BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan primer manusia adalah sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal). Kebutuhan primer berarti kebutuhan manusia yang pokok dan bersifat mendesak. Tanpa hal-hal tersebut, manusia akan mengalami kesulitan dalam bertahan hidup. Tanpa pangan, manusia bahkan mustahil untuk bertahan hidup. Pemenuhan pangan bagi manusia melalui proses yang dinamakan pertanian. Dengan pertanian, manusia dapat memproduksi pangan untuk memenuhi kebutuhannya secara berkelanjutan. Indonesia merupakan sebuah negara yang sangat luas, terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dengan 17.504 pulau-pulau besar dan kecil berbaris diantaranya. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka luas Indonesia menjadi 1.9 juta mil persegi.1 Perairan Indonesia mencakup 2/3 luas wilayah secara keseluruhan.. Pada wilayah tersebut yang dapat digunakan untuk diusahakan (digunakan untuk pertanian) adalah wilayah daratan yang hanya sepertiga dari keseluruhan wilayah. Akan tetapi itu pun tidak semua bagian daratan dapat digunakan untuk pertanian, tergantung dari tingkat kesuburan dari tanah di wilayah tersebut. Selain sangat luas Indonesia juga sangatlah kaya dengan sumber daya alamnya. Begitu banyak jenis tumbuhan dan hewan berada di wilayah Indonesia yang 1 BPS, Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut Provinsi, 2002-2014, diakses dari https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1366 pada tanggal 20 Juli 2016 pada jam 08.37 dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Sejak dahulu kala negara Indonesia dikenal sebagai negara agraris2, karena tanah yang subur dan jumlah petani yang begitu banyak. Hal tersebut lah yang membuat para penjajah ingin menguasai bumi nusantara. Pada tahun 2015 tercatat 37,75 juta rakyat Indonesia berkerja sebagai petani.3 Akan tetapi dari jumlah yang fantastis tersebut sebagian besar adalah petani gurem4 dan buruh tani5. Jumlah tersebut terus berkurang setiap tahunnya dan usia rata-rata petani juga semakin tua. 6 Betapa menjadi petani di Indonesia tidak menarik bagi kaum muda untuk dijadikan sebagai suatu pekerjaan. Karena ketidaktentuan penghasilan dan tidak ada jaminan kesejahteraan sebagai seorang petani membuat tingkat urbanisasi7 menjadi tinggi hingga meninggalkan kampung halaman dimana tanah pertanian berada. Sebagai negara agraris seharusnya pedesaan, dimana sebagian besar tanah pertanian berada, memiliki peran penting dan besar dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang bercorak agraris. Seharusnya dengan kekayaan alam dan jumlah petani yang fantastis harusnya pedesaan bisa menjadi kekuatan pembangunan Indonesia khususnya di bidang pertanian. 2 Agraris adalah 1) mengenai pertanian atau tanah pertanian; 2) mengenai pertanian atau cara hidup petani: 3) bersifat pertanian. Diakses dari http://kbbi.web.id/agraris pada tanggal 3 Juni 2016 jam 23.04 3 Gentur Putro Jati, Jumlah Petani Menyusut, Data Produksi Pertanian Dipertanyakan, 2016, diakses dari http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160209120620-92-109708/jumlah-petanimenyusut-data-produksi-pertanian-dipertanyakan/ pada tanggal 20 Juli 2016 jam 08.45 4 petani dengan lahan yang sangat sempit, kepemilikan dibawah 0.5 hektar 5 petani yang mengusahakan tanah orang lain dengan mendapatkan upah 6 Gentur Putro Jati, Loc.Cit. jumlah petani 39,22 juta pada 2013 dan menjadi 38,97 pada 2014. Data tersebut didapat penulis dari Badan Pusat Statistik. 7 perpindahan penduduk dari desa ke kota. Sebagai akibat dari faktor pendorong dari desa yaitu pendapatan yang tidak menentu dan kesempatan dalam memenuhi kebutuhan lebih besar di perkotaan. Meskipun jumlah petani fantastis hingga 30-an juta orang, akan tetapi kemampuan produksi bahan pangan pokok dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dikarenakan kemampuan produksi nasional masih tidak sebanding dengan kebutuhan 230 juta penduduk Indonesia.8 Terbukti dengan tinggi tingkat impor bahan pangan di Indonesia cukup tinggi. Empat permasalahan pokok agraria di Indonesia yaitu9 ketimpangan di bidang agraria menyebabkan kemiskinan; konflik agraria menghasilkan kekerasan; kerusakan lingkungan membuahkan bencana; dan disharmoni peraturan perundangan mengenai agraria. Dari empat permasalahan pokok agraria tersebut, yang menjadi fokus penulis adalah ketimpangan di bidang agraria menyebabkan kemiskinan dan disharmonisasi peraturan perundangan mengenai agraria yang terjadi selama ini. Ketimpangan di bidang agraria yang terjadi saat ini sudah berlangsung lama bahkan dapat dikatakan sejak jaman penjajahan, dimana penguasaan tanah banyak dipegang oleh tuan-tuan tanah baik dari orang asing dan juga pribumi. Lahirnya UUPA pada tahun 1960 merupakan tonggak awal pelaksanaan reforma agraria untuk menyejahterakan rakyat di Indonesia khususnya rakyat tani. 8 berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2010 lebih tepatnya 237.641.326 jiwa penduduk Indonesia hasil sensus tahun 2010, diakses dari http://www.bps.go.id/tab_sub/view. php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=12 pada tanggal 17 September 2013 jam 19.40. Sensus penduduk terakhir yang telah menghasilkan data pada tahun 2010. Hingga 2016 pastinya telah terdapat pertumbuhan jumlah penduduk, hanya saja belum ada data resmi dari Badan Pusat Statistik yang paling muthakhir. 9 KPA, Dewan Pakar KPA Bongkar Kepalsuan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, 2013, diakses dari http://www.kpa.or.id/news/blog/dewan-pakar-kpa-bongkar-kepalsuan-uuperlindungan-dan-pemberdayaan-petani/ pada tanggal 25 Mei 2016 jam 08.15. Empat permasalahan pokok tersebut dikemukakan oleh Usep Setiawan (sebagai saksi ahli dari Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria saat uji materil UU Perlintan) Penguasaan tanah (khususnya tanah pertanian) masih menjadi isu penting dalam pengelolaan agraria di Indonesia. Hingga saat ini masih banyak petani hanya menguasai luas tanah pertanian yang sangat kecil dan bahkan tidak menguasai tanah hanya bekerja pada lahan pertanian yang dikuasai petani lain, padahal Indonesia adalah Negara agraris dengan luas tanah subur yang sangat luas. Sebagian tanah subur tersebut masih dalam penguasaan langsung Negara (tanah Negara) atau tanah-tanah yang sudah dihaki orang perorang atau badan hanya saja dalam keadaan terlantar. Jika saja tanah-tanah subur tersebut diredistribusikan kepada para petani sehingga lebih bermanfaat dan menjadi alat pengentasan kemiskinan yang efektif. Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.10 Hal tersebut tertuang pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Konstitusi Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara” dan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.11 Salah satu cabang produksi yang dimaksud adalah tanah. Tanah yang berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dikuasai oleh Negara, bukan berarti dimiliki akan tetapi Negara mendapatkan wewenang dari UUD 1945 untuk mengatur dan merencanakan segala hal yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya diatur 10 11 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945. Republik Indonesia, Op.Cit, pasal 33 ayat 2 dan 3. dalam UUPA pasal 1 ayat 2 (Hak Menguasai Negara). Sehingga Negara sebagai penguasa dapat melakukan pengaturan-pengaturan terkait penggunaan tanah di wilayah Indonesia dan menjamin kesejahteraan petani dengan adanya peraturan tersebut. Pada bidang agraria cita-cita bangsa tersebut dirumuskan pada Undang-Undang no. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA. Tujuan pokok UUPA yaitu menjamin kesejahteraan petani dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat Indonesia.12 Dapat dilihat pada poin a dan c pada Penjelasan Umum I alinea terakhir UUPA, secara jelas disebutkan bahwa kepastian hukum bagi rakyat tani akan hak atas tanah menjadi fokus dalam melaksanakan hukum agraria nasional. Jaminan kesejahteraan petani dapat dimulai dari jaminan akan akses terhadap tanah pertanian bagi petani. Arah kebijakan pembaruan agraria yang ditetapkan dalam TAP MPR No. IX Tentang Pembaruan Agraria pasal 5 ayat 2 huruf b mengamanatkan bahwa harus dilaksanakan penataan kembali penggunaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Berdasarkan hal tersebut seharusnya petani sebagai rakyat yang mengusahakan tanah menjadi perhatian penuh pemerintah dalam melakukan pengaturan di 12 Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Penjelasan Umum I alinea terakhir. Berikut adalah tujuan pokok UUPA: a) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; b) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. c) meletakkan dasar- dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. bidang agraria. Bahwa pemerintah harus memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. Tanah dan petani adalah dua unsur penting yang harus menjadi perhatian dalam membangun pertanian di Indonesia. Tanah pertanian merupakan sumber penghidupan bagi seorang “petani”. Tanah merupakan sumber daya alam yang berasal dari Tuhan YME yang patut dijaga keberlangsungannya. Tanah mempunyai fungsi bagi keberlangsungan hidup manusia guna mewujudkan kemakmurannya. Akses terhadap tanah pertanian bagi petani mutlak diperlukan, untuk menjamin kesejahteraan petani dan secara tidak langsung juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Sehingga petani dapat melangsungkan kehidupannya dan mengusahakan secara berkelanjutan pertanian yang menopang kebutuhan pangan nasional. Petani merupakan tulang punggung dari sistem pangan nasional bahkan dunia. Kejelasan akan pola hubungan antara tanah dengan petani sangat lah penting untuk menjamin kepastian hukum bagi petani dengan tanahnya. Terdapat dua Undang-Undang yang menjadi perhatian penulis dalam mengkaji penguasaan tanah pertanian bagi petani di Indonesia yaitu UU No.56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang lebih lanjut disebut sebagai UU Landreform dan UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang lebih lanjut disebut sebagai UU Perlintan. Pada dua Undang-Undang tersebut secara jelas mengatur penguasaan tanah pertanian bagi petani di Indonesia. Penulis ingin menggambarkan penguasaan tanah pertanian bagi petani di Indonesia melalui deskripsi pengaturan dalam kedua Undang-Undang tersebut. Hal ini penting agar pengaturan tersebut jelas adanya dan dapat dimengerti. Deskripsi tersebut dapat dijadikan acuan untuk melihat penguasaan tanah pertanian yang ada di Indonesia, dan melihat apakah terjadi disharmonisasi peraturan-peraturan di bidang agraria, karena terdapat dua Undang-Undang mengatur hal yang sama dengan pengaturan yang berbeda sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi petani. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian sebagai dasar penyusunan penulisan hukum dengan judul “Tinjauan Yuridis Kepemilikan Tanah Pertanian Bagi Petani Menurut UU No. 56 Prp Tahun 1960 dan UU No.19 Tahun 2013” B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis menentukan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Pengaturan penguasaan tanah pertanian bagi petani menurut UU Landreform dan UU Perlintan; dan 2. Bagaimana jaminan kepastian hukum penguasaan tanah pertanian bagi petani dalam redistribusi tanah pertanian? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif a. Mengkaji pengaturan penguasaan tanah pertanian bagi petani menurut UU No.56 Prp Tahun 1960 dan UU No.19 Tahun 2013; dan b. Mengkaji jaminan kepastian hukum penguasaan tanah pertanian bagi petani di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku; 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada; b. Untuk memperluas dan memperdalam wawasan, pengetahuan, dan kemampuan analisis penulis mengenai ilmu hukum khususnya hukum agraria dan terutama hukum pertanian di Indonesia; c. Untuk turut serta memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan pada cabang ilmu hukum, khususnya hukum agraria di Indonesia; dan d. Untuk turut serta dalam membentuk persepsi mengenai hukum pertanian khususnya pada akses terhadap tanah pertanian bagi petani dari sisi kepastian hukum penguasaan lahannya. D. Manfaat Penelitian Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik untuk kepentingan akademis maupun kepentingan praktis, sebagai berikut: 1. Manfaat akademis Penelitian ini merupakan upaya mengembangkan ilmu hukum khususnya bagi ilmu hukum agraria. Hasil penelitian ini dapat dijadikan tambahan ilmu pengetahuan kepada civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pembelajaran bagi mahasiswa fakultas hukum Universitas Gadjah Mada khususnya teman-teman yang mengambil konsentrasi hukum agraria. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai aturan penguasaan tanah pertanian bagi petani di Indonesia menurut UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan setelah diundangkannya UU No.19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Mengidentifikasi kepastian hukum penguasaan tanah pertanian bagi petani di Indonesia berdasarkan undang-undang tersebut di atas. E. Keaslian Penelitian Untuk melihat keaslian penelitian, telah dilakukan penelusuran penelitian pada berbagai referensi dan hasil penelitian di Perpustakan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penguasaan Tanah Pertanian bagi Petani Menurut UU No.56 Prp Tahun 1960 dan UU No.19 Tahun 2013” ini dilakukan untuk mengkaji secara mendalam mengenai penguasaan tanah pertanian bagi petani diantara kedua undangundang tersebut. Fokus pada penelitian ini terletak pada arah pengaturan penguasaan tanah pertanian bagi petani pada masing-masing undang-undang yang telah disebutkan. Sepanjang yang diketahui oleh peneliti, terdapat beberapa penelitian yang membahas tentang penguasaan tanah pertanian dan undang-undang tersebut, penelitian tersebut antara lain: 1) Penulisan Hukum Anna Marie Asti O.T., “Tinjauan Yuridis Beberapa Aspek Perlindungan Hukum Petani dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani” Rumusan masalah dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut, yaitu: a. Bagaimana perlindungan hukum terhadap petani yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani? b. Permasalahan apa saja yang secara yuridis terdapat pada perlindungan hukum petani yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayan Petani Penulisan hukum ini dalam bentuk skripsi tahun 2015 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa hubungan hukum petani yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah kredit pertanian, asuransi pertanian, pendidikan dan pelatihan petani, penyuluhan dan pendampingan petani, konsolidasi tanah dan jaminan luas tanah pertanian, serta organisasi pertanian. Anna Marie mengkaji peraturan UU Perlintan secara menyeluruh, sementara penulis berfokus hanya pada pengaturan penguasaan tanah pertanian bagi petani saja dan kaitannya dengan peraturan perundangan lain yang mengatur hal tersebut. 2) Penulisan Hukum oleh Juli Kurniawan, “Redistribusi Tanah Negara di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Timur”. Rumusan masalah dalam penulisan hukum ini sebagai berikut, yaitu: a. Apa kriteria subyek untuk menjadi pemohon redistribusi tanah Negara di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur? b. Prosedur apa yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk menetapkan pelaksanaan redistribusi tanah Negara di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur? c. Biaya-biaya apa saja yang harus dikeluarkan oleh masyarakat yang telah menjadi pemohon redistribusi tanah Negara di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur? d. Kendala-kendala apa saja yang telah terjadi dalam redistribusi tanah di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur? e. Solusi apa yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Kutai Timur terhadap kendala yang telah terjadi dalam redistribusi tanah di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur? f. Upaya hukum apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Timur untuk memberikan perlindungan hukum terhadap penerima redistribusi tanah di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur? Penulisan hukum ini dalam bentuk skripsi tahun 2009 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini merupakan penulisan hukum empiris yang mengkaji pelaksanaan redistribusi tanah Negara di Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutai Timur Provinsi Kalimantan Penulisan ini meneliti aspek teknis dari penguasaan tanah pertanian dalam redistribusi tanah yang dilakukan di wilayah tersebut . Penulisan hukum tersebut dilaksanakan pada tahun 2009, yang berarti pengaturan penguasaan tanah pertanian bagi petani masih hanya mengacu pada UU Landreform dan belum ada UU Perlintan. Dengan demikian, berdasarkan pada penjelasan yang dapat menunjukkan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang telah ada, maka penelitian ini memenuhi unsur keaslian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta bukan merupakan plagiasi.