Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di

advertisement
Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar
Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di
Kelurahan Karang Anyar
Vidianka Rembulan, M Ricky Ramadhian
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung
Abstrak
Tinea Korporis merupakan infeksi dermatofitosis. Infeksi akibat dermatofita terdapat di seluruh dunia terutama
daerah tropis yang mempunyai kelembapan tinggi seperti Indonesia, dengan angka insidens yang kurang lebih sama
di kota-kota besar di Indonesia. Penyakit ini bersifat multifaktorial. Dalam penanganan penyakit, pendekatan dalam
pelayanan dokter keluarga tidak hanya berfokus pada aspek biologi (penyakit) tetapi juga dipengaruhi aspek
psikososial dan peran serta keluarga. Wanita 47 tahun, seorang pedagang bertubuh gemuk yang mudah berkeringat
dan memiliki higiene buruk datang dengan keluhan gatal di lipatan payudara sejak 1 bulan yang lalu dan gatal
diperberat bila berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi makula hiperpigmentasi, polisiklik,
soliter, dan terdapat central healing. Pasien didiagnosis dengan tinea korporis. Diberikan terapi antijamur serta
dilakukan edukasi mengenai penyakit pasien dan pentingnya memperbaiki higienitas personal dan lingkungan.
Diagnosis dan tatalaksana tinea pada kasus ini sudah sesuai dengan beberapa teori dan telaah kritis, didapatkan
hasil perbaikan kondisi pasien dan perubahan perilaku berupa peningkatkan higiene perorangan serta kesadaran
akan pentingnya pencegahan dalam suatu penyakit.
Kata Kunci: dermatofitosis, higienitas, pelayanan kedokteran keluarga, tinea korporis
Management Tinea Corporis on A Woman Aged 47 Years In Karang Anyar
Village
Abstract
Infections caused by dermatophytes exist throughout the world, especially tropical regions that have high humidity
such as Indonesian, the incidence rate is approximately the same in the big cities in Indonesia. This is multifactorial
diseases. In the treatment of the disease, the approach in medical care not only focuses on the biological aspects
(disease) but also influenced by psychosocial aspects and the role of the family. A 47 years old women, a merchant
who has fatty body and sweat easily and have a bad hygiene came with complaints of itching in the breast crease
since one month ago and aggravated itching when sweating. On physical examination found macular
hyperpigmentation lesions, polycyclic, solitary, and there is a central healing. Patients diagnosed with tinea corporis.
Given antifungal therapy and has been given education about the patient's illness and the importance to improve
personal and environmental hygiene. Diagnosis and management of tinea in this case is in compliance with some of
the theories and critical analyzes, showed improvement in the condition of patients and behavioral changes such as
increasing the individual hygiene and awareness of the importance of preventing the disease.
Keywords : dermatophytosis, hygiene,medical care family, tinea corporis
Korespondensi: Vidianka Rembulan, S.Ked., alamat Jl. Keranji Blok TK 1 No. 34 BTN WHP, Bandarlampung, HP
085382279453, e-mail [email protected]
Pendahuluan
Kulit merupakan organ tubuh yang
terletak paling luar sebagai pembungkus yang
elastis yang melindungi tubuh dari pengaruh
lingkungan. Penyakit kulit dapat disebabkan
oleh jamur, virus, kuman, parasit hewani, dan
lain-lain. Penyakit infeksi jamur, masih
memiliki prevalensi yang cukup tinggi di
Indonesia, mengingat negara kita beriklim
tropis yang mempunyai kelembapan tinggi.1
Di Indonesia, angka yang akurat
mengenai insidensi mikosis superfisialis belum
ada. Insidensi di berbagai rumah sakit
pendidikan di Indonesia tahun 1998 bervariasi
dari yang terendah yaitu 2,93% (Semarang),
4,8% (Surabaya), 27,6% (Padang), hingga yang
tertinggi 82,6 % (Surakarta).2 Dermatofitosis
adalah golongan penyakit jamur superfisial
yang disebabkan oleh jamur dermatofita,
J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 133
Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar
yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan
Epidermophyton spp. Tinea Korporis adalah
dermatofitosis yang menyerang daerah kulit
yang tidak berambut (glabrous skin), misalnya
pada wajah, badan, lengan, dan tungkai.
Gejala subyektifnya yaitu gatal terutama jika
berkeringat.3 Tricophyton rubrum merupakan
jamur yang paling umum di seluruh dunia dan
sekitar 47% menyebabkan tinea korporis.4
Tinea korporis adalah infeksi umum
yang sering terlihat pada daerah dengan iklim
yang panas dan lembab karena seperti yang
diketahui, jamur mudah menyebar dalam
kondisi tersebut. Oleh karena itu, daerah
tropis dan ocialics memiliki insiden yang tinggi
terhadap tinea korporis. Faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi antara lain
lingkungan yang padat, ocial ekonomi yang
rendah,
adanya
sumber
penularan
disekitarnya melalui kontak langsung dengan
individu yang terinfeksi atau tidak langsung
melalui benda yang mengandung jamur,
misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat
tidur hotel, dan lain-lain, obesitas, penyakit
sistemik, penggunaan antibiotika dan obat
steroid.5 Tinea korporis dapat terjadi pada
semua usia dengan rentang usia penderita 2564 tahun. Hal ini berkaitan dengan tingkat
aktivitas yang mengeluarkan banyak keringat,
trauma, dan lama pajanan terhadap jamur.6
Higiene juga berperan untuk timbulnya
penyakit ini.7
Higiene atau biasa juga disebut dengan
kebersihan, adalah upaya untuk memelihara
hidup sehat yang meliputi kebersihan pribadi,
kehidupan bermasyarakat, dan kebersihan
kerja. Kebersihan merupakan suatu perilaku
yang diajarkan dalam kehidupan manusia.8
Perilaku adalah suatu kegiatan makhluk
hidup yang berhubungan dengan berbagai
aktifitas. Perilaku atau aktifitas manusia, dapat
diamati, baik secara langsung maupun yang
tidak dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku
kesehatan yang berkaitan dengan upaya
kebersihan diri dalam kaitannya dengan upaya
pencegahan penyakit dilakukan dengan
berbagai cara, contohnya seperti kebiasaan
mandi, mencuci tangan dan kaki, dan
kebersihan pakaian.8
Pelayanan kesehatan primer memegang
peranan penting pada penyakit tinea korporis
dalam hal penegakan diagnosis pertama kali,
terapi yang tepat, dan edukasi komunitas
dalam pencegahan penyakit dan menularnya
J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 134
penyakit ke komunitas. Pendekatan dalam
pelayanan medis tidak hanya berfokus pada
aspek biologi (penyakit) tetapi juga
dipengaruhi aspek psikososial.
Keluarga atau rumah tangga adalah unit
masyarakat terkecil. Oleh sebab itu untuk
mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
baik harus dimulai dari keluarga. Keluarga bisa
menjadi pelaku rawat yang baik bagi masingmasing anggota keluarganya. Pola hidup yang
kurang baik dalam kehidupan seseorang
merupakan salah satu faktor internal dan
hubungan yang kurang baik dengan anggota
keluarga lainnya merupakan faktor eksternal
yang menyebabkan sulitnya penyelesaian
masalah medis. Masalah seperti inilah yang
kemudian perlu untuk ditelaah lebih lanjut
sehingga dapat dilakukan pelayanan dokter
keluarga yang holistik komprehensif, kontinu,
integratif, dan koordinatif, penyelesaian
masalah medis dan psikososial dilaksanakan.
Kasus
Ny. H, 47 tahun, menikah, seorang ibu
rumah tangga yang terkadang bekerja sebagai
pedagang kaki lima, datang dengan keluhan
gatal dan kemerahan di sekitar lipatan
payudara sejak 1 bulan yang lalu. Gatal terjadi
sepanjang hari dan memberat terutama saat
pasien berkeringat dan tidak dipengaruhi
makanan yang dikonsumsi. Pada awalnya
muncul bercak merah bulat yang sangat gatal
pada daerah tersebut, disertai perubahan
warna kulit menjadi berwarna kemerahan
dengan pinggir yang tidak rata. Karena sangat
gatal, maka kulit tersebut digaruk oleh pasien
dengan menggunakan kuku. Pasien tidak
segera berobat, hanya didiamkan saja, dan
terus digaruk. Selama ini keluarga berobat ke
layanan kesehatan jika keluhan sudah benarbenar mengganggu dan tidak teratasi dengan
obat warung.
Keluhan gatal ini sudah pernah
dirasakan oleh pasien sebelumnya, hanya saja
lokasinya bukan di badan, namun di
selangkangan dan pasien melakukan hal yang
sama yaitu hanya menggaruk tanpa
mengobatinya sampai pada akhirnya gatal
hilang sendiri dan timbul bercak kehitaman
sebagai bekas dari garukan.
Pasien mengaku mudah berkeringat
apalagi bila sedang berjualan di luar. Apabila
berkeringat, pasien hanya mendiamkannya saja
sampai keringat kering sendiri dan apabila
Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar
sampai di rumah pasien tidak langsung ganti
baju ataupun mandi. Pasien juga mengaku
sering menggunakan pakaian yang sama
berulang kali sebelum dicuci. Pasien
menggunakan handuk secara bergantian dengan
anggota keluarga lainnya. Kebiasaan untuk
mengganti sprei kamar tidur pun jarang
dilakukan. Pasien mencuci dan mengeringkan
baju menggunakan mesin cuci, dengan keadaan
baju setengah basah pasien menjemurnya di
tempat yang kurang mendapatkan cahaya
matahari. Dan hanya pakaian-pakaian tertentu
saja yang distrika. Penderita tidak memelihara
anjing, kucing, atau ternak lainnya.
Tiga hari yang lalu pasien tidak sengaja
melihat lipatan payudaranya dan ternyata
bercak semakin meluas dan gatal yang tak
kunjung hilang, pasien membeli salep 88 di
apotik
dan
mengoleskannya.
Sehari
menggunakan salep tersebut gatal tetap tidak
berkurang dan khawatir bercak semakin meluas
anak pasien menyarankan untuk pergi berobat,
kemudian pasien berobat ke Puskesmas Karang
Anyar dan diberi obat minum antifungal yaitu
obat griseovulvin 1x500 mg dan ketoconazole
cream yang dioleskan di bercak jamur.
Pola pengobatan keluarga adalah
kuratif, dimana anggota keluarga mencari
pelayanan kesehatan jika sakit saja. Keluarga
pasien juga tidak pernah mengingatkan pasien
untuk mengobati setiap ada keluhan gatal
pada keluarga dikarenakan persepsi keluarga
bahwa penyakit gatal mungkin karena
serangga dan akan sembuh sendiri.
Riwayat keluarga dengan penyakit yang
sama diakui pasien dialami sebelumnya oleh
anaknya, berupa gatal dan tampak bercak
merah bulat di bagian kaki, karena keluhan
gatal bertambah berat dan tidak sembuh
dalam waktu lama, anak pasien dibawa
berobat ke puskesmas dan diberi salep serta
obat minum sehingga keluhan berkurang.
Pembahasan
Pemeriksaan Fisik :
Keadaaan umum: tampak sakit ringan; suhu:
36,9 oC; tekanan darah: 100/70 mmHg; frek.
nadi: 84 x/menit; frek. nafas: 20 x/menit;
berat badan: 65 kg; tinggi badan: 152 cm;
status gizi: (IMT: 28,13 (Gemuk)).
Status generalis: kepala, mata, telinga,
hidung, mulut, leher, paru, jantung, abdomen,
dan ekstremitas semua dalam batas normal.
Status neurologis: Reflek fisiologis normal,
reflek patologis (-). Rangsang raba normal.
Kekuatan otot 5/5 / 5/5
Status Lokalis: pada regio torakal (lipatan
payudara) terdapat lesi makula eritema
hiperpigmentasi, polisiklik soliter dan pada
daerah tepi lesi terdapat skuama halus,
sedangkan pada daerah tengah lesi lebih
tenang (central healing).
Gambar 1. Lesi kulit kunjungan pertama
Pemeriksaan Laboratorium:
Tidak dilakukan pemeriksaan karena regimen
KOH tidak ada.
Tinea korporis mengacu pada infeksi
jamur superfisial pada daerah kulit halus
tanpa rambut, kecuali telapak tangan dan
telapak kaki. Dinamakan tinea korporis karena
berdasarkan bagian tubuh yang terkena, yaitu
di badan dan anggota badan.20 Tinea korporis
merupakan infeksi yang umum terjadi pada
daerah dengan iklim hangat dan lembab,
sekitar 47% disebabkan oleh Trichophyton
rubrum.1,4
Predileksi tinea korporis banyak
ditemukan pada wajah, badan, lengan, dan
kaki bagian atas.21 Gejala subyektif yaitu gatal,
dan terutama jika berkeringat. Gejala obyektif
yaitu efloresensi, terlihat makula atau plak
yang berwarna merah atau hiperpigmentasi
dengan tepi aktif dan daerah bagian tengah
lebih tenang (central healing). Pada tepi lesi
dijumpai papil-papil eritema atau vesikel.
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan
bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain.
Terdapat lesi dengan pinggir yang polisiklik,
karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.3
Pembinaan
dengan
pelayanan
kedokteran keluarga ini dilakukan pada Ny. H
dengan usia 47 tahun yang berarti pasien
masih di usia produktif,9 datang ke Puskesmas
J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 135
Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar
Karang Anyar dengan keluhan gatal dan
kemerahan di sekitar lipatan payudara sejak 1
bulan yang lalu. Gatal terjadi sepanjang hari
dan memberat terutama saat pasien
berkeringat dan tidak dipengaruhi makanan
yang dikonsumsi. Pada pemeriksaan status
lokalis didapatkan pada regio thorakal (lipatan
payudara) terdapat lesi makula eritema
hiperpigmentasi, polisiklik soliter, dan pada
daerah tepi lesi terdapat skuama halus,
sedangkan pada daerah tengah lesi lebih
tenang (central healing). Berdasarkan
anamnesa dan pemeriksaan fisik tersebut
dapat diketahui bahwa pasien tersebut
mengalami infeksi jamur superfisial, yaitu
tinea korporis.6,10
Pemeriksaan penunjang menggunakan
sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut,
dan kuku) dengan larutan KOH 10-30%.
Dengan pemeriksaan mikroskopis akan
terlihat elemen jamur dalam bentuk hifa
panjang, spora, dan artospora (spora
berderet). Dengan pembiakan yang bertujuan
untuk mengetahui spesies jamur penyebab
dengan menggunakan bahan kerokan yang
ditanam dalam agar Sabouroud Dekstrose.
Untuk mencegah pertumbuhan bakteri, dapat
ditambahkan antibiotik seperti kloramfenikol
ke dalam media tersebut. Perbenihan pada
suhu 24-30°C. Pembacaan dilakukan dalam
waktu 1-3 minggu.11 Koloni yang tumbuh
diperhatikan warna, bentuk, permukaan, dan
ada atau tidaknya hifa. Pada tinea korporis
maupun tinea kruris bahan sebaiknya diambil
dengan mengerok tepi lesi yang meninggi atau
aktif.12 Sensitivitas pemeriksaan mikroskopis
KOH adalah sebesar 50-60%. Walaupun
pemeriksaan mikroskopik dapat membuktikan
adanya infeksi jamur dalam beberapa menit,
tetapi pemeriksaan tersebut tidak dapat
memberikan gambaran yang lebih spesifik
atau untuk identifikasi profil dari agen yang
menginfeksi. Evaluasi mikroskopik ini juga
dapat memberikan hasil negatif palsu
sehingga kultur jamur harus dilakukan ketika
infeksi dermatofita dicurigai secara klinis.6
Pada kasus, tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang, baik dengan menggunakan KOH
maupun kultur sediaan di media agar. Hal ini
dikarenakan larutan KOH sedang tidak
tersedia
di
laboratorium
puskesmas.
Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang dilakukan ke
pasien.
J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 136
Pendekatan dalam pelayanan medis
tidak hanya berfokus pada aspek biologi
(penyakit) tetapi juga dipengaruhi oleh aspek
psikososial. Pada pasien ini dilakukan
intervensi sebanyak 3 kali, dimana pada
kunjungan pertama tanggal 14 Februari 2016
didapatkan bahwa pasien terkena tinea
korporis akibat higienitas tubuh yang kurang
terjaga dan pasien masuk dalam kategori
gemuk. Pasien jarang mandi dan jarang
mengganti baju bila berkeringat banyak.
Luasnya lesi dan perjalanan penyakit yang
yang cukup lama pada kasus ini kemungkinan
terjadi karena beberapa hal, yaitu higiene
personal yang kurang, ini terlihat dari
kebiasaan menggunakan handuk bersama,
kebiasaan bertukar pakaian, penggunaan
pakaian yang tertutup dalam waktu yang
lama dan penjemuran yang kurang terkena
cahaya dan hanya pakaian tertentu saja yang
disetrika.
Pada kunjungan kedua pada tanggal 21
Februari 2016 dilakukan intervensi berupa
edukasi kepada pasien serta keluarganya
mengenai
penyakit
tinea
serta
penanganannya. Edukasi yang diberikan
berupa
pengertian
penyakit,
gejala,
penatalaksanaan, dan pencegahan pada
penderita tinea melalui media leaflet.
Menurut Badan POM RI, dikatakan
bahwa penatalaksanaan non medikamentosa
pada tinea korporis, yaitu gunakan handuk
tersendiri untuk mengeringkan bagian yang
terkena infeksi atau bagian yang terinfeksi
dikeringkan terakhir untuk mencegah
penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya,
jangan mengunakan handuk, baju, atau benda
lainnya secara bergantian dengan orang yang
terinfeksi, cuci handuk dan baju yang
terkontaminasi jamur dengan air panas untuk
mencegah penyebaran jamur tersebut,
bersihkan kulit setiap hari menggunakan
sabun dan air untuk menghilangkan sisa-sisa
kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh, jika
memungkinkan hindari penggunaan baju dan
sepatu yang dapat menyebabkan kulit selalu
basah seperti bahan wol dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara,
hindari kontak langsung dengan orang yang
mengalami infeksi jamur.13
Pasien diberikan edukasi mengenai
penyakitnya serta faktor yang memudahkan
terjadinya penyakit. Pada pasien ini,
ditekankan mengenai pentingnya menjaga
Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar
kebersihan diri/ higiene, terutama mengganti
baju setelah beraktifitas yang menimbulkan
keringat banyak. Hal ini penting untuk
dilakukan untuk mencegah suasana lembab
yang mendukung pertumbuhan jamur. Pasien
termasuk kedalam kelompok usia produktif.
Menurut World Bank Group, kelompok usia
produktif adalah kelompok usia terbanyak
menderita
dermatomikosis
superfisialis
dibandingkan dengan kelompok usia yang
lebih muda atau lebih tua.9 Kemungkinan
karena segmen usia tersebut lebih banyak
mengalami faktor predisposisi atau pencetus,
misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak
berkeringat, selain pajanan terhadap jamur
lebih lama.14 Di samping itu, diedukasikan
pula terkait menghindari penggunaan pakaian
secara bergantian, mandi 2x sehari, mencuci
pakaian serta seprai secara rutin, serta
menjemur pakaian pada tempat yang panas.
Higienitas tubuh dan sanitasi lingkungan yang
terjaga dapat mempercepat penyembuhan
pasien. Menurut Gupta, teknik higienitas
personal dan lingkungan yang baik dapat
mengontrol dan mencegah kejadian tinea.15
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa
higienitas personal yang sederhana dan
pendidikan kesehatan yang baik tanpa obat
lebih efektif dan lebih murah daripada
menggunakan
farmakoterapi
seperti
griseofulvin dalam pengobatan tinea cruris.16
Pengobatan dapat diberikan melalui
topikal dan sistemik. Terapi topikal
direkomendasikan untuk infeksi lokal. Salah
satu preparat yang sering digunakan yaitu
golongan imidazol. Golongan imidazol terdiri
dari ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, dan
hanya ketokonazol yang paling banyak
digunakan. Ketokonazol merupakan turunan
imidazol sintetik yang bersifat lipofilik dan
larut dalam air pada pH asam. Obat ini bekerja
dengan cara menghambat pembentukan
ergosterol membran jamur. Ketokonazol 2%
cream digunakan untuk infeksi jamur di kulit
tak berambut seperti dermatofita, dengan
dosis dan lamanya pengobatan tergantung
dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama
2-4 minggu dan dioleskan 1-2 kali sehari.17,18
Untuk terapi sistemik tinea korporis
menggunakan pedoman yang dikeluarkan
oleh American Academy of Dermatology yang
menyatakan bahwa obat antijamur sistemik
dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis
terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi
yang
luas,
infeksi
kronis,
pasien
imunokompromais, dan pasien yang tidak
responsif maupun intoleran terhadap obat
antijamur topikal.18 Terapi sistemik yang
paling banyak digunakan yaitu griseofulvin.
Obat tinea korporis griseofulvin merupakan
obat yang bersifat fungistatik dengan dosis
500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan dosis
anak-anak 10-25 mg/kg BB sehari.19 Lama
pemberian griseofulvin pada tinea korporis
adalah setelah sembuh klinis dilanjutkan 2
minggu agar tidak residif, kebanyakan para
ahli menggunakan waktu 3-4 minggu
pemakaian. Diberikan bila lesi luas atau bila
dengan pengobatan topikal tidak ada
perbaikan. Pada kasus yang resisten terhadap
Griseofulvin dapat diberikan derivat azol
seperti itrakonazol, dan flukonazol.7,19
Antibiotik juga dapat diberikan jika terjadi
infeksi sekunder.
Pada pasien ini diberikan obat antifungi
topikal berupa ketokonazol 2% yang
digunakan 2 kali sehari dan obat antifungi
sistemik berupa griseofulvin 500 mg per hari
yang digunakan selama 3 minggu. Setelah 1
minggu menjalani pengobatan, pasien tidak
mengeluh gatal lagi dan pada pemeriksaan
lokalis thorakal (lipatan payudara) tidak
ditemukan adanya makula eritematosa, lesi
hiperpigmentasi, skuama dan central healing
menghilang. Pasien juga diberikan obat
tambahan cetrizine sebagai antihistamin yang
diminum 1 kali sehari bila gatal.
Gambar 2. Perbaikan pada lesi paska pengobatan
Pada kunjungan ketiga yang dilakukan
pada tanggal 28 Februari 2016 dilakukan suatu
evaluasi terhadap intervensi yang sudah
dilakukan sebelumnya, didapatkan bahwa
pola minum obat antifungal oral dan
pemakaian antifungal topikal pada Ny. H
sudah teratur setelah diberikan intervensi
berupa edukasi. Pasien sudah cukup mengerti
mengenai pencegahan yang harus dilakukan
J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 137
Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar
agar penyakitnya tidak kambuh lagi. Infeksi
tinea dapat bersifat akut atau menahun,
bahkan bersifat residif. Maka dari itu, pasien
dan keluarga diberikan pula edukasi dan
semangat agar saling memberi dukungan
dalam menjaga higienitas tubuh dan
lingkungan satu sama lain untuk mencegah
terjadinya kekambuhan atau munculnya kasus
baru pada keluarga Ny.H.
6.
Kesimpulan
Telah dilakukan pelayanan kuratif,
preventif, dan promotif terhadap pasien dan
keluarga, kebersihan diri dan lingkungan, serta
perilaku pola hidup sehat untuk mencegah
timbulnya kekambuhan. Untuk pasien dan
keluarga telah diberikan edukasi dan
pengetahuan seputar tinea korporis tentang
gejala, cara penularan, dan pencegahan
terhadap
penyakit
tersebut
untuk
memberikan kesadaran akan pentingnya
pencegahan dalam suatu penyakit.
9.
Daftar Pustaka
1. Nasution MA, Muis Kamaliah, Juwono,
dkk. Diagnosis dan penatalaksanaan
dermatofitosis.
Cermin
Dunia
Kedokteran, Edisi Khusus [internet];
1992. [diakses pada tanggal 17 Februari
2016]; hlm. 116-8. Tersedia dari:
www.kalbemed.com/Portals/6/12_183De
rmatofitosis.pdf
2. Adiguna
MS.
Epidemiologi
dermatomikosis di Indonesia. Dalam:
Budimulja U, Kuswadji, Bramono K,
Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S,
editors. Dermatomikosis superfisialis.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2004. hlm.
5-6.
3. Djuanda A, dkk. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2004.
4. Welsh O, Welsh E, Candiani JO, Gornez
M, Cabrera LV. Dermatophytoses in
Monterrey Mexico. Mycoses [internet].
2006 [disitasi pada tanggal 17 Februari
2016]; 49(2):11923. Tersedia dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1
6466445
5. Pires CA, Cruz NF, Lobato AM, Sousa PO,
Carneiro FR, Mendes AM. Clinical,
epidemiological, and therapeutic profile
of dermatophytosis. An Bras Dermatol.
2014; 89(2):259-64.
J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 138
7.
8.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Budimulja U, Sunoto, Tjokronegoro A.
Penyakit jamur. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2008.
Sularsito SA. Dermatologi praktis. Jakarta:
Perkumpulan Ahli Dermatologi dan
Venereologi Indonesia. 2006.
Potter PA, Perry AG. Buku ajar
fundamental
keperawatan:
konsep,
proses dan praktek. Edisi 4. Volume 1.
Jakarta: EGC. 2005.
World Bank Group. Washington DC:
World Bank Group; 2014 [diakses tanggal
29 Februari 2016]. Tersedia dari:
http://data.worldbank.org/indicator/SP.P
OP.1564.TO.ZS
Moriarty B, Hay R, Morris-Jones, R. The
diagnosis and management of tinea. BMJ.
2012; 345(7):e4380.
New Zealand Dermatological Society
Incorporated. Tinea corporis. Selandia
Baru: The International League of
Dermatological Societies [internet]. 2012
[disitasi pada tanggal 17 Februari 2016].
Tersedia dari: http://jukeunila.com/wpcontent/uploads/2015/12/117-210-1SM.pdf
Seyfarth F, Ziemer M, Gräser Y, Elsner P,
Hipler UC. Widespread tinea corporis
caused by Trichophyton rubrum with
non-typical
cultural
characteristicsdiagnosis via PCR. Mycoses. 2007;50
Suppl 2:26-30.
Badan POM RI. InfoPOM-Infeksi jamur
pada kulit vol. 13 No. 6 NovemberDesember. BPOM RI [internet]. 2012.
[disitasi pada tanggal 17 Februari 2016].
Tersedia
dari:
http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLa
innya/Buletin%20Info%20POM/0612.pdf
Kuswadji, Budimulja U. Penatalaksanaan
dermatofitosis di Indonesia. MDVI.
1997;24(1):36-9.
Gupta A, Cooper EA, Ryder JE, Nicol KA,
Chow M, Chaundhry MM. Optimal
management of fungal infections of the
skin, hair, and nail. Am J Clin Dermatol.
2004;5(4):225-37.
Akinwale, SO. Personal hygiene as an
alternative to griseofulvin in the
treatment of tinea cruris. Afr J Med Med
Sci. 2000;29(1):41-3. Wingfield AB,
Fernandez-Obregon AC, Wignall FS, Greer
DL. Treatment of tinea imbricata: a
randomized
clinical
trial
using
Vidianka dan Ricky | Penatalaksanaan Tinea Korporis pada Wanita Usia 47 Tahun di Kelurahan Karang Anyar
17.
18.
19.
20.
griseofulvin, terbinafine, itraconazole and
fluconazole. Br J Dermatol. 2004;
150(1):119-26.
Habif TP. Clinical dermatology. Edisi 4.
Edinburgh: Mosby. 2004.
Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP.
Dermatology. Edisi ke-2. St. Louis, Mo.:
Mosby Elsevier. 2007.
Baligni K, Vardi VL, Barzegar MR et al.
Extensive
tinea
corporis
with
photosensivity: case report. Indian J
Dermatol [internet]. 2009 [diakses pada
tanggal 17 Februari 2016]; 54:57-9.
Tersedia
dari:
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.
php/medula/article/view/406
Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis
MR. 2006. Superficial mycoses and
dermatophytes. Dalam: Tyring SK, Lupi O,
Hengge
UR,
editors.
Tropical
dermatology. China: Elsenvier inc.
hlm.185-92.
J Medula Unila | Volume 5 | Nomor 1 | Mei 2016 | 139
Download