Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 1, April 2015 ANALISIS KEJADIAN HUJAN ES DI WILAYAH BANDUNG BERDASARKAN KONDISI ATMOSFER DAN CITRA SATELIT ANALYSIS OF HAILSTONE AT TERRITORIAL BANDUNG BASES ATMOSPHERIC CONDITION AND SATELLITE IMAGE Rahmah Hidayati1, Taufik Ramlan Ramalis2*,Muhammad Iid Mujtahiddin3* 1,2Jurusan Pendidikan Fisika, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI), Jl. Dr. Setiabudhi 229, Bandung 40154, Indonesia 3Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika – BMKG Stasiun Geofisika Klas I Jl. Cemara No. 66 - Bandung (40161) Telp. (022) 2031881, Fax. (022) 2036212. [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK Fenomena hail atau hujan es merupakan fenomena ekstrem yang jarang terjadi di Indonesia disebabkan wilayah Indonesia memiliki freezing level yang relatif lebih tinggi dibandingkan negara lainnya. Bentuknya yang berupa butiran es menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, yang kadang menyambut dengan antusias, padahal jika hujan es terjadi dalam jumlah yang cukup besar dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Proses terjadinya hujan es memiliki kaitan yang erat dengan perubahan lingkungan seperti perubahan suhu, kelembaban dan tekanan udara yang dapat menjadi patokan dalam melihat tanda-tanda terjadinya hujan es. Untuk dapat menganalisis terjadinya hujan es di wilayah Bandung, digunakan teknik analisa kondisi cuaca permukaan dan data citra satelit. Teknik analisis kondisi cuaca permukaan dapat menunjukkan tanda-tanda sebelum, saat dan sesudah terjadi hujan es dengan merajah grafik menggunakan unsur cuaca terkait. Dari teknik tersebut dapat dilihat perilaku menyimpang dari hujan es. Sedangkan pengamatan melalui citra satelit digunakan agar dapat mengetahui gambaran citra awan yang menunjukkan munculnya awan Cumulunimbus (Cb) yang dapat mengakibatkan hujan lebat hingga hujan es. Dari teknik ini juga dapat diketahui suhu puncak awan, dimana terjadi penurunan yang signifikan jika awan Cb terbentuk. Hasil dari analisis teknik kondisi cuaca permukaan didapat tanda-tanda indikasi hujan es dilihat dari grafik yang dirajah, seperti suhu udara dan kelembaban relatif yang menunjukkan kenaikan signifikan dan tekanan udara yang menunjukkan pola berulang dengan puncak pertama lebih rendah dibanding puncak kedua. Sedangkan citra satelit, didapat gambaran pertumbuhan awan Cb dan kenaikan suhu puncak awan. Kata kunci : hail, hujan es, citra satelit, awan cumulonimbus, SATAID * Penulis penanggung jawab i Rahmah Hidayati, dkk, Analisis Kejadian Hujan Es di Wilayah Bandung… ABSTRACT ANALYSIS OF HAILSTONE AT TERRITORIAL BANDUNG BASES ATMOSPHERIC CONDITION AND SATELLITE IMAGE Phenomena of hail or hailstone is an extreme phenomenon that rarely happens in territorial of Indonesia because Indonesia have freezing level one that higher relative than another state. Its form that as particulate as ice becomes an attraction for society, and sometimes welcomes enthusiastically. Actually if hailstone happens in huge number can cause damage for environtmentally. Process of hailstone have a close relationship with environmental change such as changed of temperature, humidity and atmospheric pressure that cans be directive deeping to see some sign when hailstone is happen. To analyze what happen when hailstone is occur at territorial Bandung, there are some technique that can utilized, they are analyze condition of surface weather technique and satellite image data technique. Analyze condition of surface weather technique can show some sign that happening before, while and after hailstone with make graphs that use weather element concerning. From that technique gets to be seen by behaviour deviates from hailstone. Meanwhile for observation by satellite image can be utilized to be able to know image picture who can show appearance Cumulunimbus's cloud (Cb) and the effect is downpour until hailstone. from this technique can also know the top of cloud temperature , which is significant decreased happening when Cb's cloud is formed. The result of surface weather condition technique analysis,there are some sign that show indication of hailstone as we can see from graphs that we made, such as air temperature and relative humidity that show significant's ascension and atmospheric pressure that show the pattern cycles by first top is lower than second top. Meanwhile satellite image, gotten by growth picture of Cb's cloud and ascention the top of cloud temperature. Keywords : hail, hailstone, satellite image, cumulunimbus’s cloud, SATAID PENDAHULUAN Cuaca dan iklim di wilayah Indonesia mengalami suatu anomali atau penyimpangan dari keadaan normal yang berdampak negatif pada kesejahteraan makhluk hidup. Anomali ini disebabkan oleh pemanasan global yang mempengaruhi perubahan suhu, curah hujan, tekanan dan kelembaban udara, sehingga mengakibatkan cuaca ekstrem yang terjadi di wilayah Indonesia. Seperti semakin meningkatnya hujan lebat, angin puting beliung, hujan es, dan lain-lain. Fenomena hujan es biasanya terjadi pada wilayah ekstra-tropis karena memiliki lapisan beku (freezing level) yang relatif lebih rendah (Fadholi, 2012). Freezing level ini adalah ketinggian dimana lapisan atmosfer memiliki suhu 0ºC sehingga tetes air membeku. Freezing level pada wilayah tropis lebih tinggi dibanding dengan wilayah ekstra-tropis karena suhu permukaan wilayah tropis lebih tinggi daripada wilayah ektra-tropis yang suhunya lebih rendah. Hujan es juga dapat terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia yang memiliki suhu udara permukaan yang hangat dan kelembaban udara yang cukup tinggi meskipun pada musim kemarau (Karmini, 2000). Hujan es dapat terjadi di wilayah tropis jika partikel es yang jatuh ii Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 1, April 2015 dari awan Cumulonimbus bersifat kering dan memiliki ukuran yang cukup besar setelah keluar dari awan walaupun partikel es tersebut mengalami gesekan dengan udara saat jatuh. Partikel es yang jatuh sebagai hujan biasanya diikuti dengan hujan yang lebat dan kadang disertai angin kencang. Hujan yang jatuh ke bumi dapat berupa air, salju maupun es. Hujan es adalah kejadian cuaca ekstrem yang disebabkan anomali cuaca (keadaan menyimpang) berupa jatuhnya butiran es/kristal yang berdiameter kecil ke permukaan bumi. Tidak seperti hujan air, hujan es ini berbahaya dalam skala besar, dapat mengakibatkan kerusakan bagi atap rumah, pertanian bahkan penerbangan. Hujan es ini biasanya terjadi pada wilayah ektratropis tapi dapat juga terjadi pada wilayah tropis seperti Indonesia. Hujan es terjadi karena tumbuhnya jenis awan bersel tunggal berlapis-lapis (Cumulonimbus) yang dekat dengan permukaan tanah atau dapat juga berasal dari multi sel awan dengan luasan area horizontal sekitar 3-5 km yang tumbuh vertikal ke atas dengan ketinggian mencapai 30.000 feet atau lebih (Fadholi, 2012). Hujan es (hail) akan terbentuk bila partikel es atau butir air hujan yang membeku tumbuh/berkembang dengan menyerap butir-butir awan kelewat dingin. Awan Cb mengandung partikel es dan butir air besar. Hal penting yang perlu dicatat dalam pertumbuhan/pembesaran hail adalah panas laten pembekuan yang dilepaskan saat butir air yang diserap membeku. Akibat panas laten tersebut, suhu dari hail yang tumbuh akan lebih hangat beberapa derajat dibanding suhu awan di sekitarnya. Suhu keseimbangan antara hail dan awan akan tercapai bila total panas yang dilepaskan akibat pembekuan (baik dari fasa air ke padat maupun dari fasa gas ke fasa padat) sama dengan panas yang diserap oleh awan akibat konduksi. Dengan dicapainya keseimbangan suhu maka tidak ada lagi transfer panas dari hail ke lingkungannya. Laju pertumbuhan hail dapat ditentukan dengan menjumlahkan laju pertumbuhan akibat penyerapan butir air dan laju pertumbuhan akibat sublimasi (Karmini, 2000). Awan cumulonimbus adalah awan yang besar, ganas, menjulang tinggi sebagai awan hujan yang disertai angin kencang dan petir. Dasar awan Cumulonimbus antara 100-600 meter, sedangkan puncaknya dapat mencapai ketinggian 15 km atau ketinggian tropopause (Haryoko, 2009). Sebenarnya awan Cb berasal dari awan Cumulus yang kemudian membesar secara vertikal yang disebabkan labilnya lapisan udara sehingga terjadi proses konveksi dan cukupnya suplai uap air. Menurut (Haryoko, 2009), fase pertumbuhan awan Cumulunimbus (Cb) adalah sebagai berikut : - Pada fase tumbuh, awan calon Cumulunimbus akan terlihat tumbuh pesat terutama komponen vertikalnya karena seluruh gerakan atau arus dalam pertumbuhan awan bergerak ke atas sehingga tubuhnya semakin besar dan dapat menjulang tinggi di angkasa sampai ketinggian 13 km (40 ribu kaki). Substansi awan ini, semuanya berupa butiran air sampai ketinggian 5 km dan butiran air campur salju (sampai puncaknya) sekitar 8 km. Di daerah tropis, bentangan awan ini biasanya kurang dari 10 km (daerah tropis). - Fase dewasa atau matang tercapai jika puncak awan sudah membentuk landasan (bentuknya seperti tempaan sepatu) dengan bagian atas berbentuk datar karena awan padat ini mendapat tekanan dari selaput jeda (tropopause) yang sangat stabil dan panas. Pada fase ini substansinya, butiran salju di bagian bawah, bagian tengah butiran air campur salju dan bagian puncak semuanya butiran es (kristal). Pada iii Rahmah Hidayati, dkk, Analisis Kejadian Hujan Es di Wilayah Bandung… tahap ini pula, arus udara dalam tubuh awan naik (updraft) dan turun (downdraft) sehingga kristal-kristal es bisa menembus bagian bawah dan tengah. Dari sinilah lahirnya mekanisme hujan es (hail). Dan diantara arus udara naik dan turun ini terjadi arus geseran memuntir yang dalam kondisi tertentu tabung puntiran angin dapat menerobos sampai ke bumi mirip belalai gajah sehingga menimbulkan angin puting beliung. Angin puting beliung periodenya singkat kurang dari 5 menit dan mempunyai kecepatan kurang lebih 30 – 40 km/jam, sifatnya lokal dan kerusakan yang diakibatkannya kisaran radius 5 km - Fase dissipasi (pelenyapan), ditandai dengan adanya arus udara ke bawah yang lemah diseluruh sel. Fase ini disertai dengan intensitas hujan yang makin menurun dari hujan sedang menuju hujan ringan SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis) merupakan sebuah software yang dikembangkan oleh JMA (Japan Meteorology Agency. SATAID berfungsi untuk mengolah data satelit, dari data binary yang diperoleh satelit MTSAT menjadi gambar. SATAID digunakan untuk menampilkan citra satelit dan mengoverlay data prediksi cuaca numerik NWP (Numerical Weather Prediction). Data NWP terpisah dari data citra satelit, diperoleh juga dari JMA dalam satu paket dengan data citra satelit. Dengan menggunakan SATAID, pengguna dapat menampilkan dan melakukan overlay antara citra satelit dan data NWP. Dimungkinkan juga overlay berbagai macam data yang diperoleh antara lain dari data pengamatan sinoptik, kapal, suhu, radar, pencatat profil angin, dan sebagainya, dengan syarat data-data tersebut telah memiliki format yang sama sebagaimana yang diminta oleh aplikasi SATAID. Aplikasi ini dikembangkan sebagai kontribusi JMA kepada World Meteorology Organization (WMO). Saat ini SATAID telah digunakan sebagai alat operasional di JMA untuk analisis cuaca harian, termasuk pula dalam kegiatan monitoring tropical cyclone. Ada beberapa variasi program SATAID seperti GMSLPD yang dikhususkan untuk analisa siklon tropis (Harsa, Linarka, dkk,2011). METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode deskriptif analitik. Terdapat tiga parameter yang dijadikan acuan dalam penelitian ini, seperti suhu udara, kelembaban relatif dan tekanan udara. Data parameter tersebut merupakan data sekunder yang diperoleh dari stasiun BMKG klas I Geofisika. Data yang diambil adalah data rata-rata tiap jam dari masing-masing kejadian. Kemudian dicari tanggal kejadian hujan es dan diperoleh 10 kejadian dari media online. Data parameter didistribusikan menjadi grafik tiga parameter terhadap waktu dan diamati pola perubahannya. Sedangkan untuk data citra satelit, digunakan software SATAID untuk menghasilkan gambaran citra awan saat terjadi hujan es. Berdasarkan hasil grafik dan SATAID, diperoleh ciri-ciri kejadian hujan es di permukaan dan di atmosfer. Maka kedua teknik ini yaitu kondisi atmosfer dan citra satelit dijadikan sebagai media verifikasi terhadap media online. HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu udara merupakan dampak dari radiasi panas matahari yang diterimabumi pada siang hari serta adanya radiasi balik yang dikeluarkan oleh bumi pada malam hari selama sehari semalam (24 jam), satu minggu, satu bulan, maupun satutahun (12 bulan). Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa dalam satu hari, suhu udara dapat bervariasi karena radiasi yang diterima atau dikembalikannya, sehingga suhu udara bergantung pada waktu dan suhu udara juga bergantung tempat, semakin tinggi suatu tempat maka suhu iv Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 1, April 2015 udaranya semakin rendah. Suhu udara pada keadaan normal, yaitu tidak ada kejadian bermakna pada hari tersebut, dimana pada siang hari akan mengalami kenaikan suhu udara dan turun pada malam harinya, hal ini digambarkan pada grafik berikut : Gambar 1. Grafik Suhu Udara Harian Parameter kedua yang dianalisis yaitu kelembaban udara relatif . Besarnya kelembaban udara bergantung pada masuknya uap air ke dalam atmosfer akibat adanya penguapan di lautan, danau dan sungai serta tanah. Selain penguapan juga terjadi proses transpirasi dimana penguapan ini berasal dari tumbuhtumbuhan. Nilai kelembaban udara relatif yang besar menandakan bahwa udara banyak mengandung uap air. Kelembaban udara relatif dinyatakan dalam keadaan normal, apabila pada pagi harinya mengalami kenaikan dan turun pada siang hari, kemudian naik lagi hingga keesokan harinya. Digambarkan dalam grafik sebagai berikut: Proses mekanik merubah tekanan udara jika aliran udara tertahan sehingga terjadi penumpukan udara di tempat tersebut dan mengakibatkan udara meningkat. Sedangkan proses thermal diakibatkan oleh pemanasan atau pendinginan udara. Jika udara dipanaskan, udara akan naik dan akan menggeser lapisan udara di atasnya sehingga tekanan udara di permukaan akan turun, sebaliknya, jika udara didinginkan, udara akan turun ke permukaan dan menyebabkan tekanan permukaan akan naik. Pada keadaan tekanan udara normal, akan terbentuk pola berulang, dimana pagi hari tekanan udara akan naik, dan menurun pada siang harinya, kemudian naik lagi pada sore harinya dan turun pada malam hari hingga besok. Berikut digambarkan grafiknya: Gambar 3. Grafik Tekanan Udara Harian Untuk dapat mengetahui ciri-ciri hujan es, akan dianalisa pola grafiknya apakah menyimpang dari keadaan normalnya atau tidak, sehingga dapat dihipotesakan ada kejadian bermakna seperti hujan lebat, angin kencang bahkan hujan es. 22 Oktober 2014 Gambar 2. Grafik Kelembaban Udara Harian Dan parameter ketiga yaitu tekanan udara. Tekanan udara di permukaan bumi disebabkan proses mekanik dan thermal. v Rahmah Hidayati, dkk, Analisis Kejadian Hujan Es di Wilayah Bandung… Gambar 6. Grafik Tekanan Udara Indikasi Hujan Es Gambar 4. Grafik Suhu Udara Indikasi Hujan Es Pada grafik suhu udara Gambar 4, terdapat penurunan suhu udara permukaan sebesar 4,2°C pada jam 15.00-16.00 WIB. Hal ini dapat terjadi karena fenomena cuaca yang berasal dari awan Cb, yaitu hujan lebat yang disertai guntur atau angin kencang. Penurunan suhu ini juga terjadi karena saat pertumbuhan/ pembesaran hail, panas laten pembekuan yang dilepaskan saat butir air yang diserap membeku dan berakibat, suhu dari hail yang tumbuh akan lebih hangat beberapa derajat dibanding suhu awan disekitarnya. Gambar 5. Grafik Kelembaban Udara Indikasi Hujan Es Pada kelembaban relatif terjadi penurunan secara drastis pada siang hari dan kemudian langsung naik drastis pada jam 13.00 WIB hingga keesokan harinya. Kenaikan kelembaban yang signifikan digambarkan pada grafik, dimana massa udara yang masuk ke atmosfer mengandung banyak uap air sehingga menyebabkan ketidakstabilan udara yang dapat mengakibatkan proses konveksi yang berbahaya dalam bentuk angin kencang dan hujan es. Pada tekanan terjadi pola berulang dengan 2 puncak dan 2 lembah, dengan puncak pertama lebih rendah daripada puncak kedua. Dan lembah pertama sangat rendah pada jam 14.00-15.00 WIB. Tekanan udara mengalami penurunan/ kenaikan karena proses thermal. Apabila udara dipanaskan maka akan naik dan akan menggeser lapisan udara di atasnya sehingga tekanan udara akan turun. Sebaliknya, jika udara didinginkan maka udara akan turun ke permukaan sehingga menyebabkan tekanan permukaan naik. Wilayah yang suhunya relatif lebih hangat akan memiliki tekanan udara lebih rendah dibanding wilayah yang lebih rendah suhunya. Pada analisis diatas, kejadian hujan es tanggal 22 Oktober 2011 terjadi pada jam 15.00 WIB. Hal ini sesuai dengan gambar 4.7 yang terjadi pada pukul 15.00 – 15.30 WIB. Untuk mendukung analisa diatas, maka berikut ditampilkan sumber dari berita online yang menegaskan terjadinya hujan es pada tanggal 22 Oktober 2011 di Bandung : Gambar 7. Sumber Berita Online [http://news.detik.com/bandung/read/2011/10/22/15 3052/1750052/486/hujan-es-landa-sebagian-kotabandung vi Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 1, April 2015 Untuk melihat perubahan yang terjadi pada saat sebelum dan sesudah terjadinya hujan es, dapat digunakan Software SATAID yang data nya diperoleh dari satelit MTSAT. Dengan menggunakan software SATAID dapat menghasilkan gambaran citra di atas awan tiap jamnya. Hasilnya sebagai berikut: pukul 09.00 UTC dan lenyap pada pukul 10.00 UTC. Setelah satu sel awan konvektif lenyap, terlihat satu sel awan konvektif yang lain muncul, dan menutupi kota Bandung pada pukul 11.00 UTC yang mengindikasikan terjadinya hujan dengan curah hujan menunjukkan kondisi hujan ringan yaitu 3,5mm dalam satu jam. Gambar 4.11. Citra Satelit wilayah Bandung tanggal 22 Oktober 2011 Pada citra satelit ini terlihat pada pukul 07.00 UTC mulai muncul sel awan konvektif di wilayah Bandung. Sel awan konvektif tersebut kemudian meluas sehingga menutupi seluruh Bandung pada Berdasarkan Gambar 12 terlihat pertumbuhan awan terjadi pada pukul 08.00 UTC dari 0º hingga mencapai puncaknya pada pukul 10.00 UTC dengan suhu puncak awan sebesar -70ºC. Rendahnya suhu puncak awan ini vii Rahmah Hidayati, dkk, Analisis Kejadian Hujan Es di Wilayah Bandung… mengindikasikan jenis awan konvektif di wilayah Bandung adalah awan Cb. Diperkirakan terdapat beberapa sel awan Cb sehingga menyebabkan tutupan awan yang melingkupi wilayah Bandung bertahan dalam waktu yang cukup lama hingga akhirnya meluruh pada pukul 12.00 Sedangkan berdasarkan kontur suhu puncak awan pada Gambar 13 yang diperoleh dari software SATAID, terlihat kumpulan awan solid pada pukul 17.00 WIB dengan suhu inti awan mencapai 75ºC dan suhu awan sekitar sebesar -50ºC, yang mengindikasikan terjadinya hujan es di wilayah Bandung. Suhu puncak awan yangmengindikasikan adanya hujan yaitu < -32.0 °C, sehingga wilayah yang memiliki nilai lebih kecil dari nilai tersebut mengindikasikan hujan. Gambar 12. Time Series Suhu Puncak Awan UTC. Pukul 03.47 UTC Pukul 06.47 UTC Pukul 04.47 UTC Pukul 05.47 UTC Pukul 07.47 UTC Pukul 08.47 UTC viii Fibusi (JoF) Vol. 3 No. 1, April 2015 Pukul 09.47 UTC Pukul 10.47 UTC Pukul 11.47 UTC Gambar 13. Kontur suhu puncak awan KESIMPULAN 1. Kondisi atmosfer saat terjadi hujan es yaitu meningkatnya suhu permukaan karena tumbuhnya awan Cb disertai hujan 2. Perbandingan keadaan saat terjadi hujan es dengan teknik analisis permukaan yaitu pada suhu ditandai dengan turunnya suhu udara secara signifikan. Sedangkan kelembaban relatif, ditandai dengan keadaan menyimpang naiknya kelembaban secara signifikan pada suatu waktu. Dan terdapat pola berulang pada tekanan udara, dengan puncak pertama lebih rendah dibanding puncak kedua. 3. Dengan teknik analisis citra satelit, didapat gambaran pada kondisi indikasi hujan es akan tumbuh awan Cb dan suhu udara puncak awan mengalami penurunan yang tajam. REFERENSI Fadholi, A. (2012). Analisa Kondisi Atmosfer pada Kejadian Cuaca Ekstrem Hujan Es (Hail). Simetri, Jurnal Ilmu Fisika Indonesia, 1 (2(D)), hlm. 74-80. Harsa, H , Utoyo Ajie Linarka dkk . 2011. Pemanfaatan SATAID untuk Analisa Banjir dan Angin Putting Beliung : Studi Kasus Jakarta dan Yogyakarta. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, 12 (2), hlm. 197205. Haryoko, U. 2009. Laporan Kejadian Angin Kencang di Wilayah DKI Jakarta Tanggal 22 April 2009. Tangerang : BMKG. Karmini, M. 2000. Hujan Es (hail) di Jakarta, 20 April 2000. Jurnal Sains dan teknologi Modifikasi Cuaca, 1 (1), hlm. 27-32. ix