BAB II PERJANJIAN SECARA UMUM A. Pengertian Perjanjian dan

advertisement
BAB II
PERJANJIAN SECARA UMUM
A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Untuk membuat suatu perjanjian hendaknya kita lebih dulu memahami arti dari
perjanjian tersebut. Apabila dilihat di literatur banyak kita temui beraneka ragam
pengertian perjanjian itu, dimana masing-masing dari sarjana memberikan pengertian
sendiri-sendiri, hal mana pengertian tersebut dibuat oleh pakar hukum, oleh karena hal
inilah kita tidak menemukan keseragaman pengertian perjanjian.
Sebelum kita lebih jauh membahas tentang perjanjian ada baiknya kita terlebih
dahulu membahas mengenai perikatan, sebab kita ketahui perjanjian itu tidak terlepas
dari perikatan. Dimana disini nampak jelas bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji pada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji
untuk melakukan sesuatu hal. Dari peristiwa itu dapat ditimbulkan suatu perhubungan
antara dua orang itu yang dinamakan perikatan. Perjanjian tersebut menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya, dalam bentuknya perjanjian itu berupa
suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang
diucapkan atau ditulis. Dengan demikian maka hubungan antara perikatan dan perjanjian
adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Perjanjian adalah sumber
yang terpenting yang melahirkan perikatan.
Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan baik karena Undang-Undang “. Dari ketentuan pasal
diatas mengandung arti bahwa suatu perikatan bersumber pada suatu perjanjian selain
Undang-Undang. Dan dijelaskan pula di dalam buku ketiga KUHPerdata mengatur
tentang Verbetenissenrecht diartikan sebagai perikatan dan overeenkomst diartikan
sebagai perjanjian.
Namun secara implisit buku ketiga KUHPerdata tidak menjelaskan defenisi
perikatan oleh karena itu para ahli memberikan rumusan tentang perikatan ini beraneka
ragam. Dari hal ini para ahli memberikan rumusan masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Subekti, 10 memberikan rumusan perikatan sebagai berikut:
“ Perikatan adalah hubungan antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak
yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu.”
Hofman
11
memberikan pengertian tentang perikatan adalah :
“ Perikatan adalah suatu hubungan antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum
sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur/para kreditur)
mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang
berhak atas sikap yang demikian itu.“
Wan Sadjaruddin Baros, 12 dalam bukunya Sendi Hukum Perikatan menyatakan:
“ Perikatan itu ialah hubungan hukum antara dua orang (pihak) atau lebih dalam harta
kekayaan yang menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain.”
Dari beberapa pendapat para sarjana diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam
suatu perikatan (verbintenis) terkandung hal-hal sebagai berikut: 13
1. Adanya hubungan hukum
2. Biasanya mengenai kekayaan atau harta benda
3. Antara dua orang / pihak atau lebih
4. Memberikan hak kepada pihak yang satu, yaitu kreditur
5. Meletakkan kewajiban pada pihak yang lain, yaitu debitur
6. Adanya prestasi
Setelah kita lebih mengetahui pengertian perikatan maka kita kembali pada
pembahasan perjanjian, yang mana diatas telah dijelaskan bahwa perikatan bersumber
pada perjanjian, dan selain perjanjian masih ada lagi sumber lain yang menerbitkan
perikatan yaitu Undang-Undang.
Pendapat beberapa sarjana mengenai pengertian perjanjian yaitu :
Hartono Suprapto, 14 memberikan rumusan bahwa perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang lain itu saling
berjanji untuk melakukan sesuatu hal.”
M. Yahya Harahap, 15 memberikan pengertian perjanjian atau verbintennis
mengandung suatu pengertian suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara
10
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata. PT. Internusa. Jakarta 1989, hal 122
Hofman, Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 2003, hal 2
12
W.S.Baros, Sendi Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 1997, hal 12
13
I.G.Rai Widjaya, Merancang suatu Kontrak, Jakarta, Kesaint Blanc, 2003, hal 21
14
Hartono Suprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, 1999, hal 12
11
Universitas Sumatera Utara
dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hukum pada satu pihak untuk memperoleh
potensi dan sekaligus mewajibkan pihak lain untuk menaikkan prestasi.“
Wiryono Prodjodikoro, 16 mengemukakan perjanjian adalah suatu perhubungan
hukum mengenai benda antara dua pihak dalam mana salah satu pihak berjanji untuk
melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak
menuntut pelaksanaan janji itu.”
Pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah “
Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.” Dalam membuat perjanjian, kedudukan antara para pihak yang
mengadakan perjanjian sama dan sederajat. Pengertian perjanjian tersebut ternyata
mempunyai arti yang luas dan umum sekali, tanpa menyebutkan untuk tujuan apa suatu
perjanjian dibuat. Hanya menyebutkan tentang pihak yang satu atau lebih, mengikatkan
dirinya pada pihak lainnya. Karena itu, suatu perjanjian akan lebih tegas artinya, jika
pengertian perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih
saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam bidang harta kekayaan.
Dalam membuat suatu perjanjian, dikenal adanya asas kebebasan berkontrak dan
menganut sistem terbuka. Maksud asas tersebut, setiap orang pada dasarnya boleh
membuat perjanjian mengenai apa saja. Peraturan mengenai hukum perjanjian pada
umumnya juga bersifat menambah atau pelengkap, dimana pihak-pihak dalam membuat
perjanjian, bebas untuk menyimpang dari ketentuan yang ada. Kebebasan itu menurut
Undang-Undang dibatasi sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu perjanjian itu dinamakan persetujuan, karena dua pihak setuju untuk
melakukan sesuatu, dan juga bahwa perikatan merupakan persetujuan hukum yang
konkrit atau riil, hal itu karena dapat dilihat adanya dua orang atau dua pihak yang
mengucapkan atau menulis janji-janji dan kepadanya saling ditandai kesepakatan mereka
berjabat tangan atau menandatangani suatu rumusan perjanjian istilah kontrak ditujukan
pada perjanjian tertulis.
Jadi dapat disimpulkan bahwa persetujuan atau perjanjian itu adalah suatu
perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
15
16
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, 2002, hal 6
Wiryono Prodjodikoro, Op.cit., hal 6
Universitas Sumatera Utara
Apabila kita melihat dari sistemnya maka hukum perjanjian itu menganut sistem
terbuka, artinya bahwa macam-macamnya hak atas benda adalah terbatas dan peraturanperaturan yang mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum
perjanjian sendiri memberikan kebebasan yang seluas luasnya kepada masyarakat untuk
mengadakan perjanjian yang berisi dan apa saja asal tidak melanggar ketertiban umum
dan kesusilaan.
Dari kejelasan diatas dapat diartikan bahwa pengertian perjanjian yang diberikan
para pakar sesuai dengan sistem hukum perjanjian yaitu sistem terbuka dimana para
pihak diberikan kebebasan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu namun juga
terikat akan perjanjian tersebut asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan
kesusilaan. 17
Di dalam suatu perjanjian pada umumnya memuat beberapa unsur, yaitu : 18
1.
Pihak-pihak, paling sedikit ada dua orang. Para pihak yang bertindak sebagai
subyek perjanjian, dapat terdiri dari orang atau badan hukum. Dalam hal yang
menjadi pihak adalah orang, harus telah dewasa dan cakap untuk melakukan
hubungan hukum.
2.
Persetujuan antara para pihak, sebelum membuat suatu perjanjian atau dalam
membuat suatu perjanjian, para pihak memiliki kebebasan untuk mengadakan tawar
menawar di antara mereka.
3.
Adanya tujuan yang akan dicapai, baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak
lain, selaku subyek dalam perjanjian tersebut. Dalam mencapai tujuannya, para pihak
terikat dengan ketentuan bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.
Ada prestasi yang harus dilaksanakan, para pihak dalam suatu perjanjian
mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yang satu dengan yang lainnya saling
berlawanan. Apabila pihak yang satu berkewajiban untuk memenuhi suatu prestasi,
bagi pihak lain hal tersebut merupakan hak, dan sebaliknya.
5.
Ada bentuk tertentu, suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis.
Dalam hal suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, dibuat sesuai dengan ketentuan
yang ada.
17
I.G.Rai Widjaya, Op.cit., hal 22
Mohd. Syaufii Syamuddin, Perjanjian-perjanjian dalam hubungan industrial, jakarta, Sarana
Bhakti Persada, 2005, hal 5
18
Universitas Sumatera Utara
6.
Syarat-syarat tertentu, dalam suatu perjanjian, isinya harus ada syarat-syarat
tertentu, karena suatu perjanjian yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Agar suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu
perjanjian yang sah, perjanjian tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Sebagaimana diatur pada Pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap
orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang
tidak dinyatakan cakap. Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan, tidak cakap membuat
persetujuan adalah :
1.Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang-orang yaitu perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan
pada umumnya semua orang kepada undang-undang telah melarang membuat
persetujuan-persetujuan tertentu.
Kriteria orang yang belum dewasa menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah :
Ayat 1 : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan
tidak lebih dahulu telah kawin.
Ayat 2 : Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka
mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.
Ayat 3 : Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur
dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini.
Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 330 KUHPerdata tadi dan dari pasal ini
dapat diketahui bahwa undang-undang menetapkan batas usia seseorang itu dinyatakan
dewasa yaitu 21 tahun, diluar ketentuan ini seseorang tersebut masih dinyatakan belum
dewasa, dengan demikian maka ia tersebut tidak dapat atau tidak cakap untuk melakukan
perbuatan hukum dalam hal perjanjian.
Pengecualian dari ketentuan diatas dapat dilihat dalam ayat 2 yang antara lain
menyatakan, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun,
maka mereka tidak kembali dalam kedudukan belum dewasa.
Tegasnya seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun tetapi telah
melangsungkan perkawinan menurut ketentuan hukum perdata telah dinyatakan dewasa.
Dan apabila mereka bercerai sedang usia mereka masih dibawah 21 tahun maka keadaan
ini tidak menyebabkan berubahnya kedudukan mereka, artinya kedudukan dewasa yang
Universitas Sumatera Utara
diperbolehkan karena perkawinan itu tetap melekat padanya walaupun perkawinan
mereka berakhir.
Lain halnya orang yang ditaruh dibawah pengampuan dimana orang tersebut
karena keadaan-keadaan tertentu dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum. Misalnya karena dungu, gila atau karena pemboros. Maka untuk melakukan
perbuatan hukum mereka dibantu oleh kuratornya.
Menurut Pasal 1446 KUHPerdata, orang-orang yang belum dewasa bila
melakukan perbuatan hukum, maka akibatnya dapat dibatalkan, oleh anak yang belum
cukup umur itu (dalam hal ini dilakukan oleh orang tuanya atau walinya) dapat diminta
pada hakim agar perjanjian tersebut dibatalkan, jadi pihak lawan tidak dapat minta
pembatalan tersebut, dia telah membuat perjanjian, maka perjanjian itu dapat saja
dimintakan pembatalannya kepada hakim oleh pengampunya. Dalam pengertian orangorang dibawah pengampuan itu, juga termasuk kedalamnya orang-orang yang sakit jiwa,
pemabuk dan sebagainya. Sehingga mereka tidak cakap untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum. Dengan demikian otomatis orang-orang ini tidak cakap untuk
membuat perjanjian.
Jadi dengan demikian dewasa ini seorang istri dapat saja menjadi subjek dalam
hukum perjanjian, karena dia juga cakap dalam melakukan perbuatan hukum dengan
sempurn, meskipun ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata belum dicabut atau dirubah
secara resmi oleh pembuat undang-undang negara kita.
Dalam perkembangan selanjutnya oleh ilmu pengetahuan hukum diakui, bahwa
bukan hanya manusia saja yang dapat mengadakan perhubungan hukum, tetapi ada suatu
badan lain yaitu badan hukum, yang juga dapat bertindak dalam berbagai lapangan
hukum.
Pasal 1654 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “Semua badan hukum yang berdiri
dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatanperbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan
itu, membatasinya atau menundukkannya kepada cara tertentu. Berdasarkan ketentuan
diatas maka saya menyatakan bahwa badan hukum juga dapat melakukan tindakantindakan hukum seperti halnya perjanjian.
Badan hukum sebagai gejala sosial adalah suatu gejala yang nyata dalam
pergaulan hukum. Yang menjadi unsur dalam suatu badan hukum ialah harus
mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai suatu kekayaan yang sama sekali terpisah
Universitas Sumatera Utara
dari kekayaan anggotanya. Badan hukum ini dapat berupa suatu negara, suatu daerah
otonom, suatu perkumpulan orang, suatu perusahaan atau yayasan.
Objek dalam perjanjian adalah hal yang diwajibkan atau suatu hal yang
diwajibkan atau suatu hal yang terhadap mana seseorang mempunyai hak. Dalam suatu
perjanjian antara seorang manusia dengan manusia lain atau antara subjek-subjek hukum
lain, maka yang menjadi objeknya berupa barang atau benda, terhadap barang atau benda
mana orang atau badan hukum mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Misalnya
dalam perjanjian jual beli mobil, maka yang menjadi objek perjanjian adalah mobil
tersebut, terhadap mobil mana si pemilik dapat mengambil manfaat, seperti menjualnya
dan sebagainya.
Dengan melihat beberapa ketentuan undang-undang mana yang menjadi objek
dari perjanjian itu dapat kita kemukakan sebagai berikut :
1.
Barang-barang yang dapat diperdagangkan
Pasal 1332 KUHPerdata menetapkan bahwa, yang dapat menjadikan objek dalam
suatu perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan saja.
2.
Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu persetujuan harus mempunyai
sebagai suatu pokok barang yang paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Tidak
menjadi halangan bahwa jumlah barang itu tidak tertentu asal saja jumlah itu dapat
dihitung atau ditentukan kemudian.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1334 KUHPerdata ayat 1 kita jumpai bahwa
yang dapat dijadikan objek dari suatu perjanjian bukanlah barang-barang yang sudah ada
saja, melainkan mencakup pengertian yang lebih luas. Dimana barang-barang yang baru
ada dikemudian hari dapat juga dijadikan objek dalam suatu perjanjian.
2.
Jenis - Jenis Perjanjian
Untuk mengetahui dari jenis-jenis perjanjian, disini dalam KUHPerdata,
khususnya dalam buku III (tiga) mengenai perikatan terdapat jenis-jenis perjanjian,
dimana perjanjian tersebut lebih dikenal dengan perjanjian bernama. Yang dimaksud
dengan perjanjian bernama adalah perjanjian yang oleh undang-undang telah diberikan
suatu nama khusus.
Perjanjian bernama ini dalam KUHPerdata Pasal 1319 diatur bahwa semua
persetujuan, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan
Universitas Sumatera Utara
suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat didalam bab
ini dan bab yang lain.
Adapun jenis perjanjian yang dikenal dalam perjanjian bernama tersebut antara
lain :
1. Perjanjian Jual Beli
Berdasarkan ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata yang mengatur tentang perjanjian
jual beli, yaitu mengatakan bahwa suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lain untuk membayar
harga yang telah dijanjikan.
Dan dari ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata menyatakan bahwa jual beli
dianggap sudah terjadi antara dua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata
sepakat tentang barang dan harga, sekalipun barang itu belum diserahkan maupun
harganya belum dibayar.
Dari uraian diatas bahwa jual beli suatu perjanjian konsensual artinya ia sudah
dilahirkan sebagai suatu perjanjian yang sah (mengikat, atau mempunyai kekuatan
hukum) pada detik tercapainya yang sepakat antara penjual dan pembeli mengenai unsurunsur pokok yaitu barang dan harga, biarpun jual beli itu mengenai barang tidak
bergerak.
Namun menurut KUHPerdata salah satu prinsip yang penting dari jual beli bahwa
perjanjian jual beli itu hanya Obligator saja, hal ini berarti bahwa menurut sistem
KUHPerdata jual beli itu belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan
meletakkan kewajibannya pada kedua pihak yaitu memberikan kepada pembeli hak
untuk menuntut diserahkannya hak atas barang yang dijual.
Apa yang dikemukakannya disini mengenai sifat jual beli nampak jelas dari Pasal
1459, yang menerangkannya bahwa hak milik atas barang-barang yang dijual tidaklah
berpindah kepada pembeli selama penyerahannya belum dilakukan. Jual beli terhadap
barang-barang bergerak cukup dilakukan dengan lisan, sedangkan terhadap objek bendabenda yang tidak bergerak pada umumnya memakai akta jual beli, tujuan dari akta
tersebut hanya mensejajarkan jual beli itu dengan keperluan penyerahan yang kadangkadang memerlukan penyerahan yuridis disamping penyerahan nyata.
Dan terhadap resiko dimana resiko terhadap barang objek jual beli tidak sama
melainkan terdapat dengan sifat keadaan barang yang menjadi objek jual beli. Terhadap
objek jual beli yang terdiri dari barang-barang tertentu, resiko atas barang berada pada
pihak pembeli terhitung sejak saat terjadinya persetujuan perjanjian, sekalipun
Universitas Sumatera Utara
penyerahan barang belum terjadi (Pasal 1460 KUHPerdata), terhadap objek jual beli
yang terdiri dari barang-barang yang dijual dengan timbangan bilangan atau ukuran
resiko atas barang tetap berada di pihak penjual sampai barang itu ditimbang, diukur atau
dihitung (Pasal 1461 KUHPerdata).
2. Perjanjian Tukar Menukar
Perjanjian tukar menukar adalah persetujuan dimana kedua belah pihak berjanji
untuk saling memberikan benda secara timbal balik. Mengenai perjanjian tukar menukar
ini diatur dalam ketentuan Pasal 1541-1546 KUHPerdata.
Pada Pasal 1543 KUHPerdata mengatakan bahwa jika seseorang pihak telah
menerima barang tukaran dan pihak lain membuktikan bahwa barang yang diserahkan
padanya adalah barang orang lain bukan kepunyaannya sendiri, pihak yang telah
menerima barang tadi tidak dapat memaksa pihak lain untuk menerima barang tersebut,
dan pihak yang menerima barang diwajibkan untuk mengembalikan barang yang sudah
sempat diterimanya tadi.
Dan Pasal 1544 KUHPerdata menjelaskan seseorang yang telah menerima
tukaran barang dan kemudian dicabut dan diserahkan kepada pihak ketiga sebagai
pemilik yang sebenarnya, dan pencabutan untuk pihak yang ketiga dilakukan atas dasar
putusan hakim, dalam hal ini pihak yang kena cabut dapat bertindak meminta ganti rugi
dari pihak pemberi dan menuntut agar barang yang telah diserahkan kepadanya
dikembalikan.
Selanjutnya pada prinsipnya aturan dalam tukar menukar hampir sama dengan
jual beli, hal ini ketentuan Pasal 1546 KUHPerdata menjelaskan segala sesuatu yang
diatur dalam persetujuan tukar menukar dapat diterapkan aturan-aturan yang ditetapkan
dalam persetujuan jual beli.
Dan kemudian dalam Pasal 1545 KUHPerdata mengatur persetujuan tukar
menukar atas barang tertentu, jika salah satu objek tukar menukar tadi terdiri dari barang
tertentu dan sebelum diserahkan kepada pihak lain barang tersebut hilang atau musnah
akibat diluar kesalahan, maka persetujuan tukar menukar seperti ini dianggap gugur atau
pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntut pengembalian barang yang telah
diserahkannya.
3. Perjanjian Sewa Menyewa
Pengertian mengenai sewa menyewa terdapat dalam Pasal 1548 KUHPerdata,
sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu
Universitas Sumatera Utara
tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut. Pasal
1550 KUHPerdata pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu
adanya suatu janji, wajib untuk:
1. Menyerahkan barang yang disewakan
2. Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk
keperluan yang dimaksud
3. Memberikan kepada penyewa kenikmatan yang tenteram dari barang-barang yang
disewakan selama berlangsung sewa menyewa.
Dan kewajiban pihak penyewa adalah :
1. Memakai barang yang disewakan tersebut dengan baik sesuai dengan tujuan yang
diberikan menurut perjanjian sewa menyewa tersebut.
2. Membayar harga sewa pada waktu yang telah diperjanjikan
3. Bertindak sebagai bapak rumah yang baik
Dari ketentuan Pasal 1553 KUHPerdata, dalam sewa menyewa itu resiko
mengenai barang yang dipersewakan dipikul oleh si pemilik barang, yaitu pihak yang
menyewakan. Apabila barang yang disewakan itu musnah karena satu peristiwa yang
terjadi diluar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian sewa menyewa itu gugur demi
hukum.
Mengenai
berakhirnya
sewa
menyewa
secara
umum,
Undang-Undang
memberikan beberapa ketentuan yaitu sewa menyewa berakhir apabila batas yang
ditentukan berakhir, adanya ketentuan khusus yang mengakhirinya.
4. Perjanjian Kerja
Dalam perundangan-undangan membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan
dalam tiga macam yaitu :
a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu
b. Perjanjian kerja / perburuhan
c. Perjanjian pemborongan kerja
Pada perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, dimana pihak menghendaki
pihak lainnya melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mana
ia bersedia membayar upah sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut sama sekali diserahkannya pada pihak lain, dan biasanya pihak yang lain itu
adalah seorang yang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan untuk pekerjaan itu ia
memasang tarif.
Universitas Sumatera Utara
Dan perjanjian kerja atau perburuhan adalah perjanjian antara seorang majikan
dengan seorang buruh dimana ditandai dengan ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji
tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yaitu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu berhak memberikan perintah yang harus ditaati oleh
yang lain.
Selanjutnya untuk perjanjian pemborongan kerja menurut Pasal 1601 b
KUHPerdata perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu yaitu
pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak lain yaitu
yang memberi tugas dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Jadi dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terikat dalam
perjanjian pemborongan yaitu :
Pihak yang kesatu disebut pihak yang memborongkan atau prinsipal dan pihak kedua
disebut pemborong atau rekanan, kontraktor.
Perjanjian pemborongan diatur dalam Pasal 1604-1617 KUHPerdata dan
peraturan-peraturan khusus yang dibuat pemerintah. Jadi dengan adanya perjanjian
pemborongan selalu ada pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian pemborongan, tetapi
ada pihak-pihak lain secara tidak langsung terikat dengan adanya perjanjian
pemborongan.
Baik pihak-pihak yang terikat, maupun yang secara tidak langsung terikat dengan
adanya perjanjian pemborongan disebut peserta dalam perjanjian pemborongan. Dalam
melakukan pekerjaannya yaitu bagaimana caranya pemborong mengerjakan tidaklah
penting bagi pihak pertama karena yang dikehendakinya adalah hasil yang akan
diserahkan dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang ditentukan dalam
perjanjian.
B.
Asas-asas Perjanjian Beserta Dasar Hukum
Di dalam membuat perjanjian, terdapat sepuluh asas yang harus diperhatikan,
sebagai berikut :
1.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian
Kesepakatan pihak yang mengikatkan diri adalah asas yang menentukan adanya
perjanjian, asas esensial dari hukum perjanjian. Asas kebebasan ini bersifat universal.
Asas konsensualisme ini mengandung arti kemauan para pihak untuk saling
mengikatkan diri. Kemauan ini menimbulkan kepercayaan bahwa perjanjian itu akan
Universitas Sumatera Utara
dipenuhi. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berjanji dan asas kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata).
Asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, sebagai
bukti perlindungan terhadap hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa
perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai ketentuan, mempunyai
ketentuan mengikat. Dalam perkembangannya yang terakhir, asas kebebasan
berkontrak ini dinilai tidak lagi mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang
lemah lebih banyak mndapat perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi
diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, selalu dikaitkan dengan kepentingan
umum. Sejak itu pengaturan isi perjanjian tidak semata mata diserahkan kepada para
pihak, akan tetapi mulai dibatasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum
menjaga keseimbangan kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat, mulai
ikut campur. Akibatnya asas kebebasan berkontrak ini semakin sempit dilihat dari
beberapa segi yaitu :
a. Kepentingan umum
b. Perjanjian baku
c. Perjanjian dengan Pemerintah.
2.
Asas persesuaian kehendak
Dalam persesuaian kehendak, setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
keinginannya, yang menurut mereka baik, dalam membuat perjanjian. Asas ini sangat
erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
3.
Asas kepercayaan
Membuat perjanjian, menumbuhkan kepercayaan diantara kedua pihak, untuk saling
memegang janjinya. Tanpa adanya kepercayaan, perjanjian tidak mungkin akan
diadakan oleh para pihak, karena dengan kepercayaan itulah kedua belah pihak
mengikatkan dirinya dan bagi mereka perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat
sebagai undang-undang.
4.
Asas kekuatan mengikat
Di dalam perjanjian terkandung pula suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para
pihak pada perjanjian itu tidak semata mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan
tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan
Universitas Sumatera Utara
kepatutan serta moral. Dengan demikian asas moral, kepatutan dan kebiasaan
mengikat pula para pihak.
5.
Asas persamaan hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan,
para pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk
menghormati satu sama lain sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan.
6.
Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Asas
keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Di sini kedudukan kreditur yang kuat
di imbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga
kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
7.
Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai suatu bentuk hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini
terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, sebagai undang-undang bagi para
pihak.
8.
Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontrapretasi dari pihak
debitur. Juga hal ini terlihat di dalam perbuatan sukarela, dimana seseorang yang
melakukan suatu perbuatan dengan sukarela, mempunyai kewajiban untuk
meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Faktor-faktor yang memberikan
motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada
kesusilaan, sebagai panggilan dari hati nuraninya.
9.
Asas kepatutan
Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran
tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
10.
Asas kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan
kebiasaan yang lazim diikuti. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
Universitas Sumatera Utara
sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Hal-hal
yang menurut kebiasaan senantiasa diperjanjikan dianggap secara diam-diam
dimasukkan dalam perjanjian, meskipun hal itu tidak dengan tegas dinyatakan
(Mariam Darus Badrulzaman, 1987). 19
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sebagaimana secara yuridis
suatu perjanjian baru dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi empat unsur pokok.
Adapun keempat unsur pokok tersebut yaitu :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subjektif karena mengenai orangorangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian. Dan apabila salah satu syarat
subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang diadakan tersebut dapat dibatalkan oleh
hakim atas permohonan yang bersangkutan, dengan perkataan lain perjanjian itu masih
tetap berlaku sepanjang tidak ada pembatalan dari hukum.
Dan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau objeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila
salah satu syarat ini tidak dipenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum maksudnya
dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan.
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan dimaksudkan bahwa kedua subjek
yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok
dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah
juga yang dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara
timbal balik.
Apabila kita lihat ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata, dimana kata sepakat itu
dikatakan menjadi tidak sah apabila kata sepakat tersebut diberikan karena :
1. Salah pengertian dan kekhilafan
2. Paksaan
19
Mohd. Syaufii Syamsuddin, Op.cit., hal 20
Universitas Sumatera Utara
3. Penipuan
Ketiga kata sepakat ini tidak sah oleh karena persetujuan diberikan dengan cacat
kehendak. Dan perjanjian seperti ini dapat dimohonkan pembatalan di Pengadilan.
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang
pokok dari apa yang diperjanjikan ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan
perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang itu
tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1322 KUHPerdata yaitu :
“ Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila
kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. “
Paksaan atau dwangsom maksudnya adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa jadi
bukannya paksaan badan. Misalkan seorang atau salah satu pihak karena diancam atau
ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman, 20 menyatakan :
“ Yang dimaksud dengan paksaan bukan dalam arti absolut, sebab dalam hal demikian
itu perjanjian sama sekali tidak terjadi.
Yang dimaksud dengan paksaan ialah kekerasan jasmani dan ancaman (akan membuat
rahasia) dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum menimbulkan ketakutan kepada
seseorang sehingga ia membuat perjanjian. “
Sedangkan penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan
keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan cerdik
(tipu muslihat) untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Mengenai
penipuan ini Wiryono Prodjodikoro, 21 memberikan tanggapan bahwa : “satu macam
pembohongan saja tidaklah cukup untuk adanya penipuan ini, melainkan harus ada suatu
rangkaian pembohongan yang didalamnya hubungan satu dengan yang lainnya
merupakan suatu tipu muslihat. “
Dari hal penipuan ini nampak bahwa pihak yang menipu itu bertindak secara aktif untuk
menjerumuskan pihak lawannya.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Dalam penerapannya orng yang akan membuat suatu perjanjian harus cakap
menurut hukum. Pada azasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya
20
Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku II, Hukum Perikat Dengan Penjelasannya,
Alumni Bandung, 2003, hal 101
21
Wiryono Prodjodikoro, Op.cit., hal 14
Universitas Sumatera Utara
adalah cakap menurut hukum. Didalam KUHPerdata apabila dikaitkan dengan usia maka
yang dikatakan dewasa seseorang yaitu 21 tahun atau sudah kawin dan apabila seseorang
yang belum 21 tahun tapi ia sudah kawin. Dan menurut hukum adat sekitar 15 tahun
sudah dianggap dewasa dan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menetapkan usia dewasa adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
Pada Pasal 1330 KUHPerdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap
untuk membuat suatu perjanjian yaitu :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan
3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang
dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah
melarang membuat perjanjian tertentu.
Khusus untuk orang-orang yang belum dewasa, Undang-Undang mengadakan
pelunakan terhadap hal tersebut yaitu bagi setiap anak yang belum dewasa dapat
dinyatakan dewasa bila kepentingan si anak menghendaki demikian (Pasal 419
KUHPerdata) misalnya hal-hal warisan.
Dalam mengadakan suatu perjanjian kecakapan seseorang memang merupakan
syarat mutlak untuk syahnya perjanjian, karena seseorang yang terikat oleh perjanjian
mempunyai kemampuan untuk menyadari benar akan timbul dengan perbuatannya itu,
sehingga hal itu perlu untuk rasa keadilan. Dan memang dari sudut rasa keadilan,
perlulah bahwa orang yang membuat satu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh
perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan
tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu.
Dan apabila kita lihat dari sudut ketertiban hukum oleh karena seorang yang
membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaan orang tersebut harus
orang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Untuk mengadakan suatu perjanjian itu orang yang tidak sehat pikirannya tidak
sanggup menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu
perjanjian. Dan bagi orang yang dibawah pengampuan menurut hukum tidak dapat
berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Dimana ia berada dibawah pengawasan
pengampuannya, jadi kedudukannya adalah sama dengan anak yang belum dewasa.
3. Suatu Hal Tertentu
Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu artinya apa yang diperjanjikan
harus cukup jelas. Syarat ini adalah perlu untuk menetapkan hak-hak dan kewajiban
Universitas Sumatera Utara
kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dengan kata lain barang tersebut
belum ada pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian yang tidak menyatakan secara tegas
apa yang menjadi objeknya adalah batal demi hukum.
Menurut ketentuan Undang-Undang, barang itu tidak perlu disebutkan jumlahnya
atau apakah sesudah data ada ditangan debitur, tetapi yang perlu adalah barang itu dapat
dihitung atau ditetapkan, misalnya harga sebuah mobil Rp. 100.000,- dari hal itu dengan
tidak memakai penjelasan lebih jelas lagi dianggap tidak cukup jelas.
4. Suatu sebab yang halal
Dengan sebab bahasa belanda disebut Oorzaak, bahasa latin Causa ini
dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian yang dimaksud. Sesuatu yang
menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat
suatu perjanjian pada azasnya tidak diperdulikan oleh Undang-Undang. Hukum pada
azasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seseorang atau apa yang
dicita-citakan seorang. Yang diperhatikan oleh hukum dan Undang-Undang hanyalah
tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau Causa
suatu perjanjian adalah isi dari pada perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam suatu
perjanjian jual beli isi tadi adalah pihak satu menghendaki hak milik orang lain. Sebab
yang dimaksudkan oleh Undang-Undang tersebut dalam hal ini bukanlah merupakan
hubungan sebab akibat atau causalitas.
Penerapan asas kebebasan membuat kontrak yang terkandung dalam Pasal 1338
ayat 1 KUHPerdata harus ditafsirkan dan dipahami secara sistemik yang terintegrasi
dengan ketentuan-ketentuan normatif lainnya dalam KUHPerdata, yaitu: 22
1.
Ketentuan imperatif yang menentukan syarat-syarat sahnya suatu kontrak (Pasal
1320)
2.
Ketentuan limitatif yang melarang pembuatan kontrak tanpa sebab atau causa,
atau pembuatan kontrak berdasarkan sebab atau causa yang dilarang, sehingga
berakibat hukum kontrak itu tidak mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1335)
3.
Ketentuan limitatif yang menentukan bahwa suatu sebab adalah terlarang jika
dilarang oleh undang-undang, atau jika berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum (Pasal 1337)
22
Muhammad Syaifuddin, Op.cit., hal 90
Universitas Sumatera Utara
4.
Ketentuan imperatif yang mengharuskan suatu kontrak dilaksanakan dengan
itikad baik (Pasal 1338 ayat 3)
5.
Ketentuan imperatif yang mengikat kontrak dengan sifat, kepatutan, kebiasaan
dan undang-undang (Pasal 1339) dan
6.
Ketentuan enumeratif yang mengatur hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya
disetujui untuk secara diam-diam dimasukkan dalam kontrak (Pasal 1347).
Kontrak menurut persyaratan dan proses terjadi/terbentuknya dapat dibedakan
menjadi tiga jenis kontrak, yaitu:
a.
Kontrak konsensual
Kontrak konsensual yaitu kontrak yang dianggap sah jika telah terjadi sepakat antara
para pihak yang membuat kontrak. Misalnya, kontrak jual beli menurut Pasal 1457
KUHPerdata terjadi sepakat mengenai barang dan harganya.
b.
Kontrak riil
Kontrak riil yaitu kontrak yang memerlukan kata sepakat, tetapi barangnyapun harus
diserahkan. Misalnya, kontrak penitipan barang menurut Pasal 1741 KUHPerdata
dan kontrak pinjam mengganti menurut Pasal 1754 KUHPerdata.
c.
Kontrak formil
Kontrak formil yaitu suatu kontrak yang memerlukan kata sepakat, tetapi undangundang mengharuskan kontrak tersebut dibuat dalam bentuk tertentu secara tertulis
dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yaitu Notaris atau
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Contohnya, kontrak jaminan fidusia menurut Pasal 5
ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 harus dalam bentuk akta Notaris.
Kontrak menurut hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya terdiri atas
dari dua jenis kontrak, yaitu:
a.
Kontrak timbal balik adalah kontrak yang meletakkan hak dan kewajiban kepada
kedua pihak yang membuat kontrak. Misalnya, dalam kontrak jual beli menurut Pasal
1457 KUHPerdata, pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan
berhak mendapat pembayaran, sebaliknya pihak pembeli berkewajiban membayar
harga barang dan berhak menerima barangnya.
b.
Kontrak sepihak adalah kontrak yang meletakkan kewajiban pada satu pihak saja.
Misalnya, dalam kontrak hibah menurut Pasal 1666 KUHPerdata, kewajiban hanya
ada pada orang yang menghibahkan barang, sedangkan penerima hibah hanya berhak
menerima barang yang dihibahkan, tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang
menghibahkan.
Universitas Sumatera Utara
Kontrak menurut penamaan dan sifat pengaturan hukumnya dapat dibedakan
menjadi dua jenis kontrak, yaitu:
a.
Kontrak bernama adalah kontrak yang mempunyai nama sendiri yang telah diatur
secara khusus dalam KUHPerdata Bab V sampai dengan Bab XVIII. Misalnya,
kontrak jual beli, kontrak sewa menyewa, kontrak hibah, kontrak tukar menukar,
kontrak persekutuan perdata, kontrak untuk melakukan pekerjaan, kontrak tentang
perkumpulan, kontrak penitipan barang, kontrak pinjam pakai, kontrak pinjam
meminjam, kontrak pemberian kuasa, kontrak penanggungan utang, kontrak bunga
tetap atau bunga abadi, kontrak untung-untungan, dan kontrak perdamaian.
b.
Kontrak tidak bernama adalah kontrak yang tidak diatur secara khusus dalam
KUHPerdata, tetapi timbul dan berkembang di masyarakat berdasarkan asas
kebebasan membuat kontrak menurut Pasal 1338 KUHPerdata. Jumlah kontrak ini
tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang
membuatnya. Misalnya, kontrak pembiayaan konsumen, kontrak sewa guna usaha,
kontrak anjak piutang, kontrak modal ventura, kontrak waralaba, kontrak lisensi hak
kekayaan intelektual dan lain-lain.
Dilihat dari aspek pengaturan hukumnya, kontrak tidak bernama dibedakan
menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
Kontrak tidak bernama yang diatur secara khusus dan dituangkan dalam bentuk
undang-undang dan/atau telah diatur dalam pasal-pasal tersendiri. Misalnya kontrak
production sharing yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang minyak dan gas bumi dan kontrak konstruksi yang diatur dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa konstruksi dan lain-lain.
2.
Kontrak tidak bernama yang diatur dalam peraturan pemerintah, misalnya kontrak
waralaba yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang
waralaba.
3.
Kontrak tidak bernama yang belum diatur atau belum ada undang-undangnya di
Indonesia, misalnya kontrak rahim.
Universitas Sumatera Utara
Kontrak tidak bernama bersifat khusus sebagaimana tercantum dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku, sedangkan kontrak bernama bersifat umum, sehingga
di sini asas lex spesialis derogate legi generale berlaku. 23
C. Perjanjian Kerjasama
Perjanjian kerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka
14 adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang
memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. Perjanjian kerja pada
dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan
kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan.
Sedangkan menurut Subekti perjanjian kerja adalah perjanjian antara seorang
buruh dengan majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau
gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan di peratas yaitu suatu
hubungan berdasarkan mana pihak yang satu yaitu majikan berhak memberikan perintahperintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain yaitu buruh.
Perjanjian kerja yang didasarkan pada pengertian Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak disebutkan bentuk perjanjiannya tertulis atau
lisan, demikian juga mengenai jangka waktunya ditentukan atau tidak sebagaimana
sebelumnya
diatur
dalam
Undang-Undang
Nomor
25
Tahun
1997
tentang
Ketenagakerjaan.
Bagi perjanjian kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan
secara lisan, dengan surat pengangkatan oleh pihak pengusaha atau secara tertulis, yaitu
surat perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Undang-Undang hanya
menetapkan bahwa jika perjanjian diadakan secara tertulis, biaya surat dan biaya
tambahan lainnya harus dipikul oleh pengusaha. Apalagi perjanjian yang diadakan secara
lisan, perjanjian yang dibuat secara tertulis pun biasanya diadakan dengan singkat, tidak
memuat semua hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, maka perjanjian kerja harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas
dasar :
23
Ibid hal 147
Universitas Sumatera Utara
1. Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan
4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesepakatan kedua belah pihak maksudnya bahwa pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian kerja harus setuju atau sepakat, mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa
yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima
pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak pengusaha menerima pekerja tersebut untuk
dipekerjakan.
Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian
maksudnya pihak pekerja maupun pengusaha cakap membuat perjanjian. Seseorang
dipandang cakap membuat perjanjian jika yang bersangkutan telah cukup umur.
Ketentuan hukum ketenagakerjaan memberikan batasan umur minimal 18 tahun (Pasal 1
angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Selain itu
seseorang dikatakan cakap membuat perjanjian jika orang tersebut tidak terganggu
jiwanya atau waras.
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUHPerdata
adalah hal tertentu. Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan obyek dari perjanjian kerja
antara pekerja dengan pengusaha, yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban
para pihak.
Obyek perjanjian harus halal yakni tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Jenis pekerjaan yang diperjanjikan
merupakan salah satu unsur perjanjian kerja yang harus disebutkan secara jelas.
Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat
dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Unsur-unsur yang ada dalam perjanjian kerja : 24
1.
Adanya unsur pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (obyek
perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan
seizin pengusaha dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata Pasal 1603 a yang berbunyi :
24
http://www.bisnis-sumatra.com/index.php/2013/04/angkut-cpo-pengusaha-lebih-suka-gunakan-
kereta-api/
Universitas Sumatera Utara
“Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seizin majikan ia
dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya “
Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena
bersangkutan dengan ketrampilan atau keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja
meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum.
2.
Adanya unsur perintah
Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah
pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan
pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan hubungan kerja dengan
hubungan lainnya, misalnya hubungan dokter dengan pasien, pengacara dengan klien.
Hubungan tersebut merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk
pada perintah klien.
3.
Adanya upah
Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja),
bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha
adalah untuk memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu
hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja. Seperti seorang narapidana yang
diharuskan untuk melakukan pekerjaan tertentu, seorang mahasiswa perhotelan yang
sedang melakukan praktik lapangan di hotel.
4.
Waktu tertentu
Perkataan waktu tertentu sebagai unsur yang harus ada dalam perjanjian kerja
adalah bahwa hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja tidak berlangsung terusmenerus atau abadi. Jadi bukan waktu tertentu yang dikaitkan dengan lamanya hubungan
kerja antara pengusaha dengan pekerja. Waktu tertentu tersebut dapat ditetapkan dalam
perjanjian kerja, dapat pula tidak ditetapkan. Di samping itu, waktu tertentu tersebut,
meskipun tidak ditetapkan dalam perjanjian kerja mungkin pula didasarkan pada
peraturan perundang-undangan atau kebiasaan.
Jangka waktu perjanjian kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu bagi hubungan
kerja yang dibatasi jangka waktu berlakunya, dan waktu tidak tertentu bagi hubungan
kerja yang tidak dibatasi jangka waktu berlakunya atau selesainya pekerjaan tertentu.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu biasanya disebut dengan
perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap. Status pekerjaannya adalah
pekerja tidak tetap atau pekerja kontrak. Sedangkan untuk perjanjian kerja yang dibuat
Universitas Sumatera Utara
untuk waktu tidak tertentu biasanya disebut dengan perjanjian kerja tetap dan status
pekerjanya adalah pekerja tetap.
Perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis
(Pasal 57 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk lebih menjamin atau menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan sehubungan dengan berakhirnya kontrak kerja. Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan.
Dalam Pasal 59 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya
akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 tahun
3. Pekerjaan yang bersifat musiman
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjan yang bersifat tetap.
Pada Bab 2 point A sudah dijelaskan mengenai pengertian perjanjian dan jenisjenis perjanjian. Perjanjian kerjasama adalah salah satu jenis perjanjian dalam proses
pelaksanaan pekerjaan pada suatu perusahaan. Perjanjian kerjasama berbeda dengan
perjanjian kerja bersama. Adapun terhadap perjanjian kerja bersama tata cara
pembuatannya adalah sebagai berikut : 25
“Perjanjian kerja bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/buruh yang telah tercatat
pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau
beberapa pengusaha. Perundingan perjanjian kerja bersama harus didasari itikad baik dan
kemauan kedua belah pihak. Meskipun perusahaan pada dasarnya memiliki posisi lebih
dominan dibandingkan dengan serikat buruh, tetapi perusahaan harus memberikan
kesempatan dan ruang kepada serikat pekerja dalam menyampaikna aspirasinya sebab
aspirasi dari serikat pekerja mencerminkan aspirasi para buruh yang diwakilinya.
Perundingan perjanjian kerja bersama dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
25
http://yusri-azmi.blogspot.com/2011/06/tanggung-jawab-pengangkut-minyak-mentah.html
Universitas Sumatera Utara
Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama ditetapkan berdasarkan kesepakatan para
pihak dan dituangkan dalam tata tertib perundingan. Pendaftaran dan pengesahan
perjanjian kerja bersama yaitu : 26
1.
Pengusaha mendaftarkan perjanjian kerja bersama kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
2.
Tujuan pendaftaran perjanjian kerja bersama dimaksudkan untuk :
a.
Alat monitoring dan evaluasi pengaturan syarat-syarat kerja yang dilaksanakan
diperusahaan
b. Rujukan utama dalam hal terjadi perselisihan pelaksanaan perjanjian kerja
bersama.
3.
Pengajuan pendaftaran perjanjian kerja bersama harus melampirkan naskah
perjanjian kerja bersama yang dibuat dalam rangkap tiga bermaterai cukup yang telah
ditandatangani oleh pengusaha dan serikat pekerja
4.
Pendaftaran perjanjian kerja bersama dilakukan oleh :
a.
Kepala dinas tenaga kerja kabupaten/kota
b. Kepala dinas tenaga kerja provinsi
c.
Direktur
jenderal
pembinaan
hubungan
industrial
dan
jaminan
sosial
ketenagakerjaan
5.
Dan masih banyak lagi syarat-syarat yang lain
Menurut H.R Daeng Naja, dalam bukunya Contract Drafting mnyebutkan bahwa
kontrak tidak lain adalah perjanjian itu sendiri (terutama perjanjian yang mengikat).
Dalam Pasal 1233 KUHPerdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari :
1. Perjanjian
2. Undang-undang
Pengertian perjanjian kerjasama pada Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu
perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih. Disamping itu suatu perjanjian dianggap sah secara hukum apabila telah
memenuhi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yakni
pertama para pihak harus sepakat/setuju untuk melaksanakan perjanjian. Misalnya si A
menjual mobilnya kepada si B, maka kedua belah pihak (si A dan B) harus sepakat untuk
melaksanakan jual beli, yakni si A menyerahkan mobil dan si B menyerahkan
pembayaran sejumlah uang sesuai kesepakatan.
26
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Kedua, para pihak harus cakap. Artinya, para pihak harus sudah dewasa di dalam
melakukan perbuatan hukum, yakni berumur 21 tahun sebagaimana diatur dalam Pasal
330 KUHPerdata . Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Ketiga adalah perjanjian tersebut mengatur hal-hal tertentu. Artinya, perjanjian
haruslah berisi hal-hal tertentu. Misalnya, perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,
perjanjian hibah, perjanjian fidusia, perjanjian leasing dan sebagainya.
Dan yang keempat adalah isi dari perjanjian haruslah mengatur hal-hal yang
diperbolehkan. Artinya, perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan
umum, ketertiban umum, dan kesusilaan. Perjanjian yang dilarang diantaranya adalah
perjanjian judi, perjanjian hutang piutang dengan bunga yang tidak wajar dan perjanjian
makar.
Disamping itu perjanjian adalah sesuatu yang istimewa karena diperlakukan
layaknya Undang-Undang bagi para pembuatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang
bagi mereka yang membuatnya.
Pemaknaan Undang-Undang bukanlah seperti peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, pemaknaan tersebut ingin menegaskan bahwa perjanjian adalah sesuatu hal
yang sakral bagi kedua belah pihak, karena perjanjian adalah hasil dari kesepakatan
kedua belah pihak yang didasari dengan itikad baik. Oleh karena itu harus dilaksanakan
dengan penuh tanggung jawab.
Subjek atau pihak perjanjian kerjasama, yaitu:
a.
Pihak yang berhak atas sesuatu dari pihak lain
b.
Pihak yang berkewajiban memenuhi sesuatu kepada kreditur
Objek perjanjian kerjasama, yaitu :
a.
Menyerahkan sesuatu
b.
Melakukan sesuatu
c.
Tidak melakukan sesuatu
D. Akibat Hukum yang Timbul dari Perjanjian
Sebagaimana kita ketahui bahwa setiap perjanjian yang merupakan peristiwa
hukum akan melahirkan akibat hukum yaitu akibat-akibat dalam hal mana diatur dan
Universitas Sumatera Utara
ditentukan oleh hukum namun akibat hukum itu haruslah timbul dari perjanjian yang
dibuat para pihak.
Namun disini dapat kita garis bawahi bahwa suatu perjanjian dari satu pihak
hanya mempunyai hak dan kewajiban dan sebaliknya pihak lain hanya mempunyai
kewajiban tanpa hak, hal ini terjadi pada perjanjian yang bukan perjanjian timbal balik.
Sedangkan akibat hukum itu adalah lahirnya hak dan kewajiban yang berkaitan langsung
pada pembuat perjanjian tersebut.
Untuk hal ini dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata ditentukan: Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
1. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
2. Persetujuan-persetujuan yang harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Dari ketentuan pasal ini menentukan bagaimana akibat hukum yang lazim perjanjian
terhadap pembuatnya. Dalam hal ini Mariam Darus Badrulzaman 27 memberikan
pendapat :
“ Bahwa dengan istilah semua maka pembuat undang-undang menunjukkan bahwa
perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata mata perjanjian bernama tapi juga
meliputi perjanjian yang tidak bernama. “
Dan dari ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata ini juga berlaku pada perjanjian yang
dikenal dalam undang-undang maupun yang tidak dikenal dalam undang-undang. Jadi
dapat disimpulkan bahwasannya kewajiban para pihak untuk menaati perjanjian yang
sama dengan mentaati undang-undang dimana apabila terjadi pelanggaran terhadap isi
dari perjanjian sama nilainya dengan melanggar undang-undang.
Pelanggaran terhadap perjanjian yang lazim disebut dengan istilah wanprestasi
akan menerima sanksi hukum yang biasanya berupa ganti rugi di dalam ayat 3 dari Pasal
1338 KUHPerdata menegaskan “pentingnya itikad baik yang bermaksud memperjelas
perjanjian harus sesuai dengan keadilan kepatutan berarti itu harus sesuai dengan
keadilan dan kepatutan berarti perjanjian itu harus mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan.“ 28
Apabila hukum perjanjian terhadap para pihak adalah mempunyai kekuatan
hukum atau mengikat dan memaksa para pihak pembuat perjanjian. Inilah yang
27
28
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal 10
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni Bandung, 2003, hal 99
Universitas Sumatera Utara
dimaksud bahwa perjanjian dtemukan adanya suatu azas yakni azas kepastian hukum.
Selain itu akibat hukum perjanjian itu adalah tidak diperbolehkannya oleh hukum untuk
menarik kembali dibatalkannya secara sepihak saja, kecuali isi perjanjian itu sendiri
memperbolehkannya, ini sering dijumpai pada perjanjian kredit suatu Bank. Apabila
suatu pihak membatalkan perjanjian haruslah ada izin atau sepakat dari pihak lain
pembuat perjanjian. Dari uraian diatas bahwa setiap melakukan perjanjian tentu akan
menghadapi atau menimbulkan akibat hukum.
Universitas Sumatera Utara
Download