hubungan antara kompetensi mengajar guru

advertisement
HUBUNGAN ANTARA KOMPETENSI MENGAJAR GURU DENGAN
HASIL BELAJAR BAHASA JEPANG SISWA KELAS XII IPS
(3 KELAS) DAN XII IPA (1 KELAS) DI SMA CENDERAWASIH 1
JAKARTA SELATAN TAHUN AJARAN 2011/2012
Restoeningroem dan Satiza, S. S
Program Studi Pendidikan Bahasa Jepan
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
ABSTRAK
Meningkatkan sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang harus
dilaksanakan untuk terciptanya peningkatan mutu pendidikan nasional. Kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi selalu
berkembang dan dampaknya merambah pada aspek pendidikan. Lembaga pendidikan
diharapkan dapat menjadi pusat kreativitas dalam mengantisipasi masa depan dan
memberikan sumbangan pada kemajuan intelektual dan sosial, serta mampu
menghasilkan perancang perubahan, pendorong perubahan, yang berjiwa inovatif dan
kewirausahawan. Disadari kualitas pembelajaran tidak terlepas dari kualitas guru,
atau dengan kata lain kualitas edukatif yang dimiliki guru berkaitan dengan kualitas
interaksi yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran. Guru dikatakan berkualitas jika
guru mempunyai bekal pengetahuan yang komprehensif, karena itu guru perlu selalu
meningkatkan kompetensinya (Purwadi, 1992: 80). Guru yang baik dan bijaksana
adalah baik dan bijaksana ditinjau dari siswa dan bukan dari sudut itu sendiri.
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan teknik analisis korelasional yaitu
mencari hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Metode survey digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang gejala pada saat penelitian dilakukan. Metode survey adalah
penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang
ada dan keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi
atau politik dari suatu kelompok (Nadzir, 1983: 63). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kompetensi mengajar guru
dengan hasil belajar bahasa Jepang baik pada siswa SMA Cendrawasih 1 Jakarta
Selatan tahun ajaran 2011/2012. Kompetensi mengajar guru member sumbangan
17% terhadap hasil belajar siswa. Semakin tinggi kompetensi belajarnya maka
semakin tinggi hasil belajar bahasa Jepang yang didapatkan. Dan sebaliknya,
semakin rendah kompetensi belajarnya maka semakin rendah pula hasil belajar
bahasa Jepang yang didapatkan.
Kata Kunci: Kompetensi mengajar, hasil belajar bahasa Jepang
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
142
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Meningkatkan sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang harus
dilaksanakan untuk terciptanya peningkatan mutu pendidikan nasional. Kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi selalu
berkembang dan dampaknya merambah pada aspek pendidikan. Lembaga pendidikan
diharapkan dapat menjadi pusat kreativitas dalam mengantisipasi masa depan dan
memberikan sumbangan pada kemajuan intelektual dan sosial, serta mampu
menghasilkan perancang perubahan, pendorong perubahan, yang berjiwa inovatif dan
kewirausahawan (Rifai, 1996: 199).
Untuk itu lembaga pendidikan dituntut agar dapat menempatkan dirinya sebagai
pusat perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan kata lain peran lembaga pendidikan
formal apakah itu pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi
mempunyai peranan yang sangat penting.
Pendidikan formal memiliki pengaruh yang kuat terhadap individu dalam
melaksanakan tugas sehari-hari yang dimiliki sebelumnya. Dengan pendidikan
formal, terjadilah proses belajar mengenai hal-hal baru (Semiawan, 1998: 32). Hal
ini merupakan persoalan bagi guru dalam segala geraknya dalam dunia pendidikan.
Oleh karena itu, kompetensi guru ditantang untuk selalu dibenahi agar turut
menyertai perubahan pendidikan dalam dinamika zaman. Sehingga, kompetensi guru
sebagai tenaga profesional, yang diharapkan dapat mengantarkan anak didik yang
menjadi pribadi yang paripurna. Kompetensi sebagai suatu tugas yang memadai atau
pemilikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan
seseorang (Djamarah, 1991: 33).
Disadari kualitas pembelajaran tidak terlepas dari kualitas guru, atau dengan
kata lain kualitas edukatif yang dimiliki guru berkaitan dengan kualitas interaksi
yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran. Guru dikatakan berkualitas jika guru
mempunyai bekal pengetahuan yang komprehensif, karena itu guru perlu selalu
meningkatkan kompetensinya (Purwadi, 1992: 80). Guru yang baik dan bijaksana
adalah baik dan bijaksana ditinjau dari siswa dan bukan dari sudut itu sendiri
(Surakhmad, 1984: 138).
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
143
Dengan kata lain, peningkatan mutu pendidikan akan tercapai jika didukung
oleh guru yang berkualitas. Guru yang berkualitas menurut Suryadi adalah guru yang
memiliki: (a) Kemampuan profesional, (b) upaya profesional dan (c) waktu yang
dicurahkan untuk kegiatan profesionalnya (Suryadi, 1992: 2).
Dalam proses belajar mengajar guru merupakan tenaga profesional yang sangat
bertanggung jawab, sehingga tidak heran jika terjadi kegagalan dalam dunia
pendidikan, maka guru menjadi fokus kritik baik oleh para ahli maupun masyarakat.
Dalam kaitannya dengan uraian tersebut, Usman menyatakan bahwa peranan guru
sangat berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan
siswa, dan pencapaian tujuan pembelajaran (Usman, 1992: 10). Hal ini pulalah
mengapa jabatan atau profesi guru memerlukan kemampuan khusus, pekerjaan ini
tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang tanpa memiliki keahlian sebagai guru.
Untuk menjadi seorang guru diperlukan syarat-syarat khusus, apalagi sebagai guru
profesional selain harus menguasai materi, juga dapat melakukan penyampaian yang
tepat agar tercipta keberlangsungan proses belajar mengajar yang tepat pula untuk
peserta didik.
Selain itu juga guru dituntut untuk selalu memperhatikan keberhasilan anak
didiknya serta mengevaluasi seluruh pengajaran yang diberikan untuk selalu
memantau hasil belajar siswa. Hal ini pun bisa mendorong peningkatan kinerja guru
yang kompeten dan menunjang prestasi belajar siswa. Semakin banyak SMA yang
menjadikan pelajaran bahasa Jepang muatan lokal, akan semakin banyak juga tenaga
pengajar yang dibutuhkan untuk mengajar. Sejak diberlakukan kurikulum SMA pada
tahun 2006, mata pelajaran bahasa Jepang dapat diajarkan di program pilihan dan
mulok, dan sejumlah guru di Jabodetabek terus meningkat (Kurihara, 2008: 4).
Dalam kaitannya dengan hasil belajar bahasa Jepang, kompetensi harus lebih
ditingkatkan dikarenakan dalam pengajaran bahasa Jepang harus memberikan latihan
dan keterampilan berbahasa yang meliputi: (1) keterampilan menyimak, (2)
keterampilan berbicara, (3) keterampilan membaca, (4) dan keterampilan menulis
(Tarigan,1989: 1).
Ahmad Dahidi (2008), dalam Seminar Pendidikan bahasa Jepang berpendapat,
bagi guru yang ingin menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, pembelajaran
yang mudah dipahami murid-muridnya, tentunya harus selalu membiasakan diri
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
144
untuk kembali pelajaran yang ia laukan. Misalnya dengan merenungkan kembali
jawaban pertanyaan berikut ini. (1) Apakah kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang
baru saja ia lakukan itu mengakibatkan para pembelajar memahami materi ajar? (2)
Apakah KBM yang dilakukan itu menarik atau membosankan bagi pembelajar? Hasil
renungan ini bermanfaat untuk memperbaiki KBM yang akan kita lakukan pada
tahap berikutnya. Di dalam pendapat tersebut erat kaitannya terhadap kompetensi
para guru sebagai pengajar, dimana selalu harus melakukan evaluasi apa yang sudah
diajarkan kepada peserta ajar.
Berdasarkan studi eksplorasi yang penulis lakukan merangkap sebagai
pembimbing PPL Mahasiswa semester VII UHAMKA bekerjasama dengan Guru
pamong Bahasa Jepang Ibu Satiza, S.S di SMU Cenderawasih 1 Jakarta diperoleh
data sementara bahwa daya serap siswa yang berjumlah 150 orang untuk mata
pelajaran Bahasa Jepang Kelas XII IPS (3 kelas) dan IPA (1 kelas)
Cenderawasih khususnya mata pelajaran Menulis Bahasa Jepang
di SMU
masih kurang
optimal dibandingkan dengan mata pelajaran Berbicara Bahasa Jepang .
Perlu penulis informasikan bahwa pelajaran Bahasa Jepang di SMU
Cenderawasih 1 Jakarta Selatan sudah terbentuk sejak tahun 2005 hingga sekarang
sebagai mata pelajaran Muatan Lokal yang harus ditempuh oleh para siswa dari awal
masuk kelas X , kelas XI hingga kelas XII.
Pada sisi lain, telah banyak usaha yang dilakukan dalam perbaikan dan
peningkatan kualitas proses belajar mengajar bahasa Jepang di SMU Cenderawasih 1
Jakarta. Upaya itu anatara lain, melalui peningkatan kesejahteraan guru, perbaikan
kurikulum, perbaikan sarana dan prasarana mengajar. Selain itu perlu ditemukan dan
dilakukan upaya-upaya lain yang diperkirakan dapat meningkatkan proses
pembelajaran bahasa Jepang. Selain itu The Japan Foundation dalam program
peningkatannya dibidang pendidikan bahasa Jepang, telah mendirikan MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran), dimana lembaga tersebut melakukan
peningkatan pengajaran bahasa Jepang dengan melakukan penataran-penataran untuk
guru-guru Bahasa Jepang SLTA/SMK/MA JABODETABEK. Selain itu juga
mendatangkan guru-guru dari Jepang untuk ikut serta membantu peningkatan
pengajaran bahasa Jepang pada SLTA di Indonesia dibawah naungan The Japan
Foundation (The Japan Foundation Jakarta, 2008).
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
145
KAJIAN PUSTAKA
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
perubahan yang baru secara keseluruhan (Surya, 1982: 47). Dengan kata lain belajar
bentuk pertumbuhan dan perubahan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam
cara tingkah laku berkat pengalaman atau latihan.
Belajar menurut Bakri adalah suatu aktifitas yang dilakukan secara sadar untuk
mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari (Bakri,1994: 47).
Sejalan dengan itu, Sadirman mengemukakan suatu rumusan bahwa belajar sebagai
rangkaian kegiatan jiwa raga dan psikologic menuju perkembangan pribadi manusia
seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik (Sadirman, 2000: 33).
Belajar juga dikatakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan
pada diri seseorang, merupakan proses yang aktif, proses mereaksi terhadap semua
situasi yang ada disekitar individu, proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses
berbuat melalui pengalaman (Sudjana, 1989: 28).
Sejalan dengan Hirgard dan Marquis dalam Rasyad, belajar merupakan proses
mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembelajaran dan
sebagainya, sehingga terjadi perubahan dalam diri. Baik belajar itu dilakukan dalam
laboratorium di bawah bimbingan guru atau usaha sendiri dan lingkungan alami
dimana proses belajar itu terjadi. Perubahan itu dapat terjadi karena faktor-faktor
yang berasal dari latihan (Rasyad, 2003: 29).
Beberapa definisi belajar pada akhirnya terdapat kesamaan makna bahwa
belajar adalah suatu proses perubahan prilaku atau kepribadian yang diakibatkan oleh
praktek atau pengalaman tertentu yang pada umumnya belajar mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
Pertama, adanya suatu proses usaha, artinya belajar bukan suatu tujuan tetapi
merupakan langkah-langkah atau prosedur yang ditempuh individu dan diikuti
dengan berbagai usaha untuk mencapai tujuan.
Kedua, adanya interaksi individu, artinya belajar dapat terjadi bila berinteraksi
dengan lingkungannya, baik melalui pengalaman langsung atau melalui pengalaman
pengganti. Pengalaman langsung yaitu individu yang belajar dengan membuat
sesuatu.
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
146
Ketiga, adanya perubahan tingkah laku, yang dimaksudkan disini adalah
perubahan tingkah laku yang baru sebagai sesuatu yang dipelajari (Winkel, 1999:
178-179).
Perubahan tingkah laku yang dihasilkan oleh proses belajar mempunyai ciri
perwujudan yang khas yang bersifat intensional, positif-aktif, dan perubahan yang
bersifat fungsional (Winkel, 1999: 106-108). Perubahan yang bersifat intensional
adalah perubahan yang disebabkan karena proses belajar itu sengaja dilakukan
sehingga siswa belajar menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau paling
tidak dia akan merasakan perubahan tersebut. Sedangkan perubahan yang bersifat
positif-aktif adalah perubahan yang baik, bermanfaat dan sesuai dengan harapan
yang diperoleh melalui suatu usaha yang dilakukan siswa. Sedangkan perubahan
yang bersifat efektif-fungsional adalah perubahan yang berpengaruh, bermakna dan
bermanfaat bagi siswa yang relatif menetap sehingga apabila dibutuhkan perubahan
tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan (Winkel, 1999: 253).
Soedijarto mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah
tingkat penguasaan yang dicapai oleh pelajar dalam mengikuti proses belajar
mengajar sesuai dengan pendidikan yang ditetapkan (Soedijarto, 1993: 43). Menurut
Rogers, hasil belajar adalah suatu puncak proses belajar, hasil belajar tersebut
terutama berkat evaluasi guru. Hasil belajar dapat berupa dampak pengajara dan
dampak pengiring (Rogers, 1994: 15).
Skiner seperti dikutip oleh Sudjana, menyatakan bahwa hasil belajar dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1)
Keterampilan dan kebiasaan (skills and habits), hal ini berkaitan dengan
kuantitas latihan yang dilakukan seseorang dalam belajar untuk mendapatkan
kemahiran dan kemantapan memecahkan masalah.
2)
Kompetensi penyesuaian sosial (social competence), yaitu kemampuan
seseorang untuk menangkap peristiwa-peristiwa yang terjadi pada lingkungan sosial.
3)
Berfikir abstrak (abstrack thinking), yaitu kemampuan seseorang
mengasimilasi dan mengakomodasi konsep-konsep informasi kemudian membuat
sintesa dari informasi-informasi tersebut (Sudjana, 1990:34).
Bahasa Jepang (Nihongo) merupakan bahasa resmi di Jepang dan jumlah
penutur 127 juta jiwa. Bahasa Jepang juga digunakan oleh sejumlah penduduk
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
147
Negara yang pernah ditaklukannya seperti Korea dan Republik Cina. Ia juga dapat
didengarkan di Amerika Serikat (California dan Hawaii) dan Brasil akibat emigrasi
orang Jepang ke sana. Namun keturunan mereka yang disebut Nisei (generasi kedua),
tidak lagi fasih dalam bahasa tersebut. Bahasa Jepang terbagi kepada dua bentuk
yaitu Hyoujungo (petuturan standar), dan Kyoutsugo (petuturan umum), Hyoujungo
adalah bentuk yang diajarkan di sekolah dan digunakan di televisi dan segala
perhubungan resmi. (ww.wikipediabahasajepang, 22/10/11).
Kompetensi berasal dari bahasa Inggris, yaitu “competence”, yang berarti
kecakapan, kemampuan. Menurut Zein, kompetensi adalah kewenangan atau hak
untuk menentukan atau memutuskan sesuatu (Zein, 1996: 709).
Dengan demikian tidaklah berbeda dengan kompetensi yang dikemukakan oleh
Houston dalam Bakri, mengatakan bahwa “competence ordinary is is define as
adquence for a task “or as” possessions of quins knowledge, skills and abilities”
yang dapat diartikan bahwa kompetensi sebagai suatu tugas yang memakai atau
pemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampan yang dituntut oleh jabatan
seseorang (Bakri, 1994: 33).
Kompetensi guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru
dalam menjalankan profesinya. Guru sebagai tenaga pendidik atau pengajar
merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan atau keberhasilan siswa. Menurut
Manning dan Khaterina guru yang baik adalah guru yang tidak hanya paham dan
terampil dalam penyampaian materi, tetapi harus mampu menangani atau mengelola
proses belajar siswa (Manning dan Bucher, 2000: Vol. 77 No. 1)
Proses belajar mengajar merupakan proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atau dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam
situasi edukatif yang mencapai tujuan tertentu. Interaksi dalam peristiwa belajar
mengajar mempunyai arti yang lebih luas, tidak sekedar hubungan antar guru dengan
siswa, tetapi berupa interaksi edukatif dalam hal ini bukan hanya penyampaian pesan
berupa pengajaran melainkan penanaman sikap dan nilai diri pada diri arah yang
sedang belajar (Usman, 1995: 4).
Banyak hal yang bisa dilakukan guru untuk bisa meningkatkan kualitas
mengajarnya, beberapa diantaranya dengan meningkatkan kegiatan belajar siswa
secara aktif dalam proses pengajaran. Disiplin waktu dalam memulai dan mengakhiri
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
148
pelajaran. Selain itu hendaknya guru mampu merencanakan program pengajaran dan
secara tidak langsung mampu melaksanakannya dalam bentuk pengolahan kegiatan
belajar di kelas.
Pencapaian optimal kinerja guru bukan saja ditentukan oleh sekolah, pola,
struktur, dan isi kurikulumnya. Tetapi sebagian besar ditentukan oleh kompetensi
guru yang bertugas mengarahkan dan membimbing. Sahertian mengemukakan
bahwa, persiapan untuk membentuk guru yang berkompetensi harus mampu
mengembangkan ketiga aspek kompetensi pada dirinya, yaitu (1) kompetensi pribadi;
(2) kompetensi professional; (3) kompetensi kemasyarakatan.
Kompetensi pribadi adalah sikap pribadi guru bagi bangsa dan negaranya.
Sedangkan kompetensi professional adalah kemampuan dalam penguasaan akademik
(mata pelajaran), yang diajarkan dan terpadu dengan kemampuan mengajarnya
sehingga guru memiliki wibawa akademik. Sedangkan kompetensi kemasyarakatan
adalah kompetensi seorang guru dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat tempat ia
bekerja baik secara personal maupun informasi (Sahertian, 1985: 68).
Dalam kaitannya dalam pengajar bahasa Jepang, tentu hal ini menjadi salah
satu dasar utama untuk menjadi seorang pengajar bahasa Jepang dalam proses belajar
mengajar sehingga kompetensi sebagai pengajar bahasa Jepang dapat terlihat.
METODOLOGI PENELIAN
Penelitian ini menggunakan metode survey dengan teknik analisis korelasional
yaitu mencari hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel terikat.
Metode survey digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang gejala pada saat penelitian dilakukan. Metode survey adalah
penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang
ada dan keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi
atau politik dari suatu kelompok (Nadzir, 1983: 63).
Metode ini memberikan gambaran tentang variabel-variabel yang ditemukan,
sekaligus menyelidiki hubungan antara variabel. Karena itu metode ini akan
mengungkapkan data faktual berdasarkan informasi yang ditemukan (Kerlinger,
2003: 661).
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
149
Dengan metode penelitian survey diharapkan penulis dapat memperoleh
keterangan-keterangan secara faktual dari gejala-gejala yang ada secara nyata di
tempat penelitian, baik yang berhubungan dengan kompetensi belajar mahasiswa,
maupun dengan hasil belajar bahasa Jepang mahasiswa.
Untuk teknik analisis korelasi digunakan untuk mengukur hubungan antara
pasangan skor variabel kompetensi belajar mahasiswa (X), dan skor variabel hasil
belajar bahasa Jepang mahasiswa (Y).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Kompetensi Mengajar Guru (Variabel X)
Data tentang kompetensi mengajar guru yang dikumpulkan melalui lembar
penilaian yang didapatkan dari angket tentang kompetensi mengajar guru bahasa
Jepang. Skor maksimal adalah 176 dan skor minimal adalah 86, reratanya 141,
median 142 dan modus 142.
Selanjutnya skor empirik kompetensi mengajar guru disajikan pada tabel
distribusi frekuensi, pada tabel berikut ini.
Daftar Distribusi Frekuensi Kompetensi Mengajar Guru
No Kelas
1
2
3
4
5
6
7
Interval
81 - 99
100 - 113
114 - 127
128 - 141
142 - 155
158 - 169
170 - 183
Frekuensi
1
0
4
33
31
14
1
n = 84
Pada table di atas, dikemukakan bahwa dari jumlah responden sebanyak 84
orang, frekuensi tertinggi yaitu 33 responden berada pada interval skor 128 sampai
dengan 141. Sedangkan frekuensi terendah yaitu 0 responden berada pada interval
skor 100 sampai dengan 113.
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
150
Untuk lebih memudahkan distribusi frekuensi di atas secara visual ditampilkan
dalam bentuk diagram batang berikut ini
Diagram Batang Kompetensi Mengajar Guru
Data Hasil Belajar Bahasa Jepang Siswa (Variabel Y)
Data tentang hasil belajar bahasa Jepang siswa yang dikumpulkan melalui
lembar penilaian yang didapatkan dari test hasil belajar bahasa Jepang siswa. Skor
maksimal adalah 27 dan skor minimal adalah 2, reratanya 10.9, median 11 dan
modus 5, 7, dan 14.
Selanjutnya skor empirik kompetensi mengajar guru disajikan pada tabel
distribusi frekuensi, pada tabel berikut ini.
Daftar Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Bahasa Jepang Siswa
No Kelas
1
2
3
4
5
6
7
Interval
2-5
6-9
10 - 13
14 - 17
18 - 21
22 - 25
26 - 29
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
Frekuensi
15
23
19
20
4
1
2
n = 84
151
Pada table di atas, dikemukakan bahwa dari jumlah responden sebanyak 84
orang, frekuensi tertinggi yaitu 23 responden berada pada interval skor 6 sampai
dengan 19. Sedangkan frekuensi terendah yaitu 1 responden berada pada interval
skor 22 sampai dengan 25.
Untuk lebih memudahkan distribusi frekuensi di atas secara visual
ditampilkan dalam bentuk diagram batang berikut ini
Diagram Batang Hasil Belajar Bahasa Jepang Siswa
KESIMPULAN
Dari perhitungan korelasi Product Moment dihasilkan r sebesar 0.1305 dan
berdasarkan perhitungan uji signifikasi koefisien korelasi terhadap table uji t
(lampiran: table C) pada P 0.95 dan dk (n-2) = 82 didapat t h sebesar 0.277 dan nilai ttabel = 0.286. Karena t h (0.277) < tt (0.286) maka H0 DITOLAK. Dengan ditolaknya
H0 dan diterimanya Hi dapat disimpulkan terdapat hubungan yang signifikan antara
kompetensi mengajar guru dengan hasil belajar bahasa Jepang siswa SMA
Cendrawasih 1 Jakarta.
Meskipun demikian dapat dikatakan bahwa kompetensi mengajar guru
memberikan kontribusi yang sangat rendah bagi hasil belajar bahasa Jepang baik
pada siswa SMA Cendrawasih 1 Jakarta Selatan tahun ajaran 2010/2011. Hal ini
dibuktikan dengan angka koefisien determinasi sebesar 17%. Yang berarti
kompetensi mengajar guru memberikan kontribusi sebesar 17% terhadap hasil belajar
bahasa Jepang baik pada siswa SMA Cendrawasih 1 Jakarta Selatan tahun ajaran
2010/2011. dan sisanya yaitu 83% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
152
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
kompetensi mengajar guru dengan hasil belajar bahasa Jepang baik pada siswa SMA
Cendrawasih 1 Jakarta Selatan tahun ajaran 2010/2011. Semakin tinggi kompetensi
belajarnya maka semakin tinggi hasil belajar bahasa Jepang yang didapatkan. Dan
sebaliknya, semakin rendah kompetensi belajarnya maka semakin rendah pula hasil
belajar bahasa Jepang yang didapatkan.
SARAN
Guru bahasa Jepang agar senantiasa meningkatkan kompetensi yang
mencakup peningkatan intelektualitas pada mata pelajaran bahasa Jepang,
pengelolaan kelas, menguasai berbagai macam metode pengajaran agar tidak
monoton dan siswa tidak jenuh, disiplin administrasi seperti menyiapkan bahan ajar
dan rencana pembelajaran (RPP). Hal tersebut bertujuan agar materi yang
disampaikan lebih terarah dan tujuan pembelajaran tercapai. Selain itu guru
diharapkan selalu mengevaluasi hasil belajar dengan data-data ujian tertulis maupun
lisan.
Siswa
selalu
melatih kemampuannya dalam
berbahasa Jepang dan
memberikan perhatian lebih meskipun mata pelajaran bahasa Jepang hanya
merupakan mata pelajaran muatan lokal. Karena hal ini dapat menjadi salah satu
modal ketika siswa sudah menyelesaikan pendidikan di SMA dan terjun ke dalam
dunia kerja.
Demi pengembangan potensi yang dimiliki guru bahasa Jepang, ada baiknya
pihak sekolah dalam hal ini wakil kepala sekolah dan wakil bidang kurukulum, untuk
selalu
memberikan
peluang
pada
guru
tersebut
untuk
mengembangkan
pengetahuannya pada jenjang pendidikan berikutnya, seperti: mengikutsertakan
dalam
penataran-penataran
atau
seminar-seminar
yang
berkaitan
dengan
pengembangan profesi, serta penyediaan alat atau bahan mengajar.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
153
Badudu, Zein. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Bakri, Syaiful. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha
Nasional.
Dahidi, Ahmad. 2008. Seminar Pendidikan Bahasa Jepang. Vol. 77 No. 1. Bandung.
Danasasmita, Wawan. 2002. Beberapa Masalah dalam Pembelajaran Bahasa
Jepang dalam Jurnal Pendidikan Bahasa Jepang di Indonesia Edisi Agustus
No. 1. tahun 2002. Bandung: Program Pendidikan Bahasa Jepang FPBS UPI.
Purwanto, Ngalim. 1990. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rasyad, Aminudin. 2003. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: UHAMKA
Press.
Restoeningroem, 2007. Peningkatan Pragmatik dalam Berbahasa Jepang melalui
Metode Roleplay di SMKN 13 Jakarta. UHAMKA
Restoeningroem, dkk, 2008. Peningkatan Kualitas Pembelajaran Huruf Jepang
(iragana) menggunakan multimedia di SMA 63 Jakarta. UHAMKA
Rogers. 1994. Belajar dan Pembelajaran Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu
Tenaga Kerja Kependidikan. Jakarta: Dirjen Dikmenti.
Rombepajung, J. P. 1988. Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Asing. Jakarta:
Depdikbud.
Sardiman, AM. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Semiawan, Cony R. 1999. Peningkatan Kemampuan Manusia Sepanjang Hayat
Seoptimal Mungkin. Jakarta: Grasindo.
Sudjana, Nana. 1998. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Algesindo.
Sudjianto. Pendidikan Bahasa Jepang dan Pemahaman Sosial Kulturnya dalam
Jurnal Pendidikan Bahasa Jepang di Indonesia. Bandung: PPBJ FPBS UPI
Surakhmad, Winarno. 1972. Penguatan Metode Ilmiah. Bandung: Tarsito.
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
154
Tarigan, Djago & Henry Guntur Tarigan. 1990. Teknik Pengajaran Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Usman, Uzer. 1995. Menjadi Guru Professional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Winkel, WS. 1999. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prosiding Penelitian Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora 2011
155
Download