perdata,
mereka yang dibukukan pada hari yang sama, bersama-sama mempunyai suatu hipotik
yang bertanggal sama, tidak peduli pada jam mana pembukuan itu dilakuakan,
sekalipun jam dilakukan pembukuan itu dicatat oleh pegawai yang penyimpan hipotik
Mengenai apakah akibat hukum dari hak pemegang Hak Tanggungan yang
mempunyai peringkat yang lebih tinggi dari pemegang Hak Tanggungan yang lain,
tidak diatur di dalam UUHT. Pembuat undang-undang tersebut tampaknya berpendapat
bahwa hal itu sudah dengan sendirinya dimengerti. Menurut pendapat Sutan Remy
Sjahdeini, bahwa untuk penerapannya tidak ada jalan lain daripada harus mengacu
kepada praktek hipotik. Seperti halnya pada hipotik, Hak Tanggungan yang
berperingkat lebih tinggi memperoleh hak untuk didahulukan daripada pemegang hak
tanggungan yang lebih rendah untuk mengambil uang hasil pelelangan umum hak atas
tanah yang menjadi obyek hak tanggungan tersebut. Dengan kata lain pemegang hak
tanggungan pertama harus didahulukan daripada pemegang hak tanggungan kedua,
pemegang hak tanggungan kedua harus didahulukan daripada pemegang hak
tanggungan ketiga, demikian seterusnya. Apabila dari uang hasil pelelangan umum
tersebut masih ada sisa uang setelah dikurangi jumlah uang untuk melunasi utang
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxix
pemegang hak tanggungan yang berperingkat lebih tinggi itu, maka baru sisanya adalah
menjadi hak dari pemegang Hak Tanggungan berikutnya yang lebih rendah
peringkatnya.145
f. Pemberian, Pendaftaran dan Pencoretan Hak Tanggungan
Setelah perjanjian pokok atau perjanjian kredit diadakan, maka berdasarkan
ketentuan pasal 10 ayat (2) UUHT, pemberian hak tanggungan dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Proses Pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan,
yaitu Tahap Pemberian Hak Tangggungan dan Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan.
a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu yang dituangkan dalam Akta
Pemberiaan Hak Tanggungan. Adanya hutang yang dijamin merupakan syarat sah
bagi adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan
dalam pasal 10 ayat (1) UUHT yang menyatakan:
“Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak
Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan
didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang
yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.”
Sedangkan dalam Pasal 10 ayat (2) menyatakan :
“Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Mengenai APHT pasal 1 ayat (5) UUHT memberikan batasan sebagai berikut :
“Akta Pemberian Hak Tanggungan adalah akta PPAT yang berisi pemberian
Hak Tanggungan kepada Kreditor tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan
piutangnya.”
145
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah-Masalah yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. hal 93
lxx Volume 9, No.1, Nop 2009
Dalam APHT harus memuat substansi yang bersifat wajib sebagaimana tertuang
dalam pasal 11 ayat (1) yang mecantumkan:
a.
b.
c.
nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan;
domisili pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a;
penunjukan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin
sebagaimana dimaksu dalam pasal 3 dan pasal 10 ayat (1);
d. nilai tanggungan;
e. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Tidak dicantumkannya secara jelas dan lengkap persyaratan tersebut diatas
dalam APHT akan mengakibatkan akta yang bersangkutan batal demi hukum.
Mengenai bentuk dan isi aktanya dibakukan sesuai dengan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 dan Surat
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertahanan Nasional nomor 110-1039. 146
Menurut ketentuan pasal 10 ayat (3) UUHT, tata cara pemberian hak
tanggungan atas obyek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan, akan tetapi
pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak tanggungan tersebut dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dari
penjelasan pasal 10 ayat (3) UUHT, yang dimaksud dengan “hak lama” adalah hak
kepemilikan atas tanah yang menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses
administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Hal ini disebabkan pada
saat ini masih banyak tanah dengan hak lama sebagaimana dimaksud diatas. Dengan
pasal 10 ayat (3) UUHT itu bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada
pemberi Hak Tanggungan yang hak atas tanahnya masih merupakan hak lama
sebagaimana yang dimaksud itu asalkan pemberiaan Hak Tanggungannya dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah dimaksud, disisi lain hal
ini juga mendorong pensertifikatan hak atas tanah pada umumnya.
Ketentuan pasal 10 ayat (3) itu mempunyai keterkaitan dengan ketentuan pasal
8 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang didalam penjelasan
pasal tersebut mengemukakan bahwa tanah girik, petuk dan lain-lain yang sejenis
dapat digunakan sebagai agunan147. Yang dikemukakan dalam pasal 8 Undangundang nomor 7 tahun 1992 itu telah mengundang banyak reaksi karena girik, petuk
dan lain-lain itu bukanlah merupakan tanda bukti hak kepemilikan atas tanah, tetapi
sekedar merupakan tanda bukti pembayaran pajak atas tanah itu yang harus dibayar
oleh mereka yang menggunakan taah itu. Dengan ketentuan pasal 10 ayat (3) UUHT
itu, maka para pemilik tanah yang belum bersertifikat tetapi mempunyai girik, petuk
146
Yuda Hernoko, Op Cit. Hal 36.
147
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah-Masalah Yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. Hal 107.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxi
dan lain-lain yang sejenis dan menginginkan memperoleh kredit, dibukakan jalan
mengenai bagaimana caranya untuk menjadikan tanahnya itu sebagai agunan untuk
memperoleh kredit dengan jaminan Hak Tanggungan (penjelasan pasal 10 ayat (3)
UUHT).
Pada dasarnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh
pemberi Hak Tanggungan, kecuali dalam hal-hal tertentu dimana tidak dapat hadir
sendiri dihadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat
PPAT), maka diperkenankan menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan (selanjutnya disingkat SKMHT).
Pengaturan APHT dan SKMHT merupaka suatu langkah untuk mewujudkan
adanya lembaga jaminan yang kuat, mengingat selama ini terjadi praktek
penggunaan Surat Kuasa Memasang Hipotik (SKMH) justru mengesankan “tidak
mendukung keberadaan suatu lembaga hak jaminan yang kuat”. Dengan demikian
ketentuan UUHT, khususnya pengaturan APHT dan SKMHT, akan mendukung
perbankan dalam menjalankan usaha untuk menetapkan mengindahkan prinsip
kehati-hatian (prudential banking), dan turut berperan serta dalam mencegah dan
memecahkan kredit bermasalah.148
SKMHT mempunyai jangka waktu berlakunya, yaitu mengenai hak atas tanah
yang sudah terdaftar selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan harus
diikuti dengan pembuatan APHT (pasal 15 ayat (3) UUTH) dan mengenai tanah
yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3
(tiga) bulan sesudah diberikan (pasal 15 ayat (4) UUHT), dengan ancaman apabila
ketentuan tersebut tidak diikuti, maka SKMHT tersebut menjadi batal demi hukum
(pasal 15 ayat (6) UUHT). Dengan berlakunya Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tanggal 8 Mei
1996, telah ditetapkan batas waktu penggunaan untuk menjamin pelunasan kredit
tertentu yaitu SKMHT tersebut berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya
peerjanjian pokok yang bersangkutan.149
Adapun kreditnya adalah sebagai berikut :
1.
2.
Kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil, yang menjadi :
a. Kredit kepada Koperasi Unit Desa.
b. Kredit Usaha Tani.
c. Kredit kepada Koperasi Primer untuk anggotanya.
Kredit Kepemilikan Rumah yang diberikan untuk pengadaan perumahan, yaitu :
148
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan (Buku I), Cet. I, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 14.
149
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiyarto, Komentar Atas Peraturan - Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (1996), Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 62.
lxxiiVolume 9, No.1, Nop 2009
a.
Kredit yang diberikan utnuk membiayai pemilikan rumah inti, rumah
sederhana atau rumah susun dengan luas maksimum 200 M2 (duaratus meter
persegi) dan luas bangunan tidak lebih dari 70 M2 (tujuhpuluh meter persegi);
b. Kredit yang diberikan untuk pemilikan Kapling Siap Bangun (KSB) dengan
luas tanah 54 M2 (lima puluh empat meter persegi) sampai dengan 72 M2
(tujuhpuluh dua meter persegi) dan kredit yang diberikan untuk membiayai
bangunannya;
c. Kredit yang diberikan untuk perbaikan/pemugaran rumah sebagaimana
dimaksuk huruf a dan b.
3. Kredit produktif lain yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank Perkreditan
Rakyat dengan plafond kredit tidak melebihi Rp 50.000.000,00 (limapuluh juta
rupiah) antara lain:
a. Umum Pedesaan (BRI)
b. Kredit Kelayakan Usaha (yang disalurkan oleh Bank Pemerintah).
Ketentuan pasal tersebut tentulah bermanfaat bagi nasabah kecil mengingat biaya
Akta Pembebanan Hak Tanggungan relatif memberatkan.
Dengan demikian pula bagi pemegang tanggungan yang biasanya perbankan tidak
terburu-buru untuk segera membuat Akta Pembebanan Hak Tanggungan, namun
tetap ada kepastian hukum karena surat kuasanya masih tetap berlaku150
Sedangkan untuk obyek Hak Tanggungan berupa Hak Atas Tanah yang
pensertifikatannya sedang dalam pengurusan, pasal 2 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut menentukan sebagai berikut:
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diberikan untuk menjamin
pelunasan jenis-jenis kredit dibawah ini dengan obyek Hak Tangggungan
berupa Hak Atas Tanah yang pensertifikatannya sedang dalam pengurusan,
berlaku sampai 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikeluarkannya Sertifikat hak atas
tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan :
1.
2.
Kredit
Produktif
yang
termasuk
kredit
usaha
kecil
sebagaimanadimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
no. 26/24/KEP/DIR tanggal 29 mei 1993 yang diberikan oleh Bank
Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dengan plafond kredit
Rp.50.000.000,00 (limapuluh juta rupiah)keatas sampai dengan Rp
250.000.000,00 (duaratus limapuluh juta rupiah).
Kredit Pemilikan Rumah yang termasuk dalam golongan Kredit Usaha
kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank
Indonesia No. 26/24/KEP/DIR tanggal 29 mei 1993 yang tidak
termasuk jenis kredit sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2,
150
Ibid hal . 63.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxiii
3.
4.
yaitu kredit yang diberikan untuk pemilikan rumah dan toko (ruko) oleh
usaha kecil dengan luas tanah maksimum 200 m2 (duaratus meter
persegi) dan luas bangunan rumah dan toko tersebut masing-masing
tidak lebih dari 70 m2 (tujuhpuluh meter persegi) dengan plafond tidak
melebihi Rp. 250.000.000,00 (duaratus limapuluh juta rupiah), yang
dijamin dengan hak atas tanah yang dibiyai pengadaannya dengan kredit
tersebut.
Kredit untuk Perumahan Inti dalam rangka KKPA PIRTRANS atau PIR
lainnya yang dijamin dengan dengan hak atas tanah yang pengadaannya
dibiayai dengan kredit tersebut.
Kredit pembebasan tanah dan kredit konstruksi yang diberikan kepada
pengembang dalam rangka kredit apemilikan Rumah yang termasuk
dalam pasal 1 angka 2 dan pasal 2 angka 2 yang dijamin dengan hak
atas tanah yang pengadaan dan pengembangannya dibiyai dengan kredit
tersebut.151
b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Dalam setiap perbuatan hukum mengenai hak tanggungan harus dibuatkan akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yang berwenang yang selanjutnya harus dilakukan pendaftaran di Kantor
Pertanahan Kabupaten setempat dan dikeluarkan Sertipikat Hak Tanggungan,
sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 44 PP Nomor 24 Tahun 1997, yang
menyebutkan sebagai berikut :
1.
2.
Pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun, pembebanan hak guna bangunan, hak pakai dan hak
sewa untuk bangunan atas hak milik, dan pembebanan lain pada hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang ditentukan dengan
peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta
yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan paraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, pasal 39 dan pasal 40
berlaku juga untuk pembuatan akta PPAT yang dimaksud pada ayat (1).
Sedangkan dalam penjelasannya menjelaskan, bahwa dipandang dari sudut hak
tanggungan, pendaftaran pemberian hak tanggungan merupakan pendaftaran
151
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah-Masalah Yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. Hal 85.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxiv
pertama. Dipandang dari sudut hak yang dibebani, pencatatannya dalam buku tanah
dan sertifikat tanah yang dibebani merupakan pemeliharaan data pendaftaran.152
Ketentuan yang mengharuskan didaftarkannya Hak Tanggungan bertujuan
untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah yang menjadi obyek
Hak Tanggungan . Kepastian hukum tersebut meliputi:
- Kepastian tentang subyek haknya;
-Kepastian tentang obyek haknya.
Dari ketentuan pasal 13 UUHT diatas, maka tata cara pendaftaran Hak
Tanggungan , meliputi :
-
Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan;
APHT harus sudah dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
penandatanganan APHT;
Pembuatan buku tanah Hak Tanggungan;
Tanggal buku tanah;
Lahirnya Hak Tanggungan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku (vide pasal 14 ayat (1) UUHT). Sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi
catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang Hak
Tanggungan (vide pasal 14 ayat (5) UUHT) kecuali diperjanjikan lain, agar sertifikat
hak atas tanah yang bersangkutan diserahkan kepada kreditor (vide pasal 14 ayat (4)
UUHT).
Memang ketentuan pendaftaran di atas bertujuan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum, kesederhanaan dan kecepatan proses pendaftaran, namun dalam
praktek proses pengiriman APHT acapkali melebihi batas waktu 7 (tujuh hari),
dengan berbagai alasan dan kendala yang ada. Padahal dengan terlampauinya batas
waktu tersebut harus dibuat APHT baru, yang tentunya harus mengeluarkan biaya
tambahan yang cukup mahal. Bahkan seringkali karena ketidak tahuan debitor maka
beban biaya tambahan tersebut harus ditanggung oleh debitor.
Pendaftaran sebagaimana diatur diatas bertujuan untuk memenuhi asas
publisitas dan asas spesialitas, yang pada dasarnya bertujuan memberikan
perlindungan baik kepada kreditor (khususnya) maupun kepada pihak debitor, serta
pihak ketiga lainnya. Namun kiranya prosedur pendaftaran yang ideal sebagaimana
tertuang dalam aturan normatif tersebut juga harus diikuti dengan langkah kongkrit
dilapangan sehubungan dengan pemberian kemudahan proses (administrasi)
pendaftaran. Prosess pendaftaran yang cepat, sederhana dan murah merupakan
152
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet. I, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal.
145.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxv
tantangan bagi aparat terkait, khususnya Badan Pertanahan Nasional, dalam rangka
mewujudkan sistem administrasi pertanahan yang baik.153
Penberian Hak Tanggungan menurut pasal 13 ayat (1) UUHT, wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Di dalam pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UUHT
dijelaskan bagaimana caranya pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. Tata cara
pelaksanaanya adalah sebagai berikut :
(a) Setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh PPAT
dilakukan oleh para pihak, maka PPAT mengirimkan Akta Pemberiaan Hak
Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan oleh Kantor
Pertanahan. Pengiriman tersebut wajib dilakukan oleh PPAT yang bersangkutan
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberiaan
Hak Tanggungan itu.
(b) Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat
buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah
yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada
sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(c) Tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap sura-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika
hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal
hari kerja berikutnya.
Selanjutnya pasal 14 ayat (1) UUHT menentukan bahwa sebagai tanda bukti
adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak
Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
pasal 14 ayat (4) UUHT ditentukan bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah
dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal
13 ayat (3) UUHT, dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan. Namun kreditor dapat memperjanjikan lain di dalam Akta Pemberiaan
Hak Tanggungan, yaitu agar sertifikat hak atas tanah tersebut diserahkan kepada
kreditor.
Setelah sertifikat Hak Tanggungan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan
sertifikat hak atas tanah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan, sertifikat
Hak Tanggungan diserahkan oleh Kantor Pertahan kepada pemegang Hak
Tanggungan. Demikian menurut pasal 14 ayat (5) UUHT.
Teknis pelaksanaan pendaftaran Hak Tanggungan diatur dengan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1996
tentang Pendaftaran Hak Tanggungan. Peraturan ini merupakan peraturan
pelaksanaan dari pasal 17 dan 28 UUHT dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Maksud dikeluarkannya peraturan
153
Yuda Hernoko, Op Cit. Hal 39.
Volume
9, No.1, Nop 2009
lxxvi
ini adalah untuk mengatur prosedur/proses pendaftaran Hak Tanggungan serta
persyaratannya sesuai ketentuan pasal 10, 13 dan 14 UUHT.
- Pencoretan Hak Tanggungan
Sebagaimana dikemukaaan sebelumnya, Hak Tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan (pasal 13 ayat (1) UUHT), dan pendaftaran Hak
Tanggungan tersebut dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan bukubuku Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-buku hak atas tanah yang
menjadi obyek Hak Tanggungan (pasal 13 ayat (3) UUHT). Sedangkan berlakunya
atau lahirnya Hak Tanggungan itu adalah pada hari tanggal buku tanah Hak
Tanggungan tersebut (pasal 3 ayat (5) UUHT). Mengingat Hak Tangungan
merupakan hak kebendaan, yaitu hak yang dapat dituntut oleh pemegangnya dari
pihak ketiga yang menguasai atau memiliki obyek Hak Tanggungan itu apabila
obyek Hak Tanggungan itu kemudian dialihkan oleh pemberi Hak Tanggungan
semula, maka hapusnya Hak Tanggungan
itu harus pula ditiadakan dari
pencatatannya di buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan
itu. Bila tidak demikian halnya, maka pihak ketiga tidak akan pernah tahu bahwa
Hak Tanggungan itu telah hapus dan oleh karena itu tidak lagi mengikat bagi pihak
ketiga.
Ada beberapa hal yang menyebabkan Hak Tanggungan hapus, sebagaimana
diterangkan dalam pasal 18 UUHT, yaitu :
(a) Hapusnya hutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
(b) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh Pemegang Hak Tanggungan;
(c) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan Penetapan Peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri;
(d) Hapusnya Hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
Untuk menjamin kepastian hukum, maka terhadap Hak Tanggungan yang telah
dihapus, catatan adanya beban Hak Tanggungan pada Sertipikat hak atas tanah dan
Buku Tanahnya perlu dicoret/roya hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 54 PP
Nomor 24 Tahun 1997.
Berkenaan dengan itu maka menurut pasal 22 ayat (1) UUHT, setelah Hak
Tanggungan hapus sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UUHT, Kantor
Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas
tanah dan sertifikatnya.
Permohonan pencoretan sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (1)
UUHT itu, oleh pasal 22 ayat (4) UUHT ditentukan harus diajukan oleh pihak yang
berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi
catatan oleh kreditor bahwa Hak Tanggungan hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak tanggungan itu sudah lunas. Selanjutnya pasal 22 ayat (4)
UUHT menentukan pula bahwa apabila karena suatu hal sertifikat Hak Tanggungan
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxvii
itu tidak mungkin diberi catatan oleh kreditor sebagaimana dimaksud diatas, maka
catatan pada sertifikat Hak tanggungan itu dapat diganti dengan pernyataan tertulis
dari kreditor bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin
pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas. Apabila hapusnya Hak
Tanggungan itu karena kreditor melepaskan hak Tanggungan yang bersangkutan,
maka pihak berkepentingan harus mengusahakan penyataan tertulis dari kreditor
mengenai hapusnya Hak Tanggungan itu karena kreditor melepaskan Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Bilamana kreditor tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana pada
pasal 22 ayat (4) UUHT itu, maka berdasarkan ketentuan pasal 22 ayat (5) UUHT,
pihak yang berkepentingan dapat meminta turut campurnya pengadilan dengan cara
mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pngadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat Hak Tanggungan yang bersangkutan
didaftar. Sedangkan apabila permohonan perintah pencoretan timbul dari sengketa
yang sedang diperiksa oleh pengadilan negeri lain, menurut pasal 22 ayat (6) UUHT
pemohonan tersaebut harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang
memeriksa perkara yang bersangkutan. Setelah perintah Pengadilan Negeri yang
dimaksud diperoleh oleh pihak yang berkepentingan, maka permohonan pencoretan
catatan Hak Tanggungan berdasarkan perintah Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud pada pasal 22 ayat (5) dan ayat (6) UUHT itu diajukan kepada Kepala
kantor Pertanahan dengan melampirkan salinan penetapan atau putusan Pengadilan
Negeri yang bersangkutan. Demikian ditentukan oleh pasal 22 ayat (7) UUHT.
Langkah berikutnya yang terjadi dalam proses pelaksanaan pencoretan Hak
Tanggungan itu setelah permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang
berkepentingan, Kantor pertanahan dalam waktu tuhuh hari kerja terhitung sejak
diterimanya permohonan tersebut harus melakukan pencoretan catatan Hak
Tanggungan tersebut menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Demikian ditentukan oleh pasal 22 ayat (8) UUHT.
Sebagaimana telah diterangkan dimuka bahwa menurut pasal 2 ayat (2)
UUHT, apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat
diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa
pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya
sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek
Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga
kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk
menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Dalam hal pelunasan utang dilakukan dengan
cara angsuran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) UUHT itu, menurut
ketentuan pasal 22 ayat (2) UUHT hapusnya Hak Tanggungan pada bagian obyek Hak
Tanggungan yang bersangkutan dicatat oleh Kantor Pertanahan pada buku tanah dan
sertifikat Hak Tanggungan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang
telah bebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya. Namun pasal 22 ayat (9)
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxviii
UUHT tidak menentukan batas waktu pelaksanaan pencatatan tersebut oleh Kantor
Pertanahan sebagaimana ditentukan didalam pasal 22 ayat (8) UUHT yang telah
diterangkan diatas. Hal ini juga tidak memberikan kepastian kepada pemohon mengenai
kapan pelaksanaan pencatatan itu akan terlaksana.154
KESIMPULAN
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, maka banyak
sekali kemajuan-kemajuan dan pembaharuan-pembaharuan di bidang hukum pertanahan
nasional kita khususnya berkenaan dengan lembaga jaminan yang sebelumnya tidak kita
jumpai dalam lembaga jaminan yang telah ada.
SARAN
apapun bentuknya dalam suatu pengikatan jaminan serta obyek suatu jaminan
tidak akan ada persoalan yang rumit bilamana dalam pelaksanaan pengikatan jaminan
tersebut tertanam adanya rasa saling percaya dan tanggung jawab yang besar dari para
pelaku tersebut.
154
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan
Masalah-Masalah Yang dihadapi oleh Perbankan, Op Cit. Hal 112.
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxix
SIFAT DELIK DALAM PENCURIAN ALIRAN LISTRIK
Oleh:
Nur Hidayat, S.H., M.Hum.*
ABSTRAK
Delik terhadap aliran listrik adalah merupakan delik biasa,
artinya ketika subyek hukum telah melakukan delik tersebut maka
proses hukum guna menerapkan ketentuan pidana yaitu KUHP
dan perundingan terkait harus tetap dilaksanakan. Adapun
kerugian yang timbul dan diberikan ganti kerugian hanyalah
merupakan faktor non yuridis.
Kata kuci:
Penyidikan – Delik Pencurian Aliran Listrik –
Pemberian Ganti Rugi – Akibat Hukum.
LATAR BELAKANG
Apabila kita menengok sekilas sejarah hukum pidana, terutama tentang
sanksinya, maka kita akan sulit untuk percaya bahwa dahulu manusia benar-benar
merupakan makhluk yang sangat kejam. Jenis-jenis pidana yang dikenal dari ujung
timur sampai ujung barat dan dari ujung utara ke selatan planet ini semuanya bertumpuk
kepada pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.155
Apabila orang melihat ke dalam KUHP, khususnya ke dalam Buku II dan
Buku III maka selalu orang akan menjumpai dua jenis norma, yakni norma-norma yang
selalu harus dipenuhi agar sesuatu tindakan itu dapat disebut sebagai tindak pidana, dan
norma-norma yang berkenaan dengan ancaman pidana yang harus dikenakan bagi
pelaku dari sesuatu tindak pidana.
Secara terperinci undang-undang telah mengatur tentang: (a) kapan suatu
pidana itu dapat dijatuhkan bagi seorang pelaku; (b) jenis pidana yang bagaimanakah
yang dapat dijatuhkan bagi pelaku tersebut; (c) untuk berapa lama pidana itu dapat
dijatuhkan atau berapa besarnya pidana denda yang dapat dijatuhkan dan (d) dengan
cara yang bagaimanakah pidana itu harus dilaksanakan.156
Walaupun alasan penjatuhan pidana itu telah banyak dipikirkan dan dicari
alasan dan cara penerapan yang lebih manusiawi, namun sisa-sisa nafsu membalas
manusia tidak kunjung pupus keseluruhannya dari sistem pemidanaan. Kita lihat di
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
155
Andi Hamzah, Hukum Pidana merupakan salah satu Cermin Paling Terpercaya mengenai
Peradaban suatu Bangsa, Karya Ilmiah Para Pakar Hukum Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia,
Cet.I, Eresco, Bandung, 1995, h.35
156
Lamintang P.A.F., Hukum Panitensier Indonesia, Cet.IV, Armico, Bandung, 1984, h.13
Volume
9, No.1, Nop 2009
lxxx
dunia Barat betapa mereka dengan angkuhnya dengan dalih untuk menegakkan hak
azasi manusia dan dunia yang lebih manusiawi, namun jika telah menyinggung
kepentingan mereka sendiri maka nafsu untuk membalas itu juga muncul ke permukaan.
Contoh kasus peledakan Word Trade Centre, yang membawa akibat perburuan seorang
Usamah bin Laden.
Khusus penerapan sanksi pidana berupa denda sebagai alternatif pidana
penjara di Indonesia, sama sekali kurang efektif. Bagaimana mungkin pidana denda
dapat efektif, jika jumlah denda di dalam HUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana)
sedemikian kecilnya ditinggalkan oleh arus inflasi yang terus melanda. Kita dapat
membayangkan, ancaman pidana denda maksimum untuk delik pencurian hanya
sembilan ratus rupiah. Hakim dan Jaksa menjadi kurang respek dan tidak menerapkan
pidana denda untuk delik-delik kekayaan. Keadaan ini menyadarkan kita bahwa betapa
KUHP kita telah sangat ketinggalan jaman dalam segala seginya. Badan legislatif
tampaknya kurang gairah untuk secara terus-menerus memonitor perkembangan dalam
masyarakat untuk selanjutnya memanisfestasikan ke dalam KUHP.
Demikian halnya siklus perundang-undangan pidana kurang jalan, setiap
penciptaan undang-undang harus diikuti dengan peraturan pelaksanaan, penerapan dan
penegakan yang akhirnya pengalaman dalam menerapkan dan menegakkan itu menjadi
masukan bagi legislatif guna perubahan dan perbaikan berikutnya. Dunia yang semakin
sempit dan semakin laju gerak dan akal manusia memaksa pembuat undang-undang
untuk berpacu dengan perubahan itu. Sesudah Perang Dunia II, karena legislatif tidak
sempat menyusun revisi selama perang, maka semua KUHP di dunia ketinggalan
jaman. Pada abad ini yang ditutup dengan kemajuan teknologi (termasuk komputer),
maka legislatif seharusnya bekerja jauh lebih keras dan cepat. Jika tidak, kita akan
mengalami kekosongan hukum yang pada gilirannya akan menambah kekacauan dan
ketidakseimbangan dalam masyarakat.
Dalam pada itu hakekat hukum itu sendiri adalah untuk menjamin
kelangsungan keseimbangan dalam perhubungan antara anggota masyarakat.157 Prof.
Mr. Dr. L.J. van Apeldoor menjelaskan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan
hidup secara damai, karena hukum menghendaki perdamaian.158
Hukum Pidana yang berlaku sekarang ini ialah hukum yang tertulis dan yang
telah dikodifikasikan. Peraturan-peraturan Hukum Pidana ini tersebar di mana-mana
sebab tiap-tiap Badan Legislatif dan tiap-tiap orang yang diserahi tugas untuk
menjalankan undang-undang (Presiden, Menteri, Kepala Daerah, dan sebagainya)
berhak membuat peraturan pidana, yaitu peraturan-peraturan yang mengandung
ancaman-ancaman hukuman berupa suatu penderitaan terhadap si pelanggar.159
Tidak terbayangkan sebelumnya oleh pembuat undang-undang KUHP, bahwa
pada masa yang akan datang akan muncul berbagai tindak pidana dengan modus
157
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet.VIII, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989, h.40
158
Ibid., h.42
159
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Usaha Negara, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 2000, h.5
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxxi
operandi yang berbeda seperti yang ada sekarang. Hal tersebut dapat dimaklumi karena
KUHP kita berdasarkan azas konkordansi, merupakan duplikat dari KUHP Belanda
yaitu Wetboek van Strafrecht, yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918 hampir
tiga dekade setelah Belanda memberlakukannya.160
Tentunya KUHP tersebut mengandung unsur-unsur yang sudah out of date dan
tidak mampu memformulasikan kejadian yang akan datang. Karena pembuat undangundang hukum pidana atau legislatif hanya melihat tindak pidana yang saat itu atau
sebelumnya ada. Legislatif belum berniat untuk mempersiapkan ketentuan yang serba
guna.
Seiring dengan perkembangan jaman dewasa ini, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi semakin mencuat, sehingga dengan perkembangan dan kemajuan
teknologi tersebut, tidak dapat disangkal bahwa berbagai segi kehidupan manusia
dipermudah karenanya, untuk mencapai berbagai macam tujuan dalam upaya
meningkatkan kesejahteraannya.
Namun di samping itu tidak dapat dielakkan timbulnya dampak negatif yang
perlu diwaspadai agar kemajuan yang dicapai tidak menjurus pada timbulnya bencana,
ancaman, gangguan, tantangan, apalagi kehancuran terhadap kehidupan manusia itu
sendiri. Dengan kata lain, semakin canggih kehidupan masyarakat di segala bidang,
maka tingkat kriminalitasnya pun semakin tinggi, baik kuantitas maupun kualitas,
dengan segala bentuk modus operandi yang cukup kompleks pula.
Sementara itu dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga listrik merupakan cabang produksi yang
penting bagi negara sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang
menguasai hajat hidup orang banyak perlu dipergunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Di samping itu tenaga listrik mempunyai kedudukan yang penting
dalam pembangunan nasional pada umumnya dan sebagai salah satu pendorong
kegiatan ekonomi pada khususnya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Atas dasar pertimbangan di atas, ketenagalistrikan menempatkan dirinya pada
posisi senteral dalam kehidupan manusia, sehingga penyediaan tenaga listrik dikuasai
Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui
pemberian Kuasa Usaha. Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup
dalam jumlah, mutu, dan keandalannya dengan harga yang terjangkau masyarakat
merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan seiring dengan upaya pemanfaatan
semaksimal mungkin sumber-sumber energi bagi penyediaan tenaga listrik dengan tetap
memperhatikan keamanan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup. Badan
usaha milik negara yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dibentuk untuk
itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih
160
Kansil CST., Op.Cit., h.261
Volume
lxxxii 9, No.1, Nop 2009
merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga
listrik baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, sepanjang
tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan
Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Pemberian kuasa usaha di bidang ketenagalistrikan memberikan Kewenangan
untuk menjalankan kepentingan umum dalam rangka menunjang kelancaran
pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik itu sendiri. Namun demikian, karena tujuan
pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka
dalam Undang-undang ini juga ditegaskan hak-hak rakyat dan kewajiban Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Umum terhadap rakyat. Di samping itu, apabila badan usaha lain baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum dan
perorangan yang mendapatkan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri
dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik mempunyai kelebihan tenaga
listrik, maka kelebihan tenaga listriknya dapat dijual untuk kepentingan umum. Untuk
itu badan usaha lain tersebut harus mengajukan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk
Kepentingan Umum terlebih dahulu kepada Pemerintah.
RUMUSAN MASALAH
Hak-hak rakyat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain untuk mendapatkan
ganti rugi yang layak dan adil atas tanah atau kerusakan bangunan dalam rangka
pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik. Di samping itu rakyat berhak pula
mendapatkan pelayanan yang wajar untuk memperoleh tenaga listrik, dengan
mempertimbangkan kemampuan yang ada. Karena tujuan pembangunan
ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka harga jual tenaga
listrik diatur oleh Pemerintah agar dapat terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga
yang wajar.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang
Ketenagalistrikan, selain diatur hak dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan serta masyarakat yang
menggunakan tenaga listrik, juga diatur sanksi yang cukup berat terhadap tindak pidana
yang menyangkut ketenagalistrikan, mengingat sifat bahaya dari tenaga listrik dan
akibat yang ditimbulkannya. Mengenai kelalaian yang mengakibatkan matinya orang
diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, sedang ketentuan mengenai kejahatan
terhadap nyawa, penganiayaan dan yang menyebabkan lukanya seseorang disebabkan
karena tenaga listrik atau karena penyalahgunaan tenaga listrik sepanjang tidak diatur
dalam Undang-undang ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana, sedangkan penggantian kerugian sebagai akibat dari hal tersebut
di atas disesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku.
Atas dasar uraian di atas, maka dapatlah ditarik beberapa permasalahan dengan
rumusan masalah, sebagai berikut:
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxxiii
1.
2.
Apakah dasar Pengenaan Pencurian Aliran Listrik sebagai tindak pidana?
Dapatkah proses penyidikan atau penuntutan tindak pidana Pencurian aliran
listrik dihentikan akibat tersangka membayar kerugian korban?
PENCURIAN ALIRAN LISTRIK SEBAGAI TINDAK PIDANA
1.
Pemberlakuan Azas-azas Hukum dalam Hukum Pidana
Kebijaksanaan menanggulangi kejahatan baru yang berkembang dalam
masyarakat harus terkait dengan dua pemikiran yaitu pandangan masyarakat yang maju
meninggalkan sikap keterbelakangan dalam memahami aspek-aspek hukum pidana dan
kecenderungan peningkatan kejahatan yang lebih profesional perlu diimbangi dengan
peningkatan ilmu dari para petugas hukum yang profesional.
Pemikiran tentang hukum pidana dan kejahatan yang demikian itu, pada masa
sekarang dimaksudkan untuk menggerakkan masyarakat lebih maju (social engineering)
agar masalah konflik sosial yang disebabkan perilaku kejahatan itu diatasi dalam rangka
keterkaitan dengan politik sosial untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat.
Penyelenggaraan hukum pidana menjadi bagian yang integral dengan tujuan
kesejahteraan masyarakat.
Apabila masih terdapat anggapan di tengah masyarakat yang terkurung dalam
lingkaran yang sempit, bahwa adanya kejahatan yang timbul di tengah masyarakat
selalu dipikirkan dengan pemecahan membuat undang-undang baru (yang belum tentu
siap pakai), kemudian keinginannya berapa banyak tumpukan perundang-undangan
hukum pidana yang dikehendaki oleh masyarakat.
Bahkan bisa jadi timbul inflasi undang-undang yang menjurus ke arah
kemerosotan wibawa hukum pidana. Penambahan peraturan hukum pidana terus makin
bertumpuk untuk menganggulangi kejahatan ternyata hasilnya bisa sebaliknya dan
kejahatan tumbuh bergerak terus. Hal yang tidak dapat dihindari adalah adanya
kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat ini banyak perilaku yang bersifat deviasi
sosial. Berbagai perilaku penyimpangan seperti pelayanan kesehatan yang komersial
dengan membawa korban dan banyak perilaku anti sosial lainnya sebagai bentuk
kejahatan baru.
Sementara itu, hukum pidana mempunyai kemampuan terbatas dan penerapan
hukum pidana banyak mengandung dampak keburukan yang merugikan individu
maupun sosial, karena sifat hukum pidana yang terbatas tersebut.
Dalam ilmu hukum telah banyak ungkapan kedudukan norma hukum di antara
norma-norma sosial lainnya. Pada masa yang lalu para ahli hukum menyusun urutan
norma dengan deretan norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma
hukum.161 Urutan tempat norma-norma tersebut didasarkan perbedaan sumber nilai,
tujuan dan pembentukannya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
161
Kansil C.S.T.., Op.Cit., h.84
Volume
lxxxiv 9, No.1, Nop 2009
Pemikiran yang berkembang justru urutannya tidak lagi sedemikian itu,
melainkan norma hukum berada di tengah sehubungan substansi dan sifat bekerjanya
masing-masing norma. Kehidupan bermasyarakat tidak dapat dihandalkan dengan
tatanan dari norma hukum tanpa dukungan tatanan sosial lainnya dalam usaha mencapai
tujuan kesejahteraan sosial. Pemikiran tentang penegakan hukum pidana tidak boleh
dilupakan dalam lingkup usaha menanggulangi kejahatan secara menyeluruh, oleh
karena itu di samping menggunakan hukum pidana diperlukan sarana lain dari tatanan
sosial dan kekuatan sosial dan kekuatan sosial untuk melindungi masyarakat yang
diganggu oleh perilaku kejahatan. Berbagai bentuk perilaku tercela yang dirasakan
membahayakan dan merugikan masyarakat janganlah serta merta berpaling kepada
hukum pidana yang diperkirakan dapat mengatasi segala persoalan gangguan sosial
tersebut.
Latar belakang dan motivasi kehidupan dalam masyarakat perlu diikutsertakan
dalam memahami kaitan antara hukum pidana dan perilaku yang nyata-nyata jahat
maupun yang potensial bersifat jahat. Kita jangan sampai keliru mengamati hubungan
antara gejala kejahatan dalam rangkaian tertib sosial dengan politik kriminal dan politik
sosial.
Di satu pihak hukum pidana dan pelaksanaannya dibutuhkan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan hukum menuju ke kedamaian karena hukum pidana memang
dalam hal-hal tertentu ampuh untuk menanggulangi kejahatan, akan tetapi di lain pihak
hukum pidana dan pelaksanaannya dapat merugikan individu maupun masyarakat luas
karena mengandung dimensi absulutisme dengan kecenderungan menimbulkan crime
infection. Sehingga hukum pidana tanpa faedah apabila eksistensi dan aplikasinya tidak
terarah pada tepat guna dan hasil guna dalam masyarakat.
Kemauan untuk mengadakan undang-undang hukum pidana tidak harus
berlomba dengan peningkatan kejahatan yang berkembang dalam masyarakat,
mengingat kejahatan itu selalu berbaur dengan perbuatan yang bersifat kejahatan fiksi
dan perilaku tercela. Peraturan hukum pidana dan pembentukan undang-undangnya
memerlukan budaya hukum modern sistem hukum yang integral dengan tujuan
kesejahteraan masyarakat baik secara individu maupun sosial.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk penanggulangan kejahatan baik mulai
dari pola tindakan yang paling keras yang notabene sama brutalnya dengan kejahatan itu
sendiri yang menjurus pada kanibalisme maupun tindakan pencegahan kejahatan yang
bersifat sosial treatment.
Mengingat kemampuan hukum pidana yang sangat terbatas, yaitu atas dasar
pertimbangan azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege162 serta melekatnya
azas legalitas163dalam penerapan hukum pidana, maka hukum pidana tidak dapat
demikian saja diterapkan terhadap semua delik yang terjadi dalam masyarakat.
Azas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege telah menyebabkan
hukum pidana tidak dapat dijeratkan begitu saja, bilamana sebelumnya hukum pidana
162
Moeljatno, Op.Cit., h.23
Ibid., h.25
Volume 9, No.1, Nop 2009
163
lxxxv
itu tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana.164
Azas legalitas menyebabkan hukum pidana pemberlakuannya dibatasi dalam
hal-hal seperti:
a. hukum pidana tersebut tidak mengatur tentang sesuatu perbuatan yang diancam
dengan pidana;
b. penerapan rumusan ketentuan perbuatan pidana dalam hukum pidana tidak
boleh menggunakan analogi;
c. serta ketentuan hukum pidana tersebut tidak boleh berlaku surut.
Rasio dalam penerapan azas nullum delictum nulla poena sine praevia lege
adalah bahwa bilamana hukum pidana itu diterapkan dengan tanpa dibatasi tentang
perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana, maka akan menyebabkan ketidakpastian
hukum dalam hukum pidana. Masyarakat akan resah, tidak dapat membedakan tentang
perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana dan perbuatan yang mana yang tidak
dapat dikenakan pidana. Karenanya, demi kepastian hukum dalam hukum pidana,
hukum pidana tersebut harus secara pasti menentukan dan menuangkan dalam ketentuan
tertulisnya tentang perbuatan apa yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Demikian halnya dengan penerapan azas legalitas, khususnya tentang tidak
diperkenankannya penggunaan analogi dalam menafsirkan rumusan ketentuan pidana
dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan penafsiran secara analogi adalah memberikan
ibarat atau kiyas pada kata-kata rumusan ketentuan pidana, sehingga sesuatu peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut. Penafsiran ini menyebabkan ketidak-pastian dalam hukum pidana.
Terlebih lagi bilamana dalam hukum pidana diperbolehkan ditetapkannya
bahwa hukum pidana dapat berlaku surut. Artinya jika semula suatu perbuatan tidak
dilarang dan tidak diancam dengan pidana oleh hukum pidana, beberapa tahun
kemudian perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana. Maka bilamana
ketentuan ini diberlakukan pada masa yang lalu, yang ketika itu hukum pidana tersebut
belum mengatur dan melarangnya, akan menyebabkan keresahan dan ketidakpastian
hukum dalam hukum pidana.
Adapun tentang mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat
meteran resmi dari Perusahaan Listrik Negara dikualifikasikan sebagai delik pencurian
dalam pasal 362 KUHP adalah merupakan hasil perluasan pengertian dari pengertian
semua pasal 362 KUHP.165 Selanjutnya tentang bentuk-bentuk penafsiran ini akan
diuraiakan pada sub bab berikut di bawah ini.
Pada dasarnya ketentuan KUHP khususnya pasal 362 diterapkan dalam kasus
mempergunakan kekuatan aliran listrik tanpa memakai alat meteran resmi dari
Perusahaan Listrik Negara, sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998
tentang Ketenagalistrikan adalah diterapkan dengan menggunakan penafsiran ekstensif.
164
Ibid., h.23
Bambang Poernomo, Pola Dasar Teori- Azas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan
Hukum Pidana, Cet.II, Liberty, Yogyakarta, 1993, h.213
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxxvi
165
Karenanya, dengan berlakunya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang
Ketenagalistrikan tidaklah dapat diterapkan pada kasus pencurian aliran listrik. Lebihlebih lagi pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tersebut tidak mengatur
secara tegas tentang sanksi pidana kepada pelaku pencurian aliran listrik. Apalagi dalam
pasal 362 KUHP telah ada komentar resminya yang menyatakan bahwa menggunakan
aliran listrik secara tidak sah atau melanggar hukum adalah juga pencurian.166
Karenanya hubungan antara KUHP dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun
1998 tidaklah bersifat hubungan khusus dan umum. Hal ini dikarenakan di satu sisi
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tidak secara mandiri membuat ketentuan
tentang pencurian aliran listrik dan di sisi lain KUHP sendiri telah secara tegas
menentukan bahwa pasal 362 KUHP juga berlaku untuk pencurian aliran listrik. Untuk
itu, adagium lex specialis derogat legi generalie tidak proporsional untuk diterapkan
dalam kasus pencurian aliran listrik dalam hubungan dua ketentuan hukum KUHP dan
Undang-undang Nomor 15 tahun 1998.
2.
Dasar Pengenaan Pencurian Listrik sebagai Tindak Pidana
Aristoteles, seorang ahli fikir Yunani Kuno menyatakan bahwa manusia adalah
zoon politicon artinya manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul
dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, karenanya disebut makhluk sosial.167
Dengan demikian telah sejak lama dipikirkan tentang kedudukan manusia dengan
manusia yang lain, tentang hubungan antara manusia dengan masyarakat, dan tentang
fungsi hukum untuk kepentingan manusia dalam masyarakat. Namun pemikiran
demikian itu acapkali tersendat oleh urusan manusia sendiri karena berbagai
kepentingan manusia yang komplek. Pada masa itu dianggaplah tumbuh cita-cita dalam
pikiran yang abstrak mengenai hubungan antara manusia, masyarakat dan hukum.
Hubungan ketiga komponen manusia, masyarakat dan hukum dijalin dalam
lingkaran yang salah satu garisnya berupa jalur kebenaran-keadilan. Kebenaran keadilan
merupakan salah satu hal yang pokok bagi kehidupan manusia sejak permulaan adanya
masyarakat, meskipun bentuknya masyarakat yang sederhana, apalagi dalam
masyarakat yang maju dengan penghidupan yang komplek. Hakekat kebenaran dan
keadilan adalah dua hal yang erat sekali, karena sesuatu yang tidak benar tidaklah
mungkin menjadi adil. Sesuatu yang diselenggarakan dengan adil diperlukan dasar yang
benar.
Dalam kehidupan manusia ternyata sendiri kebenaran-keadilan itu meliputi
segala macam segi kehidupan dalam masyarakat, baik di bidang hukum maupun di
bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan kemasyarakatan lainnya.
Pola kebenaran-keadilan di bidang hukum itu ternyata bersifat relatif,
sekalipun demikian sangat diperlukan adanya untuk dapat dijadikan sebagai ukuran
norma hukum yang berlaku, agar jangan sampai norma itu kehilangan tolok ukur
kebenaran-keadilan. Setelah manusia mulai melihat norma hukum dengan dasar
166
Ibid.
Kansil C.S.T., Op.Cit., h.29
Volume 9, No.1, Nop 2009
167
lxxxvii
kebenaran-keadilan, selanjutnya tiba kesulitan baru yaitu norma tersebut perlu
ditegakkan sehingga dibutuhkan lembaga yang dapat menjadi alat pengatur dan
pemaksa guna mencapai kebenaran-keadilan menurut norma-norma yang berlaku.
Lembaga pengatur dan pemaksa di bidang hukum (alat negara) sebagai perangkat elite
yang bertugas menjalankan hukum dalam perjalanannya menyelenggarakan hukum
inipun tidak terlepas dari kesulitan yang lain, karena memerlukan norma yang mengatur
tata cara bekerja agar dapat menyelenggarakan kebenaran-keadilan di bidang hukum.
Kadangkala di dalam masyarakat terdapat suatu kepentingan sosial yang perlu
dilaksanakan untuk mendukung peningkatan kehidupan masyarakat yang didorong oleh
faktor kebutuhan hajat hidup manusia dalam rangka menuju ke pembaharauan
masyarakat. Pembaruan masyarakat itu sebagai realita sosial, guna mengejar cita-cita
kesejahteraan sosial, sehingga penyelenggaraan kepentingan tersebut menjadi tuntutan
sosial. Namun kepentingan sosial yang demikian itu belum tersentuh oleh nilai-nilai dan
norma hukum. Dengan kata lain kepentingan sosial itu masih dianggap asing di bidang
hukum. Jika terjadi keadaan yang demikian akan menimbulkan masalah bahwa
kepentingan di bidang sosial terhambat oleh kelambanan di bidang hukum.
Sekalipun mungkin kepentingan sosial itu telah mendapat perhatian di bidang
hukum, tidak mustahil masih dimungkinkan terjadi pertentangan diantara nilai norma
baru yang timbul dari kebutuhan sosial yang berhadapan dengan norma-norma lama
yang statis dibidang hukum. Seperti kasus dokter yang menjalankan profesinya dengan
baik, masih menghadapi tuntutan hukum yang tidak diduga sebelumnya.
Hasil pemikiran secara filosofis seperti uraian tersebut di atas akan sampai
pada masalah hukum sosiologis, yakni sejak itulah manusia selaku individu dalam
masyarakat dan manusia yang menjadi perangkat lembaga pengatur berhadap-hadapan
tampak saling berbenturan apabila terdapat kepentingan yang berbeda. Di satu pihak
mempergunakan norma sebagai perjuangan dengan sikap menentang karena alasan
kepentingan individu dalam ikatan masyarakat yang hendak mengurangi keterikatan
aturan statis yang mengurangi kebebasan. Di pihak lain menyatakan penerapan norma
itu harus ditaati untuk menegakkan kekuasan yang bersifat normative dengan alasan
kepentingan masyarakat luas.
Pertentangan kepentingan seperti tersebut di atas dapat tumbuh pada setiap
saat. Untuk mengatasi hal seperti itu kemudian dikembangkan pola pemikiran tentang
hukum dan politik yang hendak mengakomodir dan mencari jalan pemecahan konflik
kepentingan baik yang menyangkut kepentingan individu maupun kepentingan sosial
dengan tujuan untuk kesejahteraan bersama. Pola pemikiran tentang hukum dan politik
berkembang di lapangan hukum dan hukum publik lainnya.
Di Indonesia sekitar tahun lima puluhan masih berkumandang paham yang
sinis tentang hukum bahwa ilmu hukum pidana tetap tinggal teori dan dianggap lain
sama sekali terhadap praktik hukum pidana. Pernyataan itu dapat diterima sebagai
prasangka buruk terhadap pengembangan ilmu hukum dan praktik hukum. Dalam hal
ini memang mungkin sekali pengembangan teori hukum pidana tidak terpikirkan untuk
menggali sumber kekauaan nilai-nilai hukum nasional ataupun cara mengadaptasi
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxxviii
hukum. Selama ini banyak karangan tentang hukum pidana yang belum alih teori karena
selalu menunggu datangnya konsep import hukum dari teori barat, sehingga menjadi
alasan praktik hukum kita berjalan sendiri tidak menentu.
Sebagaimana diketahui KUHP yang semula bernama Wetboek van Strafrecht
hukum pidana menjadi beku, statis dan sukar berubah. Sedangkan yang melaksanakan
kodifikasi adalah hakim dalam rangka untuk menegakkan hukum di tengah-tengah
masyarakat. Kendati kodifikasi telah diatur secara lengkap, namun tetap kurang
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangannya, sehingga menyulitkan dalam
pelaksanaan penegakan hukum pidana. Hal ini dikarenakan pada waktu kodifikasi
KUHP itu dibuat listrik belum dikenal, sehingga tidak terumuskan dalam pasal-pasal
KUHP.
Aliran listrik sekarang telah dianggap sebagai benda dengan dasar analisis
sebagaimana diuraikan di atas, sehingga barang siapa dengan sengaja menyambung
aliran listrik tanpa ijin yang berwenang adalah termasuk perbuatan yang melanggar
hukum yaitu tindak pidana pencurian.
Dengan cara penerapan penafsiran terhadap rumusan ketentuan hukum pidana
dalam KUHP, maka KUHP tidak lagi menjadi kaku dan statis. Artinya KUHP dalam
beberapa hal dapat diterapkan dan dapat mengikuti perkembangan jaman. Kemudian
penafsiran ini dikembangkan dan lahirlah beberapa penafsiran hukum168, yaitu:
a. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran yang didasarkan pada
bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataanperkataan dalam hubungannya satu sama lain pada kalimat-kalimat yang
dipakai oleh undang-undang. Misalnya tentang larangan memarkir kendaraan
di suatu tempat, pada kata kendaraan tidak terdapat penjelasan yang cukup,
maka dalam penafsiran tata bahasa adalah semua kendaraan yang dapat
digunakan oleh barang atau orang;
b. Penafsiran sahih (autentik) ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata
itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk undang-undang. Misalnya
pasal 98 KUHP tentang kalimat “malam” yang berarti waktu antara matahari
terbenam dan matahari terbit;
c. Penafsiran historis yaitu penafsiran yang didasarkan pada sejarah hukumnya
dan sejarah undang-undangnya. Penafsiran dari sejarah hukumnya adalah
berdasarkan sejarah terjadinya hukum dengan cara menyelidiki dari memori
penjelasan, laporan-laporan, perdebatan DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat
republik Indonesia) dan surat-menyurat antara menteri dengan komisi DPR
yang bersangkutan. Adapun penafsiran dari sejarah undang-undangnya adalah
dengan cara menyelidiki maksud pembentuk undang-undang pada waktu
membuat undang-undang itu. Misalnya denda Rp.100,00 (seratus rupiah) harus
ditafsirkan berdasarkan pada saat membuat undang-undang itu sendiri harus
sama nilainya dengan penerapan undang-undang itu pada saat ini. Artinya nilai
168
Ibid., h.66 - 69
Volume 9, No.1, Nop 2009
lxxxix
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
xc
denda Rp.100,00 (seratus rupiah) tidak mungkin dikenakan sama, melainkan
harus dikenakan sesuai dengan kondisi nilai uang saat ini;
Penafsiran sistematis adalah penafsiran menilik susunan yang berhubungan
dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun
dengan undang-undang yang lain. Misalnya azas monogamy yang tersebut
dalam BW (Burgerlijk Wetboek) pasal 27, maka harus dijadikan dasar
penerapan pasal 279 KUHP.
Penafsiran nasional adalah penafsiran dengan menilik sesuai tidaknya dengan
sistem hukum yang berlaku misalnya hak milik pasal 570 BW, harus
ditafsirkan berdasarkan hak milik berdasarkan sistem hukum Indonesia.
Artinya misalnya hak milik atas tanah hanyalah sebatas atas permukaan bumi
saja, sedangkan di atas bumi (udara) dan di bawah bumi (jika ada sumber daya
alam) merupakan hak penguasaan mutlak negara.
Penafsiran teleologis (sosiologis) adalah penafsiran dengan mengingat maksud
dan tujuan undang-undang itu. Hal ini mengingat kondisi sosial selalu berubah,
sehingga pemberlakuan ketentuan hukum didasarkan pada perkembangan
kondisi masyarakat yang terakhir.
Penafsiran ekstensif adalah memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata
dalam peraturan itu sehingga ssuatu peristiwa dapat dimasukkannya dalam
ketentuan hukum tersebut. Misalnya aliran listrik termasuk juga benda.
Penafsiran restriktif, ialah penafsiran dengan membatasi arti kata-kata dalam
peraturan itu, misalnya kerugian tidak termasuk kerugian yang tidak berwujud
seperti sakit, cacad dan sebagainya.
Penafsiran analogis adalah memberikan tafsiran pada sesuatu peraturan hukum
dengan memberi ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan azas
hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.
Misalnya organ tubuh manusia seperti alat kelamin wanita, ditafsirkan sebagai
barang dalam ketentuan pasal 378 KUHP. Hal ini tidak diperkenankan,
karenanya analogi interpretasi tidak dapat diberlakukan atau diterapkan dalam
ketentuan rumusan pasal-pasal KUHP atau hukum pidana umumnya.
Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran), adalah suatu cara menafsirkan
undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang
dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang. Dengan
berdasarkan pelawanan pengertian itu ditarik kesimpulan, bahwa soal yang
dihadapi itu tidak diliputi oleh pasal yang dimaksud atau dengan kata lain
berada di luar pasal tersebut. Misalnya pasal 34 BW menentukan bahwa
seorang perempuan tidak diperkenankan menikah lagi sebelum lewat 300 hari
setelah perkawinannya terdahulu diputuskan. Apakah laki-laki juga harus
menunggu lampaunya waktu 300 hari untuk menikah lagi? Tentunya tidak,
sebab pasal 34 BW tidak menyebutkan apa-apa tentang orang laki-laki.
Volume 9, No.1, Nop 2009
Dalam pada itu, hukum acara pada umumnya baik perdata maupun pidana
dapat dibagi dalam garis besarnya menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan atau
permulaan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan adalah tahap
sebelum acara pemeriksaan di persidangan.
Dalam acara perdata pada tahap pendahuluan ini tidak berapa banyak kegiatan
dilakukan, seperti misalnya memasukkan gugatan, mengajukan permohonan penyitaan
jaminan dan pencabutan gugatan. Lain halnya dalam acara pidana, pada tahap ini lebih
banyak kegiatan yang dilakukan: pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh
kepolisian dan kejaksaan. Tahap penentuan adalah tahap pemeriksaan di persidangan,
dimulai dari jawab-menjawab, pembuktian peristiwa sampai pada putusan. Tahap
pelaksanaan meliputi pelaksanaan putusan sampai selesai.
Kegiatan hakim yang utama dan yang paling banyak adalah pada tahap
penentuan, yaitu pemeriksaan di persidangan.
Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim dipersidangan adalah mengkonstatasi
peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan peristiwa konkrit,
mengkualifikasi peristiwa konkrit, yang berarti menetapkan peristiwa hukumnya dari
peristiwa konkrit dan mengkonstitusi atau memberi hukum atau hukumannya, yang
pada dasarnya semua itu tidak ubahnya dengan kegiatan seorang sarjana hukum yang
dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan harus memecahkannya, yaitu legal
problem identification, legal problem solving dan decision making. Setiap sarjana
hukum yang bekerja di bidang hukum, terutama hakim, selalu dihadapkan pada
peristiwa konkrit, suatu kasus atau konflik, yang harus dicarikan hukumnya dan
dipecahkan atau selesaikan.
Pencarian hukum adalah menyangkut penemuan hukum dalam rangka proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas
melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit. Lebih konkrit lagi dapat
dikatakan bahwa penemuan hukum adalah konkretisasi, kristalisasi atau individialisasi
peraturan hukum atau das soolen, yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa
konkrit atau das sein. Peristiwa konkrit perlu dicarikan hukumnya yang bersifat umum
dan abstrak. Peristiwa konkrit itu harus dihubungkan dengan peraturan hukumnya agar
dapat tercakup oleh peraturan hukum itu. Sebaliknya peraturan hukumnya harus
disesuaikan dengan peristiwa konkritnya agar dapat diterapkan.
Penemuan hukum merupakan proses atau rangkai kegiatan yang bersifat
kompleks yang pada dasarnya dimulai sejak jawab-menjawab sampai dijatuhkannya
putusan. Kegiatan-kegiatan atau langkah-langkah itu pada umumnya tidaklah
terpisahkan satu sama lain, terjalin satu sama lain, bahkan sering tidak berurutan. Akan
tetapi momentum dimulainya penemuan hukum ialah setelah peristiwa konkritnya
dibuktikan atau dikonstatasi, karena pada saat itulah peristiwa konkrit yang telah
dikonstatasi itu harus dicarikan atau diketemukan hukumnya.
Hakim harus memperoleh kepastian tentang peristiwa konkrit yang telah
terjadi. Peristiwa konkrit atau yang terungkap dalam jawab-menjawab itu merupakan
kompleks peristiwa atau kejadian-kejadian yang harus diurai, harus diseleksi. Peristiwa
Volume 9, No.1, Nop 2009
xci
yang pokok dan yang relevan bagi hukum dipisahkan dari yang tidak relevan, untuk
kemudian disusun secara sistematis dan kronologis teratur agar hakim dapat
memperoleh ikhtisar yang elas tentang peristiwa konkritnya, tentang duduk perkaranya
dan akhirnya dibuktikan serta dikonstatasi atau dinyatakan benar-benar telah terjadi.
Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim akan kebenaran
peristiwa konkrit yang disengketakan. Walaupun peristiwa konkrilah yang harus
dikonstatasi atau dirumuskan, namun karena hanya peristiwa konkrit yang relevan saja
yang harus dibuktikan, maka di sini hakim sudah mulai menyentuh atau berhubungan
dengan peraturan hukumnya. Kapankah suatu peristiwa konkrit itu relevan, apa
dasarnya untuk menetapkan apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau
tidak. Peristiwa yang relevan adalah peristiwa yang penting bagi hukum, yang berarti
bahwa peristiwa itu dapat dicakup oleh hukum, dapat ditundukkan pada hukum.
Peristiwa yang relevan berarti bahwa peristiwa itu dapat mempengaruhi penyelesaian
perkara. Untuk mengetahui apakah peristiwa itu relevan atau tidak, maka harus terlebih
dahulu diketahui peraturan hukumnya. Sebaliknya untuk mengetahui peraturan
hukumnya harus diketahui peristiwa konkritnya dan ditetapkan pula relevansinya. Di
sini tampak bahwa langkahnya ditetapkan pula relevansinya. Di sini tampak bahwa
langkah opserasionalnya tidak selalu sistematis berurutan. Dasar untuk menetapkan
apakah suatu peristiwa konkrit itu relevan bagi hukum atau tidak, tidak lain adalah
pengetahuan atau penguasaan tentang peraturan hukumnya. Hanya dengan berfikir
secara formal logis saja masalahnya tidak dapat dipecahkan. Tanpa wawasan, intuisi
dan penilaian hakim, lingkaran proses dalam mencari hukum dan peristiwa yang relevan
tidak dapat dipecahkan dan pengambilan putusan tidak dapat dimulai. Jadi hanya
dengan pengetahuan dan penguasaan tentang maka konstatasi peristiwa konkritnya
dimungkinkan. Oleh karena itu hakim harus menguasai peraturan hukum, bahkan hakim
dianggap mengetahui hukumnya ius curia novit.169
Peristiwa konkrit yang telah dibuktikan itu dikonstatasi oleh hakim sebagai
peristiwa konkrit yang benar-benar telah terjadi. Tanpa pembuktian peristiwa konkrit
yang diperkirakan menjadi sengketa kedua belah pihak hakim tidak boleh
mengkonstatasinya sebagai telah benar-benar terjadi. Konstatasi peristiwa konkrit
berarti uraian tentang duduk perkaranya. Di sisi diperoleh suatu ikhtisar yang sitematis
dan kronologis, jelas suatu gambaran menyeluruh tentang duduk perkaranya.
Setelah peristiwa konkritnya dikonstatasi atau dinyatakan terbukti, maka
peristiwa konkrit itu harus dicarikan hukumnya. Peristiwa konkrit yang telah terbukti itu
harus diterjemahkan dalam bahasa hukum, yaitu dicari kualifikasinya, dicari peristiwa
hukumnya dengan mencari atau menemukan peraturan hukumnya. Setelah peraturan
hukumnya diketemukan maka akan diketahui peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit
yang bersangkutan. Peristiwa hukumnya harus diketemukan agar peraturan hukumnya
dapat diterapkan. Jadi peristiwa konkrit itu harus dijadikan peristiwa hukum lebih
dahulu sebelum peraturan hukumnya dapat diterapkan, karena peraturan hukum hanya
169
Sudikno Mertokusuno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cet.I, Liberty, Yogyakarta, 1988, h.9
Volume
9, No.1, Nop 2009
xcii
dapat diterapkan pada peristiwa hukum, bukan pada peristiwa konkrit. Misalnya saya
menerima sepeda dari seseorang yang dan berkewajiban menyerahkan uang sejumlah
Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), maka kualifikasinya adalah jual beli sebagai
peristiwa hukumnya.
Contoh lain misalnya Dadap nggandol atau menyadap aliran listrik milik Waru
dengan jalan melawan hukum, maka peristiwa konkrit itu harus diterjemahkan dalam
bahasa hukum, harus diberi kualifikasinya, sehingga menjadi peristiwa hukum dengan
mencari peraturan hukumnya. Peraturan hukumnya dalam hal ini tercantum dalam pasal
362 KUHP. Kualifikasi yang terdapat dalam pasal 362 KUHP tersebut adalah
pencurian. Jadi peristiwa konkrit Dadap nggantol aliran listrik milik Waru harus
diterjemahkan dalam bahasa hukum menjadi peristiwa hukum pencurian.
Di sini mulai dicari kaitannya antara das sein dan das sollen, antara peristiwa
konkrit dengan peraturan hukumnya, Peraturan hukumnya dikonkretisasi dengan
menghubungkannya dengan peristiwa konkrit. Untuk dapat menetapkan hubungan
antara peristiwa konkrit dengan peraturan hukumnya, maka peristiwa konkrit itu harus
dikualifikasi atau diterjemahkan dalam bahasa hukum.
Pada konstatasi peristiwa konkrit, kualifikasi peristiwa konkrit menjadi
peristiwa hukum hanya dimungkinkan dengan pengetahuan dan penguasaan peraturanperaturan hukum. Tanpa pengetahuan dan penguasaan peraturan hukum tidak mungkin
mengadakan kualifikasi. Tidak mustahil bahwa dalam tahap ini dimungkinkan
terjadinya berbagai kualifikasi. Tidak jarang terjadi bahwa peristiwa yang sama dapat
diterjemahkan secara yuridis atau dikualifikasi dalam berbagai cara.
Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum mutlak diperlukan, hanya
dengan pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum dimungkinkan untuk
melakukan seleksi peristiwa-peristiwa yang yuridis relevan dan kualifikatif. Hubungan
antara das sein dan das sollen itu erat, das sein membutuhkan das sollen, sebaliknya das
sollen membutuhkan das sein. Agar das sollen itu aktif, hidup dan dapat dilaksanakan,
maka membutuhkan terjadinya suatu peristiwa konkrit.
Das sein merupakan activator das sollen, ada saling hubungan antara peristiwa
konkrit (das sein) dan peraturan hukumnya (das sollen). Peristiwanya yang konkrit
menentukan peraturan hukumnya yang relevan. Sebaliknya peraturan hukumnya
menentukan sekaligus peristiwa mana yang relevan.
Tahap kualifikasi ini berakhir dengan diketemukan atau dirumuskan masalah
hukumnya. Kemudian harus dicari peraturan hukumnya yang dapat diterapkan terhadap
peristiwa hukum yang telah diketemukan. Untuk itu harus diseleksi peraturan-peraturan
hukum yang relevan bagi peristiwa hukum yang bersangkutan.
Sumber penemuan hukum atau tempat menemukan hukumnya adalah
peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, putusan hakim dan doktrin. Sumber
penemuan hukum itu merupakan hierarchi. Jika kita hendak mencari atau menemukan
hukumnya, maka dicarilah lebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Apabila
peraturan perundang-undangan tidak memberi jawabannya, maka barulah dicari dalam
Volume 9, No.1, Nop 2009
xciii
hukum kebiasaan. Bilamana hukum kebiasaan tidak pula ada ketentuannya, maka
dicarilah dalam putusan ke pengadilan dan begitulah seterusnya.
Ketika peraturan hukumnya telah diketemukan, maka harus dibahas,
ditafsirkan atau dijelaskan isinya jika sekiranya tidak jelas, atau dilengkapi jika
sekiranya terdapat kekosongan atau ketidak-lengkapan hukum atau diadakan konstruksi
hukum jika diperlukan pembentukan pengertian hukum. Oleh karena peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi sebagai sumber penemuan hukum itu kompleks
sifatnya maka harus dianalisis.
Hukumnya, terutama yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan
tidak selalu dirumuskan dengan jelas dan pada umumnya tidak lengkap. Telah berulang
kali dikemukakan bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan yang selalu jelas
sejelas-jelasnya dan lengkap selengkap-lengkapnya. Tidak mudah membaca undangundang, karena kecuali undang-undang itu sifatnya kompleks, tidak selalu mudah
memahami maksud pembentuk undang-undang, sekalipun dalam penjelasannya
dinyatakan cukup jelas.
Untuk itu peraturan perundang-undangan itu harus dibaca dengan hati-hati dan
cermat. Harus dapat ditangkap apa yang tersirat dalam peraturan perundang-undangan.
Karenanya harus dikuasai pula pengetahuan tentang pengertian, azas dan sistem hukum.
Guna memperoleh pengertian suatu istilah hukum kadang-kadang perlu dicari dalam
peraturan perundang-undangan yang lain. Kecuali itu, untuk memperoleh pengertian
suatu istilah hukum perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran suatu istilah hukum
perlu mengadakan penjelasan atau penafsiran atau dengan menggunakan metode
penemuan hukum lainnya.
Seperti yang telah diketengahkan di atas, hakim harus mengambil pilihan dari
berbagai metode penafsiran yang hasilnya dapat berbeda. Ia mempunyai kebebasan
menafsirkan, yang tidak boleh tidak harus dilakukan karena ia tidak dapat menolak
untuk mengadili dan memutuskan perkara, dalam hal ini tidak ada sistem yang logis
tertutup. Apabila hakim harus mengambil pilihan dari berbagai kemungkinan, yang
ditentukan oleh penilaiannya, maka ia melengkapi atau mengisi peraturan-peraturan
hukumnya dalam hubungannya satu sama lainnya. Setiap penafsiran, demikian pula
setiap putusan menambahkan sesuatu, berisi unsur penciptaan. Akhirnya hakim hanya
akan menjatuhkan pilihannya berdasarkan pertimbangan metode manakah yang paling
meyakinkannya dan yang hasilnya paling memuaskan. Peradilan dalam hal ini menjadi
penciptaan hukum, penemuan hukum bukanlah corong undang-undang sebagaimana
yang terjadi selama ini.
PENGHENTIAN PENUNTUTAN TERSANGKA
xcivVolume 9, No.1, Nop 2009
1. Dasar-dasar Penghentian Penuntutan Tersangka
Penghentian perkara pidana tidak saja pada tahap penuntutan, melainkan dapat
pula dilakukan dalam tahap penyidikan. Untuk itu pada bagian pembahasan sub bab ini
akan dimulai dari penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Sesuai dengan ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP (Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana) penyidik menyampaikan pemberitahuan kepada Penuntut Umum
apabila penyidik telah mulai melakukan tindakan penyidikan. Pemberitahuan itu
merupakan pelaksanaan yang harus dilakukan penyidik bersamaan dengan tindakan
yang dilakukannya.
Pemberitahuan penyidikan kepada penuntut umum, dianggap kewajiban yang
harus di lakukan dengan cara tertulis maupun secara lisan yang di susul dengan tulisan.
Urgensi pemberitahuan tersebut berkaitan dengan hak penuntut umum mengajukan
permintaan kepada praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian
penyidikan.170
Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan kepada penyidik,
yakni penyidik berwenang bertindak menghentikan penyidikan yang telah dimulainya.
Hal ini ditegaskan pasal 109 ayat 2 yang memberi wewenang kepada penyidik untuk
menghentikan penyidikan yang sedang berjalan.
Rasio pemberian wewenang penghentian penyidikan adalah untuk menegakkan
prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan, dan sekaligus untuk tegaknya
kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penyidik berkesimpulan bahwa
berdasar hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk
menuntut tersangka di muka persidangan, untuk apa berlarut-larut menangani dan
memeriksa tersangka. Lebih baik penyidik secara resmi menyatakan penghentian
pemeriksaan penyidikan, agar segera tercipta kepastian hukum, baik bagi penyidik
sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat. Kecuali itu, agar penyidikan
terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, sebab jika perkaranya diteruskan
dan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut ataupun menghukum, dengan
sendirinya memberi hak kepada tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian
berdasarkan pasal 95 KUHAP.
Dalam pada itu, undang-undang telah menyebutkan secara limitative alasan
yang dapat dipergunakan penyidik sebagai dasar penghentian penyidikan. Penyebutan
atau penegasan alasan-alasan tersebut penting, guna menghindari kecenderungan negatif
pada diri pejabat penyidik. Dengan penegasan ini, undang-undangan mengharapkan
supaya di dalam mempergunakan wewenang penghentian penyidikan, penyidik
mengujinya kepada alasan-alasan yang telah ditentukan. Tidak semuanya tanpa alasan
170
Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Cet.I, tanpa penerbit, Jakarta, 1982, h.69
Volume 9, No.1, Nop 2009
xcv
yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, serta sekaligus pula akan memberi
landasan rujukan bagi pihak-pihak yang merasa keberatan atas sah tidaknya penghentian
penyidikan menurut hukum. Demikian juga bagi Praperadilan, penegasan alasan-alasan
penghentian tersebut merupakan landasan dalam pemeriksaan sidang Praperadilan, jika
ada permintaan pemeriksaan atas sah tidaknya penghentian penyidikan.
Alasan penghentian penyidikan yang disebut pada pasal 109 ayat 2 KUHAP
terdiri dari:
a. tidak diperoleh bukti yang cukup;
Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau
bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan
tersangka jika diajukan ke depan sidang pengadilan. Atas dasar kesimpulan
ketidakcukupan bukti inilah penyidik berwenang menghentikan penyidikan.
Ditinjau dari satu segi, pemberian wewenang ini membina sikap mental penyidik
untuk tidak secara serampangan mengajukan begitu saja segala hasil penyidikan
yang telah dilakukannya. Diharapkan lebih selektif mengajukan setiap kasus yang
mereka periksa, apakah cukup bukti atau tidak sebelum perkara dilimpahkan ke
tangan Penuntut Umum. Jangan lagi seperti yang dialami selama ini. Ada atau tidak
ada bukti, penyidik tidak perduli. Pokoknya sekali tindak pidana mereka periksa,
ajukan ke pihak penuntut umum untuk diteruskan ke pengadilan sekalipun tidak ada
bukti yang dapat dipegang membuktikan kesalahan tersangka.
Apakah mungkin untuk menyidik atau memeriksa suatu tindak pidana yang telah
pernah dihentikan penyidikan atas alasan tidak cukup bukti. Penghentian
penyidikan atas alasan tidak cukup bukti, sama sekali tidak membawa akibat
hapusnya wewenang penyidik untuk menyidik dan memeriksa kembali kasus
tersebut. Apabila ternyata di kemudian hari penyidik dapat mengumpulkan buktibukti yang cukup dan memadai untuk menuntut tersangka, penyidikan dapat
dimulai lagi. Alasannya, ditinjau dari segi hukum formal, penghentian penyidikan
tidak termasuk kategori nebis in idem. Sebab penghentian penyidikan bukan
termasuk ruang lingkup putusan peradilan, ia baru bertaraf kebijaksanaan yang
diambil pada taraf penyidikan, sehingga yang melekat pada tindakan penghentian
penyidikan hanya terbatas pada cacat tidak terpenuhi syarat formal penyidikan.
Untuk memahami pengertian cukup bukti sebaiknya penyidik
memperhatikan dan berpedoman kepada ketentuan pasal 183 yang
menegaskan prinsip batas minimal pembuktian (sekurang-kurangnya ada dua
alat bukti), dihubungkan dengan pasal 184 KUHAP dan seterusnya, yang
berisi penegasan tentang alat-alat bukti yang sah di persidangan pengadilan.
Kepada ketentuan pasal 184 KUHAP inilah penyidik berpijak menentukan
apakah alat bukti yang ada di tangan benar-benar cukup untuk membuktikan
kesalahan tersangka di muka persidangan. Kalau alat bukti tidak cukup dan
memadai, lebih baik menghentikan penyidikan. Tetapi apabila di belakang
hari penyidik dapat mengumpulkan bukti yang lengkap dan memadai, dapat
xcviVolume 9, No.1, Nop 2009
2.
3.
lagi kembali memulai penyidikan terhadap tersangka yang telah pernah
dihentikan penyidikannya..
peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana;
Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat apa yang
disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pelanggaran dan
kejahatan, dalam hal ini berwenang menghentikan penyidikan. Atau tegasnya, jika
apa yang disangkakan bukan kejahatan maupun pelanggaran pidana yang termasuk
kompetensi peradilan umum, jadi tidak merupakan pelanggaran dan kejahatan
seperti yang diatur dalam KUHP atau dalam peraturan perundang-undangan tindak
pidana khusus yang termasuk dalam ruang lingkup wewenang peradilan umum,
penyidikan beralasan dihentikan. Justru merupakan keharusan bagi penyidik untuk
menghentikan pemeriksaan penyidikan. Memang diakui, kadang-kadang sangat
sulit menarik garis yang tegas tentang apakah suatu tindakan yang dilakukan
seorang, termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana pelanggaran dan kejahatan.
Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang dekat hubungannya
dengan ruang lingkup hukum perdata. Misalnya, antara perjanjian hutang-piutang
dengan penipuan, sering kreditor mengadukan debitor telah melakukan penipuan
kepada penyidik atas alasan seperti ini, memang seolah-olah keingkaran membayar
utang yang telah dijanjikan. Dalam peristiwa seperti ini, memang seolah-olah
keingkaran membayar utang yang dijanjikan, bisa dikonstruksi sebagai penipuan
sehingga apabila aparat penyidik kurang cermat, bisa tergelincir untuk menampung
peristiwa seperti itu sebagai tindak pidana penipuan dan sebagainya.
Penghentian penyidikan demi hukum.
Penghentian atas dasar alasan demi hukum pada pokoknya sesuai dengan alasanalasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur
dalam Bab VIII KUHP, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 76, 77, 78
dan seterusnya, antara lain:
a. nebis in idem, seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas
dasar perbuatan yang sama, terhadap mana atas perbuatan itu orang yang
bersangkutan telah pernah diadili dan telah diputus perkaranya oleh hakim atau
pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta putusan ini telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas nebis in idem termasuk salah satu hak azasi manusia yang harus
dilindungi hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk tegaknya kepastian
hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan mendapat beberapa kali
hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila terhadapnya
telah pernah diputus suatu peristiwa tindak pidana baik putusan ini berupa
pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan
itu telah memperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut
tidak lagi dapat dilakukan pemeriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua
kalinya atas peristiwa yang bersangkutan.
b. tersangka meninggal dunia.
Volume 9, No.1, Nop 2009
xcvii
Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus
dihentikan. Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada
abad modern, yakni kesalahan tidak pidana yang dilakukanoleh seseorang
adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan.
Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggung jawaban dalam hukum
pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang dalam hukum
pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. Tanggung jawab
itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya tersangka
penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan
dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.
c. Karena kedaluwarsa.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 78 KUHP, apabila telah dipenuhi
tenggang waktu penuntutan seperti yang diatur dalam pasal 78 KUHP, dengan
sendirinya menurut hukum penuntutan terhadap pelaku tindak pidana tidak
boleh lagi dilakukan.
Logikanya jika terhadap seseorang pelaku tindak pidana telah hapus wewenang
untuk menuntut di muka sidang pengadilan, tentu percuma melakukan
penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang itu. Karena itu, jika penyidik
menjumpai keadaan seperti ini, harus segera menghentikan penyidikan dan
pemeriksaan. Tenggang waktu kedaluwarsa yang disebut pada pasal 78 KUHP,
antara lain:
1. Lewat masa satu tahun terhadap sekalian pelanggaran dan bagi
kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan;
2. Lewat masa enam tahun bagi tindak pidana yang dapat dihukum
dengan pidana denda, kurungan atau penjara yang tidak lebih dari
hukuman penjara selama tiga tahun;
3. Lewat tenggang dua belas tahun bagi semua kejahatan yang
diancam dengan hukum pidana penjara lebih dari tiga tahun;
4. Lewat delapan belas tahun, bagi semua kejahatan yang dapat
diancam dengan hukum pidana mati atau penjara seumur hidup;
5. Atau bagi orang yang pada waktu melakukan tindak pidana belum
mencapai umur delapan belas tahun, tenggang waktu kedaluarsa
yang disebut pada poin ke satu sampai ke empat, dikurangi
sehingga menjadi sepertinya.
Adapun mengenai penghentian penuntutan diatur dalam pasal 140 ayat 2
KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut umum dapat menghentikan penuntutan
suatu perkara. Dalam arti, hasil pemeriksaan penyidikan tindak pidana yang
disampaikan penyidik, tidak dilimpahkan penuntut umum ke sidang pengadilan. Akan
tetapi, hal ini bukan dimaksudkan menyampingkan atau mendeponir perkara pidana
tersebut. Oleh karena itu, harus dengan jelas dibedakan antara tindakan hukum
penghentian penuntutan dengan penyampingan (deponering) perkara yang dimaksud
penjelasan pasal 77 KUHAP yaitu bahwa yang dimaksud dengan penghentian
Volume 9, No.1, Nop 2009
xcviii
penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang
menjadi wewenang Jaksa Agung.171
Perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara
pidana adalah bersifat prinsip, yang terpenting diantaranya:
a. Pada penyampingan atau deponering perkara, perkara yang bersangkutan
memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan dan diperiksa di muka sidang
pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat
dijatuhi hukuman. Akan tetapi perkara yang cukup fakta dan bukti ini, sengaja
dikesampingkan dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak
penuntut umum atas alasan demi untuk kepentingan umum. Menurut
penjelasan pasal 32 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 yang dimaksud
dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan atau
kepentingan masyarakat luas dan hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung
setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasan negara
yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Dalam penyampingan perkara, hukum dan penegakan hukum dikorbankan
demi kepentingan umum. Seseorang yang cukup terbukti melakukan tindak
pidana, pekaranya dideponir atau dikesampingkan dan tidak diteruskan ke
sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum. Itu sebabnya asas
opportunitas bersifat diskriminatif dan menggagahi makna persamaan
kedudukan di hadapan hukum (equality before the law).172 Sebab kepada orang
tertentu, dengan mempergunakan alasan kepentingan umum, hukum tidak
diperlukan atau kepadanya penegakan hukum dikesampingkan.
b. Pada penghentian penuntutan, alasannya bukan didasarkan
kepada
kepentingan umum, akan tetapi semata-mata didasarkan kepada alasan dan
kepentingan hukum itu sendiri.173
1. Perkara yang bersangkutan tidak mempunyai pembuktian yang
cukup, sehingga jika perkaranya diajukan ke pemeriksaan sidang
pengadilan diduga keras terdakwa akan dibebaskan oleh hakim, atas
alasan kesalahan yang didakwakan tidak terbukti. Untuk menghindari
keputusan pembebasan yang demikian lebih bijaksana penuntut
umum menghentikan penuntutan.
2. Apa yang dituduhkan kepada terdakwa bukan merupakan tindak
pidana kejahatan atau pelanggaran.
Setelah penuntut umum mempelajari berkas perkara hasil
pemeriksaan penyidikan, dan berkesimpulan bahwa apa yang
disangkakan penyidik terhadap terdakwa bukan merupakan tindak
pidana kejahatan atau pelanggaran, penuntutan umum lebih baik
171
Hari Sasangko dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan dan Teknik membuat Surat Dakwaan, Cet.-,
Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.26
172
Ibid., h.25
173
Ibid. h.26
Volume 9, No.1, Nop 2009
xcix
menghentikan penuntutan. Sebab bagaimanapun, dakwaan yang
bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran yang
diajukan kepada sidang pengadilan, pada dasarnya hakim akan
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van
rechtvervolging).
3. Alasan ketiga dalam penghentian penuntutan ialah atas dasar perkara
ditutup demi hukum. Penghentian penuntutan atas dasar perkara
ditutup demi hukum ialah tindakan pidana yang terdakwanya oleh
hukum sendiri telah dibebaskan dari tuntutan atau dakwaan dan
perkara itu sendiri oleh hukum harus ditutup atau dihentikan
pemeriksaannya pada semua tingkat pemeriksaan. Alasan hukum
yang menyebabkan suatu perkara ditutup demi hukum bisa
didasarkan antara lain:
a. Karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77
KUHP);
b. Atas alasan nebis in idem (pasal 76 KUHP);
c. Perkara yang akan dituntut telah kedaluarsa (pasal 80
KUHP).
Dari apa yang dijelaskan di atas, tampak perbedaan alasan antara penghentian
penuntutan dengan penyampingan perkara. Penghentian penuntutan didasarkan pada
alasan hukum dan demi tegaknya hukum, sedang pada penyampingan perkara, hukum
dikorbankan demi kepentingan umum. Di samping perbedaan dasar alasan yang penulis
kemukakan di atas, terdapat lagi perbedaan prinsipil antara penghentian penuntutan
dengan penyampingan perkara yaitu pada pengehentian penuntutan, perkara yang
bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutannnya jika ternyata
di temukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang
pengadilan. Misalnya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah
dapat diharapkan untuk menghukum terdakwa. Lain halnya pada penyampingan atau
deponering perkara, dalam hal ini satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada
lagi alsan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.
Dengan demikian untuk perkara delik pencurian aliran listrik dapat dilakukan
penghentian penyidikan atau penuntutannya bilamana terhadap alasan-alasan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 76, 77, dan pasal 80 KUHP. Adapun apabila hanya
atas dasar pembayaran kerugian akibat pencurian aliran listrik yang diberikan oleh
pelaku pencurian kepada Perusahaan Listrik Negara tidak dapat dihentikan, baik
penyidikannya ataupun penuntutannya.
2. Pertanggungjawaban Tersangka dalam Hukum Pidana
c
Volume 9, No.1, Nop 2009
Asas dalam pertanggung jawaban pada hukum pidana ialah “tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan”.174 Asas ini mewajibkan kepada para penegak hukum untuk
melihat dan meneliti setiap tersangka yang melakukan delik agar telah memenuhi syarat
bahwa ia telah bersalah. Bilamana ia tidak bersalah, maka tidak dapat diminta
pertanggung jawaban.
Bilamana dalam suatu delik telah ada syarat pada pelaku bahwa ia dapat
dipersalahkan, maka ukuran berikutnya adalah dapatkah yang bersangkutan dimintai
pertanggung jawaban. Sebab, tidak menutup kemungkinan jika pada seorang pelaku
delik terdapat alasan pembenar, alasan pemaaf dan dianggap tak mampu bertanggung
jawab sebagaimana maksud pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. 175
Dalam kasus delik pencurian aliran listrik, di mana pelaku setelah diajukan
tuntutan pidana membayar seluruh kerugian yang timbul pada Perusahaan Listrik
Negara, pada dasarnya ia adalah harus dipersalahkan dan bertanggungjawab atas delik
yang telah ia perbuat. Hal ini dikarenakan pada diri pelaku tidak terdapat alasan
pembenar, alasan pemaaf dan mampu bertanggung jawab.
Apalagi pada diri Penuntut Umum secara ex officio melekat hak untuk
menuntut penyidik yang menghentikan perkaranya di luar ketentuan undang-undang
yang telah mengatur penghentian penyidikan. Sebagaimana hal ini ditegaskan dalam
pasal 109 ayat KUHAP bahwa apabila penyidik mulai melakukan tindakan penyidikan,
kepadanya dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal itu kepada Penuntut umum.
Akan tetapi masalah kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan
tindakan penyidikan, pemberitahuan yang seperti itu juga merupakan kewajiban
penyidikan manakala penyidik melakukan penghentian penyidikan.
Bilamana yang melakukan penghentian penyidikan itu adalah penyidik polri,
pemberitahuan penghentian penyidikan disampaikan kepada pentuntut umum dan
tersangka atau keluarganya. Apabila penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik
pegawai negeri sipil pemberitahuan penghentian penyidikan harus segera disampaikan
kepada penyidik Polri, sebagai pejabat yang berwenang melakukan koordinasi atau
penyidikan dan penuntut umum.
Dalam praktik yang dilakukan penulis dalam proses penghentian penyidikan,
laporan atau pemberitahuan penghentian penyidikan juga ditujukan kepada penasehat
hukumnya dan saksi pelapor atau korban. Hal ini dikarenakan pemberitahuan
penghentian penyidikan merupakan kewajiban, mengingat dalam proses penyidikan ini
berlaku adanya pengawasan horizontal antara sesama instansi aparat penegak hukum.
Untuk itu pemberitahuan penghentian penyidikan sebaiknya berbentuk tertulis.
Salah satu prinsip atau asas hukum yang dijumpai dalam KUHAP adlah saling
ada pengawasan horizontal di antara sesama instansi penegak hukum dalam
melaksanakan fungsi dan wewenang yang digariskan undang-undang berdasar
diferensiasi fungsional. Berdasar batas-batas wewenang yang didiferensiasikan, secara
174
Moeljatno, Op.Cit., h.153
Ibid., h.168
Volume 9, No.1, Nop 2009
175
ci
instansional dijalin dalam suatu ikatan korelasi penegakan hukum sebagai sarana saling
terbinanya pengawasan timbal balik di antara mereka.
Demikian pula halnya dalam tindakan penghentian penyidikan, dapat diawasi
dan diuji keabsahannya oleh instansi aparat penegak hukum yang lain, dalam hal ini
dilakukanoleh penutut umum dalam lembaga peradilan melalui wewenang Praperadilan.
Bahkan hak untuk menguji kebenaran atau keabsahan penghentian itu bukan hanya
diberikan kepada instansi aparat penegak hukum saja, tapi juga diberikan kepada pihak
ketiga yang berkepentingan, sebagaimana hal itu ditegaskan dalam pasal 80 KUHAP.
Pasal 77 huruf a KUHAP memberi wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk
memeriksa sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan
penghentian penuntutan. Dari bunyi ketentuan di atas, salah satu di antara hal yang
berhubungan dengan sah tidaknya tindakan yang dapat diperiksa di hadapan
Praperadilan termasuk penghentian penyidikan.
Adapun yang berwenang melakukan pemeriksaan tentang sah tidaknya
penghentian penyidikan tersebut ialah Praperadilan sebagaimana hal ini ditegaskan
dalam pasal 78 ayat 1 KUHAP. Jadi, wewenang pemeriksaan sah tidaknya penghentian
penyidikan yang diberikan undang-undang kepada Pengadilan Negeri, pelaksanaan
wewenang itu dilakukan lembaga baru yang disebut Praperadilan, yakni lembaga yang
melekat dan berada di dalam ruang lingkup Pengadilan Negeri itu sendiri, yang
mempunyai tugas dan wewenang khusus yang diberikan KUHAP kepadanya.
Dari penegasan pasal 78 ayat 1 KUHAP, pengajuan keberatan atau permintaan
pemeriksaan tentang sah tidaknya pengehentian penyidikan, di sampaikan kepada
lembaga Praperadilan yang terdapat pada setiap Pengadilan Negeri di daerah hukum
yang bersangkutan.
Penuntut Umum mempunyai hak mengajukan keberatan penghentian
penyidikan, apabila berpendapat tindakan penghentian tidak sah. Misalnya penyidik
berpendapat tidak cukup bukti, sedang penuntut umum menilai, bukti yang telah ada
pada penyidik sudah cukup memadai untuk menuntut tersangka di muka persidangan.
Atau apa yang disangkakan pada tersangka oleh penyidik dianggap bukan merupakan
tindak pidana pelanggaran atau kejahatan, tetapi termasuk ruang lingkup hukum
perdata, sedang penuntut umum berpendapat dan menilai sebaliknya. Tentu jalan terbaik
yang harus ditempuh oleh penuntut umum sebelum mengajukan keberatan kepada
Praperadilan, melakukan pendekatan atau mencoba mendiskusikan dengan pihak
penyidik, demi untuk terjalinnya hubungan kerja sama instansional yang lebih luwes.
Demikian halnya dengan pihak ketiga yang berkepentingan berhak
mengajukan keberatan penghentian penyidikan kepada Praperadilan. Siapa yang
dimaksud undang-undang pihak ketiga yang berkepentingan dalam penghentian
penyidikan, secara logika pada setiap terjadi peristiwa pidana pihak ketiga yang paling
berkepentingan di dalamnya ialah korban peristiwa pidana. Hal ini sangat beralasan dan
benar-benar dapat diterima akal sehat. Betapa tersiksanya perasaan seorang korban
tindak pidana, apabila melihat pelaku tindak pidana tidak diproses menurut hukum yang
cii
Volume 9, No.1, Nop 2009
berlaku. Siapapun yang menjadi korban suatu tindak pidana, pasti merasa tidak puas,
apabila melihat pelakunya tidak mendapat ganjaran hukum yang sewajarnya.
Pengajuan keberatan, harus berdasar alasan hukum yang serasa mendukung
keberatan. Tidak hanya asal keberatan saja tanpa dibarengi dengan alasan yang tepat.
Jika keberatan diajukan tanpa alasan, tindakan seperti ini merupakan perbuatan yang
kurang bertanggung jawab. Masalah lain, keberatan dan permintaan pemeriksaan sah
tidaknya pengehentian penyidikan, terutama ditujukan untuk pembinaan pengawasan,
agar pihak penyidik tidak bertindak menyalahgunakan wewenang jabatan yang
dipangkunya. Oleh karena itu, khusus bagi penyidik yang melakukan penghentian
penyidikan, harus realistis dan objektif menempatkan keberatan pihak penuntut umum
dan pihak ketiga yang berkepentingan dalam proporsi yang sewajarnya.
Penyidik akan keliru jika melihat dan mendudukkan keberatan itu sebagai
tindakan permusuhan atau sebagai perbuatan yang bertujuan untuk merendahkan
martabat kedudukannya. Penyidik harus memahaminya sebagai tindakan korektif ke
arah tegaknya hukum dan ketertiban masyarakat, sambil bertujuan juga untuk membina
sikap hati-hati dan teliti dalam mengambil tindakan di masa yang akan datang.
KESIMPULAN
Berdasarkan segala hal yang telah dikemukakan dalam bab-bab pembahasan di
atas, maka dapatlah penulis tarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Pada dasarnya tindakan mengambil aliran listrik secara tidak sah atau tanpa
melalui meteran dari Perusahaan Listik Negara adalah telah dianggap sebagai
delik pencurian, mengingat pasal 362 KUHP dapat diinterpretasikan secara
ekstensif, yaitu dengan cara perluasan makna barang dari pasal 362 KUHP
yang juga termasuk aliran listrik. Sehingga dengan interpretasi ekstensif, maka
tindakan mengambil aliran listrik secara tidak sah juga termasuk pencurian.
Untuk itu, adagium lex specialis derogat legi generalie seharusnya tidak dapat
diterapkan pada kedudukan KUHP sebagai hukum umum dan pasal 18
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998 tentang Ketenagalistrikan sebagai
hukum khusus. Hal ini mengingat yang diterapkan adalah tetap KUHP dan
bukan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998, apalagi pasal 18 yang menjadi
rujukan pencurian aliran listrik tidak memuat ketentuan hukum secara mandiri.
b.
Mengingat penghentian penyidikan ataupun penghentian penuntutan yang
diatur dalam KUHAP, tidak satupun menyebutkan bahwa bilamana kerugian
yang timbul dapat dipulihkan oleh pelaku, penyidikan atau penuntutan
perkaranya dapat dihentikan. Untuk itu, seharusnya pihak penuntut umum
ataupun pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan atas
penghentian tersebut dengan cara mengajukan Praperadilan.
Saran
Volume 9, No.1, Nop 2009
ciii
Dari kesimpulan di atas, maka penulis ingin mengemukakan harapan-harapan
yang akan dituangkan sebagai saran-saran, yaitu:
a. Seharusnya pencantuan pasal 18 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1998
tentang Ketenagalistrikan tidak perlu lagi dicantumkan, mengingat pasal 362
KUHP telah secara jelas dan tegas dapat diberlakukan terhadap pencurian
aliran listrik;
b. Sudah saatnya antara pihak penyidik dan penuntut umum saling melakukan
koreksi, terhadap perkara pidana yang dihentikan oleh salah satu pihak.
Mengingat selama ini kedua instansi penegak hukum tersebut sama-sama
saling berdiam diri bilamana ada perkara pidana yang dihentikan
penyidikannya.
civ Volume 9, No.1, Nop 2009
KEPAILITAN PERUSAHAAN DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995
Oleh:
M.Amin Rachman, S.H., M.Hum.*
ABSTRAK
Sebagai upaya guna memberikan perlindungan hukum
terhadap pihak lain yang melakukan transaksi dengan Badan
Usaha, maka diberlakukanlah Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas ini,
maka beban tanggung jawab secara perdata dibebankan
kepada Badan Hukum itu sendiri yang notabene ia telah
mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pengurusnya
dan dapat bertindak di depan hukum.
Kata Kunci: Perseroan Terbatas – Pailit – Tanggungjawab.
LATAR BELAKANG
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Perseroan
Terbatas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Sementara
ketika itu, KUHD tidak memberikan definisi tentang Perseroan Terbatas dan KUHD
hanyalah mengatur bentuk perseroan ini secara terbatas dan sederhana. Hanya ada 20
buah pasal dalam KUHD yang khusus mengatur Perseroan Terbatas yaitu pasal 36
sampai dengan 56. Berlainan dalam KUHD di Negeri Belanda yang terdapat tak kurang
dan 120 pasal yang khusus mengatur soal Perseroan Terbatas. Hal ini disebabkan karena
perkembangan Perseroan Terbatas di Indonesia pada masa yang lampau tidaklah secepat
di negeri Eropa.176
Akan tetapi pada waktu akhir-akhir ini bentuk perseroan ini di Indonesia
banyak sekali dipakai. Berhubung dalam perundang-undangan kita sedikit ketentuanketentuan yang mengatur persoalan Perseroan Terbatas, maka Perseroan Terbatas yang
mengatur sendiri dalam akte-pendirian, apabila dalam undang-undang kita terdapat
ketentuan yang mengatur soal-soal tertentu.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unira.
176
Kansil CST., Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, h.21
Volume 9, No.1, Nop 2009
cv
Dalam praktek ternyata bahwa banyak soal yang tidak ada peraturannya dalam
KUHD diatur dalam akte pendirian dengan mengambil pasal-pasal dalam undangundang Negeri Belanda sebagai pedoman. Pada umumnya orang berpendapat bahwa
Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang didirikan untuk menjalankan
suatu perusahaan dengan modal perseroan tertentu yang terbagi atas saham-saham, di
mana para pemegang saham (pesero) ikut serta dengan mengambil satu saham atau
lebih dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum atas nama bersama, dengan tidak
bertanggung jawab sendiri untuk persetujuan-persetujuan perseroan itu (dengan
tanggung jawab yang semata-mata terbatas pada modal yang mereka setorkan).
Hanyalah Perseroan Terbatas itu sendiri sebagai suatu kesatuan yang
menanggung persetujuan-persetujuan terhadap pihak ketiga dengan siapa ia melakukan
hubungan perdagangan. Tiada seorang pun dan pemegang-pemegang saham yang
bertanggung jawab terhadap para kreditur. Hal inilah yang merupakan ciri-ciri dalam
Perseroan Terbatas, yaitu tanggung jawab terbatas dan pesero. Mereka itu tidak dapat
menderita kerugian uang lebih besar daripada jumlah yang menjadi bagiannya dalam
Perseroan Terbatas itu dan yang dengan tegas disebutkan dalam sahamnya.
Para pemegang saham atas Perseroan Terbatas hanyalah bertanggungjawab
terhadap Perseroan Terbatas untuk menyerahkan sepenuhnya jumlah saham-saham
untuk apa mereka itu turut serta dalam Perseroan Terbatas itu. Saham-saham itu pun
dapat diperdagangkan dengan harga jual yang dapat berlainan dari harga nominalnya.
Selain itu saham-saham dapat dijadikan warisan.
Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang dapat dikatakan
bersifat internasional, walaupun di negara-negara lain mempunyai nama yang berlainan
pula, misalnya Limited Company (LTD), Aktien Gesellschaft, Compagnie . Badan
Hukum Perseroan Terbatas Berlainan dengan maatschap, perseroan firma, dan
perseroan komanditer, maka Perseroan Terbatas adalah suatu badan hukum. Hal ini
berarti bahwa Perseroan Terbatas dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti
seorang manusia dan dapat pula mempunyai kekayaan atau hutang (ia bertindak dengan
perantaraan pengurusnya).
Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai
pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak.
Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari pesero dianggap sebagai kehendak
Perseroan Terbatas. Akan tetapi perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas
nama Perseroan Terbatas, pertanggungjawabannya terletak pada Perseroan Terbatas
dengan semua harta bendanya.
Oleh karena Perseroan Terbatas adalah suatu bentuk perseroan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, maka ia
merupakan suatu badan yang dilindungi oleh hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Tetapi hal ini tidak berarti bahwa orang-orang yang bukan Indonesia tidak dapat
mendirikan Perseroan Terbatas, meskipun badan tersebut merupakan cabang dari negara
asing.
cvi Volume 9, No.1, Nop 2009
Perseroan Terbatas di atur dalam KUHD yang notabene sudah berumur lebih
dari seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan
ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal ini mengakibatkan
KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, Di samping itu, di luar KUHD
masih terdapat pula pengaturan badan hukum secara Perseroan Terbatas bagi golongan
Bumi Putra, sehingga timbul dualisme badan hukum perseroan yang berlaku bagi warga
negara Indonesia.177
Untuk mengatasi hal ini, dan memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai dengan
tuntutan perkembangan dan pembangunan nasional, sudah tiba waktunya mengadakan
pembaharuan hukum di bidang Perseroan Terbatas. Akhirnya, pada tahun 1995 mulailah
babak baru karena pada tanggal 7 Maret 1995 diundangkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Perseroan Terbatas mencabut ketentuan pasal 36 hingga pasal
56 KUHD tentang Perseroan Terbatas dan berikut segala perubahannya terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1871 dan Staat blad Nomor 569 Tahun 1939 tentang
Ordonansi Maskapai Andil Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 terdiri
dari 12 bab dengan 129 pasal dan mulai berlaku satu tahun kemudian terhitung sejak
tanggal diundangkan.178
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 telah diatur dengan jelas bahwa
suatu perseroan hendaknya didirikan oleh dua orang atau lebih dengan suatu akta notaris
yang dibuat dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya untuk memperoleh pengesahan atas
suatu Perseroan Terbatas, para pendiri yang tersebut dalam akta notaris tersebut
bersama-sama atau melalui kuasanya mengajukan permohonan secara tertulis dengan
melampirkan akta pendirian Perseroan Terbatas tersebut kepada Menteri Kehakiman
dan Hak Asasi Manusia.
Pengesahan atas Perseroan Terbatas dapat diberikan dalam jangka waktu 60
hari terhitung sejak permohonan yang diajukan memenuhi syarat dan kelengkapan yang
diperlukan. Adapun bilamana permohonan tersebut ditolak, maka penolakan atas
pendirian Perseroan Terbatas tersebut akan diberitahukan secara tertulis kepada
pemohon dengan disertai alasan-alasannya.
RUMUSAN MASALAH
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 memberikan kekuasaan tertinggi dalam
Perseroan Terbatas pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam Rapat Umum
Pemegang Saham ditetapkan tentang nama-nama Direksi, kecuali Direksi yang pertama,
yang telah ditetapkan dalam akta. Kendati demikian, menurut pasal 80 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 Direksi tidak boleh ditetapkan untuk waktu selama-lamanya. Hal
ini dimaksudkan apabila ternyata Direksi yang telah ditetapkan kurang cakap, sehingga
177
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Banding,
1999, h.65
178
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet.I, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.4
Volume 9, No.1, Nop 2009
cvii
dalam pengurusan perusahaan mengalami kerugian, Rapat Umum Pemegang Saham
dapat menggantinya dengan Direksi yang lain.
Pengaturan tentang Direksi secara logika dapat dipahami, mengingat tanggung jawab
Direksi demikian penuh terhadap pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan
perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Karenanya dalam Anggaran Dasar Perseroan Terbatas biasanya juga dapat diadakan
pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan tugas Direksi. Artinya dalam anggaran
dasar ditentukan bahwa jika Direksi mengadakan transaksi-transaksi tertentu,
mengajukan suatu perkara di muka pengadilan dan lain-lain, maka Direksi harus
meminta persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Komisaris atau Rapat Umum
Pemegang Saham.
Atas dasar kedua fakta tersebut di atas, maka saya memandang cukup relevan untuk
mengangkat beberapa permasalahan hukum dengan rumusan kalimat:
a.
b.
Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur, jika perusahaan
jatuh pailit?
Bagaimanakah tanggung jawab Direksi atas perusahaan yang pailit?
ASPEK HUKUM
TERBATAS
PERUSAHAAN
UNDANG-UNDANG
PERSEROAN
1. Legalisasi Perusahaan
Proses pendirian Perseroan Terbatas harus dilakukan dengan akta pendirian
perusahaan merupakan akta otentik, yaitu salah satu bentuk legalitas perusahaan yang
dibuat di muka notaris, pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh undangundang. Akta pendirian tersebut memuat Anggaran Dasar perusahaan, yaitu seperangkat
aturan yang menjadi dasar berdirinya organisasi dan bekerjanya perusahaan menurut
hukum. Akta pendirian perusahaan bukan badan hukum tidak perlu mendapat
pengesahan dari Menteri Kehakiman, cukup didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan
Negeri setempat selaku pengawas yuridis.
Sedangkan akta pendirian perusahaan badan hukum perlu mendapat
pengesahan dari Menteri Kehakiman karena pengesahan tersebut merupakan
pengawasan apakah Anggaran Dasar sudah sesuai dengan hukum, dan sekaligus
pengakuan sebagai badan hukum. Karena memuat Anggaran Dasar perusahaan, maka
akta pendirian ini diumumkan kepada khalayak ramai, dengan menempatkannya di
dalam Berita Negara Republik Indonesia.179
179
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku Ketia, Cet.I, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, h.54
cviiiVolume 9, No.1, Nop 2009
Dalam pada itu, sebagai pejabat umum, notaris berwenang memberi petunjuk
kepada pihak yang berkepentingan mendirikan perusahaan, agar akta pendirian yang
memuat Anggaran Dasar perusahaan sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
Notaris tidak boleh hanya mengikuti selera para pemohon yang menghadapnya,
melainkan bertindak aktif mengarahkan dan meluruskan kehendak pihak-pihak, karena
akta pendirian yang dibuat di muka notaris dijamin dan diakui oleh umum sebagai akta
resmi dan benar. Akibatnya adalah setiap akta yang dibuat di muka notaris adalah
otentik dan mengikat semua pihak untuk mengakuinya.
Akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar perusahaan merupakan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang disaksikan oleh pejabat umum, dalam hal
ini notaris, bahwa perjanjian itu memang benar seperti dikehendaki oleh para pihak.
Pembenaran itu dibuktikan dengan ikut sertanya notaris selaku pejabat umum
membubuhkan tanda tangannya pada akta yang dibuat dengan perantaraannya itu. Jika
perusahaan yang didirikan itu adalah perusahaan perseorangan, maka akta pendirian
yang dibuat di muka notaris itu adalah bukti resmi bahwa pengusaha perseorangan itu
benar mendirikan perusahaan yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Pada garis besarnya akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar itu berisi
ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal berikut180:
(a) Secara formal memuat judul nomor, tempat, hari dan tanggal pembuatan dan
penandatanganan akta pendirian.
(b)
Secara material memuat tentang:
1. pendiri/pihak-pihak pendiri, seperti nama lengkap, pekerjaan, tempat tinggal
pendiri/sekutu;
2.
3.
perusahaan, seperti nama, tempat kedudukan, merek, tujuan, struktur
organisasi, jangka waktu berdiri perusahaan;
usaha perusahaan, seperti modal, jenis usaha, pembukuan labarugi, pembagian
keuntungan;
4.
hubungan perusahaan, seperti hubungan internal mengenai kewajiban dan hak
sekutu, organ, pemegang saham, dan hubungan eksternal mengenai kewajiban
dan hak terhadap pihak ketiga;
5. cara penyelesaian jika terjadi sengketa.
Nama perusahaan adalah jati diri yang dipakai oleh perusahaan untuk
menjalankan usahanya. Nama perusahaan melekat pada bentuk hukum perusahaan itu.
Dengan nama itu, perusahaan dikenal oleh masyarakat, diperibadikan sebagai
perusahaan tertentu yang berbeda dengan perusahaan lain yang sejenis. Dengan
demikian, fungsi nama perusahaan adalah membedakan perusahaan yang satu dengan
perusahaan yang lain, terutama antara perusahaan yang sejenis. Nama perusahaan dapat
ditemukan dalam sumber resmi, yaitu akta pendirian perusahaan.
180
Ibid., h.55
Volume 9, No.1, Nop 2009
cix
Nama perusahaan tidak dapat dipisahkan dari perusahaan. Jika perusahaan bubar,
namanya juga lenyap. Jika perusahaan dialihkan kepada pihak lain, nama juga ikut
beralih. Nama perusahaan merupakan aset yang melambangkan kualitas dan
kemampuan usaha. Oleh karena itu, nama perusahaan perlu sekali dilindungi terutama
dari penyalah-gunaan oleh pihak lain yang merugikan, seperti yang banyak terjadi
dalam persaingan melawan hukum. Dari segi hukum, nama perusahaan mempunyai arti
penting. Dengan nama itu suatu perusahaan dapat melakukan hubungan hukum dengan
pihak lain dan memenuhi segala kewajiban hukumnya, misalnya memperoleh izin
usaha, melakukan pendaftaran perusahaan, membayar pajak, membayar hutang.
Sementara itu untuk nama perusahaan, di Negeri Belanda sejak tahun 1921 sudah
memiliki undang-undang nama perusahaan yang diatur dalam Handeisnaamwet Stb.
No. 842 Tahun 1921. Undang-undang ini sejauh mungkin memberi kebebasan untuk
memilih dan memakai nama perusahaan. Tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh
pergaulan yang sopan dalam kehidupan perusahaan. Dengan kata lain, kebebasan yang
tidak bertentangan dengan kesusilaan. Handenaanwet 1921 bertujuan mencegah
pengacauan dan penipuan akibat penggunaan nama perusahaan tertentu.
Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara khusus mengatur
nama perusahaan. Tetapi tidak berarti bahwa pengusaha di Indonesia dapat
semaunya saja memberi dan memakai nama perusahaan tanpa
memperhatikan
kepentingan
sesama pengusaha atau
kepentingan
masyarakat. Kebebasan pengusaha memilih dan memakai nama perusahaan
disesuaikan dengan asas yang berlaku, yaitu selama tidak dilarang oleh
undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak
bertentangan dengan kesusilaan.
Dengan demikian, masalahnya adalah nama yang mana dibolehkan dan nama
yang mana pula dilarang digunakan oleh pengusaha. Di Negeri Belanda sudah ada
undang-undang nama perusahaan, yang mengandung beberapa asas yang dijadikan
dasar cara penentuan nama perusahaan yang dibolehkan dan yang dilarang. Sebaiknya
asas-asas tersebut dapat diikuti oleh praktik perusahaan di Indonesia.
Adapun beberapa asas tersebut dapat diperinci sebagai berikut:
(a) Pembauran nama perusahaan dengan nama pribadi, di sini nama perusahaan
diambil dari nama pribadi pemilik perusahaan, ini dibolehkan misalnya Firma
Abuhasan. Tetapi dilarang memakai nama pribadi sebagai nama perusahaan
yang memberi kesan seolah-olah perusahaan itu milik orang lain yang
namanya dipakai itu. Misalnya pemilik restoran bernama Abunawas tidak
boleh menggunakan nama restorannya dengan nama Restoran Abuhasan.
Nama ini memberi kesan bahwa restoran itu milik Abuhasan padahal milik
Abunawas. Selain itu, dilarang menggunakan nama perusahaan dengan nama
pribadi yang mirip dengan nama perusahaan orang lain, karena akan
membingungkan masyarakat. Misalnya pemilik perusahaan bernama Imam
Mahadi dinamakan perusahaannya CV Imam Mahadi, padahal sudah ada
cx
Volume 9, No.1, Nop 2009
perusahaan terkenaf bernama nama Fa. Iman Mahdi milik keluarga Imam
Mahdi.
(b) Pembaruan bentuk hukum perusahaan dengan nama Peribadi, disini bentuk
hukum perusahaan disatukan dengan nama pribadi, sehingga membentuk nama
perusahaan misalnya PT Ibrahim Aboud, ini dibolehkan. PT adalah bentuk
hukum perusahaan perseroan, lbrahim Aboud nama pribadi. Tetapi dilarang
menggunakan nama perusahaan yang memberi kesan seolah-olah perusahaan
itu berbentuk persekutuan padahal perusahaan perseorangan, misalnya Toko
Hanati adalah perusahaan perseorangan diberi nama Hanafi & Co. Nama ini
menunjukkan nama persekutuan Firma. Bentuk hukum persekutuan atau
perseorangan akan diketahui ketika mendaftarkan perusahaan. Setiap sekutu
harus didaftarkan, jika tidak itu berarti perusahaan perseorangan.
(c) Larangan memakai nama perusahaan orang lain, dilarang memakai nama
perusahaan orang lain yang sudah ada dan dipakai lebih dahulu olehnya,
walaupun ada sedikit perbedaan. Hal itu akan membingungkan masyarakat.
Misalnya sudah ada perusahaan penerbitan PT Alumni Bandung, kemudian
muncul perusahaan penerbitan baru yang nama perusahaannya adalah PT
Alumini Bandung. Nama yang baru ini tidak dibolehkan karena akan
merugikan perusahaan yang sudah ada, kecuali jika perusahaan yang sudah ada
itu tidak keberatan.
(d) Larangan memakai merek orang lain, pada dasarnya dilarang memakai nama
perusahaan yang serupa atau berasal dari merek perusahaan atau merek dagang
orang lain yang sudah ada terdahulu walaupun ada sedikit perbedaan. Hal ini
akan membingungkan masyarakat atau merugikan perusahaan pemilik merek.
Misalnya toko yang menjual berbagai macam sepatu diberi nama Toko Sepatu
Bata. Bata adalah merek sepatu terkenal. Dengan menggunakan nama
perusahaan "Sepatu Bata", perusahaan agen sepatu "Bata" akan dirugikan,
masyarakat menjadi bingung mencari mana toko sepatu Bata sebenarnya. Lain
halnya dengan nama perusahaan "Industri Batu Bata" Perusahaan ini
memproduksi batu bata untuk keperluan bangunan, tak ada sangkut pautnya
dengan sepatu Bata. Nama ini dibolehkan.
(e) Dilarang memakai nama perusahaan yang memberi kesan keliru terhadap sifat
perusahaan yang memakai nama itu. Hal ini akan menyesatkan masyarakat, di
samping dapat merugikan perusahaan lain. Misalnya muncul perusahaan
dengan nama PD SINGER bekas. Perusahaan dagang mesin jahit merek
"Singer" tetapi menjual mesin jahit Singer yang sudah bekas. Nama perusahaan
semacam ini menyesatkan karena sepintas lalu orang mengira perusahaan
tersebut menjual mesin jahit Singer yang baru. Nama perusahaan semacam ini
dilarang karena disamping juga akan merugikan perusahaan/agen Singer yang
asli. Dikatakan memberi kesan menyesatkan atau keliru karena nama
perusahaan. PD SINGER ditulis dengan huruf besar yang mengacu kepada
perusahaan Singer yang asli. Tetapi disamping nama tersebut ditambah dengan
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxi
kala "bekas" yang ditulis dengan huruf kecil, yang sepintas lalu tidak
diperhatikan masyarakat. Kata "bekas" menunjukkan bahwa perusahaan
tersebut bukan perusahaan asli Singer.
Praktik di Indonesia mengakui nama perusahaan sebagai hak objektif. Hal ini
dapat disimpulkan dari keputusan Raad van Justitie Jakarta 22, Februari 1939 dan
keputusan Hooggerechtshof 20 April 1939. Hak objektif, adalah hak yang melekat pada
harta kekayaan. Nama perusahaan sebagai bagian dari harta kekayaan pemakai nama.
Dengan demikian, siapa yang melanggar hak atas nama perusahaan yang sudah dimiliki
dan dipakai oleh pengusaha lain diancam dengan sanksi hukum karena melakukan
kecurangan atau melanggar hak orang lain. Pemberantasannya dapat dilakukan melalui
Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum dan Pasal 393 KUHP
tentang Perbuatan Curang.
Dalam Handelsnaamwet 1921 nama perusahaan diakui sebagai hak yang tidak
mutlak. Pengakuan sebagai hak itu disertai pula dengan sanksi hukum bagi mereka yang
melakukan pelanggaran terhadap hak tersebut, yaitu kewajiban membayar ganti
kerugian berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige dad) Pasal 1401 BW
Belanda.
Pengakuan nama perusahaan tidak sama dengan pengesahan nama perusahaan.
Dikatakan ada pengakuan apabila tidak ada pihak yang menyangkal atau keberatan
dengan pemakaian nama perusahaan yang bersangkutan. Pengusaha atau masyarakat
umum mengetahui dan mengakui nama yang dipakai oleh perusahaan yang
bersangkutan dalam menjalankan usahanya.
Dikatakan ada pengesahan apabila nama perusahaan yang dipakai menjalankan
usaha itu dibuat di muka notaris, diumumkan dalam Berita Negara, dan didaftarkan
dalam Daftar Perusahaan, tetapi tidak ada yang menyangkal atau keberatan terhadap
pemakaian nama perusahaan tersebut. Dengan terdaftarnya nama perusahaan dalam
daftar perusahaan, maka sahlah perusahaan itu. Di sini pengakuan nama perusahaan
mendapat pengesahan dari Pejabat yang berwenang menurut undang-undang wajib
daftar perusahaan.
Apabila ada pihak yang tidak mengakui nama perusahaan yang didaftarkan
itu, dia dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Menteri Perindustrian dan
Perdagangan mengenai nama yang didaftarkan dalam Daftar Perusahaan dengan
menyebutkan alasannya. Keberatan ini diberitahukan kepada pengusaha yang
bersangkutan dan Kantor Pendaftaran Perusahaan, Menteri akan memberikan keputusan
setelah mendengar para pihak yang berkepentingan itu. Jika ternyata memang
beralasan, maka Menteri akan membatalkan pendaftaran, yang berarti tidak
mengesahkan nama perusahaan itu (Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982).
Banyak terjadi bahwa nama perusahaan dijadikan juga merek perusahaan
dalam satu lingkungan perusahaan tertentu. Hal ini tidak akan menimbulkan masalah
yuridis dalam praktik. Tetapi ada kemungkinan terjadi bahwa nama perusahaan
mengandung merek orang lain, atau merek yang mengandung nama perusahaan orang
cxiiVolume 9, No.1, Nop 2009
lain. Dalam hal ini, muncul dua masalah yuridis, yaitu tentang hak atas merek dan hak
atas nama perusahaan.
Nama perusahaan yang mengandung merek orang lain adalah masalah yuridis
tentang hak atas merek perusahaan. Masalah ini dapat diselesaikan melalui Pasal 27 dan
29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Sedangkan
merek yang mengandung nama perusahaan orang lain adalah masalah yuridis tentang
hak atas nama perusahaan. Masalah ini diselesaikan melalui Pasal 72 dan 73 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek junkto Pasal 72 dan 73 Undang-Undang
No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992.
Berdasarkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 pihak
ketiga yang berhak atas merek dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada
Menteri Perindustrian dan Perdagangan atas hal-hal didaftarkan dalam Daftar
Perusahaan, dengan menyebutkan alasan-alasannya dengan tembusan kepada pengusaha
yang bersangkutan dan Kantor Pendaftaran Perusahaan. Menteri berdasarkan Pasal 29
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 memberikan keputusan setelah mendengar
pihak-pihak bersangkutan. Pihak bersangkutan dapat mengajukan keberatan terhadap
keputusan Menteri kepada Pengadilan Negeri yang berwenang. Namun setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, maka sengketa
yang berkaitan dengan masalah ini diajukan kepada Pengadilan Negeri.
Keputusan Pengadilan Negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Perusahaan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997, pemilik merek terdaftar
dapat mengajukan gugatan terhadap orang atau badan hukum yang secara tanpa hak
menggunakan merek untuk barang dan atau jasa yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan mereknya. Gugatan diajukan melalui Pengadilan
Niaga. Pasal 73 Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 menentukan bahwa gugatan atas
pelanggaran merek terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang
No. 14 Tahun 1997 dapat pula dilakukan oleh penerima lisensi merek terdaftar, baik
secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan.
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 drtentukan, pendaftaran
wajib dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai
menjalankan usahanya. Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa suatu
perusahaan dianggap mulai menjalankan usahanya pada saat menerima surat izin usaha
dari instansi teknik yang berwenang.ini berarti bahwa untuk menjalankan usaha, perlu
memperoleh surat izin usaha lebih dahulu. Surat izin usaha itu diterbitkan oleh instansi
teknik yang berwenang, yaitu instansi yang diberi wewenang oleh Departemen yang
membawahkan bidang usaha perusahaan itu. Jadi, jika perusahaan itu menjalankan
usaha di bidang perindustrian dan perdagangan, maka surat izin usaha diterbitkan oleh
instansi yang ditunjuk oleh Menteri Perdagangan. Jika perusahaan itu menjalankan
usaha di bidang penerangan maka surat izin usaha diterbitkan oleh instansi yang
ditunjuk oleh Menteri Penerangan.
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxiii
Untuk melaksanakan ketentuan pasal tadi Menteri Perindustrian dan
Perdagangan (Menperindag) telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor 4
MPP/Kep/10/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Tanda Daftar Usaha
Perdagangan (TDUP) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) yang mencabut dan
menggantikan Surat Keputusan Menteri Perdagangan No. 1458/Kep/ Xll/84 tentang
Surat lzin Usaha Perdagangan (SIUP). Dalam Pasal 2 Surat Keputusan tersebut
ditentukan bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan usaha perdagangan wajib
memperoleh perizinan di bidang perdagangan. Perizinan di bidang perdagangan
meliputi:
(a) Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP);
(b) Surat izin Usaha Perdagangan.
Untuk menentukan jenis perizinan di bidang perdagangan yang wajib dimiliki
oleh setiap perusahaan, maka perusahaan perdagangan dibedakan menurut jumlah nilai
investasi perusahaan (modal perusahaan) seluruhnya. Menurut ketentuan Pasal 6
Keputusan Menperindag Nomor 408 Tahun 1997, perusahaan yang melakukan kegiatan
usaha perdagangan dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha
wajib memperoleh TDUP yang diberlakukan sebagai SIUP. Sedang perusahaan yang
melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya di
atas Rp 200.000,000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha wajib memperoleh siup.
Setiap perusahaan yang telah memperoleh TDUP apabila dalam
perkembangannya nilai investasi perusahaan seluruhnya tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha melampaui Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan/atau.
memiliki penjualan tahunan telah melampaui Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah), maka perusahaan yang bersangkutan dapat mengganti TDUP-nya menjadi
SIUP apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan (Pasal 6 ayat (3) Kepmenperindag
Nomor 408 Tahun 1987).
Menurut ketentuan Pasal 7 Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1997,
perusahaan yang dibebaskan dari kewajiban memperoleh TDUP atau SIUP
adalah yang berikut ini:
(a)
Cabang perusahaan yang dalam menjalankan kegiatan usaha perdagangan
menggunakan TDUP atau SIUP perusahaan pusat.
(b)
Perusahaan yang telah mendapat izin usaha yang setara dari Dpartennn
teknis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(c)
Perusahaan produksi yang didirikan dalam rangka Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
(d)
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah &
(BUMD).
(e)
Perusahaan kecil perseorangan dengan memenuhi ketentuan
sebagai
berikut:
1. tidak berbentuk badan hukum atau persekutuan
cxivVolume 9, No.1, Nop 2009
2.
(f)
diurus, dijalankan atau dikelola sendiri oleh pemiliknya atau dengan
mempekerjakan anggota keluarganya yang terdekat
Pedagang keliling, pedagang pinggir jalan atau pedgang kaki lima.
Tetapi perusahaan yang dibebaskan dari TDUP atau SIUP tersebut dapat
diberikan TDUP atau SIUP apabila dikehendaki oleh perusahaan yang
bersangkutan.
Jika dikaji secara teliti ketentuan huruf (f) adalah berlebihan karena pedagang
tersebut tidak menjalankan perusahaan, melainkan pekerjaan dagang yang tidak
memerlukan TDUP atau SlUP. Termasuk dalam pekerjaan dagang itu antara lain adalah
perdagangan keliling/pikulan, pedagang pinggir jalan atau perdagangan kaki lima. Para
pedagang ini berusaha memperoleh keuntungan untuk memenuhi kebutuhan nafkah
hidup sehari-hari. Sebaiknya kriteria perusahaan kecil perseorangan yang tidak
memerlukan TDUP itu dilihat dari kenyataan nilai usahanya yang dapat diperkirakan
jumlah modalnya tidak melebihi misalnya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Menurut ketentuan Pasal 9 Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1997,
permintaan TDUP bagi perusahaan yang mempunyai nilai investasi sampai dengan Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) diajukan kepada Kepala Kantor Deperindag
(Kakandep) setempat. Permintaan TDUP tersebut dilakukan dengan menyampaikan
surat permintaan TDUP kepada Kakandep yang ditandatangani oleh
pemilik/penanggung jawab perusahaan, yang isinya memuat sekurang-kurangnya:
(a) nama pemilik/perusahaan;
(b) alamat pemilik/perusahaan;
(c) nama dan alamat penanggung jawab perusahaan;
(d) nomor pokok wajib pajak (NPWP);
(e) bidang usaha barang/jasa;
(f) nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan;
(g) jenis kegiatan usaha;
(h) jenis barang/jasa dagangan utama, dan bila ada;
(i) merek (milik sendiri atau lisensi).
Khusus mengenai permintaan SIUP diatur dalam Pasal 10 Kepmenperindag
Nomor 408 Tahun 1997. Menurut ketentuan pasal tersebut, permintaan SIUP bagi
perusahaan yang mempunyai nilai investasi di atas Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Deperindag (Kakanwil) setempat
dengan mengisi formutir Surat Permintaan SIUP (SP-SIUP) Model A. Tetapi
perusahaan yang telah memperoleh TDUP karena perkembangan nilai investasinya
melampaui Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan/atau memiliki penjualan
tahunan telah melampaui Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), maka perusahaan
yang bersangkutan dapat mengganti TDUP-nya menjadi SIUP apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan. Permintaan SIUP tersebut diajukan kepada Kakanwil Deperindag
setempat dengan mengisi formulir SP-SIUP Model A serta melampirkan TDUP yang
telah dimilikinya dengan tembusan kepada Kakandep yang menerbitkan TDUP tersebut.
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxv
Dalam pasal 11 Kepmenperindag Nomor 408 Tahun 1997 ditentukan bahwa
permintaan TDUP atau SIUP wajib melampirkan dokumen-dokumen dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Salinan/kopi Akta Pendirian yang telah disahkan oleh Departemen Kehakiman
bagi Perseroan Terbatas dan instansi yang berwenang bagi Koperasi.
2. Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/penanggung jawab perusahaan.
3. Kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan.
4. Kopi Surat lzin Tempat Usaha dari Pemerintah Daerah setempat bagi kegiatan
usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan ketentuan UndangUndang Gangguan (HO).
Adapun untuk perusahaan persekutuan bukan badan hukum, maka dokumen
yang harus dilampirkan guna memperoleh TDUP atau SIUP adalah:
1. Salinan/kopi Akta Pendirian di muka notaris yang telah didaftarkan pada
Pengadilan Negeri setempat.
2. Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik/penanggung jawab perusahaan.
3. Kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan.
4. Kopi Surat izin Tempat Usaha (SITU) dari Pemerintah Daerah setempat bagi
kegiatan usaha perdagangan yang dipersyaratkan SITU berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Gangguan.
Kemudian khusus untuk perusahaan perseorangan, maka dokumen yang harus
dilampirkan guna memperoleh TDUP atau SIUP adalah:
1. Kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) pemilik.
2. Kopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pemilik.
3. Kopi Surat izin Tempat Usaha (SITU) dari Pennerintah Daerah setempat.
Pemohon TDUP atau SIUP yang belum mendapatkan SITU dalam jangka
waktu 15 (lima betas) hari kerja terhitung mulai tanggal pengajuan permohonan SITU
kepada Pemerintah Daerah, maka pemohon TDUP dan SIUP cukup melampirkan kopi
bukti surat permohonan SITU sebagai kelengkapan persyaratan guna mendapatkan
TDUP atau SIUP, untuk selanjutnya TDUP atau SIUP dapat diterbitkan. Apabila
pemohon TDUP atau SIUP telah memperoleh SITU, dia wajib menyampaikan kopi
SITU kepada Kakandep atau Kakanwil yang bersangkutan. Bagi perusahaan yang tidak
dipersyaratkan memperoleh SITU berdasarkan Undang-Undang Gangguan (HO) tidak
diwajibkan melampirkan surat keterangan tidak perlu SITU dari Pemerintah Daerah
setempat.
Dalam Pasal 13 Kepmenperindag No. 408 Tahun 1997 ditentukan bahwa
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan
TDUP atau SP-SIUP Model A secara lengkap dan benar, Kakandep setempat
menerbitkan TDUP dengan menggunakan Formulir Model B dan Kakanwil setempat
menerbitkan SIUP dengan menggunakan Formulir Model C. Apabila pengisian dan
kelengkapan belum lengkap dan benar, Kakandep atau Kakanwil yang bersangkutan
selambat-lambatnya 5{lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat permintaan
TDUP atau SP-SIUP Model A wajib melakukan penundaan dengan memberitahukan
cxviVolume 9, No.1, Nop 2009
secara tertulis kepada perusahaan yang bersangkutan disertai alasannya. Perusahaan
yang bersangkutan wajib melakukan perbaikan serta melengkapi persyaratan selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya surat penundaan.
Apabila setelah melebihi jangka waktu yang ditentukan itu, perusahaan yang
bersangkutan tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka Kakandep atau
Kakanwil yang bersangkutan menolak permintaan TDUP atau SIUP. Tetapi perusahaan
yang bersangkutan dapat mengajukan kembali permintaan TDUP atau SIUP baru.
Apabila TDUP atau SIUP yang telah, diperoleh perusahaan hilang atau rusak tidak
terbaca, perusahaan yang bersangkutan dapat mengajukan permintaan penggantian
TDUP atau SIUP secara tertulis kepada Kakandep atau Kakanwil yang berwenang
mengeluarkan TDUP atau SIUP tersebut untuk diterbitkan TDUP atau SIUP baru.
2. Ketentuan tentang Perusahaan Pailit
Badan hukum merupakan pendukung kewajiban dan hak, sama seperti manusia
pribadi. Sebagai pendukung kewajiban dan hak, dia dapat mengadakan hubungan bisnis
dengan pihak lain. Untuk itu dia memiliki kekayaan sendiri, yang terpisah dari kekayaan
pengurus atau pendirinya. Segala kewajiban hukumnya dipenuhi dan kekayaan yang
dimilikinya itu. Apabila kekayaannya tidak mencukupi untuk menutupi kewajibannya,
itupun tidak akan dapat dipenuhi dari kekayaan pengurus atau pendirinya.
Guna menghindarkannya dari kebangkrutan atau likuidasi, kendatipun
mendapat pinjaman dana dari pengurus atau pendirinya, atau jika Badan Usaha Milik
Negara mendapat suntikan dana dari negara, pinjaman atau suntikan dana itu tetap
dihitung sebagai hutang badan hukum itu.
Dalam Anggaran Dasar biasanya ditentukan jumlah dan rupa kekayaan badan
hukum. Yang dapat digolongkan kekayaan itu dapat berupa sejumlah modal, barang
bergerak dan tidak bergerak, dan tagihan kepada pihak ketiga milik badan hukum.
Kekayaan badan hukum ini terpisah dari kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya dan
ini ditentukan secara tegas dalam Anggaran Dasar dan dicatat dalam pembukuan
perusahaan.
Dalam hubungan bisnis dengan pihak ketiga, badan hukum itu bertindak,
sendiri untuk kepentingannya sendiri yang diwakili oleh pengurusnya sebagaimana
diatur dalam Anggaran Dasar. Apabila mendapat keuntungan maka keuntungan itu
menjadi kekayaan milik badan hukum itu. Sebaliknya, apabila menderita kerugian,
maka kerugian itu ditanggung sendiri oleh badan hukum dari kekayaan yang
dimilikinya.
Dalam pada itu, Anggaran Dasar badan hukum harus mendapat pengesahan
secara resmi dari Menteri. Untuk Perseroan Terbatas, Anggaran Dasarnya disahkan oleh
Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (pasal 7 ayat 6 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1995). Bagi badan hukum Koperasi Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri
Koperasi (Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992). Bagi badan hukum
perusahaan umum (Perum) Anggaran Dasarnya disahkan oleh Menteri Keuangan
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxvii
(Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960), dan bagi badan hukum perusahaan Perseroan
(Persero) Anggaran Dasarnya juga disahkan oleh Menteri Keuangan (Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 1969) yang mewakili negara sebagai pemilik modal.
Pengesahan oleh Menteri merupakan pembenaran bahwa Anggaran Dasar
badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Di samping itu pengesahan juga menentukan
bahwa, sejak tanggal pengesahan, itu diberikan, maka sejak itu pula badan usaha yang
bersangkutan memperoleh status badan hukum dan dengan demikian memiliki harta
kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pengurus atau pendirinya.
Badan hukum merupakan subyek hukum buatan manusia berdasarkan hukum
yang berlaku. Agar dapat berbuat menurut hukum, maka badan hukum diurus oleh
pengurus yang ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya, sebagai pihak yang berwenang
mewakili badan hukum. Artinya perbuatan pengurus adalah perbuatan badan hukum.
Perbuatan pengurus tersebut selalu mengatas namakan badan hukum, bukan atas nama
pribadi pengurus. Segala kewajiban yang timbul dari perbuatan pengurus adalah
kewajiban badan hukum, yang dibebankan kepada harta kekayaan badan hukum.
Sebaliknya pula, segala hak yang diperoleh dari perbuatan pengurus adalah hak badan
hukum yang menjadi kekayaan badan hukum.
Perusahaan badan hukum merupakan subjek hukum yang diurus atau dikelola
oleh pengurus yang disebut Direksi. Direksi ini dapat terdiri dari satu orang atau
beberapa orang. Jika terdiri dari beberapa orang, satu diantaranya bertindak sebagai
Direktur Utama perusahaan badan hukum yang membawahi Direktur-Direktur. Struktur
tugas dan wewenang serta tanggung jawab Direksi selaku pengelola yang mewakili
perusahaan badan hukum diatur dalam Anggaran Dasar.
Perseroan Terbatas (PT) diatur dalam KUHD yang sudah berumur lebih
dari seratus tahun. Selama perjalanan waktu tersebut telah banyak terjadi perkembangan
ekonomi dan dunia usaha baik nasional maupun internasional. Hal mengakibatkan
KUHD tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan. Di samping itu, di luar-KUHD
masih terdapat pula pengaturan badan hukum semacam Perseroan Terbatas bagi
golongan Bumi Putera, sehingga timbul dualisme pengaturan badan hukum perseroan
yang berlaku bagi warganegara Indonesia.
Untuk mengatasi hal ini, dan memenuhi kebutuhan hukum yang sesuai
dengan tuntutan perkembangan dan pembangunan nasional, sudah tiba
waktunya mengadakan pembaharuan hukum tentang Perseroan Terbatas.
Pada tahun1995 mulailah babak baru karena pada tanggal 7 Maret 1995
diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas. Undang-undang ini mencabut ketentuan Pasal 36 hingga 56 KUHD
tentang Perseroan Terbatas dan berikut segala perubahannya terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1971 dan Stb. Nomor 569 dan Nomor 717
Tahun1993 tentang Qrdonansi Maskapai Andil Indonesia. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1995 terdiri dari 12 bab dengan 29 pasal dan mulai berlaku
satu tahun kemudian terhitung sejak tanggal diundangkan.
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxviii
3. Perusahaan sebagai Badan Hukum
Istilah "perseroan" menunjuk kepada cara menentukan modal, yaitu terbagi
dalam saham, dan istilah terbatas menunjuk kepada batas tanggungjawab pemegang
saham, yaitu sebatas jumlah nominal saham yang dimiliki. Perseroan Terbatas adalah
perusahaan persekutuan badan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal1 butir(1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, yaitu bahwa Perseroan Terbatas yang
selanjutnya disebut perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi
dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini
serta peraturan pelaksanaannya.
Suatu perusahaan dapat dikatakan sebagai badan hukum, bilamana perusahaan
tersebut telah memenuhi unsur-unsur badan hukum yaitu bahwa sebagai badan hukum,
perseroan harus memenuhi unsur-unsur badan hukum seperti ditentukan dalam UndangUndang Perseroan Terbatas, yakni:
(a)
Organisasi yang teratur, yaitu bahwa perseroan mempunyai organ
yang terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris(Pasal
1 butir (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas). Keteraturan organisasi dapat diketahui
melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Anggaran Dasar perseroan,
Anggaran Rumah Tangga Perseroan, dan keputusan RUPS.
(b) Mempunyai kekayaan sendiri, yaitu bahwa Perseroan memiliki kekayaan sendiri
berupa modal dasar yang terdiri dari seluruh nilai nominal saham (Pasal 24 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1Tahun 1995) dan kekayaan dalam bentuk lainnya berupa
benda bergerak dan tidak bergerak benda berwujud dan tidak berwujud, misalnya
kendaraan bermotor, gedung perkantoran, barang inventaris, surat berharga, piutang
perseroan.
(c) Dapat melakukan hubungan hukum sendiri, artinya perusahaan sebagai
badan hukum, perusahaan melakukan hubungan hukum sendiri dengan pihak ketiga
yang diwakili oleh Direksi. Menurut ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Perseroan
Terbatas Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk
kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di
luar pengadilan.
(d) Mempunyai tujuan sendiri, yaitu bahwa sebagai badan hukum yang
melakukan kegiatan usaha, perseroan mempunyai tujuan sendiri. Tujuan tersebut
ditentukan dalam Anggaran Dasar Perseroan (Pasal 12 butir (b) Undang-Undang
Perseroan Terbatas). Karena perseroan menjalankan perusahaan, maka tujuan utama
perseroan adalah mencari keuntungan dan atau laba.
Berdasarkan pada definisi Perseroan Terbatas yang telah dikemukakan di atas,
maka sebagai perusahaan badan hukum, perseroan memenuhi unsur-unsur: berbadan
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxix
hukum, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha, mempunyai modal
dasar, dan memenuhi persyaratan undang-undang.
Setiap perseroan adalah badan hukum, artinya badan yang memenuhi syarat
keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak yang telah diuraikan sebelumnya,
antara lain mempunyai harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan peribadi atau
pengurusnya. Dalam KUHD tidak satu pasalpun yang menyatakan perseroan sebagai
badan hukum. Tetapi dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 1 butir (1) bahwa perseroan adalah badan hukum.
Setiap perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, artinya harus ada sekurangkurangnya dua orang yang bersepakat mendirikan perseroan, yang dibuktikan secara
tertulis yang tersusun dalam bentuk Anggaran Dasar, kemudian dimuat dalam akta
pendirian yang dibuat di muka notaris. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham
pada saat perseroan didirikan. Ketentuan ini adalah asas dalam pendirian perseroan.
Setiap perseroan melakukan kegiatan usaha, yaitu kegiatan dalam bidang
perekonomian (industri, dagang, jasa) yang bertujuan mendapat keuntungan dan atau
laba. Melakukan kegiatan usaha artinya menjalankan perusahaan. Supaya kegiatan
usaha itu sah harus mendapat izin usaha dari pihak yang berwenang dan didaftarkan
dalam daftar perusahaan menurut undang-undang yang berlaku.
Di samping itu, setiap perseroan harus mempunyai modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham. Modal dasar disebut juga modal statuter dalam bahasa
Inggris disebut authorized capital. Modal dasar merupakan harta kekayaan perseroan
sebagai badan hukum, yang terpisah dari harta kekayaan pribadi pendiri, organ
perseroan, pemegang saham. Menurut ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Perseroan
Terbatas, modal dasar perseroan sekurang-kurangnya 20 {dua puluh) juta rupiah.
Sebagai ketentuan terakhir dari unsur badan hukum adalah bahwa setiap
perseroan harus memenuhi persyaratan Undang-Undang Perseroan Terbatas dan
peraturan pelaksanaannya. Unsur ini menunjukkan bahwa perseroan menganut sistem
tertutup (closed system)
Sedangkan untuk mendirikan suatu perseroan perlu dipenuhi syarat-syarat dan prosedur
yang telah ditentukan oleh undang-undang perseroan, Syarat-syarat dan prosedur
tersebut seperti bahwa perusahaan itu didirikan oleh dua orang atau lebih, didirikan
dengan suatu akta otentik, dan mempunyai modal perseroan sendiri yang terpisah dari
modal pengurusnya.
Langkah pertama pendirian perseroan adalah pembuatan akta pendirian di
muka notaris. Akta pendirian tersebut merupakan perjanjian yang dibuat secara otentik
yang memuat Anggaran Dasar perseroan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
Perseroan Terbatas (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Langkah kedua adalah permohonan pengesahan, yaitu akta pendirian perseroan
yang dibuat di muka notaris dimohonkan secara tertulis pengesahannya oleh Menteri
Kehakiman. Pengesahan tersebut penting karena status badan hukum perseroan
diperoleh setelah akta pendirian disahkan oleh Menteri Kehakiman (Pasal 7 ayat (6)
Undang-Undang Perseroan Terbatas).
cxx Volume 9, No.1, Nop 2009
Langkah ketiga adalah pendaftaran perseroan, yaitu Direksi perseroan wajib
mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan akta Pendirian beserta surat pengesahan
Menteri Kehakiman dan HAM. Pendaftaran wajib dilakukan dalam waktu paling1ambat
30 (tiga puluh) hari setelah pengesahan atau persetujuan diberikan (pasal 21 UndangUndang Perseroan Terbatas). Yang dimaksud dengan Daftar Perusahaan adalah Daftar
Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang wajib daftar perusahaan yaitu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982.
Langkah terakhir adalah pengumuman dalam Tambahan, Berita Negara.
menurut ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan yang telah
didaftar diumumkan dalam Tambahan Berita Negara. Permohonan pengumuman
perseroan dilakukan oleh Direksi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak pendaftaran, sesuai dengan tata cara yang telah diatur oleh undangundang.
TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS KEPAILITAN PERUSAHAAN
1. Sistem Tanggung Jawab atas Tindakan Perusahaan
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, organ
perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
Rapat Umum Pemegang Saham adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak serahkan kepada
Direksi atau Komisaris. Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan, baik didalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar.181 Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan
secara umum dan atau khusus serta memberikan nasehat kepada Direksi dalam
menjalankan perseroan.
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) mempunyai segala wewenang yang
tidak diberikan kepada Direksi atau Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas atau Anggaran Dasar. RUPS diadakan di tempat
kedudukan perseroan atau tempat perseroan melakukan kegiatan usahanya kecuali
ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Tempat yang dimaksud terletak di dalam
wilayah Negara Republik Indonesia. RUPS terdiri dari RUPS tahunan dan RUPS
lainnya. RUPS tahunan diadakan dalam waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah
181
Mohammad Sumedi, Implementasi Doktrin The Ultra Vires Rule dalam Ketentuan Hukum
Perseroan Terbatas, Yuridika, Vol.16, No.1, Januari 2002, h.2
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxi
tahun buku. Dalam RUPS tahunan harus diajukan semua dokumen perseroan. RUPS
lainnya dapat diadakan sewaktu-waktu berdasarkan kebutuhan.
RUPS diselenggarakan oleh Direksi, RUPS dapat juga dilakukan atas
permintaan satu orang pemegang saham atau lebih yang bersama-sama mewakili 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah atau
suatu jumlah yang lebih kecil sebagaimana ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan
yang bersangkutan.182 Permintaan tersebut diajukan kepada Direksi atau Komisaris
dengan surat tercatat disertai balasannya. RUPS berhak memperoleh segala keterangan
yang berkaitan dengan kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris.
Untuk menyelenggarakan RUPS, Direksi melakukan pemanggilan kepada
pemegang saham. Namun dalam hal-hal tertentu misalnya Direksi berhalangan atau ada
pertentangan kepentingan antara direksi dan perseroan, pemanggilan RUPS dapat
dilakukan oleh Komisaris. Untuk mengadakan RUPS pemanggilan dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPS.
Pemegang saham dengan hak suatu yang sah, baik sendiri maupun dengan kuasa tertulis
berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya. Dalam pemungutan suara,
anggota Direksi, anggota Komisaris, dan karyawan perseroan yang bersangkutan
dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham. Setiap saham yang dikeluarkan
mempunyai satu hak suara kecuali Anggaran Dasar menentukan lain. Saham perseroan
yang dimiliki oleh perseroan itu sendiri tidak mempunyai hak suara. Saham induk
perusahaan yang dimiliki oleh anak perusahaannya juga tidak mempunyai hak suara.
RUPS dapat dilangsungkan apabila dihadiri oleh pemegang saham yang
mewakili lebih dari 1/2 (seperdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara
yang sah, kecuali undang-undang atau Anggaran Dasar menentukan lain. Keputusan
RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai,
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak biasa dari jumlah suara yang
dikeluarkan secara sah, kecuali undang-undang dan atau Anggaran Dasar menentukan
bahwa keputusan harus diambil berdasarkan suara yang lebih besar dari suara terbanyak
biasa. Setiap penyelenggaraan RUPS wajib dibuat risalah dan dibubuhi tanda tangan
ketua rapat dan paling sedikit satu orang pemegang saham yang ditunjuk dari dan oleh
peserta RUPS.
Kepengurusan perseroan dilakukan oleh Direksi, perseroan yang bidang
usahanya mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan surat pengakuan hutang, atau
perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit dua orang anggota Direksi. Yang
dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang:
a. mampu melaksanakan perbuatan hukum;
b. tidak pernah dinyatakan pailit; atau
c. tidak pernah menjadi anggota Direksi yang
dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau
182
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., h.71
Volume
9, No.1, Nop 2009
cxxii
d.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.(Pasal
79 Undang-Undang Perseroan Terbatas).183
Anggota Direksi diangkat oleh RUPS, untuk pertama kali pengangkatan anggota
Direksi dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota Direksi dalam akta
pendirian. Anggota Direksi diangkat untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan
diangkat kembali. Tata cara pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian anggota
Direksi diatur dalam Anggaran Dasar tanpa mengurangi hak pemegang saham.
Pemberian tugas dan wewenang setiap anggota Direksi, besar dan jenis penghasilan
Direksi ditetapkan oleh RUPS. Direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan
perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan di dalam
dan di luar pengadilan (Pasal 80-82 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Namun dalam keadaan-keadaan tertentu anggota Direksi tidak berwenang
mewakili perseroan apabila:
1.
terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan anggota Direksi
yang bersangkutan; atau
2.
anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan.
Dalam keadaan semacam ini apabila Anggaran Dasar tidak menetapkan
ketentuan mengenai yang berhak mewakili perseroan, maka RUPS mengangkat satu
orang pemegang saham atau lebih untuk mewakili perseroan (Pasal 84 Undang-Undang
Perseroan Terbatas).
Setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Setiap anggota Direksi
bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai
menjalankan tugasnya. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling
sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang
sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi yang
karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan (pasal 85
Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Direksi wajib membuat dan memelihara Daftar Pemegang saham risalah
RUPS, risalah rapat Direksi, dan penyelenggaraan pembukuan perseroan serta
menyimpan semuanya di tempat kedudukan perseroan. Berdasarkan permohonan
tertulis dari pemegang saham, Direksi memberi izin kepada pemegang saham untuk
memeriksa dan mendapatkan salinan Daftar Pemegang Saham, risalah, dan pembukuan.
Anggota Direksi
wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau
keluarganya pada perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 86 dan 87 UndangUndang Perseroan Terbatas).
183
Ibid., h.73
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxiii
Direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan
jaminan hutang seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan dengan ketentuan tidak
boleh merugikan pihak ketiga yang beritikad baik. Keputusan persetujuan RUPS sah
apabila dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 3/4 (tiga perempat)
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh paling
sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut. Pengalihan dan
penjaminan kekayaan perseroan diumumkan dalam dua surat kabar harian paling lambat
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak perbuatan hukum itu dilakukan (pasal 88 UndangUndang Perseroan Terbatas).
Berdasarkan keputusan RUPS, perseroan dapat dinyatakan pailit dan Direksi
dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri agar menetapkan pernyataan
kepailitan tersebut. Apabila kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi
dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut,
maka setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian
itu, Anggota Direksi yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian
tersebut (Pasal 90 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Anggota Direksi dapat sewaktu-waktu diberhentikan berdasarkan keputusan
RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan pemberhentian hanya dapat diambil
setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS.
Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh RUPS. Pemberhentian
sementara diberitahukan secara tertulis kepada Direksi yang bersangkutan. Dalam
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus
diadakan RUPS untuk memberi kesempatan membela diri. RUPS dapat mencabut
keputusan pemberhentian sementara atau memberhentikan anggota Direksi yang
bersangkutan. Apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari itu tidak diadakan RUPS,
maka pemberhentian sementara batal (Pasal 91 dan 92 Undang-Undang Perseroan
Terbatas).
Perseroan yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat; menerbitkan
surat pengakuan hutang atau Perseroan Terbuka wajib memiliki paling sedikit dua orang
Komisaris. Apabila terdapat lebih dari dua orang Komisaris, mereka merupakan sebuah
majelis. Komisaris diangkat oleh RUPS, untuk pertama kalinya dilakukan dengan
mencantumkan susunan dan nama Komisaris dalam akta pendirian. Komisaris diangkat
untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Tata cara
pencalonan, pengangkatan, dan pemberhentian Komisaris diatur dalam Anggaran
Dasar (Pasal 94 dan 95 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Orang yang dapat diangkat menjadi Komisaris adalah orang perseorangan yang
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. mampu melaksanakan perbuatan hukum;
2. tidak pernah dinyatakan pailit; atau
3. tidak pernah menjadi anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah
mengakibatkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxiv
4.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan
keuangan negara dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan (Pasal 96
Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan Direksi dalam menjalankan
perseroan serta memberikan nasehat Kepada Direksi. Komisaris wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
perseroan. Atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili, paling sedikit 1/10
(satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap Komisaris yang karena kesalahan
atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan. Komisaris wajib melaporkan
kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau keluarganya, pada
perseroan tersebut dan perseroan lain (Pasal 97-99 Undang-Undang Perseroan
Terbatas).
Apabila Anggaran Dasar mengaturnya, Komisaris dapat diberi wewenang
untuk memberi persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan
hukum tertentu. Berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS Komisaris dapat
melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu
tertentu. Bagi Komisaris yang melakukan tindakan pengurusan itu berlaku semua
ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban Direksi terhadap perseroan dan
pihak ketiga.. Anggota Komisaris dapat diberhentikan atau diberhentikan sementara
oleh RURS. Ketentuan mengenai pemberhentian dan pemberhentian sementara Direksi
berlaku pula terhadap Komisaris.
Pemeriksaan perseroan dapat dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data atau
keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa perseroan melakukan perbuatan melawan
hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga serta anggota
Direksi
atau
Komisaris
melakukan
perbuatan
melawan hukum yang merugikan
perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga (Pal 110 ayat (l) Undang-Undang
Perseroan Terbatas).
Pemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis serta alasannya
ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan.
Bilamana suatu perseroan akan dilakukan pembubaran, maka menurut
ketentuan Pasal 114 Undang-Undang Perseroan Terbatas, perseroan bubar karena:
a. keputusan RUPS;
b. jangka waktu berdiri yang ditetapkan dalam Anggarao Dasar telah berakhir;
c. penetapan pengadilan..
Selanjutnya dalam Pasal 115 Undang-Undang Perseroan Terbatas ditentukan
bahwa Direksi dapat mengajukan usul pembubaran perseroan kepada RUPS. Keputusan
RUPS tentang pembubaran perseroan sah apabila diambil sesuai dengan ketentuan yang
telah ditetapkan dalam undang-undang dan Anggaran Dasar. Perseroan bubar pada saat
telah ditetapkan dalam keputusan RUPS, kemudian pembubaran perseroan diikuti
dengan likuidasi oleh likuidator.
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxv
Apabila perseroan bubar karena jangka waktu berdirinya berakhir, Menteri
Kehakiman atas permohonan Direksi dapat memperpanjang jangka waktu tersebut.
Permohonan perpanjangan jangka waktu hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan
RUPS yang dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit ¾
(tigaperempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan
disetujui paling sedikit oleh ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara tersebut.
Permohonan perpanjangan dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar diajukan kepada
Menteri Kehakiman dan HAM paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sebelum jangka
waktu berdiri itu berakhir. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM diberikan paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan diterima. Apabila jangka waktu
berdiri perseroan itu berakhir dan RUPS memutuskan tidak memperpanjang jangka
waktu tersebut, maka proses likuidasi dilakukan sesuai dengan ketentuan undangundang. (Pasal 116 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
Dalam hal perseroan bubar, likuidator dalam waktu paling lambat 30 (tiga
puluh) hari wajib:
(a) mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
(b) mengajukan permohonan untuk diumumkan dalam Berita Negara Rl;
(c) mengumumkan dalam dua surat kabar harian;
(d) memberitahukan kepada Menteri Kehakiman dan HAM.
Selama pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan, maka bubarnya
perseroan tidak berlaku bagi pihak ketiga. Apabila likuidator lalai mendaftarkan
perseroan yang bubar itu, maka likuidator secara tanggung renteng bertanggung jawab
atas kerugian yang diderita pihak ketiga (Pasal 118 Undang-Undang Perseroan
Terbatas).
Perseroan yang bubar tidak dapat melakukan perbuatan hukum kecuali
diperlukan untuk membereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Tindakan
pemberesan tersebut meliputi: (a) pencatatan dan pengumpulan kekayaan perseroan;
(b) penentuan tata cara pembagian kekayaan; (c) pembayaran kepada para kreditur;
(d) pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham; (e)
tindakan-tindakan lain yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan pemberesan kekayaan.
Apabila tidak ditunjuk likuidator, maka Direksi bertindak selaku likuidator. Ketentuan
mengenai pengangkatan, pemberhentian sementara, pemberhentian, wewenang,
kewajiban, tanggung jawab Direksi berlaku pula bagi likuidator (pasal 122 UndangUndang Perseroan Terbatas). Apabila likuidator tidak melaksanakan tugas sebagaimana
mestinya, atau dalam hal hutang perseroan melebihi kekayaan perseroan, maka atas
permohonan satu orang atau lebih yang berkepentingan, atau atas permohonan
kejaksaan184, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat likuidator baru dan
memberhentikan likuidator lama (Pasal 123 Undang-Undang Perseroan Terbatas ).
Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atas likuidasi yang dilakukan
likuidator wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan dan mengumumkan dalam
184
Munir Fuady, Op.Cit, h.9
Volume
9, No.1, Nop 2009
cxxvi
Tambahan Berita Negara hasil akhir proses likuidasi serta mengumumkannya dalam dua
surat kabar harian. Sisa kekayaan hasil likuidasi diperuntukkan bagi pemegang saham
(Pasal 124 Undang-Undang Perseroan Terbatas).
2. Tanggung Jawab Direksi jika Perusahaan Pailit
Pada prinsipnya, tanggung jawab seorang direktur pada perusahaan yang jatuh
pailit sama saja seperti tanggung jawabnya pada perseroan terbatas yang berjalan
normal. Dalam hal ini, klaim-klaim dari kreditur pada prinsipnya hanya dapat ditujukan
terhadap perusahaan yang bersangkutan dalam statusnya sebagai badan hukum.
Tanggung jawab hukumnyapun hanya sebatas asset yang dimiliki oleh badan hukum
yang bersangkutan.
Dengan demikian, jika suatu perseroan terbatas dinyatakan pailit oleh
Pengadilan dan/atau dilikuidasi, maka pada prinsipnya kreditur tidak dapat memintakan
direktur atau komisaris ataupun pemegang sahamnya untuk bertanggung jawab secara
pribadi. Karenanya, harta-harta pribadi mereka tidak boleh ikut disita atau dilelang.
Prinsip umum terhadap tanggung jawab yang semata-mata dibebankan kepada
badan hukum dalam hal perusahaan pailit atau dilikuidasi ini dipegang dengan teguh
dalam kasus spektakuler likuidasi Bank Summa di tahun 1992. Dalam kasus ini,
tidak satu pemegang sahampun atau direktur atau komisaris yang ikut bertanggung
jawab secara hukum. Kalaupun ada pihak pemilik ataupun perusahaan satu group yang
akhirnya bertanggung jawab, itu hanya dikarenakan ikatan-ikatan yang bersifat
kontraktual, dalam hal ini seperti personal guarantee.
Dalam perkembangan teori dan praktek hukum tentang korporat, penerapan
prinsip umum tentang kemandirian tanggung jawab badan hukum ternyata tidak
selamanya memuaskan. Karena dalam hal-hal tertentu, penerapan prinsip tersebut akan
melanggar sendi-sendi keadilan. Demikian juga aplikasinya ke dalam hukum tentang
kepailitan dan likuidasi. Maka mulailah dikembangkan deviasi-deviasi, yang pada
akhirnya merupakan pengecualian terhadap teori yang berlaku umum tersebut.
Beberapa pengecualian terhadap prinsip kemandirian tanggung jawab badan
hukum dalam hal perusahaan pailit, dapat disebutkan: (1) Jika direktur bertindak di luar
batas kekuasaannya yang diberikan oleh anggaran dasar, (2) Jika dilakukan perbuatan
melawan hukum (perdata maupun pidana), (3) Jika direktur bersikap sangat tidak layak
atau bertentangan dengan prinsip Fiduciary Duty (4) Jika terjadi apa yang disebut ultra
vires. Keempat macam pelanggaran tersebut kiranya dapat dicakup dalam rumusan
istilah kesalahan atau kelalaian versi Pasal 90 ayat 2 Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Karena itu pula, direktur dapat dimintakan untuk bertanggung jawab secara
hukum ketika perusahaan pailit jika dengan perbuatan direktur yang dianggap
menyimpang tersebut. Secara langsung atau tidak langsung menyebabkan perusahaan
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxvii
yang bersangkutan jatuh pailit. Hanya saja Undang-Undang Perseroan Terbatas
membuat beberapa restriksi terhadap tanggung jawab direktur dalam hal perseroan pailit
sebagai berikut:
a. Direktur ikut bertanggung jawab jika perusahaan tersebut dinyatakan pailit.
Jadi kalau dibubarkan dan dilikuidasi tanpa prosedur pailit direktur terlepas
dari tanggung jawabnya, kecuali dia melakukan kesalahan-kesalahan lain.
b. Harus ada unsur kesalahan atau kelalaian dari direktur tersebut.
c. Tanggung jawab direktur bersifat residual. Maksudnya, dia baru
bertanggung jawab secara material setelah seluruh asset perusahaan diambil
dan ternyata tidak cukup.
d. Di samping perusahaan, yang ikut ditarik untuk bertanggung jawab adalah
hanya direksi. Komisaris dan pemegang saham tidak ikut bertanggung jawab
secara hukum, kecuali mereka melakukan kesalahan lain.
e. Tanggung jawabnya secara renteng. Jadi walaupun seorang direktur yang
bersalah, tetapi yang lain juga dipresumsi untuk bertanggung jawab.
f. Adanya presumsi bersalah, dengan beban pembuktian terbalik.
Maksudnya, jika direksi bersalah, maka seluruh anggota direktur dianggap
bersalah, kecuali ada anggota direksi yang dapat membuktikan bahwa
sebenarnya dia tidak bersalah. Tidak ditentukan bagaimana membuktikan
tidak bersalah. Menurut hemat penulis seorang anggota direksi melakukan
voting menentang dalam rapat direksi barangkali belum cukup. Tetapi
anggota direksi tersebut harus benar-benar mencegahnya atau berhenti
sebagai direktur saat sebelum perbuatan kesalahan tersebut direalisasikan
oleh anggota direksi yang lain.
Keabsahan perbuatan hukum Direksi secara ekstern itu ditentukan oleh ada
tidaknya pelanggaran terhadap batas kewenangan direksi dalam melakukannya.
Batas kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern
menjadi sangat krusial dalam menentukan sah tidaknya perbuatan hukum itu.
Kewenangan direksi dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern yang masuk
katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan hanya dibatasi oleh ketentuan
Pasal 85 (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas. Artinya, direksi tidak boleh
melanggar kewajiban untuk menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum ekstern itu. Perbuatan-perbuatan
hukum ekstern direksi yang dilakukan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung
jawab adalah tidak sah.
Ada dua macam perbuatan hukum anggota direksi terhadap pihak ketiga yang
masuk katagori perbuatan menjalankan pekerjaan kepengurusan. Pertama, perbuatan
hukum ekstern basil keputusan rapat direksi. Kedua, perbuatan hukum ekstern atas
dasar inisiatif dari seorang anggota direksi. Perbuatan hukum ekstern hasil keputusan
rapat direksi dapat diklasifikasikan ke dalam perbuatan hukum ekstern hasil keputusan
rapat direksi yang sah dan perbuatan hukum ekstern hasil keputusan rapat Direksi yang
tidak sah. Yang pertama merupakan pelaksanaan keputusan rapat direksi yang tidak
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxviii
mengandung pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 85 (1) Undang-Undang Perseroan
Terbatas. Artinya. Keputusan itu lahir dari suatu rapat Direksi yang diselenggarakan
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab semata-mata demi kepentingan dan
kegiatan usaha Perseroan Terbatas. Yang terakhir merupakan pelaksanaan keputusan
rapat Direksi yang lahir dari suatu proses pengambilan keputusan
yang
diselenggarakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Proses
pengambilan keputusan seperti itu cenderung menghasilkan keputusan yang merugikan
Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga atau keputusan yang memang ditujukan untuk
merugikan Perseroan Terbatas dan atau pihak ketiga.
Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat
direksi yang sah adalah sah dan mengikat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga
kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan jika perbuatan hukum itu dilakukan dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern direksi yang demikian
tidak
dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada direksi, apalagi setiap
anggota Direksi, tanggung jawab atas perbuatan hukum itu ada pada Perseroan
Terbatas.
Perbuatan hukum ekstern Direksi yang melaksanakan keputusan rapat direksi
yang sah yang dilaksanakan tidak dengan itikad baik dan penuh tanggungjawab adalah
tidak sah dan tidak mengingat Perseroan Terbatas dengan pihak ketiga kepada siapa
perbuatan hukum itu dituju. Anggota direksi yang melakukan perbuatan hukum yang
demikian itu harus bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita pihak
ketiga. Perseroan Terbatas dan anggota direksi lainnya yang menjalankan tugas dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab tidak ikut bertanggung jawab.
Perbuatan hukum ekstern anggota direksi yang melaksanakan keputusan rapat
direksi yang tidak sah adalah tidak sah dan tidak mengikat Perseroan Terbatas dengan
pihak ketiga kepada siapa perbuatan hukum itu ditujukan, sekalipun perbuatan hukum
itu dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Perbuatan hukum ekstern
anggota direksi yang demikian menjadi tanggung jawab semua anggota Direksi secara
renteng kepada pihak ketiga. Perseroan Terbatas tidak dapat dimintai pertanggung
jawaban dalam hal ini.
Perbuatan hukum ekstern atas dasar inisiatif dari seorang anggota Direksi
semula hanyalah menjadi tanggung jawab dari anggota direksi yang melakukannya.
Perseroan Terbatas dan anggota Direksi lainnya yang tidak memberi persetujuan atas
perbuatan hukum itu tidak ikut bertanggung jawab. Akan tetapi, tanggung jawab pribadi
dari anggota direksi yang melakukannya itu dapat berubah menjadi tanggung jawab
renteng bersama-sama dengan anggota direksi yang memberi persetujuan atas perbuatan
hukum itu. Bahkan, jika semua anggota direksi menyetujui dan menganggapnya sebagai
perbuatan hukum direksi yang sah, maka perbuatan hukum itu tidak lagi menjadi
tanggung jawab pribadi dari anggota yang melakukannya atau tanggung jawab renteng
bersama-sama dengan anggota Direksi lainnya yang memberi persetujuan, melainkan
berubah menjadi tanggung jawab Perseroan Terbatas. Sedang syarat sah perbuatanperbuatan hukumi ekstern Direksi yang masuk kategori perbuatan menjalankan
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxix
pekerjaan kepemilikan atau menjalankan pekerjaan penguasaan ada dua. Pertama,
perbuatan hukum itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 85 (1) Perseroan
Terbatas. Kedua, perbuatan hukum itu harus dilakukan atas dasar keputusan RUPS atau
komisaris atau rapat Direksi yang memberi persetujuan kepada direksi untuk melakukan
perbuatan hukum itu. Perbuatan-perbuatan hukum ekstern direksi yang dilakukan tidak
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab dan atau tanpa dasar keputusan RUPS
atau komisaris atau rapat Direksi adalah tidak sah.
Dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan Anggaran Dasar Perseroan
Terbatas disebutkan dengan tegas siapa yang berwenang memberi persetujuan kepada
direksi dalam melakukan suatu perbuatan hukum ekstern yang merupakan perbuatan
menjalankan pekerjaan kepemilikan atau perbuatan menjalankan pekerjaan penguasaan.
Dalam hal direksi akan melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar harta kekayaan Perseroan
Terbatas, misalnya, Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan dengan tegas
bahwa Direksi harus mendapat persetujuan RUPS terlebih dahulu. Sementara dalam hal
perbuatan hukum untuk menjaminkan atau meminjamkan uang atas nama Perseroan
Terbatas, Undang-Undang Perseroan Terbatas memberi kebebasan kepada setiap
Perseroan Terbatas untuk menentukan sendiri dalam anggaran dasarnya siapa diantara
ketiga altenatif pilihan yang akan ditunjuk sebagai yang berwenang memberi
persetujuan kepada Direksi jika akan melakukannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian pada bab-bab pembahasan di atas, maka saya dapat
tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. ndang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 hanya mengatur tentang Perseroan
Terbatas sebagai bentuk badan hukum, sehingga walaupun bukan manusia
dapat melakukan perbuatan hukum sebagaimana layaknya manusia yang cakap
bertindak di depan hukum. Karenanya setiap perusahaan yang memilih bentuk
Perseroan Terbatas harus memenuhi ketentuan persyaratannya, yaitu
merupakan organisasi yang teratur, mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah
dengan kekayaan pengurus, dapat melakukan hubungan hukum sendiri, dan
mempunyai tujuan sendiri;
b. Adapun tentang tanggung jawab direksi dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas dan Standar Model Anggaran Dasar Perseroan Terbatas ternyata
mengatur tentang kewenangan dan batas kewenangan setiap anggota Direksi
dalam melakukan perbuatan hukum ekstern yang merupakan unsur pokok the
ultra vires rule. Setiap anggota Direksi dapat diminta pertanggung jawaban
secara pribadi jika dalam melakukan perbuatan hukum ekstern melanggar
batas kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan
anggaran dasar Perseroan Terbatas.
cxxxVolume 9, No.1, Nop 2009
SARAN
Sebagai saran penyempurnaan atas keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara
berdasarkan Undang-undang Nomor 1Tahun 1995, maka dapat dikemukakan hal-hal:
a. Sudah waktunya pemerintah mengefektifkan ketentuan larangan melakukan
bisnis, termasuk juga mendirikan dan menjadi pengurus dari Perseroan
Terbatas bagi Pegawai Negeri. Hal ini dikarenakan, praktik bisnis selalu
memerlukan kebijakan pemerintah yang mana ini akan mempengaruhi proses
pendirian dan praktik bisnis Perseroan Terbatas yang dimiliki oleh pejabat di
lingkungan Pegawai Negeri;
b. Sangat sulit untuk menentukan bahwa Direksi tersebut tidak bersalah, terlebih
lagi jika dalam perkara pidananya diterapkan pembuktian terbalik. Mengingat
rujukan hukum pidana formal kita masih KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) yang notabene tetap Penuntut Umum yang harus membuktikan
kesalahan terdakwa.
Daftar Rujukan
Burton Simatupang, Richard. 1996. Aspek Hukum dalam Bisnis, Cet.I. Rineka Cipta.
Jakarta.
Fuady, Munir. 1996. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek Buku Ketia, Cet.I, Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Kansil, CST. 1985. Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.II. Pradnya Paramita. Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 1999. Hukum Perusahaan Indonesia, Cet.I. Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Sumedi, Mohammad.2002. Implementasi Doktrin The Ultra Vires Rule dalam
Ketentuan Hukum Perseroan Terbatas, Yuridika, Vol.16, No.1, Januari 2002.
Volume 9, No.1, Nop 2009
cxxxi
Download