BAB V KESIMPULAN Dari analisis proses-proses budaya yang meliputi produksi, representasi, identitas, konsumsi, dan regulasi dalam industri komik Jepang terjemahan di Indonesia yang telah dijabarkan pada bab IV menunjukan bahwa komik Jepang masih dipandang sebagai low culture di Indonesia. Dalam dunia perbukuan, sebenarnya pun komik lokal tahun 60 dan 70-an juga mengalami nasib sama jika dibandingkan novel. Komik menjadi literature kelas dua. Hal ini bias dilihat dari tidak mapannya industri komik lokal sehingga tahun 1980-an komik lokal kehilan gangaungnya sementara industri novel masih berjaya sampai saatini. Komik juga masih dipandang sebagai budaya pop yang tidak serius, terbukti dengan kurangnya buku-buku yang menuliskan tentang komik sebagai bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Usaha yang cukup baik untuk mengamati komik Indonesia dilakukan oleh Marcel Bonneff, seorang Perancis, pada tahun 1970-an untuk disertasinya. Tulisannya tersebut kemudian diterbitkan di Perancis dan baru pada tahun 1996 diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Sampai saat ini penulis sulit sekali menemukan buku-buku serius yang membahas tentang komik di toko-toko buku. Padahal sebenarnya sudah ada beberapa budayawan Indonesia yang tulisan-tulisannya tentang komik pernah diterbitkan di pasaran seperti Arswendo Atmowiloto, Hikmat Darmawan, Seno Gumira Ajidarma dan lain-lain. Jika nasib komik lokal saja seperti itu, tentu bisa dibayangkan 95 bagaimana nasib komik Jepang terjemahan yang posisinya berada di bawah komik lokal Indonesia. Pembahasan tentang komik Jepang biasanya dilakukan sebagai rangkaian dari pembahasan komik lokal terutama dalam forum-forum diskusi di mana komik Jepang sering dikambinghitamkan atas terpuruknya industri komik lokal. Sementara itu pembahasan-pembahasan ringan tentang komik Jepang banyak ditemukan di blog-blog personal di internet. Namun, dari analisis proses-proses budayanya, dapat dilihat bahwa sebenarnya sejak awal komik Jepang yang diterbitkan Elexmedia sudah mengidentifikasi dirinya sebagai bacaan anak-anak. Identifikasi ini dibantu dengan penayangan anime-anime anak-anak di televisi Indonesia. Komik Jepang juga tidak terbit di koran-koran atau majalah seperti awal-awal komik-komik tahun 70-an. Dia terbit langsung dalam bentuk satu buku, baik itu berseri ataupun cerita lepas. Penikmat komik Jepang hampir semuanya anak-anak dan remaja, jika ada orang dewasa yang menyukainya, biasanya adalah remaja penyuka komik yang sudah tumbuh dewasa. Tetapi pada kasus komik lokal yang mulanya diterbitkan di koran-koran, tentunya pembacanya lebih banyak orang dewasa, tokoh-tokoh utamanya pun biasanya orang dewasa. Jika kemudian anak-anak juga mengkonsumsinya karena tertarik dengan gambargambar yang ada di dalamnya. Selain itu pula penggemar komik lokal American style tidak menyukai manga style karena gambarnya yang tidak realistis dan imut. Komik lokal dan komik Jepang memiliki pasar sendiri-sendiri. Sehingga menurut penulis, keterpurukan komik lokal lebih disebabkan karena industrinya yang tidak mapan entah itu menyangkut produksi, representasi, identitas, konsumsi maupun regulasinya. Terbukti setelah tahun 80-an, di mana Elexmedia bahkan belum 96 menerbitkan komik Jepang, penerbit komik lokal terkenal seperti Melodi sudah tidak produktif lagi. Elexmedia sebagai bagian dari Kompas Gramedia dengan modal yang kuat dan jaringan yang luas mampu melihat peluang pasar. Dia juga berhasil merepresentasikan komik Jepang sebagai komik itu sendiri bahkan komik adalah Elexmedia, begitu pun sebaliknya. Elexmedia sebagai pionir penerbitan komik Jepang merajai industri komik Jepang terjemahan di Indonesia dan sulit ditandingi oleh penerbit lain yang mencoba menyainginya. Sedangkan jika dilihat dari relasi antar proses budayanya dapat diketahui bahwa semua proses yaitu produksi, representasi, identitas, konsumsi, dan regulasi mempuanyai hubungan dialektis. Semuanya saling terkait di mana proses budaya yang satu akan muncul kembali dalam proses budaya yang lain, sehingga terbentuklah sebuah sirkuit kebudayaan. Seperti dapat dilihat dari Elexmedia sebagai produsen komik Jepang terjemahan di Indonesia yang menghadapi beberapa rintangan, salah satunya dari penerbit ilegal yang mencoreng nama baik komik Jepang yang telah dibangunnya. Komik-komik 18+ yang diterbitkan penerbit-penerbit ilegal ini sempat membuat ketidakpercayaan orang tua terhadap komik yang dikonsumsi anak-anak dan remaja. Namun di sisi lain, hal itu malah menjadi survey gratis bahwa ternyata manga dewasa juga diminati di Indonesia. Sebagai “pemilik” komik Jepang di Indonesia maka Elexmedia pun melegitimasinya, dengan menciptakan produksi baru yaitu divisi komik dewasa Level Comic. Dampak ketidakpercayaan orang tua yang terlanjur ditimbulkan oleh komik ilegal memperkuat representasi masyarakat awam bahwa komik Jepang adalah “milik” orang Jepang di mana budaya Jepang berbeda dengan Indonesia. 97 Rintangan lain berasal dari harga kertas yang tinggi juga membuat harga komik Elexmedia semakin mahal. Fans kemudian beralih ke manga scan yang lebih murah dan update. Hal-hal tersebut membuat penjualan komik Elexmedia semakin lama semakin menurun, dan entah akan sampai kapan bias bertahan. Selain itu representasi komik Jepang menciptakan dua penerimaan dalam masyarakat Indonesia, yaitu komik Jepang sebagai teks dan komik Jepang sebagai metode. Komik Jepang sebagai teks (kata benda) mengambil porsi yang paling besar, dia mengacu pada penerimaan bahwa komik Jepang sebagai bacaan anakanak perkotaan, penggemarnya kebanyakan anak perempuan, gambarnya tidak realistis, isinya tentang budaya Jepang yang belum tentu cocok dengan budaya Indonesia, sampai kepada komoditas. Sedangkan komik Jepang sebagai metode (kata sifat) mengacu pada penerimaan anak-anak muda bahwa komik Jepang mempunyai story telling yang baik sehingga mampu menyampaikan informasi dengan mudah dan jelas. Story telling ini dibangun dari teknik-teknik yang telah diformulakan oleh Tezuka Osamu. Komik Jepang juga mengeksplor berbagai macam ide cerita untuk menyampaikan sebuah pesan moral yang besar, seperti yang ada dalam komik Doraemon. Metode ini kemudian digunakan untuk mengangkat cerita-cerita lokal. Penerimaan ini bersifat ambivalen karena pada komik Jepang sebagai teks biasanya tidak diterima dengan baik oleh masyarakat dewasa Indonesia tetapi komik Jepang sebagai metode diterima dengan tangan terbuka oleh mereka, seperti yang terjadi pada komik pendidikan. 98