Diskursus Metodologi Dalam Ilmu-Ilmu Sosial•

advertisement
1
DIKTAT
TEORI-TEORI DASAR KOMUNIKASI
1. Teori Model Lasswell
Salah satu teoritikus komunikasi massa yang pertama dan paling terkenal
adalah Harold Lasswell, dalam artikel klasiknya tahun 1948 mengemukakan
model komunikasi yang sederhana dan sering dikutif banyak orang yakni:
Siapa (Who), berbicara apa (Says what), dalam saluran yang mana (in which
channel), kepada siapa (to whom) dan pengaruh seperti apa (what that
effect) (Littlejhon, 1996).
2. Teori Komunikasi dua tahap dan pengaruh antar pribadi
Teori ini berawal dari hasil penelitian Paul Lazarsfeld dkk mengenai efek
media massa dalam kampanye pemilihan umum tahun 1940. Studi ini
dilakukan
dengan
asumsi
bahwa
proses
stimulus
bekerja
dalam
menghasilkan efek media massa. Namun hasil penelitian menunjukan
sebaliknya. Efek media massa ternyata rendah dan asumsi stimulus respon
tidak cukup menggambarkan realitas audience media massa dalam
penyebaran
arus
informasi
dan
menentukan
pendapat
umum.
3. Teori Informasi atau Matematis
Salah satu teori komunikasi klasik yang sangat mempengaruhi teori-teori
komunikasi selanjutnya adalah teori informasi atau teori matematis. Teori ini
merupakan bentuk penjabaran dari karya Claude Shannon dan Warren
Weaver (1949, Weaver. 1949 b), Mathematical Theory of Communication.
Teori ini melihat komunikasi sebagai fenomena mekanistis, matematis, dan
informatif: komunikasi sebagai transmisi pesan dan bagaimana transmitter
menggunakan saluran dan media komunikasi. Ini merupakan salah satu
contoh gamblang dari mazhab proses yang mana melihat kode sebagai
sarana untuk mengonstruksi pesan dan menerjemahkannya (encoding dan
2
decoding). Titik perhatiannya terletak pada akurasi dan efisiensi proses.
Proses yang dimaksud adalah komunikasi seorang pribadi yang bagaimana
ia mempengaruhi tingkah laku atau state of mind pribadi yang lain. Jika efek
yang ditimbulkan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, maka mazhab ini
cenderung berbicara tentang kegagalan komunikasi. Ia melihat ke tahaptahap dalam komunikasi tersebut untuk mengetahui di mana letak
kegagalannya. Selain itu, mazhab proses juga cenderung mempergunakan
ilmu-ilmu
sosial,
terutama
psikologi
dan
sosiologi,
memusatkan dirinya pada tindakan komunikasi.
dan
cenderung
Karya Shannon dan
Weaver ini kemudian banyak berkembang setelah Perang Dunia II di Bell
Telephone Laboratories di Amerika Serikat mengingat Shannon sendiri
adalah insiyiur di sana yang berkepentingan atas penyampaian pesan yang
cermat melalui telepon. Kemudian Weaver mengembangkan konsep
Shannon ini untuk diterapkan pada semua bentuk komunikasi. Titik kajian
utamanya adalah bagaimana menentukan cara di mana saluran (channel)
komunikasi digunakan secara sangat efisien. Menurut mereka, saluran utama
dalam komunikasi yang dimaksud adalah kabel telepon dan gelombang
radio.
Latar belakang keahlian teknik dan matematik Shannon dan Weaver
ini tampak dalam penekanan mereka. Misalnya, dalam suatu sistem telepon,
faktor yang terpenting dalam keberhasilan komunikasi adalah bukan pada
pesan atau makna yang disampaikan-seperti pada mazhab semiotika, tetapi
lebih pada berapa jumlah sinyal yang diterima dam proses transmisi.
Penjelasan Teori Informasi Secara Epistemologi, Ontologi, dan
Aksiologi.
Teori informasi ini menitikberatkan titik perhatiannya pada
sejumlah sinyal yang lewat melalui saluran atau media dalam proses
komunikasi. Ini sangat berguna pada pengaplikasian sistem elektrik dewasa
ini yang mendesain transmitter, receiver, dan code untuk memudahkan
efisiensi informasi.
3
4.
Teori
Pengharapan
Nilai
(The
Expectacy-Value
Theory)
Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada
di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang
disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).
Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media
ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa
yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang
bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy
(sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang
dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda
dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa
sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda
tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.
5. Teori Ketergantungan (Dependency Theory)
Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra
Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications,
pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan.
Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan
sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu
relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang
lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini
memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal
dari
media
massa
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhan
khalayak
bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media
massa.
Namun
ketergantungan
perlu
digarisbawahi
yang
sama
bahwa
khalayak
terhadap
tidak memiliki
semua
media.
4
Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini
menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan
dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya
hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media,
sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan,
melainkan kondisi sosial.
Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada
beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan
riset etnografi.
6. Teori Agenda Setting
Agenda-setting diperkenalkan oleh McCombs dan DL Shaw (1972). Asumsi
teori ini adalah bahwa jika media memberi tekanan pada suatu peristiwa,
maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya
penting. Jadi apa yang dianggap penting media, maka penting juga bagi
masyarakat. Dalam hal ini media diasumsikan memiliki efek yang sangat
kuat, terutama karena asumsi ini berkaitan dengan proses belajar bukan
dengan perubahan sikap dan pendapat.
7. Teori Dependensi Efek Komunikasi Massa
Teori ini dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeachdan Melvin L. DeFluer
(1976), yang memfokuskan pada kondisi struktural suatu masyarakat yang
mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini
berangkat dari sifat masyarakat modern, diamana media massa diangap
sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting dalam proses
memelihara, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat,kelompok, dan
individu dalam aktivitas sosial. Secara ringkas kajian terhadap efek tersebut
dapat dirumuskan dapat dirumuskan sebagai berikut:
5
a. Kognitif, menciptakan atau menghilangkan ambiguitas, pembentukan
sikap, agenda-setting, perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/
penjelasan nilai-nilai.
b. Afektif, menciptakan ketakutan atau kecemasan, dan meningkatkan atau
menurunkan dukungan moral.
c.
Behavioral,
pembentukan
mengaktifkan
isu
tertentu
atau
atau
menggerakkan
penyelesaiannya,
atau
meredakan,
menjangkau
atau
menyediakan strategi untuk suatu aktivitas serta menyebabkan perilaku
dermawan.
8.
Teori
Uses
and
Gratifications
(Kegunaan
dan
Kepuasan)
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer dan Elihu Katz
(1974). Teori ini mengatakan bahwa pengguna media memainkan peran aktif
untuk memilih dan menggunakan media tersebut. Dengan kata lain,
pengguna media adalah pihak yang aktif dalam proses komunikasi.
Pengguna media berusaha mencari sumber media yang paling baik di dalam
usaha memenhi kebutuhannya. Artinya pengguna media mempunyai pilihan
alternatif untuk memuaskan kebutuhannya.
Elemen dasar yang mendasari pendekatan teori ini (Karl dalam Bungin,
2007): (1) Kebutuhan dasar tertentu, dalam interaksinya dengan (2) berbagai
kombinasi antara intra dan ekstra individu, dan juga dengan (3) struktur
masyarakat,
termasuk
struktur
media,
menghasilkan
(4)
berbagai
percampuran personal individu, dan (5) persepsi mengenai solusi bagi
persoalan tersebut, yang menghasilkan (6) berbagai motif untuk mencari
pemenuhan atau penyelesaian persoalan, yang menghasikan (7) perbedaan
pola konsumsi media dan ( perbedaan pola perilaku lainnya, yang
menyebabkan (9) perbedaan pola konsumsi, yang dapat memengaruhi (10)
kombinasi
karakteristik
intra
dan
ekstra
individu,
sekaligus
akan
6
memengaruhi pula (11) struktur media dan berbagai struktur politik, kultural,
dan ekonomi dalam masyarakat.
9. Teori The Spiral of Silence
Teori the spiral of silence (spiral keheningan) dikemukakan oleh Elizabeth
Noelle-Neuman
(1976),
berkaitan
dengan
pertanyaan
bagaimana
terbentuknya pendapat umum. Teori ini menjelaskan bahwa terbentuknya
pendapat umum ditentukan oleh suatu proses saling mempengaruhi antara
komunikasi massa, komunikasi antar pribadi, dan persepsi individu tentang
pendapatnya dalam hubungannya dengan pendapat orang-orang lain dalam
masyarakat.
10. Teori Konstruksi sosial media massa
Gagasan awal dari teori ini adalah untuk mengoreki teori konstruksi sosial
atas realitas yang dibangun oleh Peter L Berrger dan Thomas Luckmann
(1966, The social construction of reality. A Treatise in the sociology of
knowledge. Tafsir sosial atas kenyataan: sebuah risalah tentang sosisologi
pengetahuan). Mereka menulis tentang konstruksi sosial atas realitas sosial
dibangun
secara
simultan
melalui
tiga
proses,
yaitu
eksternalisasi,
objektivasi, dan internalisasi. Proses simultan ini terjadi antara individu satu
dengan lainnya di dalam masyrakat. Bangunan realitas yang tercipta karena
proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan simbolis atau
intersubjektif.
11. Teori Difusi Inovasi
Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan
para koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai
mengenai penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari
penemuan,
difusi
(atau
komunikasi),
dan
konsekwensi-konsekwensi.
Perubahan seperti di atas dapat terjadi secara internal dari dalam kelompok
7
atau secara eksternal melalui kontak dengan agen-agen perubahan dari
dunia
luar.
Kontak
mungkin
terjadi
secara
spontan
atau
dari
ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen luar dalam
waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu lama.
Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun
untuk dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu
tujuan dari penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna
memperpendek keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan
mempunyai konsekuensi konsekuensi – mungkin mereka berfungsi atau
tidak, langsung atau tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam
Littlejohn, 1996 : 336).
12. Teori Kultivasi
Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural
komunikasi massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti
ini percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua
orang, dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam
memandang dunia. Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan
sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa
dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke
setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama
dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan
sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas teratasi dengan
keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama dari
sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari
populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan
yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan
simbolis umum.
8
Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi
dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan.
Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi
terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain,
televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam
kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita,
dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman
pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254)
Teori Kritis dalam Komunikasi
a. Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci
Teori komunikasi kritik ini muncul ketika terjadi aksi-aksi mahasiswa di
Eropa Barat pada tahun 1960-an khususnya di Jerman pada tahun 1967
yang menuntut demokratisasi universitas. Aksi-aksi itu kemudian dilancarkan
juga kepada media massa yang dianggapnya tidak memperdulikan
ketertiban,
hukum,
tidak
mengindahkan
hakikat
hasrat
politik
para
mahasiswa, terutama pada media cetak.
Teori komunikasi kritik itu semakin semarak, setelah muncul Jurgen
Hubermas. Hubermas dikenal sebagai filsuf masa kini tentang kritisnya
terhadap pemikiran Marxis. Dalam hubungan ini sebagai pengganti
paradigma kerja, Habermas mengacu kepada paradigma komunikasi.
Implikasi dari paradigma baru ini adalah memahami praxis emansipatoris
sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang
menghasilkan pencerahan. Hal ini bertolak belakang dengan teori-teori
Marxis klasik yang menempuh jalan revolusioner untuk menjungkirbalikan
struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan.
9
Habermas
menempuh
jalan
konsensus
dengan
sasaran
terciptanya
”demokrasi radikal”, yaitu hubungan-hubungan soisal yang terjadi dalam
lingkup komunikasi bebas kekuasaan.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat
atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah
membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula
apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak
menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan
dengan aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu.
„Teori kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak
terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politiksosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial
masyarakat dan individu. Aliran frankfrut ingin memperjelas secara rasional
struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibatakibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan.
Teori kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertolak dari
pemahaman rasio instrumental.Teori kritis ingin membangun teori yang
mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari
suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas“.
b. Pengaruh Teori Kritis dalam Wacana Ilmu Komunikasi
Pertemuan pertama Teori Kritis dengan ilmu komunikasi sebenarnya
terjadi ketika Teori Kritis berimigrasi ke Amerika Serikat. Perkembangan ilmu
komunikasi di Amerika sudah mengalami perkembangan yang pesat. Premis
awal Ilmu komunikasi di Amerika merupakan pernik awal perkembangan
teknologi informasi bahkan sebelum perang dunia I. Perkembangan ilmu
komunikasi di Amerika banyak ditandai dengan perkembangan komunikasi
massa di negara tersebut. Sementara itu, paradigma dominan ilmu
komunikasi dipenuhi dengan paradigma positivistik.
10
Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di
beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan
dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis
yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis.
Dalam
sejarah
perkembangannya,
penelitian
komunikasi di Amerika
dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi.
Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang
sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan
sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat
kapitalistik.
Ide pragmatisme sangat mewarnai penelitian komunikasi di Universitas
Chicago yang kajiannya sangat empirik. Paul Lazarfeld, Kurt Lewin, Harold
Laswell dan Carl Hovland. Studi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm
adalah studi kuantitatif dalam konteks anthropologi komunikasi.
Kontribusi kritisisme Teori Kritis dikembangkan oleh Adorno yang mengkritik
pendekatan Paul Lazarfeld yang sangat dipengaruhi oelh pendekatan
struktural fungsionalistik ala Talcott Parsons. Horkheimer dan Adorno melihat
cacat epistemologi dalam ilmu komunikasi yang berwatak totaliter dan
ideologis. Teori Kritis melihat bahwa ada kecenderungan di kalangan
ilmuwan komunikasi menjadi ilmu ini untuk dipaksakan dalam wujud ilmu
yang sangat mekanistik. Model pemikiran administratif yang dikembangkan
oleh pemikir Universitas Chicago dikritisi oleh model pemikiran kritis.
Riset komunikasi yang berkembang bersamaan dengan asumsi pemikiran
administratif adalah riset studi efek media massa. Selanjutnya dalam era 3040-an pemikiran Teori Kritis mengembangkan studi tentang ekonomi politik
media, analisis budaya atas teks, dan studi resepsi khalayak – studi ideologi
dalam media yang pada akhirnya mengalami perkembangan yang pesat
pada era 70-80-an.
11
Pendekatan ekonomi politik memfokuskan pada kajian utama tentang
hubungan antara struktur ekonomi-politik, dinamika industri media, dan
ideologi media itu sendiri. Perhatian penelitian ekonomi politik diarahkan
pada kepemilikan, kontrol serta kekuatan operasional pasar media. Dari titik
pandang ini, institusi media massa dianggap sebagai sistem ekonomi yang
berhubungan erat dengan sistem politik.
Perspektif ekonomi politik kritis juga menganalisa secara penuh pada campur
tangan publik sebagai proses legitimasi melalui ketidaksepakatan publik atas
bentuk-bentuk yang harus diambil karena adanya usaha kaum kapitalis
mempersempit ruang diskursus publik dan representasi. Dalam konteks ini
dapat
juga
disebut
adanya
distorsi
dan
ketidakseimbangan
antara
masyarakat, pasar dan sistem yang ada. Sedangkan kriteria-kriteria yang
dimiliki oleh analisa ekonomi politik kritis terdiri dari tiga kriteria. Kriteria
pertama adalah masyarakat kapitalis menjadi kelompok (kelas) yang
mendominasi. Kedua, media dilihat sebagai bagian dari ideologis di mana di
dalamnya kelas-kelas dalam masyarakat melakukan pertarungan, walaupun
dalam konteks dominasi kelas-kelas tertentu. Kriteria terakhir, profesional
media menikmati ilusi otonomi yang disosialisasikan ke dalam norma-norma
budaya dominan.
Perspektif ekonomi-politik kritis memiliki tiga varian utama. Ketiga varian
tersebut adalah instrumentalisme, kulturalisme, dan strukturalisme. Dalam
penelitian ini, varian yang digunakan adalah perspektif instrumentalisme.
Perspektif ini memberikan penekanan pada determinisme ekonomi, di mana
segala sesuatu pada akhirnya akan dikaitkan secara langsung dengan
kekuatan-kekuatan ekonomi. Perspektif ini melihat media sebagai instrumen
dari kelas yang mendominasi. Dalam hal ini kapitalis dilihat sebagai pihak
yang menggunakan kekuatan ekonominya - untuk kepentingan apapun -
12
dalam sistem pasar komersial untuk memastikan bahwa arus informasi publik
sesuai dengan kepentingannya.
Studi Kajian Budaya Kritis juga menempatkan media sebagai salah satu aktor
budaya dalam melakukan imperialisme budaya. Aktor budaya dalam konteks
ini adalah konteks ideologi dominan maka media menjadi ideological
apparatus.
Studi resepsi kritis menempatkan bahwa kelompok khalayak terbagi dalam
klasifikasi status sosial dan ekonomi. Secara politis, masyarakat terbagi
dalam kelompok sosial yang mempunyai tingkat resepsi yang berbeda.
Pendekatan Bordieu banyak memakai
Teori-teori Komunikasi Organisasi
UNCERTAINTY REDUCTION THEORY ( TEORI PENGURANGAN DAN
KETIDAKPASTIAN)
Teori prngurangan ketidakpastian kadang kala disebut dengan Teori Interaksi
Awal
(Initial
Interaction
Theory).
Teori
penguranagan
ketidakpastian
dipelopori oleh Charles berger dan Richard calabrese pada tahun 1975.
Tahun 1987 Lester mengembangkan teori ini menjadi termasuk teori dalam
suatu organisasi.
PERKEMBANGAN
Setelah Berger dan Calabrese mengemukakan teori ini (1975), dengan tujuan
untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi
ketidakpastian di antara orang asing yang terlibat dalam pembicaraan satu
sama lain untuk pertama kali. Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika
orang asing pertama kali bertemu, utamanya mereka tertarik untuk
meningkatkan prediktabilitas dalam usaha untuk memahami pengalaman
13
komunikasi mereka. Teori ini kemudian sedikit diperjelas (Berger, 1979;
Berger & Bradac, 1982). Versi terbaru dari teori ini meyarankan bahwa
terdapat dua tipe ketidakpastian dari perjumpaan awal: kognitif dan perilaku.
Kognitif merujuk pada keyakinan dan sikap yang kita dan orang lain anut.
Ketidakpastian kognitif (cognitive uncertainty), merujuk kepada tingkat
ketidakpastian yang dihubungkan dengan keyakinan dan sikap tersebut.
Ketidakpastian perilaku (behavioral uncertainty) merupakan ”batasan sampai
mana perilaku dapat di prediksi dalam sebuah situasi tertentu” (Berger &
bradac,1982) Lebih lanjut lagi, Berger dan calabrese beragumen bahwa
pengurangan ketidakpastian memiliki baik proses proaktif maupun retroaktif.
Pengurangan ketidakpastian proaktif terjadi ketika seseorang berpikir
mengenai pilihan-pilihan komunikasi sebelum melakukannya dengan orang
lain. Penguranagan ketidakpastian retroaktif terdiri atas usaha-usaha untuk
menjelaskan perilaku setelah perjumpaan itu sendiri. Pada tahun 1987 Lester
mengembangkan teori ini dengan mengaplikasikan proses sosialisasi dari
anggota-anggota suatu organisasi ketika pertama kali bergabung dengan
suatu organisasi.
ASUMSI DASAR TEORI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN
Charles berger dan Richard calabrese:
1.
Orang
mengalami
ketidakpastian
dalam
latar
interpersonal.
Terdapat harapan berbeda-beda mengenai kejadian interpersonal,maka
masuk akal untuk menyimpulkan bahwa orang merasakan ketidakpastian
atau bahkan cemas untuk bertemu orang lain.
2. Ketidakpastian adalah keadaan yang tidak mengenakkan,menimbulkan
stres secara kognitif. Berada di dalam ketidakpastian membutuhkan energi
emosional dan psikologis yang tidak sedikit.
3. Ketika orang asing bertemu, perhatian utama mereka adalah untuk
mengurangi ketidakpastian mereka atau meningkatkan prediktabilitas.
14
Pencarian informasi biasanya dilakukan dengan mengajukan pertanyaan
dengan
tujuan
untuk
memperoleh
prediktabilitas
4. Komunikasi interpersonal adalah sebuah proses perkembangan yang
terjadi melalui tahapan-tahapan.
Menurut Berger dan Calabrese, biasanya, kebanyakan orang memulai
interaksi dalam sebuah fase awal (entry phase), yang dapat didefinisikan
sebagai tahap awal interaksi antara orang lain. Setelah itu, orang memasuki
tahapan kedua, yang disebut sebagai fase personal (personal phase) tahap
di mana pertisipan mulai berkomunikasi dengan lebih spontan dan membuka
lebih banyak informasi pribadinya. Tahap ketiga, fase akhir (exit phase),
individu membuat keputusan mengenai apakah mereka ingin untuk
melanjutkan interaksi dengan pasangannya di masa yang akan datang.
5. Komunikasi interpersonal adalah alat yang utama untuk mengurangi
ketidakpastian.
Komunikasi mensyaratkan beberapa kondisi diantaranya adalah kemampuan
untuk mendengar,tanda respons nonverbaal dan bahasa yang sama.
6. Kuantitas dan sifat informasi yang dibagi oleh orang akan berubah seiring
berjalannya waktu.
Berfokus pada fakta bahwa komunikasi interpersonal adalah perkembangan.
Teorikus penguiranagan ketidakpastian percaya bahwa interaksi awal adalah
elemen
kunci
dalam
proses
perkembangan
ini.
7. Sangat mungkin untuk menduga perilaku orang dengan menggunakan
cara seperti hukum. Perilaku manusia diatur oleh prinsip-prinsip umum yang
berfungsi dengan cara seperti hukum. Tujuan dari teori cakupan hukum
adalah untuk menghasilkan hukum yang akan menjelaskan bagaimana kita
berkomunikasi.
Lester:
15
1. Set pertama dalam suatu hubungan adalah menyinggung tentang aktivitas
yang berhubungan dengan organisasi. Anggota-anggota suatu organisasi
akan meningkatkan penilaian kepercayaan mereka sebagaimana mereka
menjadi lebih merasa pasti dalam organisasi tersebut.
2. Apabila keuntungan dan kerugian (seperti pembayaran, promosi, atau
resiko kerja) perbandingannya sangat berbeda, maka anggota-anggota suatu
organisasi akan menilai kepercayaan diri mereka akan rendah. Tetapi apabila
antara keuntungan dan kerugian sama antar organisasi maka mereka akan
merasa percaya diri.
3. Mendengar cerita dari organisasi lain atau cerita dari organisasi sendiri
yang bisa terbilang sukses dapat meningkatkan kepercayaan diri untuk setiap
pendatang baru.
4. Suatu organisai yang bersih dan tujuan organisasi yang jelas akan
meningkatkan suatu sikap yang pasti akan suatu organisasi. setiap anggota
dan membentuk sikap yang pasti.
KARAKTERISTIK
Setiap anggota kelompok yang baru bergabung menjadi anggota baru suatu
organisasai akan melakukan sosialisasi diri terhadap lingkungan barunya.
Organisasi sendiri baik faktor internal maupun eksternal juga sangat
mendukung proses sosialisasi yang dilakukan oleh pendatang baru yang
bersangkutan.
IMPLEMENTASI
16
Ketika seorang anak baru saja menjadi murid baru disalah satui tempat les
bahasa inggris, dia akan mencoba untuk memprediksikan bagiamana mereka
akan berhasil dalam oranisasi tersebut. Baik ketika berkomunikasi dengan
anggota lainnya maupaun sikap yang sesuai dengan keadaan organisasi
tersebut. Lester percaya anggota-anggota baru di suatu orgnisasi akan
memiliki rasa percaya diri yang lebih dalam mempredikasi bagaiaman mereka
akan berhasil dalam suatu organisasi apabila diperlihatkan tentang sikap dari
organisasi yang bersangkutan (kepastian sikap).
Teori Hubungan Manusia
Tokoh : Elton Mayo
Elton Mayo (1939) dengan dibantu oleh Fritz Roethlisberger melakukan
peneli- tian yang disebut dengan Studi Hawthorne. Penelitian yang berskala
besar ini membahas produktifitas dan hubungan-hubungan social di
kompleks Hawthorne yang dimiliki Western Electric Company. Dikenal
dengan “Manajemen dan Pekerja”. Studi ini disebut sebagai “eksperimen
ilmiah besar pertama dalam industry”.
Hasil terpenting terjadi pada eksperimen penerangan lampu. Pada awalnya
peneliti mengira bahwa semakin baik penerangan, semakin tinggi hasil
pekerja. Maka, mereka memutuskan untuk mengadakan suatu ruangan
eksperimen dengan berbagai kondisi penerangan dan suatu ruangan yang
kontrol dengan kondisi cahaya yang konstan. Dua kelompok pekerja dipilih
untuk melakukan pekerjaan mereka di dua tempat yang berbeda. Melalui
suatu periode waktu penerangan di ruangan eksperimen ditambah hingga
intensitas yang menyilaukan dan kemudian dikurangi hingga tingkat di mana
cahaya tidak ada. Hasil yang didapat adalah sebagai berikut : ketika
banyaknya penerangan bertambah, bertambah juga efisiensi pekerja
17
diruangan eksperimen tetapi efisiensi pekerja di ruangan kontrol juga
bertambah. Ketika cahaya berkurang di ruangan tes, efisiensi kelompok tes
dan juga kelompok control bertambah dengan perlahan tetapi mantap. Ketika
penerangan setaraf dengan penerangan tiga lilin di ruangan tes, para
operator memprotes, mereka mengatakan bahwa mereka hampir tidak bisa
melihat apa yang sedang mereka kerjakan, pada saat itu angka produksi
berkurang. Hingga saat itu para pekerja dapat mempertahankan efisiensi
meskipun terdapat hambatan.
Terdapat dua kesimpulan yang berkembang dari studi Hawthorne yang
sering disebut dengan Efek Hawthorne, yaitu : (1) Perhatian terhadap orangorang boleh jadi mengubah sikap dan perilaku mereka. (2) Moral dan
produktifitas dapat meningkat apabila para pegawai mempunyai kesempatan
untuk berinteraksi satu sama lainnya.
Terdapat suatu kritik terhadap teori hubungan manusiawi yaitu bahwa
pergerakan teori ini terlalu asyik dengan orang-orang dan hubunganhubungan mereka dan mengabaikan keseluruhan sumber daya organisasi
dan anggota-anggotanya. Dewasa ini terdapat perbedaan yang penting
antara pengembangan hubungan manusiawi yang baik dan pengembangan
sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Komunikasi organisasi
mencoba memberikan latar belakang guna mengembangkan kualitas sumber
daya manusia dalam suatu organisasi, tidak hanya mengembangkan kualitas
hubungan manusiawi.
TEORI FUSI BAKKE DAN ARGYRIS
Bakke (1950) dan Chris Argyris (1957)
18
Sejarah Perkembangan :
Sadar akan banyaknya masalah dalam rangka memuaskan minat manusia
yang berlainan dan dalam rangka memenuhi tuntutan penting struktur
birokrasi. Bakke (1950) menyarankan suatu proses fusi. Ia berpendapat
bahwa organisasi, hingga suatu tahap tertentu, mempengaruhi individu,
sementara pada saat yang sama individu pun mempengaruhi organisasi.
Hasilnya adalah suatu organisasi yang dipersonalisasikan oleh setiap individu
pegawai dan individu-individu yang disosialisasikan oleh organisasi. Karena
itu setiap pegawai menunjukkan ciri-ciri organisasi, dan setiap jabatan
tampak unik seperti individu yang mendudukinya. Setelah fusi, setiap
pegawai tampak lebih menyerupai organisasi, dan setiap jabatan dalam
organisasi
dimodifikasi
sesuai
dengan
minat
khusus
individu.
Kemudian, Argyris (1957), seorang rekan Bakke di Universitas Yale,
memperluas dan menyempurnakan karya Bakke. Ia berpendapat bahwa ada
suatu ketidaksesuaian yang mendasar antara kebutuhan pegawai yang
matang dengan persyaratan formal organisasi. Organisasi mempunyai tujuan
yang berlawanan dengan tujuan pegawai perseorangan. Para pegawai
mengalami frustrasi sebagai akibat dan ketidaksesuaian tersebut; sebagian
pegawai mungkin meninggalkan tempat kerja mereka, menjadi apatis dan
acuh tak acuh.
Melalui konflik ini para pegawai lainnya menyadari untuk tidak mengharapkan
kepuasan dari pekerjaan mereka. Banyak orang mengetahui berdasarkan
pengalaman pribadi bahwa penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan suatu
organisasi formal tidak mudah dan tidak dapat diharapkan terjadi secara
otomatis.
Argyris memusatkan usahanya untuk menjelaskan perilaku orang dalam
organisasi. Ia mengembangkan pokok utamanya yaitu tesis bahwa organisasi
formal memerlukan “perilaku yang cendrung kearah frustasi, membuat
19
pertentangan dan menciptakan kegagalan bagi orang perseorangan yang
secara psikologis sehat”.
Ada sejumlah “akibat yang tak diharapkan”, dari interaksi antara kebutuhan
orang-perseorangan dan kebutuhan organisasi. Kedua perangkat kebutuhan
itu diadaptasikan atau dikecewakan, dan timbulah organisasi informal dengan
norma-norma yang cocok bagi orang-perseorangan yang frustasi dan apatis.
Dengan demikian perilaku organisai sepenuhnya adalah suatu fungsi
interaksi kebutuhan kelompok-kelompok informal dan kebutuhan organisasi.
Selanjutnya, menurut teori lain, salah satu hal yang dapat membuat
anggota/karyawan tetap merasa betah adalah dengan memotivasi mereka
dan atau mengenal motivasi mereka dalam bekerja. Motivasi atau motif/
kebutuhan / desakan/ keinginan atau dorongan adalah kata yang sering
digunakan untuk menyebut kata motivasi. motivasi bisa bersumber dari dalam
diri orang atau bersumber dari luar diri orang.
Asumsi Dasar Teori
1. Ketidaksesuaian yang mendasar antara kebutuhan pegawai yang matang
dengan persyaratan formal organisasi.
2. Organisasi mempunyai tujuan yang berlawanan dengan tujuan pegawai
perseorangan
3. Penyesuaian diri terhadap tuntutan-tuntutan suatu organisasi formal tidak
mudah dan tidak dapat diharapkan terjadi secara otomatis.
Karakteristik Teori :
Organisasi, hingga suatu tahap tertentu, mempengaruhi individu, sementara
20
pada saat yang sama individu pun mempengaruhi organisasi. Hasilnya
adalah suatu organisasi yang dipersonalisasikan oleh setiap individu pegawai
dan
individu-individu
yang
disosialisasikan
oleh
organisasi.
Implementasi Teori:
Sebuah Perusahaan terkenal membangun kantor cabang di lokasi yang
strategis dan berniat untuk memilih manager di kantor cabang tersebut,
seorang pegawai merasa yakin ia akan dipilih menjadi manager karena
merasa dirinya turut membesarkan perusahaan itu. Ia tahu benar siapa
rivalnya. Rivalnya adalah seorang pegawai yang digambarkan self moving
nya sebagai manusia yang lamban, egois, tidak peduli pada ingkungan, dan
moody. Pegawai Pertama yang sudah sangat yakin akan diangkat menjadi
manajer ternyata pada kenyataannya tidak diangkat menjadi manager
dengan alasan pemilik perusahaan menganggap dirinya masih terlalu muda
dan tidak mempunyai cukup pengalaman untuk memimpin perusahaan,
kecewa dengan keputusan atasannya.
Prediksi Bakke dan Argyris tepat, Pegawai Pertama pun menjadi frustrasi dan
memilih untuk meninggalkan perusahaan dan mencari perusahaan yang tidak
memangdang umur dan pengalaman, melainkan etos dan kinerja seseorang.
Pilihan seorang pegawai untuk keluar atau menetap di oganisasi dengan
keputusasaan, perlu dicermati oleh organisasi, jika tidak menginginkan
mereka menjadi duri dalam organisasi.
21
TEORI DIFUSI INOVASI
Everett m. Rogers
Sejarah
Munculnya Teori Difusi Inovasi dimulai pada awal abad ke-20,
tepatnya tahun 1903, ketika seorang sosiolog Perancis, Gabriel Tarde,
memperkenalkan Kurva Difusi berbentuk S (S-shaped Diffusion Curve).
Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi
seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini
ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi
dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu.
Pemikiran Tarde menjadi penting karena secara sederhana bisa
menggambarkan kecenderungan yang terkait dengan proses difusi inovasi.
Rogers (1983) mengatakan, Tarde’s S-shaped diffusion curve is of current
importance because “most innovations have an S-shaped rate of adoption”.
Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menjadi fokus kajian
penting dalam penelitian-penelitian sosiologi.
Pada tahun 1940, dua orang sosiolog, Bryce Ryan dan Neal Gross,
mempublikasikan hasil penelitian difusi tentang jagung hibrida pada para
petani di Iowa, Amerika Serikat. Hasil penelitian ini memperbarui sekaligus
menegaskan tentang difusi inovasimodel kurva S. Salah satu kesimpulan
penelitian Ryan dan Gross menyatakan bahwa “The rate of adoption of the
agricultural innovation followed an S-shaped normal curve when plotted on a
cumulative basis over time.”
Perkembangan berikutnya dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun
1960, di mana studi atau penelitian difusi mulai dikaitkan dengan berbagai
topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya,
dan sebagainya. Di sinilah muncul tokoh-tokoh teori Difusi Inovasi seperti
Everett M. Rogers dengan karya besarnya Diffusion of Innovation (1961); F.
Floyd
Shoemaker yang bersama Rogers menulis Communication of
22
Innovation: A Cross Cultural Approach (1971) sampai Lawrence A. Brown
yang menulis Innovation Diffusion: A New Perpective (1981).
Asumsi dasar
Teori Difusi Inovasi pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana
suatu inovasi disampaikan (dikomunikasikan) melalui saluran-saluran tertentu
sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Hal
tersebut sejalan dengan pengertian difusi dari Rogers (1961), yaitu “as the
process by which an innovation is communicated through certain channels
over time among the members of a social system.” Lebih jauh dijelaskan
bahwa difusi adalah suatu bentuk komunikasi yang bersifat khusus berkaitan
dengan penyebaranan pesan-pesan yang berupa gagasan baru, atau dalam
istilah Rogers (1961) difusi menyangkut “which is the spread of a new idea
from its source of invention or creation to its ultimate users or adopters.”
Sesuai dengan pemikiran Rogers, dalam proses difusi inovasi terdapat
4 (empat) elemen pokok, yaitu:
(1)
Inovasi; gagasan, tindakan, atau barang yang dianggap baru oleh
seseorang. Dalam hal ini, kebaruan inovasi diukur secara subjektif
menurut pandangan individu yang menerimanya. Jika suatu ide
dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi untuk orang itu.
Konsep ’baru’ dalam ide yang inovatif tidak harus baru sama sekali.
(2)
Saluran komunikasi; ’alat’ untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi
dari sumber kepada penerima. Dalam memilih saluran komunikasi,
sumber paling tidakperlu memperhatikan (a) tujuan diadakannya
komunikasi
dan
(b)
karakteristik
penerima.
Jika
komunikasi
dimaksudkan untuk memperkenalkan suatu inovasi kepada khalayak
yang banyak dan tersebar luas, maka saluran komunikasi yang lebih
tepat, cepat dan efisien, adalah media massa. Tetapi jika komunikasi
dimaksudkan untuk mengubah sikap atau perilaku penerima secara
23
personal, maka saluran komunikasi yang paling tepat adalah saluran
interpersonal.
(3)
Jangka waktu; proses keputusan inovasi, dari mulai seseorang
mengetahui sampai memutuskan untuk menerima atau menolaknya,
dan pengukuhan terhadap keputusan itu sangat berkaitan dengan
dimensi waktu. Paling tidak dimensi waktu terlihat dalam (a) proses
pengambilan keputusan inovasi, (b) keinovatifan seseorang: relatif lebih
awal atau lebih lambat dalammenerima inovasi, dan (c) kecepatan
pengadopsian inovasi dalam sistem sosial.
(4) Sistem sosial; kumpulan unit yang berbeda secara fungsional dan terikat
dalam kerjasama untuk memecahkan masalah dalam rangka mencapai
tujuan bersama
Karakteristik
Lebih lanjut teori yang dikemukakan Rogers (1995) memiliki relevansi
dan argumen yang cukup signifikan dalam proses pengambilan keputusan
inovasi. Teori tersebut antara lain menggambarkan tentang variabel yang
berpengaruh terhadap tingkat adopsi suatu inovasi serta tahapan dari proses
pengambilan keputusan inovasi. Variabel yang berpengaruh terhadap
tahapan difusi inovasi tersebut mencakup (1) atribut inovasi (perceived
atrribute of innovasion), (2) jenis keputusan inovasi (type of innovation
decisions), (3) saluran komunikasi (communication channels), (4) kondisi
sistem sosial (nature of social system), dan (5) peran agen perubah (change
agents).
Sementara itu tahapan dari proses pengambilan keputusan inovasi
mencakup:
1. Tahap Munculnya Pengetahuan (Knowledge) ketika seorang individu
(atau unit pengambil keputusan lainnya) diarahkan untuk memahami
eksistensi dan keuntungan/manfaat dan bagaimana suatu inovasi
berfungsi
24
2. Tahap Persuasi (Persuasion) ketika seorang individu (atau unit pengambil
keputusan lainnya) membentuk sikap baik atau tidak baik
3. Tahap Keputusan (Decisions) muncul ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya terlibat dalam aktivitas yang mengarah pada
pemilihan adopsi atau penolakan sebuah inovasi.
4. Tahapan Implementasi (Implementation), ketika sorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya menetapkan penggunaan suatu inovasi.
5. Tahapan Konfirmasi (Confirmation), ketika seorang individu atau unit
pengambil keputusan lainnya mencari penguatan terhadap keputusan
penerimaan atau penolakan inovasi yang sudah dibuat sebelumnya.
Kategori Adopter
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok
adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya (kecepatan
dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang bisa dijadikan
rujuakan adalah pengelompokan berdasarkan kurva adopsi, yang telah duji
oleh Rogers (1961).
Gambaran tentang pengelompokan adopter dapat
dilihat sebagai berikut:
1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi.
Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan
ekonomi tinggi
2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis
dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat),
orang yang dihormati, akses di dalam tinggi
3. Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal.
Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
4. Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam
penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan
ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
25
5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum
kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan
opinion leaders,sumberdaya terbatas.
Implementasi
Pada awalnya, bahkan dalam beberapa perkembangan berikutnya,
teori Difusi Inovasi senantiasa dikaitkan dengan proses pembangunan
masyarakat. Inovasi merupakan awal untuk terjadinya perubahan sosial, dan
perubahan sosial pada dasarnya merupakan inti dari pembangunan
masyarakat. Rogers dan Shoemaker (1971) menjelaskan bahwa proses difusi
merupakan bagian dari proses perubahan sosial. Perubahan sosial adalah
proses dimana perubahan terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial.
Perubahan sosial terjadi dalam 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) Penemuan
(invention), (2) difusi (diffusion), dan (3) konsekuensi (consequences).
Penemuan adalah proses dimana ide/gagasan baru diciptakan atau
dikembangkan.
Difusi
adalah
proses
dimana
ide/gagasan
baru
dikomunikasikan kepada anggota sistem sosial, sedangkan konsekuensi
adalah suatu perubahan dalam sistem sosial sebagai hasil dari adopsi atau
penolakan inovasi.
Sejak tahun 1960-an, teori difusi inovasi berkembang lebih jauh di
mana fokus kajian tidak hanya dikaitkan dengan proses perubahan sosial
dalam pengertian sempit. Topik studi atau penelitian difusi inovasi mulai
dikaitkan dengan berbagai fenomena kontemporer yang berkembang di
masyarakat. Berbagai perpektif pun menjadi dasar dalam pengkajian proses
difusi inovasi,seperti perspektif ekonomi, perspektif ’market and infrastructure’
(Brown, 1981). Salah satu definisi difusi inovasi dalam taraf perkembangan
ini antara lain dikemukakan Parker (1974), yang mendefinisikan difusi
sebagai suatu proses yang berperan memberi nilai tambah pada fungsi
produksi atau proses ekonomi. Dia juga menyebutkan bahwa difusi
merupakan suatu tahapan dalam proses perubahan teknik (technical
26
change). Menurutnya difusi merupakan suatu tahapan dimana keuntungan
dari suatu inovasi berlaku umum. Dari inovator, inovasi diteruskan melalui
pengguna lain hingga akhirnya menjadi hal yang biasa dan diterima sebagai
bagian dari kegiatan produktif.
Berkaitan dengan proses difusi inovasi tersebut National Center for the
Dissemination of Disability Research (NCDDR), 1996, menyebutkan ada 4
(empat) dimensi pemanfaatan pengetahuan (knowledge utilization), yaitu
1. Dimensi Sumber (SOURCE) diseminasi, yaitu insitusi, organisasi, atau
individu yang bertanggunggung jawab dalam menciptakan pengetahuan
dan produk baru.
2. Dimensi Isi (CONTENT) yang didiseminasikan, yaitu pengetahuan dan
produk baru dimaksud yang juga termasuk bahan dan informasi
pendukung lainnya.
3. Dimensi Media (MEDIUM) Diseminasi, yaitu cara-cara bagaimana
pengetahuan atau produk tersebut dikemas dan disalurkan.
4. Dimensi Pengguna (USER), yaitu pengguna dari pengetahuan dan produk
dimaksud.
Teori Antropological dan Pendekatan Simbolis
Teori Antropological dan Pendekatan Simbolis
Pacanowsky
dan
O'Donnell-Trujillo
(1982.1983)
mulai
belajar
untuk
mempelajari banyak komunikasi organisasi sebagai antropologi. Mereka
menggunakan wawancara, audio dan videotapes, dan observasi pada
anggota
organisasi
untuk
memahami
berbagai
persepsi,
mereka
menggunakan matapora kinerja untuk tindakan manusia. Anggota organisasi
dianggap seperti aktor, bermain berbagai peran dalam berbagai kelompok.
Misalnya, orang yang sama mungkin menjadi pelayan toko, seorang manajer,
seorang bawahan, dan anggota tim perusahaan golf. Peran in akan berbeda
tergantung dengan situasi di mana anggota organisasi menemukan sendiri.
27
Kita akan mengalami hipotesis berbeda sebagai pelayan, atau sebagai
manajer
dan
sebagai
subordinat
pemimpin
yang
berbicara.
Perasaan lain dari drama metapora dari perutunjukan layar menunjukkan
bahwa pekerja mereka dilihat dari kenyataan untuk diri sendiri dan orang lain
melalui tindakan mereka, termasuk komunikasi. misalnya, sebagai pelayan
yang memberikan perintah pada bawahannya. Komunikasi ini dapat dilihat
sebagai suatu "kinerja" yang menguak pelayan dari realitas sosial sebagai
symbol hierarki dalam kegiatan yang berhubungan dengan atasan dan
bawahannya
yang
tepat.
Dengan
berkomunikasi,
pramuniaga
yang
menyatakan bahwa dia adalah pemimpin dan memiliki kewenangan untuk
memberikan perintah yang lain dan harus dilakukan. (Trujillo, 1983)
Hal semacam ini memungkinkan Pacanowsky dan analisis O'Donnell-Trujillo
(1983) untuk belajar budaya dari perbedaan bisnis ada menggambarkan
pendekatan itu. Dua teori budaya populer dari ilustrasi bisnis yang memiliki
perbedaan dan aspek yang akan diteliti. Peters dan Waterman (1982)
memeriksa 62 organisasi bisnis yang bagus di berbagai industri dan mereka
telah menemukan delapan tema dalam budaya umum;
1.
organisasi yang baik memiliki bias
terhadap
tindakan daripada
perencanaan dan analisa.
2. mereka tetap dekat dengan pelanggan, mengidentifikasi kebutuhan
pelanggan dan mencari cara untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3. tidak menekankan tradisi dan birokrasi, organisai yang baik akan
mendorong anggota organisasi untuk mengambil tanggung jawab
individu untuk memecahkan masalah dan usulan baru untuk kegiatan
organisasi. mereka menekankan otonomi dan inisiatif.
4.
menekankan keprihatinan karyawan sebagai anggota dari organisasi
"keluarga". Organisasi yang baik menekankan produktivitas melalui
orang-orang.
28
5.
mereka menekankan tanggung jawab, value-driven kegiatan. organisasiorganisasi ini memilih kegiatan sesuai dengan nilai-nilai organizasional.
akan mendorong para manajer untuk menggunakan "tanggung jawab"
pendekatan, yang akan berhubungan dengan bagaimana pekerja
melaksanakan pekerjaan mereka sehari-hari dan apa masalah dan
keberhasilan mereka.
6.
organisasi yang baik tidak menyamakan menjadi daerah bisnis di mana
mereka tidak memiliki keahlian: bukan, mereka menemukan apa yang
terbaik dan organisasi tidak menekankan jenis kegiatan ini. mereka tetap
mereka knitting.
7.
mereka mempertahankan bentuk yang sederhana dan pekerja yang
berkualitas.
8.
menunjukkan kehilangan kesamaan dan property yang ketat. para
anggotanya sangat bersatu melalui nilai-nilai bersama dan aksi (ketat
properti), tetapi organisasi masih cukup fleksibel untuk mengubah bila
diperlukan (longgar properti).
Deal dan Kennedy (1982) merekomendasikan bahwa organisasi menciptakan
budaya yang kuat agar berhasil. Mereka mengidentifikasi empat aspek
penting budaya organisasi: nilai-nilai, pahlawan, dan upacara-upacara ritual,
budaya dan komunikasi jaringan.
1.
kepercayaan adalah nilai-nilai bersama tentang organisasi dan apa yang
baik untuk itu. Materi perizinan perguruan tinggi seperti viewbooks
membantu mengidentifikasi nilai-nilai calon siswa dari berbagai sekolah:
misalnya, atletik mungkin sangat penting di sekolah tetapi prestasi artistik
mungkin lebih dihargai oleh teman menghadiri sebuah universitas.
2.
pahlawan adalah anggota organisasi yang berfungsi sebagai contoh
yang bertindak keluar organisasi nilai-nilai penting. di beberapa sekolah,
mungkin pahlawan anggota tim atletik yang telah sukses karir olahraga
29
profesional. lainnya di shools, pahlawan mungkin famouse ilmuwan,
filosof, atau pejabat pemerintah.
3.
upacara-upacara ritual dan upacara yang penuh dengan simbolisme un
tuk organisasi anggota. organisasi ini melakukan upacara untuk
merayakan nilai-nilai dan mereka influnce anggota baru untuk menerima
mereka. Kelulusan dan klub sosial initations adalah contoh dari upacaraupacara dan ritual di perguruan tinggi.
4. Budaya jaringan komunikasi informal komunikasi yang membawa infor
masi tentang nilai-nilai. pahlawan, dan upacara-upacara dan ritulas ke
anggota organisasi. sebelum Anda memilih perguruan tinggi atau besar,
Anda probablu mendengarkan cerita diberitahu oleh teman-teman yang
telah hadir sekolah dan kelas-kelas yang berbeda. teman-teman ini
adalah bagian dari budaya komunikasi jaringan.
Pacanowky dan O'Donnell-Trujillo, namun tidak fokus pada budaya sebagai
obyek statis tetapi pada proses di mana sebuah organisasi memunculkan
komunikasi dengan budaya. Dengan menggunakan metode yang dijelaskan
sebelumnya, teori ini meneliti topik seperti itu sebagai organisasi yang
relevan membangun, kenyataannya, praktik, kosa kata, metafor, cerita, dan
upacara-upacara dan ritual. Dengan melalui melalui berbagai kegiatan, teori
dapat mencari apa organisasi bersama-sama melihat kenyataan ini dan
bagaimana ia dibuat dan dipelihara.
misalnya, seandainya antropologi dari budaya lain datang ke universitas. jika
mereka ingin memahami apa yang akan mereka constructs perlu
memahami?
30
TEORI DRAMATURGI
Kenneth Duva Burke(May 5, 1897 – November 19, 1993) seorang teoritis
literatur Amerika dan filosof memperkenalkan konsep dramatisme sebagai
metode untuk memahami fungsi sosial dari bahasa dan drama sebagai
pentas simbolik kata dan kehidupan sosial. Tujuan Dramatisme adalah
memberikan penjelasan logis untuk memahami motif tindakan manusia, atau
kenapa
manusia
melakukan
apa
yang
mereka
lakukan
(Fox,
2002).Dramatisme memperlihatkan bahasa sebagai model tindakan simbolik
ketimbang model pengetahuan (Burke, 1978). Pandangan Burke adalah
bahwa hidup bukan seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. 1959:
The Presentation of Self in Everyday Life Tertarik dengan teori dramatisme
Burke, Erving Goffman (11 Juni 1922 – 19 November 1982), seorang
sosiolog interaksionis dan penulis, memperdalam kajian dramatisme tersebut
dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai
salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self
in Everyday Life. Dalam buku ini Goffman yang mendalami fenomena
interaksi simbolik mengemukakan kajian mendalam mengenai konsep
Dramaturgi.
INI BUKAN DRAMATURGI ARISTOTELES
Istilah Dramaturgi kental dengan pengaruh drama atau teater atau
pertunjukan fiksi diatas panggung dimana seorang aktor memainkan karakter
manusia-manusia yang lain sehingga penonton dapat memperoleh gambaran
kehidupan dari tokoh tersebut dan mampu mengikuti alur cerita dari drama
yang disajikan. Meski benar, dramaturgi juga digunakan dalam istilah teater
namun term dan karakteristiknya berbeda dengan dramaturgi yang akan kita
pelajari. Dramaturgi dari istilah teater dipopulerkan oleh Aristoteles. Sekitar
tahun 350 SM, Aristoteles, seorang filosof asal Yunani, menelurkan, Poetics,
hasil pemikirannya yang sampai sekarang masih dianggap sebagai buku
acuan
bagi
dunia
teater.
Dalam
Poetics,
Aristoteles
menjabarkan
31
penelitiannya
tentang
penampilan/drama-drama
berakhir
tragedi/tragis
ataupun kisah-kisah komedi. Untuk menghasilkan Poetics Aristoteles meneliti
hampir seluruh karya penulis Yunani pada masanya. Kisah tragis merupakan
obyek penelitian utamanya dan dalam Poetic juga Aristoteles menyanjung
Kisah Oedipus Rex, sebagai kisah drama yang paling dapat diperhitungkan.
Meskipun Aristoteles mengatakan bahwa drama merupakan bagian dari
puisi, namun Aristoteles bekerja secara utuh menganalisa drama secara
keseluruhan. Bukan hanya dari segi naskahnya saja tapi juga menganalisa
hubungan antara karakter dan akting, dialog, plot dan cerita. Ia memberikan
contoh-contoh plot yang baik dan meneliti reaksi drama terhadap penonton.
Nilai-nilai yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam maha karyanya ini
kemudian dikenal dengan “aristotelian drama” atau drama ala aristoteles,
dimana deus ex machina[1] adalah suatu kelemahan dan dimana sebuah
akting harus tersusun secara efisien. Banyak konsep kunci drama, seperti
anagnorisis[2] dan katharsis[3], dibahas dalam Poetica. Sampai sekarang
“aristotelian drama” sangat terlihat aplikasinya pada tayangan-tayangan tv,
buku-buku panduan perfilman dan bahkan kursus-kursus singkat perfilman
(dramaturgi dasar) biasanya sangat bergantung kepada dasar pemikiran
yang dikemukakan oleh Aristoteles.
DRAMATURGI: BENTUK LAIN DARI KOMUNIKASI
Bila Aristoteles mengungkapkan Dramaturgi dalam artian seni. Maka,
Goffman mendalami dramaturgi dari segi sosiologi. Seperti yang kita ketahui,
Goffman memperkenalkan dramaturgi pertama kali dalam kajian sosial
psikologis dan sosiologi melalui bukunya, The Presentation of Self In
Everyday Life. Buku tersebut menggali segala macam perilaku interaksi yang
kita lakukan dalam pertunjukan kehidupan kita sehari-hari yang menampilkan
diri kita sendiri dalam cara yang sama dengan cara seorang aktor
menampilkan karakter orang lain dalam sebuah pertunjukan drama. Cara
32
yang sama ini berarti mengacu kepada kesamaan yang berarti ada
pertunjukan yang ditampilkan. Bila Aristoteles mengacu kepada teater maka
Goffman mengacu pada pertunjukan sosiologi. Pertunjukan yang terjadi di
masyarakat untuk memberi kesan yang baik untuk mencapai tujuan. Tujuan
dari presentasi dari Diri – Goffman ini adalah penerimaan penonton akan
manipulasi. Bila seorang aktor berhasil, maka penonton akan melihat aktor
sesuai sudut yang memang ingin diperlihatkan oleh aktor tersebut. Aktor
akan semakin mudah untuk membawa penonton untuk mencapai tujuan dari
pertunjukan tersebut. Ini dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari
komunikasi. Kenapa komunikasi? Karena komunikasi sebenarnya adalah alat
untuk mencapai tujuan. Bila dalam komunikasi konvensional manusia
berbicara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal
untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan
kita. Maka dalam dramaturgis, yang diperhitungkan adalah konsep
menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberikan
feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari
konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk
mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa
dalam interaksi antar manusia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui
yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial
tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu
kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bahwa terjadi
permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat
kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana
dengan permainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok
tertentu. Hal ini setara dengan yang dikatakan oleh Yenrizal (IAIN Raden
Fatah, Palembang), dalam makalahnya “Transformasi Etos Kerja Masyarakat
Muslim: Tinjauan Dramaturgis di Masyarakat Pedesaan Sumatera Selatan”
pada Annual Conference on Islamic Studies, Bandung, 26 – 30 November
2006: “Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan
33
oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang
kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat
tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah
kemudian masyarakat yang mampu beradaptasi dengan berbagai suasana
dan corak kehidupan. Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen
perkotaan, menciptakan panggung-panggung sendiri yang membuatnya bisa
tampil
sebagai
komunitas
yang
bisa
bertahan
hidup
dengan
keheterogenannya. Begitu juga dengan masyarakat homogen pedesaan,
menciptakan
panggung-panggung
sendiri
melalui
interaksinya,
yang
terkadang justru membentuk proteksi sendiri dengan komunitas lainnya.”
DRAMATURGIS : KITA SEBENARNYA HIDUP DI ATAS PANGGUNG
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil
dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan
psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung
dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita
menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai
sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk
menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui
“pertunjukan dramanya sendiri”. Dalam mencapai tujuannya tersebut,
menurut konsep dramaturgis, manusia akan mengembangkan perilakuperilaku yang mendukung perannya tersebut. Selayaknya pertunjukan drama,
seorang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan
pertunjukan. Kelengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum,
penggunakan kata (dialog) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya
bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan
memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut
dalam istilah “impression management”. Goffman juga melihat bahwa ada
perbedaan akting yang besar saat aktor berada di atas panggung (“front
stage”) dan di belakang panggung (“back stage”) drama kehidupan. Kondisi
34
akting di front stage adalah adanya penonton (yang melihat kita) dan kita
sedang berada dalam bagian pertunjukan. Saat itu kita berusaha untuk
memainkan peran kita sebaik-baiknya agar penonton memahami tujuan dari
perilaku kita. Perilaku kita dibatasi oleh oleh konsep-konsep drama yang
bertujuan untuk membuat drama yang berhasil (lihat unsur-unsur tersebut
pada impression management diatas). Sedangkan back stage adalah
keadaan dimana kita berada di belakang panggung, dengan kondisi bahwa
tidak ada penonton. Sehingga kita dapat berperilaku bebas tanpa
mempedulikan plot perilaku bagaimana yang harus kita bawakan. Contohnya,
seorang front liner hotel senantiasa berpakaian rapi menyambut tamu hotel
dengan ramah, santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi,
saat istirahat siang, sang front liner bisa bersikap lebih santai, bersenda
gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil
lainnya (merokok, dsb). Saat front liner menyambut tamu hotel, merupakan
saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah
menyambut tamu hotel dan memberikan kesan baik hotel kepada tamu
tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang front liner juga adalah perilaku yang
sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen hotel. Saat istirahat
makan siang, front liner bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak
ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh
manajemen hotel adalah bagaimana sang front liner tersebut dapat refresh
untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya. Sebelum berinteraksi
dengan orang lain, seseorang pasti akan mempersiapkan perannya dulu,
atau kesan yang ingin ditangkap oleh orang lain. Kondisi ini sama dengan
apa yang dunia teater katakan sebagai “breaking character”. Dengan konsep
dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah
suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna
tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang
sosial masyarakat itu sendiri. Terbentuklah kemudian masyarakat yang
mampu beradaptasi dengan berbagai suasana dan corak kehidupan.
35
Masyarakat yang tinggal dalam komunitas heterogen perkotaan, menciptakan
panggung-panggung
sendiri
yang
membuatnya
bisa
tampil
sebagai
komunitas yang bisa bertahan hidup dengan keheterogenannya. Begitu juga
dengan masyarakat homogen pedesaan, menciptakan panggung-panggung
sendiri melalui interaksinya, yang terkadang justru membentuk proteksi
sendiri dengan komunitas lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat melalui
konsep permainan peran adalah realitas yang terjadi secara alamiah dan
berkembang sesuai perubahan yang berlangsung dalam diri mereka.
Permainan peran ini akan berubah-rubah sesuai kondisi dan waktu
berlangsungnya. Banyak pula faktor yang berpengaruh dalam permainan
peran ini, terutama aspek sosial psikologis yang melingkupinya.
KRITIK TERHADAP DRAMATURGI
Dramarturgi hanya dapat berlaku di institusi total Institusi total maksudnya
adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan
atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi
tersebut, dimana individu ini berlaku sebagai sub-ordinat yang mana sangat
tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri
institusi total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki
hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut
paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer),
institusi pendidikan, penjara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah
sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat
berperan baik pada instansi-instansi yang menuntut pengabdian tinggi dan
tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusiinstitusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah untuk diidentifikasi. Orang
akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dimainkan. Bahkan
beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu sebelum
diaplikasikan.
36
Menihilkan “kemasyarakatan”
Teori ini juga dianggap tidak mendukung pemahaman bahwa dalam tujuan
sosiologi ada satu kata yang seharusnya diperhitungkan, yakni kekuatan
“kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbulkan clash bila
berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat
disinkronkan.
Dianggap condong kepada Positifisme
Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme[4]. Penganut paham
ini menyatakan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni
aturan. Aturan adalah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan
nyeleneh atau tidak dapat dijelaskan secara logis merupakan hal yang tidak
patut.
ANALISA DRAMATURGI
Dramaturgis masuk dalam Perspektif Obyektif
Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini
cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun,
pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan
untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat
menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural,
mengikuti alur. Misalnya, pada kasus Kekerasan pada Rumah Tangga
(“KDRT”), saat perilaku kekerasan itu hendak terjadi, korban sebenarnya
memiliki pilihan, berserah diri atau melakukan perlawanan. Bila ia
memberontak maka konsekuensinya adalah ini dan bila ia pasrah maka
akibatnya seperti itu. Proses subyektif ini akan beralih menjadi obyektif saat
ia menjalani peran yang dipilihnya tersebut. Misalnya yang ia ambil adalah
pasrah karena ia takut kalau ia melarikan diri konsekuensinya lebih parah,
atau ia merasa terlalu tergantung kepada tersangka dan mengkhawatirkan
nasih anaknya bila ia melawan. Maka, setelah itu ia akan menjalani perannya
37
sebagai korban. Secara naluriah ia akan menutupi bagian tubuhnya yang
mungkin menjadi sasaran kekerasan. Atau ia berusaha untuk menutupi
telinganya untuk melindungi mental dan psikologisnya. Itulah mengapa
dramaturgi di sebut memiliki muatan objektif. Karena pelakunya, menjalankan
perannya secara natural, alamiah mengetahui langkah-langkah yang harus
dijalani.
Pendekatan Keilmuan Little John - Pendekatan Scientific (ilmiah - empiris)
Seperti telah dijabarkan
diatas,
Dramaturgis merupakan
teori yang
mempelajari proses dari perilaku dan bukan hasil dari perilaku. Ini merupakan
asas dasar dari penelitian-penelitian yang menggunakan pendekatan
scientific[5]. Obyektifitas yang digunakan disini adalah karena institusi tempat
dramaturgi
berperan
adalah
memang
institusi
yang
terukur
dan
membutuhkan peran-peran yang sesuai dengan semangat institusi tersebut.
Institusi ini kemudian yang diklaim sebagai institusi total sebagaimana telah
dijabarkan sebelumnya. Bahwa hasil dari peranan itu sesungguhnya, bila
proses (rumusnya) dijalankan sesuai dengan standar observasi dan
konsistensi maka bentuk akhirnya adalah sama. Contohnya, bila seorang
pengajar mempraktekkan cara mengajar sesuai dengan template perguruan
tinggi maka kualitas keluaran perguruan tinggi tersebut akan menghasilkan
kualitas yang bisa dikatakan relatif sama. Atau untuk contoh front liner hotel
diatas, bila front liner dapat memainkan skenario penyambutan tamu
manajemen hotel, niscaya tamu akan merasa dihargai, dihormati, senang
dan
bersedia
untuk
datang
menginap
kembali
di
hotel
tersebut.
[1] Frase ini berasal dari bahasa Latin yang secara bahsa berarti Tuhan
keluar membantu. Hal ini menunjuk pada karakter buatan, imajiner, alat
ataupun peristiwa yang tiba-tiba saja terjadi atau ada dalam sebuah
pertunjukan fiksi atau drama sebagai jalan keluar dari sebuah situasi atau
plot yang sulit (contohnya, tiba-tiba ada ibu peri yang muncul untuk menolong
Cinderella supaya bisa datang ke pesta dansa di istana).
38
[2] Aristoteles mengartikan kata ini sebagai “perubahan perilaku dari acuh
menjadi
butuh
karena
perkembangan
cerita
(mengetahui
yang
sesungguhnnya), tumbuhnya rasa cinta atau benci yang timbul antar karakter
yang ditakdirkan oleh alur cerita”. Contohnya, pangeran dalam cerita
Cinderella sebelum tidak peduli pada gadis-gadis yang memiliki sepatu kaca,
tapi begitu ia mengetahui bahwa gadis misteriusnya memakai sepatu kaca,
maka ia mencari gadis-gadis yang muat dengan sepatu kacanya.
[3] Kata ini mengacu kepada sensasi, atau efek turut terbawanya alur cerita
ke dalam hati. Perasaan ini seyogyanya muncul di hati para penonton seusai
menonton drama yang mengena. (contohnya, turut menangis,tertawa, atau
perasaan iba terhadap karakter drama).
[4] Positifisme dirunut dari asalnya berasal dari pemikiran Auguste Comte
pada abad ke 19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang
dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains.
[5]
Menurut
pandangan
ini
ilmu
diasosiasikan
dengan
objektivitas.
Objektivitas yang dimaksudkan di sini adalah objektivitas yang menekankan
prinsip standardisasu observasi dan kosistensi. Landasan philosofisnya
adalah bahwa dunia ini pada dasarnya mempunyai bentuk dan struktur.
39
Riset Eksperimen
Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap
efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun
penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik
secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan
membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi
yang berbeda.
Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura
dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti
efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap
anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok
dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari
plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi
adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar
dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.
Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif
dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll
dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan
bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.
Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil
penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul
pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam
kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan
untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin
dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological
validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).
Survey
Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk
40
dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik.
Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil
riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif
dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih
banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk
menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini
akan diperjelas dengan contoh berikut.
Riset Ethnografi
Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara
lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari
antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh
(holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam
aplikasi penelitian.
Download