PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG KOMPETENSI GURU DAN ANTUSIASME BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SOSIOLOGI PADA SISWA KELAS X SMAN 4 SURAKARTA Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Oleh: Isni Dwi Rahma K8406027 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 ABSTRAK Isni Dwi Rahma. PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG KOMPETENSI GURU DAN ANTUSIASME BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SOSIOLOGI PADA SISWA KELAS X SMAN 4 SURAKARTA, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2010. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh yang signifikan antara: (1) Persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi, (2) Antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi, (3) Persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasi. Populasi adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4 Srakarta, sampel ini diambil dengan mempergunakan teknik random sampling. Sampel yang diambil adalah sebanyak 15 % dari jumlah populasi, yakni sebanyak 51 siswa dari 340 siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempergunakan teknik angket dan dokumentasi. Teknik analisis data yang dipergunakan adalah analisis statistik dengan regeresi ganda. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Persepsi siswa tentang kompetensi guru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar sosiologi dengan sumbangan efektif sebesar 23,796 % atau 24 % sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”, diterima, (2) Antusiasme belajar tidak berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi karena sumbangan efektif hanya sebesar 0,653 % atau 1 %, sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”, ditolak, namun ada hubungan positif yang signifikan antara antusiasme belajar dengan prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta (3) Persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar sosiologi dengan sumbangan efektif sebesar 24,448% atau 24 %, sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”, diterima. MOTTO “Succes is going from failure to failure without loss of enthusiasm” (Keberhasilan berjalan dari kegagalan ke kegagalan tanpa kehilangan antusiasme) (Winston Churcill) “Keberhasilan bukanlah diukur dengan apa yang telah kita raih, melainkan dengan kegagalan yang telah kita hadapi dan keberanian yang membuat kita tetap bertahan dan berjuang melawan rintangan yang datang” (Penulis) PERSEMBAHAN Teriring rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT, maka penulis mempersembahkan karya ini kepada: 1. Orang yang pertama kali bersedia menerima, mencintai, menyayangi, serta mengasihi saya, yakni kedua orang tua saya; Bambang Ruseno dan Masni Herawati. 2. Keluarga besar Sulaiman Roni atas semua bantuan dan bimbingannya. 3. Kak Havid, Abang Rory atas kasih sayang, semangat serta nasihatnya dan Adinda Artha yang telah menjadi penyemangat hidup saya. 4. Angkatan 2006 Sosiologi Antropologi atas keceriaan dan dukungannya. 5. Teman kos Annisa 2 yang selalu memberi bantuan dan dukungan yang tak terhingga; Vaulla, Frenty, Chucus, Mbak Na, Mbak Vita, Desi, dan Lia. KATA PENGANTAR Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini dengan baik. Banyak hambatan yang timbul dalam penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripi ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu, atas segala bantuan yang telah diberikan, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan FKIP UNS yang telah memberikan izin penulisan skripsi; 2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, Ketua Jurusan P. IPS yang telah memberikan persetujuan skripsi; 3. Drs. MH. Sukarno, M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi yang telah memberikan izin penulisan skripsi; 4. Dr. Zaini Rohmad, M.Pd, pembimbing I dan Drs. Tentrem Widodo, M.Pd, pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan dan dorongan kepada peneliti sehingga skripi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Yosafat Hermawan Trinugraha, S.Sos, pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menjadi mahasiswi di Program Pendidikan Sosiologi Atropologi FKIP UNS; 6. Drs. Edy Pudiyanto, M.Pd, Kepala Sekolah, dewan guru dan staf, serta siswasiswi SMAN 4 Surakarta. 7. Teman-teman seperjuangan dan seangkatan di Program Studi Sosiologi Antropologi angkatan 2006; 8. Dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu menyelesaikan skripsi ini. Menyadari akan keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti maka semua kritik dan saran yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan. Harapan peneliti, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Surakarta, Juli 2010 Peneliti Isni Dwi Rahma DAFTAR ISI JUDUL ………………………………………………………….. i PENGAJUAN …………………………………………………... ii PERSETUJUAN ………………………………………………… iii PENGESAHAN …………………………………………………. iv ABSTRAK ………………………………………………………. v ABSTRACT ……………………………………………………... vi MOTTO …………………………………………………………. vii PERSEMBAHAN ………………………………………………... viii KATA PENGANTAR …………………………………………… ix DAFTAR ISI …………………………………………………….. xi DAFTAR TABEL ……………………………………………….. xiii DAFTAR GAMBAR …………………………………………….. xiv DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………... xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah …………………………………. 1 B. Perumusan Masalah ……………………………………… 7 C. Tujuan penelitian ………………………………………… 8 D. Manfaat Penelitian ………………………………………. 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Prestasi Belajar Sosiologi ……………………………… 10 2. Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru …………… 27 3. Antusiasme belajar ……………………………………. 51 B. Kerangka Berpikir ……………………………………….. 60 C. Hipotesis …………………………………………………. 61 BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu Penelitian …………………………. 63 B. Populasi Dan Sampel …………………………………… 64 C. Teknik Pengumpulan Data …………………………….... 69 D. Rancangan Penelitian …………………………………… 73 E. Teknik Analisis Data ……………………………………. 78 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data 1. Deskripsi Lokasi Penelitian …………………………... 84 2. Deskripsi Data Penelitian …………………………….. 85 B. Pengujian Persyaratan Analisis ………………………….. 91 C. Pengujian Hipotesis ……………………………………… 93 D. Pembahasan Hasil Analisis Data ………………………… 96 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan …………………………………………………. 103 B. Implikasi …………………………………………………. 104 C. Saran ……………………………………………………… 105 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………. 107 LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………….. 110 DAFTAR TABEL Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian …………………………………. 63 Tabel 2. Deskripsi Data Variabel C 1 .................................................. 86 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Variabel C 1 ......................................... 87 Tabel 4. Deskripsi Data Variabel C 2 ................................................. 88 Tabel 5. Distribusi Frekuensi Variabel C 2 ........................................ 88 Tabel 6. Deskripsi Data Variabel Y ................................................... 90 Tabel 7. Distribusi Frekuensi Variabel Y ……………………………. 90 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Proses Terjadinya Persepsi ………………………….. 30 Gambar 2. Skema Proses Terjadinya Persepsi ………………….. 32 Gambar 3.Skema lanjutan Proses Terjadinya Persepsi …………. 33 Gambar 4. Skema Proses Terjadinya Persepsi II ……………….. 33 Gambar 5. Hukum Kesamaan …………………………………… 49 Gambar 6. Contoh Hukum Kontinuitas …………………………. 50 Gambar 7.Contuh Hukum Closure ………………………………. 50 Gambar 8. Keranngka Pemikiran ……………………………….. 61 Gambar 9. Grafik Histogram Variabel C 1 ................................. 87 Gambar 10. Grafik Histogram Variabel C 2 ............................... 89 Gambar 11. Grafik Histogram Variabel Y ……………………….. 91 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu usaha pemerintah untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas adalah melalui pendidikan. Seperti yang telah diatur dalam UUD 1945 BAB XIII pasal 31 ayat (1) yang berbunyi : “Tiaptiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (3) yang berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang.” Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek kepribadiannya. Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan kelompok dan dalam kehidupan setiap individu. Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, terutama dalam membangun watak bangsa. Masyarakat yang cerdas akan memberikan nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan membentuk kemandirian serta kreativitas yang tinggi. Melalui pendidikan yang baik, maka bangsa Indonesia dapat membebaskan diri dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui pendidikan pulalah bangsa ini dapat mengembangkan sumber daya manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk dapat bersanding dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain didunia. Tanpa adanya perbaikan didunia pendidikan, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam keterpurukan dan keterbelakangan. Bangsa kita juga akan terus menerus berada dalam kebodohan dan kemiskinan. Untuk mengatasi hal tersebut maka bangsa indonesia harus mempersiapkan sumber daya manusia yang bermutu melalui pendidikan 2 yang berkualitas sehingga dapat melahirkan sumber daya manusia yang juga berkualitas. Pendidikan yang baik bermula dari sebuah kegiatan yang terlihat sederhana namun merupakan kunci dari sebuah pendidikan, yakni kegiatan belajar mengajar. Kegiatan Belajar mengajar merupakan suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir, dll. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kualitas dan kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang. Perlu kita pahami bahwasanya belajar tidak hanya meliputi mata pelajaran, tetapi juga penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat, penyesuaian sosial, bermacam-macam keterampilan, dan cita-cita. Belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lengkap. Tidak semua perubahan perilaku berarti belajar. Seperti yang dicontohkan oleh Oemar Hamalik, orang yang tangannya patah karena kecelakaan mengubah tingkah lakunya, tetapi kehilangan tangan itu sendiri bukanlah belajar. Mungkin orang itu melakukan perbuatan belajar untuk mengimbangi tangannya yang hilang itu dengan mempelajari keterampilan-keterampilan baru (2009: 45). Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan suatu peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut sebenarnya belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia mengalami kegagalan didalam proses belajar. Pada dasarnya perubahan tidak selalu harus menghasilkan perbaikan ditinjau dari nilai-nilai sosial. Seorang penjahat mungkin sekali menjadi seorang yang sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial hal itu bukanlah berarti perbaikan. 3 Didalam proses belajar mengajar pada dunia pendidikan, prestasi belajar merupakan tolok ukur yang utama untuk mengetahui keberhasilan belajar seseorang. Prestasi belajar menentukan apakah seorang siswa dapat dinyatakan berhasil atau tidak dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Seperti misalnya standar kelulusan ujian nasional, menurut Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kamaluddin, kelulusan setiap tahun mengalami kenaikan. Tahun ajaran 2006/2007 standarnya 4.25, tahun ajaran 2007/2008 standarnya 5.00, tahun ajaran 2008/2009 standarnya 5.25, dan tahun ini standarnya 5.50. Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran kompetensi keahlian kejuruan dipatok (http://www.diknas.go.id/headline.php?id=191). Hal minimal ini 7.00 menandakan bahwasanya capaian prestasi belajar seorang siswa menjadi penentu apakah seorang siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak. Pada tahun ajaran 2008/2009 persentase kelulusan Ujian Nasional (UN) untuk jenjang SMA secara nasional mengalami kenaikan. Persentase kelulusan jenjang sekolah menengah atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) pada tahun 2009 ini mencapai 93,74 persen, naik sebanyak 2,42 persen dari sebelumnya pada tahun 2008 yakni 91,32 persen. Rerata nilai UN SMA/MA naik sebanyak 0,04 dari 7,21 pada tahun 2008 menjadi 7,25 pada tahun 2009. Untuk jenjang SMA negeri tingkat kelulusannya 91,36 persen, sedangkan untuk swasta 95,14 persen (http://oke.or.id/2009/06/persentasekelulusan-un-20082009-naik/). Seorang siswa yang prestasinya tinggi dapat dikatakan bahwa ia telah berhasil dalam belajar. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Prestasi belajar yang dicapai oleh siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari diri siswa (faktor internal) maupun dari luar siswa (faktor eksternal). Faktor internal diantaranya adalah minat, bakat, motivasi, tingkat intelegensi, sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor metode pembelajaran dan lingkungan. 4 Salah satu faktor dari dalam diri siswa yang menentukan berhasil tidaknya siswa dalam proses belajar mengajar adalah motivasi belajar. Menurut asal katanya, motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti menggerakkan. Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar. Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Seorang siswa yang mempunyai intelegensi yang cukup tinggi, bisa gagal karena kurang adanya motivasi dalam belajarnya. Motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi seorang guru mengetahui motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara dan meningkatkan semangat belajar siswa, sementara bagi siswa motivasi belajar dapat menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa terdorong untuk melakukan perbuatan belajar dan meningkatkan prestasi belajar siswa. Selain motivasi yang ada di dalam diri seorang pelajar, untuk mencapai prestasi belajar yang baik di dalam kegiatan belajar mengajar haruslah didukung oleh adanya antusiasme atau semangat. Kata antusias yang selama ini kita dengar pada dasarnya berasal dari kata (enthusiast) atau antusiasme (enthusiasm) berasal dari bahasa Yunani kuno “entheos” yang berarti “Tuhan di dalam” dan antusias berarti “diilhami dari Tuhan”. Sedangkan menurut kamus Webster, antusiasme berarti “kegairahan yang kuat terhadap salah satu sebab atau subyek; semangat atau minat yang berapi-api; kegairahan.” Antusiasme adalah gairah dalam diri kita yang diikuti dengan perasaan terinspirasi sesuatu, termotivasi untuk mewujudkan sesuatu disertai daya optimis dan kreativitas. (http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme----rahasia---keberhasilan---yang-jarang-dikenal/). Antusias atau antusiasme dapat juga diartikan sebagai sikap, yakni sikap untuk melakukan sesuatu tanpa paksaan bahkan selalu ingin melakukannya. Sikap antusias akan membawa pada pikiran, perasaan dan tindakan yang positif. Positif dalam hal umum, berarti sikap antusias 5 menimbulkan gairah positif yang meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain, membuat lebih terbuka terhadap ide-ide atau peluang baru dan bahkan meningkatkan kualitas press.com/2009/06/18/antusias/). kesehatan. Antusiasme (http://pengendara.word siswa dalam mengikuti pelajaran juga akan mendukung prestasi belajar mereka. Adanya dorongan atau antusiasme yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar akan memberikan motivasi tersendiri bagi siswa untuk dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Selain adanya rasa antusiasme yang ada di dalam diri seorang siswa, prestasi belajar seorang siswa tidak akan terlepas dari peranan tenaga pendidik, yakni guru. Seperti yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik (2009: 27) bahwasanya guru adalah key person didalam kelas. Guru lah yang memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar para siswanya. Guru pulalah yang paling banyak berhubungan dengan para siswa dibandingkan personel sekolah lainnya. Di mata anak-anak, guru adalah seorang yang memiliki otoritas, bukan saja otoritas dalam bidang akademis, melainkan juga dalam bidang nonakademis. Di dalam masyarakat kita pun juga terdapat pandangan demikian. Dalam pandangan masyarakat umum, seorang guru merupakan sosok yang harus dapat digugu dan ditiru (dituruti dan ditiru). Terkait dengan pandangan masyarakat dan siswa bahwa seorang guru haruslah dapat dituruti dan ditiru inilah, kemudian seorang guru diharapkan mempunyai kompetensi yang professional berkaitan dengan perannya sebagai tenaga pendidik. Kompetensi itu sendiri menurut Littrell dalam Hamzah Uno adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau keterampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik (2007: 62). Kompetensi seorang guru tentunya mempunyai arti yang berbeda-beda sesuai dengan apa yang ada di dalam benak anak didik itu masing-masing atau sesuai dengan persepsi siswa masing-masing tersebut. Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru berdasarkan PP No 19 tahun 2005, BAB VI tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan pasal 28 adalah: 6 (1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (3) Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a. Kompetensi paedagogik; b. Kompetensi kepribadian; c. Kompetensi profesional; dan d. Kompetensi sosial. (4) Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetapi memiliki keahlian khusus yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah melewati uji kelayakan dan kesetaraan. (5) Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Pengaruh peran guru didalam proses pembelajaran juga akan memberikan sumbangsih terhadap pencapaian hasil belajar anak didik. Peran guru dapat dilihat di dalam kegiatan belajar mengajar maupun di luar kegiatan belajar mengajar, dan faktor-faktor seperti faktor imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, memegang peran penting dalam interaksi sosial. Sebagai contoh faktor identifikasi dan imitasi tersebut adalah interaksi antara siswa dan guru. Menurut Cronbach dalam bukunya Educational Psychology dalam Oemar Hamalik (2009: 28), kalau kita mengagumi salah satu sifat seseorang, maka kita cenderung untuk mengagumi orang tersebut secara keseluruhan. Demikian juga halnya dengan persepsi siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru. 7 Menurut Bimo Walgito (2004: 87), persepsi itu sendiri merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan, dan proses penginderan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Persepsi siswa terhadap kompetensi guru dalam kegiatan belajar mengajar ada yang positif dan ada yang negatif. Siswa yang memiliki persepsi positif terhadap gurunya, biasanya akan menyenangi pelajaran yang diberikan dan akan rajin untuk mempelajarinya. Dalam kegiatan belajar biasanya ditunjukkan dalam perilaku belajar, misalnya memperhatikan materi yang diberikan oleh guru, ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar mengajar, mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, dan lain sebagainya. Sebalikya, siswa yang memiliki persepsi negatif terhadap gurunya dalam kegiatan belajar mengajar akan menunjukkan perilaku yang acuh, sibuk sendiri, mengganggu teman-temannya, malas mengerjakan tugas, tidak jarang juga bahkan menghina gurunya. Berdasarkan pada pemikiran tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapatlah dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yakni sebagai berikut: 1. Apakah persepsi siswa tentang kompetensi guru berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta? 8 2. Apakah antusiasme belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta? 3. Apakah persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 2. Mengetahui pengaruh antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 3. Mengetahui pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. D. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis · Mengembangkan wawasan ilmu pendidikan dan mendukung teoriteori yang sudah ada yang berkaitan dengan bidang kependidikan, terutama tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan prestasi belajar. · Menambah bahan pustaka Program Pendidikan Sosiologi- Antropologi, Jurusan P.IPS, FKIP Universitas Sebelas Maret. 2. Manfaat Praktis · Memberi masukan kepada kepala sekolah sebagai upaya meningkatkan mutu pendidikan sehubungan dengan kompetensi 9 yang diimiliki oleh tenaga pendidik serta faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. · Memberikan masukan bagi tenaga kependidikan untuk melakukan pengembangan kompetensi profesionalnya guna meningkatkan prestasi capaian belajar anak didiknya. · Memberi masukan kepada para siswa untuk dapat meningkatkan potensi yang ada pada dirinya, misalnya dengan meningkatkan rasa antusiasme dalam belajar. · Memberi masukan kepada Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, terutama Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi UNS untuk dapat terus meningkatkan kualitas lulusannya, sebagai calon tenaga pendidik yang profesional dan berkompeten dibidangnya. · Memberi masukan kepada para peneliti untuk terus melakukan penelitian-penelitian terutama dibidang pendidikan, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi dunia pendidikan bangsa Indonesia. 10 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Penelitian yang akan dilaksanakan ini dimaksudkan untuk menjelaskan adanya pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. Untuk memperkuat penelitian ini, maka diperlukan adanya tinjauan pustaka serta teori-teori guna memberikan landasan penjelasan atas penelitian yang akan diadakan tersebut. Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini antara lain, yaitu: 1. Prestasi Belajar Sosiologi a. Pengertian Prestasi Belajar Sosiologi Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Menurut Syaiful Bahri Djamarah (1994: 19), prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata yaitu “prestasi” dan “belajar”. Antara kata “prestasi” dan “belajar” mempunyai arti yang berbeda. Memahami pengertian prestasi belajar secara garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian belajar itu sendiri, sementara itu pengertian prestasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya). Ini berarti bahwasanya prestasi itu adalah sebuah capaian atas apa yang telah kita kerjakan. Syaiful Bahri Djamarah (1994: 19) mendefinisikan kata “prestasi” sebagai hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik secara individual maupun kelompok. Prestasi itu mengandung makna bahwa capaian tersebut tidak akan pernah dapat diperoleh apabila seseorang samasekali tidak melakukan kegiatan. Nasrun Harahap dalam Syaiful Bahri Djamarah (1994: 21) menyebutkan bahwa prestasi adalah penilaian 11 pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta nilai-nilai yang terdapat di dalam kurikulum. Prestasi belajar pada dasarnya merupakan sebuah capaian hasil yang dikaitkan dengan kegiatan belajar itu sendiri. Oleh karena itu kita juga harus menilik lebih jauh apakah yang dimaksud dengan kegiatan belajar tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah dalam artikelnya yang berjudul Prestasi Belajar (2009), istilah hasil belajar berasal dari bahasa Belanda “prestatie,” dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi yang berarti hasil usaha. Dalam literature, prestasi selalu dihubungkan dengan aktivitas tertentu, seperti dikemukakan oleh Robert M. Gagne dalam Abu Muhammad Ibnu Abdullah bahwa dalam setiap proses akan selalu terdapat hasil nyata yang dapat diukur dan dinyatakan sebagai hasil belajar (achievement) seseorang. W.J.S Purwadarrninto dalam Syaiful Bahri Djamarah (1994: 20) menyebutkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dilakukan, dikerjakan dan sebagainya. Prestasi belajar yang dimaksud merupakan hal yang dicapai sebaik-baiknya menurut kemampuan anak pada waktu tertentu terhadap hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan. Jadi prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai menurut kemampuan yang tidak dimiliki dan ditandai dengan perkembangan serta perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang diperlukan dari belajar dengan waktu tertentu, prestasi belajar ini dapat dinyatakan dalam bentuk nilai dan hasil tes atau ujian. Dari beberapa pendapat di atas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat memberikan kepuasan emosional, dan dapat diukur dengan alat atau tes tertentu. Dalam proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah laku yang dapat diukur dengan tes tertentu. Hasil belajar sering juga dipergunakan dalam arti yang sangat luas yakni untuk bermacam-macam aturan terhadap apa yang telah dicapai oleh murid, misalnya ulangan harian, 12 tugas-tugas pekerjaan rumah, tes lisan yang dilakukan selama pelajaran berlangsung, tes akhir catur wulan dan sebagainya. Ketika kita ditanya, apakah belajar itu? Maka jawaban yang akan kita dapatkan bermacam-macam. Hal yang demikian itu berakar pada kenyataan bahwa apa yang disebut perbuatan belajar itu adalah bermacam-macam. Banyak aktivitas-aktivitas yang oleh hampir setiap orang dapat disetujui sebagai perbuatan belajar, seperti misalnya mendapatkan perbendaharaan kata-kata baru, menghafal syair, menghafal nyanyian, dan sebagainya. Ada juga beberapa aktivitas yang tidak begitu jelas apakah termasuk perbuatan belajar atau bukan, seperti misalnya mendapatkan bermacam-macam sikap sosial (misalnya prasangka), kegemaran, pilihan, dan lain-lain. Belajar merupakan sebuah istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Ada banyak para ahli yang mendefinisikan tentang belajar ini, diantaranya yaitu Skinner dalam Bimo Walgito (2004: 166) mendefinisikan belajar “Learning is a process of progressive behaviour adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif. Ini berarti bahwa sebagai akibat dari belajar adalah adanya sifat progresivitas, adanya tendensi ke arah yang lebih baik dari keadaan sebelumnya. Cronbach dalam Sumadi Suryabrata (2004: 231) menyatakan bahwa “learning is shown by a change in behavior as a result of experience”. Jadi menurut Cronbach belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami, dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca inderanya. Artinya bahwa belajar adalah apa yang dialami oleh panca indera dan hal yang dialami tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan sikap seseorang. Sesuai dengan pendapat ini adalah pendapat Harold Spears dan McGeoh dalam Sumadi Suryabrata (2004: 231). Harold Spears menyatakan bahwa “ learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction”. Berdasarkan pengertian belajar menurut Harold Spears tersebut, maka belajar dapat diartikan sebagai kegiatan mengamati, 13 membaca, mengimitasi, mencoba sesuatu, mendengarkan, dan mengikuti petunjuk-petunjuk atau arahan. McGeoh mengungkapkan bahwa “learning is a change in performance as a result of practice. Belajar merupakan perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari adanya praktik. Hal ini berarti adanya proses mempraktikkan apa yang telah dipelajari dan terus mengalami perubahanperubahan didalam tingkah laku. Morgan, dkk dalam Bimo Walgito (2004: 167) memberikan definisi mengenai belajar ”learning can be defined as any relatively permanent change in behaviour which occurs as a result of practice or experience”. Hal yang muncul dalam definisi ini ialah bahwa perubahan perilaku atau performance itu relatif permanen. Disamping itu juga dikemukakan bahwa perubahan perilaku itu sebagai akibat belajar karena latihan (practice) atau karena pengalaman (experience). Pada pengertian latihan dibutuhkan usaha dari individu yang bersangkutan, sedangkan pada pengertian pengalaman usaha tersebut tentu tidak terlalu diperlukan. Ini mengandung arti bahwa dengan pengalaman, seseorang atau individu dapat berubah perilakunya. Di samping itu, perubahan dapat juga disebabkan oleh karena latihan. Sardiman AM dalam Syaiful Bahri Djamarah (1994:21) menyebutkan bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan jiwa-raga, psikofisik menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah koginif, afektif dan psikomotorik. Dari pendapat tersebut, dapat kita lihat bahwa berdasarkan hasil belajar ini kita akan melihat adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Pengalaman inilah yang nantinya akan membentuk pribadi individu kearah kedewasaan. Good dan Brophy dalam Ngalim Purwanto (2007: 85) menjelaskan secara singkat tentang pengertian belajar. Menurut mereka bedua, “learning is the development of new associations as a result of experience.” Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa belajar adalah hasil dari pengalaman yang dialami. Belajar adalah suatu proses yang benar-benar 14 bersifat internal yang tidak dapat dilihat dengan nyata, karena belajar adalah suatu proses yang terjadi di dalam diri seseorang. Menurut Good dan Brophy, belajar bukanlah tingkah laku yang tampak, akan tetapi lebih kepada prosesnya yang terjadi secara internal di dalam diri individu dalam usahanya memperoleh hubungan-hubungan yang baru (new associations). Hubungan-hubungan tersebut dapat berupa hubungan antara perangsang dengan perangsang, hubungan antara reaksi-reaksi, atau hubungan antara peransang dan reaksi. Wittig dalam Muhibbin Syah (2008: 90) menyebutkan bahwa belajar adalah “any reatively permanent change in an organism’s behavioral repertoire that occurs as a result of experience.” Pengertian belajar menurut Wittig ini mengandung makna bahwa belajar adalah sebuah perubahan yang bersifat relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. Disini Wittig tidak menekankan pada perubahan yang disebut behavioral change tetapi behavioral repertoire change, yakni perubahan yang menyangkut aspek psiko-fisik organisme. Penekanan yang berbeda ini didasarkan kepercayaan bahwa tingkah laku lahiriah organisme itu sendiri bukan indikator adanya peristiwa belajar, karena proses belajar tidak dapat diobservasi secara langsung. Berdasarkan pada definisi-definisi menurut para ahli di atas dan dari definisi-definisi yang lainnya, Sumadi Suryabrata (2004: 232) kemudian mengemukakan beberapa hal pokok mengenai belajar, yaitu: 1) Bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, aktual maupun potensial) 2) Bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru 3) Bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja) Bimo Walgito (2004: 167-168) juga mengemukakan pendapatnya tentang beberapa hal mengenai belajar sebagai berikut: 15 1) Belajar merupakan suatu proses, yang mengakibatkan adanya perubahan perilaku (change in behaviour or performance). Ini berarti setelah belajar individu mengalami perubahan dalam perilakunya. Perilaku dalam arti yang luas dapat overt behaviour atau inert behaviour. Karena itu perubahan dapat dalam segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. 2) Perubahan perilaku itu dapat aktual, yaitu yang tampak, tetapi juga dapat bersifat potensial, yang tidak tampak pada saat itu, tetapi akan tampak di lain kesempatan. 3) Perubahan yang disebabkan karena belajar itu bersifat relatif permanent, yang berarti perubahan itu tidak akan menetap terus menerus, sehingga pada suatu waktu hal tersebut dapat berubah lagi sebagai akibat belajar. 4) Perubahan perilaku baik yang aktual maupun yang potensial yang merupakan hasil belajar, merupakan perubahan yang melalui pengalaman atau latihan. Ini berarti bahwa perubahan ini bukan tejadi karena faktor kematangan yang ada pada diri individu, bukan karena faktor kelelahan dan bukan juga faktor temporer individu seperti keadaan sakit serta pengaruh obat-obatan. Sebab faktor kematangan, kelelahan, keadaan sakit dan obat-obatan dapat menyebabkan perubahan perilaku individu, tetapi perubahan itu bukan karena faktor belajar. Misalnya anak yang belum dapat tengkurap lalu dapat tengkurap. Perubahan ini karena faktor kematangan, walaupun dalam perkembangan selanjutnya faktor belajar berperan. Orang yang sakit sering marah-marah yang dalam keadaan biasa yang bersangkutan tidak marah-marah. Perubahan perilaku itu karena yang bersangkutan sedang sakit. Orang yang minum minuman keras berubah dalam perilakunya, perubahan ini bukan karena belajar, tetapi karena yang bersangkutan minum minuman keras dan sebagai akibatnya perilakunya berubah. Proses belajar itu sendiri menurut Muhibbin Syah (2008:122) terdiri dari beberapa jenis. Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga 16 bermacam-macam. Muhibbin Syah membagi jenis-jenis belajar tersebut sebagai berikut: 1) Belajar Abstrak Belajar abstrak ialah belajar yang menggunakan cara-cara berpikir abstrak, yang tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari halhal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat disamping penguasaan atas prinsip, konsep, dan generalisasi. Termasuk dalam jenis ini misalnya belajar matematika, kimia, kosmografi, astronomi, dan juga sebagian materi bidang studi agama seperti tauhid. 2) Belajar Keterampilan Belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakangerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot/ neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis misalnya belajar olahraga, musik, menari, melukis, memperbaiki bendabenda elektronik, dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti ibadah salat dan haji. 3) Belajar Sosial Belajar sosial pada dasarnya adalah belajar memahami masalah-masalah dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya adalah untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan, masalah kelompok, dan masalah-masalah lain yang bersifat kemasyarakatan. Selain itu, belajar sosial juga bertujuan untuk mengatur dorongan nafsu pribadi demi kepentingan bersama dan memberi peluang kepada orang lain atau kelompok lain untuk memenuhi kebutuhannya secara berimbang dan proporsional. Bidang-bidang studi yang termasuk bahan pelajaran sosial antara lain pelajaran agama dan PPKn. 17 4) Belajar Pemecahan Masalah Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur dan teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsipprinsip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal) amat diperlukan. Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana belajar pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang mengajar eksakta, seperti matematika dan IPA) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar yang berorientasi pada cara pemecahan masalah. 5) Belajar Rasional Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan berpikir secara logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya ialah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan prinsispprinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya dengan belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa diharapkan memiliki kemamuan rational problem solving, yaitu kemampuan memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi akal sehat, logis, dan sistematis. Bidang-bidang studi yang dapat digunakan sebagai sarana belajar rasional sama dengan bidang-bidang studi untuk belajar pemecahan masalah. Perbedaannya, belajar rasional tidak memberi tekanan khusus pada penggunaan bidang studi eksakta. Artinya, bidang-bidang studi noneksakta pun dapat memberi efek yang sama dengan bidang studi eksakta dalam belajar rasional. 6) Belajar Kebiasaan Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, suri tauladan dan pengalaman khusus, juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa 18 memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan perbuatan yang baru yang lebih tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu (kontekstual). Selain itu, arti tepat dan positif diatas adalah selaras dengan norma dan UU Sisdiknas/ 1989 Bab IV pasal 10 (4). Namun demikian, tentu tidak tertutup kemungkinan penggunaan pelajaran agama sebagai sarana belajar kebiasaan bagi siswa. 7) Belajar Apresiasi Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgement) arti penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skill) yang dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan sebagainya. Bidangbidang studi yang dapat menunjang tercapainya tujuan belajar apresiasi antara lain adalah bahasa dan sastra, kerajinan tangan (prakarya), kesenian, dan menggambar. Selain bidang-bidang studi ini, bidang studi agama juga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat pengembangan apresiasi siswa, misalnya dalam hal seni baca tulis Al-qur’an. 8) Belajar Pengetahuan Belajar pengetahuan (studi) ialah belajar dengan cara melakukan penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini juga dapat diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan eksperimen. Tujuan belajar adalah agar siswa memperoleh atau menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium dan penelitian lapangan. Didalam proses pembelajaran, menurut Jerome S. Bruner dalam Muhibbin Syah (2008: 113) menyebutkan bahwa seorang siswa menempuh tiga episode atau fase, yaitu: 19 1. Fase informasi (tahap penerimaan materi). Dalam fase informasi ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantara informasi yang diperoleh itu ada yang samasekali baru dan berdiri sendiri, dan ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki. 2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi). Dalam fase transformasi, informasi yang telah diperoleh dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Bagi siswa pemula, fase ini akan berlangsung lebih mudah apabila disertai dengan bimbingan tenaga pendidik, yang diharapkan berkompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat untuk melakukan pembelajaran materi pelajaran tertentu. 3. Fase evaluasi (tahap penilaian materi). Dalam fase evaluasi ini, seorang siswa akan menilai sendiri sampai sejauh manakah pengetahuan (informasi yang telah ditransformasikan tadi) dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau memecahkan masalah yang dihadapi. Ciri khas perilaku belajar itu sendiri menurut Muhibbin Syah (2008: 116) antara lain adalah: 1. Perubahan itu intensional. Perubahan yang terjadi dalam proses belajar adalah berkat pengalaman atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain bukan kebetulan. Karakteristik ini mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan dalam dirinya, seperti penambahan pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan pandangan terhadap sesuatu, keterampilan dan seterusnya. 2. Perubahan itu positif dan aktif. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik, bermanfaat, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga 20 bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu yang baru (seperti pemahaman dan keterampilan baru) yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan sendirinya seperti karena proses kematangan (misalnya, bayi yang bisa merangkak setelah bisa duduk), tetapi karena usaha siswa itu sendiri. 3. Perubahan itu efektif dan fungsional. Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat efektif, yakni berhasil guna. Artinya, perubahan tersebut membawa pengaruh, makna dan manfaat tertentu bagi siswa. Selain itu, perubahan dalam proses belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap saat dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberikan manfaat yang luas, misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sehari-hari dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Berdasarkan bermacam-macam definisi mengenai belajar tersebut, pada umumnya para ahli melihat belajar itu sebagai suatu proses. Prosesnya sendiri tidak tampak, yang tampak adalah hasil dari proses. Karena belajar merupakan suatu proses, maka dalam belajar adanya masukan, yaitu yang akan diproses dan adanya hasil dari proses tersebut. Belajar merupakan sesuatu yang terjadi dalam diri individu yang disebabkan karena latihan atau pengalaman, dalam hal ini menimbulkan perubahan dalam perilaku. Ini berarti bahwa proses belajar merupakan intervening variable yang merupakan penghubung atau pengait antara independent variable dengan dependent variable. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa secara global menurut Muhibbin Syah (2008: 132) antara lain adalah: 1. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/ kondisi jasmani dan rohani siswa. 21 2. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa. 3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran. Sedangkan sosiologi sendiri mempunyai banyak definisi. Para sosiolog mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat suatu fenomena atau realitas sosial itu. Demikian juga didalam memberikan definisi mengenai sosiologi. Sosiolog Alvin Bertrand dalam Bahrein T. Sugihen (1995: 4) mengemukakan bahwa sosiologi itu merupakan suatu ilmu yang mempelajari dan menjelaskan tentang hubungan antar manusia (human relationship) Jadi sosiologi tersebut diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimanakah hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Kendati tidak dijelaskan oleh Alvin Bertrand, dalam pengertian yang lebih luas, ilmu ini mempelajari hubungan manusia dengan lingkungannya yang mencakup lingkungan transidental, alam, biologis, dan sosial. Hubungan-hubungan yang terjadi dengan lingkungan itu melahirkan pola perilaku tertentu. Oleh karena itu Alvin Bertrand melihat bahwa hubunganhubungan itu umumnya terjalin melalui seperangkat perilaku tertentu. Perilaku tersebut bukanlah suatu perilaku perseorangan, melainkan perilaku bersama (group behaviour). Pitirim Sorokin mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerak masyarakat dengan politik dan lain sebagainya); hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis,dan sebagainya); serta ciri-ciri umum semua jenis gejala sosial lainnya (http://dianherlinawati.com/2010/01/31/definisi-sosiologi-menurutbeberapa-ahli/). Dalam pengertian ini kita dapat melihat bahwa pada 22 dasarnya sosiologi merupakan ilmu yang menitikberatkan pada gejala-gejala sosial yang ada didalam masyarakat. Rogers, et al dalam Bahrein T. Sugihen (1995: 5), pada dasarnya juga meberikan pemahaman yang sama sebagaimana dengan definisi yang dikemukakan Alvin Bertrand di atas. Ia menjelaskan bahwa pola atau bentuk hubungan-hubungan yang terjadi didalam kelompok itulah (group relation) yang menjadi kerangka dasar sosiologi itu. Hal ini mengandung arti bahwa sosiologi itu tercipta atas kerangka dasar yang berupa hubungan-hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lain di dalam suatu kelompok kehidupan yang dikenal dengan istilah masyarakat. Johnson, masih dalam Bahrein T. Sugihen (1995: 5) menyebutkan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku sosial, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Perilaku-perilaku manusia yang berkaitan dengan hubungan yang saling mempengaruhi antar individu didalam suatu sistem kemasyarakatan inilah yang dipelajari dalam ilmu sosiologi. Berdasarkan definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa sosiologi itu sendiri merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan sistem sosial. Berdasarkan pemaparan mengenai prestasi, belajar, dan sosiologi di atas, maka prestasi belajar sosiologi di bidang pendidikan itu sendiri adalah hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif, afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan dengan pengetahuan siswa mengenai pengetahuan sosiologi yang berkaitan dengan hubungan kemasyarakatan dan sistem sosial. Jadi prestasi belajar sosiologi adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam 23 bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu khususnya pada mata pelajaran sosiologi. b. Teori Prestasi Belajar Berkaitan dengan variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar, maka peneliti mempergunakan teori belajar Humanistik. Seperti yang dikemukakan oleh Asri Budiningsih dalam bukunya “Belajar Dan Pembelajaran” (2008: 68), teori Humanistik ini beranggapan bahwa proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, daripada bidang kajian psikologi belajar. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya. Menurut Asri Budiningsih (2008: 69), pemahaman terhadap belajar menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia. Menurut Gino, dkk (1993: 14), ciri-ciri utama dari aliran humanistik ini adalah: 1) Mementingkan manusia sebagai pribadi yang bulat 24 2) Mementingkan peranan kognitif dan afektif 3) Mengutamakan terjadinya akualisasi diri dan self konsep 4) Mengutamakan persepsi subjektif yang dimiliki tiap individu 5) Mengutamakan kemampuan menentukan tingkah laku sendiri 6) Mengutamakan insight (pengertian) Gino, dkk (1993: 14) juga menyebutkan apa saja yang menjadi prinsipprinsip belajar aliran psikologi humanistik didalam proses instruksional/ pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah: 1) Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami. 2) Belajar yang efektif terjadi bila bahan pelajaran dirasakan oleh siswa (pelajar) sesuai dengan maksud dirinya. 3) Belajar yang mendorong perubahan dalam persepsi mengenai dirinya cenderung ditolaknya. 4) Apabila ancaman terhadap dirinya rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara dan muncullah proses belajar. 5) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan cara melakukannya 6) Belajar akan berjalan lancar apabila siswa terlibat dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu sendiri. 7) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadinya secara utuh, baik perasaan maupun intelektualnya dapat memberikan hasil yang intensif dan lestari. 8) Kepercayaan diri, kemerdekaan, kreativitas akan lebih mudah dimunculkan melalui kegiatan mawas diri, mengkritik diri dan kemudian menggunakan penilaian diri dari orang lain. Salah satu ahli yang merupakan penganut aliran humanistik, diantaranya yaitu Benjamin Bloom yang terkenal dengan teori yang ia kemukakan, yaitu “taksonomi Bloom”. Dalam teori ini dikemukakan bahwasanya prestasi belajar yang diperoleh siswa harus mencakup tiga ranah, yakni kognitif, afektif, dan juga psikomotorik. Teori tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 25 a) Domain Kognitif Domain kognitif mencakup kemampuan intelektual mengenal lingkungan yang terdiri atas enam macam kemampuan intelektual mengenal lingkungan yang tediri atas enam macam kemampuan yang disusun secara hierarkis dari yang paling sederhana sampai yang paling paling kompleks, yaitu: a. Pengetahuan Pengetahuan merupakan kemampuan mengingat kembali hal-hal yang telah dipelajari. b. Pemahaman Pemahaman merupakan kemampuan menangkap makna atau arti sesuatu hal. c. Penerapan Penerapan merupakan kemampuan mempergunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata. d. Analisis Analisis merupakan kemampuan menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. e. Sintesis Sintesis merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi satu keseluruhan yang berarti. f. Penilaian Penilaian merupakan kemampuan memberikan harga sesuatu hal berdasarkan kriteria intern, kelompok, ekstern, atau yang telah ditetapkan terlebih dahulu. b) Domain Afektif Domain afektif merupakan kawasan yang mencakup kemampuankemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati sesuatu hal yang meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara hierarkis, yaitu: 26 a. Kesadaran Kesadaran merupakan kemampuan untuk ingin memperhatikan sesuatu hal. b. Partisipasi Partisipasi adalah kemampuan untuk turut serta atau terlibat dalam sesuatu hal. c. Penghayatan nilai Penghayatan nilai merupakan kemampuan menerima nilai dan terikat kepadanya d. Pengorganisasian nilai Pengorganisasian nilai merupakan kemampuan untuk memiliki ssitem nilai didalam dirinya e. Karakterisasi diri Karakterisasi diri merupakan kemampuan untuk memiliki pola hidup dimana sistem nilai yang terbentuk dalam dirinya mampu mengawasi tingkah lakunya. c) Domain Psikomotor Domain psikomotor merupakan kemampuan motorik menggiatkan dan mengkoordinasikan gerakan yang terdiri dari: a. Gerakan refleks Gerakan refleks merupakan kemampuan melakukan tindakantindakan yang terjadi secara tidak disengaja dalam menjawab suatu perangsang. b. Gerakan dasar Gerakan dasar merupakan kemampuan melakukan pola-pola gerakan yang bersifat pembawaan dan terbentuk dari kombinasi gerakangerakan refleks. 27 c. Kemampuan perseptual Kemampuan perseptual merupakan kemampuan menterjemahkan perangsang yang diterima melalui alat indera menjadi gerakangerakan yang tepat. d. Kemampuan jasmani Kemampuan jasmani merupakan kemampuan dan gerakan-gerakan dasar merupakan inti untuk memperkembangkan gerakan-gerakan yang tepat. e. Gerakan-gerakan terlatih Gerakan terlatih merupakan kemampuan untuk melakukan gerakangerakan canggih dan rumit dengan tingkat efisiensi tertentu. f. Komunikasi nondiskursif Komunikasi nondiskursif merupakan kemampuan melakukan komunikasi dengan isyarat gerakan badan. (Benjamin Bloom dalam Syaiful Sagala, 2003:34) Peneliti menggunakan teori taksonomi Bloom ini di dalam memperkuat penjelasan tentang variabel prestasi belajar karena berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Bloom tersebut dinyatakan bahwasanya prestasi belajar yang merupakan salah satu tujuan atau tolak ukur utama dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya meliputi hasil-hasil tertentu semata melainkan meliputi perubahan kualitas pada semua kawasan kemampuan, yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan juga psikomotorik. 2. Persepsi Siswa tentang Kompetensi Guru a. Pengertian Persepsi Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri manusia yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar, merasakan, memberi serta meraba (kerja indera) di sekitar kita. William James sebagaimana yang dikutip oleh Tri Rusmi Widayatun mengatakan persepsi adalah suatu pengalaman yang terbentuk berupa data-data yang didapat melalui indra, hasil pengolahan otak dan ingatan (1999: 110). Hal ini 28 berarti bahwa persepsi merupakan sesuatu hal yang dipahami melalui adanya penerimaan data-data yang ada melalui indera dan diolah oleh otak. Persepsi itu sendiri dihayati melalui ilusi atau mispersepsi, atau trik atau tipuan dan juga bukan salah tanggapan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia persepsi diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari suatu serapan. Tanggapan yang dimaksudkan adalah bagaimana interpretasi indidividu atas sesuatu ransangan yang diterima melalui panca indera. Sabri dalam (http://teori-psikologi.blogspot.com/2008/05/pengertian- persepsi.html) mendefinisikan persepsi sebagai aktivitas yang memungkinkan manusia untuk dapat mengendalikan rangsangan-rangsangan yang sampai kepadanya melalui alat inderanya, menjadikannya kemampuan itulah dimungkinkan individu mengenali lingkungan pergaulan hidupnya Sabri juga mengemukakan bahwa proses persepsi itu sendiri terdiri dari tiga tahap yaitu tahapan pertama terjadi pada pengideraan diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip tertentu, tahapan kedua yaitu stimulasi pada penginderaan diinterprestasikan dan tahap ketiga adalah dievaluasi. Definisi persepsi menurut Sabri ini mengandung arti bahwa persepsi dilakukan manusia dalam rangka untuk mengenali lingkungan tempat ia tinggal, dimana ia bergaul dengan sesama manusia lainnya. Menurut Bimo Walgito (2004: 87), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Proses penginderaan ini tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Proses persepsi yang dimaksudkan adalah proses bagaimana otak menerjemahkan apa yang ditangkap oleh alat indera. Oleh karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan. Hal ini dikarenakan bahwa proses penginderan itu sendiri merupakan proses pendahulu dari proses persepsi. Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat indera, yaitu mata sebagai alat 29 penglihatan, telinga sebagai alat pendengar, hidung sebagai alat pembauan, lidah sebagai alat pengecapan, kulit pada telapak tangan sebagai alat perabaan; yang kesemuanya merupakan alat indera yang digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu. Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diinderai itu, dan proses ini disebut persepsi. Persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diinderainya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu. Karena itu dalam penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam persepsi individu akan mengaitkan dengan objek (Branca, dalam Bimo Walgito, 2004; 88). Pengorganisasian dalam terjadinya proses persepsi ini berarti bahwa stimulus yang diterima oleh panca indera terebut akan direspon oleh individu setelah melalui proses interpretasi oleh otak. Respon yang diberikan oleh individu merupakan satu kesatuan atau merupakan bagian yang menyatu dengan individu yang memberikan respon. Proses pembentukan persepsi menurut Feigi (http://definisi- pengertian.blogspot.com/2009/11/pengertian-persepsidefinisi-persepsi.html) diartikan sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan "closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses “closure” terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh. Proses yang terjadi dalam persepsi merupakan proses dimana seorang manusia melakukan pemaknaan terhadap ransangan yang ada dihadapannya. 30 Sedangkan menurut Tri Rusmi Widayatun (1999: 111), terjadinya persepsi dikarenakan adanya obyek/ stimulus yang merangsang untuk ditangkap oleh panca indera (obyek tersebut menjadi perhatian panca indera), kemudian stimulus/ obyek perhatian tadi dibawa ke otak. Dari otak terjadi adanya “kesan” atau jawaban (response) adanya stimulus, berupa kesan atau respons dibalikkan ke indera kembali berupa “tanggapan” atau persepsi atau hasil kerja indera berupa pengalaman hasil pengolahan otak. Tri Rusmi Widayatun menggambarkan jalannya proses persepsi sebagai berikut: Obyek/ Stimulasi Sensoris Diproses Indra (input) Output Indra di otak Berupa Persepsi Ransangan Pengalaman/ Response Gambar 1. proses terjadinya persepsi Sumber : Tri Rusmi Widayatun (1999: 111) Dari gambar yang dikemukakan oleh Tri Rusmi Widayatun tersebut, kita dapat melihat bahwa adanya objek atau stimulus yang datang dari luar individu pertama-tama akan dirasakan oleh sensoris. Sensoris yang dimaksudkan adalah kesemua alat indera manusia yang dapat merasakan adanya stimulus. Setelah diproses oleh panca indera yang bersangkutan, maka stimulus tersebut diteruskan menuju otak (pusat syaraf). Di otak inilah kemudian stimulus yang datang diinterpretasikan atau dimaknai oleh otak, dan kemudian dikembalikan ke indera untuk memberikan respon atas stimulus yang ada. Kemudian Tri Rusmi Widayatun (1999: 111) menyatakan bahwa proses terjadinya persepsi ini perlu fenomena, dan yang terpenting fenomena dari persepsi ini adalah “perhatian” atau “attention”. Pengertian perhatian itu sendiri adalah suatu konsep yang diberikan pada proses persepsi yang 31 menyeleksi input-input tertentu untuk diikutsertakan dalam suatu pengalaman yang kita sadari/ kenal dalam suatu waktu tertentu. Perhatian sendiri mempunyai ciri khusus yaitu terfokus dan margin serta berubahubah. Perhatian tersebut memberikan pengaruh terhadap apa yang dipersepsikan oleh otak atas stimulus atau ransangan. Bimo Walgito dalam bukunya Pengantar Psikologi Umum (2004: 90) menyebutkan bahwa proses terjadinya persepsi dimulai dengan objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Perlu dikemukakan bahwa antara objek dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus itu menjadi satu, misalnya dalam hal tekanan. Benda sebagai objek langsung mengenai kulit, sehingga akan terasa tekanan tersebut. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Proses yang terjadi di dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut dengan proses psikologis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk. Bimo Walgito (2004: 90) juga menyebutkan bahwa di dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi itu. Hal tersebut karena keadaan menunjukkan bahwa individu tidak hanya dikenai oleh satu stimulus saja, tetapi individu dikenai berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Namun demikian tidak semua stimulus mendapatkan respon dari individu, tergantung pada 32 penelitian individu yang bersangkutan. Secara skematis hal tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut: St St St St Respon Fi Fi Fi Fi Gambar 2. Skema Proses Terjadinya Persepsi Sumber : Bimo Walgito (2004: 91) Keterangan: St = Stimulus (faktor luar) Fi = Faktor intern (faktor dalam, termasuk perhatian) Sp = Struktur pribadi individu Skema tersebut memberikan gambaran bahwa individu menerima bemacam-macam stimulus yang datang dari lingkungan. Tetapi tidak semua stimulus akan diperhatikan atau akan diberikan respon. Individu mengadakan seleksi terhadap stimulus yang mengenainya, dan disinilah kemudian berperannya perhatian. Sebagai akibat dari stimulus yang dipilihnya dan diterima oleh individu, individu menyadari dan memberikan respon sebagai reaksi terhadap stimulus tersebut. Skema tersebut diatas dapat dilanjutkan sebagai berikut: 33 L S O R L Gambar 3. Skema Lanjutan Proses Terjadinya Persepsi Sumber : Bimo Walgito (2004: 91) Ket: L = Lingkungan S = Stimulus O = Organisme atau individu R = Respon atau reaksi Selain pendapat tersebut diatas, masih ada pendapat atau teori lain yang melihat kaitan antara lingkungan atau stimulus dengan respon individu. Skema tidak seperti yang dikemukakan diatas, akan tetapi berbentuk lain, yaitu: L S R L Gambar 4. Skema Proses Terjadinya Persepsi II Sumber : Bimo Walgito (2004: 91) Ket: L = Lingkungan S = Stimulus R = Respon atau reaksi Dalam skema tersebut terlihat bahwa organisme atau individu tidak berperan dalam memberikan respon terhadap stimulus yang mengenainya. Hubungan antara stimulus dengan respon bersifat mekanistis, stimulus atau 34 lingkungan akan sangat berperan dalam menentukan respon atau perilaku organisme. Pandangan yang demikian merupakan pandangan yang bersifat behavioristik. Pandangan ini berbeda dengan pandangan yang bersifat kognitif, yang memandang berperannya organisme dalam menentukan perilaku atau responnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Weiner pada tahun 1972. Pandangan behavioristik yang dikemukakan oleh Weiner tersebut menekankan pada adanya pengaruh stimulus dari lingkungan, sementara individu sebagai organisme yang memberikan respon dianggap tidak memberikan pengaruh terhadap proses persepsi. Tidak semua stimulus akan direspon oleh organisme atau individu. Respon diberikan oleh individu terhadap stimulus yang ada persesuaian atau yang menarik perhatian individu. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa yang dipersepsi oleh individu selain tergantung kepada stimulusnya juga tergantung kepada keadaan individu yang bersangkutan. Stimulus yang mendapatkan pemilihan dari individu tergantung kepada bermacam-macam faktor, salah satu faktornya adalah perhatian individu yang merupakan aspek psikologis individu dalam mengadakan persepsi. Stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Selain stimulus, menurut Bimo Walgito (2004: 89), ada beberapa faktor lainnya yang sangat berpengaruh didalam persepsi, diantaranya adalah: 1). Objek Persepsi Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun sebagian besar stimulus datang dari luar individu. 2). Alat Indera, Syaraf, dan Pusat Susunan Syaraf Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, 35 yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris. 3). Perhatian Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek. Selain itu, juga terdapat teori-teori mengenai persepsi. Diantaranya teori-teori persepsi menurut Tri Rusmi Widayatun (1999: 112), antara lain yaitu: 1. Persepsi itu dalam stabilitasnya berbeda dalam ukuran, kecemerlangan warna, stabilitas gerak. 2. Persepsi bisa terjadi dengan sendirinya 3. Setiap manusia/ individu dalam persepsi selalu berbeda 4. Ada 4 hal yang sangat berpengaruh terhadap persepsi: a. Persepsi dalam belajar yang berbeda b. Kesiapan mental c. Kebutuhan dan motivasi (need & motivasi) d. Persepsi gaya berpikir yang berbeda (Cognitive Style) 5. Persepsi/ tanggapan didalam bentuk data aktualnya disebut informasi 6. Hukum-hukum persepsi a. Prinsip kedekatan b. Prinsip kesamaan c. Prinsip sendiri/ tertutup d. Prinsip kontinu e. Hukum gerak bersama Sedangkan bentuk-bentuk persepsi menurut Tri Rusmi Widayatun antara lain: 1. Persepsi bentuk, yang dipersepsi bentuk obyek 36 2. Persepsi kedalaman Ada Mono dan Bi atau disebut dengan Monocular Cues dan Binocular Cues 3. Persepsi gerak Persepsi gerak ini terdiri dari gerak nyata dan gerak maya 4. Persepsi terhadap diri sendiri (intropeksi dan persepsi terhadap orang lain (ekstropeksi) 5. Persepsi dengan berbagai jenis yang berhubungan dengan sensoris dan motoris a. Persepsi auditif/ suara b. Persepsi vision / penglihatan c. Persepsi bau/ penciuman d. Persepsi motoris/ gerak e. Persepsi pengecap/ lidah/ rasa f. Persepsi peraba/ kulit 6. Persepsi yang dilihat dari konstansinya a. Persepsi warna b. Persepsi bentuk c. Persepsi beasar/ kecil (persepsi ukuran) d. Persepsi tempat e. Persepsi jauh/ dekat obyek Dalam penelitian ini persepsi akan peneliti batasi pada bagaimana siswa menanggapi respon yang berasal dari tenaga pendidik atau guru. Persepsi siswa akan dikaitkan dengan bagaimana para siswa menanggapi, merespon, menafsirkan serta menginterpretasikan kompetensi yang dimiliki oleh tenaga pengajarnya, khususnya adalah tenaga pengajar mata pelajaran sosiologi. Adapun penjabaran tentang kompetensi guru akan diuraikan sebagai berikut: 37 a. Pengertian Kompetensi Guru Proses belajar dan hasil belajar para siswa bukan saja ditentukan oleh sekolah, pola, struktur, dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar ditentukan oleh kompetensi guru yang mengajar dan membimbing mereka. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan, dan akan lebih mampu mengelola kelasnya, sehingga kondisi belajar para siswa berada pada tingkat optimal. Dalam interaksi belajar mengajar, guru adalah seseorang yang memberikan pelajaran dan siswa adalah orang yang menerima pelajaran. Di dalam mentransfer pengetahuan kepada siswa diperlukan pengetahuan atau kecakapan serta keterampilan sebagai guru. Tanpa kesemua hal tersebut, tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar dapat berjalan secara kondusif. Di sinilah kompetensi dalam arti kemampuan, mutlak diperlukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Kompetensi menurut Syaiful Bahri Djamarah (1994: 33) berasal dari bahasa inggris “competence”, yang mempunyai arti kecakapan, kemampuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu. Berdasarkan asal kata serta arti menurut kamus di atas, maka kompetensi itu sebenarnya merupakan hal yang berkaitan erat dengan kepemilikan pengetahuan, kecakapan atau keterampilan. Menurut Munandar dalam Hamzah B. Uno (2007: 61) kompetensi merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan. Littrell dalam Hamzah B. Uno mengemukakan bahwasanya kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau keterampilan yan dipelajari melalui latihan dan praktik. (2007: 62). Kompetensi menurut definisi Mendiknas (SK. 04/U/2002) adalah seperangkat tindakan cerdas yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang tertentu. 38 Mc. Ashan dalam Bermawi Munthe (2009: 28) mengungkapkan bahwa kompetensi adalah: “knowledge, skills, and abilities or capacities that a person achieves, which particular became part of his or her begin to extent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and psychomotor behaviour.” Pengertian kompetensi menurut Mc. Ashan tersebut mengandung makna bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperoleh seseorang untuk dapat melakukan sesuatu dengan baik, termasuk perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hal tersebut menekankan bahwasanya kompetensi yang dimiliki oleh seseorang tersebut harus melingkupi kemampuan dan keterampilan kognitif, afektif, dan juga psikomotorik. Pada dasarnya pengertian kompetensi adalah kemampuan dan kecakapan. Seseorang yang dinyatakan kompeten di bidang tertentu adalah seseorang yang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Spenser dan Spenser dalam Hamzah B. Uno (2007; 62) mendefinisikan kemampuan sebagai karakteristik yang menonjol dari seorang individu yang berhubungan dengan kinerja efektif dan/ atau superior dalam suatu pekerjaan atau situasi. Selanjutnya Spenser dan Spenser dalam Hamzah B. Uno (2007: 63) membagi lima karakteristik kompetensi yakni sebagai berikut: 1. Motif Motif adalah sesuatu yang orang pikirkan dan inginkan yang menyebabkan sesuatu. Contohnya orang yang termotivasi dengan prestasi akan mengatasi segala hambatan untuk mencapai tujuan, dan bertanggung jawab melaksanakannya. 39 2. Sifat Sifat adalah karakteristik tanggapan konsisten terhadap situasi atau informasi. Contohnya penglihatan yang baik adalah kompetensi sifat fisik bagi seorang pilot. Begitu halnya dengan kontrol diri emosional dan inisiatif adalah lebih kompleks dalam merespon situasi secara konsisten. Kompetensi sifat ini pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah dan melaksanakan panggilan tugas. 3. Konsep Diri Sikap adalah sikap, nilai, dan image diri seseorang. Contohnya kepercayaan diri. Kepercayaan atau keyakinan seseorang agar dia menjadi efektif dalam semua situasi adalah bagian dari konsep diri. 4. Pengetahuan Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu. Contohnya, pengetahuan ahli bedah terhadap urat syaraf dalam tubuh manusia. 5. Keterampilan, Keterampilan adalah kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan fisik dan mental. Contoh kemampuan fisik adalah keterampilan programmer komputer untuk menyusun data secara beraturan. Sedangkan kemampuan berpikir analitis dan konseptual adalah berkaitan dengan kemampuan mental atau kognitif seseorang. Stephen P. Becker dan Jack gordon dalam Bermawi Munthe (2009:29) mengemukakan beberapa unsur atau elemen yang terkandung dalam konsep kompetensi, yaitu: 1. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan adalah kesadaran dibidang kognitif, misalnya, seorang guru mengetahui cara melaksanakan kegiatan identifikasi, penyuluhan, dan proses pembelajaran terhadap warga belajar. 2. Pengertian (understading). Pengertian adalah kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki siswa, misalnya seorang guru yang akan melaksanakan kegiatan tentang 40 keadaan dan kondisi warga belajar di lapangan, sehingga dapat melaksanakan program kegiatan secara baik dan efektif. 3. Keterampilan (skill) Keterampilan adalah kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya, misalnya kemampuan yang dimiliki oleh guru untuk menyusun alat peraga pendidikan secara sederhana. 4. Nilai (value). Nilai adalah suatu norma yang telah diyakini atau secara psikologis telah menyatu dalam diri individu. 5. Minat (interest) Minat adalah keadaan yang mendasari motivasi, keinginan yang berkelanjutan, dan orientasi psikologis. Misalnya, guru yang baik selalu tertarik kepada warga belajar dalam hal membina dan memotivasi mereka supaya dapat belajar sebagaimana yang diharapkan. Pengertian guru itu sendiri menurut N.A. Ametembun dalam Syaiful Bahri Djamarah (1994: 33) adalah semua orang berwenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini berarti bahwa seorang guru minimal memiliki dasar-dasar kompetensi sebagai wewenang dan kemampuan dalam menjalankan tugas. Untuk itu, seorang guru perlu memiliki kepribadian, menguasai bahan pelajaran dan menguasai cara-cara mengajar sebagai dasar kompetensi. Bila guru tidak memiliki kepribadian, tidak menguasai bahan pelajaran dan cara-cara mengajar, maka guru gagal menunaikan tugasnya. Oleh karena itu, kompetensi mutlak dimiliki oleh seorang guru sebagai kemampuan, kecakapan atau keterampilan dalam mengelola kegiatan pendidikan. Dengan demikian, kompetensi guru berarti pemilikan pengetahuan keguruan, dan pemilikan keterampilan serta kemampuan sebagai guru dalam melaksanakan tugasnya. Berdasarkan pengertian tentang kompetensi dan guru, banyak ahli yang memberikan definisi tentang kompetensi guru. Kompetensi 41 professional guru menurut Hamzah Uno adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. (2007: 18). Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru terdiri dari empat kompetensi, yaitu kompetensi paedagogik, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keberhasilan seorang guru dalam menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh keempatnya dengan penekanan pada kemampuan mengajar. Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Jika dijabarkan, kompetensi guru menurut UU No. 14 tahun 2005 tersebut yaitu: 1. Kompetensi Paedagogik Kompetensi paedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi ini dapat dilihat dari kemampuan merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan melakukan penilaian. Kompetensi pedagogik ini merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/ silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kompetensi Kepribadian Kompetensi kepribadian adalah kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi para peserta didik. Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru 42 lainnya. Seorang guru harus menampilkan kepribadiannya yang baik, tidak saja ketika melaksanakan tugasnya di sekolah, tetapi di luar sekolah pun guru harus menampilkan kepribadian yang baik. Hal ini untuk menjaga wibawa dan citra guru sebagai pendidik yang selalu digugu dan ditiru oleh siswa atau masyarakat. Kompetensi kepribadian ini antara lain meliputi sikap mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri, serta mengembangkan diri secara berkelanjutan. 3. Kompetensi Sosial Kompetensi social adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Guru juga merupakan seorang manusia yang dikodratkan sebagai makhluk sosial dan juga makhluk etis. Seorang guru harus dapat memperlakukan peserta didiknya secara wajar dan bertujuan agar tercapai optimalisasi potensi pada diri masing-masing peserta didik. Guru harus memahami dan menerapkan prinsip belajar humanistik yang beranggapan bahwa keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan yang ada pada diri peserta didik tersebut. Guru juga harus mampu membangun komunikasi yang baik dengan lingkungan, seperti misalnya komunikasi terhadap orang tua siswa, tetangga, atau anggota masyarakat lainnya. Kompetensi sosial ini antara lain meliputi kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. 43 4. Kompetensi Profesional Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi professional adalah berbagai kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. Kompetensi profesional antara lain meliputi konsep, struktur, dan metoda keilmuan/ teknologi/ seni yang menaungi/ koheren dengan materi ajar, materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah, hubungan konsep antar mata pelajaran terkait, penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, dan kompetisi secara professional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional Sedangkan menurut Hamzah Uno macam-macam kompetensi yang harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain: 1. Kompetensi Profesional. Kompetensi profesional berarti bahwa guru harus memiliki pengetahuan yang luas dari subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoritis mampu memilih metode dalam proses belajar mengajar. 2. Kompetensi Personal. Kompetensi personal adalah sikap kepribadian yang mantap sehingga mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mampu melaksanakan kepemimpinan seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu “Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. 44 3. Kompetensi Sosial. Kompetensi sosial memiliki arti bahwa seorang guru harus menunjukkan atau mampu berinteraksi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas. 4. Kompetensi Untuk Melakukan Pelajaran. Kompetensi ini maksudnya adalah kemampuan untuk melaksanakan pelajaran yang sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai-nilai sosial dari nilai material. Berdasarkan peran guru sebagai pengelola proses pembelajaran, harus memiliki kemampuan: a. Merencanakan sistem pembelajaran: 1. Merumuskan tujuan 2. Memilih prioritas materi yang akan diajarkan 3. Memilih dan menggunakan metode 4. Memilih dan menggunakan sumber belajar yang ada 5. Memilih dan menggunakan media pembelajaran b. Melaksanakan sistem pembelajaran: 1. Memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang tepat 2. Menyajikan urutan pembelajaran secara tepat c. Mengevaluasi sistem pembelajaran: 1. memilih dan menyusun jenis evaluasi 2. Melaksanakan kegiatan evaluasi sepanjang proses 3. Mengadministrasi hasil evaluasi d. Mengembangkan sistem pembelajaran: 1. Mengoptimalisasi potensi peserta didik 2. Meningkatkan wawasan kemampuan diri sendiri 3. Mengembangkan program pembelajaran lebih lanjut Sedangkan kompetensi guru yang telah dibakukan oleh Dirjen Dikdasmen Depdiknas (1999) seperti yang dikutip oleh Hamzah Uno adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan kepribadian 2. Menguasai landasan pendidikan 45 3. Menguasai bahan pelajaran 4. Menyusun program pengajaran 5. Melaksanakan program pengajaran 6. Menilai hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan 7. Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran 8. Menyelenggarakan program bimbingan 9. Berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat 10. Menyelenggarakan administrasi sekolah. Guru yang dinilai berkompeten secara profesional menurut Oemar Hamalik (2002: 38), adalah apabila: 1. Guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan sebaikbaiknya. 2. Guru tersebut mampu melaksanakan peranan-peranannya secara berhasil. 3. Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan (tujuan instruksional) sekolah. 4. Guru tersebut mampu melaksanakan peranannya dalam proses mengajar dan belajar dalam kelas. Menurut Abdul Majid (2006: 6), ruang lingkup standar kompetensi guru meliputi tiga komponen kompetensi, yaitu: 1. Komponen pengelolaan pembelajaran Komponen pengelolaan pembelajaran tersebut mencakup penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar mengajar, penilain prestasi belajar peserta didik, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian. 2. Komponen potensi pengembangan potensi yang diorientasikan pada pengembangan profesi. 3. Komponen kompetensi penguasaan akademik. Komponen kompetensi penguasaan akademik mencakup pemahaman pemahaman wawasan pendidikan dan penguasaan bahan kajian akademik. 46 Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru dimasa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling “well informed” terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Dimasa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai ditengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Guru sebagai salah satu bagian yang urgen dari proses pendidikan juga harus mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Seorang guru tidak boleh stagnan karena akan membuatnya tertinggal dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang pesat. Sebagai pengajar sekaligus pendidik, guru dituntut harus memiliki kecakapan dibidangnya. Profesionalisme harus dimiliki setiap guru demi mendongkrak keterpurukan dan ketertinggalan bangsanya dalam dunia pendidikan. Guru yang berkompeten akan memberikan pengaruh baik pada anak didiknya. Anak didik akan termotivasi dan lebih giat lagi dalam menggali ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya.Kecerdasan intelektual dan perilakunya sehari-hari merupakan sosok yang menjadi contoh bagi setiap anak didiknya. Oleh karena itu kompetensi dan profesionalitas guru sebaiknya sudah benar-benar direncanakan, diaplikasikan dan dikembangkan dalam kegiatan proses belajar mengajar. Disamping itu, guru masa depan harus paham 47 penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ketahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung. c. Teori Persepsi Teori persepsi yang akan peneliti gunakan dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini nantinya adalah teori Gestalt yang dikemukakan oleh Wertheimer. Menurut Bimo Walgito (2004: 93), teori Gestalt ini mula-mula dikemukakan oleh Wertheimer atas kejadian yang dialaminya pada waktu ia berada di stasiun kereta api yang dinamakan phi-phenomena, yaitu bahwa dalam seseorang mempersepsi sesuatu tidak hanya semata-mata tergantung pada stimulus objektif, tetapi individu yang mempersepsi juga berperan dalam persepsi tersebut. Didalam contoh yang dialami oleh Wertheimer, stimulusnya adalah sinar yang tidak bergerak, tetapi dipersepsi sebagai sesuatu yang bergerak. Selanjutnya Wertheimer dalam Bimo Walgito (2004:94) mengemukakan tentang hukum-hukum persepsi, yakni sebagai berikut: 1) Hukum Pragnanz Pragnanz berarti penting, meaningsfull, penuh arti atau berarti. Jadi apa yang dipersepsi itu menurut hukum ini adalah penuh arti, suatu kebulatan yang mempunyai arti penuh. Hukum ini oleh kaum Gestalt dipandang sebagai hukum yang pokok. 48 2) Hukum Figure – Ground Dalam persepsi dikemukakan adanya dua bagian dalam perceptual field, yaitu figure yang merupakan bagian yang dominan dan merupakan fokus perhatian, dan ground yang melatarbelakangi atau melengkapi. Jika individu mengadakan persepsi sesuatu, apa yang tidak menjadi fokus dalam persepsi itu akan menjadi fokus dalam persepsi itu akan menjadi latar belakang atau ground-nya. Antara figure dan gruond dapat pindah atau bertukar peran satu dengan yang lain, yaitu yang semua ground dapat menjadi figure, misalnya pada vas Rubin. Hal ini akan bergantung pada perhatian seseorang dalam mengadakan persepsi itu. 3) Hukum Kedekatan Hukum ini menyatakan bahwa apabila stimulus itu saling berdekatan satu dengan yang lain, akan adanya kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu keseluruhan atau suatu Gestalt. Contoh : xx xx xx Dalam gambar di atas orang akan mempersepsi silang pertama dan kedua, ketiga dan keempat, kelima dan keenam masing-masing merupakan suatu gestalt daripada silang kedua dengan silang ketiga, silang keempat dengan silang kelima. Inilah yang dimaksud dengan hukum kedekatan. 4) Hukum Kesamaan (similary) Hukum ini menyatakan bahwa stimulus atau objek yang sama, mempunyai kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau sebagai suatu gestalt. 49 Contoh: x x x x x x x x • • • • • • • • x x x x x x x x • • • • • • • • x x x x x x x x • • • • • • • • Gambar 5. hukum kesamaan Bimo Walgito (2004:95) Dalam seseorang mempersepsi gambar tersebut, orang akan mempersepsi sebagai suatu deretan silang (x), satu deretan titik, satu deretan silang lagi, satu deretan titik lagi, dan seterusnya. Inilah yang dimaksud dengan hukum kesamaan. 5) Hukum Kontinuitas Hukum ini menyatakan bahwa stimulus yang mempunyai kontinuitas satu dengan yang lain, akan terlihat dari ground dan akan dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. Contoh: (a) 50 (b) (c) Gambar 6. Contoh Hukum Kontinuitas Bimo Walgito (2004:95) Gambar tersebut diatas akan dipersepsi bahwa garis (a) merupakan garis yang kontinu, bukan merupakan garis yang terpotong-potong sekalipun garis (a) tersebut dipotong-potong oleh garis-garis yang lain. 6) Hukum Kelengkapan atau Ketertutupan (closure) Hukum ini menyatakan bahwa dalam persepsi adanya kecenderungan orang mempersepsi sesuatu yang kurang lengkap menjadi lengkap, sehingga menjadi sesuatu yang penuh arti atau berarti. Contoh: Gambar 7. Contoh Hukum Closure Bimo Walgito (2004: 96) Dalam contoh ini gambar tersebut dipersepsi sebagai suatu lingkaran sekalipun secara objektif gambar tersebut belum merupakan lingkaran 51 karena ujung pangkalnya belum bertemu. Sekalipun demikian gambar tersebut dipersepsi sebagai sebuah lingkaran, karena gambar tersebut mempunyai arti penuh. Jadi dalam seseorang mempersepsi sesuatu yang sebenarnya masih kurang, kekurangan tersebut ditutup atau dilengkapi sehingga apa yang dipersepsi sebagai sesuatu yang mempunyai arti. Terkait dengan penelitian ini nantinya, maka persepsi ynag dimaksudkan akan dibatasi pada persepsi siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru. Baik buruknya atau positif dan negatuf persepsi yang diberikan siswa tentang kompetensi guru inilah yang menurut peneliti memungkinkan adanya pengaruh terhadap hasil capaian prestasi belajar siswa. 3. Antusiasme dalam Belajar a. Pengertian Antusiasme Belajar Kata antusias (enthusiast) atau antusiasme (enthusiasm) berasal dari bahasa Yunani kuno “entheos” yang berarti “Tuhan di dalam” dan antusias berarti “diilhami dari Tuhan”. Sedangkan menurut kamus Webster, antusiasme berarti “kegairahan yang kuat terhadap salah satu sebab atau subyek; semangat atau minat yang berapi-api; kegairahan.” Antusiasme adalah gairah dalam diri kita yang diikuti dengan perasaan terinspirasi sesuatu, termotivasi untuk mewujudkan sesuatu disertai daya optimis dan kreativitas. (http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme-rahasia- keberhasilan-yang-jarang-dikenal/Antusiasme, Rahasia Keberhasilan Yang Jarang Dikenal ). Antusias antusiasme adalah sikap, yakni sikap untuk melakukan sesuatu tanpa paksaan bahkan selalu ingin melakukannya. Sikap antusias akan membawa pada pikiran, perasaan dan tindakan yang positif. Positif dalam hal umum. Sikap antusias menimbulkan gairah positif yang meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain, membuat lebih terbuka 52 terhadap ide-ide atau peluang baru dan bahkan meningkatkan kualitas kesehatan. Antusiasme adalah semangat yang tinggi seperti apa yang disampaikan Nelson Mandela: “Saya mengalami sendiri bahwa kita mampu menanggung hal-hal yang sebenarnya tak tertanggungkan jika kita dapat menjaga semangat hidup tetap tinggi meski tubuh kita disiksa. Keyakinan yang kuat adalah rahasia kesanggupan menanggung segala kekurangan. Semangatmu bisa penuh meskipun perutmu kosong”. (http://mymindmydestiny.blogspot.com/2009/04/antusiasme-senimendengarkan-dan-humor.html) Albert Carr dalam bukunya How to Attract Good Luck tidak menyebut kata antusiasme, tetapi sebagai gantinya ia menyebut kata “semangat” (”zest”) - yang kurang lebih sama artinya dengan antusias - sebagai jalan pintas menuju keberuntungan (the shortcut (http://pengendara.wordpress.com/2009/06/18/antusias/), Ada to luck). alasan yang mendasar mengapa Carr mengambil kesimpulan begitu. Alasannya adalah bahwa “semangat” yang kita pancarkan kepada orang lain akan melemparkan ‘kabel’ kemujuran sehingga mengalirlah “arus kemujuran” dengan cepat kepada kita. Seringkali semangat juga memperlihatkan pengaruhnya atas keberuntungan secara lebih halus dan dalam periode waktu yang lebih lama. Albert Carr kemudian memberi contoh bagaimana Winston Churchill menuai keberuntungan yang besar karena antusiasme atau semangatnya yang begitu tinggi. Kualitas semangat Winston Churchill sudah berkobarkobar semenjak ia masih muda, sebelum terjun ke dunia politik. Ketika ia menjadi wartawan muda, rekan-rekannya sesama jurnalis (yang kebanyakan lebih senior) sering menjulukinya Winston Churchill dengan sinis sebagai “si setan mujur Churchill”, karena ia berhasil memperoleh beberapa berita penting dari nara sumber yang berpangkat jenderal (pada masa Perang 53 Boer), sementara wartawan yang lain kesulitan mendapatkannya. Hal itu ternyata disebabkan oleh semangat Churchill yang berhasil ‘mencuri hati’ sang jenderal. Ia memang beruntung, tetapi yang tidak mereka lihat adalah sejauh mana keberuntungan itu “diundang” Churchill dengan kesiapan bersemangat dalam setiap petualangannya. Dalam sejarah, ia diakui oleh dunia sebagai orang yang paling bersemangat di zamannya. Antusiasme atau semangat merupakan kekuatan diri yang sangat kuat, karena telah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang lain yang kita ajak berbicara. Pengaruhnya akan lebih kuat lagi jika ditambahi dengan keramahtamahan, apalagi dengan orang asing atau orang yang baru kita kenal. Hal ini akan melipatgandakan manfaat dari networking yang kita lakukan. Bila dengan networking kita bisa memperbesar kemungkinan mendapatkan peluang, maka dengan tambahan antusiasme dan keramahan, peluang itu akan lebih cepat ditemukan. Itulah kekuatan dari antusiasme atau semangat. Jadi tidak salah apabila Bertrand Russell menyebut semangat sebagai “tanda paling khusus dan universal dari orang-orang bahagia.” Hal yang pertama yang harus dimiliki seseorang untuk menggapai kesuksesannya adalah visi dan tujuan yang jelas, namun sebaik apapun visi, tujuan ataupun rencana yang sudah terjadwal sangat rapi jika tidak diiringi dengan tindakan semuanya terasa mustahil. tindakan akan mengubah sesuatu yang hanya sekedar coretan diatas kertas menjadi kenyataan. Akan tetapi hal ini juga harus disertai dengan antusias, sebab antusias adalah bahan bakar dari tindakan itu sendiri. Tingkat motivasi yang kita miliki berbanding lurus dengan jumlah antusiasme yang kita miliki. Berdasarkan pada pengertian antusiasme tersebut, penulis mengartikan semangat belajar sebagai sikap semangat atau gairah untuk melakukan kegiatan belajar tanpa adanya rasa keterpaksaan. Dalam hal ini, siswa yang mempunyai rasa antusiasme belajar yang tinggi maka siswa tersebut mempunyai rasa semangat belajar yang tinggi, bergairah dalam belajar dan 54 tidak pernah merasa terpaksa dalam melakukan maupun mengikuti kegiatan belajar mengajar. Antusiasme tinggi yang dimiliki oleh seorang siswa dimungkinkan akan memberikan pengaruh terhadap prestasi atau hasil belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Seorang siswa yang selalu antusias, bersemangat, serta tidak pernah merasa terpaksa dalam melakukan atau mengikuti kegiatan belajar akan membuat siswa merasa senang dan menikmati keseluruhan proses belajar mengajar. Pengajar adalah pemberi contoh utama bagi seorang siswa yang baru mulai belajar. Ia akan digugu dan ditiru oleh anak muridnya. Untuk itu seorang pengajar harus sangat berhati-hati dalam bersikap karena sikap itulah yang akan ditularkan kepada anak muridnya. Beberapa hal yang harus ditularkan oleh seorang pengajar kepada para siswanya yakni : 1). Antusiasme Antusiasme dalam belajar adalah hal pertama yang bisa ditularkan guru kepada muridnya. Seorang guru harus mempunyai minat kepada apa yang ia ajarkan. Tanpa mempunyai minat terhadap apa yang ia ajarkan, ia hanya akan menularkan ketidakminatannya kepada murid-muridnya, dan ini adalah pintu yang pasti untuk mematikan proses pendidikan. Seorang yang penuh minat akan menularkan antusiasme kepada orang di sekitarnya. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan bahwa “barang” yang dibawanya adalah sebuah barang yang bagus 2). Cara belajar Seorang guru, selain pengajar, tentunya juga seorang pembelajar juga. Ia adalah seorang yang tidak pernah berhenti belajar. Hanya dengan cara demikian ia bisa menjadi pembimbing para pelajar, karena ia mengajarkan dari pengalamannya sendiri. Apa yang harus dilakukan seorang pengajar di kelas. Kelas adalah ibarat sebuah panggung bagi seorang pengajar. Di sana ia harus berusaha semaksimal mungkin menarik perhatian siswa, supaya mereka tertarik pada apa yang diajarkan. Kedua hal tersebut diatas, yakni persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar siswa akan dikaitkan dengan prestasi belajar 55 siswa sebagai salah satu tolak ukur utama keberhasilan siswa dalam dunia pendidikan. Persepsi positif maupun negatif yang diberikan oleh siswa terhadap guru serta adanya rasa antusiasme siswa baik itu antusiasme yang tinggi dan juga rendah, dimungkinkan akan memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi atau hasil capaian belajar yang diperoleh oleh siswa. b. Teori tentang Antusiasme Belajar Dalam membahas tentang antusiasme atau semangat belajar pada penelitian ini, peneliti kemudian membatasi pada pengertian antusiasme yang dikemukakan oleh Sucipto Ajisaka. Antusiasme itu adalah gairah dalam diri kita yang diikuti dengan perasaan terinspirasi sesuatu, termotivasi untuk mewujudkan sesuatu disertai daya optimis dan kreativitas. (http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme--rahasia--keberhasilan-yang--jarang--dikenal/Antusiasme, Rahasia Keberhasilan Yang Jarang Dikenal ). Teori yang akan dipergunakan oleh peneliti adalah Teori Kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray dalam Bimo Walgito (2004: 230). Dalam teori kebutuhan ini, Murray mengemukakan suatu daftar dari dua puluh kebutuhan yang berlawanan satu sama lain, misalnya kebutuhan akan nurturance, yaitu kebutuhan untuk menerima asuhan, dan kebutuhan untuk memberikan care, untuk memberikan asuhan, dan kebutuhan soccorance (n- soccorance), yaitu kebutuhan untuk menerima asuhan. Kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray atau juga motif-motif seperti yang dikutip oleh Bimo Walgito (2004: 230) adalah sebagai berikut: 1) Merendah atau merendakan diri (abasement) 56 Merendah atau merendahkan diri adalah menerima celaan atau cercaan orang lain. Merendahkan diri dalam menghadapi orang lain, menerima hukuman bila melakukan kesalahan. 2) Berprestasi (achievement) Berprestasi adalah motif yang berkaitan dengan untuk memperoleh prestasi yang baik, memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, mengerjakan tugas-tugas secepat mungkin dan sebaik-baiknya. 3) Afiliasi (Affiliation) Afiliasi adalah motif atau kebutuhan yang berkaitan dengan berteman, untuk mengadakan hubungan dengan orang lain. 4) Agresi (Aggression) Agresi adalah motif yang berkaitan dengan sikap agresivitas, melukai orang lain, berkelahi, menyerang orang lain. 5) Otonomi (Autonomy) Otonomi adalah motif atau kebutuhan yang berkaitan dengan kebebasan, bebas dalam menyatakan pendapat, ataupun berbuat, tidak menggantungkan kepada orang lain, mencari kemandirian. 6) Counteraction Counteraction adalah motif yang berkaitan dengan usaha untuk mengatasi kegagalan-kegagalan, mengadakan tindakan sebagai counternya. 7) Pertahanan (dependence) Pertahanan adalah motif yang berkaitan dengan pertahanan diri 8) Hormat (deference) Hormat adalah motif yang berhubungan dengan rasa hormat, berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain. 9) Dominasi (dominance) 57 Dominasi adalah motif yang berhubungan dengan sikap menguasai orang lain, menjadi pemimpin, membantah pendapat orang lain, ingin mendominasi orang lain. 10) Ekshibisi atau pamer (exhibition) Ekshibisi adalah motif yang berkaitan dengan ekshibisi atau pamer, menonjolkan diri supaya dilihat orang lain, ingin menjadi pusat perhatian. 11) Penolakan Kerusakan (harmavoidance) Penolakan kerusakan adalah motif yang berusaha menolak hal-hal yang merugikan, yang menyakitkan badan, menolak rasa sakit, menolak hal-hal yang merugikan dalam kejasmanian, menghindari halhal yang membahayakan. 12) Infavoidance Infavoidance adalah motif yang berkaitan dengan usaha menghindari hal-hal yang memalukan, hal-hal yang membawa kegagalan. 13) Memberi bantuan (nurturance) Memberi bantuan adalah motif yang berkaitan dengan memberi bantuan atau menolong kawan atau orang lain, memperlakukan orang lain dengan baik, kasih sayang kepada orang lain. 14) Teratur (order) Teratur adalah motif untuk keteraturan, kerapihan, menunjukkan keteraturan dalam segala hal. 15) Bermain (play) Bermain adalah motif yang berkaitan dengan bermain, relaks, kesenangan, melawak, menghindari hal-hal yang menegangkan. 16) Menolak (rejection) Menolak adalah motif untuk menolak pihak lain, orang lain, menganggap sepi orang lain. 17) Sentience 58 Sentiene adalah motif yang mencari kesenangan terhadap impresi yang melalui alat indera (sensuous impression). 18) Seks (sex) Seks adalah motif yang berkaitan dengan kegiatan seksual. 19) Bantuan atau pertolongan (succorance) Bantuan adalah motif yang berkaitan untuk memperoleh simpati atau bantuan orang lain, untuk bergantung pada pihak lain. 20) Mengerti (understanding) Mengerti adalah motif untuk menganalisis pengalaman, untuk memilah konsep-konsep, mensintesiskan ide-ide, menemukan hubungan satu dengan yang lain. Teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray ini peneliti pergunakan dengan menghubungkan antara adanya antusiasme belajar terhadap prestasi belajar siswa. Adanya antusiasme dalam belajar menurut peneliti, dimungkinkan karena adanya kebutuhan akan prestasi seperti yang diungkapkan oleh Muray dalam dua puluh kebutuhan (pada point dua). Adanya kebutuhan untuk memperoleh prestasi yang baik, memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, mengerjakan tugas-tugas secepat mungkin dan sebaik-baiknya memungkinkan timbulnya antusiasme belajar pada diri siswa. B. Hasil Penelitian Yang Relevan Ada beberapa hasil penelitian yang menurut peneliti relevan dengan penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini, diantaranya adalah: 1. Penelitian dengan judul “Pengaruh Persepsi Siswa Pada Kompetensi Guru, Sikap Siswa Pada Matematika Dan Motivasi Belajar Siswa Terhadap Prestasi Belajar Matematika”. 59 Penelitian tersebut dilakukan oleh Henny Kusumaningrum pada tahun 2006, dengan hasil penelitian sebagai berikut: a) Prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai persepsi positif pada kompetensi guru lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mempunyai persepsi negatif pada kompetensi guru. b) Siswa yang memiliki sikap positif pada matematika dan siswa yang memiliki sikap negatif pada matematika mempunyai prestasi belajar yang sama. c) Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah mempunyai prestasi belajar matematika yang sama. d) Persepsi siswa pada kompetensi guru matematika tidak mempengaruhi sikap siswa pada matematika, artinya siswa yang memiliki persepsi positif maupun negatif pada kompetensi guru mempunyai prestasi belajar yang sama dengan siswa yan memiliki sikap positif maupun negatif pada matematika e) Persepsi siswa pada kompetensi guru matematika tidak mempengaruhi motivasi belajar siswa, artinya siswa yang memiliki persepsi positif maupun negatif pada kompetensi guru mempunyai prestasi belajar yang sama dengan siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi maupun rendah. f) Sikap siswa pada matematika tidak mempengaruhi motivasi belajar siswa, artinya siswa yang memiliki sikap pada matematika positif maupun negatif mempunyai prestasi belajar yang sama dengan siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi maupun rendah. g) Tidak terdapat interaksi antara persepsi siswa pada kompetensi guru, sikap siswa pada matematika dan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar matematika. 60 2. Penelitian dengan judul “Korelasi Persepsi Siswa Terhadap Guru Dan Interaksi Edukatif Dengan Pencapaian Kognitif Biologi Siswa Kelas II SMP Negeri 6 Surakarta Tahun Pelajaran 2005/2006. Penelitian tersebut dilakukan oleh Marianingsih pada tahun 2006 dengan mempergunakan metode deskriptif kuantitatif yang bersifat ex pos facto. Populasi penelitian yang dijadikan objek penelitian adalah siswa kelas II SMP Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2005/ 2006 Teknik pengambilan sampel yang dipergunakan adalah teknik random sampling. Jumlah sampel yang diambil adalah 41 siswa. Teknik analisis yang diambil adalah teknik analisis Regresi Linier Multivariat. Adapun hasil penelitian yang didapat adalah: a) Ada Korelasi positif yang signifikan antara persepsi siswa terhadap guru dengan pencapaian kognitif biologi siswa kelas II SMP Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2005/2006 b) Ada Korelasi positif yang signifikan antara interaksi edukatif dengan pencapaian kognitif biologi siswa kelas II SMP Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2005/2006. c) Ada Korelasi positif yang signifikan antara persepsi siswa terhadap guru dan interaksi edukatif dengan pencapaian kognitif biologi siswa kelas II SMP Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2005/2006 d) Kontribusi variabel bebas yang dominan dalam memprediksi pencapaian kognitif biologi adalah interaksi edukatif dengan sumbangan relatif sebesar 53,99%. C. Kerangka Berpikir Dalam kerangka pemikiran penelitian dijelaskan bahwa persepsi atau tanggapan siswa terhadap stimulus, yang dalam hal ini adalah kompetensi yang dimiliki oleh guru, mempunyai pengaruh terhadap prestasi yang diperoleh oleh siswa nantinya. Adapun kompetensi yang dimaksudkan tersebut adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu 61 terdiri dari empat kompetensi, antara lain kompetensi pribadi, kompetensi paedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keberhasilan seorang guru dalam menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh keempatnya dengan penekanan pada kemampuan mengajar. Demikian pula halnya dengan antusiasme. Antusiasme, sebagaimana yang kita ketahui adalah sikap, yakni sikap untuk melakukan sesuatu tanpa paksaan bahkan selalu ingin melakukannya. Sikap antusias akan membawa pada pikiran, perasaan dan tindakan yang positif. Positif dalam hal umum. Sikap antusias menimbulkan gairah positif yang meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain, membuat lebih terbuka terhadap ide-ide atau peluang baru dan bahkan meningkatkan kualitas kesehatan. Dalam kegiatan belajar, antusiasme belajar diartikan sebagai sikap atau semangat untuk belajar tanpa adanya unsur paksaan. Baik persepsi siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh para guru dan antusiasme siswa dalam kegiatan belajar, keduanya akan mempunyai keterkaitan dengan capaian prestasi belajar sosiologi yang akan diperoleh oleh siswa nantinya. Secara skematis kerangka pemikiran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : Persepsi Siswa tentang Kompetensi Guru (X 1) Prestasi Belajar Sosiologi (Y) Antusiasme Belajar (X 2 ) 62 Gambar 8. Kerangka Pemikiran D. Hipotesis Sebagaimana yang dituliskan oleh Sutrisno Hadi (2004; 210),istilah hipotesis sebenarnya adalah kata majemuk yang terdiri dari kata hipo dan tesa. Hipo berasal dari kata Yunani hupo, yang berarti di bawah, kurang atau lemah, sedang tesa kita artikan teori, proposisi, atau pernyataan. Jadi hipotesiss adalah pernyataan yang masih lemah kebenarannya dan masih perlu dibuktikan kenyatannya. Hipotesis adalah jawaban sementara yang masih harus diuji kebenarannya melalui kegiatan penelitian. Menurut p. 476 dalam Tentrem Widodo (2008 : 31): “Hypothesis is a tentative, reasonable, testable assertion regarding the accurance of certain behaviors, phenomena, or events, apredictin of study out come. Hypothesis is conjectural statement of the relation between two or more variable”. Sedangkan menurut Sukardi (2002; 32), hipotesis adalah perumusan sementara tentang sesuatu atau kebenaran sementara yang masih harus diuji kebenarannya. Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 2. Ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 3. Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 63 BAB III METODE PENELITIAN Dalam metodologi penelitian ini, selanjutnya secara berturut-turut akan diuraikan mengenai beberapa hal yang berkaitan langsung dengan penelitian yang akan dilaksanakan, yaitu meliputi tempat penelitian, waktu penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, rancangan penelitian dan teknik analisis data. A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta ini akan dilaksanakan di SMAN 4 Surakarta yang beralamat di Jl. L.U Adisucipto No. 1 Surakarta. 2. Waktu Penelitian Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini direncanakan selama enam bulan yaitu dari penyusunan usulan proposal sampai penulisan laporan. Penelitian ini dimulai sejak bulan Januari 2010 sampai bulan Juni 2010. Adapun jadwal kegiatan penelitian tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: No. 1. Kegiatan Pengajuan Judul Proposal Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni 64 2. Penyusunan Proposal dan Seminar Proposal 3. Penyusunan Instrumen 4. Pengumpulan Data 5. Analisis Data 6. Penulisan Laporan Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi menurut Sutrisno Hadi (2004: 182) adalah seluruh penduduk yang dimaksudkan untuk diselidiki. Menurut Pangestu Subagyo dan Djarwanto, populasi atau universe adalah jumah dari keseluruhan objek (satuan-satuan/ individu-individu) yang karakteristiknya hendak diduga. (2005: 93). Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Populasi merupakan keseluruhan subjek (orang, binatang, atau apa saja) dengan karakteristik yang sama, dimana penelitian dilakukan. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2006: 130), populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Populasi juga dapat diartikan sebagai totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya. (Sudjana, 1996: 5). 65 Tentrem Widodo (2008: 47) menyebutkan bahwa populasi adalah keseluruhan individu atau satuan-satuan tertentu sebagai anggota atau himpunan dalam suatu kelas/ golongan tertentu. Tentrem widodo juga mengatakan bahwa populasi bisa berupa apa saja sepanjang berada dalam dunia empiri seperti benda mati, hewan, tumbuhan, dan manusia, atau peristiwa-peristiwa lainnya. Karena populasi dipandang sebagai kelompok (bukan individu), maka apapun jenis populasinya bisa ditemukan kesamaan karakteristiknya diantara individu atau bagian-bagiannya, yang dalam hal ini disebut homogenitas. Homogenitas mendeskripsikan karakteristik suatu populasi, bukan individu, sehingga sampel dapat ditarik atau diambil dari populasi untuk mewakili karakteristik populasi, harapannya karakteristik sampel dapat digeneralisasikan pada populasi secara sah menurut kaidah ilmiah. Hal ini berkaitan dengan tingkat keluasan generalisasi pada populasi (ecological generalizability). Keabsahan generalisasi selalu tidak bisa dilepaskan dengan konteks populasi. Suharsimi Arikunto dalam bukunya “Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek”(2006: mengemukakan beberapa contoh populasi, diantaranya adalah: a. Semua orang yang terdaftar dalam angkatan laut pada hari tertentu. b. Semua televisi dari tipe yang sama yang diproduksi oleh suatu pabrik dalam satu tahun tertentu. c. Semua mahasiswa yang terdaftar mengambil suatu mata kuliah tertentu. d. Semua jenis senjata uyang diperbolehkan oleh undang-undang. Suharsismi Arikunto (2006: 130) menyebutkan, jika dilihat dari jumlahnya populasi dapat dibedakan menjadi: a. Jumlah terhingga (terdiri dari elemen dengan jumlah tertentu) seperti contoh nomor 1, 2, dan 3 diatas. b. Jumlah tak hingga (terdiri dari elemen yang sukar sekali dicari batasannya). Mungkin senjata itu kini sudah jadi, sudah diproduksi, 66 tetapi mungkin juga belum diproduksi oleh pabrik, atau bahkan sudah rusak dan dimusnahkan. Syaifuddin Azwar (1997: 77) menyebutkan bahwa populasi adalah kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sebagai suatu populasi, kelompok ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristikkarkteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Ciri yang dimaksud tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi akan tetapi dapat terdiri dari karakteristik-karakeristik individu (Syaifuddin Azwar: 77). Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah siswa kelas sepuluh (X) SMAN 4 Surakarta tahun ajaran 2009-2010, yakni sebanyak 340 siswa. 2. Sampel Sampel menurut Sutrisno Hadi (2004; 182) adalah sebagian dari populasi. Sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang sama, baik kodrat maupun sifat pengkhususan. Menurut Pangestu Subagyo dan Djarwanto(2005: 93), sampel adalah sebagian dari populasi yang karakteristiknya hendak diselidiki, dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi (jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah populasinya). Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2006; 131), sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Syaifuddin Azwar menyatakan bahwa sampel adalah sebagian dari populasi. Hal ini berarti bahwa sampel harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. Apakah sampel merupakan representasi yang baik bagi populasinya sangat bergantung pada sejauhmana karakteristik sampel itu sama dengan karakteristik populasinya (2009: 79). Penelitian tentang “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini nantinya merupakan penelitian yang dilakukan dengan menggunakan sampel. Hal ini dikarenakan populasi dari penelitian berjumlah 340 siswa (termasuk dalam populasi besar). 67 Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 134), apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik ambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10%- 15%, atau 20%- 25% atau lebih, tergantung setidaknya dari: a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana. b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini banyak sedikitnya data. c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang resikonya besar, tentu saja jika sampelnya besar, hasilnya akan lebih baik.. Kebanyakan peneliti beranggapan bahwa semakin banyak sampel, atau semakin besar presentase sampel dari populasi, hasil penelitian akan semakin baik. Anggapan ini benar, tetapi tidak selalu demikian. Hal ini tergantung dari sifat-sifat atau ciri-ciri yang dikandung oleh subjek penelitian dalam populasi. Selanjutnya sifat-sifat atau ciri-ciri tersebut bertalian erat dengan homogenitas subjek dalam penelitian. Dalam penelitian ini nantinya, sampel yang akan diambil adalah sebanyak 15% dari populasi yakni sebanyak 51 siswa. Teknik pengambilan sampel yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik proporsional random sampling. Sampel yang diambil adalah sebanyak 15% persen dari siswa kelas satu yakni 51 siswa dari 340 siswa tersebut dipilih secara acak (random). Proses randomisasi tersebut menurut Suharsimi Arikunto (2006: 136-137) ada tiga cara. Sebelumnya untuk mempermudah, maka dimisalkan kita mempunyai 1000 orang dan sampelnya kita tentukan sebanyak 200 orang. Kemudian semua sampel ini diberi nomor urut 1-200, lalu di ambil secara random dengan menggunakan salah satu dari ketiga cara dibawah ini, yaitu: a. Undian (untung-untungan) Pada kertas-kertas kecil kita tuliskan nomor subjek, satu nomor untuk setiap kertas. Kemudian kertas ini digulung. Dengan tanpa prasangka, kita mengambil 200 gulungan kertas, sehingga nomor-nomor yang 68 tertera pada gulungan kertas yang terambil itulah yang merupakan nomor subjek sampel penelitian kita. b. Ordinal (tingkatan sama) Setelah 1000 orang subjek kita beri nomor, kita membuat 5 gulungan kertas dengan nomor 1, 2, 3, 4, 5. Kita ambil satu, misalnya setelah dibuka tertera angka 3. Oleh karena sampel kita 200 padahal populasinya 1000 maka besarnya sampel seperlima populasi. Demikianlah maka kita ambil nomor dengan melompat setiap 5 subjek, mulai dari nomor 3, lau 8, 13, 18, 23, dan seterusnya, dan kalau sudah sampai nomor terbawah padahal belum diperoleh 200 subjek, kita kembali keatas lagi. Nomornomor yang terambil itulah nomor subjek sampel penelitian kita. c. Menggunakan tabel bilangan random Didalam buku-buku statistik bagian belakang, biasanya terdapat halaman yang memuat angka-angka yang disusun secara acak. Angka-angka tersebut dapat dicari letaknya menurut baris dan kolom. Agar pengambilan sampel terlepas dari perasaan subjektif, maka sebaiknya peneliti menuliskan langkah-langkah yang akan diambil, misalnya: 1) Menjatuhkan ujung pensil, menemukan nomor baris; 2) Menjatuhkan ujung pensil kedua, menemukan nomor kolom. Pertemuan antara baris dan kolom inilah nomor subjek ke-1; 3) Bergerak dari nomor tersebut 2 langkah ke kanan, menemukan nomor subjek ke-2; 4) Bergerak ke bawah 5 langkah menemukan nomor subjek ke-3; 5) Bergerak ke kiri 2 langkah menemukan nomor subjek ke-4. Demikian seterusnya sampai diperoleh jumlah subjek yang dikehendaki. Perlu ditambahkan disini bahwa apabila jumlah subjeknya tidak terlalu banyak, maka semua langkah dapat ditulis. Tetapi jika jumlah subjeknya banyak, kita dapat mengulang langkah yang sudah kita lalui. Apabila suatu ketika kita menemukan angka nomor subjek yang sudah terambil, maka kita melewati langkah tersebut dan meneruskan ke langkah berikutnya. 69 Pengambilan nomor tentu saja tidak selalu harus satu angka.Untuk memperoleh subjek dengan nomor lebih besar dari 9, kita gunakan 2 atau 3 angka, kekanan, ke kiri, ke bawah atau ke atas. Terkait dengan penelitian tentang Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta ini, peneliti akan mempergunakan cara random undian (untung-untungan). C. Teknik Pengumpulan Data 1. Sumber Data Suharsimi Arikunto (2006: 129) menyebutkan bahwa sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Data yang dikumpulkan tersebut menurut Syaifuddin Azwar (2009: 36) ada dua, yaitu: a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama melalui prosedur dan tekhnik pengambilan data yang dapat berupa interview, observasi, maupun penggunaan instrumen pengukuran yang khusus dirancang sesuai dengan ukurannya. Dalam penelitian ini, yang menjadi subyeknya adalah siswa kelas X SMAN 4 Surakarta yang terpilih menjadi responden b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi. Dalam penelitian ini, peneliti mempergunakan nilai raport sebagai data sekunder. 2. Variabel Penelitian Istilah variabel itu sendiri pada dasarnya merupakan istilah yang tidak pernah ketinggalan dalam setiap penelitian. F. N. Kerlinger dalam Suharsimi Arikunto (2006: 116) menyebut variabel sebagai sebuah konsep seperti halnya laki-laki dalam konsep jenis kelamin, insaf dalam konsep kesadaran. 70 Sutrisno Hadi, juga dalam Suharsimi Arikunto (2006: 116) mendefinisikan variabel sebagai gejala yang bervariasi misalnya jenis kelamin, karena jenis kelamin mempunyai variasi: laki-laki-perempuan; berat badan, karena ada berat badan 40 kg, dan sebagainya. Gejala adalah objek penelitian, sehingga variabel adalah objek penelitian yang bervariasi. Didalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tiga variabel yang terdiri atas dua variabel bebas dan satu variabel terikat. a. Variabel bebas : Persepsi Siswa tentang Kompetensi Guru ( X 1 ) Antusiasme Belajar ( X 2 ) b. Variabel terikat : Prestasi Belajar Sosiologi (Y) 3. Penyusunan Instrumen Teknik penyusunan instrumen untuk memperoleh data didalam penelitian ”Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini dilakukan dengan: a. Angket atau kuesioner Menurut Sudirman (1987: 276), angket atau kuesioner merupakan alat untuk mengumpulkan dan mencatat data atau informasi , sikap, dan faham dalam hubungan kausal. Angket Kuesioner juga dapat diartikan sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Angket mempunyai kesamaan dengan wawancara kecuali dalam implementasinya angket dilaksanakan secara tertulis. Angket atau kuesioner dipakai untuk menyebut metode maupun instrument. Jadi dalam menggunakan metode angket atau kuesioner, instrument yang dipakai adalah angket atau kuesioner. Didalam penggunaan angket ini terdapat beberapa keuntungan. Seperti yang disebutkan oleh Sudirman (1987: 276), keuntungan penggunaan angket antara lain: 71 1. Responden dapat menjawab dengan bebas, tanpa dipengaruhi hubungan dengan peneliti atau penilai, dan waktu relatif lama sehingga objektivitas dapat terjamin. 2. Informasi atau data terkumpul lebih mudah karena itemnya homogen. 3. Dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari jumlah responden yang besar yang dijadikan sampel. Sedangkan kerugian dari penggunaan angket tersebut antara lain: 1. Ada kemungkinan angket diisi oleh orang lain. 2. Hanya diperuntukkan bagi yang dapat melihat saja. 3. Responden hanya dapat menjawab berdasarkan jawaban yang ada. Terdapat bermacam-macam bentuk angket, antara lain: 1. Bentuk angket berstruktur, yaitu angket yang menyediakan kemungkinan jawaban. Bentuk angket berstruktur dibagi lagi sebagai berikut: a. Bentuk jawaban tertutup, yaitu angket yang pada setiap pertanyaannya sudah tersedia berbagai alternatif jawaban. b. Bentuk jawaban tertutup tapi pada alternatif terakhir diberikan jawaban terbuka. c. Bentuk jawaban bergambar, yaitu angket yang memberikan jawaban dalam bentuk gambar. 2. Bentuk angket tak berstruktur, yaitu bentuk angket yang mencakup pertanyaan terbuka dan responden secara bebas menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini memang memberi faham yang lebih mendalam tentang situasi, tetapi kurang dapat dinilai secara objektif. Jawabannya tidak dapat dianalisis secara statistik sehingga kesimpulannya hanya merupakan pandangan yang bersifat umum. Adapun langkah-langkah dalam penyusunan angket adalah sebagai berikut: 1. Menyusun layout, yaitu merinci hal-halyang berkenaan dengan masalah pokok sehingga nampak urutannya. 72 2. Menyusun pertanyaan-pertanyaan dan bentuk jawaban yang diinginkan, berstruktur, atau tak berstruktur. Yang jelas, setiap pertanyaan dan jawaban harus mengagambarkan dan atau mencerminkan data yang diperlukan. Pertanyaan harus diurutkan sehingga antara pertanyaan yang satu dengan yang lainnya ada kesinambungan. 3. Membuat pedoman atau petunjuk cara menjawab pertanyaan sehingga memudahkan responden menjawab pertanyaannya. 4. Jika angket sudah tersusun dengan baik, maka perlu dilaksanakan uji coba di lapangan sehingga dapat diketahui kelemahan-kelemahan. 5. Revisi: angket yang sudah diujicobakan, dan terdapat kelemahan, perlu direvisi, baik dilihat dari pertanyaannya maupun dari jawabannya. 6. Menggandakan angket sesuai dengan banyaknya anggota sampel. Teknik pengumpulan data dengan mempergunakan angket ini dimaksudkan peneliti untuk menggali data berkaitan dengan variabel bebas dalam penelitian yakni variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan variabel antusiasme belajar. b. Dokumentasi Tidak kalah pentingnya dari metode-metode lainnya, yaitu metode dokumentasi. Metode dokumentasi menurut Suharsimi Arikunto (2006: 231), adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya. Dokumentasi sendiri berasal dari kata dokumen yang berarti barang-barang tertulis. Sedangkan menurut Tentrem Widodo (2008; 54), teknik dokumentasi merupakan caa mengumpulkan data responden atau populasi penelitian dengan mengambil data tertulis (dokumen) yang telah tersimpan secara baik. Misalnya data usia, pekerjaan, tempat tinggal, status kekeluargaan. Pada umunya dokumentasi digunakan untuk memperoleh informasi karakteristik populasi penelitian. Keabsahan data terletak pada sumber data dokumentasi. 73 Dibandingkan dengan metode lainnya, metode dokumentasi agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati. Dalam menggunakan metode dokumentasi ini peneliti memegang check-list untuk mencatat variabel yang sudah ditentukan. Apabila terdapat/ muncul variabel yang dicari, maka peneliti tinggal membubuhkan tanda check atau tally ditempat yang sesuai. Untuk mencatat hal-hal yang bersifat bebas atau belum ditentukan dalam daftar peneliti dapat menggunakan kalimat bebas. Metode dokumentasi ini peneliti gunakan untuk memperoleh data berkaitan dengan prestasi belajar siswa yang menjadi responden. D. Rancangan Penelitian Penelitian tentang “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif sendiri menurut Purwanto, merupakan sebuah paradigma dalam penelitian yang memandang kebenaran sebagai sesuatu yang tunggal, objektif, universal, dan dapat diverifikasi. Adapun metode penelitian kuantitatif yang dipilih oleh peneliti adalah metode penelitian korelasi, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan tersebut (Suharsimi Arikunto, 1998: 251). Penelitian korelasi ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh atau hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Penelitian jenis korelasi digunakan untuk menemukan kemungkinan ada-tidaknya hubungan antar dua atau lebih variabel bebas dengan variabel bergantung (Tentrem Widodo,2008 : 41). Variabel-variabel itu terjadi secara bersamaan dan bersifat konstruk. Apapun variabel konstruk bisa dicari hubungannya dalam penelitian sepanjang didukung teori. Berdasarkan arah 74 hubungan dibedakan menjadi hubungan positif dan negatif. Berdasarkan banyaknya variabel dibedakan menjadi hubungan tunggal, hubungan ganda, hubungan multi, hubungan siklus, dan hubungan rumit (path correlation). Kaitannya dengan penelitian ini, banyaknya variabel menunjukkan hubungan ganda. Pola hubungan ganda dalam penelitian ini menggambarkan adanya hubungan antara ketiga variabel, baik itu variabel bebas dan variabel terikatnya. Persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar siswa memungkinkan adanya pengaruh terhadap capaian prestasi belajar siswa, dimana hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dalam penelitian ini bersifat satu arah, bukan hubungan yang bersifat timbal balik. 1. Validitas Instrumen Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Saifudin Anwar, 1997: 5). Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2006: 168), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur, yang sesuai dengan maksud yang dilakukannya pengukuran tersebut. Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah. Bukti empiris validitas konstruk ditunjukkan dengan koefisien korelasi antara skor per item (X) dengan skor total (Y). Dalam penelitian ini, jenis validitas yang digunakan adalah validitas konstruk (construct validity). Menurut Tentrem Widodo (2008: 77) validitas konstruk dibatasi ketepatan item instrumen pengukuran dengan bangunan variabel (batasan variabel) yang bersifat abstrak. Sejauh mana item-item ini mengukur indikator-indikator yang dihipotesiskan dalam batasan variabel 75 yang diukur.Untuk menguji uji validitas angket digunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut: N å XY - (å X )(å Y ) r xy = {N å X 2 }{ - (å X ) 2 N å Y 2 - (å Y ) 2 } Keterangan: r xy = Koefisien antara variabel X dan variabel Y X = Skor subjek pada item tertentu Y = Skor total subjek N = Jumlah subjek Jika r xy hitung ³ r xy tabel maka instrumen dikatakan valid Jika r xy hitung £ r xy tabel maka instrumen dikatakan tidak valid Menurut Saifuddin Azwar (1997: 10), validitas pada umumnya dinyatakan secara empirik oleh suatu koefisien, yaitu koefisien validitas. Validitas dinyatakan oleh korelasi antara distribusi skor tes yang bersangkutan dengan distribusi skor suatu kriteria yang relevan. Kriteria ini dapat berupa skor tes lain yang mempunyai fungsi ukur yang sama dengan tes yang bersangkutan dan dapat pula berupa ukuran-ukuran lain yang relevan, misalnya performansi pada suatu pekerjaan, hasil rating oleh pihak ketiga dan semacamnya. Saifuddin Azwar (1997: 10) menyatakan apabila skor pada tes diberi lambang X dan skor pada kriterianya mempunyai lambang Y, maka koefisien korelasi antara tes antar kriteria itu adalah rxy . Simbol rxy inilah yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya validitas suatu alat ukur. Koefisien validitas hanya mempunyai makna jika mempunyai harga yang positif. Walaupun semakin tinggi mendekati angka 1,0 berarti suatu tes 76 semakin valid hasil ukurnya, namun dalam kenyataannya suatu koefisien validitas tidak akan pernah mencapai angka maksimal atau medekati angka 1,0. 2. Reliabilitas Instrumen Menurut Saifudin Azwar (1997: 4), reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang mempunyai asal kata rely dan ability. Meskipun realiabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Reliabilitas dibatasi seberapa keajegan atau kekonstanan hasil pengukuran suatu variabel. Bedanya, validitas yang diuji adalah item instrumennya, sedang reliabilitas yang diuji hasil pengukurannya. Adapun uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan reliabilitas konsistensi internal. Reliabilitas konsistensi internal merupakan keajegan hasil pengukuran suatu variabel antara kelompok item tertentu dengan kelompok item lainnya dalam satu perangkat pengukuran yng diberikan dalam satu kali pengukuran (Tentrem Widodo, 2008; 78) Untuk melakukan uji reliabilitas digunakan rumus alpha (Suharsimi Arikunto, 2006: 196), sebagai berikut: 2 é k ùé ås b ù 1 ú =ê úê s t2 úû ë (k - 1) û êë r 11 Keterangan: r11 = Reliabilitas instrumen k = Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal ås st 2 2 b = Jumlah varians butir = Varians total 77 Jika r hitung ³ r tabel maka instrumen dikatakan reliabel Jika r hitung £ r tabel maka instrumen dikatakan tidak reliabel Menurut Saifuddin Azwar (1997: 8) secara empirik, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Pada awalnya, tinggi rendahnya reliabilitas tes dicerminkan oleh koefisien korelasi antara skor pada dua tes yang pararel, yang dikenakan pada sekelompok individu yang sama. Semakin tinggi koefisien korelasi termaksud berarti konsistensi antara hasil pengenaan dua tes tersebut semakin baik dan hasil ukur kedua tes itu dikatakan semakin reliabel. Sebaliknya, apabila dua tes yang dianggap pararel ternyata menghasilkan skor yang satu sama lain berkorelasi rendah maka dapat dikatakan bahwa reliabilitas hasil ukur tes tersebut tidak tinggi. Saifuddin Azwar (1997: 9) juga menyebutkan walaupun secara teoritik besarnya koefisien reliabilitas berkisar mulai dari 0,0 sampai dengan 1,0 tetapi pada kenyataannya koefisien sebesar 1,0 dan sekecil 0,0 tidak pernah dijumpai. Disamping itu, walaupun koefisien korelasi dapat saja bertanda negatif (-), koefisien reliabilitas selalu mengacu pada angka positif (+) dikarenakan angka yang negatif tidak ada artinya bagi interpretasi reliabilitas yang diukur. Koefisien reliabilitas rxx 2 = 1,0 berarti adanya konsistensi yang sempurna pada hasil ukur yang bersangkutan. Konsistensi yang sempurna seperti itu tidak dapat terjadi dalam pengukuran aspek-aspek psikologis dan sosial yang menggunakan manusia sebagai subjeknya dikarenakan terdapatnya berbagai sunber error dalam diri manusia dan dalam pelaksanaan pengukuran yang sangat mudah mempengaruhi kecermatan hasil pengukuran. E. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul dengan lengkap dan benar, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data dengan cara menyederhanakan data ke 78 dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca agar dapat menjawab hipotesis penelitian yang diajukan oleh peneliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi ganda. Teknik analisis regresi ganda adalah analisis tentang hubungan antara satu dependent variabel dengan dua atau lebih independent variabel. (Suharsimi Arikunto, 2006: 296) Adapun langkah-langkah analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menyusun Tabulasi data Menyusun tabulasi data maksudnya adalah data-data yang telah diperoleh kemudian disusun kedalam tabel-tabel untuk memudahkan dalam proses penghitungan. Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 236), yang termasuk dalam kegiatan tabulasi ini adalah: a) Memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang perlu diberi skor. Misalnya tes, angket bentuk pilihan ganda rating scale dan sebagainya. b) Memberikan kode-kode terhadap item-item yang tidak diberi skor. Contoh: 1) Jenis kelamin : laki-laki diberi kode 1 Perempuan diberi kode 0 2) Tingkat pendidikan : Sekolah Dasar diberi kode 1 Sekolah Menengah Pertama diberi kode 2 Sekolah Menengah Atas diberi kode 3 Perguruan Tinggi diberi kode 4 3) Banyaknya penataran yang pernah diikuti dikelompokkan dan diberi kode atas : Mengikuti lebih dari 10 kali diberi kode 3 Mengikuti antara 1 s/d 9 kali diberi kode 2 Tidak pernah mengikuti diberi kode 1 79 c) Mengubah jenis data, disesuaikan atau dimodifikasikan dengan teknik analisis yang akan digunakan. d) Memberikan kode (coding) dalam hubungan dengan pengolahan data jika akan menggunakan komputer. Dalam hal ini pengolah data memberikan kode pada semua variabl, kemudian mencoba menentukan tempatnya didalam coding sheet (coding form), dalam kolom beberapa baris ke berapa. Apabila akan dilanjutkan, sampai kepada petunjuk penempatan setiap variabel pada kartu kolom (punc card). 2. Uji Persyaratan Analisis Uji persyaratan analisis yang akan dipergunakan dalam penelitian yang berjudul ”Pengaruh Persepsi Siswa tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini adalah uji normalitas dan uji linieritas. Uji persyaratan analisis tersebut dapat dijabarkan sebabgai berikut: a) Uji Normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang didapat berdistribusi normal. Untuk menguji normalitas data digunakan uji Chi Kuadrat (Chi-Square) dalam Sukardi (2002 : 54-55), yaitu sebagai berikut : 2 X = å ( fo - fh ) 2 fh Keterangan : X2 = koefisien chi kuadrat Fo = jumlah frekuensi yang telah diperoleh Fh = jumlah frekuensi yang diharapkan fh = ( jumlahgolongan ) ´ ( jumlahkategori ) jumlah 80 b) Uji Linieritas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui hubungan yang linier antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat yaitu antara X1 dengan Y dan antara X2 dengan Y. Uji linieritas dilakukan dengan mengunakan rumus dari Sudjana (2002: 332) sebagai berikut : é êå Y êë 1. JK (G) = å X1 2. JK (TC) = JK (S) – JK (G) 3. Dk(G) =N–K 4. Dk (TC) =k–2 5. RJK (TC) = d f ( T C ) 6. RJK (G) = 7. F hitung = R JK (G ) 2 - (å Y N J K (T C ) J K (G ) d f (G ) R J K (T C ) Keterangan : JK (G) = Jumlah Kuadrat Galat JK (TC) = Jumlah Kuadrat Tuna Cocok Dk (G) = Derajat Kebebasan Galat Dk (TC) = Derajat Kebebasan Tuna Cocok RJK (G) = Kuadrat Tengah Galad RJK (TC) = Kuadrat Tengah Tuna Cocok ) 2 ù ú úû 81 Atau dapat menggunakan rumus lain dari Ronald E. Walpole (1995: 342) : a = y - bx n æ n öæ n ö n å xi y i - ç å xi ÷ç å y i ÷ i =1 è i =1 øè i =1 ø b= 2 n æ n ö nå xi 2 - ç å xi ÷ i =1 è i =1 ø persamaan garis regresinya menjadi : yˆ = a + bx 3. Uji Hipotesis a. Mencari korelasi antara kriterium dan redictor 1) Menghitung korelasi sederhana antara X 1 dengan Y, digunakan rumus (å X )(å Y ) åX Y N ìï (å X ) üïìï (å Y ) X íå ýíå Y N N 1 rx1 y = 1 2 ïî 1 üï ý ïþ 2 1 2 2 ïþïî 2) Menghitung korelasi sederhana antara X 2 dengan Y, digunakan rumus: (å X )(å Y ) åX Y N ìï (å X ) üïìï (å Y ) X íå ýíå Y N N 2 rx2 y = 2 2 2 ïî 2 2 2 2 ïþïî üï ý ïþ 82 3) Menentukan koefisien korelasi antara X 1 , X 2 , dengan Y, yaitu dengan rumus : RY (1,2 ) = a1 å x1 y + a 2 å x 2 y åy 2 Keterangan : ry(1,2) = Koefisien korelasi antara Y dengan X 1 dan X 2 a1 = Koefisien prediktor X 1 a2 = Koefisien prediktor X 2 X1Y = Jumlah produk antara X1 dan Y X2Y = Jumlah produk antara X2 dan Y å Y2 = Jumlah kuadrat kriterium Y (dalam Sukardi, 2002: 65) b. Sumbangan Relatif Mencari sumbangan relatif X 1 dan X 2 terhadap Y, dengan rumus: Untuk X 1 terhadap Y : SR X1 = SR X1 = a1 å X 1Y JK (reg ) ´ 100% a1 å X 1Y a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y ´ 100% \untuk X 2 terhadap Y : SR X 2 = SR X 2 = a 2 å X 2Y JK (reg ) ´ 100% a 2 å X 2Y a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y (Sukardi, 2002; 66-67) ´ 100% 83 c. Sumbangan Efektif Untuk mencari sumbangan ini, dihitung dulu efektivitas garis regresi, yaitu : R2 = R2 = R2 = JK (reg ) JK (TOT ) a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y JK (reg ) + JK (res ) a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y {a å X Y + a å X Y }+ {(1 - R )(å Y )} 2 1 1 2 2 2 1) mencari sumbangan efektif X 1 terhadap Y, yaitu : SE% X 1 = SR% X 1 xR 2 2) mencari sumbangan efektif X 2 terhadap Y, yaitu : SE% X 2 = SR % X 2 xR 2 Keterangan : SR : Sumbangan Relatif masing-masing prediktor. SE : Sumbangan Efektif masing-masing prediktor. R² : Koefisien antara X1 dan X2. Dimana R 2 = SE adalah efektifitas garis regresi (Sukardi, 2002: 66-67) 84 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Penelitian mengenai Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi ini dilaksanakan pada SMAN 4 Surakarta. SMAN 4 Surakarta bukanlah sekolah yang terbentuk secara langsung menjadi SMA Negeri, akan tetapi diawali dengan sekolah swasta yang bernama SMA Bagian C. Didirikan oleh Drs. GPH.H. Mulardi Prawironegoro pada tahun 1946. berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 7371/13/1950 tanggal 2 September 1950, SMA Bagian C resmi menjadi SMA Negeri 3 Bagian C dengan kepala sekolah GPH. H. Mulardi Prawironegoro dan dibantu wakil kepala sekolah Drs. Kabul Dwijolaksono. SMA Negeri 3 Bagian C menempati gedung SD Kesatriyan Baluwarti pada tahun 1950 sampai dengan tahun 1951, selanjutnya dari tahun 1951 sampai 1958 menempati dua lokasi, yaitu gedung SMP Kristen Banjarsari dan Gedung SMP Negeri 4 Surakarta. SMA Negeri Bagian C dari tahun ke tahun mulai menampakkan peningkatan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Terbukti dari daya tampung SMA ini yang semakin meningkat, maka Menteri P dan K mengeluarkan SK No. 4083/B III tanggal 5 Agustus 1955 yang berisikan bahwa SMA Negeri 3 Bagian C dipecah. Sejak saat itu nama SMA Negeri 3 Bagian C tidak digunakan lagi. SMA Negeri 3 Bagian C dipecah menjadi dua bagian yaitu: a. SMA Negeri 4 Bagian C dengan Kepala Sekolah Drs. GPH. H. Mulardi Prawironegoro yang menempati gedung SMP Kristen Banjarsari Surakarta. b. SMA Negeri 5 Bagian C dengan Kepala Sekolah Drs, Kabul Dwijolaksono yang menempati gedung SMP Negeri 4 Surakarta. 85 Kedua SMA tersebut pada bulan Agustus 1958 pindah ke gedung baru di Jl. LU Adisucipto No.1 Surakarta, sedangkan kegiatan akademik atau proses belajar mengajar dilaksanakan pada waktu: a. SMA Negeri 4 Bagian C pada pagi hari jam 07.00 – 12.00 WIB b. SMA Negeri 5 Bagian C pada siang hari jam 13.00 – 18.00 WIB Sejak bulan September 1974 untuk SMA Negeri 5 Bagian C menempati gedung baru di daerah Bibis, Cengklik Surakarta. Sedangkan lokasi yang berada di Jalan LU. Adisucipto No.1 digunakan seluruhnya oleh SMA Negeri 4 Bagian C yang telah diubah namanya menjadi SMA Negeri 4 Surakarta. Sampai saat ini, SMA Negeri 4 Surakarta telah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan, yakni: 1. Drs. GPH. H. Mulardi Prawironegoro (1950 – 1960) 2. K RMT. Tondanagoro (1960 – 1972) 3. Drs. RM. Gunawan Prawiroatmodjo (1972 – 1978) 4. Drs. Winoto Sugeng, B.Sc(1978 – 1986) 5. Ny. Sutami (1986 – 1993) 6. H. Akhmad Sukri, SH (1993 – 1994) 7. Drs. H. Sadiyat (1994-1999) 8. Dra. Hj. Tatik Sutarti, MM (1999 – 2002) 9. KRT. Drs. Soedjinto Notodipuro, MM (2002-2007) 10. Drs. Edy Pudiyanto (2007 – Sampai sekarang) 2. Deskripsi Data Penelitian Didalam deskripsi data ini akan dikemukakan hasil pengumpulan data tiap-tiap varibel yang diteliti secara deskriptif. Dalam pembahasan yang terkait dengan masalah yang dikaji dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Persepsi Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini, dibutuhkan tiga macam data yaitu: 86 1. Data persepsi tentang kompetensi guru, sebagai variabel bebas pertama (C 1 ) . 2. Data antusiasme belajar, sebagai variabel bebas kedua (C 2 ) . 3. Data prestasi belajar sosiologi (U ) Data tersebut diperoleh melalui teknik pengumpulan data dengan menggunakan instrumen penelitian berupa angket dan melalui teknik dokumentasi dengan mempergunakan nilai rapor siswa. Data untuk variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan variabel antusiasme belajar diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian berupa angket, sedangkan data untuk variabel prestasi belajar sosiologi diperoleh melalui dokumentasi nilai rapor siswa untuk mata pelajaran sosiologi. Jika data yang diperoleh melalui instrumen penelitian berupa angket telah terkumpul, kemudian instrumen di uji coba kelayakannya untuk kemudian dipergunakan dalam penelitian. a. Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru ( C 1 ) Data dari variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru diperoleh dari skor hasil pengisian angket persepsi siswa tentang kompetensi guru. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa skor angket yang tertinggi adalah 92,00 dan nilai terendah adalah 44,00, sedangkan nilai rata-ratanya (mean) adalah 69,61. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif sebagaimana yang terdapat dalam lampiran 13. Berdasarkan lampiran 13 diperoleh deskripsi data dari variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru yang dapat disajikan dalam tabel berikut ini: Variab M el Mi a M n x Me Mo e d d a i u n a s SB S 10 7, n persep 92 44 69, 69,3 68, 87 si . , 6 sis 0 0 1 wa 0 0 3 5 , 0 6 0 ten tan g ko mp ete nsi gur u Tabel 2. Deskripsi Data Variabel C 1 Distribusi frekuensi dari data variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dapat dilihat pada tabel berikut: Variat f Fx Fx 2 f% Fk % naik 83,5- 4 361,00 32.589,00 93 7,84 100,00 % ,5 73,5- 14 1.093,00 85.421,00 83 27,45 92,16 % ,5 63,5- 18 1.238,00 85.250,00 73 35,29 64,71 % ,5 53,5- 11 659,00 39.517,00 63 21,57 29,41 % ,5 43,5- 4 199,00 9.949,00 7,84 7,84 88 53 % ,5 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Variabel C 1 Dari tabel distribusi frekuensi variabel C 1 di atas dapat diketahui bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 63,5-73,5, sedangkan skor angket yang memiliki skor terendah adalah skor antara 43,5-53,5 dan 83,5-93,5. Distribusi variabel C 1 dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut: Frekuensi 20 15 10 5 0 43,5-53,5 53,5-63,5 63,5-73,5 73,5-83,5 83,5-93,5 Interval Kelas Gambar 9. Grafik Histogram Variabel C 1 Dari gambar grafik histogram diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai skor persepsi siswa tentang kompetensi guru pada kisaran 63,5-73,5. Skor ini termasuk dalam kategori sedang. Hanya sebagian kecil saja siswa yang memiliki persepsi tentang kompetensi guru sangat tinggi dan sangat rendah. Hanya ada 4 siswa yang memiliki persepsi tentang kompetensi guru yang sangat kecil, yakni pada skor antara 43,5-53,5. Begitu juga dengan siswa yang memiliki persepsi tentang kompetensi guru dengan skor yang sangat tinggi, yakni hanya 4 siswa yan memiliki skor diantara 83,5-93,5. b. Antusiasme Belajar ( C 2 ) 89 Data dari variabel antusiasme belajar diperoleh dari skor hasil pengisian angket antusiasme belajar. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa skor angket yang tertinggi adalah 97,00 dan nilai terendah adalah 55,00, sedangkan nilai rata-ratnya (mean) adalah 71,82. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif sebagaimana yang terdapat dalam lampiran 13. Berdasarkan lampiran 13 diperoleh deskripsi data dari variabel antusiasme belajar yang dapat disajikan dalam tabel berikut ini: Variab M el Mi a M n x Antusi 97, 55, Med Mo e i d a a u n n s 71, 70,7 as 0 0 8 me 0 0 2 4 68, S S 8, 6, 0 0 Bel ajar Tabel 4. Deskripsi Data Variabel C 2 Distribusi frekuensi dari data variabel antusiasme belajar dapat dilihat pada tabel berikut: Variat f fx Fx 2 f% Fk % nai k 90,5- 1 97,00 9.409,00 99 1,96 100,00 % ,5 81,590 5 426,00 36.334,00 9,80 % 98,04 90 ,5 72,5- 15 1.162,00 90.108,00 29,41 81 88,24 % ,5 63,5- 23 1.564,00 106.518,00 45,10 72 58,82 % ,5 54,5- 7 414,00 24.526,00 13,73 63 13,73 % ,5 Tabel 5. Distribusi Frekuensi Variabel C 2 Dari tabel distribusi frekuensi variabel C 2 di atas dapat diketahui bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 63,5-72,5, sedangkan skor angket yang memiliki skor terendah adalah skor antara 90,5-99,5. Distribusi variabel C 2 dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut: 25 Frekuensi 20 15 10 5 0 54,5-63,5 63,5-72,5 72,5-81,5 81,5-90,5 90,5-99,5 Interval Kelas Gambar 10. Grafik Histogram Variabel C 2 Dari gambar grafik histogram di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai skor antusiasme belajar pada kisaran 63,5-72,5. Skor ini termasuk dalam kategori cukup rendah. Hanya sebagian 91 kecil saja siswa yang memiliki antusiasme belajar yang tinggi, yakni hanya satu orang siswa yang memiliki skor antara 90,5-99,5. Siswa yang memiliki antusiasme belajar yang sangat rendah adalah sebanyak 7 orang siswa. c. Prestasi Belajar Sosiologi (Y) Data dari variabel prestasi belajar sosiologi siswa diperoleh dari nilai rapor siswa khusus untuk mata pelajaran sosiologi semester gasal 20092010. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai rapor yang tertinggi adalah 88,00 dan nilai terendah adalah 65,00, sedangkan nilai rata-ratanya (mean) adalah 74,43. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif sebagaimana yang terdapat dalam lampiran 13. Berdasarkan lampiran 13 diperoleh deskripsi data dari variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru yang dapat disajikan dalam tabel berikut ini: Varia Ma be Mi x Me n l Presta 88, 65, Med Mo a i d n a u n s 74, 73,8 si 0 0 4 B 0 0 3 8 el aj ar S os io lo gi Tabel 6. Deskripsi Data Variabel Y 67, 0 0 S S 5, 4, 92 Distribusi frekuensi dari data variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dapat dilihat pada tabel berikut: Variat f Fx Fx 2 f% fk % naik 84,5- 1 88,00 7.744,00 1,96 89 100,00 % ,5 79,5- 10 815,00 66.439,00 19,61 84 98,04 % ,5 74,5- 13 1.007,00 78.027,00 25,49 79 78,43 % ,5 69,5- 12 860,00 61.654,00 23,53 74 52,94 % ,5 64,5- 15 1.026,00 70.202,00 29,41 69 29,41 % ,5 Tabel 7. Distribusi Frekuensi Variabel Y Dari tabel distribusi frekuensi variabel C 3 diatas dapat diketahui bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara 64,5-69,5, sedangkan skor angket yang memiliki skor terendah adalah skor antara 84,5-89,5. Distribusi variabel C 3 dapat digambarkan dalam bentuk grafik sebagai berikut: Frekuensi 93 16 14 12 10 8 6 4 2 0 64,5-69,5 69,5-74,5 74,5-79,5 79,5-84,5 84,5-89,5 Interval Kelas Gambar 11. Grafik Histogram Variabel Y Dari gambar grafik histogram diatas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden mempunyai prestasi belajar sosiologi yang termasuk dalam kategori sangat rendah, yaitu pada kisaran 64,5-69,5, yakni sebanyak 15 siswa. Siswa yang memiliki prestasi belajar yang sangat tinggi, yakni berkisar antara 84,5-89,5 adalah sebanyak satu siswa. B. Pengujian Persyaratan Analisis Pengujian persyaratan analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah uji normalitas dan uji linieritas. 1. Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data yang dianalisis mempunyai sebaran yang normal atau tidak. Perhitungan uji normalitas yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Data Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru ( C 1 ) Langkah pertama yang dilakukan untuk menguji normalitas variabel C 1 adalah membuat tabel rangkuman variabel C 1 (lampiran 14), kemudian dilakukan perhitungan dengan mempergunakan rumus chi-kuadrat. Dari perhitungan diperoleh hasil c 2 = 8,713, dan p = 0,464. Hasil 94 perhitungan tersebut menunjukkan p > 0,05, maka maka sesuai dengan kaidah p > 0,050 sebarannya normal dapat dinyatakan bahwa data variabel C 1 berdistribusi normal. b. Data Antusiasme Belajar Siswa ( C 2 ) Langkah pertama yang dilakukan untuk menguji normalitas variabel C 2 adalah membuat tabel rangkuman variabel C 2 (lampiran 14), kemudian dilakukan perhitungan dengan mempergunakan rumus chikuadrat. Dari perhitungan diperoleh hasil c 2 = 2,105, dan p = 0,990. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan p > 0,050, maka sesuai dengan kaidah p > 0,050 sebarannya normal, dapat dinyatakan bahwa data variabel C 2 berdistribusi normal. c. Data Prestasi Belajar Sosiologi Siswa (Y) Langkah pertama yang dilakukan untuk menguji normalitas variabel Y adalah membuat tabel rangkuman variabel Y (lampiran 14), kemudian dilakukan perhitungan dengan mempergunakan rumus chi-kuadrat. Dari perhitungan diperoleh hasil c 2 = 2,12,720 dan p = 0,079. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan p > 0,050, maka sesuai dengan kaidah p > 0,050 sebarannya normal, dapat dinyatakan bahwa data variabel Y berdistribusi normal. 2. Uji Linieritas a. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru ( C1 ) Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi (Y) Hasil perhitungan uji linieritas antara C 1 terhadap Y sebagaimana terdapat dalam lampiran 15 diperoleh harga F sebesar 0,011 dan p = 0,915. Didalam lampiran 15 disebutkan bahwa hasil korelasi antara C 1 terhadap Y adalah korelasi kuadratik. Korelasi kuadratik berarti bahwa 95 setiap penambahan satu variabel C 1 akan mengakibatkan penambahan secara kuadratik pada variabel Y. b. Pengaruh Antusiasme Belajar ( C 2 )Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi (Y) Hasil perhitungan uji linieritas antara C 2 terhadap Y sebagaimana terdapat dalam lampiran 15 diperoleh harga F sebesar 0,919 dan p = 0,656.00, maka hubungan C 2 terhadap Y berbentuk linier. C. Pengujian Hipotesis Setelah syarat-syarat terpenuhi, selanjutnya dapat dilakukan analisis data untuk mengetahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya diterima atau ditolak. Hipotesis nihil yang akan diajukan untuk diuji adalah hipotesis nihil, karena pengujian hipotesis dilakukan secara statistik. Adapun hipotesis nihil yang akan diajukan antara lain adalah: 4. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 5. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 6. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. Adapun analisa data yang dilakukan menghasilkan data sebagai berikut: a. Tabulasi Data Tabulasi data merupakan langkah awal dari analisis data yang hasilnya disajikan dalam tabel skor angket persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar (lampiran 10) Hasil perhitungan antara lain menunjukkan: 96 N SC 2 = 51 2 =266895 SC1 = 3550 SU 2 =284006 SC 2 = 3663 SC1 U = 264420 SU = 3796 SC 2 U = 273313 SC1 2 = 252726 SC1 C 2 = 257114 b. Menghitung persamaan Garis Regresi Linier Ganda ^ Persamaan garis regresi linier ganda adalah Y = b0 + b1 C 1 + b2 C 2 , berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana yang terdapat dalam ^ lampiran 16, maka persamaan garis regresi yang diperoleh adalah Y = 54,053 + 0234 (C 1 ) + 0,056 (C 2 ) . Persamaan garis regresi tersebut berarti bahwa prestasi belajar sosiologi (Y) akan meningkat sebesar 0234 yang disebabkan adanya pengaruh peningkatan skor dan juga akan mengalami peningkatan sebesar 0,056 untuk setiap peningkatan skor variabel antusiasme belajar (C 2 ) . c. Hasil Pengujian Hipotesis Dalam pengujian penelitian yang berjudul “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini diperoleh hasil: 1. Perhitungan koefisien regresi variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru (C 1 ) terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), diperoleh nilai t hitung sebesar 3,590 dan p = 0,001, dengan nilai N = 51. Nilai t tabel yang diperoleh adalah sebesar 3,505. Berdasarkan hasil tersebut maka t hitung > t tabel , maka hipotesis nihil yang berbunyi “tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” ditolak dan hipotesis alternatif yang berbunyi “ada pengaruh yang signifikan 97 antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” diterima. 2. Perhitungan koefisien regresi variabel antusiasme belajar (C 2 ) terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), diperoleh nilai t hitung sebesar 0,710 dan p = 0,512, dengan nilai N = 51. Nilai t tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,010. Berdasarkan hasil tersebut maka t hitung < t tabel , maka hipotesis yang nihil yang berbunyi “ tidak ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” diterima, dan hipotesis alternatif yang berbunyi “ ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” ditolak. d. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif Besarnya kontribusi atau sumbangan perubahan variabel X terhadap perubahan pada variabel Y ditunjukkan dengan sumbangan relatif (SR) dan sumbangan efektif (SE). SR menunjukkan berapa persen perubahan variabel Y yang dipengaruhi perubahan variabel C 1 dan C 2 , sedangkan SE menunjukkan berapa persen perubahan variabel Y yang dipengaruhi perubahan variabel C 1 dan C 2 secara parsial. 1) r C1U = 0,488, maka SE C 1 terhadap Y = 23,796 %, diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru memberikan pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar 23,796 %. 2) r x2 y = 0,279, maka SE C 2 terhadap Y = 0,653 %. Jika besar SE kurang dari 4 %, maka dapat dikatakan bahwa variabel antusiasme belajar tidak memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar (Bunderson Reigeluth: 1997). 3) r x1 x2 y = 0,494, maka SE C 1 dan terhadap Y = 24,448%, diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru 98 dan antusiasme belajar secara bersama-sama memberikan pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar 24,448 %. D. Pembahasan Hasil Analisis Data Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis kemudian dilakukan pembahasan hasil analisis data sebagai berikut: 1. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru (C 1 ) Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Hasil analisis data untuk mencari pengaruh antara variabel C 1 terhadap Y diperoleh harga t hitung sebesar 3,590 dan p = 0,001, dengan nilai N = 51. Nilai t tabel yang diperoleh adalah sebesar 3,505. Berdasarkan hasil tersebut maka t hitung > t tabel , maka hipotesis yang berbunyi “ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” diterima. Hal ini berarti bahwa bahwa ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi. Besar pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta menunjukkan hasil sebesar 23,796 %. Hal ini dapat dilihat dari nilai SE C 1 terhadap Y yakni sebesar 23,796 %. Hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa terhadap kompetensi guru hanya memberikan pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar 23,796 %. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwasanya prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta dipengaruhi oleh persepsi siswa tentang kompetensi guru sebesar 23,796. Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori Gestalt yang dikemukakan oleh Wertheimer. Menurut Bimo Walgito (2004: 93), teori Gestalt ini mula-mula dikemukakan oleh Wertheimer atas kejadian yang 99 dialaminya pada waktu ia berada di stasiun kereta api yang dinamakan phiphenomena, yaitu bahwa dalam seseorang mempersepsi sesuatu tidak hanya semata-mata tergantung pada stimulus objektif, tetapi individu yang mempersepsi juga berperan dalam persepsi tersebut. Dalam kaitannya dengan persepsi siswa tentang kompetensi guru, kita dapat melihat bahwasanya siswalah yang mempersepsi stimulus dari tenaga pengajar. Dalam teori tentang persepsi juga disebutkan beberapa hukum tentang persepsi, diantaranya yaitu: 7) Hukum Pragnanz Pragnanz berarti penting, meaningsfull, penuh arti atau berarti. Jadi apa yang dipersepsi itu menurut hukum ini adalah penuh arti, suatu kebulatan yang mempunyai arti penuh. Hukum ini oleh kaum Gestalt dipandang sebagai hukum yang pokok. 8) Hukum Figure – Ground Dalam persepsi dikemukakan adanya dua bagian dalam perceptual field, yaitu figure yang merupakan bagian yang dominan dan merupakan fokus perhatian, dan ground yang melatarbelakangi atau melengkapi. Jika individu mengadakan persepsi sesuatu, apa yang tidak menjadi fokus dalam persepsi itu akan menjadi fokus dalam persepsi itu akan menjadi latar belakang atau ground-nya. Antara figure dan gruond dapat pindah atau bertukar peran satu dengan yang lain, yaitu yang semua ground dapat menjadi figure, misalnya pada vas Rubin. Hal ini akan bergantung pada perhatian seseorang dalam mengadakan persepsi itu. 9) Hukum Kedekatan Hukum ini menyatakan bahwa apabila stimulus itu saling berdekatan satu dengan yang lain, akan adanya kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu keseluruhan atau suatu Gestalt. 100 10) Hukum Kesamaan (similary) Hukum ini menyatakan bahwa stimulus atau objek yang sama, mempunyai kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau sebagai suatu gestalt. 11) Hukum Kontinuitas Hukum ini menyatakan bahwa stimulus yang mempunyai kontinuitas satu dengan yang lain, akan terlihat dari ground dan akan dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. 12) Hukum Kelengkapan atau Ketertutupan (closure) Hukum ini menyatakan bahwa dalam persepsi adanya kecenderungan orang mempersepsi sesuatu yang kurang lengkap menjadi lengkap, sehingga menjadi sesuatu yang penuh arti atau berarti. Kesemua hukum persepsi di atas menggambarkan bagaimana seseorang menginterpretasikan stimulus yang ada. Demikian hallnya dengan seorang siswa yang selalu berinteraksi dengan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Setiap siswa tentunya mempunyai interpretasi atau persepsi sendiri terhadap semua tingkah laku ataupun kemampuan guru baik didalam kegiatan belajar mengajar maupun diluar kegiatan belajar mengajar tentunya. Persepsi siswa ini akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Siswa yang mempunyai persepsi negatif tentu akan memiliki respon yang berbeda dengan siswa yang memiliki persepsi yang positif terhadap guru-gurunya. Positif dan negatifnya persepsi ini akan berdampak pada tinggi rendahnya capaian hasil belajar sosiologi siswa. Semakin positif persepsi siswa tentang kompetensi guru, maka semakin tinggi pula capaian prestasi belajar sosiologi mereka. Persepsi siswa tentang kompetensi guru memberikan andil yang cukup besar terhadap tinggi rendahnya capaian 101 prestasi belajar sosiologi siswa. Positif dan negatifnya atau baik dan buruknya persepsi siswa akan kompetensi yang dimiliki oleh guru akan mempengaruhi pikiran siswa terhadap mata pelajaran sosiologi yang nantinya akan berpengaruh pula pada capaian prestasi belajar sosiologi siswa. 2. Pengaruh Antusiasme Belajar ( C 2 ) Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Hasil analisis data untuk mencari pengaruh antara variabel C 2 terhadap Y diperoleh diperoleh nilai t hitung sebesar 0,710 dan p = 0,512, dengan nilai N = 51. Nilai t tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,010. Berdasarkan hasil tersebut maka t hitung < t tabel , sehingga hipotesis yang berbunyi “ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” ditolak. Jika dilihat dari hasil matriks interkorelasi, variabel antusiasme belajar memiliki korelasi dengan variabel prestasi belajar sosiologi. Hal ini dapat dilihat dari nilai r x2 y sebesar 0,279, akan tetapi jika dilihat dari pengaruh antara variabel antusiasme belajar terhadap variabel prestasi belajar sosiologi pengaruhnya tidak begitu terasa karena besar pengaruhnya masih kurang dari 4 %. Besar pengaruh antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi dapat dilihat dari nilai SE C 2 terhadap Y yang diperoleh yakni sebesar 0,653 %. Hasil tersebut diatas dapat diinterpretasikan bahwa variabel antusiasme belajar tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel prestasi belajar. Tinggi rendahnya antusiasme belajar pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta pada kenyataannya tidak memberian pengaruh terhadap capaian prestasi belajar sosiologi mereka. Didalam kegiatan belajar mengajar, prestasi belajar merupakan tolak ukur berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Sebagaimana yang disebutkan oleh Murray pada teori 102 kebutuhannya dalam Bimo Walgito (2004: 230) bahwasanya prestasi adalah sebuah motif yang berkaitan dengan memperoleh prestasi yang baik, memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, serta mengerjakan tugastugas secepat mungkin dan sebaik-baiknya. Motif berprestasi inilah yang seharusnya menimbulkan antusiasme belajar yang tinggi dalam diri siswa sehingga dapat mencapai prestasi belajar sosiologi yang tinggi pula, namun dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa antusiasme yang timbul dalam diri siswa tidak memberikan pengaruh pada prestasi belajar sosiologi siswa. Dalam penelitian ini, dimungkinkan bahwasanya antusiasme belajar yang terdapat dalam diri siswa tidak dapat terukur secara jelas. Antusiasme belajar yang ada didalam diri siswa bisa jadi tercampur dengan faktor lain, seperti misalnya motivasi belajar atau motivasi untuk berprestasi. Antusiasme belajar siswa yang terlalu tinggi juga bisa menyebabkan logika berfikir siswa menjadi berkurang. Hal ini tentunya akan beakibat pada kurangnya penalaran siswa dalam menjawab soal-soal dari guru, yang merupakan tolak ukur dari penilaian kognitif siswa. 3. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru (C 1 ) dan Antusiasme Belajar ( C 2 ) Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Hasil analisis data untuk mencari pengaruh antara variabel C 1 dan C 2 terhadap Y diperoleh SE C 1 dan SE C 2 secara bersama-sama terhadap Y yakni sebesar 24,448 %. Hasil ini diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan variabel antusiasme belajar memberikan pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar 24,448 %. Hasil analisis data ini menunjukkan bahwasanya prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta dipengaruhi oleh persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar siswa sebesar 24,448 %. Dalam hal ini, variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru memiliki pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan variabel antusiasme belajar. 103 Hasil sumbangan efektif tersebut menunjukkan bahwa persepsi siswa tentang kompetensi guru disertai dengan antusiasme belajar yang tinggi memberikan pengaruh besar terhadap capaian hasil prestasi belajar sosiologi siswa. Semakin baik persepsi siswa tentang kompetensi guru belajar akan membuat siswa semakin menyukai mata pelajaran yang diajarkan oleh gurunya sehingga prestasi belajar sosiologi siswa akan semakin baik pula. Terkait dengan antusiasme belajar, dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa pengaruh antara antusiasme belajar siswa terhadap capaian prestasi belajar sosiologi tidak begitu terasa. Idealnya bahwa antusiasme belajar atau semangat belajar yang tinggi akan berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi, namun dalam penelitian ini tidak dapat dirasakan adanya pengaruh yang berarti. Berkaitan dengan variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar, peneliti mempergunakan teori belajar Humanistik. Seperti yang dikemukakan oleh Asri Budiningsih dalam bukunya “Belajar Dan Pembelajaran” (2008: 68), teori Humanistik ini beranggapan bahwa proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, daripada bidang kajian psikologi belajar. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya. Dalam kaitannya dengan prestasi belajar tidak hanya dilihat capaian hasil belajar secara kognitif semata, melainkan juga melihat kondisi pribadi siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Seperti misalnya memperhatikan bagaimana rasa semangat siswa atau antusiasme belajar siswa serta persepsi siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh guru itu 104 sendiri, karena pada dasarnya aliran humanistik ini mementingkan manusia sebagai pribadi yang bulat; mementingkan peranan kognitif dan afektif; mengutamakan terjadinya akualisasi diri dan self konsep; mengutamakan persepsi subjektif yang dimiliki tiap individu; mengutamakan kemampuan menentukan tingkah laku sendiri; serta mengutamakan insight (pengertian). Dari kedua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar sosiologi yang diteliti oleh peneliti, dapat dilihat bahwa faktor persepsi siswa tentang kompetensi guru memiliki pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan antusiasme belajar. Tingginya persepsi siswa tentang kompetensi guru akan menyebabkan tingginya capaian prestasi belajar sosiologi siswa. Disamping itu, persepsi siswa relatif lebih susah untuk diubah dibandingkan dengan antusiasme belajar yang cenderung susah untuk dipertahankan. Siswa dapat saja memiliki antusiasme belajar yang tinggi, namun dapat saja berubah menjadi rendah. Faktor inilah yang mungkin menyebabkan faktor persepsi siswa tentang kompetensi guru memiliki pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan dengan antusiasme belajar. Selain variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar diteliti, tentunya masih ada banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya capaian prestasi belajar sosiologi siswa. Hal ini ditunjukkan oleh besarnya sumbangan efektif variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru bersama-sama dengan variabel antusiasme belajar yakni hanya sebesar 24,448 %. Ini berarti bahwa masih terdapat 76,204 % lagi faktor lain yang mempengaruhi capaian hasil prestasi belajar sosiologi siswa. Faktor-faktor lain tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar sosiologi siswa yang tidak diteliti oleh peneliti. 105 BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil pengujian hipótesis yang telah dilakukan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), maka semakin tinggi persepsi siswa tentang kompetensi guru, semakin tinggi pula prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”, diterima. 2. Antusiasme belajar ( C 2 ) kurang berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), namun terdapat hubungan positif yang signifikan antara antusiasme belajar dengan prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. 3. Persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) dan antusiasme belajar ( C 2 )secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”, diterima. 4. SE C 1 terhadap Y = 23,796 %, diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) memberikan pengaruh pada variabel prestasi belajar sosiologi (Y) sebesar 23,796 % (24 %). 5. SE C 2 terhadap Y = 0,653 %, diinterpretasikan bahwa variabel antusiasme belajar ( C 2 ) memberikan pengaruh pada variabel prestasi 106 belajar sosiologi (Y) sebesar 0,653 %. Pengaruh sebesar 0,653 % (1 %) dinilai memberikan pengaruh yang tidak begitu terasa atau sangat kecil. 6. SE C 1 dan C 2 terhadap Y = 24,448%, diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) dan antusiasme belajar ( C 2 ) memberikan pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar 24,448 % (24 %). Masih terdapat 76,204 % atau sebesar 76 % yang berasal dari faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti yang dapat mempengaruhi prestasi belajar sosiologi siswa B. Implikasi Berdasarkan kesimpulan kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas, maka selanjutnya dapat dikemukakan implikasi hasil penelitian sebagai berikut: 1. Dengan adanya pengaruh yang signifikan persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta, maka dapat memberikan gambaran pada pihakpihak terkait, terutama para guru sosiologi untuk senantiasa meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Perubahan yang dilakukan diantaranya adalah perubahan sikap atau perilaku melalui kinerja yang lebih profesional sehingga para siswa dapat memiliki persepsi yang baik tentang kompetensi yang dimiliki oleh guru-gurunya. Positif atau negatifnya persepsi yang diberikan oleh siswa terhadap guru mata pelajaran sosiologi akan berpengaruh besar terhadap capaian prestasi belajar sosiologi siswa. Persepsi yang positif dari siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh gurunya akan membuat siswa menyenangi pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Sikap menyukai dan rasa senang terhadap guru dan terhadap mata pelajaran yang diberikan oleh guru dapat menghasilkan prestasi belajar sosiologi yang baik pula. Persepsi siswa pun seharusnya tidak bersifat permanen, melainkan 107 bersifat lebih dinamis sehingga jika siswa memiliki persepsi yang negatif tentang kompetensi gurunya masih dapat berubah menjadi postif. 2. Tidak adanya pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta, bukan berarti bahwa seorang siswa tidak perlu memiliki semangat belajar atau antusiasme belajar yangt tinggi. Bagi pihak-pihak terkait, terutama bagi siswa tentunya harus tetap memiliki antusiasme belajar yang tinggi dalam belajar sehingga dapat memperoleh hasil maksimal dalam belajar. Dewan guru pun juga harus mampu membangkitkan semangat atau antusiasme belajar yang tinggi pada diri siswanya sehingga dapat menciptakan suasana belajar yang penuh antusias dan menyenangkan. 3. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta sepeti adanya faktor persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar serta faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti, diharapkan semua pihak dapat lebih mudah dalam meningkatkan prestasi belajar sosiologi siswa. C. Saran 1. Bagi Kepala Sekolah SMAN 4 Surakarta Kepala sekolah hendaknya dapat bekerja sama dengan dewan guru, khususnya guru mata pelajaran sosiologi untuk dapat menimbulkan persepsi positif siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh guru serta berusaha membangkitan antusiasme belajar yang tinggi didalam diri siswa. Kepala sekolah juga harus selalu berusaha memantau dan meningkatkan kompetensi yang dimiliki oleh para guru. Persepsi positif siswa terhadap kompetensi guru serta rasa antusiasme belajar yang tinggi akan membuat siswa merasa nyaman dan senang dalam mengikuti pelajaran sehingga dapat memperoleh prestasi belajar sosiologi yang baik. 108 2. Bagi Guru SMAN 4 Surakarta Bagi para guru, khususnya guru mata pelajaran sosiologi hendaknya selalu meningkatkan kualitas diri baik itu kompetensi paedagogik, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, maupun kompetensi profesional termasuk diantaranya kemampuan untuk meningkatkan antusiasme belajar siswa sehingga siswa dapat memiliki persepsi positif terhadap kompetensi yang dimiliki oleh guru. 3. Bagi Siswa SMAN 4 Surakarta Para siswa hendaknya menyadari bahwa di dalam kegiatan belajar mengajar tetap diperlukan rasa antusiasme belajar yang tinggi walaupun tidak begitu berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi. Seorang siswa juga harus senantiasa mempunyai pikiran yang positif terhadap para guru serta memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kompetensi guru sehingga dapat meningkatkan hasil capaian prestasi belajar mereka, terutama mata pelajaran sosiologi. 4. Bagi Prodi Pendidikan Sosiologi-Antropologi Universitas Sebelas Maret Bagi Prodi Sosiologi-Antropologi hendaknya dapat terus menghasilkan lulusan yang berkualitas, sehingga dapat menciptakan calon guru yang handal dan berkompeten di bidangnya. 5. Bagi Peneliti Dan Peneliti Lainnya Penelitian ini hendaknya dijadikan pelajaran, sehingga dapat menyempurnakan penelitian yang selanjutnya.Diharapkan juga kepada peneliti lain agar dapat melakukan penelitian serupa dengan pendekatan yang lain atau dengan mempergunakan pendekatan kualitatif. 107 DAFTAR PUSTAKA Abdul Majid. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Asri Budiningsih. 2008. Belajar Dan Pemelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Bimo Walgito. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset Bermawi Munthe. 2009. Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani. Bahrein T. Sugihen, MA. 1995. Sosiologi Pedesaan (Suatu Pengantar). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Gino, dkk. 1993. Belajar Pembelajaran I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Hamzah B. Uno. 2007. Profesi Kependidikan. Jakarta : Bumi Aksara Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2006. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jendral MPR RI Muhibbin Syah. 2008. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik. 2009. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Pangestu Subagyo dan Djarwanto. 2005. Statistik Induktif Edisi Ke Lima. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Purwanto. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Psikologi Dan Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Robertus Angkowo & A. Kosasih. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta: PT. Grasindo. Saifuddin Azwar. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Saiful Sagala. 2003. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. 108 Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sudirman. 1987. Ilmu Pendidikan. Bandung : Remaja Karya CV Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito Sukardi. 2002. Statistika. Surakarta : UNS Press. Sumadi Suryabrata. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Sutrisno Hadi. 2004. Statistika, Jilid II. Yogyakarta: Penerbit Andi Syaiful Bahri Damarah. 1994. Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Tentrem Widodo. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta: UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS. Tri Rusmi Widayatun. 1999. Ilmu Perilaku Buku Pegangan Mahasiswa AKPER. Jakarta: CV. INFOMEDIKA Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama http://mymindmydestiny.blogspot.com/2009/04/antusiasme-seni-mendengarkandan-humor.html diakses pada tanggal 3 januari pk. 12.32 WIB http://rasto.wordpress.com/2008/01/31/kompetensi-guru/ diakses pada tanggal 11 januari 2010 Pk. 18.25 WIB http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme-rahasia-keberhasilan-yangjarang-dikenal/ diakses pada tanggal 3 januari pk 12.40 WIB http://sunartombs.wordpress.com/2009/01/05/pengertian-prestasi-belajar/ diakses pada tanggal 11 januari 2010 Pk. 18.19 WIB http://www.google.co.id/search?hl=id&rlz=1G1GGLQ_IDID338&q=antusiasme+sis wa+dalam+belajar+adalah&start=40&sa=N diakses pada tanggal 3 januari pk 12.36\ http://dianherlinawati.com/2010/01/31/definisi-sosiologi-menurut-beberapaahli/, diakses pada tanggal 27 Juni 2010 pk. 17.05 109 http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/11/pengertian-persepsidefinisipersepsi.html diakses pada tanggal 27 Juni 2010 pk. 17.10