KERANGKA KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK REFORMASI

advertisement
KERANGKA KEBIJAKAN NASIONAL UNTUK REFORMASI BIROKRASI
Kerangka kebijakan nasional reformasi birokrasi secara umum sudah menunjukkan
adanya komitmen awal untuk melakukan pembenahan dengan berbagai macam kebijakan.
Komitmen itu ditunjukkan oleh berbagai macam produk peraturan baru yang sudah disahkan
maupun berbagai draf peraturan yang menunjukkan inisiatif kebijakan baru. Dari kebijakan yang
sudah ada (existing conditions) ada empat macam perangkat peraturan perundangan yang
relevan dengan upaya reformasi birokrasi, yaitu: 1) berbagai produk peraturan tentang
pemberantasan korupsi, 2) peraturan tentang perencanaan pembangunan di tingkat nasional
maupun daerah, 3) peraturan tentang perlindungan saksi sebagai upaya untuk melibatkan
masyarakat dalam reformasi birokrasi, dan 4) peraturan tentang akses publik terhadap
informasi yang menyangkut kebijakan negara.
Kecuali itu, beberapa draf peraturan yang merupakan inisiatif baru memang masih
merupakan wacana. Tetapi jika sudah disahkan dan mempunyai kekuatan hukum tetap,
peraturan-peraturan tersebut tentu akan menunjang upaya reformasi birokrasi secara nasional.
Beberapa diantaranya adalah: 1) RUU pelayanan publik yang disiapkan oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara, 2) RUU sistem pemerintahan daerah yang tengah disiapkan
oleh Departemen Dalam Negeri, 3) RUU administrasi-pemerintahan yang sedang disiapkan
oleh Kementerian PAN bersama Depdagri, dan 4) RUU Kepegawaian yang disiapkan oleh
Badan Kepegawaian Negara dengan konsultasi dari Kementerian PAN.
1. Pemberantasan Korupsi
Landasan pokok bagi upaya pemberantasan korupsi secara nasional sejak berakhirnya
rejim Orde Baru ialah Ketetapan MPR No.XI tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara
yang bebas KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme). Ketetapan ini merupakan mandat pokok bagi
pemerintahan rejim berikutnya untuk lebih serius menangani masalah korupsi di Indonesia.
Selanjutnya pemerintahan pada masa presiden Habibie berhasil meratifikasi UU No.31/1999
tentang pemberantasan korupsi. Peraturan tersebut menguraikan secara umum strategi
pemerintah untuk menertibkan aparatur negara dan mencegah berbagai bentuk tindak pidana
korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah. Undang-undang ini juga mendukung perangkat
peraturan sebelumnya yang telah mendukung pemberantasan korupsi, antara lain UU
No.11/1980 tentang anti-suap.
Pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, UU No.31/1999 diperbarui
menjadi UU No.20/2001 tentang pemberantasan korupsi. Sebagian besar materi yang terdapat
di dalamnya masih sama, tetapi undang-undang ini merinci secara lebih jelas strategi jangka
menengah yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi. Namun undang-undang ini
tampaknya belum berhasil untuk menggerakkan secara sungguh-sungguh aparat kejaksaan
dan kehakiman untuk menjerat para koruptor dalam pemerintahan. Ketidakstabilan politik yang
terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid juga menyulitkan pemerintah untuk
memusatkan perhatian pada masalah-masalah korupsi. Terdapat pula PP No.19/2000 tentang
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tim yang terbentuk ternyata tidak
berjalan efektif karena tidak didukung komitmen politik. Di luar itu ada juga komitmen untuk
memberantas korupsi meskipun lebih banyak berupa imbauan atau insinuasi. Misalnya,
1
keluarnya PP No.71/2000 tentang peran-serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Peraturan ini merupakan imbauan yang tampaknya tetap kurang efektif karena pemerintah
sendiri ketika itu belum menunjukkan tindakan yang jelas kepada para koruptor yang juga
melibatkan para politisi.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan presiden Megawati, ada beberapa langkah
kebijakan baru untuk melengkapi produk peraturan perundangan mengenai pemberantasan
korupsi. Diantaranya adalah disahkannya UU No.30/2002 tentang Komisi Anti Korupsi. Komisi
ini sesungguhnya sudah digagas pada masa pemerintahan sebelumnya, tetapi karena begitu
pendeknya pemerintahan Abdurrahman Wahid, undang-undang baru disahkan pada masa
pemerintahan Megawati. Kemudian, disahkan juga UU No.15/2002 tentang anti pencucian
uang. Materi tentang anti pencucian uang juga diperbarui dengan UU No.25/2003 pada masa
pemerintahan Megawati. Untuk mencegah berbagai bentuk korupsi aparatur pemerintah dalam
pengadaan barang dan jasa, juga disahkan Keputusan Presiden No.80/2003 tentang
pedoman pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah. Keppres ini belakangan
mengakibatkan banyak kontroversi karena kemacetan pengadaan akibat prosedur baru yang
lebih ketat dalam pengadaan barang dan jasa. Tetapi sesungguhnya tersirat dengan jelas
bahwa peraturan ini bermaksud untuk mengurangi tindak pidana korupsi dalam proses lelang
oleh lembaga pemerintah.
Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak terdapat undang-undang
baru yang disahkan dengan judul pemberantasan korupsi. Namun komitmen untuk
memberantas korupsi diperbarui dengan munculnya Inpres No.5/2004 tentang percepatan
pemberantasan korupsi. Upaya percepatan ini ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan
Presiden No.11/2005 tentang Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Selanjutnya, pemerintah bersama DPR meratifikasi UU No.7/2006 tentang pengesahan
konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Anti Korupsi. Sebuah produk perundangan
yang penting dalam upaya untuk melakukan pembuktian dalam kasus-kasus korupsi adalah UU
No.1/2006 tentang bantuan timbal-balik masalah pidana. Di masa mendatang undang-undang
ini akan membantu upaya pembuktian terbalik dalam kasus-kasus korupsi.
2. Pedoman Perencanaan Pembangunan
Salah satu kemajuan yang telah dapat dicapai dari segi perencanaan pembangunan
adalah dibuatnya kerangka kebijakan yang pasti dengan rentang waktu periode perencanaan
yang jelas, yaitu dengan disahkannya UU No.25/2004 tentang SPPN (Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional). Di dalam undang-undang ini dirinci secara jelas sistem dan
mekanisme perencanaan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah sesuai dengan kerangka
politik nasional yang semakin demokratis dan sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Ada
petunjuk yang makin jelas tentang keterkaitan antara rencana jangka panjang (25 tahunan),
rencana jangka menengah (5 tahunan), maupun rencana jangka pendek (1 tahunan). Kecuali
itu, terdapat pedoman bagi daerah untuk menyusun RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah) yang harus disusun sesuai dengan periode waktu Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah).
2
Pedoman penyusunan rencana pembangunan juga ditunjang oleh berbagai peraturan
yang menyangkut pelaksanaan, pengendalian dan evaluasinya. Sebagai contoh, terdapat PP
No.8/2008 tentang tahapan, tata-cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan
rencana pembangunan daerah.
3. Perlindungan Saksi
Upaya untuk menciptakan sistem pemerintahan yang bersih harus didukung dengan
partisipasi dari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat pada umumnya.
Karena para saksi yang menjumpai adanya tindak pidana korupsi seringkali tidak bersedia
mengadukan kepada lembaga kejaksaan karena takut akan jaminan keselamatan dirinya, maka
disahkannya UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan salah satu
kemajuan penting dalam upaya pemberantasan korupsi dan sekaligus melakukan
membersihkan birokrasi dari berbagai bentuk penyelewengan. Peraturan perundangan pokok
ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden No.13/2007 tentang susunan panitia
seleksi, tatacara pelaksanaan seleksi, dan militansi calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban.
4. Akses Publik terhadap Informasi
Masih ada tarik-ulur berbagai pihak tentang bentuk final dari undang-undang tentang
akses publik terhadap informasi yang menyangkut kebijakan pemerintah. Yang perlu dicermati
memang menyangkut soal-soal yang dapat segera diketahui oleh publik dan ketentuan tentang
kerahasiaan negara yang bisa mengakibatkan persoalan menyangkut stabilitas dan keamanan.
Draf undang-undang yang ada memberi judul perangkat peraturan ini sebagai UU Kebebasan
Memperoleh Informasi. Yang beredar di masyarakat ada dua versi; satu versi dari DPR yang
tampaknya lebih mengutamakan segi-segi keamanan untuk menjaga rahasia negara, dan satu
versi dari koalisi LSM yang mengutamakan kebebasan memperoleh informasi sebagai
perwujudan dari hak seluruh unsur masyarakat.
*****
Wahyudi Kumorotomo
3
Download