12 BAB II KERANGKA TEORITIS Bab ini membahas kajian pustaka

advertisement
BAB II
KERANGKA TEORITIS
Bab ini membahas kajian pustaka yang berhubungan dengan konsep
komunikasi interpersonal dan semangat kerja yang melandasi penelitian beserta
kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian.
A.
Kajian Pustaka
1.
Konsep Komunikasi Interpersonal
a.
Pengertian Komunikasi Interpersonal
Organisasi merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai macam
unsur yang satu sama lain sangat berkaitan erat. Salah satu unsurnya adalah
sumber daya manusia karena sumber daya manusia merupakan salah satu unsur
yang dapat menentukan keberhasilan suatu organisasi.
Sumber daya manusia bersifat heterogen yang terdiri dari individuindividu yang berinteraksi untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan organisasi.
Dalam suatu kerjasama diperlukan koordinasi yang dapat dijadikan kekuatan
secara sinergis menuju satu tujuan yang telah ditetapkan dalam visi dan misi
organisasi.
Untuk mewujudkan koordinasi yang efektif dibutuhkan komunikasi karena
melalui komunikasi akan menciptakan kerja sama yang harmonis serta
menciptakan iklim kerja yang efektif bagi kelangsungan hidup organisai.
12
13
Sebagaimana dinyatakan oleh Permana (2003:18): “Komunikasi di dalam
sebuah organisasi tidak lain dari sebuah kekuatan yang mempertahankan
eksistensi organisasi, tanpa komunikasi itu tidak mungkin berfungsi”. Komunikasi
bertujuan untuk menyampaikan pesan dari satu pihak kepada pihak lainnya,
seperti yang diungkapkan oleh James A.F Stoner dan dikutip oleh A.W. Widjaja
(1993:45) bahwa: “Komunikasi adalah proses dimana seseorang berusaha
memberikan pengertian dengan cara pemindahan pesan”.
Selain untuk menyampaikan pesan, komunikasi juga bertujuan untuk
mempengaruhi orang lain agar melaksanakan sesuatu atau perilaku seperti apa
yang kita harapkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Everent M. Rogers ( dalam
Hafield Cangara, 2006:19) bahwa “Komunikasi adalah proses dimana suatu ide
dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku mereka”.
Definisi lain yang memperkuat pernyataan tersebut diungkapkan oleh
Hafield Cangara (2006:18) bahwa:
Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki
orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar
sesama manusia melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan
tingkah laku orang lain serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku
itu.
Dapat disimpulkan menurut pendapat-pendapat diatas bahwa melalui
komunikasi seorang pimpinan dapat mempengaruhi pegawainya untuk memiliki
sikap dan perilaku yang dapat memperlancar dalam usaha pencapaian tujuan.
Dalam komunikasi dibutuhkan adanya saling pengertian di antara kedua belah
14
pihak agar maksud yang ingin disampaikan dapat berhasil, seperti yang
dinyatakan oleh A.W. Widjaja (2000:8) bahwa:
Komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang
kepada orang lain. Komunikasi telah dapat berhasil baik apabila sekiranya
timbul saling pengertian, yaitu jika kedua belah pihak si pengirim dan si
penerima informasi dapat memahami.
Untuk itu dalam kehidupan suatu organisasi berkomunikasi harus dapat
dilakukan oleh orang perorang atau kelompok sebagaimana diungkapkan oleh
William F. Glueck (dalam A.W. Widjaja, 2000:8) bahwa:
Komunikasi dapat dibagi dalam dua bagian utama, yakni :
1. Interpersonal communication, komunikasi antarpribadi yaitu proses
pertukaran informasi serta pemindahan pengertian antara dua orang
atau lebih di dalam suatu kelompok kecil manusia.
2. Organization communication, yaitu dimana pembicara secara
sistematis memberikan informasi dan memindahkan pengertian kepada
orang banyak di dalam organisasi dan kepada pribadi-pribadi dan
lembaga-lembaga yang ada hubungan.
Seperti yang diungkapkan oleh William F. Glueck (dalam A.W Widjaja,
2000:8), komunikasi interpersonal merupakan salah satu komunikasi yang
dianggap sebagai komunikasi yang paling efektif karena dilakukan secara
langsung antara komunikator dan komunikan, sehingga bisa mempengaruhi satu
sama lain. Wiryanto (2005:36) mengungkapkan bahwa “Pada hakikatnya
komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara komunikator dengan
komunikan, bahwa komunikasi ini paling efektif mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku seseorang”. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan
oleh Weafer dalam Hafied Cangara (2006:19) bahwa “komunikasi interpersonal
adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi perilaku satu sama
lainnya, sengaja atau tidak disengaja”.
15
Menurut Tjutju Yuniarsih, dkk (1997:94), “Komunikasi interpersonal
adalah proses interaksi seseorang yang berlangsung secara individual”. Mereka
mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi hubungan ini,
yaitu 1) rasa percaya diri, yang tumbuh oleh adanya sikap menerima, empati dan
kejujuran 2) kebutuhan untuk saling berhubungan satu sama lain 3) sikap suportif
adalah sikap yang mengurangi sikap defensive dalam komunikasi, maksudnya
ialah sikap yang memberikan dukungan (dorongan), bukan penolakan 4) sikap
terbuka bukan dognatisme, maksudnya komunikasi antarpribadi diartikan sebagai
pertemuan antara dua, tiga, atau mungkin empat orang yang terjadi sangat spontan
dan tidak berstruktur. Fred Luthans (2006:380) menyatakan bahwa “Komunikasi
interpersonal dilihat sebagai metode dasar yang mempengaruhi perubahan
perilaku”.
Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud
dengan
komunikasi
interpersonal
adalah
komunikasi
yang
menyampaikan informasi antara komunikator kepada komunikan yang dilakukan
dua arah secara tatap muka sehingga lebih efektif mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku seseorang dalam bekerja.
b.
Unsur-Unsur Komunikasi Interpersonal
Di dalam komunikasi interpersonal terdapat unsur-unsur yang tidak dapat
dipisahkan karena tanpa unsur-unsur tersebut komunikasi interpersonal tidak
berlangsung. Unsur-unsur tersebut menurut Hafied Cangara (2006:23-27) adalah:
1. Sumber (komunikator), semua peristiwa komunikasi telah melibatkan
sumber sebagai pembuat atau pengirim informasi. Sumber sering
disebut source, sender atau encoder.
16
2. Pesan, adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima.
Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media
komunikasi.
3. Media, adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari
sumber kepada penerima.
4. Penerima, adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh
sumber. Penerima adalah elemen penting dalam proses komunikasi,
karena dialah yang menjadi sasaran komunikasi.
5. Pengaruh atau efek, adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan,
dirasakan dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima
pesan. Pengaruh ini bisa terjadi pada pengetahuan, sikap dan tingkah
laku seseorang.
6. Tanggapan balik
7. Lingkungan
Onong U. Effendy (1992:10) menyatakan bahwa unsur-unsur yang
terdapat dalam proses komunikasi adalah sebagai berikut:
-
Komunikator (communicator, source, sender)
Pesan (message)
Media (channel,media)
Komunikan (communicant, communicate, receiver, recipient)
Efek (effect, impact, influence)
Maka dapat disimpulkan menurut paparan diatas bahwa komunikasi
interpersonal tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya komunikator, komunikan,
pesan, media, efek dan timbal balik di antara kedua belah pihak karena unsurunsur tersebut saling berkaitan satu sama lain.
c.
Tujuan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal dilakukan dengan berbagai tujuan, seperti yang
diungkapkan oleh Devito (1992:13-14) yang dikutip J. Permana (2003:22), yaitu:
1. Untuk mempelajari secara lebih baik dunia luar, seperti berbagai
objek, peristiwa dan orang lain.
2. Untuk memelihara hubungan dan mengembangkan kedekatan atau
keakraban.
3. Untuk mempengaruhi sikap-sikap dan perilaku orang lain.
4. Untuk menghibur diri atau bermain.
17
Lebih lengkap lagi A.W. Widjaja (2000:122) mengemukakan adanya enam
tujuan komunikasi antarpribadi, yaitu:
1. Mengenal diri sendiri dan orang lain
Salah satu cara untuk mengenal diri kita sendiri adalah melalui
komunikasi antarpribadi. Komunikasi antarpribadi memberikan
kesempatan bagi kita untuk memperbincangkan diri kita sendiri.
Dengan membicartelah tentang diri kita sendiri pada orang lain, kita
telah mendapat perspektif baru tentang diri kita sendiri dan memahami
lebih mendalam tentang sikap dan perilaku kita.
2. Mengetahui dunia luar
Komunikasi antarpribadi memungkinkan kita untuk memahami
lingkungan kita secara baik yakni tentang objek, kejadian-kejadian dan
orang lain.
3. Menciptakan dan memelihara hubungan.
Banyak waktu yang kita gunakan dalam komunikasi antarpribadi
bertujuan untuk menciptakan dan memelihara hubungan sosial dengan
orang lain. Hubungan demikian membantu mengurangi kesepian dan
ketegangan serta membuat kita merasa lebih posotif tentang diri kita
sendiri.
4. Mengubah sikap dan perilaku.
Dalam komunikasi antarpribadi sering kita berupaya menggunakan
sikap dan perilaku orang lain. Kita ingin seseorang memilih suatu cara
tertentu, berpikir dalam cara tertentu, percaya bahwa sesuatu benar
atau salah dan sebagainya. Singkatnya kita banyak mempergunakan
waktu untuk mempersuasi orang lain melalui komunikasi antarpribadi.
5. Bermain dan mencari hiburan.
Bermain mencakup semua kegiatan untuk memperoleh kesenangan.
Sering kali tujuan ini dianggap tidak penting, tetapi sebenarnya
komunikasi yang demikian perlu dilakukan karena bisa member
suasana yang lepas dari keseriusan, ketegangan, kejenuhan dan
sebagainya.
6. Membantu orang lain.
Psikiater, psikolog klinik dan ahli terapi adalah contoh-contoh profesi
yang mempunyai fungsi menolong orang lain. Tugas-tugas tersebut
sebagian besar dilakukan melalui komunikasi antarpribadi.
Dari tujuan-tujuan komunikasi interpersonal diatas dapat diketahui bahwa
komunikasi interpersonal dapat memelihara hubungan dan mengembangkan
kedekatan dan keakraban di antara kedua belah pihak.
18
Hal ini juga dapat terjadi di suatu perusahaan dimana pimpinan
mengadakan komunikasi interpersonal dengan pegawainya untuk menjalin
kedekatan di antara mereka sehingga suasana di perusahaan tersebut penuh
dengan keakraban dan kekeluargaan.
d.
Fungsi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi Interpersonal memiliki beberapa fungsi, diantaranya menurut
A.W. Widjaja (1993:9-10) bahwa komunikasi adalah untuk:
1. Informasi
pengumpulan, penyimpanan, pemprosesan, penyebaran berita, data,
gambar, fakta pesan opini dan komentar yang dibutuhkan agar dapat
dimengerti.
2. Sosialisasi (pemasyarakatan)
Penyediaan sumber ilmu pengetahuan yang memungkinkan orang
bersikap dan bertindak sebagai anggota masyarakat yang efektif.
3. Motivasi
Mendorong orang menentukan pilihannya dan keinginannya,
mendorong kegiatan individu dan kelompok berdasarkan tujuan
bersama yang telah dikejar.
4. Perdebatan dan diskusi
Menyediakan dan saling menukar fakta yang diperlukan untuk
memungkinkan persetujuan atau menyelesaikan perbedaan pendapat
mengenai masalah kelompok.
5. Pendidikan
Pengalihan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan
intelektual.
6. Memajukan kebudayaan
Penyebaran hasil kebudayaan dan seni dengan maksud melestarikan
warisan masa lalu.
7. Hiburan
Penyebarluasan sinyal, symbol, suara dan image dari drama, tari,
kesenian dan lain-lain untuk rekreasi, kesenangan kelompok dan
individu.
8. Integrasi
Menyediakan bagi bangsa, kelompok dan individu kesempatan untuk
memperoleh berbagai pesan yang mereka perlukan agar mereka dapat
saling kenal dan mengerti dan menghargai kondisi, pandangan dan
keinginan orang lain.
19
Fungsi-fungsi
di
atas
lebih
bersifat
umum.
Fungsi
komunikasi
interpersonal yang lebih menjurus ke dalam suatu organisasi perusahaan menurut
Malayu S.P. Hasibuan (1996:196) adalah:
1. Instructive, artinya komunikasi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan
perintah dari atasan kepada bawahannya.
2. Evaluative, artinya komunikasi berfungsi untuk menyampaikan laporan dari
bawahan kepada atasan.
3. Informative, komunikasi dalam hal ini berfungsi untuk menyampaikan
informasi, berita, dan pesan-pesan lainnya.
4. Influencing, artinya komunikasi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan
saran-saran, nasihat-nasihat dari seseorang kepada orang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat diketahui bahwa fungsi komunikasi
interpersonal yaitu: 1) Dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan diantara
pihak-pihak yang berkomunikasi, 2) Dapat membina hubungan baik sehingga
menghindari dan mengatasi terjadinya konflik diantara pihak yang berkomunikasi
serta dapat berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain, 3) Dapat
melancarkan penerimaan tugas atau perintah dari pimpinan organisasi kepada
karyawan dan begitu sebaliknya pegawai lebih mudah melaporkan tugas-tugasnya
kepada pimpinan sehingga tujuan organisasi lebih mudah dicapai, 4) Dapat
mempengaruhi perilaku dan persepsi orang lain sehingga biasa memperbaiki
kualitas kerjanya.
Dari fungsi-fungsi komunikasi interpersonal diatas, dapat terlihat bahwa
salah satu fungsinya adalah untuk memberikan motovasi dan pertukaran informasi
di antara atasan dan bawahan. Oleh karena itu komunikasi interpersonal ini sangat
penting untuk dilaksanakan karena telah mempengaruhi kelancaran arus informasi
di dalam suatu organisasi perusahaan dan dapat digunakan untuk mempengaruhi
semangat kerja pegawainya.
20
e.
Efektivitas Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal sebagai suatu bentuk perilaku dapat berubah
dari sangat efektif ke sangat tidak efektif. Pada suatu saat komunikasi
interpersonal ini telah berjalan dengan baik dan pada saat yang lain komunikasi
ini bias berjalan dengan buruk. Untuk mengetahui apakah komunikasi
interpersonal yang kita jalankan efektif atau tidak, kita harus mengetahui faktorfaktornya.
Kumar (dalam Wiryanto, 2005:36) berpendapat bahwa hubungan
interpersonal telah terjadi secara efektif apabila kedua belah pihak memenuhi
kondisi berikut:
1. Keterbukaan, artinya kemauaan menanggapi dengan senang hati
informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi.
2. Empati, artinya merasakan apa yang dirasakan orang lain.
3. Dukungan, artinya situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi
berlangsung efektif.
4. Rasa positif, artinya seseorang harus memiliki perasaan positif
terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan
menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
5. Kesetaraan, artinya pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah
pihak menghargai, berguna dan mempunyai sesuatu penting untuk
disumbangkan.
Sedangkan karakteristik-karakteristik efektivitas komunikasi interpersonal
yang dikemukakan oleh Yoseph De Vito dalam bukunya The Interpersonal
Communication Book ( dalam Widjaja, 2000: 127-128) dilihat dari dua perspektif,
yaitu:
1. Perspektif humanistic, meliputi sifat-sifat:
- Keterbukaan (openness)
- Perilaku suportif (supportiveness)
- Perilaku Positif (positiviness)
- Empati (emphaty)
- Kesamaan (equality)
21
2. Perspektif pragmatis, meliputi sifat-sifat:
- Bersifat yakin (confidence)
- Kebersamaan (immediacy)
- Manajemen interaksi (interaction management)
- Perilaku ekspresif (expressiveness)
- Orientasi pada orang lain (other orientation)
Berdasarkan
pendapat
yang
telah
diuraikan
sebalumnya,
dapat
disimpulkan bahwa: 1) komunikasi yang efektif telah menimbulkan pengertian,
kesenangan, perubahan sikap, dan hubungan yang makin baik, 2) komunikasi
dikatakan efektif jika terjadi kesatuan dan kesamaan makna tentang apa yang
diinginkan pengirim dengan apa yang dipersepsi oleh penerima, 3) komunikasi
yang efektif merupakan target ideal bagi setiap organisasi, karena melalui proses
komunikasi itulah telah diperoleh banyak informasi penting dan berguna untuk
pengambilan keputusan.
Dengan demikian dari pendapat para ahli bisa dilihat bahwa ada beberapa
persamaan yaitu bahwa komunikasi interpersonal akan efektif bila di dalamnya
terdapat empati, saling terbuka, dan saling percaya sehingga antara kedua belah
pihak telah terjalin hubungan yang baik.
f.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi Interpersonal
Scott M.Cultip dan Allen H.Center (I.G. Wursanto, 1987:68-70)
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal,
yaitu:
a. Keterpercayaan
Dalam komunikasi antara komunikator dengan komunikan harus saling
mempercayai. Kalau tidak ada unsur saling mempercayai, komunikasi
tidak telah berhasil atau menghambat komunikasi.
22
b. Hubungan/pertalian
Keberhasilan komunikasi berkaitan erat dengan situasi atau kondisi
lingkungan pada waktu komunikasi berlangsung.
c. Kepuasan
Komunikasi harus dapat menimbulkan rasa kepuasan, antara kedua
belah pihak. Kepuasan ini telah tercapai apabila isi berita dapat
dimengerti oleh komunikan dan sebaliknya pihak komunikan mau
memberikan reaksi atau respon kepada pihak komunikator.
d. Kejelasan
Kejelasan yang dimaksud adalah kejelasan yang meliputi kejelasan
telah berita, tujuan yang hendak dicapai dan istilah-istilah yang
dipergunakan.
e. Kesinambungan dan konsistensi
Komunikasi harus dilakukan terus menerus dan informasi yang
disampaikan jangan bertentangan yang terdahulu.
f. Kemampuan pihak penerima berita/pesan
Komunikator harus menyesuaikan istilah-istilah yang dipergunakan
dengan kemampuan dan pengetahuan komunikan.
g. Saluran pengiriman berita
Agar komunikasi berhasil, hendaknya dipakai saluran-saluran
komunikasi yang sudah biasa dipergunakan dan sudah dikenal oleh
umum.
Sedangkan Brent D. Ruben (dalam Hafied Cangara, 2006:144)
mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal,
yaitu:
1. Penerima
a. Keterampilan berkomunikasi
b. Kebutuhan
c. Tujuan yang diinginkan
d. Sikap, nilai, kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan
e. Kemampuan untuk menerima
f. Kegunaan pesan
2. Pesan
a. Tipe dan model pesan
b. Karakteristik dan fungsi pesan
c. Struktur pengelolaan pesan
d. Kebaharuan (aktualisasi) pesan
3. Sumber
a. Kredibilitas dan kompetensi dalam bidang yang disampaikan
b. Kedekatan dengan penerima
c. Motivasi dan perhatian
d. Kesamaan dengan penerima
23
e. Cara penyampaiannya
f. Daya tarik
4. Media
a. Tersedianya media
b. Kehandalan (daya input) media
c. Kebiasaan menggunakan media
d. Tempat dan situasi
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komunikasi interpersonal yaitu:
1. Keterpercayaan harus ditumbuhkan agar komunikasi interpersonal
berjalan lancar tanpa adanya hambatan.
2. Hubungan antara kedua belah pihak harus harmonis agar komunikasi
interpersonal dapat berhasil.
3. Berita yang disampaikan harus jelas sehingga tidak terjadi kesalahan
penafsiran.
2.
Konsep Semangat Kerja
a.
Pengertian Semangat Kerja
Semangat kerja atau dalam istilah asingnya disebut morale merupakan hal
yang harus dimiliki oleh setiap pegawai agar produktivitas kerjanya meningkat,
oleh karena itu selayaknya setiap perusahaan selalu berusaha agar semangat kerja
pegawai meningkat. Dengan semangat kerja yang tinggi, maka dapat diharapkan
aktivitas perusahaan berjalan dengan baik sehingga tujuan perusahaan dapat
tercapai.
Menurut Keith Davis (1989:76), berbicara mengenai moral kerja atau
semangat kerja, kita selalu mengartikan moral sebagai sikap perorangan dan
24
kelompok terhadap lingkungan kerjanya dan sikap untuk bekerja sebaik-baiknya
dengan mengerahkan kemampuan yang dimiliki secara sukarela. Dalam hal ini
lebih menekankan pada dorongan untuk bekerja dengan sebaik-baiknya daripada
sekedar kesenangan saja.
Selanjutnya William B. dan Keith Davis (1993:541-549) menghubungkan
moral kerja dengan Quality of Work Life Effort, menurutnya: “Moral kerja
bermanfaat dan dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan yang erat
kaitannya dengan usaha membina relasi antar karyawan, komunikasi informal dan
formal, pembentukan disiplin serta konseling”.
Menurut Alex S. Nitisemito (2001:160) mengungkapkan semangat kerja
adalah “Melakukan pekerjaan secara lebih giat sehingga dengan demikian
pekerjaan dapat selesai lebih cepat dan lebih baik”. Lebih lanjut, dapat diartikan
semangat kerja sebagai sesuatu yang positif dan sesuatu yang baik, sehingga
mampu memberikan sumbangan terhadap pekerjaan dalam arti lebih cepat dan
lebih baik.
Bedjo Siswanto (1989:264) mengemukakan bahwa:
Moral kerja atau semangat dan kegairahan kerja adalah sebagai suatu
kondisi rohaniah atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompokkelompok yang menimbulkan kesenangan dalam diri pekerja untuk
bekerja dengan giat dan konsekuensi dalam mencapai tujuan dan aturan
niat yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Alexander Leighten (dalam Moekijat, 1989:130) mengungkap bahwa
semangat kerja adalah:
Kemampuan sekelompok orang-orang untuk bekerja sama dengan giat dan
konsekuen dalam mengejar tujuan bersama. Bekerja sama menekankan
dengan tegas hakekat saling hubungan (the cohesive nature) dari suatu
kelompok dengan suatu keinginan yang nyata untuk sampai pada tujuan
25
melalui disiplin bersama. Tujuan bersama menjelaskan bahwa tujuannya
adalah satu yang mereka inginkan.
Dale S. Beach (1980:443-444) yang dikutip oleh Burhanuddin (1994:271)
mendefinisikan moral adalah:
The total satisfaction a person derives from his job, his work group, his
boss, the organization, and his environment. It is also affected by his
personality structure. Morale pertains to the general feeling of well being,
satisfaction, and happiness of people.
Rumusan yang sederhana dapat di terjemahkan bahwa semangat kerja
merupakan kepuasan secara keseluruhan yang diperoleh seseorang dari pekerjaan,
kelompok kerja, pimpinan, organisasi dan lingkungannya. Ia dipengaruhi oleh
struktur pribadi seseorang yang berkenaan dengan perasaan kesejahteraan,
kepuasan, dan kebahagiaan orang-orang.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
semangat kerja merupakan gambaran dedikasi seseorang atau sekelompok orang
dalam penyelesaian tugas yang dapat lebih cepat atau sebaliknya, dan suasana
keseluruhan yang dirasakan dalam lingkungan kerja yang mencakup sifat atau
tabi’at, tingkah laku atau perbuatan, suasana batin (rohaniah) yang mencerminkan
perasaan senang, bahagia, loyalitas, dan kegairahan atau sebaliknya dalam
melaksanakan pekerjaan.
Dengan demikian apabila organisasi mampu meningkatkan semangat
kerja, maka organisasi telah memperoleh keuntungan. Seperti: pekerjaan lebih
cepat diselesaikan, ketidakpedulian dapat dikurangi, absensi dapat diperkecil, dan
lain-lain.
26
b.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Semangat kerja
Peningkatan semangat kerja pegawai dalam suatu perusahaan merupakan
suatu hal yang sangat penting. Pegawai yang memiliki semangat kerja yang tinggi
akan memberikan keuntungan pada perusahaan dan sebaliknya pegawai yang
memiliki semangat kerja yang rendah dapat mendatangkan kerugian pada
perusahan. Oleh karena itu, pimpinan perusahaan haruslah mengetahui faktorfaktor yang dapat mempengaruhi semangat kerja.
Menurut Zainun (1984:91) “ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya semangat kerja pegawai dalam suatu organisasi yaitu
komunikasi, kepuasan kerja, lingkungan kerja, partisipasi, motivasi dan
kepemimpinan”.
Tinggi rendahnya semangat atau kegairahan kerja seseorang tidak terjadi
dengan sendirinya, melainkan banyak faktor yang mempengaruhinya. Seperti
yang diungkapkan oleh Bedjo Siswanto (1989:268), yaitu:
1) Hubungan yang harmonis antara pimpinan dan bawahan.
2) Kepuasan pegawai terhadap tugas dan pekerjaannya karena
memperoleh pekerjaan yang disukainya.
3) Terdapatnya suasana iklim kerja yang bersahabat.
4) Rasa kemanfaatan bagi tercapainya tujuan organisasi yang juga
merupakan tujuan bersama, yang harus diwujudkan bersama pula.
5) Adanya tingkat kepuasan ekonomi dan kepuasan materil lainnya yang
memadai.
6) Adanya ketenangan jiwa.
Menurut Sudarwan Danim (2004:52) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi semangat kerja pegawai adalah:
1) Kesadaran telah tujuan organisasi.
2) Hubungan antar-manusia dalam organisasi berjalan harmonis.
3) Kepemimpinan yang menyenangkan.
27
4) Tingkatan organisasi.
5) Upah dan gaji.
6) Kesempatan untuk meningkat atau promosi.
7) Pembagian tugas dan tanggung jawab.
8) Kemampuan individu.
9) Perasaan diterima dalam kelompok.
10) Dinamika lingkungan.
11) Kepribadian.
Lebih lanjut Alex S. Nitisemito (1992:170) menguraikan, bahwa terdapat
sebelas faktor yang mempengaruhi semangat kerja. Kesebelas faktor tersebut
dijabarkan dibawah ini:
1) Gaji yang cukup
2) Memperhatikan kebutuhan rohani
3) Menciptakan suasana santai
4) Harga diri perlu mendapatkan perhatian
5) Tempatkan karyawan pada posisi yang tepat
6) Berikan kesempatan kepada mereka untuk maju
7) Perasaan aman menghadapi masa depan perlu diperhatikan
8) Usahtelah para pegawai mempunyai loyalitas
9) Sesekali karyawan perlu diajak berunding
10) Pemberian insentif yang terarah
11) Fasilitas yang menyenangkan
Hadari Nawawi (1983:122) mengungkapkan bahwa semangat kerja dari
setiap personal yang terlibat di dalamnya, merupakan faktor yang menentukan
bagi tercapainya tujuan lembaga. Oleh karena itu, ia mengemukakan beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap tinggi rendahnya semangat kerja, yaitu sebagai
berikut:
1)
2)
3)
4)
Berdasarkan faktor minat atau perhatian terhadap pekerjaan.
Faktor upah dan gaji.
Faktor status sosial dari pekerjaan.
Adanya pengabdian terhadap pekerjaan. Maksudnya, bahwa tujuan dan
sifat pengabdian diri terhadap pekerjaan mengakibatkan seseorang
bersedia untuk rela berkorban demi pekerjaannya sehingga hal ini telah
mempengaruhi semangat kerja.
5) Faktor suasana kerja dan hubungan kemanusiaan yang baik, sehingga
setiap orang merasa diterima dan dihargai dalam kelompoknya dapat
mempertinggi semangat kerja.
28
Menurut Ami Widjaja (1990:72) terdapat faktor-faktor yang menyebabkan
tinggi rendahnya semangat kerja yaitu:
1) Faktor intern
Situasi yang terdapat dalam intern organisasi, misalnya pemimpin
yang berlaku objektif, adil, memperhatikan nasib bawahan, ada
kesempatan yang sama untuk berkembang, dan lain-lain.
2) Faktor ekstern
Pandangan masyarakat terhadap organisasi itu, misalnya jika
masyarakat memandang sesuatu organisasi sebagai sumber korupsi,
maka masyarakat telah memandang rendah organisasi itu dan
akibatnya semua pegawai yang bekerja pada organisasi dianggap
memiliki tabiat buruk, dan sebaliknya.
Faktor-faktor di atas sangat mempengaruhi tinggi rendahnya semangat
kerja pegawai. Oleh karena itu, perusahaan harus selalu memperhatikan faktorfaktor tersebut karena apabila semangat kerja pegawai menurun dan berada pada
tingkat yang rendah maka telah sangat merugikan pihak perusahaan.
c.
Indikasi Semangat Kerja
Semangat kerja dapat menggambarkan suasana batin dalam suatu
organisasi atau perusahaan. Hal ini dapat dilihat pada sikap dan perilaku dalam
menghadapi pekerjaannya. Selama ini kondisi semangat kerja hanya dapat diukur
dengan mengidentifikasi beberapa indikator yang memperlihatkan perilaku nyata
dalam menjalankan tugasnya.
1.
Indikasi semangat kerja rendah
Semangat kerja memiliki perilaku yang dapat diamati dan digambarkan
yang disebut indikasi semangat kerja. Menurut Moekijat (1999:130) bahwa:
Apabila mereka merasa baik, bahagia, optimis, kebanytelah orang
menggambarkan orang-orang tersebut sebagai mempunyai moril yang
tinggi. Apabila orang suka membantah, menyakitkan hati, kelihatan aneh,
29
merasa dalam kesulitan, dan tidak tenang/tentram maka keadaan mereka
dapat digambarkan sebagai mengandung moril yang rendah.
Tanda-tanda perubahan semangat kerja perlu diketahui oleh perusahaan,
perusahaan dapat mengambil tindtelah-tindtelah perbaikan jika ternyata diketahui
bahwa dari tanda-tanda tersebut menunjukan semangat kerja yang menurun,
sehingga perusahaan dapat terhindar dari kerugian. Alex. S. Nitisemito (1996:9)
mengemukakan bahwa menurunnya tingkat semangat kerja pegawai pada suatu
perusahaan dapat digambarkan sebagai berikut:
…perusahaan seperti itu jalannya telah sangat terhambat karena kemalasan
para pegawainya. Mereka banyak yang absen, pekerjaan banyak salah,
barang-barang banyak yang rusak karena kurang terurus. Para pegawai
yang susah payah telah didik berpindah ke perusahaan lain. Selain itu
masih banyak kerugian-kerugian lain diakibatkan karena tidak ada
semangat kerja pada diri pegawai.
Menurut Piet A. Suhertian dan Frans Mataheru (1991:276) “Semangat
kerja yang rendah dapat diketahui bila seseorang selalu melamun, bermalasmalasan, suka menganggur, sering meninggalkan tugas, selalu cekcok dengan
orang lain, apatis terhadap tugas, sering datang terlambat”.
Menurut Alex S. Nitisemito (1996:97) indikasi adanya penurunan
semangat dan kegairahan kerja adalah sebagai berikut:
1. Turunnya/rendahnya produktivitas
Salah satu indikasi turunnya semangat dan kegairahan kerja adalah
ditunjukan dari turunnya produktivitas kerja. Turunnya produktivitas
kerja ini dapat diukur atau diperbandingkan dengan waktu sebelumnya.
Produktivitas kerja ini dapat diukur atau diperbandingkan dengan
waktu sebelumnya. Produktivitas kerja yang turun ini dapat terjadi
karena kemalasan, penundaan pekerjaan dan sebagainya. Dan itu
semua merupakan suatu indikasi adanya semangat dan kegairahan
kerja yang turun.
30
2. Tingkat absensi yang naik/tinggi
Tingkat absensi yang naik, sebenarnya juga merupakan salah satu
indikasi turunnya semangat dan kegairahan kerja, karena itu bila ada
gejala-gejala absensi naik maka perlu segera dilakukan penelitian.
3. Labour turnover (tingkat perpindahan buruh) yang tinggi
Keluar masuknya karyawan yang meningkat disebabkan karena
ketidaksenangan mereka bekerja pada perusahaan tersebut, sehingga
untuk itu mereka berusaha mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih
sesuai.
4. Tingkat kerusakan yang naik/tinggi
Indikasi lain yang menunjukkan turunnya semangat dan kegairahan
kerja adalah bilamana ternyata tingkat kerustelah baik terhadap bahan
baku, barang jadi maupun peralatan yang dipergunakan meningkat.
Naiknya tingkat kerustelah tersebut sebetulnya menunjukan bahwa
perhatian dalam pekerjaan berkurang, terjadinya kecerobohan dalam
pekerjaan dan sebagainya.
5. Kegelisahan dimana-mana
Kegelisahan dimana-mana telah terjadi bilamana semangat dan
kegairahan kerja turun. Sebagai seorang pemimpin, kita harus
mengetahui adanya kegelisahan-kegelisahan yang timbul. Kegelisahankegelisahan itu dapat terwujud dalam bentuk ketidaktenangan kerja,
keluh kesah serta hal-hal lain.
6. Tuntutan yang sering kali terjadi
Sering terjadi tuntutan juga sebetulnya merupakan indikasi semangat
dan kegairahan kerja yang turun. Tuntutan sebetulnya merupakan
perwujudan dari ketidakpuasan, dimana pada tahap tertentu telah
menimbulkan keberanian untuk mengajukan tuntutan.
7. Pemogokan
Tingkat indikasi yang paling kuat tentang turunnya semangat dan
kegairahan kerja bilamana terjadi pemogokan. Hal ini disebabkan
karena pemogokan merupakan perwujudan dari ketidakpuasan,
kegelisahan dan lain sebagainya. Bilamana hal ini telah memuncak dan
tidak tertahan lagi, maka hal ini telah menimbulkan tuntutan, dan
bilamana tuntutan ini tidak berhasil pada umumnya berakhir pada
suatu pemogokan.
Gouzali Saydam (2000:444) moril dan kegairahan kerja yang rendah telah
tercermin pada gejala-gejala berikut:
1.
2.
3.
4.
Tingkat kemangkiran yang tinggi.
Timbulnya keresahan pada SDM dalam bekerja.
Produktivitas menurun.
Sering timbulnya aksi unjuk rasa dan pemogokan.
31
Moekijat (1999:130) berpendapat bahwa “Semangat atau moril yang
rendah dihubungkan dengan ketidaktenangan atau kegelisahan”. Kegelisahan ini
merupakan tanda-tanda dari semangat kerja yang rendah. Adapun kegelisahan
menurut Moekijat (1999:146-148) diakibatkan oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kekurangan perhatian.
Kelelahan.
Keadaan yang membosankan.
Keluhan-keluhan.
Pemogokan-pemogokan.
Tingkat ketidakhadiran yang tinggi.
Masalah-masalah disiplin.
Pengurangan jumlah yang dihasilkan.
Menurut Gouzali Saydam (2000:445) gejala-gejala timbulnya keresahan
para SDM dalam perusahaan terlihat pada:
1.
2.
3.
4.
5.
Berkembangnya gosip dan isu-isu negatif.
Sering terjadinya pertengkaran mulut dan fisik antar pegawai.
Semakin berkurangnya rasa hormat bawahan kepada pimpinaan.
Para SDM lebih senang ngobrol daripada bekerja.
Perhatian mereka kurang tertumpah pekerjaan.
Disamping berkurangnya perhatian individu terhadap pekerjaannya.
Semangat kerja yang rendah dapat terlihat dari perilaku yang negatif berupa
penampilan kerja yang buruk dari individu. Dalam hal ini Lewis R. Benton (dalam
Piet A. Suhertian dan Frans Mataheru, 1991:277) mengemukakan bahwa
rendahnya semangat kerja ditandai oleh:
1.
2.
3.
4.
5.
Berkurangnya penghargaan terhadap pimpinan.
Menurunnya kualitas kerja dan produktivitas kerja.
Berkurangnya perhatian terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Berkurangnya kerjasama.
Berkurangnya perhatian atau kritik terhadap perusahaan atau lembaga
dan terhadap atasan atau pimpinan di lembaga dan di dalam
lingkungan pekerja.
6. Meningkatkan perpindahan.
7. Meningkatkan keluhan atau gangguan.
8. Tidak peduli terhadap gangguan yang datangnya dari luar.
32
2.
Indikasi semangat kerja tinggi
Piet A. Suhertian dan Frans Mataheru (1991:276) mengemukakan bahwa :
Indikator semangat kerja yang tinggi ditandai dengan perilaku positif
individu maupun kelompok dalam lingkungan kerjanya. Indikator moral
kerja yang tinggi antara lain ditandai oleh sikap penuh kegembiraan,
ketetapan hati, antusiasme, rasa senasib dan sepenanggungan, ingin
bekerja sama dan selalu mengambil inisiatif.
I.G. Wursanto (1998:150-156) menyebutkan bahwa beberapa indikasi
pegawai yang memiliki semangat kerja yang tinggi yaitu:
1.
2.
3.
4.
Disiplin yang tinggi, absensi minim.
Antusias dalam bekerja.
Human relation / Hubungan yang harmonis dalam organisasi
Loyalitas yang tinggi antara bawahan dan atasan, sesame rekan kerja,
pegawai dan perusahaan.
5. Kreativitas dan inisiatif yang tinggi.
6. Adanya kebanggaan para pegawai terhadap organisasi.
Perilaku positif ini merupakan gejala yang menyebabkan suatu kelompok
bersemangat untuk berusaha dalam mencapai terwujudnya tujuan bersama yang
telah ditetapkan. Dalam hal ini, The Liang Gie (dalam Piet A. Suhertian dan Frans
Mataheru, 1991:227) mengemukakan bahwa “Semangat kerja yang tinggi berarti
bahwa pegawai merasa gembira dalam pekerjaannya dan hubungan kerjanya”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pegawai akan lebih semangat
dalam bekerja apabila kebutuhan telah pegawai terpenuhi. Faktor yang
dikemukakan oleh beberapa para ahli antara lain absensi yang rendah, loyalitas
dalam bekerja, inisiatif dan kreatifitas yang tinggi dan perilaku yang positif antara
pekerja dalam satu organisasi. Faktor tersebut yang telah membantu organisasi
dalam pencapaian program kerja organisasi. Karena dengan semua faktor
terpenuhi pegawai telah lebih semangat dalam menjalankan tugas. Kebutuhan
pegawai terlihat pada gambar 2.1.
33
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
•
Kebutuhan materi dan
non materi
Gaji yang cukup
Kebutuhan rohani
Suasana santai
Tempat kerja yang baik
Harga diri
Posisi yang tepat
Kesempatan untuk maju
Perasaan aman di masa depan
Loyalitas
Diajak berunding
Insentif yang terarah
Fasilitas yang menyenangkan
Kepuasan
Semangat dan gairah kerja
Sumber: Alex S. Nitisemito (1996:102)
Gambar 2. 1
Proses Terjadinya Semangat Kerja
Berdasarkan gambar 2.1 dapat disimpulkan bahwa semangat kerja telah
muncul apabila kebutuhan dari para pegawai terpenuhi dengan baik. Kebutuhan
tersebut antara lain gaji yang cukup, hubungan yang harmonis antar pegawai,
perasaan aman, posisi yang tepat, insentif yang baik dan sebagainya.
d. Indikator untuk Mengukur Semangat Kerja
Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran dalam menentukan
tinggi rendahnya semangat kerja. Menurut Benge (dalam Yadi Purwanto,
1995:22) ada tiga aspek yang dapat dijadikan tolak ukur tinggi rendahnya
semangat kerja pegawai yakni sebagai berikut:
34
1) Aspek sikap terhadap pekerjaan, merupakan sikap pegawai secara
umum terhadap aspek-aspek pekerjaan yang meliputi jenis pekerjaan,
kemampuan melakukan pekerjaan, suasana fisik lingkungan kerja,
hubungan dengan rekan sekerja, serta sikap terhadap imbalan yang
diterima.
2) Aspek sikap terhadap atasan, sikap terhadap atasan dipengaruhi oleh
bagaimana perlakuan atasan terhadap karyawan, cara menangani
keluhan karyawan, cara penyampaian informasi, perencanaan tugas,
tindakan pendisiplinan karyawan, dan bagaimana pandangan terhadap
kemampuan atasannya dalam melaksanakan tugas.
3) Aspek sikap terhadap perusahaan, sikap terhadap perusahaan atau
organisasi dipengaruhi oleh kebijakan yang berlaku, pemenuhan
kebutuhan karyawan, pembanding dengan perusahaan lain, semangat
kelompok, dan hubungan dengan pihak atasan.
Menurut Nitisemito (1992), faktor-faktor untuk mengukur semangat kerja
adalah :
1) Absensi, karena absensi menunjukkan ketidakhadiran karyawan dalam
tugasnya. Hal ini termasuk waktu yang hilang karena sakit,
kecelakaan, dan pergi meninggalkan pekerjaan karena alasan pribadi
tanpa diberi wewenang.
2) Kerja sama dalam bentuk tindtelah kolektif seseorang terhadap orang
lain. Kerjasama dapat dilihat dari kesediaan karyawan untuk bekerja
sama dengan rekan kerja atau dengan atasan mereka berdasarkan untuk
mencapai tujuan bersama.
3) Kepuasan kerja sebagai keadaan emosional yang menyenangkan atau
tidak menyenangkan di mana para karyawan memandang pekerjaan
mereka.
4) Kedisiplinan sebagai suatu sikap dan tingkah laku yang sesuai
peraturan organasasi dalam bentuk tertulis maupun tidak.
I.G. Wursanto (1998:150-156) menyebutkan bahwa beberapa indikasi
pegawai yang memiliki semangat kerja yang tinggi yaitu:
1.
2.
3.
4.
Disiplin yang tinggi, absensi minim.
Antusias dalam bekerja.
Human relation / Hubungan yang harmonis dalam organisasi
Loyalitas yang tinggi antara bawahan dan atasan, sesame rekan kerja,
pegawai dan perusahaan.
5. Kreativitas dan inisiatif yang tinggi.
6. Adanya kebanggaan para pegawai terhadap organisasi.
35
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
aspek atau indikator untuk mengukur semangat kerja pegawai tidak hanya
berkisar kepada persoalan karakter individu terhadap pekerjaanya, melainkan juga
terhadap pimpinan dan rekan kerjanya.
e. Teknik Mengukur Semangat Kerja
Data semangat kerja perlu diketahui oleh perusahaan karena dapat
digunakan sebagai informasi untuk memperbaiki dan memelihara semangat kerja
pegawai. Data tersebut dapat dikumpulkan dengan berbagai macam metode.
Diantaranya adalah menurut Sudarwan Danim (2004:53) ada beberapa cara untuk
mengukur moral kerja atau semangat kerja pegawai, yakni sebagai berikut:
1) Observasi atau pengamatan, Observasi yang dianjurkan adalah bersifat alami
(participant observation), di mana observer atau pengamat berada pada
kondisi yang sesungguhnya.
2) Wawancara atau interview, cara ini dianggap cukup efektif untuk mengetahui
tinggi atau rendahnya moral kerja karyawan. Oleh karena itu hal-hal yang
bersifat teknis pelaksanaan wawancara perlu mendapat perhatian.
3) Angket, merupakan seperangkat pertanyaan tertulis yang harus diisi oleh
sekelompok subjek guna mengumpulkan data tertentu.
4) Alat ukur lainnya adalah penilaian terhadap hasil kerja pegawai. Jika suatu
saat produktivitas kerja berkurang dari biasanya, berarti kecenderungan
semangat kerja pegawai menurun, dan sebaliknya.
Menurut Benge (1990:78) ada tiga macam metode yang dapat digunakan
untuk mengukur semangat kerja, yaitu:
1) Menganalisis data perusahaan, meliputi pengunduran diri, keterlambatan
hadir, kemangkiran, keluhan pegawai, serta ketidakpedulian pegawai telah
pekerjaan, hasil kerja, maupun perusahaan.
2) Melakukan wawancara dengan pegawai, menggunakan pertanyaan-pertanyaan
yang telah disusun terlebih dahulu atau dengan memberi kesempatan kepada
pegawai untuk mengutartelah atau mengatakan segala hal yang mereka
inginkan.
3) Menggunakan kuesioner, hasilnya dapat dinyatakan dalam presentase maupun
dalam skor.
36
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa terdapat
beberapa metode umum untuk mengukur semangat kerja pegawai adalah dengan
melakukan wawancara, observasi langsung, serta penyebaran angket. Dengan
menggunakan beberapa metode tersebut, maka telah membantu pihak perusahaan
dalam mengetahui tinggi rendahnya semangat kerja pegawainya.
f.
Upaya Meningkatkan Semangat Kerja
Pembinaan semangat kerja para pegawai perlu dilakukan terus-menerus
agar mereka menjadi terbiasa memiliki semangat kerja yang tinggi dan penuh
gairah. Dengan kondisi demikian, para pegawai diharapkan dapat melakukan
pekerjaannya dengan baik dan kreatif. Hal ini sangat penting bagi kelangsungan
hidup pegawai dan perusahaan. Oleh sebab itu setiap perusahaan khususnya
pimpinan harus berupaya untuk memelihara semangat kerja pegawai dengan
melakukan berbagai cara. Menurut Bruce (2003:6), mengungkapkan
bahwa
pimpinan memiliki langkah-langkah dalam upaya menciptakan semangat kerja
dalam diri pegawai, yaitu sebagai berikut:
1) Become A Genuine and Authentic Manager
Pimpinan hendaknya memberikan perhatian khusus kepada karyawan dan
membuat mereka merasa spesial dan dinilai.
2) Tune Into the Emotional Needs of Your Employees
Mengetahui dan dapat memahami kebutuhan akan perasaan karyawan
merupakan cara untuk meyakinkan mereka bahwa kebutuhan dan keinginan
mereka akan dapat terpenuhi.
3) Taking Care of Talent
Untuk dapat menciptakan iklim yang kreatif di dalam organisasi, pimpinan
perlu melatih karyawannya untuk dapat mengembangkan pengetahuan dan
bakatnya. Sehingga pimpinan dapat melibatkan seluruh karyawan dalam
kegiatan organisasi dan menjadikan mereka sebagai bagian terpenting dari
kegiatan tersebut.
37
4) Giving Feedback to Build Morale Employee
Memberikan tanggapan yang positif dan tulus terhadap pekerjaan yang
dilakukan karyawan merupkan masukan yang positif bagi karyawan dan
membuat mereka merasa diperhatikan.
5) Alter The Work Environment
Pimpinan perlu menciptakan lingkungan kerja yang penuh semangat, dimana
setiap karyawan dapat merasa nyaman, dan tidak jenuh.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa cara untuk
meningkatkan semangat kerja pegawai umumnya pimpinan atau pihak perusahaan
harus dapat mengupayakan untuk meningkatkan semangat kerja pegawainya,
Hendaknya pimpinan dapat menempatkan dirinya bersama-sama dengan para
pegawai, sehingga pimpinan dapat mengetahui ada atau tidaknya semangat kerja
yang tinggi dari para pegawai.
B.
Kerangka Pemikiran
Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah untuk melihat
komunikasi interpersonal antara pimpinan dengan pegawai yang diduga
mempengaruhi semangat kerja pegawai. Asumsi dasarnya adalah bahwa makin
kuat komunikasi interpersonal antara pimpinan dengan pegawai maka makin kuat
pula dorongan pegawai dalam bekerja lebih giat dan bersemangat. Berdasarkan
hal tersebut terdapat dua konsep utama yang memerlukan penjelasan dan telah
diukur melalui variabel-variabel penelitian yang disandarkan kepada teori-teori
yang melandasinya. Konsep tersebuat adalah komunikasi interpersonal dan
semangat kerja.
Menurut Joseph A. Devito, Komunikasi interpersonal adalah proses
pemgiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara
sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik
38
seketika. Komunikasi interpersonal dinilai paling baik dalam kegiatan mengubah
sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah karena
komunikasi interpersonal dilakukan secara tatap muka dimana antara komunikator
dan komunikan saling terjadi kontak pribadi.
Pendekatan yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian ini
menggunakan pendekatan psikologi tentang perilaku, khususnya teori perilaku
organisasi. Luthans (1985) dan Gibson, et al. (1997) (dalam Sambas Ali Muhidin,
2007:61-62) mengungkapkan bahwa konsep dasar psikologi pada dasarnya
dilandasi oleh proses-proses psikis pada diri individu atau organisme di dalam
lingkungan tertentu. Kerangka konseptual psikologi tentang perilaku individu
dapat digambarkan sebagai berikut:
39
ORANG
STIMULUS / SITUASI
Lingkungan Eksternal
Stimulasi Sensual
Lingkungan Fisik
Konfrontasi
Registrasi
Interprestasi
Umpan balik
Stimulus
khusus
Stimulus
(misalnya
mekanisme
sensor dan
saraf
Stimulus
(misalnya
motivasi,
pembelajaran,
dan
kepribadian
Untuk klarifikasi
(misalnya, kinestetik/
(misalnya,
penyelia atau
prosedur
Kantor
Perilaku
Area Pabrik
(misalnya, seperti
terburu-buru atau
menyembunyikan)
Laboratorium Penelitian
BEHAVIOR
Toko
Cuaca
Konsekuensi
dll.
(misalnya, penguatan
respons
stimulus/hukuman
atau beberapa hasil
Sumber : Luthans (2006:198)
Gambar 2. 2
Kerangka Konseptual Model Analisis Perilaku S-O-B-C
Kerangka diatas menunjukan bahwa stimulus (S) mewakili segala sesuatu
yang berada dalam lingkungan organisasi sebagaimana dapat diamati, dihayati
dan dialami, yang menjadi stimulus bagi organisme atau individu (O). Individu
telah berinteraksi dengan stimulus yang telah menimbulkan persepsi atau
interpretasi tentang stimulus (S). Hasil interpretasi stimulus (S) telah melahirkan
perilaku (B) tertentu, yang pada gilirannya telah menentukan hasil perilaku atau
konsekuensi-konsekuensi (C) organisasi tertentu.
KONSEKUENSI
40
Dalam konteks penelitian ini, komunikasi interpersonal antara pimpinan
dengan pegawai mewakili situasi yang memberikan stimulus (S) yang dapat
diamati, dihayati, dan dialami oleh organisme (O) atau pegawai yang melahirkan
persepsi atau interpretasi terhadap stimulus yang menghasilkan perilaku (B)
tertentu. Selanjutnya perilaku yang ditampilkan individu telah menimbulkan
perubahan pada lingkungannya berupa semangat kerja (C). Dengan demikian
berdasarkan model teori SOBC ini, komunikasi interpersonal antara pimpinan
dengan pegawai dapat memberikan pengaruh terhadap perilaku pegawai yang
berbentuk semangat kerja.
Berdasarkan uraian di atas, secara sederhana kerangka konseptual
psikologi tentang perilaku individu dalam organisasi dapat dilihat pada gambar
2.3:
STIMULUS
INDIVIDU
PERILAKU
HASIL
(S)
(O)
(B)
PERILAKU (C)
Anggota organisasi
dan karakteristiknya
Perilaku
Semangat kerja
Individu
Komunikasi
Interpersonal
Sumber: Sambas dan Uep, 2011 mengadaptasi Luthans (1985)
Gambar 2. 3
Perilaku Individu dalam Konteks Perilaku Organisasi
Bertitik tolak dari kerangka konseptual sebagaimana digambarkan di
atas, maka terbentuknya perilaku individu dalam organisasi berawal dari berbagai
situasi yang dapat diamati, dihayati, dan dialami oleh individu, yang kemudian
melahirkan persepsi atau interpretasi. Hasil dari proses persepsi, belajar, dan
pengalaman kerja di lingkungan organisasi tersebut telah menjadi bagian dari
41
mekanisme penyesuaian secara terus-menerus antara kepercayaan (beliefs) dan
perasaan (feelings) yang membentuk atau mengubah sikap/perilaku individu
(Gibson, et al. 1997:13).
Penggunaan teori SOBC dari Luthans di atas sebagai Grand Theory juga
ditunjang oleh berbagai pendapat dari para ahli yang mengemukakan bahwa
komunikasi yang efektif yaitu komunikasi interpersonal yang memiliki pengaruh
terhadap semangat kerja pegawai. Hal ini seperti dikemukakan oleh Rivai
(2004:273) bahwa: “Komunikasi yang efektif memegang peranan yang sangat
penting di dalam menentukan sampai berapa jauh orang-orang dapat bekerja sama
secara efektif”.
Semangat kerja pegawai dapat ditingkatkan melalui komunikasi, seperti
yang diungkapkan Zainun (1984:91) bahwa: “ada beberapa faktor yang
mempengaruhi tinggi rendahnya semangat kerja pegawai dalam suatu organisasi,
yaitu komunikasi, kepuasan kerja, lingkungan kerja, partisipasi, motivasi dan
kepemimpinan”.
Seperti yang dikemukakan Kris cole (2005) merinci inti dari keterampilan
komunikasi interpersonal salah satunya adalah: “mendorong dan memotivasi yaitu
kemampuan sesorang dalam mendorong dan memotivasi serta meningkatkan
semangat orang lain dalam mencapai hasil yang terbaik”.
Selanjutnya menurut William B. dan Keith Davis (1993:541-549)
menghubungkan moral kerja dengan Quality of Work Life Effort, menurutnya:
“Moral kerja bermanfaat dan dapat dipergunakan untuk berbagai kepentingan
yang erat kaitannya dengan usaha membina relasi antarpegawai, komunikasi
informal dan formal, pembentukan disiplin serta konseling”.
42
Menurut pendapat di atas faktor komunikasi formal yang salah satunya
adalah komunikasi interpersonal yang merupakan salah satu usaha untuk
meningkatkan moral kerja atau semangat kerja. Komunikasi Interpersonal
(komunikasi antarpribadi) ini dianggap sebagai komunikasi yang paling efektif
karena dilakukan secara langsung antara komunikator dan komunikan, sehingga
bisa mempengaruhi satu sama lain. Seperti yang diungkapkan juga oleh Wiryanto
(2005:36) “Pada hakikatnya komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara
komunikator dengan komunikan, bahwa komunikasi ini paling efektif mengubah
sikap, pendapat, atau perilaku seseorang”.
Efektivitas dalam komunikasi interpersonal sangat penting karena bila
komunikasi interpersonal yang dilakukan tidak efektif maka tujuan yang
diharapkan tidak telah tercapai. Komunikasi interpersonal sebagai suatu bentuk
perilaku dapat berubah dari sangat efektif ke sangat tidak efektif. Pada suatu saat
komunikasi interpersonal ini telah berjalan dengan baik dan pada saat yang lain
komunikasi ini bisa berjalan dengan buruk. Untuk mengetahui apakah komunikasi
interpersonal yang kita jalankan efektif atau tidak, kita harus mengetahui faktorfaktornya.
Yoseph De Vito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book
(dalam Prof. Drs. H.A.W. Widjaja, 2000: 127-128) terdapat 10 indikator yang
dapat mengukur komunikasi interpersonal adalah (1) Keterbukaan; (2) Perilaku
suportif; (3) Perilaku Positif; (4) Empati; (5) Kesamaan; (6) Bersifat yakin; (7)
Kebersamaan; (8) Manajemen interaksi; (9) Perilaku ekspresif; (10) Orientasi
pada orang lain.
43
Semangat kerja adalah suatu kondisi dalam melakukan pekerjaan secara
giat dan maksimal sehingga pekerjaan dapat terselesaikan secara lebih cepat dan
lebih baik . Dengan meningkatnya semangat kerja yang tinggi telah memudahkan
perusahaan mengarahkan para pegawainya dalam menjalankan misi dan visi
perusahaan yang dibuat sebelumnya.
Indikator variabel dalam penelitian ini merujuk pada pendapat I.G.
Wursanto (1998:150-156) meliputi: (1) Disiplin; (2) Antusias; (3) Human
relation; (4) Loyalitas; (5) Kreativitas dan Inisatif; (6) Kebanggaan para pegawai
terhadap organisasi.
Dari uraian di atas, maka penulis menggambarkan kerangka penelitian
yang telah dilaksanakan, sebagai berikut:
44
Variabel X
(Komunikasi Interpersonal)
Variabel Y
(Semangat kerja)
Indikator:
Indikator:
1. Keterbukaan
2. Perilaku suportif
3. Perilaku positif
4. Empati
5. Kesamaan
6. Bersifat yakin
7. Kebersamaan
8. Manajemen interaksi
9. Perilaku ekspresif
10. Orientasi pada orang
lain
Sumber: Yoseph De Vito
dalam (Prof. H. A.W. Widjaja
2000, 127128)
1.
2.
3.
4.
5.
Disiplin
Antusias
Human relation
Loyalitas
Kreativitas dan
Inisiatif
6. Kebanggan
para
pegawai
terhadap
organisasi
Sumber: I.G. Wursanto
(1998, 150-156)
Gambar 2. 4
Pola Model Kerangka Berfikir
Pengaruh Komunikasi Interpersonal terhadap Semangat Kerja Pegawai
C.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan acuan bagi peneliti untuk memperoleh jawaban
sementara yang dibuktikan kebenarannya dalam penelitian, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Sugiyono (2008:70) mengenai pengertian hipotesis sebagai
berikut:
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, di mana rumusan masalah penelitian akan dinyatakan dalam
bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang
diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan
fakta-fakta yang empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.
45
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto (2006:71)
bahwa ”Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban yang bersifat sementara
terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data yang terkumpul”.
Berdasarkan pendapat di atas, dan berdasarkan fokus masalah yang diteliti,
maka hipotesis dari penelitian ini yaitu komunikasi interpersonal antara
pimpinan dengan pegawai berpengaruh positif terhadap semangat kerja
pegawai di Puslitbang Jalan dan Jembatan Bandung.
46
Download