tanggung jawab dan perlindungan hukum pejabat

advertisement
TESIS
TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM
PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
PANDE PUTU DORON SWARDIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
TESIS
TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM
PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
PANDE PUTU DORON SWARDIKA
NIM : 1092461010
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
i
TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM
PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Kenotariatan Program Pascasarjana
Universitas Udayana
PANDE PUTU DORON SWARDIKA
NIM : 1092461010
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 17 APRIL 2014
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. Ibrahim R. SH., MH
NIP : 19551128 198303 1 003
J.S. Wibisono, SH., MH., MKn
Mengetahui,
Ketua Program Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum
NIP : 19650221 199003 1 005
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP : 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal : 17 April 2014
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor : 1276/UN14.4/HK/2014
Tanggal : 6 Mei 2014
Ketua
: Prof. Dr. Ibrahim R., SH., MH.
Anggota
:
1. J.S. Wibisono, SH., MH., MKn
2. Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., M.Hum
3. Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH
4. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Pande Putu Doron Swardika
NIM
: 1092461010
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Tanggung Jawab Dan Perlindungan Hukum Pejabat
Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Akta Jual Beli
Tanah
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku.
Denpasar,
April 2014
Yang membuat pernyataan
(Pande Putu Doron Swardika)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa, karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan
tesis
yang
berjudul
”TANGGUNG
JAWAB
DAN
PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH”. Penulisan tesis ini
bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna mencapai gelar
Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Program
Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini belum tentu selesai tanpa
adanya bantuan dari pihak-pihak yang telah berjasa membimbing, mengarahkan,
memberikan semangat dan motivasi serta memberikan data kepada penulis, untuk
itu dengan segala kerendahan hati yang tulus, penulis ingin mempergunakan
kesempatan ini untuk menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Ibrahim R. SH., MH. selaku Dosen
Pembimbing pertama dan J.S. Wibisono, SH., MH., MKn. selaku Dosen
Pembimbing kedua yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan
pikiran serta dengan penuh kesabaran dan perhatiannya untuk memberikan
pengarahan serta saran-saran kepada penulis.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.-KEMD atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan
vi
menyelesaikan pendidikan Program Magister Universitas Udayana, kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka
Sudewi, Sp.S (K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi
mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana,
kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Prof. Dr. I Gusti Ngurah
Wairocana, SH., MH. atas izin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
Program Magister. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana Prof. Dr.
I Made Arya Utama, SH., M.Hum., atas kesempatan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan pada
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Ucapan terima kasih
juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi
Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah
memberikan ilmu kepada para mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu
seluruh staf dan karyawan disekretariatan Magister Kenotariatan Universitas
Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Pande Ketut
Suniarta atas nilai-nilai kehidupan, dorongan, dukungan, materi maupun non
materi, dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis, Ibunda Elysabeth S.
Rihit atas doa, cinta, kasih sayang serta dukungan yang besar kepada penulis.
Terima kasih kepada Bapak Ir. I Putu Dharma M.Si dan Ibu Dra. Ni Made Suniti
atas dukungan doa dan cinta selama penulisan tesis ini. Terima kasih kepada Istri
tercinta Ni Luh Prima Kemala Dewi SP., M.Agb., untuk kesetiaan, kesabaran dan
vii
dukungan semangat, cinta dan kasih, yang menjadi pelengkap bagi penulis,
Ananda tercinta Pande Daniel Karunanda dan Pande Shafeea Avalokita, yang
menyemangati penulis dengan kehadiran, tawa dan tangis, yang menjadi alasan
penulis untuk selalu maju dan semangat, serta adik Dr. Pande Made Dewi
Anggraeni beserta suami Dr. I Putu Gede Dharmawan, dan I Made Dwi Mustika
Yadnya, SST.Par, atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis dalam
penyelesaian tesis ini. Terima kasih untuk seluruh teman-teman Angkatan I
Magister
Kenotariatan
Universitas
Udayana
atas
persaudaraan
dan
kekeluargaannya.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna dan
oleh karena itu, guna perbaikan penulisan tesis ini, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak sebagai bahan masukan bagi penulis
untuk menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik di masa yang akan datang.
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang
Hyang Widhi Wasa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada
kita semua, dan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Denpasar, April 2014
Penulis
viii
ABSTRAK
TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM
PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA
JUAL BELI TANAH
Seiring dengan laju pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang
sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif tidak bertambah, secara nyata hal ini
menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat, sehingga menyebabkan
berbagai masalah pertanahan muncul dipermukaan. Untuk mencegah atau paling
tidak mengurangi potensi konflik atau sengketa tersebut maka mekanisme
pemindahan hak atas tanah agar bisa didaftar harus dibuktikan dengan akta PPAT.
Dalam prakteknya seringkali terjadi pembuatan akta yang tidak sesuai dengan tata
cara pembuatan akta PPAT yang mana dapat menimbulkan risiko bagi kepastian
hak atas tanah. Akibat hukum dari penyimpangan tersebut akan menempatkan
PPAT dimintai suatu pertanggungjawaban yuridis berkaitan dengan akta otentik
yang dibuatnya mengandung cacat hukum. Pada tataran ini aspek perlindungan
hukum terhadap PPAT tidak diatur secara tegas oleh Peraturan Jabatan PPAT,
PPAT sebagai suatu jabatan terhormat sudah selayaknya diberikan pembedaan
perlakuan dibanding masyarakat umum karena PPAT merupakan representasi dari
Negara yang melaksanakan sebagian dari tugas pemerintah dalam bidang
pertanahan yang berkaitan dengan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah
(Bijhouding atau Maintenance). Permasalahan yang menjadi pembahasan dalam
penelitian ini adalah bagaimanakah tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah
terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum dan
bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum kepada Pejabat Pembuat Akta
Tanah dalam melaksanakan tugas jabatannya?
Penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif yang
berangkat dari adanya kekosongan norma, dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang
dipergunakan penelitian ini berasal dari hasil penelitian kepustakaan berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier yang diperoleh
melalui tehnik studi dokumen dan penelitian kepustakaan. Bahan hukum maupun
informasi penunjang yang telah terkumpulkan tersebut terlebih dahulu dilakukan
deskripsi bahan hukum kemudian dianalisis dengan teknik dekskriptif,
sistematisasi dan konstruksi, selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk
mendapatkan simpulan atas kedua permasalahan yang dikaji.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagai akibat hukum dari
penyimpangan terhadap tata cara pembuatan akta PPAT maka PPAT dapat
dikenai sanksi sebagai wujud pertanggungjawabannya baik secara administratif,
perdata maupun pidana. Sedangkan aspek perlindungan hukum dalam proses
penengakan hukum terhadap PPAT yang dimintai suatu pertanggungjawaban
tidak diatur oleh Peraturan Jabatan PPAT.
Kata kunci : Pejabat Pembuat Akta Tanah, Tanggung Jawab, Perlindungan
Hukum, Jual Beli, Tanah.
ix
ABSTRACT
THE RESPONSIBILITY AND THE LEGAL PROTECTION OF THE LAND
DEED OFFICIAL IN THE MAKING OF THE DEED OF LAND SALE
Along with the growth and development of such a large population, while
the land area are relatively not increased, obviously this causes the increasing
demand for land, thereby it results in various problems of land. To prevent or at
least reduce the potential for conflict or dispute, then the mechanism of transfer of
land to be registered must be proven under the notarial deed of the Land Deed
Official (PPAT). In practice, often a deed which is not in accordance with the
procedures of making the deed of the Land Deed Official which could pose a risk
to the security of rights to land. The legal consequences of such deviations will put
Land Deed Official held a judicial accountability with regard to authentic act
made, if it has legal flaws. In this case, the aspects of legal protection of the PPAT
are not expressly regulated by the Regulation for Position of PPAT, PPAT as an
honorable position, should be given special treatment than the general population
because of PPAT is a representation of the state government to implement some of
the tasks in the areas of land associated with data maintenance of the land
registration (Bijhouding or Maintenance). The problems under discussion in this
study is what the responsibility of the Land Deed Official over the deed of sale of
land that they made if it has legal flaws and what the regulations of legal
protection to the Land Deed Officials in performing their duties?
This study is classified as a normative legal research which is due to the
lack of its governing law by using the statute and the conceptual approach. The
legal research material used is derived from the research literature in the form of
primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through the techniques
of document studies and library research. The supporting legal materials and
information that has been collected were analyzed by the techniques of
description, systematization and construction, then it was analyzed qualitatively to
obtain conclusions on the two issues under studied.
The research results showed that as a result of legal deviations from the
law-making procedures of the PPAT deed, therefore, the PPAT can be subject to
sanctions as their consequences both administrative, civil, or criminal sanctions.
While the aspects of legal protection in the law enforcement process against
PPAT who violates the law is not regulated by the Job Regulations of the PPAT.
Keywords: Land Deed Official, Responsibility, Legal Protection, Buying and
Selling, Land.
x
RINGKASAN
Tesis ini menganalisa mengenai tanggung jawab dan perlindungan hukum
bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam pembuatan akta jual beli tanah.
Bab I menguraikan tentang latar belakang masalah yang berawal dari
pertanggungjawaban PPAT terhadap akibat hukum yang timbul sebagai akibat
dari adanya penyimpangan terhadap syarat formil dan materil dari tata cara atau
prosedur pembuatan akta PPAT mengenai suatu peralihan hak atas tanah.
Selanjutnya dikaitkan dengan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang
seringkali terjadi persamaan perlakuan terhadap pemeriksaan PPAT sebagai saksi
baik dalam tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan, dimana PPAT
diposisikan seolah-olah sebagai warga negara masyarakat umumnya yang tidak
memiliki rahasia jabatan yang wajib dirahasiakannya. PPAT sebagai jabatan
terhormat (officium nobile) adalah orang yang dikecualikan dari prinsip
persamaan dimuka hukum (equality before the law), dan pengaturan mengenai
prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT belum jelas di atur
dalam ketentuan hukum positif. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut
maka pada sub bab pada bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan yang
dijadikan objek penelitian, tujuan dilakukannya penelitian, manfaat penelitian,
landasan teoritis, dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II menguraikan tinjauan umum mengenai Pengertian Pejabat, Pejabat
Tata Usaha Negara, Pejabat Umum, PPAT Sebagai Pejabat Umum, dan Tata Cara
Pembuatan Akta PPAT. Penguraian tersebut merupakan landasan untuk dapat
memahami dan menganalisa pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan
pada Bab I.
Bab III merupakan pembahasan untuk menjawab permasalahan pertama
dari penelitian ini yaitu membahas mengenai tanggung jawab PPAT terhadap akta
jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum. Di dalam sub bab
membahas mengenai penyebab terdegradasinya kekuatan pembuktian dan
penyebab dari batalnya suatu akta PPAT, kemudian dibahas mengenai bentuk
pertanggungjawaban PPAT atas akta yang mengandung cacat hukum dari aspek
administratif, perdata dan pidana.
Bab IV merupakan pembahasan permasalahan kedua dari penelitian ini
yaitu menguraikan tentang aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam
melaksanakan tugas jabatannya. Pada sub bab dibahas mengenai perlindungan
hukum terhadap PPAT berdasarkan Peraturan Jabatan PPAT, dan pembahasan
mengenai Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar
(Verschoningsrecht) dari PPAT.
Bab V merupakan bab penutup yang berisikan simpulan dan saran.
Simpulan dari permasalahan yang pertama adalah pertanggungjawaban PPAT
terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum yang
didasari adanya penyimpangan terhadap syarat formil dan syarat materil dari
prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT dapat dikenai sanksi administratif
berupa pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pengenaan denda
administratif; sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga; dan
sanksi pidana apabila dikualifikasi sebagai suatu tindak pidana. Simpulan dari
xi
permasalahan yang kedua adalah Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan PPAT tidak mengatur mengenai aspek perlindungan
hukum bagi PPAT berkaitan dengan prosedur khusus dalam penegakan hukum
terhadap PPAT. Pengaturan mengenai aspek perlindungan hukum bagi PPAT
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum dan tersirat
yakni diakuinya Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar
(Verschoningsrecht) sebagai suatu imunitas hukum bagi jabatan tertentu, salah
satunya Jabatan PPAT.
Saran yang diberikan penulis adalah PPAT dalam melaksanakan tugas
jabatannya hendaknya dalam melakukan pembuatan akta jual beli selalu bersandar
kepada ketentuan-ketentuan yang ada oleh karena yang akan dibuat adalah akta
otentik yang sangat mempengaruhi kepastian hukum atas peralihan hak atas tanah.
Juga penulis memberikan saran agar PPAT menggunakan Kewajiban Ingkar dan
Hak Ingkarnya terlebih dahulu agar meminimalisir gugatan dari pihak-pihak yang
merasa dirugikan berkaitan dengan pembocoran rahasia jabatannya. Penulis juga
memberikan saran agar Pemerintah beserta DPR, langkah untuk jangka pendek
dikeluarkan suatu peraturan organis yakni Peraturan Kepala BPN yang mengatur
mengenai prosedur khusus penegakan hukum terhadap PPAT dalam rangka
seorang PPAT dipanggil untuk diperiksa baik sebagai saksi, tergugat maupun
tersangka. Untuk jangka panjang diharapkan peraturan perundang-undangan yang
akan berlaku kemudian (ius constituendum) dibentuk suatu unifikasi hukum
mengenai pengaturan PPAT di Indonesia dalam bentuk Undang-Undang Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, baik itu yang berkaitan dengan tata cara pembuatan
akta PPAT dan pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dalam
melaksanakan tugasnya berkaitan dengan kedudukannya sebagai Pejabat Umum.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN
SAMPUL DALAM .........................................................................................
i
PRASYARAT GELAR ...................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..............................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH............................................................................
vi
ABSTRAK ......................................................................................................
ix
ABSTRACT ......................................................................................................
x
RINGKASAN .................................................................................................
xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xiii
BAB I
PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................
20
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................
20
1.3.1 Tujuan Umum ................................................................
20
1.3.2 Tujuan Khusus ...............................................................
21
1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................
21
1.4.1 Manfaat Teoritis .............................................................
21
1.4.2 Manfaat Praktis ..............................................................
21
1.5. Landasan Teoritis .....................................................................
22
1.5.1 Konsep Negara Hukum ...................................................
23
1.5.2 Teori Pertanggungjawaban .............................................
29
1.5.3 Konsep Perlindungan Hukum .........................................
36
xiii
BAB II
1.6. Kerangka Teoritis ....................................................................
41
1.7. Metode Penelitian.....................................................................
45
1.7.1 Jenis Penelitian................................................................
46
1.7.2 Jenis Pendekatan .............................................................
47
1.7.3 Sumber Bahan Hukum ...................................................
47
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................
50
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ......................................
50
TINJAUAN UMUM ......................................................................
54
2.1 Pengertian Pejabat, Pejabat Tata Usaha Negara, Pejabat
Umum
..................................................................................
54
2.1.1 Pengertian Pejabat ..........................................................
54
2.1.2 Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara ..........................
55
2.1.3 Pengertian Pejabat Umum ..............................................
59
2.2 PPAT Sebagai Pejabat Umum .................................................
62
2.2.1 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT .......................
66
2.2.2 Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT ...........................
70
2.2.3 Wilayah Kerja PPAT ......................................................
75
2.2.4 Bentuk dan Fungsi Akta PPAT ......................................
77
2.3 Tata Cara Pembuatan Akta PPAT ...........................................
85
BAB III TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
ATAS AKTA JUAL BELI TANAH YANG DIBUATNYA
MENGANDUNG CACAT HUKUM ............................................
xiv
94
3.1 Sebab Degradasi Kekuatan Pembuktian dan Batalnya Akta
PPAT ......................................................................................
94
3.1.1 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Formil.
97
3.1.2 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Materil
108
3.2 Bentuk
Pertanggungjawaban
PPAT
Atas
Akta
Yang
Mengandung Cacat Hukum ....................................................
118
3.2.1 Tanggung Jawab Secara Administratif ..........................
124
3.2.2 Tanggung Jawab Secara Keperdataan ............................
128
3.2.3 Tanggung Jawab Secara Pidana .....................................
134
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEJABAT PEMBUAT
AKTA
TANAH
DALAM
MELAKSANAKAN
TUGAS
JABATANNYA .............................................................................
142
4.1 Perlindungan Hukum Terhadap PPAT Berdasarkan Peraturan
Jabatan PPAT ..........................................................................
142
4.1.1 Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT .................
144
4.1.2 Prosedur Khusus Dalam Penegakan Hukum Terhadap
PPAT ..............................................................................
147
4.2 Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar PPAT ................................
154
4.2.1 Pelaksanaan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht)
oleh PPAT ......................................................................
160
4.2.2 Pelaksanaan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) oleh
PPAT ..............................................................................
xv
163
BAB V
PENUTUP
..................................................................................
168
5.1 Kesimpulan ..............................................................................
168
5.2 Saran ........................................................................................
171
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................................
xvi
173
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah dalam pengertian geografis adalah lapisan permukaan bumi yang
digunakan untuk dipakai sebagai usaha. Dewasa ini tanah tidak hanya dibutuhkan
secara sederhana untuk tempat tinggal ataupun sebagai modal alami utama dalam
kegiatan pertanian dan peternakan. Seiring dengan laju pertumbuhan dan
perkembangan penduduk yang sedemikian besar, dan luas tanah yang relatif tidak
bertambah, secara nyata hal ini menyebabkan kebutuhan akan tanah semakin
meningkat, sehingga menyebabkan tanah dan berbagai masalah agraria muncul
dipermukaan.
Pada tatanan yang lebih luas tanah merupakan elemen yang tidak mungkin
dapat dikesampingkan dalam era pembangunan nasional maupun guna menunjang
pertumbuhan ekonomi, hal ini karena tanah mempunyai fungsi antara lain: 1
a. Sebagai penunjang atau pendukung pada setiap rencana pembangunan
baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat yang
memberikan arah serta landasan hukum sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran
rakyat”
b. Dapat memberikan pengayoman agar tanah dapat merupakan sarana bagi
rakyat untuk mencapai penghidupan yang layak sesuai dengan ketentuan
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa :
“Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”
1
Soedharyo Soimin, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar
Grafika, Jakarta, hal 100.
1
2
Begitu pentingnya arti tanah dalam kehidupan manusia karena tanah
mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset2 dan sebagai capital asset.3
Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial dikalangan
masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan. Sedangkan sebagai capital
asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Disatu sisi tanah harus
dipergunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat sedangkan di sisi lain harus dijaga kelestariannya. Sebagai
karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara,
dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup
bangsa Indonesia sehingga perlu campur tangan negara turut mengaturnya.4
Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat) yang mana hal ini secara
tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.5 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Menurut Gustav Radbruch, dalam
2
Social asset mengandung makna bahwa tanah memiliki fungsi sosial,
dapat dilihat pada asas yang terkandung pada Pasal 6 UUPA : Semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial. Seseorang tidak dibenarkan mempergunakan atau
tidak mempergunakan hak miliknya (atas tanah) semata hanya untuk kepentingan
pribadinya, apalagi jika hal itu dapat merugikan kepentingan masyarakat karena
sesuai dengan asas fungsi sosial ini hak milik dapat hapus jika kepentingan umum
menghendakinya.
3
Capital asset mengandung makna bahwa tanah memiliki fungsi ekonomi,
dimana tanah menjadi obyek capital/modal dalam transaksi ekonomi, misalnya
tanah dapat diperjualbelikan, disewakan, dijadikan jaminan kredit, maupun
sebagai obyek pengolahan kegiatan-kegiatan yang berkaitan untuk menghasilkan
suatu pendapatan, seperti kegiatan pertanian maupun pembangunan.
4
Achmad Rubaie, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan
Umum, Bayumedia, Malang, hal. 1.
5
Sebelum dilakukan amandemen penyebutannya adalah UUD 1945.
Sampai saat ini UUD 1945 sudah mengalami 4 kali perubahan, yaitu pada tahun
1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD 1945 setelah perubahan menjadi
lebih lengkap, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
3
menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian
hukum
(rechtssicherheit),
(gerechtigkeit).
6
Pada
kemanfaatan
Negara
hukum,
(zweckmassigkeit)
ketiga
unsur
dan
tersebut
keadilan
dalam
perkembangannya adalah saling mempengaruhi dan salah satunya tidak boleh
ditinggalkan. Disamping ketiga unsur itu, terdapat pula tiga prinsip negara hukum
yaitu menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan
kebenaran dan keadilan. Hal ini tentunya menuntut bahwa di dalam lalu lintas
hukum salah satunya diperlukan adanya alat bukti dalam menentukan hak dan
kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Seiring dengan semakin terbatasnya persediaan tanah dan semakin
meningkatnya kebutuhan akan tanah, maka sesuai dengan hukum permintaan dan
penawaran, hal ini berdampak besar terhadap semakin meningkatnya nilai atau
harga tanah. Hal ini akan meningkatkan potensi untuk timbulnya sengketa
pertanahan ataupun konflik-konflik yang berhubungan dengan atau yang
disebabkan oleh tanah. Karenanya dibutuhkan suatu perangkat hukum dan sistem
administrasi pertanahan yang teratur dan tertata rapi untuk memberikan
perlindungan terhadap pemilik tanah serta dapat mengatur kepemilikan, peralihan
dan peruntukan tanah secara adil dan menyeluruh.
Hukum Tanah Nasional saat ini terdiri atas suatu rangkaian peraturanperaturan perundang-undangan, yang dibuat oleh penguasa, dilengkapi dengan
ketentuan-ketentuan hukum adat setempat, mengenai hal-hal yang belum
6
Gustav Radbruch, 1961, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, Germany,
p. 36, dikutip oleh Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang
Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hal. 1.
4
mendapat pengaturan dalam hukum tertulis.
7
Dalam rangka memberikan
perlindungan terhadap pemilik tanah dan mengatur kepemilikan, peralihan dan
peruntukan tanah secara adil dan menyeluruh serta untuk dapat mewujudkan citacita luhur bangsa Indonesia, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD NRI
1945 dan untuk dapat mengejawantahkan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
1945, maka diciptakan suatu Hukum Agraria Nasional yakni Undang-Undang No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria, LNRI 1960 No. 104TLNRI No. 2043. (selanjutnya disingkat UUPA).
Sejak diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka
mulai tanggal tersebut merupakan salah satu tonggak yang sangat penting dalam
sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia pada umumnya dan
pembaruan hukum agraria/hukum tanah Indonesia pada khususnya. 8 Sebagai
bentuk pelaksanaan kewenangan tersebut, UUPA mengatur pendaftaran tanah
yang bertujuan untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Pendaftaran tanah
ini akan menjadi kewajiban bagi pemerintah maupun pemegang hak atas tanah.
Ketentuan tentang kewajiban bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia diatur dalam Pasal 19
UUPA, yaitu :
7
Boedi Harsono, 2002, Reformasi Hukum Tanah yang Berpihak Kepada
Rakyat, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono I), hal. 39.
8
Boedi Harsono, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Boedi Harsono II), hal. 3.
5
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan
yang diatur dengan Peraturan Pemerintah;
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) Pasal ini meliputi:
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat;
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria;
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan
dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan
bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya
tersebut.
UUPA juga mengatur kewajiban bagi pemegang Hak Milik, pemegang Hak Guna
Usaha, dan pemegang Hak Guna Bangunan untuk mendaftarkan hak atas tanahnya.
Kewajiban pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan jaminan kepastian
hukum dikenal sebutan Rechts Cadaster/Legal Cadaster.9
Pendaftaran hak dan pendaftaran peralihan hak atas tanah ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 ayat (2) sub b UUPA, merupakan sebagian dari tugas dan
wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah. Di bidang ini, pendaftaran
Hak dan pendaftaran peralihan hak dapat dibedakan dua tugas, yaitu:
1. Pendaftaran Hak atas Tanah, adalah pendaftaran hak untuk pertama kalinya
atau pembukuan suatu hak atas tanah dalam daftar buku tanah.
2. Pendaftaran Peralihan Hak atas Tanah.10
Ketentuan lebih lanjut pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (1) UUPA, diatur
dengan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disingkat PP). Peraturan Pemerintah
9
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana
Prenada Media Grup, Jakarta, hal 2.
10
Ali Achmad Chomsah, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia),
Jilid 2, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 37.
6
yang diperintahkan di sini sudah dibuat, semula adalah PP No. 10 tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah, LNRI Tahun 1961 No. 28-TLNRI No. 2171.
Kemudian, PP No. 10 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi dengan
disahkannya PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, LNRI Tahun 1997
No. 59-TLNRI No. 3696. PP No. 24 tahun 1997 disahkan pada tanggal 8 juli 1997,
namun baru berlaku secara efektif mulai tanggal 8 Oktober 1997, sebagaimana
yang dinyatakan dalam Pasal 66 PP No. 24 Tahun 1997 terdiri atas 10 (sepuluh)
bab dan 66 pasal.11
Pada PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dimaksud
dengan pendaftaran tanah, sebagaimana disebut oleh Pasal 1 angka 1, adalah :
Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat
tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan
hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.
Sebagaimana termuat dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, tujuan utama pendaftaran tanah ini adalah untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu
bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan
mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan, dan
untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah
11
Urip Santoso, Op.cit, hal. 4-5.
7
susun yang telah terdaftar serta untuk terselenggaranya tertib administrasi
pertanahan.12
PP No. 24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa instansi
Pemerintah yang menyelenggarakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah
Republik Indonesia menurut Pasal 5 adalah Badan Pertanahan Nasional
(selanjutnya disingkat BPN). Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (2), dalam
melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
tidak dapat melaksanakan sendiri, akan tetapi membutuhkan bantuan pihak-pihak
lain yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah ini dan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Pejabat lain yang membantu
pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu dalam pendaftaran tanah, adalah pejabat
dari kantor lelang, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, dan Panitia Ajudikasi.13
Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PPAT) mempunyai
peran yang penting dalam pendaftaran tanah, yaitu membantu Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam
pendaftaran tanah, kata “dibantu” dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997
disini tidak berarti bahwa PPAT merupakan bawahan dari Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota yang dapat diperintah olehnya, akan tetapi PPAT mempunyai
kemandirian dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.14
12
Boedi Harsono I, Op.cit, hal. 471-472.
Urip Santoso, Op.cit, hal. 24.
14
Urip Santoso, Op.cit, hal. 316
13
8
Ketentuan tentang PPAT diatur dalam Pasal 7 PP No. 24 Tahun 1997,
yang menyatakan bahwa :
1. PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diangkat dan
diberhentikan oleh menteri.
2. Untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil menteri dapat menunjuk
PPAT sementara. (PPAT Sementara ini biasanya adalah Kepala wilayah
Kecamatan/Camat).
3. Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud oleh Pasal 7 ayat (3) PP No. 24
Tahun 1997 adalah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat PJPPAT). Jadi
PJPPAT melaksanakan ketentuan dari PP No. 24 Tahun 1997. Selanjutnya PP No.
37 Tahun 1998 dilaksanakan oleh Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (PMNA/Ka BPN 4/1999). PMNA/Ka BPN
4/1999 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (selanjutnya disingkat Perka BPN
1/2006).15 Kemudian Perka BPN 1/2006 diubah dengan beberapa perubahan pasal,
yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN RI No. 23 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN RI No. 1 tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, (Perka BPN 23/2009).
PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak
15
Urip Santoso, Op,cit, hal. 316-317.
9
milik atau satuan rumah susun (Pasal 1 angka 1 PJPPAT). Dengan demikian untuk
menjamin kepastian hukum atas terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan dan
pembebanan oleh para pihak atas tanah harus dibuat dengan bukti yang sempurna
yaitu harus dibuat dalam suatu akta otentik. Hal ini dimaksud untuk menjamin hak
dan kewajiban serta akibat hukum atas perbuatan hukum atas tanah oleh para
pihak.
Pendaftaran peralihan hak atas tanah, dilaksanakan oleh PPAT, hal
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 2 PJPPAT, dengan demikian dalam rangka
pendaftaran pemindahan hak, maka jual beli hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun harus dibuktikan dengan akta yang dibuat di hadapan PPAT.
Selain itu syarat jual beli harus dibuktikan dengan akta PPAT ditegaskan pula
dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, yaitu: “Peralihan hak atas tanah
dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah,
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,
kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.16
Sedemikian pentingnya akta yang dibuat di hadapan PPAT dalam rangka
peralihan hak atas tanah, juga tidak terlepas karena akta PPAT adalah akta otentik
dan sebagai sebuah akta otentik terdapat persyaratan ketat dalam hal prosedur
16
Penggunaan frasa “oleh” lebih berkonotasi bahwa akta PPAT adalah
Relaas Acte/Akta Pejabat, kurang tepat mengatakan bahwa akta PPAT adalah
Akta Pejabat yang didalamnya berisi keterangan dari pejabat bersangkutan, lebih
tepat digunakan istilah “dihadapan” karena akta PPAT didasarkan pada inisiatif
dan berisi keterangan dari para pihak atau Partij Acte.
10
pembuatan, bentuk dan formalitas yang harus dilakukan agar akta tersebut berhak
disebut sebagai akta otentik. Tata cara pembuatan akta PPAT dibuat dengan
bentuk yang ditetapkan oleh Menteri dengan menggunakan formulir yang
disediakan yang diatur dalam Pasal 21 PJPPAT Jo. Pasal 96 ayat (2) Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya
disingkat PMNA/Ka BPN 3/1997).
Dalam kaitannya dengan kekuatan pembuktian akta yang dibuat oleh
PPAT mengenai kepastian hak dan kewajiban hukum seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat, maka PPAT memiliki peranan yang penting dalam membantu
menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, dengan cara
penerbitan akta otentik yang dibuat dihadapannya terkait dengan status hukum,
hak, dan kewajiban seseorang dalam hukum, yang berfungsi sebagai alat bukti
yang paling sempurna di Pengadilan, dalam hal terjadi sengketa hak dan
kewajiban yang terkait. Di samping itu, pentingnya peran PPAT juga dapat dilihat
dari kapasitasnya dalam memberikan legal advice, dengan membantu pemerintah
menjelaskan kepada para pihak yang mengalihkan tanah dan bangunan mengenai
kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh) dari perolehan tanah dan bangunan
serta dari pihak yang menerima pengalihan tanah dan bangunan mengenai Bea
Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Menurut Wawan Setiawan, setiap pemberian atau adanya suatu
kewenangan senantiasa diikuti pula dengan kewajiban dan/atau tanggung jawab
11
dari padanya.
17
Artinya PPAT diberi kewenangan membuat akta otentik
khususnya bidang pertanahan, maka PPAT yang bersangkutan berkewajiban
untuk memenuhi segala persyaratan yang telah ditentukan, khususnya dalam
pembuatannya agar akta yang dibuat itu memenuhi syarat sebagai akta otentik
yang sah. Sebagai konsekuensinya PPAT sebagai pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, harus
bertanggung
jawab
apabila
terjadi
penyimpangan
dan/atau
pelanggaran
persyaratan pembuatan akta yang dilakukannya, yang akan membawa akibat
terhadap tidak sahnya akta yang dibuat PPAT tersebut.
Meskipun prosedur untuk melaksanakan peralihan atau pemindahan hak
atas tanah misalnya dalam jual beli tanah sangat ketat, tapi dalam setiap peralihan
atau pemindahan hak atas tanah selalu terbuka kemungkinan adanya tuntutan dari
pihak ketiga, bahwa tanah tersebut adalah miliknya. Jadi meskipun peralihan hak
atas tanah tersebut sudah dilaksanakan melalui akta PPAT, tetap terbuka
kemungkinan akan dapat menimbulkan sengketa pertanahan. Hal ini dikarenakan
stelsel pendaftaran tanah yang dianut di Negara Indonesia adalah stelsel
pendaftaran tanah negatif bertendensi positif, artinya walaupun terdapat tanda
bukti pemilikan hak atas tanah (sertifikat) yang mempunyai kekuatan hukum
tetapi masih dimungkinkan untuk di persoalkan (dibatalkan) oleh pihak lain yang
mempunyai alasan hukum yang kuat melalui sistem peradilan hukum tanah
17
Wawan Setiawan, 1991, “Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan
Akta”, Makalah dalam seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat
Universitas Diponegoro, 9 Maret 1991, Semarang, tanpa halaman.
12
Indonesia.18 Berkaitan dengan sistem ini, keterangan-keterangan yang ada, apabila
ternyata tidak benar, maka dapat diubah dan dibetulkan. Bukti kepemilikan tanah
bersifat kuat tetapi tidak mutlak, ini sebagai konsekuensi dianutnya stelsel
pendaftaran negatif yang bertendensi ke positif. Sistem ini dianut Indonesia
karena hukum pertanahannya masih berdasarkan hukum adat yang bersifat negatif
tetapi data yang dihasilkan akurat (positif).19
Pembatalan kepemilikan hak atas tanah, sedikit banyaknya juga berkaitan
dengan pembuatan akta jual beli tanah dihadapan PPAT yang tidak sesuai dengan
prosedur pembuatan akta PPAT. Hal ini disebabkan dalam prakteknya ada situasisituasi dan kondisi-kondisi dalam jual beli yang menyebabkan ketidak-sesuaian
tersebut sepertinya harus dilakukan agar transaksi atau proses jual beli tanah bisa
dilangsungkan.
Adanya penyimpangan maupun kelalaian dalam pembuatan akta jual beli
oleh PPAT yang pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang telah
ditentukan dalam perundang-undangan dalam praktek masih dapat dijumpai.
Penyimpangan yang dimaksudkan misalnya, penandatanganan akta jual beli telah
dilakukan tapi PPAT belum mengecek atau memeriksa kesesuaian sertifikat
terlebih dahulu ke Kantor Pertanahan; penandatanganan akta jual beli dilakukan di
luar kantor PPAT dan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi; nilai harga transaksi yang
dimuat dalam akta jual beli berbeda dengan nilai transaksi yang sebenarnya; dan
18
Hal ini seperti terlihat pada Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2),
Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
19
Soska Zone, 2011, “Pendaftaran Tanah”, (diakses pada tanggal 10
Oktober 2012), URL : http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/pendaftarantanah.html
13
praktek lainnya yang dapat memberikan akibat hukum berupa akta yang
dibatalkan dimuka pengadilan atau yang hanya dianggap sebagai akta di bawah
tangan, yang semua itu diantaranya disebabkan kelalaian dari seorang PPAT yang
membuat akta yang tidak didasarkan pada persyaratan bentuk yang harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan terkait.
Akta PPAT yang mengandung cacat hukum karena kesalahan PPAT baik
karena kelalaian maupun karena kesengajaan PPAT itu sendiri, maka PPAT itu
harus memberikan pertanggungjawaban baik secara moral maupun secara hukum.
Penyebab permasalahan bisa timbul secara langsung akibat kelalaian PPAT, juga
bisa timbul secara tidak langsung dalam hal dilakukan oleh orang lain. Apabila
penyebab permasalahan timbul akibat kelalaian baik sengaja maupun tidak
sengaja dari PPAT maka, berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau menjadi batal demi hukum, yang
mana dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian menuntut
penggantian kepada PPAT. Dalam hal penyebab permasalahan bukan timbul dari
kesalahan PPAT, melainkan timbul karena ketidak-jujuran klien terkait kebenaran
syarat administrasi sebagai dasar pembuatan akta, berakibat akta tersebut batal
demi hukum.
Aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas
jabatannya menjadi sesuatu yang sangat penting, karena PPAT dalam
menjalankan tugas dan jabatannya rentan terjerat hukum, di samping itu juga
untuk menjaga perimbangan terhadap pengawasan yang cukup ketat bagi PPAT
dalam menjalankan tugas jabatannya. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan
14
tugas PPAT dilaksanakan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan setempat.20
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum,
selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law),
kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum
dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Ketiga
prinsip tersebut merupakan dasar berpijak dari penegakan hukum (law
enforcement). Di samping itu prinsip penting lainnya dalam negara hukum adalah
perlindungan yang sama (equal protection) sebagai bagian dari persamaan dalam
hukum (equality before the law).21
Prinsip equality before the law adalah pilar utama dari bangunan Negara
Hukum yang mengutamakan hukum di atas segalanya (supreme of law).
Pengakuan kedudukan tiap individu di muka hukum ditempatkan dalam
kedudukan yang sama tanpa memandang status sosial. Keberlakuan prinsip
equality before the law dalam praktek penegakan negara hukum yang berdasarkan
kedaulatan hukum terkadang mengalami “penghalusan” atau “exception”
(pengecualian).
Perbedaan perlakuan hukum atau pengecualian ini hanya berlaku jika ada
alasan yang khusus, misalnya pengecualian berlaku bagi orang-orang/kelompok
20
Pasal 63 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun
2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
21
A. M. Fatwa, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 48.
15
orang-orang tertentu yaitu mereka yang oleh karena melaksanakan suatu
perbuatan yang ditugaskan oleh Undang-undang tidak dapat dihukum/dipidana.
Terhadap orang-orang ini tidak berlaku kekebalan hukum, karena apabila mereka
terbukti melakukan tindak pidana dengan menggunakan kekuasaan dan
kewenangannya, maka hukuman terhadap mereka lebih berat daripada hukuman
yang seharusnya diterima oleh orang biasa.
Terhadap orang-orang tersebut jika melakukan suatu perbuatan guna
melaksanakan ketentuan Undang-Undang tidak dapat dihukum (bukan kebal
hukum), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang
melanggar hukum dengan menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangannya,
maka hukumannya diperberat. Untuk menjadi orang yang dikecualikan dari
prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai sebagai
orang yang terhormat (nobile person) maupun jabatan terhormat (nobile officium).
Seorang PPAT yang suatu ketika menemui suatu permasalahan hukum
terkait akta yang dibuatnya mengandung cacat hukum tidak jarang dipanggil oleh
aparat penegak hukum dalam rangka proses penegakan hukum, baik itu
berkedudukan sebagai saksi, tersangka maupun terdakwa. Dalam proses
penegakan hukum oleh aparat penegak hukum tersebut terdapat prosedur khusus
yang tidak diatur secara normatif ketentuannya dalam peraturan jabatan PPAT.
Berbeda halnya dengan perlakuan yang diberikan kepada jabatan Notaris, dimana
ketentuan mengenai pemanggilan dan pengambilan minuta akta ada prosedur
khusus dalam proses penegakan hukumnya. Dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1)
16
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN),
menentukan :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (garis bawah
dari Penulis) berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
Sedangkan ketentuan mengenai perlindungan hukum PPAT tidak diatur secara
normatif dalam PJPPAT, disamping itu seorang PPAT dalam melaksanakan
fungsi jabatannya seharusnya tidak tunduk terhadap prinsip equality before the
law, sepanjang dalam melaksanakan jabatannya telah mengikuti prosedur yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Namun dengan “disetujuinya”
PPAT diperiksa oleh penyidik, penuntut umum dan/atau hakim, maka sudah
terdapat unsur pengkondisian bagi PPAT tersebut untuk ditempatkan dalam posisi
tidak berada dalam golongan “nobile person” atau “nobile officium”, melainkan
seperti seorang yang tunduk pada prinsip equality before the law seperti yang
terjadi pada orang pada umumnya. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan
mendasar apakah PPAT yang merupakan jabatan tertentu yang menjalankan
sebagian dari tugas pemerintah khususnya di bidang pertanahan di dalam sistem
hukum Indonesia telah mendapatkan perlindungan hukum secara layak?
Ketentuan dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, maupun dalam
Perka BPN 1/2006 sebagaimana telah diubah dengan Perka BPN 23/2009 tentang
17
Perubahan Atas Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagai ketentuan bagi PPAT, tidak ada
pengaturan tentang perlindungan hukum bagi PPAT itu sendiri, dalam peraturan
terkait ke-PPAT-an lainnya pun tidak diatur, maka perlu adanya dasar hukum
mengenai hal itu, karena PPAT mempunyai peranan yang cukup besar dalam
membantu tugas pemerintah khususnya dibidang pertanahan. Jadi dalam hal
seorang PPAT juga ikut terpanggil dalam suatu kasus tertentu, di mana ia
dijadikan sebagai saksi atau tersangka maupun terdakwa, maka sampai di mana
perlindungan yang ia peroleh sebagai Pejabat Umum yang menjalankan
jabatannya, adalah dia diproses dengan cara pada umumnya sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan tidak ada prosedur khusus
sebagaimana
yang
diterapkan
kepada
jabatan
Notaris.
Padahal
PPAT
dikategorikan sebagai seorang Pejabat Umum juga, dan oleh undang-undang
diberikan suatu imunitas hukum bagi jabatan-jabatan tertentu salah satunya PPAT
berupa hak ingkar atau hak mengundurkan diri (verschoningrecht) dalam
pelaksanaan kewajiban memberi keterangan sebagai saksi di Pengadilan, hal ini
berkaitan dengan rahasia jabatan.
Berdasarkan uraian di atas terdapat kekosongan norma mengenai
ketentuan perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya,
dimana konsep perlindungan hukum ini berkaitan erat dengan aspek
pertanggungjawaban, sehingga Penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut
mengenai aspek pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang
mengandung cacat hukum kemudian mengkaji mengenai sejauh mana Peraturan
18
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengatur mengenai perlindungan hukum
bagi PPAT dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Umum dalam pelaksanaan tugas
jabatannya. Penulis menuangkannya dalam Tesis yang berjudul :
“TANGGUNG JAWAB DAN PERLINDUNGAN HUKUM PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI
TANAH”
Dari penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ada beberapa penelitian
yang berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) yaitu :
1. Tesis dari I Gusti Ayu Novi Ratna sari, NIM 1092461013 alumni mahasiswa
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana Tahun 2013, dengan
judul tesis yaitu “TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEJABAT
PEMBUAT AKTA TANAH DALAM MEMBUAT AKTA JUAL BELI
BERKAITAN
DENGAN
PERATURAN
DAERAH
KABUPATEN
BADUNG NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN” dengan permasalahan yang dibahas :
a. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris sebagai Pejabat Pembuat Akta
Tanah dalam membuat akta peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan
(Akta Jual Beli)?
b. Kapan saat terhutangnya BPHTB dalam suatu proses transaksi jual beli
berkaitan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 14 tahun
2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan?
19
2. Tesis dari Merry Yusnita, NIM B4B008175 alumni mahasiswa Program
Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Tahun 2010, dengan judul
tesis yaitu “TANGGUNG JAWAB PPAT TERHADAP AKTA-AKTA
YANG
DIBUATNYA
JIKA
TERJADI
SENGKETA
PUTUSAN
NOMOR:07/PDT.G/1997/PN.PTK” dengan permasalahan yang dibahas :
a. Bagaimanakah kekuatan pembuktian akta PPAT sebagai alat bukti yang
sah dalam proses pemeriksaan sengketa perdata di Pengadilan?
b. Sejauh mana tanggung jawab PPAT terhadap akta-akta yang telah
dibuatnya dalam hal jika terjadi sengketa di Pengadilan Negeri?
c. Akibat hukum yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri terhadap akta
PPAT yang menjadi sengketa?
3. Tesis dari Aldi Subhan Lubis, NIM 077011004 alumni mahasiswa Program
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara 2009, dengan judul tesis
yaitu
“TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
YANG MELAKUKAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM
PEMBUATAN AKTA PPAT (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No. 94/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Pst)” dengan permasalahan yang dibahas :
a. Bagaimana Peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Peralihan Hak
Atas Tanah Dengan Adanya Kuasa Mutlak?
b. Bagaimana tanggung jawab PPAT yang melakukan perbuatan melawan
hukum dalam pembuatan akta PPAT ?
c. Bagaimana akibat hukum terhadap akta PPAT yang dibuat oleh PPAT
secara melawan hukum ?
20
Bila diperbandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian
ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Dengan demikian
penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini :
1. Bagaimanakah tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah terhadap akta
jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum ?
2. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum kepada Pejabat Pembuat Akta
Tanah dalam melaksanakan tugas jabatannya ?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum.
Mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma “science is
process”, yang dimana pelaksanaan penelitian ini secara umum bertujuan untuk
memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan Ilmu Hukum, khususnya
Hukum Pertanahan, yaitu mengenai perlindungan hukum bagi PPAT dalam
melaksanakan tugas jabatannya dikaitkan dengan aspek pertanggungjawaban-nya
terhadap akta yang mengalami cacat hukum. Hasil diperolehnya gambaran secara
lengkap tersebut, diharapkan dapat memberi sumbangan positif dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang hukum maupun proses
21
penegakan hukum, sehingga kedepan proses penegakan hukum khususnya terkait
perlindungan hukum bagi PPAT terbangun secara baik.
1.3.2 Tujuan Khusus.
Sesuai dengan perumusan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penulisan tesis ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis aspek pertanggungjawaban PPAT
terhadap akta jual beli tanah yang di buat dihadapannya mengandung cacat
hukum
2. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana pengaturan perlindungan
hukum kepada PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis.
Penulisan tesis ini diharapkan memberi manfaat teoritis yang berupa
sumbangan bagi pengembangan Ilmu Hukum Kenotariatan khususnya disiplin
Ilmu Hukum Agraria dalam bidang pertanahan.
1.4.2 Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk tujuan
praktik bagi PPAT agar terhindarkan dari kesalahan dalam pembuatan akta yang
berkaitan dengan pertanahan guna kepastian hukum atas keotentikan akta PPAT
dalam pendaftaran hak atas tanah. Diharapkan pula sebagai masukan kepada
Pemerintah dan DPR yang bertujuan untuk menentukan dan memperjelas
kebijakan dan langkah-langkah guna pengaturan mengenai tata cara pembuatan
22
akta PPAT dan mekanisme perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan
tugas jabatannya, dalam suatu peraturan yang terpadu secara normatif. Bagi para
pihak penulisan ini diharapkan dapat membantu para pihak agar terhindar dari
kesulitan dan persengketaan. Juga Penulis berharap penulisan ini akan dapat
membawa manfaat bagi kepentingan bangsa dan negara dan masyarakat luas.
1.5 Landasan Teoritis
Menurut Soerjono Soekanto bahwa kontinuitas perkembangan ilmu hukum,
selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat
ditentukan oleh teori. 22 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan
mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,23 dan satu teori harus diuji
dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.24
Beranjak dari judul tesis ini yaitu “Tanggung Jawab Dan Perlindungan
Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah”,
dan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan tesis ini maka landasan
teoritis yang akan digunakan tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) proposisi yang
saling berkaitan yakni Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam
Pembuatan Akta Jual Beli Tanah dan Perlindungan Hukum Pejabat Pembuat Akta
Tanah Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah. Adapun landasan teoritis yang
22
Soerjono Soekanto, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,
Jakarta, hal. 19.
23
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-asas, FE UI, Jakarta, hal.
203.
24
Ibid, hal. 16.
23
akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan tesis ini yaitu, Konsep
Negara Hukum, Teori Pertanggungjawaban, dan Konsep Perlindungan Hukum.
1.5.1 Konsep Negara Hukum.
Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf
dari zaman Yunani Kuno. Plato mengemukakan bahwa pemerintah yang mampu
mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum,
ide ini terus dikembangkan oleh muridnya yang bernama Socrates dan dilanjutkan
oleh cucu muridnya yang terkenal yaitu Aristoteles.
25
Ide negara hukum
mengalami penguatan kembali pada masa ahli fikir Perancis antara tahun 17421804, yaitu Immanuel Kant yang mencetuskan konsep rechtsstaat yang
memandang negara sebagai instrument perlindungan hak-hak warga negara dari
tindakan penguasa.26
Menurut pendapat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl 27
sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adjie, bahwa unsur-unsur atau ciri-ciri dari
Rechtsstaat adalah sebagai berikut :
1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia;
2. Adanya pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan; dan
4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.
25
H.M. Ali Mansyur, 2012, “Pranata Hukum Dan Penegakaannya Di
Indonesia”, diakses pada tanggal 15 November 2012, URL :
http://alimansyur.blog.unissula.ac.id/
26
Mohammad Tahir Azhary, 1992, Negara Hukum, suatu studi tentang
prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum islam, implementasinya pada periode
negara madina dan masa kini, Bulan Bintang, Jakarta, hal. 73-74
27
Oemar Seno Adji, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum,
Simposium UI, Jakarta, hal. 24
24
Konsep rechtsstaat sesungguhnya bukan satu-satunya konsep tentang
negara hukum, konsep rechsstaat lahir dan berkembang di negara-negara eropa
kontinental, sementara itu di negara-negara anglosaxon di Inggris berkembang
konsep rule of law. Berbeda dengan konsep Rechtsstaat konsep Rule of law lahir
secara evolusioner dalam rangka meningkatkan fungsi peradilan sebagai
perwujudan supremasi hukum. A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur Rule of
law sebagai berikut:
1. Supremasi hukum (Supremacy of law);
2. Kedudukan yang sama di depan hukum (Equality before the law); dan
3. Terjaminnya Hak Asasi Manusia dalam undang-undang atau keputusan
pengadilan (Constitution basic on individual right).28
Menurut
Jimly
Asshiddiqie,
keempat
prinsip
‘rechtsstaat’
yang
dikembangkan oleh Friedrich Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V.
Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara hukum modern di zaman sekarang. 29
Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara
hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak
(independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin
dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap Negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang
dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Commission of
Jurists” itu adalah :
28
Mohammad Tahir Azhary, Op. cit, hal. 66.
Jimly Asshiddiqie, 2010, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, diakses
pada
tanggal
15
November
2012,
URL
:
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf
29
25
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.30
Dalam kepustakaan hukum Indonesia terdapat beragam pengertian negara
hukum
yang dikemukakan
oleh
para ahli
hukum.
Sudargo Gautama
mengemukakan dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan
negara terhadap perseorangan, sehingga sebuah negara tidak maha kuasa dan tidak
dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya
dibatasi oleh hukum. 31 Sementara H. Muchsin memberikan ciri-ciri khas dari
suatu negara hukum yaitu : 32
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan
kebudayaan;
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh
suatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga; dan
3. Legalitas dalam segala bentuknya.
Sedangkan Philipus M. Hadjon menguraikan ciri Negara Hukum Pancasila adalah
sebagai berikut : 33
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan;
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara;
30
Ibid.
Sudargo Gautama, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni,
Bandung, hal. 3.
32
H. Muchsin, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Iblam,
Jakarta, hal. 11.
33
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan hukum bagi rakyat di
Indonesia, sebuah studi tentang prinsip-prinsip penanganannya oleh pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi,
Peradaban, Surabaya, (selanjutnya disingkat Philipus M. Hadjon I), hal. 80.
31
26
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum
yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan
hukum menuntut bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat
memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban
seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.34
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 ”Negara Indonesia adalah
Negara Hukum”, artinya secara umum, dalam setiap negara yang menganut
paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi
hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the
law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due
process of law).
35
Ketiga prinsip tersebut merupakan dasar berpijak dari
penegakan hukum (law enforcement).
Prinsip penting lainnya dalam negara hukum adalah perlindungan yang
sama (equal protection) sebagai bagian dari persamaan dalam hukum (equality
before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang
khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang
berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang
rasional. Tetapi perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis,
misalnya karena perbedaan warna kulit, gender, agama dan kepercayaan, sekte
34
35
Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 170.
A. M. Fatwa, Loc. Cit.
27
tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani
miskin.36
Prinsip persamaan dalam hukum (equality before the law) mendapat
pengecualian bagi orang-orang atau kelompok orang-orang tertentu yaitu mereka
yang oleh karena melaksanakan suatu perbuatan yang ditugaskan oleh UndangUndang tidak dapat dihukum atau dipidana. Jusuf Patrianto Tjahjono berpendapat
bahwa terhadap orang-orang ini jika melakukan suatu perbuatan guna
melaksanakan ketentuan Undang-Undang tidak dapat dihukum (bukan kebal
hukum), sebaliknya apabila yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan yang
melanggar hukum dengan menggunakan kekuasaan dan atau kewenangannya
(abuse de droit), maka hukumannya diperberat. Untuk menjadi orang yang
dikecualikan dari prinsip equality before the law, tentu saja harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu yang dibuat sesuai standart pemenuhan nilai-nilai
sebagai “nobile person” (orang yang terhormat).37 Hal tersebut menunjukkan pada
hakikatnya para penegak hukum (Hakim, Komisi Pemberantas Korupsi, Jaksa,
Notaris, dan Polisi) adalah pembela kebenaran dan keadilan sehingga para
penegak hukum harus menjalankan dengan itikad baik dan ikhlas, sehingga
profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile).38
Dalam tesis ini Penulis menekankan pada batasan bahwa agar tercipta
suatu tertib hukum (negara yang baik), setiap organ negara dan aparatur penegak
36
Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat) ,Refika
Aditama, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady I), hal. 207.
37
Jusuf Patrianto Tjahjono, 2008, “Apakah Notaris tunduk Pada prinsip
Equality Before The Law?”, diakses pada tanggal 20 November 2012, URL :
http://notarissby.blogspot.com/2008/03/apakah-notaris-tunduk-pada-prinsip.html
38
Theo Huijbers, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 145
28
hukum dan masyarakat harus berjalan dalam koridor hukum. Dalam hal ini PPAT
selaku pejabat umum harus melaksanakan kewenangan jabatannya dalam rangka
pembuatan akta jual beli tanah berdasarkan atas tata cara pembuatan akta PPAT
sebagaimana ketentuan yang berlaku, apabila hal ini dilanggar maka PPAT akan
dimintai pertanggungjawaban hukum sebagai konsekuensi yuridis produk akta
yang dibuatnya mengalami cacat hukum.
Selanjutnya konsep negara hukum ini dipergunakan untuk melihat
keterkaitan antara pertanggungjawaban PPAT terhadap akta otentik yang
dibuatnya mengalami degradasi kekuatan pembuktian sehingga mempengaruhi
kepastian hukum dari status hak atas tanah dengan perlindungan hukum bagi
PPAT sebagai pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban tersebut.
Terdegradasinya akta otentik yang dibuat oleh PPAT akan menjadi masalah
apabila karena syarat undang-undang akta tersebut tidak memenuhi syarat sebagai
alat bukti peralihan yang menjadi dasar pemindahan hak atas tanah. Selanjutnya
ditelaah mengenai sejauh mana pengaturan perlindungan hukum bagi PPAT
terutama menyangkut hak-haknya sebagai pejabat umum yang berwenang
membuat akta otentik apabila dimintai suatu pertanggungjawaban mengenai
kebatalan produk akta yang dibuatnya, sedangkan disisi lain PPAT selaku pejabat
umum yang sedang melaksanakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah
di bidang pendaftaran tanah telah bertindak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, masih tundukkah terhadap prinsip equality
before the law?, karena seorang PPAT yang tidak sedang dalam kapasitas sebagai
29
PPAT adalah sama dengan orang pada umumnya yang tunduk pada prinsip
equality before the law dan tidak “kebal hukum”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimak bahwa adanya unsur asas
legalitas dalam unsur rechtsstaat mengamanatkan agar setiap tindakan pemerintah
harus berdasar atas hukum. Dengan kata lain, dalam unsur negara hukum
Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya dengan
aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang sampai saat ini belum ada ketentuan
yang mengatur, karena perlindungan hukum harus dimaknai sebagai perlindungan
dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh
hukum, artinya pengaturan mengenai dasar hukumnya harus jelas tertuang dalam
hukum positif, sehingga pengaturan mengenai mekanisme khusus dalam proses
penegakan hukum bagi PPAT harus dituangkan secara normatif dan jelas agar
memiliki kekuatan mengikat yang pasti.
1.5.2 Teori Pertanggungjawaban.
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu responsibility dan liability. Menurut kamus hukum Henry Campbell
Black dalam Black’s Law Dictionary pengertian tanggung jawab yakni, tanggung
jawab bersifat umum disebut responsibility sedangkan tanggung jawab hukum
disebut liability. Liability diartikan sebagai condition of being responsible for a
possible or actual loss, penalty, evil, expense or burden, condition which creates a
duty to performact immediately or in the future. 39 Dalam pengertian dan
penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum
39
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn
West Publishing. Co, Boston , hal 914.
30
(konsekuensi hukum) yaitu tanggung jawab akibat kesalahan yang dilakukan oleh
subyek
hukum,
sedangkan
istilah responsibility
menunjuk
pada
pertanggungjawaban politik atau kewajiban hukum (garis bawah dari Penulis).40
Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg
dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:41
a. Teori fautes de personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban
tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.
Sedangkan Hans Kelsen menguraikan teori tentang pertanggungjawaban dalam
hukum
yaitu
suatu
konsep
terkait
dengan
konsep
kewajiban
hukum
(responsibility) adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang
dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah
bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan.
Normalnya, dalam suatu kasus sanksi dikenakan terhadap pelaku (deliquent)
adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus
bertanggung jawab. 42 Selanjutnya Hans Kelsen menyatakan, bahwa kegagalan
untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum di sebut “kekhilafan”
40
Ridwan H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 335-337.
41
Ibid, hal. 365.
42
Hans Kelsen, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet. ke-2,
terjemahan Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Konstitusi Press, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Hans Kelsen I), hal. 56.
31
(negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari
“kesalahan” (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena
mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang
membahayakan.43
Hans Kelsen dalam bukunya yang lain, membagi pertanggungjawaban
menjadi empat macam yaitu: 44
a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab
terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung
jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.
Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara
tanggung jawab PPAT yang berkaitan dengan kewenangan PPAT berdasarkan PP
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT beserta peraturan pelaksananya yang berada
dalam bidang hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah membuat alat
bukti berupa akta otentik mengenai perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak
atas tanah yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian
menjadi suatu delik atau perbuatan yang harus dipertanggung jawabkan.
43
Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law and State,Teori Umum
Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum
Deskriptif-Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Hans Kelsen II) hal. 83.
44
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien,
Nuansa & Nusamedia, Bandung, (selanjutnya disingkat Hans Kelsen III), hal. 140.
32
Delik adalah suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma
hukum yang ada. Tindakan manusia dikatakan sebagai suatu delik karena aturan
hukum mengenakan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Jadi,
adalah delik kriminal jika memiliki sanksi kriminal, dan adalah suatu delik
perdata jika memiliki suatu sanksi perdata sebagai konsekuensinya.45 Hans Kelsen
mengemukakan bahwa berdasarkan pandangan hukum positif, tidak ada kriteria
lain yang dapat menentukan suatu fakta sebagai delik selain adanya sanksi
menurut aturan hukum. Tidak ada delik tanpa adanya sanksi, dan karenanya tidak
ada delik karena perbuatan itu sendiri.46
Dalam ranah Hukum Pidana, Andi Hamzah menguraikan mengenai unsur
kesalahan dalam arti yang luas yaitu :
1. Dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat;
2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya
kesengajaan atau kesalahan dalam arti sempit culpa;
3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.47
Sedangkan menurut Simons sebagaimana dikutip oleh Roeslan Saleh berpendapat,
kesalahan adalah keadaan psikis yang melakukan perbuatan dan hubungannya
(psikis) dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu
dapat dicela karena perbuatan tadi. Jadi yang diperhatikan adalah: (1) keadaan
batin dari orang yang melakukan perbuatan itu; (2) hubungan antara keadaan batin
itu dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga orang itu dapat
45
Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 46.
Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 47.
47
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka
Cipta, Jakarta, hal. 130.
46
33
dicela karena perbuatan tadi. Dua hal yang harus diperhatikan itulah terjalin erat
satu dengan lainnya, merupakan hal yang dinamakan kesalahan.48
Selanjutnya mengenai kemampuan bertanggung jawab secara teoritis harus
memenuhi unsur yang terdiri atas :
1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk;
yang sesuai hukum dan yang melawan hukum;
2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
dan buruknya perbuatan tadi.49
Sedangkan menurut Roscoe Pound pertanggungjawaban terkait dengan suatu
kewajiban untuk meminta ganti kerugian dari seseorang yang terhadapnya telah
dilakukan suatu tindakan perugian atau yang merugikan (injury), baik oleh orang
yang pertama itu sendiri maupun oleh sesuatu yang ada dibawah kekuasaannya.50
Dalam ranah hukum perdata, Roscoe Pound menyatakan hukum melihat ada tiga
pertanggungjawaban atas delik yaitu:
a. Pertanggungjawaban atas perugian yang disengaja;
b. Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja;
c. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan
karena kelalaian serta tidak disengaja.51
48
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 82-83.
49
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 63.
50
Roscoe Pound, 1996, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to The
Philosophy of Law), terjemahan Mohammad Radjab, Jakarta, hal. 80.
51
Ibid, hal. 92.
34
Sedangkan J.H. Nieuwenhuis menyatakan tanggung jawab timbul karena adanya
perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad dan merupakan penyebab
oorzaak timbulnya kerugian, sedangkan pelakunya yang bersalah yang disebut
schuld, maka orang itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut,52
Dalam ilmu hukum hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan
melawan hukum, yaitu :53
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian).
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Seseorang hanya bertanggung jawab atas dasar kerugian orang lain, dan tanggung
jawab ini menurut ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), apabila :54
1. Perbuatan yang menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar hukum
(perbuatan melanggar hukum);
2. Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan kausal);
3. Pelaku tersebut bersalah (kesalahan);
4. Norma yang dilanggar mempunyai “strekking” untuk mengelakkan
timbulnya kerugian (relatifitas).
Selaras dengan pendapat Munir Fuady, teori aansprakelijkheid atau dalam
bahasa Indonesia dapat disebut dengan teori tanggung jawab adalah teori untuk
menentukan siapa yang harus menerima gugatan atau siapa yang harus digugat
52
J.H. Nieuwenhuis, 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan (Hoofdstukken
Verbintenissenrecht), terjemahan Djasadin Saragih, Airlangga University Press,
Surabaya, hal. 115.
53
Munir Fuady, 2002, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan
Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Munir Fuady
II), hal. 3.
54
J.H. Nieuwenhuis, Op.cit, hal. 118.
35
karena adanya suatu perbuatan melawan hukum. 55 Munir Fuady menguraikan
tanggung jawab hukum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :56
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian)
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian
sebagaimana terdapat dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam
Pasal 1367 KUHPerdata.
Jadi, pertanggungjawaban PPAT timbul karena adanya kesalahan yang dilakukan
di dalam menjalankan suatu tugas jabatan dan kesalahan itu menimbulkan
kerugian bagi orang lain yang minta jasa pelayanan (klien) PPAT, artinya untuk
menetapkan seorang PPAT bersalah yang menyebabkan penggantian biaya, ganti
rugi, dan bunga, disyaratkan bilamana perbuatan melanggar hukum dari PPAT
tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dan pertanggungjawaban tersebut dapat
dilihat dari sudut pandang administratif, keperdataan maupun dari sudut pandang
hukum pidana.
Tata cara terbitnya akta PPAT sebagai akta otentik sangatlah menentukan.
Apabila pihak yang berkepentingan dapat membuktikan adanya cacat dalam
bentuknya karena adanya kesalahan atau ketidaksesuaian dalam tata cara
pembuatannya maka bukan saja akan mengakibatkan timbulnya risiko bagi
kepastian hak yang timbul atau yang tercatat atas dasar akta tersebut, tetapi juga
akan menempatkan PPAT sebagai pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban.
55
56
Munir Fuady II, Op.cit, hal. 16.
Munir Fuady II, Op.cit, hal. 3.
36
1.5.3 Konsep Perlindungan Hukum.
Setiap aturan hukum bersifat normatif, karena peraturan perundangundangan siapapun yang menetapkannya dan materi apapun yang dicantumkan
harus memuat norma hukum. 57 Norma hukum yang memuat sejumlah perintah
dan larangan tersebut harus dicantumkan secara rinci dan jelas, sehingga tidak
memungkinkan terjadinya interpretasi yang salah.
Penyelesaian persoalan hukum yang diuraikan di atas diarahkan pada
upaya untuk mewujudkan keadilan. Keadilan merupakan tujuan hukum yang
berhubungan dengan kekuatan berlakunya peraturan perundang-undangan, dan
oleh karena itu harus dapat diakomodasi dalam peraturan itu. 58 Keadilan yang
dimaksud bukan hanya keadilan hukum atau legal justice tetapi juga keadilan
sosial atau social justice. Masyarakat harus merasakan bahwa peraturan
perundang-undangan termasuk ketentuan mengenai aspek pertangggungjawaban
PPAT dan perlindungan hukum terhadap PPAT itu adil.
Plato mengemukakan, “justice is a virtue that contains harmony and
balance can not be determined or explained by rational argument”. Artinya
keadilan merupakan suatu kebajikan yang mengandung keselarasan dan
keseimbangan yang tidak dapat diketahui atau dijelaskan dengan argumentasi
57
Karel E. M. Bongenaar, 1992, “Aturan Dalam Norma”, Majalah
Yuridika, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor 1 dan 2 Tahun VII, JanFeb-Mar-Apr, 1992, Surabaya, hal. 15.
58
Daniel Djoko Tarliman, 2003, “Keadilan Sebagai Landasan Filosofi
Peraturan Perundang-undangan dan Putusan Hakim”, Jurnal Yustika, Media
Hukum dan Keadilan, Vol 6 Nomor 2 FH Ubaya, Surabaya, hal. 205.
37
rasional. 59 Sedangkan menurut Thomas Aquinas, sebelum membahas mengenai
kebajikan keadilan, terlebih dahulu harus membahas mengenai hukum. Untuk
menentukan bagian masing-masing orang harus ada sistem hukum yang
mengaturnya. Memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi bagiannya
melalui produk hukum merupakan perwujudan dari penghormatan terhadap
keluhuran pribadi manusia. Pemikiran hukum kodrat Thomas Aquinas tersebut
berkembang dengan baik dalam paham negara hukum konstitusional yang
keberadaannya diukur pada perlindungan yang diberikan kepada hak-hak asasi
manusia.60
Sejalan dengan pemikiran Thomas Aquinas tersebut, John Rawls
menyatakan,
“Primary
social
goods
include
rights,
liberties,
powers,
opportunities, income, wealth, and the social bases of self-respect. All primary
social goods are to be distributed equally unless an unequal distribution is to the
benefit of everyone”. Artinya bahwa semua nilai-nilai sosial yang berhubungan
dengan kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan dasar-dasar
dari harga diri harus didistribusikan secara merata kecuali kalau pendistribusian
yang tidak seimbang dari beberapa atau semua nilai tersebut memberikan
keuntungan yang sama bagi semua orang.61
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan
59
Wolfgang Friedmann, 1960, Legal Theory, Fourth Edition, Stevens and
son limited, London, p. 9.
60
Frans Magnis Suseno, 2000, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, hal. 13.
61
John Rawls, 1973, A Theory of Justice, Oxford University Press,
London-New York, p. 62.
38
kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. 62 Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan tugas jabatan dari seorang PPAT maka aspek
perlindungan hukum perlu dialokasikan pengaturannya dalam hukum positif
Indonesia. Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa perlindungan hukum
merupakan perlindungan harkat dan martabat dan pengakuan terhadap hak asasi
manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan
berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara tersebut guna
mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada
umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih mengikat dan
akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang
melanggarnya.63
Konsep perlindungan hukum terhadap PPAT tidak dapat dipisahkan dari
konsep perlindungan hukum pada umumnya. Berdasarkan konsepsi tersebut
sebagai kerangka pikir dengan mendasarkan pada Pancasila, prinsip perlindungan
hukum di Indonesia adalah pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada prinsip negara hukum yang berlandaskan
Pancasila.64 Berpedoman pada pemikiran Thomas Aquinas, John Rawls, Satjipto
Rahardjo dan Philipus M. Hadjon, seharusnya kebijakan pemerintah dalam
legislatif hukum positif didistribusikan secara proporsional atas dasar harkat dan
martabat manusia demi mewujudkan kesejahteraan umum.
62
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia,
Kompas, Jakarta, hal. 121.
63
Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hal. 205
64
Philipus M. Hadjon I, Op.cit, hal. 19.
39
Legislasi hukum positif mengandung dua pengertian keadilan, yaitu
keadilan substantif dan keadilan prosedural. Berdasarkan keadilan substantif,
setiap bentuk hukum yang berlaku merupakan manifestasi ikatan yurisdiksi dan
mendistribusikan wewenang atas dasar kesamaan yang proporsional. Keadilan
prosedural berkaitan prosedur yang jujur dan benar dalam melaksanakan hukum.65
Suatu prosedur hukum yang jujur dan benar harus memenuhi syarat-syarat :
semua hukum yang dinyatakan berlaku harus diundangkan, akibat hukum tidak
boleh mencerminkan sebuah upaya pembalasan, isi hukum harus koheren dan
secara substansial tidak boleh ada pertentangan dan harus memiliki kontinuitas.66
Berkaitan dengan hal ini Arif Gosita mengatakan bahwa keadilan merupakan
suatu kondisi dimana setiap orang dapat melaksanakan hak dan kewajibannya
secara rasional bertanggung jawab dan bermanfaat.67 Sedangkan menurut Harjono,
perlindungan yang diberikan oleh hukum merupakan perlindungan atas hak
masyarakat yang merupakan hasil transformasi kepentingannya, yang selanjutnya
menjadi hak hukum, sehingga hak masyarakat dapat dihormati, dilindungi dan
dipatuhi. 68 Salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat, oleh karena itu,
65
E. Sumaryono, 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi
Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 127-128.
66
Ibid, hal. 129.
67
Arif Gosita, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademik Presindo,
Jakarta, hal. 12.
68
Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Konstitusi Press,
Jakarta, hal. 375.
40
perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam
bentuk adanya kepastian hukum.69
Menurut Paulus Effendie Lotulung, kesalahan dibedakan antara kesalahan
yang bersifat pribadi (faute personelle atau personal fault) dan kesalahan didalam
menjalankan tugas (faute de servive atau in service fault). Terhadap kesalahan
yang bersifat pribadi, maka seorang pejabat umum adalah sama seperti warga
masyarakat biasa yang dapat diminta dan dituntut pertanggungjawabannya,
sehingga dalam hal yang demikian kepadanya berlaku mekanisme perlindungan
hukum yang sama bagi warga masyarakat biasa. Tetapi terhadap kesalahan yang
berkaitan dengan tugas dan pekerjaannya atau hasil pekerjaannya, maka
otentisitas akta-aktanya tetap dijamin, namun terhadapnya perlu diberikan
perlindungan hukum yang berbeda mekanismenya dengan anggota masyarakat
biasa.70 Inilah yang menjadi dasar kriteria bagi jabatan PPAT untuk memiliki hak
istimewa berupa perlakuan khusus dalam proses penegakan hukum yang
dihadapinya.
Dalam penulisan ini, perlindungan hukum diberi batasan sebagai suatu
upaya yang dilakukan di bidang hukum dengan maksud dan tujuan memberikan
jaminan perlindungan terhadap hak-hak PPAT yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas jabatannya. Hal itu dimaksudkan dalam rangka mewujudkan kepastian
69
Shidarta, 2004, “Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks KeIndonesia-an”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik
Parahyangan, Bandung, hal. 112.
70
Paulus Effendie Lotulung, 2003, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris
Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya”, Media Notariat Edisi
April-Juni 2003, (selanjutnya disingkat Paulus Effendie Lotulung I), hal. 67.
41
hukum dari akta jual beli yang dibuatnya, sekaligus terjaminnya rasa tentram dan
ketenangan terhadap PPAT dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum
yang sedang melaksanakan sebagian dari tugas dan wewenang Pemerintah di
bidang pendaftaran tanah.
Berpijak pada pandangan-pandangan di atas, asumsinya dimana ada
keadilan, disitu seharusnya ada terdapat perlindungan hukum yang baik. Dalam
kaitannya dengan tugas dan fungsi jabatan PPAT bahwa fungsi PPAT
mengandung
berbagai
dimensi
perlindungan
kepentingan.
Di
samping
pelindungan terhadap klien, juga mengandung perlindungan terhadap PPAT itu
sendiri khususnya PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya. Dengan demikian
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah seharusnya memuat aspek
perlindungan hukum terhadap masyarakat terutama yang berkepentingan, dan juga
harus memberikan perlindungan hukum terhadap PPAT. Dalam kaitannya dengan
penulisan tesis ini, perlindungan hukum dititik beratkan pada perlindungan hakhak PPAT sebagai Pejabat Umum.
1.6 Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah kerangka berpikir yang dibuat dengan
berlandaskan pada teori-teori yang sudah baku yang dapat memberikan gambaran
yang sistimatis mengenai masalah yang akan diteliti. Gambaran yang sistimatis
tersebut dijabarkan dengan menghubungkan variabel yang satu dengan variabel
42
lainnya.
Untuk
lebih
memperjelas,
digunakan
diagram/skema
untuk
menggambarkannya.71
Bagan Kerangka Teoritis
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
3. PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT
4. PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Pelaksanaan PP No. 24
Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Perka BPN
8/2012
5. Perka BPN 1/2006 tentang Pelaksanaan PP No. 37 Tahun
1998 sebagaimana telah diubah dengan Perka BPN
23/2009
Jual Beli Tanah
Konsep
Negara Hukum
Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT)
Tanggung jawab PPAT dalam pembuatan akta
jual beli tanah yang mengandung cacat hukum
Teori
Pertanggungjawaban
Sejauh mana perlindungan hukum PPAT dalam
melaksanakan tugas jabatannya
Konsep
Perlindungan Hukum
Kesimpulan
Berdasarkan kerangka teoritis di atas Penulis ingin memberi gambaran
guna menjawab perumusan masalah pada penulisan tesis ini. Dalam hal ini
mengenai pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya
mengandung cacat hukum dikarenakan oleh pembuatan akta jual beli tanah yang
tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT, baik yang disengaja ataupun
tidak, yang selanjutnya diinterprestasikan terhadap peraturan-peraturan yang ada
mengenai prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT. Peraturan-peraturan yang
71
Magister Kenotariatan, 2011, Pedoman Pendidikan Program Studi
Magister Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar, hal. 52-53.
43
dimaksud adalah, KUHPerdata, PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, beserta peraturan pelaksananya.
Kemudian dianalisis aspek pertanggungjawaban yang akan dikenakan kepada
PPAT berkaitan dengan akta jual beli yang cacat hukum tersebut baik secara
administratif maupun secara perdata dan pidana, dengan diinterpretasikan
terhadap
peraturan-peraturan
yang
sesuai
dengan
masing-masing
aspek
pertanggungjawaban tersebut. Selanjutnya dianalisis sejauh mana pengaturan
mengenai perlindungan hukum bagi PPAT yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan terkait ke-PPAT-an maupun dalam peraturan lain yang tidak
terkait. Kemudian dibuat kesimpulan tentang tanggung jawab dan perlindungan
hukum PPAT dalam pembuatan akta jual beli tanah.
Penulisan tesis ini memilih Konsep Negara Hukum karena melihat Negara
Indonesia merupakan Negara Hukum (rechtsstaat) sebagaimana ketentuan Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga, juga karena konsep negara hukum
mengedepankan kepastian hukum (rechtszekerheid) dan perlindungan terhadap
hak-hak rakyat, yang salah satunya adalah hak PPAT untuk mendapatkan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas jabatannya. Pada dasarnya suatu
negara yang berdasarkan atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap
individu. Salah satunya adalah hak dari PPAT untuk mendapatkan perlindungan
hukum bilamana dalam menjalankan tugas jabatannya menemui suatu
permasalahan hukum. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut di atas menjadi
dasar hukum kewenangan bagi PPAT selaku pejabat umum untuk membuat akta
otentik dalam transaksi jual beli tanah sekaligus dalam rangka kegiatan
44
pendaftaran tanah, menunjukkan bahwa PPAT kedudukan yang bersifat khusus
bila dibandingkan dengan anggota masyarakat biasa, atau oleh Jusuf Patrianto
Tjahjono memenuhi kriteria sebagai “nobile person” (orang yang terhormat),
artinya dalam menjalankan tugas jabatannya PPAT tidak tunduk terhadap prinsip
equality before the law, sepanjang telah mengikuti prosedur yang ditentukan.
Selanjutnya berkaitan dengan rumusan permasalahan maka, terdapat dua
proposisi yang hendak dibahas atau diteliti, yaitu :
1. Pertanggungjawaban PPAT terhadap akta yang dibuatnya mengalami cacat
hukum baik yang disengaja maupun tidak, berkaitan dengan penyimpangan
terhadap tata cara pembuatan akta karena menyangkut syarat materil (baik
subyek maupun obyeknya) dan syarat formil (prosedur dan persyaratan).
Dengan menggunakan pisau analisis Teori Pertanggungjawaban akan ditelaah
mengenai akibat hukum dari pembuatan akta yang mengalami cacat hukum
yang mengakibatkan akta otentik yang dibuat PPAT terdegradasi kekuatan
pembuktiannya menjadi akta dibawah tangan, atau bahkan dinyatakan batal,
atau menjadi batal demi hukum, yang mana akan menyebabkan seorang PPAT
dimintai pertanggungjawaban hukumnya, baik dari aspek keperdataaan,
administratif, maupun pidana.
2. Perlindungan hukum bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, dalam
tesis ini Penulis membatasi permasalahan perlindungan hukum bagi PPAT
pasca pembuatan akta jual beli tanah yang mengalami cacat hukum. Beranjak
dari uraian latar belakang terdapat kekosongan norma atau tidak diaturnya
ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi PPAT sebagai Pejabat Umum,
45
bukan PPAT sebagai pribadi. Pisau analisis yang digunakan adalah konsep
perlindungan hukum dikaitkan dengan konsep keadilan sebagai konsekuensi
dari prinsip negara hukum yang menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran. Dikaitkan
dengan konsep keadilan terlihat bahwa secara normatif terdapat perbedaan
pengaturan mengenai perlindungan hukum antara jabatan PPAT dengan
jabatan Notaris, disisi lain perlu adanya mekanisme khusus bagi PPAT dalam
proses penegakan hukum yang berbeda dengan masyarakat biasa, mengingat
PPAT adalah pejabat umum yang sedang melaksanakan sebagian dari tugas
dan wewenang Pemerintah di bidang pendaftaran tanah.
1.7 Metode Penelitian
Menurut Morris L. Cohen, Legal Research is the process of finding the
law that govern activities in human society.72 Artinya Penelitian Hukum adalah
proses untuk menemukan hukum yang mengatur kegiatan dalam masyarakat
manusia. Menurut Hillway dalam bukunya Introduction to Reseach, Houghton
Miffin co, 1956 sebagaimana dikutip oleh J. Suparno73, penelitian tidak lain dari
suatu metode studi yang dilakukan seseorang yang melalui penyelidikan yang
hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah, sehingga diperoleh pemecahan
yang tepat terhadap masalah tersebut. Metode penelitian yang akan digunakan
dalam penulisan ini adalah :
72
Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West
Publishing Company, St Paul, Minn, p. 1.
73
J. Suparno, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT Rinerka
Cipta, Jakarta, hal. 1.
46
1.7.1 Jenis Penelitian.
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah yuridis normatif, dimana
dilakukan penelusuran terhadap permasalahan yang telah dirumuskan dengan
mempelajari ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan
yang dibahas. 74 Metode penelitian hukum normatif dipergunakan dengan titik
tolak penelitian dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tugas jabatan PPAT. Karena penelitian ini merupakan penelitian
hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen
yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau
bahan hukum yang lain.75 Meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumbersumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah untuk
dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.76
Alasan Penulis memilih penelitian normatif adalah beranjak dari adanya
kekosongan norma mengenai prosedur khusus perlindungan hukum bagi PPAT
dalam hal ini perlindungan hukum yang berkaitan dengan hak-hak PPAT sebagai
pejabat umum yang berbeda dengan anggota masyarakat biasa dikaitkan dengan
aspek pertanggungjawabannya terhadap akta jual beli tanah yang mengalami cacat
hukum. Penelitian normatif bertujuan sebagai upaya untuk meneliti norma-norma
dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dimana untuk menghindari
kekosongan norma sehingga dapat dilakukan konstruksi norma dan penemuan
74
Ronny Hamitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan
Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 14.
75
Bambang Waluyo, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia
Indonesia, Semarang, hal. 13.
76
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, hal. 13.
47
hukum. Termasuk juga menghindari kekaburan norma melalui penafsiran hukum
serta menghindari konflik norma.
1.7.2 Jenis Pendekatan.
Penulisan tesis ini dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan
undang-undang dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Statute Approach)77
dan pendekatan konseptual yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum (Conseptual Approach).78 Kedua
jenis pendekatan tersebut dilakukan untuk menemukan pengertian konsep-konsep
yang berhubungan dengan topik permasalahan yang di teliti melalui peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum.
Jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah
bahan hukum primer, sekunder dan tertier :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, dan mempunyai
otoritas (autoratif)79 antara lain berupa :80
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945);
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
77
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Cet. ke-6, Kencana
Prenada Media, Jakarta, hal. 93.
78
Ibid, hal. 95.
79
H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 47
80
Dalam kurung adalah singkatan dari peraturan bersangkutan.
48
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
4. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA);
6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan
Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009);
7. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU No. 51 Tahun 2009);
8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(PP No. 24 Tahun 1997);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT);
11. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PMNA/Ka
BPN 3/1997);
12. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Perka BPN
1/2006);
49
13. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 23 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (Perka BPN 23/2009);
14. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 8 Tahun 2012
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (Perka BPN 8/2012);
15. Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Indonesia (Kode Etik
IPPAT).
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan kepustakaan berupa buku-buku hukum
(text book), karya ilmiah hukum (makalah atau tesis dan disertasi) dan jurnal
hukum yang ada dan berkaitan dengan obyek permasalahan. Bahan hukum
sekunder yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah buku-buku atau
literatur-literatur mengenai PPAT dan hukum pertanahan juga buku-buku
yang membahas tentang Notaris, majalah-majalah hukum dan bahan-bahan
dari internet yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan Hukum Tertier yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus
umum, kamus hukum, maupun bahan-bahan non hukum yang masih relevan
dengan penelitian ini.
50
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan yaitu adalah
dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklafikasikan
menurut kelompoknya sesuai dengan hierarkhi peraturan perundang-undangan.
Terhadap bahan hukum sekunder dan tersier dikumpulkan dengan menggunakan
teknik studi dokumen (study document), yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan (library research), dengan mengkaji, menelaah dan mengolah
literatur, artikel-artikel atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan diteliti.
Studi dokumen dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni dengan
cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh
dari bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Penulisan tesis ini
lebih menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) serta bahanbahan lain yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan
permasalahan.
1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum.
Analisis bahan hukum adalah bagaimana memanfaatkan sumber-sumber
bahan hukum yang telah terkumpul untuk digunakan dalam memecahkan
permasalahan dalam penelitian. Dasar dari penggunaan analisis secara normatif,
dikarenakan bahan-bahan hukum dalam penelitian ini mengarah pada kajiankajian yang bersifat teoritis dalam bentuk asas-asas hukum, konsep-konsep hukum,
51
serta kaidah-kaidah hukum. Teknik analisis yang Penulis pergunakan adalah
teknik deskriptif, sistematisasi dan konstruksi.
Penelitian ini akan menggunakan teknik deskriptif analisis, yaitu dengan
mendeskripsikan bahan hukum terlebih dahulu kemudian menganalisa melalui
teknik analisis. Adapun teknik analisis yang diterapkan adalah sebagai berikut :
(1)Teknik Deskriptif yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
proposisi-proposisi hukum atau non hukum; (2)Teknik Sistematisasi yaitu upaya
mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara
peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak
sederajat; (3)Teknik Konstruksi yaitu pembentukan konstruksi yuridis dengan
melakukan analogi dan pembalikan proposisi (acontrario).
Selanjutnya dalam kaitannya dengan terjadinya suatu kekosongan norma
mengenai
perlindungan
hukum
bagi
PPAT
dikaitan
dengan
aspek
pertanggungjawaban yang dikenakan kepada PPAT, maka digunakan penerapan
dari teknik konstruksi yakni berupa penalaran hukum sebagai metode penemuan
hukum yang memberi penjelasan yang tidak jelas mengenai teks undang-undang
agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan suatu kegiatan yang terjadi
dalam praktek hukum, namun tidak dapat dipisahkan begitu saja dari ilmu atau
teori hukum yang ada. Munculnya ketidaklengkapan dan ketidakjelasan peraturan
perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga pembentuk kebijakan
mengharuskan dilakukannya penemuan hukum untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Secara sederhana penemuan hukum dapat dikatakan menemukan
52
hukumnya karena hukumnya yang tidak lengkap atau tidak jelas. 81 Penemuan
hukum selain dilakukan oleh hakim dan pembentuk undang-undang juga dapat
dilakukan oleh dosen maupun peneliti hukum dalam penulisan dan pembahasan
penelitian yang penemuan hukumnya bersifat teoritis, sehingga hasil dari
penemuan hukumnya bukanlah sebagai suatu hukum karena tidak memiliki
kekuatan mengikat, melainkan sebagai sumber hukum (doktrin).
Terkait ketentuan mengenai perlindungan PPAT dalam menjalankan tugas
jabatannya yang disinyalir menimbulkan kekosongan hukum, maka dalam
penemuan hukum dikenal adanya metode penalaran (redenering, reasoning,
argumentasi) yang digunakan untuk menemukan hukum yang sebelumnya tidak
diatur dalam perundang-undangan. Bentuk-bentuk metode penalaran hukum
antara lain :82
1. Argumentum Per Analogian (Analogi), dengan analogi maka peraturan
perundang-undangan yang ruang lingkupnya terlalu sempit akan coba
diperluas, dimana peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang
diatur dalam undang-undang akan diperlakukan sama.
2. Argumentum a Contrario, merupakan cara penafsiran atau penjelasan
undang-undang yang didasarkan pada pengertian sebaliknya dari
peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam
undang-undang.
Setelah pengumpulan bahan hukum dilakukan, maka bahan hukum
tersebut dianalisa secara kualitatif yakni dengan menseleksi bahan hukum yang
diperoleh dan menghubungkan tiap-tiap bahan hukum yang diperoleh tersebut
dengan ketentuan-ketentuan maupun asas-asas hukum yang terkait dengan
81
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum : Sebuah Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 37.
82
Ibid, hlm. 67
53
permasalahan yang diteliti. 83 Selanjutnya, dilakukan penalaran hukum dengan
menarik kesimpulan menggunakan metode induktif yaitu metode yang
mendasarkan pada hal-hal yang bersifat khusus, kemudian dari hal-hal yang
bersifat khusus tersebut ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum.
83
Bambang Sunggono, 2010, Metodelogi Penelitian Hukum, Rajawali
Press, Jakarta, hal.10.
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1 Pengertian Pejabat, Pejabat Tata Usaha Negara, Pejabat Umum
2.1.1 Pengertian Pejabat.
Istilah atau kata Pejabat diartikan sebagai pegawai pemerintah yang
memegang jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan.84
Menurut Utrecht, suatu Jabatan sebagai personifikasi hak dan kewajiban dapat
berjalan oleh manusia atau subyek hukum, dimana yang menjalankan hak dan
kewajiban yang didukung oleh Jabatan ialah Pejabat, artinya Jabatan bertindak
dengan perantaraan Pejabatnya. 85 Jabatan (Ambt) merupakan suatu lingkungan
pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamhedden) yang diadakan dan dilakukan
guna kepentingan negara atau kepentingan umum.86
Jabatan merupakan subyek hukum (recht person), yakni pendukung hak
dan kewajiban (suatu personifikasi), dan oleh hukum tata negara kekuasaan tidak
diberikan kepada pejabat (orang), tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan
pekerjaan). 87 Jadi Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang
sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta
bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
84
Badudu-Zain, 1994, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hal. 543.
85
E. Utrecht, 1963, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbitan
dan Balai Buku Ichtiar, Jakarta, hal. 122.
86
Ibid.
87
Ibid.
54
55
Hubungan antara Jabatan dengan Pejabat, bagaikan 2 sisi mata uang, pada
satu sisi bahwa Jabatan bersifat tetap (lingkungan pekerjaan tetap), dan pada sisi
yang kedua bahwa Jabatan dapat berjalan oleh manusia sebagai pendukung hak
dan kewajiban sehingga yang mengisi atau menjalankan Jabatan disebut Pejabat
atau Pejabat adalah yang menjalankan hak dan kewajiban Jabatan. Jadi segala
tindakan yang dilakukan oleh Pejabat yang sesuai dengan kewenangannya
merupakan implementasi dari Jabatan.88
2.1.2 Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara.
Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat Pejabat
TUN) dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menyatakan bahwa, Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan
atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pengertian seperti tersebut di atas, menurut
Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Habib Adjie, bahwa pemerintah
dapat dilihat dari 2 (dua) sudut, yaitu :
1. Pemerintah dalam arti fungsi, yakni kegiatan yang mencakup aktifitas
pemerintah;
2. Pemerintah dalam arti organisasi, yaitu kumpulan dari kesatuan-kesatuan
pemerintah.89
88
Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris
Sebagai Pejabat Publik, Cet. ke-2, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya
disingkat Habib Adjie I), hal. 18.
89
Ibid, hal. 21.
56
Menurut
Indroharto
sebagaimana
dikutip
oleh
Habib
Adjie,
mengemukakan bahwa urusan pemerintahan secara struktural dapat dilakukan
oleh mereka yang berwenang melakukannya untuk dan atas nama badan yang
sudah ditentukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Keseluruhan orangorang dalam jajaran pemerintah yang dapat dan berwenang berbuat demikian
merupakan personil pemerintah yang dalam kelompok besarnya berstatus sebagai
pegawai negeri atau berstatus sebagai pejabat negara. 90 Selanjutnya menurut
Paulus Effendie Lotulung menyatakan bahwa pendapat dari Indroharto tersebut
bermakna sebutan Pejabat TUN tidak hanya ditujukan kepada mereka yang secara
struktural memangku suatu Jabatan TUN tapi juga dapat ditujukan pada siapa saja
apabila yang diperbuat pada saat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan (fungsional),
maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi itu, pada saat itu, dapat
dianggap sebagai suatu Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. 91 Dengan
demikian Indroharto menggunakan ukuran yang bersifat fungsional, tetapi
sebaliknya ada beberapa pendapat yang memakai ukuran yang bersifat formal
struktural, yaitu hanya terbatas pada mereka yang berdasarkan pada struktur
organisatoir dan secara formal berada dalam jajaran eksekutif. Karenanya menurut
pendapat ini yang dimaksud Pejabat TUN hanyalah dilihat secara sempit
90
Ibid, hal. 22.
Paulus Effendie Lotulung, 1996, “Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara
Dikaitkan Dengan Fungsi PPAT menurut PP Nomor 10 Tahun 1961”, Media
Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996, (selanjutnya disingkat Paulus
Effendie Lotulung II), hal. 191.
91
57
struktural dan terbatas pada pegawai-pegawai negeri ataupun pejabat negara yang
berada dalam jajaran eksekutif/ pemerintahan saja.92
Segala keputusan yang dikeluarkan apabila memenuhi syarat sebagai
keputusan tata usaha negara, jika merugikan pihak-pihak tertentu, keputusan
tersebut dapat dijadikan obyek gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Untuk
hal tertentu, tidak selalu keputusan yang dibuat Pejabat TUN memenuhi syarat
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat KTUN), hal ini
berlaku pada PPAT. Menurut Paulus Effendie Lotulung, secara fungsional Jabatan
PPAT termasuk dalam kategori Pejabat TUN, yaitu ketika menjalankan urusan
pemerintahan berupa rangkaian yang merupakan satu kesatuan dari proses
pendaftaran tanah, dengan membuat akta PPAT, tapi akta PPAT tidak termasuk
obyek gugatan di Pengadilan TUN, karena akta PPAT bukanlah suatu beschikking.
Oleh karena elemen obyek tidak dipenuhi, maka seorang PPAT tidak dapat
digugat di Pengadilan TUN. 93 Senada dengan pendapat tersebut, Philipus M.
Hadjon mengemukakan bahwa:94
Figur Hukum akta PPAT bukan KTUN karena:
1. Akta PPAT tidak memenuhi hakekat KTUN sebagai suatu besluit. Suatu
besluit (keputusan-dari Penulis) pada hakekatnya adalah suatu beslissing
(pernyataan kehendak-dari Penulis). Akta PPAT bukanlah suatu
beslissing dari PPAT;
2. Akta PPAT bukan norma hukum sebagaimana halnya KTUN adalah
norma penutup dalam rangkaian norma hukum;
3. Akta PPAT tidak memenuhi unsur KTUN menurut ketentuan Pasal 1
angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN.
92
Ibid.
Ibid, hal. 199.
94
Philipus M. Hadjon, 1996, “Akta PPAT Bukan Keputusan Tata Usaha
Negara”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996, (selanjutnya
disingkat Philipus M. Hadjon III), hal. 205.
93
58
Selanjutnya menurut Jimly Asshiddiqie akta otentik yang dibuat PPAT
berfungsi sebagai alat bukti yang otentik di pengadilan. Akan tetapi, akta otentik
itu sendiri tidak dapat dijadikan obyek gugatan TUN. Sebagai bukti hukum, akta
otentik itu sendiri bersifat perdata, bukan obyek hukum tata usaha negara.
Disamping itu PPAT juga tidak dapat dianggap sebagai Pejabat TUN yang
keputusannya mengandung norma yang bersifat konkrit, individuil dan final. 95
Seorang PPAT dapat memutuskan untuk menerima atau menolak
permohonan seseorang untuk membuat akta otentik atas tanah tertentu, keputusan
PPAT untuk menerima ataupun menolak itu bersifat konkrit dan individual dan
karena itu dianggap identik dengan keputusan Pejabat TUN yang merupakan
penetapan (beschikking). Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Pejabat TUN itu
adalah pejabat yang menjalankan fungsi pemerintahan (governing function) yang
keputusannya dapat menimbulkan kerugian terhadap warga negara. 96 Dengan
demikian, perlu diperhatikan bahwa sebagai pejabat publik (public official), para
PPAT itu bukanlah pejabat pemerintahan dalam arti pejabat tata usaha negara.
Menurut Jimly Asshiddiqie perlu pemisahan tegas antara pengertian PPAT
sebagai pejabat umum atau pejabat publik (public official) itu dengan pejabat
pemerintahan yang menjalankan fungsi pemerintahan (governing function).97 Oleh
karena itu, PPAT itu haruslah dikembangkan sebagai pejabat tersendiri yang
bersifat independen yang khusus menangani aktifitas pembuatan akta pengalihan
dan pelepasan hak atas tanah serta pembebanan hak tanggungan atas tanah.
95
Jimly Asshiddiqie, 2003, “Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat
Pembuat Akta Tanah”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003, hal. 74.
96
Ibid, hal. 75.
97
Ibid.
59
Sebagai pejabat umum atau pejabat publik, PPAT harus dipisahkan dari jabatan
pemerintahan dengan cara melarang adanya perangkapan jabatan PPAT oleh
pejabat pemerintah ataupun pejabat publik lainnya. Karena pekerjaan pembuatan
akta tanah itu erat kaitannya dengan pekerjaan Notaris, maka dapat ditentukan
bahwa hanya Notaris yang dapat diangkat menjadi PPAT. Meskipun tidak semua
Notaris harus dan dapat menjadi PPAT, tetapi antara jabatan Notaris dan jabatan
PPAT dapat dikembangkan secara sinergis satu dengan yang lain.98
2.1.3 Pengertian Pejabat Umum.
Istilah Pejabat Umum 99 merupakan terjemahan dari istilah Openbare
Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 Burgerlijk Wetboek (BW).100 Pasal
1869 BW menyebutkan :
Eene authentieke acte is de zoodanige welke in de wettelijken vorm is
verleden, door of ten overstaan van openbare ambtenaren die daartoe
bevoegdzijn ter plaatse alwaar zulks is geschied.
(Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang
berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat).
Menurut kamus hukum101 salah satu arti dari Ambtenaren adalah Pejabat.
Dengan demikian menurut Habib Adjie, Openbare Ambtenaren adalah pejabat
yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga
98
Ibid.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dengan Putusan
Nomor 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 mengistilahkan Pejabat
Umum sebagai Public Official.
100
Istilah Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1868 BW
diterjemahkan menjadi Pejabat Umum oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1983,
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.
101
Istilah Openbare diterjemahkan sebagai “Umum” oleh Saleh
Adiwinata, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin St. Batoeah, 1983, Kamus Istilah
Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, Jakarta, hal. 363.
99
60
Openbare Ambtenaren diartikan sebagai Pejabat yang diserahi tugas untuk
membuat akta otentik yang melayani kepentingan masyarakat. 102 Habib Adjie
memberikan kualifikasi dari definisi Pejabat Umum tidak hanya diberikan kepada
Notaris103 saja, tapi juga diberikan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)104,
dan Pejabat Lelang.105
Selanjutnya menurut Soegondo Notodisoejo, Pejabat Umum adalah
seorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang
dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta
melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan (gezag) dari
pemerintah. Dalam jabatannya tersimpul suatu sifat dan ciri khas yang
membedakannya dari jabatan-jabatan lainnya dalam masyarakat. 106 Sedangkan
menurut Wawan Setiawan, Pejabat Umum adalah organ negara yang
diperlengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), berwenang
menjalankan (sebagian dari) kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis
dan otentik dalam bidang hukum perdata.107
Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan Pejabat Umum adalah
seseorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan
102
Habib Adjie I, Op. cit, hal. 27.
Lihat Pasal 1 angka 1 dan Pasal 15 ayat (1) UUJN.
104
Lihat Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun 1996, dan Pasal 1 ayat (1) PP
No. 37 Tahun 1998.
105
Lihat Pasal 1 ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor
338/KMK.01/2000.
106
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu
Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 44.
107
Wawan Setiawan, 1996, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum
serta PPAT dibandingkan dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut
Sistem Hukum Nasional”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996,
hal. 264.
103
61
memberikan pelayanan kepada umum dibidang tertentu.108 Sejalan dengan Boedi
Harsono, Sri Winarsi menyatakan bahwa pengertian Pejabat Umum mempunyai
karakter yuridis, yaitu selalu dalam kerangka hukum publik. Sifat publiknya
tersebut dapat dilihat dari pengangkatan, pemberhentian, dan kewenangan
PPAT. 109 Dalam hal ini PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional, tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Badan
Pertanahan Kabupaten/Kota dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah, dan kewenangannya adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Menurut Effendi Peranginangin, Pejabat Umum adalah orang yang
diangkat oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat umum
di bidang kegiatan tertentu. 110 Kegiatan tertentu yang dimaksud salah satunya
adalah untuk membuat akta otentik. Menurut Effendi Peranginangin, PPAT adalah
pejabat yang berwenang membuat akta daripada perjanjian-perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas
tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai
tanggungan.111
108
Boedi Harsono, 2007, “PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya”,
Majalah RENVOI Nomor 844.IV, Januari 2007, hal. 11.
109
Sri Winarsi, 2002, “Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta
Tanah sebagai Pejabat Umum”, Majalah YURIDIKA Volume 17 No. 2, Maret
2002, hal. 186.
110
Effendi Peranginangin, 1991, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu
Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, hal. 436.
111
Ibid.
62
Undang-Undang dengan tegas menyebutkan bahwa suatu akta dinyatakan
sebagai akta otentik apabila 3 (tiga) unsur yang bersifat kumulatif, yaitu :112
1. Bentuk akta ditentukan oleh Undang-Undang;113
2. Akta dibuat oleh dan atau di hadapan pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta;
3. Akta dibuat oleh pejabat umum dalam daerah (wilayah) kerjanya.
Berkenaan dengan diperlukannya akta PPAT sebagai alat bukti
keperdataan yang terkuat menurut tatanan hukum yang berlaku, maka diperlukan
adanya pejabat umum yang ditugaskan oleh undang-undang untuk melaksanakan
pembuatan akta otentik itu. Perwujudan tentang perlunya kehadiran pejabat umum
untuk lahirnya akta otentik, maka keberadaan PPAT sebagai pejabat umum tidak
dapat dihindarkan. Agar suatu tulisan mempunyai nilai bobot akta otentik yang
bentuknya ditentukan oleh undang-undang membawa konsekuensi logis, bahwa
pejabat umum yang melaksanakan pembuatan akta otentik itupun harus pula
diatur dalam Undang-Undang, dan tidak dalam peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah, misalnya Peraturan Pemerintah.
2.2 PPAT Sebagai Pejabat Umum
Embrio institusi PPAT telah ada sejak tahun 1961 berdasarkan PP No. 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dengan istilah Penjabat saja. Bahwa yang
dimaksud pejabat adalah PPAT disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria No.
112
Urip Santoso, Op.cit, hal. 352
Catatan Penulis : artinya tidak boleh ditentukan oleh peringkat
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang misalnya Peraturan
Pemerintah, apalagi Peraturan Menteri atau Surat Keputusan Menteri.
113
63
11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta (PMA 11/1961). 114 Jadi dalam ketentuan
Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, menggunakan istilah
“Penjabat”, sedangkan penyebutan secara lengkap istilah “Pejabat Pembuat Akta
Tanah” ditemukan pada Pasal 1 PMA No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta.
Awal kelahirannya PPAT tidak dikategorikan atau disebut sebagai Pejabat
Umum, perkembangan kemudian berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut
PPAT, adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian
kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.” Selanjutnya keberadaan PPAT ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bahwa “Pejabat Pembuat Akta
Tanah, sebagaimana disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu.” Secara khusus keberadaan PPAT
diatur dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, yang
menegaskan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT,
adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas
Satuan Rumah Susun.”
114
Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disingkat Habib Adjie II),
hal. 253.
64
Pengertian yang sama diatur juga didalam peraturan pelaksana PJPPAT
yakni pada Pasal 1 angka 1 Perka BPN 1/2006, yang menegaskan “Pejabat
Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang
diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.”
Sedangkan pada Pasal 1 angka 3 Kode Etik IPPAT, menentukan bahwa “PPAT
adalah setiap orang yang menjalankan tugas jabatannya yang menjalankan fungsi
sebagai Pejabat Umum.”
Berdasarkan definisi-definisi PPAT yang disebut di atas maka dapat
disimpulkan bahwa PPAT adalah “Pejabat Umum” yang berwenang membuat
akta otentik mengenai perbuatan-perbuatan hukum tertentu berkaitan dengan hakhak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Dimana kewenangan ini
diberikan kepada pejabat tersebut oleh peraturan perundang-undangan.
Wawan
Setiawan memberikan
penjelasan
lebih
detail
mengenai
kedudukan PPAT sebagai salah satu “organ negara”. Beliau menjelaskan bahwa
negara di dalam menjalankan fungsinya yaitu di dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat umum, mutlak diperlukan adanya “organ” negara. Oleh karena
kehadiran organ negara, bagi suatu “recht figur” yang disebut negara tadi adalah
hal yang mutlak. Tanpa adanya “organ negara” mustahil suatu negara dapat
berbuat untuk menjalankan tugas dan fungsinya, hak dan kewajibannya,
kewenangan dan kekuasaannya.115
115
Wawan Setiawan, Op. cit, hal. 209.
65
Organ negara yang mewakili serta bertindak untuk dan atas nama negara,
di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tadi, maka :
1. Pelayanan kepada masyarakat umum, dalam bidang hukum publik,
dilakukan oleh organ negara yang disebut dengan Pemerintah atau
Eksekutif, juga dikenal dengan istilah Pejabat Tata Usaha Negara atau
Pejabat Administrasi Negara. Organ negara ini memiliki kewenangan,
hak dan kewajiban serta kekuasaan untuk memberikan pelayanan kepada
dan untuk kepentingan masyarakat umum, akan tetapi terbatas hanya
dalam bidang hukum publik saja.
2. Pelayanan kepada masyarakat umum, dalam bidang hukum perdata, atas
nama negara dilakukan juga oleh organ negara (tetapi bukan
eksekutif/Pemerintah) disebut dengan “Pejabat Umum”.116
Wawan Setiawan menyimpulkan baik eksekutif/Pemerintah atau Pejabat
TUN maupun Pejabat Umum, sama-sama “organ negara” dan keduanya samasama menjalankan tugas publik, akan tetapi hati-hati dan jangan gegabah
mengambil kesimpulan, oleh karena : Pejabat TUN (yang juga organ negara)
mempunyai kewenangan memberikan pelayanan kepada masyarakat umum hanya
dalam bidang hukum publik (saja). Sedangkan Pejabat Umum (juga organ negara)
mempunyai kewenangan memberikan pelayanan kepada masyarakat umum hanya
dalam bidang hukum perdata saja. Karenanya Pejabat Umum bukan Pejabat TUN
dan sebaliknya Pejabat TUN bukan Pejabat Umum.117
Kedudukan PPAT sebagaimana tersebut di atas ditegaskan dalam Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia :118
1. Nomor 62 K/TUN/1998, tanggal 27 Juli 2001, ditegaskan bahwa PPAT
sebagai Pejabat TUN, namun dalam hal ini pejabat tersebut bertindak
sebagai Pejabat Umum dalam bidang perdata, dan akta PPAT bukan
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagaimana dimaksudkan
116
Wawan Setiawan, Loc. cit.
Wawan Setiawan, Op. cit, hal. 210.
118
Habib Adjie I, Op. cit, hal. 24-25.
117
66
dalam Pasal 1 sub 3 UU No. 5 Tahun 1986, sehingga tidak dapat
dijadikan obyek sengketa Tata Usaha Negara.
2. Nomor 302 K/TUN/1999, tanggal 8 Februari 2000, ditegaskan bahwa
PPAT adalah Pejabat TUN, karena melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat (2) UU No. 5
Tahun 1986 Jo. Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961, akan tetapi akta jual
beli yang dibuat oleh PPAT bukan merupakan KTUN karena bersifat
bilateral (kontraktual), tidak bersifat unilateral yang merupakan sifat dari
KTUN.
2.2.1 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT.
Dalam ketentuan Pasal 1 PP No. 37 Tahun 1998/PJPPAT ditetapkan tiga
macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yaitu :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang di beri
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun.
2. PPAT sementara adalah Pejabat pemerintah yang ditunjuk karena
jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta
PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.
3. PPAT khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk
karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau
tugas pemerintah tertentu.
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu dan diberhentikan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan PPAT Sementara
diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi yang mendapatkan limpahan kewenangan dari Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia.119
119
Urip Santoso, Op.cit, hal. 328. Pasal 5 PP No. 37 Tahun 1998
menentukan PPAT, PPAT Sementara, PPAT Khusus diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri. Sedangkan sebagaimana yang dikutip di atas mengacu pada Pasal
11,18,21 Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT.
67
Untuk melayani masyarakat dalam pembuatan akta PPAT di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT atau untuk melayani golongan masyarakat tertentu
dalam pembuatan akta PPAT tertentu, Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia dapat menunjuk pejabat-pejabat tertentu sebagai PPAT
Sementara atau PPAT Khusus, yaitu :
1. Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang
belum cukup terdapat PPAT sebagai PPAT Sementara;
2. Kepala Kantor Pertanahan untuk melayani pembuatan akta PPAT yang
diperlukan dalam rangka pelaksanaan program-program pelayanan
masyarakat atau untuk melayani pembuatan akta PPAT tertentu bagi
negara sahabat berdasarkan asas resiprositas sesuai pertimbangan dari
Departemen Luar Negeri, sebagai PPAT Khusus.
Dalam hal tertentu Kepala Badan dapat menunjuk Camat dan atau Kepala
Desa karena jabatannya sebagai PPAT Sementara, tetapi yang bersangkutan wajib
mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama
dengan organisasi profesi PPAT tetapi di kecualikan bagi Camat dan atau apabila
di daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum ada PPAT. Penunjukkan
Camat sebagai PPAT sementara dilakukan di dalam hal di daerah Kabupaten/Kota
sebagai wilayah kerjanya masih tersedia formasi PPAT. Sedangkan penunjukkan
Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT khusus di lakukan oleh Kepala Badan
untuk perbuatan hukum tertentu.
Pasal 8 ayat (1) PJPPAT menetapkan bahwa PPAT berhenti menjabat
sebagai PPAT karena :
a. Meninggal dunia; atau
b. Telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun; atau
68
c. Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas
sebagai notaris dengan tempat kedudukan di kabupaten/kota yang lain
daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau
d. Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2) PJPPAT menetapkan bahwa : “PPAT
Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT, apabila tidak
lagi memegang jabatannya, atau diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia. PPAT, PPAT Sementara atau PPAT Khusus yang
berhenti menjabat karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf c PJPPAT, karena tidak lagi memegang jabatannya
dan/atau telah menyelesaikan penugasannya tidak perlu dibuatkan keputusan
pemberhentiannya. PPAT yang berhenti ini tidak lagi berwenang membuat akta
PPAT.
Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena :120
a. Permintaan sendiri.
b. Tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan
badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan yang berwenang atas permintaan Kepala BPN RI atau pejabat
yang di tunjuk.
c. Melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT. Yang termasuk pelanggaran ringan, antara lain :
1. Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan;
2. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak
melaksanakan tugasnya kembali;
3. Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta-akta yang
dibutanya;
4. Merangkap jabatan sebagai advokat, pegawai negeri, pegawai Badan
Usaha Milik Negara/Daerah, lain-lain jabatan yang dilarang peraturan
perundang-undangan; dan
120
Urip Santoso, Op.cit, hal. 336-337.
69
5. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI.
PPAT yang diberhentikan dengan hormat dari jabatannya diterbitkan Keputusan
Pemberhentian oleh Kepala BPN RI. Pemberhentian PPAT ini ditetapkan oleh
Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi.
Faktor-faktor penyebab PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari
jabatannya karena :121
a. Melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT. Yang termasuk pelanggaran berat, antara lain :
1. Membantu melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan;
2. Melakukan pembuatan akta sebagai pemufakatan jahat yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
3. Melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya;
4. Memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
5. Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lain-lainnya
yang di luar dan/atau daerah kerjanya;
6. Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
7. Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh
PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang
melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan
perundang-undangan tidak hadir di hadapannya;
8. Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih
dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan
tidak berhak melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang
dibuatnya;
9. PPAT tidak membacakan aktanya di hadapan para pihak maupun
pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
sesuai akta yang dibuatnya;
10. PPAT tidak membuat akta di hadapan para pihak yang tidak
berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai aka yang dibuatnya;
11. PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian
sementara atau dalam keadaan cuti;
12. Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala BPN RI.
121
Urip Santoso, Op.cit, hal. 337-338.
70
b. Dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
PPAT yang diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya diterbitkan
Keputusan Pemberhentian oleh Kepala BPN RI. Pemberhentian PPAT ini
ditetapkan oleh Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi. Pemberhentian
PPAT karena alasan melakukan pelanggaran ringan dan pelanggaran berat
dilakukan setelah PPAT yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk
mengajukan pembelaan diri kepada Kepala BPN RI.
PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri dapat diangkat kembali
menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila
formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. PPAT dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai PPAT karena sedang dalam
pemeriksaan pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam
dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih
berat. Pemberhentian sementara berlaku sampai ada putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pemberhentian sementara PPAT
ditetapkan oleh Kepala BPN RI berdasarkan usulan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota melalui Kepala Kanwil BPN Provinsi.
2.2.2 Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT.
Tugas-tugas PPAT untuk menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta
yang dibuatnya antara lain reportorium. Reportorium merupakan daftar dari aktaakta yang dibuatnya yang berisikan nama dari penghadap, sifat aktanya, jual beli,
71
hibah, tanggal akta dibuatnya dan nomornya, identitas dari tanahnya/surat ukur
dan luas tanahnya beserta bangunan yang termasuk permanen, semi permanen,
darurat dan tanaman yang ada dan lain-lain keterangan. 122 PPAT mempunyai
kewajiban untuk mengirimkan daftar laporan akta-akta PPAT setiap awal bulan
dari
bulan
yang
sudah
berjalan
kepada
Badan
Pertanahan
Nasional
Propinsi/Daerah, Kepala Perpajakan, dan Kepala Kantor Pajak Bumi dan
Bangunan. Selain itu PPAT juga mempunyai kewajiban membuat papan nama,
buku daftar akta, dan menjilid akta serta warkah pendukung akta.
Pasal 6 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menetapkan bahwa: “Dalam
melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT
dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu
menurut PP ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan” Dalam
Pasal 6 ayat (2) ini hanya disebutkan kegiatan-kegiatan tertentu, tidak disebutkan
secara tegas kegiatan-kegiatan apa dalam pendaftaran tanah yang menjadi tugas
PPAT untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Tugas pokok
PPAT dalam membantu pelaksanaan pendaftaran tanah oleh Kepala Kantor
Pertanahan ditetapkan dalam Pasal 2 PJPPAT, yaitu :
1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan
data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut:
a. Jual beli;
b. Tukar Menukar;
122
A.P.Parlindungan, 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta
Landform, Bagian I, Mandar Maju, Bandung, hal. 194.
72
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. Pemberian Hak Tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Pasal 2 ayat (1) PJPPAT menyatakan bahwa tugas pokok PPAT adalah
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah. Untuk menjawab kegiatan
dalam pendaftaran tanah yang menjadi tugas PPAT dapat dilihat dalam Pasal 19
ayat (2) UUPA yang dijabarkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran
tanah yaitu sebagai berikut:123
1. Kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial
Registration). Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah untuk pertama
kali menurut Pasal 1 angka 9 PP No. 24 Tahun 1997, adalah kegiatan
pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang
belum didaftar berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 atau PP No. 24
Tahun 1997. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali ini dapat
dilakukan secara sistematik dan sporadik.
2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau
Maintenance). Yang dimaksud dengan kegiatan pemeliharaan data
pendaftaran tanah menurut Pasal 1 angka 12 PP No. 24 Tahun 1997,
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan
data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat
ukur, buku tanah dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang
terjadi kemudian. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila
terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis objek pendaftaran
tanah yang telah terdaftar. Pemegang hak yang bersangkutan wajib
mendaftarkan perubahan data fisik dan data yuridis kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku
tanah.
Kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 Ayat
(2) UUPA dijabarkan dalam PP No. 24 Tahun 1997, yaitu kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration) dan kegiatan
pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau Maintenance). Dari dua
123
Urip Santoso, Op.cit, hal. 304-334.
73
macam kegiatan pendaftaran tanah, yaitu kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana
ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun 1997, maka kegiatan yang menjadi tugas
pokok PPAT adalah kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding
atau Maintenance).124
A.P. Parlindungan menyatakan tugas PPAT adalah melaksanakan
recording of deeds of coveyance, yaitu suatu perekaman pembuatan akta tanah
yang meliputi mutasi hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai Hak
Tanggungan, mendirikan hak baru diatas sebidang tanah (Hak Guna Bangunan
diatas
Hak
Milik)
ditambah
memasang
surat
kuasa
memasang
Hak
Tanggungan.125 Kewenangan PPAT diatur dalam PJPPAT, yaitu :
1. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang
terletak di daerah kerjanya.
2. PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan
hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Pada dasarnya tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah ialah membantu Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam mewujudkan salah satu tujuan
pendaftaran tanah yaitu untuk terwujudnya tertib administrasi pertanahan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997, dengan membuat
akta-akta yang dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah. Tugas dari
kantor pertanahan sendiri adalah melakukan recording of title dan continues
recording dan kemudian menerbitkan bukti haknya yang disebut sertipikat hak
124
125
Urip Santoso, Op,cit. hal. 344.
A.P. Parlindungan, Op.cit, hal. 83.
74
atas tanah (bersifat administratif). Data pendaftaran tanah yang tercatat di kantor
pertanahan harus sesuai dengan keadaan atau status yang sebenarnya mengenai
bidang tanah yang bersangkutan, baik data fisik maupun data yuridis mengenai
bidang tanah tersebut. Oleh karena itu, akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa
dan PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya
perbuatan hukum yang bersangkutan.
Dalam hubungan dengan pencatatan data yuridis khususnya pencatatan
perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, peranan Pejabat Pembuat
Akta Tanah sangatlah penting hingga terciptanya tertib hukum bidang pertanahan.
Tertib administrasi pertanahan merupakan bagian dari kebijaksanaan pemerintah
di bidang pertanahan yang menjadi landasan sekaligus arahan dalam
melaksanakan penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah.
Guna mendukung terciptanya administrasi yang tertib, maka tugas PPAT sebagai
mitra Pemerintah perlu dioptimalkan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat dituntut kehati-hatian, kemandirian, ketertiban dan kecermatan PPAT
dalam pembuatan akta agar perbuatan hukum tersebut tidak cacat hukum.
Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) PJPPAT sehubungan dengan
pelaksanaan tugas pokok sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, mengatur
mengenai kewenangan PPAT bahwa untuk melaksanakan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT mempunyai kewenangan
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah
Susun. Selanjutnya dalam Pasal 4 Perka BPN 1/2006, bahwa seorang PPAT
75
hanya berwenang untuk membuat akta dimana objek perbuatan hukumnya terletak
di dalam daerah kerjanya. Namun terdapat pengecualian untuk akta tukarmenukar, akta pemasukan kedalam perusahaan dan akta pembagian hak bersama
mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun,
apabila semuanya tidak terletak dalam satu daerah kerja seorang PPAT dapat
dibuat jika salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi
objek perbuatan hukum dalam akta tersebut terletak di dalam daerah kerjanya.
Sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang dibuatnya
mempunyai kedudukan sebagai akta otentik. Oleh karena itu, pembuatan akta
yang objeknya berada di luar daerah kerja seorang PPAT merupakan suatu
pelanggaran yang mengakibatkan perbuatan hukum itu menjadi tidak sah dan
tidak dapat dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah.
PP No. 24 Tahun 1997 menetapkan bahwa perbuatan hukum mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dibuktikan dengan
akta PPAT, yaitu :
1. Jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan,
dibuktikan dengan akta PPAT diatur dalam Pasal 37 ayat (1).
2. Peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang
didahului dengan likuidasi perseroan atau koperasi yang bergabung atau
melebur dibuktikan dengan akta PPAT diatur dalam Pasal 43 ayat (2).
3. Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan
Hak Sewa untuk bangunan atas Hak Milik dibuktikan dengan akta PPAT
diatur dalam Pasal 44 ayat (1).
2.2.3 Wilayah Kerja PPAT.
PPAT diangkat untuk suatu daerah kerja tertentu. Daerah kerja PPAT
adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya (Pasal 12
76
ayat (1) PJPPAT). Daerah Kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus meliputi
wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya.
Wilayah hukum PPAT sudah ditentukan sesuai pengangkatannya sehingga PPAT
tidak diperkenankan membuat akta di luar wilayah wewenangnya. Apabila PPAT
membuat akta di luar wilayah kerjanya, maka akta tersebut dianggap tidak sah.
Berdasarkan Pasal 1869 KUHPerdata, menentukan “Suatu akta, yang karena tidak
berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat
dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta autentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh
para pihak”. Maka akta PPAT yang dibuat oleh PPAT di luar wilayah kerjanya
tidak dapat dikatakan sebagai akta otentik, karena dibuat oleh pejabat yang tidak
berwenang dan mengakibatkan akta tersebut hanya mempunyai kekuatan sebagai
akta dibawah tangan sehingga tidak dapat dijadikan dasar pengalihan hak dan
tidak dapat didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.
Selanjutnya PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penetapan lain
dari pejabat yang berwenang dan dilarang untuk mempunyai kantor cabang atau
perwakilan atau bentuk lainnya dengan maksud menawarkan jasanya kepada
masyarakat. Untuk menjamin profesional dan pelayanan kepada masyarakat yang
baik maka kantor PPAT harus dibuka setiap hari kecuali pada hari libur resmi
dengan jam kerja minimum sebagaimana jam kerja kantor pemerintah ditempat
wilayah setempat. Selanjutnya dalam menjalankan jabatannya PPAT harus
melayani para kliennya di kantornya namun apabila ada pihak yang tidak dapat
77
hadir di kantor PPAT maka diberi kesempatan untuk membuat akta diluar
kantornya dengan ketentuan bahwa para pihak harus hadir di hadapan PPAT
ditempat pembuatan akta tersebut dan harus dilangsungkan di dalam wilayah kerja
PPAT.
2.2.4 Bentuk dan Fungsi Akta PPAT.
Dalam hal pembuatan akta PPAT, ada berbagai perkembangan dalam
pengaturan mengenai bentuknya. Adapun payung hukum pengaturan dari bentuk
akta PPAT dari dulu hingga sekarang yakni :
a. Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta (PMA
11/1961).
b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perka BPN 3/1997).
c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Perka BPN
No. 8 Tahun 2012).
Penggunaan blanko diawali dengan PMA 11/1961 tentang Bentuk Akta,
kemudian setelah berlaku PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
penggunaan blanko akta diatur dalam Perka BPN 3/1997 tentang pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997. Secara historis penggunaan blanko Akta PPAT dimulai pada
tahun 1961 melalui PMA 11/1961 tentang Bentuk Akta yang mulai berlaku pada
78
tanggal 7 September 1961 dan mengenai pembuatan akta, PPAT wajib
menggunakan :126
a. Formulir-formulir yang tercetak atau;
b. Formulir-formulior yang terstensil atau diketik dengan mempergunakan
kertas HVS 70/80 gram dengan ukuran A3 dengan persetujuan Kepala
Jawatan Pendaftaran Tanah;
c. Formulir-formulir yang tercetak hanya dapat dibeli di kantor pos.
Dalam perkembangannya, berlakulah Perka BPN 3/1997 tentang
Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997, telah ditegaskan kembali bahwa akta PPAT
harus dibuat dengan menggunakan blanko akta PPAT yang disediakan atau
dicetak oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi lain yang ditunjuk, artinya
tanpa blanko akta PPAT yang dicetak, PPAT tidak boleh menjalankan jabatannya
dalam membuat akta-akta PPAT. Aturan ini menimbulkan ketergantungan
pelaksanaan tugas jabatan PPAT dengan keberadaan blanko akta PPAT. Bentuk
hukum pengaturan blanko akta PPAT dituangkan dalam Peraturan Kepala BPN,
sehingga tugas, kewenangan dan tanggung jawab pengadaan dan pendistribusian
blanko akta PPAT berada di tangan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta pertanahan
dibatasi kewenangannya untuk membuat 8 jenis akta sebagaimana diatur dalam
Pasal 2 ayat (2) PJPPAT Jo. Pasal 95 ayat (1) Perka BPN 3/1997 Jo. Pasal 2 ayat
(2) Perka BPN 1/2006, yaitu:
1. Jual-beli
2. Tukar-menukar
126
Citra Putri, 2012, “Kajian Yuridis Eksistensi PPAT Selaku Pejabat
Umum Yang Berwenang Membuat Akta Otentik”, diakses pada tanggal 17
Februari 2013, URL : http://apakabarakta.blogspot.com/2012/12/kajian-yuridiseksistensi-ppat-selaku.html
79
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Hibah
Pemasukan ke dalam perusahaan
Pembagian hak bersama
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Dalam rangka pembuatan akta-akta tersebut (8 jenis akta), ditentukan pula bentuk
akta-akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT, dan cara pengisiannya, serta
formulir yang dipergunakan sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23,
sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat (1) dan (2) Perka BPN 3/1997.
Selama ini eksistensi kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik khusus berkenaan dengan akta pertanahan
diragukan bahkan dikritisi. Penulis berpendapat, adapun yang menjadi pemicu
keraguan dan kritik tersebut adalah:
1. Ketiadaan suatu dasar hukum kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum
yang diatur dalam bentuk Undang-Undang. Peraturan Jabatan PPAT
selama ini hanya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
2. Pembatasan kewenangan PPAT untuk membuat akta pertanahan dalam
bentuk bebas diluar dari bentuk blanko akta yang telah ditentukan oleh
Kepala BPN. Keterikatan PPAT untuk membuat akta pertanahan dengan
cara mengisi blanko akta yang disediakan BPN dianggap mengurangi
hakikat dari kedudukan PPAT sebagai pejabat umum. Dengan
ditegaskannya kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dalam sejumlah
peraturan perundang-undangan seharusnya PPAT diberikan kewenangan
yang sama dengan Notaris untuk membuat aktanya sendiri, bukan
sebaliknya mengisi blanko akta.
Perkembangan selanjutnya, lahirlah payung hukum baru yakni Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 8 Tahun 2012 (Perka
BPN 8/2012), tepatnya diujung tahun 2012 yang lalu bertepatan pada tanggal 27
Desember 2012, melalui Kantor Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, membuat
langkah-langkah yang sangat strategis dalam pemberian pelayanan khususnya
80
terhadap hubungan antara Kantor Pertanahan dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Langkah strategis itu tidak lain adalah mengeluarkan sebuah peraturan dimana
dimungkinkan setiap PPAT dalam menjalankan jabatannya membuat desain
sendiri akta-akta yang berhubungan di bidang pertanahan, baik yang menyangkut
peralihan hak seperti Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam
Perusahaan, akta Pembagian Hak Bersama.127 Sedangkan dalam bidang jaminan
(pertanggungan) pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, Akta Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan. Maupun juga pelayanan pembuatan akta
Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik.
Sebelumnya setiap pelayanan yang berhubungan dengan peralihan hak dan
pembebanan jaminan, setiap PPAT selalu menggunakan blanko (formulir) akta
yang telah disediakan oleh BPN setempat dengan format yang telah ditetapkan.128
Inti dari peraturan (Perka BPN 8/2012) tersebut khususnya pada Pasal 96
adalah menghilangan ketentuan dari Pasal 96 ayat (2) dari Perka BPN 3/1997
yang isinya adalah “Pembuatan akta sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 95
ayat (1) dan (2) harus dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan
bentuk sebagaimana yang dimaksud ayat (1) yang disediakan”. Pasal 95 ayat (1)
adalah ketentuan yang mengatur akta tanah yang dibuat oleh PPAT untuk
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Ketentuan ini yang
127
Bambang S. Oyong, 2013, “Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012
Dalam Kajian Tugas Pekerjaan PPAT”, diakses pada tanggal 18 Februari 2013,
URL : http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-enus-x-none.html
128
Ibid.
81
menjadi dasar bahwa formulir (blanko) PPAT disediakan oleh Pemerintah dan
bukan menjadi wewenang PPAT dalam menjalankan jabatannya.
Penggunaan blanko atau formulir oleh PPAT yang disediakan dan
dijadikan dasar PPAT untuk melaksanakan peralihan hak dan pemasangan hak
tanggungan, selalu menimbulkan persepsi apakah akta PPAT tersebut dapat
dinyatakan sebagai akta otentik? Hal ini menimbulkan dilematis oleh PPAT.
Apalagi jika melihat dari definisi akta otentik yang mengacu pada ketentuan Pasal
1868 KUHPerdata yaitu “akta yang (dibuat) dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai2 umum yang berkuasa
untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”. Dari ketentuan Pasal 1868
KUHPerdata tersebut, bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat dihadapan atau
oleh pejabat umum yang ditunjuk untuk itu. Ketentuan “dibuat” diartikan dari
proses awal dan akhir merupakan proses pekerjaan PPAT. Bukan dalam konteks
pengisian formulir (blanko) oleh PPAT yang selama ini terjadi, jika dihubungkan
pada tanggung jawab seorang PPAT. Menurut Bambang S. Oyong, Perka BPN No.
8 tahun 2012, telah memberikan jalan bagi seorang PPAT untuk lebih kreatif lagi
dalam pembuatan akta-akta yang selama ini dijalankan oleh seorang Notaris, yang
mana setiap akta yang buat oleh Notaris merupakan hasil karya dan olah pikir
dalam kajian hukum untuk kepentingan para pihak, dengan terlebih dahulu
melaksanakan pemetaan kasus-kasus disamping pada fungsi pengidentifikasi para
pihak apakah dapat bertindak atau tidak.129
129
Ibid.
82
Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa akta mempunyai fungsi
sebagai berikut:130
1. Fungsi formil (formalitas causa) yang berarti bahwa untuk lengkapnya
atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum, haruslah
dibuat suatu akta, disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu
perbuatan hukum.
2. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa akta itu dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu
perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.
Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam
Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 PP No. 10 Tahun
1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan
tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu
jual beli tanah. 131 Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat
pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih
dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem
pendaftaran tanah menurut PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah
(yang sekarang sudah disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah), pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) di lakukan
dengan akta PPAT sebagai buktinya. Orang yang melakukan jual beli tanpa
dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun
jual belinya sah menurut hukum.132 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
130
Sudikno Mertokusumo, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi
ke-7 Cet. 1, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo
II), hal. 121-122.
131
Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,
Cet. ke-4, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 79.
132
Boedi Harsono II, Op.cit, hal. 52.
83
akta PPAT merupakan syarat mutlak yang harus ada dalam suatu peralihan hak
atas tanah, karena berkaitan dengan pendaftarannya, dimana BPN akan menolak
pendaftarannya apabila tidak melampirkan Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan
PPAT.
Selanjutnya Sjaifurrachman menyimpulkan bahwa akta otentik sekurangkurangnya mempunyai tiga fungsi yaitu:133
1. Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah mengadakan
perjanjian tertentu;
2. Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis dalam perjanjian
adalah menjadi tujuan dan keinginan para pihak;
3. Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal tertentu kecuali
apabila ditentukan sebaliknya para pihak telah mengadakan perjanjian
dan bahwa isi perjanjian adalah sesuai dengan kehendak para pihak.
Dengan demikian, suatu akta pada dasarnya memiliki ragam fungsi
berkenaan dengan tindakan hukum, antara lain, fungsi menentukan keabsahan
atau syarat pembentukan dan fungsi sebagai alat bukti.134 Menurut Mochammad
Dja’is dan RMJ Koosmargono, akta dilihat dari fungsinya untuk menentukan
keabsahan atau syarat pembentukan adalah dalam kaitannya terhadap lengkap atau
sempurnanya (bukan sahnya) suatu perbuatan hukum, dan dilihat dari segi
fungsinya sebagai alat bukti, akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna (hanya satu bukti cukup sebagai dasar pemutus perkara, akta otentik
133
Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam
Pembuatan Akta, Mandar Maju, Bandung, hal. 115.
134
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian
Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asasā€Asas Wigati Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 256.
84
dianggap benar adanya dan pihak yang membantah dibebani untuk membuktikan
kebenaran bantahannya).135
Menurut B.I.P. Suhendro, fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi
sangat penting dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi
dasar timbulnya hak atau perikatan tersebut. Hal ini didasarkan pada ketentuan
Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan
bahwa ia mempunyai hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.136
Fungsi akta PPAT sebagai alat bukti menjadi sangat penting dalam
membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar timbulnya hak
atau perikatan dimana hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1865
KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun
membantahkan suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan
membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Tanpa adanya akta otentik
yang di buat dihadapan seorang PPAT maka secara hukum perolehan hak tersebut
belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak
yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak,
maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat
135
Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono, 2008, Membaca dan
Mengerti HIR, Penerbit Undip, Semarang, hal. 157.
136
B.I.P. Suhendro dalam Reza Febriantina, 2010, “Kewenangan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta Otentik”, Tesis Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 92.
85
pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak
atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan
memperoleh hak tersebut.
Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan
hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran,
hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta
peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah
didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah, maka kepala
Kantor Pertanahan memberikan sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli.
2.3 Tata Cara Pembuatan Akta PPAT
Berkaitan dengan jual beli tanah, terdapat 2 (dua) syarat yang harus
dipenuhi berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT, yakni syarat formil
dan syarat materil. Adapun syarat formil dari tata cara pembuatan akta PPAT
tersebar dalam berbagai peraturan yang terkait ke-PPAT-an. Mengenai bentuk dan
tata cara pembuatan akta PPAT didasari oleh Pasal 24 PP No. 37 Tahun 1998
tentang PJPPAT yang menentukan “Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan
mengenai pendaftaran tanah.” Ketentuan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai hal ini ditegaskan pada Pasal 38 ayat
86
(2) yang menentukan “Bentuk, isi dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh
Menteri”. Peraturan yang dimaksud adalah PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
yang diatur pada Pasal 95-102. Ketentuan formil lainnya dapat juga ditemui pada
Pasal 21-24 PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, Pasal 51-55 Perka BPN No.
1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang
PJPPAT, dan peraturan yang berkaitan dengan perpajakan.137
1. Syarat Formil
Dalam hal pembuatan akta PPAT, terdapat tahapan-tahapan yang harus
dilakukan oleh PPAT yaitu:
a. Pasal 97 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 Tentang Pendaftaran Tanah :
“Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas tanah, terlebih
dahulu PPAT wajib melakukan pemeriksaan ke Kantor Pertanahan setempat
untuk mengetahui kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan
dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan dengan memperlihatkan
sertifikat asli kepada petugas Kantor Pertanahan.”
b. Pasal 96 Perka BPN 8/2012 tentang Perubahan Atas PMNA/Ka BPN 3/1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah : “Penyiapan dan pembuatan akta dilakukan oleh PPAT sendiri dan
137
Ketentuan formil mengenai tata cara pembuatan akta PPAT ini pada
substansinya adalah sama, dan Penulis lebih menitikberatkan pada pengaturan
yang diatur pada PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, karena lebih
memiliki relevansi secara yuridis.
87
harus dilakukan dalam bentuk yang sesuai dengan ketentuan yang telah
ditentukan.”
Ketentuan mengenai bentuk akta telah mengalami perubahan dengan
disahkannya Perka BPN 8/2012, dimana pada peraturan yang lama pembuatan
akta harus dilakukan dengan menggunakan formulir (blanko) akta yang
dikeluarkan oleh BPN. Artinya PPAT tinggal mengisi blanko yang bentuk dan
formatnya telah ditentukan oleh BPN. Sedangkan ketentuan pada Perka BPN
8/2012, PPAT diberi keleluasaan untuk menyiapkan dan membuat akta PPAT
sendiri. Akan tetapi bentuk dan formatnya harus mengikuti ketentuan yang
diatur oleh BPN sebagaimana terlampir pada lampiran 16-23 Perka BPN
3/1997. Menurut Habib Adjie sebagaimana dikutip oleh Reza Febriantina,
mengemukakan bahwa beliau setuju saja dengan adanya blanko akta tersebut,
karena untuk mempermudah pemeriksaan di BPN/Kantor Pertanahan, hanya
saja untuk pencetakan berikan saja kewenangan kepada PPAT (mencetak
sendiri), artinya membuat blanko sendiri, tidak menggunakan atau membeli
blanko yang dicetak oleh pihak lain. 138 Penulis menyimpulkan bahwa
perubahan yang diatur dalam peraturan yang baru tersebut bertujuan untuk
mengatasi terjadinya kelangkaan blanko, sehingga PPAT diberi kewenangan
untuk membuat akta sendiri akan tetapi bentuk dan formulasinya harus sama
seperti yang ditentukan oleh BPN. Sebagaimana di atur pada Pasal 96 ayat (5)
Perka BPN 8/2012 “Kepala Kantor Pertanahan menolak pendaftaran akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
138
Reza Febriantina, Op. cit, hal. 127.
88
diatur pada ayat (1)”. Artinya adalah BPN akan menolak akta PPAT yang
bentuk dan formatnya tidak sesuai dengan ketentuan dari BPN.
Sebelum Perka BPN 8/2012 berlaku apabila terjadi kelangkaan blanko, PPAT
tidak diberikan kewenangan untuk membuat aktanya sendiri. BPN melalui
suratnya Nomor 640/1884
tertanggal 31 Juli 2003 telah memberikan
kewenangan kepada Kanwil BPN dalam menghadapi keadaan mendesak
seperti dalam menghadapi kelangkaan dan kekurangan blanko akta PPAT
dengan membuat fotocopy blanko akta sebagai ganti blanko akta yang dicetak,
dengan syarat pada halaman pertama setiap fotocopy blanko akta itu
dilegalisasi oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi atau
pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap
halaman.139
c. Pasal 98 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menentukan : “Dalam hal izin
pemindahan hak diperlukan maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum
akta pemindahan atau pembebanan hak yang bersangkutan dibuat.”
d. Pasal 99 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Sebelum dibuat akta
mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat
pernyataan yang menyatakan:
a. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum
penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
139
Bambang S. Oyong, Loc.cit.
89
b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak
menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah
kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d. bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak
benar.”
e. Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT
harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang
yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.”
f. Pasal 101 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT
harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat
untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi
kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya,
keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan
telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang
bersangkutan.”
g. Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “PPAT wajib membacakan
akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai
90
isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus
dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.”
h. Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT : “PPAT dilarang
membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah
atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke
samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang
bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau
menjadi kuasa dari pihak lain.”
i. Pasal 40 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah :
“Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya
berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan
untuk didaftar.”
j. Pasal 40 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah :
“Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka PPAT wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta
sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan.”
k. Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah : “Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus
terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, ketentuan ini menyatakan:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak”.
91
Ketentuan mengenai tugas PPAT untuk meminta bukti pembayaran pajak dari
pembeli diatur pada Pasal 24 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah (UU BPHTB), yang menyatakan : “PPAT/Notaris hanya dapat
menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat
Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.” Sedangkan bagi penjual diatur
pada Pasal 2 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas
PP No. 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, yang
menyatakan :
Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan
dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang
bersangkutan dengan menunjukkan aslinya.
2. Syarat Materil.
Selain tahapan-tahapan syarat formil tersebut di atas, Adrian Sutedi
mengemukakan bahwa syarat materil sangat menentukan sahnya jual beli tanah,
antara lain sebagai berikut :140
a. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan.
Maksudnya adalah pembeli sebagai penerima hak harus memenuhi syarat
untuk memiliki tanah yang dibelinya atau memenuhi syarat sebagai
subyek hak milik.
b. Penjual berhak untuk menjual tanah yang bersangkutan
Yang berhak menjual suatu bidang tanah tentu saja pemegang hak yang
sah atas tanah tersebut yang disebut pemilik. Kalau pemilik sebidang
140
Adrian Sutedi, Op.cit, hal. 77-78.
92
tanah hanya satu orang, maka ia berhak untuk menjual sendiri tanah itu.
Akan tetapi, apabila pemilik tanah adalah dua orang maka yang berhak
menjual tanah itu ialah kedua orang itu bersama-sama. Tidak boleh
seorang saja yang bertindak sebagai penjual.
c. Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan tidak sedang
dalam keadaan sengketa. Jika salah satu syarat materil ini tidak dipenuhi
dalam arti penjual bukan merupakan orang yang berhak atas tanah yang
dijualnya atau pembeli tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemilik hak
atas tanah, atau tanah yang diperjualbelikan sedang dalam sengketa atau
merupakan tanah yang tidak boleh diperjualbelikan, maka jual beli tanah
tersebut adalah tidak sah. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak
berhak adalah batal demi hukum. Artinya, sejak semula hukum
menganggap tidak pernah terjadi jual beli.
Bentuk tahapan-tahapan dari pemenuhan syarat materil dalam pembuatan
akta PPAT, secara praktek adalah dengan meminta dan memperhatikan dengan
teliti dan seksama hal-hal sebagai berikut:141
1. Identitas dari para pihak, PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari
identitas para pihak dan dasar hukum tindakan para pihak. (Dasar hukum
tindakan para pihak misalnya : Pihak penjual yang mempunyai wewenang
untuk menjual tanah adalah pasangan suami istri (jika suami yang
menjual, maka harus ada surat persetujuan dari istri), ahli waris (harus
ada persetujuan dari semua pemegang ahli waris), anak dengan umur
lebih dari 18 tahun (jika dibawah 18 tahun, maka harus ada wali), atau
pihak yang diberi kuasa dari pemilik untuk menjual).
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (Apabila
status obyek jual beli adalah HGB/HGU/HP, karena jika jangka waktunya
berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara).
3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani
(Konsekuensi dari UUPA yang berdasarkan kepada Hukum Adat, dimana
syarat jual beli harus terang, tunai, dan riil).
4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). (Meminta
bukti Pembayaran PBB minimal 3 tahun tahun terakhir, PBB tahun
terakhir tersebut juga akan dipergunakan oleh PPAT untuk menghitung
besarnya Pajak Penghasilan (PPh) atas peralihan hak atas tanah bagi
penjual dan untuk menghitung besarnya pajak Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) untuk pembeli.).
141
Rizal, 2011, “Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”, diakses
pada
tanggal
20
Februari
2013,
URL
:
http://myrizal76.blogspot.com/2011/08/peran-ppat-dalam-peralihan-hak-atas.html
(dalam
kurung merupakan tambahan dari Penulis).
93
5. Obyek jual beli (tanah) yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah
kerja PPAT yang bersangkutan (Terkait dengan kewenangan PPAT
dalam hal pembuatan akta).
Ketentuan mengenai syarat materil diatas, secara yuridis adalah berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, yakni PPAT berwenang menolak untuk membuat akta jual beli jika:142
a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang
diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota;
b. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan jual beli atau saksinya
tidak berhak atau memenuhi syarat untuk bertindak dalam jual beli;
c. Salah satu atau para pihak bertindak atas dasar surat kuasa mutlak yang
pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;
d. Untuk jual beli yang akan dilakukan belum diperoleh izin pejabat atau
instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Obyek jual beli yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data
fisik dan/atau data yuridis; dan
f. Tidak dipenuhinya syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
142
Urip Santoso, Op.cit, hal. 375.
BAB III
TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH ATAS AKTA
JUAL BELI TANAH YANG DIBUATNYA MENGANDUNG CACAT
HUKUM
3.1 Sebab Degradasi Kekuatan Pembuktian dan Batalnya Akta PPAT
Definisi akta menurut A. Pitlo dalam bukunya Pembuktian dan Daluwarsa
terjemahan M. Isa Arief bahwa akta merupakan surat yang ditandatangani,
diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk
keperluan siapa surat itu di buat.143 Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah
surat yang diberi tanda tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan
sengaja untuk pembuktian.
144
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan akta, adalah:
1. Perbuatan handeling/perbuatan hukum rechtshandeling itulah pengertian
yang luas, dan
2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti
perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada
pembuktian tersebut.145
Selanjutnya dalam kaitannya dengan akta PPAT, maka fungsi akta bagi
para pihak yang berkepentingan adalah:
a. Sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum;
143
A. Pitlo, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, alih bahasa M. Isa Arief,
Intermasa, Jakarta, hal. 52.
144
Sudikno Mertokusumo II, Op. cit, hal. 120.
145
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Grosse Akta
Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta, hal. 26.
94
95
b. Sebagai alat pembuktian;
c. Sebagai alat pembuktian satu-satunya.146
Salah satu fungsi akta adalah sebagai alat pembuktian, dimana mengenai alat
bukti ini di dalam hukum perdata diatur dalam ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata,
terdiri dari:
1. alat bukti tulisan;
2. pembuktian dengan saksi-saksi;
3. persangkaan-persangkaan;
4. pengakuan; dan
5. sumpah.
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata menentukan bahwa pembuktian dengan
tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik, maupun dengan tulisan-tulisan di
bawah tangan. Jadi akta sebagai bukti (bentuk) terdiri dari akta otentik dan akta di
bawah tangan. Akta di bawah tangan merupakan akta yang ditandatangani di
bawah tangan, seperti surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah
tangga, dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai
umum, demikian bunyi Pasal 1874 KUHPerdata. Jadi akta di bawah tangan
merupakan akta yang sengaja dibuat oleh para pihak sendiri dan tidak dibuat oleh
pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta yang oleh para pihak
dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Dengan
demikian kekuatan pembuktian akta tersebut hanya sebatas pihak-pihak yang
membuatnya saja. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata bahwa
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya”.
146
A. Pitlo, Op. cit. hal. 54.
96
Dalam hubungannya dengan tugas jabatan PPAT, otentisitas akta yang
dibuatnya memiliki fungsi yag penting sebagaimana diatur dalam ketentuan PP
No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa akta
PPAT sebagai akta otentik memiliki 2 (dua) fungsi yaitu :
1. Sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun dan;
2. Sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Penulis menyimpulkan bahwa fungsi akta PPAT (jual beli) adalah:
1. Merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi atau mutlak, tanpa itu berarti
tidak ada (conditio sine qua non) bagi perbuatan jual beli tersebut;
2. Sebagai bukti bahwa jual beli telah dilangsungkan atau telah terjadi dan
dilakukan dihadapan PPAT;
3. Sebagai bukti bahwa hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli tersebut
telah berpindah dari penjual kepada pembeli dan karenanya membuktikan
bahwa pembeli telah menjadi pemilik baru atas tanah yang bersangkutan;
4. Sebagai sarana untuk pendaftaran jual beli di Kantor Pertanahan.
Selanjutnya menurut Habib Adjie kebatalan atau ketidakabsahan dari suatu
akta dalam kedudukannya sebagai akta otentik meliputi lima bagian yaitu:147
1.
2.
3.
4.
5.
Dapat dibatalkan;
Batal demi hukum;
Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan;
Dibatalkan oleh para pihak sendiri; dan
Dibatalkan oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap karena penerapan asas Praduga Sah.
147
Habib Adjie I, Op. cit, hal. 81.
97
Sebagai akta otentik, akta PPAT adalah sebagai alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna juga dapat terdegradasi
kekuatan pembuktiannya menjadi seperti akta dibawah tangan, atau bahkan
dinyatakan batal demi hukum. Degradasi kekuatan bukti akta otentik menjadi
kekuatan bukti dibawah tangan, dan cacat yuridis akta otentik yang
mengakibatkan akta otentik dapat dibatalkan atau batal demi hukum, terjadi jika
ada pelanggaran atau penyimpangan terhadap syarat formil dan syarat materil
sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang terkait.
3.1.1 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Formil.
Adapun unsur-unsur atau syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam
pembuatan akta otentik dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata
yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Artinya jika bentuknya tidak ditentukan oleh undang-undang maka salah satu
unsur akta otentik itu tidak terpenuhi dan jika tidak dipenuhi unsur tersebut
maka tidak akan pernah ada yang disebut dengan akta otentik.
2. Akta itu harus dibuat oleh door atau dihadapan ten overstaan seorang Pejabat
Umum. Menurut Habib Adjie, akta otentik tidak saja dapat dibuat dihadapan
Notaris, tapi juga dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat
Lelang, dan Pegawai Kantor Catatan Sipil. 148 Sedangkan menurut M. Ali
Boediarto, akta PPAT dikategorikan sebagai akta otentik, meskipun sampai
saat ini belum ada perintah undang-undang yang mengatur mengenai akta
148
Habib Adjie I, Op. cit, hal. 48.
98
PPAT. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 22
Maret 1972, Nomor 937 K/Sip/1970, bahwa akta jual beli tanah yang
dilaksanakan di hadapan PPAT dianggap sebagai bukti surat yang mempunyai
kekuatan bukti sempurna.149
3. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang
untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat. Pengertian berwenang
disini meliputi berwenang terhadap orangnya, berwenang terhadap aktanya,
berwenang terhadap waktunya, berwenang terhadap tempatnya.
Pasal 1869 KUHPerdata merumuskan: “Suatu akta yang karena tidak
berkuasanya atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas atau karena suatu
cacat dalam bentuknya, tidaklah dapat diberlakukan sebagai akta otentik namun
demikian mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan”. Artinya suatu akta
tidak memiliki kekuatan bukti otentik dan hanya memiliki kekuatan bukti dibawah
tangan apabila:
a. Pejabat umum tidak berwenang untuk membuat akta itu;
b. Pejabat umum tidak mampu atau tidak cakap untuk membuat akta itu;
c. Cacat dalam bentuknya.
Pengertian kata “bentuk” dalam Pasal 1868 dan Pasal 1869 KUHPerdata,
menurut pendapat Penulis tidak saja pengertian bentuk dalam arti fisik, tapi juga
pengertian bentuk dalam arti yuridis, sehingga pengertian bentuk dalam pasalpasal tersebut dapat dimaknai sebagai tata cara pembuatan akta otentik
sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang terkait
149
M. Ali Boediarto, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah
Agung, Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, hal. 146.
99
mengenai persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu akta dapat
disebut sebagai akta otentik.
Berkaitan dengan tugas dan kewenangan PPAT ketentuan-ketentuan yang
harus dipenuhi mengenai tata cara pembuatan akta jual beli tanah (akta PPAT)
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an 150 ,
diantaranya terdapat di dalam:
a. PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT;
b. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
c. Perka BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37
Tahun 1998 tentang PJPPAT, sebagaimana telah diubah dengan, Perka
BPN No. 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN No. 1
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998
tentang PJPPAT;
d. PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana telah diubah
dengan, Perka BPN No. 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.
24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah;
e. UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Jo.
PP No. 71 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas PP No. 48 Tahun
1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Jo. UU No. 20 Tahun
2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah.151
Adapun dalam prakteknya pelanggaran terhadap prosedur dan persyaratan
formil pembuatan akta PPAT dalam hal yakni :
150
Berpandangan pada pengaturan mengenai tata cara pembuatan akta
PPAT di Indonesia (ius constitutum) yang tidak teratur dengan baik dan tumpang
tindih atau tidak sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan,
sebaiknya peraturan perundang-undangan yang akan berlaku kemudian (ius
constituendum) dibentuk suatu unifikasi hukum dalam pengaturan mengenai kePPAT-an di Indonesia.
151
Poin e adalah pengejawantahan dari pelaksanaan Pasal 39 ayat (1)
huruf f PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: “Tidak dipenuhinya
syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku”.
100
a. PPAT belum melakukan cek bersih atau pemeriksaan kesesuaian data ke
Kantor Pertanahan, akan tetapi penandatanganan akta jual beli telah dilakukan.
Pasal 97 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah :
Sebelum melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas tanah, terlebih
dahulu PPAT wajib melakukan pemeriksaan ke Kantor Pertanahan
setempat untuk mengetahui kesesuaian sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan dengan
memperlihatkan sertifikat asli kepada petugas Kantor Pertanahan.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan agar tidak terjadi jual beli tanah terhadap
sertifikat palsu atau sertifikat ganda atau sertifikat asli tapi palsu (Aspal). Hal
ini untuk menghindari terjadinya penipuan dalam transaksi tanah dimana
ternyata yang dijual bukan milik penjual yang berhak. 152 Menurut Boedi
Harsono, PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk
sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Antara lain mencocokkan data
yang terdapat dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan. 153 Selain akan berpengaruh terhadap kekuatan pembuktian dari
akta yang dibuat, bagi pihak pembeli terdapat resiko sertifikat terblokir atau
sertifikat tidak sesuai dengan daftar yang ada dalam buku tanah di Kantor
Pertanahan.
b. Penandatanganan akta jual beli oleh para pihak (penjual dan pembeli) tidak
dilakukan dalam waktu yang bersamaan di hadapan PPAT dan atau di hadapan
PPAT yang menandatangani akta jual beli.
152
J. Andy Hartanto, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum
Bersertifikat, Cet. Ke-2, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 59.
153
Boedi Harsono II, Op.cit, hal, 507
101
Pasal 101 ayat (1) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “Pembuatan akta PPAT
harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang
yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Artinya proses pembuatan akta jual beli hingga penandatanganan akta jual
beli oleh penjual dan pembeli harus dilakukan dengan dihadiri para pihak
dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi ada kalanya persyaratan ini tidak
dilakukan, dimana salah satu alasannya adalah karena kesibukan para pihak
sehingga para pihak tidak dapat datang ke kantor PPAT pada saat yang
bersamaan untuk melakukan penandatanganan akta.
c. Pembuatan dan penandatanganan akta jual beli dilakukan diluar daerah kerja
PPAT dan atau diluar Kantor PPAT dan tanpa dihadiri oleh saksi-saksi.
Pasal 101 ayat (2) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah :
Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu
perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran
para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan
dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum
tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
PPAT dalam melakukan pembuatan akta harus melakukannya di kantor
PPAT yang bersangkutan dengan dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak
dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT
102
karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para
pihak harus hadir dihadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.
Alasan-alasan yang dapat dianggap sebagai alasan yang sah adalah, apabila
pihak yang bersangkutan dalam keadaan sakit atau oleh karena telah berusia
lanjut sehingga tidak dapat datang ke kantor PPAT. Hal yang paling mendasar
adalah pihak yang tidak dapat hadir itu haruslah berdomisili di daerah kerja
PPAT yang bersangkutan, karena PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk
membuat akta di daerah kerjanya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12
PJPPAT, “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kotamadya”.
d. PPAT tidak membacakan isi dari akta jual beli dihadapan para pihak secara
terperinci, hanya menjelaskan mengenai maksud dari pembuatan akta.
Pasal 101 ayat (3) PMNA/Ka BPN 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP
No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah : “PPAT wajib membacakan
akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai
isi dan maksud pembuatan akta dan prosedur pendaftaran yang harus
dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku”.
Pelanggaran terhadap pasal ini termasuk kedalam cacat bentuk, karena
pembacaan akta oleh PPAT dihadapan para pihak dan saksi merupakan suatu
kewajiban untuk menjelaskan, bahwa akta yang dibuatnya tersebut sesuai
dengan kehendak yang bersangkutan dan bila isi akta disetujui maka oleh
penjual dan calon pembeli akta tersebut akan ditandatangani oleh para pihak,
sekaligus saksi dan PPAT sendiri.
103
e. Nilai harga transaksi yang dimuat di akta jual beli tidak sesuai dengan nilai
harga transaksi sebenarnya.
Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) huruf a UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah :
1. Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak.
2. Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dalam
hal:
a. jual beli adalah harga transaksi;
b. ……
Pembuatan akta jual beli yang nilai transaksi peralihan haknya lebih kecil
dari nilai transaksi riil bertujuan untuk mengurangi jumlah kewajiban
pembayaran pajak PPh (bagi Penjual) dan BPHTB (bagi Pembeli). Nilai
transaksi yang dimuat dalam akta jual beli biasanya mengikuti nilai dari Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) yang dibulatkan ke atas atau berdasarkan penilaian
dari Dispenda terkait zona nilai tanah masing-masing daerah. Jadi tujuan
dilakukannnya pengecilan nilai transaksi dalam akta jual beli adalah untuk
mengecilkan jumlah pajak-pajak yang harus dibayar.
f. Penandatanganan akta jual beli telah dilakukan akan tetapi para pihak belum
melakukan pembayaran pajak, yakni Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan
dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bagi Penjual, dan Pajak Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) bagi Pembeli.
Pasal 91 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi
Daerah : “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani
akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak”
104
Bagi Penjual berlaku Pasal 2 ayat (2) PP No. 71 Tahun 2008 Tentang
Perubahan Ketiga Atas PP No. 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan :
Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, perjanjian,
kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan apabila kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau badan
dimaksud bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah
dipenuhi dengan menyerahkan fotokopi Surat Setoran Pajak yang
bersangkutan dengan menunjukkan aslinya.
Bagi Pembeli berlaku Pasal 24 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah : “PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak
atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.”
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di atas terkadang terjadi dengan
berbagai alasan, salah satunya adalah kekurang pahaman maupun kesibukan dari
para pihak untuk melakukan penyetoran pajak berkaitan dengan transaksi jual beli
tanah yang dilakukannya. Para pihak seringkali menyerahkan prosedur tersebut
kepada PPAT yang dianggap lebih paham mengenai hal itu. Jadi akta jual beli
tersebut belum diberi nomor dan tanggal oleh PPAT, karena PPAT terlebih dahulu
harus melakukan pembayaran pajak-pajak yang menjadi kewajiban masingmasing pihak. Untuk melakukan pembayaran pajak sampai dengan validasi,
paling cepat dibutuhkan waktu satu hari kerja. Dengan demikian, akta jual beli
yang telah ditandatangani oleh para pihak sampai dengan keesokan harinya masih
105
belum
diberi
nomor
dan
tanggal,
sehingga
dapat
dikatakan
tanggal
penandatanganan akta tidak sama dengan tanggal peresmian akta.
Menurut Syafnil Gani sebagaimana dikutip oleh Pantas Situmorang,
bahwa :
Bukti setoran PPh dan BPHTB sepintas lalu termasuk ke dalam syarat
formal, namun pada dasarnya bukan merupakan syarat formal dalam
pembuatan akta tetapi merupakan syarat tambahan (supplement), karena
sebenarnya persoalan perbuatan hukum peralihan hak seperti jual beli
merupakan satu masalah tersendiri dan pembayaran pajak merupakan
masalah tersendiri pula, tetapi karena di negara kita masih dominan
kepentingan politik daripada penegakan hukum, maka terjadilah intervensi
undang-undang perpajakan terhadap perbuatan hukum peralihan hak.
Tetapi walau bukti setoran PPh atau BPHTB tersebut merupakan syarat
supplement, namun hal itulah yang banyak menimbulkan potensi konflik
dari proses pembuatan akta.154
Pelanggaran terhadap ketentuan dari poin a-f di atas sebenarnya disadari oleh
PPAT berikut konsekuensi yuridis yang bisa dikenai, dan terdapat berbagai
macam faktor yang menyebabkan terjadinya pembuatan akta jual beli yang tidak
sesuai atau menyimpang dari tata cara pembuatan akta PPAT, akan tetapi praktek
tersebut tetap dilakukan karena ada keyakinan bahwa apabila PPAT tidak
menerima atau tidak mau untuk melakukan perbuatan seperti itu maka klien
mereka akan berpindah dengan mempergunakan jasa PPAT lain ditambah lagi ada
rasa segan terhadap klien yang sudah lama jadi langganan PPAT bersangkutan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata degradasi mempunyai arti
penurunan, tentang pangkat, mutu, moral dan sebagainya, kemunduran,
kemerosotan atau dapat juga menempatkan ditingkat atau posisi yang lebih
154
Pantas Situmorang, 2008, “Problematika Keotentikan Akta PPAT”,
Tesis, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, hal. 102-103.
106
rendah.155 Dalam pengertian yang umum, dalam hubungannya dengan kekuatan
pembuktian, akta PPAT sebagai akta otentik memiliki kekuatan bukti yang
lengkap atau sempurna dan memiliki kekuatan mengikat, serta telah mencukupi
batas minimal alat bukti yang sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam suatu
sengketa perdata156.
Pada prinsipnya keabsahan akta PPAT meliputi isi dan kewenangan
pejabat yang membuat, serta tata cara pembuatannya pun harus memenuhi syarat
yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Secara formalitas akta tersebut tetap akta otentik dan pelaksanaan pendaftaran
tanahnya dapat tetap diproses di Kantor Pertanahan. Namun apabila timbul
sengketa dan para pihak yang berkepentingan dapat membuktikan bahwa akta
tersebut telah dibuat dengan tanpa memenuhi satu atau beberapa tata cara
pembuatan akta PPAT (syarat formil pembuatan akta PPAT), maka akta dapat
terdegradasi kekuatan pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan. Dengan
demikian apabila sebuah akta jual beli tanah tidak memenuhi persyaratan tersebut
di atas, konsistensi kekuatan pembuktiannya menjadi lemah.
Dalam kaitannya dengan akta PPAT, ketentuan tersebut tercantum dalam
ketentuan Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ketentuan dalam
155
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-4, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 304.
156
Berdasarkan Pasal 1870 KUHPerdata suatu akta otentik memberikan
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya, artinya hakim
harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan didalam akta tersebut
sungguh telah terjadi sesuatu yang benar, dan hakim tidak boleh memerintahkan
menambah bukti yang lain.
107
pasal-pasal itu merupakan syarat formil dari prosedur pembuatan akta PPAT, yang
apabila dilanggar oleh PPAT, maka akta PPAT itu hanya memiliki kekuatan
pembuktian
sebagai
akta
dibawah
tangan
sepanjang
para
pihak
menandatanganinya, dan degradasi kekuatan bukti akta PPAT tersebut menjadi
akta dibawah tangan sejak adanya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap. Sepanjang berubahnya atau terjadinya degradasi dari akta otentik
menjadi akta dibawah tangan tidak menimbulkan kerugian, maka PPAT
bersangkutan tidak dapat dimintakan tanggung jawab hukumnya melalui Pasal
1365 KUHPerdata. Namun apabila karena degradasi kekuatan bukti menjadi akta
dibawah tangan tersebut menimbulkan kerugian, dimana adanya pihak ketiga
yang memanfaatkan keadaan ini sehingga salah satu pihak mendapatkan kerugian
maka PPAT bersangkutan dapat digugat dengan perbuatan melanggar hukum
sebagaimana diatur didalam Pasal 1365 KUHPerdata.
Jadi kesimpulannya secara formil faktor yang dapat menyebabkan akta
PPAT menjadi cacat hukum, apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan
Pasal 95-102 PMNA/Ka BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 1868 dan 1869
KUHPerdata, maka akta otentik dapat turun atau terdegradasi kekuatan
pembuktiannya dari mempunyai kekuatan pembuktian sempurna menjadi hanya
mempunyai kekuatan pembuktian selayaknya akta dibawah tangan, jika pejabat
umum yang membuat akta itu tidak berwenang untuk membuat akta tersebut atau
jika akta tersebut cacat dalam bentuknya, karena dalam perjalanan proses
pembuatan akta tersebut terdapat salah satu atau lebih penyimpangan terhadap
108
syarat formil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT, baik disengaja
maupun karena kealpaan dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan.
3.1.2 Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap Syarat Materil.
Di samping sebab kebatalan kekuatan pembuktian sempurna dari suatu
akta PPAT menjadi terdegradasi kekuatan pembuktiannya selayaknya akta
dibawah tangan yang disebabkan oleh penyimpangan terhadap syarat formil dari
tata cara pembuatan akta PPAT sebagaimana telah diuraikan di atas, juga terdapat
faktor penyebab kebatalan lain, yakni yang berkaitan dengan penyimpangan
terhadap syarat materil dari tata cara pembuatan akta PPAT baik menyangkut
subyek maupun obyeknya. Faktor lain pembatalan sebagaimana dimaksud adalah
ketentuan yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Sahnya suatu perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, diantaranya dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatakan bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu :157
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. Kecakapan membuat suatu perjanjian;
c. Suatu hal tertentu; dan
d. Kausa yang halal atau tidak terlarang.
Ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa syarat
tersebut bersifat kumulatif artinya setiap perjanjian yang dibuat harus memenuhi
keempat persyaratan tersebut secara bersama-sama. Tidak dipenuhinya salah satu
syarat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, mengakibatkan
157
Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta, hal. 17.
109
perjanjian cacat hukum, yang keabsahannya dapat dipertanyakan, dalam arti dapat
batal demi hukum dan/atau dapat dibatalkan oleh pihak ketiga yang
berkepentingan.
Syarat a dan b merupakan syarat subyektif, karena mengenai orang-orang
atau subyek yang mengadakan perjanjian, dan jika syarat subyektif dilanggar,
maka aktanya dapat dibatalkan, sedangkan syarat c dan d merupakan syarat
obyektif, karena mengenai isi perjanjian dan jika syarat obyektif dilanggar, maka
akta batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, cacat dalam
perjanjian diancam kebatalan baik dalam bentuk dapat dibatalkan maupun batal
demi hukum.
Pembatalan suatu akta PPAT yang tidak memenuhi syarat materil dari tata
cara pembuatan akta PPAT bisa dibedakan menjadi 2 terminologi yang memiliki
konsekuensi yuridis, yaitu:158
1. Voidable; Bila salah satu syarat subyektif tidak dipenuhi, perjanjiannya
bukannya batal demi hukum, tetapi salah satu pihak dapat memintakan
pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak,
selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang
berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak
yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
2. Null and Void; Dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak
pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal
demi hukum, dari semula tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian
dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Sedangkan menurut J.H. Niewenhuis, suatu perjanjian yang tidak memenuhi
syarat sah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, baik syarat
158
Bung Pokrol , 2004, “Batalnya Suatu Perjanjian”, diakses pada tanggal
9 April 2013, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3520
110
subyektif maupun syarat obyektif akan mempunyai akibat-akibat, sebagai
berikut :159
1. Noneksistensi; apabila tidak ada kesepakatan maka tidak timbul
perjanjian.
2. Vernietigbaar; atau dapat dibatalkan, apabila perjanjian tersebut lahir
karena adanya cacat kehendak (wilsgebreke) atau karena
ketidakcakapan (onbekwaamheid) – (Pasal 1320 BW syarat a dan b),
berarti hal ini terkait dengan unsur subyektif, sehingga berakibat
perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
3. Nietig; atau batal demi hukum, apabila terdapat perjanjian yang tidak
memenuhi syarat objek tertentu atau tidak mempunyai causa atau
causanya tidak diperbolehkan – (Pasal 1320 BW syarat c dan d), berarti
hal ini terkait dengan unsur obyektif, sehingga berakibat perjanjian
tersebut batal demi hukum.
Adapun ketentuan mengenai syarat materil dalam kaitannya dengan
pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT, adalah berdasarkan ketentuan dalam Pasal
39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni PPAT
berwenang menolak untuk membuat akta jual beli apabila :160
1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan
rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang
bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftardaftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak
disampaikan:
a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat
keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang
bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk
159
J.H. Niewenhuis, Op.cit, hal. 2.
Penulis berpendapat makna kata “menolak” pada ketentuan ini adalah
dalam artian suatu syarat yang sifatnya mutlak, karena sifatnya mutlak berarti
bersifat materil, sehingga PPAT dilarang untuk menerima pembuatan akta jual
beli apabila menyimpang dari ketentuan ini. Berpijak pada penafsiran a contrario,
maka PPAT harus menerima pembuatan akta jual beli apabila memenuhi
ketentuan tersebut, dan ketentuan ini adalah sebagai syarat materil dari prosedur
pembuatan akta PPAT.
160
111
c.
d.
e.
f.
g.
tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor
Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan
oleh Kepala Desa/Kelurahan.
Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum
yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak
demikian; atau
Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan
hak; atau
Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin
Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa
mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT, dalam prakteknya
seorang PPAT harus menolak hal-hal berikut ini karena berdasarkan Pasal 1320
KUHPerdata yang apabila dilanggar akan berakibat hukum sebagaimana terurai
berikut :
1. Akta PPAT dapat dibatalkan
Dalam kaitannya dengan syarat materil prosedur atau tata cara pembuatan
akta PPAT adalah ketidakcakapan seseorang untuk melakukan tindakan hukum
(handelingsonbekwaamheid).
a. Salah satu atau para penghadap dalam perjanjian tersebut tidak cakap untuk
bertindak dalam hukum, dan/atau tidak memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu. Misalnya anak berumur 17
tahun tidak berwenang melakukan jual beli, walaupun ia yang berhak atas
tanah itu. Jual beli terlaksana jika yang bertindak adalah ayah dari anak itu
sebagai orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Mengenai yang belum
112
dewasa diatur dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang menentukan: 1). Telah
berusia 21 tahun, atau 2). Belum 21 tahun tetap sudah atau pernah kawin
sebelumnya (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal
330 Jo. 1330 KUHPerdata).
b. Salah satu atau para penghadap bertindak berdasarkan kuasa, namun pemberi
kuasa yang disebutkan dalam akta kuasa telah meninggal dunia. Berdasarkan
Pasal 1813 KUHPerdata, berakhirnya pemberian kuasa dapat disebabkan
karena penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa; penghentian kuasa oleh
penerima kuasa; meninggalnya atau diampunya atau pailitnya pemberi kuasa
atau penerima kuasa; dan karena perkawinan perempuan sebagai pihak
pemberi atau penerima kuasa (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun
1997 Jo. Pasal 1813 KUHPerdata).
c. Salah satu atau para penghadap bertindak berdasarkan kuasa substitusi, namun
pada surat kuasa semula tidak dicantumkan klausula atau ketentuan tentang hal
itu. Berdasarkan Pasal 1803 KUHPerdata mengatur bahwa pemberian kuasa
substitusi harus dengan jelas disebutkan dalam surat kuasa, dan apabila jelas
disebutkan maka pemberian kuasa substitusi harus diikuti dengan penyebutan
nama penerima kuasa substitusi. Kuasa Substitusi adalah penggantian penerima
kuasa melalui pengalihan, atau dengan kata lain bahwa Kuasa Substitusi adalah
Kuasa yang dapat dikuasakan kembali kepada orang lain. Surat kuasa bisa
dialihkan kepada pihak lain dengan persetujuan pemberi kuasa awal, dengan
ketentuan dalam surat kuasa yang pertama harus dinyatakan bahwa surat kuasa
tersebut dapat dialihkan dengan hak substitusi. Jika tidak dinyatakan demikian,
113
maka surat kuasa tersebut dapat dinyatakan tidak sah (Pasal 39 ayat (1) huruf c
dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 1803 KUHPerdata).
Penyimpangan terhadap syarat materil (subyektif) ini menyebabkan akta
jual beli yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dimintai pembatalan oleh
pihak yang tidak cakap dan/atau wakilnya yang sah, sehingga salah satu pihak
dalam perjanjian maupun pihak ketiga, dapat mengajukan pembatalan atas
perjanjian baik sebelum perikatan yang lahir dari perjanjian itu dilaksanakan
maupun setelahnya. Pasal 1451 dan Pasal 1452 KUHPerdata menentukan bahwa
setiap kebatalan membawa akibat bahwa kebendaan dan orang-orang yang
dipulihkannya sama seperti keadaan sebelum perjanjian itu dibuat. Jadi perjanjian
yang telah di buat akan tetap mengikat para pihak selama tidak dibatalkan (oleh
hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
2. Akta PPAT batal demi hukum
Dalam kaitannya dengan syarat materil prosedur atau tata cara pembuatan
akta PPAT adalah ketidakwenangan seseorang untuk melakukan tindakan hukum
(handelingsonbevoegdheid).
a. Pihak penjual dalam akta PPAT tidak disertai dengan adanya persetujuan dari
pihak-pihak yang berhak memberi persetujuan terhadap perbuatan hukum
dalam suatu akta, artinya tidak memiliki kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu, misalnya :
- Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama istrinya, sedangkan tanah tersebut
adalah harta bersama dengan suaminya, akan tetapi istri tidak atau belum
mendapat persetujuan menjual sendiri tanah tersebut dari suami, atau
114
suaminya belum memberikan persetujuan tertulis kepada istri. Demikian
juga sebaliknya, istri belum memberi persetujuan kepada suami untuk
menjual suatu tanah sebagai harta bersama walaupun tertulis atas nama
suami (Pasal 39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 119
KUHPerdata).
- Terhadap
organ
perseroan
(Direksi)
melakukan
perbuatan
untuk
mengalihkan atau menjaminkan hak atas tanah yang merupakan harta
kekayaan perseroan tanpa adanya persetujuan dari organ pesero (Dewan
Komisaris dan/atau RUPS) yang ditetapkan dalam anggaran dasar
perseroan. Demikian juga terhadap salah seorang atau beberapa orang
pengurus yayasan dalam melakukan perbuatan hukum mengalihkan atau
menjaminkan hak atas tanah tanpa persetujuan dari pembina yayasan dan
koperasi yang ditetapkan dalam anggaran dasar (Pasal 39 ayat (1) huruf c
dan g PP No. 24 Tahun 1997).
- Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama, misalnya X, tetapi Tuan X ini
tunduk kepada KUHPerdata yakni sedang berada dibawah pengampuan, dan
Y sebagai pengampu atau curator dari X (yang telah ditetapkan oleh
Pengadilan Negeri), hendak menjual tanah tersebut dengan alasan untuk
kepentingan X, akan tetapi Y belum mendapat persetujuan atau ijin dari
Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 39 ayat (1) huruf e dan g PP No. 24 Tahun
1997 Jo. Pasal 452 Jo. 393 KUHPerdata).
b. Penghadap yang hendak menjual tanah belum/tidak mendapat persetujuan dari
para ahli waris. Dalam hal ini, perbuatan orang yang menjual tanah para ahli
115
waris tanpa persetujuan ahli waris merupakan perbuatan yang melanggar hak
subyektif para ahli waris. Menurut Irma Devita Purnamasari yang disadur oleh
Letezia Tobing, mengatakan jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya
tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris
yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang
ahli waris tidak bisa hadir di hadapan Notaris pembuat akta tersebut (karena
berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan
di bawah tangan yang dilegalisir Notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan
dalam bentuk akta Notaris. 161 Dalam hal jual beli tanah tersebut tidak ada
persetujuan dari para ahli waris, maka tanah tersebut dijual oleh orang yang
tidak berhak untuk menjualnya, oleh karena itu, berdasarkan Pasal 1471
KUHPerdata “Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat
memberikan dasar kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya,
kerugian dan bunga, jika ia tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan
orang lain”, maka jual beli tersebut batal. Dengan batalnya jual beli tersebut,
maka jual beli tersebut dianggap tidak pernah ada, dan masing-masing pihak
dikembalikan ke keadaannya semula sebelum terjadi peristiwa “jual beli”
tersebut, yang mana hak milik atas tanah tetap berada pada ahli waris.162 (Pasal
39 ayat (1) huruf c dan g PP No. 24 Tahun 1997 Jo. Pasal 833 ayat (1) Jo. Pasal
832 ayat (1) KUHPerdata).
161
Letezia Tobing, 2013, “Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa
Persetujuan Ahli Waris”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50dbbb8cb848d/akibat-hukum-jualbeli-tanah-warisan-tanpa-persetujuan-ahli-waris
162
Ibid.
116
c. Salah satu penghadap bertindak berdasarkan surat kuasa mutlak, dimana surat
kuasa mutlak pada saat ini tidak diperbolehkan lagi khususnya dalam
hubungannya dengan Tanah (benda tidak bergerak) yaitu berdasarkan Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982 tentang larangan penggunaan kuasa
mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah, tanggal 6 Maret 1982, jual-beli
tanah dengan menggunakan surat kuasa mutlak tidak sah, sehingga batal demi
hukum. Pembuatan kuasa mutlak ini sebelumnya banyak disalahgunakan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain kuasa mutlak ini
merupakan jual beli tanah secara terselubung, dimana didalam klausul kuasa
mutlak tersebut selalu dicantumkan “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali”
dan si penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apapun juga baik itu
tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang
dimaksud.163 Misalnya penjual bertindak berdasarkan kuasa yang dibuat untuk
menjamin perjanjian hutang-piutang, tidak dapat dianggap sebagai suatu
pemberian kuasa secara sukarela dari pemberi jaminan atau debitur, dan kuasa
ini menjadi tidak sah dan melanggar ketertiban umum, karena merupakan
penyeludupan hukum terhadap larangan yang bersifat memaksa dimana
jaminan harus dilakukan melalui pelelangan umum. Sebagaimana ditentukan
oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I. No. 1991 K/Pdt/1994, tanggal 30
Mei 1996. Penulis berpendapat kuasa mutlak adalah kuasa yang diberikan oleh
pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan segala perbuatan
163
Anthonius Adhi Soedibyo, 2011, “Larangan Penggunaan Surat Kuasa
Mutlak”,
diakses
pada
tanggal
9
April
2013,
URL
:
http://kenalhukum.blogspot.com/2011/01/larangan-penggunaan-surat-kuasamutlak.html
117
hukum yang dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi bukan karena
tidak dapat dicabut, apabila dapat dicabut sewaktu-waktu justru akan
membahayakan kedudukan penerima kuasa apabila penerima kuasa itu adalah
seorang pembeli. (Pasal 39 ayat (1) huruf d PP No. 24 Tahun 1997).
Penyimpangan terhadap syarat materil (obyektif) ini menyebabkan akta jual beli
yang dibuat oleh PPAT bersangkutan dapat dinyatakan batal demi hukum atau
batal dengan sendirinya, artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian.
Jadi kesimpulannya secara materil faktor yang dapat menyebabkan akta
PPAT menjadi cacat hukum, apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan
Pasal 39 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal
1320 KUHPerdata, maka akta PPAT yang dibuatnya akan berkonsekuensi logis
dapat ditolak pendaftarannya, dimana berkas permohonan pendaftaran peralihan
haknya sudah diproses secara administratif, namun ketika diteliti substansi
perbuatan hukumnya, terdapat permasalahan yang menyebabkan akta ditolak
pendaftarannya. Selanjutnya berkaitan dengan tugas dan wewenang dari PPAT
dalam pembuatan akta jual beli tanah yang mengandung unsur penyimpangan
terhadap syarat materil dari prosedur pembuatan akta PPAT, yang terdiri dari
syarat subyek (subyek hak atau orang-orang yang menghadap atau komparan) dan
syarat obyek (obyek hak yang dialihkan), baik disengaja maupun karena kealpaan
dan/atau kelalaian dari PPAT bersangkutan, maka akta PPAT itu akan memiliki
konsekuensi yuridis atau berakibat hukum yaitu dapat dibatalkan dan/atau batal
demi hukum.
118
3.2 Bentuk Pertanggungjawaban PPAT Atas Akta yang Mengandung Cacat
Hukum
Seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya
tersebut, khususnya berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT adakalanya
melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan
formil maupun materil, misalnya : kesalahan mengenai ketidakwenangan PPAT
dalam membuat akta otentik, yang berakibat hilangnya otensitas akta yang
dibuatnya, atau kekuatan pembuktian akta tersebut tidak lagi sebagai alat bukti
yang lengkap/sempurna, di antara dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan,
melainkan menjadi akta/surat di bawah tangan, dimana kesalahan tersebut bisa
saja dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja.
Pertanggungjawaban yang diminta kepada PPAT bukan hanya dalam
pengertian sempit yakni membuat akta, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam
arti yang luas, yakni tanggung jawab pada saat fase akta dan tanggung jawab pada
saat pasca penandatanganan akta. Tanggung jawab profesi PPAT dapat
dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab
hukum. Tanggung jawab hukum ini dapat dibedakan pula menjadi 3 (tiga) macam,
yaitu tanggung jawab berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum
pidana.
Delik adalah suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma
hukum yang ada. Tindakan manusia dikatakan sebagai suatu delik karena aturan
hukum mengenakan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Jadi,
adalah delik kriminal jika memiliki sanksi kriminal, dan adalah suatu delik
119
perdata jika memiliki suatu sanksi perdata sebagai konsekuensinya. 164 Hans
Kelsen mengemukakan bahwa berdasarkan pandangan hukum positif, tidak ada
kriteria lain yang dapat menentukan suatu fakta sebagai delik selain adanya sanksi
menurut aturan hukum. Tidak ada delik tanpa adanya sanksi, dan karenanya tidak
ada delik karena perbuatan itu sendiri.165
Dalam bidang hukum keperdataan, sanksi merupakan tindakan hukuman
untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undangundang. Setiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada
akhir aturan hukum tersebut. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum
tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan
hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan suatu kaidah-kaidah hukum
dapat dipaksakan apabila terdapat sanksi yang menyertainya, dan penegakan
terhadap kaidah-kaidah hukum dimaksud dilakukan secara prosedural (hukum
acara). Sanksi biasanya diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan yang dalam
bahasa latin dapat disebut in cauda venenum, artinya di ujung suatu kaidah hukum
terdapat sanksi.166
Hakekat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk
memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan
yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan
untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan
164
Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 46.
Hans Kelsen I, Op.cit, hal. 47.
166
A.W Widjaja, 1999, Etika Administrasi Negara, Cet. ke-2, Bumi
Aksara, Jakarta, hal. 21.
165
120
hukum. 167 Demikian pula sanksi yang ditujukan bagi seorang PPAT juga
merupakan bentuk penyadaran, bahwa PPAT dalam melakukan tugas jabatannya
telah melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan, dan untuk mengembalikan tindakan PPAT dalam
melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai ketentuan yang berlaku.
Disamping itu pemberian sanksi terhadap PPAT juga untuk melindungi
masyarakat dari tindakan PPAT yang merugikan. Sanksi juga untuk menjaga
martabat lembaga PPAT sebagai lembaga kepercayaan karena apabila PPAT
melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
PPAT. Secara individu sanksi terhadap PPAT merupakan suatu pertaruhan dalam
menjalankan tugas jabatannya, apakah masyarakat masih mau mempercayakan
pembuatan akta terhadap PPAT yang bersangkutan atau tidak.168
Akta PPAT merupakan alat membuktikan telah dilakukannya suatu
perbuatan hukum, sehingga apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan,
akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum
tersebut. Apabila perbuatan hukum tersebut dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dalam akta PPAT sedangkan perbuatan hukum itu sudah
didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tanah tidak dapat dibatalkan.
Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukun itu harus
didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT
mengenai perbuatan hukum yang baru.
167
168
Habib Adjie I, Op.cit, hal. 90.
Habib Adjie I, Op.cit, hal. 91.
121
Seorang PPAT dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa
PPAT tersebut bersalah. Berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan oleh PPAT,
maka yang digunakan adalah beroepsfout. Beroepsfout ialah kesalahan yang
dilakukan didalam menjalankan suatu jabatan/profesi.169 Beroepsfout merupakan
istilah khusus yang ditujukan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh para
profesional dengan jabatan-jabatan khusus, seperti Dokter, Advocat, Notaris dan
PPAT. Namun istilah kesalahan dalam hal ini sifatnya obyektif dalam pengertian
istilah kesalahan ini dalam konteks beroepsfout ditujukan kepada para profesional
dalam menjalankan jabatannya. Dalam hal ini untuk mengkaji pengertian
kesalahan pada beroepsfout Penulis mengacu pada definisi kesalahan pada
umumnya, khususnya dalam hukum pidana. Di samping pengertian kesalahan
obyektif, juga terdapat persyaratan secara khusus untuk dapat mendalilkan, bahwa
seorang PPAT telah bersalah dalam menjalankan jabatannya.
Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Perka BPN 1/2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT sebagaimana telah diubah
dengan Perka BPN 23/2009 tentang Perubahan Atas Perka BPN 1/2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT, menentukan
bahwa “Pengisian
blanko
akta
dalam
rangka pembuatan
akta
PPAT
harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta didukung
dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan”.
169
Yuherman, 2012, “Konsekuensi Peralihan Kewenangan Direksi Dalam
Kepailitan Perseroan Terbatas”, Jurnal Supremasi Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sahid, Jakarta, hal. 10.
122
Makna kata “kejadian”, menurut Penulis adalah suatu situasi dan kondisi
kejadian yang sesuai dengan syarat formil pembuatan akta PPAT, artinya
pembuatan akta harus dilakukan sesuai dengan tata cara formil pembuatan akta
PPAT, karena tata cara formil pembuatan akta PPAT tersebut adalah “kejadian”
yang benar menurut peraturan perundang-undangan. Disamping itu apabila
mengacu pada pengertian “kejadian” yang sesuai dengan kejadian nyata, maka
belum tentu benar secara yuridis, sehingga pembuatan akta tersebut harus
dilakukan sesuai dengan kejadian (prosedur/tata cara) yang benar secara yuridis.
Apabila akta diisi dengan kejadian yang salah atau kejadian yang tidak sesuai
dengan ketentuan formil yakni tata cara pembuatan akta PPAT, akan berakibat
produk akta dari PPAT bersangkutan berpeluang mengandung cacat hukum.
Sedangkan makna kata “status dan data” mengacu pada syarat materil dari
prosedur pembuatan akta PPAT, yakni persyaratan materil baik itu subyek
maupun obyek jual beli haruslah benar dan memenuhi dan/atau sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 3 huruf e Kode Etik IPPAT, mengatur
mengenai kewajiban dan larangan bagi PPAT. Salah satu kewajiban PPAT
adalah bekerja dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri, jujur dan tidak
berpihak.
Disamping
itu,
berdasarkan
ketentuan Pasal
55
Perka
BPN
1/2006, “PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan
jabatannya dalam setiap pembuatan akta.”
Atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, berdasarkan Pasal 28 Perka
BPN 1/2006, diatur mengenai pemberhentian, pelanggaran ringan, serta
123
pelanggaran berat yang dilarang dilakukan oleh seorang PPAT, yakni sebagai
berikut :
(1) PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan
karena :
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi mampu menjalankan tugas karena keadaan kesehatan badan
atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa
kesehatan berwenang atas permintaan Kepala Badan atau pejabat
yang ditunjuk;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT;
d. diangkat sebagai PNS atau anggota TNI/POLRI.
(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala
Badan, karena :
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. melanggar kode etik profesi.
(3) Pelanggaran ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c antara
lain :
a. memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundangundangan;
b. dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak
melaksanakan tugasnya kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal
42 ayat (5);
c. tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;
d. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1);
dan
e. lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
(4) Pelanggaran berat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, antara
lain:
a. membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan;
b. melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
c. melakukan pembuatan akta di luar daerah kerjanya kecuali yang
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (3);
d. memberikan keterangan yang tidak benar di dalam akta yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
124
e. membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang
terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46;
f. melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
g. pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh
PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang
melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan
perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;
h. pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih
dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan
tidak berhak melakukan untuk perbuatan hukum yang dibuktikan
dengan akta;
i. PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun
pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan sesuai
akta yang dibuatnya;
j. PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang
melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;
k PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian
sementara atau dalam keadaan cuti;
l. lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ke-PPAT-an
diatur bahwa ketika seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan jabatannya
terbukti melakukan pelanggaran, PPAT dapat dikenai atau dijatuhi sanksi berupa
sanksi administratif, tetapi tidak mengatur adanya sanksi perdata dan pidana
terhadap PPAT, maka apabila terjadi pelanggaran yang memenuhi delik perdata
dan pidana terhadap PPAT tersebut dapat dikenakan sanksi perdata yang termuat
dalam KUHPerdata dan sanksi pidana yang terdapat dalam KUHPidana.
Adapun tanggung jawab PPAT terhadap akta yang mengandung cacat
hukum, dapat diuraikan sebagai berikut :
3.2.1 Tanggung Jawab Secara Administratif.
Kesalahan administrasi atau biasa disebut dengan mal administrasi yang
dilakukan oleh PPAT dalam melakukan sebagian kegiatan pendaftaran tanah
125
tentunya akan menimbulkan konsekuensi hukum, yakni PPAT dapat dimintai
pertanggungjawaban. Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut
Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:170
a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban
tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.
Berdasarkan teori fautes personalles di atas, Penulis berpendapat bahwa
PPAT bertanggung jawab atas pembuatan akta jual beli yang mengandung cacat
hukum, sebagaimana telah diuraikan pada sub bab di atas. Terhadap PPAT yang
membuat akta jual beli tanah yang mengandung cacat hukum tersebut,
dikategorikan sebagai perbuatan yang menyalahgunakan wewenang, mengingat
wewenang yang ada padanya berdasarkan Pasal 2 PJPPAT telah disalahgunakan,
sehingga penggunaan wewenang tersebut pada akhirnya tidak sesuai dengan
tujuan pemberian wewenang itu sendiri, dalam hal ini nampak telah terjadi
penyalahgunaan wewenang oleh PPAT karena tidak menjalankan wewenang
sebagaimana mestinya. Menurut Penulis kesalahan PPAT dalam hal ini berbentuk
kealpaan atau kelalaian, akan tetapi yang menjadi masalah adalah apakah
kealpaan atau kelalaian yang dilakukan oleh PPAT dikategorikan penyalahgunaan
wewenang, mengingat istilah penyalahgunaan wewenang cenderung mengarah
170
Ridwan H.R., Loc.cit.
126
kepada pemikiran adanya unsur kesengajaan. Berpijak pada kewenangan yang
dimiliki oleh PPAT dalam hal pembuatan akta otentik, seorang PPAT diharuskan
selalu mengambil sikap cermat atau hati-hati dalam menghadapi setiap kasus,
mengingat seorang PPAT telah memiliki kemampuan profesional baik secara
teoritis maupun praktis. Dengan demikian apabila seorang PPAT melakukan
kealpaan dalam pembuatan akta, dan mengakibatkan akta tersebut cacat hukum
maka dapat dikatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang, karena PPAT
bersangkutan menyadari bahwa sebagai pejabat umum yang diberikan
kewenangan oleh undang-undang, maka setiap PPAT dituntut untuk menangani
suatu kasus yang berkaitan dengan wewenangnya, dan tidak dapat dilepaskan dari
tuduhan adanya penyalahgunaan wewenang. Keadaan penyalahgunaan wewenang
ini akan semakin jelas apabila terdapat unsur merugikan yang diderita oleh salah
satu atau para pihak yang tampak pada saat dibatalkannya akta PPAT yang
dibuatnya sebagai konsekuensi final dari akta yang mengalami cacat hukum.
Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau
kelalaiannya dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang dari syarat formil
dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, maka PPAT dapat dikenakan
sanksi administratif. Berdasarkan Perka BPN 1/2006, penyimpangan terhadap
syarat formil dan materil tersebut adalah termasuk pelanggaran berat oleh PPAT
yang dapat dikenakan sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya
oleh Kepala Badan Pertanahaan Nasional Indonesia.
Pertanggungjawaban secara administratif juga ditentukan pada Pasal 62 PP
No. 24 Tahun 1997, yaitu:
127
PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuanketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40
serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang
ditunjuk dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai
pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi
kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita
kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut.
Sanksi administratif yang diberikan kepada PPAT karena melanggar
ketentuan yang berlaku dalam menjalankan jabatannya dapat mengakibatkan
PPAT diberhentikan dari jabatannya. Pemberhentian PPAT dapat terjadi
dikarenakan dalam menjalankan tugas jabatannya melakukan pelanggaran ringan
maupun berat. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, dikenakan
tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai dengan pemberhentian
jabatannya sebagai PPAT (Pasal 10 PJPPAT), juga ditetapkan dalam Pasal 6 ayat
(1) Kode Etik IPPAT, yakni bagi anggota yang melakukan pelanggaran Kode Etik
dapat dikenai sanksi berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
Teguran;
Peringatan;
Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan IPPAT;
Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan IPPAT;
Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan IPPAT.
Penjatuhan sanksi-sanksi tersebut disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas
pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut (Pasal 6 ayat (2) Kode Etik IPPAT).
Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala
Badan Pertanahan Nasional (Pasal 65 Jo. Pasal 1 angka 10 Perka BPN 1/2006).
Tanggung jawab PPAT secara administratif ini, termasuk didalamnya
adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan tambahan PPAT
yang diberikan oleh undang-undang perpajakan. Berkaitan dengan hal itu PPAT
128
dapat dikenai sanksi administratif berupa denda terhadap pelanggaran Pasal 91
ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah,
yang secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat
menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah
Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”. Sebagai akibat dari
perbuatan tersebut, maka PPAT dapat dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 93, yaitu:
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi
pelayanan lelang negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk
setiap pelanggaran.
Jadi, sanksi yang dapat mengancam PPAT yang membuat akta tidak sesuai
dengan syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau tata cara pembuatan
akta PPAT adalah sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan
pengenaan denda administratif.
3.2.2 Tanggung Jawab Secara Keperdataan.
Pertanggungjawaban PPAT terkait kesengajaan, kealpaan dan/atau
kelalaiannya dalam pembuatan akta jual beli yang menyimpang dari syarat formil
dan syarat materil tata cara pembuatan akta PPAT, tidak saja dapat dikenakan
sanksi administratif tapi juga tidak menutup kemungkinan dituntut ganti kerugian
oleh para pihak yang merasa dirugikan.
Berkaitan dengan kesalahan (beroepsfout) dari PPAT, maka harus ditelaah
mengenai bentuk dari kesalahan tersebut, yakni apakah kesalahan tersebut
merupakan wanprestasi ataukah perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
129
daad). Pendapat yang umum dianut bahwa, wanprestasi terjadi apabila didahului
dengan adanya perjanjian, sedangkan jika tidak ada kaitannya dengan perjanjian
maka bentuk pelanggarannya disebut perbuatan melanggar hukum atau
onrechtmatige daad. Berpijak pada prinsip umum tersebut, maka Penulis
berasumsi bahwa perbuatan PPAT yang telah menyebabkan sebuah akta menjadi
cacat hukum dapat dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum, mengingat
antara PPAT dengan klien atau pihak yang berkaitan dalam akta tidak pernah
ditemui adanya perjanjian.
Dalam menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai melanggar
hukum, diperlukan 4 syarat :
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
c. Bertentangan dengan kesusilaan;
d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.171
Untuk adanya suatu perbuatan melanggar hukum tidak disyaratkan adanya
keempat kriteria itu secara kumulatif, namun terpenuhinya salah satu kriteria
secara alternatif, sudah cukup terpenuhi pula syarat untuk suatu perbuatan
melanggar hukum. Sanksi perdata dijatuhkan kepada PPAT atas perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad), yakni perbuatan yang menimbulkan
kerugian, dan secara normatif perbuatan tersebut tunduk pada ketentuan Pasal
1365 KUHPerdata, yang berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
171
Rosa Agustina, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 117.
130
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Menurut Roscoe Pound, hukum melihat ada tiga pertanggungjawaban atas
delik yaitu:
a. Pertanggungjawaban atas perugian yang disengaja;
b. Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak disengaja;
c. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan
karena kelalaian serta tidak disengaja.172
Sedangkan J.H. Nieuwenhuis menyatakan tanggung jawab timbul karena adanya
perbuatan melanggar hukum onrechtmatige daad dan merupakan penyebab
oorzaak timbulnya kerugian, sedangkan pelakunya yang bersalah yang disebut
schuld, maka orang itu harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut,173
Berkaitan dengan pembuatan akta PPAT yang mengalami cacat hukum,
yang banyak ditemukan adalah PPAT yang bersangkutan kurang begitu
memperhatikan dan menerapkan secara konsisten aturan-aturan yang ada dan
sebaliknya sangat jarang ditemukan adanya unsur kesengajaan untuk merugikan
para pihak atau pihak ketiga. Merujuk pada uraian sub-bab sebelumnya, Penulis
mengemukakan bahwa terdapat praktek-praktek yang secara umum sering
dilakukan oleh PPAT dikarenakan berbagai macam faktor, misalnya karena faktor
waktu dan kesibukan dengan alasan efisiensi waktu, kedekatan relasi dan rasa
saling percaya yang sangat tinggi antara sesama PPAT dan antara para pihak
dengan PPAT, maupun karena adanya suatu situasi yang mengharuskan PPAT
172
173
Roscoe Pound, Loc.cit.
J.H. Niewenhuis, Loc.cit.
131
untuk melakukan pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai dengan tata cara
pembuatan akta PPAT tersebut. Kesemua faktor tersebut terkadang tidak disadari
dan tidak disengaja bahkan bilamanapun ada yang disadari dan disengaja oleh
PPAT sendiri maupun para pihak, unsur kesengajaan untuk memberikan suatu
akibat yang merugikan salah satu penghadap maupun para penghadap sangatlah
kecil atau jarang ditemukan. Disisi lain, bilamanapun tidak ditemukan unsur
kesengajaan hal ini berarti terdapat kekurang-hati-hatian karena ketidakcermatan
atau ketidaktelitian atau kealpaan dari PPAT bersangkutan, dan sangat jarang pula
ditemukan unsur merugikan dari kealpaan tersebut.
Namun apabila dalam pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT berkaitan
dengan kewajiban seorang PPAT untuk mewujudkan akta otentik yang
berkekuatan pembuktian sempurna, mengandung cacat hukum, yang kemudian
oleh suatu putusan pengadilan dinyatakan tidak otentik karena syarat-syarat formil
dan materil dari prosedur pembuatan akta PPAT tidak dipenuhi, sehingga menjadi
akta dibawah tangan atau bahkan dinyatakan batal, atau menjadi batal demi
hukum, dan mengakibatkan suatu kerugian, maka terhadap kejadian tersebut
menjadi bertentangan dengan kewajiban hukum bagi PPAT, dan PPAT tersebut
bertanggung jawab atas kerugian itu.
Di samping bertentangan dengan kewajiban hukum bagi PPAT, juga
disebabkan karena melanggar hak subyektif orang lain. Menurut Meyers,
sebagaimana dikutip oleh Rachmat Setiawan, mengemukakan bahwa “Hak
Subyektif menunjuk kepada suatu hak yang diberikan oleh hukum kepada
132
seseorang secara khusus untuk melindungi kepentingannya.” 174 Dalam hal ini
terhadap kasus pembuatan akta PPAT yang mengandung cacat hukum, akan
mengakibatkan kesulitan bagi pihak klien atau orang yang berhak atas akta untuk
melaksanakan haknya. Hak klien yang dijamin undang-undang selaku yang
berhak atas akta adalah hak untuk mempergunakan akta tersebut sebagai alat bukti
haknya yang sah, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat meneguhkan atau
mendalilkan haknya, bahkan membantah hak orang lain. Dengan demikian apabila
akta PPAT yang dibuat sebagai dasar peralihan hak atas tanah tersebut,
dinyatakan batal oleh putusan pengadilan, dan mengakibatkan klien PPAT
tersebut
tidak
mendapatkan
hak
atas
akta
otentik,
atau
tidak dapat
mempergunakan akta tersebut sebagaimana layaknya peran dan fungsi sebuah
akta otentik, sehingga klien yang seharusnya sebagai pemegang hak menjadi tidak
dapat melaksanakan haknya, maka PPAT bersangkutan bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan
Ganti rugi karena perbuatan melanggar hukum adalah suatu bentuk ganti
rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada
pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan
karena adanya perjanjian. Sedangkan bentuk ganti rugi yang dikenal dalam hukum
perdata ada 2 (dua) macam, yaitu :175
a. Ganti rugi umum, yaitu ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus karena
perbuatan melawan hukum berupa biaya, rugi dan bunga. Ganti rugi
secara umum diatur dalam Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252
KUHPerdata.
174
Rachmat Setiawan, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar
Hukum, Cet-1, Binacipta, Bandung, hal. 70.
175
Munir Fuady II, Op.cit, hal.134.
133
b. Ganti rugi khusus yang hanya dapat timbul dari perikatan-perikatan
tertentu.
Pada perbuatan melanggar hukum bentuk ganti rugi berbeda dengan ganti
rugi atas wanprestasi, dan terbuka kemungkinan ganti rugi dalam bentuk lain
selain sejumlah uang. Mengenai penggantian kerugian dalam bentuk lain dapat
dilihat dalam pertimbangan dari sebuah Hoge Raad, yang selengkapnya
dirumuskan :176
Pelaku perbuatan melanggar hukum dapat dihukum untuk membayar
sejumlah uang selaku pengganti kerugian yang ditimbulkannya kepada pihak
yang dirugikannya, tetapi kalau pihak yang dirugikan menuntut ganti rugi
dalam bentuk lain, dan hakim menganggap sebagai bentuk ganti rugi yang
sesuai, maka pelaku tersebut dapat dihukum untuk melakukan prestasi yang
lain demi kepentingan pihak yang dirugikan yang cocok untuk
menghapuskan kerugian yang diderita.
Penulis menyimpulkan bahwa sebagai akibat dari adanya kesalahan karena
kesengajaan maupun kelalaian berupa kekurang-hati-hatian, ketidakcermatan dan
ketidaktelitian dalam pelaksanaan kewajiban hukum bagi PPAT dalam pembuatan
akta jual beli tanah, sehingga menyebabkan pelaksanaan hak subyektif seseorang
menjadi terganggu, apabila menimbulkan suatu kerugian bagi para pihak, maka
PPAT bersangkutan harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang
diderita oleh para pihak tersebut dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan
bunga. Penentuan bahwa akta tersebut terdegradasi menjadi akta dibawah tangan
maupun dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum, dan menjadi suatu delik
perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, harus didasari dengan
adanya suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap,
sehingga apabila ada pihak-pihak yang menuduh atau menilai, bahwa akta PPAT
176
J.H. Nieuwenhuis, Op.cit, hal. 134.
134
tersebut palsu atau tidak benar karena telah terjadi penyimpangan terhadap syarat
materil dan formil dari prosedur pembuatan akta PPAT (aspek formal), maka
pihak tersebut harus membuktikan tuduhan atau penilaian sendiri melalui proses
hukum gugatan perdata bukan dengan cara mengadukan PPAT kepada pihak
kepolisian.
3.2.3 Tanggung Jawab Secara Pidana.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang
seorang PPAT telah membuat surat palsu atau memalsukan akta dengan
kualifikasi sebagai suatu tindak pidana. Syarat materil dan syarat formil dari
prosedur pembuatan akta PPAT merupakan aspek-aspek formal yang harus dilalui
dalam pembuatan akta jual beli tanah berkaitan dengan tugas jabatan PPAT.
Penulis berpendapat bahwa penyimpangan terhadap syarat materil dan formil dari
prosedur pembuatan akta PPAT harus dilihat berdasarkan batasan-batasan dari
aspek formal tersebut yang mana telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan yang terkait dengan ke-PPAT-an. Artinya apabila seorang PPAT
melakukan pelanggaran dari aspek-aspek formal, maka sanksi yang dapat dijatuhi
adalah sanksi perdata dan sanksi administratif tergantung pada jenis
pelanggarannya atau sanksi kode etik IPPAT, sehingga pengkualifikasian
pelanggaran aspek formal tersebut sebagai suatu tindak pidana merupakan suatu
tindakan tanpa dasar hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
135
Menurut Habib Adjie sebagaimana Penulis sadur dengan metode
penalaran analogi, mengemukakan bahwa aspek-aspek formal dari suatu akta
PPAT dapat dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan PPAT, jika :177
a. Aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh
kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh PPAT yang
bersangkutan) bahwa akta yang dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan
suatu tindak pidana;
b. PPAT secara sadar dan sengaja untuk secara bersama-sama dengan para
pihak yang bersangkutan melakukan suatu tindakan hukum yang
diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap PPAT dapat dilakukan sepanjang batasanbatasan sebagaimana tersebut dilanggar, artinya disamping memenuhi rumusan
pelanggaran yang tersebut dalam peraturan perundang-undangan terkait ke-PPATan, Kode Etik IPPAT juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menurut Habib Adjie, adapun perkara pidana yang berkaitan dengan aspek
formal akta Notaris/PPAT dalam pembuatan akta otentik adalah sebagai
berikut:178
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang
dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP);
2. Melakukan pemalsuan terhadap akta otentik (Pasal 264 KUHP);
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik (Pasal 266
KUHP);
4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Jo.
Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP);
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan
surat palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 263 ayat
(1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP).
177
178
Habib Adjie I, Op. cit, hal. 124.
Habib Adjie I, Op. cit, hal. 76.
136
Pengertian kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana merupakan
perbuatan yang diisyafi, dimengerti dan diketahui sebagai demikian, sehingga
tidak ada unsur salah sangka atau salah paham.179 Sedangkan kealpaan (culpa)
adalah perbuatan yang terjadinya karena sama sekali tidak terpikirkannya akan
adanya akibat itu atau oleh karena tidak memperhatikannya, dan ini disebabkan
kurang hati-hati, dan perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajibannya.180
Moeljatno berpendapat bahwa kesengajaan (dolus) menurut hukum pidana
merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan,
sedangkan kealpaan atau kelalaian (culpa) adalah kekurang perhatian pelaku
terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang
dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya adalah
sama dengan kesengajaan, hanya berbeda gradasinya saja. 181 Menurut Wirjono
Prodjodikoro, bahwa kesengajaan adalah penting sekali di dalam hukum pidana,
karena sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet,
bukan unsur culpa. Ini layak, karena biasanya yang pantas mendapat hukuman
pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.182
Adapun beberapa contoh kasus dari perbuatan yang termasuk kualifikasi
tindak pidana dari seorang PPAT, antara lain :183
a. Perbuatan seseorang membuat seorang Notaris/PPAT, mencantumkan
suatu keterangan didalam akta perjanjian yang dibuat dihadapannya
tentang terjadinya suatu perjanjian jual beli tanah berikut rumah yang
179
Moeljatno, Op.cit, hal. 166.
Roeslan Saleh, Op. cit, hal 125.
181
Moeljatno, Op.cit, hal. 199.
182
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
Edisi Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 65-66
183
Sjaifurrachman, Op. cit, hal. 219-220.
180
137
berdiri diatasnya dengan hak untuk membeli kembali, padahal yang
terjadi antara para pihak ialah suatu perjanjian hutang-piutang.
b. Perbuatan seseorang membuat seorang Notaris/PPAT mencantumkan
didalam akta jual beli yang dibuat dihadapannya suatu perjanjian jual beli
atas sebidang tanah berikut rumah yang berdiri diatasnya dengan harga
Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), padahal yang sebenarnya
terjadi bukanlah suatu perjanjian jual beli tanah berikut rumah, melainkan
hanya maksud salah satu pihak untuk membuat tanah berikut rumah
tersebut seolah-olah telah dibeli oleh pihak lain dengan maksud untuk
menyelamatkan tanah berikut rumah tersebut dari kemungkinan
dimintakan sita jaminan kepada Pengadilan Negeri oleh pihak ketiga yang
mempunyai piutang kepada pemilik tanah dan rumah tersebut.
c. Perbuatan seseorang membuat seorang PPAT mencantumkan suatu
keterangan tentang telah dilakukannya suatu jual beli tanah seluas 3
hektar antara orang tersebut dengan orang lain dengan harga sebesar Rp.
25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah), padahal tanah tersebut telah
dijual dengan harga Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Pada contoh pertama dan kedua perbuatan hukum para pihak untuk
melakukan perjanjian jual beli hak atas tanah berikut rumah kiranya sudah jelas
bahwa akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT mempunyai fungsi untuk
membuktikan kebenaran telah dilakukannya suatu perjanjian jual beli dengan hak
untuk membeli kembali atas sebidang tanah berikut sebuah rumah yang berdiri
diatas tanah tersebut, akan tetapi karena yang sebenarnya terjadi antara para pihak
ialah suatu perjanjian hutang piutang, maka keterangan yang diberikan oleh
pelaku itu sudah jelas merupakan suatu keterangan palsu.
Demikian pula pada contoh ketiga, suatu akta jual beli yang dibuat
dihadapan seorang Notaris/PPAT itu bukan hanya mempunyai kegunaan untuk
membuktikan bahwa pihak-pihak tertentu telah memberikan keteranganketerangan tertentu dihadapan Notaris/PPAT, melainkan juga bahwa mereka itu
telah mengadakan suatu perikatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1458
KUHPerdata yang merumuskan : “jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua
138
belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang
kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan itu belum diserahkan,
maupun harganya belum dibayar”. Akan tetapi akta jual beli tersebut juga
membuktikan tentang besarnya nilai jual beli atau transaksi, sehingga akta
Notaris/PPAT juga mempunyai kegunaan untuk membuktikan kebenaran dari
nilai jual beli yang telah dikemukakan oleh para pihak, sehingga pada kasus
contoh ketiga diatas pelakunya dikenai ancaman yang tertuang pada Pasal 266
ayat (1) KUHP.
Pelanggaran terhadap Pasal 266 ayat (1) KUHP hanya dapat disangkakan
kepada Notaris/PPAT manakala Notaris/PPAT mengetahui bahwa keterangan
yang diminta para pihak untuk dimasukkan dalam akta tidak benar atau seolaholah keterangannya sesuai dengan kebenaran, dan jika karenanya dapat
menimbulkan kerugian, tetapi Notaris/PPAT tetap bersedia membuatkan akta
tersebut, maka Notaris/PPAT dalam hal ini dapat dijerat telah melakukan
kejahatan Pasal 266 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 56 ayat (1) KUHP, dengan ancaman
maksimal pidananya yang dapat dijatuhkan untuk perbuatan membantu kejahatan
Pasal 266 ayat (1) KUHP dikurangi sepertiganya Pasal 57 ayat (1) KUHP.184
Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
Penulis
berpendapat,
seorang
Notaris/PPAT tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana atas akta yang
dibuatnya apabila Notaris/PPAT bersangkutan telah melakukan tugasnya sesuai
dengan prosedur sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang terkait. Hal ini dilegitimasi dalam Pasal 266 KUHP, dimana seorang
184
Pasal 57 ayat (1) KUHP : Dalam hal pembantuan, maksimum pidana
pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
139
Notaris/PPAT tidak bisa dikenakan pidana atas dasar Pasal 266 KUHP ini apabila
ia telah menjalankan tugasnya dengan benar. Pada Pasal 266 KUHP menunjukkan
bahwa posisi seorang Notaris/PPAT adalah orang yang disuruh (manus ministra)
dan
dalam
hukum
pidana
orang
yang
disuruh
tidak
bisa
diminta
pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Di sisi lain seorang Notaris/PPAT
dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas akta yang dibuatnya berdasarkan
Pasal 263 dan 264 KUHP jika :
a. Notaris/PPAT mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap
kepadanya untuk membuat akta otentik, baik berupa perikatan untuk jual
beli atau perikatan lainnya, orang tersebut tidak bisa memenuhi syaratsyarat sahnya suatu perikatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Namun Notaris/PPAT tidak mengindahkan syarat-syarat
sahnya perikatan tersebut dan tetap membuat akta sesuai yang diminta
oleh para penghadap;
b. Notaris/PPAT tidak mengindahkan dan tetap saja membuat suatu akta
otentik padahal ia mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap
kepadanya untuk membuat akta otentik tersebut, telah memberikan
keterangan-keterangan tidak benar untuk dicantumkan di dalam akta
tersebut.
Penulis berpendapat, untuk menghindari terjerat didakwa melakukan suatu
tindak pidana Pasal 266 ayat (1) KUHP, baiknya sejak awal para penghadap
mengutarakan dengan tegas niatnya untuk melakukan jual beli, dengan terlebih
dahulu Notaris/PPAT mengingatkan para penghadap bahwa :
a. Apabila ingin mencantumkan dalam akta harga yang lain dari pada harga
yang sebenarnya, penghadap sekali-kali jangan memberitahukan hal itu
kepada Notaris/PPAT atau pegawai kantor Notaris/PPAT, artinya
penghadap harus dilarang memberitahu Notaris/PPAT bahwa harga yang
sesungguhnya berbeda dengan harga yang ingin dicantumkan dalam
akta;
b. Apabila penghadap sudah terlanjur memberitahukan adanya perbedaan
harga tersebut sebaiknya Notaris/PPAT menolak membuatkan akta bagi
penghadap bersangkutan;
140
c. Memberitahu penghadap, bahwa apabila dikemudian hari ketahuan
bahwa harga yang tercantum dalam akta tidak benar, ada kemungkinan
yang bersangkutan kelak dijerat Pasal 266 ayat (1) KUHP.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
seorang PPAT tidak dapat dikenakan Pasal 266 ayat (1) KUHP. Hal ini
dikarenakan dalam Pasal 266 ayat (1) tersebut, terdapat unsur menyuruh. PPAT
dalam pembuatan akta jual beli hanya merupakan media (alat) untuk lahirnya
suatu akta otentik, sedangkan inisiatif timbul dari para penghadap, sehingga dalam
hal ini PPAT adalah pihak yang disuruh dan bukan pihak yang menyuruh. Namun,
apabila seorang PPAT telah dengan sengaja dan diinsyafi atau disadari bekerja
sama dengan penghadap, maka PPAT dapat dikenakan Pasal 263 ayat (1) KUHP
yang dikaitkan dengan Pasal 55 (1) KUHP, yaitu turut serta melakukan tindak
pidana. Selain itu, karena produk yang dihasilkan oleh PPAT adalah berupa akta
otentik, maka PPAT dikenakan pemberatan yaitu sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 264 ayat (1) huruf a KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Dalam bentuk bagan hubungan antara akibat hukum dari pembuatan akta
PPAT yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT dengan tanggung
jawab PPAT atas akta jual beli tanah yang dibuatnya mengandung cacat hukum
dapat digambarkan sebagai berikut :
Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap
Syarat Formil
Penyimpangan terhadap syarat formil dari
prosedur atau tata cara pembuatan akta PPAT,
baik disengaja maupun karena kealpaan dan/atau
kelalaian dari PPAT bersangkutan, maka akta
otentik dapat turun atau terdegradasi kekuatan
pembuktiannya dari mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna menjadi hanya
mempunyai kekuatan pembuktian selayaknya
akta dibawah tangan, jika pejabat umum yang
Tanggung
Jawab
Administratif
Sanksi
administratif
yang dapat
dikenakan
yakni berupa
teguran tertulis
sampai dengan
pemberhentian
jabatannya
Tanggung Jawab
Perdata
Tanggung Jawab
Pidana
Sanksi perdata
dikenakan
sepanjang
berubahnya atau
terjadinya
degradasi dari
akta otentik
menjadi akta
dibawah tangan
Sanksi pidana
dapat dikenakan
apabila seorang
PPAT telah
dengan sengaja
dan diinsyafi
atau disadari
bekerja sama
dengan
141
membuat akta itu tidak berwenang untuk
membuat akta tersebut atau jika akta tersebut
cacat dalam bentuknya.
Akibat Hukum Penyimpangan Terhadap
Syarat Materil
1. Akta PPAT dapat dibatalkan apabila syarat
materil prosedur atau tata cara pembuatan
akta PPAT didasarkan pada ketidakcakapan
seseorang untuk melakukan tindakan hukum
(handelingsonbekwaamheid).
2. Akta PPAT dinyatkan batal demi hukum
apabila syarat materil prosedur atau tata cara
pembuatan akta PPAT didasarkan pada
ketidakwenangan seseorang untuk
melakukan tindakan hukum
(handelingsonbevoegdheid).
sebagai PPAT
oleh Kepala
Badan
Pertanahaan
Nasional
Indonesia
dan pengenaan
denda
administratif.
menimbulkan
kerugian, maka
berdasarkan
putusan
pengadilan yang
berkekuatan
hukum tetap yang
menyatakan
batalnya akta
tersebut atau tidak
mengikatnya akta
tersebut, PPAT
bersangkutan akan
dikenakan sanksi
perdata berupa
penggantian
biaya, ganti rugi
dan bunga.
penghadap untuk
turut serta
melakukan suatu
perbuatan yang
memenuhi unsur
tindak pidana.
142
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
DALAM MELAKSANAKAN TUGAS JABATANNYA
4.1 Perlindungan Hukum Terhadap PPAT Berdasarkan Peraturan Jabatan
PPAT
Aspek perlindungan hukum bagi PPAT dalam ranah peraturan perundangundangan terkait ke-PPAT-an lebih bersifat intern atau administratif. Pranata yang
dilanggar oleh seorang PPAT adalah ukuran standar profesionalisme yang
seharusnya wajib ditaati oleh semua PPAT sebagai pengemban kewenangan
negara dalam pembuatan akta otentik dibidang pertanahan. Di ranah ini
perlindungan terhadap PPAT dari putusan-putusan administratif, bertujuan untuk
memberikan jaminan bagi seorang PPAT untuk dapat membela diri dan
mempertahankan haknya atas pekerjaan sebagai seorang PPAT.
Sebagai badan atau pejabat tata usaha negara (BPN dan Majelis
Kehormatan) dalam menjatuhkan sanksi terhadap PPAT wajib mengeluarkan atau
membuat suatu keputusan (KTUN). Dan apabila PPAT tidak puas atas keputusan
tersebut, keputusan tersebut akan menjadi sengketa tata usaha negara. Dengan
demikian, upaya yang dapat dilakukan oleh PPAT, yaitu langsung mengajukan
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan atau pemeriksaan
tingkat pertama.185 Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa adanya sarana keberatan
185
Habib Adjie II, Op. cit, hal. 261-262.
142
143
(inspraak) merupakan sarana perlindungan hukum preventif. 186 Artinya dengan
adanya upaya administratif berupa banding 187 atau keberatan 188 tersebut sangat
penting dibuat sebagai tindak lanjut berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur sanksi administratif tersebut dengan maksud memberikan rasa keadilan
dan perlindungan hukum kepada PPAT untuk mengajukan pembelaan diri atas
sanksi administratif yang diterimanya.189
Sedangkan aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang bersinggungan
dengan pranata hukum pidana dan perdata lebih bersifat ekstern, artinya bahwa
PPAT selaku Pejabat Umum kepadanya melekat hak-hak istimewa sebagai
konsekuensi predikat kepejabatan yang dimilikinya. Istilah Hak Istimewa dalam
bidang
hukum
adalah
hak
khusus
atau
istimewa
yang
diberikan
kepada pemerintah atau penguasa suatu negara dan diberikan kepada seorang atau
sekelompok orang, yang terpisah dari hak-hak masyarakat menurut hukum yang
berlaku. 190 Hak-hak istimewa yang dimiliki PPAT, menjadi pembeda-perlakuan
(treatment) terhadap masyarakat biasa. Bentuk-bentuk perlakuan itu berkaitan
dengan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT, yakni
berkaitan dengan perlakuan dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan pada proses
penyidikan dan persidangan, yang harus diindahkan.
186
Philipus M. Hadjon I, Op. cit, hal. 3.
Banding Administratif adalah penyelesaian sengketa TUN dilakukan
oleh instansi atasan atau instansi lain yang mengeluarkan keputusan.
188
Keberatan Administratif adalah penyelesaian sengketa TUN dilakukan
oleh orang yang terkena sanksi administratif dengan mengajukan keberatan
kepada instansi yang mengeluarkan keputusan tersebut.
189
Habib Adjie II, Loc. cit.
190
Anonim, URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif, diakses pada
tanggal 5 Juli 2013.
187
144
4.1.1 Pengawasan Terhadap Tugas Jabatan PPAT.
Pelayanan
kepentingan
umum
merupakan
hakekat
tugas
bidang
pemerintahan yang didasarkan pada asas memberikan dan menjamin adanya rasa
kepastian hukum bagi para warga anggota masyarakat. Dalam bidang tertentu,
tugas itu oleh undang-undang diberikan dan dipercayakan kepada PPAT, yakni
tugasnya adalah membantu Kepala Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota
dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, dan kewenangannya
adalah membuat akta atas perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, sehingga masyarakat juga harus percaya
bahwa akta PPAT yang dibuat tersebut memberikan kepastian hukum bagi
warganya. Dengan demikian konsekuensi logis terhadap adanya kepercayaan
tersebut, haruslah dijamin adanya pengawasan agar tugas PPAT selalu sesuai
dengan kaidah hukum yang mendasari kewenangannya dan agar terhindar dari
penyalahgunaan kewenangan atau kepercayaan yang diberikan.
Demikian pula terhadap pejabat umum lainnya, misalnya Notaris, menurut
Paulus Effendie Lotulung, tujuan pokok dari pengawasan adalah agar segala hak
dan kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris dalam
menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang
bersangkutan, senantiasa dilakukan diatas jalur yang telah ditentukan, bukan saja
jalur hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya
pelindungan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.191
191
Paulus Effendie Lotulung I, Op. cit, hal. 65.
145
Berpijak pada penalaran Argumentum Per Analogian (Analogi), pendapat
Paulus Effendie Lotulung dapat diterapkan pada pejabat umum lainnya, dalam hal
ini PPAT. Dengan demikian diperlukan adanya mekanisme pengawasan, baik
yang bersifat preventif maupun represif, terhadap pelaksanaan tugas jabatan
PPAT. Perangkat hukum pengaturan mekanisme tersebut dijalankan atas dasar
Peraturan Jabatan PPAT, yakni pada Pasal 33 PP No. 37 Tahun 1998, yang tata
caranya atau pelaksanaannya diatur dalam Pasal 65-68 Perka BPN 1/2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998 tentang PJPPAT.
Di samping itu pengawasan terhadap PPAT diterapkan juga melalui
organisasi profesi PPAT sendiri, yakni mengacu pada Kode Etik IPPAT. Dalam
ketentuan PJPPAT tidak disebut sama sekali mengenai etika profesi atau kode etik
profesi dari PPAT. Tetapi, di dalam peraturan yang lebih lanjut yaitu Pasal 28 ayat
(2) huruf c Perka BPN 1/2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun
1998 tentang PJPPAT, disebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak
hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan (BPN) karena melanggar kode etik
profesi. Pada Pasal 69 Perka BPN 1/2006, “kode etik profesi PPAT disusun oleh
Organisasi PPAT dan/atau PPAT Sementara dan ditetapkan oleh Kepala BPN
yang berlaku secara nasional”. Organisasi PPAT saat ini adalah Ikatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (IPPAT), dalam situs resmi IPPAT (www.ippatonline.com)
dicantumkan Kode Etik Profesi PPAT yang berlaku saat ini yaitu hasil Keputusan
Kongres IV IPPAT 31 Agustus – 1 September 2007. Kewenangan pengawasan
dan penindakan Kode Etik PPAT ada pada Majelis Kehormatan yang terdiri dari
146
Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Pusat (Pasal 7 Kode Etik
IPPAT).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut sebagaimana uraian di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang berwenang melakukan
pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya adalah Badan
Pertanahan Nasional (BPN) dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT).
Adapun peranan BPN dalam hal ini adalah memberikan pembinaan dan
pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan peranan IPPAT dalam
hal ini adalah memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam
melaksanakan jabatannya sesuai dengan Kode Etik IPPAT.
Penulis berpendapat bahwa pengawasan oleh BPN dan IPPAT tersebut
pada dasarnya adalah merupakan wujud dari perlindungan hukum (bersifat intern)
terhadap PPAT itu sendiri oleh karena dengan adanya suatu pengawasan, maka
setiap PPAT dalam berperilaku dan tindakannya baik dalam menjalankan
jabatannya maupun diluar jabatannya selalu dalam koridor hukum, sehubungan
dalam menjalankan tugasnya, seorang PPAT dituntut untuk selalu berpijak pada
hukum dan regulasi yang berlaku di Indonesia, dan juga berkewajiban untuk
menjalankan tugas sesuai dengan etika yang sudah disepakati bersama dalam
bentuk Kode Etik. Kode Etik ini membatasi tindak tanduk PPAT agar dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak bertindak sewenang-wenang.
147
4.1.2 Prosedur Khusus dalam Penegakan Hukum Terhadap PPAT.
Di samping aspek perlindungan hukum secara intern berupa pembinaan
dan pengawasan sebagaimana uraian diatas, maka diperlukan pula perhatian
terhadap aspek perlindungan hukum secara ekstern, yakni yang bersinggungan
dengan ranah pidana dan perdata. PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya
rentan terjerat hukum, disamping itu aspek pelindungan hukum terhadap PPAT
merupakan perimbangan atau balance terhadap aspek pengawasan yang cukup
ketat bagi PPAT dalam menjalankan tugas jabatannya, sehingga aspek
perlindungan hukum secara ekstern ini menjadi sesuatu yang sangat penting bagi
jabatan PPAT.
Konsep perlindungan hukum terhadap PPAT tidak dapat dipisahkan dari
konsep perlindungan hukum pada umumnya. Berdasarkan konsepsi tersebut
sebagai kerangka pikir dengan mendasarkan pada Pancasila, Philipus M. Hadjon
mengemukakan bahwa prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang
bersumber pada prinsip negara hukum yang berlandaskan Pancasila.192
Merujuk pada pendapat Paulus Effendie Lotulung, sebagaimana Penulis
sarikan terlebih dahulu, bahwa aspek perlindungan hukum masih perlu dipertajam,
terutama dikaitkan dengan penerapannya dalam praktek agar menjamin
perlindungan hukum maupun ketenangan kerja bagi Notaris/PPAT didalam
menjalankan tugas dan fungsinya, dengan perkataan lain, sampai sejauh mana
kapasitas Notaris/PPAT sebagai Pejabat Umum memberikan imunitas hukum atau
192
Philipus M. Hadjon I, Op.cit. hal. 19.
148
kekebalan padanya dalam melaksanakan tugas?193 Dalam hal ini Penulis mengkaji
sampai sejauh mana Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah telah
memberikan perlindungan hukum kepada PPAT sebagai Pejabat Umum dalam
melaksanakan tugas jabatannya.
Sebelum membahas perlindungan hukum bagi PPAT, akan dibahas
perbandingan antara Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT, karena Notaris dan PPAT
adalah dua profesi yang berbeda dengan kewenangan yang juga berbeda.
Walaupun dalam keseharian banyak ditemui Notaris yang juga berprofesi sebagai
PPAT. Rangkap jabatan profesi Notaris dan PPAT memang dimungkinkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Terdapat beberapa perbedaan kewenangan antara Notaris dengan PPAT,
yakni seorang Notaris memiliki kewenangan lebih luas dibanding seorang PPAT.
Dari segi bentuk akta PPAT yang diatur dalam produk hukum berbentuk
Peraturan Menteri dan bentuk akta Notaris yang diatur dalam bentuk UndangUndang, substansinya memiliki perbedaan-perbedaan diantaranya yaitu :
a. Dalam bentuk Akta Notaris penghadap harus berusia sekurang-kurangnya 18
tahun atau telah kawin, sedangkan dalam bentuk akta PPAT penghadap harus
berusia sekurang-kurangnya harus berusia 21 tahun atau telah kawin;
b. Dalam bentuk akta Notaris adanya larangan menjadi pihak dalam akta bagi
orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah tanpa pembatasan derajat dan dalam garis samping sampai derajat ketiga
dengan Notaris dan para saksi akta. Dalam bentuk Akta PPAT adanya larangan
193
Paulus Effendie Lotulung I, Op.cit, hal. 66.
149
menjadi Pihak dalam akta bagi orang yang mempunyai hubungan darah dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan dalam garis
samping sampai derajat kedua dengan PPAT dan para saksi akta;
c. Notaris wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya
sebagai bagian dari protokol Notaris dan dari minuta, Notaris berwenang
mengeluarkan Grosse, salinan atau kutipan akta. Selain itu Notaris dapat
membuat akta tertentu dalam bentuk in originali seperti akta kuasa, yang
diberikan pada pihak yang langsung berkepentingan dan dari akta in originali
ini, Notaris tidak menyimpannya dalam protokol Notaris serta tidak berwenang
mengeluarkan grosse, salinan atau kutipan akta. Sedangkan akta PPAT dibuat
dalam bentuk in originali sebanyak 2 rangkap yaitu : Lembar pertama
sebanyak 1 rangkap oleh PPAT yang bersangkutan disimpan di Kantor PPAT,
lembar kedua sebanyak 1 rangkap atau lebih menurut banyaknya hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi obyek perbuatan hukum
dalam akta, disampaikan kepada Kantor Pertanahan untuk kepentingan
pendaftaran atau dalam hal akta tersebut mengenai pemberian kuasa
Membebankan Hak Tanggungan disampaikan kepada pemegang kuasa untuk
dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan sedangkan kepada pihakpihak yang bersangkutan diberikan salinannya.
Ditinjau dari segi perlindungan hukum terdapat prosedur khusus dalam
proses penegakan hukum khususnya dalam proses peradilan194, terhadap jabatan
194
Proses Peradilan mengacu kepada rangkaian proses untuk melakukan
pemeriksaan, dari tingkat Penyidikan (Penyidik), Penuntutan (Penuntut Umum),
dan Pengadilan (Hakim).
150
Notaris dan jabatan PPAT yang berbeda. Berdasarkan ketentuan Pasal 66 ayat (1)
UUJN, memberikan suatu prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap
jabatan Notaris yang berbunyi :
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau
hakim dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris195 berwenang :
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan
pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan
dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan
Notaris.
Sedangkan mekanisme atau prosedur khusus tersebut tidak diatur oleh PJPPAT
bagi jabatan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat
kekosongan norma berkaitan dengan prosedur khusus dalam penegakan hukum
bagi jabatan PPAT apabila ditinjau dari sudut peraturan perundang-undangan
terkait ke-PPAT-an. Salah satu konsekuensi logis dari prinsip negara hukum
adalah penerapan asas legalitas, dengan kata lain, dalam unsur negara hukum
Pancasila, asas legalitas menjadi hal yang penting terutama kaitannya dengan
aspek perlindungan hukum bagi PPAT yang sampai saat ini belum ada ketentuan
yang mengatur, karena perlindungan hukum harus dimaknai sebagai perlindungan
dengan menggunakan sarana hukum atau perlindungan yang diberikan oleh
hukum, artinya pengaturan mengenai dasar hukumnya harus jelas tertuang dalam
hukum positif.
Berpijak pada uraian diatas maka prosedur secara normatif dalam hal
PPAT yang dipanggil sebagai saksi atau tersangka diberlakukan ketentuan Pasal
195
Sebelum perubahan menjadi UU No. 2 Tahun 2014, ketentuan pada UU
No. 30 Tahun 2004 tentang UUJN menggunakan istilah Majelis Pengawas
Daerah.
151
112 KUHAP sedangkan penyitaan terhadap akta asli PPAT (minuta) dan
warkahnya hanya dapat dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri
setempat berdasarkan ketentuan Pasal 43 KUHAP.
- Pasal 112 KUHAP mewajibkan seseorang yang dipanggil oleh penyidik
guna kepentingan pemeriksaan wajib datang kepada penyidik. Bagi saksi
yang tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang sah dapat dipidana
berdasarkan ketentuan Pasal 224 KUHP, dengan ancaman pidana paling
lama 9 bulan.
- Pasal 43 KUHAP menyatakan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari
mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakan
(dalam hal ini PPAT), sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya
dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua
Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-undang menentukan lain.
Berdasarkan uraian di atas, disamping menunjukkan beberapa perbedaan,
juga menunjukkan bahwa Jabatan Notaris dan Jabatan PPAT memiliki peranan
yang sama-sama penting, yakni terdapat kesamaan urgensi dan kualifikasi, antara
lain :
1. Berwenang membuat alat bukti dengan kekuatan bukti sempurna berupa akta
otentik;
2. Dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum;
3. Diwajibkan merahasiakan isi akta, sebagaimana ditentukan dalam rumusan
sumpah jabatan.
Berpijak pada adanya kesamaan kedudukan, kualifikasi dan kewajiban
bagi jabatan Notaris dan jabatan PPAT, maka perlu dipersamakan juga bentuk
perlakuan bagi keduanya. Dengan demikian pengaturan secara normatif dalam
suatu peraturan organis tentang ketentuan yang mengharuskan izin pemeriksaan
dalam proses peradilan bagi seorang PPAT, dalam hal dipanggil sebagai saksi
152
maupun tersangka patut dipersamakan, yakni di atur dalam Peraturan Jabatan
PPAT.
Beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan pelaksanaaan tugas dan
jabatan seorang PPAT, antara lain :
1. PPAT yang diajukan dan dipanggil sebagai saksi di Pengadilan menyangkut
akta yang dibuatnya dijadikan alat bukti dalam suatu perkara;
2. PPAT yang dijadikan tergugat atau turut tergugat di Pengadilan menyangkut
akta yang dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak penggugat, berkaitan
dengan perkara perdata;
3. PPAT sebagai terdakwa dalam perkara pidana;
4. Penyitaan terhadap bundel akta yang ada pada PPAT.
Beberapa contoh kasus diatas tidak saja menimpa seseorang dalam jabatan
sebagai PPAT saja akan tetapi sering juga menimpa dalam kapasitasnya
menjalankan jabatan Notaris. Terdapat beberapa Putusan Pengadilan yang
berkaitan dengan contoh kasus diatas, antara lain :
1. Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor 63/PDT.G/2012/PN.PLG
Tahun 2012 (Notaris/PPAT ditempatkan sebagai Tergugat).196
2. Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 114/PDT/2012/PT.MDN Tahun
2012 (Notaris/PPAT ditempatkan sebagai Turut Tergugat).197
3. Putusan
Pengadilan
Negeri
Pangkajene
Nomor
07/PDT.G/2011/PN.Pangkajene Tahun 2011 (Notaris/PPAT ditempatkan
sebagai Saksi).198
4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 303 K/Pid/2012 Tahun 2012
(Notaris/PPAT ditempatkan sebagai Terdakwa).199
196
http://cts.pn-palembang.net/perdata_gugatanview.php?id=3526
http://www.pt-medan.go.id/putusan/PUTUS_114Pdt2012PTMdn.pdf
198
http://www.pn-pangkajene.go.id/index.php/putusan/perdata/20-07pdtg2011pn-pangkajene
199
http://putusan.mahkamahagung.go.id/main/pencarian/?q=303+K%2FPi
d%2F2012
197
153
Berpijak pada uraian di atas Penulis berpendapat, PPAT sebagai Pejabat
Umum dalam menjalankan jabatannya seharusnya diberikan perlindungan hukum,
berkaitan dengan :
1. Untuk tetap menjaga keluhuran harkat dan martabat jabatannya termasuk
ketika memberikan kesaksian dan berproses dalam pemeriksaan dan
persidangan;
2. Merahasiakan akta dan keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta;
3. Menjaga Minuta Akta PPAT dan warkah pendukung akta yang dilekatkan
pada minuta akta atau protokol PPAT dalam penyimpanan PPAT.
Penulis juga berpendapat walaupun PJPPAT tidak mengatur secara
eksplisit mengenai prosedur khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT akan
tetapi secara prosedur etik, pemanggilan tersebut minimal atau tetap harus
diberitahukan Majelis Kehormatan Daerah sebagai pengawas PPAT, dan/atau
apabila pihak kepolisian dalam hal ini penyidik hendak meminta keterangan dari
PPAT, akan lebih bijak pihak penyidik yang datang ke kantor. Di sisi lain menjadi
kewajiban formal dan terstruktur dari IPPAT untuk mendampingi atau melakukan
pendampingan kepada PPAT yang dipanggil untuk memenuhi panggilan penyidik,
kejaksaan dan hakim. Berkaitan dengan hal tersebut hendaknya segera
dikeluarkan Peraturan Kepala BPN RI perihal pemanggilan PPAT maupun
penyitaan minuta akta PPAT untuk menghindari kesemenaan dari oknum tertentu.
154
4.2 Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar PPAT
Pembahasan mengenai perlakuan dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan
pada proses penyidikan dan persidangan terhadap PPAT telah dijabarkan pada
uraian diatas, dimana dalam hal seorang PPAT dipanggil sebagai saksi atau
tersangka diberlakukan ketentuan Pasal 112 KUHAP. Pembahasan selanjutnya
adalah mengenai “hak istimewa” yang diatur secara implisit oleh peraturan
perundang-undangan bagi jabatan tertentu salah satunya jabatan PPAT yakni
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari
seorang PPAT.
Berdasarkan uraian sub bab di atas Penulis berpendapat bahwa, walaupun
perlindungan hukum berupa keharusan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim
memperoleh persetujuan Majelis Kehormatan Daerah untuk memanggil PPAT
dalam rangka proses peradilan tidak diatur secara eksplisit dalam suatu ketentuan
peraturan perundang-undangan terkait ke-PPAT-an tidaklah menghilangkan hak
istimewa lainnya yakni “Kewajiban Ingkar dan Hak Ingkar”, oleh karena itu
jabatan PPAT sebagai Pajabat Umum dalam menjalankan jabatannya tetap
terlindungi.
Dalam praktek sering terjadi apabila terjadi perselisihan diantara para
pihak penjual maupun pembeli, seringkali seorang PPAT dilibatkan sebagai saksi
dimuka pengadilan dalam proses perkara dimana oleh salah satu pihak atau lebih
menggunakan suatu akta PPAT sebagai alat bukti, atau bahkan dilibatkan sebagai
tergugat dua, tiga atau empat dalam perkara perdata dimuka Pengadilan.
Sedangkan apabila seorang PPAT dilibatkan sebagai tergugat, pada umumnya
155
didasari karena PPAT bersangkutan yang membuat aktanya, dan tidak ada
kaitannya dengan apa yang menjadi materi pokok dari perjanjian yang menjadi
materi perkara itu.
Berkaitan dengan hal tersebut ada sebagian dari para PPAT yang
menganut pendirian, bahwa apabila PPAT dipanggil oleh pihak Pengadilan
sebagai saksi dalam perkara dimana aktanya dipergunakan sebagai alat bukti tidak
perlu bahkan dikatakan tidak ada kewajiban untuk hadir, mengingat adanya
sumpah rahasia jabatannya (kewajiban ingkar). Menurut Liliana Tedjosaputro,
salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan dan dipegang teguh oleh para
profesional adalah menyimpan dan/atau memegang rahasia jabatan. Hal ini
merupakan pelaksanaan dari confidential profession (jabatan kepercayaan) yang
telah diberikan oleh masyarakat, khususnya klien. Rahasia ini tetap dijaga,
meskipun hubungan profesional dengan kliennya telah berakhir.200
Menurut Oemar Seno Adji sebagaimana dikutip oleh Liliani Tedjosaputro,
menyatakan bahwa rahasia jabatan (beroepgeheim) dari seorang Advokat
bukanlah sekedar ketentuan etik semata, melainkan persoalan beroepgeheim
tersebut juga merupakan suatu ketentuan hukum yang dapat ditegakkan pada
Pengadilan. 201 Hal ini berkaitan dengan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) dari
seorang Advokat yang bersumber pada Pasal 170 KUHAP yang memberikan
kebebasan untuk bersaksi bagi mereka yang karena jabatannya, harkat, martabat
dan pekerjaannya harus menyimpan rahasia.
200
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka
Ilmu, Semarang, hal. 80.
201
Ibid, hal. 81.
156
Ketentuan Pasal 170 KUHAP memberikan pengecualian, bagi seseorang
yang diminta untuk memberikan keterangan sebagai saksi dapat menggunakan
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht). Hal
yang sama juga diatur dalam Het herziene Indonesisch Reglement (HIR) pada
Pasal 146 ayat (1) angka 3 dan Pasal 277 ayat (1) HIR Dengan ketentuan tersebut
maka seseorang dapat menggunakan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan
Hak Ingkar (Verschoningsrecht) apabila dihadapkan sebagai saksi baik di muka
pengadilan maupun penyidik.
Dengan demikian dapat disimpulkan, berpijak dari pendapat tersebut,
dapat pula dimasukkan sebagai kategori rahasia jabatan yang wajib disimpan oleh
Notaris, PPAT, Advokat, Jaksa, Polisi dan Hakim merupakan suatu ketentuan
hukum yang didasarkan pada etika profesinya. Apabila dikaitkan dengan
peraturan perundang-undangan, maka tindakan membocorkan rahasia, secara
materil didasarkan pada Pasal 322 ayat (1) KUHP dan Pasal 1909 ayat (3)
KUHPerdata dan bahkan apabila terdapat unsur pencemaran nama baik dapat
dilihat pada pasal-pasal perbuatan melanggar hukum dalam KUHPerdata.
Pasal 322 ayat (1) KUHP menentukan “Barangsiapa dengan sengaja
membuka suatu rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya
yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.” Sedangkan
Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata menentukan “Segala siapa yang karena
kedudukannya,
pekerjaannya
atau
jabatannya
menurut
undang-undang,
157
diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal
yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”
Selanjutnya secara formil atau hukum acara, didasarkan pada Pasal 170
KUHAP untuk proses acara pidana, dan dalam Pasal 277 ayat (1) HIR Jo. 146
ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata. Dalam ketentuan Pasal 170
KUHAP menetukan sebagai berikut :
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang
dipercayakan kepada mereka;
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan
tersebut.
Sedangkan untuk proses acara perdata ditentukan dalam Pasal 277 ayat (1) HIR,
“Orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan
menyimpan rahasia, boleh minta dibebaskan daripada memberi penyaksian; akan
tetapi hanya tentang hal itu saja, yang diberitahukan kepadanya karena
martabatnya, pekerjaan atau jabatannya itu”, Juncto Pasal 146 ayat (1) angka 3
HIR “Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaan atau jabatan syah
diwajibkan menyimpan rahasia akan tetapi hanya semata-mata mengenai
pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau
jabatannya itu”.
Sebagaimana uraian di atas, PPAT sebagai jabatan kepercayaan wajib
untuk menjaga rahasia yang dipercayakan orang yang menggunakan jasa PPAT
kepadanya. Sama halnya dengan profesi Notaris maupun Advokat, rahasia jabatan
tidak sekedar merupakan ketentuan etik, melainkan pula menjadi asas hukum
yang memberikan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar
158
(Verschoningsrecht).
Hal
ini
bermakna
disamping
berkewajiban
untuk
merahasiakan isi akta baik karena hukum formal (Pasal 170 KUHAP dan Pasal
277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR) maupun hukum materil (Pasal 322
ayat (1) KUHP dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata), juga untuk menjaga
martabatnya sebagai seorang Notaris/PPAT yang tentunya menjadi tidak
dipercaya, apabila Notaris/PPAT tersebut tidak bisa menjaga rahasia kliennya.
Hak untuk tidak membuka rahasia didasarkan atas kepercayaan yang
diberikan oleh klien untuk kepentingan suatu jabatan. Menjadi kewajiban untuk
tidak membuka rahasia didasarkan pada sumpah jabatan dan Kode Etik IPPAT
yang memberikan sanksi bagi PPAT yang membuka rahasia. Dalam hukum
pidana Pasal 322 ayat (1) KUHP memberikan ancaman pemidanaan bagi wajib
penyimpan rahasia yang membuka rahasia pekerjaan atau jabatannya. Sedangkan
dalam kedudukan sebagai saksi pada perkara perdata PPAT dapat minta
dibebaskan dari kewajibannya untuk memberikan kesaksian, karena jabatannya
menurut undang-undang diwajibkan untuk merahasiakannya (Pasal 1909 ayat (3)
KUHPerdata).
Menurut pendapat Van Bemmelen yang dikutip oleh G.H.S. Lumban
Tobing mengatakan bahwa ada 3 dasar untuk dapat menuntut penggunaan
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht)
dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht)
yakni:202
1. Hubungan keluarga yang sangat dekat;
202
G. H. S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. ke-5,
Erlangga, Jakarta, hal. 120.
159
2. Bahaya
dikenakan
hukuman
pidana
(gevaar
voor
strafrechtelijke
veroordeling);
3. Kedudukan pekerjaan dan rahasia jabatan.
Meskipun PPAT memiliki hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi,
karena
jabatannya
ia
wajib
merahasiakan,
hendaknya
PPAT
perlu
mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya sebelum ia memutuskan untuk
menggunakan
Kewajiban
Ingkar
(Verschoningsplicht)
dan
Hak
Ingkar
(Verschoningsrecht) atau tidak, karena sebagai saksi PPAT diharapkan dapat
membantu mengusut perkara yang sedang diperiksa, disamping itu terdapat
pengecualian apabila menurut undang-undang diperintahkan untuk menggugurkan
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningsrecht)
tersebut.
Mernurut Mr. C. Asser yang dikutip G.H.S. Lumban Tobing
203
mengatakan bahwa kepada mereka yang disebut pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata
diberikan hak ingkar oleh Undang-undang bukan untuk kepentingan mereka
sendiri akan tetapi untuk kepentingan masyarakat umum. Sekalipun kepentingan
terakhir ada ditangan hakim, harus diberikan kebebasan tertentu, oleh karena
mereka adalah yang pertama harus menentukan apakah mereka akan
merahasiakan atau memberitahukan hal-hal yang mereka ketahui tersebut. Oleh
karena itu bukanlah tanpa alasan hak ingkar itu oleh undang-undang dinamakan
sebagai hak.
203
Ibid, hal. 107.
160
Tetapi akan ada suatu kondisi dilematis bagi PPAT, dimana apabila PPAT
memilih melepaskan hak dan kewajibannya untuk menyimpan rahasia dengan
konsekuensi dapat dituntut berdasarkan Pasal 322 ayat (1) KUHP, maka PPAT
bersangkutan haruslah menyiapkan diri untuk menghadapi tuntutan tersebut
dengan alasan-alasan logis dan argumentasi yuridis yang dapat menghilangkan
kesalahannya atau pertanggungjawaban pidananya. Sedangkan apabila ia
mempergunakan hak ingkarnya dengan tetap merahasiakannya maka PPAT
tersebut pun dapat dituntut berdasarkan Pasal 224 KUHP Jo. 522 KUHP sebagai
berikut :
- Pasal 224 KUHP : Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru
bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam:
(1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan;
(2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
- Pasal 522 KUHP : Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai
saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum 204 ,
diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
4.2.1 Pelaksanaan Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) oleh PPAT.
Telah menjadi suatu asas hukum publik, bahwa seorang pejabat umum,
sebelum dapat menjalankan jabatannya dengan sah, harus terlebih dahulu
mengangkat sumpah atau diambil sumpahnya, selama hal ini belum dilakukan,
maka jabatan itu tidak boleh dan tidak dapat dijalankan dengan sah. Untuk jabatan
PPAT asas ini tertuang dalam Pasal 15 ayat (1) PJPPAT, yang menentukan,
204
Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” ialah bahwa tidak
datangnya orang itu kesidang Pengadilan tidak disertai alasan yang sah misalnya
sakit, sedang bepergian keluar kota dan sebagainya. Apabila tidak hadirnya orang
itu kesidang Pengadilan karena memang disengaja maka ia dikenakan Pasal 224
KUHP.
161
bahwa: “Sebelum menjalankan jabatannya PPAT dan PPAT Sementara wajib
mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/ Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan”. Selanjutnya
mengenai isi sumpah jabatan PPAT dan PPAT Sementara, berdasarkan ketentuan
Pasal 17 ayat (2) PJPPAT, diatur didalam peraturan pelaksana PJPPAT yakni
pada Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006, yang berbunyi :
“Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945 dan Pemerintah Republik
Indonesia”.
“Bahwa Saya, akan mentaati peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan
perundang-undangan lainnya”.
“Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib,
cermat dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak”.
“Bahwa Saya, akan selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan
negara, pemerintah dan martabat PPAT”.
“Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat dihadapan
Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut sifatnya
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan”. (garis
bawah dari Penulis).
“Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara
langsung atau tidak langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak
pernah memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun
juga, demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan
sesuatu kepada siapapun juga”.
Pengaturan isi sumpah sebagaimana uraian diatas, khususnya paragraf kelima
merupakan instrumen Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) bagi PPAT, hal
ini ditegaskan pula dalam Kode Etik IPPAT, dimana seorang PPAT dalam
rangka melaksanakan tugas jabatan ataupun dalam kehidupan sehari-hari
diwajibkan “senantiasa menjunjung tinggi dasar negara dan hukum yang
berlaku serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan, kode etik dan
162
berbahasa Indonesia secara baik dan benar” (Pasal 3 huruf b Kode Etik
IPPAT).
Habib Adjie mengemukakan bahwa sumpah atau janji mengandung dua
hal yang harus dipahami, yaitu :205
1. Secara Vertikal Wajib Bertanggung Jawab kepada Tuhan
Secara vertikal kita wajib bertanggung jawab kepada Tuhan karena
sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing.
Artinya, segala sesuatu yang kita lakukan akan diminta
pertanggungjawabannya dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan.
2. Secara Vertikal Wajib Bertanggung Jawab kepada Negara dan Masyarakat
Artinya, Negara telah memberi kepercayaan kepada kita untuk
menjalankan sebagian tugas Negara dalam bidang hukum perdata, yaitu
dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan
pembuktian sempurna dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa
Notaris/PPAT mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk
akta otentik, dan percaya bahwa Notaris/PPAT mampu menyimpan
(merahasiakan) segala keterangan atau ucapan yang diberikan
dihadapannya.
Jabatan PPAT adalah adalah jabatan kepercayaan dan oleh karenanya itu
seseorang bersedia
mempercayakan sesuatu kepadanya sebagai seorang
kepercayaan. PPAT berkewajiban untuk merahasiakan semua isi akta-akta yang
dibuat dihadapannya yang menurut sifatnya dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan diharuskan untuk dirahasiakan. Sebagai suatu jabatan
kepercayaan maka dengan sendirinya melahirkan kewajiban (merahasiakan)
tersebut, dan kewajiban itu akan berakhir apabila ada suatu kewajiban menurut
hukum untuk bicara misalnya apabila seseorang dipanggil untuk memberikan
kesaksian dimuka Pengadilan baik dalam proses perdata maupun dalam proses
pidana.
205
Habib Adjie II, Op. cit, hal. 5-6.
163
Ketika PPAT dipanggil atau diminta oleh Penyidik untuk bersaksi atau
memberikan keterangan berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapannya, adalah
menjadi kewajiban hukum PPAT untuk memenuhi hal tersebut. Kemudian
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dipergunakan pada saat PPAT memenuhi
panggilan ke hadapan penyidik, PPAT dapat menyatakan akan mengunakan
Kewajiban Ingkarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) PJPPAT Jo.
Pasal 34 ayat (1) Perka BPN 1/2006. Pernyataan menggunakan Kewajiban Ingkar
tersebut akan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Pernyataan
menggunakan kewajiban ingkar tersebut semata-mata menjalankan perintah
PJPPAT, sehingga tidak perlu disertai alasan apapun.
4.2.2 Pelaksanaan Hak Ingkar (Verschoningsrecht) oleh PPAT.
Kewajiban untuk memenuhi panggilan sebagai saksi ditegaskan dalam
Pasal 244 KUHP Jo. 522 KUHP, dimana terdapat ancaman pidana apabila tidak
dipenuhi sehingga PPAT wajib memenuhi panggilan tersebut. Berkaitan dengan
hal tersebut, Penulis berpendapat ketika PPAT dipanggil pengadilan untuk
bersaksi berkaitan dengan akta yang dibuat dihadapannya atau berkaitan dengan
pelaksanaan tugas jabatan PPAT berdasarkan peraturan perundang-undangan
terkait ke-PPAT-an, maka PPAT wajib memenuhi panggilan tersebut, dan ketika
panggilan tersebut dipenuhi, seorang PPAT bisa mempergunakan Hak Ingkar
(Verschoningsrecht)-nya dengan terlebih dahulu membuat surat permohonan
kepada hakim yang mengadili/memeriksa perkara tersebut, bahwa PPAT akan
menggunakan Hak Ingkarnya. Hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
akan menetapkan apakah mengabulkan atau menolak permohonan PPAT tersebut.
164
Jika hakim mengabulkan permohonan PPAT tersebut, maka PPAT tidak perlu
bersaksi. Tapi jika hakim menolak permohonan PPAT tersebut, maka PPAT perlu
bersaksi, dan atas keterangan PPAT sebagai saksi di Pengadilan, jika ada yang
dirugikan atas keterangan PPAT, maka PPAT tidak dapat dituntut berdasarkan
Pasal 322 ayat (1) KUHP karena PPAT melakukannya atas perintah hakim.
Selanjutnya menyikapi mengenai masalah pengambilan minuta akta PPAT
dan warkah pendukung akta yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol
PPAT dalam penyimpanan PPAT, Penulis berpendapat sebaiknya dilakukan
dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim saja karena berkaitan dengan pencarian
kebenaran materil, bukan dalam tahap penyidikan atau penuntutan oleh Penyidik
atau Penuntut Umum. Apabila Penyidik dan Penuntut Umum merasa perlu
melakukan tindakan tersebut maka harus ada izin dari Pengadilan terlebih dahulu.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 43 KUHAP yang menyatakan bahwa
penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undangundang untuk merahasiakan (dalam hal ini PPAT), sepanjang tidak menyangkut
rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin
khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat, kecuali undang-undang menentukan
lain. Apabila dalam tahap pemeriksaan oleh Hakim dapat dibuktikan bahwa telah
terjadi pelanggaran hukum oleh PPAT melalui akta jual beli yang dibuat
dihadapannya, maka barulah sang PPAT dapat dituntut maupun digugat sesuai
ketentuan yang berlaku. Dengan demikian PPAT tidak serta merta dikaitkan
dengan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang menggunakan jasa
PPAT dalam pembuatan akta otentik. Namun juga tidak menutup kemungkinan
165
bahwa PPAT yang tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan
terkait ke-PPAT-an dalam pembuatan aktanya, dapat dituntut baik secara pidana
maupun secara perdata oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Berpijak pada uraian diatas keberadaan PPAT selama ini dimata hukum
seolah-olah tidak ada bedanya dengan masyarakat umum. Seringkali terjadi
persamaan perlakuan terhadap pemeriksaan PPAT sebagai saksi baik dalam tahap
penyidikan, penuntutan hingga persidangan, PPAT diposisikan seolah-olah
sebagai warga negara masyarakat umumnya yang tidak memiliki rahasia jabatan
yang wajib dirahasiakannya. Menurut Johan Rabe terkait kedudukan warga
Negara dalam konstitusi menyatakan :
in the constitutional sense equality does not mean that the law must treat
everyone equally and justice require differential treatment when there are
relevant or justified grounds for that treatment. Equality in constitutional
sense therefore means that those who are similarly situated, or which
reasons are just reasons.206
Artinya dalam konstitusi kesetaraan tidak berarti bahwa hukum harus
memperlakukan semua orang sama dan keadilan memerlukan perlakuan yang
berbeda ketika ada alasan yang relevan atau dibenarkan untuk perlakuan itu.
Di sisi lain, Notaris/PPAT merupakan profesi hukum dan dengan demikian
profesi Notaris/PPAT adalah suatu profesi mulia (nobile officium), disebut nobile
officium dikarenakan profesi notaris sangat erat kaitannya dengan kemanusiaan.
Akta yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris/PPAT dapat menjadi alas
hukum atas status harta benda, hak dan kewajiban seseorang. Kekeliruan atas akta
206
Johan Rabe, 2001, Equality, Affirmative Action and Justice, Hamburg
Univ, Germany, p. 21.
166
Notaris/PPAT dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya
seseorang atas suatu kewajiban.207 (garis bawah dari Penulis)
Berpijak pada pandangan tersebut, Penulis berpendapat bahwa Notaris
maupun PPAT yang dalam Pasal 1868 KUHPerdata, dikenal sebagai Pejabat
Umum (Openbare Ambtenaren) dan telah dijabarkan dalam UUJN dan PJPPAT
adalah orang yang dikecualikan dari prinsip equality before the law, dan
memenuhi
persyaratan-persyaratan
tertentu
yang
dibuat
sesuai
standart
pemenuhan nilai-nilai sebagai orang yang terhormat (nobile person) atau profesi
terhormat dan luhur (officium nobile), sebaliknya seorang Notaris/PPAT yang
tidak sedang dalam kapasitas sebagai Notaris/PPAT adalah sama dengan orang
pada umumnya, yang tunduk pada prinsip equality before the law.
Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, dimana pada
situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan disisi lain pada situasi yang
berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Masalah muncul ketika seseorang
berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama, karena itulah
penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan.
Demikian pula, dengan adanya kesamaan kedudukan dan kewajiban bagi jabatan
Notaris dan PPAT, maka patut dipersamakan juga bentuk perlakuan bagi
keduanya. Artinya, perlu juga diatur ketentuan yang mengharuskan ijin
pemeriksaan dalam proses peradilan bagi seorang PPAT. Atau sebaliknya,
ketentuan pemanggilan bagi Notaris dipersamakan dengan PPAT yaitu tanpa ijin
207
Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia
(Perspektif Hukum dan Etika), UII Press, Yogyakarta, hal. 25.
167
pemanggilan. Tidak adanya ketentuan ijin pemeriksaan bagi PPAT sebagaimana
halnya Notaris menimbulkan diskriminasi perlakuan bagi jabatan PPAT
Kesimpulannya adalah berpijak pada diakuinya suatu imunitas hukum
berupa
Hak
Ingkar
(Verschoningsrecht)
dan
Kewajiban
Ingkar
(Verschoningsplicht), serta PPAT dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum yang
juga termasuk dalam kategori orang yang terhormat, jabatan terhormat (nobile
person, nobile officium), maka sudah sepantasnya urgensi pengaturan secara
normatif mengenai prosedur khusus dalam penegakan hukum (pemanggilan dan
pemeriksaan pada proses penyidikan, penuntutan dan persidangan) terhadap
jabatan PPAT segera diatur dalam suatu ketentuan normatif.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Akta jual beli tanah yang mengandung cacat hukum dapat dijumpai karena
adanya :
- Penyimpangan terhadap Syarat Formil
Berpijak pada syarat-syarat terpenuhinya akta otentik yang diatur pada
Pasal 1868 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95-102
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, maka apabila ketentuan formil tersebut dilanggar, akan
menyebabkan terdegradasinya kekuatan bukti sempurna dari akta jual beli
tersebut menjadi kekuatan bukti akta dibawah tangan apabila berdasarkan
putusan Pengadilan menyatakan adanya salah satu atau lebih pelanggaran
yang dilakukan.
- Penyimpangan terhadap Syarat Materil
Berpijak pada syarat-syarat perjanjian yang diatur pada Pasal 1320
KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka syarat
materil dari tata cara pembuatan akta PPAT harus memenuhi syarat-syarat
168
169
subyektif (subyek hak atau para pihak yang menghadap atau komparan) dan
syarat obyektif (obyek hak yang dialihkan) dalam pembuatan akta PPAT.
Apabila syarat subyektif dan obyektif dilanggar, maka akta PPAT tersebut
dapat dimintai pembatalan dan/atau dinyatakan batal demi hukum.
Pertanggungjawaban PPAT terhadap akta jual beli tanah yang dibuatnya
mengandung cacat hukum yang didasari adanya penyimpangan terhadap
syarat formil dan syarat materil dari prosedur atau tata cara pembuatan akta
PPAT dapat dikenai sanksi :
- Sanksi Administratif : PPAT yang bersangkutan dapat dikenai sanksi
pemberhentian dengan tidak hormat dari jabatannya dan pengenaan denda
administratif
karena
telah
melanggar
larangan
atau
melalaikan
kewajibannya.
- Sanksi Perdata : Apabila akta PPAT yang terdegradasi menjadi akta
dibawah tangan, atau dinyatakan batal dan/atau batal demi hukum
berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan
suatu
kerugian
bagi
para
pihak,
maka
PPAT
dapat
dimintai
pertanggungjawaban dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan
bunga.
- Sanksi Pidana : Sepanjang tindakan PPAT bersangkutan terbukti secara
sengaja dan direncanakan baik sendiri maupun secara bersama-sama
dengan salah satu atau para pihak melakukan pembuatan akta yang
dibuatnya dijadikan suatu alat melakukan suatu tindak pidana, maka
170
terhadap PPAT bersangkutan dapat dikenai sanksi pidana sesuai peraturan
yang berlaku.
2. Secara normatif atau eksplisit Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta peraturan
perundang-undangan terkait ke-PPAT-an lainnya belum mengatur secara tegas
mengenai perlindungan hukum kepada PPAT dalam melaksanakan tugas
jabatannya berkaitan dengan prosedur khusus penegakan hukum terhadap
PPAT. Secara implisit jabatan PPAT memiliki suatu hak istimewa berupa
Kewajiban Ingkar (Verschoningsplicht) dan Hak Ingkar (Verschoningrecht)
yang diakui sebagai suatu imunitas hukum untuk kewajiban memberi
keterangan sebagai saksi di tingkat penyidikan, penuntutan dan persidangan
baik perkara perdata maupun pidana bagi jabatan-jabatan tertentu, salah
satunya Jabatan PPAT, hak istimewa tersebut secara materil didasarkan pada
Pasal 17 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah Juncto Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1
Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 37 Tahun 1998; Pasal 322
ayat (1) KUHP; dan Pasal 1909 ayat (3) KUHPerdata. Sedangkan secara
formil berdasarkan Pasal 170 KUHAP untuk proses acara pidana; dan Pasal
277 ayat (1) HIR Jo. 146 ayat (1) angka 3 HIR untuk proses acara perdata.
171
5.2 Saran
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, adapun saran-saran dalam
penulisan tesis ini yaitu :
1. Diharapkan kepada PPAT dalam melakukan pembuatan akta jual beli
hendaknya berpijak pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait kePPAT-an yang ada, karena akta otentik yang dibuatnya akan mempengaruhi
kepastian hukum peralihan hak atas tanah sehingga dapat mengurangi
timbulnya permasalahan dan konflik pertanahan yang disebabkan dari alat
bukti hak atas tanah yang cacat hukum, baik secara yuridis maupun teknis dan
administratif. PPAT hendaknya lebih memperhatikan dan memahami
ketentuan-ketentuan yang terkait dengan pelaksanaan tugas jabatannya agar
terhindar dari sanksi pemberhentian, denda administratif, dan gugatan ganti
rugi dari para pihak maupun tuntutan pidana. Disamping itu PPAT dalam
menjalankan tugasnya harus selalu berlandaskan pada moralitas dan integritas
yang tinggi terhadap profesi dan jabatannya selaku PPAT. Sedangkan kepada
Pemerintah dan DPR diharapkan membentuk ketentuan mengenai tata cara
pembuatan akta PPAT tidak saja lebih menitikberatkan pada unsur kepastian
hukum, akan tetapi perkembangan dalam praktek terkadang menerobos
aturan-aturan tersebut yang apabila tidak dipenuhi maka akan banyak
kepentingan klien yang tidak bisa dilayani, sehingga perlu kiranya dinamikadinamika yang berkembang dalam proses pembuatan akta PPAT diperhatikan
dan ditampung untuk dijadikan pertimbangan dalam pengaturan secara
normatif kedepannya. Agar unsur kepastian hukum dalam pembuatan akta
172
PPAT dapat terpenuhi dan sebaliknya unsur pelayanan terhadap masyarakat
pengguna jasa PPAT juga dapat terakomodasi dengan baik.
2. Kepada Pemerintah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang
akan berlaku kemudian (ius constituendum) agar dibentuk suatu unifikasi
hukum mengenai pengaturan PPAT di Indonesia dalam bentuk UndangUndang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, baik itu yang berkaitan dengan
tata cara pembuatan akta PPAT dan pengaturan mengenai perlindungan
hukum bagi PPAT dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pejabat Umum.
Berpijak pada diakuinya hak ingkar sebagai suatu kewajiban hukum sekaligus
imunitas hukum, menunjukkan PPAT selaku Pejabat Umum memiliki hak
istimewa
dibanding
masyarakat
biasa,
maka
perlu
dipertimbangkan
pengaturan mekanisme khusus dalam penegakan hukum terhadap PPAT.
Untuk tindakan jangka pendek demi menjaga harkat dan martabat Jabatan
PPAT diharapkan prosedur pemanggilan terhadap PPAT minimal ada
pemberitahuan kepada Majelis Kehormatan Daerah melalui suatu peraturan
organis berupa Peraturan Kepala BPN RI. Sedangkan prosedur pengambilan
atau penyitaan protokol PPAT kembali pada aturan Pasal 43 KUHAP, yakni
harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku/Literatur
Adji, Oemar Seno, 1966, Prasara dalam Indonesia Negara Hukum, Simposium UI,
Jakarta.
Adjie, Habib, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Cet. ke-2, Refika Aditama, Bandung.
_______, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
_______, 2012, Bernas-Bernas Pemikiran Di Bidang Notaris Dan PPAT, Mandar
Maju, Bandung.
Adiwinata, Saleh, A. Teloeki, dan H. Boerhanoeddin St. Batoeah, 1983, Kamus
Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, Jakarta.
Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif
Hukum dan Etika), UII Press, Yogyakarta.
Agustina, Rosa, 2003, Perbuatan Melawan Hukum, Pasca Sarjana FH Universitas
Indonesia, Jakarta.
Azhary, Mohammad Tahir, 1992, Negara Hukum, (suatu studi tentang prinsipprinsipnya dilihat dari segi hukum islam, implementasinya pada periode
negara madina dan masa kini), Bulan Bintang, Jakarta.
Badudu-Zain, 1994, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Black, Henry Campbell, 1991, Black’s Law Dictionary, St Paul Minn West
Publishing. Co, Boston.
Boediarto, M. Ali, 2005, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung,
Hukum Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta.
Budiono, Herlien, 2006, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia
Hukum Perjanjian Berlandaskan Asasā€Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Chomsah, Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid 2,
Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta.
173
174
Cohen, Morris L. & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West Publishing
Company, St Paul, Minn.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat
Bahasa, Edisi ke-4, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dja’is, Mochammad dan RMJ. Koosmargono, 2008, Membaca dan Mengerti HIR,
Penerbit Undip, Semarang.
Fatwa, A. M, 2009, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
Friedmann, Wolfgang, 1960, Legal Theory, Fourth Edition, Stevens and son
limited, London.
Fuady, Munir, 2002, Perbuatan melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat) ,Refika Aditama,
Bandung.
Gautama, Sudargo, 1983, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung.
Gosita, Arif, 1989, Masalah Perlindungan Anak, Akademik Presindo, Jakarta.
Hadjon, Philipus M, 2007, Perlindungan hukum bagi rakyat di Indonesia, sebuah
studi tentang prinsip-prinsip penanganannya oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dan pembentukan peradilan administrasi,
Peradaban, Surabaya.
Harsono, Boedi, 2002, Reformasi Hukum Tanah yang Berpihak Kepada Rakyat,
Mandar Maju, Bandung.
_______, 2007, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Harjono, 2008, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa, Konstitusi Press, Jakarta.
Hartanto, J. Andy, 2012, Problematika Hukum Jual Beli Tanah Belum
Bersertifikat, Cet. Ke-2, Laksbang Mediatama, Yogyakarta.
Hamzah, Andi, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta,
Jakarta.
Hisyam, M., 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta.
175
Huijbers, Theo, 1990, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Kelsen, Hans, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Cet ke-2, (Alih Bahasa
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at), Konstitusi Press, Jakarta.
_______, 2007, General Theory Of Law and State : Teori Umum Hukum dan
Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum
Deskriptif-Empirik, (Alih Bahasa oleh Somardi), BEE Media Indonesia,
Jakarta.
_______, 2006, Teori Hukum Murni, (Alih Bahasa Raisul Mutaqien), Nuansa &
Nusamedia, Bandung.
Magister Kenotariatan, 2011, Pedoman Pendidikan Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Udayana, Denpasar.
Marzuki, Peter Mahmud, 2010, Penelitian Hukum, Cet ke-6, Kencana Prenada
Media, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 2007, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty,
Yogyakarta.
_______, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi ke-7 Cet. 1, Liberty,
Yogyakarta.
_______ dan A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Yogyakarta.
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta.
Muchsin, H, 2005, Ikhtisar Hukum Indonesia, Badan Penerbit Iblam, Jakarta.
Nieuwenhuis, J.H., 1985, Hoofdstukken Verbintenissenrecht, (Alih Bahasa oleh
Djasadin Saragih), Surabaya.
Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan,
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Parlindungan, A.P., 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landform, Bagian
I, Mandar Maju, Bandung.
Peranginangin, Effendi, 1991, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Press, Jakarta.
Pitlo, A., 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, alih bahasa M. Isa Arief, Intermasa,
Jakarta.
176
Pound, Roscoe, 1996, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to The
Philosophy of Law), (Alih Bahasa oleh Mohammad Radjab), Jakarta.
Prodjodikoro, R. Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Edisi
Ketiga, PT. Refika Aditama, Bandung.
Rabe, Johan, 2001, Equality, Affirmative Action and Justice, Hamburg Univ,
Germany.
Radbruch, Gustav, 1961, Einfuhrung in die Rechtswissenschaft, Germany.
Rahardjo, Satjipto, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta.
Rawls, John, 1973, A Theory of Justice, Oxford University Press, London-New
York.
Ridwan, H. R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Rubaie, Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Bayumedia, Malang.
Saleh, Roeslan, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dua
Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.
Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta.
Setiawan, Rachmat, 1991, Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum, Cet1, Binacipta, Bandung.
Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang, 1993, Gross Akta Dalam
Pembuktian dan Eksekusi, Rinika Cipta, Jakarta.
Sjaifurrachman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan
Akta, Mandar Maju, Bandung.
Soimin, Soedharyo, 1993, Status Hak dan Pengadaan Tanah, Sinar Grafika,
Jakarta.
Soemitro, Ronny Hamitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 2005, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
177
_______ dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press, Jakarta.
Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Penerbit Intermasa, Jakarta.
Suparno, J., 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, PT Rinerka Cipta,
Jakarta.
Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2010, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Press,
Jakarta.
Suseno, Frans Magnis, 2000, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sumaryono, E., 1995, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum,
Kanisius, Yogyakarta.
Sutedi, Adrian, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Cet. ke-4,
Sinar Grafika, Jakarta.
Tedjosaputro, Liliana, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu,
Semarang.
Tobing, G. H. S. Lumban, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. ke-5, Erlangga,
Jakarta.
Utrecht, E., 1963, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbitan dan Balai
Buku Ichtiar, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia,
Semarang.
Widjaja, A.W., 1999, Etika Administrasi Negara, Cet. ke-2, Bumi Aksara, Jakarta.
Zainuddin Ali, H., 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
2. Karya Ilmiah
Febriantina, Reza, 2010, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Pembuatan Akta Otentik”, Tesis Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang.
Pantas Situmorang, Pantas, 2008, “Problematika Keotentikan Akta PPAT”, Tesis,
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
178
Putri A. R., 2010, “Analisis Yuridis Legalitas Notaris Sebagai Tersangka Atas
Akta Yang Dibuatnya”, Tesis Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Medan.
Shidarta, 2004, “Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Ke-Indonesia-an”,
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katholik Parahyangan,
Bandung.
3. Artikel Majalah
Asshiddiqie, Jimly, 2003, “Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta
Tanah”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003.
Bongenaar, Karel E. M., 1992, “Aturan Dalam Norma”, Majalah Yuridika,
Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor 1 dan 2 Tahun VII, Jan-FebMar-Apr, 1992, Surabaya.
Hadjon, Philipus M., 1996, “Akta PPAT Bukan Keputusan Tata Usaha Negara”,
Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996.
Harsono, Boedi, 2007, “PPAT Sejarah Tugas dan Kewenangannya”, Majalah
Renvoi Nomor 844.IV, Januari 2007.
Lotulung, Paulus Effendie, 1996, “Pengertian Pejabat Tata Usaha Negara
Dikaitkan Dengan Fungsi PPAT menurut PP Nomor 10 Tahun 1961”, Media
Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt 1996.
_______, 2003, “Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam
Menjalankan Tugasnya”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003.
Renvoi, 2006, Renvoi Edisi Nomor 11 Tahun Ketiga, Majalah Renvoi, 11 Januari
2006.
Setiawan, Wawan, 1996, “Kedudukan dan Keberadaan Pejabat Umum serta PPAT
dibandingkan dengan Kedudukan Pejabat Tata Usaha Negara Menurut
Sistem Hukum Nasional”, Media Notariat Nomor 38-41, Jan-Apr-Jul-Okt
1996.
Winarsi, Sri, 2002, “Pengaturan Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah Sebagai
Pejabat Umum”, Majalah Yuridika Volume 17 No. 2, Maret 2002.
179
4. Makalah
Setiawan, Wawan, 1991, ”Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta”,
Makalah dalam seminar nasional sehari Ikatan Mahasiswa Notariat
Universitas Diponegoro, Semarang.
Tarliman, Daniel Djoko, 2003, ”Keadilan Sebagai Landasan Filosofi Peraturan
Perundang-undangan dan Putusan Hakim”, Jurnal Yustika, Media Hukum
dan Keadilan, Vol 6 Nomor 2 FH Ubaya, Surabaya.
Yuherman, 2012, “Konsekuensi Peralihan Kewenangan Direksi Dalam Kepailitan
Perseroan Terbatas”, Jurnal Supremasi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Sahid, Jakarta.
5. Media Elektronik
Asshiddiqie, Jimly, 2010, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, diakses pada
tanggal
15
November
2012,
URL
:
http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.p
df
Anonim,
diakses
pada
tanggal
http://id.wikipedia.org/wiki/Prerogatif
5
Juli
2013,
URL
:
Bung Pokrol , 2004, “Batalnya Suatu Perjanjian”, diakses pada tanggal 9 April
2013, URL : http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3520
Mansyur, HM Ali, 2012, “Pranata Hukum Dan Penegakaannya Di Indonesia”,
diakses
pada
tanggal
15
November
2012,
URL
:
http://alimansyur.blog.unissula.ac.id/
Oyong, Bambang S., 2013, “Peraturan KBPN Nomor 8 Tahun 2012 Dalam Kajian
Tugas Pekerjaan PPAT”, diakses pada tanggal 18 Februari 2013, URL :
http://bambangoyong.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-enus-x-none.html
Prasetio, Bimo, dan Asharyanto, 2013, “Perbedaan antara Perjanjian dengan
MoU”,
diakses
pada
tanggal
10
Juni
2013,
URL
:
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514689463d4b2/perbedaanantara-perjanjian-dengan-mou.html
Putri, Citra, 2012, “Kajian Yuridis Eksistensi PPAT Selaku Pejabat Umum Yang
Berwenang Membuat Akta Otentik”, diakses pada tanggal 17 Februari 2013,
URL : http://apakabarakta.blogspot.com/2012/12/kajian-yuridis-eksistensippat-selaku.html
180
Rizal, 2011, “Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah”, diakses pada
tanggal
20
Februari
2013,
URL
:
http://myrizal76.blogspot.com/2011/08/peran-ppat-dalam-peralihan-hak-atas.html
Soedibyo, Anthonius Adhi, 2011, “Larangan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak”,
diakses
pada
tanggal
9
April
2013,
URL
:
http://kenalhukum.blogspot.com/2011/01/larangan-penggunaan-surat-kuasamutlak.html
Tjahjono, Jusuf Patrianto, 2008, “Apakah Notaris Tunduk Pada Prinsip Equality
Before The Law?”, diakses pada tanggal 15 November 2012, URL :
http://notarissby.blogspot.com/2008/03/apakah-notaris-tunduk-padaprinsip.html
Tobing, Letezia, 2013, “Akibat Hukum Jual Beli Tanah Warisan Tanpa
Persetujuan Ahli Waris”, diakses pada tanggal 9 April 2013, URL :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50dbbb8cb848d/akibat-hukumjual-beli-tanah-warisan-tanpa-persetujuan-ahli-waris
Zone, Soska, 2011, “Pendaftaran Tanah”, (diakses pada tanggal 10 Oktober 2012),
URL : http://hasyimsoska.blogspot.com/2011/07/pendaftaran-tanah.html
6.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)/Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui
(R.I.B.) (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo.
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang berlakunya UndangUndang No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh
Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1660).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2043).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209).
181
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5079).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun
2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3696).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3746).
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta.
Peraturan Kepala BPN Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta.
Peraturan Kepala BPN Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Download