Struktur Komunitas Gastropoda (Moluska) Hutan

advertisement
Struktur Komunitas Gastropoda (Moluska) Hutan Mangrove Sendang
Biru, Malang Selatan
Dian Saptarini1, Indah Trisnawati2, dan Mardian Anugrah Hadiputra3
1,2,3
Jurusan Biologi, FMIPA_ITS<Surabaya, Indonesia
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Abstrak. Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir tropis yang dinamis serta
mempunyai produktivitas, nilai ekonomis, dan nilai ekologis yang tinggi. Gastropoda
merupakan salah satu kelas dari filum Moluska yang dominan dalam ekosistem hutan
mangrove yang keberadaannya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan (abiotik dan
biotik). Hutan mangrove Sendang Biru dengan karakteristik fisik yang unik yaitu topografi
pesisir berupa perairan semi tertutup dipilih sebagai lokasi penelitian. Penelitian bertujuan
mengetahui distribusi dan keanekaragaman gastropoda pada akar, batang, dan substrat di 4
zona (Ceriops, Rhizophora, Bruguiera, dan Xylocarpus) hutan mangrove Sendang Biru.
Parameter fisik kimia yang diukur meliputi suhu, salinitas, DO, pH, TOM, dan analisis tipe
sedimen. Analisis data digunakan metode deskriptif kuantitatif dan metode ordinasi dengan
menggunakan bantuan program Canoco for windows 4.5. Hasil penelitian menunjukkan di
hutan mangrove Sendang Biru ditemukan 17 jenis dari 5 famili gastropoda. Jenis gastropoda
terbanyak terdapat pada substrat sebesar 79,8 % dari total individu yang ditemukan.
Kepadatan jenis tertinggi
pada Terebralia sp. (Famili Potamididae) dengan 447
2
individu/m . Berdasar uji Canoco, DO dan salinitas serta jenis mangrove lebih
mempengaruhi distribusi gastropoda di akar, batang, dan substrat.
Kata Kunci: mangrove, gastropoda, Sendang Biru, canoco
Pendahuluan
Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir tropis atau sub-tropis yang
sangat dinamis serta mempunyai produktivitas, nilai ekonomis, dan nilai ekologis yang tinggi
(Susetiono, 2005; Suwondo, 2006). Hutan mangrove sebagai daerah dengan produktivitas
yang tinggi memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting
sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di sekitarnya (Suwondo, 2006). Di dalam hutan
mangrove hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan mulai dari mikrobia, protozoa hingga
yang berukuran besar seperti ikan, moluska, krustacea, reptil, burung (avifauna), dan
mamalia. Krustacea dan moluska merupakan kelompok hewan yang dominan dalam
ekosistem hutan mangrove (Hutchings dan Saenger, 1987 dalam Susetiono, 2005), dimana
kelompok hewan-hewan tersebut mempunyai peran penting dalam membangun fungsi dan
struktur dari mangrove itu sendiri (Lee, 1999 dalam Susetiono, 2005). Hutan mangrove di
Indonesia merupakan salah satu kawasan terluas di dunia dengan tingginya keanekaragaman
hayati serta strukturnya yang paling bervariasi di dunia. Luas hutan mangrove di Indonesia
1 diperkirakan sekitar 4,25 juta ha (sekitar 27 % luas hutan mangrove dunia) (Irwanto, 2006).
Menurut Giesen (1993), hutan mangrove di Jawa Timur berkurang dari luasan 7.750 ha
menjadi 500 ha dan kawasan mangrove yang tersisa diperkirakan kurang dari 1%. Untuk itu
diperlukan upaya konservasi melalui upaya inventarisasi dan mengetahui kondisi
keanekaragaman flora, fauna dan jasad renik maupun ekosistemnya (Rugayah dan
Suhardjono, 2007).
Ekosistem wilayah pantai dan perairan laut yang paling dominan di Sendang Biru
adalah hutan mangrove dan terumbu karang. Hutan mangrove Sendang Biru merupakan
kawasan dengan topografi pesisir berupa perairan semi tertutup berbentuk seperti laguna
dengan aliran air masuk maupun keluar berada pada satu lokasi. Tipe pasang surut Sendang
Biru adalah tipe diurnal (2 kali pasang dan surut dalam sehari). Zonasi hutan mangrove
Sendang Biru (Pantai Celungup) banyak didominasi oleh jenis Bruguiera gymnorrhiza,
Ceriops tagal, dan Rhizopora mucronata. Hutan mangrove di Sendang Biru (Pantai
Celungup) memiliki ketebalan yang cukup tinggi ± 0,76 km atau ± 756,82 m walaupun di
beberapa area terlihat adanya penebangan oleh penduduk sekitar terutama jenis Ceriops tagal
dan Bruguiera gymnorrhiza untuk dimanfaatkan kayunya. Dengan adanya aktifitas
penebangan yang cukup intensif tersebut, maka perlu adanya upaya konservasi mangrove
beserta fauna asosiasinya. Perubahan kawasan hutan mangrove menjadi areal untuk
kepentingan lain akan menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem mangrove itu sendiri
serta biota-biota yang hidup di dalamnya, termasuk fauna Moluska kelas Gastropoda, yang
memanfaatkan mangrove sebagai habitat dan fungsi ekologi lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan kajian tentang Gastropoda sebagai salah satu kelas dari
filum Moluska yang dominan pada ekosistem mangrove. Kajian tentang komunitas
Gastropoda di dalam kawasan hutan mangrove Sendang Biru meliputi keanekaragaman jenis
dan distribusinya.
Metodologi
Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Desember 2010. Lokasi pengambilan
sampel berada di hutan mangrove wilayah Sendang Biru, Pantai Celungup, Malang Selatan.
Pengamatan dan identifikasi gastropoda dilakukan di Laboratorium Ekologi Program Studi
Biologi FMIPA ITS Surabaya.
Pengambilan sampel makrofauna bentik (Moluska kelas Gastropoda) dilakukan pada 7
lokasi (stasiun 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7). Pemilihan stasiun didasarkan pada dominansi dan
keanekaragaman jenis mangrove yang terdapat di lokasi pengambilan sampel. Peta lokasi
pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 3.1
2 Gambar 3.1 Lokasi Pengambilan Sampel di Hutan Mangrove Sendang Biru, Malang Selatan
Keterangan:
Stasiun 1 = area mangrove yang didominasi oleh jenis Ceriops sp. (1)
Stasiun 2 = area mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora sp. (1)
Stasiun 3 = area mangrove yang didominasi oleh jenis Bruguiera sp. (1)
Stasiun 4 = area mangrove yang didominasi oleh jenis Rhizophora sp. (2)
Stasiun 5 = area mangrove yang didominasi oleh jenis Ceriops sp. (2)
Stasiun 6 = area mangrove yang didominasi oleh jenis Xylocarpus sp.
Stasiun 7 = area mangrove yang didominasi oleh jenis Bruguiera sp. (2)
= masukan & keluaran air laut
= air tawar
Alat dan bahan yang digunakan untuk membuat transek dan plot analisa vegetasi
mangrove meliputi peta wilayah (topografi) Sendang Biru, GPS @Garmin tipe Itrex, roll
meter, meteran, tali rafia, jangka sorong, kamera, dan kantung plastik. Untuk pengambilan
sampel makrofauna bentik di mangrove, alat dan bahan yang digunakan meliputi sekop kecil,
clip plastic, termometer merkuri/alkohol, kertas pH, DO Meter, hand-refracto salinometer
ATC FG-217, dan formalin sea water 5 %. Sampel Gastropoda yang didapatkan
diidentifikasi sampai dengan tingkat spesies. Buku panduan identifikasi yang digunakan yaitu
The Living Marine Resources of Western Central Pacific Volume 1 (Poutiers, 1998) dan
Indonesian Shells I & II (Dharma, 1992). Sedangkan sampel mangrove yang didapatkan
diidentifikasi sampai dengan tingkat spesies. Buku panduan identifikasi yang digunakan yaitu
A Guide To The Mangroves of Singapore I (Sivasothi and Peter, 2002) dan Buku Panduan
Mangrove di Indonesia (Bali dan Lombok) (Kitamura et al., 1997). Pengamatan serta
3 identifikasi Gastropoda dilakukan di Laboratorium Ekologi Program Studi Biologi FMIPA ITS
Surabaya.
Komponen-komponen analisis yang digunakan untuk menentukan struktur komunitas
moluska, yaitu:
a) Keanekaragaman
Keanekaragaman spesies dapat dikatakan sebagai keteherogenan spesies dan
merupakan ciri khas dari struktur komunitas. Rumus yang digunakan untuk
menghitung keanekaragaman spesies adalah rumus dari indeks diversitas ShannonWiener (Magurran, 1983), yaitu:
H’ = - ∑ [(ni/N) x ln (ni/N)]
dimana:
H’: indeks Diversitas Shannon-Wiener
ni : jumlah individu spesies ke-i
N : jumlah total individu semua spesies
Kriteria hasil keanekaragaman (H’) untuk moluska gastropoda menurut Wibisono
(2005), yaitu sebagai berikut:
Indeks Keanekaragaman
Kategori
> 2.41
Sangat baik
1.81 – 2.4
Baik
1.21 – 1.8
Sedang
0.61 – 1.2
Buruk
< 0.6
Sangat buruk
b) Kepadatan
Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas (Brower dan Zar, 1977) dengan
rumus sebagai berikut:
D = Ni/A
dimana:
D : kepadatan moluska (ind/m2)
Ni: jumlah individu
A : luas petak pengambilan contoh (m2)
c) Keseragaman
Keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan, yaitu komposisi individu
tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus indeks keseragaman
(Brower dan Zar, 1977) adalah sebagai berikut:
E = H’/H max
dimana:
E
: indeks kemerataan (Eveness)
H’
: indeks keanekaragaman
H max : 3,3219 Log S
4 S
: jumlah taksa/spesies
Nilai indeks keseragaman ini berkisar antara 0-1. Jika indeks keseragaman
mendekati nilai 0, hal tersebut menunjukkan bahwa penyebaran individu tiap spesies
tidak sama dan di dalam ekosistem tersebut terdapat kecenderungan terjadinya
dominansi spesies yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor
lingkungan maupun populasi. Jika indeks keseragaman mendekati nilai 1, hal tersebut
menunjukkan bahwa ekosistem tersebut berada dalam kondisi relatif stabil, yaitu
jumlah individu tiap spesies relatif sama.
d) Dominansi
Untuk mengetahui ada tidaknya dominasi dari spesies tertentu digunakan Indeks
Dominansi Simpson (Brower dan Zar, 1977), yaitu:
dimana:
D : indeks dominansi
Ni: jumlah individu spesies ke-i
N : jumlah total individu
S : jumlah taksa/spesies
pi : nilai ni/N
Nilai indeks dominansi berkisar antara 0-1. Jika indeks dominansi mendekati nilai
0, dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada individu yang mendominasi dan biasanya
diikuti dengan indeks keseragaman yang besar. Sementara jika indeks dominansi
mendekati nilai 1, berarti terdapat salah satu genera yang mendominasi dan nilai
indeks keseragaman semakin kecil.
Metode ordinasi dilakukan dengan menggunakan program Canoco for Windows 4.5.
Pembuatan tabel data menggunakan Microsoft Excel 2007, kemudian di export ke dalam
format Canoco melalui WCanoImp. Setelah itu data kemudian akan diordinasikan oleh
Canoco. Setelah data diordinasikan maka selanjutnya dapat diketahui Lenght of Gradient
sebagai suatu nilai untuk memodelkan data dengan menggunakan metode linier, Principal
Components Analisis/PCA, atau Redundancy Analysis/RDA, atau metode unimodal
Correspondence Analysis/CA, Detrended Correspondence Analysis/DCA, atau Canonical
Correspondence Analysis/CCA. Jika Lenght of Gradient < 3 maka digunakan metode Linier
tetapi jika Length of Gradient > 4 maka digunakan metode Unimodal. Setelah Running
melalui CANOCO maka hasil dan kesimpulan program akan diinput oleh data dengan
membuat diagram (grafik) melalui CanoDraw. Sedangkan untuk mengkorelasikan data
spesies dengan faktor lingkungan yang ada maka variabel lingkungan tersebut diuji dengan
menggunakan Monte-carlo permutations test sehingga dapat dilihat hasil nilai P-value dan Frationya (Leps, 1953).
5 Hasil dan Pembahasan
Pengambilan sampel gastropoda menggunakan metode bingkai plot. Pengambilan
sampel juga meliputi pengambilan parameter fisik kimia lingkungan dan analisis tipe
sedimen. Berikut merupakan hasil data parameter Fisika Kimia Lingkungan dan Tipe
Sedimen masing-masing stasiun pengamatan.
Tabel 4.1 Hasil Data Parameter Fisika Kimia Lingkungan dan Tipe Sedimen
Suhu
air (°C)
pH
Salinitas DO TOM
Tipe
Substrat
(‰)
(ppm) (%) Sedimen
sandy
35
6
33
4,67 10,39
1 (Ceriops 1)
clay
37,3
5,8
18
6,54 11,82
clay
2 (Rhizophora 1)
35
6
30
5,06 22,28 silty clay
3 (Bruguiera 1)
35
6,2
34
5,13 17,62
clay
4 (Rhizophora 2)
33
6,2
11,3
4,94
9,22
clay
5 (Ceriops 2)
32,3
5,9
30,3
4,71 22,11 silty clay
6 (Xylocarpus)
34
6,1
30,7
4,41
5,88
sand
7 (Bruguiera 2)
Pada hasil pengamatan di Kawasan Hutan Mangrove Sendang Biru ditemukan 17
spesies dari 5 famili Gastropoda dalam 7 stasiun pengamatan. Pemilihan stasiun didasarkan
pada dominansi dan keanekaragaman jenis mangrove yang terdapat di lokasi pengambilan
sampel. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Ekologi Program Studi Biologi
FMIPA ITS. Klasifikasi kelas Gastropoda mengikuti acuan pada buku-buku mengenai
identifikasi Gastropoda, yaitu The Living Marine Resources of Western Central Pacific
Volume 1 (Poutiers, 1998) dan Indonesian Shells I & II (Dharma, 1992). Adapun jenis
Gastropoda yang ditemukan selama pengamatan akan disajikan dalam tabel 4.3 berikut.
Stasiun
Tabel 4.3 Data Gastropoda Sendang Biru di 7 Stasiun Pengamatan
Famili
Spesies
L. scabra
L. sundaica
Littorinidae
L. melanostoma
Littoraria sp.
Clithon
oualaniensis
Neritina turrita
Neritidae
Dostia violacea
Nerita undata
Melampus luteus
Cassidula nucleus
Melampidae
Cassidula
aurifelis
Potamididae Terebralia sp.
1
9
0
1
0
6
0
0
0
0
7
0
0
0
0
115
4
1
5
Frekuensi
Ditemukan
5
1
1
1
30
0
0
232
3
0
0
6
0
0
0
1
0
0
0
0
0
8
0
0
0
0
4
0
0
7
12
19
1
15
1
2
4
1
2
0
29
0
6
0
19
0
14
21
447
0
0
7
0
0
1
12
2
77
4
0
5
14
5
0
11
0
0
3
0
0
1
0
0
0
16
21
36
0
1
57
3
4
0
0
0
Stasiun
4
5
10 15
0
0
0
0
0
0
Σ
1
7
6 2
T. palustris
Onchidiidae
T. sulcata
Cerithidea obtusa
Telescopium
telescopium
Onchidium sp.
TOTAL
∑ Taksa
Indeks Keanekaragaman (H')
Indeks Keseragaman (E)
Indeks Dominansi (D)
28
1
0
0
0
4
0
0
47
0
0
0
38
8
9
0,9
9
0,3
1
0,5
5
0
0
62
8
7
1,1
9
0,4
0
0,4
0
0
0
53
4
0,4
5
0,2
3
0,7
9
14
14
6
0
0
0
20
5
5
0,9
5
0,4
1
0,5
4
0
0
0
295
31
0
29
0
56
0
309
4
0
0
1
1
0
0
83
58
74
1
1
148
9
5
1,2
9
0,5
6
0,3
1
5
1,1
3
0,4
9
0,3
8
3
0,6
8
0,4
3
0,6
1
2
5
1
1
1
-
Potamididae merupakan famili terbesar yang ditemukan sedangkan Onchidiidae
merupakan famili yang terkecil karena hanya ditemukan 1 individu Onchidium sp. selama
pengamatan. Dari 17 taksa yang ditemukan, spesies Terebralia sp. ditemukan di seluruh
stasiun, yaitu pada stasiun 1 sebanyak 16 individu, stasiun kedua 362 individu, stasiun ketiga
1 individu, stasiun keempat 29 individu, stasiun kelima 6 individu, stasiun keenam 19
individu, dan stasiun ketujuh 14 individu. Sedangkan spesies Littoraria scabra dan
Terebralia sulcata ditemukan di 5 stasiun. Spesies Littoraria scabra ditemukan pada stasiun
1 yaitu 9 individu, stasiun kedua 77 individu, stasiun ketiga 4 individu, stasiun keempat 10
individu, dan stasiun kelima 15 individu. Spesies Terebralia sulcata ditemukan pada stasiun
ketiga 47 individu, stasiun keempat 146 individu, stasiun kelima 31 individu, stasiun keenam
29 individu, dan stasiun ketujuh 56 individu. Sementara itu terdapat 4 spesies yang hanya
ditemukan pada 1 stasiun saja yaitu spesies Littoraria sp., Littoraria sundaica, Neritina
turrita, dan Cassidula aurifelis. Keempat spesies tersebut hanya ditemukan pada stasiun-2
kecuali spesies Neritina turrita yang hanya ditemukan pada stasiun-1.
Kestabilan komunitas gastropoda dapat dilakukan dengan melihat indeks
keanekaragaman (H’), keseragaman (E), dan dominansi (D). Keanekaragaman mencakup 2
hal pokok yaitu variasi jumlah spesies dan jumlah individu tiap spesies pada suatu kawasan.
Apabila jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies relatif kecil berarti terjadi
ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan akibat adanya gangguan atau tekanan.
Menurut Soegianto (1994), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis
tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau
hampir sama. Sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit jenis dan jika hanya
sedikit jenis yang dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman yang
tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena dalam
7 komunitas itu terjadi interaksi jenis yang tinggi pula. Sehingga dalam suatu komunitas yang
mempunyai keanekaragaman jenis tinggi akan terjadi interaksi jenis yang melibatkan transfer
energi (jaring-jaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis
lebih kompleks.
Hasil perhitungan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) yang diperoleh di
Hutan Mangrove Sendang Biru yaitu antara 0,45 – 1,28 dengan rata-rata indeks H’= 0,95.
Hal demikian menurut Wibisono (2005), dengan rata-rata nilai indeks tersebut berarti
penyebaran jumlah individu tiap spesies dan kestabilan komunitas pada seluruh stasiun
termasuk ke dalam kategori buruk. Stasiun 3 merupakan lokasi yang memiliki nilai
keanekaragaman terendah yaitu 0,45 sehingga masuk dalam kategori keanekaragaman sangat
buruk (< 0,6). Sedangkan stasiun 1 (0,99), stasiun 2 (1,19), stasiun 4 (0,95), stasiun 6 (1,12),
dan stasiun 7 (0,68) masuk dalam kategori indeks keanekaragaman buruk (0,61 – 1,2).
Stasiun 5 merupakan stasiun yang memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi yaitu 1,28
sehingga masuk ke dalam kategori keanekaragaman sedang (1,21 – 1,8).
Pada masing-masing stasiun, kepadatan setiap spesies yang ditemukan bervariasi
jumlahnya dikarenakan terdapat beberapa spesies yang jumlahnya jauh lebih besar daripada
spesies lainnya sehingga mengakibatkan keanekaragaman suatu ekosistem akan menjadi
kecil.
Apabila jumlah spesies dan variasi jumlah individu tiap spesies relatif kecil berarti
terjadi ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan gangguan atau tekanan dari
lingkungan, hal ini menjelaskan bahwa hanya jenis spesies tertentu saja yang dapat bertahan
hidup. Tidak meratanya jumlah individu untuk setiap spesies berhubungan dengan pola
adaptasi masing-masing spesies, seperti tersedianya berbagai tipe substrat, makanan, dan
kondisi lingkungan. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Soegianto (1994), bahwa suatu
komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi jika komunitas tersebut
disusun oleh banyak jenis dengan kelimpahan jenis yang sama atau hampir sama. Sebaliknya
jika komunitas tersebut disusun oleh sangat sedikit jenis dan jika hanya sedikit jenis yang
dominan maka keanekaragaman jenisnya rendah. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan
bahwa suatu komunitas memiliki kompleksitas tinggi karena dalam komunitas tersebut terjadi
interaksi jenis yang tinggi pula. Dengan demikian dalam suatu komunitas yang mempunyai
keanekaragaman jenis tinggi akan terjadi interaksi jenis yang melibatkan transfer energi
(jaring-jaring makanan), predasi, kompetisi, dan pembagian relung yang secara teoritis lebih
kompleks.
Nilai indeks keseragaman yang diperoleh pada masing-masing stasiun yaitu antara 0,23
- 0,56. Jika nilai keseragaman yang diperoleh mendekati nilai 1 maka menunjukkan
komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas berada dalam kondisi
yang relatif baik, yaitu penyebaran tiap jenis relatif sama atau seragam walaupun beberapa
jenis gastropoda ditemukan dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan jenis yang
lainnya. Berturut-turut nilai indeks keseragaman dari yang terendah hingga yang tertinggi
mendekati nilai 1, adalah 0,23 (stasiun 3); 0,31 (stasiun 1); 0,40 (stasiun 2); 0,41 (stasiun 4);
0,43 (stasiun 7); 0,49 (stasiun 6), dan 0,56 (stasiun 5).
Nilai indeks dominansi yang diperoleh dari masing-masing stasiun yaitu antara 0,31 0,79. Nilai dominansi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya spesies tertentu yang
mendominasi pada suatu ekosistem. Berturut-turut nilai indeks dominansi yang tertinggi
8 hingga yang terendah mendekati nilai 0, adalah 0,79 (stasiun 3); 0,61 (stasiun 7); 0,55
(stasiun 1); 0,54 (stasiun 4); 0,40 (stasiun 2); 0,38 (stasiun 6); dan 0,31 (stasiun 5). Indeks
dominansi yang diperoleh sebagian besar tidak mendekati nilai 0, hal tersebut berarti bahwa
terdapat beberapa jenis spesies tertentu ada yang mendominasi dalam komunitas tersebut.
Secara umum jenis spesies Terebralia sp. Terebralia sulcata, dan Littoraria scabra
(gambar 4.1a, 4.1b, dan 4.1c) ditemukan hampir di seluruh area mangrove karena merupakan
jenis yang kosmopolitan di dalam hutan mangrove sepanjang masih dikenai oleh air laut pada
saat pasang (gambar spesies lain terlampir).
Gbr 4.1a Terebralia sp.
Gbr 4.1b Terebralia sulcata
Gbr 4.1c Littoraria scabra
Budiman (2001) mengelompokkan moluska mangrove menjadi 3 kelompok yaitu
moluska asli, moluska fakultatif, dan moluska pendatang. Pada ekosistem Hutan Mangrove
Sendang Biru ditemukan ketiga jenis kelompok tersebut. Yang termasuk kelompok moluska
asli diantaranya Cerithidea cingulata, Telescopium telescopium, atau Terebralia palustris.
Kelompok moluska asli hutan mangrove adalah semua jenis moluska yang seluruh atau
sebagian besar hidup dewasanya dihabiskan di hutan mangrove. Jenis kelompok ini sangat
jarang ditemui secara alami berada di ekosistem lain di luar hutan mangrove. Sedangkan
kelompok moluska fakultatif diantaranya Littoraria scabra atau Cerithium patulum.
Kelompok moluska fakultatif adalah jenis moluska yang mempergunakan hutan mangrove
sebagai salah satu tempat hidupnya. Umumnya jenis ini hidup di bagian depan hutan.
Sedangkan kelompok moluska pengunjung diantaranya Nerita undata dan Clypeomorus
moniliferum. Kelompok moluska pengunjung adalah jenis-jenis moluska yang secara tidak
sengaja berada di dalam hutan mangrove. Umumnya jenis ini hadir di sekitar perbatasan
antara hutan mangrove dan ekosistem hidupnya.
Gastropoda yang paling banyak ditemukan di Hutan Mangrove Sendang Biru berada
pada tegakan anakan (sapling) di permukaan substrat yaitu 464 individu (31,16 %) sedangkan
yang terendah ditemukan pada tingkatan tegakan anakan (seedling) di bagian akar yang
hanya ditemukan 3 individu (0,2 %) saja dari jumlah total 1489 individu yang ditemukan.
Famili Potamididae (Spesies Terebralia sp. bersama spesies Terebralia sulcata)
melimpah diduga karena telah mampu beradaptasi dan cocok hidup pada lingkungan tersebut.
Ini menunjukkan bahwa famili tersebut mempunyai kisaran adaptasi yang cukup luas
terhadap faktor lingkungan, mampu berkembangbiak dengan cepat, dan disebabkan oleh cara
penyebaran yang luas serta mempunyai daerah jelajah yang digunakannya untuk mencari dan
9 0.8
memanfaatkan sumber daya yang diperlukan. Menurut Odum (1993), jenis yang dominan
sebagian besar mengendalikan arus energi dan kuat sekali mempengaruhi lingkungan.Hasil
analisis sedimen menunjukkan jenis substrat pada umumnya cenderung berlumpur. Menurut
Nirarita et al (1996) pada umumnya substrat dasar yang berlumpur disenangi oleh hewan
benthos daripada substrat dasar yang berpasir. Sedangkan mengelompoknya jenis Gastropoda
yang lain diduga karena sifatnya yang hidup berkoloni, seragam, dan menempel pada satu
tempat sepanjang waktu.
Di bawah ini merupakan diagram distribusi gastropoda pada mikrohabitat akar, batang,
dan substrat.
Gambar 4.2 Diagram RDA Distribusi Gastropoda pada Mikrohabitat Akar
1211
10
clay
Suhu
DO
46
5
L.Sc
TS
CNDV
LittCA
Clith
TP
Tere
NU
2119
20
L.Ml
ML
Och
Salinita
pH
TOM
7
17 8
9
1618
1513
14
-0.6
silty
cl cl
sandy
23 1
-1.0
1.0
Kode jenis spesies Gastropoda (kode Huruf kapital):
L.Sc
L.Ml
Clith
DV
ML
CA
TP
TS
Och
: Littoraria scabra
: Littoraria melanostoma
: Clithon oualaniensis
: Dostia violacea
: Melampus luteus
: Cassidula aurifelis
: Terebralia palustris
: Terebralia sulcata
: Onchidium sp.
Kode untuk titik:
titik 1,2,3
titik 4,5,6
titik 7,8,9
titik 10,11,12
: stasiun 1
: stasiun 2
: stasiun 3
: stasiun 4
L.Su
Litt
NT
NU
CN
Tere
CO
TT
: Littoraria sundaica
: Littoraria sp.
: Neritina turrita
: Nerita undata
: Cassidula nucleus
: Terebralia sp.
: Cerithidea obtusa
: Telescopium telescopium
titik 13,14,15
titik 16,17,18
titik 19,20,21
: stasiun 5
: stasiun 6
: stasiun 7
Berdasarkan diagram RDA (gambar 4.2), diperoleh bahwa terdapat beberapa faktor
lingkungan terukur yang menunjukkan pengaruh signifikan (nilai P-value ≤ 0,05) terhadap
distribusi Gastropoda di makrohabitat akar, yaitu DO (nilai F-Ratio 6,50; P-value 0,008) dan
salinitas (nilai F-ratio 3,69; P-value 0,028). Sedangkan faktor lingkungan yang lain kurang
berpengaruh, yaitu pH (nilai F-Ratio 2,13; P-value 0,072), sandy clay (nilai F-Ratio 1,18; P10 value 0,312), silty clay (nilai F-Ratio 1,28; P-value 0,268), dan suhu (nilai F-Ratio 0,85; Pvalue 0,500).
Hasil ordinasi (gambar 4.2) menunjukkan bahwa keberadaan spesies Littoraria scabra
(L.Sc), Littoraria sp. (Litt), Cassidula nucleus (CN), Cassidula aurifelis (CA), Dostia
violacea (DV), dan Clithon oualaniensis (Clith) dipengaruhi oleh besarnya nilai sedimen
clay, suhu, dan DO. Hal tersebut sesuai dengan analisis komunitas secara kuantitatif pada sub
bab (4.1) dan (4.3.1) di titik 4,5,6 (stasiun 2) antara Gastropoda dengan faktor lingkungan
sedimen clay, suhu, dan DO yang nilainya paling tinggi diantara nilai di stasiun yang lainnya.
Sementara itu dari gambar terlihat bahwa keberadaan spesies Terebralia palustris (TP),
Terebralia sp. (Tere), dan Nerita undata (NU) lebih dipengaruhi oleh kedekatan dari faktor
lingkungan pH, salinitas, dan sedimen clay yang sesuai dengan analisis komunitas secara
kuantitatif pada sub bab (4.1) dan (4.3.1) di titik 19,20,21 (stasiun 7).
Gambar 4.3 Diagram RDA Distribusi Gastropoda pada Mikrohabitat Batang
1.0
21
20 19
TS
Clith
CADV
ML
TP
9
11
65 412
1415 10 13
Clay
L.Sc
Och NU
Silty Cl17187
8
16
CN
NT
L.Ml
-1.0
Sandy Cl
2 31
-1.0
1.5
Kode jenis spesies Gastropoda (kode Huruf kapital):
L.Sc
L.Ml
Clith
DV
ML
CA
TP
TS
Och
: Littoraria scabra
: Littoraria melanostoma
: Clithon oualaniensis
: Dostia violacea
: Melampus luteus
: Cassidula aurifelis
: Terebralia palustris
: Terebralia sulcata
: Onchidium sp.
L.Su
Litt
NT
NU
CN
Tere
CO
TT
: Littoraria sundaica
: Littoraria sp.
: Neritina turrita
: Nerita undata
: Cassidula nucleus
: Terebralia sp.
: Cerithidea obtusa
: Telescopium telescopium
Kode untuk titik:
titik 1,2,3
titik 4,5,6
titik 7,8,9
titik 10,11,12
: stasiun 1
: stasiun 2
: stasiun 3
: stasiun 4
titik 13,14,15
titik 16,17,18
titik 19,20,21
: stasiun 5
: stasiun 6
: stasiun 7
11 1.0
Berdasarkan diagram DCA (gambar 4.3), diperoleh bahwa hanya terdapat 1 jenis
sedimen saja yang menunjukkan pengaruh signifikan (nilai P-value ≤ 0,05) terhadap
distribusi Gastropoda di mikrohabitat batang, yaitu clay (nilai F-Ratio 4,43; P-value 0,002).
Sedangkan faktor lingkungan jenis sedimen lainnya kurang memiliki pengaruh yang
signifikan, yaitu sandy clay (nilai F-Ratio 0,34; P-value 0,602) dan silty clay (nilai F-Ratio
0,22; P-value 0,702).
Hasil ordinasi (gambar 4.3) menunjukkan bahwa spesies Littoraria scabra (L.Sc),
Dostia violaceae (DV), Clithon oualaniensis (Clith), dan Cassidula aurifelis (CA)
dipengaruhi kedekatan dengan sedimen clay. Hal tersebut sesuai dengan analisis komunitas
secara kuantitatif pada sub bab (4.1) dan (4.3.2) di titik 4,5,6 (stasiun 2); 10,11,12 (stasiun 4);
dan 13,14,15 (stasiun 5) antara spesies Gastropoda tersebut di jenis mangrove Rhizpohora 1,2
dan Ceriops 2 yang bersedimen lempung (clay). Sementara itu hasil gambar (4.3) juga
memperlihatkan bahwa spesies Littoraria melanostoma (L.Ml), Neritina turrita (NT), dan
Cassidula nucleus (CN) lebih dipengaruhi kedekatan dengan sedimen sandy clay yang sesuai
dengan analisis komunitas secara kuantitatif pada sub bab (4.1) dan (4.3.2) di titik 1,2,3
(stasiun 1, jenis mangrove Ceriops 1).
Gambar 4.4 Diagram CCA Distribusi Gastropoda pada Mikrohabitat Substrat
Salinita
pH
78
9
1112
10
sandy cl
TP NT
CN 3 2
CO
1
ML
TS
L.Sc
NU
171816
silty cl TOMTT
20
1415
13
21
19
Clith
Tere
5
DV46CA
L.Su
clay
-1.0
Suhu
DO
-1.0
1.0
Kode jenis spesies Gastropoda (kode Huruf kapital):
L.Sc
L.Ml
Clith
DV
ML
CA
TP
TS
Och
: Littoraria scabra
: Littoraria melanostoma
: Clithon oualaniensis
: Dostia violacea
: Melampus luteus
: Cassidula aurifelis
: Terebralia palustris
: Terebralia sulcata
: Onchidium sp.
L.Su
Litt
NT
NU
CN
Tere
CO
TT
: Littoraria sundaica
: Littoraria sp.
: Neritina turrita
: Nerita undata
: Cassidula nucleus
: Terebralia sp.
: Cerithidea obtusa
: Telescopium telescopium
12 Kode untuk titik :
titik 1,2,3
titik 4,5,6
titik 7,8,9
titik 10,11,12
: stasiun 1
: stasiun 2
: stasiun 3
: stasiun 4
titik 13,14,15
titik 16,17,18
titik 19,20,21
: stasiun 5
: stasiun 6
: stasiun 7
Hasil ordinasi (gambar 4.4) menunjukkan bahwa spesies Cassidula nucleus (CN),
Terebralia palustris (TP), Neritina turrita (NT), Melampus luteus (ML), dan Littoraria
scabra (L.Sc) dipengaruhi oleh besarnya nilai salinitas dan sedimen sandy clay. Hal tersebut
sesuai dengan analisis komunitas secara kuantitatif pada sub bab (4.3.3) di titik 1,2,3 (stasiun
1) antara spesies Gastropoda tersebut dengan faktor lingkungan salinitas dan sedimen sandy
clay yang nilainya paling tinggi diantara nilai di stasiun lainnya. Sementara itu dari gambar
terlihat bahwa spesies Terebralia sulcata (TS), Nerita undata (NU), dan Telescopium
telescopium (TT) lebih dipengaruhi oleh kedekatan dari faktor lingkungan TOM dan sedimen
silty clay yang sesuai dengan analisis komunitas secara kuantitatif pada sub bab (4.3.3) di
titik 7,8,9 (stasiun 3); titik 10,11,12 (stasiun 4); titik 13,14,15 (stasiun 5); titik 16,17,18
(stasiun 6); dan titik 19,20,21 (stasiun 7) serta spesies Littoraria sundaica (L.Su), Cassidula
aurifelis (CA), Dostia violaceae (DV), dan Terebralia sp. (Tere) yang lebih dipengaruhi oleh
faktor lingkungan DO, suhu, dan sedimen clay di titik 4,5,6 (stasiun 2).
Kesimpulan
- Distribusi Gastropoda di zonasi Hutan Mangrove Sendang Biru yang dibagi ke dalam 3
mikrohabitat, yaitu akar, batang, dan substrat pada jenis mangrove Ceriops,
Rhizophora, Bruguiera, dan Xylocarpus menunjukkan hasil bahwa distribusi jenis
Gastropoda terbanyak terdapat pada mikrohabitat substrat yang ditemukan sebanyak
1188 individu (79,8 %), kemudian pada mikrohabitat akar sebanyak 220 individu (14,8
%), dan pada mikrohabitat batang sebanyak 81 individu (5,4 %) dari total 1489 individu
yang ditemukan di seluruh stasiun.
- Jumlah jenis Gastropoda di Hutan Mangrove Sendang Biru mencapai 17 jenis dari 5
famili dan kepadatan tertinggi yaitu jenis Terebralia sp (Famili Potamididae) dengan
kepadatan, yaitu 447 individu dari total 1489 individu yang ditemukan. Jenis tersebut
juga merupakan jenis yang dominan di hutan mangrove Sendang Biru yang memiliki
substrat berlempung (clay).
- Distribusi Gastropoda di Hutan Mangrove Sendang Biru pada mikrohabitat akar lebih
dipengaruhi oleh faktor lingkungan DO dan salinitas, pada mikrohabitat batang lebih
dipengaruhi oleh faktor sedimen clay, dan pada mikrohabitat substrat lebih dipengaruhi
oleh faktor lingkungan DO, salinitas, dan sedimen sandy clay (faktor abiotik).
Distribusi gastropoda di masing-masing mikrohabitat juga dipengaruhi oleh jenis
mangrove (faktor biotik).
Pustaka
[1] Anonim1, 2010. Mangrove Jawa Timur, Hutan Pantai Yang Terlupakan.
http://www.terranet.com diakses pada tanggal 17 September 2010 pukul 15.18 WIB
13 [2] Anonim2. 2009. Renstra Pesisir dan Lautan Terpadu Kabupaten Malang. Pemerintah
Kabupaten Malang: Malang
[3] Anonim3. 2009. Moluska. http:/coremap-mollusca.com diakses pada tanggal 12
September 2010 pukul 12.15 WIB
[4] Barnes, R.D. 1987. Invertebrate Zoology. Fourth Edition . Saunders Collage
[5] Basmi, J. 2000. Planktonologi: Plankton Sebagai Indikator Kualitas Air. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor: Bogor
[6] Berry, A.J. 1972. The Natural History of West Malaysian Mangrove Faunas. Malaysian
National Journal (25)
[7] Brower, J.E dan J.H. Zar. 1977. Field and Laboratory Method for General Ecology.
Wm.C Brown Pulb. Duboque: Iowa
[8] Budiman, A. dan P. Dwiono. 1986. Ekologi Moluska Hutan Mangrove di Jailolo,
Halmahera. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove di Denpasar, Bali
[9] Budiman. 2001. Penelahaan Beberapa Gatra Ekologi Moluska Bakau Indonesia. Fakultas
Pasca Sarjana Universitas Indonesia: Jakarta
[10] Cannici, S. 2008. Faunal Impact on Vegetation Structure and Ecosystem Function in
Mangrove Forest: A Review. Journal of Aquatic Botany 89: 186-200
[11] De Troch, M.D, S. Guerdebeke, F. Fiers dan M. Vincx. 2001. Zonation and Structuring
Factors of Meiofauna Communities in A Tropical Seagress Bed (Gazi Bay, Kenya). Journal
of Sea Research 45: 45-61.
[12] Dewiyanti, I. 2004. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) Serta
Asosiasinya pada Ekosistem Mangrove di Kawasan Pantai Ulee-Lheue, Banda Aceh, NAD.
Skripsi Program Studi Ilmu Kelautan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor: Bogor
[13] Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia I (Indonesian Shells). PT. Sarana Graha:
Jakarta
[14] Dharma, B. 1992. Siput dan Kerang Indonesia II (Indonesian Shells).Verlag Christa
Hemmen: Wiesbaden
[15] English, S., C. Wilkinson, dan V. Baker. 1994. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. Australian Institute of Marine Science: Townsville
[16] Fitriana, Y.R. 2005. Keanekargaman dan Kelimpahan Makroozoobentos di Hutan
Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas
Volume 7, Nomor 1 Halaman: 67-72 ISSN: 1412-033X. Jurusan Biologi FMIPA UNS:
Surakarta.
[17] Halka, J. 2010. Chesapeake Bay Sediment Distribution. http://www.mgs.md.gov/coastal/
sedmap.html diakses pada tanggal 24 September 2010 pukul 16.25 WIB
14 [18] Handayani, E.A. 2006. Keanekaragaman Jenis Gastropoda di Pantai Radusanga
Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Skripsi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang: Semarang
[19] Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Mangrove. Yogyakarta
[20] Isfatul, R. 2008. Analisis Struktur Komunitas dan Komposisi Vegetasi Mangrove di
Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Tugas Akhir Program Studi Biologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
[21] Istomo. 1992. Tinjauan Ekologi Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya di Indonesia.
Laboratorium Ekologi Hutan Jurusan MNRT Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor:
Bogor
[22] Kartawinata, K.S., S. Adisoemarto, S. Soemodiharjo, dan I.G.M. Tantra. 1979. Status
Pengetahuan Hutan Bakau di Indonesia. Prosising Seminar Ekosistem Mangrove
[23] Kitamura, S., C. Anwar, A. Chaniago dan S. Baba. 1997. Buku Panduan Mangrove di
Indonesia (Bali dan Lombok). JICA-ISME: Denpasar
[24] Kon K., Kurokura H., Tongnunui P. 2009. Effects of The Physical Structure of
Mangrove Vegetation on a Benthic Faunal Community. Journal of Experimental Marine
Biology and Ecology 383 (2010) 171-180
[25] Leps, J. 1953. Multivariate Analysis of Ecological Data Using CANOCO. Cambridge
University Press: UK
[26] Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Chapman and Hall:
USA
[27] Marwoto, R.M dan A. Murni. Shintosari. 1999. Pengelolaan Koleksi Moluska dalam
Suhardjono, Y.R. (Ed.). 1999. Buku Pegangan Koleksi Spesimen Zoologi. Puslitbang Biologi
LIPI: Bogor
[28] Moore, R.C. 1960. Treatise on Invertebrate Paleontology Part I Mollusca I. Geological
Society of America, Inc & University of Kansas Press
[29] Nontji, A. 1986. Laut Nusantara. Djambatan: Jakarta
[30] Nursal, Fauziah Y., dan Ismiati. 2005. Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove
Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. Jurnal Biogenesis Vol. 2(1): 1-7 ISSN: 18295460.
[31] Poort, J. M. & R. J. Carlson. 1998. Historical Geology. Fifth Edition
[32] Poutier, J.M. 1998. Gastropods dalam Carpenter, K.A & V.H Niem (Ed.). 1998. The
Living Marine Resources of Western-Central Pacific. Volume I: Seaweeds, Corals, Bivalves,
Gastropods. FAO of The UN: Roma
[33] Rugayah dan Suhardjono. 2007. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove di Pulau
Sepanjang, Jawa Timur. Jurnal Biodiversitas Volume 8, Nomor 2 Hal: 130-134 ISSN
1412-033X
15 [34] Satriya, I Nyoman Budi. 2010. Analisis Ekosistem Mangrove dengan Metode SIG di
Pesisir Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Malang. Tesis Program Magister Bidang
Keahlian Teknik dan Manajemen Pantai Jurusan Teknologi Kelautan Fakultas Teknologi
Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya: Surabaya
[35] Sivasothi, N and Ng K.L. Peter. 2002. A Guide To The Mangroves Of Singapore II
(Animal Diversity). Singapore Science Centre: Singapura
[36] Supriharyono. 2006. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan
Laut Tropis. Pustaka Belajar: Semarang
[37] Susetiono. 2005. Krustacea dan Molluska Mangrove Delta Mahakam. Pusat Penelitian
Oseanografi – LIPI: Jakarta
[38] Suwondo, Febrita E., Sumanti F. 2006. Struktur Komunitas Gastropoda Pada Hutan
Mangrove Di Pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai Sumatera Barat. Jurnal
Biogenesis Vol. 2(1): 25-29 ISSN: 1829-5460
[39] Wells, F.E., Walker, D.I., dan Jones, D.S. 2003. Aspects of The Ecology of The
Mudwhelks Terebralia palustris and T. semistriata in Northwestern Australia. The Marine
Flora and Fauna of Dampier, Western Australia. Western Australian Museum: Perth
[40] Wilkie, M.L., Fortune, S. 2003. Status and Trends of Mangrove Extent Wordwide.
http://www.Fao.org/document/show_cdr.htm diakses pada tanggal 17 September 2010 pukul
15.24 WIB
16 
Download