Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek dalam Pembaharuan ... PIDANA KERJA SOSIAL SEBAGAI ALTERNATIF PIDANA PENJARA JANGKA PENDEK DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA (PENAL REFORM) DI INDONESIA Lieonad Juniar Utomo Email : [email protected] Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum UNS Surakarta Widodo Tresno Novianto Email : [email protected] Hartiwiningsih Email : [email protected] Dosen Fakultas Hukum UNS Abstract This article aims to conduct a study of the community service order is required as an alternative to shortterm imprisonment and measures to support the criminal model of community service order are ideal as an alternative to short-term imprisonment in Indonesia.This research is a normative legal or doctrinal, with the analyst of legal materials relating to the problems. This study showed that there is a tendency to reduce the use of imprisonment short term, therefore, the need for a reform of criminal law on alternative imprisonment, especially short-term imprisonment. Alternative forms of criminal sanctions is presented in the form of criminal sanctions community service order who embrace the philosophy of coaching is expected to be an alternative type of criminal effective as a deterrent for the protection and welfare of the community. However RKUHP 2012 which regulates community service order has shortcomings associated with supporting infrastructure and penal provisions for the implementation of social work. This research is expected to expand the horizons and thinking to undertake a legal reform of imprisonment, especially short term imprisonment with the use of the community service order. Keywords : Community Service Order, Criminal Alternative Short Term Prison, Criminal Law Reform Abstrak Artikel ini bertujuan untuk melakukan suatu kajian tentang pidana kerja sosial diperlukan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan langkah yang dapat mendukung model pidana kerja sosial yang ideal sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal, dengan menganalis bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa adanya kecenderungan untuk mengurangi penggunaan pidana penjara jangka pendek, oleh karena itu diperlukannya suatu pembaharuan hukum pidana tentang alternatif pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek. Bentuk alternatif sanksi pidana yang disuguhkan adalah sanksi pidana yang berupa Pidana Kerja Sosial yang menganut falsafah pembinaan diharapkan dapat menjadi jenis alternatif pidana yang efektif sebagai alat pencegah kejahatan untuk terciptanya perlindungan dan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian RKUHP 2012 yang mengatur tentang pidana kerja sosial memiliki kekurangan yang terkait dengan infrastruktur pendukung dan ketentuan pelaksanaan pidana kerja sosial. Penelitian ini diharapkan mampu membuka wawasan dan pemikiran untuk dilakukannya suatu pembaharuan hukum dari pidana penjara khususnya pidana penjara jangka pendek dengan menggunakan pidana kerja sosial. Kata kunci : Pidana Kerja Sosial, Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek, Pembaharuan Hukum Pidana A. Pendahuluan Hukum pidana saat ini dalam menerapkan suatu pemidanaan terhadap pelaku kejahatan masih berorientasi kepada suatu “Pembalasan”. Sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku (Muladi dan Barda Nawawi, 1992:5). Jenis sanksi pidana menurut Pasal 10 KUHP, jenis pidana ada 45 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016 2 macam, yaitu: 1. Pidana pokok yang terdiri atas: 1) Pidana mati; 2) Pidana penjara; 3) Pidana kurungan; 4) Pidana denda. 2. Pidana tambahan yang terdiri atas: 1) Pencabutan hak-hak tertentu; 2) Perampasan barang-barang tertentu; 3) Pengumuman keputusan hakim. Selama ini jenis sanksi pidana yang berupa pidana penjara merupakan andalan bagi hakim dalam memutus suatu perkara, baik perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana penjara dalam waktu tertentu sampai dengan seumur hidup, karena di KUHP mayoritas tindak pidana diancam dengan pidana penjara. Selain itu, hakim tidak ada pilihan atau alternatif lain karena aturan berkata demikian. Hal ini berarti bahwa orang yang melakukan suatu kejahatan diberikan pemidanaan dan serta merta harus ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Pada dasarnya pidana dijatuhkan supaya seseorang yang telah terbukti berbuat jahat tidak lagi berbuat jahat dan orang lain takut melakukan kejahatan serupa. Pemidanaan itu sama sekali bukan dimaksudkan sebagai upaya balas dendam melainkan sebagai upaya pembinaan bagi seorang narapidana sekaligus sebagai upaya preventif terhadap terjadinya kejahatan serupa. Namun apa yang terjadi saat ini jumlah pelaku kejahatan semakin meningkat. Hal tersebut terbukti Berdasarkan Sistem Database Permasyarakatan, bahwa dari tahun 2012 hingga tahun 2016 jumlah narapidana seluruh Indonesia meningkat sebesar 26,75 % (39.250 orang) (Sistem Database Permasyarakatan, 2016). Semak in men ing ka tny a jumlah narapidana setiap tahunnya menunjukkan bahwa sistem pidana penjara belum memiliki efek jera bagi pelaku kejahatan. Perbandingan peningkatan jumlah narapidana dari tahun ke tahun dengan daya tampung Lembaga 46 Pemasyarakatan (LAPAS) yang tidak seimbang mengakibatkan terjadinya over capacity. Berdasarkan Sistem Database Permasyarakatan, data jumlah penghuni lapas perkanwil di Indonesia pada Bulan Maret Tahun 2016 menunjukkan bahwa 25 dari 33 lapas kanwil di Indonesia memiliki kondisi over capacity (Sistem Database Permasyarakatan, 2016 ) . Hal tersebut akan menambah beban negara untuk membiayai operasional LAPAS. Berdasarkan Sistem Database Permasyarakatan, bahwa setiap tahunnya dari tahun 2013 hingga tahun 2015 biaya operasional LAPAS seluruh Indonesia lebih dari 2 triliun rupiah (Sistem Database Permasyarakatan, 2016). Beberapa dampak negatif pidana peramp asan k emerdek aan adalah seseorang narapidana dapat kehilangan identitas diri akibat peraturan dan tata cara hidup Lembaga Pemasyarakatan, selama menjalani pidana narapidana s e lal u d ia was i p e tu g a s s e h in gg a ia kurang aman dan selalu merasa dicurigai atas tindakannya, sangat jelas kemerdekaan individualnya akan terampas hal ini menyebabkan perasaan tertekan sehingga dapat menghambat p e m bi n aa n d a n la in s eb a g a in y a . Pidana penjara juga memberikan efek negatif berupa dehumanisasi dimana terpidana mendapat proses pengasingan dari masyarakat selama kehilangan kemerdekaan bergerak. Oleh karena itu terpidana membutuhkan proses adaptasi sosial yang rumit atau sosialisasi dengan masyarakat untuk kembali menjadi anggota masyarakat yang baik (Muladi dan Barda Nawawi, 1992:40). Pa n d a ng a n m od e ra t me mb e ri k a n 3 kritik terhadap penjara, yaitu kritik dari sudut “starfmodus”, “Strafmaat”, dan “strafsoort”. Kritik dari sudut “starfmodus” melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara. Jadi, ditujukan dari sudut pembinaan atau Treatment dan kelembagaan atau institusinya. Kritik dari sudut “Strafmaat” melihat dari sudut lamanya pidana Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek dalam Pembaharuan ... penjara, khususnya ingin membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara jangka pendek. Sedangkan kritik dari sudut “strafsoort” ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana penjara dilihat sebagai “jenis pidana”, yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitatif dan selektif (Barda Nawawi, 2013:28). Dari tiga kritik terhadap penjara dapat disimpulkan bahwa tidak semua kejahatan harus diganjar dengan pidana penjara, terutama kejahatan dengan hukuman pidana penjara jangka pendek karena banyak kelemahan yang dimiliki. Secara khusus “Pidana Penjara Jangka Pendek” memiliki berbagai macam kelemahan. Schaffmeister mengatakan bahwa secara umum, dinyatakan bilamana pidana badan singkat diperbandingkan dengan pidana badan yang lama, maka pidana badan singkat memiliki semua kelemahan pada pidana penjara, tetapi tidak memiliki aspek positif darinya (Schaffmeister diterjemahkan Sahetapy, 1995:74). Oleh karena itu di dalam rekomendasi Kongres Ke-2 PBB mengenai “The Prevention of Crime and Treatment of Offenders” Tahun 1960 di London, juga melemparkan kritik terhadap pidana penjara jangka pendek, yaitu: (Barda Nawawi, 2013:28-29) 1. Kongres mengakui bahwa dalam banyak hal, pidana penjara pendek mungkin berbahaya, yaitu si pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif dan karena itu penggunaannya secara luas tidak dikehendaki; 2. Kongres menyadari bahwa dalam praktiknya penghapusan menyeluruh pidana penjara pendek tidaklah mungkin, yang realistik hanya dapat dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya; 3. Pengurangan berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk pengganti atau alternatif (pidana bersyarat, pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga, dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan kemerdekaan); 4. Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindari, pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari yang dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama dan pembinaannya harus bersifat konstruktif. Lebih lanjut, Kartini Kartono memaparkan tentang kelemahan pidana penjara jangka pendek sebagai berikut: (Kartini, 1981:168) 1. 3. Dari penjahat kecil-kecilan, mereka bisa menjadi yang lihai, dengan keterampilan tinggi dan perilaku yang lebih kejam. Mereka menjadi leboih licin dan lebih matang, karena mendapatkan pelajaran tambahan dari sesama kawan narapidana; terutama sekali pada narapidana yang baru pertama kali masuk penjara. Terjadi semacam trauma atau luka psikis atau berlangsung kejutan jiwani, sehingga mengakibatkan disintegrasi kepribadian. Ada juga yang menyerupai orang gila; Penjahat-penjahat individual dan penjahat situasional banyak sekali yang mengalami patah mental, disebabkan oleh isolasi dalam penjara. Mereka merasa dikucilkan dan dikutuk oleh masyarakat penjara dan masyarakat luar pada umumnya. Mereka itu secara mental tidak siap dalam menghadapi realitas yang bengis di dalam penjara, yang dilakukan oleh sesama narapidana. Kritik terhadap “Pidana Penjara Jangka Pendek” yang telah dikemukakan, menunjukkan bukti bahwa Hukum pidana di Indonesia yang masih menggunakan pidana penjara jangka pendek sudah usang dan tidak sesuai dengan keadaaan masyarakat kekinian. ”. Oleh karena itu diperlukannya suatu pembaharuan hukum pidana yang mengatur tentang jenis sanksi pidana, untuk mencari sebuah alternatif dari pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek yang sesuai dengan tujuan pemidanaan dan memberikan perlindungan kepada individu maupun perlindungan kepada masyarakat tanpa menghilangkan esensi dari hukum pidana itu sendiri. Dewasa ini baik Indonesia maupun di dunia internasional muncul kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek. “Upaya untuk mencari alternatif pidana perampasan kemerdekaan bertolak dari kenyataan bahwa pidana perampasan kemerdekaan jangka pendek semakin tidak disukai baik pertimbangan pertimbangan ekonomis” (Tongat, 2001:17). Tindakan alternatif yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang diancam dengan pidana penjara jangka pendek, salah satunya yaitu dengan menggunakan Pidana kerja sosial. Secara sederhana “pidana kerja sosial” dapat diartikan sebagai pidana yang berupa kerja sosial. Pidana kerja sosial merupakan bentuk pidana dimana 47 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016 pidana tersebut dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan (Tongat, 2001:7). Pidana kerja sosial terdapat dalam Draft RKUHP Tahun 2012, pasal 65 ayat (1) yaitu Pidana pokok yang terdiri atas: 1) Pidana penjara; 2) Pidana tutupan; 3) Pidana pengawasan; 4) Pidana denda; 5) Pidana kerja sosial. Pasal 86 ayat (1) menjelaskan jika Pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I (Pasal 80 RKUHP 2012, pidana denda kategori I adalah Rp. 6.000.000,00), maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan Pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial yang menganut falsafah pembinaan (treatment philosophy) diharapkan dapat menjadi jenis alternatif pidana yang efektif tanpa menghilangkan esensi dari pidana itu sendiri. Dengan pidana kerja sosial diharapkan dampak negatif dari penerapan pidana perampasan kemerdekaan seperti stigmatisasi, dehumanisasi, dan dampak negatif yang lain dapat dihindari. Dengan demikian terpidana tetap mempunyai kesempatan untuk menjadi manusia yang “utuh” sebagai bekal dalam proses pembinaan yang lebih lanjut. Oleh karena itu pidana kerja sosial sangat relevan menjadi alternatif pidana penjara khususnya pidana penjara jangka pendek dalam pembaharuan hukum pidana di indonesia. Bertitik tolak dari pokok-pokok pemikiran tersebut diatas, maka artikel ini bermaksud melakukan suatu kajian yang terkait dengan mengapa pidana kerja sosial diperlukan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek dan apa saja langkah yang dapat mendukung model pidana kerja sosial yang ideal sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek di Indonesia. B. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian hukum Normatif atau Doktrinal. Menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter, 2008:141-169). Sifat penelitian dari penelitian ini yaitu bersifat Preskriptif yang dimaksudkan untuk memberikan saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu atas hasil penelitian yang telah dilakukan (Setiono, 2010:20). 48 Penelitian ini menitikberatkan kepada penelitian dengan pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach) yang memfokuskan kepada masalah pidana kerja sosial sebagai alternatif pidana penjara dalam pembaharuan hukum pidana di indonesia. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa data sekunder, yang dapat diperinci dalam berbagai macam tingkatan, yaitu: Bahan hukum primer, Bahan hukum sekunder dan Bahan hukum non hukum. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder (Ronny, 1990:11). Teknik analisis yang digunakan yaitu teknik analisis bahan hukum deduktif dengan menggunakan alat yang disebut dengan silogisme (Peter, 2008:141-169). C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Pidana Kerja Sosial sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek “Pidana Penjara Jangka Pendek” memiliki berbagai macam kelemahan, Johannes Andeanaes di dalam bukunya yang berjudul Punishment and Detterance, menyatakan: Hampir 100 tahun lebih telah difikirkan suatu tujuan dari pembaharuan pidana untuk menghindari pidana penjara jangka pendek. Pidana penjara pendek seperti itu tidak memberikan kemungkinan untuk merehabilitasi si pelanggar, tetapi cukup mengecap dia dengan stigma penjara dan membuat atau menetapkan kontakkontak yang tidak menyenangkan (Barda Nawawi, 2013:29-30). Ada dua keterbatasan (sisi negatif) dari pidana pendek menurut J. Andeanes, yaitu: “it does not effectively serve an incapacitative function” (“Tidak membantu atau menunjang secara efektif fungsi membuat tidak mampu”) dan“as a general deterrent it is inferior to longer sentences” (“Sebagai suatu pencegahan umum, ia lebih rendah (mutunya) daripada pidana lama”) (Barda Nawawi, 2013:30-31). Kelemahan lain dari pidana penjara jangka pendek yaitu menyebabkan hilangnya kemerdekaan, terutama dalam bentuk gangguan terhadap kehidupan sosial yang normal. Hal tersebut diperburuk dengan stigma negatif dari masyarakat tentang gelar “mantan narapidana” yang dimiliki meskipun masa pidana penjara tergolong pendek, sehingga sering kali meningkatkan kemungkinan timbulnya residivisme. Dalam Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek dalam Pembaharuan ... penelitian yang dilakukan oleh Simatupang dan Irmawati menyebutkan bahwa terdapat faktor psikososial yang menjadi penyebab timbulnya residivis, antara lain pengaruh keluarga, teman sebaya, dan pengangguran (Hamaria dan Irmawati, 2006:31-38). Sitohang juga berpendapat bahwa residivis disebabkan oleh kecurigaan, ketakutan, ketidakpercayaan, dan kebencian dari masyarakat sebagai hukuman tambahan yang tidak dapat terelakkan sehingga mengulangi kejahatan yang sama sebagai solusi yang diambil oleh terpidana yang telah bebas untuk mempertahankan hidupnya (Sitohang, 2012:26-47) Kritik terhadap pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek yang telah dikemukakan tersebut, merupakan efek dari pemidanaan yang masih bersifat Pembalasan. Pemidanaan digunakan sebagai sarana untuk melakukan pembalasan terhadap pelaku kejahatan sebagai akibat dari perbuatan tercela yang telah dilakukan. Menurut pandangan dari pemidanaan yang bersifat pembalasan, setiap orang yang melakukan tindak pidana mutlak harus dipidana dan pidana yang dijatuhkan juga harus setimpal dengan perbuatannya. Jadi tujuan dari pemidanaan tidak lain hanya berupa pembalasan semata yang mana tidak memiliki tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat, tidak bertujuan untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku. Oleh karena itu diperlukannya suatu pembaharuan hukum pidana yang mengatur tentang jenis sanksi pidana, untuk mencari sebuah alternatif dari pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek. Alternatif yang dibutuhkan harus dengan tujuan pemidanaan dan memberikan perlindungan kepada individu maupun perlindungan kepada masyarakat tanpa menghilangkan esensi dari hukum pidana itu sendiri. Sarana yang digunakan menggunakan Politik Kriminal, dimana mengadakan penilaian dari sekian banyak alternatif mana yang paling baik dalam usaha penanggulangan kejahatan. Bentuk usulan penanggulangan kejahatan yang rasional dengan tujuan untuk untuk mencari suatu alternatif sanksi pidana yang lebih meminimalisir kelemahan dari pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek, yaitu dengan menggunakan pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial adalah “suatu bentuk pidana dimana pidana yang dijalani oleh terpidana dengan melakukan pekerjaan sosial yang ditentukan. Pelaksanaan pidana ini tidak bersifat komersial” (Tongat, 2001:7). Pengertian pidana kerja sosial menurut Mohd. Al-Adi b Samuri yait u: Pidan a kerja sosial merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh terpidana untuk organisasi instansi publik atau nirlaba untuk tujuan memperbaiki kerusakan, yang merupakan hasil dari kejahatan, atau untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat sebagai sanksi pelaku kejahatan tersebut. Sebagai alternatif hukuman penjara pernyataan ini memiliki beberapa sifat yang menarik seperti mensyaratkan pelaku untuk membayar utang (kompensasi) mereka kepada masyarakat yang dirugikan dan bahwa pelaku dihukum secara wajar, terutama sehubungan dengan jumlah jam yang dibutuhkan untuk melayani tanpa memandang status mereka, kondisi atau perbedaan yang jelas dalam biaya yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan penahanan (Al-Adib, 2012:126). Pidana kerja sosial dimaksudkan untuk terpidana dapat dibebaskan dari rasa bersalah, dan masyarakat dapat berperan serta secara aktif untuk memasyarakatkan terpidana dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Pidana kerja sosial merupakan pidana yang bersifat rehabilitasi kepada terpidana atau bersifat melakukan pendidikan kembali. Melaksanakan pekerjaan sosial atau pidana sosial tersebut, idealnya pelaku terlibat di dalam kegiatan yang berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Hal ini sejalan dengan tujuan utama dari pelayanan masyarakat yang mendorong pelaku untuk bersosialisasi dan mengenal isu-isu tentang komunitas masyarakat (Umbreit, 1981:314). Tujuan akhir dari kerja sosial ini adalah diharapkan pelaku mengalami proses “Humanisasi”, dimana dapat meningkatkan kepercayaan dan kepribadiannya, meningkatkan kecerdasan, mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap dirinya serta menyampaikan pesan kepada masyarakat dia dan pelaku lainnya hanya manusia biasa yang dapat membuat kesalahan dan dapat pula berubah menjadi manusia yang lebih baik (Maher dan Dufour, 1987:22). Pidana kerja sosial juga membatasi gerak pelaku melalui perintah pelayanan masyarakat, sehingga secara bersamaan mencegah mereka dari perbuatan yang mengarah kepada perbuatan mengulanagi tindak pidana (Parrier dan Pink, 1985:32-38). Pidana kerja sosial terdapat dalam Draft RKUHP Tahun 2012, pasal 65 ayat 49 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016 (1) yaitu Pidana pokok yang terdiri atas: 1) Pidana penjara; 2) Pidana tutupan; 3) Pidana pengawasan; 4) Pidana denda; 5) Pidana kerja sosial. Pasal 86 ayat (1) menjelaskan jika Pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I (Pasal 80 RKUHP 2012, pidana denda kategori I adalah Rp. 6.000.000,00), maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan Pidana kerja sosial. Berdasarkan RKUHP 2012, nampak jelas jika yang dapat dikenakan Pidana kerja sosial yaitu perbuatan yang diancam dengan Pidana penjara 6 (enam) bulan atau Pidana denda Kategori I. Oleh karena itu yang dimaksud dengan Pidana penjara jangka pendek yang dapat dijatuhkan Pidana kerja sosial, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana penjara 6 (enam) bulan. Hal ini sesuai dengan Pasal 86 ayat (1) RKUHP 2012. Pidana kerja sosial yang digunakan sebagai alternatif pidana penjara khususnya pidana penjara jangka pendek telah menunjukkan jika kerja sosial sebagai suatu pidana tidak hanya sebagai pembalasan semata, akan tetapi juga menunjang tujuan lanjutan seperti melakukan rehabilitasi yang berupa suatu pendidikan kembali serta sebagai suatu sarana dalam mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana guna melindungi serta mensejahterahkan masyarakat. 2. 50 Langkah yang Mendukung Model Pidana Kerja Sosial yang Ideal sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek Berdasarkan kajian komparasi terhadap 8 negara, yaitu Belanda, Belgia, Skotlandia, Austria, Prancis, Portugal, Amerika Serikat, dan Korea Selatan diperoleh hasil jika untuk pelaksanaan pidana kerja sosial yang terkait dengan tindak pidana yang dapat dikenakan pidana kerja sosial, syarat pidana kerja sosial, jumlah waktu (jam) dalam melaksanakan kerja sosial, kegiatan yang dilakukan dalam kerja sosial bervariasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara masing-masing. Atas dasar pengalaman di dalam menerapkan pidana kerja sosial oleh negara-negara yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan jika berhasil tidaknya pidana kerja sosial (community service order) bergantung kepada perangkat infrastruktur yang baik. Perangkat infrastruktur yang dimaksud adalah lembaga pengawasan (probation service). Tugas dari lembaga pengawasan (probation service) sangat sentral karena bertugas untuk memberikan pengawasan terhadap jalannya pidana serta melaporkan kepada pengadilan (hakim) apabila terdapat suatu permasalahan yang timbul dari pelaksanaan pidana kerja sosial. Pidana kerja sosial di Indonesia diatur di dalam Rancangan KUHP tahun 2012 Pasal 65 ayat (1) yang mengatakan jika salah satu pidana pokok yaitu pidana kerja sosial yang bersifat alternatif. Lebih lanjut Pasal 86 ayat (1) mangatakan Jika Pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I, maka pidana penjara atau pidana denda tersebut dapat diganti dengan Pidana kerja sosial. Jenis tindak pidana yang dapat dikenakan Pidana Kerja Sosial di dalam RKUHP 2012, yaitu Tindak Pidana Pemalsuan Mata Uang dan Kertas, Tindak Pidana Kesusilaan, Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika, Tindak Pidana Menelantarkan Orang, Tindak Pidana Penganiayaan, Tindak Pidana Pencurian, Tindak Pidana Penggelapan, Tindak Pidana Perbuatan Curang, Tindak Pidana Penghancuran atau Pengrusakan Barang dan Tindak Pidana Jabatan. RKUHP tahun 2012 yang mengatur tentang pidana kerja sosial saat ini, masih terdapat kekurangan yang terkait dengan infrastruktur penunjang untuk pelaksanaan kerja sosial maupun penyusunan redaksional di dalam pasal RKUHP 2012 yang mengatur tentang pidana kerja sosial. Oleh karena itu kembali pembenahan yang perlu untuk dilakukan guna terciptanya suatu peraturan perundang-und angan yang baik dan pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan secara maksimal. Oleh karena itu, akan diberikan beberapa saran perihal kekurangan yang perlu untuk dibenahi. RKUHP 2012 belum mengatur tentang adanya suatu Lembaga Pengawas (Probation Service), padahal lembaga pengawas memiliki peran yang sangat sentral berhasil tidaknya pelaksanaan pidana kerja sosial yang dilakukan oleh terpidana. Lembaga pengawas memiliki tugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja sosial, memberikan teguran terhadap terpidana apabila melakukan kesalahan dalam melaksanakan kerja sosial serta Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek dalam Pembaharuan ... melaporkan kepada (hakim) hasil laporan yang terkait dengan kerja sosial, baik itu terkait dengan jalannya kegiatan sampai dengan permasalahan yang terjadi pada saat kerja sosial dilakukan. Probation service bertanggung jawab untuk mengelola dan benar-benar mengawasi pelaksanaan hukuman pelayanan masyarakat. Oleh karena itu, harus ditempatkannya koordinator dari Probation service yang disebut Probation officer di setiap tempat dimana hukuman pelayanan kerja sosial dapat dilakukan. Selain dibutuhkannya petugas pengawas yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dari pidana kerja sosial, kiranya perlu juga adanya suatu petugas konseling ( , yang bertugas untuk memberikan suatu bimbingan yang bertujuan untuk merehabilitasi pelaku kejahatan agar dapat menjadi manusia yang lebih baik lagi, meminimalisir seseorang untuk melakukan pengulangan tindak pidana, serta membantu pelaku kejahatan untuk dapat mempersiapkan diri di dalam adaptasi pada saat pelaksanaan kerja sosial. Kedudukan petugas konseling ( dapat bersama-sama dengan petugas pengawas di bawah tanggung jawab Lembaga Pengawas (Probation Service). Namun antara petugas pengawas dengan petugas konseling harus berdiri sendiri, jadi antara petugas konseling ( dengan petugas pengawas memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hasil dari penelitian komparasi, ketentuan yang dianggap baik dan cocok untuk diadopsi di Indonesia, sebagai berikut: a. Pada pasal 86 ayat (2) huruf e RKUHP 2012, mengatur tentang perlindungan keselamatan kerja terdakwa. Ketentuan ini sebenarnya sudah baik, karena adanya perlindungan terhadap terdakwa pada saat pelaksanaan pidana kerja sosial. Namun penting pula kiranya apabila diatur juga perihal terjadinya “suatu kerusakan” yang disebabkan pada saat pelaksanaan kerja sosial. Karena kerja sosial adalah sifatnya tidak berbayar dan bekerja merupakan bagian dari suatu pidana (work as pinalty), maka yang bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan pada saat pelaksanaan pidana kerja sosial adalah Negara. Seperti halnya pada negara b. c. Prancis yang terdapat dalam Article 13124 Code of Penal: Negara bertanggung jawab atas kerusakan yang disebabkan oleh terdakwa pada saat pelaksanaan kerja sosial. Pada hakikatnya apabila melaksanakan suatu pekerjaan dalam hal ini adalah kerja sosial pasti terdapat resiko yang mengikuti. Apabila ketentuan ini juga diatur, maka akan terjadi keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah, perlindungan terhadap keselamatan kerja terdakwa, serta perlindungan terhadap sarana dan prasarana tempat yang akan digunakan untuk pelaksanaan kerja sosial. Perlunya ketentuan yang mengatur tentang pemenuhan langkah-langkah pengawasan pada saat pelaksanaan pidana kerja sosial atau perintah tambahan. Pada negara Prancis, berdasarkan Article 132-55 Code of Penal pemenuhan langkah-langkah pengawasan yang dimaksud seperti kesanggupan dari terdakwa untuk berpindah t empat tinggal secara sem entara sebagai penunjang pelaksanaan kerja sosial yang bertujuan agar antara tempat tinggal dan tempat yang digunakan sebagai kerja sosial tidak terlalu jauh agar dapat mendukung pelaksanaan kerja sosi al secara maksimal, serta pemeriksaan kesehatan yang bertujuan untuk menetapkan apakah terdakwa menderita suatu penyakit yang berbahaya bagi pekerja lainnya, dan apakah dia sehat secara medis untuk melakukan pekerjaan yang akan dilakukan. Ketentuan ini dianggap cocok apabila diterapkan di Indonesia karena adanya keinginan untuk menerapkan suatu pidana yang memperhatikan sisi kemanusian dari terpidana itu sendiri serta perlindungan masyrakat. Mengingat pidana kerja sosial memiliki sifat rehabilitatif bagi pelaku kejahatan dan bersifat pekerjaan yang tidak berbayar serta memiliki tujuan untuk melakukan suatu pemidanaan yang lebih manusiawi, maka perlu dipertimbangkan ketentuan yang mengatur tentang jumlah hari pada saat pelaksanaan pidana kerja sosial. Jumlah hari yang dimaksud adalah di dalam satu minggu setidaknya diberikan libur pada hari sabtu dan minggu serta hari libur lainnya (libur 51 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016 d. 52 hari raya dan sebagainya). Negara Portugal telah mengatur ketentuan ini yang terdapat pada Article 58 (3) THE PORTUGUESE PENAL CODE (GENERAL PART) bahwa pelaksanaan pidana kerja sosial akan diliburkan pada hari sabtu dan minggu serta hari libur lainnya. Ketentuan ini dirasa penting karena pidana kerja sosial adalah pidana yang berusaha untuk tidak merampas kemerdekaan, tidak untuk membatasi interaksi dengan masyarakat bahkan bertujuan untuk memasyarakatkan pelaku kejahatan. Oleh karena itu perlu kiranya untuk memberikan hari libur agar dapat menemui keluarga, ditemui oleh keluarganya atau dapat berinteraksi secara leluasa dengan masyarakat sekitar pada saat tidak melaksanakan pidana kerja sosial. Selain ketentuan terkait dengan adanya hari libur pada pelaksanaan pidana kerja sosial, perlu untuk diatur pula ketentuan tentang pemberhentian sementara pidana kerja sosial karena alasan tertentu, seperti alasan medis (pada saat melakukan pidana kerja sosial), alasan kepentingan keluarga yang membutuhkan kehadiran dari terdakwa, seperti kerabat yang meninggal dunia. Negara Portugal juga telah mengatur tentang ketentuan ini yang terdapat dalam Article 59 (1) THE PORTUGUESE PENAL CODE (GENERAL PART) bahwa dapat diberhentikan sementara karena alasan medis dan karena alasan keluarga, namun pelaksanaan tidak boleh melebihi 18 bulan. Apabila mengatur tentang ketentuan ini perlunya laporan terdakwa kepada petugas pengawas, dan petugas pengawas perlu untuk memastikan apakah alasan yang diberikan benar atau tidak. Akan tetapi perlu di ingat bahwa pelaksanaan pidana kerja sosial menurut RKUHP 2012 Pasal 86 ayat (6) bahwa pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh melebihi waktu selama dua belas (12) bulan. Jadi, meskipun dapat diberhentikan sementara karena alasan medis atau alasan keluarga, namun pelaksanaan pidana kerja sosial tidak dapat melebihi dari waktu dua belas (12) bulan. Ketentuan ini sekiranya cocok apabila diterapkan di indonesia karena sarat akan kemanusiaan dan muatan perlindungan hak asasi manusia. e. Perlunya ketentuan pidana kerja sosial yang terkait dengan pengurangan jumlah jam pidana kerja sosial yang telah diputuskan sebagai penghargaan atau reward karena kerja sosial yang dilakukan dianggap baik dan memuaskan. Negara Portugal telah mengatur ketentuan terkait dengan reward ini pada Article 59 (5) THE PORTUGUESE PENAL CODE (GENERAL PART), jika kerja sosial yang dilakukan dianggap memuaskan, kerja sosial dengan durasi yang telah ditentukan akan dikurangi 72 jam, segera setelah 2/3 kerja sosial telah dicapai. Ketentuan untuk memberikan pengurangan jumlah jam pidana kerja sosial ini bertujuan agar terdakwa dapat dengan semangat melaksanakan pidana kerja sosial dengan baik. Saran yang ditawarkan terkait dengan langkah pendukung pidana kerja sosial dan untuk mengadopsi beberapa ketentuan yang mengatur tentang pidana kerja sosial, berdasarkan hasil dari penelitian komparasi terhadap negara-negara lain (secara khusus negara Prancis dan Portugal) yang telah terlebih dahulu melaksanakan pidana kerja sosial yang telah dikemukakan, patut kiranya untuk dipertimbangkan. Hal ini bertujuan agar meminimalisir kekurangan yang ada terhadap ketentuan tentang pidana kerja sosial yang diatur di dalam RKUHP 2012 dan diharapkan pelaksanaan kerja sosial di masa yang akan datang dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu diharapkan adanya pembahasan tentang pembenahan ketentuan yang mengatur tentang pidana kerja sosial dan segera untuk disahkan menjadi Undangundang, sehingga pidana kerja sosial dapat dilaksanakan. D. Simpulan 1. Pidana kerja sosial diperlukan sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek, karena faktor kondisi lapas yang over capacity, setiap tahunnya biaya operasional LAPAS seluruh Indonesia lebih dari 2 triliun rupiah dan cenderung meningkat, hal ini menunjukkan jika pidana penjara tidak memberikan efek jera. Kritik moderat terhadap lamanya pidana penjara juga ingin mengurangi penggunaan pidana penjara jangka pendek karena memiliki beberapa kekurangan seperti penjahat kecil akan bisa menjadi penjahat yang lebih Pidana Kerja Sosial Sebagai Alternatif Pidana Penjara Jangka Pendek dalam Pembaharuan ... 2. profesional, proses rehabilitasi yang tidak maksimal, stigmatisasi, dehumanisasi dan sebagainya. Oleh karena itu diperlukannya suatu pembaharuan hukum pidana tentang alternatif pidana penjara, khususnya pidana penjara jangka pendek. Bentuk alternatif sanksi pidana yang disuguhkan adalah sanksi pidana yang berupa Pidana Kerja Sosial. Pidana kerja sosial tertuang di dalam Draft RKUHP Tahun 2012, pasal 65 ayat (1), serta yang dimaksud dengan Pidana penjara jangka pendek yang dapat dijatuhkan Pidana kerja sosial, yaitu perbuatan yang diancam dengan pidana penjara 6 (enam) bulan sesuai dengan Pasal 86 ayat (1) RKUHP 2012. Langkah yang mendukung model pidana kerja sosial yang ideal sebagai alternatif pidana penjara jangka pendek yang di diperoleh berdasarkan dari hasil kajian komparasi pidana kerja sosial di beberapa negara yaitu tingkat keberhasilan pidana kerja sosial (community service order) bergantung kepada perangkat infrastruktur yang baik. Namun ketentuan di dalam RKUHP Tahun 2012 tentang Pidana kerja sosial di Indonesia belum mengakomodir perangkat pendukung tersebut yang berupa Lembaga Pengawas (Probation Service), dan petugas konseling (counseling officers), serta diperlukannya beberapa ketentuan tambahan antara lain: perlindungan sarana dan prasarana tempat pelaksanaan, pemenuhan langkah-langkah pengawasan pelaksanaan pidana kerja sosial atau perintah tambahan, hari libur, pemberhentian sementara pidana kerja sosial karena alasan tertentu dan pengurangan jumlah jam pidana kerja sosial sebagai reward telah melaksanakan pidana kerja sosial dengan baik. E. Saran 1. Pembahasan tentang pembenahan Ketentuan tentang pidana kerja sosial yang diatur di dalam RKUHP 2012 harus diadakan agar saat dilaksanakan nantinya dapat berjalan dengan baik. Selain itu pengesahan RKUHP 2012 menjadi Undang-undang harus dilakukan, sehingga pidana kerja sosial dapat dilaksanakan. Infrastruktur perlu dipersiapkan seperti Lembaga Pengawas (Probation Service), dan petugas konseling , serta beberapa ketentuan antara lain: perlindungan sarana dan prasarana tempat pelaksanaan, pemenuhan langkah-langkah pengawasan pelaksanaan pidana kerja sosial atau perintah tambahan, hari libur, pemberhentian sementara pidana kerja sosial karena alasan tertentu dan pengurangan jumlah jam pidana kerja sosial sebagai reward telah melaksanakan pidana kerja sosial dengan baik. Dengan dipersiapkannya infrastruktur serta sarana dan prasana penunjang bagi pidana kerja sosial maka diharapkan pidana kerja sosial dapat dilaksanakan dengan baik dan tujuan dari pidana kerja sosial dapat tercapai secara maksimal. 2. Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Barda Nawawi Arief. 2013. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Adtya Bakti. Hamaria Mensrofa Simatupang dan Irmawati. 2006. “Dinamika faktor-faktor psikososial pada residivis remaja pria (Studi Kasus residivis remaja pria di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta Medan)”. Medan: Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Jurnal Psikologia. Vol. 2 No. 1. Kartini Kartono. 1981. Patologi Sosial. Bandung: Alumni. Maher R. J. Dan Dufour H. E. 1987. “Experimenting with Community Service: A Punitive Alternative to Imprisonment”. Federal Probation Journals. No. 51 Vol. (3). Mohd. Al-Adib Samuri. 2012. “Community Service Order For Juvenile Offenders: Theoretical and Legal Framework”. Medwell Journals. Vol. 7, No.2. 53 Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Vol IV No. 2 Juli-Desember 2016 Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni Perrier D. C. dan Pink F. S. 1985. “Community Service: All Things to All People”. Federal Probation Journals, No. 49 Vol. 2. Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Ronny Hanitijo Soemitro. 1990. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Schaffmeister Keijner. 1995. Hukum Pidana. Penerjemah Sahetapy. Yogyakarta: Liberty. Setiono. 2010. Pemahaman terhadap Metodologi Penelitian Hukum. Surakarta: UNS Press. Sitohang. 2012. “Stigma atau Cap Napi Terhadap Timbulnya Residivis Pencurian Di Wilayah Pontianak”, Pontianak: Universitas Tanjungpura. Jurnal Universitas Tanjungpura. Vol.1 No.2. Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Djambatan. Umbreit M. S. 1981. “Community Service Sentencing: Jail Alternative or Added Sanction” Federation Probation Journals. No. 45 Vol. (3). Peraturan Perundang-undangan dan Rancangan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No.1 tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tahun 2012 Data Elektronik Sistem Database Permasyarakatan, Data Jumlah Penghuni Lapas Perkanwil di Indonesia setiap Bulan Maret Tahun 2012-2016, //smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly, Diakses pada 09 Maret 2016, jam 13.55 Sistem Database Permasyarakatan, Data Jumlah Penghuni Lapas Perkanwil di Indonesia pada Bulan Maret Tahun 2016, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly, Diakses pada 01 Maret 2016, jam 12.39 Sistem Database Permasyarakatan, Data Jumlah Hasil Penyerapan Operasional Lapas Perkanwil di Indonesia setiap Bulan Maret Tahun 2013-2015, http://smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/ monthly, Diakses pada 09 Maret 2016, jam 13.55 54