PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT DALAM PROSES PERADILAN Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Endang Pujiastuti NIM. E. 0004153 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT DALAM PROSES PERADILAN Disusun Oleh : ENDANG PUJIASTUTI NIM : E. 0004153 Disetujui untuk dipertahankan Dosen Pembimbing Bambang Santoso, S.H., M.Hum. NIP.131863797 ii PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi ) PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT DALAM PROSES PERADILAN Disusun Oleh : ENDANG PUJIASTUTI NIM : E. 0004153 Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : …………………. Tanggal : …………………. TIM PENGUJI 1. : ……………………………………. Ketua 2. : ……………………………………. Sekretaris 3. : ……………………………………. Anggota MENGETAHUI Dekan, Moh. Jamin, S.H.M.Hum NIP. 131 570 154 iii MOTTO v Tiada yang dapat kita lakukan melainkan atas usaha yang sungguh-sungguh disertai do’a dan bertawakal kepadaNya. v Jujur tidak akan membuat diri kita hancur, melainkan akan membawa kita menjadi orang mujur, oleh karena do’a-do’a kita yang manjur. v Bermimpilah tentang apa yang ingin kamu impikan. Jadilah seperti yang kamu inginkan karena kamu hanya memiliki satu kehidupan dan satu kesempatan. (Endang Pujiastuti) iv HALAMAN PERSEMBAHAN Penulisan Hukum Ini Kupersembahan Kepada : 1. Yang Maha Kuasa, sumber dan pangkal segala pengetahuan. 2. Keluargaku - Bapak dan Ibu yang telah memberi motivasi dan semangat juang karena merekalah penulisan hukum ini tercipta. - Adietku, yang tak pernah lelah dan tak pernah mengeluh mengorbankan waktunya untukku. - Adikku – Yunita, yang selalu memberi keceriaan. - Tanteku – Terry dan Erny yang tak pernah mengeluh untuk membantuku dan keluargaku. 3. Teman-temanku - Evani, yang telah memberi banyak bantuan dan tak pernah lelah mendorongku untuk segera menyelesaikan penulisan hukum ini. - Erika, yang selalu memberikan waktunya untuk tempatku mengadu dan mengeluh. - Astrie, yang banyak membantuku dalam kesulitan. - Teman-temanku semua angkatan 2004 yang selalu memberi warna dalam hidupku. 4. Almamaterku – Fakultas Hukum UNS, yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan untuk mengarungi kehidupan ini. v KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang senantiasa memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kita semua makhluk-makhluk ciptaanNya. Merupakan kebahagiaan tak tertikar bagi penulis, oleh karena akhirnya dapat menyelesaikan penulisan hukum ini yang berjalan kurang lebih satu semester ini. Penyelesaian penulisan hukum ini memakan waktu cukup lama oleh karena beberapa hal, yaitu kesibukan penulis yang juga harus membagi waktu untuk menyelesaikan tugas-tugas kuliah lainnya serta faktor internal penulisan hukum ini. Penulisan hukum ini merupakan hal baru, atau setidaknya merupakan salah satu tema yang belum pernah diangkat sebelumnya oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta serta karena permasalahan contempt of court sedang hangat dan marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Satu sisi merupakan kebanggaan dan kepuasan batin tersendiri, di sisi lainnya banyak kendala yang dihadapi penulis, yaitu referensi yang berkaitan dengan judul ini sangat sedikit dan susah untuk dicari keberadaannya. Namun penulis tidak berputus asa karena terdorong oleh motivasi yang cukup kuat, yaitu idealisme penulis untuk menghasilkan karya ilmiah yang dapat menambah literatur ilmiah dan menjadi landasan teoritis untuk dikaji melalui karya ilmiah selanjutnya. Terdapat beberapa pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis menyelesaikan penulisan hukum ini. Oleh karena itu penulis merasa berkewajiban mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut : 1. Bapak Moh Yamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. vi 2. Bapak Edi Herdiyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini., khususnya dalam penunjukan Dosen Pembimbing Skripsi. 3. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum selaku pembimbing penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini. 4. Ketua Bagian PPH Bapak Lego Karjoko S.H., M.Hum dan anggota PPH Bapak Teguh Santoso, SH.MH. yang banyak membantu penulis dalam konsultasi judul skripsi. 5. Bapak Moch. Najib I, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama proses perkuliahan di Fakultas Hukum UNS. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini. Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua, terutama untuk penulisan, akademisi, praktisi serta masyarakat umum. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Surakarta, Januari 2008 Penulis ENDANG PUJIASTUTI vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii MOTTO ........................................................................................................... iv PERSEMBAHAN............................................................................................ v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI.................................................................................................... viii ABSTRAK ....................................................................................................... x BAB I : PENDAHULUAN ..................................................................... 1 A. Latar Belakang ...................................................................... 1 B. Perumusan Masalah ............................................................. 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................. 5 D. Manfaat Penelitian ............................................................... 5 E. Metode Penelitian ................................................................ 6 : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 10 A. Kerangka Teoritis.................................................................. 10 BAB II 1. Tinjauan Umum Tentang Peradilan dan Proses Mengadili ........................................................................ 2. Tinjauan BAB III Tentang Kekuasaan Kehakiman 11 dan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim .......... 16 3. Tinjauan Umum Tentang Contempt of Court ................. 25 B. Kerangka Pemikiran ............................................................. 31 : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................... 35 A. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Dalam Hal Terjadi Contempt of Court Dalam Proses Peradilan ........................ 35 B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Pengadilan Negeri Surakarta Dalam Menerapkan Pasal-Pasal Contempt of Court Dalam Proses Peradilan .............................................. viii 55 BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 58 A. Kesimpulan ........................................................................... 58 B. Saran ..................................................................................... 59 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ix ABSTRAK ENDANG PUJIASTUTI, E.0004153, PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT DALAM PROSES PERADILAN, Penulisan Hukum, 2008, 60 halaman. Penulisan hukum ini bertolak dari perumusan masalah bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan dan hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menindak aksi contempt of court. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : jenis penelitian empiris-kualitatif, jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, sumber data berasal dari pihak yang berhubungan dengan permasalahan ini yaitu Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan dokumen-dokumen kepustakaan, yaitu KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Keputusan Mahkamah Agung Nomor KMA / 104 A / SK / XII / 2006 tentang Perilaku Hakim, KepMenKeh No. 01/M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, teknik pengumpulan data berupa wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dan studi kepustakaan, serta teknik analisis data analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat dikemukakan bahwa Hakim Pengadilan Negeri Surakarta jarang yang mengalami aksi Contempt of Court. Selalu menjaga wibawa, profesional, adil dan tegas dalam memimpin sidang dan memiliki pengetahuan hukum yang luas merupakan cara hakim Pengadilan Negeri Surakarta agar terhindar dari aksi Contempt of Court. UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap martabat Hakim sebagaimana dapat kita lihat dalam materi yang dimuat. Hambatanhambatan yang dihadapi oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal mencegah ataupun menangani aksi contempt of court antara lain : kurangnya kerjasama antar aparat penegak hukum sendiri, keputus asaan hakim karena jarangnya sebuah aksi contempt of court yang telah membahayakan dirinya ketika dilaporkan tidak ada tindak lanjutnya, ancaman pihak-pihak tertentu yang menyangkut keselamatan diri Hakim, pelaku aksi contempt of court yang biasanya bergerombol tidak sebanding dengan jumlah aparat yang menjaga keamanan sidang. Agar tidak lagi terjadi aksi contempt of court atau setidaknya mengurangi jumlah aksi contempt of court yang semakin marak terjadi maka penulis memberi saran-saran : hendaknya para hakim lebih tegas untuk menindak aksi tersebut agar lembaga peradilan Indonesia tetap dihormati, perlunya pengawalan ketat terhadap proses persidangan dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat. x BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ditegaskan dalam pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum. Hal ini berarti bahwa negara Republik Indonesia ialah negara hukum yang demokratis berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya (Kansil, 1993 : 175). Konsep rechsstaat ini bertumpu pada aspek legalitas dalam kerangka adanya aturan perundang-undangan yang tertulis dan berintikan kepastian. Ia lahir dari suatu perjuangan yang menentang absolutisme, sehingga dapat dikatakan sangat revolusioner. Saat ini, Indonesia telah memasuki era baru pemerintahanya. Era yang dimaksud adalah Reformasi. Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Di Indonesia reformasi umumnya merujuk pada gerakan mahasiswa tahun 1998 yang menjatuhkan kekuasaan Presiden Soeharto atau era setelah orde baru. Indonesia yang sedang dilanda semangat reformasi yang dikumandangkan masyarakat luas, hasilnya sedikit banyak membawa pengaruh dalam segala bidang, baik politik, ekonomi, budaya, pertahanan keamanan, termasuk juga dalam bidang hukum. Hal ini tercermin melalui dibentuknya Undang-undang di bidang kekuasaan kehakiman agar sesuai dengan semangat reformasi yaitu dengan mengganti UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 35 Tahun 1999 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Terbentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman telah membawa angin segar terhadap perubahan pada sistem peradilan di Indonesia. 1 xi Reformasi hukum yang menjadi dambaan masyarakat ditujukan pada tegaknya kewibawaan hukum, yang mana kewibawaan hukum tersebut meliputi adanya legalitas Undang-Undang, diterapkannya Undang-Undang tersebut, serta peningkatan sumber daya manusia aparat penegak hukum. Kewibawaan hukum itu ada jika kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegak hukum itu ada. Menurut Fitri Ayuningsih (2007:2), dalam membicarakan pembangunan hukum, termasuk di dalamnya adalah penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana (Integrated Criminal Justice System). Untuk itu perlu semakin dimantapkan peran dan kedudukan penegakan hukum supaya terwujud peningkatan kemampuan dan kewibawaannya. Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan pencegahan maupun usaha pemberantasan atau penindakan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Peningkatan kemampuan penegak hukum ini penting karena kebanyakan para penegak hukum Indonesia sudah dibiasakan dididik sebagai calon penerap hukum bukan sebagai calon ahli hukum yang dapat memperbaharui hukum. Seringkali dijumpai berbagai produk hukum seperti undang-undang yang gagal dalam menjerat pelaku kejahatan karena sifatnya yang memiliki celah dan ini merupakan tantangan bagi penegak hukum untuk terus meningkatkan moral dan kredibilitasnya, mengabdi pada hukum sehingga keadilan dapat terwujud. Akhir-akhir ini sering terlihat baik secara langsung ataupun melalui media, suasana ruang sidang yang rusuh tanpa aturan. Para pengunjung sidang terlihat berteriak-teriak, memakai topeng atau bahkan melempar kursi ke arah majelis hakim. Tak jarang pula terjadi perselisihan antara penasehat hukum dengan ketua majelis hakim yang diakhiri pengusiran penasehat hukum tersebut dari ruang persidangan. Salah satu contoh yang mewakili tindakan anarkhis tersebut adalah kasus persidangan seorang aktris bernama Lidya xii Pratiwi, dimana saat ia menjalani proses sidang sebagai terdakwa kasus pembunuhan Naek Gonggong Hutagalung, ia terkena pukulan keras dari salah satu pengunjung sidang sampai ia pingsan, sesaat setelah hakim mengetuk palu menandai usai persidangan. Seringnya terlihat gejala, baik secara individu maupun bersama-sama yang kurang menghargai jalannya persidangan adalah contoh akibat dari hilangnya kepercayaan terhadap aparat dan lembaga penegak hukum di Indonesia sekarang ini. Fenomena aksi massa baik yang menyerang hakim langsung atau mengeluarkan kata-kata kasar di ruang sidang terjadi hampir di seluruh wilayah Negara Indonesia. Sidang-sidang peradilanpun semakin rawan dari aksi brutal. Hal ini tidak lepas dari masalah integritas penegak hukum. Jika hakim tidak mempunyai integritas yang baik, maka ia tidak akan dihormati. Terjadinya pelecehan terhadap institusi peradilan dan orang-orang yang menggerakkannya tidak serta merta kesalahan lembaga peradilan semata. Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum juga ikut berperan dalam terjadinya kerusuhan tersebut. Banyak warga belum memahami mekanisme beracara karena informasi yang tersedia di pengadilanpun minim. Berbagai situasi yang digambarkan di atas kerap terjadi dalam proses persidangan di Indonesia. Tindakan-tindakan pelecehan terhadap peradilan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai tindakan tersebut makin sering terjadi semenjak bergulirnya era reformasi yang lebih bebas. Tindakan dan situasi yang terjadi di persidangan seperti yang disebutkan di atas dikatakan sebagai tindakan contempt of court. Istilah contempt of court sebenarnya berasal atau lahir dari sistem hukum common law pada beberapa abad yang lampau. Masalah contempt of court menjadi aktual dibicarakan dan dibahas di Indonesia menyusul terjadinya peristiwa yang dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap martabat pengadilan oleh advokat Adnan Buyung Nasution bulan Januari 1986 (Hamzah Andi dan Bambang Waluyo, 1989 : 9). xiii Kewibawaan seorang hakim sangat diperlukan pada saat ia mendapatkan perlakuan tidak pantas dari pengunjung sidang. Hakim bisa bertindak menggunakan pasal-pasal contempt of court yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Dengan demikian, di Indonesia, perlindungan terhadap peradilan, baik secara preventif (pencegahan) maupun represif (penghukuman) sebenarnya telah ada. Walaupun telah ada pengaturan terhadap setiap usaha untuk mencemarkan pengadilan baik berupa gangguan, hambatan, tantangan maupun ancaman, berupa KUHP dan KUHAP, namun kenyataannya hakim hampir tidak pernah menggunakan ketentuan tersebut ketika terjadi pelecehan terhadap dirinya maupun terhadap institusi peradilan. Bertilik tolak dari latar belakang permasalahan di atas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut dalam perspektif yuridis mengenai pasal-pasal contempt of court oleh hakim, dalam sebuah penulisan hukum yang berjudul : “PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MARTABAT HAKIM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DALAM HAL TERJADI CONTEMPT OF COURT DALAM PROSES PERADILAN”. B. Perumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil yang diharapkan. Berdasarkan pada masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan ? 2. Hambatan apa saja yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menerapkan pasal-pasal contempt of court dalam proses peradilan? xiv C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas. Hal ini diperlukan untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Selain itu penelitian bertujuan untuk dapat mengetahui Metode dan Kombinasi Metode Penelitian manakah yang paling baik dan mengetahui dan dapat digunakan dalam masing-masing macam penelitian. (Sunarjati Hartono, 1994 : 11). Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan diadakan penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui jenis tindakan contempt of court yang pernah dialami oleh hakim Pengadlan Negeri Surakarta dan untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan. b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh para hakim Pengadilan Negeri Surakarta berkenaan dengan penerapan pasal-pasal contemp of court dalam proses peradilan. 2. Tujuan Subyektif a. Guna memperdalam pengetahuan penulis mengenai hukum acara pidana, terkhusus dalam hal tindakan contempt of court yang akhirakhir ini sering terjadi di Indonesia. b. Guna meningkatkan dan mendalami berbagai teori yang telah penulis peroleh selama berada di bangku kuliah. c. Sebagai salah satu syarat dalam menunjang kelulusan penulis pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan dunia penegakan hukum pada umumnya, serta terkhusus dalam Ilmu Hukum Acara Pidana, yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap tindakan contempt of court, serta menambah kepustakaan dan bahan-bahan xv informasi ilmiah, mengingat seringnya terjadi aksi-aksi contemp of court di Indonesia akhir-akhir ini. 2. Manfaat Praktis a. Untuk lebih mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mengukur sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberikan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti. c. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan perlindungan hukum terhadap martabat hakim dari tindakan contempt of court dan hambatan pelaksanaan pasal-pasal contempt of court oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta. E. Metodologi Penelitian 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Mengacu pada perumusan masalah, maka penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam jenis penelitian empiris. Sedangkan ditinjau dari metodenya, penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan data berupa kata-kata, gambar-gambar serta informasi verbal atau normatif verbal atau normatif dan bukan bentuk angka-angka (Soerjono Soekanto, 1986 : 10). 2. Sifat Penelitian Dalam melakukan penelitian ini dipilih penelitian yang bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksud untuk memberi data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 1986 : 10). Dalam penelitian ini penulis ingin menemukan dan memahami gejala-gejala yang diteliti dengan cara penggambaran yang xvi seteliti-telitinya untuk mendekati obyek penelitian maupun permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu mengenai pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan. 3. Lokasi Penelitian Penelitian diadakan di Pengadilan Negeri Surakarta. 4. Jenis Data a) Data Primer Adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Dalam penelitian ini data diperoleh langsung dari Pengadilan Negeri Surakarta. b) Data Sekunder Adalah data pendukung data primer yaitu diperoleh dari buku, dokumen, laporan, peraturan perundang-undangan, internet dan lainlain. 5. Sumber Data a) Sumber Data Primer Yaitu sumber data yang langsung diperoleh dari pihak yang berhubungan dengan permasalahan termasuk dalam hal ini yang menjadi sumber data primer adalah Hakim Pengadilan Negeri Surakarta. b) Sumber Data Sekunder (1) Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaidah dasar, Peraturan Perundang-Undangan seperti KUHP, KUHAP, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, dan sebagainya. xvii (2) Bahan hukum sekunder, yaitu rancangan Undang-Undang, hasil karya dari kalangan hukum, hasil-hasil penelitian yang terkait dengan pokok bahasan yang peneliti kaji. (3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan sebagainya. 6. Teknik Pengumpulan Data a) Wawancara / Interview Yaitu pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab secara langsung dengan responden yang berhubungan dengan objek penelitian. Wawancara yang penulis lakukan di Pengadilan Negeri Surakarta adalah dengan hakim Pengadilan Negeri Surakarta. b) Studi Kepustakaan Yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan tertulis berupa buku-buku, dokumendokumen resmi, peraturan perundang-undangan serta sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 7. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Adapun model analisis data yang penulis pergunakan adalah interaktive model of analysis, atau model analisis interaktif yaitu : proses analisis dengan menggunakan tiga komponen yang terdiri dari reduksi data, sajian data dan kemudian penarikan kesimpulan (verifikasi) yang diaktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus antara tahap-tahap tersebut. (HB. Soetopo, 1998 : 40). xviii Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Penarikan Kesimpulan / Verifikasi Gambar 1. Skema Interaktive Model of Analysis Keterangan : Dari bagian di atas dapat dilihat bahwa proses analisis model interaktif bersifat berputar (proses siklus) dan saling melengkapi (interaktif). Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang jalin menjalin pada saat dan sesudah pengolahan data. Dengan cara ini kesimpulan yang didapat sebagai hasil akhir benar-benar merupakan hasil kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan. 8. Sistematika Penulisan Hukum Halaman Judul Halaman Pengesahan Halaman Motto dan Persembahan Abstrak Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN xix Dalam bab ini, penulis akan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian serta manfaat penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dibahas mengenai dua hal, yaitu yang pertama adalah kerangka teori yang meliputi tinjauan umum tentang peradilan dan prosesnya, tentang hakim dan kekuasaan kehakiman dan tentang contempt of court sendiri. Kedua adalah kerangka teori yang akan membahas tentang hal-hal yang menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian dan mengambil judul skripsi tentang Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim Dalam Hal Terjadi Contempt Of Court Dalam Proses Peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, diuraikan hasil penelitian dan pembahasan tentang pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan di Pengadilan Negeri Surakarta. BAB IV PENUTUP Dalam bab akhir ini berisi kesimpulan dan saran. Pada kesimpulan merupakan pemecahan terhadap permasalahan yang dirumuskan. Pada bagian saran merupakan sumbangan pemikiran dalam praktik peradilan baik untuk institusi pengadilan dan orang-orang yang menggerakkan juga untuk masyarakat agar lebih paham dan mengerti cara bersikap di negara hukum ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xx xxi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Peradilan dan Proses Mengadili Peradilan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peradilan umum, khususnya peradilan pidana Indonesia. Yang dimaksud peradilan pidana Indonesia adalah sebagai suatu proses dari mulai kepolisian hingga Lembaga Permasyarakatan. Proses tersebut melalui empat tahapan, yaitu penyelidikan oleh lembaga kepolisian, penuntutan oleh lembaga kejaksaan, pemeriksaan dan pengambilan putusan oleh lembaga pengadilan, dan penghukuman terdakwa atau narapidana oleh lembaga permasyarakatan. Peradilan haruslah dilakukan berdasar asas “Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.” Hal ini juga berarti di dalam mengadili, haruslah menurut hukum dan ketentuan yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan orangnya. Pada hakekatnya, proses mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana, berdasar asas : a. Perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan jika ada perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan Undang-Undang. b. Bebas, jujur, dan tidak memihak di dalam sidang pengadilan. Tidak memihak di sini maksudnya bahwa hakim harus mengambil keputusan yang seadil-adilnya, sehingga yang benar tidak merasa dirugikan atas keputusan tersebut. Hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hakim juga tidak menjalankan perintah dari pemerintah. 11 xxii c. Adanya kesempatan untuk memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya. d. Sidang terbuka, dimana pemeriksaan dijalankan secara objektif dan dihadiri khalayak ramai dengan tertib agar dapat mengikuti atau mengawasi jalannya pemeriksaan. e. Pembuktian, dimana tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian kecuali diatur lain dalam Undang-Undang. Di dalam lembaga peradilan, Mahkamah Agung merupakan lembaga pengadilan negeri tertinggi. Dalam hal memeriksa, mengadili dan memutus perkara, maka dilakukan oleh sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota. Sidang juga dibantu oleh seorang panitera (atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera). Proses peradilan ini di awali dengan tahap penerimaan perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum. Selanjutnya Ketua Pengadilan mempelajari apakah perkara tersebut termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya atau bukan. Apabila Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara tersebut bukan termasuk wewenang Pengadilan yang dipimpinnya, maka ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang dianggap berwenang mengadili dengan suatu surat penetapan yang memuat pula alasannya (Pasal 148 KUHAP). Proses selanjutnya adalah pemeriksaan perkara dalam persidangan. Pemeriksaan tersebut harus sesuai dengan hukum dan ketentuan yang berlaku dengan tidak membeda-bedakan orangnya, berdasar asas “Demi Keadilan Berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adapun proses pemeriksaan persidangan secara garis besar yaitu : xxiii a. Penunjukan Hakim atau Majelis Hakim dan penentuan hari dan tanggal sidang. Dalam Pasal 152 KUHAP setelah Pengadilan Negeri menerima pelimpahan perkara dari Penuntut Umum tersebut dan berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk kewenangannya, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan Hakim yang ditunjuk itu lalu menetapkan hari sidang. b. Pemeriksaan Sidang Pada awal persidangan, Hakim Ketua Sidang meneliti tentang identitas lengkap Terdakwa yang meliputi: nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan serta mengingatkan Terdakwa agar memperhatikan sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang (Pasal 155 ayat (1)). c. Pembacaan Surat Dakwaan . Pada awal persidangan dibacakan surat dakwaan oleh Penuntut Umum. Dalam Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, diisyaratkan agar surat dakwaan disusun secara cermat, jelas dan lengkap. Maksudnya agar dakwaan tersebut dapat dengan mudah dimengerti, terutama oleh Terdakwa. d. Keberatan Terdakwa atau Penasehat Hukum (Eksepsi). Keberatan dapat berupa Pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan. Atas eksepsi tersebut Penuntut Umum diberi kesempatan untuk menaggapi kemudian Hakim mengambil putusan atas eksepsi tersebut. Bila eksepsi diterima maka perkara tidak diperiksa labih lanjut. Tapi apabila eksepsi ditolak atau Hakim berpendapat bahwa hal tersebut baru dapat diputus setelah pemeriksaan selasai maka sidang dilanjutkan (Pasal 156 KUHAP). xxiv e. Pemeriksaan Alat-Alat Bukti. Penuntut Umum yang telah mengajukan terdakwa kehadapan sidang pengadilan dengan dakwaan telah melakukan suatu tindak pidana, berkewajiban membuktikan perbuatan dan kesalahan Terdakwa dalam tindak pidana tersebut. Alat-alat bukti tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (Pasal 184 ayat (1) KUHAP). Minimal adanya 2 alat bukti yang sah karena menurut Pasal 183 KUHAP Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali dengan sekurangkurangnya 2 alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwa bersangkutanlah yang melakukannya. Setelah pemeriksaan alat-alat bukti oleh Penuntut Umum, maka pemeriksaan dinyatakan selesai. Kepada Penuntut Umum diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan pidana yang berisi uraian tentang dakwaan, pembuktian yang telah dilakukan, kesimpulan hasil pembuktian, pertimbangan tentang hal-hal yang memberatkan dan halhal yang meringankan serta tuntutan hukuman. Kemudian Terdakwa atau Penasehat Hukum diberi kesempatan untuk mengajukan pembelaan. Setelah selesai proses tuntutan pidana dan pembelaan, Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa pemeriksaan perkara tersebut ditutup. Tapi sidang yang telah dinyatakan tertutup tersebut dapat dibuka sekali lagi, hal ini berguna sebagai bahan musyawarah Hakim dalam rangka mengambil keputusan. f. Musyawarah Majelis Hakim. Adalah musyawarah yang diadakan antara Hakim Ketua Majelis dan para Hakim Anggota (Majelis), guna mengambil putusan dalam perkara yang bersangkutan (Harun M. Husein, 1992 : 21). xxv g. Putusan Pengadilan. Adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Sebelum menjatuhkan putusannya Hakim harus memperhatikan serta mengusahakan sedapat mungkin jangan sampai putusan yang akan disampaikan nanti memungkinkan timbulnya perkara baru. Untuk itu Hakim harus memperhatikan 3 Faktor yang diterapkan secara proporsional, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan (Sudikno Mertokusumo, 1993 : 1670). Dalam hal putusan, semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan pengadilan memuat alasan dan dasar putusan, serta pasal-pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Terkait dengan hak untuk menolak putusan maka disediakan berbagai upaya hukum antara lain : 1) Biasa a) Verzet (upaya hukum terhadap putusan eksepsi) b) Banding (upaya hukum terhadap putusan pemindanaan) Upaya banding dapat diajukan oleh terdakwa / penasehat hukumnya atau oleh Penuntut Umum karena tidak puas dengan putusan Pengadilan Negeri. Pengecualian banding : (1) Putusan bebas (2) Lepas dari segi tuntutan hukum berkenaan dengan kurang tepatnya penerapan hukum. (3) Putusan dalam acara cepat c) Kasasi Alasan mengajukan kasasi : (1) Terdapat kelalaian adalam hukum acara (vormverzuim) xxvi (2) Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan. (3) Tidak melaksanakan caramelakukan peradilan sesuai Undang-Undang. 2) Luar biasa a) Kasasi demi kepentingan hukum.Hanya diajukan oleh Jaksa Agung demi keputusan hukum dan tidak merugikan pihak manapun (259 KUHAP). b) PK (http://te-effendi-acara.blogspot.com) 2. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim a. Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri pula suatu negara hukum. The Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 dinyatakan sebagai berikut : “Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligation and of any criminal charge against him.” (Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibankewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya). Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut : “Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law”. (Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang berkuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar negara atau undang-undang) (Andi Hamzah, 2002 : 95). xxvii Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, dalam arti ia bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, bebas dari tekanan, paksaan maupun rekomendasi yang datang dari kekuasaan ekstra yudisial. Hakim-hakim dalam semua tingkatan mempunyai kewenangan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya yang dilandasi oleh UUD 1945 dan Pancasila, serta selalu mendasarkan putusannya kepada hukum, kebenaran dan keadilan. UUD 1945 juga menjamin adanya suatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka, yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Didalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 dengan tegas disebutkan bahwa : “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para Hakim”. Kemudian tentang Kekuasaan Kehakiman yang merdeka juga ditegaskan kembali baik dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Makamah Agung maupun dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekusaan Kehakiman. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. xxviii b. Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan yang ditetapkan oleh Undang-undang. Di Indonesia, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004). Badan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud adalah badan peradilan dalam lingkungan : 1) Peradilan Umum 2) Peradilan Agama 3) Peradilan Militer 4) Peradilan Tata Usaha Negara c. Pengertian Hakim Secara umum hakim dapat diartikan sebagai pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan, dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Kekuasaan hakim berbeda-beda di setiap negara. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Hakim haruslah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. d. Tugas Hakim Dari perspektif yuridis, hukum Indonesia menganut sistem Eropa Kontinental. Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh xxix terhadap tugas hakim di Indonesia. Hakim Indonesia terbilang cukup berat dalam menangani perkara. Hakim Indonesia bertugas mulai dari memeriksa perkara, membuktikan, menetapkan kesalahan dan akhirnya menetapkan berapa lama hukuman yang dipandang adil untuk dijatuhkan kepada terdakwa. Belum lagi setelah itu menangani administrasi perkara yang ditanganinya sampaiperkara tersebut menjadi in-aktif. Berbeda dengan hakim pada sistem anglo saxon / case law, tugasnya hanya terbatas memimpin jalannya sidang dan kemudian menetapkan berapa lamanya hukuman sedang penetapan kesalahan terdakwa diserahkan kepada juri yang dapat bersifat “grand / petit juri”, dan untuk masalah administrasi perkara telah dilaksanakan oleh panitera. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, disebutkan bahwa tugas pokok daripada hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Syarat-syarat pengangkatan, kedudukan serta pemberhentian pejabat-pejabat pengadilan harus menjadi landasan pokok bagi hakim untuk dapat menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam masyarakat dan tidak terpengaruh oleh aliran politik, kepentingan ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang lain dalam masyarakat (Andi Hamzah, 2002 : 101). e. Tanggung Jawab dan Kewajiban Hakim Kewajiban dan tanggung jawab hakim secara yuridis formal bersumber pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 bab IV Pasal 2830, sedangkan pada Pasal 4 ayat (1) hanya menyiratkan tentang tanggung jawab hakim. Adapun kewajiban hakim antara lain : xxx 1) Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. 3) Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji agamanya, sebelum memangku jabatan. 4) Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat atau panitera. Selain itu, hakim juga wajib mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan langsung dengan perkara yang diperiksa. f. Kewenangan Hakim Wewenang utama Hakim adalah menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana yang dalam pelaksanaannya berpedoman pokok pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran dan tidak memihak (Bambang Waluyo, 2000: 20) Selain itu kewenangan Hakim lainnya yaitu : 1) Hakim tidak wajib mengikuti atau terikat dengan putusan hakim yang lebih tinggi. Dalam keadaan masyarakat dan negara yang masih menanjak take off di dalam segala hal, belum tercipta aparat penegak hukum terutama hakim yang mapan maka sangat berbahaya jika hakim-hakim yang lebih rendah diwajibkan mengikuti putusan hakim yang lebih tinggi. Hakim yang lebih tinggi tersebut dalam keadaan seperti sekarang ini kadang masih sebaya dengan hakim yang lebih rendah dalam pengalaman dan pengetahuan (Andi Hamzah, 2002 : 100). xxxi 2) Hakim tidak hanya memiliki wewenang dalam hal mengadili saja, akan tetapi juga mempunyai wewenang dalam hal penuntutan. Walaupun sebenarnya tugas penuntutan ada pada jaksa, namun hakim juga dapat melakukan tindakan penuntutan, misal dalam hal perpanjangan penahanan dan penentuan sidang atau pemanggilan. 3) Hakim mempunyai wewenang dalam hal pelaksanaan putusan hakim, dimana pelaksanaan putusan hakim dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan. 4) Menteri Kehakiman melalui Kep. No. 01/M 01/PW 0703 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, menyinggung tentang kemungkinan adanya contempt of court sehingga perlu diberikan kewenangan bagi hakim yang memeriksa perkara di persidangan untuk menjaga ketertiban selama sidang berlangsung. Kewenangan hakim secara tidak langsung berhubungan dengan martabat dan kewibawaan, maksudnya bagaimana cara hakim menggunakan kewenangannya, akan berdampak pada keputusan yang diambil dan tanggapan masyarakat terhadap putusan tersebut. Meskipun hakim bebas dari intervensi pihak manapun dalam menjalankan tugasnya, namun masyarakat tetap berhak untuk mengawasi terhadap proses peradilan tersebut. Oleh karena itu, hakim wajib menjunjung tinggi kewibawaan dirinya dan lembaga peradilan, agar tetap dihormati dan dipercaya sehingga hukum di Indonesia dapat berjalan secara adil, tertib dan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. g. Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim Hakim sebagai figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. xxxii Menurut Hermansyah, sebagaimana dikutip oleh Subagio Gigih Wijaya, bahwa Hakim dalam menjalankan wewenang dan tugasnya harus didasarkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebenaran dan memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta menjunjung tinggi kode etik profesi hakim. Apabila hakim menjalankan wewenang dan tugasnya dengan baik dan benar maka bukan hanya kepastian hukum dan keadilan yang dapat diwujudkan, tetapi juga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim akan terpelihara. Hakim dipercaya untuk menjalankan tugas negara dengan sebaik-baiknya. Dalam pelaksanaan tugas tersebut diperlukan keikhlasan, kejujuran, dan tanggung jawab. Sebagai salah satu usaha untuk menjamin pelaksanaan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya maka setiap hakim wajib mengangkat sumpah dan janji di hadapan atasan yang berwenang menurut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tersurat dalam Pasal 30 ayat 2 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Karena sumpah atau janji itu diikrarkan menurut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa maka pada hakikatnya sumpah atau janji itu bukan saja merupakan kesanggupan terhadap atasan yang berwenang, tetapi juga merupakan kesanggupan terhadap Tuhan, bahwa yang bersumpah atau berjanji akan mentaati segala keharusan dan tidak melakukan segala larangan yang telah ditentukan. Makna atau maksud dari kewajiban mengucap sumpah atau janji ialah agar hakim yang bersangkutan bermental baik, bersih, dan berwibawa, serta setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, negara dan pemerintah serta sadar akan tanggung jawabnya sebagai aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat serta abdi hukum (Bambang Waluyo, 2000 : 77). xxxiii Dalam kode kehormatan hakim terdapat suatu janji hakim yang dikenal dengan Tri Prasetya Hakim Indonesia, yang berbunyi: “Saya berjanji : 1. Bahwa saya senantiasa akan menjunjung tinggi citra, wibawa, dan martabat hakim Indonesia, 2. Bahwa saya dalam menjalankan jabatan akan berpegang teguh pada kode kehormatan hakim Indonesia, 3. Bahwa saya bersedia menerima sanksi, apabila saya mencemarkan citra, wibawa dan martabat hakim Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu membimbing saya di jalan yang benar.” Sikap seorang hakim dilambangkan dengan kartika, cakra, candra, sari dan tirta yang merupakan cerminan perilaku hakim harus senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi luhur serta menunjung tinggi kejujuran. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsipprinsip pedoman hakim dalam bertingkah laku, bermakna pengamatan tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing. Pada tanggal 22 Desember 2006 lalu, Mahkamah Agung telah mengeluarkan suatu pedoman perilaku hakim. Pedoman perilaku hakim ini merupakan penjabaran dari sepuluh prinsip pedoman yang meliputi kewajiban-kewajiban untuk berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, rendah hati serta profesional. Dalam hal bertanggung jawab penerapan yang diharapkan. Pertama, penggunaan Predikat Jabatan implementasinya hakim tidak boleh menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain. xxxiv Kedua, penggunaan informasi Peradilan, hakim tidak boleh mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungannya dengan tugas-tugas peradilan. Kehormatan hakim terutama akan terlihat pada putusan yang dibuatnya, putusan tersebut perlu dilandasi suatu pertimbangan yang matang dan sesuai fakta yang ada, atau keseluruhan proses pengambilan keputusan yang bukan saja berlandaskan pada peraturan perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan yang timbul dari masyarakat. Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat yang merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan olehhakim melalui sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur, dengan demikian kehormatan dan keluhuran martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan. Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah kekuasaan yang merdeka, sehingga walaupun hakim itu diangkat dan digaji oleh pemerintah, namun ia tegak berdiri menjalankan kewajibannya dan tidak dipengaruhi oleh pemerintah. Berhubung dengan kedudukannya yang istimewa tersebut, ia perlu mendapat jaminan yang cukup. Dilihat secara teoritik, perlunya suatu perlindungan hukum tentunya didasarkan pada adanya suatu kepentingan hukum yang sepatutnya dilindungi. Terlaksananya sistem penyelenggaraan peradilan yang tepat / yang seharusnya (the due administration of justice) jelas merupakan suatu kebutuhan hukum dan sekaligus kepentingan umum bagi setiap masyarakat (setiap kehidupan xxxv bermasyarakat / bernegara) (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 : 216) Perlindungan hukum terhadap hakim merupakan elemen penting dalam upaya penegakan hukum, karena dengan adanya jaminan terhadap diri hakim dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya, maka diharapkan proses peradilan dapat berjalan sebagaimana mestinya, dan hakim dapat menjatuhkan putusan seadiladilnya sesuai fakta dan alat bukti yang ada dalam pemeriksaan persidangan serta bebas dari tekanan pihak manapun. Adapun pengaturan mengenai perlindungan hukum terhadap hakim ini dapat dijumpai antara lain dalam KUHP, KUHAP, UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. 01/M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP. 3. Tinjauan Umum Tentang Contempt of Court a. Pengertian Contempt of Court Istilah contempt of court berasal dari tradisi hukum sistem common law dengan case law nya, diantaranya adalah Inggris dan Amerika Serikat. Sejak tahun 1742, Inggris telah menerapkan contempt of court dengan adanya doktrin pure streams of justice yang dianggap sebagai dasar untuk memberlakukan contempt of court yang selanjutnya pada tahun 1981 diadakan pembaruan dengan diterapkannya contempt of court Act 1981. Amerika Serikat pertama kali mengundangkan adalah pada tahun 1989. Dalam ceramah Nico Keijer di UNDIP tahun 1987 dan di BPHN tahun 1988 pernah mengemukakan, bahwa sejarah atau tradisi xxxvi hukum contempt of court di Inggris berhubungan erat dengan sejarah dan bentuk kerajaan yang sangat kuat di Inggris pada abad pertengahan. Semua orang harus tunduk para Raja sebagai kekuasaan tertinggi. Raja merupakan sumber hukum dan keadilan yang kekuasaannya didelegasikan kepada para hakim. Oleh karena itu contempt of court dipandang identik dengan contempt of the king (Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 : 206). Dalam praktek yurisprudensi di Inggris selanjutnya, contempt of court tidak hanya ditujukan pada hakim atau pengadilan saja, melainkan juga ditujukan pada bentuk gangguan terhadap kelancaran jalannya proses peradilan. Sehingga, menurut kepustakaan common law system, contempt of court merupakan istilah umum untuk menggambarkan setiap perbuatan yang bermaksud mencampuri atau mengganggu sistem atau proses penyelenggaraan peradilan yang seharusnya (Muladi dan Barda Nawawi, 1992 : 208). Menurut definisi terminologis, contempt of court berasal dari kata contempt and court. Contempt artinya melanggar, menghina, memandang rendah, sedangkan court artinya pengadilan. Jadi, contempt of court artinya upaya melanggar, menghina atau memandang rendah pengadilan (Andi Hamzah dan Bambang Waluyo, 1988 : 9). Menurut Oemar Seno Adji, contempt of court secara singkat dirumuskan sebagai suatu tidak berbuat atau suatu perbuatan yang secara substansial menimbulkan distribusi ataupun suatu abstruksi terhadap suatu proses peradilan dalam suatu perkara tertentu. Dalam Black Law Dictionary dijelaskan bahwa : contempt of court is any act which is calculated to embarrass, hinder or obstruct court in administration of justice or which is calculated to lessen its xxxvii authority or dignity as a party to a proceeding therein, willfull disobeyes its lawfull order or fail to comply with and undertaking which he has give. (Contempt of court adalah suatu perbuatan yang dipandang mempermalukan, menghalangi atau merintangi pengadilan di dalam penyelenggaraan peradilan, atau dipandang sebagai mengurangi kewibawaan atau martabatnya. Dilakukan oleh orang yang sungguh melakukan suatu perbuatan yang melanggar secara sengaja kewibawaan atau martabat atau cenderung merintangi atau menyianyiakan penyelenggaraan peradilan atau oleh seseorang yang berada dalam kekuasaan pengadilan sebagai pihak dalam perkara di pengadilan itu, dengan sengaja tidak mentaati perintah pengadilan yang sah atau tidak memenuhi hal yang ia telah akui) (www.pemantauperadilan.com). Di Indonesia, istilah contempt of court pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4, yaitu : “Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggara peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu Undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai contempt of court.” Berdasarkan definisi di atas, maka secara singkat contempt of court dapat diartikan sebagai suatu perbuatan baik secara aktif maupun pasif, dilakukan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan yang dianggap melecehkan kewibawaan pengadilan (Andi Hamzah dan Bambang Waluyo, 1988 : 11). xxxviii b. Ruang Lingkup Contempt Of Court Contempt of court memiliki ruang lingkup yang sangat luas dan berbeda pada setiap negara. Ruang lingkup tersebut antara lain, meliputi: 1) Perbuatan, 2) Tingkah laku, 3) Sikap dan atau ucapan Namun demikian, untuk dapat disebut sebagai contempt of court, maka perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan tersebut harus mengandung akibat yaitu dapat merendahkan, merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan, dimana perbuatan, tingkah laku dan sikap atau ucapan tersebut tidak harus selalu diartikan secara aktif tetapi dapat pula bersifat pasif atau tidak berbuat, akan tetapi akibatnya dapat merendahkan martabat peradilan. c. Bentuk Contempt Of Court Menurut Oemar Seno Adji, terdapat 5 (lima) bentuk konstitutif dari contempt of court, yaitu : 1) Perbuatan-perbuatan penghinaan terhadap peradilan yang dilakukan dengan cara pemberitahuan atau publikasi (sub judice rule), yaitu suatu usaha berupa perbuatan, atau sikap yang ditunjukkan ataupun pernyataan secara lisan apalagi secara tulisan, yang nantinya menjadi persoalan pers dan aspek hukumnya untuk dapat mempengaruhi suatu putusa yang akan dijatuhkan oleh hakim. 2) Tidak memenuhi perintah pengadilan (disobeying a court order), yaitu suatu perbuatan yang tidak mematuhi perintah pengadilan ataupun yang merendahkan otoritas, wibawa atau keadilan dari pengadilan. 3) Mengacaukan peradilan (obstructing justice), yaitu suatu perbuatan yang ditujukan terhadap ataupun yang mempunyai efek memutar xxxix balikkan, mengacaukan fungsi normal dan kelancaran suatu proses judisial. 4) Menyerang integritas dan impartialitas pengadilan (scandalizing the court), yaitu pernyataan di luar pengadilan dan sering merupakan pubikasi yang mengandung suatu lapangan yang luas mengenai situasi. Scandalizing the court meliputi pernyataan yang menjengkelkan, mengandung kata-kata penyalahgunaan ataupun ucapan yang mengandung penghinaan yang ditujukan kepada hakim. 5) Tidak berkelanjutan baik dalam pengadilan (misbehaving in court), yaitu tiap perbuatan isyarat (gesture) ataupun kata-kata yang merupakan rintangan atuapun mengadakan obstruksi terhadap aliran (flow) normal dan harmonis dari proses di sidang pengadilan. Yang termasuk kategori ini adalah semua perbuatan berupa isyarat atau kata-kata ancaman terhadap pengadilan. d. Lingkup Pembedaan Bentuk Contempt of Court 1) Pembedaan mengenai apakah pelecehan tersebut termasuk pelecehan pidana atau perdata (The Contempt of Criminal in nature or civil in nature) Apabila perbuatan tersebut merupakan perbuatan tidak menghormati pengadilan atau acaranya atau menghalangi penyelenggaraan peradilan sehingga pengadilan tidak dihormati, maka itu termasuk dalam criminal contempt. Sanksi dari criminal contempt ini adalah denda atau penjara bagi pelakunya. Apabila perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tidak menghormati pihak yang mendapat kuasa dari pengadilan (tidak mematuhi perintah pengadilan) maka perbuatan itu termasuk dalam civil contempt. Civil contempt bukan merupakan delik terhadap martabat pengadilan. Sanksinya adalah benda sebagai ganti kerugian bagi pelakunya. xl 2) Pembedaan mengenai apakah pelecehan tersebut dilakukan di hadapan sidang atau di luar sidang pengadilan (The Contempt in Direct or Indirect). Dikatakan direct contempt atau contempt in facie apabila pelecehan berupa tindakan mencampuri jalannya proses peradilan, meliputi perbuatan yang dilakukan di dalam sidang pengadilan. Permasalahannya bukan terletak pada apakah martabat pengadilan (the dignity of the court) telah diserang atau dilanggar akan tetapi apakah proses pengadilan terganggu atau tidak. Sedangkan perbuatan dikatakan sebagai indirect contempt atau contempt of facie apabila melakukan perbuatan berupa publikasi yang dianggap mencampuri suatu proses peradilan dalam perkara tertentu. Apabila dihubungkan dengan lima bentuk konstitutif Contempt of Court menurut Oemar Seno Adji sebagaimana tersebut di atas, maka yang termasuk dalam contempt of facie adalah misbehaving in court, disobeying court orders dan scandalizing the court, sedangkan yang termasuk dalam ex facie adalah disobeying court orders, scandalizing the court dan sub judice rule. e. Contempt of Court di Indonesia Di Indonesia, belum ada definisi yang dapat diterima umum apakah sebenarnya yang menjadi patokan sehingga suatu delik dapat dimasukkan ke dalam Contempt of Court. Sehingga sampai saat ini, lebih tepat apabila menggunakan ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Untuk lebih mudah dalam memahami maka dapat dijelaskan melalui bagan sebagai berikut : xli UU No. 4 Tahun 1985 SKB No. : M 03-PR ’08.05 Tahun 1987 UU No. 25 Tahun 2000 Keterangan : Istilah Contempt of Court di Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 4 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4 tentang isyarat perlunya dibuat suatu Undang-Undang yang mengatur tentang ancaman hukuman dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan pejabat peradilan. Kemudian diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) No : M 03-PR ’08.05 Tahun 1987 tentang tata cara pengawasan, penindakan dan pembelaan diri penasehat hukum. Selain itu, dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas kembali disebutkan bahwa pembuatan Undang-Undang tentang Contempt of Court menjadi matriks kebijakan hukum tahun 2002. B. Kerangka Dasar Pemikiran Dalam melakukan penelitian hendaknya terdapat kerangka berfikir yang sistematis dan holistik agar penelitian mendapatkan hasil yang optimal dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Menurut Samsul Hadi, kebanyakan perkara yang masuk pengadilan merupakan langkah terakhir yang ditempuh oleh para pihak yang bersengketa. xlii Pengadilan hanya menyelesaikan sengketa antara dua pihak, yang nantinya setelah diputuskan pasti ada pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Pihak yang kalah pada umumnya tidak terima dengan keputusan hakim sehingga melakukan berbagai upaya hukum untuk menolak putusan tersebut. Hal seperti inilah yang membuat posisi hakim terpojok, sehingga dalam pandangan publik, nama hakim menjadi buruk karena orang yang tidak puas terhadap putusan hakim cenderung akan menyalahkan hakim tersebut (www.umy.ac.id) Penelitian ini berangkat dari maraknya aksi contempt of court dalam proses peradilan di Indonesia akhir-akhir ini, dimana korban dari aksi tersebut adalah para aparat penegak hukum khususnya para hakim. Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman (wikipedia Indonesia). Untuk dapat mencegah dan menindak terhadap gangguan, baik barupa ancaman atau hambatan dalam proses peradilan, perlu adanya sarana perundang-undangan yang memadai sehingga hakim dapat menjadi sentral penentu keadilan dalam suatu peradilan (Andi Hamzah dan Bambang Waluyo). Peraturan Perundang-Undangan yang dimaksud antara lain adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengatur tentang jaminan terhadap kedudukan hakim yang bebas dalam menjalankan profesinya. Namun begitu, bebas di sini bukan berarti tanpa batas. Ketua MA Bagir Manan sudah menerbitkan Keputusan No. KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. Pedoman ini berisi xliii bagaimana seharusnya hakim bersikap dan berperilaku di ruang sidang maupun di luar sidang. Selain diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, ketentuan contempt of court juga telah diatur dalam KUHP dan KUHAP. Sehingga tinggal bagaimana hakim mengimplementasikan peratiran tersebut. Berawal dari upaya perlindungan hukum oleh hakim ketika berhadapan dengan aksi contempt of court menjadi pokok permasalahan utama dalam penelitian ini. Penelitian ini akan mendeskripsikan secara utuh tentang upaya hakim dalam menyikapi aksi contempt of court yang terjadi dalam proses peradilan. Lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri Surakarta. Hal ini didasari bahwa maraknya aksi contempt of court akhir-akhir ini tidak terlepas dari kurang tegasnya aparat penegak hukum dalam memberikan sanksi terhadap pelaku aksi contempt of court. Hakim harus berani mengambil sikap memidanakan seseorang yang nyata-nyata melecehkan institusi pengadilan, karena martabat dan kewibawaanya sendiri yang menjadi taruhan. Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan dengan diagram sebagai berikut : xliv Martabat dan Wibawa Hakim Proses peradilan Berjalan secara tertib sesuai peraturan Aksi COC Upaya Perlindungan Hukum Pasal-Pasal KUHP dan KUHAP tentang COC xlv UU Nomor 4 Th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN C. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Dalam Hal Terjadi Contempt of Court Dalam Proses Peradilan 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Pengadilan Negeri Surakarta yang terletak di Kota Surakarta ini memiliki lokasi yang strategis, yang mudah dijangkau oleh setiap orang yang akan melakukan sidang maupun kegiatan lainnya. Lebih detailnya, Pengadilan Negeri Surakarta terletak di Jl. Slamet Riyadi No. 290 Surakarta, berdiri di atas tanah Hak Pakai dengan luas 9.640 M2, berada di Kampung Priyobadan, Kalurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Kotamadya Surakarta. Bangunan Pengadilan Negeri Surakarta memiliki luas kurang lebih 2.733 M2 terdiri dari bangunan yang memanjang dari arah utara ke selatan dan bangunan tersebut berdiri sejak zaman Belanda. Pada zaman Belanda, Pengadilan Negeri Surakarta terdiri atas 2 (dua) bagian, yaitu Landraad dan Landgrecht. Adapun ruangan-ruangan yang terdapat di Pengadilan Negeri Surakarta sekarang telah dibagi-bagi menjadi beberapa bagian antara lain ruang sidang, ruang untuk kantor-kantor, ruang tahanan, hingga masjid. Ruang sidang di Pengadilan Negeri Surakarta terdiri atas lima ruang, dimana Ruang Sidang I (satu) berada di depan dan Ruang Sidang II, III, IV, dan V berada di dalam. Majelis Hakim Pemeriksa Perkara dapat menggunakan ruang sidang tersebut sesuai dengan jadwal yang telah disusun. Selain ruang sidang, juga terdapat ruang untuk kantor antara lain Ruang Ketua Pengadilan negeri, Ruang Panitera / Sekretaris, Ruang Panitera Hukum, Ruang Panitera Perdata, Ruang Panitera Pidana dan masih banyak ruang di Pengadilan Negeri Surakarta yang mana digunakan untuk mendukung setiap pelayanan proses peradilan di wilayah Surakarta. 35 xlvi Berdasar struktur pengadilan, secara umum Pengadilan Negeri Surakarta dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian tehnis peradilan (kepaniteraan) dan bagian administrasi. Kepaniteraan atau bagian tehnis peradilan secara umum bertugas membantu pimpinan pengadilan dalam membuat program jangka pendek dan jangka panjang, pelaksanaannya serta pengoranisasiannya. Bagian tehnis peradilan ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu Kepaniteraan Hukum, Kepaniteraan Perdata dan Kepaniteraan Pidana. 1) Kepaniteraan Hukum Kepaniteraan hukum dipimpin oleh seorang Panitera Muda Hukum. Tugas dan kewenangan dari kepaniteraan hukum antara lain : a. Pendaftaran CV dan pembubarannya. b. Register atau pendaftaran Pengacara dan Notaris. c. Pelayanan Surat Kuasa Bantuan Hukum. d. Pelayanan SKBRI. e. Legalisasi. f. Pengarsipan dan lain-lain. 2) Kepaniteraan Perdata Kepaniteraan Perdata mempunyai tugas secara umum membantu proses pemeriksaan perkara perdata hingga perkara tersebut diputus oleh hakim. Pemeriksaan perkara perdata akan dilaksanakan apabila ada dua hal yaitu : a. Gugatan. b. Permohonan. 3) Kepaniteraan Pidana xlvii Kepaniteraan Pidana mempunyai tugas secara umum membantu proses pemeriksaan perkara pidana hingga perkara tersebut diputus oleh hakim dan mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan Negeri Surakarta merupakan Pengadilan Negeri Kelas IA. Kelas tersebut didasarkan pada banyaknya jumlah perkara yang ditangani oleh pengadilan ini. Sampai pada akhir bulan November tahun 2007 ini, Pengadilan Negeri Surakarta telah dan sedang menangani 2.179 (dua ribu seratus tujuh puluh sembilan) jenis perkara pidana. Agar lebih mudah dalam memahami jenis perkara tersebut, maka dapat penulis jelaskan bahwa dalam sistem hukum kita yang menganut asas praduga tak bersalah (presumption of ennocence) maka pidana sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan. Apabila tidak terbukti bersalah, maka Tersangka harus dibebaskan. Adapun mengenai bentuk pidana yang dijatuhkan utamanya mengacu pada KUHP. KUHP telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam Pasal 10. Diatur 2 pidana yaitu : pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas 4 jenis pidana dan pidana tambahan terdiri atas 3 jenis pidana (Bambang Waluyo, 2000 : 10). Jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP tersebut yaitu : a. Pidana Pokok, meliputi : 1). Pidana Mati. 2). Pidana Penjara. 3). Pidana Kurungan. 4). Pidana Denda. b. Pidana Tambahan, meliputi : 1). Pencabutan hak-hak tertentu. 2). Perampasan barang-barang tertentu. 3). Pengumuman putusan hakim. xlviii Untuk jenis perkara pidana biasa, Pengadilan Negeri Surakarta telah menerima 113 (seratus tiga belas) perkara hingga akhir November 2007 ini. Adapun perinciannya dapat dilihat dalam tabel seperti di bawah ini : Tabel 1. Jenis Perkara Pidana (Pidana Biasa) Keterangan No Jumlah 1. Sisa bulan lalu 70 2. Masuk dalam bulan ini 43 3. Putus dalam bulan ini 45 4 Terdakwa / Jaksa Menerima 5. Terdakwa / Jaksa Banding 13 / - 6. Terdakwa / Jaksa Kasasi 1/- 7. Terdakwa Minta Grasi 42 / 43 - Untuk jenis pidana cepat atau ringan (lalu lintas), Pengadilan Negeri Surakarta telah menerima 2.012 (dua ribu dua belas) perkara pada bulan November tahun 2007 ini. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Jenis Perkara Pidana Cepat / Ringan / Lalu Lintas Keterangan No Jumlah 1. Sisa bulan lalu - 2. Masuk bulan ini 2.012 3. Putus dalam bulan ini 2.012 4 Kasasi - 5. Grasi - xlix Sedangkan untuk jenis tindak pidana selain yang telah tersebut di atas, Pengadilan Negeri Surakarta telah menerima 54 (lima puluh empat) perkara sampai pada akhir bulan November tahun 2007 ini. Adapun perinciannya dapat dilihat pada tabel berikut ; Tabel 3. Jenis Tindak Pidana Lainnya No Jenis Tindak Pidana Pria Wanita 1. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang / barang 1 - 2. Pemalsuan uang 1 - 3. Kejahatan perjudian 15 - 4. Penganiayaan 3 - 5. Menyebabkan mati / luka karena alpha 1 - 6. Pencurian 17 4 7. Penggelapan 4 - 8. Penipuan 5 - 9. Penadahan 3 - 10. Tindak pidana narkotika 2 2 2. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Pembahasan putusan ini lebih dikhususkan pada putusan dalam perkara pidana. Putusan pemidanaan terjadi apabila pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (vide Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan. Terbukti melalui sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan Hakim yakin Terdakwa yang bersalah melakukan (Bambang Waluyo, 2000 : 86). l Dalam Pasal 196 ayat (3) KUHAP, ditentukan bahwa segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan Hakim Ketua Sidang memberitahukan kepada Terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu : a. Hak segera menerima atau segera menolak putusan. b. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan Undangundang ini. c. Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan. d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan. e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam Undang-undang ini (Harun M. Husein, 1992 : 25). Pada bulan November tahun 2007 ini, Pengadilan Negeri Surakarta telah menjatuhkan putusan pidana denda untuk 4 (empat) Terdakwa dan pidana penjara untuk 58 (lima puluh delapan) Terdakwa. Adapun perinciannya dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 4. Putusan Pengadilan No Jenis Putusan Pria Wanita Anak 1. Pidana denda 2 2 - 2. Pidana penjara 52 2 4 3. Personil Hakim Pengadilan Negeri Surakarta li Sebagaimana telah dijelaskan di muka, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa yang dimaksud Hakim adalah pejabat yang melakukan Kekuasaan Kehakiman yang diatur dalam Undang-undang. Hakim haruslah memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum. Wewenang Hakim utamanya adalah : menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana yang dalam pelaksanaannya berpedoman pokok pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran dan tidak memihak (Bambang Waluyo, 2000 : 20). Kewajiban Hakim antara lain : a) Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. b) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari Terdakwa. c) Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji agamanya, sebelum memangku jabatan. d) Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan Ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat atau Panitera. Selain itu, Hakim juga wajib mengundurkan diri apabila mempunyai kepentingan langsung dengan perkara yang diperiksa. Tugas keseharian daripada Hakim Pengadilan Negeri Surakarta adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Mereka biasa memulai tugasnya kurang lebih pada pukul 10.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB, kecuali pada hari Kamis, karena pada hari tersebut Hakim Pengadilan Negeri Surakarta harus mengadili sidang tindak pidana lalu lintas mulai pukul 09.00 WIB. lii Saat ini, Pengadilan Negeri Surakarta memiliki 14 (empat belas) hakim dengan pangkat, golongan dan jabatan yang berbeda-beda. Para hakim tersebut dapat dilihat dalam tabel seperti berikut : Tabel 5. Daftar Formasi (Bezetting) Hakim Pengadilan Negeri Klas IA Surakarta No Nama / NIP Pangkat / Gol Jabatan 1. Roba’a, SH NIP. 040 013 619 Pembina Utama Muda Ketua (IV / c) 2. Djanatul Firdaus, SH NIP. 040 014 348 Pembina Utama Muda Wakil Ketua (IV / c) 3. Istiningsih Rahayu, SH NIP. 040 047 676 Pembina Tk. I (IV / b) Anggota 4. Susanto Isnu Wahyudi, SH NIP. 040 049 590 Pembina Tk. I (IV / b) Anggota 5. Yohannes Sugiwidarto, SH NIP. 040 049 573 Pembina Tk. I (IV / b) Anggota 6. Fakih Yuwono, SH NIP. 040 049 669 Pembina (IV / b) Anggota 7. Ganjar Susilo, SH NIP. 040 049 565 Pembina (IV / b) Anggota 8. M. Najib Sholeh, SH NIP. 040 056 659 Pembina (IV / b) Anggota 9. Dwi Sudaryono, SH NIP. 040 052 027 Pembina (IV / b) Anggota 10. Pragsono NIP. 040 052 096 Pembina (IV / b) Anggota 11. Wiwik Suhartono, SH NIP. 040 052 080 Pembina (IV / b) Anggota 12. Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak, SH NIP. 040 053 747 Pembina (IV / b) Anggota 13. Lasito, SH NIP. 050 053 709 Pembina (IV / a) Anggota 14. I Wayan Sosiawan, SH Pembina Anggota liii NIP. 040 053 608 (IV / a) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur serta memberikan perlindungan hukum terhadap Hakim. Perlindungan hukum tersebut diperlukan untuk menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana tersebut dalam konsideran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. 4. Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Martabat Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam Hal Terjadi Contempt Of Court dalam Proses Peradilan Penulis banyak memperoleh informasi khususnya yang terkait dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan beserta hambatan yang dihadapi para hakim tersebut untuk menindak aksi contempt of court. Berdasar hasil wawancara yang penulis lakukan pada tanggal 12 sampai dengan 18 Desember 2007 dengan 4 (empat) hakim Pengadilan Negeri Surakarta, yaitu : a. Sugi widarto, SH b. Lasito, SH c. Dwi Sudaryono, SH dan d. Pragsono, SH Adapun Hasil Wawancara adalah sebagai berikut : a. Definisi Contempt of Court oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Contempt of Court dalam pandangan hakim yang satu tidaklah sama dengan definisi contempt of court dalam pandangan hakim lainnya. Para hakim tersebut memberikan makna tersendiri tentang suatu perbuatan sehingga perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai aksi contempt of court. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan penindakan yang dilakukan oleh hakim yang satu dengan hakim yang lain karena perbuatan yang dianggap contempt of court oleh hakim liv yang satu belum tentu dianggap sebagai aksi contempt of court oleh hakim lainnya. Menurut Lasito, perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court adalah perbuatan pelecehan yang hanya terjadi di dalam ruang sidang, sedasng jika pelecehan tersebut terjadinya sudah diluar sidang, maka tidak dapat lagi dikatakan sebagai contempt of court. Selama 15 (lima belas) tahun masa jabatannya, beliau sendiri belum pernah mengalami aksi pelecehan yang sekarang marak terjadi di Indonesia tersebut. Adapun cara mengantisipasi agar tidak terjadi contempt of court pada diri beliau yaitu dengan senantiasa menjaga wibawa dan ketegasan dan bila perlu mengancam dalam bentuk penuntutan. Sedangkan menurut Sugi Widarto, suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai aksi contempt of court apabila pelecehan atau penghinaan atau perbuatan anarkhisme lainnya, selama hal tersebut ditujukan atau mengenai hakim, tidak peduli terjadi di dalam sidang maupun di luar sidang, maka hal tersebut masuk dalam kategori contempt of court. Tidak jauh berbeda dengan Lasito, Sugi Widarto yang telah berkarier sebagai hakim selama 15 (lima belas) tahun ini juga belum pernah mengalami aksi contempt of court, meskipun beliau pernah merasakan aksi pelecehan ketika sedang memimpin persidangan namun beliau tidak mengambil langkah lanjut (menindak) pelecehan tersebut karena menganggap masih dalam batas wajar dan ketika pelaku pelecehan tersebut diperingatkan, ia tidak lagi mengulangi perbuatannya. Dwi Sudaryono memberikan definisi yang lebih rinci lagi mengenai aksi contempt of court ini. Menurut beliau, yang dikatakan sebagai aksi contempt of court adalah segala bentuk pelecehan pada lv hakim baik di dalam ruang sidang maupun di luar sidang selama proses peradilan berlangsung. Beliau sendiri belum pernah mengalami contempt of court selama 17 (tujuh belas) tahun masa kariernya. Menurut beliau, ada atau tidaknya contempt of court tergantung pada kesadaran hukum dan pengetahuan akan hukum masyarakat. Beliau mencontohkan, ketika menjabat sebagai Hakim di Palembang, dimana masyarakatnya terkenal berwatak keras, namun karena masyarakat tersebut sadar hukum maka mereka dapat menjaga sikap dan mengendalikan diri ketika proses persidangan berlangsung. Berbeda pula dengan pendapat Pragsono, seorang hakim yang telah berkarier selama 17 (tujuh belas) tahun ini. Menurut beliau, contempt of court adalah perbuatan pelecehan dan sebagainya sebagaimana tersebut dalam KUHP dan KUHAP yang hanya terjadi di dalam proses persidangan, jika yang dibicarakan adalah contempt of court dimana korbannya adalah hakim. Beliau pernah mengalami aksi contempt of court ketika menjabat Hakim di Madura, Jawa Timur. Ketika itu beliau bertugas sebagai Hakim anggota dalam kasus tindak pidana pembunuhan. Salah satu keluarga korban pembunuhan merasa bahwa pertanyaan Hakim Ketua yang disertai emosi begitu memojokkan saksi korban. Dan karena saksi korban merasa tidak terima dan juga tidak dapat menahan emosi, ia berteria memaki hakim dan menendang kursi yang semula ia duduki. Aksi tersebut kemudian dilaporkan kepada penyidik (kepolisian) untuk ditindak namun hingga habis masa jabatan beliau di Madura, Jawa Timur tersebut, tidak ada proses penindaan lebih lanjut dari pihak kepolisian. Menurut beliau, ada atau tidaknya aksi contempt of court dalam proses persidangan tergantung bagaimana hakim memimpin sidang. Ibarat sebuah bus, dimana hakim sebagai sopir dan penumpangnya adalah semua yang terlibat dalam persidangan tersebut, maka sopir harus berhati-hati agar penumpangnya merasa nyaman. Begitu pula dalam persidangan, hakim lvi harus bisa menjaga wibawa dan bertindak tegas tanpa harus mengedepankan emosi agar persidangan dapat berjalan lancar sesuai tata tertib. b. Faktor Penyebab Terjadinya Contempt Of Court Ada atau tidaknya suatu tindakan contempt of court dalam sebuah proses peradilan dilatar belakangi oleh beberapa hal sebagai berikut : 1) Tingkat kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat Pada dasarnya hakim memahami perasaan pihak yang kalah dalam suatu perkara. Masalahnya tidak semua orang paham tentang hakikat hukum. Barangkali pengacara, hakim, akademisi, dan pengamat hukum paham tapi belum tentu masyarakat Indonesia keseluruhan mempunyai tingkat kesadaran dan pengetahuan akan hukum yang sama. 2) Hakim tidak mampu menjaga wibawa dan nama baiknya Hakim di dalam menjalankan tugasnya, tidaklah mudah. Di Indonesia,upaya penyuapan terhadap lembaga pemerintahan dan lembaga peradilan demi tercapainya suatu tujuan yang menguntungkan bukanlah hal yang baru lagi. Maka di sini hakim diuji apakah dirinya mampu menjaga wibawa dan nama baik ataukah sebaliknya, mengorbankan kebenaran dan keadilan demi kepentingan pribadi. Jika secara kasat mata sang hakim mempraktekkan mafia peradilan, maka sulit mengharapkan masyarakat menghormatinya. 3) Perbedaan perlakuan hakim terhadap para pihak dalam persidangan Terkadang walaupun belum ada putusan Terdakwa salah atau tidak dalam sebuah perkara pidana, hakim sudah memperlakukan Terdakwa tersebut secara tidak baik dan dipojokkan seolah terdakwa memang bersalah. 4) Penyalah artian kata ”reformasi” oleh masyarakat lvii Reformasi yang intinya menginginkan sebuah perubahan dimana perubahan yang dimaksudkan ditujukan ke arah yang lebih baik, ternyata tidak semua masyarakat memahami bagaimana mekanisme reformasi yang benar. Sebagian masyarakat menganggap bahwa sebuah protes terhadap lembaga pemerintahan maupun lembaga peradilan, dimana proses tersebut tidak jarang diwarnai aksi anarkhi inilah yang dinamakan reformasi yang terpenting bagi masyarakat tersebut, apa yang mereka inginkan terpenuhi. 5) Kurangnya pengawalan sidang Dalam sebuah persidangan, khususnya jenis pemeriksaan perkara yang menyita perhatian publik terkadang hanya ada satu hingga dua aparat keamanan saja, padalah jika sampai terjadi aksi contempt of court, maka jumlah tersebut jelas tidak sebanding dengan pelaku aksi yang biasanya jumlahnya bergerombol. c. Jenis Pemeriksaan Perkara Yang Dilakukan Oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Yang Rawan Terhadap Aksi Contempt of Court Menurut pendapat para hakim tersebut, jenis pemeriksaan perkara pidana-lah yang rawan terkena aksi contempt of court, khususnya dalam perkara tindak pidana pembunuhan, perkara tindak pidana pemerkosaan (asusila), tindak pidana korupsi, dan parkara tindak pidana terorisma. Walaupun begitu, bukan berarti dalam perkara atau sengketa perdata tidak pernah timbul aksi contempt of court. Dalam sengketa perceraian atau sengketa wanprestasi misalnya, juga bisa terkena aksi ini. Di Pengadilan Negeri Surakarta sendiri sebenarnya pernah terjadi sebuah aksi pada tahun 2003. Ratusan murid Pondok Pesantren Al Mukmin dan Majelis Mujahidin (MM) dan LPD Surakarta mendatangi Pengadilan Negeri Surakarta. Mereka menuntut agar lviii pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba’asyir dibebaskan dan harus dihormati sebagaimana layaknya seorang ulama. Massa mulai berkumpul pukul 13.00 di depan Pengadilan Negeri Surakarta dan berkali-kali meneriakkan Allahu Akbar sambil berorasi. Mereka membawa poster yang bertuliskan ”Wahai ustadz bersabarlah kami selalu mendukungmu,” berapa episode lagi sidang ini berakhir?”, dan wahai hakim jangan bekerjasama dengan Amerika” (http://www.kompas.com 16 : 43 PM) Meskipun aksi tersebut cenderung meremehkan kemampuan Hakim dalam memutus perkara, namun aksi tersebut tidak ditindak lanjuti dan tidak dikategorikan sebagai aksi contemp of court oleh Hakim Pemeriksa Perkara. Karena menurut beliau aksi tersebut memang wajar jika terjadi dan dianggap oleh Hakim sebagai sebuah tantangan tersendiri dalam mengambil keputusan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa ada atau tidaknya aksi contempt of court ini tergantung pada hakim. Sebagai pemimpin sidang, maka hakim dalam memeriksa dan memutus perkara haruslah selalu menjaga kewibawaan dan martabatnya. Di tangan mereka sebuah proses persidangan ditentukan apakah berjalan tertib sesuai peraturan ataukah berjalan rusuh dan tidak tertib sehingga timbul yang dinamakan aksi contempt of court tersebut. Dalam jenis perkara apapun, sesulit apapun, apabila hakim berusaha keras memimpin persidangan dengan tegas dan adil, maka para pihak juga akan merasa bahwa masing-masing merasa diperlakukan adil sehingga persidanganpun dapat berjalan lancar. d. Upaya Preventif (Pencegahan) dan Represif (Penghukuman) oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta bila terjadi aksi Contempt of Court lix Upaya preventif dari para hakim Pengadilan Negeri Surakarta untuk mengantisipasi agar tidak terjadi aksi contempt of court dalam proses persidangan yang dipimpinnya antara lain : 1) Hakim harus sungguh-sungguh mengetahui peraturan hukum dari perkara yang sedang diperiksa. Untuk menghasilkan putusan yang adil, maka hakim harus tahu benar peraturan hukum dari masing-masing perkara. Dengan kata lain, hakim harus cerdas dan pandai dalam merumuskan putusan sesuai ketentuan yang ada. 2) Hakim dalam mengadili suatu perkara harus dengan hati nurani sehingga akan berimplikasi secara langsung maupun tidak langsung menuntun mata batin pada keseimbangan yang timbul yaitu kepentingan negara, individu, pelaku tindak piana dan kepentingan korban kejahatan. 3) Hakim harus menjaga wibawa dan ketegasannya Hal ini dimaksudkan agar pengunjung sidang maupn pihakpihak yang berkaitan langsung dengan proses persidangan dapat menjaga sikap dan menghormati jalannya persidangan. Selain itu, dengan kewibawaan seorang hakim, para pihak tersebut dapat menaruh kepercayaan bahwa persidangan dapat berjalan secara adil dan tidak ada kecurangan. 4) Hakim harus selalu mengingatkan kepada para pihak yang berkaitan dengan proses persidangan maupun para pengunjung sidang bahwa siapapun yang berusaha membuat kerusuhan, akan diancam dengan penuntutan. Sedangkan upaya represif apabila aksi contempt of court telah terjadi dalam suatu proses persidangan, yaitu : 1) Hakim menunda sidang, karena dianggap sudah tidak memungkinkan lagi meneruskan jalannya persidangan dalam keadaan rusuh dan kepala panas. lx 2) Hakim melakukan penuntutan yaitu melaporkan aksi contempt of court terhadap dirinya tersebut kepada pihak berwenang yaitu kepolisian agar ditindak lanjuti. 3) Hakim memerintahkan kepada pelaku untuk meninggalkan ruang sidang. Apabila masih belum dipatuhi maka hakim dapat memerintahkan pihak keamanan untuk melakukan penertiban. 5. Pembahasan Membicarakan pranata contempt of court dalam sistem peradilan Indonesia tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja, akan tetapi harus dilihat dari sistem peradilan itu secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan peradilan kita merupakan suatu sistem, dimana terdapat keterkaitan yang absolute antara satu sama lain. Dalam sejarahnya, contempt of court sebagai pranata hukum muncul dari negara Common Law yang kebanyakan menganut adversary system, yaitu sistem hukum dimaan dalam pemeriksaan dipersidangan hakim lebih bersifat pasif atau dapat diibaratkan hakim hanya sebagai wasit saja. Sistem ini lebih bertumpu pada kemampuan para pihak dalam memperjuangkan kepentingan masing-masing. Konsekuensi dari sistem ini adalah terbatasnya kewenangan hakim dalam ruang persidangan.Untuk mengimbangi hal inilah, maka negara yang menganut adversary system contempt of court mengaturnya dalam suatu peraturan perundangundangan, yaitu sebagai dasar hukum yang memberikan kekuatan kepada hakim untuk menindak seseorang yang telah melakukan penghinaan kepada sidang (baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung). Gambaran dari pengadilan yang menganut adversary system yaitu : 1) Adanya kesetaraan antara pihak-pihak yang berperkara. 2) Adanya aturan-aturan yang melindungi Terdakwa selama proses dari kesewenang-wenangan kekuasaan. lxi 3) Adanya proses yang mengendalikan penyalahgunaan kekuasaan. 4) Adanya praduga tak bersalah. Sedangkan kebanyakan negara Civil Law termasuk Indonesia menganut sistem inquisitorial system (non adversary system) dimana dalam proses peradilan penentuan fakta, kesalahan, hukum dan hukuman merupakan urusan negara dan pengadilan merupakan pendelegasian wewenang saja. Sehingga dalam persidangan, hakim adalah pemimpin dan menjaga tata tertib persidangan. Oleh sebab itu maka segala sesuatu yang terjadi dalam ruang sidang harus dengan seizin hakim. Kekuasaan hakim yang besar ini diberikan melalui kitab undang-undang hukum pidananya (dan acara pidana) tidak dalam suatu undang-undang khusus. Gambaran dari proses pengadilan non adversary system yaitu : 1) Mengabaikan pengawasan hukum (disregard legal control). 2) Secara diam-diam berpraduga bersalah. 3) Dengan hukuman tinggi. 4) Dukungan pada polisi. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa istilah contempt of court di Indonesia pertama kali ditemukan dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung butir 4 alinea ke-4. Dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1985 diisyaratkan perlu dibuat suatu Undang-undang yang mengatur tentang ancaman hukuman dan penindakan pemidanaan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan pejabat peradilan. Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985 tersebut, diterbitkanlah Surat Keputusan Bersama (SKB) No. M. 03-PR’08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihan Hukum. Dengan terbitnya SKB ini, maka tujuan pembuat UU No. 14 Tahun 1985 lxii itu telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan yang diharapkan, yaitu dituangkan dalam bentuk undang-undang. SKB ini hanya mengatur contempt of court. Oleh karena itu, sampai saat ini kiranya lebih tepat untuk memperhatikan ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP, antara lain sebagai berikut : 1) Pasal dalam KUHP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan contempt of court a) Pasal 209 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. b) Pasal 210 : memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim, penasihat atau adviseur. c) Pasal 211 : memaksa seorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah. d) Pasal 212 : melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah. e) Pasal 216 : tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu. f) Pasal 217 : menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan. g) Pasal 224 : sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undangundang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban. h) Pasal 233 : merusak / menghilangkan barang bukti (www.pemantauperadilan.com) 2) Pasal dalam KUHP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan contempt of court, yang dapat dikenakan kepada pers : a) Pasal 207 : lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia. lxiii b) Pasal 208 : menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum (www.pemantauperadilan.com). 3) Pasal dalam KUHAP yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan contempt of court a) Pasal 217 : Menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan. (1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan. (2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat. b) Pasal 218 : Melanggar tata tertib persidangan (1) Dalam ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada pengadilan. (2) Siapapun yang di sidang pengadilan bersikap tidak sesuai dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang. (3) Dalam hal pelanggaran tata tertib sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat suatu tindak pidana, tidak mengurangi kemungkinan dilakukan penuntutan terhadap pelakunya. (www.pemantauperadilan.com). 4) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. 01/M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, mengisyaratkan adanya sifat terbuka pada sidang pengadilan (www.pemantauperadilan.com). Dalam keputusan ini dikatakan bahwa KUHAP mengisyaratkan adanya sifat terbuka pada sidang pengadilan. Hal ini mencerminkan asas demokrasi di bidang pengadilan dan tidak dapat dilepaskan dari lxiv fungsi pers untuk mengadakan pemberitaan, reportase tentang jalannya pengadilan. Pada sidang pengadilan yang terbuka itulah pemeriksaan dijalankan seobyektif-obyektifnya dan dihadiri oleh khalayak ramai dengan tertib agar dapat mengikuti atau mengawasi jalannya pemeriksaan. Dengan demikian sifat terbuka dari suatu proses pidana tidak terletak pada dapatnya orang keluar masuk ruang sidang pengadilan, tetapi terletak pada pemberitaan yang bebas oleh pers dan dapat dipertanggung jawabkan sedemikian rupa, sehingga “the fair administration of justice” tidak menjadi terdesak karenanya. Persidangan terbuka demi keadilan, hak seseorang untuk diadili secara terbuka, tidak boleh mengakibatkan ia diadili oleh “public”. Oleh karena itu hakim ketua sidang diwajibkan menjaga agar ketertiban di sidang pengadilan tidak dilanggar oleh siapapun. Pelaku pelanggaran tata tertib persidangan yang bersifat tindak pidana dimungkinkan untuk dilakukan penuntutan terhadap dirinya (Pasal 218 KUHAP) (www.pemantauperadilan.com). Jadi contempt of court adalah jenis tindak pidana yang dapat dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suat proses perkara maupun tidak terlibat, didalam maupun di luar pengadilan, dilakukan secara aktif maupun pasif yang ditujukan untuk mempermalukan kewibawaan dan martabat pengadilan atau merintangi pejabat pengadilan di dalam menjalankan peradilan. Penyebab terjadinya aksi contempt of court bukan hanya karena rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum namun juga karena perilaku hakim sendiri yang terkadang tidak dapat menjaga martabat dan wibawa dalam memimpin sebuah proses peradilan. lxv Perkembangan terbaru saat ini sedang marak dibicarakan mengenai perlu atau tidaknya sebuah ketentuan perundang-undangan yang khusus mengatur contempt of court. Sebagian menganggap bahwa undang-undang contempt of court tersendiri belum perlu dan tidak mendesak untuk dibuat namun sebaliknya, sebagian kalangan hakim sudah lama mengusulkan agar dibuat suatu undang-undang yang memberi perlindungan kepada hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam menjalankan tugasnya. Di dalam RUU KUHP, ketentuan mengenai contempt of court terdapat dalam BAB IV di bawah titel Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan. D. Hambatan Yang Dihadapi Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam Menindak Aksi Contempt Of Court Maraknya aksi contempt of court di Indonesia akhir-akhir ini, bukan berarti tidak ada penanganan sama sekali dari pemerintah maupun aparat penegak hukum. Hakim sebagai tokoh sentral yang memiliki peranan penting untuk mencegah dan mengatasi aksi contempt of court sebenarnya juga telah melakukan berbagai tindakan untuk menangani aksi tersebut. Hanya saja penanganan tersebut terkadang dihadapkan pada berbagai hambatan. Begitupun yang dialami oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta. Adapun hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya mencegah dan mengatasi aksi contempt of court menurut Hakim Pengadilan Negeri Surakarta antara lain : a. Tidak adanya koordinasi atau kerjasama yang solid antar aparat penegak hukum. Kerjasama merupakan jalan terbaik dalam mengatasi berbagai masalah. Begitu juga dalam upaya mencegah dan mengatasi aksi contempt of court ini. Apabila antar lembaga (lembaga penyidik, penuntut dan pemeriksa perkara) dapat bekerjasama dan saling membantu tentunya aksi contempt of court dapat dicegah dan diatasi. lxvi Namun terkadang salah satu pihak kurang dapat diajak bekerjasama. Misal seperti yang dialami oleh salah seorang Hakim Pengadilan Negeri Surakarta, Pragsono, dimana ketika beliau mengalami aksi contempt of court kemudian melaporkan hal tersebut kepada aparat penyidik (kepolisian), laporan tersebut seolah hanya berhenti disitu saja dan tidak ada tindak lanjut dari pihak kepolisian. Hal seperti inilah salah satu penyebab mengapa aksi contempt of court di Indonesia masih marak terjadi. b. Keputusasaan Hakim Karena contempt of court yang terkadang membahayakan diri hakim ketika dilaporkan oleh hakim yang bersangkutan untuk ditindak lanjuti ternyata tidak sedikit yang terputus di tengah jalan, misal hanya sampai pada tahap penyidikan. Hal ini tentunya membuat Hakim putus asa dan menganggap tidak ada manfaatnya menindak aksi sebuah contempt of court. Kembali hal ini diungkapkan oleh Pragsono. Karena sampai saat ia pindah tugas pun contempt of court yang pernah menimpa dirinya tersebut belum juga selesai proses hukumnya. c. Ancaman dari pihak-pihak tertentu, dimana ancaman tersebut menyangkut keselamatan hidup hakim atau keluarganya Dalam sebuah kesempatan Sugi Widharto pernah mengungkapkan bahwa yang menjadi hambatan mengapa di Indonesia terjadi aksi contempt of court salah satunya adalah ancaman dari pihak-pihak tertentu. Walaupun ada juga hakim yang menganggap bahwa hal ini merupakan salah satu tantangan berprofesi sebagai hakim namun tidak semua hakim mau untuk mengambil resiko tersebut dan memilih jalan aman saja. d. Pelaku aksi contempt of court biasanya bergerombol dan berjumlah banyak sehingga menyulitkan hakim melakukan penuntutan. lxvii Hal ini juga termasuk salah satu hambatan. Karena hakim sulit menindak aksi contempt of court tersebut ketika dua pihak tidak berimbang jumlahnya. Inilah salah satu hasil pengamatan dari Dwi Sudaryono ketika melihat fenomena banyaknya aksi contempt of court di Indonesia saat ini. Pembahasan Tidak mudah untuk menindak sebuah aksi contempt of court. Hal ini terbukti dari hasil wawancara dengan beberapa hakim Pengadilan Negeri Surakarta bahwa dalam menindak aksi contempt of court kenyataannya tidak seperti dalam teori. Ancaman penuntutan sesuai ketentuan yang ada tidak semudah itu dipraktekkan. Banyak faktor yang menghalangi atau menghambat hakim dalam menindak aksi tersebut. Bagaimanapun hakim bukan satu-satunya orang yang harus dipersalahkan ketika aksi contempt of court semakin marak terjadi. Pihak keamanan sebagai pelindung dan pengatur ketertiban juga mempunyai peran besar. Dan memang sudah seharusnya jika antar lembaga penegak hukum saling bekerjasama untuk menindaknya bukan malah saling menyalahkan dan mencari pembenaran diri ketika sebuah masalah datang menghadang. Tidak seharusnya Hakim putus asa dan takut akan ancaman yang ditujukan pada dirinya. Karena hal itu justru merupakan parameter seberapa berani hakim menanggung resiko profesinya. lxviii BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan perlindungan hukum terhadap martabat hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal terjadi contempt of court dalam proses peradilan a. Dari berbagai macam definisi yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa contempt of court adalah jenis tindak pidana yang dapat dilakukan oleh orang yang terlibat dalam suatu proses perkara maupun tidak terlibat, di dalam maupun di luar pengadilan, dilakukan secara aktif maupun pasif yang ditujukan untuk mempermalukan kewibawaan dan martabat Pengadilan atau merintangi pejabat pengadilan didalam menjalankan peradilan. b. Pranata contempt of court merupakan pranata yang tumbuh dan berkembang di negara-negara yang menganut sistem common law dan sistem peradilan yang dianutnya adalah adversary system. Keberadaan pranata ini ditujukan untuk melindungi kekuasaan peradilan, khususnya Hakim dalam menjalankan proses peradilan dari segala ancaman, gangguan dan hambatan yang akan menghalangi Hakim dalam menjalankan tugasnya. c. Penyebab terjadinya aksi contempt of court bukan hanya karena rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum namun juga karena perilaku hakim sendiri yang terkadang tidak dapat mejaga martabat an wibawa dalam memimpin sebuah proses peradilan. d. Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi aksi contempt of court yaitu Hakim harus senantiasa menjaga wibawa dan ketegasannya tanpa 58 lxix harus mengedepankan emosi sehingga masyarakat pada umumnya dan orang-orang yang terlibat dalam proses peradilan pada khususnya dapat menaruh kepercayaan bahwa Hakim dapat memberikan putusan yang adil, bijaksana dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Sedangkan upaya untuk mengatasi aksi contempt of court yang telah terjadi yaitu Hakim harus tegas menindak pelaku aksi tersebut melalui sebuah penuntutan sehingga dapat membuat jera pelaku dan dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat lainnya agar tidak melakukan aksi serupa. 2. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam hal mencegah ataupun menangani aksi contempt of court antara lain : a. Kurangnya kerjasama antar aparat penegak hukum sendiri. b. Keputus asaan Hakim karena jarangnya sebuah aksi contempt of court yang telah membahayakan dirinya ketika dilaporkan tidak ada tindak lanjutnya. c. Ancaman pihak-pihak tertentu yang menyangkut keselamatan diri hakim. d. Pelaku aksi contempt of court yang biasanya bergerombol tidak sebanding dengan jumlah aparat yang menjaga keamanan sidang. B. Saran 1. Terhadap semakin maraknya aksi contempt of court di Indonesia akhirakhir ini, hendaknya para hakim lebih tegas untuk menindaknya supaya lembaga Peradilan Indonesia tetap berwibawa dan dihormati. 2. Perlunya pengawalan dan perhatian yang lebih ketat terhadap proses persidangan dalam kasus yang menarik perhatian masyarakat. 3. Perlunya memberikan penyuluhan agar masyarakat lebih memahami hukum khususnya mekanisme beracara di dalam proses peradilan lxx mengingat tidak semua masyarakat Indonesia mempunyai pengetahuan hukum yang sama baiknya. 4. Tidak perlu menperdebatkan permasalahan perlu atau tidaknya membuat peraturan khusus mengenai contempt of court karena semua itu kembali pada mampu atau tidaknya hakim mengimplementasikan peraturan yang ada dan menjaga wibawanya sehingga sebuah proses peradilan dapat berjalan tertib dan adil sesuai peraturan perundang-undangan. lxxi DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Andi Hamzah dan Bambang Waluyo. 1989. Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court). Jakarta : Sinar Grafika. Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika. Darto Hamoko. 2003. Demokrasi Dalam Perjalanan Sejarah (Studi Kasus di DIY 1945 – Awal Reformasi). Yogyakarta : Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata. Fitri Ayuningsih. 2007. Studi Tentang Penerapan Syarat Formil dan Materiil Surat Dakwaan oleh Penuntut Umum dan Akibat Hukumnya Jika Dinyatakan oleh Hakim (Studi Kasus Oada Perkara Pidana Korupsi Pengadaan Helikopter dengan Terdakwa Abdullah Puteh). Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Harun M. Husein. 1992. Kasasi Sebagai Upaya Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. HB Soetopo. 1998. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Kansil. 1993. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid II (Pengantar Hukum Indonesia). Jakarta : Balai Pustaka. Martiman Pradjohamidjojo. 1992. Kekuasaan Kehakiman dan Wewenang Untuk Mengadili. Jakarta : Ghalia Indonesia. Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung : Alumni. Oemar Seno Adji. 1980. Pengadilan Bebas Negara Hukum. Jakarta : Erlangga. ______________. 1993. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Sejak Kembali ke UUD 1945. Jakarta : Sinar Harapan. Satcipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti. Soerjono Soekamto. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. lxxii Subagio Gigih Wijaya. 2007. Pranata Dissenting Opinion sebagai Instrumen Meningkatkan Tanggung Jawab Individual Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pidana Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Skripsi. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tanpa Pengarang. 2007. “Awas … Hakim Terancam!”. Tahun Ke IV Nomor 52.2007. Legal Review. Tahun Ke-IV Nomor 52. Yahya Harahap. 2002. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali). Jakarta : Sinar Grafika. Http://www/balispot.com. (15 Juli 2007 Pukul 19.00 WIB) Http://www.icel.or.id (15 Juli 2007 Pukul 19.15 WIB) Http://id.wikipedia.org/wiki/reformasi (15 Juli 2007 Pukul 19.20 WIB) Http://id.wikipedia.org/wiki/reformasi (15 Juli 2007 Pukul 19.30 WIB) Http://library.USU.ac.id (15 Juli 2007 Pukul 19.45 WIB) Http://SuaraMerdeka.com (15 Juli 2007 Pukul 20.00 WIB) Http://www.umy.ac.id (15 Juli 2007 Pukul 20.15 WIB) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung Nomor : KMA/104 A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. lxxiii