pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme

advertisement
PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG KOMPETENSI GURU
DAN ANTUSIASME BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR
SOSIOLOGI PADA SISWA KELAS X SMAN 4 SURAKARTA
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan
gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Sosiologi Antropologi Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Oleh:
Isni Dwi Rahma
K8406027
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ABSTRAK
Isni Dwi Rahma. PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG KOMPETENSI GURU DAN
ANTUSIASME BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SOSIOLOGI PADA SISWA
KELAS X SMAN 4 SURAKARTA, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli. 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
yang signifikan antara: (1) Persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap
prestasi belajar sosiologi, (2) Antusiasme belajar terhadap prestasi belajar
sosiologi, (3) Persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme
belajar terhadap prestasi belajar sosiologi.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasi. Populasi
adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4 Srakarta, sampel ini diambil dengan
mempergunakan teknik random sampling. Sampel yang diambil adalah
sebanyak 15 % dari jumlah populasi, yakni sebanyak 51 siswa dari 340
siswa kelas X SMAN 4 Surakarta. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan mempergunakan teknik angket dan dokumentasi. Teknik analisis
data yang dipergunakan adalah analisis statistik dengan regeresi ganda.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Persepsi siswa
tentang kompetensi guru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi
belajar sosiologi dengan sumbangan efektif sebesar 23,796 % atau 24 % sehingga
hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa
tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta”, diterima, (2) Antusiasme belajar tidak berpengaruh terhadap
prestasi belajar sosiologi karena sumbangan efektif hanya sebesar 0,653 % atau 1
%, sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara
antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4
Surakarta”, ditolak, namun ada hubungan positif yang signifikan antara
antusiasme belajar dengan prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4
Surakarta (3) Persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar
secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap prestasi
belajar sosiologi dengan sumbangan efektif sebesar 24,448% atau 24 %, sehingga
hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa
tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar
sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”, diterima.
MOTTO
“Succes is going from failure to failure without loss of enthusiasm”
(Keberhasilan berjalan dari kegagalan ke kegagalan tanpa kehilangan antusiasme)
(Winston Churcill)
“Keberhasilan bukanlah diukur dengan apa yang telah kita raih, melainkan dengan
kegagalan yang telah kita hadapi dan keberanian yang membuat kita tetap
bertahan dan berjuang melawan rintangan yang datang”
(Penulis)
PERSEMBAHAN
Teriring rasa syukur yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT, maka
penulis mempersembahkan karya ini kepada:
1.
Orang yang pertama kali bersedia menerima, mencintai, menyayangi, serta
mengasihi saya, yakni kedua orang tua saya; Bambang Ruseno dan Masni
Herawati.
2.
Keluarga besar Sulaiman Roni atas semua bantuan dan bimbingannya.
3.
Kak Havid, Abang Rory atas kasih sayang, semangat serta nasihatnya dan
Adinda Artha yang telah menjadi penyemangat hidup saya.
4.
Angkatan 2006 Sosiologi Antropologi atas keceriaan dan dukungannya.
5.
Teman kos Annisa 2 yang selalu memberi bantuan dan dukungan yang tak
terhingga; Vaulla, Frenty, Chucus, Mbak Na, Mbak Vita, Desi, dan Lia.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya
yang
telah
dilimpahkan
kepada
peneliti
sehingga
dapat
menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Persepsi Siswa
Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi
Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini dengan baik.
Banyak hambatan yang timbul dalam penulisan skripsi ini, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak akhirnya penulisan skripi ini dapat diselesaikan
dengan baik. Untuk itu, atas segala bantuan yang telah diberikan, peneliti
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, Dekan FKIP UNS yang telah
memberikan izin penulisan skripsi;
2. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, Ketua Jurusan P. IPS yang telah memberikan
persetujuan skripsi;
3. Drs. MH. Sukarno, M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
4. Dr. Zaini Rohmad, M.Pd, pembimbing I dan Drs. Tentrem Widodo, M.Pd,
pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan dan dorongan kepada
peneliti sehingga skripi ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Yosafat Hermawan Trinugraha, S.Sos, pembimbing akademik yang telah
memberikan arahan dan bimbingan selama menjadi mahasiswi di Program
Pendidikan Sosiologi Atropologi FKIP UNS;
6. Drs. Edy Pudiyanto, M.Pd, Kepala Sekolah, dewan guru dan staf, serta siswasiswi SMAN 4 Surakarta.
7. Teman-teman seperjuangan dan seangkatan di Program Studi Sosiologi
Antropologi angkatan 2006;
8. Dan semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini.
Menyadari akan keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti maka semua kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan. Harapan peneliti,
semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Surakarta, Juli 2010
Peneliti
Isni Dwi Rahma
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………..
i
PENGAJUAN …………………………………………………...
ii
PERSETUJUAN …………………………………………………
iii
PENGESAHAN ………………………………………………….
iv
ABSTRAK ……………………………………………………….
v
ABSTRACT ……………………………………………………...
vi
MOTTO ………………………………………………………….
vii
PERSEMBAHAN ………………………………………………...
viii
KATA PENGANTAR ……………………………………………
ix
DAFTAR ISI ……………………………………………………..
xi
DAFTAR TABEL ………………………………………………..
xiii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………..
xiv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………...
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………….
1
B. Perumusan Masalah ………………………………………
7
C. Tujuan penelitian …………………………………………
8
D. Manfaat Penelitian ……………………………………….
8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Prestasi Belajar Sosiologi ……………………………… 10
2. Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru ……………
27
3. Antusiasme belajar …………………………………….
51
B. Kerangka Berpikir ………………………………………..
60
C. Hipotesis ………………………………………………….
61
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat Dan Waktu Penelitian ………………………….
63
B. Populasi Dan Sampel ……………………………………
64
C. Teknik Pengumpulan Data ……………………………....
69
D. Rancangan Penelitian ……………………………………
73
E. Teknik Analisis Data …………………………………….
78
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Deskripsi Lokasi Penelitian …………………………...
84
2. Deskripsi Data Penelitian ……………………………..
85
B. Pengujian Persyaratan Analisis …………………………..
91
C. Pengujian Hipotesis ………………………………………
93
D. Pembahasan Hasil Analisis Data …………………………
96
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan ………………………………………………….
103
B. Implikasi ………………………………………………….
104
C. Saran ………………………………………………………
105
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….
107
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………..
110
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian …………………………………. 63
Tabel 2. Deskripsi Data Variabel C 1 ..................................................
86
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Variabel C 1 .........................................
87
Tabel 4. Deskripsi Data Variabel C 2 .................................................
88
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Variabel C 2 ........................................
88
Tabel 6. Deskripsi Data Variabel Y ...................................................
90
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Variabel Y …………………………….
90
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Proses Terjadinya Persepsi …………………………..
30
Gambar 2. Skema Proses Terjadinya Persepsi …………………..
32
Gambar 3.Skema lanjutan Proses Terjadinya Persepsi ………….
33
Gambar 4. Skema Proses Terjadinya Persepsi II ………………..
33
Gambar 5. Hukum Kesamaan ……………………………………
49
Gambar 6. Contoh Hukum Kontinuitas ………………………….
50
Gambar 7.Contuh Hukum Closure ……………………………….
50
Gambar 8. Keranngka Pemikiran ………………………………..
61
Gambar 9. Grafik Histogram Variabel C 1 .................................
87
Gambar 10. Grafik Histogram Variabel C 2 ...............................
89
Gambar 11. Grafik Histogram Variabel Y ………………………..
91
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu usaha pemerintah untuk membentuk sumber daya manusia
Indonesia yang berkualitas adalah melalui pendidikan. Seperti yang telah
diatur dalam UUD 1945 BAB XIII pasal 31 ayat (1) yang berbunyi : “Tiaptiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (3) yang berbunyi
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undangundang.”
Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala
bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek
kepribadiannya. Pengaruh pendidikan dapat dilihat dan dirasakan secara
langsung dalam perkembangan serta kehidupan masyarakat, kehidupan
kelompok dan dalam kehidupan setiap individu. Pendidikan memberikan
kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa, terutama
dalam
membangun
watak
bangsa.
Masyarakat
yang cerdas
akan
memberikan nuansa kehidupan yang cerdas pula, dan secara progresif akan
membentuk kemandirian serta kreativitas yang tinggi.
Melalui pendidikan yang baik, maka bangsa Indonesia dapat
membebaskan diri dari krisis multidimensi yang berkepanjangan. Melalui
pendidikan pulalah bangsa ini dapat mengembangkan sumber daya manusia
yang memiliki rasa percaya diri
untuk dapat bersanding dan bersaing
dengan bangsa-bangsa lain didunia. Tanpa adanya perbaikan didunia
pendidikan, dapat dipastikan bangsa Indonesia akan terus tenggelam dalam
keterpurukan dan keterbelakangan. Bangsa kita juga akan terus menerus
berada dalam kebodohan dan kemiskinan.
Untuk mengatasi hal tersebut maka bangsa indonesia harus
mempersiapkan sumber daya manusia yang bermutu melalui pendidikan
2
yang berkualitas sehingga dapat melahirkan sumber daya manusia yang juga
berkualitas. Pendidikan yang baik bermula dari sebuah kegiatan yang terlihat
sederhana namun merupakan kunci dari sebuah pendidikan, yakni kegiatan
belajar mengajar.
Kegiatan Belajar mengajar merupakan suatu proses perubahan di
dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam
bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan
kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya
pikir, dll. Hal ini berarti bahwa peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah
laku seseorang diperlihatkan dalam bentuk bertambahnya kualitas dan
kuantitas kemampuan seseorang dalam berbagai bidang.
Perlu kita pahami bahwasanya belajar tidak hanya meliputi mata
pelajaran, tetapi juga penguasaan, kebiasaan, persepsi, kesenangan, minat,
penyesuaian sosial, bermacam-macam keterampilan, dan cita-cita. Belajar
mengandung pengertian terjadinya perubahan dari persepsi dan perilaku,
misalnya pemuasan kebutuhan masyarakat dan pribadi secara lengkap.
Tidak semua perubahan perilaku berarti belajar. Seperti yang dicontohkan
oleh Oemar Hamalik, orang yang tangannya patah karena kecelakaan
mengubah tingkah lakunya, tetapi kehilangan tangan itu sendiri bukanlah
belajar. Mungkin orang itu melakukan perbuatan belajar untuk mengimbangi
tangannya yang hilang itu dengan mempelajari keterampilan-keterampilan
baru (2009: 45).
Dalam proses belajar, apabila seseorang tidak mendapatkan suatu
peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, maka orang tersebut
sebenarnya belum mengalami proses belajar atau dengan kata lain ia
mengalami kegagalan didalam proses belajar. Pada dasarnya perubahan
tidak selalu harus menghasilkan perbaikan ditinjau dari nilai-nilai sosial.
Seorang penjahat mungkin sekali menjadi seorang yang sangat ahli, tetapi
dari segi pandangan sosial hal itu bukanlah berarti perbaikan.
3
Didalam proses belajar mengajar pada dunia pendidikan, prestasi
belajar merupakan tolok ukur yang utama untuk mengetahui keberhasilan
belajar seseorang. Prestasi belajar menentukan apakah seorang siswa dapat
dinyatakan berhasil atau tidak dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar. Seperti misalnya standar kelulusan ujian nasional, menurut Wakil
Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Kamaluddin, kelulusan setiap tahun
mengalami kenaikan. Tahun ajaran 2006/2007 standarnya 4.25, tahun ajaran
2007/2008 standarnya 5.00, tahun ajaran 2008/2009 standarnya 5.25, dan
tahun ini standarnya 5.50. Khusus untuk SMK, nilai mata pelajaran
kompetensi
keahlian
kejuruan
dipatok
(http://www.diknas.go.id/headline.php?id=191).
Hal
minimal
ini
7.00
menandakan
bahwasanya capaian prestasi belajar seorang siswa menjadi penentu apakah
seorang siswa dapat dinyatakan lulus atau tidak.
Pada tahun ajaran 2008/2009 persentase kelulusan Ujian Nasional
(UN) untuk jenjang SMA secara nasional mengalami kenaikan. Persentase
kelulusan jenjang sekolah menengah atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA)
pada tahun 2009 ini mencapai 93,74 persen, naik sebanyak 2,42 persen dari
sebelumnya pada tahun 2008 yakni 91,32 persen. Rerata nilai UN SMA/MA
naik sebanyak 0,04 dari 7,21 pada tahun 2008 menjadi 7,25 pada tahun
2009. Untuk jenjang SMA negeri tingkat kelulusannya 91,36 persen,
sedangkan untuk swasta 95,14 persen (http://oke.or.id/2009/06/persentasekelulusan-un-20082009-naik/).
Seorang siswa yang prestasinya tinggi dapat dikatakan bahwa ia telah
berhasil dalam belajar. Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses,
sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Prestasi belajar yang
dicapai oleh siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal
dari diri siswa (faktor internal) maupun dari luar siswa (faktor eksternal).
Faktor internal diantaranya adalah minat, bakat, motivasi, tingkat
intelegensi, sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah faktor metode
pembelajaran dan lingkungan.
4
Salah satu faktor dari dalam diri siswa yang menentukan berhasil
tidaknya siswa dalam proses belajar mengajar adalah motivasi belajar.
Menurut asal katanya, motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti
menggerakkan. Dalam kegiatan belajar, motivasi merupakan keseluruhan
daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar,
yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar. Motivasi belajar
merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Seorang siswa yang
mempunyai intelegensi yang cukup tinggi, bisa gagal karena kurang adanya
motivasi dalam belajarnya. Motivasi mempunyai peranan penting dalam
proses belajar mengajar baik bagi guru maupun siswa. Bagi seorang guru
mengetahui motivasi belajar dari siswa sangat diperlukan guna memelihara
dan meningkatkan semangat belajar siswa, sementara bagi siswa motivasi
belajar dapat menumbuhkan semangat belajar sehingga siswa terdorong
untuk melakukan perbuatan belajar dan meningkatkan prestasi belajar siswa.
Selain motivasi yang ada di dalam diri seorang pelajar, untuk
mencapai prestasi belajar yang baik di dalam kegiatan belajar mengajar
haruslah didukung oleh adanya antusiasme atau semangat. Kata antusias
yang selama ini kita dengar pada dasarnya berasal dari kata (enthusiast) atau
antusiasme (enthusiasm) berasal dari bahasa Yunani kuno “entheos” yang
berarti “Tuhan di dalam” dan antusias berarti “diilhami dari Tuhan”.
Sedangkan menurut kamus Webster, antusiasme berarti “kegairahan yang
kuat terhadap salah satu sebab atau subyek; semangat atau minat yang
berapi-api; kegairahan.” Antusiasme adalah gairah dalam diri kita yang
diikuti dengan perasaan terinspirasi sesuatu, termotivasi untuk mewujudkan
sesuatu disertai daya optimis dan kreativitas.
(http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme----rahasia---keberhasilan---yang-jarang-dikenal/).
Antusias atau antusiasme dapat juga diartikan sebagai sikap, yakni
sikap untuk melakukan sesuatu tanpa paksaan bahkan selalu ingin
melakukannya. Sikap antusias akan membawa pada pikiran, perasaan dan
tindakan yang positif. Positif dalam hal umum, berarti sikap antusias
5
menimbulkan gairah positif yang meningkatkan kualitas hubungan dengan
orang lain, membuat lebih terbuka terhadap ide-ide atau peluang baru dan
bahkan
meningkatkan
kualitas
press.com/2009/06/18/antusias/).
kesehatan.
Antusiasme
(http://pengendara.word
siswa
dalam
mengikuti
pelajaran juga akan mendukung prestasi belajar mereka. Adanya dorongan
atau antusiasme yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar
akan memberikan motivasi tersendiri bagi siswa untuk dapat meningkatkan
prestasi belajarnya.
Selain adanya rasa antusiasme yang ada di dalam diri seorang siswa,
prestasi belajar seorang siswa tidak akan terlepas dari peranan tenaga
pendidik, yakni guru. Seperti yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik
(2009: 27) bahwasanya guru adalah key person didalam kelas. Guru lah yang
memimpin dan mengarahkan kegiatan belajar para siswanya. Guru pulalah
yang paling banyak berhubungan dengan para siswa dibandingkan personel
sekolah lainnya. Di mata anak-anak, guru adalah seorang yang memiliki
otoritas, bukan saja otoritas dalam bidang akademis, melainkan juga dalam
bidang nonakademis. Di dalam masyarakat kita pun juga terdapat pandangan
demikian. Dalam pandangan masyarakat umum, seorang guru merupakan
sosok yang harus dapat digugu dan ditiru (dituruti dan ditiru).
Terkait dengan pandangan masyarakat dan siswa bahwa seorang guru
haruslah dapat dituruti dan ditiru inilah, kemudian seorang guru diharapkan
mempunyai kompetensi yang professional berkaitan dengan perannya
sebagai tenaga pendidik. Kompetensi itu sendiri menurut Littrell dalam
Hamzah Uno adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan tugas atau
keterampilan yang dipelajari melalui latihan dan praktik (2007: 62).
Kompetensi seorang guru tentunya mempunyai arti yang berbeda-beda
sesuai dengan apa yang ada di dalam benak anak didik itu masing-masing
atau sesuai dengan persepsi siswa masing-masing tersebut.
Adapun kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru berdasarkan
PP No 19 tahun 2005,
BAB VI tentang standar pendidik dan tenaga
kependidikan pasal 28 adalah:
6
(1)
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai
agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki
kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2)
Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik
yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang
relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(3)
Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:
a. Kompetensi paedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
(4)
Seseorang yang tidak memiliki ijazah dan/atau sertifikat keahlian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetapi memiliki keahlian khusus
yang diakui dan diperlukan dapat diangkat menjadi pendidik setelah
melewati uji kelayakan dan kesetaraan.
(5)
Kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan (4) dikembangkan
oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pengaruh peran guru didalam proses pembelajaran juga akan
memberikan sumbangsih terhadap pencapaian hasil belajar anak didik. Peran
guru dapat dilihat di dalam kegiatan belajar mengajar maupun di luar
kegiatan belajar mengajar, dan faktor-faktor seperti faktor imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati, memegang peran penting dalam interaksi sosial.
Sebagai contoh faktor identifikasi dan imitasi tersebut adalah interaksi
antara siswa dan guru. Menurut Cronbach dalam bukunya Educational
Psychology dalam Oemar Hamalik (2009: 28), kalau kita mengagumi salah
satu sifat seseorang, maka kita cenderung untuk mengagumi orang tersebut
secara keseluruhan. Demikian juga halnya dengan persepsi siswa tentang
kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru.
7
Menurut Bimo Walgito (2004: 87), persepsi itu sendiri merupakan
suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan
proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga
disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja,
melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan
proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses
penginderaan, dan proses penginderan merupakan proses pendahulu dari
proses persepsi.
Persepsi siswa terhadap kompetensi guru dalam kegiatan belajar
mengajar ada yang positif dan ada yang negatif. Siswa yang memiliki
persepsi positif terhadap gurunya, biasanya akan menyenangi pelajaran yang
diberikan dan akan rajin untuk mempelajarinya. Dalam kegiatan belajar
biasanya ditunjukkan dalam perilaku belajar, misalnya memperhatikan
materi yang diberikan oleh guru, ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan
belajar mengajar, mau mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, dan
lain sebagainya. Sebalikya, siswa yang memiliki persepsi negatif terhadap
gurunya dalam kegiatan belajar mengajar akan menunjukkan perilaku yang
acuh, sibuk sendiri, mengganggu teman-temannya, malas mengerjakan
tugas, tidak jarang juga bahkan menghina gurunya.
Berdasarkan pada pemikiran tersebut di atas, maka peneliti tertarik
untuk mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa
Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi
Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan,
maka dapatlah dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini yakni sebagai
berikut:
1. Apakah persepsi siswa tentang kompetensi guru berpengaruh terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta?
8
2. Apakah antusiasme belajar berpengaruh terhadap prestasi belajar
sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta?
3. Apakah persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar
berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta.
2. Mengetahui pengaruh antusiasme belajar terhadap prestasi belajar
sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta.
3. Mengetahui pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru dan
antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi
Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada
Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
·
Mengembangkan wawasan ilmu pendidikan dan mendukung teoriteori yang sudah ada yang berkaitan dengan bidang kependidikan,
terutama tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan prestasi
belajar.
·
Menambah
bahan
pustaka
Program
Pendidikan
Sosiologi-
Antropologi, Jurusan P.IPS, FKIP Universitas Sebelas Maret.
2. Manfaat Praktis
·
Memberi masukan kepada kepala sekolah
sebagai upaya
meningkatkan mutu pendidikan sehubungan dengan kompetensi
9
yang diimiliki oleh tenaga pendidik serta faktor-faktor yang
mempengaruhi prestasi belajar siswa.
·
Memberikan masukan bagi tenaga kependidikan untuk melakukan
pengembangan kompetensi profesionalnya guna meningkatkan
prestasi capaian belajar anak didiknya.
·
Memberi masukan kepada para siswa untuk dapat meningkatkan
potensi yang ada pada dirinya, misalnya dengan meningkatkan rasa
antusiasme dalam belajar.
·
Memberi masukan kepada Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan,
terutama Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi UNS
untuk dapat terus meningkatkan kualitas lulusannya, sebagai calon
tenaga pendidik yang profesional dan berkompeten dibidangnya.
·
Memberi masukan kepada para peneliti untuk terus melakukan
penelitian-penelitian terutama dibidang pendidikan, sehingga dapat
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi dunia pendidikan
bangsa Indonesia.
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian yang akan dilaksanakan ini dimaksudkan untuk menjelaskan
adanya pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme
belajar terhadap prestasi belajar pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta.
Untuk memperkuat penelitian ini, maka diperlukan adanya tinjauan pustaka
serta teori-teori guna memberikan landasan penjelasan atas penelitian yang
akan diadakan tersebut. Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian
ini antara lain, yaitu:
1. Prestasi Belajar Sosiologi
a. Pengertian Prestasi Belajar Sosiologi
Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan
prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Menurut Syaiful Bahri
Djamarah (1994: 19), prestasi belajar adalah sebuah kalimat yang terdiri dari
dua kata yaitu “prestasi” dan “belajar”. Antara kata “prestasi” dan “belajar”
mempunyai arti yang berbeda. Memahami pengertian prestasi belajar secara
garis besar harus bertitik tolak kepada pengertian belajar itu sendiri,
sementara itu pengertian prestasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan
sebagainya). Ini berarti bahwasanya prestasi itu adalah sebuah capaian atas
apa yang telah kita kerjakan.
Syaiful Bahri Djamarah (1994: 19) mendefinisikan kata “prestasi”
sebagai hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, baik
secara individual maupun kelompok. Prestasi itu mengandung makna bahwa
capaian tersebut tidak akan pernah dapat diperoleh apabila seseorang
samasekali tidak melakukan kegiatan. Nasrun Harahap dalam Syaiful Bahri
Djamarah (1994: 21) menyebutkan bahwa prestasi adalah penilaian
11
pendidikan tentang perkembangan dan kemajuan murid yang berkenaan
dengan penguasaan bahan pelajaran yang disajikan kepada mereka serta
nilai-nilai yang terdapat di dalam kurikulum. Prestasi belajar pada dasarnya
merupakan sebuah capaian hasil yang dikaitkan dengan kegiatan belajar itu
sendiri. Oleh karena itu kita juga harus menilik lebih jauh apakah yang
dimaksud dengan kegiatan belajar tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh Abu Muhammad Ibnu Abdullah dalam
artikelnya yang berjudul Prestasi Belajar (2009), istilah hasil belajar berasal
dari bahasa Belanda “prestatie,” dalam bahasa Indonesia menjadi prestasi
yang berarti hasil usaha. Dalam literature, prestasi selalu dihubungkan
dengan aktivitas tertentu, seperti dikemukakan oleh Robert M. Gagne dalam
Abu Muhammad Ibnu Abdullah bahwa dalam setiap proses akan selalu
terdapat hasil nyata yang dapat diukur dan dinyatakan sebagai hasil belajar
(achievement) seseorang.
W.J.S Purwadarrninto dalam Syaiful Bahri Djamarah (1994: 20)
menyebutkan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang telah dilakukan,
dikerjakan dan sebagainya. Prestasi belajar yang dimaksud merupakan hal
yang dicapai sebaik-baiknya menurut kemampuan anak pada waktu tertentu
terhadap hal-hal yang dikerjakan atau dilakukan. Jadi prestasi belajar adalah
hasil belajar yang telah dicapai menurut kemampuan yang tidak dimiliki dan
ditandai dengan perkembangan serta perubahan tingkah laku pada diri
seseorang yang diperlukan dari belajar dengan waktu tertentu, prestasi
belajar ini dapat dinyatakan dalam bentuk nilai dan hasil tes atau ujian.
Dari beberapa pendapat di atas, prestasi belajar dapat diartikan sebagai
hasil yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat memberikan
kepuasan emosional, dan dapat diukur dengan alat atau tes tertentu. Dalam
proses pendidikan prestasi dapat diartikan sebagai hasil dari proses belajar
mengajar yakni, penguasaan, perubahan emosional, atau perubahan tingkah
laku yang dapat diukur dengan tes tertentu. Hasil belajar sering juga
dipergunakan dalam arti yang sangat luas yakni untuk bermacam-macam
aturan terhadap apa yang telah dicapai oleh murid, misalnya ulangan harian,
12
tugas-tugas pekerjaan rumah, tes lisan yang dilakukan selama pelajaran
berlangsung, tes akhir catur wulan dan sebagainya.
Ketika kita ditanya, apakah belajar itu? Maka jawaban yang akan kita
dapatkan bermacam-macam. Hal yang demikian itu berakar pada kenyataan
bahwa apa yang disebut perbuatan belajar itu adalah bermacam-macam.
Banyak aktivitas-aktivitas yang oleh hampir setiap orang dapat disetujui
sebagai perbuatan belajar, seperti misalnya mendapatkan perbendaharaan
kata-kata baru, menghafal syair, menghafal nyanyian, dan sebagainya. Ada
juga beberapa aktivitas yang tidak begitu jelas apakah termasuk perbuatan
belajar atau bukan, seperti misalnya mendapatkan bermacam-macam sikap
sosial (misalnya prasangka), kegemaran, pilihan, dan lain-lain.
Belajar merupakan sebuah istilah yang tidak asing lagi dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Ada banyak para ahli yang mendefinisikan
tentang belajar ini, diantaranya yaitu Skinner dalam Bimo Walgito (2004:
166) mendefinisikan belajar “Learning is a process of progressive
behaviour adaptation”. Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa
belajar itu merupakan suatu proses adaptasi perilaku yang bersifat progresif.
Ini berarti bahwa sebagai akibat dari belajar adalah adanya sifat
progresivitas, adanya tendensi ke arah yang lebih baik dari keadaan
sebelumnya.
Cronbach dalam Sumadi Suryabrata (2004: 231) menyatakan bahwa
“learning is shown by a change in behavior as a result of experience”. Jadi
menurut Cronbach belajar yang sebaik-baiknya adalah dengan mengalami,
dan dalam mengalami itu si pelajar menggunakan panca inderanya. Artinya
bahwa belajar adalah apa yang dialami oleh panca indera dan hal yang
dialami tersebut dapat menyebabkan terjadinya perubahan sikap seseorang.
Sesuai dengan pendapat ini adalah pendapat Harold Spears dan McGeoh
dalam Sumadi Suryabrata (2004: 231). Harold Spears menyatakan bahwa “
learning is to observe, to read, to imitate, to try something themselves, to
listen, to follow direction”. Berdasarkan pengertian belajar menurut Harold
Spears tersebut, maka belajar dapat diartikan sebagai kegiatan mengamati,
13
membaca, mengimitasi, mencoba sesuatu, mendengarkan, dan mengikuti
petunjuk-petunjuk atau arahan.
McGeoh mengungkapkan bahwa “learning is a change in performance
as a result of practice. Belajar merupakan perubahan dalam tingkah laku
sebagai hasil dari adanya praktik. Hal ini berarti adanya proses
mempraktikkan apa yang telah dipelajari dan terus mengalami perubahanperubahan didalam tingkah laku. Morgan, dkk dalam Bimo Walgito (2004:
167) memberikan definisi mengenai belajar ”learning can be defined as any
relatively permanent change in behaviour which occurs as a result of
practice or experience”. Hal yang muncul dalam definisi ini ialah bahwa
perubahan perilaku atau performance itu relatif permanen. Disamping itu
juga dikemukakan bahwa perubahan perilaku itu sebagai akibat belajar
karena latihan (practice) atau karena pengalaman (experience). Pada
pengertian latihan dibutuhkan usaha
dari individu yang bersangkutan,
sedangkan pada pengertian pengalaman usaha tersebut tentu tidak terlalu
diperlukan. Ini mengandung arti bahwa dengan pengalaman, seseorang atau
individu dapat berubah perilakunya. Di samping itu, perubahan dapat juga
disebabkan oleh karena latihan.
Sardiman AM dalam Syaiful Bahri Djamarah (1994:21) menyebutkan
bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan jiwa-raga, psikofisik menuju
perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang menyangkut unsur cipta,
rasa dan karsa, ranah koginif, afektif dan psikomotorik. Dari pendapat
tersebut, dapat kita lihat bahwa berdasarkan hasil belajar ini kita akan
melihat adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Pengalaman inilah yang nantinya akan membentuk pribadi individu kearah
kedewasaan.
Good dan Brophy dalam Ngalim Purwanto (2007: 85) menjelaskan
secara singkat tentang pengertian belajar. Menurut mereka bedua, “learning
is the development of new associations as a result of experience.”
Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa belajar adalah hasil
dari pengalaman yang dialami. Belajar adalah suatu proses yang benar-benar
14
bersifat internal yang tidak dapat dilihat dengan nyata, karena belajar adalah
suatu proses yang terjadi di dalam diri seseorang. Menurut Good dan
Brophy, belajar bukanlah tingkah laku yang tampak, akan tetapi lebih
kepada prosesnya yang terjadi secara internal di dalam diri individu dalam
usahanya memperoleh hubungan-hubungan yang baru (new associations).
Hubungan-hubungan tersebut dapat berupa hubungan antara perangsang
dengan perangsang, hubungan antara reaksi-reaksi, atau hubungan antara
peransang dan reaksi.
Wittig dalam Muhibbin Syah (2008: 90) menyebutkan bahwa belajar
adalah “any reatively permanent change in an organism’s behavioral
repertoire that occurs as a result of experience.”
Pengertian belajar
menurut Wittig ini mengandung makna bahwa belajar adalah sebuah
perubahan yang bersifat relatif menetap yang terjadi dalam segala macam
atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman.
Disini Wittig tidak menekankan pada perubahan yang disebut behavioral
change tetapi behavioral repertoire change, yakni perubahan yang
menyangkut aspek psiko-fisik organisme. Penekanan yang berbeda ini
didasarkan kepercayaan bahwa tingkah laku lahiriah organisme itu sendiri
bukan indikator adanya peristiwa belajar, karena proses belajar tidak dapat
diobservasi secara langsung.
Berdasarkan pada definisi-definisi menurut para ahli di atas dan dari
definisi-definisi yang lainnya, Sumadi Suryabrata (2004: 232) kemudian
mengemukakan beberapa hal pokok mengenai belajar, yaitu:
1) Bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes,
aktual maupun potensial)
2) Bahwa perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan
baru
3) Bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja)
Bimo Walgito (2004: 167-168) juga mengemukakan pendapatnya
tentang beberapa hal mengenai belajar sebagai berikut:
15
1) Belajar merupakan suatu proses, yang mengakibatkan adanya perubahan
perilaku (change in behaviour or performance). Ini berarti setelah
belajar individu
mengalami perubahan dalam perilakunya. Perilaku
dalam arti yang luas dapat overt behaviour atau inert behaviour. Karena
itu perubahan dapat dalam segi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2) Perubahan perilaku itu dapat aktual, yaitu yang tampak, tetapi juga dapat
bersifat potensial, yang tidak tampak pada saat itu, tetapi akan tampak di
lain kesempatan.
3) Perubahan yang disebabkan karena belajar itu bersifat relatif permanent,
yang berarti perubahan itu tidak akan menetap terus menerus, sehingga
pada suatu waktu hal tersebut dapat berubah lagi sebagai akibat belajar.
4) Perubahan perilaku baik yang aktual maupun yang potensial yang
merupakan
hasil
belajar,
merupakan
perubahan
yang
melalui
pengalaman atau latihan. Ini berarti bahwa perubahan ini bukan tejadi
karena faktor kematangan yang ada pada diri individu, bukan karena
faktor kelelahan dan bukan juga faktor temporer individu seperti
keadaan sakit serta pengaruh obat-obatan. Sebab faktor kematangan,
kelelahan, keadaan sakit dan obat-obatan dapat menyebabkan perubahan
perilaku individu, tetapi perubahan itu bukan karena
faktor belajar.
Misalnya anak yang belum dapat tengkurap lalu dapat tengkurap.
Perubahan
ini
karena
faktor
kematangan,
walaupun
dalam
perkembangan selanjutnya faktor belajar berperan. Orang yang sakit
sering marah-marah yang dalam keadaan biasa yang bersangkutan tidak
marah-marah. Perubahan perilaku itu karena yang bersangkutan sedang
sakit. Orang yang minum minuman keras berubah dalam perilakunya,
perubahan ini bukan karena belajar, tetapi karena yang bersangkutan
minum minuman keras dan sebagai akibatnya perilakunya berubah.
Proses belajar itu sendiri menurut Muhibbin Syah (2008:122) terdiri
dari beberapa jenis. Keanekaragaman jenis belajar ini muncul dalam dunia
pendidikan sejalan dengan kebutuhan kehidupan manusia yang juga
16
bermacam-macam. Muhibbin Syah membagi jenis-jenis belajar tersebut
sebagai berikut:
1) Belajar Abstrak
Belajar abstrak ialah belajar yang menggunakan cara-cara berpikir
abstrak, yang tujuannya adalah untuk memperoleh pemahaman dan
pemecahan masalah-masalah yang tidak nyata. Dalam mempelajari halhal yang abstrak diperlukan peranan akal yang kuat disamping
penguasaan atas prinsip, konsep, dan generalisasi. Termasuk dalam jenis
ini misalnya belajar matematika, kimia, kosmografi, astronomi, dan juga
sebagian materi bidang studi agama seperti tauhid.
2) Belajar Keterampilan
Belajar keterampilan adalah belajar dengan menggunakan gerakangerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan
otot-otot/ neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai
keterampilan jasmaniah tertentu. Dalam belajar jenis ini latihan-latihan
intensif dan teratur amat diperlukan. Termasuk belajar dalam jenis
misalnya belajar olahraga, musik, menari, melukis, memperbaiki bendabenda elektronik, dan juga sebagian materi pelajaran agama, seperti
ibadah salat dan haji.
3) Belajar Sosial
Belajar sosial pada dasarnya adalah belajar memahami masalah-masalah
dan teknik-teknik untuk memecahkan masalah tersebut. Tujuannya
adalah untuk menguasai pemahaman dan kecakapan dalam memecahkan
masalah-masalah sosial seperti masalah keluarga, masalah persahabatan,
masalah
kelompok,
dan
masalah-masalah
lain
yang
bersifat
kemasyarakatan. Selain itu, belajar sosial juga bertujuan untuk mengatur
dorongan nafsu pribadi demi kepentingan bersama dan memberi peluang
kepada orang lain atau kelompok lain untuk memenuhi kebutuhannya
secara berimbang dan proporsional. Bidang-bidang studi yang termasuk
bahan pelajaran sosial antara lain pelajaran agama dan PPKn.
17
4) Belajar Pemecahan Masalah
Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan
metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur dan
teliti. Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan
kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas.
Untuk itu, kemampuan siswa dalam menguasai konsep-konsep, prinsipprinsip, dan generalisasi serta insight (tilikan akal) amat diperlukan.
Dalam hal ini, hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana belajar
pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang
mengajar eksakta, seperti matematika dan IPA) sangat dianjurkan
menggunakan model dan strategi mengajar yang berorientasi pada cara
pemecahan masalah.
5) Belajar Rasional
Belajar rasional adalah belajar dengan menggunakan kemampuan
berpikir secara logis dan rasional (sesuai dengan akal sehat). Tujuannya
ialah untuk memperoleh aneka ragam kecakapan menggunakan prinsispprinsip dan konsep-konsep. Jenis belajar ini sangat erat kaitannya dengan
belajar pemecahan masalah. Dengan belajar rasional, siswa diharapkan
memiliki kemamuan rational problem solving, yaitu kemampuan
memecahkan masalah dengan menggunakan pertimbangan dan strategi
akal sehat, logis, dan sistematis. Bidang-bidang studi yang dapat
digunakan sebagai sarana belajar rasional sama dengan bidang-bidang
studi untuk belajar pemecahan masalah. Perbedaannya, belajar rasional
tidak memberi tekanan khusus pada penggunaan bidang studi eksakta.
Artinya, bidang-bidang studi noneksakta pun dapat memberi efek yang
sama dengan bidang studi eksakta dalam belajar rasional.
6) Belajar Kebiasaan
Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan baru
atau perbaikan kebiasaan-kebiasaan yang telah ada. Belajar kebiasaan,
selain menggunakan perintah, suri tauladan dan pengalaman khusus,
juga menggunakan hukuman dan ganjaran. Tujuannya agar siswa
18
memperoleh sikap-sikap dan kebiasaan perbuatan yang baru yang lebih
tepat dan positif dalam arti selaras dengan kebutuhan ruang dan waktu
(kontekstual). Selain itu, arti tepat dan positif diatas adalah selaras
dengan norma dan UU Sisdiknas/ 1989 Bab IV pasal 10 (4). Namun
demikian, tentu tidak tertutup kemungkinan penggunaan pelajaran
agama sebagai sarana belajar kebiasaan bagi siswa.
7) Belajar Apresiasi
Belajar apresiasi adalah belajar mempertimbangkan (judgement) arti
penting atau nilai suatu objek. Tujuannya adalah agar siswa memperoleh
dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (affective skill) yang dalam
hal ini kemampuan menghargai secara tepat terhadap nilai objek tertentu
misalnya apresiasi sastra, apresiasi musik, dan sebagainya. Bidangbidang studi yang dapat menunjang tercapainya tujuan belajar apresiasi
antara lain adalah bahasa dan sastra, kerajinan tangan (prakarya),
kesenian, dan menggambar. Selain bidang-bidang studi ini, bidang studi
agama juga memungkinkan untuk digunakan sebagai alat pengembangan
apresiasi siswa, misalnya dalam hal seni baca tulis Al-qur’an.
8) Belajar Pengetahuan
Belajar pengetahuan (studi) ialah belajar dengan cara melakukan
penyelidikan mendalam terhadap objek pengetahuan tertentu. Studi ini
juga dapat diartikan sebagai sebuah program belajar terencana untuk
menguasai materi pelajaran dengan melibatkan kegiatan investigasi dan
eksperimen. Tujuan belajar adalah agar siswa memperoleh atau
menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu
yang biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam
mempelajarinya, misalnya dengan menggunakan alat-alat laboratorium
dan penelitian lapangan.
Didalam proses pembelajaran, menurut Jerome S. Bruner dalam
Muhibbin Syah (2008: 113) menyebutkan bahwa seorang siswa menempuh
tiga episode atau fase, yaitu:
19
1. Fase informasi (tahap penerimaan materi).
Dalam fase informasi ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh
sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari. Diantara
informasi yang diperoleh itu ada yang samasekali baru dan berdiri
sendiri, dan ada pula yang berfungsi menambah, memperhalus, dan
memperdalam pengetahuan yang sebelumnya telah dimiliki.
2. Fase transformasi (tahap pengubahan materi).
Dalam fase transformasi, informasi yang telah diperoleh dianalisis,
diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau
konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal
yang lebih luas. Bagi siswa pemula, fase ini akan berlangsung lebih
mudah apabila disertai dengan bimbingan tenaga pendidik, yang
diharapkan berkompeten dalam mentransfer strategi kognitif yang tepat
untuk melakukan pembelajaran materi pelajaran tertentu.
3. Fase evaluasi (tahap penilaian materi).
Dalam fase evaluasi ini, seorang siswa akan menilai sendiri sampai
sejauh manakah pengetahuan (informasi yang telah ditransformasikan
tadi) dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain atau
memecahkan masalah yang dihadapi.
Ciri khas perilaku belajar itu sendiri menurut Muhibbin Syah (2008:
116) antara lain adalah:
1. Perubahan itu intensional.
Perubahan yang terjadi dalam proses belajar adalah berkat pengalaman
atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan
kata lain bukan kebetulan. Karakteristik ini mengandung konotasi bahwa
siswa menyadari akan adanya perubahan dalam dirinya, seperti
penambahan pengetahuan, kebiasaan, sikap, dan pandangan terhadap
sesuatu, keterampilan dan seterusnya.
2. Perubahan itu positif dan aktif.
Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif.
Positif artinya baik, bermanfaat, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga
20
bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan,
yakni diperolehnya sesuatu yang baru (seperti pemahaman dan
keterampilan baru) yang lebih baik daripada apa yang telah ada
sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan
sendirinya seperti karena proses kematangan (misalnya, bayi yang bisa
merangkak setelah bisa duduk), tetapi karena usaha siswa itu sendiri.
3. Perubahan itu efektif dan fungsional.
Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat efektif, yakni
berhasil guna. Artinya, perubahan tersebut membawa pengaruh, makna
dan manfaat tertentu bagi siswa. Selain itu, perubahan dalam proses
belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap
saat
dibutuhkan,
perubahan
tersebut
dapat
direproduksi
dan
dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberikan
manfaat yang luas, misalnya ketika siswa menempuh ujian dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sehari-hari dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Berdasarkan bermacam-macam definisi mengenai belajar tersebut,
pada umumnya para ahli melihat belajar itu sebagai suatu proses. Prosesnya
sendiri tidak tampak, yang tampak adalah hasil dari proses. Karena belajar
merupakan suatu proses, maka dalam belajar adanya masukan, yaitu yang
akan diproses dan adanya hasil dari proses tersebut. Belajar merupakan
sesuatu yang terjadi dalam diri individu yang disebabkan karena latihan atau
pengalaman, dalam hal ini menimbulkan perubahan dalam perilaku. Ini
berarti bahwa proses belajar merupakan intervening variable yang
merupakan penghubung atau pengait antara independent variable dengan
dependent variable.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa secara global
menurut Muhibbin Syah (2008: 132) antara lain adalah:
1. Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/ kondisi jasmani
dan rohani siswa.
21
2. Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di
sekitar siswa.
3. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya
belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa
untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Sedangkan sosiologi sendiri mempunyai banyak definisi. Para sosiolog
mempunyai sudut pandang yang berbeda-beda dalam melihat suatu
fenomena atau realitas sosial itu. Demikian juga didalam memberikan
definisi mengenai sosiologi. Sosiolog Alvin Bertrand dalam Bahrein T.
Sugihen (1995: 4) mengemukakan bahwa sosiologi itu merupakan suatu
ilmu yang mempelajari dan menjelaskan tentang hubungan antar manusia
(human relationship) Jadi sosiologi tersebut diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari bagaimanakah hubungan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lainnya.
Kendati tidak dijelaskan oleh Alvin Bertrand, dalam pengertian yang
lebih luas, ilmu ini mempelajari hubungan manusia dengan lingkungannya
yang mencakup lingkungan transidental, alam, biologis, dan sosial.
Hubungan-hubungan yang terjadi dengan lingkungan itu melahirkan pola
perilaku tertentu. Oleh karena itu Alvin Bertrand melihat bahwa hubunganhubungan itu umumnya terjalin melalui seperangkat perilaku tertentu.
Perilaku tersebut bukanlah suatu perilaku perseorangan, melainkan perilaku
bersama (group behaviour).
Pitirim Sorokin mengemukakan bahwa sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka
macam gejala-gejala sosial
(misalnya antara gejala ekonomi dengan
agama; keluarga dengan moral; hukum dengan ekonomi; gerak masyarakat
dengan politik dan lain sebagainya); hubungan dan pengaruh timbal balik
antara gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala
geografis, biologis,dan sebagainya); serta ciri-ciri umum semua jenis gejala
sosial lainnya (http://dianherlinawati.com/2010/01/31/definisi-sosiologi-menurutbeberapa-ahli/). Dalam pengertian ini kita dapat melihat bahwa pada
22
dasarnya sosiologi merupakan ilmu yang menitikberatkan pada gejala-gejala
sosial yang ada didalam masyarakat.
Rogers, et al dalam Bahrein T. Sugihen (1995: 5), pada dasarnya juga
meberikan pemahaman yang
sama sebagaimana dengan definisi yang
dikemukakan Alvin Bertrand di atas. Ia menjelaskan bahwa pola atau bentuk
hubungan-hubungan yang terjadi didalam kelompok itulah (group relation)
yang menjadi kerangka dasar sosiologi itu. Hal ini mengandung arti bahwa
sosiologi itu tercipta atas kerangka dasar yang berupa hubungan-hubungan
antara manusia yang satu dengan manusia lain di dalam suatu kelompok
kehidupan yang dikenal dengan istilah masyarakat.
Johnson, masih dalam Bahrein T. Sugihen (1995: 5) menyebutkan
bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku
sosial, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana
sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat
didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Perilaku-perilaku manusia yang
berkaitan dengan hubungan yang saling mempengaruhi antar individu
didalam suatu sistem kemasyarakatan inilah yang dipelajari dalam ilmu
sosiologi.
Berdasarkan definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan oleh para
ahli tersebut di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa sosiologi itu sendiri
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik
antara manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan sistem
sosial.
Berdasarkan pemaparan mengenai prestasi, belajar, dan sosiologi di
atas, maka prestasi belajar sosiologi di bidang pendidikan itu sendiri adalah
hasil dari pengukuran terhadap peserta didik yang meliputi faktor kognitif,
afektif dan psikomotor setelah mengikuti proses pembelajaran yang diukur
dengan menggunakan instrumen tes atau instrumen yang relevan dengan
pengetahuan siswa mengenai pengetahuan sosiologi yang berkaitan dengan
hubungan kemasyarakatan dan sistem sosial. Jadi prestasi belajar sosiologi
adalah hasil pengukuran dari penilaian usaha belajar yang dinyatakan dalam
23
bentuk simbol, huruf maupun kalimat yang menceritakan hasil yang sudah
dicapai oleh setiap anak pada periode tertentu khususnya pada mata
pelajaran sosiologi.
b. Teori Prestasi Belajar
Berkaitan dengan variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan
antusiasme belajar, maka peneliti mempergunakan teori belajar Humanistik.
Seperti yang dikemukakan oleh Asri Budiningsih dalam bukunya “Belajar
Dan Pembelajaran” (2008: 68), teori Humanistik ini beranggapan bahwa
proses
belajar
harus
dimulai
dan
ditujukan
untuk
kepentingan
memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, daripada bidang kajian psikologi belajar. Teori
belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada
pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman
tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini
dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Menurut Asri Budiningsih (2008: 69), pemahaman terhadap belajar
menjadikan teori humanistik dapat memanfaatkan teori belajar apapun asal
tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori
humanistik bersifat sangat eklektik. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setiap
pendirian atau pendekatan belajar tertentu, akan ada kebaikan dan ada pula
kelemahannya. Dalam arti ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan
membiarkan unsur-unsur tersebut dalam keadaan sebagaimana adanya atau
aslinya. Teori humanistik akan memanfaatkan teori-teori apapun, asal
tujuannya tercapai, yaitu memanusiakan manusia.
Menurut Gino, dkk (1993: 14), ciri-ciri utama dari aliran humanistik
ini adalah:
1) Mementingkan manusia sebagai pribadi yang bulat
24
2) Mementingkan peranan kognitif dan afektif
3) Mengutamakan terjadinya akualisasi diri dan self konsep
4) Mengutamakan persepsi subjektif yang dimiliki tiap individu
5) Mengutamakan kemampuan menentukan tingkah laku sendiri
6) Mengutamakan insight (pengertian)
Gino, dkk (1993: 14) juga menyebutkan apa saja yang menjadi prinsipprinsip belajar aliran psikologi humanistik didalam proses instruksional/
pendidikan. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah:
1) Manusia mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
2) Belajar yang efektif terjadi bila bahan pelajaran dirasakan oleh siswa
(pelajar) sesuai dengan maksud dirinya.
3) Belajar yang mendorong perubahan dalam persepsi mengenai dirinya
cenderung ditolaknya.
4) Apabila ancaman terhadap dirinya rendah, pengalaman dapat diperoleh
dengan berbagai cara dan muncullah proses belajar.
5) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan cara melakukannya
6) Belajar akan berjalan lancar apabila siswa terlibat dan ikut bertanggung
jawab terhadap proses belajar itu sendiri.
7) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadinya secara utuh,
baik perasaan maupun intelektualnya dapat memberikan hasil yang
intensif dan lestari.
8) Kepercayaan
diri,
kemerdekaan,
kreativitas
akan
lebih
mudah
dimunculkan melalui kegiatan mawas diri, mengkritik diri dan kemudian
menggunakan penilaian diri dari orang lain.
Salah satu ahli yang merupakan penganut aliran humanistik,
diantaranya yaitu Benjamin Bloom yang terkenal dengan teori yang ia
kemukakan, yaitu “taksonomi Bloom”.
Dalam teori ini dikemukakan
bahwasanya prestasi belajar yang diperoleh siswa harus mencakup tiga
ranah, yakni kognitif, afektif, dan juga psikomotorik. Teori tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
25
a) Domain Kognitif
Domain
kognitif
mencakup
kemampuan
intelektual
mengenal
lingkungan yang terdiri atas enam macam kemampuan intelektual
mengenal lingkungan yang tediri atas enam macam kemampuan yang
disusun secara hierarkis dari yang paling sederhana sampai yang paling
paling kompleks, yaitu:
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan kemampuan mengingat kembali hal-hal
yang telah dipelajari.
b. Pemahaman
Pemahaman merupakan kemampuan menangkap makna atau arti
sesuatu hal.
c. Penerapan
Penerapan merupakan kemampuan mempergunakan hal-hal yang
telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata.
d. Analisis
Analisis merupakan kemampuan menjabarkan sesuatu menjadi
bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami.
e. Sintesis
Sintesis merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi
satu keseluruhan yang berarti.
f. Penilaian
Penilaian merupakan kemampuan memberikan harga sesuatu hal
berdasarkan kriteria intern, kelompok, ekstern, atau yang telah
ditetapkan terlebih dahulu.
b) Domain Afektif
Domain afektif merupakan kawasan yang mencakup kemampuankemampuan emosional dalam mengalami dan menghayati sesuatu hal
yang meliputi lima macam kemampuan emosional disusun secara
hierarkis, yaitu:
26
a. Kesadaran
Kesadaran merupakan kemampuan untuk ingin memperhatikan
sesuatu hal.
b. Partisipasi
Partisipasi adalah kemampuan untuk turut serta atau terlibat dalam
sesuatu hal.
c. Penghayatan nilai
Penghayatan nilai merupakan kemampuan menerima nilai dan terikat
kepadanya
d. Pengorganisasian nilai
Pengorganisasian nilai merupakan kemampuan untuk memiliki
ssitem nilai didalam dirinya
e. Karakterisasi diri
Karakterisasi diri merupakan kemampuan untuk memiliki pola hidup
dimana sistem nilai yang terbentuk dalam dirinya mampu mengawasi
tingkah lakunya.
c) Domain Psikomotor
Domain psikomotor merupakan kemampuan motorik menggiatkan dan
mengkoordinasikan gerakan yang terdiri dari:
a. Gerakan refleks
Gerakan refleks merupakan kemampuan melakukan tindakantindakan yang terjadi secara tidak disengaja dalam menjawab suatu
perangsang.
b. Gerakan dasar
Gerakan dasar merupakan kemampuan melakukan pola-pola gerakan
yang bersifat pembawaan dan terbentuk dari kombinasi gerakangerakan refleks.
27
c. Kemampuan perseptual
Kemampuan perseptual merupakan kemampuan menterjemahkan
perangsang yang diterima melalui alat indera menjadi gerakangerakan yang tepat.
d. Kemampuan jasmani
Kemampuan jasmani merupakan kemampuan dan gerakan-gerakan
dasar merupakan inti untuk memperkembangkan gerakan-gerakan
yang tepat.
e. Gerakan-gerakan terlatih
Gerakan terlatih merupakan kemampuan untuk melakukan gerakangerakan canggih dan rumit dengan tingkat efisiensi tertentu.
f. Komunikasi nondiskursif
Komunikasi
nondiskursif
merupakan
kemampuan
melakukan
komunikasi dengan isyarat gerakan badan.
(Benjamin Bloom dalam Syaiful Sagala, 2003:34)
Peneliti menggunakan
teori taksonomi Bloom ini di dalam
memperkuat penjelasan tentang variabel prestasi belajar karena berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Bloom tersebut dinyatakan bahwasanya
prestasi belajar yang merupakan salah satu tujuan atau tolak ukur utama
dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya meliputi hasil-hasil tertentu
semata melainkan meliputi perubahan kualitas pada semua kawasan
kemampuan, yaitu kemampuan kognitif, afektif, dan juga psikomotorik.
2. Persepsi Siswa tentang Kompetensi Guru
a. Pengertian Persepsi
Persepsi atau tanggapan adalah proses mental yang terjadi pada diri
manusia yang akan menunjukkan bagaimana kita melihat, mendengar,
merasakan, memberi serta meraba (kerja indera) di sekitar kita. William
James sebagaimana yang dikutip oleh Tri Rusmi Widayatun mengatakan
persepsi adalah suatu pengalaman yang terbentuk berupa data-data yang
didapat melalui indra, hasil pengolahan otak dan ingatan (1999: 110). Hal ini
28
berarti bahwa persepsi merupakan sesuatu hal yang dipahami melalui
adanya penerimaan data-data yang ada melalui indera dan diolah oleh otak.
Persepsi itu sendiri dihayati melalui ilusi atau mispersepsi, atau trik atau
tipuan dan juga bukan salah tanggapan. Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia persepsi diartikan sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari
suatu serapan. Tanggapan yang dimaksudkan adalah bagaimana interpretasi
indidividu atas sesuatu ransangan yang diterima melalui panca indera.
Sabri
dalam
(http://teori-psikologi.blogspot.com/2008/05/pengertian-
persepsi.html) mendefinisikan persepsi sebagai aktivitas yang memungkinkan
manusia untuk dapat mengendalikan rangsangan-rangsangan yang sampai
kepadanya melalui alat inderanya, menjadikannya kemampuan itulah
dimungkinkan individu mengenali lingkungan pergaulan hidupnya Sabri
juga mengemukakan bahwa proses persepsi itu sendiri terdiri dari tiga tahap
yaitu tahapan pertama terjadi pada pengideraan diorganisir berdasarkan
prinsip-prinsip tertentu, tahapan kedua yaitu stimulasi pada penginderaan
diinterprestasikan dan tahap ketiga adalah dievaluasi. Definisi persepsi
menurut Sabri ini mengandung arti bahwa persepsi dilakukan manusia
dalam rangka untuk mengenali lingkungan tempat ia tinggal, dimana ia
bergaul dengan sesama manusia lainnya.
Menurut Bimo Walgito (2004: 87), persepsi merupakan suatu proses
yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses
diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut
proses sensoris. Proses penginderaan ini tidak berhenti begitu saja,
melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan
proses persepsi. Proses persepsi yang dimaksudkan adalah proses bagaimana
otak menerjemahkan apa yang ditangkap oleh alat indera. Oleh karena itu
proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan. Hal ini
dikarenakan bahwa proses penginderan itu sendiri merupakan proses
pendahulu dari proses persepsi.
Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu
individu menerima stimulus melalui alat indera, yaitu mata sebagai alat
29
penglihatan, telinga sebagai alat pendengar, hidung sebagai alat pembauan,
lidah sebagai alat pengecapan, kulit pada telapak tangan sebagai alat
perabaan; yang kesemuanya merupakan alat indera yang digunakan untuk
menerima stimulus dari luar individu. Stimulus yang diindera itu kemudian
oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari, mengerti tentang apa yang diinderai itu, dan proses ini disebut
persepsi.
Persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap
stimulus yang diinderainya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan
merupakan respon yang integrated dalam diri individu. Karena itu dalam
penginderaan orang akan mengaitkan dengan stimulus, sedangkan dalam
persepsi individu akan mengaitkan dengan objek (Branca, dalam Bimo
Walgito, 2004; 88). Pengorganisasian dalam terjadinya proses persepsi ini
berarti bahwa stimulus yang diterima oleh panca indera terebut akan
direspon oleh individu setelah melalui proses interpretasi oleh otak. Respon
yang diberikan oleh individu merupakan satu kesatuan atau merupakan
bagian yang menyatu dengan individu yang memberikan respon.
Proses
pembentukan
persepsi
menurut
Feigi
(http://definisi-
pengertian.blogspot.com/2009/11/pengertian-persepsidefinisi-persepsi.html)
diartikan sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya
stimuli. Setelah mendapat stimuli, pada tahap selanjutnya terjadi seleksi
yang berinteraksi dengan "interpretation", begitu juga berinteraksi dengan
"closure". Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi,
maka akan berlangsung proses penyeleksian pesan tentang mana pesan yang
dianggap penting dan tidak penting. Proses “closure” terjadi ketika hasil
seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan
bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan
memberi
tafsiran
atau
makna terhadap
informasi
tersebut
secara
menyeluruh. Proses yang terjadi dalam persepsi merupakan proses dimana
seorang manusia melakukan pemaknaan terhadap ransangan yang ada
dihadapannya.
30
Sedangkan menurut Tri Rusmi Widayatun (1999: 111), terjadinya
persepsi dikarenakan adanya obyek/ stimulus yang merangsang untuk
ditangkap oleh panca indera (obyek tersebut menjadi perhatian panca
indera), kemudian stimulus/ obyek perhatian tadi dibawa ke otak. Dari otak
terjadi adanya “kesan” atau jawaban (response) adanya stimulus, berupa
kesan atau respons dibalikkan ke indera kembali berupa “tanggapan” atau
persepsi atau hasil kerja indera berupa pengalaman hasil pengolahan otak.
Tri Rusmi Widayatun menggambarkan jalannya proses persepsi sebagai
berikut:
Obyek/
Stimulasi
Sensoris
Diproses
Indra (input)
Output
Indra di otak
Berupa
Persepsi
Ransangan
Pengalaman/
Response
Gambar 1. proses terjadinya persepsi
Sumber : Tri Rusmi Widayatun (1999: 111)
Dari gambar yang dikemukakan oleh Tri Rusmi Widayatun tersebut,
kita dapat melihat bahwa adanya objek atau stimulus yang datang dari luar
individu pertama-tama akan dirasakan oleh sensoris. Sensoris yang
dimaksudkan adalah kesemua alat indera manusia yang dapat merasakan
adanya stimulus. Setelah diproses oleh panca indera yang bersangkutan,
maka stimulus tersebut diteruskan menuju otak (pusat syaraf). Di otak inilah
kemudian stimulus yang datang diinterpretasikan atau dimaknai oleh otak,
dan kemudian dikembalikan ke indera untuk memberikan respon atas
stimulus yang ada.
Kemudian Tri Rusmi Widayatun (1999: 111) menyatakan bahwa
proses terjadinya persepsi ini perlu fenomena, dan yang terpenting fenomena
dari persepsi ini adalah “perhatian” atau “attention”. Pengertian perhatian
itu sendiri adalah suatu konsep yang diberikan pada proses persepsi yang
31
menyeleksi
input-input
tertentu
untuk
diikutsertakan
dalam
suatu
pengalaman yang kita sadari/ kenal dalam suatu waktu tertentu. Perhatian
sendiri mempunyai ciri khusus yaitu terfokus dan margin serta berubahubah. Perhatian tersebut memberikan pengaruh terhadap apa yang
dipersepsikan oleh otak atas stimulus atau ransangan.
Bimo Walgito dalam bukunya Pengantar Psikologi Umum (2004: 90)
menyebutkan bahwa proses terjadinya persepsi dimulai dengan objek
menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor.
Perlu dikemukakan bahwa antara objek dan stimulus itu berbeda, tetapi ada
kalanya bahwa objek dan stimulus itu menjadi satu, misalnya dalam hal
tekanan. Benda sebagai objek langsung mengenai kulit, sehingga akan terasa
tekanan tersebut. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses
kealaman atau proses fisik.
Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris
ke otak. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran
sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau
apa yang diraba. Proses yang terjadi di dalam otak atau dalam pusat
kesadaran inilah yang disebut dengan proses psikologis. Dengan demikian
dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu
menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau
apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini
merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan persepsi
sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu
dalam berbagai macam bentuk.
Bimo Walgito (2004: 90) juga menyebutkan bahwa di dalam proses
persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah persiapan dalam persepsi
itu. Hal tersebut karena keadaan menunjukkan bahwa individu tidak hanya
dikenai oleh satu stimulus saja, tetapi individu dikenai berbagai macam
stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya. Namun demikian tidak
semua stimulus mendapatkan respon dari individu, tergantung pada
32
penelitian individu yang bersangkutan. Secara skematis hal tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut:
St
St
St
St
Respon
Fi
Fi
Fi
Fi
Gambar 2. Skema Proses Terjadinya Persepsi
Sumber : Bimo Walgito (2004: 91)
Keterangan:
St
= Stimulus (faktor luar)
Fi
= Faktor intern (faktor dalam, termasuk perhatian)
Sp
= Struktur pribadi individu
Skema tersebut memberikan gambaran bahwa individu menerima
bemacam-macam stimulus yang datang dari lingkungan. Tetapi tidak semua
stimulus akan diperhatikan atau akan diberikan respon. Individu
mengadakan seleksi terhadap stimulus yang mengenainya, dan disinilah
kemudian berperannya perhatian. Sebagai akibat dari stimulus yang
dipilihnya dan diterima oleh individu, individu menyadari dan memberikan
respon sebagai reaksi terhadap stimulus tersebut. Skema tersebut diatas
dapat dilanjutkan sebagai berikut:
33
L
S
O
R
L
Gambar 3. Skema Lanjutan Proses Terjadinya Persepsi
Sumber : Bimo Walgito (2004: 91)
Ket:
L
= Lingkungan
S
= Stimulus
O
= Organisme atau individu
R
= Respon atau reaksi
Selain pendapat tersebut diatas, masih ada pendapat atau teori lain
yang melihat kaitan antara lingkungan atau stimulus dengan respon individu.
Skema tidak seperti yang dikemukakan diatas, akan tetapi berbentuk lain,
yaitu:
L
S
R
L
Gambar 4. Skema Proses Terjadinya Persepsi II
Sumber : Bimo Walgito (2004: 91)
Ket:
L
= Lingkungan
S
= Stimulus
R
= Respon atau reaksi
Dalam skema tersebut terlihat bahwa organisme atau individu tidak
berperan dalam memberikan respon terhadap stimulus yang mengenainya.
Hubungan antara stimulus dengan respon bersifat mekanistis, stimulus atau
34
lingkungan akan sangat berperan dalam menentukan respon atau perilaku
organisme. Pandangan yang demikian merupakan pandangan yang bersifat
behavioristik. Pandangan ini berbeda dengan pandangan yang bersifat
kognitif,
yang
memandang berperannya organisme dalam menentukan
perilaku atau responnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Weiner pada
tahun 1972. Pandangan behavioristik yang dikemukakan oleh Weiner
tersebut menekankan pada adanya pengaruh stimulus dari lingkungan,
sementara individu sebagai organisme yang memberikan respon dianggap
tidak memberikan pengaruh terhadap proses persepsi.
Tidak semua stimulus akan direspon oleh organisme atau individu.
Respon diberikan oleh individu terhadap stimulus yang ada persesuaian atau
yang menarik perhatian individu. Dengan demikian dapat dikemukakan
bahwa yang dipersepsi oleh individu selain tergantung kepada stimulusnya
juga tergantung kepada keadaan individu yang bersangkutan. Stimulus yang
mendapatkan pemilihan dari individu tergantung kepada bermacam-macam
faktor, salah satu faktornya adalah perhatian individu yang merupakan aspek
psikologis individu dalam mengadakan persepsi. Stimulus merupakan salah
satu faktor yang berperan dalam persepsi. Selain stimulus, menurut Bimo
Walgito (2004: 89), ada beberapa faktor lainnya yang sangat berpengaruh
didalam persepsi, diantaranya adalah:
1). Objek Persepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga
dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang langsung
mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Namun
sebagian besar stimulus datang dari luar individu.
2). Alat Indera, Syaraf, dan Pusat Susunan Syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus.
Disamping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk
meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf,
35
yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan
respon diperlukan syaraf motoris.
3). Perhatian
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya
perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan
dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan
atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada
sesuatu atau sekumpulan objek.
Selain itu, juga terdapat teori-teori mengenai persepsi. Diantaranya
teori-teori persepsi menurut Tri Rusmi Widayatun (1999: 112), antara lain
yaitu:
1. Persepsi itu dalam stabilitasnya berbeda dalam ukuran, kecemerlangan
warna, stabilitas gerak.
2. Persepsi bisa terjadi dengan sendirinya
3. Setiap manusia/ individu dalam persepsi selalu berbeda
4. Ada 4 hal yang sangat berpengaruh terhadap persepsi:
a. Persepsi dalam belajar yang berbeda
b. Kesiapan mental
c. Kebutuhan dan motivasi (need & motivasi)
d. Persepsi gaya berpikir yang berbeda (Cognitive Style)
5. Persepsi/ tanggapan didalam bentuk data aktualnya disebut informasi
6. Hukum-hukum persepsi
a. Prinsip kedekatan
b. Prinsip kesamaan
c. Prinsip sendiri/ tertutup
d. Prinsip kontinu
e. Hukum gerak bersama
Sedangkan bentuk-bentuk persepsi menurut Tri Rusmi Widayatun
antara lain:
1. Persepsi bentuk, yang dipersepsi bentuk obyek
36
2. Persepsi kedalaman
Ada Mono dan Bi atau disebut dengan Monocular Cues dan Binocular
Cues
3. Persepsi gerak
Persepsi gerak ini terdiri dari gerak nyata dan gerak maya
4. Persepsi terhadap diri sendiri (intropeksi dan persepsi terhadap orang
lain (ekstropeksi)
5. Persepsi dengan berbagai jenis yang berhubungan dengan sensoris dan
motoris
a. Persepsi auditif/ suara
b. Persepsi vision / penglihatan
c. Persepsi bau/ penciuman
d. Persepsi motoris/ gerak
e. Persepsi pengecap/ lidah/ rasa
f. Persepsi peraba/ kulit
6. Persepsi yang dilihat dari konstansinya
a. Persepsi warna
b. Persepsi bentuk
c. Persepsi beasar/ kecil (persepsi ukuran)
d. Persepsi tempat
e. Persepsi jauh/ dekat obyek
Dalam penelitian ini persepsi akan peneliti batasi pada bagaimana
siswa menanggapi respon yang berasal dari tenaga pendidik atau guru.
Persepsi siswa akan dikaitkan dengan bagaimana para siswa menanggapi,
merespon, menafsirkan serta menginterpretasikan kompetensi yang dimiliki
oleh tenaga pengajarnya, khususnya adalah tenaga pengajar mata pelajaran
sosiologi. Adapun penjabaran tentang kompetensi guru akan diuraikan
sebagai berikut:
37
a. Pengertian Kompetensi Guru
Proses belajar dan hasil belajar para siswa bukan saja ditentukan oleh
sekolah, pola, struktur, dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar
ditentukan oleh kompetensi guru yang mengajar dan membimbing mereka.
Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar
yang efektif, menyenangkan, dan akan lebih mampu mengelola kelasnya,
sehingga kondisi belajar para siswa berada pada tingkat optimal. Dalam
interaksi belajar mengajar, guru adalah seseorang yang memberikan
pelajaran dan siswa adalah orang yang menerima pelajaran. Di dalam
mentransfer pengetahuan kepada siswa diperlukan pengetahuan atau
kecakapan serta keterampilan sebagai guru. Tanpa kesemua hal tersebut,
tidak mungkin proses interaksi belajar mengajar dapat berjalan secara
kondusif. Di sinilah kompetensi dalam arti kemampuan, mutlak diperlukan
guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik.
Kompetensi menurut Syaiful Bahri Djamarah (1994: 33) berasal dari
bahasa inggris “competence”, yang mempunyai arti kecakapan, kemampuan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kompetensi adalah kewenangan
(kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan) sesuatu. Berdasarkan asal
kata serta arti menurut kamus di atas, maka kompetensi itu sebenarnya
merupakan hal yang berkaitan erat dengan kepemilikan pengetahuan,
kecakapan atau keterampilan.
Menurut Munandar dalam Hamzah B. Uno (2007: 61) kompetensi
merupakan daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari
pembawaan dan latihan. Littrell dalam Hamzah B. Uno mengemukakan
bahwasanya kompetensi adalah kekuatan mental dan fisik untuk melakukan
tugas atau keterampilan yan dipelajari melalui latihan dan praktik. (2007:
62). Kompetensi menurut definisi Mendiknas (SK. 04/U/2002) adalah
seperangkat tindakan cerdas yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk
dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di
bidang tertentu.
38
Mc. Ashan dalam Bermawi Munthe (2009: 28) mengungkapkan bahwa
kompetensi adalah:
“knowledge, skills, and abilities or capacities that a person achieves,
which particular became part of his or her begin to extent he or she
can satisfactorily perform particular cognitive, affective, and
psychomotor behaviour.”
Pengertian kompetensi menurut Mc. Ashan tersebut mengandung
makna
bahwa
kompetensi
adalah
pengetahuan,
keterampilan,
dan
kemampuan yang diperoleh seseorang untuk dapat melakukan sesuatu
dengan baik, termasuk perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Hal tersebut menekankan bahwasanya kompetensi yang dimiliki oleh
seseorang tersebut harus melingkupi kemampuan dan keterampilan kognitif,
afektif, dan juga psikomotorik.
Pada dasarnya pengertian kompetensi adalah kemampuan dan
kecakapan. Seseorang yang dinyatakan kompeten di bidang tertentu adalah
seseorang yang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan
tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Spenser dan Spenser dalam
Hamzah B. Uno (2007; 62) mendefinisikan kemampuan sebagai
karakteristik yang menonjol dari seorang individu yang berhubungan dengan
kinerja efektif dan/ atau superior dalam suatu pekerjaan atau situasi.
Selanjutnya Spenser dan Spenser dalam Hamzah B. Uno (2007: 63)
membagi lima karakteristik kompetensi yakni sebagai berikut:
1. Motif
Motif adalah sesuatu yang orang pikirkan dan inginkan yang
menyebabkan sesuatu. Contohnya orang yang termotivasi dengan
prestasi akan mengatasi segala hambatan untuk mencapai tujuan, dan
bertanggung jawab melaksanakannya.
39
2. Sifat
Sifat adalah karakteristik tanggapan konsisten terhadap situasi atau
informasi. Contohnya penglihatan yang baik adalah kompetensi sifat
fisik bagi seorang pilot. Begitu halnya dengan kontrol diri emosional dan
inisiatif adalah lebih kompleks dalam merespon situasi secara konsisten.
Kompetensi sifat ini pun sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah
dan melaksanakan panggilan tugas.
3. Konsep Diri
Sikap adalah sikap, nilai, dan image diri seseorang. Contohnya
kepercayaan diri. Kepercayaan atau keyakinan seseorang agar dia
menjadi efektif dalam semua situasi adalah bagian dari konsep diri.
4. Pengetahuan
Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam bidang
tertentu. Contohnya, pengetahuan ahli bedah terhadap urat syaraf dalam
tubuh manusia.
5. Keterampilan,
Keterampilan adalah kemampuan untuk melakukan tugas-tugas yang
berkaitan dengan fisik dan mental. Contoh kemampuan fisik adalah
keterampilan programmer komputer untuk menyusun data
secara
beraturan. Sedangkan kemampuan berpikir analitis dan konseptual
adalah berkaitan dengan kemampuan mental atau kognitif seseorang.
Stephen P. Becker dan Jack gordon dalam Bermawi Munthe (2009:29)
mengemukakan beberapa unsur atau elemen yang terkandung dalam konsep
kompetensi, yaitu:
1. Pengetahuan (knowledge).
Pengetahuan adalah kesadaran dibidang kognitif, misalnya, seorang guru
mengetahui cara melaksanakan kegiatan identifikasi, penyuluhan, dan
proses pembelajaran terhadap warga belajar.
2. Pengertian (understading).
Pengertian adalah kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki siswa,
misalnya seorang guru yang akan melaksanakan kegiatan tentang
40
keadaan dan kondisi warga belajar di lapangan, sehingga dapat
melaksanakan program kegiatan secara baik dan efektif.
3. Keterampilan (skill)
Keterampilan adalah kemampuan individu untuk melakukan suatu tugas
atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya, misalnya kemampuan yang
dimiliki oleh guru untuk menyusun alat peraga pendidikan secara
sederhana.
4. Nilai (value).
Nilai adalah suatu norma yang telah diyakini atau secara psikologis telah
menyatu dalam diri individu.
5. Minat (interest)
Minat adalah keadaan yang mendasari motivasi, keinginan yang
berkelanjutan, dan orientasi psikologis. Misalnya, guru yang baik selalu
tertarik kepada warga belajar dalam hal membina dan memotivasi
mereka supaya dapat belajar sebagaimana yang diharapkan.
Pengertian guru itu sendiri menurut N.A. Ametembun dalam Syaiful
Bahri Djamarah (1994: 33) adalah semua orang berwenang dan bertanggung
jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual ataupun
klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal ini berarti bahwa
seorang guru minimal memiliki dasar-dasar kompetensi sebagai wewenang
dan kemampuan dalam menjalankan tugas. Untuk itu, seorang guru perlu
memiliki kepribadian, menguasai bahan pelajaran dan menguasai cara-cara
mengajar sebagai dasar kompetensi. Bila guru tidak memiliki kepribadian,
tidak menguasai bahan pelajaran dan cara-cara mengajar, maka guru gagal
menunaikan tugasnya. Oleh karena itu, kompetensi mutlak dimiliki oleh
seorang guru sebagai kemampuan, kecakapan atau keterampilan dalam
mengelola kegiatan pendidikan. Dengan demikian, kompetensi guru berarti
pemilikan pengetahuan keguruan, dan pemilikan keterampilan serta
kemampuan sebagai guru dalam melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan pengertian tentang kompetensi dan guru, banyak ahli
yang
memberikan
definisi
tentang
kompetensi
guru.
Kompetensi
41
professional guru menurut Hamzah Uno adalah seperangkat kemampuan
yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas
mengajarnya dengan berhasil. (2007: 18). Adapun kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru terdiri dari empat kompetensi, yaitu kompetensi
paedagogik, kompetensi pribadi, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional. Keberhasilan seorang guru dalam menjalankan profesinya
sangat ditentukan oleh keempatnya dengan penekanan pada kemampuan
mengajar.
Menurut Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru Dan Dosen
pasal 10 ayat (1) kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional
yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Jika dijabarkan, kompetensi guru
menurut UU No. 14 tahun 2005 tersebut yaitu:
1. Kompetensi Paedagogik
Kompetensi paedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta
didik.
Kompetensi
ini
dapat
dilihat
dari
kemampuan
merencanakan program belajar mengajar, kemampuan melaksanakan
interaksi atau mengelola proses belajar mengajar, dan kemampuan
melakukan penilaian. Kompetensi pedagogik ini merupakan kemampuan
dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi pemahaman wawasan
atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik,
pengembangan
kurikulum/
silabus,
perancangan
pembelajaran,
pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, evaluasi hasil
belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya.
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kepribadian yang mantap, berakhlak
mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi para peserta didik.
Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang
mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru
42
lainnya. Seorang guru harus menampilkan kepribadiannya yang baik,
tidak saja ketika melaksanakan tugasnya di sekolah, tetapi di luar sekolah
pun guru harus menampilkan kepribadian yang baik. Hal ini untuk
menjaga wibawa dan citra guru sebagai pendidik yang selalu digugu dan
ditiru oleh siswa atau masyarakat. Kompetensi kepribadian ini antara lain
meliputi sikap mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa,
berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat,
mengevaluasi kinerja sendiri, serta mengembangkan diri secara
berkelanjutan.
3. Kompetensi Sosial
Kompetensi social adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan
berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru,
orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Guru juga
merupakan seorang manusia yang dikodratkan sebagai makhluk sosial
dan juga makhluk etis. Seorang guru harus dapat memperlakukan peserta
didiknya secara wajar dan bertujuan agar tercapai optimalisasi potensi
pada diri masing-masing peserta didik. Guru harus memahami dan
menerapkan prinsip belajar humanistik yang beranggapan bahwa
keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan yang ada pada diri
peserta didik tersebut. Guru juga harus mampu membangun komunikasi
yang baik dengan lingkungan, seperti misalnya komunikasi terhadap
orang tua siswa, tetangga, atau anggota masyarakat lainnya. Kompetensi
sosial ini
antara lain meliputi kemampuan berkomunikasi lisan dan
tulisan, menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara
fungsional, bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik,
tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan bergaul secara
santun dengan masyarakat sekitar.
43
4. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran
secara luas dan mendalam. Kompetensi professional adalah berbagai
kemampuan yang diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai
guru profesional. Kompetensi profesional meliputi kepakaran atau
keahlian dalam bidangnya yaitu penguasaan bahan yang harus
diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugasnya dan
rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya. Kompetensi profesional
antara lain meliputi konsep, struktur, dan metoda keilmuan/ teknologi/
seni yang menaungi/ koheren dengan materi ajar, materi ajar yang ada
dalam kurikulum sekolah, hubungan konsep antar mata pelajaran terkait,
penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari, dan
kompetisi secara professional dalam konteks global dengan tetap
melestarikan nilai dan budaya nasional
Sedangkan menurut Hamzah Uno macam-macam kompetensi yang
harus dimiliki oleh tenaga guru antara lain:
1. Kompetensi Profesional.
Kompetensi profesional berarti bahwa guru harus memiliki pengetahuan
yang luas dari subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan serta
penguasaan metodologi dalam arti memiliki konsep teoritis mampu
memilih metode dalam proses belajar mengajar.
2. Kompetensi Personal.
Kompetensi personal adalah sikap kepribadian yang mantap sehingga
mampu menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Dalam hal ini berarti
memiliki kepribadian yang pantas diteladani, mampu melaksanakan
kepemimpinan seperti yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu
“Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri
Handayani”.
44
3. Kompetensi Sosial.
Kompetensi sosial memiliki arti bahwa seorang guru harus menunjukkan
atau mampu berinteraksi sosial, baik dengan murid-muridnya maupun
dengan sesama guru dan kepala sekolah, bahkan dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi Untuk Melakukan Pelajaran.
Kompetensi ini maksudnya adalah kemampuan untuk melaksanakan
pelajaran yang sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai-nilai
sosial dari nilai material. Berdasarkan peran guru sebagai pengelola
proses pembelajaran, harus memiliki kemampuan:
a. Merencanakan sistem pembelajaran:
1. Merumuskan tujuan
2. Memilih prioritas materi yang akan diajarkan
3. Memilih dan menggunakan metode
4. Memilih dan menggunakan sumber belajar yang ada
5. Memilih dan menggunakan media pembelajaran
b. Melaksanakan sistem pembelajaran:
1. Memilih bentuk kegiatan pembelajaran yang tepat
2. Menyajikan urutan pembelajaran secara tepat
c. Mengevaluasi sistem pembelajaran:
1. memilih dan menyusun jenis evaluasi
2. Melaksanakan kegiatan evaluasi sepanjang proses
3. Mengadministrasi hasil evaluasi
d. Mengembangkan sistem pembelajaran:
1. Mengoptimalisasi potensi peserta didik
2. Meningkatkan wawasan kemampuan diri sendiri
3. Mengembangkan program pembelajaran lebih lanjut
Sedangkan kompetensi guru yang telah dibakukan oleh Dirjen
Dikdasmen Depdiknas (1999) seperti yang dikutip oleh Hamzah Uno adalah
sebagai berikut:
1. Mengembangkan kepribadian
2. Menguasai landasan pendidikan
45
3. Menguasai bahan pelajaran
4. Menyusun program pengajaran
5. Melaksanakan program pengajaran
6. Menilai hasil dalam PBM yang telah dilaksanakan
7. Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran
8. Menyelenggarakan program bimbingan
9. Berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat
10. Menyelenggarakan administrasi sekolah.
Guru yang dinilai berkompeten secara profesional menurut Oemar
Hamalik (2002: 38), adalah apabila:
1.
Guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan sebaikbaiknya.
2.
Guru tersebut mampu melaksanakan peranan-peranannya secara
berhasil.
3.
Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan
(tujuan instruksional) sekolah.
4.
Guru tersebut mampu melaksanakan peranannya dalam proses
mengajar dan belajar dalam kelas.
Menurut Abdul Majid (2006: 6), ruang lingkup standar kompetensi
guru meliputi tiga komponen kompetensi, yaitu:
1.
Komponen pengelolaan pembelajaran
Komponen pengelolaan pembelajaran tersebut mencakup penyusunan
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar mengajar,
penilain prestasi belajar peserta didik, dan pelaksanaan tindak lanjut
hasil penilaian.
2.
Komponen potensi pengembangan potensi yang diorientasikan pada
pengembangan profesi.
3.
Komponen kompetensi penguasaan akademik.
Komponen kompetensi penguasaan akademik mencakup pemahaman
pemahaman wawasan pendidikan dan penguasaan bahan kajian
akademik.
46
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung
jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga
menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan
penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru harus lebih dinamis dan
kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru dimasa
mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling “well
informed” terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang
berkembang dan berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Dimasa
depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai ditengah-tengah
siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran
informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau
hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua
maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut,
guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus
melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus
menerus.
Guru sebagai salah satu bagian yang urgen dari proses pendidikan
juga harus mengadakan pembaharuan-pembaharuan. Seorang guru tidak
boleh stagnan karena akan membuatnya tertinggal dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang pesat.
Sebagai pengajar sekaligus pendidik, guru dituntut harus memiliki
kecakapan dibidangnya. Profesionalisme harus dimiliki setiap guru demi
mendongkrak keterpurukan dan ketertinggalan bangsanya dalam dunia
pendidikan. Guru yang berkompeten akan memberikan pengaruh baik pada
anak didiknya. Anak didik akan termotivasi dan lebih giat lagi dalam
menggali ilmu pengetahuan yang belum diketahuinya.Kecerdasan
intelektual dan perilakunya sehari-hari merupakan sosok yang menjadi
contoh bagi setiap anak didiknya.
Oleh karena itu kompetensi dan profesionalitas guru sebaiknya sudah
benar-benar direncanakan, diaplikasikan dan dikembangkan dalam kegiatan
proses belajar mengajar. Disamping itu, guru masa depan harus paham
47
penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pembelajaran yang
dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak
terjebak pada praktek pembelajaran yang menurut asumsi mereka sudah
efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya.
Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari
tahun ketahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
c. Teori Persepsi
Teori persepsi yang akan peneliti gunakan dalam penelitian yang
berjudul “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan
Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Pada Siswa Kelas X SMAN 4
Surakarta” ini nantinya adalah teori Gestalt yang dikemukakan oleh
Wertheimer. Menurut Bimo Walgito (2004: 93), teori Gestalt ini mula-mula
dikemukakan oleh Wertheimer atas kejadian yang dialaminya pada waktu ia
berada di stasiun kereta api yang dinamakan phi-phenomena, yaitu bahwa
dalam seseorang mempersepsi sesuatu tidak hanya semata-mata tergantung
pada stimulus objektif, tetapi individu yang mempersepsi juga berperan
dalam persepsi tersebut.
Didalam contoh yang dialami oleh Wertheimer, stimulusnya adalah
sinar yang tidak bergerak, tetapi dipersepsi sebagai sesuatu yang bergerak.
Selanjutnya Wertheimer dalam Bimo Walgito (2004:94) mengemukakan
tentang hukum-hukum persepsi, yakni sebagai berikut:
1) Hukum Pragnanz
Pragnanz berarti penting, meaningsfull, penuh arti atau berarti. Jadi apa
yang dipersepsi itu menurut hukum ini adalah penuh arti, suatu
kebulatan yang mempunyai arti penuh. Hukum ini oleh kaum Gestalt
dipandang sebagai hukum yang pokok.
48
2) Hukum Figure – Ground
Dalam persepsi dikemukakan adanya dua bagian dalam perceptual field,
yaitu figure yang merupakan bagian yang dominan dan merupakan fokus
perhatian, dan ground yang melatarbelakangi atau melengkapi. Jika
individu mengadakan persepsi sesuatu, apa yang tidak menjadi fokus
dalam persepsi itu akan menjadi fokus dalam persepsi itu akan menjadi
latar belakang atau ground-nya. Antara figure dan gruond dapat pindah
atau bertukar peran satu dengan yang lain, yaitu yang semua ground
dapat menjadi figure, misalnya pada vas Rubin. Hal ini akan bergantung
pada perhatian seseorang dalam mengadakan persepsi itu.
3) Hukum Kedekatan
Hukum ini menyatakan bahwa apabila stimulus itu saling berdekatan
satu dengan yang lain, akan adanya kecenderungan untuk dipersepsi
sebagai suatu keseluruhan atau suatu Gestalt.
Contoh :
xx
xx
xx
Dalam gambar di atas orang akan mempersepsi silang pertama dan
kedua, ketiga dan keempat, kelima dan keenam masing-masing
merupakan suatu gestalt daripada silang kedua dengan silang ketiga,
silang keempat dengan silang kelima. Inilah yang dimaksud dengan
hukum kedekatan.
4) Hukum Kesamaan (similary)
Hukum
ini menyatakan bahwa stimulus atau objek
yang sama,
mempunyai kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau
sebagai suatu gestalt.
49
Contoh:
x
x
x
x
x
x
x
x
•
•
•
•
•
•
•
•
x
x
x
x
x
x
x
x
•
•
•
•
•
•
•
•
x
x
x
x
x
x
x
x
•
•
•
•
•
•
•
•
Gambar 5. hukum kesamaan
Bimo Walgito (2004:95)
Dalam
seseorang
mempersepsi
gambar
tersebut,
orang
akan
mempersepsi sebagai suatu deretan silang (x), satu deretan titik, satu
deretan silang lagi, satu deretan titik lagi, dan seterusnya. Inilah yang
dimaksud dengan hukum kesamaan.
5) Hukum Kontinuitas
Hukum ini menyatakan bahwa stimulus yang mempunyai kontinuitas
satu dengan yang lain, akan terlihat dari ground dan akan dipersepsi
sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan.
Contoh:
(a)
50
(b)
(c)
Gambar 6. Contoh Hukum Kontinuitas
Bimo Walgito (2004:95)
Gambar tersebut diatas akan dipersepsi bahwa garis (a) merupakan garis
yang kontinu, bukan merupakan garis yang terpotong-potong sekalipun
garis (a) tersebut dipotong-potong oleh garis-garis yang lain.
6) Hukum Kelengkapan atau Ketertutupan (closure)
Hukum ini menyatakan bahwa dalam persepsi adanya kecenderungan
orang mempersepsi sesuatu yang kurang lengkap menjadi lengkap,
sehingga menjadi sesuatu yang penuh arti atau berarti.
Contoh:
Gambar 7. Contoh Hukum Closure
Bimo Walgito (2004: 96)
Dalam contoh ini gambar tersebut dipersepsi sebagai suatu lingkaran
sekalipun secara objektif gambar tersebut belum merupakan lingkaran
51
karena ujung pangkalnya belum bertemu. Sekalipun demikian gambar
tersebut dipersepsi sebagai sebuah lingkaran, karena gambar tersebut
mempunyai arti penuh. Jadi dalam seseorang mempersepsi sesuatu yang
sebenarnya masih kurang, kekurangan tersebut ditutup atau dilengkapi
sehingga apa yang dipersepsi sebagai sesuatu yang mempunyai arti.
Terkait dengan penelitian ini nantinya, maka persepsi ynag
dimaksudkan akan dibatasi pada persepsi siswa tentang kompetensi yang
dimiliki oleh seorang guru. Baik buruknya atau positif dan negatuf persepsi
yang diberikan siswa tentang kompetensi guru inilah yang menurut peneliti
memungkinkan adanya pengaruh terhadap hasil capaian prestasi belajar
siswa.
3. Antusiasme dalam Belajar
a. Pengertian Antusiasme Belajar
Kata antusias (enthusiast) atau antusiasme (enthusiasm) berasal dari
bahasa Yunani kuno “entheos” yang berarti “Tuhan di dalam” dan antusias
berarti “diilhami dari Tuhan”. Sedangkan menurut kamus Webster,
antusiasme berarti “kegairahan yang kuat terhadap salah satu sebab atau
subyek; semangat atau minat yang berapi-api; kegairahan.” Antusiasme
adalah gairah dalam diri kita yang diikuti dengan perasaan terinspirasi
sesuatu, termotivasi untuk mewujudkan sesuatu disertai daya optimis dan
kreativitas.
(http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme-rahasia-
keberhasilan-yang-jarang-dikenal/Antusiasme, Rahasia Keberhasilan Yang
Jarang Dikenal ).
Antusias antusiasme adalah sikap, yakni sikap untuk melakukan
sesuatu tanpa paksaan bahkan selalu ingin melakukannya. Sikap antusias
akan membawa pada pikiran, perasaan dan tindakan yang positif. Positif
dalam hal umum. Sikap antusias menimbulkan gairah positif yang
meningkatkan kualitas hubungan dengan orang lain, membuat lebih terbuka
52
terhadap ide-ide atau peluang baru dan bahkan meningkatkan kualitas
kesehatan.
Antusiasme adalah semangat yang tinggi seperti apa yang disampaikan
Nelson Mandela:
“Saya mengalami sendiri bahwa kita mampu menanggung hal-hal yang
sebenarnya tak tertanggungkan jika kita dapat menjaga semangat hidup
tetap tinggi meski tubuh kita disiksa. Keyakinan yang kuat adalah
rahasia kesanggupan menanggung segala kekurangan. Semangatmu
bisa penuh meskipun perutmu kosong”.
(http://mymindmydestiny.blogspot.com/2009/04/antusiasme-senimendengarkan-dan-humor.html)
Albert Carr dalam bukunya How to Attract Good Luck tidak menyebut
kata antusiasme, tetapi sebagai gantinya ia menyebut kata “semangat”
(”zest”) - yang kurang lebih sama artinya dengan antusias - sebagai jalan
pintas
menuju
keberuntungan
(the
shortcut
(http://pengendara.wordpress.com/2009/06/18/antusias/),
Ada
to
luck).
alasan
yang
mendasar mengapa Carr mengambil kesimpulan begitu. Alasannya adalah
bahwa “semangat” yang kita pancarkan kepada orang lain akan
melemparkan ‘kabel’ kemujuran sehingga mengalirlah “arus kemujuran”
dengan cepat kepada kita. Seringkali semangat juga memperlihatkan
pengaruhnya atas keberuntungan secara lebih halus dan dalam periode
waktu yang lebih lama.
Albert Carr kemudian memberi contoh bagaimana Winston Churchill
menuai keberuntungan yang besar karena antusiasme atau semangatnya
yang begitu tinggi. Kualitas semangat Winston Churchill sudah berkobarkobar semenjak ia masih muda, sebelum terjun ke dunia politik. Ketika ia
menjadi wartawan muda, rekan-rekannya sesama jurnalis (yang kebanyakan
lebih senior) sering menjulukinya Winston Churchill dengan sinis sebagai
“si setan mujur Churchill”, karena ia berhasil memperoleh beberapa berita
penting dari nara sumber yang berpangkat jenderal (pada masa Perang
53
Boer), sementara wartawan yang lain kesulitan mendapatkannya. Hal itu
ternyata disebabkan oleh semangat Churchill yang berhasil ‘mencuri hati’
sang jenderal. Ia memang beruntung, tetapi yang tidak mereka lihat adalah
sejauh mana keberuntungan itu “diundang” Churchill dengan kesiapan
bersemangat dalam setiap petualangannya. Dalam sejarah, ia diakui oleh
dunia sebagai orang yang paling bersemangat di zamannya.
Antusiasme atau semangat merupakan kekuatan diri yang sangat kuat,
karena telah menimbulkan kesan yang mendalam bagi orang lain yang kita
ajak berbicara. Pengaruhnya akan lebih kuat lagi jika ditambahi dengan
keramahtamahan, apalagi dengan orang asing atau orang yang baru kita
kenal. Hal ini akan melipatgandakan manfaat dari networking yang kita
lakukan. Bila dengan networking kita bisa memperbesar kemungkinan
mendapatkan peluang, maka dengan tambahan antusiasme dan keramahan,
peluang itu akan lebih cepat ditemukan. Itulah kekuatan dari antusiasme atau
semangat. Jadi tidak salah apabila Bertrand Russell menyebut semangat
sebagai “tanda paling khusus dan universal dari orang-orang bahagia.”
Hal yang pertama yang harus dimiliki seseorang untuk menggapai
kesuksesannya adalah visi dan tujuan yang jelas, namun sebaik apapun
visi, tujuan ataupun rencana yang sudah terjadwal sangat rapi jika
tidak diiringi dengan tindakan semuanya terasa mustahil. tindakan akan
mengubah sesuatu yang hanya sekedar coretan diatas kertas menjadi
kenyataan. Akan tetapi hal ini juga harus disertai dengan antusias, sebab
antusias adalah bahan bakar dari tindakan itu sendiri. Tingkat motivasi
yang kita miliki berbanding lurus dengan jumlah antusiasme yang kita
miliki.
Berdasarkan pada pengertian antusiasme tersebut, penulis mengartikan
semangat belajar sebagai sikap semangat atau gairah untuk melakukan
kegiatan belajar tanpa adanya rasa keterpaksaan. Dalam hal ini, siswa yang
mempunyai rasa antusiasme belajar yang tinggi maka siswa tersebut
mempunyai rasa semangat belajar yang tinggi, bergairah dalam belajar dan
54
tidak pernah merasa terpaksa dalam melakukan maupun mengikuti kegiatan
belajar mengajar. Antusiasme tinggi yang dimiliki oleh seorang siswa
dimungkinkan akan memberikan pengaruh terhadap prestasi atau hasil
belajar siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Seorang siswa yang selalu
antusias, bersemangat, serta tidak pernah merasa terpaksa dalam melakukan
atau mengikuti kegiatan belajar akan membuat siswa merasa senang dan
menikmati keseluruhan proses belajar mengajar.
Pengajar adalah pemberi contoh utama bagi seorang siswa yang baru
mulai belajar. Ia akan digugu dan ditiru oleh anak muridnya. Untuk itu
seorang pengajar harus sangat berhati-hati dalam bersikap karena sikap
itulah yang akan ditularkan kepada anak muridnya. Beberapa hal yang harus
ditularkan oleh seorang pengajar kepada para siswanya yakni :
1). Antusiasme
Antusiasme dalam belajar adalah hal pertama yang bisa ditularkan guru
kepada muridnya. Seorang guru harus mempunyai minat kepada apa
yang ia ajarkan. Tanpa mempunyai minat terhadap apa yang ia ajarkan, ia
hanya akan menularkan ketidakminatannya kepada murid-muridnya, dan
ini adalah pintu yang pasti untuk mematikan proses pendidikan. Seorang
yang penuh minat akan menularkan antusiasme kepada orang di
sekitarnya. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menunjukkan bahwa
“barang” yang dibawanya adalah sebuah barang yang bagus
2). Cara belajar
Seorang guru, selain pengajar, tentunya juga seorang pembelajar juga. Ia
adalah seorang yang tidak pernah berhenti belajar. Hanya dengan cara
demikian ia bisa menjadi pembimbing para pelajar, karena ia
mengajarkan dari pengalamannya sendiri. Apa yang harus dilakukan
seorang pengajar di kelas. Kelas adalah ibarat sebuah panggung bagi
seorang pengajar. Di sana ia harus berusaha semaksimal mungkin
menarik perhatian siswa, supaya mereka tertarik pada apa yang diajarkan.
Kedua hal tersebut diatas, yakni persepsi siswa tentang kompetensi
guru dan antusiasme belajar siswa akan dikaitkan dengan prestasi belajar
55
siswa sebagai salah satu tolak ukur utama keberhasilan siswa dalam dunia
pendidikan. Persepsi positif maupun negatif yang diberikan oleh siswa
terhadap guru serta adanya rasa antusiasme siswa baik itu antusiasme yang
tinggi dan juga rendah, dimungkinkan akan memberikan pengaruh terhadap
tinggi rendahnya prestasi atau hasil capaian belajar yang diperoleh oleh
siswa.
b. Teori tentang Antusiasme Belajar
Dalam membahas tentang antusiasme atau semangat belajar pada
penelitian ini, peneliti kemudian membatasi pada pengertian antusiasme
yang dikemukakan oleh Sucipto Ajisaka. Antusiasme itu adalah gairah
dalam diri kita yang diikuti dengan perasaan terinspirasi sesuatu, termotivasi
untuk mewujudkan sesuatu disertai daya optimis dan kreativitas.
(http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme--rahasia--keberhasilan-yang--jarang--dikenal/Antusiasme, Rahasia Keberhasilan Yang Jarang
Dikenal ). Teori yang akan dipergunakan oleh peneliti adalah Teori
Kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray dalam Bimo Walgito (2004:
230).
Dalam teori kebutuhan ini, Murray mengemukakan suatu daftar dari
dua puluh kebutuhan yang berlawanan satu sama lain, misalnya kebutuhan
akan nurturance, yaitu kebutuhan untuk menerima asuhan, dan kebutuhan
untuk memberikan care, untuk memberikan asuhan, dan kebutuhan
soccorance (n- soccorance), yaitu kebutuhan untuk menerima asuhan.
Kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray atau juga motif-motif
seperti yang dikutip oleh Bimo Walgito (2004: 230) adalah sebagai berikut:
1)
Merendah atau merendakan diri (abasement)
56
Merendah atau merendahkan diri adalah menerima celaan atau cercaan
orang lain. Merendahkan diri dalam menghadapi orang lain, menerima
hukuman bila melakukan kesalahan.
2)
Berprestasi (achievement)
Berprestasi adalah motif yang berkaitan dengan untuk memperoleh
prestasi yang baik, memecahkan masalah-masalah yang dihadapi,
mengerjakan tugas-tugas secepat mungkin dan sebaik-baiknya.
3)
Afiliasi (Affiliation)
Afiliasi adalah motif atau kebutuhan yang berkaitan dengan berteman,
untuk mengadakan hubungan dengan orang lain.
4)
Agresi (Aggression)
Agresi adalah motif yang berkaitan dengan sikap agresivitas, melukai
orang lain, berkelahi, menyerang orang lain.
5)
Otonomi (Autonomy)
Otonomi adalah motif
atau kebutuhan yang berkaitan dengan
kebebasan, bebas dalam menyatakan pendapat, ataupun berbuat, tidak
menggantungkan kepada orang lain, mencari kemandirian.
6)
Counteraction
Counteraction adalah motif yang berkaitan dengan usaha untuk
mengatasi
kegagalan-kegagalan,
mengadakan
tindakan
sebagai
counternya.
7)
Pertahanan (dependence)
Pertahanan adalah motif yang berkaitan dengan pertahanan diri
8)
Hormat (deference)
Hormat adalah motif yang berhubungan dengan rasa hormat, berbuat
seperti apa yang diharapkan oleh orang lain.
9)
Dominasi (dominance)
57
Dominasi adalah motif yang berhubungan dengan sikap menguasai
orang lain, menjadi pemimpin, membantah pendapat orang lain, ingin
mendominasi orang lain.
10) Ekshibisi atau pamer (exhibition)
Ekshibisi adalah motif yang berkaitan dengan ekshibisi atau pamer,
menonjolkan diri supaya dilihat orang lain, ingin menjadi pusat
perhatian.
11) Penolakan Kerusakan (harmavoidance)
Penolakan kerusakan adalah motif yang berusaha menolak hal-hal
yang merugikan, yang menyakitkan badan, menolak rasa sakit,
menolak hal-hal yang merugikan dalam kejasmanian, menghindari halhal yang membahayakan.
12) Infavoidance
Infavoidance adalah motif yang berkaitan dengan usaha menghindari
hal-hal yang memalukan, hal-hal yang membawa kegagalan.
13) Memberi bantuan (nurturance)
Memberi bantuan adalah motif yang berkaitan dengan memberi
bantuan atau menolong kawan atau orang lain, memperlakukan orang
lain dengan baik, kasih sayang kepada orang lain.
14) Teratur (order)
Teratur adalah motif untuk keteraturan, kerapihan, menunjukkan
keteraturan dalam segala hal.
15) Bermain (play)
Bermain adalah motif yang berkaitan dengan bermain, relaks,
kesenangan, melawak, menghindari hal-hal yang menegangkan.
16) Menolak (rejection)
Menolak adalah motif untuk menolak pihak lain, orang lain,
menganggap sepi orang lain.
17) Sentience
58
Sentiene adalah motif yang mencari kesenangan terhadap impresi yang
melalui alat indera (sensuous impression).
18) Seks (sex)
Seks adalah motif yang berkaitan dengan kegiatan seksual.
19) Bantuan atau pertolongan (succorance)
Bantuan adalah motif yang berkaitan untuk memperoleh simpati atau
bantuan orang lain, untuk bergantung pada pihak lain.
20) Mengerti (understanding)
Mengerti adalah motif untuk menganalisis pengalaman, untuk memilah
konsep-konsep, mensintesiskan ide-ide, menemukan hubungan satu
dengan yang lain.
Teori kebutuhan yang dikemukakan oleh Murray ini peneliti
pergunakan dengan menghubungkan antara adanya antusiasme belajar
terhadap prestasi belajar siswa. Adanya antusiasme dalam belajar menurut
peneliti, dimungkinkan karena adanya kebutuhan akan prestasi seperti yang
diungkapkan oleh Muray dalam dua puluh kebutuhan (pada point dua).
Adanya kebutuhan untuk memperoleh prestasi yang baik, memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi, mengerjakan tugas-tugas secepat mungkin
dan sebaik-baiknya memungkinkan timbulnya antusiasme belajar pada diri
siswa.
B. Hasil Penelitian Yang Relevan
Ada beberapa hasil penelitian yang menurut peneliti relevan dengan
penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru
Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa
Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini, diantaranya adalah:
1. Penelitian dengan judul “Pengaruh Persepsi Siswa Pada Kompetensi
Guru, Sikap Siswa Pada Matematika Dan Motivasi Belajar Siswa
Terhadap Prestasi Belajar Matematika”.
59
Penelitian tersebut dilakukan oleh Henny Kusumaningrum pada tahun
2006, dengan hasil penelitian sebagai berikut:
a) Prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai persepsi positif
pada kompetensi guru lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mempunyai persepsi negatif pada kompetensi guru.
b) Siswa yang memiliki sikap positif pada matematika dan siswa yang
memiliki sikap negatif pada matematika mempunyai prestasi belajar
yang sama.
c) Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan siswa yang
memiliki motivasi belajar rendah mempunyai prestasi belajar
matematika yang sama.
d) Persepsi
siswa
pada
kompetensi
guru
matematika
tidak
mempengaruhi sikap siswa pada matematika, artinya siswa yang
memiliki persepsi positif maupun negatif pada kompetensi guru
mempunyai prestasi belajar yang sama dengan siswa yan memiliki
sikap positif maupun negatif pada matematika
e) Persepsi
siswa
pada
kompetensi
guru
matematika
tidak
mempengaruhi motivasi belajar siswa, artinya siswa yang memiliki
persepsi positif maupun negatif pada kompetensi guru mempunyai
prestasi belajar yang sama dengan siswa yang memiliki motivasi
belajar tinggi maupun rendah.
f) Sikap siswa pada matematika tidak mempengaruhi motivasi belajar
siswa, artinya siswa yang memiliki sikap pada matematika positif
maupun negatif mempunyai prestasi belajar yang sama dengan siswa
yang memiliki motivasi belajar tinggi maupun rendah.
g) Tidak terdapat interaksi antara persepsi siswa pada kompetensi guru,
sikap siswa pada matematika dan motivasi belajar siswa terhadap
prestasi belajar matematika.
60
2. Penelitian dengan judul “Korelasi Persepsi Siswa Terhadap Guru Dan
Interaksi Edukatif Dengan Pencapaian Kognitif Biologi Siswa Kelas II
SMP Negeri 6 Surakarta Tahun Pelajaran 2005/2006.
Penelitian tersebut dilakukan oleh Marianingsih pada tahun 2006 dengan
mempergunakan metode deskriptif kuantitatif yang bersifat ex pos facto.
Populasi penelitian yang dijadikan objek penelitian adalah siswa kelas II
SMP Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2005/ 2006 Teknik
pengambilan sampel yang dipergunakan adalah teknik random sampling.
Jumlah sampel yang diambil adalah 41 siswa. Teknik analisis yang
diambil adalah teknik analisis Regresi Linier Multivariat. Adapun hasil
penelitian yang didapat adalah:
a) Ada Korelasi positif yang signifikan antara persepsi siswa terhadap
guru dengan pencapaian kognitif biologi siswa kelas II SMP Negeri
6 Surakarta tahun pelajaran 2005/2006
b) Ada Korelasi positif yang signifikan antara interaksi edukatif dengan
pencapaian kognitif biologi siswa kelas II SMP Negeri 6 Surakarta
tahun pelajaran 2005/2006.
c) Ada Korelasi positif yang signifikan antara persepsi siswa terhadap
guru dan interaksi edukatif dengan pencapaian kognitif biologi siswa
kelas II SMP Negeri 6 Surakarta tahun pelajaran 2005/2006
d) Kontribusi variabel bebas yang dominan dalam memprediksi
pencapaian kognitif biologi adalah interaksi edukatif dengan
sumbangan relatif sebesar 53,99%.
C. Kerangka Berpikir
Dalam kerangka pemikiran penelitian dijelaskan bahwa persepsi atau
tanggapan siswa terhadap stimulus, yang dalam hal ini adalah kompetensi
yang dimiliki oleh guru, mempunyai pengaruh terhadap prestasi yang
diperoleh oleh siswa nantinya. Adapun kompetensi yang dimaksudkan
tersebut adalah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru yaitu
61
terdiri dari empat kompetensi, antara lain kompetensi pribadi, kompetensi
paedagogik, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keberhasilan
seorang guru dalam menjalankan profesinya sangat ditentukan oleh
keempatnya dengan penekanan pada kemampuan mengajar.
Demikian pula halnya dengan antusiasme. Antusiasme, sebagaimana
yang kita ketahui adalah sikap, yakni sikap untuk melakukan sesuatu tanpa
paksaan bahkan selalu ingin melakukannya. Sikap antusias akan membawa
pada pikiran, perasaan dan tindakan yang positif. Positif dalam hal umum.
Sikap antusias menimbulkan gairah positif yang meningkatkan kualitas
hubungan dengan orang lain, membuat lebih terbuka terhadap ide-ide atau
peluang baru dan bahkan meningkatkan kualitas kesehatan. Dalam kegiatan
belajar, antusiasme belajar diartikan sebagai sikap atau semangat untuk
belajar tanpa adanya unsur paksaan. Baik persepsi siswa tentang kompetensi
yang dimiliki oleh para guru dan antusiasme siswa dalam kegiatan belajar,
keduanya akan mempunyai keterkaitan dengan capaian prestasi belajar
sosiologi yang akan diperoleh oleh siswa nantinya. Secara skematis
kerangka pemikiran tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
Persepsi Siswa tentang
Kompetensi Guru
(X 1)
Prestasi Belajar
Sosiologi
(Y)
Antusiasme Belajar
(X 2 )
62
Gambar 8. Kerangka Pemikiran
D. Hipotesis
Sebagaimana yang dituliskan oleh Sutrisno Hadi (2004; 210),istilah
hipotesis sebenarnya adalah kata majemuk yang terdiri dari kata hipo dan
tesa. Hipo berasal dari kata Yunani hupo, yang berarti di bawah, kurang atau
lemah, sedang tesa kita artikan teori, proposisi, atau pernyataan. Jadi
hipotesiss adalah pernyataan yang masih lemah kebenarannya dan masih
perlu dibuktikan kenyatannya. Hipotesis adalah jawaban sementara yang
masih harus diuji kebenarannya melalui kegiatan penelitian. Menurut p. 476
dalam Tentrem Widodo (2008 : 31):
“Hypothesis is a tentative, reasonable, testable assertion regarding the
accurance of certain behaviors, phenomena, or events, apredictin of
study out come. Hypothesis is conjectural statement of the relation
between two or more variable”.
Sedangkan menurut Sukardi (2002; 32), hipotesis adalah perumusan
sementara tentang sesuatu atau kebenaran sementara yang masih harus diuji
kebenarannya.
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas,
maka peneliti mengajukan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi
guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4
Surakarta.
2. Ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta.
3.
Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi
guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada
siswa
kelas
X
SMAN
4
Surakarta.
63
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam metodologi penelitian ini, selanjutnya secara berturut-turut akan
diuraikan mengenai beberapa hal yang berkaitan langsung dengan penelitian
yang akan dilaksanakan, yaitu meliputi tempat penelitian, waktu penelitian,
metode penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data,
rancangan penelitian dan teknik analisis data.
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian mengenai “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi
Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada
Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta ini akan dilaksanakan di SMAN 4
Surakarta yang beralamat di Jl. L.U Adisucipto No. 1 Surakarta.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini direncanakan selama
enam bulan yaitu dari penyusunan usulan proposal sampai penulisan
laporan. Penelitian ini dimulai sejak bulan Januari 2010 sampai bulan Juni
2010.
Adapun jadwal kegiatan penelitian tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut:
No.
1.
Kegiatan
Pengajuan
Judul
Proposal
Bulan
Januari Februari
Maret
April
Mei
Juni
64
2.
Penyusunan
Proposal dan
Seminar
Proposal
3.
Penyusunan
Instrumen
4.
Pengumpulan
Data
5.
Analisis Data
6.
Penulisan
Laporan
Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi menurut Sutrisno Hadi (2004: 182) adalah seluruh penduduk
yang dimaksudkan untuk diselidiki. Menurut Pangestu Subagyo dan
Djarwanto, populasi atau universe adalah jumah dari keseluruhan objek
(satuan-satuan/ individu-individu) yang karakteristiknya hendak diduga.
(2005: 93). Populasi dibatasi sebagai jumlah penduduk atau individu yang
paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Populasi merupakan
keseluruhan subjek (orang, binatang, atau apa saja) dengan karakteristik
yang sama, dimana penelitian dilakukan.
Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2006: 130), populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua
elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan
penelitian populasi. Populasi juga dapat diartikan sebagai totalitas semua
nilai yang mungkin, hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif
maupun kualitatif mengenai karakteristik tertentu dari semua anggota
kumpulan yang lengkap dan jelas yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.
(Sudjana, 1996: 5).
65
Tentrem Widodo (2008: 47) menyebutkan bahwa populasi adalah
keseluruhan individu atau satuan-satuan tertentu sebagai anggota atau
himpunan dalam suatu kelas/ golongan tertentu. Tentrem widodo juga
mengatakan bahwa populasi bisa berupa apa saja sepanjang berada dalam
dunia empiri seperti benda mati, hewan, tumbuhan, dan manusia, atau
peristiwa-peristiwa lainnya. Karena populasi dipandang sebagai kelompok
(bukan individu), maka apapun jenis populasinya bisa ditemukan kesamaan
karakteristiknya diantara individu atau bagian-bagiannya, yang dalam hal ini
disebut homogenitas.
Homogenitas mendeskripsikan karakteristik suatu populasi, bukan
individu, sehingga sampel dapat ditarik atau diambil dari populasi untuk
mewakili karakteristik populasi, harapannya karakteristik sampel dapat
digeneralisasikan pada populasi secara sah menurut kaidah ilmiah. Hal ini
berkaitan dengan tingkat keluasan generalisasi pada populasi (ecological
generalizability). Keabsahan generalisasi selalu tidak bisa dilepaskan dengan
konteks populasi.
Suharsimi Arikunto dalam bukunya “Prosedur Penelitian, Suatu
Pendekatan Praktek”(2006: mengemukakan beberapa contoh populasi,
diantaranya adalah:
a. Semua orang yang terdaftar dalam angkatan laut pada hari tertentu.
b. Semua televisi dari tipe yang sama yang diproduksi oleh suatu pabrik
dalam satu tahun tertentu.
c. Semua mahasiswa yang terdaftar mengambil suatu mata kuliah tertentu.
d. Semua jenis senjata uyang diperbolehkan oleh undang-undang.
Suharsismi Arikunto (2006: 130) menyebutkan,
jika dilihat dari
jumlahnya populasi dapat dibedakan menjadi:
a. Jumlah terhingga (terdiri dari elemen dengan jumlah tertentu) seperti
contoh nomor 1, 2, dan 3 diatas.
b. Jumlah tak hingga (terdiri dari elemen yang sukar sekali dicari
batasannya). Mungkin senjata itu kini sudah jadi, sudah diproduksi,
66
tetapi mungkin juga belum diproduksi oleh pabrik, atau bahkan sudah
rusak dan dimusnahkan.
Syaifuddin Azwar (1997: 77) menyebutkan bahwa populasi adalah
kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sebagai
suatu populasi, kelompok ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristikkarkteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain.
Ciri yang dimaksud tidak terbatas hanya sebagai ciri lokasi akan tetapi dapat
terdiri dari karakteristik-karakeristik individu (Syaifuddin Azwar:
77).
Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah siswa kelas sepuluh
(X) SMAN 4 Surakarta tahun ajaran 2009-2010, yakni sebanyak 340 siswa.
2. Sampel
Sampel menurut Sutrisno Hadi (2004; 182) adalah sebagian dari
populasi. Sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari
jumlah populasi. Sampel harus mempunyai paling sedikit satu sifat yang
sama, baik kodrat maupun sifat pengkhususan. Menurut Pangestu Subagyo
dan Djarwanto(2005: 93), sampel adalah sebagian dari populasi yang
karakteristiknya hendak diselidiki, dan dianggap bisa mewakili keseluruhan
populasi (jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah populasinya). Sedangkan
menurut Suharsimi Arikunto (2006; 131), sampel adalah sebagian atau wakil
populasi yang diteliti.
Syaifuddin Azwar menyatakan bahwa sampel adalah sebagian dari
populasi. Hal ini berarti bahwa sampel harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki
oleh populasinya. Apakah sampel merupakan representasi yang baik bagi
populasinya sangat bergantung pada sejauhmana karakteristik sampel itu
sama dengan karakteristik populasinya (2009: 79).
Penelitian tentang “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi
Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada
Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini nantinya merupakan penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan sampel. Hal ini dikarenakan populasi dari
penelitian berjumlah 340 siswa (termasuk dalam populasi besar).
67
Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 134), apabila subjeknya kurang
dari 100, lebih baik ambil semua sehingga penelitiannya merupakan
penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil
antara 10%- 15%, atau 20%- 25% atau lebih, tergantung setidaknya dari:
a. Kemampuan peneliti dilihat dari waktu, tenaga, dan dana.
b. Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subjek, karena hal ini
banyak sedikitnya data.
c. Besar kecilnya resiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian
yang resikonya besar, tentu saja jika sampelnya besar, hasilnya akan
lebih baik..
Kebanyakan peneliti beranggapan bahwa semakin banyak sampel, atau
semakin besar presentase sampel dari populasi, hasil penelitian akan
semakin baik. Anggapan ini benar, tetapi tidak selalu demikian. Hal ini
tergantung dari sifat-sifat atau ciri-ciri yang dikandung oleh subjek
penelitian dalam populasi. Selanjutnya sifat-sifat atau ciri-ciri
tersebut
bertalian erat dengan homogenitas subjek dalam penelitian.
Dalam penelitian ini nantinya, sampel yang akan diambil adalah
sebanyak 15% dari populasi yakni sebanyak 51 siswa. Teknik pengambilan
sampel yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik
proporsional random sampling. Sampel yang diambil adalah sebanyak 15%
persen dari siswa kelas satu yakni 51 siswa dari 340 siswa tersebut dipilih
secara acak (random). Proses randomisasi tersebut menurut Suharsimi
Arikunto (2006: 136-137) ada tiga cara. Sebelumnya untuk mempermudah,
maka dimisalkan kita mempunyai 1000 orang dan sampelnya kita tentukan
sebanyak 200 orang. Kemudian semua sampel ini diberi nomor urut 1-200,
lalu di ambil secara random dengan menggunakan salah satu dari ketiga
cara dibawah ini, yaitu:
a. Undian (untung-untungan)
Pada kertas-kertas kecil kita tuliskan nomor subjek, satu nomor untuk
setiap kertas. Kemudian kertas ini digulung. Dengan tanpa prasangka,
kita mengambil 200 gulungan kertas, sehingga nomor-nomor yang
68
tertera pada gulungan kertas yang terambil itulah yang merupakan
nomor subjek sampel penelitian kita.
b. Ordinal (tingkatan sama)
Setelah 1000 orang subjek kita beri nomor, kita membuat 5 gulungan
kertas dengan nomor 1, 2, 3, 4, 5. Kita ambil satu, misalnya setelah
dibuka tertera angka 3. Oleh karena sampel kita 200 padahal populasinya
1000 maka besarnya sampel seperlima populasi. Demikianlah maka kita
ambil nomor dengan melompat setiap 5 subjek, mulai dari nomor 3, lau
8, 13, 18, 23, dan seterusnya, dan kalau sudah sampai nomor terbawah
padahal belum diperoleh 200 subjek, kita kembali keatas lagi. Nomornomor yang terambil itulah nomor subjek sampel penelitian kita.
c. Menggunakan tabel bilangan random
Didalam buku-buku statistik bagian belakang, biasanya terdapat halaman
yang memuat angka-angka yang disusun secara acak. Angka-angka
tersebut dapat dicari letaknya menurut baris dan kolom. Agar
pengambilan sampel terlepas dari perasaan subjektif, maka sebaiknya
peneliti menuliskan langkah-langkah yang akan diambil, misalnya:
1) Menjatuhkan ujung pensil, menemukan nomor baris;
2) Menjatuhkan ujung pensil kedua, menemukan nomor kolom.
Pertemuan antara baris dan kolom inilah nomor subjek ke-1;
3) Bergerak dari nomor tersebut 2 langkah ke kanan, menemukan
nomor subjek ke-2;
4) Bergerak ke bawah 5 langkah menemukan nomor subjek ke-3;
5) Bergerak ke kiri 2 langkah menemukan nomor subjek ke-4.
Demikian seterusnya sampai diperoleh jumlah subjek
yang
dikehendaki.
Perlu ditambahkan disini bahwa apabila jumlah subjeknya tidak terlalu
banyak, maka semua langkah dapat ditulis. Tetapi jika jumlah subjeknya
banyak, kita dapat mengulang langkah yang sudah kita lalui. Apabila suatu
ketika kita menemukan angka nomor subjek yang sudah terambil, maka kita
melewati langkah tersebut dan meneruskan ke langkah berikutnya.
69
Pengambilan nomor tentu saja tidak selalu harus satu angka.Untuk
memperoleh subjek dengan nomor lebih besar dari 9, kita gunakan 2 atau 3
angka, kekanan, ke kiri, ke bawah atau ke atas.
Terkait dengan penelitian tentang Pengaruh Persepsi Siswa Tentang
Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar
Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta ini, peneliti akan
mempergunakan cara random undian (untung-untungan).
C. Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Suharsimi Arikunto (2006: 129) menyebutkan bahwa sumber data
adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Data yang dikumpulkan
tersebut menurut Syaifuddin Azwar (2009: 36) ada dua, yaitu:
a.
Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber pertama melalui
prosedur dan tekhnik pengambilan data yang dapat berupa interview,
observasi, maupun penggunaan instrumen pengukuran yang khusus
dirancang sesuai dengan ukurannya. Dalam penelitian ini, yang menjadi
subyeknya adalah siswa kelas X SMAN 4 Surakarta yang terpilih
menjadi responden
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung
yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi. Dalam
penelitian ini, peneliti mempergunakan nilai raport sebagai data
sekunder.
2. Variabel Penelitian
Istilah variabel itu sendiri pada dasarnya merupakan istilah yang tidak
pernah ketinggalan dalam setiap penelitian. F. N. Kerlinger dalam Suharsimi
Arikunto (2006: 116) menyebut variabel sebagai sebuah konsep seperti
halnya laki-laki dalam konsep jenis kelamin, insaf dalam konsep kesadaran.
70
Sutrisno Hadi, juga dalam Suharsimi Arikunto (2006: 116) mendefinisikan
variabel sebagai gejala yang bervariasi misalnya jenis kelamin, karena jenis
kelamin mempunyai variasi: laki-laki-perempuan; berat badan, karena ada
berat badan 40 kg, dan sebagainya. Gejala adalah objek penelitian, sehingga
variabel adalah objek penelitian yang bervariasi.
Didalam penelitian ini, peneliti akan meneliti tiga variabel yang terdiri
atas dua variabel bebas dan satu variabel terikat.
a. Variabel bebas
: Persepsi Siswa tentang Kompetensi Guru ( X 1 )
Antusiasme Belajar ( X 2 )
b. Variabel terikat
: Prestasi Belajar Sosiologi (Y)
3. Penyusunan Instrumen
Teknik penyusunan instrumen untuk memperoleh data didalam
penelitian ”Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru Dan
Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X
SMAN 4 Surakarta” ini dilakukan dengan:
a. Angket atau kuesioner
Menurut Sudirman (1987: 276), angket atau kuesioner merupakan alat
untuk mengumpulkan dan mencatat data atau informasi , sikap, dan faham
dalam hubungan kausal. Angket Kuesioner juga dapat diartikan sejumlah
pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia
ketahui. Angket mempunyai kesamaan dengan wawancara kecuali dalam
implementasinya angket dilaksanakan secara tertulis. Angket atau kuesioner
dipakai untuk menyebut metode maupun instrument. Jadi dalam
menggunakan metode angket atau kuesioner, instrument yang dipakai adalah
angket atau kuesioner.
Didalam penggunaan angket ini terdapat beberapa keuntungan. Seperti
yang disebutkan oleh Sudirman (1987: 276), keuntungan penggunaan angket
antara lain:
71
1. Responden dapat menjawab dengan bebas, tanpa dipengaruhi hubungan
dengan peneliti atau penilai, dan waktu relatif lama sehingga objektivitas
dapat terjamin.
2. Informasi atau data terkumpul lebih mudah karena itemnya homogen.
3. Dapat digunakan untuk mengumpulkan data dari jumlah responden yang
besar yang dijadikan sampel.
Sedangkan kerugian dari penggunaan angket tersebut antara lain:
1. Ada kemungkinan angket diisi oleh orang lain.
2. Hanya diperuntukkan bagi yang dapat melihat saja.
3. Responden hanya dapat menjawab berdasarkan jawaban yang ada.
Terdapat bermacam-macam bentuk angket, antara lain:
1. Bentuk
angket
berstruktur,
yaitu
angket
yang
menyediakan
kemungkinan jawaban. Bentuk angket berstruktur dibagi lagi sebagai
berikut:
a. Bentuk
jawaban
tertutup,
yaitu
angket
yang
pada
setiap
pertanyaannya sudah tersedia berbagai alternatif jawaban.
b. Bentuk jawaban tertutup tapi pada alternatif terakhir diberikan
jawaban terbuka.
c. Bentuk jawaban bergambar, yaitu angket yang memberikan jawaban
dalam bentuk gambar.
2. Bentuk angket tak berstruktur, yaitu bentuk angket yang mencakup
pertanyaan terbuka dan responden secara bebas menjawab pertanyaan
tersebut. Hal ini memang memberi faham yang lebih mendalam tentang
situasi, tetapi kurang dapat dinilai secara objektif. Jawabannya tidak
dapat dianalisis secara statistik sehingga kesimpulannya hanya
merupakan pandangan yang bersifat umum.
Adapun langkah-langkah dalam penyusunan angket adalah sebagai
berikut:
1. Menyusun layout, yaitu merinci hal-halyang berkenaan dengan masalah
pokok sehingga nampak urutannya.
72
2. Menyusun pertanyaan-pertanyaan dan bentuk jawaban yang diinginkan,
berstruktur, atau tak berstruktur. Yang jelas, setiap pertanyaan dan
jawaban harus mengagambarkan dan atau mencerminkan data yang
diperlukan. Pertanyaan harus diurutkan sehingga antara pertanyaan yang
satu dengan yang lainnya ada kesinambungan.
3. Membuat pedoman atau petunjuk cara menjawab pertanyaan sehingga
memudahkan responden menjawab pertanyaannya.
4. Jika angket sudah tersusun dengan baik, maka perlu dilaksanakan uji
coba di lapangan sehingga dapat diketahui kelemahan-kelemahan.
5. Revisi: angket yang sudah diujicobakan, dan terdapat kelemahan, perlu
direvisi, baik dilihat dari pertanyaannya maupun dari jawabannya.
6. Menggandakan angket sesuai dengan banyaknya anggota sampel.
Teknik pengumpulan data dengan mempergunakan angket ini
dimaksudkan peneliti untuk menggali data berkaitan dengan variabel bebas
dalam penelitian yakni variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan
variabel antusiasme belajar.
b. Dokumentasi
Tidak kalah pentingnya dari metode-metode lainnya, yaitu metode
dokumentasi. Metode dokumentasi menurut Suharsimi Arikunto (2006:
231), adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger,
agenda dan sebagainya. Dokumentasi sendiri berasal dari kata dokumen
yang berarti barang-barang tertulis.
Sedangkan menurut Tentrem Widodo (2008; 54), teknik dokumentasi
merupakan caa mengumpulkan data responden atau populasi penelitian
dengan mengambil data tertulis (dokumen) yang telah tersimpan secara baik.
Misalnya data usia, pekerjaan, tempat tinggal, status kekeluargaan. Pada
umunya dokumentasi digunakan untuk memperoleh informasi karakteristik
populasi penelitian. Keabsahan data terletak pada sumber data dokumentasi.
73
Dibandingkan dengan metode lainnya, metode dokumentasi agak tidak
begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap,
belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda
hidup tetapi benda mati. Dalam menggunakan metode dokumentasi ini
peneliti memegang check-list untuk mencatat variabel yang sudah
ditentukan. Apabila terdapat/ muncul variabel yang dicari, maka peneliti
tinggal membubuhkan tanda check atau tally ditempat yang sesuai. Untuk
mencatat hal-hal yang bersifat bebas atau belum ditentukan dalam daftar
peneliti dapat menggunakan kalimat bebas. Metode dokumentasi ini peneliti
gunakan untuk memperoleh data berkaitan dengan prestasi belajar siswa
yang menjadi responden.
D. Rancangan Penelitian
Penelitian tentang “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi
Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada
Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif. Penelitian kuantitatif sendiri menurut Purwanto, merupakan
sebuah paradigma dalam penelitian yang memandang kebenaran sebagai
sesuatu yang tunggal, objektif, universal, dan dapat diverifikasi.
Adapun metode penelitian kuantitatif yang dipilih oleh peneliti adalah
metode penelitian korelasi, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa eratnya
hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan tersebut (Suharsimi
Arikunto, 1998: 251). Penelitian korelasi ini juga bertujuan untuk
mengetahui bagaimanakah pengaruh atau hubungan antara variabel bebas
dan variabel terikat.
Penelitian jenis korelasi digunakan untuk menemukan kemungkinan
ada-tidaknya hubungan antar dua atau lebih variabel bebas dengan variabel
bergantung (Tentrem Widodo,2008 : 41). Variabel-variabel itu terjadi secara
bersamaan dan bersifat konstruk. Apapun variabel konstruk bisa dicari
hubungannya dalam penelitian sepanjang didukung teori. Berdasarkan arah
74
hubungan dibedakan menjadi hubungan positif dan negatif. Berdasarkan
banyaknya variabel dibedakan menjadi hubungan tunggal, hubungan ganda,
hubungan multi, hubungan siklus, dan hubungan rumit (path correlation).
Kaitannya dengan penelitian ini, banyaknya variabel menunjukkan
hubungan ganda.
Pola hubungan ganda dalam penelitian ini menggambarkan adanya
hubungan antara ketiga variabel, baik itu variabel bebas dan variabel
terikatnya. Persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme belajar
siswa memungkinkan adanya pengaruh terhadap capaian prestasi belajar
siswa, dimana hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dalam
penelitian ini bersifat satu arah, bukan hubungan yang bersifat timbal balik.
1. Validitas Instrumen
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana
ketepatan dan ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan
fungsi ukurnya (Saifudin Anwar, 1997: 5). Sedangkan menurut Suharsimi
Arikunto (2006: 168), validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan
tingkat kevalidan atau kesahihan sesuatu instrumen. Suatu tes atau
instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi
apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil
ukur, yang sesuai dengan maksud yang dilakukannya pengukuran tersebut.
Tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran
dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah.
Bukti empiris validitas konstruk ditunjukkan dengan koefisien korelasi
antara skor per item (X) dengan skor total (Y).
Dalam penelitian ini, jenis validitas yang digunakan adalah validitas
konstruk (construct validity). Menurut Tentrem Widodo (2008: 77) validitas
konstruk dibatasi ketepatan item instrumen pengukuran dengan bangunan
variabel (batasan variabel) yang bersifat abstrak. Sejauh mana item-item ini
mengukur indikator-indikator yang dihipotesiskan dalam batasan variabel
75
yang diukur.Untuk menguji uji validitas angket digunakan rumus korelasi
product moment sebagai berikut:
N å XY - (å X )(å Y )
r xy =
{N å X
2
}{
- (å X ) 2 N å Y 2 - (å Y ) 2
}
Keterangan:
r xy
= Koefisien antara variabel X dan variabel Y
X
= Skor subjek pada item tertentu
Y
= Skor total subjek
N
= Jumlah subjek
Jika r xy
hitung
³ r xy
tabel
maka instrumen dikatakan valid
Jika r xy
hitung
£ r xy
tabel
maka instrumen dikatakan tidak valid
Menurut Saifuddin Azwar (1997: 10), validitas pada umumnya
dinyatakan secara empirik oleh suatu koefisien, yaitu koefisien validitas.
Validitas dinyatakan oleh korelasi antara distribusi skor tes yang
bersangkutan dengan distribusi skor suatu kriteria yang relevan. Kriteria ini
dapat berupa skor tes lain yang mempunyai fungsi ukur yang sama dengan
tes yang bersangkutan dan dapat pula berupa ukuran-ukuran lain yang
relevan, misalnya performansi pada suatu pekerjaan, hasil rating oleh pihak
ketiga dan semacamnya.
Saifuddin Azwar (1997: 10) menyatakan apabila skor pada tes diberi
lambang X dan skor pada kriterianya mempunyai lambang Y, maka
koefisien korelasi antara tes antar kriteria itu adalah rxy . Simbol rxy inilah
yang digunakan untuk menyatakan tinggi rendahnya validitas suatu alat
ukur. Koefisien validitas hanya mempunyai makna jika mempunyai harga
yang positif. Walaupun semakin tinggi mendekati angka 1,0 berarti suatu tes
76
semakin valid hasil ukurnya, namun dalam kenyataannya suatu koefisien
validitas tidak akan pernah mencapai angka maksimal atau medekati angka
1,0.
2. Reliabilitas Instrumen
Menurut
Saifudin
Azwar
(1997:
4),
reliabilitas
merupakan
penerjemahan dari kata reliability yang mempunyai asal kata rely dan
ability. Meskipun realiabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti
keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan
sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas
adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya.
Reliabilitas dibatasi seberapa keajegan atau kekonstanan hasil
pengukuran suatu variabel. Bedanya, validitas yang diuji adalah item
instrumennya, sedang reliabilitas yang diuji hasil pengukurannya. Adapun
uji reliabilitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan reliabilitas
konsistensi internal. Reliabilitas konsistensi internal merupakan keajegan
hasil pengukuran suatu variabel antara kelompok item tertentu dengan
kelompok item lainnya dalam satu perangkat pengukuran yng diberikan
dalam satu kali pengukuran (Tentrem Widodo, 2008; 78)
Untuk melakukan uji reliabilitas digunakan rumus alpha (Suharsimi
Arikunto, 2006: 196), sebagai berikut:
2
é k ùé ås b ù
1
ú
=ê
úê
s t2 úû
ë (k - 1) û êë
r 11
Keterangan:
r11
= Reliabilitas instrumen
k
= Banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
ås
st
2
2
b
= Jumlah varians butir
= Varians total
77
Jika r hitung ³ r tabel maka instrumen dikatakan reliabel
Jika r hitung £ r tabel maka instrumen dikatakan tidak reliabel
Menurut Saifuddin Azwar (1997: 8) secara empirik, tinggi rendahnya
reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas.
Pada awalnya, tinggi rendahnya reliabilitas tes dicerminkan oleh koefisien
korelasi antara skor pada dua tes yang pararel, yang dikenakan pada
sekelompok individu yang sama. Semakin tinggi koefisien korelasi
termaksud berarti konsistensi antara hasil pengenaan dua tes tersebut
semakin baik dan hasil ukur kedua tes itu dikatakan semakin reliabel.
Sebaliknya, apabila dua tes yang dianggap pararel ternyata menghasilkan
skor yang satu sama lain berkorelasi rendah maka dapat dikatakan bahwa
reliabilitas hasil ukur tes tersebut tidak tinggi.
Saifuddin Azwar (1997: 9) juga menyebutkan walaupun secara teoritik
besarnya koefisien reliabilitas berkisar mulai dari 0,0 sampai dengan 1,0
tetapi pada kenyataannya koefisien sebesar 1,0 dan sekecil 0,0 tidak pernah
dijumpai. Disamping itu, walaupun koefisien korelasi dapat saja bertanda
negatif (-), koefisien reliabilitas selalu mengacu pada angka positif (+)
dikarenakan angka yang negatif tidak ada artinya bagi interpretasi
reliabilitas yang diukur. Koefisien reliabilitas rxx 2 = 1,0 berarti adanya
konsistensi yang sempurna pada hasil ukur yang bersangkutan. Konsistensi
yang sempurna seperti itu tidak dapat terjadi dalam pengukuran aspek-aspek
psikologis dan sosial yang menggunakan manusia sebagai subjeknya
dikarenakan terdapatnya berbagai sunber error dalam diri manusia dan
dalam pelaksanaan pengukuran yang sangat mudah mempengaruhi
kecermatan hasil pengukuran.
E. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul dengan lengkap dan benar, maka langkah
selanjutnya adalah menganalisis data dengan cara menyederhanakan data ke
78
dalam bentuk yang lebih mudah untuk dibaca agar dapat menjawab hipotesis
penelitian yang diajukan oleh peneliti. Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisis regresi ganda. Teknik analisis regresi
ganda adalah analisis tentang hubungan antara satu dependent variabel
dengan dua atau lebih independent variabel. (Suharsimi Arikunto, 2006:
296)
Adapun langkah-langkah analisis yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Menyusun Tabulasi data
Menyusun tabulasi data maksudnya adalah data-data yang telah
diperoleh kemudian disusun kedalam tabel-tabel untuk memudahkan
dalam proses penghitungan. Menurut Suharsimi Arikunto (2006: 236),
yang termasuk dalam kegiatan tabulasi ini adalah:
a) Memberikan skor (scoring) terhadap item-item yang perlu diberi
skor. Misalnya tes, angket bentuk pilihan ganda rating scale dan
sebagainya.
b) Memberikan kode-kode terhadap item-item yang tidak diberi skor.
Contoh:
1) Jenis kelamin
:
laki-laki diberi kode 1
Perempuan diberi kode 0
2) Tingkat pendidikan :
Sekolah Dasar diberi kode 1
Sekolah Menengah Pertama diberi kode 2
Sekolah Menengah Atas diberi kode 3
Perguruan Tinggi diberi kode 4
3) Banyaknya penataran yang pernah diikuti dikelompokkan dan
diberi kode atas
:
Mengikuti lebih dari 10 kali diberi kode 3
Mengikuti antara 1 s/d 9 kali diberi kode 2
Tidak pernah mengikuti diberi kode 1
79
c) Mengubah jenis data, disesuaikan atau dimodifikasikan dengan
teknik analisis yang akan digunakan.
d) Memberikan kode (coding) dalam hubungan dengan pengolahan data
jika akan menggunakan komputer. Dalam hal ini pengolah data
memberikan kode pada semua variabl, kemudian mencoba
menentukan tempatnya didalam coding sheet (coding form), dalam
kolom beberapa baris ke berapa. Apabila akan dilanjutkan, sampai
kepada petunjuk penempatan setiap variabel pada kartu kolom (punc
card).
2. Uji Persyaratan Analisis
Uji persyaratan analisis yang akan dipergunakan dalam penelitian yang
berjudul ”Pengaruh Persepsi Siswa tentang Kompetensi Guru Dan
Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa
Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini adalah uji normalitas dan uji linieritas.
Uji persyaratan analisis tersebut dapat dijabarkan sebabgai berikut:
a) Uji Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang
didapat berdistribusi normal. Untuk menguji normalitas data digunakan
uji Chi Kuadrat (Chi-Square) dalam Sukardi (2002 : 54-55), yaitu
sebagai berikut :
2
X =
å
( fo - fh ) 2
fh
Keterangan :
X2
= koefisien chi kuadrat
Fo
= jumlah frekuensi yang telah diperoleh
Fh
= jumlah frekuensi yang diharapkan
fh =
( jumlahgolongan ) ´ ( jumlahkategori )
jumlah
80
b) Uji Linieritas
Uji linieritas digunakan untuk mengetahui hubungan yang linier
antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat yaitu antara
X1 dengan Y dan antara X2 dengan Y. Uji linieritas dilakukan dengan
mengunakan rumus dari Sudjana (2002: 332) sebagai berikut :
é
êå Y
êë
1.
JK (G)
= å X1
2.
JK (TC)
= JK (S) – JK (G)
3.
Dk(G)
=N–K
4.
Dk (TC)
=k–2
5.
RJK (TC) = d f ( T C )
6.
RJK (G)
=
7.
F hitung
= R JK (G )
2
-
(å
Y
N
J K (T C )
J K (G )
d f (G )
R J K (T C )
Keterangan :
JK (G)
= Jumlah Kuadrat Galat
JK (TC)
= Jumlah Kuadrat Tuna Cocok
Dk (G)
= Derajat Kebebasan Galat
Dk (TC)
= Derajat Kebebasan Tuna Cocok
RJK (G)
= Kuadrat Tengah Galad
RJK (TC)
= Kuadrat Tengah Tuna Cocok
)
2
ù
ú
úû
81
Atau dapat menggunakan rumus lain dari Ronald E. Walpole (1995: 342) :
a = y - bx
n
æ n öæ n
ö
n å xi y i - ç å xi ÷ç å y i ÷
i =1
è i =1 øè i =1 ø
b=
2
n
æ n ö
nå xi 2 - ç å xi ÷
i =1
è i =1 ø
persamaan garis regresinya menjadi :
yˆ = a + bx
3. Uji Hipotesis
a. Mencari korelasi antara kriterium dan redictor
1) Menghitung korelasi sederhana antara X 1 dengan Y, digunakan rumus
(å X )(å Y )
åX Y N
ìï
(å X ) üïìï
(å Y )
X
íå
ýíå Y N
N
1
rx1 y =
1
2
ïî
1
üï
ý
ïþ
2
1
2
2
ïþïî
2) Menghitung korelasi sederhana antara X 2 dengan Y, digunakan
rumus:
(å X )(å Y )
åX Y N
ìï
(å X ) üïìï
(å Y )
X
íå
ýíå Y N
N
2
rx2 y =
2
2
2
ïî
2
2
2
2
ïþïî
üï
ý
ïþ
82
3) Menentukan koefisien korelasi antara X 1 , X 2 , dengan Y, yaitu
dengan rumus :
RY (1,2 ) =
a1 å x1 y + a 2 å x 2 y
åy
2
Keterangan :
ry(1,2) = Koefisien korelasi antara Y dengan X 1 dan X
2
a1
= Koefisien prediktor X 1
a2
= Koefisien prediktor X 2
X1Y
= Jumlah produk antara X1 dan Y
X2Y
= Jumlah produk antara X2 dan Y
å Y2 = Jumlah kuadrat kriterium Y (dalam Sukardi, 2002: 65)
b. Sumbangan Relatif
Mencari sumbangan relatif X 1 dan X 2 terhadap Y, dengan rumus:
Untuk X 1 terhadap Y :
SR X1 =
SR X1 =
a1 å X 1Y
JK (reg )
´ 100%
a1 å X 1Y
a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y
´ 100%
\untuk X 2 terhadap Y :
SR X 2 =
SR X 2 =
a 2 å X 2Y
JK (reg )
´ 100%
a 2 å X 2Y
a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y
(Sukardi, 2002; 66-67)
´ 100%
83
c. Sumbangan Efektif
Untuk mencari sumbangan ini, dihitung dulu efektivitas garis regresi,
yaitu :
R2 =
R2 =
R2 =
JK (reg )
JK (TOT )
a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y
JK (reg ) + JK (res )
a1 å X 1Y + a 2 å X 2Y
{a å X Y + a å X Y }+ {(1 - R )(å Y )}
2
1
1
2
2
2
1) mencari sumbangan efektif X 1 terhadap Y, yaitu :
SE% X 1 = SR% X 1 xR
2
2) mencari sumbangan efektif X 2 terhadap Y, yaitu :
SE% X 2 = SR % X 2 xR 2
Keterangan :
SR : Sumbangan Relatif masing-masing prediktor.
SE : Sumbangan Efektif masing-masing prediktor.
R² : Koefisien antara X1 dan X2.
Dimana R 2 = SE adalah efektifitas garis regresi (Sukardi, 2002: 66-67)
84
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi
Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi ini
dilaksanakan pada SMAN 4 Surakarta. SMAN 4 Surakarta bukanlah sekolah
yang terbentuk secara langsung menjadi SMA Negeri, akan tetapi diawali
dengan sekolah swasta yang bernama SMA Bagian C. Didirikan oleh Drs.
GPH.H. Mulardi Prawironegoro pada tahun 1946. berdasarkan SK Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan No. 7371/13/1950 tanggal 2 September 1950,
SMA Bagian C resmi menjadi SMA Negeri 3 Bagian C dengan kepala
sekolah GPH. H. Mulardi Prawironegoro dan dibantu wakil kepala sekolah
Drs. Kabul Dwijolaksono.
SMA Negeri 3 Bagian C menempati gedung SD Kesatriyan
Baluwarti pada tahun 1950 sampai dengan tahun 1951, selanjutnya dari
tahun 1951 sampai 1958 menempati dua lokasi, yaitu gedung SMP Kristen
Banjarsari dan Gedung SMP Negeri 4 Surakarta. SMA Negeri Bagian C dari
tahun ke tahun mulai menampakkan peningkatan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Terbukti dari daya tampung SMA ini yang semakin
meningkat, maka Menteri P dan K mengeluarkan SK No. 4083/B III tanggal
5 Agustus 1955 yang berisikan bahwa SMA Negeri 3 Bagian C dipecah.
Sejak saat itu nama SMA Negeri 3 Bagian C tidak digunakan lagi. SMA
Negeri 3 Bagian C dipecah menjadi dua bagian yaitu:
a. SMA Negeri 4 Bagian C dengan Kepala Sekolah Drs. GPH. H. Mulardi
Prawironegoro yang menempati gedung SMP Kristen Banjarsari
Surakarta.
b. SMA Negeri 5 Bagian C dengan Kepala Sekolah Drs, Kabul
Dwijolaksono yang menempati gedung SMP Negeri 4 Surakarta.
85
Kedua SMA tersebut pada bulan Agustus 1958 pindah ke gedung
baru di Jl. LU Adisucipto No.1 Surakarta, sedangkan kegiatan akademik
atau proses belajar mengajar dilaksanakan pada waktu:
a. SMA Negeri 4 Bagian C pada pagi hari jam 07.00 – 12.00 WIB
b. SMA Negeri 5 Bagian C pada siang hari jam 13.00 – 18.00 WIB
Sejak bulan September 1974 untuk SMA Negeri 5 Bagian C
menempati gedung baru di daerah Bibis, Cengklik Surakarta. Sedangkan
lokasi yang berada di Jalan LU. Adisucipto No.1 digunakan seluruhnya oleh
SMA Negeri 4 Bagian C yang telah diubah namanya menjadi SMA Negeri 4
Surakarta. Sampai saat ini, SMA Negeri 4 Surakarta telah mengalami
beberapa kali pergantian kepemimpinan, yakni:
1. Drs. GPH. H. Mulardi Prawironegoro (1950 – 1960)
2. K RMT. Tondanagoro (1960 – 1972)
3. Drs. RM. Gunawan Prawiroatmodjo (1972 – 1978)
4. Drs. Winoto Sugeng, B.Sc(1978 – 1986)
5. Ny. Sutami (1986 – 1993)
6. H. Akhmad Sukri, SH (1993 – 1994)
7. Drs. H. Sadiyat (1994-1999)
8. Dra. Hj. Tatik Sutarti, MM (1999 – 2002)
9. KRT. Drs. Soedjinto Notodipuro, MM (2002-2007)
10. Drs. Edy Pudiyanto (2007 – Sampai sekarang)
2. Deskripsi Data Penelitian
Didalam deskripsi data ini akan dikemukakan hasil pengumpulan data
tiap-tiap varibel yang diteliti secara deskriptif. Dalam pembahasan yang
terkait dengan masalah yang dikaji dalam penelitian yang berjudul
“Pengaruh Persepsi Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar
Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi Pada Siswa Kelas X SMAN 4
Surakarta” ini, dibutuhkan tiga macam data yaitu:
86
1. Data persepsi tentang kompetensi guru, sebagai variabel bebas pertama
(C 1 ) .
2. Data antusiasme belajar, sebagai variabel bebas kedua (C 2 ) .
3. Data prestasi belajar sosiologi (U )
Data tersebut diperoleh melalui teknik pengumpulan data dengan
menggunakan instrumen penelitian berupa angket dan melalui teknik
dokumentasi dengan mempergunakan nilai rapor siswa. Data untuk variabel
persepsi siswa tentang kompetensi guru dan variabel antusiasme belajar
diperoleh dengan menggunakan instrumen penelitian berupa angket,
sedangkan data untuk variabel prestasi belajar sosiologi diperoleh melalui
dokumentasi nilai rapor siswa untuk mata pelajaran sosiologi. Jika data yang
diperoleh melalui instrumen penelitian berupa angket telah terkumpul,
kemudian instrumen di uji coba kelayakannya untuk kemudian dipergunakan
dalam penelitian.
a. Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru ( C 1 )
Data dari variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru diperoleh
dari skor hasil pengisian angket persepsi siswa tentang kompetensi guru.
Data yang diperoleh menunjukkan bahwa skor angket yang tertinggi adalah
92,00 dan nilai terendah adalah 44,00, sedangkan nilai rata-ratanya (mean)
adalah 69,61. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan statistik
deskriptif sebagaimana yang terdapat dalam lampiran 13. Berdasarkan
lampiran 13 diperoleh deskripsi data dari variabel persepsi siswa tentang
kompetensi guru yang dapat disajikan dalam tabel berikut ini:
Variab
M
el
Mi
a
M
n
x
Me
Mo
e
d
d
a
i
u
n
a
s
SB
S
10
7,
n
persep
92
44
69,
69,3
68,
87
si
.
,
6
sis
0
0
1
wa
0
0
3
5
,
0
6
0
ten
tan
g
ko
mp
ete
nsi
gur
u
Tabel 2. Deskripsi Data Variabel C 1
Distribusi frekuensi dari data variabel persepsi siswa tentang
kompetensi guru dapat dilihat pada tabel berikut:
Variat
f
Fx
Fx 2
f%
Fk % naik
83,5-
4
361,00
32.589,00
93
7,84
100,00
%
,5
73,5-
14
1.093,00
85.421,00
83
27,45
92,16
%
,5
63,5-
18
1.238,00
85.250,00
73
35,29
64,71
%
,5
53,5-
11
659,00
39.517,00
63
21,57
29,41
%
,5
43,5-
4
199,00
9.949,00
7,84
7,84
88
53
%
,5
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Variabel C 1
Dari tabel distribusi frekuensi variabel C 1 di atas dapat diketahui
bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara
63,5-73,5, sedangkan skor angket yang memiliki skor terendah adalah skor
antara 43,5-53,5 dan 83,5-93,5. Distribusi variabel C 1 dapat digambarkan
dalam bentuk grafik sebagai berikut:
Frekuensi
20
15
10
5
0
43,5-53,5 53,5-63,5 63,5-73,5 73,5-83,5 83,5-93,5
Interval Kelas
Gambar 9. Grafik Histogram Variabel C 1
Dari gambar grafik histogram diatas, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar responden mempunyai skor persepsi siswa tentang
kompetensi guru pada kisaran 63,5-73,5. Skor ini termasuk dalam kategori
sedang. Hanya sebagian kecil saja siswa yang memiliki persepsi tentang
kompetensi guru sangat tinggi dan sangat rendah. Hanya ada 4 siswa yang
memiliki persepsi tentang kompetensi guru yang sangat kecil, yakni pada
skor antara 43,5-53,5. Begitu juga dengan siswa yang memiliki persepsi
tentang kompetensi guru dengan skor yang sangat tinggi, yakni hanya 4
siswa yan memiliki skor diantara 83,5-93,5.
b. Antusiasme Belajar ( C 2 )
89
Data dari variabel antusiasme belajar diperoleh dari skor hasil
pengisian angket antusiasme belajar. Data yang diperoleh menunjukkan
bahwa skor angket yang tertinggi adalah 97,00 dan nilai terendah adalah
55,00, sedangkan nilai rata-ratnya (mean) adalah 71,82. Data tersebut
dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif sebagaimana yang
terdapat dalam lampiran 13. Berdasarkan lampiran 13 diperoleh deskripsi
data dari variabel antusiasme belajar yang dapat disajikan dalam tabel
berikut ini:
Variab
M
el
Mi
a
M
n
x
Antusi
97,
55,
Med
Mo
e
i
d
a
a
u
n
n
s
71,
70,7
as
0
0
8
me
0
0
2
4
68,
S
S
8,
6,
0
0
Bel
ajar
Tabel 4. Deskripsi Data Variabel C 2
Distribusi frekuensi dari data variabel antusiasme belajar dapat dilihat
pada tabel berikut:
Variat
f
fx
Fx 2
f%
Fk % nai
k
90,5-
1
97,00
9.409,00
99
1,96
100,00
%
,5
81,590
5
426,00
36.334,00
9,80
%
98,04
90
,5
72,5-
15
1.162,00
90.108,00
29,41
81
88,24
%
,5
63,5-
23
1.564,00
106.518,00
45,10
72
58,82
%
,5
54,5-
7
414,00
24.526,00
13,73
63
13,73
%
,5
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Variabel C 2
Dari tabel distribusi frekuensi variabel C 2 di atas dapat diketahui
bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara
63,5-72,5, sedangkan skor angket yang memiliki skor terendah adalah skor
antara 90,5-99,5. Distribusi variabel C 2 dapat digambarkan dalam bentuk
grafik sebagai berikut:
25
Frekuensi
20
15
10
5
0
54,5-63,5
63,5-72,5
72,5-81,5
81,5-90,5
90,5-99,5
Interval Kelas
Gambar 10. Grafik Histogram Variabel C 2
Dari gambar grafik histogram di atas, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar responden mempunyai skor antusiasme belajar pada kisaran
63,5-72,5. Skor ini termasuk dalam kategori cukup rendah. Hanya sebagian
91
kecil saja siswa yang memiliki antusiasme belajar yang tinggi, yakni hanya
satu orang siswa yang memiliki skor antara 90,5-99,5. Siswa yang memiliki
antusiasme belajar yang sangat rendah adalah sebanyak 7 orang siswa.
c. Prestasi Belajar Sosiologi (Y)
Data dari variabel prestasi belajar sosiologi siswa diperoleh dari nilai
rapor siswa khusus untuk mata pelajaran sosiologi semester gasal 20092010. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai rapor yang tertinggi
adalah 88,00 dan nilai terendah adalah 65,00, sedangkan nilai rata-ratanya
(mean) adalah 74,43. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan statistik
deskriptif sebagaimana yang terdapat dalam lampiran 13. Berdasarkan
lampiran 13 diperoleh deskripsi data dari variabel persepsi siswa tentang
kompetensi guru yang dapat disajikan dalam tabel berikut ini:
Varia
Ma
be
Mi
x
Me
n
l
Presta
88,
65,
Med
Mo
a
i
d
n
a
u
n
s
74,
73,8
si
0
0
4
B
0
0
3
8
el
aj
ar
S
os
io
lo
gi
Tabel 6. Deskripsi Data Variabel Y
67,
0
0
S
S
5,
4,
92
Distribusi frekuensi dari data variabel persepsi siswa tentang
kompetensi guru dapat dilihat pada tabel berikut:
Variat
f
Fx
Fx 2
f%
fk % naik
84,5-
1
88,00
7.744,00
1,96
89
100,00
%
,5
79,5-
10
815,00
66.439,00
19,61
84
98,04
%
,5
74,5-
13
1.007,00
78.027,00
25,49
79
78,43
%
,5
69,5-
12
860,00
61.654,00
23,53
74
52,94
%
,5
64,5-
15
1.026,00
70.202,00
29,41
69
29,41
%
,5
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Variabel Y
Dari tabel distribusi frekuensi variabel C 3 diatas dapat diketahui
bahwa skor angket yang memiliki frekuensi tertinggi adalah skor antara
64,5-69,5, sedangkan skor angket yang memiliki skor terendah adalah skor
antara 84,5-89,5. Distribusi variabel C 3 dapat digambarkan dalam bentuk
grafik sebagai berikut:
Frekuensi
93
16
14
12
10
8
6
4
2
0
64,5-69,5 69,5-74,5 74,5-79,5 79,5-84,5 84,5-89,5
Interval Kelas
Gambar 11. Grafik Histogram Variabel Y
Dari gambar grafik histogram diatas, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar responden mempunyai prestasi belajar sosiologi yang
termasuk dalam kategori sangat rendah, yaitu pada kisaran 64,5-69,5, yakni
sebanyak 15 siswa. Siswa yang memiliki prestasi belajar yang sangat tinggi,
yakni berkisar antara 84,5-89,5 adalah sebanyak satu siswa.
B. Pengujian Persyaratan Analisis
Pengujian persyaratan analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah uji normalitas dan uji linieritas.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data yang
dianalisis mempunyai sebaran yang normal atau tidak. Perhitungan uji
normalitas yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru ( C 1 )
Langkah pertama yang dilakukan untuk menguji normalitas variabel C 1
adalah membuat tabel rangkuman variabel C 1 (lampiran 14), kemudian
dilakukan perhitungan dengan mempergunakan rumus chi-kuadrat. Dari
perhitungan diperoleh hasil c 2 = 8,713, dan p = 0,464. Hasil
94
perhitungan tersebut menunjukkan p > 0,05, maka maka sesuai dengan
kaidah p > 0,050 sebarannya normal dapat dinyatakan bahwa data
variabel C 1 berdistribusi normal.
b. Data Antusiasme Belajar Siswa ( C 2 )
Langkah pertama yang dilakukan untuk menguji normalitas variabel
C 2 adalah membuat tabel rangkuman variabel C 2 (lampiran 14),
kemudian dilakukan perhitungan dengan mempergunakan rumus chikuadrat. Dari perhitungan diperoleh hasil c 2 = 2,105, dan p = 0,990.
Hasil perhitungan tersebut menunjukkan p > 0,050, maka sesuai dengan
kaidah p > 0,050 sebarannya normal, dapat dinyatakan bahwa data
variabel C 2 berdistribusi normal.
c. Data Prestasi Belajar Sosiologi Siswa (Y)
Langkah pertama yang dilakukan untuk menguji normalitas variabel
Y
adalah membuat tabel rangkuman variabel Y (lampiran 14), kemudian
dilakukan perhitungan dengan mempergunakan rumus chi-kuadrat. Dari
perhitungan diperoleh hasil c 2 = 2,12,720 dan p = 0,079. Hasil
perhitungan tersebut menunjukkan p > 0,050, maka sesuai dengan
kaidah p > 0,050 sebarannya normal, dapat dinyatakan bahwa data
variabel Y berdistribusi normal.
2. Uji Linieritas
a. Pengaruh
Persepsi
Siswa
Tentang
Kompetensi
Guru
( C1 )
Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi (Y)
Hasil perhitungan uji linieritas antara C 1 terhadap Y sebagaimana terdapat
dalam lampiran 15 diperoleh harga F sebesar 0,011 dan p = 0,915.
Didalam lampiran 15 disebutkan bahwa hasil korelasi antara C 1
terhadap Y adalah korelasi kuadratik. Korelasi kuadratik berarti bahwa
95
setiap penambahan satu variabel C 1 akan mengakibatkan penambahan
secara kuadratik pada variabel Y.
b. Pengaruh Antusiasme Belajar ( C 2 )Terhadap Prestasi Belajar
Sosiologi (Y)
Hasil perhitungan uji linieritas antara C 2 terhadap Y sebagaimana terdapat
dalam lampiran 15 diperoleh harga F sebesar 0,919 dan p = 0,656.00,
maka hubungan C 2 terhadap Y berbentuk linier.
C. Pengujian Hipotesis
Setelah syarat-syarat terpenuhi, selanjutnya dapat dilakukan analisis
data untuk mengetahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya
diterima atau ditolak. Hipotesis nihil yang akan diajukan untuk diuji adalah
hipotesis nihil, karena pengujian hipotesis dilakukan secara statistik. Adapun
hipotesis nihil yang akan diajukan antara lain adalah:
4. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang
kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta.
5. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta.
6.
Tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang
kompetensi guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar
sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta.
Adapun analisa data yang dilakukan menghasilkan data sebagai
berikut:
a. Tabulasi Data
Tabulasi data merupakan langkah awal dari analisis data yang hasilnya
disajikan dalam tabel skor angket persepsi siswa tentang kompetensi
guru dan antusiasme belajar (lampiran 10) Hasil perhitungan antara lain
menunjukkan:
96
N
SC 2
= 51
2
=266895
SC1
= 3550
SU 2
=284006
SC 2
= 3663
SC1 U
= 264420
SU
= 3796
SC 2 U
= 273313
SC1
2
= 252726
SC1 C 2
= 257114
b. Menghitung persamaan Garis Regresi Linier Ganda
^
Persamaan garis regresi linier ganda adalah Y = b0 + b1 C 1 + b2 C 2 ,
berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana yang terdapat dalam
^
lampiran 16, maka persamaan garis regresi yang diperoleh adalah Y =
54,053 + 0234 (C 1 ) + 0,056 (C 2 ) . Persamaan garis regresi tersebut
berarti bahwa prestasi belajar sosiologi (Y) akan meningkat sebesar 0234
yang disebabkan adanya pengaruh peningkatan skor dan juga akan
mengalami peningkatan sebesar 0,056 untuk setiap peningkatan skor
variabel antusiasme belajar (C 2 ) .
c. Hasil Pengujian Hipotesis
Dalam pengujian penelitian yang berjudul “Pengaruh Persepsi Siswa
Tentang Kompetensi Guru Dan Antusiasme Belajar Terhadap Prestasi
Belajar Pada Siswa Kelas X SMAN 4 Surakarta” ini diperoleh hasil:
1. Perhitungan koefisien regresi
variabel persepsi siswa tentang
kompetensi guru (C 1 ) terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), diperoleh
nilai t hitung sebesar 3,590 dan p = 0,001, dengan nilai N = 51. Nilai t tabel
yang diperoleh adalah sebesar 3,505. Berdasarkan hasil tersebut maka
t hitung > t tabel , maka hipotesis nihil yang berbunyi “tidak ada pengaruh
yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” ditolak
dan hipotesis alternatif yang berbunyi “ada pengaruh yang signifikan
97
antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar
sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” diterima.
2.
Perhitungan koefisien regresi variabel antusiasme belajar (C 2 ) terhadap
prestasi belajar sosiologi (Y), diperoleh nilai t hitung sebesar 0,710 dan p =
0,512, dengan nilai N = 51. Nilai t tabel yang diperoleh adalah sebesar
2,010. Berdasarkan hasil tersebut maka t hitung < t tabel , maka hipotesis
yang nihil yang berbunyi “ tidak ada pengaruh yang signifikan antara
antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta” diterima, dan hipotesis alternatif yang berbunyi “
ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap prestasi
belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” ditolak.
d. Sumbangan Efektif dan Sumbangan Relatif
Besarnya kontribusi atau sumbangan perubahan variabel X terhadap
perubahan pada variabel Y ditunjukkan dengan sumbangan relatif (SR) dan
sumbangan efektif (SE). SR menunjukkan berapa persen perubahan variabel
Y yang dipengaruhi perubahan variabel C 1 dan C 2 , sedangkan SE
menunjukkan berapa persen perubahan variabel Y yang dipengaruhi
perubahan variabel C 1 dan C 2 secara parsial.
1) r C1U = 0,488, maka SE C 1 terhadap Y = 23,796 %, diinterpretasikan
bahwa variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru memberikan
pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar 23,796 %.
2) r x2 y = 0,279, maka SE C 2 terhadap Y = 0,653 %. Jika besar SE kurang
dari 4 %, maka dapat dikatakan bahwa variabel antusiasme belajar tidak
memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar (Bunderson Reigeluth:
1997).
3) r x1 x2 y
= 0,494, maka SE
C 1 dan
terhadap Y =
24,448%,
diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru
98
dan antusiasme belajar secara
bersama-sama memberikan pengaruh
pada variabel prestasi belajar sebesar 24,448 %.
D. Pembahasan Hasil Analisis Data
Setelah dilakukan analisis data untuk pengujian hipotesis kemudian
dilakukan pembahasan hasil analisis data sebagai berikut:
1. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru (C 1 ) Terhadap
Prestasi Belajar Sosiologi
Hasil analisis data untuk mencari pengaruh antara variabel C 1
terhadap Y diperoleh harga t hitung sebesar 3,590 dan p = 0,001, dengan nilai
N = 51. Nilai t tabel yang diperoleh adalah sebesar 3,505. Berdasarkan hasil
tersebut maka t hitung > t tabel , maka hipotesis yang berbunyi “ada pengaruh
yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” diterima.
Hal ini berarti bahwa bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi.
Besar pengaruh persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap prestasi
belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta menunjukkan hasil
sebesar 23,796 %. Hal ini dapat dilihat dari nilai SE C 1 terhadap Y yakni
sebesar 23,796 %.
Hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa variabel persepsi siswa
terhadap kompetensi guru hanya memberikan pengaruh pada variabel
prestasi belajar sebesar 23,796 %. Hasil analisis data ini menunjukkan
bahwasanya prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4
Surakarta dipengaruhi oleh persepsi siswa tentang kompetensi guru sebesar
23,796.
Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori Gestalt yang
dikemukakan oleh Wertheimer. Menurut Bimo Walgito (2004: 93), teori
Gestalt ini mula-mula dikemukakan oleh Wertheimer atas kejadian yang
99
dialaminya pada waktu ia berada di stasiun kereta api yang dinamakan phiphenomena, yaitu bahwa dalam seseorang mempersepsi sesuatu tidak hanya
semata-mata tergantung pada stimulus objektif, tetapi individu yang
mempersepsi juga berperan dalam persepsi tersebut. Dalam kaitannya
dengan persepsi siswa tentang kompetensi guru, kita dapat melihat
bahwasanya siswalah yang mempersepsi stimulus dari tenaga pengajar.
Dalam teori tentang persepsi juga disebutkan beberapa hukum tentang
persepsi, diantaranya yaitu:
7) Hukum Pragnanz
Pragnanz berarti penting, meaningsfull, penuh arti atau berarti. Jadi apa
yang dipersepsi itu menurut hukum ini adalah penuh arti, suatu
kebulatan yang mempunyai arti penuh. Hukum ini oleh kaum Gestalt
dipandang sebagai hukum yang pokok.
8) Hukum Figure – Ground
Dalam persepsi dikemukakan adanya dua bagian dalam perceptual field,
yaitu figure yang merupakan bagian yang dominan dan merupakan fokus
perhatian, dan ground yang melatarbelakangi atau melengkapi. Jika
individu mengadakan persepsi sesuatu, apa yang tidak menjadi fokus
dalam persepsi itu akan menjadi fokus dalam persepsi itu akan menjadi
latar belakang atau ground-nya. Antara figure dan gruond dapat pindah
atau bertukar peran satu dengan yang lain, yaitu yang semua ground
dapat menjadi figure, misalnya pada vas Rubin. Hal ini akan bergantung
pada perhatian seseorang dalam mengadakan persepsi itu.
9) Hukum Kedekatan
Hukum ini menyatakan bahwa apabila stimulus itu saling berdekatan
satu dengan yang lain, akan adanya kecenderungan untuk dipersepsi
sebagai suatu keseluruhan atau suatu Gestalt.
100
10) Hukum Kesamaan (similary)
Hukum
ini menyatakan bahwa stimulus atau objek
yang sama,
mempunyai kecenderungan untuk dipersepsi sebagai suatu kesatuan atau
sebagai suatu gestalt.
11) Hukum Kontinuitas
Hukum ini menyatakan bahwa stimulus yang mempunyai kontinuitas
satu dengan yang lain, akan terlihat dari ground dan akan dipersepsi
sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan.
12) Hukum Kelengkapan atau Ketertutupan (closure)
Hukum ini menyatakan bahwa dalam persepsi adanya kecenderungan
orang mempersepsi sesuatu yang kurang lengkap menjadi lengkap,
sehingga menjadi sesuatu yang penuh arti atau berarti.
Kesemua hukum persepsi di atas menggambarkan bagaimana
seseorang menginterpretasikan stimulus yang ada. Demikian hallnya dengan
seorang siswa yang selalu berinteraksi dengan guru dalam kegiatan belajar
mengajar. Setiap siswa tentunya mempunyai interpretasi atau persepsi
sendiri terhadap semua tingkah laku ataupun kemampuan guru baik didalam
kegiatan belajar mengajar maupun diluar kegiatan belajar mengajar
tentunya. Persepsi siswa ini akan berpengaruh terhadap prestasi belajar
siswa.
Siswa yang mempunyai persepsi negatif tentu akan memiliki respon
yang berbeda dengan siswa yang memiliki persepsi yang positif terhadap
guru-gurunya. Positif dan negatifnya persepsi ini akan berdampak pada
tinggi rendahnya capaian hasil belajar sosiologi siswa. Semakin positif
persepsi siswa tentang kompetensi guru, maka semakin tinggi pula capaian
prestasi belajar sosiologi mereka. Persepsi siswa tentang kompetensi guru
memberikan andil yang cukup besar terhadap tinggi rendahnya capaian
101
prestasi belajar sosiologi siswa. Positif dan negatifnya atau baik dan
buruknya persepsi siswa akan kompetensi yang dimiliki oleh guru akan
mempengaruhi pikiran siswa terhadap mata pelajaran sosiologi yang
nantinya akan berpengaruh pula pada capaian prestasi belajar sosiologi
siswa.
2. Pengaruh Antusiasme Belajar ( C 2 ) Terhadap Prestasi Belajar
Sosiologi
Hasil analisis data untuk mencari pengaruh antara variabel C 2
terhadap Y diperoleh diperoleh nilai t hitung sebesar 0,710 dan p = 0,512,
dengan nilai N = 51. Nilai t tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,010.
Berdasarkan hasil tersebut maka t hitung < t tabel , sehingga hipotesis yang
berbunyi “ada pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta” ditolak.
Jika dilihat dari hasil matriks interkorelasi, variabel antusiasme belajar
memiliki korelasi dengan variabel prestasi belajar sosiologi. Hal ini dapat
dilihat dari nilai r x2 y sebesar 0,279, akan tetapi jika dilihat dari pengaruh
antara variabel antusiasme belajar terhadap variabel prestasi belajar
sosiologi pengaruhnya tidak begitu terasa karena besar pengaruhnya masih
kurang dari 4 %.
Besar pengaruh antara antusiasme belajar terhadap prestasi belajar
sosiologi dapat dilihat dari nilai SE C 2 terhadap Y yang diperoleh yakni
sebesar
0,653 %. Hasil tersebut diatas dapat diinterpretasikan bahwa
variabel antusiasme belajar tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap variabel prestasi belajar. Tinggi rendahnya antusiasme belajar pada
siswa kelas X SMAN 4 Surakarta pada kenyataannya tidak memberian
pengaruh terhadap capaian prestasi belajar sosiologi mereka.
Didalam kegiatan belajar mengajar, prestasi belajar merupakan tolak
ukur berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam mengikuti kegiatan belajar
mengajar. Sebagaimana yang disebutkan oleh Murray pada teori
102
kebutuhannya dalam Bimo Walgito (2004: 230) bahwasanya prestasi adalah
sebuah motif yang berkaitan dengan memperoleh prestasi yang baik,
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, serta mengerjakan tugastugas secepat mungkin dan sebaik-baiknya. Motif berprestasi inilah yang
seharusnya menimbulkan antusiasme belajar yang tinggi dalam diri siswa
sehingga dapat mencapai prestasi belajar sosiologi yang tinggi pula, namun
dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa antusiasme yang timbul dalam
diri siswa tidak memberikan pengaruh pada prestasi belajar sosiologi siswa.
Dalam penelitian ini, dimungkinkan bahwasanya antusiasme belajar
yang terdapat dalam diri siswa tidak dapat terukur secara jelas. Antusiasme
belajar yang ada didalam diri siswa bisa jadi tercampur dengan faktor lain,
seperti misalnya motivasi belajar atau motivasi untuk berprestasi.
Antusiasme belajar siswa yang terlalu tinggi juga bisa menyebabkan logika
berfikir siswa menjadi berkurang. Hal ini tentunya akan beakibat pada
kurangnya penalaran siswa dalam menjawab soal-soal dari guru, yang
merupakan tolak ukur dari penilaian kognitif siswa.
3. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Kompetensi Guru (C 1 ) dan
Antusiasme Belajar ( C 2 ) Terhadap Prestasi Belajar Sosiologi
Hasil analisis data untuk mencari pengaruh antara variabel C 1 dan C 2
terhadap Y diperoleh SE C 1 dan SE C 2 secara bersama-sama terhadap Y
yakni sebesar 24,448 %. Hasil ini diinterpretasikan bahwa variabel persepsi
siswa tentang kompetensi guru dan variabel antusiasme belajar memberikan
pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar 24,448 %. Hasil analisis data
ini menunjukkan bahwasanya prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta dipengaruhi oleh persepsi siswa tentang kompetensi
guru dan antusiasme belajar siswa sebesar 24,448 %. Dalam hal ini, variabel
persepsi siswa tentang kompetensi guru memiliki pengaruh yang lebih besar
jika dibandingkan dengan variabel antusiasme belajar.
103
Hasil sumbangan efektif tersebut menunjukkan bahwa persepsi siswa
tentang kompetensi guru disertai dengan antusiasme belajar yang tinggi
memberikan pengaruh besar terhadap capaian hasil prestasi belajar sosiologi
siswa. Semakin baik persepsi siswa tentang kompetensi guru belajar akan
membuat siswa semakin menyukai mata pelajaran yang diajarkan oleh
gurunya sehingga prestasi belajar sosiologi siswa akan semakin baik pula.
Terkait dengan antusiasme belajar, dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa
pengaruh antara antusiasme belajar siswa terhadap capaian prestasi belajar
sosiologi tidak begitu terasa. Idealnya bahwa antusiasme belajar atau
semangat belajar yang tinggi akan berpengaruh terhadap prestasi belajar
sosiologi, namun dalam penelitian ini tidak dapat dirasakan adanya pengaruh
yang berarti.
Berkaitan dengan variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan
antusiasme belajar, peneliti mempergunakan teori belajar Humanistik.
Seperti yang dikemukakan oleh Asri Budiningsih dalam bukunya “Belajar
Dan Pembelajaran” (2008: 68), teori Humanistik ini beranggapan bahwa
proses
belajar
harus
dimulai
dan
ditujukan
untuk
kepentingan
memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, teori belajar humanistik
sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori
kepribadian, dan psikoterapi, daripada bidang kajian psikologi belajar. Teori
belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk
membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam
bentuk yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik pada
pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada pemahaman
tentang proses belajar sebagaimana apa adanya, seperti yang selama ini
dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam kaitannya dengan prestasi belajar tidak hanya dilihat capaian
hasil belajar secara kognitif semata, melainkan juga melihat kondisi pribadi
siswa yang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Seperti misalnya
memperhatikan bagaimana rasa semangat siswa atau antusiasme belajar
siswa serta persepsi siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh guru itu
104
sendiri, karena pada dasarnya aliran humanistik ini mementingkan manusia
sebagai pribadi yang bulat; mementingkan peranan kognitif dan afektif;
mengutamakan terjadinya akualisasi diri dan self konsep; mengutamakan
persepsi subjektif yang dimiliki tiap individu; mengutamakan kemampuan
menentukan tingkah laku sendiri; serta mengutamakan insight (pengertian).
Dari kedua faktor yang mempengaruhi prestasi belajar sosiologi yang
diteliti oleh peneliti, dapat dilihat bahwa faktor persepsi siswa tentang
kompetensi guru memiliki pengaruh yang lebih besar jika dibandingkan
dengan antusiasme belajar. Tingginya persepsi siswa tentang kompetensi
guru akan menyebabkan tingginya capaian prestasi belajar sosiologi siswa.
Disamping itu, persepsi siswa relatif lebih susah untuk diubah dibandingkan
dengan antusiasme belajar yang cenderung susah untuk dipertahankan.
Siswa dapat saja memiliki antusiasme belajar yang tinggi, namun dapat saja
berubah menjadi rendah. Faktor inilah yang mungkin menyebabkan faktor
persepsi siswa tentang kompetensi guru memiliki pengaruh yang lebih besar
jika dibandingkan dengan antusiasme belajar.
Selain variabel persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme
belajar diteliti, tentunya masih ada banyak faktor lain yang dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya capaian prestasi belajar sosiologi siswa.
Hal ini ditunjukkan oleh besarnya sumbangan efektif variabel persepsi siswa
tentang kompetensi guru bersama-sama dengan variabel antusiasme belajar
yakni hanya sebesar 24,448 %. Ini berarti bahwa masih terdapat 76,204 %
lagi faktor lain yang mempengaruhi capaian hasil prestasi belajar sosiologi
siswa.
Faktor-faktor
lain
tersebut
merupakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi prestasi belajar sosiologi siswa yang tidak diteliti oleh
peneliti.
105
BAB V
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian hipótesis yang telah dilakukan, maka
diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), maka semakin
tinggi persepsi siswa tentang kompetensi guru, semakin tinggi pula
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta.
Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi “Ada pengaruh yang
signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi guru terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”,
diterima.
2. Antusiasme belajar ( C 2 ) kurang berpengaruh terhadap prestasi belajar
sosiologi (Y), namun terdapat hubungan positif yang signifikan antara
antusiasme belajar dengan prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta.
3. Persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) dan antusiasme belajar
( C 2 )secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap prestasi belajar sosiologi (Y), sehingga hipotesis yang berbunyi
“Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi
guru dan antusiasme belajar terhadap prestasi belajar sosiologi pada
siswa kelas X SMAN 4 Surakarta”, diterima.
4. SE C 1 terhadap Y = 23,796 %, diinterpretasikan bahwa variabel
persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) memberikan pengaruh
pada variabel prestasi belajar sosiologi (Y) sebesar 23,796 % (24 %).
5. SE C 2 terhadap Y = 0,653 %, diinterpretasikan bahwa variabel
antusiasme belajar ( C 2 ) memberikan pengaruh pada variabel prestasi
106
belajar sosiologi (Y) sebesar 0,653 %. Pengaruh sebesar 0,653 % (1 %)
dinilai memberikan pengaruh yang tidak begitu terasa atau sangat kecil.
6. SE C 1 dan C 2 terhadap Y = 24,448%, diinterpretasikan bahwa variabel
persepsi siswa tentang kompetensi guru ( C 1 ) dan antusiasme belajar
( C 2 ) memberikan pengaruh pada variabel prestasi belajar sebesar
24,448 % (24 %). Masih terdapat 76,204 % atau sebesar 76 % yang
berasal dari faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti yang dapat
mempengaruhi prestasi belajar sosiologi siswa
B. Implikasi
Berdasarkan kesimpulan kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas,
maka selanjutnya dapat dikemukakan implikasi hasil penelitian sebagai
berikut:
1. Dengan adanya pengaruh yang signifikan persepsi siswa tentang
kompetensi guru terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X
SMAN 4 Surakarta, maka dapat memberikan gambaran pada pihakpihak
terkait,
terutama
para
guru
sosiologi
untuk
senantiasa
meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Perubahan yang dilakukan
diantaranya adalah perubahan sikap atau perilaku melalui kinerja yang
lebih profesional sehingga para siswa dapat memiliki persepsi yang baik
tentang kompetensi yang dimiliki oleh guru-gurunya. Positif
atau
negatifnya persepsi yang diberikan oleh siswa terhadap guru mata
pelajaran sosiologi akan berpengaruh besar terhadap capaian prestasi
belajar sosiologi siswa. Persepsi yang positif dari siswa tentang
kompetensi yang dimiliki oleh gurunya akan membuat siswa
menyenangi pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Sikap menyukai dan
rasa senang terhadap guru dan terhadap mata pelajaran yang diberikan
oleh guru dapat menghasilkan prestasi belajar sosiologi yang baik pula.
Persepsi siswa pun seharusnya tidak bersifat permanen, melainkan
107
bersifat lebih dinamis sehingga jika siswa memiliki persepsi yang negatif
tentang kompetensi gurunya masih dapat berubah menjadi postif.
2. Tidak adanya pengaruh yang signifikan antara antusiasme belajar
terhadap prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4
Surakarta, bukan berarti bahwa seorang siswa tidak perlu memiliki
semangat belajar atau antusiasme belajar yangt tinggi. Bagi pihak-pihak
terkait, terutama bagi siswa tentunya harus tetap memiliki antusiasme
belajar yang tinggi dalam belajar sehingga dapat memperoleh hasil
maksimal dalam belajar. Dewan guru pun juga harus mampu
membangkitkan semangat atau antusiasme belajar yang tinggi pada diri
siswanya sehingga dapat menciptakan suasana belajar yang penuh
antusias dan menyenangkan.
3. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
prestasi belajar sosiologi pada siswa kelas X SMAN 4 Surakarta sepeti
adanya faktor persepsi siswa tentang kompetensi guru dan antusiasme
belajar serta faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti, diharapkan
semua pihak dapat lebih mudah dalam meningkatkan prestasi belajar
sosiologi siswa.
C. Saran
1. Bagi Kepala Sekolah SMAN 4 Surakarta
Kepala sekolah hendaknya dapat bekerja sama dengan dewan guru,
khususnya guru mata pelajaran sosiologi untuk dapat menimbulkan
persepsi positif siswa tentang kompetensi yang dimiliki oleh guru serta
berusaha membangkitan antusiasme belajar yang tinggi didalam diri
siswa. Kepala sekolah juga harus selalu berusaha memantau dan
meningkatkan kompetensi yang dimiliki oleh para guru. Persepsi positif
siswa terhadap kompetensi guru serta rasa antusiasme belajar yang tinggi
akan membuat siswa merasa nyaman dan senang dalam mengikuti
pelajaran sehingga dapat memperoleh prestasi belajar sosiologi yang
baik.
108
2. Bagi Guru SMAN 4 Surakarta
Bagi para guru, khususnya guru mata pelajaran sosiologi hendaknya selalu
meningkatkan kualitas diri baik itu kompetensi paedagogik, kompetensi
pribadi, kompetensi sosial, maupun kompetensi profesional termasuk
diantaranya kemampuan untuk meningkatkan antusiasme belajar siswa
sehingga siswa dapat memiliki persepsi positif terhadap kompetensi
yang dimiliki oleh guru.
3. Bagi Siswa SMAN 4 Surakarta
Para siswa hendaknya menyadari bahwa di dalam kegiatan belajar mengajar
tetap diperlukan rasa antusiasme belajar yang tinggi walaupun tidak
begitu berpengaruh terhadap prestasi belajar sosiologi. Seorang siswa
juga harus senantiasa mempunyai pikiran yang positif terhadap para guru
serta memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kompetensi guru
sehingga dapat meningkatkan hasil capaian prestasi belajar mereka,
terutama mata pelajaran sosiologi.
4. Bagi Prodi Pendidikan Sosiologi-Antropologi Universitas Sebelas Maret
Bagi Prodi Sosiologi-Antropologi hendaknya dapat terus menghasilkan
lulusan yang berkualitas, sehingga dapat menciptakan calon guru yang
handal dan berkompeten di bidangnya.
5. Bagi Peneliti Dan Peneliti Lainnya
Penelitian
ini
hendaknya
dijadikan
pelajaran,
sehingga
dapat
menyempurnakan penelitian yang selanjutnya.Diharapkan juga kepada
peneliti lain agar dapat melakukan penelitian serupa dengan pendekatan
yang lain atau dengan mempergunakan pendekatan kualitatif.
107
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Majid. 2006. Perencanaan Pembelajaran. Mengembangkan Standar
Kompetensi Guru. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Asri Budiningsih. 2008. Belajar Dan Pemelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Bimo Walgito. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset
Bermawi Munthe. 2009. Desain Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Bahrein
T.
Sugihen,
MA.
1995.
Sosiologi
Pedesaan
(Suatu
Pengantar).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Departemen Pendidikan & Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Gino, dkk. 1993. Belajar Pembelajaran I. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Hamzah B. Uno. 2007. Profesi Kependidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2006. Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Sekretariat Jendral MPR RI
Muhibbin Syah. 2008. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Oemar Hamalik. 2009. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Pangestu Subagyo dan Djarwanto. 2005. Statistik Induktif Edisi Ke Lima.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Purwanto. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Psikologi Dan Pendidikan.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Robertus Angkowo & A. Kosasih. 2007. Optimalisasi Media Pembelajaran. Jakarta:
PT. Grasindo.
Saifuddin Azwar. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.
Saiful Sagala. 2003. Konsep Dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
108
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian. Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Sudirman. 1987. Ilmu Pendidikan. Bandung : Remaja Karya CV
Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito
Sukardi. 2002. Statistika. Surakarta : UNS Press.
Sumadi Suryabrata. 2004. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Sutrisno Hadi. 2004. Statistika, Jilid II. Yogyakarta: Penerbit Andi
Syaiful Bahri Damarah. 1994. Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru. Surabaya:
Usaha Nasional.
Tentrem Widodo. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta: UPT Penerbitan
dan Pencetakan UNS.
Tri Rusmi Widayatun. 1999. Ilmu Perilaku Buku Pegangan Mahasiswa AKPER.
Jakarta: CV. INFOMEDIKA
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru
dan Dosen
Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama
http://mymindmydestiny.blogspot.com/2009/04/antusiasme-seni-mendengarkandan-humor.html diakses pada tanggal 3 januari pk. 12.32 WIB
http://rasto.wordpress.com/2008/01/31/kompetensi-guru/ diakses pada tanggal
11 januari 2010 Pk. 18.25 WIB
http://suciptoajisaka.com/2008/05/16/antusiasme-rahasia-keberhasilan-yangjarang-dikenal/ diakses pada tanggal 3 januari pk 12.40 WIB
http://sunartombs.wordpress.com/2009/01/05/pengertian-prestasi-belajar/
diakses pada tanggal 11 januari 2010 Pk. 18.19 WIB
http://www.google.co.id/search?hl=id&rlz=1G1GGLQ_IDID338&q=antusiasme+sis
wa+dalam+belajar+adalah&start=40&sa=N diakses pada tanggal 3 januari
pk 12.36\
http://dianherlinawati.com/2010/01/31/definisi-sosiologi-menurut-beberapaahli/, diakses pada tanggal 27 Juni 2010 pk. 17.05
109
http://definisi-pengertian.blogspot.com/2009/11/pengertian-persepsidefinisipersepsi.html diakses pada tanggal 27 Juni 2010 pk. 17.10
Download