BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, dalam upaya mengejar kepentingan nasionalnya, negara- negara tidak hanya menekankan pada kekuatan militer atau ekonomi melainkan juga budaya. Joseph S. Nye, Jr. (2004) menyatakan bahwa sumber kekuatan sebuah negara pasca Perang Dingin tidak hanya bergantung pada kekuatan militer saja melainkan pada sumber lain seperti budaya dan kebiasaan yang disebut soft power. Budaya juga dianggap menjadi salah satu sumber kekuatan yang dianggap memiliki pengaruh. Diplomasi dengan menggunakan media budaya kemudian dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui pameran budaya, pertukaran pelajar, penyebaran berbagai produk budaya suatu negara melalui beragam media seperti televisi maupun internet, dan lain-lain. Jepang merupakan salah satu negara yang gencar melakukan diplomasi budaya. Adapun diplomasi budaya yang dilakukan oleh Jepang pada era globalisasi ini cenderung menggunakan budaya populer (pop-culture). Berbagai produk budaya populer Jepang seperti manga, anime, fashion maupun musik populer Jepang mulai menjadi perhatian Ministry of Foreign Affairs Japan (Kementerian Luar Negeri Jepang) sejak adanya perubahan struktur di dalam Kementerian Luar Negeri Jepang. Perubahan struktur ini tampak dengan didirikannya Public Diplomacy Department (PDD) di dalam Sekretariat Kementerian Luar Negeri Jepang pada bulan Agustus tahun 2004 (Japan Diplomatic Bluebook, 2005: 207 dalam Nakamura, 2013: 4). Hal ini sekaligus 1 2 menjadi penanda arah baru kebijakan luar negeri Jepang dari yang semula memfokuskan pada budaya tradisionalnya (Nakamura, 2013: 4). Urgensi untuk menggunakan budaya populer ini muncul setelah adanya tulisan dari Douglas McGray pada tahun 2002 yang berjudul “Japan’s Gross National Cool” (Hayden, 2012: 78). Dalam tulisannya, Douglas McGray (2002) menyatakan bahwa secara perlahan pengaruh budaya Jepang khususnya budaya populernya cukup berkembang secara global mulai dari fashion, film animasi, hingga musik populer. Beberapa bukti dari berkembangnya pengaruh budaya Jepang terlihat dari terpilihnya film animasi “Spirited Away” yang dibuat oleh Hayao Miyazaki sebagai penerima top prize pada Festival Film Berlin pada tahun 2002. Contoh lainnya juga tampak dari jutaan remaja di Hong Kong, Seoul, and Bangkok ingin meniru gaya fashion yang terbaru di Tokyo (McGray, 2002). Hal ini semakin ditegaskan oleh Yoshikazu Tarui, seorang mantan anggota dewan yang berasal dari Partai Demokratik Jepang (dalam Hayden, 2012: 78 & Martin, 2010) yang mengatakan bahwa Jepang sangat menonjol dalam hal pengaruh budaya populer secara global sehingga perlu menemukan cara untuk semakin meningkatkan keunggulan tersebut. Urgensi lain untuk menggunakan budaya populer dalam diplomasi budaya Jepang muncul pada era globalisasi. Pada era globalisasi, negara-negara khususnya di kawasan Asia dapat melakukan beragam diplomasi budaya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang dialami oleh negara-negara di kawasan Asia tersebut (Ogura, 2009: 50). Salah satu 3 caranya adalah dengan menyebarkan berbagai produk budaya seperti K-Pop1 (The Korean Wave, 2011: 11 dalam Jang & Paik, 2012: 196) dan Bollywood2 (Pillania, 2008: 116) ke berbagai negara. Adapun hal ini membuat citra Jepang sebagai negara satu-satunya yang ekonominya maju, demokratis dan menghargai tradisi leluhurnya menjadi tidak jelas jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia (Ogura, 2009: 50). Sehingga, berbagai aspek ultra-modern yang dimilikinya seperti anime3, manga4 dan cosplay mulai menjadi fokus perhatian Jepang (Ogura, 2008: 4). Berbagai produk budaya populer Jepang seperti manga, anime, dan game sangat populer di seluruh dunia yang tersebar melalui beragam media seperti televisi, internet dan lain-lain. Melalui berbagai produk budaya populernya, Jepang secara tidak langsung memperkenalkan nilai-nilai serta budaya tradisional Jepang seperti penggunaan bahasa Jepang, penggunaan kimono 5 , tarian bon odori6, semangat bushido7, dan lain-lain. Hal ini mendapatkan respon yang baik yang ditandai dengan dibentuknya komunitas-komunitas pecinta budaya Jepang dan event-event yang menampilkan kebudayaan Jepang di berbagai negara khususnya budaya populer Jepang. 1 Musik populer Korea (Oxford Dictionaries, 2015) Industri film India (Merriam-Webster, 2015) 3 Karya animasi dari Jepang. Anime terdiri dari beragam jenis dan genre, sehingga memiliki beragam jenis penonton dan tidak hanya ditujukan untuk anak kecil (Asri, 2012: 3). 4 Komik buatan Jepang yang temanya memiliki keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari seperti cinta kasih, hubungan manusia dengan alam dan lainnya. Di Jepang, manga yang menceritakan mengenai kehidupan sehari-harinya merupakan manga yang banyak disukai (Schodt, 1996 dalam Craig, 2000: 13 & Wulansuci, 2010: 4) 5 Baju tradisional Jepang yang terbuat dari sutra (Japan Foundation, 2013a). 6 Tarian yang dilakukan dengan tujuan untuk merayakan roh leluhur yang datang kembali ke dunia dan pada umumnya dilakukan pada bulan Agustus (Petrosky, 2010). 7 Semangat pantang menyerah dan kesetiaan serta menjunjung tinggi kehormatan yang dimiliki oleh para samurai (Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, n.d). 2 4 Event-event tersebut sering menampilkan costume role-play atau lebih sering dikenal dengan cosplay. Cosplay merupakan semacam kegiatan para penggemar anime dan atau manga yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan membuat dan mengenakan kostum dan berdandan meniru karakter tertentu dari anime dan atau manga (atau game komputer, literatur, idol group, film populer, atau ikon) dengan tujuan untuk menampilkannya di depan publik dan melakukan pemotretan (Ahn, 2008: 55 dalam Aisyah, 2012: 10). Selain itu, tokoh-tokoh dari game dari mesin konsol (game console) seperti Final Fantasy pun dapat menjadi basis dari cosplay (Lamerichs, 2011). Istilah cosplay pertama kali dimunculkan oleh Nobuyuki Takahashi, presiden dari Studio Hard pada tahun 1983 (J-POPCON, 2015). Kemunculan cosplay tak dapat dilepaskan dari menyebarnya anime dan manga ke seluruh dunia karena banyak orang yang merasa bahwa tidak cukup hanya dengan “menonton anime” ataupun “membaca manga” saja melainkan juga mencoba untuk bertindak seperti karakter yang disukainya (World Cosplay Summit, 2014a). Pada saat ini, kaum muda seluruh dunia memandang cosplay sebagai bentuk baru interaksi global yang dinamis (Indonesia Cosplay Grand Prix, 2014). Hal ini disebabkan karena melalui cosplay para kaum muda di seluruh dunia dapat berinteraksi dan bertukar pikiran mengenai beragam informasi ataupun pengetahuan yang dimiliki mengenai cosplay dan juga mereka dapat membentuk komunitas cosplay sekaligus menambah relasi. Interaksi ini semakin dipermudah dengan perkembangan teknologi dan adanya beragam media sosial seperti facebook, twitter dan lainnya karena dengan adanya hal-hal tersebut para 5 cosplayer yang berasal dari berbagai negara dapat terhubung tanpa memandang batas negara (borderless). World Cosplay Summit (WCS) merupakan salah satu event tersebut. WCS pertama kali diselenggarakan pada tahun 2003 yang ditandai dengan diundangnya lima orang cosplayer dari tiga negara yaitu Jerman, Italia dan Prancis ke sebuah program yang ditayangkan di TV Aichi yang berjudul “Manga is the Common Language of the World”. World Cosplay Championship atau kejuaraan dunia cosplay yang diadakan sejak tahun 2005 pun kemudian menjadi bagian dari event WCS (Ministry of Foreign Affairs Japan, 2013). WCS diciptakan untuk mempromosikan pertukaran budaya kaum muda melalui media anime dan manga. Pada awalnya, WCS diikuti oleh empat negara (Jerman, Italia, Prancis dan Jepang) dan kemudian, sebanyak 20 negara berpartisipasi di dalamnya pada tahun 2012. WCS juga bekerjasama dengan event-event cosplay, anime dan manga di berbagai negara untuk menentukan peserta yang berhak mengikuti WCS (World Cosplay Summit, 2014a). Selain itu, di dalam WCS bukan hanya berkompetisi melainkan juga terdapat parade cosplay yang melibatkan ribuan cosplayer dari berbagai negara (World Cosplay Summit, 2014b: 4-5). Dengan kata lain, WCS dapat dikatakan sebagai olimpiade-nya cosplay (Singapore Cosplay Club, 2014). WCS juga merupakan bagian dari Pop-Culture Diplomacy yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang. Hal ini tampak dari sponsorship yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri Jepang pada tahun 2006-2008 dan kemudian menjadi panitia eksekutif sejak tahun 2009. Selain itu, Kementerian 6 Luar Negeri Jepang juga memberikan Foreign Minister’s Prize dalam ajang ini sejak tahun 2007 (Ministry of Foreign Affairs Japan, 2013). Menurut peneliti, WCS menjadi hal yang menarik untuk diteliti guna mengetahui usaha Pemerintah Jepang yang melakukan diplomasi budaya melalui penggunaan budaya populer demi memperkuat citra positif Jepang. Hal ini berimplikasi terhadap eksistensinya di dunia internasional dengan melibatkan para pemuda dari berbagai negara untuk mengasah kreativitas mereka dalam event WCS. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, permasalahan yang akan diangkat oleh peneliti adalah bagaimana Jepang menggunakan World Cosplay Summit sebagai alat untuk untuk memperkuat citra positif Jepang di dunia internasional. Peneliti akan melihat upaya diplomasi budaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang melalui WCS. 1.3 Batasan Masalah Fokus dari penelitian ini adalah diadakannya kegiatan WCS dan peneliti mengambil waktu pelaksanaan kegiatan tersebut yakni 2003 - 2014. Peneliti mengambil periode tersebut karena event WCS dilakukan selama periode tersebut. 7 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai penggunaan budaya populer dalam diplomasi budaya Jepang melalui penyelenggaraan WCS untuk memperkuat citra positif Jepang di dunia internasional. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: a. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi para akademisi ilmu hubungan internasional dalam mengkaji upaya diplomasi budaya yang dilakukan oleh suatu negara khususnya diplomasi budaya melalui budaya populer. b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dan menjadi bahan pertimbangan ilmiah bagi pihak-pihak yang terkait dalam memperluas pemahaman mengenai diplomasi budaya dengan menggunakan budaya populer. I.6 Sistematika Penelitian Sistematika penelitian dibutuhkan untuk memudahkan peneliti dalam memahami alur dari penelitian ini, agar sesuai dengan judul atau pertanyaan penelitian yang sudah ditetapkan oleh peneliti. Adapun sistematika penelitian yaitu : BAB 1 : Peneliti akan mendeskripsikan permasalahan yang akan diteliti yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, 8 batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian dalam bab ini. BAB 2 : Peneliti akan membahas mengenai kajian pustaka yang akan digunakan di dalam penelitian ini beserta dengan kerangka konseptual dalam bab ini. BAB 3 : Peneliti akan menjelaskan mengenai metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam bab ini. BAB 4 : Peneliti akan membahas penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dalam bab ini. Bab ini terdiri dari gambaran umum obyek penelitian dan analisa dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Gambaran umum obyek penelitian terdiri dari sejarah diplomasi budaya Jepang pada era globalisasi, sejarah singkat World Cosplay Summit beserta peraturan-peraturan di dalamnya. Penelitian ini akan menganalisa World Cosplay Summit sebagai upaya diplomasi budaya Jepang untuk memperkuat citra positif Jepang di dunia internasional BAB 5 : Dalam bab ini, peneliti akan menyampaikan kesimpulan dan saran.