PEMBERIAN POSISI ORTHOPNEIC TERHADAP FUNGSI

advertisement
PEMBERIAN POSISI ORTHOPNEIC TERHADAP FUNGSI VENTILASI
PARU PADA ASUHAN KEPERAWATANTn. B DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSIKRONISDI
RUANG ANGGREK 1 RUMAHSAKIT
Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD ADITYA PRATHAMA R.
NIM. P 13 098
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
PEMBERIAN POSISI ORTHOPNEIC TERHADAP FUNGSI VENTILASI
PARU PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. B DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS DI
RUANG ANGGREK 1 RUMAH SAKIT
Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD ADITYA PRATHAMA R.
NIM. P 13 098
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2016
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis
Ilmiah dengan Judul “Pemberian Posisi Orthopneic Terhadap Peningkatan Ventilasi
Paru pada Asuhan Keperawatan Tn. B dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis di
Ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penilis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat :
1. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Prodi Studi DIII Keperawtan yang telah
memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada
Surakarta.
2. Ns. Alfyana Nadya R. M.Kep, selaku Sekretaris Program Studi DIII Keperawtan
yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat menimba ilmu di
STIKes Kusuma Husada Surakarta.
3. Ika Subekti Wulandari S.kep, Ns,M.kep, selaku dosen pembimbing sekaligus
sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi
sempurnanya studi kasus ini.
iv
4. Anissa Cindy Nurul A, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku dosen penguji I yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan
nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Ika Subekti Wulandari S.kep, Ns,M.kep, selaku dosen penguji II yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan
nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
6. Semua dosen Progran Studi DIII Keperawtan STIKes Kusuma Husada Surakarta
yang telah memeberikan bimbingan dengan sabar dan wawasanya serta ilmu
yang bermanfaat.
7. Kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat
untuk menyelesaikan pendidikan.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu,
yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 13 Mei 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang ................................................................................... 1
B.Tujuan Penulisan .............................................................................. ..4
C.Manfaat ............................................................................................ ..5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Tinjauan Teori ..................................................................................... 7
B.Penyakit Paru Obstruksi Kronis .........................................................7
C.Asuhan Keperawatan ..........................................................................15
D.Ortopneic .............................................................................................24
E.Status Pernafasan .................................................................................25
F.Kerangka Teori ...................................................................................33
vi
BAB III METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A.Subjek Aplikasi Riset ......................................................................... 34
B.Tempat dan Waktu .............................................................................. 34
C.Media dan Alat ................................................................................... 34
D.Prosedur Tindakan ............................................................................. 35
E.Alat Ukur Evaluasi Dari Aplikasi Tindakan Berdasarkan Riset ......... 36
BAB IV LAPORAN KASUS
A.Identitas Pasien .................................................................................. 38
B.Pengkajian ......................................................................................... 38
C.Perumusan masalah keperawatan ...................................................... 44
D.Prioritas Diagnosa ............................................................................. 45
E.Perancanaan ....................................................................................... 46
F.Implementasi ...................................................................................... 47
G.Evaluasi ............................................................................................. 53
BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian ........................................................................................ 57
B. Diagnosa Keperawatan ..................................................................... 60
C. Perencanaan ...................................................................................... 64
D. Implementasi .................................................................................... 66
E. Evaluasi ............................................................................................. 68
vii
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 73
B. Saran ................................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL
1 Tabel 1 Kecepatan Pernafasan Normal ........................................... 37
ix
DAFTAR GAMBAR
1 Gambar 1 Kerangka Teori ............................................................... 33
2 Gambar 2 Genogram ....................................................................... 39
x
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
USULAN JUDUL
LAMPIRAN 2
LEMBAR KONSULTASI
LAMPIRAN 3
SURAT PERNYATAAN
LAMPIRAN 4
JURNAL
LAMPIRAN 5
ASUHAN KEPERAWATAN
LAMPIRAN 6
PENDELEGASIAN
LAMPIRAN 7
LEMBAR OBSERVASI
LAMPIRAN 8
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit paru obstruksi kronis merupakan salah satu dari
kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat dunia saat ini tidak hanya bagi negara maju namun juga di
negara berkembang (Helmi, dkk 2013).Pada tahun 2002 jumlah penderita
PPOK sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik memiliki angka
prevalensi (6,3%). Angka bagi masing-masing negara berkisar (3,5-6,7%).
Negara dengan angka terkecil adalah Hongkong dan Singapura (3,5%),
sedangkan negara dengan angka terbesar adalah Vietnam (6,7%).
Indonesia memiliki angka angka (5,6%). Pada tahun 2008 PPOK menjadi
salah satu penyakit dengan angka morbiditas yang tinggi di Selandia Baru
pada tahun 2012 dengan proporsi (14%) penduduk usia 40 tahun ke atas
dan pada tahun berikutnya diperkirakan akan mengalami kenaikan (WHO,
2013).
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM
& PL di 5 rumah sakit provinsi di Indonesia (Jawa Tengah, Jawa Barat,
Jawa Timur, Lampung, Dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004
menunjukan PPOK berada di urutan pertama dengan angka 35%. Pada
tahun 2010 Dinas Kesehatan Yogyakarta menyatakan PPOK menduduki
peringkat ke-4 penyebab kematian di Indonesia. Sebanyak (10%)
penduduk usia 40 tahun ke atas menderita PPOK (WHO 2010).
1
2
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang
dapat diobati dan di cegah yang ditandai dengan hambatan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan
dengan respon peradangan yang abnormal dari paru terhadap udara yang
berbahaya yang mengakibatkan penyempitan dari saluran udara, hipersekresi
lendir, dan perubahan dalam pembuluh darah paru. (Brunner & Suddarth,
2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan keadaan yang
ditandai dengan kelemahan kemampuan untuk bernapas, mereka yang
menderita PPOK akan menanggung akibat dari kurangnya oksigen.
Penurunan
kadar
oksigen
dalam
sirkulasi
dan
jaringan
tubuh,
menempatkan pasien pada risiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius
lainnya. Bila PPOK menunjukkan keadaan ketidakseimbangan antara
perbaikan paru dan mekanisme pertahanan diri menyebabkan fibrosis jalan
nafas perifer, sehingga rusaknya struktur bronkiolus dan melebarnya
alveoli yang nantinya menyebabkan meningkatnya tahanan dijalan napas
perifer, akhirnya terjadi obstruksi sehingga memperberat penyempitan
jalan napas akibat adanya edema dan hipersekresi mucus (Brunner &
Suddarth, 2002).
Pada asuhan keperawatan pasien dengan diagnosa Penyakit Paru
Obstruksi Kronis akan muncul masalah yaitu ketidakefektifan bersihan
jalan nafas yang disebabkan oleh hipersekresi, pasien mengalami batuk
3
produktif kronik, sesak nafas, intoleransi aktifitas karena suplei oksigen
terganggu, mengi (Francis, 2008).
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka dilakukan
Intervensi keperawatan yang dilaksanakan pada pasien Penyakit paru
obstruksi kronis yaitu membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan
berbagai cara, pengobatan simtomatik (lihat tanda dan gejala yang
muncul), sesak nafas diberi posisi yang nyaman semi fowler, dehidrasi
diberi minum yang cukup, penanganan terhadap komplikasi-komplikasi
yang timbul, mengatur posisi dan pola bernafas untuk mengurangi jumlah
udara yang terperangkap, memberi penjelasan tentang teknik-teknik
relaksasi dan cara untuk menyimpan energi (Padila, 2012).
Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan
pertukaran gas adalah mengatur posisi klien. Pengaturan posisi ini dapat
membantu paru mengembang secara maksimal sehingga membantu
meningkatkan pertukaran gas (Black & Hawks, 2005).
Kadangkala klien PPOK pada kondisi dispnea di atur posisinya
dalam posisi yang beragam. Umumny mereka akan diposisikan dalam
keadaan duduk tegak (high fowle rposition), setengah duduk (semi
fowler
position),
leaning/orthopneic
posisi
duduk
menelungkup
position), bahkan kepala
(sitting
forward
yang hanya disangga
beberapa bantal saja (ekstensi kepala 30-40º).
Orthopneic yaitu posisi klien duduk diatas tempat tidur dengan
4
badan sedikit menelungkup diatas meja disertai bantuan dua buah bantal
(Nieniek, Dewi & Hanny, 2011). Posisi orthopneic dapat mengurangi
dyspnea karena posisi tersebut membantu peningkatan fungsi paru
(Landers, Mc Whorter, Filibeck,dan Robinson, 2006).
Pada proses pengukuran APE klien PPOK harus melakukan
inspirasi maksimal sampai kapasitas parutotal, kemudian diikuti dengan
ekspirasi maksimal paksa secepatnya dan sesempurna mungkin.
Diafragma akan dipaksa untuk bergerak turun naik guna memberbesar
dan memperkecil rongga dada. Tulang iga juga akan lebih terelevasi dan
terdepresi dalam memperbesar dan memperkecil diameter anteroposterior
rongga dada (Guyton & Hall, 2005).
Berdasarkan berbagai data dan informasi di atas maka penulis
tertarik untuk melakukan studi kasus tentang pemberian posisi Orthopneic
pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis, karena pergerakan diafragma
akan menurun dan pergerakan tulang rusuk menjadi tegang sebagai akibat
adanya perubahan pada dinding dada, sehingga posisi duduk dengan badan
sedikit membungkuk (orthopneic) dapat mempermudah diafragma untuk
terangkat, sehingga mempermudah aliran udara (Smeltzer & Bare, 2005).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan tindakan posisi Orthopneic terhadap peningkatan
fungsi ventilasi paru pada pasien PPOK
2. Tujuan Khusus
5
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan PPOK
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien
dengan PPOK
c. Penulis mampu menyusun intervensi pada pasien dengan PPOK
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan
PPOK
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan PPOK
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian posisi Orthopneic
terhadap peningkatan fungsi ventilasi paru pasien PPOK
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi
Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam manfaat
pemberian posisi Orthopneic terhadap fungsi ventilasi paru pasien
PPOK
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan khususnya untuk perawat dalam manfaat
pemberian posisi Orthopneic yang pada pasien yang mengalami
penyakit PPOK sehingga perawat mampu memberikan tindakan yang
tepat kepada pasien.
3. Bagi Masyarakat
Sebagai tambahan informasi dan pengetahuan masyarakat tentang
manfaat pemberian posisi Orthopneic terhadap peningkatan fungsi
ventilasi paru pasien PPOK
6
4. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan peneliti tentang masalah keperawatan
oksigenisasi dan merupakan suatu pengalaman baru bagi penulis atas
informasi yang diperoleh selama penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
a. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah keadaan
penyakit yang ditandai oleh keterbatasan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel.keterbatasan aliran udara ini biasanya
progresif dan berhubungan dengan respons peradangan yang
abnormal dari paru terhadap partikel atau udara yang berbahaya
(Tanto, 2014).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis sering ditandai oleh sekresi
yang sangat banyak dan sekresi tersebut harus di keluarkan untuk
mencegah komplikasi paru. PPOK merupakan satu kelompok
penyakit paru yang mengakibatkan obstruksi yang menahun dan
presisten dari jalan nafas di dalam paru (Murwani, 2011).
b. Klasifikasi
Menurut Aziz dan Soegando (2006) klasifikasi PPOK dalam
National Heart, Lung and Blood Institute dan Who, yaitu :
1) Stadium 0 (Derajat Berisiko PPOK)
Spirometri normal, kelainan kronis (batuk, sputum produktif)
7
8
2) Stadium I (PPOK Ringan)
VEP1/KVP <70%, VEP1> 80%, dengan atau tanpa keluhan
kronis
(batuk,
sputum
produktif),
dipsnea
minimal,
pemeriksaan fisik normal.
3) Stadium II (PPOK Sedang)
VEP1/KVP <70%, VEP1> 80% prediksi, (II A : 50% < VEP1>
80% prediksi), (II B : 30% < VEP1< 50% presiksi), sesak nafas
saat aktivitas yang tidak terlalu berat, mengi, hiperinflasi, dan
penurunan udara yang masuk.
4) Stadium III (PPOK Berat)
VEP1/KVP <70%, VEP1 < 30% prediksi atau VEP1 < 50%
sesak nafas saat aktivitas ringan, gagal nafas serta kor
pulmonal.
c. Etiologi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis disebabkan oleh faktor
lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar bisa dicegah.
Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus
pada laki-laki dengan usia antara 30 sampai 40 tahun paling
banyak menderita PPOK. (Padila, 2012).
1) Asap rokok
Asap rokok menyebabkan inflamasi epitel bronkus dan
penghancur radikal oksigen toksin pada antielastase yang pada
giliranya, mengakibatkan kerusakan elveolus dan bronkus.
9
Kerusakan pada dinding bronkus mengakibatkan obstruksi
jalan nafas ekspirasi baik karena kehilangan elastisitas jalan
nafas, peningkatan produksi mukus, atau karena keduanya.
Obstruksi
ekspirasi
dengan
terperangkapnya
udara,
meningkatkan beban kerja pernafasan, dan ventilasi yang tidak
merata mengakibatkan penurunan volume pernafasan per
menit. Pasien dengan obstruksi jalan nafas akan datang dengan
keluhan dipsnea, pemanjangan ekspirasi dan mengi/wheezing
2) Usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali
secara klinis sebelum usia 40 tahun. Kasus-kasus yang
termasuk perkeculian yang jarang dari pernyataan umum ini
seringkali berhubungan dengan sifat yang terkait dengan
defisiensi bawaan dari antitripsin alfa-1. Ketidakmampuan ini
dapat mengakibatkan seseorang mengalami emfisiema dan
PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko menjadi
semakin berat jika mereka merokok (Francis, 2008).
3) Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK yang paling
umum, dan mencakup 80% dari semua kasus PPOK yang
ditemukan. Diduga bahwa sekitar 20% orang yang merokok
akan
mengalami
PPOK,
dengan
resiko
perseorangan
meningkat sebanding dengan peningkatan jumlah rokok sigaret
10
yang dihisapnya. Mengenai merokok, jumlah yang diisap oleh
seseorang diukur dengan istilah pack years, Satu pack years =
menghisap 20 batang rokok per hari selama satu tahun. Dengan
demikian, seseorang yang merokok 40 batang rokok per hari
selama satu tahun atau mereka yang merokok 20 batang rokok
selama dua tahun akan memiliki akumulasi yang ekuivalen
dengan 2 pack years (Francis, 2008).
4) Latar belakang genetik dan keluarga
Telah ditemukan keterkaitan keluarga yang lemah, tidak
seperti pada asma di riwayat asma sebelumnya di dalam
keluarga sangat dipertimbangankan sebagai faktor resiko yang
penting.(Francis, 2008).
d. Manifestasi klinis
Menurut Padila (2012) manifestasi klinis meliputi :
1) Batuk yang sangat produktif, purulen dan mudah terkena iritasi
oleh iritan-iritan inhalan, udara dingin atau infeksi.
2) Sesak nafas dan dispnea.
3) Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastsitas paru
menyebabkan dada mengembang.
4) Hipoksia dan hiperkapnea.
5) Takipnea.
6) Dispnea yang menetap
11
e. Patofisiologi
Menurut Morton,dkk, (2012) patofisiologi PPOK :
Seiring perkembangan PPOK, perubahan patofisiologis
berikut biasanya terjadi secara berurutan: hipersekesi mukus,
disfungsi sillia, keterbatasan aliran udara, hiperinflanasi pulmonal,
abnormalitas pertukuran gas, hipertensi pulmonal. Jalan nafas
perifer
menjadi
tempat
utama
obstruksi
pada
pasien
PPOK.Perubahan struktural dinding jalan nafas adalah penyebab
terpenting peningkatan tahanan jalan nafas perifer.Perubahan
inflamasi seperti edema jalan nafas dan hipersekresi mukus juga
menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer.Hipersekresi mukus
disebabkan oleh stimulasi pembesaran kelenjar yang menyekresi
mukus dan peningkatan jumlah sel goblet oleh mediatior inflamasi
seperti leukosillia mengalami metaplasia skuoamosa, yang
menyebabkan gangguan pembersihan mukosillia, yang biasanya
merupakan abnormalitas fisiologis yang pertama kali tejadi pada
PPOK. Abnormalitas ini dapat terjadi selama beberapa tahun
sebelum abnomalitas lain terjadi. Keterbatasan aliran udara ekspirsi
adalah temuan penting pada PPOK. Ketika proses penyakit
berkembang, volume ekspirasi kuat dalam satu detik (forced
expiratory volume in 1 second, FEV 1) dan kapasitas vital kuat
(forced vital capacity, FPC) menurun, hal ini berhubungan dengan
peningkatan ketebalan dinding jalan nafas, penurunan kelekatan
12
alveolar dan penurunan recoil elastis paru. Sering kali tanda
pertama terjadi keterbatasan aliran udara adalah penurunan rasio
FEV1pasca bronkodilator kurang dari 80% dari nilai prediksi yang
dikombinasikan.
f. Komplikasi
Menurut Muwarni (2011) komplikasi PPOK :
1) Kegagalan respirasi akibat sesak nafas atau dispnea.
2) Kardiovaskuler yaitu kor pulmonal aritmia jantung.
3) Ulkus peptikum.
4) PPOM umumnya berjalan secara progresif dalam jangka waktu
yang lama, penderita jadi cacat dan tidak dapat melakukan
kegiatan sehari-hari.
5) Kematian biasanya terjadi karena kegagalan respirasi dan
kematian mendadak karena aritmia jantung.
g. Penatalaksanaan
Menurut Patrick (2006) ada beberapa penatalaksanaan dari PPOK :
1) Pemeriksaan farmakologi dan non farmakologi
a) Berhenti merokok harus menjadi prioritas
Bronkodilator, bermanfasst pada 20-40% kasus. Pada kasus
berat bisa diberikan dosis tinggi dengan menggunakan
nebulizer. Pada penyakit sedang pemberian kortikostiroid
oral percobaan selama 2 minggu harus dipertimbangkan
13
untuk
menentukan
reversibelitas
obstruksi
saluran
pernafasan.
b) Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam
memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis.
c) Pada ekserbasi akut, pengobatan harus ditingkatkan yaitu
dengan memberikan oksigen secukupnya untuk meredakan
hipoksemia yang bermakna (PaO2 ≥ 55 mmHg) dan juga
dengan nebulizer tiap 20 menit.
d) Rehabilitasi
paru,
khususnya
latihan
olahraga
dan
penyuluhan.
2) Pemeriksaan diagnostik
a) Uji fungsi paru
Bisa menunjukkan adanya keterbatasan aliran udara
pada kasus PPOK merupakan hal yang paling penting
secara diagnostik.Hal ini biasanya dilakukan menggunakan
laju aliran ekspirasi puncak PEF.Pada beberapa kasus
dimana PPOK dicurigai, perlu dipertimbangkan untuk
mengunakan peak expiratory flow pediatrik.Ini bermanfaat
untuk mencatat volume keluaran yang lebih kecil dengan
menyediakan skala yang tepat untuk akurasi yang lebih
baik.Hal ini sangat berguna jika sebelumnya peak
expiratory flow dewasa menunjukkan angka yang rendah
dan berubah-rubah atau jika pasien mengalami kesulitan
14
merapatkan mulut disekitar mouth piece pada peak
expiratory flow dewasa. Penting untuk dicatat bahwa,
sementara nilai laju aliran ekspirasi puncak yang normal
saja tidak dapat menyingkirkan diagnosis PPOK, nilai FEV
(volume udara yang dapat diekspirasi dalam waktu standar
selama tindakan FVC) normal yang diukur dengan
spirometer akan menyikirkan diagnosis PPOK (Francis,
2008).
b) Spirometri
Spirometri merupakan alat kuantitatif yang kuat saat
uji reversibilitas digunakan untuk mematikan diagnosis
yang tepat.Perbedaan dapat dibuat dengan membandingkan
hasil spirometri yang didapat saat episode debilitas respirasi
dengan hasil yang didapat setelah beberapa saat pemulihan.
Pada kasus asma uji reversibilitas akan menunjukkan
bahwa terjadi perbaikan setelah pemulihan, data numerik
yang diperoleh dapat berada diantara batas normal atas dan
bawah. Hal ini tidak khas pada PPOK dimana data akan
menunjukkan terjadinya sedikit perbaikan (Francis, 2008).
3) Pemeriksaan laboratorium
Menurut Murwani (2012) pemeriksaan laboratorium pada
PPOK :
a) Leukosit
15
b) Eritrosit
c) Hemoglobin
d) BBS atau LED
e) Analisa darah arteri (PO2 dan saturasi oksigen)
f) Semuanya sama dengan penyakit primernya
4) Photo thoraks
Menurut Murwani (2012) photo thoraks meliputi :
a) Bayangan lobus
b) Corakan paru bertambah (bronkitis akut)
c) Defesiensi arterial corakan paru bertambah (emfisiema)
2. Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian adalah proses mengumpulkan data relevan yang
kontinue tentang respon manusia, kekuatan dan masalah klien
(Dermawan, 2012).
Pengkajian yang di lakukan pada pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronis:
1) Berapa lama pasien mengalami kesulitan pernafasaan
2) Kapan gejala muncul
3) Batasan terhadap toleransi aktifitas
4) Makanan dan pola tidur
5) Pengetahuan pasien tentang penyakit yang dialaminya
Data tambahan dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan:
16
1) Frekuensi nadi dan pernafasan
2) Sianosis
3) Pembesaran vena leher
4) Edema perifer
5) Warna, jumlah, dan konsistensi sputum
6) Tingkat kegelisahan (Smeltzer dan Bare, 2012)
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yaitu proses keperawatan yang mencakup 2 fase
analis atau sintesis data dasar menjadi pola yang bemakna dan
menuliskan pernyataan diagnosa keperawatan (Dermawan, 2012).
Setelah melakukan analisis atau sintesis dan muncul diagnosa
keperawatan, maka perawat harus melakukan prioritas diagnosa
keperawatan
menurut
kebutuhan
dasar
manusia.
Manusia
mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara
memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun
psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat
penting, bermaanfaat, atau diperlukan untuk menjaga homeostasis
dan kehidupan itu sendiri.Banyak ahli filsafat, psikologis dan
fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari
berbagi segi.Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika
mengembangkan teori tentang Kebutuhan Dasar Manusia Maslow.
Hierarki tersebut meliputi lima kategori kebutuhan dasar, yakni:
17
1) Kebutuhan fisiologis, kebutuhan fisiologis memiliki prioritas
tetinggi
dalam
hierarki
maslow,
kebutuhan
fisiologis
merupakan hal yang mutlak dipenuhi manusia untuk bertahan
hidup. Manusia memiliki delapan macam kebutuhan,yaitu:
kebutuhan oksigen dan petukaran gas, kebutuhan caian dan
elektrolit, kebutuhan makanan, kebutuhan eliminasi urine dan
alvi, kebutuhan istirahat dan tidur, kebutuhan aktivitas,
kebutuhan kesehatan temperatur tubuh, kebutuhan seksual.
2) Kebutuhan keselamatan dan rasa aman
3) Kebutuhan rasa cinta.
4) Kebutuhan harga diri.
5) Kebutuhan aktualisasi diri (Mubarak dan Cahyatin, 2008).
Berdasarkan pada semua data pengkajian, diagnosa
keperawatan utama yang dapat muncul pada pasien PPOK
menurut Smeltzer dan Bare(2012) dapat mencakup yang berikut
ini:
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan
bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk
tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
18
3) Resiko
tinggi
infeksi
pernafasan
behubungan
dengan
akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan
batuk efektif.
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernafasan dan insufinsiensif
ventilasi dan oksigen.
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan hipoksemia dan pola
pernafasan tidak efektif.
c. Intervensi keperawatan
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan,
menentukan hasil akhir perawataan klien, mengidentifikasi
tindakan keperawatan dan klien yang sesuai dan rasional
ilmiahnya, dan menetapkan rencana asuhan keperawatan, diagnosa
diprioritaskan
sesuai
dengan
keseriusan
atau
mengancam
jiwa.(Dermawan, 2012).
1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji keefektifan jalan nafas.
Rasional : Bronkhospasme dideteksi ketika terdengar
mengi saat diauskultasi dengan stetoskop. Peningkatan
pembentukan mukus sejalan dengan penurunan aksi
mukosiliaris menunjang penurunan lebih lanjut diameter.
19
b) Kolaborasi untuk pemberian bronkhodilator
Rasional : terapi aerosol membantu mengencerkan sekresi
sehingga dapat dibuang. Bronkhodilator yang dihirup
sering ditambahkan ke dalam nebulizer untuk memberikan
aksi bronkhodilator langsung pada jalan nafas, dengan
demikian memperbaiki pertukaran gas.
c) Lakukan fisioterapi dada
Raional : Setelah inhalasi bronkodilator nebuliser, klien
disarankan untuk meminum air putih untuk lebih
mengencerkan sekresi, kemudian membatukkan dengan
ekspulsif atau postural drainase akan membantu dalam
pengeluaran sekresi. Klien dibantu untuk melakukan hal
ini dengan cara yang tidak membuatnnya keletihan.
d) Kolaborasi untuk pemantauan analisis gas arteri
Rasional : sebagai bahan evaluasi setelah melakukan
intervensi.
e) Kolaborasi pemberian oksigen via nasal
Rasional : oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia.
Perawat harus memantau menggunakan alat pemberian
oksigen. Klien diinstruksikan tentang penggunaan oksigen
yang tepat dan tentang bahaya peningkatan laju aliran
oksigen
tanpa
ada
perawat.(Muttaqin, 2008)
arahan
yang
eksplisit
dari
20
2) Ketidakefektifan Bersihan jalan napas berhubungan dengan
bronkokonstriksi, peningkatan produksi lendir, batuk tidak
efektif.
Intervensi keperawatan:
a) kaji warna, kekentalan, dan jumlah sputum
Rasional : karakteristik sputum dapat menunjukkan berat
ringannya obstruksi.
b) Atur posisi semi fowler
Rasional : meningkatkan ekspansi dada.
c) Ajarkan cara batuk efektif
Rasional : batuk yang terkontrol dan efektif dapat
memudahkan pengeluaran sekret yang melekat di jalan
nafas.
d) Bantu klien latihan nafas dalam
Rasional : ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas
dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan nafas
besar untuk dikeluarkan.
e) Petahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml per hari
kecuali tidak diindikasikan.
Rasional: hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan
sekret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
21
f) Kolaborasi pemberian mukolitik dan ekspektoran
Rasional : menurunkan kekentalan dan perlengketan sekret
paru unuk memudahkan pembersihan.
g) Kolaborasi pemberian kortikosteroid
Rasional : menurunkan reaksi inflamasi akibat edema
mukosa dan dinding bronkus. (Muttaqin, 2008)
3) Resiko
tinggi
infeksi
pernafasan
berhubungan
dengan
akumulasi sekret jalan nafas dan menurunnya kemampuan
batuk efektif.
Intevensi keperawatan:
a) Kaji kemampuan batuk klien.
Rasional : batuk yang diberikan dengan infeksi bronkhial
melalui siklus yang ganas dengan trauma dan kerusakan
pada paru lebih lanjut, kemajuan gejala, peningkatan
bronkhospasme, dan peningkatan lebih lanjut terhadap
kerentaan infeksi bronkhial. Infeki menggangu fungsi paru
dan merupakan penyebab umum gagal nafas pada klien
dengan PPOK.
b) Monitor adanya perubahan yang mengarah pada tandatanda infeksi penafasan
Rasional: klien di instruksikan untuk melaporkan dengan
segera jika sputum mengalami warna, karena pengeluaran
22
sputum purulen atau peubahan karakter, warna, atau
jumlah adalah tanda dari infeksi.
c) Ajarkan latihan bernafas dan training penafasan
Rasional : latihan bernafas, sebagian besar individu
dengan PPOK bernafas dalam dari dada bagian atas
dengan cara yang cepat dan tidak efisien. Jenis bernafas
dengan dada atas ini dapat diubah menjadi bernafas
diafragmatik
dengan
latihan.Traning
diafragmatik
mengurangi
frekuensi
pernafasan
pernafasan,
meningkatkan ventilasi alveolar, dan kadang membantu
mengeluarkan
udara
sebanyak
mungkin
selama
ekspiasi.(Muttaqin, 2008)
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufiensif ventilasi
dan oksigenasi.
Intervensi keperawatan:
a) Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan pernapasan
diagframatik dengan efektivitas (misalnya berjalan dan
membungkuk).
Rasional : akan memungkinkan pasien untuk lebih aktif
dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan atau
dispnea selama aktivitas.
23
b) Berikan pasien dorongan untuk memulai mandi sendiri,
berpakaian sendiri, berjalan dan minum. Bahas tentang
tindakan penghematan energi.
Rasional : sejalan dengan teratasinya kondisi, pasien akan
mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong
untuk menghindari peningkatan ketergantungan.
c) Ajarkan tentang drainase postural bila memungkinkan
Rasional : memberikan dorongan pada pasien untuk
terlibat dalam perawatan dirinya, membantu membangun
harga diri dan menyampaikan untuk mengatasi dirumah.
(Smletzer dan Bare, 2002)
5) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan akibat keletihan,
hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif.
Intervensi keperawatan:
a) kaji kemampuan klien dalam melakukan aktifitas
Rasional : menjadi dasar dalam melakukan intervensi
selanjutnya.
b) Atur cara aktifitas klien sesuai kemampuan
Rasional : klien dengan PPOM mengalami penurunan
toleransi terhadap olahraga pada periode yang pasti dalam
satu hari, hal ini terutama tampak nyata pada saat bangun di
pagi hari, karena sekresi bronkhial dan edema menumpuk
dalam paru selama malam hari ketika individu berbaring.
24
c) Ajarkan latihan otot-otot pernafasan
Rasional
:
setelah
klien
mempelajari
pernafasan
diafragmatik, suatu program pelatihan otot-otot penafasan
dapat diberikan untuk membantu menguatkan otot-otot yang
digunakan dalam benafas (Muttaqin, 2008).
3. Orthopneic
Orthopneicya adalah posisi klien duduk di atas tempat tidur
dengan badan sedikit menelungkup diatas meja disertai bantuan dua
buah bantal (Nieniek, Dewi & Hanny, 2011).
a. Tujuan pemberian posisi Orthopneic
1) Membantu mengatasi masalah kesulitan pernapasan dengan
memberikan ekspansi dada maksimum.
2) Membantu klien yang mengalami masalah ekshalasi
b. Alat
1) Tempat tidur.
2) Bantal kecil.
3) Gulungan handuk.
4) Footboard ( Bantalan kaki)
5) Sarung tangan.
c. Bahan
Tidak dinutuhkan bahan untuk melakukan posisi Orthopneic.
d. Indikasi
Menurut Tanto (2014) :
25
1) Asma
2) PPOK
3) Fibrosis kristik
4) Bronkiektasis
5) Pneumonia pada pasien AIDS
6) Prosedur bronkoskopi
7) Obstruksi saluran nafas pada pasien dengan trakeostomi
8) Hipertensi pulmonal
e. Prosedur
1) Menyiapkan posisi klien.
2) Menyiapkan suasana dan lingkungan yang aman.
3) Menjaga privacy klien.
4) Minta
klien
untuk
memfleksikan
lututsebelum
kepala
dinaikkan.
5) Letakkan bantal kecil di atas meja yang menyilang di atas
tempat tidur (overved table).
6) Letakkan bantal di bawah kaki, mulai dari lutut sampai tumit.
7) Pastikan tidak terdapat tekanan pada area popliteal dan lutut
dalam fleksi.
8) Letakkan gulungan handuk di samping masing-masing paha.
9) Topang telapak kaki dengan menggunakan bantalan kaki.
10) Lakukan selama kurang lebih 15 menit.
11) Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan.
26
4. Status Pernafasan
Kemampuan hidup manusia bergantung pada kemampuan
oksigen (O2) untuk mencapai sel-sel tubuh dan karbon dioksida
(CO2). Pernafasan adalah mekanisme tubuh menggunakan pertukaran
udara antara atmosfir dengan darah serta dengan sel (Potter & Perry,
2005).
Pernafasan termasuk ventilasi (pergerakan udara masuk dan
keluar dari paru), difusi (pergerakan oksigen dan karbon diogsida
antara alveoli dan sel darah merah), dan perfusi (distribusi sel darah
merah ke dan dari kapiler paru). Semua dapat dikaji secara tunggal
(Potter & Perry, 2005).
Ventilasi yaitu pernafasan dikaji dengan mengobservasi derajat
penyimpangan atau gerakan dinding dada. Pernafasan yang dalam
melibatkan ekspansi penuh paru dengan ekshalasi penuh. Pernafasan
dangkal bila udara yang melewati paru hanya sedikit kuantitatisnya
dan pergerakan ventilator sulit untuk dilihat (Potter & Perry, 2005).
Frekuensi adalah gerakan pernafasan yang diatur oleh pusat
pernafasan diotak, sedangkan aktivitas stimulus (rangsangan) dari
karbon diogsida (CO2). Pada umumnya manusia mampu bernafas
antara 12-20 kali per menit. Frekuensi pernafasan dapat dipengaruhi
oleh penyakit atau keadaan sakit pada fungsi pernafasan (Potter &
Perry, 2005).
a. Faktor Yang Mempengaruhi Karakter Pernafasan menurut Potter
27
& Perry (2005) sebagai berikut :
1) Olahraga
Olahraga meningkatkan frekuensi dan kedalaman untuk
memenuhi kebutuhan tubuh untuk menambah oksigen.
2) Nyeri Akut
Nyeri akut meningkatkan frekuensi dan kedalaman sebagai
akibat dari stimulasi simpatik. Klien dapat memmperberat
pergerakan dinding dada jika ada nyeri pada area dada atau
abdomen. Nafas akan menjadi dangkal.
3) Ansietas
Ansietas meningkatkan frekuensi dan kedalaman sebagai akibat
stimulasi simpatik.
4) Merokok
Merokok
kronik
mengubah
jalan
arus
udara
paru,
mengakibatkan peningkatan frekuensi.
5) Anemia
Perubahan kadar hemoglobin menurunkan jumlah pembawa O2
dalam
darah.
Individu
bernafas
dengan
cepat
untuk
meningkatkan penghantaran O2.
6) Penyakit paru kronik
Penyakit paru kronik mengakibatkan klien menggunakan otot
leher, dinding dada, dan obdomen secara aktif untuk memaksa
pengeluaran udara yang terperangkap dalam paru-paru.
28
7) Posisi Tubuh
Postur tubuh yang lurus dan tegak, meningkatkan ekspansi
penuh paru. Posisi yang bungkuk dan telungkup mengganggu
pergerakan ventilasi.
8) Medikasi
Analgesik narkotik dan sedatif menekan frekuensi dan
kedalaman. Amfetamin dan kokain dapat meningkatkan
frekuensi dan kedalaman.
9) Cedera Batang Otak
Cedera pada batang otak mengganggu pusat pernafasan dan
menghambat frekuensi dan irama pernafasan.
b. Gangguan dalam pola nafas menurut Potter & Perry (2005) yaitu :
1) Bradipnea
Frekuensi bernafas teratur namun lambat secara tidak normal
(kurang dari 16 kali per menit)
2) Takipnea
Frekuensi bernafas teratur namun cepat secara tidak normal
(lebih dari 24 kali per menit)
3) Hiperapnea
Pernafasan
sulit,
peningkatan
kedalaman,
peningkatan
frekuensi. Secara normal terjadi setelah olahraga. (lebih dari 24
kali per menit)
29
4) Apnea
Pernafasan berhenti untuk beberapa detik. Penghentian
persisten mengakibatkan henti nafas.
5) Hiperventilasi
Frekuensi dan kedalaman pernafasan meningkat. Dapat terjadi
hipokarbia.
6) Hipoventilasi
Frekuensi
pernafasan
abnormal
dalam
kecepatan
dan
kedalaman. Ventilasi mungin mengalami depresi. Dapat terjadi
hiperkarbia.
7) Pernafasan Cheyne-Stokes
Frekuensi dan kedalaman tidak teratur, ditandai dengan periode
apnea dan hiperventilasi yang berubah-ubah. Siklus pernafasan
mulai dengan lambat, nafas dangkal yang meningkat secara
perlahan sampai frekuensi dan kedalaman yang abnormal. Pola
tersebut berbalik, bernafs lambat dan dangkal, klimaksnya pada
apnea sebelum kembali bernafas.
8) Pernafasan Kussmaul
Pernafasan dalam secara tidak normal dalam dan frekuensi
meningkat.
9) Pernafasan Biot
Pernafasan dangkal secara tidak normal untuk dua atau tiga
nafas diikuti periode apnea yang tidak teratur.
30
c. Pengkajian Pernafasan
Pernafasan adalah tanda vital yang paling mudah dikaji,
namun sering diukur secara sembrono. Pengukuran yang akurat
memerlukan observasi dan palpasi gerakan dinding dada (Potter &
Perry, 2007).
Perubahab karakter pernafasan yang tiba-tiba mungkin
penting. Karena pernafasan berhubungan erat dengan berbagai
sistem tubuh. Pengkajian pernafsan dapat sangat baik dilakukan
segera setelah mengukur frekuensi nadi, dengan tangan perawat
tetap diatas abdomen atau dada (Potter & Perry, 2007).
d. Prosedur
Menurut Potter & Perry (2005) prosedur pengkajian pernafasan
yaitu :
1) Jaga agar posisi pasien tetap selama melakukan pengukuran
kecepatan pernafasan.
2) Amati dada atau abdomen pasien selama respirasi
3) Hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan ekshalasi dihitung
sebagai satu pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme teratur,
kalikan dua jumlah tadi.
4) Jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas dalam 1 menit.
Catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm).
e. Menurut Doenges (2000) :
1) Gejala pernafasan pada PPOK
31
a) Nafas pendek (timbulnya tersembunyi dengan dispnea)
b) Sulit bernafas
c) Rasa dada tertekan
d) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari
(terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan
berturut-turut setiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi
sputum dapat banyak sekali.
e) Batuk hilang timbul, biasanya tidak produktif pada tahap
dini meskipun dapat menjadi produktif.
f) Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia
atau iritan pernafasan dalam jangka panjang misalnya rokok
sigaret atau debu (asap) misalnya asbes, debu batubara,
serbuk gergaji.
g) Pengunaan oksigen pada malam hari atau terus-menerus.
f. Tanda pernafasan pada PPOK
1) Pernafasan biasanya
cepat
dan lambat, fase ekspirasi
memanjang dengan mendengkur nafas bibir.
2) Lebih memilih posisi tiga titik (tripot) untuk bernafas
3) Penggunaan otot bantu pernafasan misalnya meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
4) Dada dapat terlihat hiperinflasi, gerakan diafragma minimal.
5) Bunyi nafas mungkin redup dengan ekspirasi mengi, menyebar,
lembut, atau krekles lembab kasar, ronki mengi sepanjang area
32
paru pada ekspirasi dan kemungkinan pada inspirasi berlanjut
sampai penurunan atau tak adanya bunyi nafas.
6) Perkusi : hiperesonan pada area paru, bunyi pekak pada area
paru misalnya konsolidasi, cairan, mukosa.
7) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
8) Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku abu-abu
keseluruhan, warna merah, atau pink puffer karena warna kulit
normal meskipun pertukaran gas tak normal dan frekuensi
pernafasan cepat.
33
B. Kerangka Teori
Gejala klinik
-batuk kronik
-dahak kronik
- Sesak nafas
Faktor Merokok
Faktor Lingkungan
-paparan asap atau
polutan
Penyakit paru obstruksi
kronis
Pemeriksaan Fisik
- Inspeksi Barrel
chest Sela iga
melebar Purse
lips breathing
Hipertrofi otot
bantu napas
- Auskultasi
Fremitus
melemah Mengi,
ronkhi Ekspirasi
memanjang
- Perkusi
Hipersonor
Faktor host
-riwayat
penyakit
keluarga atau pasien
Penatalaksanaan
-pemberian
posisi
orthopneic
Pem Penunjang
- SpirometriFEV1/
FVC
- Foto toraks
- Analisa gasdarah
- Lab darah rutin
Gambar 2.1
Kapasitas
paru
ventilasi
BAB III
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET
A. Subjek Aplikasi Riset
Subjek aplikasi riset ini adalah pemberian posisi Orthopneic
terhadap fungsi ventilasi paru pada Tn.B dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK)
B. Tempat dan Waktu
Tempat yang digunakan adalah di Ruang Agrrek 1 Rumah Sakit
Dr. Moewardi Surakarta pada tanggal 7-9 Januari 2016
C. Media dan Alat yang digunakan
1. Posisi Orthopneic.
Alat yang digunakan :
a. Tempat tidur.
b. Bantal kecil.
c. Gulungan handuk.
d. Foot board ( Bantalan kaki).
e. Sarung tangan.
f. Alat tulis
D. Prosedur tindakan
1. Posisi Orthopneic.
a. Fase Orientasi
1) Memberi salam/ menyapa paisen
2) Memperkenalkan diri
34
35
3) Menjelaskan tujuan tindakan
4) Menjelaskan langkah prosedur
5) Menanyakan kesiapan pasien
b. Fase kerja
1) Mencuci tangan
2) Mendekatkan alat-alat dengan klien
3) Memasang handscoon
4) Menyiapkan posisi klien.
5) Menyiapkan suasana dan lingkungan yang aman.
6) Menjaga privacy klien.
7) Mengukur respiratory rate pasien
8) Letakkan bantal kecil di atas meja yang menyilang di atas
tempat tidur (overbed table).
9) Meminta pasien untuk membungkuk bersandar pada overbed
table selama 15 menit
10) Mengukur kembali respiratory rate
11) Membereskan alat
12) Mencuci tangan
c. Fase Terminasi
1) Melakukan evaluasi tindakan
2) Menyampaikan rencana tindak lanjut
3) Berpamitan
d. Penampilan
36
1) Melakukan komunikasi terapiutik selama tindakan
2) Ketelitian selama tindakan
3) Menjaga keamanan pasien
4) Menjaga keamanan perawat
E. Alat ukur evaluasi dari aplikasi tindakan berdasarkan riset
Alat ukur ventilasi paru menggunakan spirometri di dalam jurnal.
Inspeksi dilakukan untuk mengevaluasi kecepatan pernafasan pasien.
Dengan
tidak
memberitahu
pasien
ketika
mengukur
kecepatan
pernafasannya.
Untuk mengukur kecepatan pernafasan:
1. Jaga agar posisi pasien tetap selama melakukan pengukuran kecepatan
pernafasan.
2. Amati dada atau abdomen pasien selama respirasi
3. Hitung jumlah pernafasan (inhalasi dan ekshalasi dihitung sebagai satu
pernafasan) dalam 30 detik, dan jika ritme teratur, kalikan dua jumlah
tadi.
4. Jika ritme tidak teratur, hitung jumlah nafas dalam 1 menit.
5. Catat nilai sebagai respirasi per menit (rpm).
37
Kecepatan Pernafasan Normal
Usia
Pernafasan (rpm)
2‐6 tahun
21‐30
6‐10 tahun
20‐26
12‐14 tahun
18‐22
Dewasa
12‐20
Lanjut usia
12‐20
Sumber : Rhonda M. Jones, (2008), terj. D. Lyrawati, (2009) dalam
Penilaian Umum dan Tanda-Tanda Vital.
Tabel 2.1
BAB IV
LAPORAN KASUS
Pada bab ini akan disampaikan studi kasus pada Tn. B selama tiga hari di
Ruang Anggrek 1 Rumah Sakit Daerah Dr. Moewardi Surakarta. Studi kasus yang
dilakukan oleh penulis meliputi pengkajian, analisa data, intervensi, implementasi,
evaluasi keperawatan
A. Identitas Pasien
Pengkajian dilakukan pada tanggal 7 Januari 2016 pukul 07.45
WIB dengan metode alloanamnesa dan autoanamnesa. Dari wawancara
tersebut didapatkan identisan pasien yaitu pasien dengan inisial Tn. B
dengan usia 62 tahun, agama Katholik, pendidikan SMP, sudah tidak
bekerja, alamat Mojosongo, tanggal masuk 27 Desember 2015, pasien
datang langsung ke IGD dengan diagnosa medis Penyakit Paru Obstruksi
Kronis, nomer register 00946296. Selain identitas pasien juga didapatkan
identitas penanggung jawab pasien yaitu dengan nama inisial Ny. S, usia
57 tahun, pendidikan SMP, sudah tidak bekrja, alamat Mojosongo,
hubungan dengan pasien adalah istri pasien.
B. Pengkajian
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 27 Desember 2016 pasien masuk IGD jam 21.00
WIB. Pasien mengeluh sesak nafas , di IGD pasien mendapatkan
terapi nebulizer berotek 16 tetes : atroven 14 tetes, Nacl 2cc, infus
38
39
Nacl 0,9% drip aminophilin 200 tetes per menit, O2 nasal kanul 3
liter,injeksi metilprentisolom 62,5 mg, ceftriaxon 2gr/24 jam,
Ranitidin 10 gr/12 jam,Vitamin C 3x200 mg, pasien juga mengatakan
masih sesak nafas dan selalu kambuh jika melakukan aktivitas yang
berlebihan dan mudah sekali capek.
Dari hasil pengkajian penulis mendapatkan riwayat penyakit
dahulu, pasien mengatakan sudah lama mengalami sesak nafas dan
selalu kontrol ke dokter, pasien juga memiliki alergi obat namun lupa
nama obatnya, pasien saat muda memiliki kebiasaan merokok.
Dalam riwayat kesehatan keluarga pasien mengatakan dalam
keluarga tidak ada riwayat penyakit menular dan menurun seperti
hipertensi, jantungm dan diabetus militus. Pasien adalah anak tunggal
dan menikah dengan Ny S dan memiliki 3 anak. Pasien tinggal sendiri
bersama istrinya.
Keterangan
:
Laki-laki
:
Perempuan
:
40
Pasien
:
Tinggal serumah
:
Gambar. 4.2
2. Pola Kesehatan Fungsional
Pola persepsi dan pemeliharaan diri, pasien mengatakan
kesehatan itu sangat penting dan ketika sakit pasien pergi ke rumah
sakit, pasien selalu kontrol ke dokter 2 bulan sekali.
Pola nutrisi metabolisme, sebelum sakit pasien mengatakan
tinggi badan : 163 cm, berat badan : 56 kg, makan 3x sehari porsi 1
piring habis dengan nasi, sayur, air putih 7 gelas dan teh 1 gelas tiap
pagi, tidak ada keluhan, selama sakit pasien mengatakan tinggi badan
163 cm, berat badan 55 kg, IMT 20,7 (cukup), hemoglobin : 11,3 g/dl,
pasien tidak mual dan muntah, makan 3x sehari 1 piring habis dengan
nasi, sayur, lauk pauk, air putih 7 gelas dan 1 gelas susu, tidak ada
keluhan.
Pola eliminas, pasien mengatakan sebelum sakit BAK 3x
sehari, warna kuning, tidak ada keluhan. BAB 1 x sehari tiap pagi,
dengan bentuk lunak dan bau yang khas, warna kuning kecoklatan dan
tidak ada keluhan. Selama sakit pasien mengatakan BAK 5 x sehari
warna kuning pekat, keluhan nafas sesak dan lemas setelah dari kamar
mandi. BAB 2 x seminggu dengan bentuk lunak dan bau yang khas,
warna kuning kecoklatan, tidak ada keluhan.
41
Pola aktivitas dan latihan, pasien mengatakan sebelum sakit
pasien makan/minum, toileting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur,
berpindah dan ambulansi secara mandiri. Selama sakit pasien
makan/minum, toileting, berpakaian, mobilisasi di tempat tidur,
berpindah dan ambulansi secara mandiri.
Pola istirahat tidur, sebelum sakit pasien mengatakan pasien
biasa tidur siang 2 jam dan pasien tidur malam 7-8 jam, tidak ada
keluhan. Selama sakit pasien mengatakan pasien tidur siang 2 jam dan
tidur malam 4-5 jam, pasien akhir-akhir ini terganggu oleh sesak nafas
dan lingkungan yang panas sehingga tidak nyaman serta tak bisa tidur.
Pola kognitif dan perseptual, sebelum sakit pasien mengatakan
dapat berbicara dengan jelas, tidak ada gangguan penglihatan dan
pendengaran. Selama sakit pasien mengatakan dapat berbicara dengan
baik, tidak ada gangguan penglihatan dan pendengaran.
Pola persepsi konsep diri, pada gambaran diri pasien
mengatakan optimis dengan kondisi tubuhnya saat ini. Ideal diri
pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan ingin cepat pulang. Harga
diri pasien mengatakan merasa disayangi dan di hargai oleh istri dan
anak-anaknya. Peran diri, pasien mengatakan tidak bisa menjalankan
tugas sebagai suami ketika sakit. Identitas diri, pasien mengatakan
seorang ayah dan kakek, pasien memiliki 3 orang anak dan 2 orang
cucu.
42
Pola mekanisme koping, pasien mengatakan tidak terlalu cemas
dengan sakitnya saat ini, pasien terlihat tabah menerima dan
menghadapi
penyakitnya,
jika
memiliki
masalah
pasien
mendiskusikan dengan istrinya dan berdoa kepada tuhan.
Pola nilai dan keyakinan, pasien mengatakan beragama
khatolik dan pasien selalu beribadah dan berdoa demi kesehatannya.
3. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan, keadaan umum pasien baik namun terlihat
lemas. Tingkat kesadaran penuh (composmentis) dengan nilai GCS
(Glasgow Coma Scale) = 15 (E= 4, V= 5, M= 6), hasilpemeriksaan
tanda-tanda vital didapatkan tekann darah 150/90 mmHg, nadi dengan
frekuensi 92x/menit irama teratur dan terisi kuat, respiratory rate
dengan frekuensi 30x/menit irama cepat dan dalam, suhu 36,0
°C/aksila.
Bentuk kepala mesochepal tidak ada cedera, kulit kepala
sedikit lembab dan tidak ada ketombe, rambut lurus pendek beruban.
Bentuk muka simetris kanan dan kiri, palpebra terlihat sedikit hitam,
konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor, diameter
kanan dan kiri 2 mm simetris kanan dan kiri, reflek terhadap cahaya
positif, dan pasien tidak menggunakan alat bantu penglihatan. Lubang
hidung tidak ada polip, bernafas dengan cuping hidung dan terpasang
O2 nasal kanul 2 liter per menit. Mulut simetris, mukosa bibir kering
dan tidak sianosis. Gigi tampak kekuningan dan terdapat lubang pada
43
gigi bagian kanan dan kiri bawah bagian belakang. Telinga simetris,
tidak terdapat gangguan pendengaran. Leher tidak ada pembesaran
kelnjar tyroid dan tidak ada kaku kuduk.
Pada pemeriksaan paru-paru : inspeksi bentuk dada barel chest
simetris kanan dan kiri, bernafas dengan otot bantu pernafasan,
palpasi : vocal fremitus danan dan kiri sama, perkusi hiper sonor,
auskultasi terdengar suara vasekuler menurun dan wheezing.
Abdomen : inspeksi bentuk simetris kanan dan kiri, auskultasi bising
usus 5 x/menit, perkusi terdengar pekak pada kuadran I dan terdengar
tympani pada kuadran II, III, IV, palpasi tidak teraba masa dan tidak
ada nyeri tekan. Jantung : inspeksi bentuk kanan dan kiri sama dan
ictus cordis tidak tampak, palpasi ictus cordis teraba pada ICS 4
kelima di mid klavikula, perkusi pekak, auskultasi tidak ada suara
tambahan reguler.
Genetalia bersih, tidak memiliki penyakit kelamin dan tidak
menggunakan kateter. Rektum tidak terdapat hemoroid. Ekstrimitas
atas dan bawah kekuatan otot kanan dan kiri 5, capilary refile < 2
detik, akral hangat dan tidak ada perubahan bentuk tulang.
4. Data Penunjang
Pada pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada tanggal 05 januari 2016 di dapatkan hasil sebagai
44
berikut : hemoglobin 11,3 g/dl (nilai normal 13,5- 17, 5), hematokrit
37% (33-45%), leukosit 9,7 ribu/uL (4,5-11,0), trombosit 185 ribu/uL
( 150-450), monosit 3,39 juta/uL (4,50-5,90), SGOT 37 u/L (<35),
SGPT 37 u/L (<45), albumin 3,5 u/L (3,2-4,6), MCV 95,7 fL (80,0 –
96,0) MCH 33,3 pg (28 – 33), MCHC 34,8 g/dl (33 – 36), RDW
12,7% (11,6 – 14,6), MPV 8,4 fL.
Pada tanggal 7-1-2016 terapi yang di berikan yaitu adalah infus
Nacl 0,9% 20 tpm fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan
elektrolit, injeksi metil pretnisolon 62,8 gr/8 jam, ceftriaxon 2gr/ 24
jam fungsinya untuk mengobati infeksi saluran nafas dalam,
C. Perumusan Masalah Keperawatan
Dari hasil pengkajian dan observasi diatas penulis merumuskan
masalh utama yaitu ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi dengan alasan karna merupakan keluhan utama yang
dirasakan pasien dan harus segera ditangani. Prioritas diagnosa
keperawatan Tn.B adalah ketidak efektifan pola nafas berhubungan
dengan hiperventilasi. Data penunjang diagnosa keperawatan tersebut
meliputi data subyektif pasien mengatakan saat ini masih merasakan sesak
nafas. Data obyektif yang didapat adalah = inspeksi pasien bernafas dengan
cuping hidung, pasien menggunakan otot bantu pernafasan, palpasi : vocal
fremitus kanan dan kiri sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar
suara vasekuler menurun dan suara wheezing. Tekanan darah : 150/90
45
mmHg, nadi : 92 x/menit, suhu : 36,0 ˚C/aksila, respiratori rate : 30
x/menit.
Dan untuk masalah keperawatan yang kedua penulis merumuskan
masalah gangguan pola tidur berhubungan dengan. Dengan data
penunjang meliputi data subyektif pasien mengatakan pasien tidur siang 2
jam dan tidur malam 4-5 jam, pasien akhir-akhir ini terganggu oleh sesak
nafas dan lingkungan yang panas sehingga tidak nyaman serta tak bisa
tidur. Dan data obyektif palpebra pasien tampak agak hitam, tekanan darah
: 150/90 mmHg, pasien terlihat lemas.
Diagnosa ketiga penulis merumuskan masalah intoleransi aktivitas
dengan gangguan ketidak seimbangan suplai O2. Dengan data penunjang
meliputi data subyektif pasien mengatakan masih sesak nafas dan selalu
kambuh jika melakukan aktivitas yang berlebihan dan mudah sekali capek
. Data obyektif pasien tampak kelelahan setelah dari kamar mandi, pasien
tampak lemas.
D. Prioritas Diagnosa Keperawatan
Hasil analisa di atas, maka penulis membuat prioritas diagnosa
keperwatan yang pertama ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, yang kedua intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidak seimbangan suplai O2, yang ketiga gangguan pola tidur
berhubungan dengan proses penyakit.
E. Perencanaan Kperawatan
46
Setelah ditemukan maslaha keperawatan, kriteria hasil yang ungin
dicapai berdasarkan SMART, S (Spesifik), M (Measureble), A
(Achieveable), R (Region), T (Time). Penulis melakukan intervensi
keperawatan berdasarkan ONEC, O (Observation), N (nursing), E
(education), C (Colaboration). Pada diagnosa pertama, tujuan kriteria
hasil yang ingin dicapai adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3 x 24 jam, diharapkan ketidakefektifan pola nafas pasien teratasi
dengan kriteria hasil : RR (Respirotory Rate) dalam batas normal, mampu
melakukan posisi orthopneic secara mandiri, pasien bernafas normal.
rencana keperawatan yaitu obsevasi status pernafasan pasien, rasional
untuk mengetahui keadaan pernafasan pasien. Berikan posisi orthopneic,
rasional untuk memudahkan jalan nafas pasien. Menjelaskan manfaat
oksigen nasal kanul, rasional untuk memberikan pengetahuan pada pasien.
Berikan terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter, rasional untuk
memberikan tambahan oksigen.
Diagnosa yang kedua, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai
adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien
menyatakan nyaman, tanda-tanda vital dalam batas normal, pasien tidak
tampak kelelahan. rencana keperawatan yaitu pantau frekuensi nafas
sebelum dan sesudah beraktivitas dengan rasional dapat menunjukkan
toleransi aktivitas, kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan
aktivitas dan latihan dengan rasional untuk mengetahui kemampuan pasien
47
dalam beraktivitas, tentukan penyebab keletihan dengan rasional untuk
mengetahui penyebab keletihan, dan bantu dengan aktivitas fisik teratur
dengan rasional untuk melatih pasien dalam melakukan aktivitas dan
latihan secara mandiri.
Pada diagnosa yang ketiga, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai
adalah setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan pola tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur
7-8 jam per hari, pasien tampak segar, kantung mata tidak hitam. rencana
keperawatan yaitu observasi jumlah jam tidur pasien, rasional untuk
memantau kebutuhan tidur pasien. Berikan lingkungan yang nyaman,
rasional untuk memberikan kenyamanan. Diskusikan pentingnya tidur
adekuat, rasional untuk memberikan pengetahuan pada pasien dan
keluarga pasien. Kolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang
diberikan dokter, rasional untuk mempercepat proses penyembuhan.
F. Implementasi Keperawatan
Tanggal 07 Januari 2014, tindakan keperawatan yang dilakukan
berdasarkan dignosa yang pertama yaitu pada jam 07.45 mengobservasi
tanda-tanda vital dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia
untuk dialkukan pemeriksaan TTV, dan respon obyektif keadaan umum
composmentis, tekanan darah 150/90 mmHg, nadi 92 x/menit, suhu 36,0
˚C/aksila, dan pernafasan 30 x/menit. Jam 08.30 memberikan posisi
orthopneic dengan respon subyektif pasien mengatakan masih sering sesak
nafas dan merasa asing dengan posisi orthopneic, dan data obyektif RR
48
sebelum dilakukan 30x/ menit, RR setelah dilakukan tindakan selama 15
menit menjadi 25x/ menit. Jam 11.30 memberikan O2 nasal kanul sesuai
advis dokter dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk
diberi terapi oksigen, dan data obyektif Tn.B tampak menghirup O2.
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yaitu, jam 09.00
memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas dengan respon
subyektif pasien mengatakan sesak lagi sehabis dari kamar mandi, dan data
obyektif Tn.B tampak kelelahan, frekuensi nafas sebelum beraktivitas 25x/
menit dan sesudah beraktivitas 32x/ menit. Jam 09.30 mengkaji tingkat
kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan dengan respon
subyektif pasien mengatakan sering lelah dan kembali sesak jika berjalan
jauh namun pasien juga mengatakan sekarang sudah bisa berjalan lebih
jauh, dan respon obyektif Tn.B tampak kelelahan dan sesak nafas. Jam
10.00 menentukan penyebab kelelahan dengan respon subyektif pasien
mengatakan belum terbiasa berjalan tidak menggunakan oksigen, dan data
obyektif Tn.B selalu mengenakan nasal kanul. Jam 10.30 membantu
aktivitas fisik yang teratur dengan respon subyektif pasien mengatakan
akan meminta bantuan perawat atau istri pasien saat akan ke kamar mandi,
data obyektif Tn.B tampak kelelahan dan hanya berbaring di bed.
Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yaitu, jam 11.00
memberikan obat sesuai resep yang diberikan dokter dengan respon
subyektif pasien mengatakan bersedia untuk disuntik, dan data obyektif
Tn.B tampak mendapat suntikan IV ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 2
49
gr/24 jam. Jam 12.00 mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan
respon subyektif pasien mengatakan malam hari sering terbangun karna
sesak nafas dan lingkungan yang panas, data obyektif pasien tampak
lemah, kantung mata hitam dan tidur malam 4-5 jam siang 2 jam. Jam
13.00 mendiskusikan pentingnya tidur adekuat dengan respon subyektif
keluarga pasien mengatakan bila malam pasien sering terbangun meminta
untuk dikipasi, data obyektif keluaraga pasien tampak mengerti edukasi
yang diberikan untuk mengontrol tidur pasien dan bersikap tenang saat
pasien tidur dan juga memberikan lingkungan yang nyaman. Jam 14.00
memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon subyektif pasien
mengatakan ingin tidur dengan satu bantal dan tirai ditutup dan udara
sangat panas karena kipasnya sedang di perbaiki, dan data obyektif Tn.B
tampak nyaman dengan posisinya dan keluarga tampak tidak berisik.
Tanggal 8 Januari 2016, tindakan keperawatan yang dilakukan
untuk diagnosa pertama yaitu pada jam 07.45 mengobservasi tanda-tanda
vital dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk dialkukan
pemeriksaan TTV, dan respon obyektif keadaan umum composmentis,
tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 88 x/menit, suhu 36,0 ˚C/aksila, dan
pernafasan 31 x/menit. Jam 08.30 memberikan posisi orthopneic dengan
respon subyektif pasien mengatakan merasakan manfaat posisi orthopneic,
dan data obyektif RR sebelum dilakukan 31x/ menit, RR setelah dilakukan
tindakan selama 15 menit menjadi 26x/ menit. Jam 11.30 memberikan O2
nasal kanul sesuai advis dokter dengan respon subyektif pasien
50
mengatakan bersedia untuk diberi terapi oksigen, dan data obyektif Tn.B
tampak menghirup O2.
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yaitu, jam 09.00
memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas dengan respon
subyektif pasien mengatakan sesak lagi sehabis dari kamar mandi namun
pasien melakukan posisi orthopneic secara mandiri, dan data obyektif Tn.B
tampak kelelahan, frekuensi nafas sebelum beraktivitas 26x/ menit dan
sesudah beraktivitas 28x/ menit. Jam 09.30 mengkaji tingkat kemampuan
pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan dengan respon subyektif
pasien mengatakan sering lelah dan kembali sesak jika berjalan jauh
namun pasien juga mengatakan sekarang bisa mengatasi dengan posisi
orthopneic, dan respon obyektif Tn.B tampak kelelahan. Jam 10.00
menentukan penyebab kelelahan dengan respon subyektif pasien
mengatakan ingin latihan tidak pakai oksigen karena sudah ingin pulang,
dan data obyektif Tn.B kadang melepas nasal kanul. Jam 10.30 membantu
aktivitas fisik yang teratur dengan respon subyektif pasien mengatakan
akan meminta bantuan perawat atau istri pasien saat akan ke kamar mandi,
data obyektif Tn.B tampak kelelahan dan hanya berbaring di bed.
Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yaitu, jam 11.00
memberikan obat sesuai resep yang diberikan dokter dengan respon
subyektif pasien mengatakan bersedia untuk disuntik, dan data obyektif
Tn.B tampak mendapat suntikan IV ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 2
gr/24 jam. Jam 12.00 mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan
51
respon subyektif pasien mengatakan semalam sudah agak lama tidurnya
karena lingkungan tidak begitu gerah, data obyektif pasien tampak masih
lemah, kantung mata masih hitam dan tidur malam 5-6 jam siang 2 jam.
Jam 13.00 mendiskusikan pentingnya tidur adekuat dengan respon
subyektif keluarga pasien mengatakan bila malam pasien masih sering
terbangun meminta untuk dikipasi, data obyektif keluaraga pasien tampak
mengerti edukasi yang diberikan untuk mengontrol tidur pasien dan
bersikap tenang saat pasien tidur dan juga memberikan lingkungan yang
nyaman. Jam 14.00 memberikan lingkungan yang nyaman dengan respon
subyektif pasien mengatakan ingin tidur dengan satu bantal dan tirai
ditutup dan udara masih tetap panas, dan data obyektif Tn.B tampak
nyaman dengan posisinya dan keluarga tampak tidak berisik.
Tanggal 9 Januari 2016, tindakan keperawatan yang dilakukan
untuk diagnosa pertama yaitu pada jam 07.45 mengobservasi tanda-tanda
vital dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia untuk dialkukan
pemeriksaan TTV, dan respon obyektif keadaan umum composmentis,
tekanan darah 140/80 mmHg, nadi 90 x/menit, suhu 36,0 ˚C/aksila, dan
pernafasan 29x/menit. Jam 08.30 memberikan posisi orthopneic dengan
respon subyektif pasien mengatakan sudah biasa menggunakan terapi
posisi orthopneic, dan data obyektif RR sebelum dilakukan 29x/ menit,
RR setelah dilakukan tindakan selama 15 menit menjadi 24x/ menit. Jam
11.30 memberikan O2 nasal kanul sesuai advis dokter dengan respon
52
subyektif pasien mengatakan bersedia untuk diberi terapi oksigen, dan data
obyektif Tn.B tampak menghirup O2.
Tindakan keperawatan pada diagnosa kedua yaitu, jam 09.00
memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas dengan respon
subyektif pasien mengatakan belum beraktivitas seperti biasa, dan data
obyektif Tn.B tampak tidak mengalami kelelahan. Jam 09.30 mengkaji
tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan dengan
respon subyektif pasien mengatakan sekarang sudah bisa berjalan ke kamar
mandi tanpa lelah, dan respon obyektif Tn.B tampak tidak lelah. Jam 10.00
menentukan penyebab kelelahan dengan respon subyektif pasien
mengatakan semalam jika berjalan sambil berbicara jadi mudah lelah, dan
data obyektif Tn.B selalu mengenakan nasal kanul. Jam 10.30 membantu
aktivitas fisik yang teratur dengan respon subyektif pasien mengatakan
ingin berjalan ke kamar mandi, data obyektif Tn.B tampak sedikit lelah
dengan RR 28x/menit.
Tindakan keperawatan pada diagnosa ketiga yaitu, jam 11.00
memberikan obat sesuai resep yang diberikan dokter dengan respon
subyektif pasien mengatakan bersedia untuk disuntik, dan data obyektif
Tn.B tampak mendapat suntikan IV ranitidin 50 mg/12 jam, ceftriaxon 2
gr/24 jam. Jam 12.00 mengobservasi jumlah jam tidur pasien dengan
respon subyektif pasien mengatakan malam hari sekarang sudah bisa tidur
dan tidak panas lagi karena kipas sudah diperbaiki, data obyektif pasien
tampak segar, kantung mata hitam mulai berkurang dan tidur malam 6-7
53
jam siang 2 jam. Jam 13.00 mendiskusikan pentingnya tidur adekuat
dengan respon subyektif keluarga pasien mengatakan sekarang tidurnya
sudah nyenyak tapi Tn B sering membaca buku sampai larut malam, data
obyektif keluaraga pasien tampak mengerti edukasi yang diberikan untuk
mengontrol tidur pasien dan bersikap tenang saat pasien tidur dan juga
memberikan lingkungan yang nyaman. Jam 14.00 memberikan lingkungan
yang nyaman dengan respon subyektif pasien mengatakan ingin tidur
dengan satu bantal dan tirai ditutup dan udara tipas angin dinyalakan, dan
data obyektif Tn.B tampak nyaman dengan posisinya dan keluarga tampak
tidak berisik.
G. Evaluasi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan , hasil evaluasi pada
tanggal 7 Januari 2016 dengan metode SOAP, diagnosa pertama hasilnya
adalah subyektif pasien mengatakan masih sering sesak nafas dan merasa
asing dengan posisi orthopneic. Obyektif auskultasi terdengar suara
wheezing, tekanan darah : 150/90 mmHg, nadi : 90 x/menit, suhu : 36,0
˚C/aksila, RR (Respiratory Rate) : 32x/menit. Analisis masalah
keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi
yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda vital, berikan posisi
orthopneic.
Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan sering sesak
nafas sehabis dari kamar mandi, pasien tidak kuat beraktivitas berjalan
jauh. Obyektif pasien tampak kelelahan, RR 32x/menit dan pasien
54
menggunakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit. Analisis masalah
belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang
dilanjutkan meliputi memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah
aktivitas, mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
dan latihan, membantu aktivitas fisik yang teratur.
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan tiap malam
terbangun karena sesak nafas dan panas. Obyektif pasien tampak lemah,
kantung mata hitam. Analisis masalah belum teratasi. Planning lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam
tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya
tidur adekuat, berikan obat sesuai jadwal dan dosis.
Hasil evaluasi tanggal 8 Januari 2016 diagnosa pertama yaitu
subyektif pasien mengatakan pasien merasakan manfaat posisi orthopneic.
Obyektif tekanan darah : 140/90 mmHg, nadi : 88 x/menit, suhu : 36,0
˚C/aksila, RR (Respiratory Rate) : 28x/menit. Analisis masalah
keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi
yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda vital, berikan posisi
orthopneic.
Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengtakan sesak nafas
setelah dari kamar mandi namun dapat diatasi dengan posisi orthopneic
secara mandiri. Obyektif pasien tampak kelelahan, RR 28x/menit dan
pasien menggunakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit. Analisis
masalah belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi yang
55
dilanjutkan meliputi memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah
aktivitas, mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
dan latihan, membantu aktivitas fisik yang teratur.
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien semalam bisa tidur agak
lama karena lingkungan tidak begitu gerah. Obyektif pasien tampak lemah,
kantung mata hitam tidur 5-6 jam saat malam dan 2 jam di siang hari..
Analisis masalah belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan
intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur pasien,
berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat,
berikan obat sesuai jadwal dan dosis.
Hasil evaluasi tanggal 9 Januari 2016 diagnosa pertama yaitu
subyektif pasien mengatakan sudah terbiasa dengan posisi orthopneic.
Obyektif tekanan darah : 140/80 mmHg, nadi : 90 x/menit, suhu : 36,0
˚C/aksila, RR (Respiratory Rate) : 28x/menit. Analisis masalah
keperawatan belum teratasi. Planning lanjutkan intervensi dan intervensi
yang dilanjutkan meliputi observasi tanda-tanda vital, berikan posisi
orthopneic.
Diagnosa kedua hasilnya, subyektif pasien mengatakan sesak jika
digunakan berbicara sambil berjalan dan pasien ingin latihan tidak
menggunakan oksigen karena mau pulang. Obyektif pasien tampak
kelelahan, RR 28x/menit dan pasien menggunakan oksigen nasal kanul 2
liter per menit. Analisis masalah belum teratasi. Planning lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi memantau frekuensi
56
nafas sebelum dan sesudah aktivitas, mengkaji tingkat kemampuan pasien
untuk melakukan aktivitas dan latihan, membantu aktivitas fisik yang
teratur.
Diagnosa ketiga hasilnya, subyektif pasien mengatakan sudah tidak
kepanasan lagi karena kipas angin sudah di perbaiki. Obyektif pasien
tampak segar, kantung mata hitam mulai menghilang tidur malam 6-7 jam.
Analisis masalah teratasi sebagian. Planning lanjutkan intervensi dan
intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur pasien,
berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat,
berikan obat sesuai jadwal dan dosis.
BAB V
PEMBAHASAN
Pembahasan pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang
“Pemberian posisi Orthopneic Terhadap Fungsi ventilasi paru pada Asuhan
Keperawatan Tn.B dengan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang
Anggrek 1 RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Disamping itu bab ini penulis
juga akan membahas tentang faktor pendukung dan kesenjangan-kesenjangan
yang terjadi antara teori dan kenyataan yang meliputi pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi, dan evaluasi. Prinsip dari
pembahasan ini memfokuskan pada kegawat daruratan dalam pemenuhan
kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan.
A. Pengkajian
Pengkajian
mengumpulkan
adalah
informasi
pemikiran
atau
data
dasar
yang
tentang
bertujuan
pasien,
agar
untuk
dapat
mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan
keperawatan pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. Tujuan dari
pengkajian adalah untuk memperoleh informasi tentang keadaan kesehatan
pasien, menentukan masalah keperawatan dan kesehatan pasien, menilai
keadaan kesehatan pasien, membuat keputusan yang tepat dalam menentukan
langkah – langkah berikutnya (Dermawan, 2012).
57
58
Penulis melakukan pengkajian pada tanggal 7 Januari 2016 dengan
alloanamnesa dan autoanamnesa. Hasil yang didapat yaitu data subyektif
pasien mengatakan masih sering sesak nafas, dan dari hasil pemeriksaan
tanda-tanda vital, tekanan darah : 150/90 mmHg, nadi : 92 x/menit, suhu :
36,0 ˚C/aksila, respiratori rate : 30 x/menit.
Serangan PPOK ditandai dengan keluhan pasien batuk kronis, sputum
yang produktif, mudah terkena iritasi oleh iritan-iritan inhalan udara dingin
atau infeksi, sesak nafas, terdapat otot bantu pernafasan, hipoksia,
hiperkapnea, takipnea (Padila, 2012).
Pada Tn.B penyebab dari PPOK yang dialami yaitu karena Tn.B
memiliki riwayat perokok aktif sejak kelas 6 SD dan sudah berhenti merokok
10 tahun yang lalu.Ada beberapa penyebab dari Penyakit Paru Obstruksi
Kronik (PPOK), yaitu faktor usia, merokok, lingkungan, genetik dan keluarga
(Francis, 2008).
Asap rokok menyebabkan inflamasi epitel bronkus dan penghancur
radikal oksigen toksin pada antielastase yang pada giliranya, mengakibatkan
kerusakan elveolus dan bronkus. Kerusakan pada dinding bronkus
mengakibatkan obstruksi jalan nafas ekspirasi baik karena kehilangan
elastisitas jalan nafas, peningkatan produksi mukus, atau karena keduanya.
Obstruksi ekspirasi dengan terperangkapnya udara, meningkatkan beban kerja
pernafasan, dan ventilasi yang tidak merata mengakibatkan penurunan volume
59
pernafasan per menit. Pasien dengan obstruksi jalan nafas akan datang dengan
keluhan dipsnea, pemanjangan ekspirasi dan mengi/wheezing (Brasher, 2008).
Dalam pengkajian pemeriksaan fisik didapatkan data bahwa keadaan
umum klien composmentis. Pemeriksaan sistem pernafasan diperoleh Tn.B
batuk berdahak dan dahak tidak dapat keluar, pernafasan 30 x/menit (rentan
normal 16-24x/menit) dan susu 36,0 ˚C. Pada pemeriksaan paru-paru didapat
inspeksi bentuk dada barel chest (dada tong), menggunakan otot bantu
pernafasan, simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri
sama, perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan
suara wheezing.
Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) akan ditemukan
pemeriksaan fisik yaitu pernafasan bibir, pernafasan cuping hidung, takipnea,
dada emfisematous atau barrel chest, dengan tampilan fisik pink puffer atau
blue bloater, ekspirasi memanjang, ronki kering atau wheezing, bunyi jantung
jauh, menggunakan otot bantu nafas (Aziz dan Sidartawan, 2006).
Tn.B termasuk PPOK stadium II (PPOK sedang) yaitu dengan keluhan
sesak nafas saat beraktivitas yang tidak terlalu berat, mengi, wheezing, dan
penurunan udara yang masuk (Aziz dan Soegondo, 2006).
Menurut Landers, Mc Whorter, Filibeck, dan Robinson (2006), bahwa
posisi orthopneic dapat mengurangi dyspnea karena posisi tersebut membantu
peningkatan fungsi paru.
60
Tn.B juga mengatakan sesak nafas, dada ampek dan bertambah bila
berposisi terlentang. Hal ini sesuai dengan teori dimana tanda dan gejala dari
PPOK yaitu batuk kronis, sputum yang produktif, mudah terkena iritasi oleh
iritan-iritan inhalan udara dingin atau infeksi, sesak nafas , terdapat otot bantu
pernafasan, hipoksia, hiperkapnea, takipnea (Padila, 2012).
Selama sakit Tn.B mengatakan tidak bisa tidur, tidur hanya 3-4 jam
per hari dan sering terbangun karena merasa sesak nafas. Data dasar pada
pengkajian aktivitas/istirahat pasien dengan PPOK menyatakan bahwa pasien
PPOK akan mengalami distress pernafasan dan perlu tidur dalam posisi duduk
tinggi (Doengoes, 2000).
Terapi yang diberikan pada Tn.B adalah infus Nacl 0,9% 20 tetes per
menit fungsinya untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit, injeksi asam
tranexamat 500 mg/8 jam fungsinya untuk mengatasi perdarahan abnormal
dan gejala lain seperti hipertensi, injeksi ranitidin 50 mg/12 jam fungsinya
untuk mengobati tukak lambung, injeksi ceftriaxon 2 gr/24 jam fungsinya
untuk mengobati infeksi saluran nafas dalam, diavon 80 mg x 1 fungsinya
untuk menurunkan tekanan darah tinggi, bisoprolol 1,25 mg x 1 fungsinya
untuk pengobatan hipertensi, vitamin C 250 mg x 3 fungsinya untuk
memperkuat daya tahan tubuh. (ISO, 2014)
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinik mengenai respon
individu, keluarga dan komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses
61
kehidupan yang aktual atau potensial yang merupakan dasar untuk memilih
intervensi keperawatan untuk mencapai hasil yang merupakan tanggung
jawab perawat. Tujuan adalah mengarahkan rencana asuhan keperawatan
untuk membantu klien dan keluarga beradaptasi terhadap penyakit dan
menghilangkan masalah keperawatan kesehatan (Dermawan, 2012).
Berdasarkan hasil pengkajian pada tanggal 7 Januari 2016 didapat
hasil untuk diagnosa pertama, yaitu data subyektif pasien mengatakan sesak
nafas dan dada ampek dan bertambah saat posisi terlentang, data obyektif
pasien tampak bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir, pasien
tampak menggunakan otot bantu pernafasan dan pasien tampak kelelahan,
respiratory rate 30x permenit. Maka penulis memunculkan masalah
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi (Bruner &
Suddarth, 2002).
Ketidakefektifan pola nafas merupakan inspirasi dan atau ekspirasi
yang tidak memberi ventilasi yang adekuat (Nanda, 2014). Batasan
karakteristik ketidakefektifan pola nafas yaitu perubahan kedalaman
pernafsan, perubahan ekskrursi dada, mengambil tiga titik, bradipnea,
perubahan tekanan ekspirasi, perubahan tekanan inspirasi, perubahan ventilasi
semenit, perubahan kapasitas vital, dispnea, pernafasan cuping hidung,
ortopnea, fase ekspirasi memanjang, pernafasan bibir, takipnea, penggunaan
otot aksesoris untuk bernafas (Nanda, 2014). Sedangkan batasan karakteristik
yang muncul pada Tn.B yaitu sesak nafas dan dada ampek dan bertambah saat
62
posisi terlentang, bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir, pasien
tampak menggunakan otot bantu pernafasan dan pasien tampak kelelahan.
Pada masalah ketidakefektifan pola nafas penulis menentukan etiologi
hiperventilasi, karena adanya gangguan klinis yang ditandai dengan
hipersekresi mukus yang menyebabkan penyempitan jalan nafas perifer
dengan pencerminan bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir
(Marton,dkk 2012).
Pada diagnosa kedua saat pengkajian didapat data subyektif pasien
mengatakan masih sesak nafas dan selalu kambuh jika melakukan aktivitas
yang berlebihan dan mudah sekali capek, data obyektif pasien tampak
kelelahan setelah dari kamar mandi, pasien tampak lemas, respiratory rate
30x/menit. Dari pengkajian dan observasi penulis menegakkan diagnosa
keperawatan intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
suplai oksigen.
Intoleransi aktivitas adalah ketidakcukupan energi psikologis atau
fisiologis untuk melanjutkan atau menyelesaikan aktivitas kehidupan seharihari yang harus atau yang ingin dilakukan. Batasan karakteristik yang ada
pada masalah keperawatan ini yaitu, respon tekanan darah abnormal terhadap
aktivitas, respon frekuensi jantung abnormal terhadap aktivitas, perubahan
EKG yang mencerminkan aritmia, perubahan EKG yang mencerminkan
iskemia, ketidaknyamanan setelah beraktivitas, menyatakan merasa letih, dan
menyatakan merasa lemah (Herdman, 2011 : 157). Sedangkan pada
63
pengkajian Tn B penulis menemukan bahwa pasien tampak lemah dan
kelelahan setelah dari kamar mandi. Data tersebut sesuai dengan teori karena
selama eksaserbasi dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi perfusi. Hal
ini menyebabkan berkurangnya asupan oksigen. (kamangar, 2010)
Pada diagnosa ketiga saat pengkajian didapat data subyektif pasien
mengatakan tiap malam terbangun karna sesak nafas dan lingkungan yang
berisik. Data obyektif pasien tampak lemah, kantung mata hitam dan tidur
malam 4–5 jam per hari. Maka penulis memunculkan masalah gangguan pola
tidur berhubungan dengan sesak nafas.
Gangguan pola tidur merupakan gangguan kualitas dan kuantitas
waktu tidur akibat faktor eksternal (Nanda, 2014). Batasan karakteristik
gangguan pola tidur yaitu perubahan pola tidur normal, penurunan
kemampuan berfungsi, ketidakpuasan tidur, menyatakan sering terjaga,
menyatakan mengalami kesulitan tidur, menyatakan tidak merasa cukup
istirahat (Nanda, 2014). Pasien dengan sesak nafas juga akan mengalami
gangguan pola tidur karena mengalami distress pernafasan (Doengoes, 2000).
Data pasien melaporkan sering terjaga dimalam hari sudah terkaji oleh penulis
dan sudah terdokumentasikan pada asuhan keperawatan Tn.B.
Untuk
menentukan
prioritas
masalah
keperawatan
penulis
menggunakan Teori Hierarki Maslow yaitu terdapat lima kebutuhan dasar
manusia yang harus tepenuhi, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan
64
keselamatan dan rasa aman, kebutuhan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri,
dan kebutuhan aktualisasi diri (Mubarak dan Cahyatin, 2008).
Hasil analisa diatas, maka penulis membuat prioritas diagnosa
keperawatan yang pertama ketidakefektifan bersihan jalan nafas dengan sekret
yang berlebih, yang kedua keetidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi, yang ketiga gangguan pola tidur berhubungan dengan sesak
nafas.
C. Intervensi Keperawatan
Intervensi adalah memprioritaskan diagnosa keperawatan, menentukan
hasil akhir perawataan klien, mengidentifikasi tindakan keperawatan dan klien
yang sesuai dan rasional ilmiahnya, dan menetapkan rencana asuhan
keperawatan, diagnosa diprioritaskan sesuai dengan keseriusan atau
mengancam
jiwa.
Tujuannya
adalah
untuk
mengidentifikasi
fokus
keperawatan kepada pasien atau kelompok, untuk membedakan tangguang
jawab perawat dengan profesi kesehatan lain, untuk menyediakan suatu
kriteria guna pengulangan dan evaluasi keperawatan, untuk menyediakan
kriteria dan klasifikasi pasien (Dermawan, 2012).
Pada diagnosa pertama, penulis mencantumkan tujuan dan kriteria
hasil setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, daharapkan
pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman,
tanda-tanda vital dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan (NOC,
2014). Rencana keperawatan yaitu obsevasi status pernafasan pasien, dalam
65
teori observasi status pernafasan berfungsi untuk mengetahui pola nafas dan
adanya bunyi tambahan yang ada ganguan (Smeltzer, 2002). Berikan posisi
Orthopneic, menurut teori posisi Orthopneic untuk meningkatkan ekspansi
dada. Menjelaskan manfaat oksigen nasal kanul, menurut teori klien
diinstruksikan tentang penggunaan oksigen yang tepat dan tentang bahaya
peningkatan laju aliran oksigen tanpa ada arahan yang eksplisit dari perawat.
Berikan terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter, menurut teori oksigen
diberikan ketika terjadi hipoksemia. (Muttaqin, 2008)
Pada diagnosa kedua, tujuan dan kriteria hasil yang ingin dicapai
adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pasien menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas dengan kriteria
hasil berdasarkan NOC (Nursing Outcames Classification) : menurunnya
keluhan tentang sesak nafas setelah melaksanakan aktivitas, mampu
melakukan ADL secara mandiri, menyeimbangkan aktivitas dan istirahat
(Wilkinson & Ahern, 2012).
Rencana keperawatan yaitu obsevasi status pernafasan pasien, dalam
teori observasi status pernafasan berfungsi untuk mengetahui pola nafas dan
adanya bunyi tambahan yang ada ganguan (Smeltzer & Bare, 2002). Pantau
frequensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas dengan rasional dapat
menunjukan toleransi aktivitas, berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang
teratur dengan raional dapat membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
ADLnya secara mandiri, kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan
66
ADL dengan rasional untuk mengetahui kemampuan pasien dalam
beraktivitas, tentukan penyebab keletihan dengan rasional untuk mengetahui
penyebab keletihan (Wikinson & Ahern, 2012).
Pada diagnosa ketiga, tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah
setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola
tidur pasien terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur 7-8 jam per hari,
pasien tampak segar, kantung mata tidak hitam (NOC, 2014). Rencana
keperawatan yaitu observasi jumlah jam tidur pasien, rasional untuk
memantau kebutuhan tidur pasien. Berikan lingkungan yang nyaman, rasional
untuk memberikan kenyamanan. Diskusikan pentingnya tidur adekuat,
rasional untuk memberikan pengetahuan pada pasien dan keluarga pasien.
Kolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter, rasional
untuk mempercepat proses penyembuhan (Doengoes, 2000).
D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat untuk membantu pasien dar masalh status kesehatan yang lebih baik
yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan (Darmawan, 2012).
Penulis melakukan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosa
keperawatan yang muncul pada pasien sesuain dengan tujuan, kriteria hasil
dan rencana yang ditetapkan.
Tindakan yang dilakukan pada Tn.B untuk diagnosa pertama penulis
sesuaikan dengan rencana keperawatan dalam intervensi pada diagnosa
67
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Penulis
melakukan tindakan mengobservasi status pernafasan pasien, memberikan
posisi Orthopneic, menjelaskan oksigen nasal kanul, berikan terapi O2 nasal
kanul. Dalam teori observasi status pernafasan berfungsi untuk mengetahui
pola nafas dan adanya bunyi tambahan yang ada ganguan (Smeltzer, 2002).
Mengatur posisi Orthopneic pada pasien sesak nafas dilakukan sebagai
salah satu cara untuk membantu mengurangi sesak nafas, memberikan posisi
orthopneic dapat mengurangi dyspnea karena posisi tersebut membantu
peningkatan fungsi paru. (Landers, 2006).
Sebelum memberikan tindakan frekuensi nafas pasien 30x/ menit dan
setelah diberikan tindakan selama 15 menit frekuensi nafas pasien mengalami
penurunan frekuensi nafas menjadi 25x/ menit. Menurut penelitian (Niniek,
2011) Hasil penelitian menunjukan posisi orthopneic dapat meningkatkan
fungsi ventilasi paru klien PPOK lebih baik dibandingkan posisi high fowler.
Menjelaskan oksigen nasal kanul dialakukan untuk memberikan penjelasan
dan memastikan pada pasien bahwa oksigen tidak menimbulkan kecanduan
dan menjelaskan tindak kewaspadaan yang mencakup dalam penggunaan
oksigen (Brunner & Suddarth, 2002). Pemberian terapi O2 nasal kanul
dialakukan untuk oksigen diberikan ketika terjadi hipoksemia (Muttaqin,
2008).
Pasien dengan PPOK memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan
tidak dapat diberi terapi dengan oksigen yang tinggi, hal ini sangat
68
mempengaruhi kualitas hidup sehingga status pernafasan juga harus
diobservasi setiap saat (Corwin, 2002).
Tindakan keperawatan pada intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan suplai oksigen juga diberikan selama tiga hari yang
meliputi mengbservasi status pernafasan pasien, dalam teori observasi status
pernafasan. Memantau frequensi nafas sebelum dan sesudah beraktivitas,
berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang teratur, mengkaji tingkat kemampuan
pasien untuk melakukan ADL, menentukan penyebab keletihan.
Tindakan keperawatan pada gangguan pola tidur juga dilakukan
selama tiga hari yang meliputi, mengobservasi jumlah jam tidur, memberikan
lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya adekuat, kolaborasikan
pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter.
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan
keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang ditetapkan dengan
respon perilaku klien yang tampil. Tujuan dari evaluasi antara lain untuk
menentukan perkembangan kesehatan klien, menilai efektifitas dan efisiensi
tindakan keperawatan, mendapatkan umpan balik dari respon klien, dan
sebagai tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan (Dermawan, 2012).
Pada hari pertama, klien mengatakan masih sesak nafas dan dada
ampek, klien tampak kelelahan, bernafas dengan otot bantu pernafasan,
69
bernafas dengan cuping hidung dan pernafasan bibir, pasien menggunakan
oksigen nasal kanul 2 liter per menit, respiratory rate 25 x/menit, masalah
pola nafas belum teratasi, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi status pernafasan pasien, berikan posisi Orthopneic,
berikan oksigen nasal kanul sesuai advis dokter. Hasil hari kedua klien
mengatakan masih sesak nafas dan pernafasan pasien lebih nyaman, klien
masih bernafas dengan cuping hidung, menggunakan pernafasan bibir kadangkadang, dan masih menggunakan otot bantu pernafasan, pasien tampak
nyaman, masih mengguanakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit, masalah
pola nafas teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang
dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan pasien, beri posisi
Orthopneic, beri oksigen nasal kanul. Hasil hari ketiga klien mengatakan tidak
sesak nafas tetapi dada ampek, klien tampak nyaman, sedikit tampak
kelelahan, masih bernafas dengan cuping hidung dan otot bantu pernafasan,
tidak menggunakan pernafasan bibir, pasien tidak menggunakan oksigen nasal
kanul, masalah pola nafas teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan
intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi status pernafasan, beri posisi
Orthopneic.
Kriteria evaluasi yang diharapkan dari klien dengan diagnosa
ketidakefektifan pola nafas klien melaporkan tidak sesak nafas, tidak ada
sianosis, tidak ada otot bantu pernafasan (Doengoes, 2000). Menurut analisa
70
penulisan klien pada teori diatas belum mencapai kriteria evaluasi, karena
klien masih menggunakan otot bantu pernafasan.
Pada hari pertama, pasien mengatakan sesak nafas setelah dari kamar
mandi, pasien tampak kelelahan respiratory rate 32x/menit dan pasien
menggunakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit. Masalah belum teratasi,
lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi memantau
frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas, mengkaji tingkat kemampuan
pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan, membantu aktivitas fisik yang
teratur. Pada hari kedua klien mengatakan sesak nafas setelah dari kamar
mandi namun dapat diatasi dengan posisi orthopneic secara mandiri, klien
tampak kelelahan, respiratory rate 28x/menitdan pasien menggunakan oksigen
nasal kanul 2 liter per menit. Masalah belum teratasi. lanjutkan intervensi dan
intervensi yang dilanjutkan meliputi memantau frekuensi nafas sebelum dan
sesudah aktivitas, mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan
aktivitas dan latihan, membantu aktivitas fisik yang teratur.
Pada hari ketiga pasien mengatakan sesak jika digunakan berbicara
sambil berjalan dan pasien ingin latihan tidak menggunakan oksigen karena
mau pulang. pasien tampak kelelahan, RR 28x/menit dan pasien
menggunakan oksigen nasal kanul 2 liter per menit. masalah belum teratasi.
Dalam hal ini penulis hanya mengukur respiratory ratenya jasa sedangkan di
journal yang di terapkan penulis menyertakan pengukuran arus puncak
ekspirasi (APE) menggunaka Spirometri karena keterbatasan di lapangan
71
penulis hanya mengukur respiratory rate saja. Intervensi yang dilanjutkan
meliputi memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah aktivitas, mengkaji
tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan latihan, membantu
aktivitas fisik yang teratur.
Kriteria evaluasi pada diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan
dengan ketidakseimbangan suplai oksigen adalah pasien menyatakan nyaman,
tanda-tanda vital dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan. Menurut
penulis masalah pasienbelum teratasi karena masih belum terpenuhinya tandatanda vital menjadi normal dan pasien masih merasakan kelelahan.
Pada hari pertama, klien mengatakan tiap malam terbangun karena
sesak nafas dan lingkungan yang berisik, klien tampak lemah, kantung mata
hitam tidur siang 1 jam, masalah pola tidur belum teratasi, lanjutkan
intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah jam tidur
pasien, berikan lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur
adekuat, berikan obat sesuai jadwal dan dosis. Hasil hari kedua klien
mengatakan pada malam hari terbangun sebentar dan tidur lagi, klien tampak
agak segar, jumlah jam tidur siang 1 jam dan malam 4-5 jam, masalah pola
tidur teratasi sebagian, lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan
meliputi observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan yang nyaman,
diskusikan pentingnya tidur adekuat, berikan obat sesuai resep dokter. Hasil
hari ketiga klien mengatakan malam hari masih terbangun sebentar dan tidur
lagi, klien tampak agak segar, kantung mata hitam sedikit berkurang, jumlah
72
jam tidur malam 4-5 jam, siang 2 jam, masalah pola tidur teratasi sebagian,
lanjutkan intervensi dan intervensi yang dilanjutkan meliputi observasi jumlah
jam tidur, beri lingkungan yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat,
berikan obat sesuai resep dari dokter.
Kriteria evaluasi yang diharapkan dari klien dengan diagnosa
gangguan pola tidur klien melaporkan perbaikan dalam pola tidur,
mengungkapkan rasa sejahtera dan segar (Doengoes, 2000). Menurut analisa
penulisan klien pada teori diatas belum mencapai kriteria evaluasi, karena
pola jumlah jam tidur pasien kurang.
Menurut penulis setelah melaksanakan pemberian posisi orthopneic
dibuktikan dengan hasil yang didapatkan penulis sama dengan penelitian
sebelumnya dan ditandai dengan tindakan yang sudah dilaksanakan ada dalam
teori.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpuan
Setelah
penulis
melakukan
pengkajian,
penentuan
diagnosa,
perencanaan, implementasi, evaluasi serta mengaplikasikan pemberian
nebulizer dan batuk efektif terhadap status pernafasan pada Asuhan
Keperawatan pada Tn.B dengan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di
Bangsal Anggrek 1 Rumah Sakit Dr. Moewardi Soerakarta, maka dapat
ditarik kesimpulan :
1. Pengkajian
Hasil pengkajian pada Tn.B didapat data subyektif klien
mengatakan sesak nafas dan terdengar suara tambahan wheezing, pasien
tampak bernafas dengan cuping hidung, pernafasan bibir, dan bernafas
dengan otot bantu pernafasan. Pada pemeriksaan paru-paru = inspeksi
bentuk dada barel chest (dada tong), menggunakan otot bantu pernafasan,
simetris kanan dan kiri, palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama,
perkusi hipersonor, auskultasi terdengar suara vasekuler melemah dan
suara wheezing. Tekanan darah : 150/900 mmHg, nadi : 92 x/menit, suhu
: 36,0 ˚C/aksila, respiratori rate : 30 x/menit.
2. Diagnosa Keperawatan
73
74
Diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn.B dengan PPOK
yaitu, ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai
oksigen, dan gangguan tidur berhubungan dengan gangguan sesak nafas.
Diagnosa utama yang muncul pada Tn.B adalah ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi.
3. Intervensi Keperawatan
Dengan berdasarkan ONEC O (observatio), N (Nursing), E
(Education), C (Colaboration). Pada diagnosa pertama, rencana
keperawatan yaitu observasi tanda-tanda vital, jelaskan manfaat
pemberian terapi nebulizer dan batuk efektif, ajarkan batuk efektif,
berikan terapi nebulizer sesuai advis dokter.
Diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan
hiperventilasi memiliki tujuan dan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola nafas dapat
teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan nyaman, tanda-tanda
vital dalam batas normal, pasien tidak tampak kelelahan. Pada diagnosa
kedua rencana keperawatan yaitu, obsevasi status pernafasan pasien,
berikan posisi Orthopneic, jelaskan manfaat oksigen nasal kanul, berikan
terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter.
Diagnosa intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak
seimbangan suplai oksigen tujuan kriteria hasil yang ingin dicapai adalah
75
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
pola nafas dapat teratasi dengan kriteria hasil : pasien menyatakan
nyaman, tanda-tanda vital dalam batas normal, pasien tidak tampak
kelelahan. rencana keperawatan yaitu pantau frekuensi nafas sebelum dan
sesudah beraktivitas dengan rasional dapat menunjukkan toleransi
aktivitas, kaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas dan
latihan dengan rasional untuk mengetahui kemampuan pasien dalam
beraktivitas, tentukan penyebab keletihan dengan rasional untuk
mengetahui penyebab keletihan, dan bantu dengan aktivitas fisik teratur
dengan rasional untuk melatih pasien dalam melakukan aktivitas dan
latihan secara mandiri.
Diagnosa gangguan pola tidur berhubungan dengan gangguan
sesak nafas memiliki tujuan dan kriteria hasil yaitu setelah dilakukan
tidakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola tidur pasien
terpenuhi dengan kriteria hasil : pasien tidur 7-8 jam per hari, pasien
tampak segar, kantung mata tidak hitam. Pada diagnosa ketiga rencana
keperawatan yaitu, observasi jumlah jam tidur pasien, berikan lingkungan
yang nyaman, diskusikan pentingnya tidur adekuat, kolaborasikan
pemberian obat sesuai resep yang diberikan dokter.
76
4. Implementasi Keperawatan
Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn.B selama 07-09
Januari 2016 yaitu Diagnosa pertama mengobsevasi status pernafasan
pasien, memberikan posisi semi fowler, menjelaskan manfaat oksigen
nasal kanul, memberikan terapi O2 nasal kanul sesuai advis dokter.
Diagnosa kedua memantau frekuensi nafas sebelum dan sesudah
beraktivitas, mengkaji tingkat kemampuan pasien untuk melakukan
aktivitas dan latihan, menentukan penyebab keletihan, dan membantu
dengan aktivitas fisik teratur.
Diagnosa ketiga mengobservasi jumlah jam tidur pasien,
memberikan lingkungan yang nyaman, mendiskusikan pentingnya tidur
adekuat, mengkolaborasikan pemberian obat sesuai resep yang diberikan
dokter.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan pada Tn.B selama 3 hari dengan evaluasi
hari ketiga klien masih mengatakan sudah bisa melakukan tindakan
orthopneic secara mandiri, tekanan darah : 140/80 mmHg, nadi : 90
x/menit, suhu : 36 ˚C/aksila, RR : 28 x/menit. Masalah bersihan jalan
nafas teratasi sebagian dan intervensi masih dilanjutkan.
6. Analisa Pemberian Posisi Orthopneic
Pengaplikasian pemberian posisi orthopnric terhadap peningkatan
fungsi ventilasi pada Tn.B belum berhasil sepenuhnya, setelah 3 hari
77
dengan pemberian posisi orthopneic respiratory rate menjadi 28 x per
menit. Klien mengatakan saat diberikan posisi orthopneic pernafasan
pasien berkurang meskipun sesak nafas belum hilang, penulis mengalami
kesulitan dalam mengukur fungsi ventilasi paru karena keterbatasan
waktu pengambilan kasus juga prosedur untuk melakukan pemeriksaan
tidak dapat dilakukan secara benar sesuai teori.
B. Saran
Setelah penulis melakukan aplikasi pemberian posisi orthopneic
terhadap fungsi ventilasi pada asuhan keperawatan pada klien dengan
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) penulis akan memberikan usulan dan
masukan positif khususnya di bidang kesehatan antara lain :
1. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Diharapkan Rumah Sakit Umum Khususnya Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan
kerja sama baik antara tim kesehatan maupun klien sehingga dapat
menngkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada
umumnya dan dapat mengaplikasikan pemberian posisi orthopneic
terhadap fungsi ventilasi serta menyediakan alat pengukur puncak
ekspirasi untuk mempermudah pengukuran puncak ekspirasi klien yang
mengalami gangguan pernafasan, khususnya pasien dengan penyakit paru
obstruksi kronik (PPOK).
78
2. Bagi Tenaga Kesehatan Khusunya Perawat
Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainya dalam
memberikan asuhan keperawatan agar lebih maksimal, khususnya pada
klien gangguan pemenuhan dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Perawat diharapkan
dapat mengaplikasikan pemberian posisi orthopneic pasien keluhan sesak
nafas.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih berkualitas
dan profesional agar tercipta perawat yang profesional, terampil, inovatif,
aktif, dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara
menyeluruh
berdasarkan
kode
etika
keperawatan.
Dan
dapat
mengaplikasikan pemberian posisi orthopneic terhadap fungsi ventilasi
pasien sesak nafas.
79
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, A Rani, Sidartawan Soegondo. 2006. Panduan Pelayanan Medik: Perhimpunan
Dokter Spesialis Dalam Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Black, J.M & Hawks, J.H. (2005). Medical-surgical nursing. Clinical management for
positive outcomes. 7th Edition. St. Louis. Missouri. Elsevier Saunders
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jilid I. Jakarta:
EGC
Corwin, J. E,. 2002. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta EGC
Davy Patrick. 2006. Ad a Glance Medicine. Alih Bahasa: Anissa Racmalia. Jakarta:
Erlangga
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka
Kerja.Gosyen
Publishing : Yogyakarta
Doengoes, Marlyn E, Moorhouse, Mary F dan Geissler, Alice C,
2000,RencanaKeperawatan
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, Alih
Bahasa I Made Kriasa, EGC, Jakarta
Francis, C. (2008). Perawatan respirasi. Jakarta: Erlangga
Mubarak, Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan Aplikasi
Dalam Praktik. Jakarta: EGC
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Pernafasan.Jakarta:
Salemba Medika
Muwarni, A (2011). Perawatan pasien penyakit dalam. Yogyakarta: Gosyen publishing
Morton, dkk. (2012). Keperawatan Kritis Volume 1. Jakarta: EGC
Padila. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha medika
Potter, A.P, & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Tanto Chris,dkk.(2014). Kapita Selekta Kedoktera., edisi 4.Media Aedculapius.jakarta
80
WHO.2010.Noncommunicable Deseases Country Profile 2010
WHO.2013.World COPD Day in Your Country.http://www.Goldcopd.Org/wed in
yourcountry.html?country_id=55&submit=Go. Diakses tanggal 02 November
2015
Guyton, A.C and Hall, J.E, 2005. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia,
PA, USA : Elsevier Saunders.
Landers, M.R., McWhoeter, J.W., Fillibeck, D., & Robinson, C. (2006). Does sitting
posture in Crhronic Obstrucyive Pulmonary Disase Really Matter? An analysis of 2
sitting postures and their effect on pulmonary function journal of cardiopulmonary
rehabilitation & prevention,26 (6), 405-409.
Kamangar, N., 2010. Chronic Obstructive Pulmonary Disase. Diakses dari:
http://emedicine.medscape.com/article/297664. di akses pada 5 desember 2015.
NANDA dan NIC – NOC. 2014. Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional Jilid 2. Jogjakarta.
ISO. 2014. Informasi Spesialite Obat Indonesia.Jakarta: PT. ISFI
Wilkonson, J. M., & Ahern N. R. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperrawatan Diagnosa
NANDA Internasional NIC Kriteria Hasil NOC Edisi kesembilan. Jakarta: EGC
Brashers, V. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen. Edisi 2.
Jakarta: EGC
Ritianingsih, N. 2011. Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru Pada Klien Penyakit Paru
Obstruksi Kronis Dengan Posisi High Fowler dan Orthopneic. Diakses pada 2
Desember 2015
Download