kultur in vitro sel-sel fibroblas fetus tikus kultur in

advertisement
KULTUR IN VITRO SEL-SEL FIBROBLAS
FETUS TIKUS
HARLYSTIARINI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Kultur In Vitro Sel-sel
Fibroblas Fetus Tikus” adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Bogor, September 2010
Harlystiarini
B04060701
ABSTRAK
HARLYSTIARINI. Kultur In Vitro Sel-sel Fibroblas Fetus Tikus yang
dibimbing oleh Dr. Drh. Ita Djuwita, M.Phil.
Penelitian yang dilakukan berupa kultur in vitro sel-sel fibroblas fetus
tikus menggunakan Dulbeccos’ Modified Eagle Medium yang dimodifikasi
dengan penambahan 3mM natrium bikarbonat, 10% fetal calf serum, dan 50
µg/ml gentamisin (mDMEM) di dalam inkubator CO 2 pada suhu 37ºC. Evaluasi
dilakukan terhadap tingkat proliferasi dan produksi protein setelah beberapa
pasase. Pertumbuhan sel-sel fibroblas diidentifikasi melalui pengamatan
morfologi. Tingkat proliferasi sel ditentukan berdasarkan population doubling
time (PDT) dengan menghitung jumlah sel pada setiap pasase menggunakan
hemositometer Improved Neubauer. Identifikasi protein dilakukan dengan metode
Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE).
Berdasarkan pengamatan morfologi, sel yang berkembang di dalam kultur in vitro
adalah sel fibrosit dan sel fibroblas dan memperlihatkan peningkatan homogenitas
setelah beberapa pasase. Berdasarkan nilai PDT, tingkat proliferasi sel juga
meningkat seiring pasase. Sel fibroblas juga tetap mensekresikan protein hingga
pasase 9 berdasarkan hasil elektroforesis. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan dan sekresi protein dari kultur in vitro sel-sel fibroblas bisa
dipertahankan sampai 9 pasase.
Kata kunci: kultur sel, fibroblas, galur sel, SDS PAGE
ABSTRACT
Research has been conducted on the in vitro culture of rat fetal fibroblast
using Dulbeccos’ Modified Eagle Medium supplemented with 3mM sodium
bicarbonate, 10% fetal calf serum and 50 µg/ml gentamycin (mDMEM) in CO2
incubator at 37oC. Evaluation was done on the proliferation rate and the protein
production after several passages. The growth of the fibroblast was confirmed by
their morphology. The proliferation rate was done based on the population
doubling time (PDT) by counting the number of cells in each passage by using
Improved Neubauer hemocytometer. Identification of proteins was done
quatitatively using Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis
(SDS-PAGE). Based on morphological observation the cell grown in in vitro
culture were the fibrocyte and fibroblast and showed increasing of homogenicity
after several passages. Based on the PDT, the proliferation rate was increased by
each passages. Fibroblast also secrete proteins remain until passage 9 based on
the results of electrophoresis. It can be concluded that the growth and protein
secretion of rat fetal fibroblast in in vitro culture can be maintained up to 9
passages.
Keywords: cell culture, fibroblast, cell line, SDS PAGE
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KULTUR IN VITRO SEL-SEL FIBROBLAS FETUS TIKUS
HARLYSTIARINI
B04060701
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Skripsi
Nama
NIM
: Kultur In Vitro Sel-sel Fibroblas Fetus Tikus
: Harlystiarini
: B04060701
Disetujui :
Dr. Drh. Ita Djuwita, M.Phil
Pembimbing
Diketahui :
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini
berjudul “Kultur In Vitro Sel-sel Fibroblas Fetus Tikus” disusun berdasarkan hasil
penelitian yang dilaksanakan pada Januari sampai dengan Juni 2010, dan
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan
pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil selaku dosen pembimbing tugas akhir
dan dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan
arahan dan masukan baik dalam penyelesaian skripsi ini maupun
selama menyelesaikan pendidikan S1,
2. Dr. Drh. Nurhidayat, MS. Sebagai dosen penilai dalam seminar skripsi,
3. Drh. R. P. Agus Lelana, Sp. MP., M.Si. dan Drh. Titiek Sunartatie,
M.Si. sebagai dosen penguji dalam ujian sidang sarjana,
4. Keluarga tercinta, Bapak Hasanuddin Husain, Ibu Dra. St. Rosdia,
serta adik-adikku Muh. Yasser dan Muh. Irfan yang telah memberikan
do’a, semangat, dukungan, dan perhatian,
5. Dosen Fakultas Kedokteran Hewan atas segala ilmu yang diberikan,
6. Pak Wahyudin dan staf laboratorium Embriologi FKH IPB yang telah
banyak membantu kelancaran penelitian ini,
7. Rekan-rekan sepenelitian di Bagian Embriologi, Vivit Riyacumala,
Novi Tandria, Khairunnisa, dan Karunia Maqfiroh, atas semangat dan
kerjasamanya,
8. Sahabat-sahabat B4 Irna Suhaena Kadir, Asmayanti Azis, dan A. Nur
Adhayanti atas kebersamaan, do’a, dan dukungannya,
9. Rekan Aesculapius FKH 43 khususnya Laras Andini, Sri Nofrianti,
Ranti A, Fifit Diah P, dan Yulia Riza, atas kebersamaan, perjuangan,
kekompakan, dan semangat selama menjalani pendidikan S1,
10. Rekan-rekan kostan “Sri Rahayu I” sebagai keluarga yang selalu
memberikan do’a dan semangat, dan
11. Berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan
keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa
hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak.
Bogor, September 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Selayar, Sulawesi Selatan pada tanggal 14 Oktober
1987. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak
Hasanuddin Husain dan Ibu Dra. St. Rosdia.
Penulis telah menempuh pendidikan formal di SD Inpres Benteng IISelayar (2000), SMP Negeri II Benteng-Selayar (2003), dan SMA Negeri I
Benteng (2006). Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan sarjana di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan masuk Fakultas Kedokteran
Hewan.
Selama menjalani pendidikan sarjana, penulis berkesempatan menjadi
anggota Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas (2007-2009) dan aktif sebagai
Ketua Divisi Dana Usaha (2007-2008) dan Ketua Divisi Kubah (2008-2009).
Untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis
melaksanakan penelitian yang berjudul “Kultur In Vitro Sel-sel Fibroblas Fetus
Tikus”.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………..
x
xii
xiii
xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang ……………………………………………………
Tujuan …………………………………………………………….
Manfaat …………………………………………………...............
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Sel Fibroblas ………………………………………………………
Morfologi dan Peranan Sel Fibroblas …………………………….
Kultur Sel Fibroblas ………………………………………………
Sumber Sel Fibroblas ……………………………………………..
Sistem Kultur Sel Fibroblas ………………………………………
Pemanfaatan Kultur Sel Fibroblas ………………………………..
Protein yang Dihasilkan Oleh Sel Fibroblas ……………...............
Metode Analisis Protein …………………………………………..
4
4
6
7
8
11
12
12
METODOLOGI
Waktu dan Tempat ………………………………………………..
Alat dan Bahan …………………………………………...............
Prosedur Kerja …………………………………………………….
Isolasi Sel Fibroblas ……………………………......................
Kultur In vitro Sel Fibroblas ……………………......................
Pembuatan Conditioned Medium (CM) ……………………….
Pasase Sel Fibroblas …………………………………………..
Evaluasi Hasil Kultur Sel Fibroblas …………………………...
Morfologi Sel Fibroblas ..………………………………….
Pertumbuhan Sel Fibroblas ………………………………..
Identifikasi Protein ……………………………..…………
15
15
15
15
16
16
16
17
17
17
17
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro ……………….
Pertumbuhan Sel Fibroblas dalam Kultur ……………………..
Identifikasi Protein …………………………………………….
19
21
22
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan …………………………………………………………...
Saran ……………………………………………………………….
25
25
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
LAMPIRAN …………………………………………………………..
26
28
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Sel fibroblas dan fibrosit secara skematis ………………….
4
2
NIH 3T3 salah satu contoh cell line fibroblas ……………..
7
3
Mekanisme sederhana SDS PAGE ………………………..
12
4
Kultur in vitro sel fibroblas preparat natif …………………..
18
5
Sel-sel fibroblas dengan pewarnaan HE …………………...
19
6
Hasil SDS PAGE conditioned medium kultur sel
fibroblas dengan pewarnaan silver nitrat …………………..
22
DAFTAR LAMPIRAN
1
Pembuatan Medium Kultur DMEM …………………………..
29
2
Pembuatan Larutan PBS ………………………………………
29
3
Prosedur Pewarnaan HE ………………………………………
29
4
Pembuatan Stock Reagent …………………………………….
30
5
Pembuatan Gel Poliakrilamid………………………………….
31
6
Pembuatan Stock Buffer dan Running Buffer …………………
31
7
Prosedur Pewarnaan Silver Nitrat …………………………….
31
DAFTAR SINGKATAN
BMSC
: Bone Marrow Stem Cell
CM
: Conditioned Medium
DMEM
: Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium
ESC
: Embryonic Stem Cell
FCS
: Fetal Calf Serum
HE
: Hematoksilin eosin
HFF
: Human Fetal Fibroblas
HNF
: Human Neonatal Fibroblas
MEF
: Mouse Embrionic Fibroblas
PBS
: Phosphate Buffered Saline
PDT
: Population Doubling Time
REF
: Rat Embrionic Fibroblas
SDS PAGE
: Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sel fibroblas merupakan sel yang paling umum ditemui pada jaringan ikat.
Sel ini bertanggung jawab terhadap sintesis komponen matriks ekstraseluler yang
terdiri dari serabut dan bahan dasar (Junquieira dan Carneiro 2005). Serabut
jaringan ikat terdiri dari serabut kolagen, retikuler, dan elastik (Dixon 2007).
Menurut Junquieira dan Carneiro (2005) serabut jaringan ikat didominasi oleh
kolagen yang membentuk tendon, aponeurose, kapsula organ, dan meningen.
Bahan dasar terdiri dari makromolekul anionik (glycosaminoglycans dan
proteoglycans) dan multiadhesive glycoprotein (laminin dan fibronectin)
(Junquieira dan Carneiro 2005).
Sel fibroblas mampu mensekresi enzim yang berfungsi mendegradasi
matriks ekstraseluler sebagai respons terhadap adanya luka atau saat dibutuhkan
untuk proses perbaikan jaringan. Selain itu, sel fibroblas juga dapat menghasilkan
beberapa faktor yang dapat menstimulasi atau menghambat proliferasi,
diferensiasi, peradangan, serta angiogenesis tergantung pada keadaan atau
kebutuhan jaringan. Sel fibroblas akan membelah dengan relatif lambat pada
jaringan normal, tetapi akan segera berproliferasi dengan cepat sebagai respon
saat terjadi perlukaan jaringan. Proses proliferasi ini secara umum dipengaruhi
oleh faktor pertumbuhan (growth factor) yang dihasilkan oleh platelet saat terjadi
perlukaan.
Sel fibroblas merupakan sel pertama yang berhasil dikultur secara in vitro.
Menurut Prowse et al. (2007) kultur in vitro sel-sel fibroblas dapat mensekresikan
sekitar 175 jenis protein. Beberapa jenis protein tersebut memiliki peranan
penting dalam mempertahankan pluripotensi stem sel embrionik manusia. Selain
itu, beberapa protein yang dihasilkan oleh sel-sel fibroblas juga berperan sebagai
growth factor. Salah satu growth factor yang dihasilkan oleh sel fibroblas adalah
basic fibroblast growth factor (bFGF/FGF2) (Pereira et al. 2000). Faktor
pertumbuhan ini biasa digunakan dalam bentuk fibroblast feeder layer maupun
dalam bentuk fibroblast conditioned medium (Levenstein et al. 2006).
Kemampuan FGF2 dalam mempertahankan pluripotensi stem sel dikarenakan
stem sel embrionik manusia memiliki reseptor mRNA untuk FGF2 (Van Den Bos
et al. 1997, Xu et al. 2005).
Medium yang mengandung sekreta yang dihasilkan oleh sel-sel fibroblas
kemudian dikenal dengan sebutan conditioned medium (CM). Conditioned
medium dari rat embryonic fibroblast (CM-REF) telah terbukti mampu
menginduksi peningkatan proliferasi bone marrow mesenchymal stem cells dan
menjaga pluripotensinya (Efendi 2009).
Peranan lain dari kultur sel-sel fibroblas adalah sebagai feeder layer.
Mouse embryonic fibroblast (MEF) merupakan kultur sel fibroblas yang banyak
digunakan sebagai feeder layer dalam penelitian yang berkaitan dengan stem sel
embrionik manusia karena kemampuannya menghasilkan beberapa faktor yang
mampu menghambat diferensiasi sel (Rylova et al. 2008). Menurut Navsaria et al.
(1994) MEF yang digunakan sebagai feeder layer menghasilkan protein matriks
ekstraseluler yang mendorong perlekatan sel (attachment), selain itu MEF juga
menghasilkan sitokin dan faktor pertumbuhan yang dapat menstimulasi proliferasi
sel (Mallon et al. 2006).
Selain digunakan dalam penelitian yang berkaitan dengan stem sel, kultur
sel-sel fibroblas juga dikembangkan untuk digunakan sebagai sel inang dalam
produksi bahan-bahan terapeutik yang berkaitan dengan virus, misalnya dalam
pembuatan vaksin (McSharry et al. 2001, Butler 2004). Compton (1993) berhasil
membuktikan bahwa immortalized human fibroblast cell line dapat digunakan
dalam analisis genetik mengenai human cytomegalovirus (HCMV). Chick
fibroblast juga pernah dijadikan sebagai substrat virus avian leukosis untuk
menghasilkan vaksin cacar air dan penyakit gondok (Johnson dan Heneine 2001).
Adanya potensi dari kultur sel-sel fibroblas baik sebagai bahan yang dapat
mempertahankan pluripotensi stem sel embrionik manusia maupun sebagai media
untuk menguji bahan-bahan terapeutik, menyebabkan perlunya dilakukan analisis
terhadap kemampuan pertumbuhan sel-sel fibroblas fetus tikus serta protein yang
disekresikan dalam kultur in vitro setelah mengalami beberapa pasase.
Tujuan
Tujuan
dari
penelitian
ini
adalah
mengamati
morfologi
dan
mengidentifikasi kemampuan pertumbuhan sel-sel fibroblas fetus tikus serta
protein yang disekresikan dalam kultur in vitro setelah mengalami beberapa
pasase.
Manfaat
Penelitian ini dapat memberikan manfaat yaitu diperolehnya informasi
tentang kemampuan pertumbuhan sel-sel fibroblas fetus tikus serta protein yang
disekresikan dalam kultur in vitro setelah mengalami beberapa pasase. Selain itu,
juga diperolehnya bahan baik feeder layer maupun conditioned medium yang
dapat dimanfaatkan untuk menginduksi stem sel embrionik, serta diperolehnya
galur sel fibroblas.
TINJAUAN PUSTAKA
Sel Fibroblas
Jaringan ikat merupakan jaringan yang bertanggung jawab untuk
menunjang dan memelihara integritas struktur tubuh (Junquieira dan Carneiro
2005). Jaringan ini terdiri dari tiga dimensi kerangka penunjang epithelium dan
jaringan lain, serta memegang peranan penting dalam proses regulasi panas,
mekanisme penyimpanan, pertahanan, perlindungan, dan penyembuhan (Eurell
dan Sickle 1998, Samuelson 2007).
Secara struktural, jaringan ikat terdiri atas tiga komponen yaitu sel
jaringan ikat, serabut, dan bahan dasar (Junquieira dan Carneiro 2005). Menurut
Eurell dan Sickle (1998) sel jaringan ikat meliputi sel fibroblas, makrofag, sel
mast, leukosit, sel plasma, sel lemak, sel pigmen, dan sel mesenkim. Serabut
jaringan ikat terdiri dari serabut kolagen, retikuler, dan elastik (Dixon 2007).
Menurut Junquieira dan Carneiro (2005) serabut jaringan ikat didominasi oleh
kolagen yang membentuk tendon, aponeurose, kapsula organ, dan meningen.
Bahan dasar terdiri dari makromolekul anionik (glycosaminoglycans dan
proteoglycans) dan multiadhesive glycoprotein (laminin, fibronectin, dll)
(Junquieira dan Carneiro 2005).
Sel jaringan ikat memiliki 2 tipe yaitu tipe tetap (resident type/fixed cells)
dan tipe transient (wandering cells) (Eurell dan Sickle 1998). Menurut Trautmann
dan Fiebiger (1957) sel fibroblas termasuk jaringan ikat tipe tetap karena sel
fibroblas mempunyai peranan penting dalam pembentukan jaringan ikat yaitu
membentuk serabut (kolagen,
makromolekul
retikuler,
(glycosaminoglycan
dan
dan elastik) dan memproduksi
proteoglycan)
yang
merupakan
komponen bahan dasar dari jaringan ikat. Selain itu, sel fibroblas dikelompokkan
ke dalam tipe tetap karena sel tersebut relatif stabil dan hanya sedikit sekali
mengalami pergerakan (Ross et al. 1995).
Morfologi dan Peranan Sel Fibroblas
Sel fibroblas memiliki dua bentuk yaitu bentuk aktif dan bentuk tidak
aktif. Bentuk aktif disebut sel fibroblas, sedangkan bentuk tidak aktif disebut sel
fibrosit (Junquieira dan Carneiro 2005) (Gambar 1).
Menurut Eurell dan Sickle (1998) sel fibrosit merupakan sel yang paling
umum ditemui pada jaringan ikat. Sel fibrosit umumnya berbentuk spindel dengan
penjuluran yang saling bersentuhan dengan sel dan serabut yang berdekatan
(Samuelson 2007). Inti sel fibrosit bersifat heterochromatic dan hanya dikelilingi
oleh sedikit sitoplasma berwarna pucat. Pengamatan sel fibrosit dengan
menggunakan mikroskop elektron memperlihatkan jumlah retikulum endoplasma
kasar (rER) yang sedikit dengan kompleks golgi yang kecil (Eurell dan Sickle
1998).
Sel fibroblas memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan sel fibrosit
dengan inti yang bersifat euchromatic (Eurell dan Sickle 1998). Sitoplasmanya
berbentuk irregular dengan beberapa penjuluran (Junquieira dan Carneiro 2005).
Pada pengamatan dengan mikroskop elektron akan terlihat rER dalam jumlah
banyak serta kompleks golgi yang besar pada sitoplasma. Struktur ini
mengindikasikan produksi matriks jaringan ikat yang lebih banyak dibandingkan
sel fibrosit. Sel fibroblas dapat berkembang langsung dari sel mesenkim yang
belum berdiferensiasi atau dapat juga berasal dari sel fibrosit tergantung pada
pengaruh faktor lingkungan (Eurell dan Sickle 1998).
Gambar 1. Sel fibroblas dan fibrosit secara skematis
Sumber : Junquieira dan Corneiro 2005
Sel fibroblas mampu mensintesis protein seperti kolagen dan elastin yang
akan membentuk serabut kolagen, retikuler, dan elastik serta glycosaminoglycans,
proteoglycans, dan glycoprotein dari matriks ekstraseluler (Junquieira dan
Carneiro 2005).
Kultur Sel Fibroblas
Kultur jaringan merupakan bagian dari biologi yang berkaitan dengan
pembiakan jaringan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol. Tujuan dari
usaha tersebut adalah untuk mempelajari berbagai sifat jaringan tubuh dalam
kondisi yang lebih sederhana dan terkontrol di luar tubuh (Malole 1990).
Terdapat tiga tipe kultur jaringan berdasarkan komposisi sel yang
ditumbuhkan yaitu kultur organ, kultur eksplant primer, dan kultur sel (Freshney
2005). Kultur organ adalah kultur dari sebagian organ atau seluruh organ embrio
secara in vitro dengan sifat-sifat kultur jaringan dan fungsi organ tersebut masih
dapat dipertahankan seperti keadaan in vivo. Kultur eksplant primer pada dasarnya
sama dengan kultur organ, perbedaannya hanya pada bagian organ yang dikultur
lebih kecil dari kultur organ yaitu antara 1 – 2 mm3. Teknik ini biasanya
digunakan apabila bagian organ yang tersedia hanya sedikit, misalnya biopsi
tumor dan jaringan. Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau
jaringan yang telah diuraikan secara mekanis atau enzimatis menjadi suspensi sel.
Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan
(monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung, atau cawan) atau
menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Malole 1990).
Teknik kultur jaringan tentu saja memiliki kelebihan dan keterbatasan.
Beberapa kelebihan teknik kultur jaringan antara lain adalah lingkungan tempat
sel atau jaringan ditumbuhkan dapat dikontrol melalui pengaturan pH, temperatur,
osmolaritas, dan konsentrasi gas (O2 dan CO2). Selain itu, kultur jaringan yang
telah mapan melalui beberapa pasase akan terdiri dari sel-sel homogen, dengan
demikian variasi yang timbul akibat pengulangan perlakuan dalam penelitian
dapat ditekan semaksimal mungkin. Penelitian dengan kultur jaringan juga lebih
ekonomis dibandingkan dengan percobaan menggunakan hewan percobaan biasa,
karena hanya memerlukan sedikit reagen yang akan diuji, sedangkan jika
menggunakan hewan percobaan sebagian besar reagen tersebut akan hilang
melalui ekskresi tubuh hewan (Freshney 2005).
Keterbatasan teknik kultur jaringan antara lain dalam pembuatan kultur
jaringan memerlukan keahlian dan keterampilan khusus yang menjamin bahwa
seluruh mata rantai prosedur pembuatannya terkontrol secara aseptis (Freshney
2005). Menurut Yadav dan Tyagi (2005) media yang digunakan untuk
menumbuhkan kultur jaringan sangat cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme
seperti bakteri, kapang, dan ragi yang tingkat pertumbuhannya lebih cepat dari sel
kultur jaringan itu sendiri sehingga sangat rentan terhadap kontaminasi. Selain itu,
biaya yang dibutuhkan untuk melakukan kultur jaringan relatif lebih mahal
dibandingkan mengambil sel dari jaringan hewan hidup karena mahalnya media
untuk pertumbuhan dan peralatan yang digunakan (Freshney 2005).
Kultur sel fibroblas merupakan kultur sel yang banyak dilakukan di
laboratorium. Sel ini berbentuk bulat setelah mengalami proses disosiasi dengan
tripsin, tetapi akan segera berubah memanjang membentuk spindel setelah
melekat pada permukaan yang keras. Sel fibroblas memiliki kemampuan tumbuh
yang sangat baik dengan doubling time berkisar antara 18–24 jam, sehingga
menjadi sel favorit untuk kultur sel. Selain itu, sel fibroblas dari embrio ayam
telah terbukti dapat dipasase hingga 30 kali (Butler 2004).
Sumber-Sumber Sel Fibroblas
Sumber sel untuk kultur dapat berasal langsung dari jaringan hewan atau
berasal dari koleksi kultur (cell banks). Pemilihan sumber sel ini didasarkan pada
tujuan dan metode penelitian. Penumbuhan sel yang berasal isolasi langsung dari
jaringan memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan dengan sel yang berasal
dari koleksi kultur. Selain itu, sel lestari (cell line) yang berasal dari koleksi
kultur memiliki karakteristik yang baik dalam hal pertumbuhan, asal, dan genetik
(Butler 2004). Contoh cell line fibroblas antara lain NIH 3T3 (gambar 2), BHK21, L, MRC-5, WI-38, dan Vero (McSharry 2001, Butler 2004).
Gambar 2. Kultur NIH 3T3 salah satu contoh cell line fibroblas dari embrio mencit
Sumber : www.flickr.com 2007
Kultur sel fibroblas umumnya menggunakan sel yang berasal dari isolasi
langsung dari jaringan. Sel fibroblas berasal dari sel mesenkim yang berkembang
dari lapis mesodermal embrio (Eurell dan Sickle 1998). Sel fibroblas biasa
ditemukan di jaringan ikat longgar terutama yang dekat dengan serabut kolagen.
Selain itu, juga banyak ditemukan pada jaringan yang sedang dalam tahap
persembuhan (repairing) dan pada jaringan yang sedang dalam tahap
pertumbuhan (Aughey dan Fyre 2001). Lokasi fibroblas antara lain langsung di
bawah sel-sel epitel usus, di sekitar epitel kelenjar, dan di bawah epidermis
(Butler 2004). Rat embryonic fibroblast (REF) berasal dari kultur otot embrio
tikus dengan umur kebuntingan 15 hari (Yamada et al. 1982). Mouse embryonic
fibroblast (MEF) berasal dari kultur otot embrio mencit pada umur kebuntingan
12,5 hari (Xiong et al. 2007).
Sistem Kultur Sel Fibroblas
Kultur sel secara in vitro merupakan model fungsi fisiologis keadaan in
vivo sehingga semua komponen kultur harus diperhatikan dengan baik. Terkadang
sel tidak bisa mengekspresikan fenotip yang sama dengan keadaan in vivo karena
perubahan-perubahan kecil dalam lingkungan pertumbuhannya. Pengaruh
lingkungan terhadap kultur sel antara lain terlihat pada jenis substrat atau tempat
sel tumbuh, bisa permukaan yang keras seperti plastik atau matriks kaku, bahan
semisolid seperti gel (kolagen atau agar), dan bahan cair; derajat kontak sel
dengan sel lainnya; kondisi psikokimia dan fisiologis dari medium; kadar gas; dan
temperatur inkubator (Freshney 2005).
Substrat merupakan tempat melekat sel agar dapat tumbuh, terutama sel
yang hanya dapat tumbuh jika melekat pada suatu substrat (anchorage-dependent
cell). Jenis substrat yang digunakan tergantung pada tipe sel dan tujuan studi yang
dilakukan. Substrat yang umum digunakan saat ini adalah plastik polystyrene
yang telah mengalami perlakuan khusus sehingga menjadi lembab dan bermuatan
negatif. Pada sel tertentu, seperti sel saraf, sel otot, dan beberapa jenis epitel;
plastik tersebut sebelumnya perlu dilapisi dengan gelatin, kolagen, atau polylysine
untuk memberikan muatan positif (Malole 1990).
Faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan kultur adalah kondisi
psikokimia dan fisiologis dari medium penumbuh sel. Pemilihan medium kultur
harus didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan
tujuan studi yang menggunakan sel tersebut. Medium penumbuh sel harus
menyediakan semua kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan alami sel
dalam lingkungan in vivo, agar sel tersebut dapat bertahan hidup, berkembang,
dan berdiferensiasi (Malole 1990). Medium penumbuh sel harus bisa
menyediakan semua kebutuhan nutrisi esensial bagi sel, dalam hal ini termasuk
kebutuhan raw materials yang dibutuhkan untuk sintesis sel baru, substrat untuk
metabolisme energi, vitamin dan trace mineral (Ham dan McKeehan 1979).
Medium yang umum digunakan dalam kultur sel mamalia adalah
Dulbecco’s modified Eagle’s medium (DMEM). Medium ini merupakan medium
kultur berupa buffer bikarbonat yang didesain untuk pH 7,2–7,4 pada keadaan 5%
CO2 dan 95% udara (Hogan et al. 1994). Nutrisi yang terkandung di dalam
DMEM adalah garam-garam anorganik (kalsium klorida, ferri nitrat, kalium
klorida, magnesium sulfat, natrium bikarbonat, natrium klorida, dan natrium
phosphat), D’glukosa, phenol red, dan asam amino (L-Arginin Hidroklor, LCystein.2HCl, L-Glutamin, Glycine, L-Histidin.HCl.H2O, L-Isoleusin, L-Lysine
Hidroksiklorida, L-Methionin, L-Phenilalanin, L-Serin, L-Treonin, L-Triptofan,
L-Tyrosin.2Na.2H2O dan L-Valine), vitamin (D-Kalsium Pentothenate, Koline
klorida, asam folat, L-Inositol, Niacinamide, Pyridoxin HCl, Riboflavin dan
Thiamine Hidroklorin) (Mather dan Roberts 1998).
Menurut Yadav dan Tyagi (2005) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi sel
selama pertumbuhan dapat ditambahkan serum atau ekstrak embrio ke dalam
medium. Penambahan serum atau ekstrak embrio ini memang sangat beresiko
terhadap kontaminasi, oleh karena itu perlu juga dilakukan penambahan antibiotik
seperti penisilin atau streptomisin ke dalam medium untuk mencegah terjadinya
kontaminasi.
Temperatur optimal untuk kultur sel tergantung pada suhu tubuh hewan
dari mana sel diisolasi, perbedaan letak anatomis (misalnya temperatur kulit dan
testis akan lebih rendah dibandingkan temperatur tubuh), dan pengaturan faktor
keamanan untuk menghindari kesalahan (error) pada inkubator seperti kejadian
overheating (Freshney 2005). Temperatur berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan sel. Selain itu, juga mempengaruhi pH melalui peningkatan
kelarutan CO2 pada temperatur rendah (Malole 1990).
Selain temperatur, pH merupakan komponen yang juga memegang
peranan penting dalam kegiatan kultur. Sebagian besar cell line tumbuh dengan
baik pada pH 7,4 (Malole 1990). Walau demikian, pH optimum untuk
pertumbuhan sel relatif sedikit bervariasi berdasarkan jenis sel masing-masing
(Freshney 2005). Cell line fibroblas menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik
pada pH antara 7,4–7,7, sedangkan sel yang sama tapi telah mengalami
transformasi tumbuh lebih baik pada pH antara 7,0–7,4 (Malole 1990, Freshney
2005).
Perubahan tekanan osmotik umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh
sebagian besar sel (Waymouth 1970 dalam Freshney 2005). Dalam praktek,
tekanan osmotik yang dapat diterima oleh sel berkisar antara 260 mosmol/kg
hingga 320 mosmol/kg (Freshney 2005). Khusus untuk mencit tekanan osmotik
yang dibutuhkan kurang lebih 310 mosmol/kg. Tekanan osmotik biasanya diukur
berdasarkan
depresi
titik
beku
atau
peningkatan
tekanan
uap dengan
menggunakan alat osmometer. Pengukuran osmolaritas merupakan bagian penting
untuk mengontrol kualitas terutama untuk medium yang dibuat sendiri (Malole
1990, Freshney 2005).
Sistem buffer yang biasa terdapat dalam medium adalah sistem
karbondioksida – bikarbonat yang sama seperti kondisi darah. Saat sel tumbuh, sel
menghasilkan CO2, tetapi CO2 tersebut tidak dapat keluar karena sudah banyak
CO2 di atas medium. Akibatnya, terjadi penguraian NaHCO3 dari medium yang
menghasilkan kelebihan ion H+ sehingga pH akan turun. Oleh karena itu, volume
ruangan di atas medium perlu diperhatikan karena pada waktu kultur dimulai
diperlukan 5% CO2 untuk mempertahankan pH dan mencegah keluarnya CO 2 dari
medium (Malole 1990). Keterkaitan antara CO2, ion HCO3-, dan pH satu sama
lain, menimbulkan kesulitan dalam menentukan pengaruh langsung dari CO 2
(Freshney 2005).
Peningkatan produksi sel pada kultur sangat tergantung pada kecukupan
penyediaan oksigen. Oksigen yang terlarut dalam media hanya sedikit yaitu 7,6
mikrogram/ml sedangkan tingkat penggunaannya oleh sel kurang lebih 6
mikrogram/10 juta sel setiap jam. Pemberian oksigen pada kultur dapat dilakukan
dengan beberapa cara antara lain pemberian udara pada permukaan medium,
difusi membrane, perfusi medium, dan pemompaan oksigen langsung ke dalam
media (Malole 1990).
Pemanfaatan Kultur Sel Fibroblas
Kultur sel fibroblas terutama cell line fibroblas banyak digunakan dalam
pengembangan teknik kultur sel. Sel fibroblas embrio mencit (NIH 3T3)
merupakan salah satu contohnya. Baby Hamster Kidney Fibroblast (BHK-21)
banyak digunakan dalam produksi vaksin, L yaitu cell line fibroblas dari tumor
jaringan ikat mencit banyak digunakan dalam pengembangan teknik kultur sel
selama tahun 1950-an, MRC-5 dan WI-38 yaitu sel fibroblas dari paru-paru
embrio manusia banyak dimanfaatkan dalam produksi vaksin untuk manusia, dan
Vero yang berasal dari ginjal Kera Hijau Afrika (African green monkey), juga
digunakan dalam produksi vaksin untuk manusia. (Malole 1990, McSharry 2001,
Butler 2004). Selain itu, Mouse embryonic fibroblast (MEFs) sering digunakan
sebagai feeder cells pada penelitian stem sel embrionik manusia (Rylova 2008).
Protein yang Dihasilkan oleh Sel Fibroblas
Menurut Prowse et al. (2007) conditioned medium fibroblas baik dari fetus
manusia (Human Fetal Fibroblast/HFF), manusia yang baru lahir (Human
Neonatal Fibroblast/HNF), maupun dari fetus mencit (Mouse Embryonic
Fibroblast/MEF) mengandung protein yang berperan dalam pluripotensi,
diferensiasi dan pertumbuhan (growth factor) sel. Beberapa protein yang
dihasilkan oleh MEF antara lain Follistatin-Related Protein 1, Insulin-like Growth
Factor 1, dan Pigment Epithelium-Derived Factor.
Metode Analisis Protein
Analisis protein dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain
metode liquid phase isoelectric focusing, metode imunopresipitasi, metode twodimensional gel electrophoresis, dan reversed phase liquid chromatography
(Hansson 2008).
Dalam penelitian ini, metode analisis protein yang digunakan adalah
metode
SDS
PAGE
Electrophoresis).
(Sodium
Dodecyl
Sulfate
Polyacrylamide
Gel
SDS PAGE merupakan metode untuk menganalisis
kemurnian protein dan untuk mengestimasi berat molekul protein. Lebih jauh lagi
SDS
PAGE
dapat
digunakan
untuk
memonitoring
purifikasi
protein,
menverifikasi konsentrasi protein, mendeteksi proteolisis, mendeteksi modifikasi
protein, dan mengidentifikasi adanya protein yang mengalami immunopresipitasi
(Ahmed 2005).
Komponen SDS PAGE adalah sodium dodecyl sulfate (SDS) dan gel
poliakrilamid. Sodium dodecyl sulfate merupakan sejenis detergent (sabun) yang
dapat mengganggu konformasi spesifik protein dengan cara melarutkan molekul
hidrophobik yang ada di dalam struktur tersier polipeptida (Campbell 1996). SDS
mengubah semua molekul protein kembali ke struktur primernya (struktur linear)
dengan cara meregangkan gugus utama polipeptida (Purves dan Rybicki 1998).
Selain itu, SDS juga menyelubungi setiap molekul protein dengan muatan negatif.
Hal inilah yang menyebabkan protein bergerak kearah muatan positif di sisi lain
gel.
Poliakrilamid merupakan polimer dari monomer akrilamid (Campbell
1998). Saat poliakrilamid berbentuk gel, maka akan terbentuk pori-pori kecil yang
membentuk labirin atau terowongan dan saluran yang memungkinkan molekul
bergerak (migrasi). Poliakrilamid merupakan medium yang tepat untuk
memisahkan protein berdasarkan ukuran karena ukuran pori-pori kecil yang
memungkinkan untuk memperlambat gerakan molekul (Purves dan Rybicki
1998).
Protein dengan berat molekul rendah akan bergerak lebih cepat melintasi
gel dibandingkan dengan protein dengan berat molekul besar. SDS PAGE
memisahkan protein berdasarkan berat molekul, sehingga berat molekul protein
bisa diestimasi dengan cara me-running protein standar (marker) yang berat
molekulnya telah diketahui (Ahmed 2005).
Gambar 3. Mekanisme sederhana SDS PAGE
Sumber : www.molecularstation.com 2008
Visualisasi protein dapat dilakukan dengan beberapa metode pewarnaan.
Menurut McGuigan dan Sharman (2006) metode pewarnaan yang umum
digunakan untuk SDS PAGE adalah coomasie blue. Metode pewarnaan lainnya
antara lain silver nitrat, copper, dan zink. Pemilihan metode pewarnaan tergantung
pada jenis protein, konsentrasi, dan tujuan yang diharapkan.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Juni 2010
bertempat di Laboratorium Embriologi, Bagian Anatomi Histologi dan
Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, serta Laboratorium
Pendidikan dan Layanan Terpadu, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain peralatan bedah,
timbangan digital, biosafety cabinet, inkubator, mikroskop, mikropipet, cawan
petri, object glass, cover glass, mikrofilter, spuid, tabung eppendorf, tabung
conical, gelas ukur, erlenmeyer, gelas piala, hemositometer, magnetic stirrer, dan
perangkat SDS-PAGE.
Bahan yang digunakan antara lain otot fetus tikus dengan umur
kebuntingan 14 hari, medium kultur Dulbecco’s modified Eagle’s medium
(mDMEM), yang dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial
(AANE) 10%, fetal calf serum (FCS) 10%, natrium bikarbonat (NaHCO3) 3 mM,
gentamisin 50 µg/ml, Phosphate Buffered Saline (mPBS) yang diberi tambahan
fetal calf serum (FCS) 10% dan gentamisin 50 µg/ml, mili-Q, tripsin 0,1%,
pewarna hematoksilin eosin, dan pewarna silver nitrat.
Prosedur Kerja
Isolasi Sel Fibroblas
Sel fibroblas diisolasi dari fetus tikus dengan umur kebuntingan 14 hari.
Bagian kepala, ekor, tungkai, dan organ dalam dari fetus dikeluarkan kemudian
bagian otot dicuci dengan larutan PBS hingga bersih. Bagian otot selanjutnya
dicacah hingga halus. Cacahan dimasukkan ke dalam larutan PBS yang
mengandung tripsin 0,1%, kemudian diinkubasi selama 30 menit sambil diaduk
menggunakan magnetic stirrer. Supernatan dimasukkan ke dalam tabung lalu
dilakukan sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 210 g. Pencucian
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan menggunakan larutan mPBS dan 2 kali
ulangan menggunakan medium mDMEM. Setelah pencucian terakhir, pelet
diresuspensi dalam medium mDMEM. Kemudian sel dihitung menggunakan
hemositometer untuk mendapatkan konsentrasi sel yang akan dikultur.
Kultur In vitro Sel Fibroblas
Suspensi yang diperoleh sesuai dengan hasil perhitungan konsentrasi sel
kemudian dikultur dalam 3 cawan petri yang masing-masing untuk pasase, koleksi
conditioned medium (CM), dan identifikasi sel. Suspensi sel dikultur selama 6
hari atau mencapai 90% konfluen di dalam inkubator 5% CO 2 pada suhu 37oC.
Untuk identifikasi, sel dikultur di dalam cawan petri yang telah dialasi dengan
cover glass. Penggantian medium dilakukan setiap 2 hari sekali untuk
menyediakan kembali nutrisi yang berkurang dan membuang sisa metabolisme
sel. Setelah 6 hari atau setelah kultur tersebut mencapai 90% konfluen, dilakukan
pasase, koleksi CM, dan pewarnaan sel fibroblas.
Pembuatan Conditioned Medium (CM)
Kultur yang telah mencapai 90% konfluen dibuang mediumnya kemudian
dicuci dengan larutan PBS. Selanjutnya, larutan PBS dibuang dan ganti dengan
medium DMEM. Sel kemudian dikultur kembali selama 2 hari. Setelah 2 hari,
medium dikoleksi sebagai CM yang akan dianalisa terhadap keberadaan protein
menggunakan SDS PAGE.
Pasase Sel Fibroblas
Kultur yang telah mencapai 90% konfluen dibuang mediumnya kemudian
dicuci dengan larutan PBS. Selanjutnya, larutan PBS dibuang lalu diganti dengan
larutan PBS yang mengandung tripsin 0,1%, didiamkan selama kurang lebih 5
menit sampai larutan tersebut terlihat keruh (proses disosiasi). Untuk
mempercepat proses disosiasi sel dapat dibantu dengan melakukan pemipetan
berulang. Larutan kemudian dimasukkan ke dalam tabung, lalu ditambahkan
larutan mPBS hingga volume mencapai minimal 3 ml. Larutan lalu disentrifugasi
selama 10 menit dengan kecepatan 210 g. Pencucian dilakukan 3 kali dengan
larutan mPBS, dan 1 kali dengan medium mDMEM. Supernatan dibuang, lalu
pelet yang mengendap diresuspensi dalam medium mDMEM, kemudian dikultur
kembali dalam 3 cawan petri seperti prosedur pada kultur sel fibroblas.
Evaluasi Hasil Kultur Sel Fibroblas
Morfologi Sel Fibroblas
Morfologi sel fibroblas diamati secara natif dan dengan pewarnaan
hematoksilin eosin (HE). Kultur sel yang ditumbuhkan di atas cover glass dibilas
dengan larutan PBS lalu difiksasi dengan buffer paraformaldehid 4% selama 24
jam. Setelah 24 jam, dilakukan penyimpanan di dalam alkohol 50% selama 2 jam
dan dilanjutkan dengan alkohol 70% sampai kultur sel akan diwarnai dengan HE.
Evaluasi morfologi sel dilakukan dengan mikroskop cahaya pada perbesaran
400x.
Pertumbuhan Sel Fibroblas
Untuk mengetahui terjadinya proliferasi sel, sebelum dan setelah kultur
baik pada kultur primer maupun setiap galur sel (setelah pasase) dilakukan
penghitungan jumlah sel menggunakan hemositometer Improved Neubauer,
dengan perhitungan sebagai berikut:
Total sel = Jumlah sel pada 5 kotak x faktor pengenceran x 104 (sel/ml)
Sedangkan Population Doubling Time (PDT) dihitung menggunakan
rumus:
PDT (hari) =
1
(log jumlah sel akhir log jumlah sel awal) x 3,32
waktu
Identifikasi Protein
Conditioned medium yang telah dikoleksi dari kultur primer, pasase 1,
pasase 5, dan pasase 9 kemudian dianalisa kandungan proteinnya menggunakan
SDS PAGE. Proses SDS PAGE diawali dengan pembuatan gel Poliakrilamid.
Kemudian, sampel CM sel fibroblas dimasukkan ke dalam sumur gel masingmasing sebanyak 15 µl setelah dicampurkan dengan loading buffer dengan
perbandingan 1 : 2. Disamping itu, dimasukkan pula larutan ukuran baku protein
sebagai marker (kontrol positif). Dalam penelitian ini marker yang digunakan
adalah Mark 12TM Unstained Standard (Invitrogen cat LC5677). Alat
elektroforesis dijalankan dengan kuat arus listrik 25 A, tegangan 120 V selama 3
jam. Setelah proses elektroforesis selesai, dilakukan proses visualisasi protein
dengan metode silver nitrat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro
Hasil pengamatan kultur sel otot fetus tikus menunjukkan secara
morfologi adanya dua bentuk sel, yakni sel fibrosit, berbentuk spindel pipih dan
sel fibroblas, berbentuk spindel agak membulat dengan beberapa penjuluran
sitoplasma (Gambar 4).
c
c
b
a
b
a
A
B
Gambar 4. Kultur in vitro sel fibroblas : A. Sel fibrosit; B. Sel fibroblas;
(a) Penjuluran sitoplasma, (b) Inti sel, (c) Sitoplasma; A-B
Preparat natif; Bar: 20 µm.
Sel fibroblas dan fibrosit memiliki inti sel yang berbentuk lonjong dan
memiliki satu atau dua nukleoli yang kadang-kadang terlihat. Hal ini sejalan
dengan Samuelson (2007) yang menyatakan bahwa sel fibrosit umumnya
berbentuk spindel dengan penjuluran sitoplasma yang saling bersentuhan.
Sedangkan, sel fibroblas memiliki bentuk yang lebih besar dibandingkan sel
fibrosit (Eurell dan Sickle 1998) dengan beberapa penjuluran sitoplasma yang
berbentuk irregular (Junquieira dan Carneiro 2005). Menurut Eurell dan Sickle
(1998) inti sel fibrosit hanya dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang berwarna
pucat. Sel fibrosit merupakan bentuk tidak aktif dari sel fibroblas (Junquieira dan
Carneiro 2005). Menurut Eurell dan Sickle (1998) sel fibrosit merupakan sel yang
paling umum ditemui pada jaringan ikat. Sel fibrosit memiliki kemampuan untuk
membelah diri dan kembali aktif menjadi fibroblas saat dibutuhkan untuk
memperbaiki jaringan yang rusak.
Selain dengan pengamatan secara natif, sel fibroblas juga diamati
morfologinya dengan pewarnaan HE (Gambar 5).
c
b
a
Gambar 5. Sel-sel fibroblas dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin. Inti sel
fibroblas terlihat dengan jelas (a) dengan satu atau dua nukleoli
(b), sedangkan bagian sitoplasma tidak terlalu jelas (c). Bar: 20
µm.
Menurut Aughey dan Fyre (2001) sel-sel fibroblas tidak dapat terwarnai
dengan baik menggunakan metode HE karena adanya kandungan bahan dasar
jaringan ikat yang berlimpah dan bersifat seperti gelatin. Pernyataan Aughey dan
Fyre (2001) ini mendukung hasil pewarnaan HE dalam penelitian ini. Berdasarkan
hasil pengamatan terlihat bahwa dengan pewarnaan HE sel-sel fibroblas hanya
terlihat jelas di bagian inti selnya saja, sedangkan sitoplasmanya kurang jelas.
Oleh karena sitoplasma sel tidak terlihat dengan jelas, sulit dilakukan pembedaan
antara sel fibroblas dengan sel fibrosit. Hal ini juga sejalan dengan Eurell dan
Sickle (1998) yang menyatakan bahwa dengan pewarnaan HE, hanya inti sel
fibroblas saja yang dapat terlihat jelas, sedangkan bagian membran plasmanya
tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan metode pewarnaan lain yang diharapkan
dapat mewarnai sel fibroblas dengan lebih baik misalnya pewarnaan Van Gieson,
Masson's trichrome, atau Periodic acid Schiff (PAS) yang merupakan jenis
pewarnaan jaringan ikat.
Pertumbuhan Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro
Hasil penghitungan jumlah sel fibroblas memperlihatkan terjadinya
peningkatan jumlah sel baik pada kultur primer maupun pada kultur galur sel
setelah mengalami pasase. Sedangkan dilihat dari PDT, tampak bahwa dengan
meningkatnya jumlah pasase, waktu PDT menjadi semakin kecil (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah dan PDT sel fibroblas pada kultur in vitro
Galur
Jumlah sel awal
Jumlah sel akhir
PDT (hari)
Kultur primer
6,0 x 106
16 x 106
4,2
1
2,4 x 106
6 x 106
3,7
5
1,2 x 106
3 x 106
2,2
9
2,0 x 105
6 x 105
1,9
Doubling time adalah periode waktu yang diperlukan oleh sel untuk
menjadikan jumlah atau ukurannya dua kali dari jumlah maupun ukuran semula
(Mader 2000). Semakin cepat proses proliferasi (pembelahan) sel, maka PDT
yang dicapai pun akan semakin cepat.
Pada kultur primer tampak bahwa PDT adalah 4,2 yang menunjukkan
bahwa waktu yang dibutuhkan untuk proses pembelahan sel adalah 4,2 hari,
waktu ini jauh lebih tinggi dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk proses
pembelahan sel secara in vivo yaitu berkisar 18–24 jam (Butler 2004). Hal ini
disebabkan komposisi sel pada kultur primer masih tidak homogen. Selain itu, selsel pada kultur primer belum bisa beradaptasi dengan lingkungan in vitro,
sehingga pertumbuhannya belum terlalu baik. Namun demikian, seiring dengan
dilakukannya pasase yang mengarah kepada homogenisitas sel, maka waktu yang
dibutuhkan oleh sel untuk membelah semakin cepat dan bahkan setelah sel
mengalami pasase ke 9, PDT menunjukkan nilai yang semakin mendekati kisaran
waktu normal yang dibutuhkan untuk pembelahan secara in vivo. Sel yang telah
mengalami beberapa kali pasase akan semakin homogen dan akan lebih mampu
beradaptasi dengan kondisi lingkungan in vitro. Menurut Freshney (2005) setelah
pasase ke tiga, sel yang dikultur akan menjadi lebih stabil dan mampu
berproliferasi dengan lebih cepat. Peningkatan jumlah sel ini berkolerasi dengan
hasil pengamatan morfologi sel. Semakin homogen sel di dalam kultur, maka
tingkat proliferasinya juga akan semakin cepat.
Menurut Freshney (2005), proliferasi sel dipengaruhi oleh faktor dari
lingkungan. Oleh karena itu, selain faktor homogenitas, salah satu faktor lain yang
sangat berpengaruh terhadap tingkat proliferasi sel adalah kepadatan sel. Sel
dermal fibroblas akan berkembang relatif seragam (uniform) pada kultur dengan
kepadatan rendah (sekitar 104 sel/ml), dan sebaliknya pada kultur dengan
kepadatan tinggi (sekitar 105 sel/ml), sel yang berkembang akan relatif tidak
seragam, terjadi induksi terhadap sel untuk berdiferensiasi, dan terjadi
penghambatan proliferasi sel (Freshney 2000). Sel fibroblas dalam penelitian
dikultur dengan konsentrasi 105 yang menurut Freshney (2000) termasuk dalam
kategori padat, oleh karenanya proliferasi sel juga tidak berjalan dengan baik.
Penghambatan proliferasi sel dapat diinisiasi oleh kontak antar sel dan
ditonjolkan oleh kepadatan, perubahan resultan pada bentuk sel, dan penurunan
penyebaran sel (Freshney 2005). Kepadatan menyebabkan terjadinya induksi dan
diferensiasi karena kontak antar sel memungkinkan terbentuknya gap junction dan
menyebabkan metabolit mengsinkronisasi ekspresi diferensiasi di dalam populasi
sel. Hal ini umumnya terjadi saat populasi sel telah menutupi seluruh permukaan
tempat sel ditumbuhkan atau dikenal dengan istilah konfluen (Butler 2004).
Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi proliferasi sel adalah nutrisi (Freshney
2000). Tetapi dalam penelitian ini, faktor nutrisi tidak mempengaruhi proliferasi
sel, karena semua sel menggunakan medium dengan kandungan nutrisi yang
sama.
Identifikasi protein
Conditioned medium
yang
mengandung
sekreta
protein
yang
diekskresikan oleh sel dalam kultur di analisis kandungannya menggunakan
metode Sodium Dodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDS
PAGE) dilanjutkan dengan metode pewarnaan silver nitrat (Gambar 6).
Gambar 6.
Hasil SDS PAGE conditioned medium kultur sel fibroblas
dengan visualisasi protein menggunakan metode silver nitrat.
Semua sampel memiliki BM kurang lebih 36,5 kDa. (M:
Marker; KP: Kultur primer; P1, P5, P9: Kultur galur sel 1, 5,
dan 9).
Estimasi berat molekul protein yang terkandung di dalam CM kultur sel
fibroblas dilakukan dengan menggunakan perbandingan berat molekul protein
standar (marker) yang di-running secara bersamaan dengan CM kultur sel
fibroblas. Hasil pewarnaan memperlihatkan pita (band) yang sejajar baik dari
kultur primer, pasase 1, pasase 5, maupun pasase 9. Hal ini menunjukkan bahwa
berat molekul protein dari keempat sampel CM yang dievaluasi adalah sama.
Estimasi berat molekul protein berdasarkan marker yang digunakan adalah 36,5
kDa.
Ketebalan pita protein yang dihasilkan oleh tiap sampel berbeda. Pita
protein yang paling tebal adalah pita protein dari CM kultur primer dan pasase 1
dengan ketebalan pita yang hampir sama. Selanjutnya adalah pasase 5 dan yang
paling tipis adalah pita protein dari CM pasase 9. Ketebalan pita protein ini
dipengaruhi oleh jumlah sel fibroblas yang ada di dalam kultur. Semakin sedikit
jumlah sel fibroblas maka dapat diasumsikan bahwa konsentrasi protein yang
disekresikan ke dalam CM juga semakin sedikit. Sesuai dengan data pengamatan
pertumbuhan sel, jumlah total sel di akhir setiap pasase semakin menurun. Oleh
karena itu, pita protein yang dihasilkan juga semakin lama semakin tipis.
Penurunan jumlah sel akhir ini dikarenakan jumlah sel awal yang dikultur
konsentrasinya tidak sama.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah berdasarkan
pengamatan morfologi terdapat dua bentuk sel yakni sel fibroblas daan sel
fibrosit, berdasarkan nilai population doubling time, kecepatan proliferasi
meningkat pada setiap galur sel; dan pertumbuhan serta sekresi protein kultur in
vitro sel-sel fibroblas fetus tikus dapat dipertahankan hingga pasase 9.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan
pertumbuhan sel fibroblas sampai pasase selanjutnya. Selain itu, perlu juga
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
terhadap
identifikasi,
purifikasi,
penghitungan konsentrasi protein yang dihasilkan oleh sel fibroblas.
dan
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed H. 2005. Principles and Reactions of Protein Extraction, Purification, and
Characterization. CRC Press.
Anonimus.
2008.
Protein
Gel
Electrophoresis
www.molecularstation.com. [26 Februari 2010].
Method.
Aughey E, Fyre FL. 2001. Comparative Veterinary Histology with Clinical
Correlates. London: Manson Publishing.
Bloom H, Beier H, Gross HS. 1987. Improved Silver Staining of Plant Proteins,
RNA and DNA in Polyacrilamide Gels. Electrophoresis 8: 93-99.
Butler M. 2004. Animal Cell Culture & Technology 2nd ed. London: Bios
Scientific Publisher, Taylor & Francis Group.
Campbell NA. 1996. Biology 4th ed. New York: The Benjamin/Cummings
Publishing Co. INC.
Campbell MA. 1998. SDS/PAGE (Polyacrylamide Gel Electrophoresis).
http://www.bio.davidson.edu/Biology/Courses/Molbio/SDSPAGE/SDSPA
GE.html. [12 Maret 2010].
Compton T. 1993. An Immortalized Human Fibroblast Cell Line is Permissive for
Human Cytomegalovirus Infection. Journal of Virology 67(6): 36443648.
Dixon MW. 2007. Myofascial Massage. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Efendi A. 2009. Pengaruh Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CMREF) Dengan dan Tanpa Leukimia Inhibitory Factor (LIF) dalam Medium
terhadap Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell
Sumsum Tulang Tikus dalam Kultur In Vitro [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedoteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Eurell JAC, Sickle DCV. 1998. Connective and Supportive Tissues. Di dalam
Dellmann HD dan Eurell JAC, editor. Textbook of Veterinary Histology 5th
ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
Freshney RI. 2000. Introduction to Basic Principles. Di dalam Masters JRW,
editor. Animal cell culture: a practical approach. New York: Oxford
University Press.
Freshney RI. 2005. Culture of Animal Cells a Manual Basic Technique 5th ed.
New York: Wiley-liss, a John Wiley & Sons, Inc, Pub.
Ham RG, McKeehan WL. 1979. Cell Culture. Jakoby WB dan Pastan IH, editor.
San Diego: Academic Press, Inc.
Hansson S. 2008. Proteomic strategies for analysis of cerebrospinal fluid in
neurodegenerative disorders. Sweden: Intellecta Docusys.
Harrison MA, Rae IF. 1997. General Technique of Cell Culture. UK: Cambridge
University Press.
Hogan B, Beddington R, Costantini F, Lacy E. 1994. Manipulating The Mouse
Embryo. New York: Cold Spring Harbor Laboratory Press.
Johnson JA, Heneine W. 2001. Characteristic of Endogenous Avian Leucosis
Viruses in a Chick Fibroblast Substrate Used in The Production of
Measles and Mumps Vaccines. Journal of Virology 75(8): 3605-3612.
Junquieira LC, Carneiro J. 2005. Basic Histology 11th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies Inc.
Lavenstein ME, Ludwig TE, Xu RH, Llanas RA, VanDenHeuvel-Kramer K,
Manning D, Thomson JA. 2006. Basic Fibroblast Growth Factor Support
of Human Embryonic Stem Cell Self-Renewal. Stem Cells 24: 568-574.
Mader SS. 2000. Human Biology. Iowa: McGraw Hill.
Mallon BS, Park KY, Chen KG, Hamilton RS, McKay RDG. 2006. Toward
Xeno-Free Culture of Human Embryonic Stem Cells. The International
Journal of Biochemistry & Cell Biology 38: 1063–1075.
Malole MBM. 1990. Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat
Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Mather JP, Roberts PE. 1998. Introduction to Cell and Tissue Culture. New York:
Plenum Press.
McGuigan M, Sharman M. 2006. Skeletal Muscle Structure and Function. Di
dalam Maud PJ dan Foster C, editor. Fhysiological Assessment of Human
Fitness 2nd ed. USA: Sheridan Books.
McSharry BP, Jones CJ, Skinner JW, Kipling D, Wilkinson GWG. 2001. Human
Telomerase Reverse Transcriptase-Immortalized MRC-5 and HCA2
Human Fibroblasts are Fully Permissive for Human Cytomegalovirus.
Journal of General Virology 82: 855-863.
Navsaria HA, Sexton C, Bouvard C, Leigh IM. 1994. Growth of Keratinocytes
with a 3T3 Feeder Layer Basic Technique. Di dalam Leigh IM, Watt FM,
editor. Keratinocytes Methods. USA: Cambridge University Press.
Olsen JC, Johnson LG, Yankaskas JR. 1997. Method For The Use Of Retroviral
Vectors For Transfer Of The Cftb Gene To Airway Epithelium. Di dalam:
Robbins PD, editor. Gene Therapy Protocols. New Jersey: Humana Press.
Pereira RC, Economides AN, Canalis E. 2000. Bone Morphogenetic Proteins
Induce Gremlin, a Protein That Limits Their Activity in Osteoblasts.
Endocrinology 141: 4558-4563.
Prowse ABJ, McQuade LR, Bryant KJ, Marcal H, Gray PP. 2007. Identification
of Potential Pluripotency Determinants for Human Embryonic Stem Cells
Following Proteomic Analysis of Human and Mouse Fibroblast
Conditioned Media. Journal of Proteome Research 6: 3796-3807.
Purves M, Rybicki E. 1998. SDS Polyacrylamide Gel Electrophoresis (SDSPAGE). http://www.uct.ac.za/depts/microbiology/sdspage.html. [1 Juli
2010].
Raffy R. 2007. 3T3 Mouse Fibroblasts. http://www.flickr.com /photos/dendrite/
1057852632/ in/photostream. [7 Agustus 2010].
Reya T, Morrison SJ, Clarke MF, Weissman IL. 2001. Stem Cells, Cancer and
Cancer Stem Cells. Nature 414: 105-111.
Ross MH. 1995. Histology a Text and Atlas. 3rd ed. USA: William & Wilkins,
Baltimore.
Rylova SN, Randhawa PK, Bautch VL. 2008. In Vitro Differentiation of Mouse
Embryonic Stem Cells into Primitive Blood Vessel. Di dalam Cheresh
DA, editor. Methods in Enzymology Volume 443 Angiogenesis In Vitro
Systems. London: Elsevier Inc.
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Histology. Missiori: Saunders
Elsevier.
Trautmann A, Fiebiger J. 1957. Fundamentals of The Histology of Domestic
Animals. New York: Comstock Publishing Associates.
Van Den Bos C et al. 1997. Human Mesenchymal Stem Cells Respond to
Fibroblast Growth Factors. Human Cell 10(1): 45-50.
Wobus AM, Boheler KR. 2006. Stem Cells. Germany: Springer.
Xiong J, Liu Z, Liu X. 2007. Induced differentiation of mouse embryonic stem
cell into endothelial cell in vitro. Zhongguo Xiu Fu Chong Jian Wai Ke Za
Zhi (9): 994-998.
Xu C, Rosler E, Jiang J, Lebkowski JS, Gold JD, O’Sullivan C, Delavan-Boorsma
K, Mok M, Bronstein A, Carpenter MK. 2005. Basic Fibroblast Growth
Factor Supports Undifferentiated Human Embryonic Stem Cell Growth
Without Conditioned Medium. Stem Cells 23(3): 315-323.
Yadav PR, Tyagi R. 2005. Cell Culture. New Delhi: Discovery Publishing House.
Yamada M, Ikegami N, Okigaki T. 1982. Proteins From Fibroblast Conditioned
medium and Enhance Cell Adhesion, Spreading, and Growth. Proc. Japan
Acad. 58: 160-164.
Yamanaka S. 2008. Induction of Pluripotent Stem cells From Mouse Embryonic
Fibroblast by Four Transcription Factors. Cell Proliferation 41: 51-56.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM
Medium kultur DMEM merupakan medium Dulbecco’s Modified Eagle’s
Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam
amino non-esensial (AANE; Sigma) 10%, fetal calf serum (FCS; Gibco) 10%,
NaHCO3 3mM, dan gentamisin 5µg/ml. Pembuatan 200 ml DMEM diperlukan 2
gram serbuk DMEM, 0,37 gram serbuk NaHCO3, 200 µl larutan asam amino nonesensial, dan 250 µl gentamisin. Selanjutnya, ditambahkan aquades hingga
volume mencapai 200 ml. penambahan 10 ml FCS dilakukan saat medium akan
digunakan untuk kultur. Medium yang telah ditambah FCS selanjutnya
disterilisasi dengan menggunakan mikrofilter 0,22 µm. Setelah medium steril,
medium diinkubasi di dalam inkubator dengan suhu 37oC dan 5% CO2 sebelum
digunakan sebagai medium kultur.
Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS
Larutan PBS merupakan larutan phosphate buffered saline (PBS; Gibco)
yang diberi tambahan fetal calf serum 0,1 % dan gentamisin 5µg/ml. Pembuatan
100 ml PBS diperlukan 0,96 gram serbuk PBS, 125 µl gentamisin, lalu
ditambahkan aquades hingga volume mencapai 100 ml. Selanjutnya, larutan
ditambah FCS sebanyak 100 µl kemudian larutan disterilisasi dengan mikrofilter
0,22 µm. Sebelum digunakan untuk kultur PBS diinkubasi terlebih dahulu di
dalam inkubator pada suhu 37oC dan 5% CO2.
Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE
Kultur sel yang ditumbuhkan di atas cover glass dibilas dengan larutan
PBS lalu difiksasi dengan buffer paraformaldehid 4% selama 24 jam. Selanjutnya,
kultur sel difiksasi di dalam alkohol 50% selama 2 jam dan dilanjutkan dengan
alkohol 70% sampai kultur sel akan diwarnai dengan HE. Saat kultur sel akan
diwarnai, terlebih dahulu dilakukan proses stopping point dengan cara merendam
kultur sel di dalam alkohol 50% selama 3 menit. Selanjutnya, direndam di dalam
aquades selama 5 menit, hematoksilin 4 menit, dan dibilas dengan aquades.
Kemudian dilakukan perendaman di dalam eosin selama 2 menit, lalu dibilas
dengan aquades. Pewarnaan dilanjutkan dengan dehidrasi bertingkat dalam
alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, 100%, 100%, 100%, masing-masing selama 10
menit. setelah itu, dilanjutkan dengan xilol sebanyak dua kali ulangan. Terakhir,
dilakukan mounting pada object glass dengan menggunakan entelan. Evaluasi
morfologi sel dilakukan dengan mikroskop cahaya pada perbesaran 400x.
Lampiran 4 Pembuatan Stock Reagent
-
Pembuatan SDS 10%
Serbuk SDS sebanyak 10 gram dilarutkan dalam 60 ml aquades, kemudian
dihomogenkan. Setelah larutan homogen, ditambahkan aquades hingga
volume mencapai 100 ml.
-
Pembuatan Amonium Persulfat 10%
Sebanyak 100 mg serbuk ammonium persulfat dilarutkan di dalam 1 ml
aquades, kemudian dihomogenkan.
-
Pembuatan Bisakrilamid
Pembuatan bisakrilamid membutuhkan 146 gram akrilamid dan 4 gram
N,N’Methylene-bis Acrylamide, dilarutkan dalam 500 ml aquades.
-
Pembuatan Tris-HCl 1,5M pH 8,6
Sebanyak 54,45 gram serbuk Tris Base dilarutkan dalam 150 ml aquades.
pH larutan diatur dengan penambahan HCl. Setelah pH tercapai, larutan
ditambah aquades hingga volume mencapai 300 ml.
-
Pembuatan Tris-HCl 0,5M pH 6,8
Serbuk Tris Base sebanyak 6 gram dilarutkan dalam 60 ml aquades,
kemudian pH diatur dengan penambahan HCl. Selanjutnya larutan
ditambah aquades hingga volume mencapai 100 ml.
Lampiran 5 Pembuatan Gel Poliakrilamid
Gel poliakrilamid terdiri dari dua bagian yaitu separating gel dan stacking
gel.
- Separating gel
Separating gel 12% dibuat dengan memasukkan berturut-turut larutan
bisakrilamid sebanyak 6 ml, aquades 5,025 ml, Tris HCl 1,5M (pH 8,6) sebanyak
3,75 ml, SDS 10% 0,15 ml, ammonium persulfat 10% sebanyak 75 µl, dan
TEMED 7,5 µl ke dalam tabung erlenmeyer. Setelah tercampur homogen, larutan
dimasukkan ke dalam celah diantara dua lempeng kaca sampai memenuhi tiga
perempat lempeng kaca tersebut. Diamkan beberapa menit, hingga gel mengeras.
- Stacking gel
Stacking gel 4% dibuat dengan mencampurkan berturut-turut larutan
bisakrilamid sebanyak 0,325 ml, aquades 1,5025 ml, Tris HCl 0,5M (pH 6,8)
sebanyak 0,625 ml, SDS 10% 25 µl, ammonium persulfat 10% 12,25 µl, dan
TEMED 2,5 µl. Larutan stacking gel dimasukkan di atas separating gel yang telah
mengeras sampai batas atas lempeng kaca, kemudian sisir disisipkan diantara
kedua lempeng kaca untuk membentuk sumur tempat sampel diletakkan. Gel
dibiarkan hingga memadat, lalu sisir dilepas dan lempeng kaca dipasang pada
chamber alat elektroforesis.
Lampiran 6 Pembuatan Stock Buffer dan Running Buffer
Sebelum pembuatan running buffer, terlebih dahulu dilakukan pembuatan
stock buffer. Stock buffer dibuat dengan mencampurkan serbuk Tris Base
sebanyak 1,5 gram, glycine 7,2 gram, dan SDS 0,5 gram. Kemudian, untuk
membuat running buffer 1x yang siap pakai, maka 100 ml stock buffer diencerkan
dalam 400 ml aquades. Larutan tersebut kemudian diatur pH-nya hingga
mencapai 8,3 dengan menambah NaOH atau HCl.
Lampiran 7 Prosedur Pewarnaan Silver Nitrat
Proses fiksasi dilakukan selama 30 menit. Larutan fiksasi dibuat dengan
cara mencampurkan 100 ml etanol absolut dengan 25 ml asam asetat glasial, lalu
ditambah aquades hingga volume mencapai 250 ml. Proses sensitisasi dilakukan
selama 30 menit sambil digoyangkan secara perlahan. Larutan sensitisasi dibuat
dengan cara mencampurkan 75 ml etanol absolut dengan 1,25 ml glutaraldehid,
10 ml sodium tiosulfat, dan 10 ml sodium asetat, lalu ditambah aquades hingga
volume mencapai 250 ml. Proses pencucian gel dilakukan dengan aquades selama
5 menit dengan 3 kali pengulangan. Proses pewarnaan dilakukan selama 20 menit
sambil menggoyangkan wadah secara perlahan. Pembuatan larutan pewarna
(larutan silver nitrat) dengan cara mencampurkan 25 ml larutan silver nitrat
dengan 0,1 ml formaldehid, lalu ditambah aquades hingga volume mencapai 250
ml. Proses pencucian kembali dengan aquades selama 1 menit sebanyak 2 kali
pengulangan. Proses developing dilakukan selama 2 menit, hingga larutan
developing tampak berwarna cokelat. Proses ini menggunakan campuran sodium
carbonate 6,25 g dengan 0,05 ml formaldehid, lalu ditambah aquades hingga
volume mencapai 250 ml. Proses stopping selama 10 menit menggunakan larutan
EDTA-Na2.2H2O (3,65 g) dalam 250 ml aquades. Terakhir, gel dicuci dengan
aquades selama 5 menit dengan 3 kali pengulangan.
Download