BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Teori 1. Argumentasi a

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Argumentasi
a. Pengertian Argumentasi
Argumentasi adalah pemberian alasan untuk memperkuat atau menolak
suatu pendapat, pendirian, atau gagasan (Depdiknas, 2008). Argumentasi
yaitu pendapat seseorang tentang pemikirannya yang melalui fakta yang
mampu untuk mempengaruhi, penggunaan fakta ini untuk meyakinkan
orang lain tentang kebenaran atas pemikirannya. Berargumentasi
membutuhkan kemampuan untuk berpikir tentang pokok bahasan yang
ilmiah dengan menyampaikan dan mendiskusikan pemikirannya secara
tertulis maupun lisan (Seda Saracaloglu, Aktamis, & Delioglu, 2011).
Proses menyusun argumen dan berargumentasi merupakan proses inti
dari berpikir kritis. Siswa mampu menguji kebenaran dari suatu pendapat
untuk mendebat, mengevaluasi pendapat, menaikkan kualitas argumen
dengan menambahkan fakta-fakta yang mendukung, dan menambahkan
contoh realita. Argumentasi merupakan kemampuan yang penting karena
dalam berargumentasi siswa menyusun sikap untuk setuju atau tidak setuju
dengan pendapat orang lain (Lin, 2013). Sikap ilmiah merupakan komponen
yang penting dalam berargumentasi (Erduran S. , 2007).
Argumen digunakan untuk memberitahu orang lain dan meyakinkan
mereka tentang kebenaran. Argumen disusun oleh perseorangan yang
diperoleh dari proses berpikir terhadap suatu kejadian. Berkelompok
mampu memicu penyusunan argumen yang lebih bervariasi. Berlatih
berargumen secara berkelompok merupakan cara yang penting untuk
menyusun keterampilan dasar kemampuan argumentasi dari masing-masing
siswa. Siswa mengkomunikasikan pendapat mereka kemudian memberikan
alasan atau argumentasi atas penjelasan mereka supaya lebih kuat dan
ilmiah. Siswa mengevaluasi penjelasan mereka dengan penjelasan lain,
7
8
terutama yang merefleksikan dengan konsep ilmiah (Osman, Chuo Hiong,
& Vebrianto, 2013).
Berdasarkan definisi dari beberapa peneliti tentang argumentasi, maka
dapat disimpulkan bahwa argumentasi adalah usaha untuk meyakinkan
bahwa pernyataan, pendapat, sikap, atau keyakinan, dengan didukung oleh
fakta-fakta sehingga bernilai benar. Argumentasi memiliki tujuan untuk
mempengaruhi untuk mendukung pernyataan, pendapat, dan sikap yang
diajukan. Pendapat, keyakinan, dan sikap pembicara bisa dianggap benar
ketika didukung dengan argumentasi yang kuat dan pendengar memberikan
dukungan.
Clark, Sampson, Winberger, & Erkens (2007) menjabarkan struktur
argumentasi yang disusun oleh Toulmin bahwa argumentasi memiliki
struktur dimana struktur tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda.
Toulmin membagi struktur argumentasi menjadi enam bagian yaitu:
claims (assertions about what exists or what values people hold), data
(statements that are used as evidence to support the claim), warrants
(statements that explain the relationship of the data to the claim),
qualifiers (special conditions under which the claim holds true),
backings (underlying assumptions), and rebuttals (statements that
contradict either the data, warrants, or backings of an argument).
Claim (klaim) merupakan penyataan atau keputusan yang dipegang
oleh orang yang berargumen, data (data) Fakta yang mendukung penyataan,
warrant (penjamin) merupakan penjelasan tentang hubungan data dengan
pernyataan, qualifiers (kualifikasi) merupakan kondisi tertentu pernyataan
bernilai benar, backing (pendukung) adalah asumsi dasar untuk mendukung
penjamin, rebuttals (sanggahan) merupakan pernyataan yang menyanggah
data, penjelasan hubungan data dengan pernyataan.
Erduran, Simon, & Osborne (2004) mengembangkan kerangka kerja
untuk
mengidentifikasi
kualitas
argumentasi
berdasarkan
model
argumentasi Toulmin. Kualitas argumentasi berdasarkan kerangka kerja
analisis yaitu sebagai berikut:
Analytical framework classified students argument at Level 1 (claim
versus a counter-claim or a claim versus a claim), Level 2 (claims with
9
either data, warrants, or backings, but no rebuttals), Level 3 (series of
claims or counter-claims with either data, warrants, or backings with
the occasional weak rebuttal), Level 4 (claim or claims and counterclaims with a clearly identifiable rebuttal), and finally Level 5 (extended
argument with more than one rebuttal).
Kutipan di atas mengandung arti bahwa kerangka kerja analisis dari
Erduran, Simon, & Osborne (2004) mengklasifikasikan Level argumentasi
siswa sebagai berikut: Level 1 (klaim berlawanan dengan klaim tandingan
atau klaim berlawanan dengan klaim), Level 2 (klaim disertai dengan data,
penjamin, atau pendukung, tetapi tidak mengandung sanggahan), Level 3
(Serangkaian klaim atau tandingan klaim disertai dengan data, penjamin,
atau pendukung dengan sanggahan yang lemah), Level 4 (klaim dan klaim
tandingan yang disertai dengan sanggahan yang dapat diidentifikasi dengan
jelas), dan terakhir Level 5 (argumen yang lebih luas dengan lebih dari satu
sanggahan).
b. Hubungan Kemampuan Argumentasi dengan Belajar Biologi
Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi,
2013). Argumen dan berlatih berargumen merupakan aktivitas inti dari
seorang yang bergerak di bidang sains, termasuk pendidikan sains (Osman,
Chuo Hiong, & Vebrianto, 2013). Argumentasi merupakan salah satu
bagian dari pembelajaran sains yang dapat ditingkatkan dan diperkuat di
dalam proses pembelajaran sains di kelas (Simon, Erduran, & Osborne,
2006). Biologi mempelajari fakta atau temuan atas permasalahan yang
menimbulkan pertanyaan yang harus dirumuskan jawaban atau solusinya
menggunakan metode ilmiah. Permasalahan biologi semakin kompleks
sehingga memerlukan solusi kritis untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Penentuan jawaban terbaik atas masalah tersebut maka diperlukan solusi
yang disertai dengan argumentasi. Argumentasi tersebut harus berdasarkan
pada fakta dan pemikiran yang kritis. Erduran & Jiménez-Aleixandre (2007)
berpendapat bahwa argumentasi merupakan bagian yang integral dari sains,
sehingga argumentasi seharusnya terintegrasi juga dengan pendidikan sains.
10
Kemampuan argumentasi merupakan komponen yang penting untuk
ketercapaian tujuan pembelajaran biologi SMA pada Kurikulum 2013.
Permendikbud Nomor 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan
mengharuskan siswa agar memiliki keterampilan berpikir. Keterampilan
argumentasi merupakan salah satu keterampilan berpikir (Siswanto,
Kaniawati, & Suhandi, 2014). Permendikbud no. 69 tahun 2013
menjelaskan bahwa perlu ada penyempurnaan pola pikir dari pembelajaran
pasif menjadi pembelajaran kritis. Kurikulum 2013 juga menekankan pada
pengembangan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang bertujuan agar
pembelajaran dapat membangun kemampuan berpikir kritis siswa.
kemampuan bepikir tingkat tinggi diperlukan siswa untuk menyelesaikan
permasalahan dan untuk melatihkan kemampuan berpikir tingkat tinggi
diperlukan kemampuan untuk berargumentasi secara ilmiah (Aisyah, 2015).
c. Teori Belajar yang Melandasi Kemampuan Argumentasi
Menurut Ausubel bahwa kemampuan meakukan komunikasi tentang
hubungan antara konsep satu dengan konsep lainnya merupakan ciri belajar
bermakna. Terbentuknya belajar bermakna pada siswa adalah tuntutan
dunia pendidikan dewasa ini. Selanjutnya Ausubel menyatakan bahwa
pengembangan konsep berlangsung paling baik, bila unsur-unsur paling
umum (paling inklusif) dari suatu konsep diperkenalkan lebih dahulu, dan
kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih rinci (dari umum ke khusus).
Belajar bermakna akan terjadi, jika konsep satu dijelaskan hubungannya
dengan konsep lainnya. Menurutnya, belajar bermakna merupakan suatu
proses mengaitkan informasi atau konsep baru pada konsep-konsep yang
re1evan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Selain itu, belajar
bermakna bukan hanya memperoleh pegetahuansemata,tetapi juga dapat
menggali kandungan nilai-nilai dari prinsip-prinsip atau teori bahan ajarnya
yang dapat diterapkan sebagai sumber nilai bagi kehidupan manusia seharihari (Dahar, 2011). Berdasarkan pendapat ini menunjukkan bahwa
berargumentasi merupakan proses belajar bermakna. Berargumentasi
11
membutuhkan kemampuan berpikir kritis untuk menghubungkan berbagai
macam konsep, pengalaman, dan fakta untuk memperkuat jawaban.
2. Brainstorming
a. Pengertian Brainstorming
Paulus dan Brown (2007) berpendapat brainstorming merupakan suatu
kelompok dimana anggotanya menyampaikan pendapat terhadap suatu isu
atau permasalahan. Brainstorming merupakan teknik yang populer
diterapkan di dalam proses pembelajaran dan cenderung tidak sistematis.
Menurut AlMutairi (2015) brainstorming merupakan cara yang sangat
penting untuk menumbuhkan kreativitas dan penyelesaian masalah.
Brainstorming memiliki makna yaitu menggunakan pikiran untuk aktif
menyelesaikan masalah dan fase brainstorming merupakan kesempatan
untuk menyusun solusi yang kreatif dalam menyelesaikan masalah.
b. Kelebihan dan Kekurangan Brainstorming
Al-Khatib (2012) menjelaskan bahwa brainstorming strategi untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi, proses berpikir, dan membuat
keputusan dengan berbagai sudut pandang dan pendapat. Siswa dilatih
untuk aktif menyampaikan informasi, pengalaman, dan pendapat. Semua
ide baru yang dikemukakan oleh siswa diterima untuk memperkaya solusi
dalam penyelesaian masalah. AlMutairi (2015) menyatakan bahwa
brainstorming mengkombinasikan suasana natural dan pendekatan informal
untuk menyelesaikan masalah dengan pola berpikir lateral. Kombinasi
tersebut mampu mengoptimalkan siswa untuk berpikir dan mengeluarkan
ide. Ide tersebut bisa berupa ide yang orisinil, solusi kreatif untuk masalah
yang mampu memunculkan ide yang lain. kegiatan tersebut mampu
membantu siswa untuk berpikir kreatif.
c. Langkah-langkah Brainstorming
Langkah-langkah brainstorming menurut AlMutairi (2015) adalah
sebagai berikut: (1) prepare the group; (2) present the problem; dan (3)
guide the discussion. Pada fase prepare the group, guru membagi siswa
menjadi beberapa kelompok secara heterogen. setiap kelompok ada siswa
12
yang bertugas mencatat ide yang muncul dari setiap fase pembelajaran.
Guru disarankan membuat icebreaking pada setiap fase pembelajaran untuk
mengurangi rasa jenuh pada siswa. Pada fase present the problem, siswa
mendefinisikan permasalahan yang akan diselesaikan dan menyusun pola
penyelesaian masalah secara jelas. siswa menyusun pendapat mereka
tentang permasalahan dan menyampaikan pendapat mereka serta
memberikan kesempatan siswa lain untuk memberikan masukan. Pada fase
guide the discussion, guru berperan memandu diskusi siswa. Diskusi siswa
akan membantu siswa untuk menyusun pendapat dan pendapat tersebut
mampu memunculkan pendapat baru. pembentukan pendapat baru
merupakan merupakan aspek yang berharga dari fase brainstorming secara
berkelompok. setiap siswa didorong untuk turut serta dalam setiap proses
pembelajaran dan membangun ide, termasuk siswa yang tidak aktif dan
mengarahkan siswa untuk mengkritisi ide dari siswa lain. diskusi siswa
diharapkan mampu menghasilkan ide yang berbeda-beda dan memperinci
ide dari setiap siswa.
d. Hubungan Brainstorming dengan Belajar Biologi
Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi,
2013). Biologi mempelajari fakta atau temuan atas permasalahan yang
menimbulkan pertanyaan yang harus dirumuskan jawaban atau solusinya
menggunakan metode ilmiah. Permasalahan biologi semakin kompleks
sehingga memerlukan solusi kritis untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Brainstorming
akan
membantu
siswa
untuk
mendefinisikan
permasalahan yang ditemui siswa untuk menyusun konsep biologi dan
menyusun pola penyelesaian masalah secara jelas. setiap siswa didorong
untuk turut serta dalam setiap proses pembelajaran dan membangun ide,
termasuk siswa yang tidak aktif dan mengarahkan siswa untuk mengkritisi
ide dari siswa lain. Menurut Vygotsky bahwa interaksi antar siswa sangat
bermanfaat untuk menginternalisasi konsep yang sulit dan permasalahan
yang ditemukan dalam proses pembelajaran dalam belajar sains, termasuk
biologi. Adanya peluang untuk menyampaikan ide, mendengarkan ide-ide
13
orang lain, dan merefleksikan ide sendiri pada ide-ide orang lain sekaligus
suatu bentuk pengalaman pemberdayaan siswa. Suasana belajar dan rasa
kebersamaan yang tumbuh dan berkembang di antara sesama anggota
kelompok memungkinkan siswa untuk mengerti dan memahami materi
pelajaran biologi dengan lebih baik (Dahar, 2011). Teori tersebut sejalan
dengan pendapat Sanjaya (2012) bahwa pengetahuan sebaiknya diperoleh
dari kerjasama dengan orang lain, antar teman, antar kelompok; yang sudah
tahu memberi tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki
pengalaman membagi pengalamannya pada orang lain.
e. Teori Belajar yang Melandasi Brainstorming
Teori Vygotsky menunjukkan bahwa siswa yang belajar secara
bersama-sama mempunyai keterampilan lebih baik dibanding siswa yang
belajar sendiri. Kegiatan bekerja sama dalam kelompok menjadikan siswa
akan melewati Zone of Proximal Development, yaitu masa dimana siswa
lebih optimal dalam menerima informasi ketika bekerjasama. Siswa
menerima lebih banyak ide dan informasi dari orang lain yang dijadikan
sebagai pengalaman belajar. Ide penting lain yang diturunkan dari teori
Vygotsky adalah Scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah
besar bantuan kepada sorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran
dan kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah anak dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat
berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan, masalah ke dalam
langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh ataupun yang lain yang
memungkinkan siswa tumbuh mandiri. Ada dua implikasi utama teori
Vygotsky dalam pendidikan, yaitu: (1) suasana kelas berbentuk
pembelajaran kooperatif antar-siswa, sehingga siswa dapat bekerjasam dan
saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif; (2)
pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan Scaffolding dengan
siswa semakin lama semakin bertanggung jawab saat proses pembelajaran
secara mandiri (Dahar, 2011).
14
Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan
melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan berbeda. Perbedaan pertumbuhan siswa hal
tersebut dilihat dari bagaimana siswa dalam mengemukakan pendapatnya.
Menurut Piaget, pertukaran gagasan-gagasan tidak dapat dihindari untuk
perkembangan penalaran. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya
untuk mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu
ke dalam bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam
bentuk klasikal, mengutamakan peran siswa untuk saling berinteraksi
(Dahar, 2011).
3. Discovery Learning
a. Pengertian Discovery Learning
Discovery
learning
merupakan
model
pembelajaran
yang
mengembangkan kemampuan berpikir siswa karena melibatkan siswa untuk
belajar aktif dan menyusun konsep secara mandiri (Baroodya, Purpurab, &
Reidd, 2015). Discovery learning merupakan model pembelajaran yang
tidak menyediakan langkah-langkah untuk mencapai tujuan pembelajaran
kepada siswa namun memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan konsep secara mandiri dibantu sumber belajar yang tersedia
(Alfieri, Brooks, & Tenenbaum, 2011). Menurut Hamdani (2011)
pembelajaran berbasis penemuan (discovery) siswa diarahkan untuk
mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Adapun proses asimilasi
siswa melalui proses mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat
kesimpulan dll. Penggunaan discovery dalam batas-batas tertentu baik
untuk kelas rendah.
Menurut
Osman,
Chuo
Hiong,
&
Vebrianto
(2013)
teori
konstruktivistik merupakan dasar penyangga yang mendukung berbagai
pendekatan dalam proses pembelajaran biologi, terutama ketika siswa ingin
menyatukan konsep baru dan konsep lama ketika menemukan pengetahuan
baru. Mereka mengasimilasi dan mengakomodasi pengetahuan secara
berkelanjutan. Mereka memerlukan merefleksikan pengetahuan dan
15
pengalaman dengan baik. Proses penemuan dan penyelidikan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk untuk mengeksplorasi dan memahami
pemahaman secara mandiri. Pembelajaran berbasis penemuan memerlukan
koordinasi antara pengetahuan dan keterampilan secara secara bersamasama. Aktivitas menemukan dan menyelidiki terdapat pada permasalahan
yang nyata. Proses tersebut membutuhkan kemampuan siswa untuk
menyusun pengetahuannya sendiri melalui kegiatan hand on dan mind on.
Discovery
learning
adalah
model
pembelajaran
berbasis
kontruktivistik, membimbing siswa untuk berpikir sepanjang proses
pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Aktivitas siswa juga
membantu meningkatkan kualitas pembelajaran supaya bermakna seperti
praktikum, diskusi, dan pengamatan secara bebas. Pembelajaran bermakna
juga meningkatkan aktivitas kognitif seperti memilih data, menyusun data,
dan mengintegrasikan data dengan pengetahuan sebelumnya (Mayer, 2004).
Balim (2009) menyatakan bahwa discovery learning merupakan salah satu
model pembelajaran yang bersumber pada fenomena yang terjadi secara
alami. Siswa akan belajar ketika proses pembelajaran mampu memunculkan
rasa ingin tahu. Rasa ingin tahu akan mengarahkan siswa untuk belajar dan
menemukan
pengetahuan.
Discovery
learning
merupakan
model
pembelajaran yang mendorong siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran
berdasarkan aktivitas dan observasi yang penting untuk mencapai
pembelajaran bermakna dan pembelajaran sepanjang masa.
b. Discovery Learning dalam Pembelajaran Biologi
Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi,
2013). Discovery learning dalam pembelajaran sains mampu membangun
kemampuan pemahaman siswa karena memfasilitasi siswa untuk berusaha
memahami fenomena yang terjadi menggunakan kemampuan kognitif,
metakognitif, psikomotor, dan afektif. Discovery learning membutuhkan
siswa untuk mengambil contoh fenomena untuk dipelajari dari kehidupan
sehari-hari, menyusun hipotesis, menguji hipotesis seperti ilmuwan untuk
mencapai tingkatan kognitif yang lebih tinggi.
16
c. Karakteristik Discovery Learning
Balim (2009) menyatakan bahwa discovery learning diawali dari
ketidaktahuan menjadi keingintahuan dari siswa, sehingga di dalam
discovery learning siswa menyusun ilmu pengetahuan atau konsep
berdasarkan pengetahuan baru dan data yang dikumpulkan oleh siswa dalam
kegiatan eksplorasi. Proses memunculkan rasa ingin tahu pada siswa dan
mengarahkan untuk menyelidiki fenomena yang terjadi dari sudut pandang
lain akan membantu siswa untuk memperbaiki miskonsepsi. siswa akan
mendapatkan rangsangan untuk berpendapat dan berargumentasi dari apa
yang dia lakukan, rasakan, bagikan dan apa yang dirasakan, dilakukan oleh
teman-temannya selama proses pembelajaran. model pembelajaran
discovery learning memfasilitasi siswa untuk belajar senyaman mungkin
tanpa ada tekanan sehingga siswa mampu mengekspesikan apa yang
dirasakannya.
Ketika siswa melakukan penelitian mereka menggunakan berbagai
macam kemampuan penyelidikan, seperti bertanya, memunculkan
hipotesis, merencanakan eksperimen untuk menguji hipotesis, menganalisis
data, menarik kesimpulan dari data, menyusun kesimpulan, menyampaikan
hasil dan menulis laporan penelitian. Guru secara rutin mengingatkan siswa
untuk berefleksi, berkolaborasi, bertanya kepada mereka sendiri,
menentukan kesimpulan mereka sendiri. Discovery learning mengarahkan
siswa untuk berefleksi, berpikir, mencoba, dan bereksplorasi. Siswa akan
lebih yakin terhadap suatu ilmu pengetahuan atau konsep ketika siswa
menemukan ilmu atau konsep tersebut secara mandiri (Osman, Chuo Hiong,
& Vebrianto, 2013).
d. Sintaks Discovery Learning
Discovery learning merupakan tahap pembentukan konsep meliputi
analisis, generasi hipotesis, pengujian, evaluasi, dan proses perencanaan
regulatif, verifikasi dan pemantauan (Kuhn, Black, Keselman, dan Kaplan
dalam Veermans, 2003). Tahap-tahap Discovery Learning menurut
Veermans (2003) meliputi 5 sintaks yaitu: (1) orientation; (2) hypothesis
17
generation; (3) hypothesis testing; (4) conclusion; dan (5) regulation.
Sintaks orientation merupakan proses belajar membangun gambaran awal
dari ranah pembelajaran dan lingkungan pembelajaran. kegiatan yang
dilakukan pada tahap orientasi meliputi memahami latar belakang,
mengeksplorasi ranah pembelajaran, mengidentifikasi variabel ranah
pembelajaran, menghubungkan pengetahuan tentang ranah pembelajaran
dengan pokok permasalahan yang dimiliki. Hasil dari tahap orientasi bisa
digunakan untuk tahap lain. Sintaks hypothesis generation merupakan tahap
penyusunan hipotesis dari ranah pembelajaran oleh siswa. Hipotesis adalah
penyataan hubungan dua atau beberapa variabel input dan output yang
menunjukkan gagasan tentang hubungan antar fenomena. Hipotesis
diperoleh dari hasil eksplorasi ranah pembelajaran dan hipotesis lain hasil
analogi. Sintaks hypothesis testing merupakan tahap membuktikan
kebenaran dari hipotesis. Pembuktian dilakukan oleh siswa secara mandiri.
Siswa
menyusun
rancangan
percobaan,
melakukan
percobaan,
mengumpulkan data yang dihasilkan dari percobaan, dan menafsirkan hasil
percobaan. Sintaks conclusion tahap penyusunan kesimpulan berdasarkan
hasil penemuan. Siswa menyimpulkan apakah hasil eksperimen yang
dilakukan sesuai dengan hipotesis yang telah disusun atau terjadi perbedaan
antara
hasil
eksperimen
dengan
hipotesis.
Selanjutnya
siswa
mengidentifikasi perbedaan antara bukti (hasil eksperimen) dan prediksi
(hipotesis). Sintaks regulation meliputi planning, monitoring, dan
evaluation. Planning meliputi penyusunan tujuan dan penyusunan langkah
kerja untuk mencapai tujuan. Monitoring merupakan proses kontrol untuk
menjaga langkah yang dilakukan sesuai dengan rencana. Evaluation
merupakan proses penilaian terhadap hasil, langkah yang diambil pada
setiap tahapan, dan menghubungkan keduanya dengan tujuan.
e. Kelebihan dan Kekurangan Discovery Learning
Discovery learning mampu meningkatkan kualitas pembelajaran karena
siswa mendapatkan proses pembelajaran yang bermakna karena siswa
membuka kembali pemahaman yang sudah dimiliki dan mengkaitkan
18
dengan fenomena atau permasalahan untuk membentuk pemahaman baru,
siswa dilatih berpikir secara sistematis dan logis melalui tahap penyusunan
variabel dan melakukan eksperimen, siswa dilatih menyusun kesimpulan
berdasarkan tahapan yang sudah dilalui siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran, dan siswa dilatih untuk belajar mengevaluasi proses
pembelajaran yang sudah dilakukan. Penerapan pembelajaran berbasis
penemuan
mampu
membangun
kemampuan
siswa
dalam
aspek
kemandirian, rasa ingin tahu, kreatif, adaptif, manajemen, kemauan
mengambil resiko, berpikir tingkat tinggi, dan mengemukakan pendapat.
Siswa berperan sebagai pembelajar yang mandiri dan guru berperan sebagai
fasilitator (Osman, Chuo Hiong, & Vebrianto, 2013).
Veerman (2003) menyatakan bahwa tahapan dalam discovery learning
terlihat sulit oleh siswa. Siswa mengalami permasalahan pada satu atau
lebih tahapan discovery learning. Kelemahan pembelajaran berbasis
discovery menurut Hamdani (2011) yaitu siswa harus memiliki kesiapan
dan kematangan mental, apabila kelas terlalu besar penggunaan discovery
kurang berhasil.
4. Discovery Learning Disertai Brainstorming
a. Integrasi Discovery Learning Disertai Brainstorming
Discovery learning yang terdiri dari 5 sintaks yaitu: (1) orientation;
(2) hypothesis generation; (3) hypothesis testing; (4) conclusion; dan (5)
regulation (Veermans, 2003) diintegrasikan fase brainstorming disetiap
sintaksnya yang terdiri dari: (1) prepare the group; (2) present the
problem; dan (3) guide the discussion (AlMutairi, 2015). Pengintegrasian
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas argumentasi
siswa. Brainstorming mampu mendorong siswa untuk mengajukan
pendapatnya secara optimal sehingga terjadi kuantitas argumentasi.
Kualitas argumentasi yang diajukan oleh siswa diperkuat dengan data-data
yang diperoleh dari sintaks discovery learning. Ketika siswa sudah
terbiasa berargumentasi maka kemampuan argumentasi siswa bisa
meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
19
b. Hubungan Discovery
Pembelajaran Biologi
Learning
dan
Brainstorming
dengan
Pembelajaran biologi merupakan salah satu bagian dari sains (Efendi,
2013). Biologi mempelajari fakta atau temuan atas permasalahan yang
menimbulkan pertanyaan yang harus dirumuskan jawaban atau solusinya
menggunakan metode ilmiah. Permasalahan biologi semakin kompleks
sehingga memerlukan solusi kritis untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Discovery
learning
adalah
model
pembelajaran
berbasis
kontruktivistik, membimbing siswa untuk berpikir sepanjang proses
pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran (Mayer, 2004). AlKhatib
(2012)
menjelaskan
bahwa
brainstorming
strategi
untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi, proses berpikir, dan membuat
keputusan dengan berbagai sudut pandang dan pendapat.
Penerapan discovery Learning disertai brainstorming dalam proses
pembelajaran biologi memungkinkan terjadinya interaksi yang intens
diantara anggota kelompok. karena setiap mereka akan melakukan diskusi,
saling membagi pengetahuan, pemahaman dan kemampuan serta saling
mengoreksi untuk memperoleh konsep biologi. Siswa dilatih memperoleh
berbagai informasi yang dibutuhkannya untuk melengkapi dan memperkaya
pengetahuan yang dimiliki dari berbagai sumber untuk memperkuat
pendapatnya berupa argumentasi, sedangkan guru cukup membimbing
siswa supaya memperoleh konsep biologi yang tepat melalui sintaks
discovery learning dan aktif mencurahkan pendapat atau pengalaman
melalui brainstorming. Menurut Riyanto (2009) siswa akan mengalami
perkembangan kepribadian, perkembangan sosiemosional, perkembangan
kognitif, dan perkembangan bahasa. Siswa menyusun konsep melalui tiga
tahapan yaitu: (1) Asimilasi, merupakan proses penyatuan informasi baru
ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa; (2) Akomodasi,
merupakan tahap penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru;
(3) Equilibrasi, merupakan mekanisme penyesuaian berkesinambungan
antara asimilasi dan akomodasi.
20
c. Teori Belajar yang Melandasi Discovery Learning dan Brainstorming
Teori konstruktivisme menyatakan bahwa siswa menyusun ilmu
pengetahuan dan memperoleh pemahaman atas ilmu pengetahuan tersebut
melalui pengalaman sendiri melalui proses aktif yang berlaku dalam otak.
Siswa memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung
pada pengalaman, dan perspektif yang dipakai dalam menginterprestasikan
(Mufidah, 2014). Lawson menyarankan dalam proses pembelajaran sains
menurut model kontruktivistik betapa pentingnya peranan bahasa dalam
bentuk argumentasi (Dahar, 2011).
Sistem pembelajaran berbasis konstruktivistik berarti siswa memulai
dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan kemudian siswa dengan
bimbingan guru mampu menemukan konsep. Sistem pembelajaran berbasis
konstruktivistik mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir
yang mandiri, mengembangkan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari sendiri jawabannya. Siswa didorong untuk memberikan informasi,
pandangan, dan pendapat. Peran guru dalam proses pembelajaran berbasis
konstrutivistik yaitu mendorong siswa terlibat dalam dialog, memberikan
tanggapan, dan berdiskusi (Riyanto, 2009).
Bruner memaparkan bahwa siswa hendaknya aktif mencari konsep dan
prinsip ilmu pengetahuan melalui pengalaman dan bereksperimen. Belajar
penemuan memberikan manfaat kepada siswa seperti: (1) pengetahuan itu
bertahan lama dalam ingatan; (2) konsep dan prinsip yang diperoleh lebih
mudah diterapkan pada situasi baru; dan (3) mampu meningkatkan
penalaran siswa dan kemampuan berpikir secara bebas. Tujuan
pembelajaran berbasis penemuan bukan hanya untuk memperoleh
pengetahuan saja. Tujuan belajar sebenarnya adalah untuk memperoleh
pengetahuan dengan suatu cara yang dapat melatih intelektual para siswa
serta merangsang keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan
mereka. Guru tidak begitu mengendalikan proses belajar mengajar. Untuk
membelajarkan sains kita sebaiknya membuat anak-anak berpikir secara
matematis bagi dirinya sendiri untuk memperoleh pengetahuan. Mengetahui
21
merupakan suatu proses, bukan suatu produk (Dahar, 2011). Menurut
Bruner belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung bersamaan yaitu
memperoleh informasi baru, transformasi informasi menjadi konsep, dan
evaluasi pengetahuan (Riyanto, 2009).
Menurut Piaget untuk mengembangkan kemampuan kognitif siswa
diperlukan pengembangan metode pembelajaran untuk merangsang
kemampuan berpikir siswa serta melakukan penilaian proses dan hasil
belajar peserta didik. Perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga
tahap yang ditentukan oleh cara melihat lingkungan, sebagaimana berikut:
(1) Tahap enaktif, pada tahap ini peserta didik melakukan berbagai aktivitas
supaya mengetahui fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya Siswa
melakukan observasi dan mendapatkan pengalaman secara langsung dalam
menemukan fakta; (2) Tahap ikonik, pada tahap ini peserta didik melihat
fakta dan ilmu pengetahuan melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal;
(3) Tahap simbolik, peserta didik mempunyai gagasan-gagasan abstrak
yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika serta komunikasi dilakukan
dengan pertolongan sistem symbol (Komsiyah, 2012).
Menurut Ausubel pembelajaran yang dialami siswa harus bermakna,
ilmu pengetahuan yang dipelajari diasimilasikan dengan ilmu pengetahuan
yang telah dimiliki sebelumnya (Komsiyah, 2012). Belajar bermakna
merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep
yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Dahar, 2011).
Pembelajaran di sekolah sebaiknya memperhatikan perhatian kepada
cara berpikir atau proses mental anak, dan tidak sekedar kepada hasilnya.
Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang
digunakan anak untuk mencapai jawaban tersebut. Guru juga dituntut untuk
menyiapkan berbagai rencana pembelajaran yang memungkinkan siswa
berproses dengan fisik atau kemampuan psikomotor mereka (Riyanto,
2009).
22
5. Sistem Kekebalan Tubuh
a. Sistem Kekebalan (Imunitas)
Ketika ada mikroorganisme seperti bakteri atau virus masuk ke dalam
tubuh, tubuh akan menolak dan menghancurkannya jika tubuh dalam
kondisi normal. Tubuh memiliki sistem imun berlapis untuk menghadapi
gangguan dari luar yang dapat menyebabkan penyakit (Pratiwi, Maryati,
Srikini, & Suharno, 2006). Sel-sel dalam sistem imun menghasilkan
antibodi
yang
akan
mengenali
antigen
dari
benda
asing
atau
mikroorganisme patogen (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto,
2009).
1) Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh
Mikroba untuk dapat menginfeksi bagian organ yang lebih dalam
terlebih dahulu harus berhasil menembus penghalang luar yaitu kulit dan
membran mukosa. Apabila sudah berhasil melewati pertahanan pertama
maka harus menghadapi pertahanan kedua yaitu fagositosis dan protein
antimikroba. Berdasarkan cara mempertahankan diri dari penyakit,
imunitas dibedakan menjadi dua, yaitu imunitas nonspesifik dan
imunitas spesifik. Adapun berdasarkan cara memperolehnya dibedakan
menjadi kekebalan aktif dan kekebalan pasif.
2) Imunitas Nonspesifik
Pertahanan tubuh terhadap serangan (infeksi) oleh mikroorganisme
telah dilakukan sejak dari permukaan luar tubuh yaitu kulit dan pada
permukaan organ-organ dalam. Tubuh dapat melindungi diri tanpa
harus terlebih dulu mengenali atau menentukan identitas organisme
penyerang pada pertahanan pertama dan pertahanan kedua.
a) Pertahanan Pertama
Pertahanan pertama merupakan pertahanan yang terdapat di
permukaan organ tubuh. Pertahanan pertama terdiri dari kulit,
membran mukosa, dan cairan sekresinya. Setiap organ tubuh seperti
paru-paru, lambung, ginjal, mempunyai kulit dan membran mukosa
sebagai pembatas mekanis agar mikroba tidak masuk ke dalam
23
organ tersebut. Setiap kulit dan membran mukosa pada organ-organ
tubuh memiliki cara tersendiri untuk melindungi diri dari kuman
penyakit. Kulit terdapat kelenjar minyak yang mengandung bahan
kimia yaitu lisozim dan dapat melemahkan bahkan membunuh
bakteri di kulit. pH kulit bersifat asam (pH berkisar 3-5), sehingga
menghambat pertumbuhan bakteri.
Saliva pada mulut mengandung lisosom yang mampu
membunuh bakteri. Di dalam perut, mikroorganisme yang masih
hidup juga dimatikan dengan adanya asam-asam. Di dalam usus
terdapat enzim-enzim pencernaan yang juga dapat membunuh
mikroorganisme yang merugikan.
Pada trakea terdapat sel-sel bersilia yang dapat menyapu lendir
serta
partikel-partikel
berbahaya
yang
terselip
di
antara
kerongkongan agar dapat keluar bersama air ludah (Purnomo,
Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009)
b) Pertahanan Kedua
Pertahanan kedua terdiri dari reaksi peradangan yang diikuti
oleh aktivitas sel Fagosit dan protein pelindung anti mikroba.
(1) Reaksi Peradangan
Mikroorganisme yang telah berhasil melewati pertahanan di
bagian permukaan organ dapat menginfeksi sel-sel dalam organ.
Tubuh akan melakukan perlindungan dan pertahanan dengan
memberi tanda secara kimiawi yaitu dengan cara sel terinfeksi
mengeluarkan senyawa kimia histamin dan prostaglandin.
Senyawa kimia ini akan menyebabkan pelebaran pada pembuluh
darah di daerah yang terinfeksi. Hal ini akan menaikkan aliran
darah ke daerah yang terkena infeksi. Akibatnya daerah
terinfeksi menjadi berwarna kemerahan dan terasa lebih hangat.
Mekanisme sistem pertahanan tubuh dapat dijelaskan
sebagai berikut.
24
(a) Jaringan mengalami luka, kemudian mengeluarkan tanda
berupa senyawa kimia yaitu histamin dan senyawa kimia
lainnya.
(b) Terjadi pelebaran pembuluh darah (vasodilatasi) yang
menyebabkan bertambahnya aliran darah, menaikkan
permeabilitas
pembuluh
darah.
Selanjutnya
terjadi
perpindahan sel-sel fagosit.
(c) Sel-sel fagosit (makrofag dan neutrofil) memakan patogen.
Bakteri yang sudah berada di dalam makrofag kemudian
dihancurkan dengan enzim lisosom. Makrofag juga bertugas
untuk mengatasi infeksi virus dan partikel debu yang berada
di dalam paru-paru. Setelah infeksi tertanggulangi, beberapa
neutrofil akhirnya mati seiring dengan matinya jaringan sel
dan bakteri. Setelah ini sel-sel yang masih hidup membentuk
nanah. Terbentuknya nanah merupakan indikator bahwa
infeksi telah sembuh. Jadi reaksi inflamatori merupakan
sinyal adanya bahaya dan sebagai perintah agar sel darah
putih memakan bakteri yang menginfeksi tubuh. Selain sel
monosit yang berubah menjadi makrofag juga terdapat sel
neutrofil yang akan membunuh bakteri (mikroorganisme
asing lainnya).
(2) Fagositosis
Fagositosis adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan
oleh sel-sel fagosit dengan cara mencerna mikrobia/partikel
asing. Sel fagosit terdiri dari dua jenis, yaitu fagosit mononuklear
dan fagosit polimorfonuklear. Contoh fagosit mononuklear
adalah monosit (di dalam darah) dan jika bermigrasi ke jaringan
akan
berperan
sebagai
makrofag.
Contoh
fagosit
polimorfonuklear adalah granulosit, yaitu neutrofil, eosinofil,
basofil, dan cell mast (mastosit). Sel-sel fagosit akan bekerja
25
sama setelah memperoleh sinyal kimiawi dari jaringan yang
terinfeksi patogen. Berikut ini adalah proses fagositosis:
(a) Pengenalan (recognition), mikrobia atau partikel asing
terdeteksi oleh sel-sel fagosit.
(b) Pergerakan (chemotaxis), pergerakan sel fagosit menuju
patogen yang telah terdeteksi. Pergerakan sel fagosit dipacu
oleh zat yang dihasilkan oleh patogen.
(c) Perlekatan (adhesion), partikel melekat dengan reseptor pada
membran sel fagosit.
(d) Penelanan (ingestion), membran sel fagosit menyelubungi
seluruh permukaan patogen dan menelannya ke dalam
sitoplasma yang terletak dalam fagosom.
(e) Pencernaan (digestion), lisosom yang berisi enzim-enzim
bergabung dengan fagosom membentuk fagolisosom dan
mencerna seluruh permukaan patogen hingga hancur. Setelah
infeksi hilang, sel fagosit akan mati bersama dengan sel
tubuh dan patogen. Hal ini ditandai dengan terbentuknya
nanah.
(f) Pengeluaran (releasing), produk sisa patogen yang tidak
dicerna akan dikeluarkan oleh sel fagosit.
(3) Protein Pelindung Anti Mikroba
Jenis protein ini mampu menghasilkan respons kekebalan, di
antaranya adalah komplemen. Komplemen ini dapat melekat
pada bakteri penginfeksi. Setelah itu, komplemen menyerang
membran bakteri dengan membentuk lubang pada dinding sel
dan membran plasmanya. Hal ini menyebabkan ion-ion Ca+
keluar dari sel bakteri, sedangkan cairan serta garam-garam dari
luar sel bakteri akan masuk ke dalam tubuh bakteri. Masuknya
cairan dan garam ini menyebabkan sel bakteri hancur.
26
3) Imunitas Spesifik
Imunitas spesifik diperlukan untuk melawan antigen tertentu.
Antigen merupakan substansi berupa protein dan polisakarida yang
mampu merangsang munculnya sistem kekebalan tubuh (antibodi).
Imunitas spesifik dapat diperoleh melalui pembentukan antibodi.
Antibodi merupakan senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel darah
putih. Semua kuman penyakit memiliki zat kimia pada permukaannya
yang disebut antigen. Antigen sebenarnya terbentuk atas protein. Tubuh
akan merespon ketika tubuh mendapatkan penyakit dengan cara
membuat antibodi. Sistem pertahanan tubuh spesifik merupakan
pertahanan ketiga yang terdiri atas beberapa komponen, yaitu:
a) Limfosit
(1) Limfosit B (Sel B)
Proses pembentukan dan pematangan sel B terjadi di
sumsum tulang. Sel B berperan dalam pembentukan kekebalan
humoral dengan membentuk antibodi.
(2) Limfosit T (Sel T)
Proses pembentukan sel T terjadi di sumsum tulang,
sedangkan proses pematangannya terjadi di kelenjar timus. Sel T
berperan dalam pembentukan kekebalan seluler, yaitu dengan
cara menyerang sel penghasil antigen secara langsung. Sel T juga
membantu produksi antibodi oleh sel B plasma.
b) Antibodi (Immunoglobulin/Ig)
Antibodi akan dibentuk saat ada antigen yang masuk ke dalam
tubuh. Antigen adalah senyawa protein yang ada pada patogen sel
asing atau sel kanker. Antibodi disebut juga immunoglobulin atau
serum protein globulin, karena berfungsi untuk melindungi tubuh
melalui proses kekebalan (immune). Antibodi merupakan senyawa
protein yang berfungsi melawan antigen dengan cara mengikatnya,
untuk selanjutnya ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag. Suatu
antibodi bekerja secara spesifik untuk antigen tertentu. Karena jenis
27
antigen pada setiap kuman penyakit bersifat spesifik, maka
diperlukan antibodi yang berbeda untuk jenis kuman yang berbeda.
Oleh karena itu, diperlukan berbagai jenis antibodi untuk
melindungi tubuh dari berbagai kuman penyakit.
Antibodi tersusun dari dua rantai polipeptida yang identik, yaitu
dua rantai ringan dan dua rantai berat. Keempat rantai tersebut
dihubungkan satu sama lain oleh ikatan disulfida dan bentuk
molekulnya seperti huruf Y. Setiap lengan dari molekul tersebut
memiliki tempat pengikatan antigen. Antibodi dibedakan menjadi
lima tipe seperti pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Tipe dan Karakteristik Antibodi
No.
Tipe
Antibodi
1.
IgM
2.
IgG
3.
IgA
4.
IgD
5.
IgE
Karakteristik
Pertama kali dilepaskan ke aliran darah pada
saat terjadi infeksi yang pertama kali (respons
kekebalan primer)
Paling banyak terdapat dalam darah dan
diproduksi saat terjadi infeksi kedua (respons
kekebalan sekunder). Mengalir melalui
plasenta dan memberi kekebalan pasif dari ibu
kepada janin.
Ditemukan dalam air mata, air ludah, keringat,
dan membran mukosa. Berfungsi mencegah
infeksi pada permukaan epitelium. Terdapat
dalam kolostrum yang berfungsi untuk
mencegah kematian bayi akibat infeksi saluran
pencernaan
Ditemukan pada permukaan limfosit B sebagai
reseptor
dan
berfungsi
merangsang
pembentukan antibodi oleh sel B plasma.
Ditemukan terikat pada basofil dalam sirkulasi
darah dan cell mast (mastosit) di dalam
jaringan yang berfungsi memengaruhi sel
untuk melepaskan histamin dan terlibat dalam
reaksi alergi.
4) Cara Mendapatkan Antibodi
Berdasarkan cara mendapatkan imun atau kekebalan, dikenal dua
macam kekebalan, yaitu kekebalan aktif dan pasif.
28
a) Kekebalan Aktif
Kekebalan aktif terjadi jika seseorang kebal terhadap suatu
penyakit setelah diberikan vaksinasi dengan suatu bibit penyakit.
Jika kekebalan itu diperoleh setelah orang mengalami sakit karena
infeksi suatu kuman penyakit maka disebut kekebalan aktif alami.
Vaksin mengandung bibit penyakit yang telah mati atau
dinonaktifkan, dimana pada bibit penyakit tersebut masih
mempunyai antigen yang kemudian akan direspon oleh sistem imun
dengan cara membentuk antibodi (Pratiwi, Maryati, Srikini, &
Suharno, 2006).
Secara garis besar, vaksin dikelompokkan menjadi 4 jenis yaitu:
(1) Vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG), polio jenis sabin, dan
campak. Vaksin ini terbuat dari mikroorganisme yang telah
dilemahkan
(2) Vaksin pertusis dan polio jenis salk. Vaksin ini berasal dari
mikroorganisme yang telah dimatikan.
(3) Vaksin tetanus toksoid dan difteri. Vaksin ini berasal dari toksin
(racun) mikrooganisme yang telah dilemahkan/ diencerkan
konsentrasinya.
(4) Vaksin
hepatitis
B.
Vaksin
ini
terbuat
dari
protein
mikroorganisme.
Sel B dan sel T (sel limfosit) ikut berperan dalam menghasilkan
antibodi. Sel B (B limfosit) membentuk sistem imunitas humoral,
yaitu imunitas dengan cara membentuk antibodi yang berada di
darah dan limfa. Sel B berfungsi secara spesifik mengenali antigen
asing serta berperan membentuk kekebalan terhadap infeksi bakteri,
seperti
Streptococcus,
Meningococcus,
virus
campak,
dan
Poliomeilitis. Antibodi ini kemudian melekat pada antigen dan
melumpuhkannya (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto,
2009). Limfosit B diproduksi dan dewasa di dalam sumsum tulang,
namun aktif menjalankan peran sebagai imunitas bila sudah
29
meninggalkan sumsum tulang (Rachmawati, Urifah, & Wijayati,
2009).
Sel T (T limfosit) membentuk sistem imunitas terhadap infeksi
bakteri, virus, jamur, sel kanker, serta timbulnya alergi. Sel T
mengalami pematangan di glandula timus, berdiferensiasi dan
bekerja secara fagositosis (Rachmawati, Urifah, & Wijayati, 2009).
Namun T limfosit tidak menghasilkan antibodi. T limfosit secara
langsung dapat menyerang sel penghasil antigen (Purnomo, Sudjino,
Trijoko, & Hadisusanto, 2009)
Sel B maupun sel T dilengkapi dengan reseptor antigen di dalam
plasma membrannya. Reseptor antigen pada sel B merupakan
rangkaian membran molekul antibodi yang spesifik untuk antigen
tertentu. Reseptor antigen dari sel T berbeda dari antibodi, namun
reseptor sel T mengenali antigennya secara spesifik. Spesifikasi dan
banyaknya macam dari sistem imun tergantung reseptor pada setiap
sel B dan sel T yang memungkinkan limfosit mengidentifikasi dan
merespon antigen.
Saat antigen berikatan dengan reseptor yang spesifik pada
permukaan limfosit, limfosit akan aktif untuk berdeferensiasi dan
terbagi menaikkan populasi dari sel efektor. Sel ini secara nyata
melindungi tubuh dalam respon imun. Sel B diaktifkan oleh ikatan
antigen yang akan meningkatkan sel efektor yang disebut dengan sel
plasma dalam sistem humoral. Sel ini mensekresi antibodi untuk
membantu mengurangi antigen.
b) Kekebalan Pasif
Setiap antigen memiliki permukaan molekul yang unik dan
dapat menstimulasi pembentukan berbagai tipe antibodi. Sistem
imun dapat merespon berjuta-juta jenis dari mikroorganisme atau
benda asing. Bayi dapat memperoleh kekebalan (antibodi) dari
ibunya pada saat masih berada di dalam kandungan, sehingga bayi
30
tersebut memiliki sistem kekebalan terhadap penyakit seperti
kekebalan yang dimiliki ibunya.
Kekebalan pasif setelah lahir yaitu jika bayi terhindar dari
penyakit
setelah
dilakukan
suntikan
dengan
serum
yang
mengandung antibodi, misanya ATS (Anti Tetanus Serum). Sistem
kekebalan tubuh yang diperoleh bayi sebelum lahir belum bisa
beroperasi secara penuh, tetapi tubuh masih bergantung pada sistem
kekebalan pada ibunya. Imunitas pasif hanya berlangsung beberapa
hari atau beberapa minggu saja (Purnomo, Sudjino, Trijoko, &
Hadisusanto, 2009).
5) Cara Kerja Antibodi
Cara kerja antibodi dalam mengikat antigen ada empat macam.
Prinsipnya adalah terjadi pengikatan antigen oleh antibodi, yang
selanjutnya antigen yang telah diikat antibodi akan dimakan oleh sel
makrofag (Purnomo, Sudjino, Trijoko, & Hadisusanto, 2009)
6) Gangguan pada Kekebalan Tubuh
a) Penyebab Penyakit
Mikrobia yang menyebabkan penyakit disebut kuman penyakit
(patogen). Mikrobia tersebut dapat berupa bakteria, jamur, maupun
virus. Bakteri dan jamur sebagian bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Tetapi berbeda dengan virus, yang merupakan patogen
memiliki sifat dapat menyebabkan penyakit. Sifat virus selalu hidup
pada organisme hidup lain (sebagai parasit). Di dalam tubuh
organisme lain, virus mampu berkembang biak secara capat dan
dapat secara terus-menerus berubah membentuk strain baru yang
tahan terhadap obat. Kuman dapat menyebabkan sakit dengan caracara sebagai berikut: Merusak jaringan, misalnya Tuberculosis
merusak jaringan paru-paru; Mengeluarkan toksin, misalnya bakteri
Salmonella yang menghasilkan racun pada makanan. Kuman
penyakit dapat menular dari orang yang terinfeksi ke orang yang
masih sehat.
31
(1) Penyakit AIDS
AIDS merupakan sekumpulan penyakit sebagai dampak dari
melemahnya sistem kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh dapat
melemah karena mendapat serangan dari HIV (Human
Immunodeviciency Virus). Virus HIV mampu menyerang dan
merusak sel darah putih sehingga kemampuan tubuh dalam
memerangi kuman penyakit menjadi berkurang. Orang yang
terinfeksi virus HIV tidak selalu dikatakan positif mengidap
penyakit AIDS tetapi bisa saja hanya sebagai pembawa (karier).
Setelah masa delapan tahun terinfeksi maka penderita HIV dapat
menderita AIDS, dan mudah terserang penyakit jenis lainnya,
seperti
tuberculosis,
kanker,
melemahnya
ingatan,
dan
kehilangan sistem koordinasi tubuh.
(2) Alergi
Alergi atau hipersensivitas adalah respons imun yang
berlebihan terhadap senyawa yang masuk ke dalam tubuh.
Senyawa tersebut dinamakan alergen. Alergen dapat berupa
debu, serbuk sari, gigitan serangga, rambut kucing, dan jenis
makanan tertentu, misalnya udang.
Proses terjadinya alergi diawali dengan masuknya alergen ke
dalam tubuh yang kemudian merangsang sel B plasma untuk
menyekresikan antibod IgE. Alergen yang pertama kali masuk
ke dalam tubuh tidak akan menimbulkan alergi, namun IgE yang
terbentuk akan berikatan dengan mastosit. Mastosit kemudian
melepaskan histamin yang berperan dalam proses inflamasi.
Respons inflamasi ini mengakibatkan timbulnya gejala alergi
seperti bersin, kulit terasa gatal, mata berair, hidung berlendir,
dan kesulitan bernapas. Gejala alergi dapat dihentikan dengan
pemberian antihistamin.
32
(3) Autoimunitas
Autoimunitas merupakan gangguan pada sistem kekebalan
tubuh saat antibodi yang diproduksi justru menyerang sel-sel
tubuh sendiri karena tidak mampu membedakan sel tubuh
sendiri dengan sel asing. Autoimunitas dapat disebabkan oleh
gagalnya proses pematangan sel T di kelenjar timus.
Autoimunitas menyebabkan beberapa kelainan, yaitu:
(a) Diabetes mellitus
Diabetes mellitus disebabkan oleh antibodi yang
menyerang sel-sel beta di pankreas yang berfungsi
menghasilkan hormon insulin. Hal ini mengakibatkan
tubuh kekurangan hormon insulin sehingga kadar gula
darah meningkat.
(b) Myasthenia gravis
Myasthenia gravis disebabkan oleh antibodi yang
menyerang otot lurik sehingga otot lurik mengalami
kerusakan.
(c) Addison’s disease
Addison’s disease disebabkan oleh antibodi yang
menyerang kelenjar adrenal. Hal ini mengakibatkan berat
badan menurun, kadar gula darah menurun, mudah lelah,
dan pigmentasi kulit meningkat.
(d) Lupus
Lupus disebabkan oleh antibodi yang menyerang tubuh
sendiri. Pada penderita lupus, antibodi menyerang tubuh
dengan dua cara, yaitu: antibodi menyerang jaringan tubuh
secara langsung. Misalnya, antibodi yang menyerang sel
darah merah sehingga menyebabkan anemia; antibodi
bergabung dengan antigen, sehingga membentuk ikatan
yang dianamakan kompleks imun. Jika terjadi dalam jangka
panjang, maka fungsi organ tubuh akan terganggu.
33
(e) Radang sendi (artritis reumatoid)
Radang sendi merupakan penyakit autoimunitas yang
menyebabkan peradangan dalam waktu lama pada sendi.
Penyakit ini biasanya mengenai banyak sendi dan ditandai
dengan radang pada membran sinovial dan struktur sendi,
atrofi otot, serta penipisan tulang.
b. Sistem Limfatik
Sistem limfatik terdiri atas dua bagian penting, yaitu pembuluh limfa
serta berbagai macam jaringan dan organ limfoid di seluruh tubuh.
Pembuluh limfa berfungsi untuk mengangkut cairan kembali ke permukaan
darah. Organ limfoid berfungsi sebagai tempat hidup sel fagositik dan
limfosit yang berperan penting untuk melawan penyakit.
Limfa adalah sebutan yang digunakan untuk cairan yang berada di
dalam pembuluh limfa. Fungsi sistem limfa adalah sebagai berikut:
mengambil kelebihan cairan dari jaringan dan mengembalikannya ke darah,
mengabsorbsi lemak dan laktela di usus halus kemudian mengangkutnya ke
darah, dan membantu pertahanan tubuh melawan penyakit.
1) Pembuluh limfa
Pembuluh limfa merupakan bagian penting dalam sistem peredaran
limfa. Peredaran limfa adalah peredaran darah terbuka. Limfa dari
jaringan tubuh akan masuk ke kapiler limfa. Kapiler limfa akan
bergabung dengan kapiler limfa yang lain membentuk pembuluh limfa.
Pembuluh limfa akan terkumpul di pembuluh limfa dada. Limfa
akhirnya akan kembali ke sistem peredaran darah. Aliran limfa dalam
pembuluh limfa dipengaruhi oleh kontraksi otot rangka. Di sepanjang
pembuluh limfa terdapat buku limfa (nodus limfa) yang berbentuk
bulatan kecil.
Semua cairan limfa yang berasal dari daerah kepala, leher, dada,
paru-paru, jantung dan lengan kanan terkumpul dalam pembuluhpembuluh limfa dan bersatu menjadi pembuluh limfa kanan. Pembuluh
limfa kanan bermuara di pembuluh baik (vena) di bawah tulang
34
selangka kanan. Cairan limfa yang berasal dari bagian selain bermuara
di pembuluh limfa kanan akan bermuara pada pembuluh limfa dada
yang bermuara di tulang selangka kiri.
2) Organ-organ Limfoid
Organ limfoid mencakup sumsum merah, nodus limfa, limfa, timus,
dan tonsil. Timus berfungsi untuk mengasilkan limfosit T. Organ
limfoid lain berperan untuk mengumpulkan dan menghancurkan
mikroorganisme penginfeksi lain di dalam jaringan limfoid.
a) Sumsum merah
Sumsum merah mencakup jaringan yang menghasilkan limfosit.
Saat dilepaskan dari sumsum merah, sel- sel limfosit masih identik.
Perkembangan selanjutnya apakah akan menjadi sel B atau sel T
tergantung pada tempat pematangan. Sel B mengalami pematangan
di sumsum merah, sedangkan sel T mengalami pematangan di timus.
Kedua jenis limfosit tersebut bersirkulasi di seluruh tubuh dan limfa,
kemudian terkonsentrasi dalam limfa, nodus limfa, dan jaringan
limfatik.
b) Nodus limfa
Nodus limfa diselubungi oleh jaringan ikat longgar yang
membagi
nodus
menjadi
nodulus-nodulus.
Tiap
nodulus
mengandung ruang- ruang (sinus) yang berisi limfosit dan
makrofag. Saat cairan limfa melewati sinus maka makrofag akan
memakan bakteri dan mikroorganisme lain yang terbawa. Jadi
fungsi nodus limfa adalah menyaring mikroorganisme yang ada
dalam limfa. Nodus limfa dapat bersifat tunggal maupun
berkelompok.
(1) Limpa
Limpa adalah organ limfoid terbesar. Limpa memiliki dua
fungsi utama, yaitu membuang antigen yang terdapat dalam
darah serta menghancurkan sel darah merah yang sudah tua.
35
(2) Timus
Timus adalah tempat di mana limfosit berkembang menjadi
sel T. Timus merupakan satu-satunya organ limfoid yang tidak
memerangi antigen secara langsung.
(3) Tonsil
Tonsil adalah organ limfoid yang paling sederhana. Tonsil
berfungsi untuk melawan infeksi pada saluran pernafasan bagian
atas dan faring. Tonsil pada manusia mencakup adenoid, tonsil
saluran, palatin, dan lidah (Pratiwi, Maryati, Srikini, & Suharno,
2006)
B. Kerangka Berpikir
Hasil wawancara dengan guru dan siswa tentang proses pembelajaran di kelas
XI MIA 2 SMA Negeri 1 Banyudono pada pada tanggal 24 November 2014
menunjukan bahwa metode pembelajaran yang sering dilakukan di kelas adalah
ceramah.
Data hasil observasi terhadap aktivitas siswa di kelas XI MIA 2 pada tanggal
27 November 2014 menunjukkan bahwa siswa cenderung pasif dalam proses
pembelajaran, 4% siswa yang mengemukakan pendapat setelah ditunjuk guru, 0%
siswa yang menanggapi pendapat temannya, 26% siswa yang memberikan
pertanyaan kepada teman saat presentasi, 17% siswa mengemukakan pendapat atas
pertanyaan teman saat presentasi. Data tersebut mengindikasikan bahwa
kemampuan mengemukakan pendapat secara lisan siswa masih tergolong rendah.
Tes tertulis berupa soal uraian yang diberikan kepada siswa kelas XI MIA 2 pada
tanggal 9 April 2015. Hasil tes tertulis menunjukkan bahwa 100% mampu
menjawab semua soal. Hasil observasi lanjutan proses pembelajaran di kelas
tanggal 9 April 2015 menunjukkan bahwa 26% dari siswa telah mengemukakan
pendapat saat proses pembelajaran.
Hasil analisis terhadap pendapat siswa (mengacu pada Erduran, Simon, &
Osborne, 2004) menunjukkan bahwa 5 jawaban siswa (83,33%) saat menjawab
pertanyaan saat presentasi tergolong argumentasi lisan Level 1 dan 1 jawaban siswa
36
(16,67%) tergolong argumentasi lisan Level 2. Hasil analisis jawaban siswa pada
tes tertulis menunjukkan bahwa 56 jawaban (60,87%) termasuk argumentasi tertulis
Level 1 dan 33 jawaban (35,87%) termasuk argumentasi tertulis Level 2. Jawaban
siswa belum ada yang mencapai argumentasi Level 3, argumentasi Level 4, dan
argumentasi Level 5. Data empirik tersebut menunjukkan bahwa kualitas
argumentasi siswa masih tergolong rendah.
Kemampuan argumentasi menjadi salah satu kompetensi yang dibutuhkan oleh
siswa Abad 21 karena argumentasi merupakan proses utama dari berpikir kritis.
Siswa yang memiliki kemampuan argumentasi yang baik diindikasikan memiliki
kemampuan berpikir kritis yang baik. Argumentasi merupakan aktivitas utama dari
pembelajaran sains. Karena dalam argumentasi terdapat proses penyusunan
pengetahuan dan pemahaman dari proses evaluasi pada pembuktian teori sains.
Discovery learning merupakan pembelajaran yang mengembangkan kemampuan
berpikir siswa karena melibatkan siswa untuk belajar aktif dan menyusun konsep
secara mandiri dari permasalahan yang ada serta dibantu sumber belajar yang
tersedia. Discovery learning merupakan model pembelajaran yang berkebalikan
dengan model pembelajaran konvensional. Proses pembelajaran dalam discovery
learning terdiri dari lima sintaks yaitu: orientation, hypothesis generation,
hypothesis testing, conclusion, dan regulation. Sintaks pertama hingga sintaks
kelima dalam discovery learning mampu mendorong siswa untuk berargumentasi
sehingga kualitas dan kuantitas argumentasi siswa meningkat. Fenomena yang
terjadi pada kelima sintaks akan merangsang siswa untuk berpendapat dan
berargumentasi dari apa yang siswa lakukan, bagikan, rasakan, dan dilakukan oleh
siswa lain selama proses pembelajaran seperti praktikum, diskusi, dan pengamatan
secara bebas.
Penerapan brainstorming di dalam sintaks discovery learning membantu siswa
untuk menyusun pendapat dan menyampaikan pendapat kepada siswa lain sehingga
mampu merangsang siswa lain menghasilkan pendapat baru seoptimal mungkin.
Berbagai macam pendapat siswa akan muncul dalam brainstorming, siswa akan
berpikir untuk menentukan pendapat yang akan digunakan sebagai solusi
37
permasalahan. Siswa akan berargumentasi untuk mempertahankan pendapat yang
telah dikemukakan.
Berdasarkan uraian sebelumnya yang menunjukkan hubungan peningkatan
kemampuan
argumentasi
melalui
penerapan
discovery learning
disertai
brainstorming dengan alur kerangka berpikir sebagaimana disajikan pada Gambar
2.1.
C. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan penelitian kelas yaitu:
1. Ada peningkatan kualitas argumentasi lisan melalui penerapan discovery
learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1
Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015
2. Ada peningkatan kuantitas argumentasi lisan melalui penerapan discovery
learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1
Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015
3. Ada peningkatan kualitas argumentasi tertulis melalui penerapan discovery
learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1
Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015
4. Ada peningkatan kuantitas argumentasi tertulis melalui penerapan discovery
learning disertai brainstorming pada siswa kelas XI MIA 2 SMA Negeri 1
Banyudono pada Tahun Pelajaran 2014/2015
38
Kemampuan argumentasi siswa rendah
26% siswa berpendapat saat proses
pembelajaran; 83,33% Argumentasi
lisan Level 1 dan 16,67 Argumentasi
lisan Level 2
jawaban tes 60,87% argumentasi
tertulis Level 1 dan 35,87%
argumentasi tertulis Level 2
Guru jarang mengajak berdiskusi
dengan siswa sehingga siswa jarang
mencurahkan pendapatnya
Kelebihan discovery
learning
- Sintaks discovery
learning: (1) orientation;
(2) hypothesis generation;
(3) hypothesis testing; (4)
conclusion; dan (5)
regulation (Veermans,
2003)
- Mendorong siswa
menemukan konsep
melalui pemecahan
masalah dengan cara
mengemukakan pendapat
(Osman, Chuo Hiong, &
Vebrianto, 2013)
- Siswa yang memiliki kemampuan
argumentasi yang baik
diindikasikan memiliki
kemampuan berpikir kritis tinggi
sesuai tuntutan abad 21
- Berargumentasi merupakan
aktivitas utama dari pembelajaran
sains
Proses pembelajaran di
kelas belum melatihkan
kemampuan argumentasi
siswa
Perlu model pembelajaran
yang melatih siswa
berargumentasi melalui
curah pendapat
Discovery
learning
Kelebihan brainstorming
- Fase brainstorming: (1)
prepare the group; (2)
present the problem; dan
(3) guide the discussion
(AlMutairi, 2015).
- Meningkatkan kemampuan
berkomunikasi, proses
berpikir, dan membuat
keputusan dengan berbagai
sudut pandang dan
pendapat dengan cara
siswa dilatih aktif untuk
menyampaikan informasi,
pengalaman, dan pendapat
(Al-khatib, 2012)
Brainstorming
Argumentasi meningkat
Lisan
Tertulis
Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Penelitian
Download