BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Terdahulu yang Relevan Ada beberapa penelitian mengenai masyarakat petani yang secara tidak langsung juga memberikan gambaran mengenai solidaritas kelompok kesukuan dan kehidupan kelompok petani atas kesamaan suku. Penelitian terdahulu ini berguna bagi peneliti sebagai pendukung tulisan yang dapat memberikan gambaran mengenai penelitian yang dilakukan peneliti. Penelitian terdahulu tersebut diuraikan sebagai berikut : 1. Tesis oleh Agung Wibowo pada tahun 2004 dengan judul Pengetahuan Lokal dan Kemandirian Petani “Samin” dalam Usahatani (Studi Kasus di Dusun Klopoduwur Desa Klopoduwur Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora). Penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif ini menunjukkan hasil bahwa Petani Samin mempunyai kemandirian dalam mengelola usahatani yang dibuktikan dengan mempertahankan pengetahuan lokalnya yang tercermin dalam sikap dan perilaku Petani Samin dalam mengelola usahatani. Kemandirian Petani Samin dalam mengelola usahatani tersebut diwujudkan dalam kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, mendayagunakan seluruh sumber daya yang dimiliki, kemampuan untuk memilih dan menanam tanaman di lahannya, keberanian menolak segala bentuk kerjasama yang tidak menguntungkan maupun yang akan membahayakan eksistensi nilai-nilai budaya Samin dan kemampuan menjaga ketercukupan pangan lokal. Hasil studi ini memberikan gambaran kepada peneliti bahwa masyarakat Suku Samin mempunyai pengetahuan lokal dan kemandirian yang merupakan bagian dari sumber keberdayaan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari sebuah keberdayaan. Hal ini ditunjukkan dengan pengetahuan lokal masyarakat Suku Samin yang masih terus dijaga melalui sikap dan perilaku petani Samin dan kemandirian masyarakat petani Suku Samin dalam kemampuan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki serta mampu untuk menjaga eksistensi nilai-nilai budaya. 2. Selanjutnya penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah tesis oleh Agustina Retnaningtyas pada tahun 2010 dengan judul Kajian Nilai-Nilai Tradisional Petani Komunitas Adat “Blangkon” Kaitannya dengan Usahatani (Studi Kasus di Desa Pekuncen Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Petani komunitas Adat Blangkon masih melaksanakan ritual adat atau selamatan dengan alasan untuk melestarikan tradisi nenek moyang dan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia yang telah diberikan. Nilai-nilai tradisional yang dilaksanakan adalah dalam bentuk ritual selamatan berdasarkan bulan, ritual selamatan umum dan ritual selamatan berdasarkan siklus kehidupan. Nilai positif dari nilai-nilai tradisional ini adalah masih kuatnya rasa kebersamaan atau kegotongroyongan dan kepatuhan atau loyalitas yang tinggi terhadap pemimpin adat. Sedangkan nilai negatifnya adalah rasa kepasrahan petani Adat Blangkon terhadap alam dan terhadap nasib apa adanya dan kurang adanya upaya untuk memperbaiki taraf hidupnya. Petani Adat Blangkon sudah merasa hidup cukup bila bisa makan tiga kali sehari, hidup rukun dan sehat. Untuk analisa usahatani ini, semua petani komunitas adat Blangkon tidak mencatat atau memperhitungkannya sehingga petani adat Blangkon tidak mengetahui berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk usahatani dan berapa pendapatan yang diperoleh. Hasil dari penelitian ini memberikan gambaran bahwa masyarakat yang berpegang pada adat cenderung melaksanakan ritual-ritual sebagai bentuk nilai-nilai tradisional yang masih dijaga bersama. Terjaganya nilai-nilai tradisonal tersebut memberikan dampak positif dengan masih adanya kebersamaan dan kepatuhan terhadap adat. Nilai positif yang ada pada hasil temuan tersebut memberikan gambaran mengenai ketaatan pada aturan kolektif sebagai bagian dari solidaritas sosial yang akan dikaji pada penelitian ini. 3. Selanjutnya adalah penelitian yang ditulis dalam jurnal oleh Helda Morales dan Ivette Perfecto pada tahun 2000 untuk membahas pengetahuan tradisional petani dengan judul Traditional Knowledge and Pests Management in the Guatemalan Highlands. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa petani di Patzun memiliki pengetahuan yang luas tentang praktek-praktek pertanian pencegahan untuk pengendalian hama. salah satu temuan yang paling menarik dari studi ini adalah konsep Cakchiquel petani yang dapat menjelaskan mengapa sebagian besar petani di Patzum menegaskan bahwa petani tidak memiliki hama di lahan. Namun, pengetahuan petani untuk tindakan kuratif pengendalian hama masih jauh lebih terbatas daripada pengetahuan petani tentang praktik pencegahan. Alasan utama dalam hal ini adalah bahwa masalah hama yang relatif baru di daerah tersebut dan petani tidak memiliki akses informasi tentang tindakan kuratif. 4. Penelitian terdahulu yang mendukung kajian ini adalah penelitian yang ditulis dalam jurnal oleh Florencia G. Palis pada tahun 2006 untuk membahas peran budaya dalam adopsi teknologi dengan judul The Role of Culture in Farmer Learning and Technology Adoption: A Case Study of Farmer Field School among Rice Farmers in Central Luzon, Phillipines. Hasil dari kajian ini menunjukkan bahwa partisipasi dalam sekolah lapangan petani (FFS) pengetahuan teknis yang diperoleh sebagai kelompok melalui pengalaman belajar diaktifkan kepada petani untuk mengatasi ketakutan petani, terutama yang berhubungan dengan risiko ekonomi. Proses belajar berdasarkan pengalaman di antara para peserta tersebut tidak mudah atau sederhana. Banyak negosiasi individu dan kelompok negosiasi yang berlangsung dalam seluruh proses FFS. Tekanan sosial seperti yang terkait dengan kegagalan publik dan ikatan sosial yang ada di antara peserta yang juga anggota koperasi yang sama membantu untuk menghasilkan keberanian kolektif untuk mengatasi rasa takut bersama terhadap resiko gagal panen yang disebabkan oleh hama serangga. Pengetahuan diperoleh melalui FFS ini sangat penting dalam membentuk tindakan yang diarahkan untuk mengadopsi metode dan teknologi baru. Budaya dalam hal ini menjadi kekuatan vital untuk membawa perilaku kooperatif diantara petani padi Filipina. 5. Penelitian terdahulu ini merupakan jurnal yang ditulis oleh Heike C. Alberts pada tahun 2005 untuk menggambarkan perubahan solidaritas kesukuan masyarakat Kuba dengan judul Changes In Ethnic Solidarity In Cuban Miami. Hasil dari kajian menunjukkan bahwa solidaritas berdasarkan kesukuan dapat terkikis mulai dari hilangnya kekompakan oleh pengaruh eksternal yang dalam hal ini adalah perbedaan politik pada masyarakat Kuba. Walaupun pada spesifikasi politik tertentu masyarakat Kuba dapat bersatu apabila berhadapan dengan masyarakat pendatang. Hasil tersebut memberikan gambaran bahwa untuk dapat mengkaji solidaritas sosial dalam masyarakat penting untuk memperhatikan pula perubahan pada solidaritas yang bisa saja terjadi pada masyarakat yang dikaji. 6. Penelitian berikutnya adalah Social Comparisons and Life Satisfaction Across Racial and Ethnic Groups: The Effects of Status, Information and Solidarity oleh Lewis Davis & Steven Wu (2014). Hasil penelitian ini menyajikan bukti bahwa solidaritas sosial menurun dengan adanya pembagian kelompok dari sebuah populasi negara, hasil yang secara luas konsisten dengan teori arti penting dari solidaritas sosial. Temuan ini menunjukkan bahwa efek solidaritas berperan dalam perbandingan sosial untuk kedua etnis kulit hitam dan putih di Amerika, meskipun yang terkuat adalah etnis kulit hitam. Penelitian ini mencatat bahwa para ahli mempunyai pendapat yang beragam mengenai implikasi solidaritas untuk kesejahteraan etnis kulit Hitam. Hasil penelitian ini juga menunjukkan manfaat solidaritas dalam membantu etnis kulit hitam sebagai kelompok-kelompok minoritas menjadi dapat diberdayakan untuk terlibat dalam arus utama masyarakat dan menjadi lebih aktif dalam bidang politik. Penelitian ini juga menyebutkan pendapat dari Herring (1999) bahwa Afrika Amerika berbagi rasa kesamaan, tapi identitas kelompok ini tidak terkait dengan permusuhan terhadap kulit hitam. Pada sisi lain, orang lain mengingatkan bahwa solidaritas kelompok dapat berkembang biak apabila terdapat penghinaan bagi anggota dari luar kelompok. 7. Penelitian mengenai The Impact of Urban Elements on Creating a Sense of Social Solidarity oleh Vahid Ghorbani, Mohamad Mohamadiasl, Fatemeh Keshvari dan Hamzeh Khorshidvand (2014) mengkaji hubungan antara identitas dan solidaritas sosial serta unsur-unsur dan konsep identitas yang bisa memberikan kondisi untuk penciptaan solidaritas sosial. Hal ini dapat menunjukkan bahwa identitas dan identitas kolektif yang khusus berakar pada keyakinan yang mendalam dari orang tertentu dalam sejarah adalah salah satu faktor yang paling efektif dalam solidaritas sosial. Bahasa adalah salah satu contoh terbaik untuk masalah ini terutama bahasa Persia yang menghubungkan orang dari daerah tertentu. Kadang-kadang, dalam pembahasan simbol dengan menggambarkan karakter mitologis seperti Rustam yang merupakan bagian dari identitas kolektif masyarakat yang dapat memungkinkan terciptanya solidaritas sosial. Menurut isu yang disebutkan di atas dan hubungan antara konsep-konsep ini dapat dinyatakan bahwa unsurunsur perkotaan yang sesuai dengan keyakinan kolektif orang dari negara tertentu atau wilayah bisa menjadi faktor dalam menciptakan solidaritas sosial. 8. Peneltian Spirons Gangas (2011) mengenai Values, Knowledge and Solidarity: Neglected Convergences Between E´ mile Durkheim and Max Scheler menunjukkan bahwa solidaritas organik sebagai konfigurasi etis dengan maksud untuk merusak bentuk nilai dogmatisme. Motif Durkheim pada realisasi abstrak nilai-nilai selama Revolusi Perancis dan risalah Scheler pada inversi ressentiment untuk nilai-nilai, menguatkan ditandai dengan sensitivitas pada kemungkinan negatif nilai fanatisme dan perspektif tirani yang didiagnosis. Sementara budaya, agama dan fundamentalisme nasionalis mencari bantahan-bantahan dari penyesuaian, strategi Schelerian memegang keuntungan bahwa upaya tersebut mencerminkan terdistorsi, penyesuaian yang didorong dengan memaksa masyarakat untuk memegang erat hal-hal dari identitas parokial. 9. Penelitian berikutnya Empowerment: Are we all talking about the same thing? Experiences from Farmer Field Schools in Nepal oleh Annemarie Westendorp (2013). Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa pemberdayaan adalah proses yang menantang asumsi tentang cara mendapatkan berbagai hal. Laki-laki dan perempuan sebagai peserta FFS mengkonfirmasi bahwa para peserta telah berdaya, tapi tidak menurut teknisi FFS dan pembuat kebijakan yang telah direncanakan. Data menunjukkan bahwa petani laki-laki dan perempuan berbeda persepsi tentang pemberdayaan dan ada kesenjangan besar antara pembuat kebijakan, fasilitator FFS dan petani mengenai persepsi tentang pemberdayaan dan bagaimana hal itu dapat memperkuat individu atau tindakan kolektif. Dalam FFS terutama dilihat sebagai aset, dan pemberdayaan terutama dianggap sebagai alat. Kebanyakan fasilitator melihat pemberdayaan sebagai instrumen untuk mencapai peningkatan produksi dan petani yang lebih otonom, yang dapat mengelola pembangunan dan bertindak secara otonom. Wawancara dalam penelitian Westendorp ini menegaskan bahwa pemberdayaan bersifat kompleks, proses multi-faceted yang tidak mudah untuk mengukur atau diukur. Melalui partisipasi peserta FFS baik laki-laki dan perempuan memperluas informasi kerangka kerja, pengetahuan dan analisis. Hal itu memperbesar ruang untuk bermanufer dan negosiasi petani melalui FFS. Petani terlibat dalam sebuah proses yang memungkinkan untuk menemukan pilihan baru, kemungkinan-kemungkinan baru dan akhirnya membuat keputusan yang lebih baik dalam pertanian. Peningkatan pengetahuan, keterampilan dan pendapatan dapat menjadi penting untuk perubahan. Tapi pelatihan dengan sendirinya tidak secara otomatis mengarah pada pemberdayaan. 10. Hasil penelitian mengenai Farmers' Empowerment indicators modeling in Mazandaran province, Iran oleh Mehdi Charmchian Langerodi (2013) adalah bahwa rata-rata pengalaman bertani para petani adalah 25,58 tahun yang menunjukkan tingkat tinggi pengalaman dari petani di provinsi Mazandaran. Jadi, dapat disimpulkan bahwa petani memiliki banyak pengetahuan lokal. Mempertimbangkan prinsip pengetahuan lokal merupakan faktor penting dalam penyuluhan pertanian dan pemberdayaan petani. Dikemukan alasan mengabaikan pengetahuan lokal sebagai ketinggalan jaman, para penyuluh justru harus mencoba untuk memahami petani dan konsekuensinya, sebelum melanjutkan untuk merekomendasikan sesuatu yang baru yang akan diadopsi. Mengenai tingginya persentase buta huruf atau tingkat rendah melek huruf di kalangan petani, diperlukan metode pelatihan yang digunakan dalam pertanian secara lisan dan visual daripada tertulis. Beberapa hasil regresi menunjukkan bahwa 22 persen dari varian pemberdayaan petani ditentukan melalui empat faktor yaitu sumber pinjaman, solusi, metode pelatihan dan rintangan. 11. Adapting the innovation systems approach to agricultural development in Vietnam: challenges to the public extension service oleh Rupert Friederichsen, Thai Thi Minh, Andreas Neef dan Volker Hoffmann (2013) merupakan penitian terdahulu yang menunjukkan bahwa peran petani etnis minoritas dalam proses inovasi telah membuat cukup upaya yang dilakukan oleh lembaga pembangunan internasional di Vietnam selama dua dekade terakhir untuk memperkenalkan pendekatan partisipatif dalam penyuluhan pertanian dan untuk membentuk sistem ekstensi struktur organisasi sehingga dapat lebih mendukung. Penelitian ini menunjukkan bahwa saat ini budaya organisasi dan sikap individu penyuluh merupakan faktor penting di mana keberhasilan atau partisipasi petani dalam sistem inovasi. Sederhananya, jaringan pemerintah masih menempati posisi dominan dalam sistem inovasi, meskipun munculnya aktor swasta dan jenis baru dari kelompok petani. Situasi ini rumit karena pada satu tangan, penyuluh pekerja pemerintah sering pada saat yang sama dengan pengusaha swasta. Kelompok tani, pada sisi lain, tidak hanya terkait dengan asosiasi pertanian swasta pengusaha tetapi juga terkait erat dengan dengan negara, seperti Persatuan Petani. Oleh karena itu, perubahan penting dalam sistem inovasi adalah kaburnya batas-batas antara negara dan perusahaan swasta di tingkat lokal dan kurangnya kategori umum yang tumpang tindih antara swasta dan publik. Untuk Vietnam dan wilayah pedesaan lainnya di Asia Tenggara dan dalam konteks transisi, diperlukan penelitian lebih mendalam mengenai bagaimana kelompok tani bisa berhasil mengorganisir diri dan membangun otonomi petani untuk kepentingan petani yang lebih independen dari pejabat dengan agenda pembangunan. Sebagai bagian dari pemerintah strategi pembangunan, layanan penyuluhan pertanian akan terus menyediakan lensa pada kebijakan dan praktek resmi pembangunan. Mempelajari cara di mana petani mengorganisir diri dalam merespon akan membantu pemahaman mengenai bagaimana, sampai sejauh mana, dan oleh siapa kekuatan untuk menentukan tujuan dan metode pembangunan pedesaan akan diperebutkan di masa depan. 12. Penelitian selanjutnya mengenai Agricultural Science in the Wild: A Social Network Analysis of Farmer Knowledge Exchange oleh Brennon A. Wood, Hugh T. Blair, David I. Gray, Peter D. Kemp, Paul R. Kenyon, Steve T. Morris, Alison M. Sewell (2014). Hasil penelitian ini mengkonfirmasi kekuatan homophily dalam kehidupan sosial. Prinsip homophily menyatakan bahwa terjadi kontak yang lebih sering antara sejenis dari pada kontak dengan yang berbeda. Sehingga jaringan padat yang dibentuk oleh hubungan sosial menghasilkan pemahaman bersama yang mengurangi jarak kognitif sehingga meningkatkan aktivitas dalam berbagi pengetahuan. Pemahaman bersama ini berarti bahwa hubungan yang mirip antara sosial sangat efektif ketika datang untuk berkomunikasi mengenai informasi yang kompleks dengan nilai praktis yang biasanya sangat bergantung pada pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman. Dari beberapa penelitian terdahulu yang telah dirangkum, peneliti menarik kesimpulan secara keseluruhan. Pertama, masyarakat tradisional cenderung mempunyai pengetahuan lokal dan kemandirian sendiri yang merupakan bagian dari keberdayaan atau menjadi sumber keberdayaan. Kedua, masyarakat yang masih memegang nilai-nilai tradisional cenderung patuh pada adat dan nilai-nilai dalam masyarakat tersebut. Ketiga, masyarakat petani tradisional tidak mudah untuk mengadopsi inovasi baru. Keempat, solidaritas berdasarkan kesamaan suku dalam suatu daerah dapat mengalami perubahan akibat pengaruh eksternal salah satunya adalah perbedaan pandangan politik. Wibowo (2004) dan Retnaningtyas (2010) memiliki kesamaan dalam objek kajian penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu pada masyarakat dengan kesamaan suku dan adat serta profesi sebagai petani. Namun, yang membedakan adalah penelitian yang akan dilakukan lebih berfokus pada solidaritas sosial dalam upaya mencapai keberdayaaan, yang dalam fokus tersebut telah didapatkan gambaran melalui hasil yang ditunjukkan oleh dua kajian tersebut. Kajian yang telah dilakukan oleh Moralis dan perfecto (2000) serta Palis (2006) memberikan pemahaman kepada peneliti bahwa masyarakat petani tradisional yang masih berpegang pada budaya memiliki pengetahuan lokal yang dapat membantu menyelesaikan masalah pertanian yang dihadapi namun tidak semua masalah bisa diselesaikan karena kurang adanya arus informasi yang diterima oleh masyarakat petani tradisional. Selain itu, masyarakat petani tradisional tidak mudah untuk mengadopsi inovasi baru. Perlu tindakan dan langkah tertentu untuk menumbuhkan partisipasi kolektif agar dapat menerima inovasi dengan memanfaatkan budaya sebagai kekuatan untuk membentuk sikap kooperatif masyarakat petani tradisional. Pada kajian yang dilakukan oleh Alberts (2005) solidaritas atas kesamaan suku lebih dibahas pada kekompakan masyarakat Kuba secara umum. Hal penting yang dapat diambil dari kajian ini adalah perlunya untuk memperhatikan pula perubahan yang bisa saja terjadi pada solidaritas masyarakat berdasarkan kesamaan suku. Serta kajian lainnya mendukung pada pembahasan selanjutnya dari hasil penelitian yang telah ditemukan. B. Tinjauan Pustaka 1. Solidaritas Sosial Solidaritas merupakan kesetiakawanan antar anggota kelompok sosial. Terdapatnya solidaritas yang tinggi dalam kelompok tergantung pada kepercayaan setiap anggota akan kemampuan anggota lain untuk melaksanakan tugas dengan baik. Pembagian tugas dalam kelompok sesuai dengan kecakapan masing-masing anggota dengan keadaan tertentu akan memberikan hasil kerja yang baik. Keadaan tersebut akan menjadikan semakin tinggi pula solidaritas kelompok dan sense of belonging (Huraerah dan Purwanto, 2006:7). Salah satu ciri ikatan solidaritas adalah adanya moral bersama yang dimiliki, maka dalam melakukan hubungan transaksi antar manusia, baik yang bersifat non ekonomis maupun yang ekonomis hanya mungkin bisa berkelanjutan apabila terjaganya trust (kepercayaan) dari pihak-pihak yang melakukan interaksi. Saling percaya akan kemauan dan kesedian untuk saling membantu antara satu sama lain merupakan modal sosial terpenting, baik dalam suatu komunitas masyarakat maupun dalam hubungan antar kelompok untuk dapat mengembangkan potensi yang dimiliki guna meningkatkan kesejahteraan hidup bersama. Sebaliknya, rasa saling tidak percaya atau mutual distrust yang semakin menonjol bisa merupakan indikasi bagi tidak mungkinnya suatu masyarakat mencapai kemajuan (Syahra, 2000:6-7). Lebih lanjut Soekanto dalam Soedjiati (1995:18) menjelaskan solidaritas sosial merupakan kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas sosial atau kasta, dan diantara berbagai pribadi, kelompok maupun kelas-kelas yang membentuk masyarakat atau bagian-bagiannya. Solidaritas sosial yang disebutkan oleh Durkheim dalam Lawang (1994:181) merupakan suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok yang mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional sehingga memperkuat hubungan antar masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, solidaritas sosial dipengaruhi oleh tiga konsep penting yang dijabarkan sebagai berikut : a. Interaksi sosial Wulansari (2009:34) mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan timbal balik antara individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, serta antara individu dengan kelompok. Soekanto (1982:61) menyebutkan bahwa interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya. Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor antara lain; faktor imitasi yang dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku, faktor sugesti yang dapat terjadi karena pihak yang menerima dilanda oleh emosi yang dapat menghambat daya berpikirnya secara rasional, faktor identifikasi yang merupakan kecenderungankecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seorang untuk menjadi sama dengan orang lain, dan faktor simpati yang merupakan sebuah proses yang memiliki dorongan utama keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama. Interaksi sosial terjadi apabila adanya syarat-syarat adanya kontak sosial dan komunikasi sosial. Kontak sosial adalah hubungan yang terjadi melalui percakapan satu dengan yang lain. Bentuk kontak sosial dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Kontak sosial yang bersifat positif dapat mempererat jalinan kerjasama yang baik dan membawa manfaat kepada kehidupan sosial. Kontak sosial yang negatif dapat berakibat ke arah timbulnya pertentangan yang dapat membawa keterangan-keterangan sosial sehingga memberi resiko terhambatnya proses pengembangan kehidupan sosial (Wulandari, 2009:36-37). Komunikasi adalah seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, sikap), perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut. Orang yang bersangkutan kemudian memberikan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain tersebut. Adanya komunikasi, sikap-sikap dan perasaanperasaan suatu kelompok manusia atau orang perseorangan dapat diketahui oleh kelompok-kelompok lain atau orang-orang lainnya. Hal itu kemudian merupakan bahan untuk menentukan reaksi apa yang akan dilakukannya. Komunikasi memungkinkan kerja sama antara orang perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia dan komunikasi merupakan salah satu syarat terjadinya kerjasama (Soekanto, 1982:67-68). b. Kepercayaan Kepercayaan adalah unsur penting dalam modal sosial yang merupakan perekat bagi langgengnya hubungan dalam kelompok masyarakat. Suatu kepercayaan yang dijaga menjadikan orang-orang bisa bekerja sama secara efektif. Modal sosial (Social Capital) adalah kapabilitas yang muncul dari kepercayaan umum di dalam sebuah masyarakat atau bagian-bagian tertentu darinya. Social Capital bisa dilembagakan dalam kelompok sosial yang paling kecil dan paling mendasar. Begitu juga pada kelompok-kelompok masyarakat yang paling besar, negara, dan seluruh kelompok-kelompok lain yang ada diantaranya (Fukuyama, 2002:37). Menurut Fukuyama dalam Suharto (2007:4) rasa percaya adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubunganhubungan sosial yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung, paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya. Kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Fukuyama dalam Field (2005:91) juga mengklaim bahwa kepercayaan merupakan dasar paling dalam dari tatanan sosial: ”komunitas-komunitas tergantung pada kepercayaan timbal balik dan tidak akan muncul secara spontan tanpanya.” c. Kesadaran individu Secara harfiah, kesadaran memiliki arti yang sama dengan mawas diri (awareness). Kesadaran juga diartikan sebagai sebuah kondisi dimana seorang individu memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun eksternal (Malik, 2005:45). Lebih lanjut Neolaka (2008:18) mengartikan kesadaran yaitu siuman atau sadar akan tingkah laku dimana pikiran sadar mengatur akal dan menentukan pilihan terhadap yang diinginkan misalnya baik dan buruk, indah dan jelek dan sebagainya. Menurut Hurssel kesadaran adalah pikiran sadar (pengetahuan) yang mengatur akal. Pikiran inilah yang menggugah jiwa untuk membuat pilihan baik-buruk, indah-jelek dan lainnya. Cara mengembangkan kesadaran dapat dilakukan dengan cara analisis diri dimana didalamnya dilakukan proses refleksi diri yang melibatkan pikiran dan perasaan. Refleksi ini meliputi perilaku yakni motivasi, pola berpikir, pola tindakan dan pola interaksi dalam relasi dengan orang lain, kepribadian yakni kondisi karakter/temperamen seseorang yang relatif stabil sebagai hasil bentukan faktor sosial, budaya dan lingkungan sosial, sikap yakni cara respon terhadap stimulus objek luar tertentu baik yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dan persepsi yakni suatu proses menyerap informasi dengan panca indera kemudian memberikan pemaknaan atas segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dirasakan Tujuan keseluruhan dari karya klasik mengenai tipe-tipe yang berbeda dalam solidaritas dan sumber-sumber struktur sosial adalah untuk menganalisa fungsi kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkan dalam bentuk pokok solidaritas sosialnya. Singkatnya pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. a. Solidaritas Mekanik Solidaritas mekanik mengarah pada masalah transisi dari tradisional ke modern. Durkheim mencirikan solidaritas mekanik pada masyarakat tradisional sebagai solidaritas yang tergantung pada keseragaman anggotaanggotanya, yang dalam kehidupan bersamanya diciptakan bagi keyakinan dan nilai-nilai bersama. Individualitas dalam kondisi solidaritas mekanik tidak berlaku sebab kesadaran individual tergantung pada kolektif dan mengikuti pada geraknya. Jadi, solidaritas mekanik lebih memberi peluang seluas-luasnya bagi kebersamaan tanpa batas yang mengakibatkan logika individual begitu saja terenyahkan. Tiada keputusan individu untuk mewarnai keputusan kolektif. Hukuman hanya ada pada masyarakat kolektif. Proses penyeragaman ini menjadikan masyarakat tradisional semakin kecil kesempatannya untuk sekedar membuat keputusan individual (Beilharz, 2003: 106-107). Solidaritas mekanik dipahami sebagai sebuah solidaritas yang terjadi pada masyarakat yang cenderung homogen secara sosial budaya. Solidaritas ini juga bisa terbentuk dari kesamaan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus sehingga dapat menimbulkan kesadaran kolektif yang dimiliki oleh masyarakat homogen. Pembentukan solidaritas mekanik menurut Durkheim dalam Abdullah & Leeden (1986:21) terdapat dua hati nurani di dalam diri, yang satu hanya berisikan keadaan khusus bagi diri pribadi dan menjadi ciri khas, sedangkan yang lainnya meliputi keadaan yang bersifat umum bagi seluruh masyarakat. Hati nurani yang pertama hanya mewakili dan merupakan kepribadian secara individual. Hati nurani yang kedua mewakili tipe kolektif dan dengan sendirinya juga mewakili masyarakat, sebab tanpa ada masyarakat mustahil ada tipe kolektif tersebut. Apabila salah satu unsur dari hati nurani kolektif itu menentukan tingkah laku, maka bertindak bukan demi kepentingan pribadi, melainkan demi mencapai tujuan kolektif. Padahal, walaupun berbeda kedua hati nurani tersebut terikat satu sama lain karena secara keseluruhan keduanya hanya terdiri dari satu saja dan karena itu keduanya hanya mempunyai pengganti organis yang satu dan sama. Jadi keduanya bersifat solider. Durkheim dalam Abdullah dan Ladeen (1986:122) menyebut sebagai solidaritas mekanik karena solidaritas itu tidak hanya terdiri dari keterikatan yang umum dan tidak menentu dari individu pada kelompok, melainkan juga menyebabkan selarasnya unsur gerakan-gerakan karena pada kenyataannya dorongan kolektif itu terdapat dimana-mana, hasilnya pun dimana-mana sama. Setiap kali dorongan itu berlangsung kehendakkehendak semua orang bergerak secara spontan dan seperasaan. Lebih lanjut ciri masyarakat dengan solidaritas mekanik dijelaskan Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2004:90) bahwa masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi satu dan padu karena seluruh orang adalah generalis. Ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Solidaritas mekanik didasarkan atas persamaan. Persamaan dan kecenderungan untuk berseragam inilah yang membentuk struktur sosial masyarakat mirip satu sama lain. Ciri masyarakat dengan solidaritas mekanik ini ditandai dengan kesadaran untuk hormat pada ketaatan karena nilai-nilai keagamaan masih sangat tinggi. Lebih lanjut dalam masyarakat yang dibentuk oleh solidaritas mekanik, kesadaran kolektif melingkupi seluruh masyarakat dan seluruh anggotanya, bersifat diyakini, sangat rigid dan isinya sangat bersifat religius. Kesadaran kolektif merupakan kepercayaan keagamaan atau kepercayaan lain yang menyokong masyarakat dalam konsensus normatif. Campbell (1994:179) memaknai kesadaran kolektif mengandung semua gagasan yang dimiliki oleh para anggota para anggota individual masyarakat dan yang menjadi tujuan-tujuan dan maksudmaksud kolektif. Norma gabungan diciptakan dengan individu-individu yang secara serentak menjadi sasaran norma potensial dan ahli warisnya sebenarnya membangun sebuah relasi wewenang; sebagai individu, mereka menjadi bawahan, menyerahkan hak untuk mengontrol jenis tindakan tertentu dan sebagai kolektivitas mereka menjadi atasan, mendapatkan hak tersebut sebagai kolektivitas atau pelaku kelompok. Pada beberapa desa otonom, komune dan masyarakat suku, tidak ada wewenang di luar wewenang ini. Wewenang desa atau komune atau suku berasal dari hak-hak yang dipegangnya, melalui norma yang diterima oleh semua, untuk membatasi beberapa tindakan dan mendorong tindakan-tindakan lain. Kolektivitas atau pelaku kelompok tersebut tak lain hanya terdiri atas kumpulan norma dan sanksi ini. Pada lingkungan semacam itu norma berlaku untuk semua sedangkan hukum resmi berlaku dalam masyarakat yang lebih legalistik dan sanksi komunitas berlaku untuk semua sedangkan sanksi hukum dan tindakan pemerintah berlaku dalam masyarakat dengan pemerintah yang ada (Coleman, 2011: 448). Koentjaraningrat (1990:136) mencirikan masyarakat dengan kehidupan kolektif tersebut dengan : 1. Adanya pembagian kerja yang tetap antara berbagai macam sub kesatuan atau golongan individu dalam kolektif untuk melaksanakan berbagai macam fungsi hidup. 2. Ketergantungan individu kepada individu lain dalam kolektif sebagai akibat dari pembagian kerja. 3. Kerjasama antar individu yang disebabkan karena sifat ketergantungan. 4. Komunikasi antar individu yang diperlukan guna melaksanakan kerjasama. 5. Diskriminasi yang diadakan antara individu-individu warga kolektif dan individu-individu dari luarnya. Bentuk selanjutnya adalah dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik cenderung melakukan pekerjaan yang sama sehingga pembagian kerja sangat sederhana, hal ini berbeda dengan masyarakat dengan solidaritas organik yang dijelaskan Durkheim dalam Ritzer dan Goodman (2004:89) bahwa pembagian kerja yang mengikat masyarakat dengan memaksa agar tergantung dengan yang lain. Bentuk tersebut juga didukung pemahaman Jones (2010:46) bahwa bentuk solidaritas mekanik dapat dilihat dalam hasil dari pembagian kerja yang sederhana. Sangat sedikit peranan untuk dimainkan atau cara hidup pun kurang bervariasi karena kebutuhan para anggota masyarakat untuk memandang dunia juga kurang lebih sama. b. Solidaritas Organik Solidaritas organik merupakan solidaritas yang terbangun dan beroperasi di dalam masyarakat yang berasal dari sekedar ketergantungan dari kesamaan bagian-bagiannya. Perbedaan-perbedaan yang membentuk kesatuan baru ini tentu bersifat saling melengkapi dan tidak saling bertentangan, karena setiap peran yang dispesialisasikan penampilannya tergantung pada kegiatan-kegiatan orang atau kelompok organisasi yang saling berhubungan di dalam suatu kegiatan dan aktivitas tak satu pun berdiri lepas satu sama lain. Solidaritas organik dengan demikian, adalah sebuah kesatuan dari sebuah keseluruhan yang bagian-bagiannya berbedabeda namun berhubungan dengan cara sedemikian rupa sehingga masingmasing membantu mencapai tujuan-tujuan keseluruhan. Fungsi pembagian kerja bukanlah sebagaimana yang mungkin diharapkan, seperti yang dikatakan Adam Smith dengan meningkatkan produktifitas, melainkan untuk memungkinkan sebuah kehidupan sosial yang integral tidak tergantung pada sebuah keseragaman dalam bagian-bagian sistem itu. Inilah kemudian yang diikutinya dari Marx dan Comte, yang keduanya itu berpikir bahwa pembagian kerja mau tidak mau pasti membedah tatanan sosial (Campbell, 1994:185-187). Lebih jelasnya Johnson (1986:183) menguraikan bahwa solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas itu didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dan pembagian pekerjaan yang memungkinkan serta menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Munculnya perbedaanperbedaan dikalangan individu ini merombak kesadaran kolektif itu, yang pada akhirnya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Durkheim mengatakan bahwa individu dan kelompok dalam masyarakat semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasi dengannya. Ini semakin diperkuat oleh pernyataan Durkheim bahwa kuatnya solidaritas organik ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutif) daripada yang bersifat mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat (Johnson, 1986:184) dan solidaritas organik bertahan bersama justru dengan perbedaan yang ada di dalamnya dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang berbeda (Ritzer dan Goodman, 2004:91). Perbedaan antara solidaritas mekanik dan solidaritas organik dapat disimpulkan dalam Tabel 1 berikut : Tabel 1. Perbedaan Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Solidaritas Mekanik 1. 2. 3. 4. Pembagian kerja rendah. Kesadaran kolektif kuat. Hukum represif dominan. Konsensus terhadap normanorma normatif penting. 5. Individualitas rendah. 6. Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang. 7. Secara relatif saling ketergantungan itu rendah. 8. Bersifat primitif atau perdesaan. Sumber: Johnson (1986: 188) Solidaritas Organik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Pembagian kerja tinggi. Kesadaran kolektif rendah. Hukum resitutif dominan. Konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum penting. Individualitas tinggi. Badan-badan kontrol sosial yang menghukum orangorang yang menyimpang. Saling ketergantungan yang tinggi. Bersifat industrial perkotaan. 2. Masyarakat Masyarakat didefinisikan Koentjaraningrat (1990:146-147) sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas bersama. Secara sosiologis, Giddens (2010:252) memahami masyarakat sebagai sistem sosial yang sedikit menonjol dengan latar belakang serangkaian hubungan sistemik lain yang menjadi induknya. Sunarto (1985:205) memberikan kriteria masyarakat sebagai kelompok tersebut harus mampu berada lebih lama daripada masa hidup seorang individu, kelompok tersebut harus merekrut anggota-anggota barunya setidaknya untuk sebagian melalui pembiakan, kelompok tersebut harus bersatu dalam memberikan kesetiannya kepada suatu kompleks sistem tindakan utama bersama dan sistem tindakan tersebut harus swasembada. Horton dan Hunt (1984:59) memberikan ciri-ciri masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relatif mandiri hidup bersama-sama cukup lama, mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Beberapa pemahaman mengenai para ahli mengenai masyarakat disimpulkan Setiadi dkk (2006:83) bahwa masyarakat terdiri dari berbagai unsur sebagai berikut: 1) Kumpulan orang. 2) Sudah terbentuk lama. 3) Sudah memiliki sistem dan struktur sosial tersendiri. 4) Memiliki kepercayaan (nilai), sikap dan perilaku yang dimiliki bersama. 5) Adanya kesinambungan dan pertahanan diri. 6) Memiliki kebudayaan. Selanjutnya masyarakat dibentuk oleh orang-orang yang harus memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan dan sistem hidup bersama dengan menciptakan nilai, norma dan kebudayaan yang dijelaskan di bawah ini : 1) Nilai Horton dan Hunt (1984:71) mendefinisikan nilai sebagai gagasan mengenai apakah pengamalan berarti atau tidak berarti. Schaefer (2012:75) menyebutkan bahwa nilai (values) adalah konsepsi kolektif dari apa yang dianggap baik, diinginkan dan pantas dalam suatu budaya. Nilai mengindikasikan pilihan orang dalam budaya tertentu, apa yang dianggap penting dan benar atau salah secara moral. Nilai dapat menjadi sangat spesifikasi. Tentu saja anggota dari suatu masyarakat tidak membagi nilai yang dimiliki secara seragam. Nilai mempengaruhi perilaku orang dan berfungsi sebagai kriteria untuk mengevaluasi perilaku orang lain. Nilai dalam budaya dapat berubah, tetapi kebanyakan bersifat stabil pada masa hidup seseorang. 2) Norma Setiap kelompok mengembangkan harapan mengenai cara yang benar untuk merefleksikan nilai-nilainya. Para sosiolog menggunakan norma (norm) untuk menggambarkan harapan-harapan tersebut atau aturan perilaku yang berkembang dari nilai-nilai suatu kelompok (Henslin, 2007:48). Lebih lanjut Schaefer (2012:72-73) mendefinisikan norma sebagai standar perilaku yang dibuat dan dipertahankan dalam suatu masyarakat. Norma digolongkan sebagai norma formal dan norma informal. Norma formal (formal norms) umumnya tertulis dan memiliki hukuman yang jelas bagi yang melanggar seperti dalam bentuk laws (hukum). Norma informal (informal norms) adalah norma yang dipahami secara bersama, namun tidak dicatat secara khusus seperti dalam bentuk folkways (kebiasaan), mores (tata kelakuan) dan custom (adat istiadat). 3) Kebudayaan Kebudayaan adalah suatu sistem norma-norma yang rumit berupa caracara merasa dan bertindak yang diharapkan, distandarisasi, dikenal dan diikuti secara umum oleh para anggota masyarakat (Horton dan Hunt, 1984:65). Koentjaraningrat dalam Setiadi dkk (2006:29-30) mengemukakan bahwa kebudayaan itu dibagi dan digolongkan dalam tiga wujud : a) Wujud sebagai suatu komples dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, normanorma dan peraturan. Wujud tersebut menunjukkan wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. b) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud tersebut dinamakan sistem sosial karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini merupakan perwujudan kebudayaan yang bersifat konkret, dalam bentuk perilaku dan bahasa. c) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud budaya ini merupakan hasil fisik yang bersifat konkret dalam bentuk materi. 3. Petani Suku Toraja a. Pengertian petani Mosher (1991:19) mendefinisikan pertanian sebagai sejenis proses produksi yang khas, yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman dan atau hewan. Para petani mengatur dan menggiatkan pertumbuhan tanaman dan hewan dalam usaha taninya (farm) sehingga perbedaan dasar antara kehidupan tumbuhan liar dan binatang liar dengan pertanian (usahatani) adalah pada kehadiran atau campur tangannya (manusia) petani. Petani merupakan salah satu hal yang pokok dalam pertanian. Hadisapoetro dalam Mardikanto (2007:26) mendefinisikan petani sebagai manajer yang mempunyai kewajiban untuk mengambil keputusan yang dapat menguasai dan mengatur sumber-sumber produktif yang ada di dalam usahatani secara efektif sehingga dapat menghasilkan benda dan pendapatan seperti yang telah direncanakan. Soetriono dkk (2006:22-27) menggambarkan sifat-sifat petani sebagai berikut: 1) Sebagai perorangan petani berbeda satu sama lain Pada umumnya petani menggunakan cara-cara yang biasa dipakai oleh orang tua dan sesekali meniru sesuatu yang baru dari tetangganya. Petani mengharapkan sedikit perubahan dalam kehidupannya atau sekedar terhindar dari kelaparan, sakit dan kematian anak-anaknya serta dapat mempertahankan tanah yang dimiliki atau memperluas. Sementara itu terdapat beberapa petani yang juga secara aktif mencari metode-metode baru mengenai penanaman supaya hasil yang diperoleh meningkat. 2) Petani hidup di bawah kemampuan Umumnya petani hidup di bawah kebiasaan. Petani mengenal suatu cara dan mempelajarinya secara terus menerus. Banyak kebiasaan yang menjadi pengganggu dan penghambat dalam penerapan metode-metode baru. Kebiasaan tersebut dapat menyebabkan kesukaran dalam mempelajari cara-cara baru dari suatu pekerjaan sehingga akan menghambat penerapan metode-metode yang lebih baik. 3) Pengaruh keluarga Keputusan dibuat oleh keluarga petani karena berbagai macam kegiatan usahatani dilakukan oleh keluarga sehingga berbagai pekerjaan dibagi antara keluarga. 4) Pengaruh masyarakat Bagi petani, masyarakat di sekitar mempunyai arti yang penting. Masyarakat tersebut adalah sumber keamanan. Petani mengharapkan bantuan dalam keadaan mendesak dari teman-teman dan tetangganya atau membantu keluarganya jika terjadi sesuatu terhadap dirinya. 5) Tradisi besar dan agama Selain dari kebiasaan dan nilai-nilai setempat yang mempengaruhi petani ada hal lain yang perlu diperhatikan juga yaitu tradisi besar dan agama. Petani yang dikaji dalam penelitian ini adalah petani dari sektor rumah tangga usaha pertanian yang menurut Reijntjes dkk (1999:32-33) mempunyai tujuan yang berkenaan dengan proses dan hasil usahatani yang merupakan pusat sekaligus objek pengambilan keputusan. Tujuan tersebut bisa digolongkan sebagai berikut : 1) Produktivitas. Keluarga petani dan individu-individu dalam keluarga itu memiliki cara sendiri untuk merumuskan dan mendefinisikan produktivitas, mungkin dengan satuan tenaga kerja yang dibutuhkan pada saat penanaman dan penyiangan atau dengan satuan air irigasi yang dimanfaatkan. 2) Keamanan. Mencari keamanan berarti meminimalkan resiko produksi atau kerugian sebagai akibat keragaman proses ekologis, ekonomis atau sosial. Keragaman ini meliputi fluktuasi yang dianggap kecil misalnya dalam cuaca, munculnya hama, permintaan pasaran, taksiran sumber daya, ketersediaan tenaga kerja atau gangguan-gangguan yang dianggap besar yang disebabkan oleh stress (misalnya penipisan unsur hara, erosi, salinitas, keracunan dan utang) atau shock (misalnya kekeringan, banjir, munculnya serangan hama atau penyakit baru, kenaikan harga input yang tajam dan merosotnya harga hasil). 3) Kesinambungan. Petani yang menginginkan agar mereka dan anakanaknya bisa melanjutkan cara hidup mereka, nemiliki kepentingan dalam mempertahankan potensi sistem usahatani untuk menghasilkan produk, yaitu dalam mempertahankan sumber daya yang mewakili usahatani mereka. Untuk menjamin kelangsungan cara hidup mereka, petani juga harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Kemampuan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang berubah akhirnya menentukan keberlanjutan pertanian. 4) Identitas. Identitas didefinisikan sebagai tingkat dimana sistem usahatani dan teknik pertanian secara perorangan selaras dengan budaya setempat dan visi masyarakat terhadap kedudukan petani di alam. Hal ini mencakup aspek-aspek seperti kemampuan pribadi (misalnya memilihara kuda), status sosial (misalnya memiliki banyak ternak untuk menunjukkan kekayaan atau untuk dipinjamkan bagi yang membutuhkan), tradisi budaya (misalnya melaksanakan upacara), norma-norma sosial (misalnya peran laki-laki dan perempuan) serta kepuasan spritual (misalnya menyatu dengan alam dan Tuhan). Sebagai penerima manfaat dalam proses pemberdayaan, terdapat dua ciri-ciri umum yang membedakan petani. Mardikanto (2009:50-56) menyebutkan sebagai dua kutub pendapat yaitu petani subsisten dengan ciri-ciri khusus yang pada umumnya tidak responsif terhadap program penyuluhan atau pemberdayaan. Pada dasarnya petani subsisten hanya mengutamakan selamat dan tidka mau melakukan perubahan-perubahan. Setiap perubahan dipandang sebagai sesuatu yang mengandung resiko yang justru akan memperburuk keadaannya yang sudah buruk. Secara rinci dalam usahatani subsisten berlaku ekonomi moral yang memiliki karakteristik khusus, yaitu: 1) Mengutamakan selamat Masyarakat petani ini lebih mengutamkan keselamatan dan tidak mudah menerima inovasi yang belum teruji dan lebih suka melakukan kebiasaan-kebiasaan, warisan tradisi yang benar-benar telah teruji oleh waktu. 2) Tidak menyukai/menolak pasar. Sejalan dengan etika subsistensi usahatani yang dilakukan terbatas pada komoditas yang menjadi kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. 3) Hubungan patroon-clien Hubungan antara elit dan warganya, pemilik dan penggarap dalam mengelola usahatani subisten benar-benar merupakan hubungan yang saling mendukung dan saling melindungi yang dilakukan guna menjaga keharmonisan kehidupan masyarakat dan keberlangsungan usahatani yang menjadi sumber kehidupan bersama. Kutub selanjutnya adalah petani rasional dengan ciri-ciri yang dangat responsif terhadap kegiatan pemberdayaan atau pembangunan pertanian. Popkin mengemukakan bahwa petani rasional adalah petani yang selalu ingin memperbaiki nasibnya, dengan mencari dan memilih peluang-peluang yang mungkin dapat dilakukannya. Secara lebih rinci Popkin mengemukakan ciri-ciri usahatani komersial sebagai berikut : 1) Menyukai perubahan Petani komersil justru mencari atau memburu inovasi demi perubahan dan peningkatan produksi serta perbaikan efisiensi. 2) Memerlukan pasar Petani sangat membutuhkan pasar sebagai tempat menjual kelebihan produksi yang tidak habis dikonsumsi sendiri. Pada perkembangan selanjutnya pasar juga diperlukan sebagai sumber input. 3) Hubungan kepentingan ekonomi Demi peningkatan efisiensi dan pendapatan atau keuntungannya, hubungan yang terjadi pada petani komersil hanya hubungan bisnis atau untung rugi atau bahkan saling mengeksploitasi. Dalam hubungan ini keharmonisan antar warga masyarakat sudah dilakalahkan dengan kepentingan pribadi dan kesejahteraan hanya dapat dinikmati dari banyaknya pendapatan atau keuntungan yang dapat dijadikan alat tukar atau alat pembelian produk (barang dan jasa) yang menjadi kebutuhan keluarganya. (Mardikanto, 2009:50-56) b. Pertanian Tradisional Suku Toraja Pengertian suku dalam hal ini menggunakan definisi yang disampaikan Hunt dan Colander (2001:227) bahwa suku adalah klasifikasi budaya. Kelompok suku adalah sebuah kelompok masyarakat yang dapat diidentifikasi berdasarkan landasan turun temurun dari leluhur dan adat istiadat kebudayaan. Pada umumnya petani Suku Toraja bergerak dalam pertanian tradisional. Pengembangan berbagai macam sistem pertanian petani tradisional sering menyesuaikan sistem pertanian dengan lingkungan ekologis, ekonomis, sosiokultural dan politis. Reijntjes dkk (1999:39) menyebutkan bahwa banyak pertanian yang terus bertahan hidup dan dalam beberapa kasus berkembang pesat dengan mengeksploitasi basis sumber daya alam yang telah dimanfaatkan oleh nenek moyang petani tradisional dari generasi ke generasi melalui suatu proses pembaruan dan adaptasi. Pertanian tradisional DI Wilayah Asia Tenggara digambarkan Koentjaraningrat (1981:48) bahwa ladang yang besarnya sekitar satu hektar biasanya dikerjakan oleh keluarga batih yang umumnya terdiri dari 3-5 tenaga individu. Terutama di Indonesia keluarga inti umumnya merupakan kesatuan kerja yang biasanya terdiri dari suami, istri dan anakanak yang cukup besar untuk dapat diserahi pekerjaan dalam proses produksi di ladang. Kesatuan kerja dijelaskan kembali oleh Koenjaraningrat (1981:53) bahwa pada dasarnya dapat mengerjakan sendiri produksi peladangan, namun selalu ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang membutuhkan tenaga tambahan. Tenaga tambahan tersebut biasanya bisa di dapat dengan sistem saling tolong menolong antara warga-warga sedesa dan sistem minta bantuan kepada warga-warga sedesa dengan sekedar kompensasi. Vollenhoven dalam Vink (1984:17) membagi berbagai bentuk masyarakat dengan modal pertanian berada di kuasa 1) suku, 2) suku dan keluarga, 3) suku dan perorangan, 4) Desa sesama anggota suku, 5) Suku, keluarga dan perorangan, 6) Desa (distrik), keluarga (bagian suku) dan perorangan, 7) Distrik, desa dan perorangan dan 8) Perorangan Lebih lanjut Vink (1984:26-28) juga menggambarkan keterikatan masyarakat Suku Toraja di daerah asal. Hal ini dapat memberikan gambaran mengenai kehidupan dan solidaritas masyarakat petani Suku Toraja. Pada masyarakat petani Suku Toraja terutama di pinggiran Danau Poso dalam sebagai usaha perorangan di bawah pengaruh suku. Usaha pada Suku Toraja di Poso seperti yang ditulis ALB Kruyt harus dipandang pula sebagai usaha perorangan yang berada di bawah pengaruh yang kuat dari suku. Para warga suku bertempat tinggal bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil, seolah-olah seperti pada suatu keluarga di bawah kepala desa geneologis. Kepala-kepala adat atau suku tidak mempunyai kekuasaan, mereka merupakan pemimpin dalam menjalankan adat. Hanya saja pada suku-suku yang dahulu memelihara budak-budak, kekuasaan lebih bersifat memaksa. Pengurusan merupakan pengurusan bersama yang berada di tangan para kepala keluarga desa. Pada sejumlah peristiwa, warisan yang tidak ada pemiliknya dianggap sebagai milik desa. Kerbau-kerbau dan budak-budak menjadi milik desa. Secara pribadi mereka mempunyai hak memetik hasil atas ladang-ladang pertanian yang digilir dan hak pakai atas semua barang-barang milik desa. Semenjak tahun 1907, ketika sawah-sawah dicetak, keadaan ini sudah berubah. Oleh karena sawah-sawah digarap setiap tahun, orang mulai merasakan adanya hak perorangan. Akan tetapi memperjualbelikan sawah masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak pantas. Jika seorang berpindah tempat, maka ia akan menghadiahkan secara cuma-cuma sawahnya kepada anggota keluarga atau teman. Kepala adat akan membawa persembahan untuk tanaman di ladang tapi tidak untuk di sawah. Selain itu juga tidak diadakan upacara-upacara keagamaan pada panen sawah. Sebab panen semacam itu dianggap sebagai hal yang baru. Belum lama berselang kehidupan bersama menjadi bersifat komunistis. Semua harta milik harus diserahkan kepada desa atau kepada warga desa siapa pun yang memintanya. Kepala suku mengatur pekerjaan para anggota persekutuan yang dinamakan gotong royong. Gotong royong dengan sukarela terjadi pada penggarapan pertama ladang atau membangun rumah. Jadi, usaha orang-orang Toraja di sekitar Danau Poso hingga belum lama berselang merupakan usaha perorangan yang sangat dipengaruhi oleh suku. Meskipun sesudah waktu itu hal tersebut telah sangat banyak berubah namun dapat dimaklumi bahwa masih juga terdapat banyak pengertian lama yang masih hidup, walaupun proses perorangan tersebut meningkat dengan kuat. Pada daerah-daerah Toraja yang lebih ke barat, dekat Rante Pao, Makale dan Mamasa keadaannya sudah lama berubah. Unsur perorangan sudah lama jauh lebih kuat daripada di Danau Poso. Meskipun demikian masih dapat dilihat pengaruh suku atas usaha perorangan. Misalnya penanaman palawija di sawah-sawah Rante Pao dan Makale yang masih dilarang (pamali) pada saat itu. Namun sebelumnya Vink (1984:25) menyampaikan bahwa jika suatu suku meleburkan dirinya ke dalam bagian-bagiannya, dan jika bagian-bagian suku itu pergi ke daerah-daerah lain dan bersentuhan dengan dunia luar, atau jika sifat tertutupnya menjadi terbuka maka unsur perorangannya akan semakin menonjol sehingga pada suatu saat orang dapat berbicara mengenai usaha-usaha pribadi. Peralihan itu seperti telah terbukti. Pada umumnya suku tidak banyak artinya, karena justru semakin membuat renggang ikatan darah dan menjadi sebab utama timbulnya individualisme. 2. Pemberdayaan a. Pengertian Pemberdayaan Menurut Shelippe dalam Isbandi (2003:292-293) konsep “Pembangunan Masyarakat” dengan “Pemberdayaan Masyarakat” serta “Pengembangan Masyarakat” pada dasarnya serupa atau setara. Perkembangan teori pembangunan itu di mulai dari praktek, yaitu kebutuhan yang dirasakan di dalam masyarakat terutama dalam situasi sosial yang dihadapi di dalam negara-negara yang menghadapi perubahan sosial yang cepat. Payne dalam Nasidian (2014:89) menyebutkan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dilengkapi dengan upaya membangun aset materil guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi. Kecenderungan pemberdayaan jenis ini disebut kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua, kecenderungan pemberdayaan yang dipengaruhi Pauolo Freire yang memperkenalkan istilah konsientisasi. Konsientisasi merupakan suatu proses pemaham dan penumbuhan kesadaran terhadap situasi yang sedang terjadi, baik dalam kaitannya dengan relasi-relasi politik, ekonomi dan sosial (Zubaedi, 2013:75). Menurut (Suharto, 2006:68) prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut: 1) Pemberdayaan adalah proses kolaboratif. Oleh karena itu harus ada kerjasama sebagai partner. 2) Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai aktor atau subjek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber dan kesempatan-kesempatan. 3) Masyarakat harus melihat diri sendiri sebagai agen penting yang dapat mempengaruhi perubahan. 4) Kompetensi diperoleh dan dipertajam melalui pengalaman hidup, khususnya pengalaman yang memberikan perasaan mampu pada masyarakat. 5) Solusi-solusi yang berasal dari situasi khusus, kasus beragam dan menghargai keberagaman yang berasal dari faktor-faktor yang berada pada situasi masalah tersebut. 6) Jaringan-jaringan sosial informal merupakan sumber dukungan yang penting bagi penurunan ketegangan dan meningkatkan kompetensi serta kemampuan untuk mengendalikan seseorang. 7) Masyarakat harus berpartisipasi dalam memberdayakan diri mereka sendiri, tujuan, cara dan hasil harus dirumuskan oleh mereka sendiri. 8) Tingkat kesadaran merupakan kunci dalam pemberdayaan, karena pengetahuan dan mobilisasi tindakan bagi perubahan. 9) Pemberdayaan melibatkan akses terhadap sumber-sumber dan kemampuan untuk menggunakan sumber-sumber tersebut secara efektif. 10) Proses pemberdayaan bersifat dinamis, sinergis, dinamis, evolutif, dikarenakan permasalahan selalu memiliki beragam solusi. 11) Pemberdayaan dicapai melalui struktur-struktur personal lain melalui pembangunan ekonomi secara pararel. Khususnya pada masyarakat tani, pemberdayaan dapat dilakukan melalui: 1) Penyadaran kepada semua pemangku kepentingan pembangunan pertanian, utamanya jajaran birokrasi dan petani sebagai pelaku atau pengelola usahatani, melalui : a) Sosialisasi kepada jajaran birokrasi, utamanya pejabat lingkup pertanian. b) Pelatihan, penataran dan lokakarya bagi petugas dan penyuluh pertanian. c) Pemberdayaan masyarakat kepada petani baik secara masal, kelompok maupun perorangan. 2) Peningkatan koordinasi antar pejabat (dinas/instansi terkait) lingkup kegiatan agrobisnis, utamanya keterpaduan dan sinergi pelayanan kepada masyarakat petani. 3) Pengembangan kegiatan agrobisnis terpadu oleh petani, kelompok tani dan atau Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) (Mardikanto, 2010: 170). Berdasarkan pemahaman tersebut maka pemberdayaan diartikan sebagai pemberian keberdayaan. Keberdayaan dalam konteks masyarakat disebutkan Mardikanto dan Soebiato (2013:40) adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental serta terdidik dan kuat serta inovatif tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain nilai fisik di atas, ada pula nilai nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber keberdayaan, seperti nilai-nilai kekeluargaan, kegotongroyongan, kejuangan dan yang khas pada masyarakat Indonesia adalah kebhinekaan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive) dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat ini menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik pada tingkat nasional disebut dengan ketahanan nasional. Ciri-ciri individu yang berdaya menurut Kemendiknas tahun 2009 dalam Amanah & Farmayanti (2014:3) adalah mengenali kekuatan dan kekurangan, memiliki komitmen dan tanggung jawab, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan individu/pihak lain, melaksanakan kerja atau kegiatan secara profesional, dapat membina hubungan interpersonal yang baik, mampu beradaptasi dengan lingkungan dan dapat menghargai diri sendiri dan orang lain. Sedangkan kelompok yang berdaya dapat dicirikan dalam Amanah dan Farmayanti (2014:4) adalah memiliki visi dan misi yang jelas, ada kerja sama dalam mencapai tujuan, kepemimpinan yang situasional, adanya program dan kegiatan uasaha produktif, adanya komunikasi yang efektif dan pembelajaran, adanya sarana dan prasarana kelompok adanya tekanan untuk berkinerja lebih baik lagi, adanya proses kaderisasi, dan pembinaan anggota. b. Karakteristik masyarakat sebagai penerima manfaat pemberdayaan Pemahaman mengenai karakteristik masyarakat sangat penting bagi proses penentuan dan perencanaan program pemberdayaan. Mardikanto (2010:150-158) menyebutkan bahwa karakteristik masyarakat sebagai penerima manfaat yang perlu dicermati adalah sebagai berikut : 1) Karakteristik pribadi Karakteristik ini mencakup tingkat pendidikan, suku/etnis, agama dan lain sebagainya. 2) Status sosial ekonomi Pendidikan menjadi perhatian utama, karena dinilai sebagai hal utama untuk memperbaiki mutu hidup. Selain itu, pendapatan masyarakat juga perlu diperhatikan agar dapat dikembangkan dalam program pemberdayaan dan keterlibatan masyarakat dalam organisasi masyarakat guna meningkatkan partsipasi dalam proses pemberdayaan. Pada status sosial ekonomi ini juga penting untuk memperhatikan aset yang dimiliki individu karena hal ini berkaitan dengan prestise dari individu tersebut. 3) Perilaku keinovatifan Perilaku keinovatifan masyarakat penting untuk dipahami karena hal ini akan sangat menentukan kecepatan tercapainya tujuan pemberdayaan masyarakat yang memerlukan proses adopsi/difusi inovasi. Proses difusi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Berlangsungnya proses adopsi inovasi sebenarnya tidak berbeda dengan proses difusi inovasi. Bedanya adalah, jika dalam proses adopsi pembawa inovasinya berasal dari luar sistem sosial masyarakat sasaran, sedang dalam proses difusi, sumber informasi berasal dari dalam sistem sosial masyarakat sasaran itu sendiri. 4) Moral ekonomi masyarakat petani Terkait dalam upaya perbaikan ekonomi masyarakat dalam proses pemberdayaan, identifikasi tentang moral ekonomi pemberi manfaat perlu mendapat perhatian. Adanya kontinum perilaku ekonomi dari yang bergerak dari moral subsisten yang pada umumnya tidak responsif terhadap inovasi yang ditawarkan melalui upaya pemberdayaan, ke arah moral ekonomi nasional yang sangat responsif terhadap perubahan. Pemahaman terhadap moral ekonomi ini memang penting, karena kelompok subsisten akan sulit menerima pertimbanganpertimbangan rasional. Sebaliknya, kelompok rasional akan sulit menerima pertimbangan-pertimbangan subsisten. c. Strategi Pemberdayaan Perlu untuk memperhatikan strategi pemberdayaan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan pemberdayaan yang diharapkan. Mardikanto (2010:204-210) menyebutkan bahwa dalam penentuan strategi ini perlu untuk memperhatikan beberapa hal berikut : 1) Spesifikasi tujuan pemberdayaan untuk mencapai penerima manfaat pembangunan. Hal ini akan dapat menentukan seberapa jauh aktivitas yang akan dilaksanakan oleh penguasa wilayah dan aparat pemberdayaan oleh masyarakat itu sendiri untuk menggerakan partisipasi masyarakat demi tercapainya tujuan pembangunan yang diinginkan. 2) Identifikasi kategori masyarakat. Strategi pemberdayaan masyarakat yang akan diterapkan harus selalu memperhatikan tujuan pemberdayaan dan kaitannya dengan keragaman dan keadaan penerima manfaat, serta harus diupayakan untuk selalu dapat menembus kendala-kendala yang biasanya muncul dari keragaman keadaan penerima manfaat itu. 3) Perumusan strategi pemberdayaan untuk penerapan teknologi. 4) Pemilihan strategi pemberdayaan masyarakat. Strategi pemberdayaan masyarakat yang efektif perlu dirancang sesuai dengan kebutuhannya, Pilihan strategi tergantung pada motivasi fasilitator dan perlu memperhatikan kondisi kelompok penerima manfaat. Mardikanto (2010:210) menyebutkan bahwa terdapat lima motivasi pemberdaya yang akan menentukan strategi pemberdayaan, yaitu bekerja untuk kepuasan fasilitator, merekayasa masyarakat, memasarkan inovasi kepada masyarakat, bekerja bersama masyarakat, membangun partisipatif masyarakat dengan dari, oleh dan untuk masyarakat. Namun dalam menentukan strategi pemberdayaan, kelima motivasi tersebut juga harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat sebagai sasaran pemberdayaan. Kondisi masyarakat ini menjadi syarat utama dalam menentukan strategi, sehingga mengidentifikasi masyarakat sebagai sasaran pemberdayaan menjadi hal penting yang terlebih dahulu dilakukan. Secara ringkas motivasi, kondisi masyarakat dan strategi pemberdayaan yang dapat dilakukan akan dikemukakan dalam sebuah kontinum pada Tabel 2 berikut: Tabel 2. Kontinum Strategi Pemberdayaan Melakukan untuk agen Bekerja untuk kepuasan fasilitator Melakukan kepada masyarakat Merekayasa masyarakat Melakukan Melakukan untuk dengan masyarakat masyarakat Memasarkan Bekerja bersama inovasi masyarakat kepada masyarakat Persyaratan dan Kondisi Masyarakat Melakukan bersama masyarakat Dari, oleh, untuk masyarakat (partisipatif) Lebih mengutamakan kepentingan pihak luar/fasilitator meskipun dengan mengorbankan masyarakat. - Ada target yang harus segera dicapai. - Masyarakat dianggap bodoh - Masyarakat sangat tergantung. - Tidak cukup tersedia alternatif. - Masyarakat paternalistik - Cukup tersedia waktu untuk mencapai targetnya. - Masyarakat sudah mampu (berani besuara). - Cukup tersedia alternatif. - Masyarakat cukup demokratis. Sumber: Mardikanto (2010:210) - Masyarakat sudah mampu (ekonomi, intelektual, keterbukaan. - Kepemimpinan demokratis tapi masih memerlukan pendamping. - Masyarakat sangat inovatif. - Swadaya masyarakat sangat tinggi. - Masyarakat sangat demokratis. d. Indikator keberdayaan Suharto dalam Mardikanto (2010:79) menyebutkan bahwa keberdayaan dapat dilihat berdasarkan kemampuan ekonomi, kemampuan akses manfaat kesejahteraan dan kemampuan kultural dan politis. Lebih lanjut secara rinci upaya mencapai keberdayaan yang dimaksud didukung berdasarkan indikator pemberdayaan yang dikaitkan dengan dimensi kekuasaan untuk mendapatkan gambaran secara jelas mengenai bentuk keberdayaan yang diupayakan sebagai salah satu tujuan dari konsep pemberdayaan seperti yang dijelaskan dalam sebuah tabel berikut : Tabel 3. Indikator Pemberdayaan Jenis hubungan kekuasaan 1 Kekuasaan di dalam: Meningkatnya kesadaran dan keinginan untuk berubah. Kemampuan Ekonomi 2 - Evaluasi positif terhadap kontibusi ekonomi dirinya. Kemampuan Kemampuan Mengakses kultural dan Manfaat politis Kesejahteraan 3 4 - Kepercayaan diri - Assetiveness dan dan otonomi. kebahagiaan. - Keinginan - Keinginan untuk memiliki menghadapi subordinasi Kekuasaan untuk: - Meningkatnya kemampuan untuk berubah. - Meningkatnya kesempatan untuk memperoleh 1 akses. Kekuasaan atas : - Perubahan pada hambatanhambatan super dan kekuasaan - Keinginan memiliki kesempatan ekonomi yang setara. - Keinginan memiliki kesamaan hak terhadap sumber yang ada pada rumah tangga dan masyarakat. - Akses terhadap pelayanan keuangan mikro. - Akses terhadap pendapatan. - Akses 2 terhadap asetaset pro duktif dan kepemilikan rumah tangga. - Akses terhadap pasar. - Penurunan beban dalam pekerjaan domestik termasuk perawatan anak. - Kontrol atas penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkannya. kesejahteraan yang setara. - Keinginan membuat keputusan mengenai diri dan orang lain. - Keinginan untuk mengontrol jumlah anak - Keterampilan, kemelekan huruf. - Status kesehatan dan gizi. - Kesadaran mengenal dan akses terhadap pelayanan 3 kesehatan reproduksi. - Ketersediaan pelayanan kesejahteraan publik. - - - - gender termasuk tradisi budaya, deskriminasi hukum dan pengucilan politik. Keinginan terlibat dalam proses-proses budaya, hukum dan politik. Mobilitas dan akses terhadap dunia di luar rumah. Pengetahuan mengenai proses hukum, 4 politik dan kebudayaan. Kemampuan menghilangk an hambatan formal yang merintangi akses terhadap proses hukum, politik dan kebudayaan - Kontrol atas - Aksi individu ukuran konsumsi dalam keluarga dan menghadapi aspek bernilai dan lainnya dari mengubah pembuatan persepsi keputusan budaya pada tingkat rumahtangga, masyarakat dan makro. - Kekuasaan atau tindakan individu untuk menghadapi hambatanhambatan tersebut. Kekuasaan 1 dengan : Meningkatnya solidaritas atau tindakan bersama dengan orang lain untuk menghadapi hambatanhambatan sumber dan kekuasaan pada tingkat rumah tangga, masyarakat dan makro. - Kontrol atas keluarga pendapatan termasuk aktivitas keluarga produktif berencana. keluarga yang - Aksi individu lainnya. untuk - Kontrol atas mempertahanka aset produktif n diri dari dan kekerasan kepemilikan keluarga dan keluarga. masyarakat. - Kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. - Tindakan individu menghadapi diskriminasi atas akses terhadap sumber dan pasar. - Bertindak - Penghargaan 2 3 sebagai model tinggi terhadap peranan bagi dan peningkatan orang lain pengeluaran terutama untuk anggota dalam keluarga. pekerjaan - Tindakan publik dan bersama untuk modern. meningkatan - Mampu kesejahteraan memberi gaji publik. terhadap orang lain. - Tindakan bersama menghadapi diskriminasi pada akses terhadap sumber (termasuk hak atas tanah), pasar dan kapasitas dan hak wanita pada tingkat keluarga dan masyarakat. - Keterlibatan individu dan pengambilan peran dalam proses budaya, hukum dan politik. - Peningkatan 4 jaringan untuk memperoleh dukungan pada saat krisis. - Tindakan bersama untuk membela orang lain menghadapi perlakuan salah dalam keluarga dan masyarakat. - Partisipasi dalam gerakan gerakangerakan menghadapi diskriminasi gender pada konteks ekonomi makro. subordinasi gender yang bersifat kultural, politik, hukum pada tingkat masyarakat dan makro. Sumber: Mardikanto (2010:80) C. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran permasalahan awal yang dikaji di penelitian ini. Penelitian pendahuluan ini dilakukan pada Kelurahan Juata Laut yang dikenal terdapat pemukiman masyarakat petani Suku Toraja. Penelitian ini dilakukan dengan mewawancara beberapa ketua RT yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai masyarakat yang ada di Kelurahan Juata Laut. Ketua RT yang diwawancara adalah ketua RT 13, 14 dan 19. Jumlah masyarakat Suku Toraja pada pemukiman setiap RT yang disebutkan sekitar 99% dari jumlah penduduk dalam satu RT dengan kesamaan profesi sebagai petani dan datang ke Tarakan mayoritas karena dideportasi dari Malaysia. Kehidupan masyarakat tersebut bertempat tinggal dengan jarak antar rumah yang cukup dekat dan pemukiman masyarakat yang tidak jauh dengan lahan pertanian. Rumah penduduk di pemukiman tersebut mayoritas merupakan rumah panggung dari kayu yang di bawah rumah dapat digunakan sebagai tempat penyimpanan hasil pertanian atau untuk berternak. Hal tersebut juga menandai adanya bentuk kesamaan yang merupakan penjelmaan solidaritas sosial pada masyarakat Suku Toraja tersebut. Kehidupan masyarakat tersebut diakui oleh beberapa ketua RT didasarkan atas nilai kebersamaan antar warga yang ditandai dengan tolong menolong yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat. Termasuk kebersamaan dengan saling membantu pada lahan pertanian masyarakat. Walaupun biasanya terlebih dahulu menggunakan tenaga pertanian yang didasarkan pada hubungan kekeluargaan dan dibantu oleh anggota keluarga petani itu sendiri. Nilai-nilai yang dimunculkan dari kesamaan tersebut merupakan sumber keberdayaan yang dapat digunakan oleh masyarakat petani Suku Toraja untuk mendapatkan keberdayaan, karena sejauh ini belum ada program pemberdayaan masyarakat yang diterima secara serius oleh masyarakat petani Suku Toraja. Bantuan yang pernah diterima hanya berupa pemberian pupuk bersubsidi dan bibit tanaman. Sehingga banyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat petani diselesaikan bersama sesepuh atau menanyakan solusinya pada masyarakat di luar kelompoknya yang menunjukkan bahwa arus informasi masyarakat petani Suku Toraja. Petani Suku Toraja akan merasa berdaya dalam pertanian apabila masyarakat petani tersebut dapat memperoleh hak milik secara legal atas lahan yang telah lama dirintis. Terdapat beberapa bentuk penguasaan lahan petani Suku Toraja di Tarakan. Pertama, petani membeli lahan dari pemilik sebelumnya yang sudah mempunyai legalitas secara sah oleh negara. Kedua, memperoleh legalitas baik berupa surat tanah, sertifikat hak milik dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau surat ijin memakai tanah negara terhadap lahan negara (lahan kosong) yang sebelumnya lahan tersebut sudah dirintis atau dikelola dalam waktu bertahun tahun dan tidak ada petani lain yang mengakui lahan tersebut. Proses merintis lahan baru ini juga yang sering menunjukkan kebersamaan yang sejauh ini diceritakan oleh beberapa Ketua RT tersebut dengan merintis secara bersama dan nanti lahan tersebut akan dibagi bersama. Ketiga, meminjam lahan yang dimiliki secara legal oleh orang lain. Lahan yang bukan milik sendiri tersebut menjadi hal yang hingga saat ini menjadi masalah bersama dan terus diupayakan masyarakat petani Toraja di Tarakan pada pemerintahan kota. Selanjutnya, penelitian pendahuluan ini juga didukung oleh penelitian terdahulu yang relevan dan pemahaman konsep yang ada agar dapat menetapkan kerangka pikir dalam penelitian yang akan dilakukan. D. Kerangka Pikir Kerangka pikir dalam penelitian ini dimulai dari faktor penting yang membentuk dan mempengaruhi solidaritas yaitu interaksi sosial, kepercayaan dan kesadaran individu yang diperhatikan pula dalam kesadaran individu ini adanya pengaruh dari tokoh masyarakat setempat. Ketiga hal tersebut dilihat terlebih dahulu sebelum mencermati solidaritas sosial melalui pembagian kerja, kesadaran kolektif, hukum dominan, individualitas, keterlibatan pemberian sanksi dan ketergantungan pada masyarakat petani Suku Toraja tersebut. Berdasarkan solidaritas sosial tersebut maka akan diperoleh bentuk dari solidaritas sosial yang ada pada masyarakat petani Suku Toraja. Baik berupa masyarakat yang masih pada solidaritas mekanik atau sudah mulai menuju kepada solidaritas masyarakat organik. Hasil dari bentuk solidaritas sosial tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran dan pola mengenai karakteristik masyarakat petani Suku Toraja yang dapat dicermati melalui karakteristik pribadi, status sosial ekonomi, perilaku keinovatifan dan moral ekonomi masyarakat. Namun, berdasarkan penelitian terdahulu yang relevan sangat penting untuk memperhatikan pengaruh eksternal pada solidaritas sosial masyarakat begitu pula dengan karakteristik masyarakat sebagai sasaran pemberdayaan masyarakt sehingga sangat penting dalam pengaruh eksternal tersebut melihat difusi inovasi, arus informasi dan lingkungan sosial sekitar. Kemudian gambaran karakteristik masyarakat yang dilihat dan saling berkaitan dan juga saling dilihat pengaruh dari tokoh masyarakat berdasarkan bentuk solidaritas sosial masyarakat tersebut dapat dikaitkan pemberdayaan berupa program pemberdayaan yang ada maupun upaya masyarakat dalam mencapai keberdayaan yang telah dan sedang dilakukan yang dapat dilihat dari tiga pokok penting dari pemberdayaan yaitu berupa upaya mencapai kemampuan ekonomi, upaya mencapai kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan dan upaya mencapai kemampuan kultural dan politis dan peran dari tokoh masyarakat tersebut terhadap upaya mencapai keberdayaan yang dilakukan. Secara singkat untuk memahami kerangka pikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 berikut: Masyarakat homogen Kehidupan sosial masyarakat - Bentuk solidaritas sosial Pembagian kerja Kesadaran kolektif Hukum dominan keterlibatan pemberian sanksi Ketergantungan individualitas - Karakteristik masyarakat sebagai sasaran pemberdayaan - Karaktersitik pribadi - Status sosial ekonomi - Perilaku keinovatifan - Moral ekonomi masyarakat Upaya mencapai keberdayaan Kemampuan ekonomi Kemampuan akses manfaat kesejahteraan Kemampuan budaya dan politis Gambar 2. Kerangka pikir penelitian mengenai solidaritas sosial masyarakat Petani Suku Toraja dalam upaya mencapai keberdayaan E. Dimensi Penelitian 1. Solidaritas Sosial Solidaritas sosial dalam penelitian ini adalah hubungan keterikatan yang didasarkan dan dipengaruhi pada kepercayaan, interaksi sosial dan kesadaran individu yang dapat dicermati dari beberapa aspek penting yaitu pembagian kerja, kesadaran kolektif, hukum dominan, individualitas, keterlibatan pemberian sanksi dan ketergantungan antar masyarakat untuk dapat mengetahui bentuk solidaritas sosial yang ada pada masyarakat yang akan dikaji apakah masih pada bentuk solidaritas mekanik atau cenderung menuju pada solidaritas organik. 2. Kepercayaan Kepercayaan merupakan hubungan yang didasari oleh perasaan yakin pada antar individu untuk melakukan sesuatu yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung paling tidak yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya dalam masyarakat tersebut. 3. Interaksi Sosial Interaksi sosial dalam penelitian ini dipahami sebagai hubungan timbal balik antar individu maupun kelompok yang didasarkan pada adanya kontak sosial berupa percakapan dan adanya komunikasi sosial berupa tafsiran yang diberikan dalam wujud sikap, pembicaraan ataupun perasaan dan bagaimana reaksinya dalam masyarakat tersebut. 4. Kesadaran Individu Kesadaran individu merupakan pikiran atau perasaan sadar yang mengatur akal individu yang di dalamnya meliputi motivasi, pola berpikir, pola tindakan dan pola interaksi dalam hubungan dengan orang lain serta berupa kepribadian, sikap dan persepsi dari hasil bentukan faktor sosial, budaya dan lingkungan. 5. Pembagian Kerja Pembagian kerja adalah peranan yang dimainkan atau cara hidup anggota masyarakat. 6. Kesadaran Kolektif Kesadaran kolektif adalah semua gagasan yang dimiliki oleh para anggota individual masyarakat dan menjadi tujuan serta maksud-maksud kolektif. 7. Hukum Dominan Hukum dominan adalah hukum yang berlaku secara dominan pada masyarakat tersebut baik berupa hukum represif atau sudah cenderung pada hukum resitutif. 8. Keterlibatan Pemberian Sanksi Keterlibatan pemberian sanksi yang dilihat dalam penelitian ini adalah peran dari pihak yang memberikan sanksi apabila terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh anggota masyarakat tersebut apakah melibatkan peran komunitas masyarakat tersebut atau badan-badan kontrol sosial yang menghukum. 9. Ketergantungan Ketergantungan adalah keadaan hubungan sosial yang saling tergantung antar individu sebagai anggota masyarakat tersebut terutama dalam aspek pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 10. Solidaritas mekanik merupakan bentuk solidaritas yang ada pada masyarakat tradisional yang ditandai dengan kesadaran kolektif yang tinggi dan pembagian kerja yang rendah, hukum represif dominan, konsensus terhadap norma-norma normatif penting, individualitas rendah, keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang, secara relatif saling ketergantungan itu rendah, dan bersifat primitif atau pedesaan. 11. Solidaritas organik merupakan bentuk solidaritas yang cenderung ada pada masyarakat modern yang ditandai dengan pembagian kerja tinggi, kesadaran kolektif rendah, hukum restitutif dominan, konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum penting, individulitas tinggi, badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang-orang yang menyimpang, saling ketergantungan yang tinggi dan bersifat industrial perkotaan. 12. Masyarakat Petani Suku Toraja Masyarakat petani Suku Toraja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesatuan hidup manusia dalam kelompok pada suatu daerah tertentu yang mempunyai kesamaan latar belakang suku yaitu Suku Toraja dan profesi sebagai petani dari sektor rumah tangga usaha pertanian baik berupa pertumbuhan tanaman maupun hewan. 13. Tokoh Masyarakat Tokoh masyarakat adalah orang-orang yang dianggap memiliki pengaruh dan ditokohkan oleh masyarakat tersebut, dalam penelitian ini yaitu berupa pendeta maupun sesepuh adat/suku. 14. Karakteristik Masyarakat Karakteristik masyarakat adalah ciri-ciri yang bisa menandai masyarakat dalam penelitian ini masyarakat petani Suku Toraja yang dapat dicermati melalui karakteristik pribadi, status sosial ekonomi, perilaku keinovatifan dan moral ekonomi masyarakat tersebut. 15. Karakteristik Pribadi Karakteristik pribadi ini mencakup tingkat pendidikan, suku/etnis, agama dan lain sebagainya. 16. Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi ini mencakup pendidikan dan pengetahuan serta pendapatan serta sterotipe anggota masyarakat tersebut. 17. Perilaku Keinovatifan Perilaku keinovatifan dilihat dari perilaku anggota masyarakat dalam proses adopsi inovasi. 18. Moral Ekonomi Masyarakat Moral ekonomi masyarakat dilihat dari perilaku ekonomi yang bergerak secara moral subsisten atau responsif terhadap perubahan. 19. Keberdayaan Keberdayaan merupakan kemampuan individu sebagai anggota masyarakat untuk bertahan dan mampu mengembangkan diri dan mencapai kemajuan yang dapat dilihat dari kemamampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan dan kemampuan kultural dan politis. 20. Upaya Mencapai Keberdayaan Upaya mencapai keberdayaan dalam penelitian ini dipahami sebagai upaya masyarakat untuk mencapai kemampuan ekonomi, mengakses manfaat kesejahteraan serta kemampuan kultural dan politis atau upaya lain yang ditemuakn di lapangan. 21. Kemampuan Eknomi Kemampuan ekonomi dalam penelitian ini dilihat dari kontribusi, kesempatan dan kesamaan hak sumber ekonomi dari anggota masyarakat secara individu. Selain itu juga berdasarkan kemampuan anggota masyarakat serta ketersediaannya akses terhadap pelayanan keuangan mikro, pendapatan, aset produktif, pasar dan penurunan beban dalam pekerjaan domestik rumah tangga, serta adanya kontrol individu terhadap hal tersebut dan peranan bagi orang lain dengan mampu memberi gaji atau upah kepada orang lain serta mampu menghadapi diskriminasi pada akses sumber ekonomi, pasar dan gender. 22. Kemampuan Mengakses Manfaat Kesejahteraan Kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan ini dilihat dari kepercayaan diri, keinginan untuk memiliki kesejahteraan yang setara, dapat membuat keputusan sendiri dan mengontrol jumlah anak. Selain itu kemampuan ini juga dilihat berdasarkan keterampilan dan kemelekan huruf, kesadaran akses pelayanan kesehatan dan ketersediaan pelayanan kesejahteraan publik dan adanya kontrol atas konsumsi keluarga, mempertahankan diri dari kekerasan serta tindakan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan publik. 23. Kemampuan Kultural dan Politis Kemampuan kultural dan politis dilihat berdasarkan otonomi anggota masyarakat, keinginan untuk menghadapi menghadapi dan terlibat dalam proses-proses budaya, hukum dan politik dengan adanya mobilitas dan akses individu terhadap dunia luar, memiliki pengetahuan mengenai proses hukum, politik dan kebudayaan, adanya aksi dalam menghadapi perubahan persepsi, keterlibatan peran dan menghilangkan hambatan yang merintangi akses terhadap ketiga hal tersebut. Serta pengingkatan jaringan, tindakan bersama dan partisipasi dalam gerakan yang menghadapi subordinasi gender pada ketiga hal tersebut.