BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah periode transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, yang ditandai dengan adanya perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial yang sangat cepat. Karakteristik dari transisi tersebut, mencakup: 1) perkembangan biologis dari munculnya pubertas sampai kematangan seksual dan reproduksi; 2) perkembangan psikologis meliputi pola-pola kognitif dan emosional masa kanak-kanak menuju masa dewasa; dan 3) perubahan dari ketergantungan sosial ekonomi pada masa kanak-kanak menjadi relatif lebih mandiri (World Health Organization/WHO, 1980). Terdapat tiga pembagian masa remaja, yaitu: 1) masa remaja atau adolescence, adalah rentang dari usia 10 sampai 19 tahun; 2) anak muda atau youth adalah rentang dari usia 15 sampai 24 tahun; dan 3) kelompok anak muda atau young people yang berusia antara 10 sampai 24 tahun. Masa remaja atau adolescence dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: remaja awal berusia dari 10 sampai 15 tahun, remaja menengah berusia antara 14 sampai 17 tahun, dan remaja akhir berusia antara 15 sampai 19 tahun. Pada kenyataannya, digunakan pendekatan isu pragmatis untuk menggabungkan dua rentang usia yang tercakup ke dalam rentang usia dari 10 sampai 24 tahun, dibagi menjadi tiga kelompok usia, yaitu: dari 10 - 14 tahun, 15 - 19 tahun, dan usia 20 - 24 tahun (World Health Organization/WHO, 1980). 1 Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2012, masalah-masalah yang dialami anak muda, di antaranya adalah: 1) perilakuperilaku yang berkontribusi terhadap tindak kekerasan dan kecelakaan yang tidak disengaja, 2) penggunaan obat-obatan terlarang dan merokok, 3) melakukan hubungan seks yang tidak aman, yang berdampak terhadap tingginya human immunodeficiency virus/HIV, 4) diet yang tidak aman, dan 5) aktivitas fisik yang tidak adekuat (BKKBN, 2008; Johnson and Malow-Iroff, 2008; CDC, 2012). Remaja lebih rentan berperilaku berisiko disebabkan oleh pengaruh-pengaruh psikososial, yaitu kemampuan yang terbatas untuk berpikir logis, kemampuan mengatur emosi yang lemah, serta pengaruh teman sebaya (Steinberg, 2007). Kemampuan remaja berpikir logis berkembang optimal pada usia sekitar lima belas tahun, dan kemampuan tersebut akan terus berlanjut sampai memasuki usia dewasa awal (Steinberg, 2007; Steinberg, 2004). Karakteristik utama remaja adalah munculnya konflik dan kebutuhan untuk mendefinisikan serta membandingkan diri mereka dengan dunia orang dewasa. Perilaku mengambil risiko tersebut merupakan upaya untuk mendapatkan penghargaan khususnya di dalam kelompok teman sebayanya (Steinberg, 2007). Populasi remaja di seluruh dunia, termasuk di negara maju maupun berkembang cukup tinggi. Menurut United Nation (UN) tahun 2008, populasi anak muda berusia antara 10 sampai 24 tahun pada tahun 2013 diperkirakan lebih dari 1,8 miliar jiwa atau 25,0% dari jumlah seluruh populasi di dunia. Sekitar 90,0% remaja tinggal di negara berkembang, dan hampir 600 juta adalah penduduk remaja perempuan (UN., 2008). Akses remaja memperoleh informasi, 2 pendidikan, dan perawatan kesehatan terhambat sebagai hasil dari kemiskinan, tradisi sosial budaya yang membahayakan, krisis kemanusiaan, serta isolasi geografis (Wellings et al., 2006; Garcia-Moreno et al., 2005). Populasi anak muda di Indonesia pada tahun 2013 diperkirakan sebanyak 64,3 juta jiwa (Population Reference Bureau, 2013). Penduduk laki-laki dan perempuan berusia 10 sampai 19 tahun di Indonesia cukup besar berdasarkan hasil proyeksi BPS tahun 2013, yaitu sebanyak 44.241.000 orang dan meningkat menjadi 44.748.100 orang pada tahun 2016. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012, proyeksi jumlah remaja usia 10 sampai 19 tahun di Bali meningkat dari 632.900 orang pada tahun 2013 menjadi 666.200 orang tahun 2016. Dengan demikian, populasi remaja usia 10 sampai 19 tahun di Bali sebesar 15,6% dari 4.046.658 jumlah penduduk. Data menunjukkan bahwa jumlah remaja laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah remaja perempuan. Pada Tabel 1, dijabarkan proyeksi jumlah penduduk remaja di Indonesia dan di Provinsi Bali dari tahun 2013 sampai 2016 berdasarkan jenis kelamin. Tabel 1. Proyeksi jumlah penduduk remaja usia 10 – 19 tahun di Indonesia dan Provinsi Bali tahun 2013 – 2016 menurut jenis kelamin Tahun Usia remaja laki-laki (tahun) 10 - 14 15 - 19 Indonesia ( x 1000) 2013 11.421,3 11.167,6 2014 11.448,3 11.237,8 2015 11.507,2 11.289,0 2016 11.571,9 11.335,7 Provinsi Bali ( x 1000) 2013 163,3 157,6 2014 173,6 157,7 2015 177,2 159,8 2016 179,8 162,6 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS, 2012) Total Usia remaja perempuan (tahun) 10 - 14 15 – 19 Total 22.588,9 22.686,1 22.796,2 22.907,6 10.888,5 10.911,9 10.954,3 11.005,2 10.763,6 10.786,9 10.806,4 10.825,3 21.652,1 21.698,8 21.760,7 21.830,5 320,9 331,3 337,0 342,4 160,1 163,9 166,8 169,5 151,9 151,3 152,2 154,3 312,0 315,2 319,0 323,8 3 Perilaku seks pranikah adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual lawan jenis, yang dilakukan oleh remaja sebelum menikah, mulai dari tingkat yang kurang intim sampai melakukan hubungan seksual (Soetjiningsih, 2008). Gambaran dan aktivitas seksual meningkat selama periode remaja, dan anak-anak usia belasan terlibat dalam suatu perilaku seksual dari berfantasi sampai merangsang diri sendiri seperti berbagai bentuk dari hubungan seksual (Halpern et al., 1993). Sekitar 47,0% penduduk remaja berusia 10 sampai 19 tahun di dunia telah melakukan hubungan seksual aktif (Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2006), dan sekitar 2,4% berakhir dengan kehamilan sebelum menikah (Moore, 2000). Apabila 47,0% dari 282.000 remaja perempuan di Bali telah melakukan hubungan seks pranikah, sehingga dapat diprediksi sebanyak 3.181 orang remaja perempuan yang kemungkinan mengalami kehamilan yang tidak diharapkan (KTD), aborsi yang tidak aman, infeksi menular seksual (IMS), dan dikeluarkan dari sekolah/drop out sehingga tidak dapat menyelesaikan pendidikan. Komplikasi-komplikasi dari kehamilan dan kelahiran bayi merupakan penyebab utama kematian pada perempuan muda yang berusia antara 15 sampai 19 tahun, terutama di negara-negara berkembang. Sekitar 15,0% dari seluruh kejadian kematian ibu di seluruh dunia, dan 26,0% di Afrika terjadi pada remaja. Kejadian aborsi yang tidak aman pada remaja cukup tinggi, terutama di Afrika, yaitu satu dari empat remaja telah melakukan aborsi yang tidak aman (WHO, 2009). Kematian perinatal juga diduga 50,0% lebih tinggi terjadi pada bayi-bayi 4 yang dilahirkan oleh ibu-ibu berusia kurang dari dua puluh tahun, dan kelahiran bayi dengan berat badan lahir rendah/BBLR (WHO, 2008; WHO, 2007). Kematian maternal akibat aborsi yang tidak aman secara keseluruhan di Indonesia adalah sebesar 13,0%, dan sekitar 30,0% di antara aborsi tersebut dilakukan oleh anak muda berusia 15-24 tahun. Secara umum, kejadian aborsi yang tidak aman di Indonesia mencapai sekitar 2 sampai 2,6 juta kasus per tahun atau 43 aborsi untuk setiap 100 kehamilan (BKKBN, 2005). Dengan demikian, perilaku seks pranikah pada remaja merupakan masalah serius, karena berdampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan remaja di masa mendatang. Pada umumnya, remaja perempuan mulai melakukan aktivitas seksual selama masa remaja akhir, atau dari usia 15 sampai 19 tahun (Strasburger, 2006, Wellings et al., 2006), rata-rata usia lima belas tahun (Kinsman et al., 1998). Inisiasi hubungan seks pranikah pada remaja perempuan, terutama yang berusia lebih muda lebih banyak disebabkan karena dipaksa atau tindak kekerasan (Garcia-Moreno et al., 2005). Dengan demikian, remaja perempuan lebih berisiko mengalami KTD serta tertular IMS, termasuk human immunodeficiency virus (HIV) dan berbagai konsekuensi kesehatan fisik dan mental dalam jangka panjang (Khan and Mishra, 2008; Lloyd, 2005). Hubungan seks pranikah di antara remaja di Indonesia mulai dilakukan anak muda dari usia 14 sampai 24 tahun. Studi di Jawa Tengah, memperoleh hasil bahwa sebanyak 5,0% sampai 10,0% anak muda laki-laki berusia antara 15 sampai 24 tahun telah melakukan hubungan seks pranikah yang tidak aman (Suryoputro et al., 2006). Hasil survei di Indonesia menunjukkan sebanyak 8,0% 5 laki-laki dan kurang dari 1,0% perempuan berusia 15 sampai 24 tahun telah melakukan hubungan seks pranikah (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional et al., 2013). Studi di Bali menunjukkan bahwa sebanyak 4,9% remaja berusia antara 14 sampai 19 tahun telah melakukan hubungan seks pranikah (Faturochman, 1992). Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa perilaku hubungan seks pranikah remaja lebih rendah jika dibandingkan dengan kejadian secara global. Pada Tabel 2 di bawah, disajikan hasil studi di beberapa negara terkait dengan usia inisiasi hubungan seks pranikah di antara remaja. Tabel 2. Hasil studi usia inisiasi hubungan seks pranikah remaja di beberapa negara di dunia Peneliti & tahun Smith (1997) Tempat studi Amerika Serikat Ross and Wyatt ( 2000) Negara-negara Eropa Kim and Lee (2000) Korea Centers for Disease Control and Prevention (2001) Siswa sekolah menengah keturunan AfrikaAmerika dan Latin Konsunen et al. (2003) Finlandia Hasil Remaja di Amerika mulai berhubungan seks pranikah pada usia antara 15 sampai 17 tahun. 30,0% dari remaja melakukan inisiasi hubungan seks pranikah sebelum berusia enam belas tahun. Kebanyakan siswa sekolah menengah pernah berhubungan seks pranikah saat berusia tiga belas tahun. Lebih dari 25,0% siswa laki-laki keturunan Afrika- Amerika dan 11,4% dari siswa keturunan Latin telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia tiga belas tahun, dibandingkan dengan siswa kulit putih sebanyak 6,2%. Rata-rata usia remaja mulai berhubungan seks pranikah adalah 15,5 tahun. Dampak perilaku seks pranikah mencakup aspek biologis, sosial, serta psikologis yang lebih berat dialami perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dampak biologis misalnya: tertular penyakit menular seksual (PMS) terutama klamidia, HIV, serta kehamilan yang tidak diharapkan (KTD), yang lebih banyak berakhir dengan tindakan aborsi yang tidak aman (Blanc and Way, 1998; Greenberg et al., 1992; Manlove et al., 2003; Miller et al., 2001; Singh, 1998). 6 Data tentang kejadian kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di sebuah klinik swasta di Kota Denpasar tahun 2002-2004, menunjukkan kejadian aborsi di antara remaja meningkat pada periode bulan September dan Oktober (Duarsa, 2005). Kejadian KTD mengalami peningkatan pada bulan September dan Oktober 2002 menjadi 493 dan 450 kasus dari 377 kasus pada bulan sebelumnya. Di sisi lain, kejadian aborsi akibat KTD di antara remaja periode bulan September 2003 sebanyak 185 kasus, dan tercatat sebanyak 175 kasus aborsi pada September 2004. Peningkatan kejadian KTD yang tercatat di sebuah klinik swasta di Kota Denpasar pada tahun 1990 sampai 2000 adalah sebanyak empat kali lipat, dan sebanyak 50,0% KTD dialami perempuan berusia di bawah 25 tahun (Duarsa, 2005). Penggunaan kontrasepsi pada anak muda yang telah melakukan hubungan seks pranikah secara aktif lebih rendah dibandingkan dengan orang dewasa, dan kejadian KTD lebih banyak dialami oleh remaja yang berusia lebih muda yang tidak menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seksual. Berdasarkan data SKRRI (2013), persentase perempuan berusia antara 15 sampai 24 tahun yang telah berhubungan seks pranikah pertama kali lebih sedikit melaporkan pernah menggunakan kondom jika dibandingkan dengan laki-laki (17,0% vs 24,0%). Laki-laki yang menggunakan kondom pada waktu berhubungan seksual pertama kali maupun terakhir kali lebih banyak tinggal di daerah perkotaan dibandingkan dengan laki-laki di daerah pedesaan. Dampak sosial perilaku hubungan seks pranikah adalah remaja perempuan yang hamil lebih banyak dikeluarkan dari sekolah atau drop out (DO), sehingga 7 kemungkinan tetap hidup dalam kemiskinan akibat tingkat pendidikan yang rendah (Driscoll et al., 1999; Lowry et al., 1994; Maynard, 1997; Upchurch et al., 2001). Remaja perempuan berisiko lebih tinggi mengalami aktivitas seksual yang tidak aman dan tidak diinginkan, yang memicu HIV/AIDS, penularan PMS dan kejadian kehamilan yang tidak diinginkan/KTD (WHO, 2009). Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi timbulnya perilaku seks pranikah pada remaja meliputi dua kategori, yaitu: faktor risiko dan faktor protektif (Kirby and Lapore, 2007; Jessor, 1998). Faktor risiko adalah faktorfaktor yang mendorong satu atau lebih banyak perilaku yang berdampak negatif atau menimbulkan konsekuensi yang buruk bagi kesehatan (Jessor, 1998). Sebaliknya, faktor protektif merupakan penghalang terhadap paparan dari faktor risiko atau keterlibatan nyata dalam perilaku berisiko remaja. Faktor risiko dan faktor protektif bisa berasal dari dalam diri individu atau faktor individual maupun dari luar atau faktor lingkungan (Kirby and Lepore, 2007). Faktor individual dan faktor lingkungan dipengaruhi oleh: variabel proksimal, dan variabel distal yang berhubungan dengan perilaku berisiko di antara remaja. Variabel proksimal atau faktor yang lebih dekat mempengaruhi perilaku remaja di antaranya: pengetahuan tentang seks dan alat kontrasepsi (Bergamim and Borges, 2009), nilai-nilai yang diyakini, persepsi, motivasi untuk menghindari perilaku seks berisiko, niat, serta keterampilan yang memadai untuk menolak hubungan seks pranikah (Jessor, 1998), di samping pengaruh teman sebayanya (Ali and Debra, 2010; Bauermeister et al., 2009; Potard et al., 2008). 8 Faktor distal adalah faktor yang tidak langsung mempengaruhi perilaku berisiko remaja, yaitu: lingkungan tempat remaja tinggal (Kirby and Lepore, 2007), karakteristik keluarga, monitoring dan supervisi, pola asuh, pola keluarga terutama komunikasi (Miller et al., 2001; Maxwell, 2002; Miller, 2002), pacar berusia lebih tua (Ryan et al., 2008), dan paparan media serta sekolah (Roxstrom, 1998; Wong et al., 2009; Hipwell et al., 2010; Joshi and Chauhan, 2011). Hasil studi mengenai pengaruh teman sebaya oleh Busse et al. (2010) memperoleh kejadian inisiasi hubungan seks pranikah di antara remaja berusia antara 14 sampai 16 tahun di Philadelphia, cenderung meningkat pada remaja yang berkomunikasi tentang seks dengan teman sebayanya. Studi mengenai proses atau jalur dan frekuensi komunikasi dengan teman tentang seks dapat mempengaruhi inisiasi seksual remaja sampai saat ini masih terbatas. Di sisi lain, frekuensi komunikasi saja tidak cukup kuat untuk menyebabkan inisiasi hubungan seks remaja, sehingga perlu digali intensitas komunikasi tentang seks dengan teman sebaya dan dengan orangtua terhadap kejadian inisiasi hubungan seks pranikah (Miller et al., 2001). Intensitas komunikasi yang dimaksud mengacu kepada kejujuran, keterbukaan, pengertian, kepercayaan, yang merupakan bagian dari dukungan (Olson, 1992). Intensitas komunikasi bisa diukur melalui pertanyaan hal dan orang yang dibicarakan, hal yang dipikirkan, perasaan, objek tertentu, orang lain, atau diri sendiri. Pada penelitian ini, digali konten dan hal yang dipikirkan responden dengan teman sebayanya terkait dengan seksualitas dan kontrasepsi, serta frekuensi remaja berkomunikasi tentang seks dengan teman sebayanya . 9 Faktor distal lain yang mungkin mempengaruhi perilaku berisiko di antara remaja adalah komunikasi yang teratur antara orangtua dengan remaja. Komunikasi yang teratur dengan remaja diduga dapat mencegah kehamilan di antara remaja (Miller, 2002). Namun, komunikasi mengenai seks antara remaja dengan orangtua seringkali mengalami kendala, berupa: perasaan enggan, menganggap hal yang tabu, pemahaman orangtua yang rendah mengenai seksualitas remaja, serta rasa percaya diri orangtua yang rendah untuk berkomunikasi tentang seks dengan anaknya (Albert, 2004; Lederman et al., 2008). Dengan demikian, perlu digali lebih mendalam konten komunikasi mengenai seksualitas antara orangtua dengan remaja. Selain komunikasi tentang seks dengan orangtua, paparan pornografi adalah bagian dari faktor distal yang berhubungan dengan perilaku hubungan seks pranikah remaja. Media diibaratkan sebagai guru yang berpengaruh sangat kuat pada semua umur (Wellings et al., 2006). Menurut Population Reference Bureau (2000), gadis remaja yang lebih banyak menonton tayangan pornografi cenderung menjadi lebih cepat matang, dan memiliki persepsi berupa menyetujui aktivitas seksual remaja (Brown et al., 2005). Remaja umumnya memilih media komputer dan video games, musik, video musik, serta film (Bleakley et al., 2009; Field et al., 1999; Strasburger, 2005). Rata-rata waktu yang dihabiskan remaja menggunakan media adalah 6,5 jam per hari. Oleh karena itu, media berperan besar dalam mempengaruhi perilaku berisiko remaja, terkait dengan persepsi tentang pesan-pesan dan gambar dari media. 10 Penelitian dilaksanakan di Provinsi Bali dengan pertimbangan bahwa Pulau Bali dikenal sebagai daerah tujuan wisata yang sangat terbuka terhadap berbagai perubahan, termasuk dalam perubahan perilaku seksual remaja. Tingginya urbanisasi, maraknya industri seks komersial, dan penggunaan obatobatan terlarang, cenderung memicu meningkatnya penyebaran HIV/AIDS melalui perilaku seksual berisiko (Dyson, 2003). Nilai baru yang diterima masyarakat Bali saat ini adalah hubungan seks pranikah diharapkan tidak menyebabkan kehamilan (Duarsa, 2005), karena hamil di luar nikah menjadi aib tersendiri bagi remaja perempuan serta keluarganya. Terdapat anggapan mengenai perilaku seksual yang tidak sehat atau merupakan delik kesusilaan di Bali. Perilaku tidak sehat tersebut mengakibatkan leteh kepada lingkungan pada umumnya dan sebel kepada pelakunya. Arti secara simbolik dari leteh dan sebel adalah “kotor”, dan ada sanksi atau upacara tertentu bagi pembuat keletehan atau kesebelan dalam adat dan agama di Bali. Orangorang yang berperilaku menyimpang khususnya melanggar aturan adat (awigawig), dilarang untuk terlibat dalam kegiatan keagamaan maupun sosial kemasyarakatan (Kaler, 1994). Beberapa contoh penyebab keletehan atau kesebelan antara lain: melakukan hubungan seks sebelum menikah, hidup serumah tanpa ada ikatan pernikahan, melakukan incest, kelahiran bayi di luar pernikahan, keguguran atau menggugurkan kandungan (Kaler, 1982 dalam Laksmiwati, 1999). Pemegang kendali dari kehidupan orang-orang Bali adalah desa adat, sehingga hampir semua kegiatan individu penuh dengan rentetan adat. Adat juga 11 berarti peraturan, undang-undang, patokan moral yang menuntun semua orang (Soethama, 2011). Masyarakat Bali dikatakan berhasil mempertahankan nilai budaya karena tradisi keagamaan yang masih kuat. Di sisi lain, proses modernisasi, termasuk pengaruh pariwisata, telah mengubah nilai-nilai dan keyakinan, termasuk norma mengenai seks pranikah. Perubahan solidaritas sosial dalam masyarakat di Bali, seperti perilaku seks pranikah bukan menjadi masalah sosial melainkan masalah pribadi yang harus diselesaikan secara pribadi (Laksmiwati, 1999). Perilaku seks pranikah yang menyebar sangat cepat dan luas di lingkungan tempat tinggal masyarakat telah dianggap wajar, selain akibat lemahnya sanksi adat saat ini. Dengan demikian, perlu digali peranan resilience dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku hubungan seks pranikah remaja di Bali. Remaja laki-laki di Bali lebih permisif terhadap hubungan seks pranikah dibandingkan dengan remaja perempuan (Faturochman, 1992). Hal tersebut disebabkan adanya standar ganda yang ditegakkan oleh masyarakat terhadap lakilaki dan perempuan (Orenstein, 1994). Remaja perempuan lebih banyak mendapat label buruk jika diketahui sudah melakukan hubungan seks pranikah dibandingkan dengan remaja laki-laki. Sebaliknya, perempuan memperoleh tekanan lebih besar untuk tidak melakukan aktivitas seksual sampai saat menikah dibandingkan dengan remaja laki-laki. Program intervensi bagi anak muda atau remaja adalah melalui program pengembangan anak muda yang positif, melalui tiga elemen inti, yaitu: tujuan program, suasana program, dan aktivitas program (Catalano et al., 2002). 12 Partisipasi anak muda telah diidentifikasi sebagai komponen penting dari pencapaian program pengembangan anak muda yang positif, seperti dukungan keterlibatan sosial. Kompetensi sosial dan kognitif sebagai faktor protektif individual, dan hubungan sosial serta partisipai adalah contoh faktor-faktor protektif lingkungan dan sosial (Olsson et al., 2003). Tidak semua remaja mampu menghadapi tekanan atau stres yang berasal dari faktor internal maupun eksternal. Di sisi lain banyak remaja yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan memecahkan masalah yang dihadapi. Berdasarkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional/BKKBN (2008), sebanyak 60,0% remaja mengaku telah berhubungan seks pranikah, sekitar 70,0% pengguna narkoba adalah kelompok remaja, dan 50,0% pengidap AIDS adalah remaja. Dengan demikian, remaja di Indonesia mengalami permasalahan yang tidak jauh berbeda dengan masalah remaja di seluruh dunia. Penelitian tentang kejadian seks pranikah di Indonesia telah dilakukan di beberapa daerah, meskipun data yang reliabel mengenai insidensi perilaku seksual pranikah secara umum belum bisa diperoleh (Utomo and McDonald, 2009). Masalah utama yang dihadapi berupa response bias, yaitu responden dengan sengaja memberikan jawaban/respon yang tidak benar atau palsu (Glasier et al., 2006). Studi-studi yang menggali faktor-faktor kontekstual yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan seksual remaja sangat terbatas. Fakta penting lainnya adalah kebanyakan rancangan studi-studi perilaku seks pranikah di antara 13 remaja adalah cross-sectional. Pada studi ini menggunakan rancangan studi longitudinal yang memiliki efek kausalitas lebih kuat. Pertanyaan mengenai perilaku inisiasi hubungan seks pranikah pada remaja di Bali menggunakan kuesioner yang telah diadaptasi dari beberapa studi sebelumnya (Kinsman et al., 1998; Cleland, 2005; Wellings et al., 2006; Glanz et al., 2008; Potard et al., 2008; Wong et al., 2009; Busse et al., 2010; BKKBN et al., 2013). Beberapa item pertanyaan dibuat dan disesuaikan dengan karakteristik budaya di Bali yang umumnya lebih terbuka mengenai seksualitas, misalnya istilah hubungan seks pranikah menggunakan istilah making love (ML). Perilaku inisiasi hubungan seks pranikah pada remaja untuk selanjutnya ditulis dalam penelitian ini disingkat menjadi PIHSP. Untuk memahami penyebab terjadinya perilaku tertentu, diperlukan teoriteori perilaku yang dapat digunakan untuk membuat suatu intervensi perilaku tertentu secara tepat. Fishbein (2000) dalam Glanz et al. (2008), menjabarkan the Integrative Model of Behavior Prediction atau the Integrated Behavioral Model (IBM), sebagai sebuah sintesis model-model psikososial dari perilaku, seperti: Theory of Reasoned Action (TRA), Social-Cognitive Theory, Model, maupun Theory of Planned Behavior (TPB). Health Belief Kerangka teori IBM merupakan penyempurnaan dari kerangka TRA dan TPB sebelumnya. Berbagai hasil studi sebelumnya memperoleh bahwa determinan utama dari perilaku tertentu adalah motivasi atau niat (Fishbein & Capella, 2006), dan kerangka IBM sebagai strategi model komunikasi yang terintegrasi untuk perubahan perilaku kesehatan (IOM, 2002). Kerangka IBM telah digunakan untuk 14 memahami niat berperilaku dan perilaku untuk menggunakan kondom serta perilaku pencegahan HIV (Glanz et al., 2008). Keunggulan dari kerangka IBM adalah pada kerangka IBM memasukkan faktor-faktor karakteristik demografi setempat sebagai variabel jauh (distal) yang diduga berpengaruh secara tidak langsung terhadap niat dan perilaku tertentu (Fishbein and Yzer, 2003; Glanz et al., 2008). Dengan demikian, kerangka TPB maupun IBM efektif digunakan pada berbagai setting yang berbeda, termasuk dapat digunakan dalam studi di Bali (Cha et al., 2007; Guiella and Madise, 2007). Beberapa prediktor dari kerangka IBM yang dapat mempengaruhi timbulnya perilaku seks pranikah remaja, bisa secara langsung maupun tidak langsung. Pertama, adalah perilaku yang diharapkan dari orang lain dipandang sebagai gambaran keyakinan normatif (misalnya: persepsi yang diharapkan dilakukan oleh teman). Kedua, model IBM mempertimbangkan faktor latar belakang berupa: variabel demografi, budaya, sikap terhadap target seperti stereotype dan stigma, kepribadian, emosi, paparan media dan intervensiintervensi lainnya, diduga membentuk perilaku melalui prediktor-prediktor proksimal dan niat (Hennessy et al., 2009 ). Prediktor-prediktor proksimal yang mempengaruhi perilaku seks pranikah dari kerangka IBM, di antaranya: sikap langsung dan tidak langsung, tekanan normatif yang dirasakan, self-efficacy, serta niat atau motivasi untuk berperilaku tertentu (Fishbein and Yzer, 2003). Niat diduga sebagai determinan terpenting dari ditampilkannya perilaku tertentu. Sikap adalah pernyataan orang-orang yang mendukung (favourable) atau tidak mendukung (unfavourable) untuk 15 ditampilkannya perilaku tertentu, atau sikap dirangkai dari ranah-ranah afektif dan kognitif (Fishbein, 2007). Norma yang dirasakan mencerminkan adanya satu tekanan sosial yang dirasakan untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Personal agency mengandung dua konstruk, yaitu: self-efficacy dan perceived control (kontrol yang diketahui). Self-efficacy adalah derajat keyakinan pada kemampuan untuk menampilkan perilaku tertentu dengan diawali oleh berbagai hambatan (Ajzen, 1991; Fishbein and Yzer, 2003). Kerangka IBM dapat digunakan untuk memprediksi perilaku tertentu termasuk PIHSP. Pada kerangka IBM, prediktor terkuat dari ditampilkannya perilaku tertentu adalah niat. Niat untuk berperilaku tertentu dipengaruhi oleh sikap, tekanan normatif, dan self-efficacy (Fishbein et al., 2002; Fishbein and Yzer, 2003; Fishbein, 2008; Farmer et al., 2009; Mmari and Blum, 2009; Patton et al., 2009). Berdasarkan studi sebelumnya, bahwa teman sebaya kemungkinan mempengaruhi PIHSP pada remaja. Isu yang masih diperdebatkan mencakup motivasi utama remaja untuk inisiasi hubungan seksual pada usia yang lebih dini, serta belum banyak diketahui hubungan antara sumber-sumber informasi seksual dan perilaku seksual remaja (Buhi and Goodson, 2007; Ali and Debra, 2010; Busse et al., 2010). Remaja dikatakan lebih nyaman berkomunikasi dengan teman-temannya tentang seks yang mungkin mempengaruhi niat remaja untuk menunda hubungan seks pranikah, tetapi belum diketahui secara pasti pengaruh frekuensi komunikasi dengan teman tentang seks terhadap inisiasi seksual remaja (Busse et al., 2010). Penelitian ini menganalisis proses intensitas komunikasi tentang seks dengan 16 teman sebaya kemungkinan meningkatan kejadian PIHSP melalui prediktor niat sesuai kerangka model IBM. Berdasarkan penjabaran di atas, teori IBM bermanfaat jika digunakan di negara berkembang, terutama di Indonesia khususnya di Bali, yang memiliki ciri khas budaya tersendiri. Pada kenyataannya, TRA dan TPB serta IBM lebih banyak digunakan di negara-negara maju atau di negara barat (Cha et al., 2007). Kerangka IBM bisa digunakan pada berbagai tempat yang berbeda, karena mempertimbangkan karakteristik individu pada berbagai setting. Pola komunikasi terutama intensitas komunikasi antara remaja dengan teman sebaya dan orangtua mengenai seksualitas belum banyak digali. Prediktorprediktor tersebut digali dan dianalisis berdasarkan elemen IBM, berupa: niat remaja untuk inisiasi hubungan seks pranikah yang dipengaruhi oleh sikap tidak langsung dan sikap langsung, tekanan normatif yang dirasakan, dan self-efficacy, di samping beberapa prediktor lainnya. Prediktor lain yang dimasukkan adalah faktor komunikasi dengan orangtua dan paparan pornografi. Selanjutnya, dianalisis hubungan antara intensitas komunikasi tentang seks dengan teman sebaya dan niat remaja untuk PIHSP dengan waktu inisiasi hubungan seks pranikah di antara remaja di Bali. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebelumnya, dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 17 1. Studi dilakukan di Bali dengan pertimbangan bahwa belum diketahui pengaruh teman sebaya terkait dengan intensitas komunikasi tentang seks melalui niat untuk inisiasi hubungan seks pranikah remaja. Pengaruh teman sebaya dan niat mungkin berbeda dengan daerah-daerah lain. Masyarakat Bali memiliki resilience cukup kuat yang dahulu berakar dari adat dan budaya terhadap masuknya budaya asing. Belum diketahui pengaruh adat saat ini mampu menjadi filter yang ketat untuk menyaring perilaku berisiko pada remaja atau tidak, karena sampai saat ini belum diketahui resilience masyarakat Bali, khususnya remaja terhadap pengaruh informasi mengenai seks yang lebih bebas, tingginya urbanisasi, migrasi, dan pengaruh pariwisata. 2. Teman sebaya mempengaruhi perilaku seks pranikah remaja melalui berbagai cara, termasuk melalui komunikasi tentang seks. Namun, belum diketahui niat untuk inisiasi hubungan seks pranikah hanya dipengaruhi oleh intesitas komunikasi saja. Perlu digali faktor-faktor yang mempengaruhi niat untuk inisiasi hubungan seks pranikah dan PIHSP pada remaja, yaitu: sikap langsung dan tidak langsung, tekanan normatif, dan self-efficacy. Faktor distal yang mempengaruhi PIHSP pada remaja adalah: komunikasi dengan orangtua dan paparan pornografi. 3. Dibutuhkan rancangan penelitian yang lebih kuat untuk menggali waktu atau saat remaja melakukan inisiasi hubungan seks pranikah melalui studi kohort, karena studi mengenai perilaku seks pranikah di antara remaja di Indonesia sebagian besar studi cross-sectional maupun survei, sehingga tidak diketahui secara pasti waktu remaja mulai melakukan hubungan seks pranikah. 18 Penelitian longitudinal dilakukan karena memiliki kekuatan kausalitas atau hubungan sebab dan akibat, sehingga dapat diketahui intensitas komunikasi tentang seks dengan teman sebaya dan niat, serta beberapa faktor lainnya seperti: sikap tidak langsung, sikap langsung, tekanan normatif, self-efficacy, komunikasi dengan orangtua dan paparan pornografi memang merupakan penyebab terjadinya inisiasi hubungan seks pranikah pada remaja di Bali. Atas dasar beberapa hasil analisis di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimanakah hubungan antara intensitas berkomunikasi tentang seks dengan teman sebaya melalui niat remaja untuk inisiasi berhubungan seks pranikah dengan waktu PIHSP pada remaja berusia 15 - 18 tahun di Bali?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis waktu PIHSP pada remaja berusia 15 - 18 tahun di Bali. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian adalah untuk menganalisis hubungan antara waktu PIHSP pada remaja berusia 15 – 18 tahun di Bali berdasarkan: a. Intensitas berkomunikasi tentang seks dengan teman sebaya melalui variabel niat untuk inisiasi hubungan seks pranikah. b. Sikap tidak langsung (indirect), sikap langsung (direct) untuk inisiasi hubungan seks pranikah, tekanan normatif, dan self-eficcacy. 19 c. Komunikasi tentang seks dengan orangtua dan terpapar pornografi bersama-sama dengan variabel intensitas komunikasi tentang seks dengan teman sebaya, sikap tidak langsung (indirect), sikap langsung (direct), tekanan normatif, dan self-efficacy, melalui variabel niat untuk inisiasi hubungan seks pranikah. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini secara umum mencakup manfaat teoritis dan manfaat praktis. 1. Manfaat teoritis: untuk memberikan kontribusi dalam menggali serta mengembangkan teori-teori terbaru tentang perilaku seks pranikah remaja, dan teknik pengumpulan data yang lebih tepat atau telah memenuhi persyaratan validitas serta reliabilitas. Untuk memberikan gambaran waktu yang tepat dalam merancang program kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih efektif dan efisien sesuai akar permasalahan. 2. Manfaat praktis: hasil dari penelitian ini bisa menjadi acuan bagi para peneliti lain yang meneliti perilaku berisiko pada remaja terutama perilaku seks pranikah pada remaja. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini diadaptasi dari beberapa hasil studi sebelumnya, dan dibuat berdasarkan elemen IBM, sehingga response bias bisa dikurangi atau dihilangkan. 20 E. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian ini bisa dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di beberapa negara, yaitu ditinjau dari rancangan penelitian, tujuan penelitian, serta hasil yang diperoleh. Pada Tabel 3 dijabarkan keaslian penelitian dibandingkan dengan penelitian sebelumnya. Tabel 3. Perbandingan hasil studi sebelumnya terkait perilaku seksual remaja Peneliti dan judul penelitian Busse et al. (2010), “The role of communication with friends in sexual initiation.” Hasil studi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efek komunikasi tentang seks antara remaja laki-laki dengan perempuan, walaupun remaja perempuan lebih sering berkomunikasi tentang seks dibandingkan dengan remaja laki-laki. Komunikasi tentang seks mempengaruhi sikap, tekanan normatif, dan self-efficacy. Persamaan Rancangan penelitian adalah studi longitudinal, teori yang digunakan berupa IBM. Perbedaan Sampel penelitian adalah remaja berusia 14-16 tahun, dengan lama pengamatan selama dua belas bulan. Teknik sampling menggunakan kuota sampling. Lama waktu pengamatan dua tahun. Analisis statistik yang digunakan adalah structural equation modeling (SEM). Literature review oleh Buhi & Goodson (2007) berjudul “Predictors of adolescent sexual behavior and intention: A Theory-Guided Systematic Review”. Hasil penelitian menunjukkan elemen kerangka kerja teori perilaku berupa niat, norma yang diyakini, variabel hambatan lingkungan, dan lamanya waktu remaja di rumah sendirian sebagai prediktor yang stabil dari perilaku seksual. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah dari teori perilaku termasuk IBM untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi niat remaja untuk mulai berhubungan seks pranikah. Tujuan penelitian tersebut untuk memahami alasan remaja mulai melakukan aktivitas seksual pada usia lebih awal menggunakan teori-teori perilaku. Rancangan penelitian adalah literature review serta metode analisis adalah metode matrik untuk mengkaji kualitas metode penelitian yang digunakan. Suryoputro et al. (2006), “Faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi.” Hasil studi adalah pola resiko terhadap kesehatan seksual dan reproduksi pada remaja secara umum relatif masih rendah Persamaan dengan penelitian yang dilakukan ini untuk mengetahui waktu terjadinya hubungan seks pranikah di antara remaja setelah berpacaran Sampel penelitian adalah mahasiswa dan buruh pabrik. Kerangka analisis penelitian tersebut menggunakan pendekatan teori social learning. Analisis statistik yang digunakan adalah regresi logistik. 21 Prinsip orisinalitas penelitian ini dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu: Pertama, populasi penelitian ini adalah remaja-remaja berusia 15-18 tahun di Provinsi Bali. Masyarakat di Bali memiliki adat yang unik, mengalami transisi, yaitu cara pandang orang dewasa terhadap perilaku seks pranikah pada remaja adalah tidak sampai terjadi kehamilan. Belum diketahui pengaruh resilience remaja di Bali terhadap perubahan perilaku seks pranikah pada remaja, sehingga perlu digali prediktor-prediktor yang mempengaruhi PIHSP pada remaja menurut jenis kelamin untuk merencanakan intervensi yang lebih tepat. Kedua, orisinalitas substansi penelitian di Indonesia, khususnya di Bali belum diperoleh hasil studi yang menggunakan pendekatan IBM, yaitu: sikap tidak langsung, sikap langsung, tekanan normatif, self-efficacy, dan niat untuk berperilaku tertentu. Kerangka IBM dapat digunakan di berbagai setting yang berbeda, karena mempertimbangkan karakteristik demografi responden yang bisa berpengaruh terhadap PIHSP remaja. Penelitian ini menganalisis waktu inisiasi hubungan seks pranikah remaja berdasarkan intensitas komunikasi tentang seks dengan teman sebaya. Ketiga, orisinalitas metode penelitian menggunakan studi kohort yaitu studi longitudinal, karena hasil-hasil studi di Indonesia tentang perilaku seks remaja umumnya menggunakan rancangan survei maupun studi cross-sectional, sehingga belum dapat dipastikan adanya hubungan kausalitas yang memadai (Alexander et al., 2007). Analisis survival digunakan untuk mengetahui waktu PIHSP pada remaja. 22 F. Keterbatasan Penelitian Pengertian intensitas komunikasi tentang seks dengan teman adalah: pertanyaan yang diajukan kepada responden mengenai komunikasi tentang kontrasepsi dan seksualitas dengan teman sebaya (Busse et al., 2010). Pertanyaan mengenai konten dan orang yang dibicarakan, hal yang dipikirkan, perasaan, objek tertentu, orang lain, atau diri sendiri (Olson, 1992), dan seberapa sering berkomunikasi tentang seks termasuk kontrasepsi dengan teman sebaya. Variabel antara adalah variabel yang berpengaruh tidak langsung terhadap perilaku inisiasi hubungan seks pranikah, meliputi: sikap tidak langsung, sikap langsung, tekanan normatif, dan self-efficacy. Sikap langsung diukur menggunakan item skala semantic differential/perbedaan semantik, seperti: baik – buruk, dan menyenangkan – tidak menyenangkan. Pengukuran sikap tidak langsung menggunakan item skala bipolar, yaitu dengan skor -3 sampai +3 dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju (Glanz et al., 2008) Variabel proksimal adalah variabel yang lebih dekat mempengaruhi inisiasi hubungan seks pranikah, yaitu niat. Variabel luar mencakup: komunikasi dengan orangtua tentang seks serta paparan pornografi. Komunikasi dengan orangtua tentang seks yang dimaksud adalah kegiatan atau upaya pertukaran informasi antara orangtua dengan responden di antaranya: riwayat pernah berbicara tentang seks, frekuensi komunikasi tentang seksual, jumlah topik yang dibicarakan (Miller et al., 2001). Paparan pornografi adalah: riwayat responden pernah melihat konten seks dalam enam bulan terakhir (Wong et al., 2009). Semua penjelasan lebih rinci di dalam definisi operasional variabel pada BAB III. 23