KASUS PATOLOGI PADA DUA EKOR KOMODO

advertisement
KASUS PATOLOGI PADA DUA EKOR
KOMODO (Varanus komodoensis)
HAPPY CORINA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
DAN SUMBER INFORMASI SERTA
PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kasus Patologi pada
Dua Ekor Komodo (Varanus komodoensis) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Happy Corina
NIM B04061650
ABSTRACT
HAPPY CORINA. Pathological Cases of the Two Komodo Dragons (Varanus
komodoensis). Supervised by BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
This case study was aimed to identify the gross and histopathological
lesions of the affected organs in order to find the cause of the death of two
komodo dragons. In this study, two male komodo dragons, 11 years old, were
found dead on 2 July 2009 and 26 May 2009. The two bodies of komodo dragons
were sent to Pathology Division, Department of Clinic, Reproduction, and
Pathology, Faculty of Veterinary Medicine, Bogor Agricultural University, for
gross lesion and histopathological examinations. The pathological observation
found that there were tick infestation on the skin; emphysema, edema, and
atelectasis in the lung; cardiomyopathy in the heart; congestion and inflammation
in the several other internal organs. Based on the findings, it suggested that the
cause of the death of two komodo dragons due to simultaneously several damage
of the internal organs.
Keywords: komodo, pathology, pneumonia, tapeworm.
ABSTRAK
HAPPY CORINA. Kasus Patologi pada Dua Ekor Komodo (Varanus
komodoensis). Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO.
Studi kasus ini dilakukan untuk mengidentifikasi gambaran patologi
anatomi dan histopatologi organ-organ tubuh komodo dalam upaya mengetahui
penyebab kematian komodo tersebut. Pada kasus ini dua ekor komodo jantan
berusia 11 tahun ditemukan mati pada tanggal masing-masing 2 Juli 2009 dan 26
Mei 2009. Kadaver kedua komodo tersebut dikirim ke Bagian Patologi,
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi (KRP), FKH IPB, untuk dilakukan
pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi. Hasil pengamatan secara
patologi ditemukan adanya infestasi caplak pada kulit; emfisema, edema, dan
atelektasis pada paru-paru; kardiomiopati pada jantung; serta kongesti dan
inflamasi pada beberapa organ dalam lainnya. Berdasarkan hasil temuan patologi
di atas, kematian dua ekor komodo ini diduga karena kerusakan beberapa organ
internal yang terjadi secara simultan.
Kata Kunci: Komodo, patologi, pneumonia, cacing pita.
KASUS PATOLOGI PADA DUA EKOR
KOMODO (Varanus komodoensis)
HAPPY CORINA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judui Skripsi: Kasus Patoiogi pada Dua Ekor Komodo (Varanus komodoensis)
Nama
: Happy Corina
NIM
: B04061650
Disetujui oleh
.~.
Prof. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto. MS. PhD. APVet
Pembimbing
Disetujui tanggai :
o1 AUG 2013
Judul Skripsi : Kasus Patologi pada Dua Ekor Komodo (Varanus komodoensis)
Nama
: Happy Corina
NIM
: B04061650
Disetujui oleh
Prof. Drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D, APVet
Pembimbing
Diketahui,
Drh. Agus Setiono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan
Disetujui tanggal :
PRAKATA
Ashhaduallailahaillallah wa ashhaduanna muhammadan rasulullah.
Alhamdulillahirabbilalamin. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan dan penulisan
skripsi dengan judul “Kasus Patologi pada Dua Ekor Komodo (Varanus
komodoensis)” telah diselesaikan.
Proses penyusunan skripsi ini tentu saja tidak terlepas dari dukungan
berbagai pihak. Penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
seluruh dosen dan teknisi Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi, FKH, IPB, atas izin penggunaan kadaver dan fasilitas laboratorium;
Prof. Drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS, Ph.D, APVet, selaku pembimbing
skripsi dan Drh. Risa Tiuria, MS, selaku pembimbing akademik atas ilmu,
nasihat, saran, dan kritik yang telah diberikan; kepada Drh. Mawar Subangkit,
MS, selaku moderator dan Dr. drh. Eva Harlina, MS, APVet, selaku penguji
seminar, penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih; kepada Drh. Chaerul
Basri, MEpid dan Drh. Wahono Esthi, MS, APVet, selaku penguji skripsi atas
ilmu, nasihat, saran, dan kritik yang telah diberikan; kepada Mbak Kiki dan Pak
Aeb penulis sampaikan terima kasih atas saran dan nasihatnya. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang turut membantu hingga
selesainya penyusunan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2013
Happy Corina
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
2 TINJAUAN PUSTAKA
3 BAHAN DAN METODE
3 1 Tempat dan Waktu
3 2 Bahan dan Alat
3 3 Metode
3 4 Analisis Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
5 SIMPULAN DAN SARAN
6 DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
Halaman
i
ii
iii
iv
1
2
2
2
3
3
5
5
17
17
19
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tabel 1 Hasil Pemeriksaan patologi anatomi di
berbagai organ pada komodo
2. Tabel 2 Hasil pemeriksaan histopatologi di berbagai organ pada komodo
5
11
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar kadaver komodo
2. Gambaran patologi anatomi pada paru-paru
3. Gambaran patologi anatomi pada jantung
4. Gambaran patologi anatomi pada usus
5. Gambar cacing pita
6. Gambaran histopatologi pada trakea
7. Gambaran histopatologi pada paru-paru
8. Gambaran histopatologi pada jantung
9. Gambaran histopatologi pada usus
10. Gambaran histopatologi pada hati
11. Gambaran histopatologi pada limpa
12. Gambaran histopatologi pada ginjal
13. Gambaran histopatologi pada testis
Halaman
3
6
6
6
6
7
7
8
8
9
9
10
10
1
1 PENDAHULUAN
1 1 Latar Belakang
Komodo (Varanus komodoensis) adalah kadal terbesar di dunia yang
hidup di Pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami yang
terletak di Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Perkiraan jumlah komodo dari hasil
studi yang telah dilakukan oleh para peneliti berkisar antara 3000 hingga 4000
ekor yang endemik di lima pulau seperti tersebut di atas. Komodo juga merupakan
spesies yang rentan terhadap kepunahan, dan dikategorikan sebagai spesies rentan
dalam daftar IUCN Red List (IUCN 2012) serta diklasifikasikan sebagai spesies
CITES Appendix 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan komodo
terhadap kepunahan diantaranya adalah aktivitas vulkanis, kerusakan habitat,
berkurangnya mangsa, meningkatnya pariwisata, dan perburuan gelap
(Auffenberg 1981).
Pemerintah Indonesia telah menetapkan berdirinya Taman Nasional
Komodo sejak tahun 1980 untuk melindungi populasi komodo dan ekosistemnya
di beberapa pulau termasuk Komodo, Rinca, dan Padar. Spesies ini mulai
dipelihara di penangkaran beberapa tahun berikutnya, namun hanya dapat
bertahan hidup rata-rata 5 tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kerentanan komodo
terhadap penyakit akibat infeksi dan noninfeksi.
Masalah-masalah kesehatan sering ditemukan pada komodo di lapangan
seperti infeksi oleh parasit, infeksi oleh bakteri, dan infeksi oleh virus, sedangkan
di penangkaran telah dilaporkan masalah kesehatan seperti amebiasis dan
mykobakteriosis (Scoric et al. 2012). Penyebab kematian biasanya karena
nekrosis hati, acute hemorrhagic proctitis, colitis parah, enteritis, dan emfisema.
1 2 Tujuan
Studi ini dilakukan untuk mencari penyebab kematian dua ekor komodo
dengan mengidentifikasi perubahan-perubahan patologi organ-organ komodo
melalui pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi.
1 3 Manfaat
Studi ini dilakukan dengan harapan dapat menambah informasi bagi dunia
ilmu pengetahuan di bidang satwa liar tentang perubahan-perubahan patologi dan
histopatologi pada komodo, sehingga dapat menjadi referensi untuk melakukan
kajian lebih lanjut bagi peneliti, mahasiswa, dan masyarakat umum yang tertarik
di bidang satwa liar khususnya satwa komodo.
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Reptilia
Subkelas
: Diapsida
Ordo
: Squamata
Subordo
: Sauria
Infraordo
: Autarchoglossa
Famili
: Varanidae
Genus
: Varanus
Spesies
: V. komodoensis
Komodo hanya dapat ditemukan di Pulau Komodo, Flores, Rinca, Gili
Motang, dan Gili Dasami di Nusa Tenggara Timur. Lokasi-lokasi tersebut
merupakan habitat komodo yang berupa area vulkanik dan savana (Auffenberg
1981; Molnar & Pianka 2004). Komodo seperti yang telah diketahui, merupakan
kadal terbesar yang masih hidup. Panjang tubuh individu jantan dapat mencapai 3
m dengan berat badan 90 kg, sedangkan individu betina dapat mencapai 2 m
dengan berat badan 70 kg. Komodo memiliki ekor yang sama panjang dengan
tubuhnya, dan memiliki sekitar 60 buah gigi yang bergerigi tajam dengan panjang
sekitar 2.5 cm, yang diganti secara periodik. Komodo juga memiliki lidah yang
panjang, berwarna kuning dan bercabang yang berguna untuk mendeteksi
kehadiran mangsa. Komodo, sebagaimana reptil pada umumnya juga memiliki
indera-indera, dengan tingkat morfologi dan fungsional yang lebih tinggi.
Komodo memiliki indera penciuman yang sangat tajam, indera pendengaran,
indera pernapasan yang efisien, dan sistem sirkulasi yang kompleks sehingga
mereka dapat beraktivitas dengan intensitas yang tinggi tanpa merasa kelelahan
(Fry et al. 2009).
Komodo pada dasarnya adalah karnivora dengan jenis mangsa yang
bervariasi dan bersifat kanibal. Para komodo menghabiskan waktu sekitar 10-20
menit untuk makan dan membutuhkan waktu sekitar 3-6 hari untuk mencerna
makanan tersebut (Auffenberg 1981). Beberapa penyakit infeksi dan noninfeksi
telah dilaporkan dapat menyerang komodo.
3 BAHAN DAN METODE
3 1 Tempat dan Waktu
Pengamatan postmortem dan histopatologi dilakukan di Bagian Patologi,
Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2009-2012.
3
3 2 Bahan dan Alat
3 2 1 Kadaver
Kadaver yang digunakan adalah dua ekor komodo jantan, masing-masing
berumur 11 tahun, dengan nomor protokol P/135/09 [I] (Gambar 1) dan P/137/09
[II]. Dua ekor komodo ini ditemukan mati pada tanggal masing-masing 2 Juli
2009 dan 26 Mei 2009. Kadaver tersebut dikirim ke Bagian Patologi, Departemen
Klinik, Reproduksi, dan Patologi (KRP), FKH, IPB untuk dilakukan pemeriksaan
patologi anatomi dan histopatologi.
Gambar 1 Kadaver komodo yang akan di nekropsi.
3 2 2 Perlengkapan nekropsi
Alat dan bahan yang digunakan adalah pisau bedah, gunting, pinset,
termasuk meja nekropsi, sepatu boot karet, sarung tangan, baju khusus untuk
nekropsi, penutup rambut, dan desinfektan.
3 2 3 Perlengkapan histopatologi
Alat-alat yang digunakan adalah gelas objek, rak gelas objek, gelas
penutup, cetakan blok parafin, pinset, tissue processor, mikrotom, inkubator,
mikroskop cahaya, dan kamera digital (eye piece webcam®), sedangkan bahanbahan yang diperlukan adalah larutan formalin 10%, alkohol dengan konsentrasi
bertingkat, alkohol absolut, xylol, litium karbonat, pewarna Mayer hematoksilin,
pewarna eosin, parafin histoplast dan entellan.
3 3 Metode
Studi ini menggunakan prosedur nekropsi untuk pemeriksaan patologi
anatomi dan prosedur histopatologi untuk pemeriksaan histopatologi.
3 3 1 Nekropsi
Nekropsi dilakukan pada tanggal 2 Juli 2009 untuk P/135/09 dan 3 Juli
2009 untuk P/137/09 dengan prosedur nekropsi yang sudah ditetapkan oleh
Bagian Patologi, Departemen KRP, FKH, IPB.
4
Semua perlengkapan nekropsi disiapkan terlebih dahulu. Pemeriksaan
ekternal perlu dilakukan sebelum dilakukan nekropsi untuk melihat adanya lesi
atau ektoparasit pada permukaan tubuh komodo. Ektoparasit yang ditemukan
disimpan di dalam etanol 70% untuk identifikasi lebih lanjut. Rongga tubuh
dibuka dengan menggunakan pisau yang bersih untuk mencegah kontaminasi.
Rongga abdominal dan thoraks dibuka secara hati-hati. Organ-organ di rongga
abdominal dan thoraks diobservasi untuk menemukan perubahan patologi
anatomi. Pemeriksaan patologi anatomi dilanjutkan ke organ-organ secara spesifik
pada setiap sistem organ yaitu organ respirasi, organ sirkulasi, organ digestivus,
dan organ urogenital. Sampel dari organ-organ yang menunjukkan perubahan
patologi dimasukkan ke dalam larutan fiksasi buffer formalin netral 10% (BNF
10%) untuk selanjutnya diproses histopatologi.
3 3 2 Pembuatan preparat histopatologi
Pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan grossing sampel organ
dan didehidrasi di dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%,
80%, 90%, 95%, alkohol absolut (I & II), xylol (I & II) dan parafin (I & II)
dengan menggunakan tissue processor. Pencetakan organ ke dalam blok parafin
dengan menggunakan alat embedding console sesuai dengan cara Samuelson
(2007).
Pemotongan jaringan (trimming) dilakukan dengan menggunakan
mikrotom dengan ketebalan irisan 4-5 µm. Hasil potongan jaringan yang didapat
ditempelkan pada gelas objek dan dimasukkan ke dalam inkubator untuk
pengeringan dengan suhu 37oC selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna
(Samuelson 2007).
3 3 3 Pewarnaan hematoksilin & eosin (HE)
Pewarnaan HE dilakukan dengan serangkaian proses dan dimulai dengan
pencelupan pada larutan xylol I lalu berturut-turut xylol II, alkohol absolut,
masing-masing selama 2 menit; alkohol 95% dan alkohol 80% masing-masing
selama 1 menit lalu dicuci dalam air mengalir selama 1 menit. Selanjutnya
dilakukan pencelupan ke dalam pewarna Mayer hematoksilin selama 8 menit
dilanjutkan dengan mencuci dalam air mengalir selama 30 detik. Kemudian
preparat dicelupkan selama 15-30 detik ke dalam litium karbonat dan dibilas
kembali dengan air mengalir selama 2 menit. Tahap selanjutnya dilakukan
pencelupan ke dalam eosin selama 2-3 menit dan dibilas kembali dalam air
mengalir selama 30-60 detik. Kemudian dilakukan pencelupan kembali dalam
alkohol 95%, alkohol absolut I, masing-masing sebanyak sepuluh celupan;
alkohol absolut II dilakukan selama 2 menit. Berikutnya, tahap yang terakhir
adalah pencelupan ke dalam xylol I dan xylol II selama masing-masing 1 menit
dan 2 menit. Selanjutnya dikeringkan dan ditutup dengan cover glass
(Laboratorium Patologi Veteriner 1991).
3 3 4 Pengamatan
Pengamatan patologi dilakukan sebanyak dua tahap yaitu patologi anatomi
dan histopatologi. Pemeriksaan patologi anatomi dilakukan dengan prinsip
inspeksi, incisi, dan palpasi pada semua organ. Pemeriksaan histopatologi
dilakukan dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 40-400 X. Semua
5
perubahan yang ditemukan dicatat dan didokumentasikan untuk kemudian
dianalisis.
3 4 Analisis Data
Semua data yang diperoleh baik data patologi anatomi maupun
histopatologi dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk naratif.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4 1 Hasil
Hasil pemeriksaan patologi anatomi yang diperoleh dari setiap komodo
menunjukkan bahwa pada kedua kasus ditemukan adanya infestasi caplak, kondisi
anemis umum, dan pembendungan umum (kongesti umum).
Hasil evaluasi patologi anatomi terhadap organ-organ pada setiap sistem
organ menunjukkan bahwa pada organ respirasi ditemukan busa di dalam trakea
dan bronkus (Gambar 2A) yang mengindikasikan adanya edema pulmonum. Pada
organ sirkulasi ditemukan adanya aspek suram pada sayatan miokardium dan
ditemukan warna serabut yang keputih-putihan; gambaran ini menunjukkan
degenerasi dan nekrosis yang mengindikasikan adanya kardiomiopati (Gambar
2B). Pada organ digestivus ditemukan adanya eksudat lendir berwarna putih
kekuning-kuningan (Gambar 2C), usus secara umum berwarna kemerahan, yang
mengindikasikan adanya enteritis fibrinus; dan pada beberapa lokasi ditemukan
parasit cacing pita dalam jumlah banyak (2D). Pada organ urogenital ditemukan
kongesti pada kedua organ ginjal dan testis. Hasil pemeriksaan patologi anatomi
di berbagai organ secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil pemeriksaan patologi anatomi di berbagai organ pada komodo
Organ
Diagnosis Patologi Anatomi
Komodo I
1. Infestasi ektoparasit
2. Anemis
3. Pembendungan umum
Komodo II
1. Infestasi ektoparasit
2. Anemis
3. Pembendungan umum
Organ Respirasi
1. Edema pulmonum
2. Atelektasis
3. Pneumonia
1. Laringitis
2. Emfisema
Organ Sirkulasi
1. Kardiomiopati
1. Kardiomiopati
Organ Digestivus
1. Hidropascites (rongga perut)
2. Nekrotik nodular hati
3. Kongesti hati
4. Enteritis parasitika et fibrinus
5. Kolitis katharralis
1. Esofagitis
2. Gastritis ulceratif et fibrinus
3. Kongesti hati
4. Enteritis parasitika et fibrinus
5. Intussesepsi
Organ Pertahanan
1. Splenitis
2. Kongesti limpa
Organ Urogenital
1. Kongesti ginjal
2. Kongesti testis
Keadaan Umum
1. Kongesti ginjal
2. Kongesti testis
6
A
B
C
D
Gambarr 2 Gambaran patologi anatomi paru-paru komodo
k
(A) menunjukkan
m
addanya busa di dalam
trakea dann bronkus (panah putih); jaantung (B) meenunjukkan addanya degeneraasi dan
nekrosis miokardium
m
(panah putih); uusus (C) menunnjukkan adanyya enteritis fib
brinus
(panah putiih); cacing pitaa (D).
H
Hasil
temuan histopatologi trakea ddi kedua kasuus menunjukkkan bahwa pada
area serosa
s
ditem
mukan adannya degenerrasi dan neekrosis padaa jaringan otot,
infiltraasi sel-sel radang, daan akumulasi eritrositt di dalam
m kapiler yang
mengiindikasikan adanya konngesti. Matrrix dan lacuuna pada kartilago
k
hyyaline
trakea seperti yaang ditunjukkkan pada Gambar 3, terlihat tiidak mengaalami
perubaahan patologgi yang signnifikan, strukktur sel-sel epitel berlappis semu bersilia
(pseuddostratified epithelium)
e
p
pada
bagian mukosa jugga terlihat maasih baik. Hal ini
mengiindikasikan bahwa
b
mukoosa trakea daalam keadaan
n relatif norm
mal.
7
Gambar
G
3 Gambbaran histopatoloogi trakea komoddo, menunjukkaan lapisan epitel bberlapis semu beersilia pada
muko
osa terlihat masihh baik (panah hittam); HE; skala bar: 25 µm, 20 µ
µm (insert).
Hasil temuan histtopatologi paru-paru meenunjukkan beberapa allveoli yang
mengalami
m
kolaps yanng ditandai dengan adaanya lumen alveoli yaang terlihat
menyempit
m
dan tidak daapat mengem
mbang dengaan baik (Gaambar 4). Haasil temuan
ini
i menduk
kung temuann patologi anatomi pada paru-parru yang meenunjukkan
adanya
a
ateleektasis. Dindding alveoli terlihat mennebal yang diisi
d
oleh hippertrofi selsel epitel alveoli
a
dan infiltrasi seel-sel radanng yang meengindikasik
kan adanya
interstitialiis. Akumuulasi eritrossit di dalam kapilerr alveolar
pneumonia
p
mengindikas
m
sikan adany
ya kongesti, sedangkan akumulasi eeritrosit di luuar kapiler
mengindikas
m
sikan adanyaa hemoragi.
Hasil temuan hiistopatologi yang lain pada paruu-paru adalaah adanya
perembesan
p
eritrosit kee dalam sebbagian besarr lumen alvveoli sehing
gga terlihat
berwarna
b
merah,
m
sebaggian alveoli diisi penuhh oleh cairann edema yaang terlihat
berwarna
b
merah
m
muda. Hasil temuuan ini menndukung tem
muan patologi anatomi
pada
p
paru-paaru yang meenunjukkan eedema pulmo
onum.
G
Gambar
4 Gambbaran histopatolo
ogi paru-paru komodo
k
menunjukkan adanya addanya eritrosit yang
y
mengisi
sebagiian besar lumen alveoli (panah kkuning), cairan edema
e
di dalam alveoli
a
(panah merah),
m
dan
terlihaat pula alveoli yaang kolaps (ateleektasis) (panah hitam);
h
HE; skalaa bar: 70 µm.
8
Hasil temuan histopatologi jantung di kedua kasus seperti yang terlihat
pada Gambar 5 menunjukkan adanya degenerasi dan nekrosis jaringan
miokardium, lisis miosit, fibrosis miokardium serta adanya infiltrasi sel-sel
radang. Temuan histopatologi ini mendukung temuan patologi anatomi pada
jantung yang menunjukkan kardiomiopati.
Gambar 5 Gambaran histopatologi jantung komodo, menunjukkan fibrosis miokardium (panah
merah), lisis miosit (panah hitam), dan infiltrasi eritrosit dan sel-sel radang (panah
biru); HE; skala bar: 25 um.
Hasil temuan histopatologi usus menunjukkan nekrosis dan lisis pada villivilli usus akibat perlekatan acetabulum skoleks cacing pita ke permukaan
mukosa (Gambar 6) dan infiltrasi sel-sel radang yang mengindikasikan adanya
enteritis. Tingkat keparahan lisis pada mukosa bergantung pada jumlah skoleks
yang melekat pada mukosa usus tersebut.
Gambar 6 Gambaran histopatologi usus komodo, menunjukkan adanya acetabulum dari skoleks
cacing pita (panah hitam) yang menempel pada mukosa usus yang mengakibatkan lisis
jaringan sekitarnya; HE; skala bar: 50 µm.
Hasil temuan histopatologi hati menunjukkan adanya akumulasi eritrosit di
dalam sinusoid dan pembuluh darah (Gambar 7) yang mengindikasikan adanya
9
kongesti hati; degenerasi hidropis yang ditandai dengan adanya vakuola-vakuola
yang keruh; dan degenerasi lemak yang ditandai dengan adanya vakuola-vakuola
yang jernih. Selain kongesti dan degenerasi, ditemukan adanya akumulasi
eritrosit di luar sinusoid dan pembuluh darah yang mengindikasikan adanya
hemoragi dan infitrasi sel-sel radang yang mengindikasikan adanya hepatitis.
Gambar 7 Gambaran histopatologi hati komodo, menunjukkan degenerasi hidropis (panah
merah), degenerasi lemak (panah hitam), kongesti (panah kuning), dan eosinofil
(panah putih); HE; skala bar: 20 µm.
Hasil temuan histopatologi limpa menunjukkan kapiler yang diisi oleh
eritrosit yang mengindikasikan adanya kongesti, yang menjadi penyebab
terjadinya degenerasi dan nekrosis sel-sel limfoid; akumulasi eritrosit yang
tersebar merata di seluruh lapang pandang sediaan mengindikasikan adanya
hemoragi; dan infiltrasi sel-sel radang. Temuan-temuan ini mengindikasikan
adanya splenitis.
Gambar 8 Gambaran histopatologi limpa komodo, menunjukkan adanya kongesti (panah hitam),
degenerasi dan nekrosis pulpa putih (panah empat arah), dan infitrasi sel-sel radang; HE;
skala bar: 25 µm.
10
Hasil temuan histopatologi ginjal menunjukkan adanya akumulasi eritrosit
di dalam kapiler pembuluh darah yang mengindikasikan adanya kongesti; lisis
tubulus-tubulus ginjal, infiltrasi sel-sel radang, eritrosit berada di luar kapiler; dan
glomerulus terlihat padat karena meningkatnya aktivitas seluler. Temuan-temuan
histopatologi tersebut menunjukkan terjadinya nefritis.
Gambar 9 Gambaran histopatologi ginjal komodo, menunjukkan lisis tubulus-tubulus ginjal
(panah empat arah) dan glomerulus terlihat padat (panah hitam); HE; skala bar: 25µm.
Hasil temuan histopatologi testis menunjukkan eritrosit yang mengisi
kapiler-kapiler (Gambar 10) yang mengindikasikan adanya kongesti. Testis juga
terlihat mengalami degenerasi lemak yang ditandai dengan adanya infiltrasi selsel lemak di area interstitial (leydig); dan amiloid di antara sel-sel leydig.
Amiloidosis tersebut menunjukkan bahwa kerusakan jaringan terjadi secara
kronis.
Gambar 10 Gambaran histopatologi testis komodo, menunjukkan adanya kongesti (panah hitam)
dan amiloidosis (panah merah); HE; skala bar: 50 µm.
11
Gambaran histopatologi organ-organ komodo yang lebih lengkap disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Hasil pemeriksaan histopatologi di berbagai organ pada komodo
Organ
Paru-paru
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Gambaran Histopatologi*
Cairan edema di dalam alveoli
Terbentuknya jaringan ikat di septum alveoli
Adanya eritrosit yang mengisi lumen alveoli
Beberapa alveoli mengalami kolaps
Hipertrofi sel-sel epitel alveoli
Kongesti dan hemoragi pada septum alveoli
Infiltrasi sel-sel radang di area intertitium
Trakea
a.
b.
c.
d.
Adanya bakteri berbentuk basilus dan coccus pada serosa
Degenerasi dan nekrosis jaringan otot serosa
Kongesti di dalam pembuluh darah serosa
Infiltrasi sel-sel radang di area serosa
Jantung
a.
b.
c.
d.
Hati
a. Kongesti di sinusoid dan hemoragi
b. Infiltrasi leukosit bergranul (eosinofil) dan tidak bergranul
(limfosit) serta beberapa sel kuffer terlihat di dalam
sinusoid yang mengalami kongesti
d. Degenerasi dan nekrosis hepatosit
e. Nukleus hepatosit mengalami piknotik, rexis, lisis
a. Kongesti dan hemoragi
b. Degenerasi dan nekrosis sel-sel limfoid
c. Infiltrasi sel-sel radang, splenitis
a. Degenerasi, nekrosis, lisis epitel villi-villi usus
c. Hemoragi
e. Infiltrasi sel-sel radang, enteritis
f. Proliferasi jaringan ikat
g. Amiloidosis
h. Terdapatnya acetabulum dari skoleks cacing pita
Limpa
Usus
Degenerasi dan nekrosis miokardium
Regenerasi atau proliferasi nukleus miosit
Kongesti dan hemoragi
Ruptur pada septum vaskular akibat terjadinya degenerasi
dan nekrosis pada septum vaskular
e. Neokapilarisasi
g. Vakuolisasi dan lisis miosit
h. Fibrosis miokardium
i. Infiltrasi sel-sel radang, miokarditis
Ginjal
a. Degenerasi dan nekrosis tubulus-tubulus ginjal
b. Lisis epitel tubulus ginjal, inti piknotik, vakuolisasi
f. Kongesti
g. Glomerulus tampak padat akibat tingginya aktivitas seluler
h. Hemoragi di antara tubulus-tubulus ginjal
Testis
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Edema di dalam testis
Kongesti di dalam kapiler
Degenerasi dan nekrosis sel-sel interstitial (leydig)
Amiloidosis
Neokapilarisasi
Hipertrofi dinding vaskular
Infiltrasi sel-sel lemak, vakuolisasi
Keterangan: *Dua ekor komodo berasal dari satu spesies yang sama dan kandang yang sama sehingga
diasumsikan bahwa gambaran histopatologi yang ditemukan sama dan dijadikan sebagai satu kesatuan data.
12
4 2 Pembahasan
Pneumonia adalah peradangan (inflamasi) akibat infeksi yang menyerang
parenkim paru, distal dari bronchiolus terminalis yang mencakup bronchiolus
respiratorius dan alveoli, sehingga menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat. Pneumonia dapat memicu terjadinya
emfisema dan atelektasis. Pneumonia dapat diklasifikasikan menjadi alveolar dan
interstitial. Pneumonia alveolar merupakan inflamasi yang terjadi di dalam lumen
alveoli, sedangkan pneumonia interstitial merupakan inflamasi yang terjadi pada
bagian interstitial alveolar yang meliputi jaringan-jaringan interstitial dan
parenkim alveolar. Klasifikasi yang lain menyebutkan bahwa pneumonia dapat
dibagi menjadi tipikal dan atipikal. Pneumonia tipikal biasanya disebabkan oleh
bakteri Streptococcus pneumonia, sedangkan pneumonia atipikal disebabkan
oleh virus influenza, Mycoplasma, Chlamydia, dan Legionella (Lutfiyya et al.
2006).
Pneumonia yang terjadi pada reptil yang dikandangkan biasanya
berhubungan erat dengan manajemen pengelolaan kandang yang buruk disertai
dengan adanya polusi udara sekitar. Sanitasi kandang yang buruk, kelembaban
dan temperatur lingkungan yang tinggi akan meningkatkan stress yang berakibat
menurunnya daya tahan tubuh, sehingga bakteri, virus, dan mikroorganisme lain
penyebab pneumonia akan mudah menginfeksi tubuh. Virus, misalnya, akan
mudah masuk ke traktus respirasi melalui rute inhalasi lalu berinvasi ke dalam
sel-sel endotel dan epitel alveoli, mengakibatkan sel-sel mengalami nekrosis dan
lisis. Infeksi virus tersebut menyebabkan timbulnya respon imun, mengundang
leukosit tertutama sel-sel mononukleal sehingga menimbulkan inflamasi yang
memperparah nekrosis sel-sel alveoli.
Inflamasi yang berlangsung lama dapat menjadi kronis yang memicu
terjadinya emfisema sebagai bentuk penyakit paru-paru obstruktif kronik
(chronic pulmonary obstructive disease/COPD) dan secara patologis dapat
didefinisikan sebagai bentuk perluasan abnormal ruang udara distal ke
bronchiolus terminal, disertai dengan nekrosis dinding alveolar. Kehilangan
alveoli menyebabkan pembatasan aliran udara, yang dapat terjadi melalui dua
mekanisme, dalam penelitian terhadap tikus sebagai hewan model. Pertama,
hilangnya dinding alveolar menyebabkan penurunan elastisitas, yang
mengakibatkan pembatasan aliran udara. Kedua, hilangnya struktur pendukung
alveolar menyebabkan terjadinya penyempitan saluran udara, yang selanjutnya
akan membatasi aliran udara (Demirjian 2012). Pembatasan aliran udara ini yang
dapat mengakibatkan kematian.
Emfisema, seperti yang sudah disinggung di atas, terjadi karena rupturnya
dinding alveoli sehingga ruang alveolar saling bergabung dan membesar.
Emfisema pada hewan, umumnya bersifat sekunder karena selalu terjadi setelah
adanya gangguan aliran udara yang diakibatkan oleh adanya pneumonia.
Pneumonia tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah makrofag dan
neutrofil yang mengakibatkan ketidakseimbangan antara aktivitas protease dan
antiprotease di paru-paru, sehingga memicu terjadinya apoptosis alveolar yang
diikuti lisis struktur alveolar. Peningkatan kematian sel-sel dinding alveolar dan
kegagalan dalam pemeliharaan dinding alveolar dapat disebabkan oleh inflamasi
kronis dan ketidakstabilan surfaktan (Yoshida & Tuder 2007). Selain faktor-
13
faktor yang telah disebutkan di atas, meningkatnya stres oksidatif juga
berkontribusi terhadap meningkatnya nekrosis dan lisis alveolar. Penelitian
lainnya yang dilakukan terhadap tikus menyebutkan bahwa adanya korelasi
positif antara kelaparan dan kejadian emfisema (Massaro & Massaro 2004).
Faktor genetik juga diyakini memiliki peran utama sebagai penyebab emfisema
dalam kasus smocking (pada manusia) (Yoshida & Tuder 2007).
Atelektasis adalah suatu keadaan kolaps pada lobus atau keseluruhan
bagian paru-paru sehingga mencegah pertukaran CO2 dan O2. Kajian dan teori
penyebab terjadinya atelektasis telah banyak dilaporkan. Teori tersebut
menyebutkan bahwa refleks spasmus jaringan fiber otot polos paru-paru berperan
terhadap timbulnya atelektasis dan obstruksi bronchial merupakan salah satu
stimuli yang mengakibatkan terjadinya refleks atelektasis. Secara garis besar,
terdapat tiga faktor utama yang memicu terjadinya atelektasis yaitu kompresi
jaringan paru, absorpsi udara alveolar, dan gangguan fungsi surfaktan.
Kompresi jaringan paru-paru dapat diakibatkan oleh obstruksi jalan udara
besar yang dapat disebabkan oleh akumulasi mukus atau benda asing seperti koin,
potongan kayu, dan makanan, sehingga memblokir aliran udara menuju alveoli,
tempat pertukaran gas CO2 dan O2, yang mengakibatkan paru-paru menjadi
kolaps. Efusi pleural, terutama oleh luka trauma, menyebabkan cairan memenuhi
pleura dan menekan paru-paru sehingga mencegahnya untuk mengembang pada
setiap kali bernapas. Pneumothoraks, terutama juga oleh luka trauma,
menyebabkan udara masuk ke rongga dada, terperangkap, dan seperti efusi
pleural, menekan paru-paru sehingga mencegahnya untuk mengembang pada
setiap kali bernapas. Absorpsi udara alveolar atau gas atelektasis, terjadi karena
adanya obstruksi alveolar yang berisi gas yang terperangkap akibat oklusi jalan
udara komplit. Oleh karena pengambilan gas oleh darah masih terus berlanjut dan
pengembalian gas dicegah oleh jalan udara yang diblokir, alveolar kolaps.
Gangguan fungsi surfaktan dapat terjadi karena adanya inflamasi pada paru-paru
atau pneumonia. Inflamasi tersebut mengakibatkan nekrosis sel-sel epitel dan
endotel alveolar termasuk pneumosit tipe I dan II. Pneumosit tipe II merupakan
sel penghasil surfaktan yang bertugas menstabilisasi alveoli dengan mengurangi
tekanan permukaan alveolar sehingga mencegahnya mengalami kolaps.
Kerusakan karena nekrosis sel tipe ini, mengakibatkan gangguan produksi
surfaktan yang pada akhirnya mengganggu fungsi surfaktan sebagai penstabil
alveoli, sehingga alveoli menjadi kolaps (Duggan & Kavanagh 2005).
Edema merupakan akumulasi cairan di antara jaringan dan rongga tubuh.
Edema dapat dibedakan menjadi edema lokal dan umum. Edema lokal
disebabkan oleh blokade limfatik, sedangkan edema umum disebabkan oleh
meningkatnya tekanan hidrostatik darah atau menurunnya tekanan osmotik
koloid protein plasma (Cheville 2006). Edema pulmonum merupakan akumulasi
cairan yang berisi endapan protein di dalam alveoli paru-paru. Edema pada paruparu dapat terjadi apabila ada gangguan pada aliran darah yang menuju ke atau
dari jantung. Pada kasus ini, edema pulmonum dapat terjadi sebagai dampak
negatif dari gagal jantung akibat kardiomiopati dan gagal ginjal akibat kongesti
dan lysis tubulus-tubulus ginjal.
Edema lain adalah hidropascites, yang merupakan akumulasi cairan pada
intraperitoneal akibat retensi ion natrium dan hidroksida (air), hipoalbuminemia,
dan menurunnya tekanan osmotik koloid (Cheville 2006). Ascites dilaporkan
14
tidak selalu muncul pada kenaikan tekanan hidrostatik pada semua spesies
(Colville & Bassert 2008). Ascites dapat mengindikasikan berbagai macam
kondisi patologis seperti gagal jantung (CHF), nefrosis, malignant neoplasma,
dan peritonitis.
Laringitis merupakan suatu bentuk inflamasi pada laring atau mukosa
laring. Laringitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi bakterial atau fungal,
infeksi viral, acid reflux, dan faktor lingkungan seperti iklim (mikroklimat), dan
substansi kimia volatil iritan.
Kardiomiopati merupakan suatu bentuk kegagalan memompa darah pada
jantung yang disebabkan oleh disfungsi sistolik dan diastolik. Keadaan ini dapat
menyebabkan kematian. Disfungsi sistolik dan diastolik itu sendiri disebabkan
oleh kekurangan distrofin dan sarkoglikan kompleks. Substansi-substansi ini
memiliki tugas utama sebagai penstabil mekanis membran otot. Kehilangan
sarkoglikan yang dapat diakibatkan oleh beberapa mekanisme nonmekanikal
menyebabkan terjadinya miopati. Begitu pula dengan distrofin, kehilangan
substansi ini dapat mengakibatkan tejadinya peningkatan laju nekrosis miosit
jantung, sehingga akan menyebabkan peningkatan fibrosis miokardium.
Kegagalan pada jantung dapat berdampak pada organ-organ yang lain. Kegagalan
jantung kiri akan mengakibatkan edema dan kongesti pada paru-paru, sebaliknya,
kegagalan jantung kanan akan mengakibatkan edema dan kongesti pada limpa dan
hati (Townsend et al. 2011).
Gastritis atau peradangan pada lambung sebagian besar disebabkan oleh
infeksi bakteri dan sebagai dampak negatif dari azotemia akibat gagal ginjal.
Walaupun demikian, banyak penelitian telah melaporkan kontribusi faktor
psikologis sebagai salah satu penyebab gastritis. Bakteri, dapat menyebabkan
gastritis kronis aktif yang menimbulkan defek dalam regulasi produksi gastrin di
dalam lambung. Gastrin merupakan hormon lambung yang merangsang sel-sel
parietal untuk memproduksi asam lambung. Kolonisasi bakteri tersebut
meningkatkan produksi gastrin yang kemudian meningkatkan produksi asam.
Peningkatan volume asam menyebabkan terjadinya erosi pada mukosa yang
mengakibatkan pembentukan ulkus atau ulcer. Gastritis ulceratif ini tentu akan
mengganggu kinerja saluran pencernaan sehingga mengakibatkan terjadinya
malnutrisi dan anemia. Gastritis dalam kasus kedua diikuti pula oleh fibrosis. Hal
itu menunjukkan bahwa kejadian penyakit tersebut sudah masuk ke fase kronis.
Enteritis dalam kasus ini disebabkan oleh infeksi parasit, dan parasit
tersebut diklasifikasikan sebagai golongan Cestoda (cacing pita). Parasit ini
tinggal dan hidup di mukosa usus sehingga menyebabkan terjadinya lisis mukosa
dan mengakibatkan enteritis. Lisis mukosa tersebut menyebabkan hilangnya villi
dan rupturnya septum vaskular. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya
gangguan penyerapan yang mengakibatkan malnutrisi dan anemia. Perdarahan
atau hemoragi yang terjadi akibat rupturnya septum vaskular sehingga kehilangan
banyak eritrosit juga menjadi salah satu sebab terjadinya anemia.
Selain kerusakan usus karena enteritis, infeksi ektoparasit seperti caplak
dalam kasus ini juga dapat menyebabkan terjadinya anemia. Parasit mengeluarkan
enzim protease untuk mencegah pembekuan darah sehingga mengakibatkan
hipoalbuminemia dan defisiensi Fe kronis yang kemudian mengakibatkan
kematian (Hare et al. 2010).
15
Dalam kasus ini, infeksi parasit yang parah juga menyebabkan catarrhal
mucopurulen pada kolon (kolitis katarrhalis) yang merupakan eksudat radang
yang berkomposisikan mukus dan pus (neutrofil dan sel-sel debris).
Intususepsi merupakan suatu kejadian masuknya satu segmen usus ke
segmen usus yang lain. Intususepsi, dengan kata lain adalah kondisi telescoping
segmen usus (intususeptum) ke dalam segmen yang lebih distal (intussuscipiens),
dan membawa serta mesenterium, pembuluh darah, dan saraf. Kondisi ini
mengakibatkan terjadinya kompresi pada pembuluh darah, diikuti pembengkakan
daerah sekitar, sehingga menyebabkan obstruksi, dan selanjutnya terjadi
penurunan aliran darah ke daerah usus yang mengalami intususepsi. Pengurangan
suplai darah ke usus tersebut menyebabkan nekrosis, obstruksi, dan hemoragi. Hal
ini juga dapat mengakibatkan terjadinya ruptur sehingga menyebabkan terjadinya
infeksi abdominal dan shock. Intususepsi yang terjadi pada manusia dewasa
diklasifikasikan sebagai intususepsi: enterik, ileokolik, ileocecal dan kolonik;
hampir 90% kejadian kasus terjadi pada region ileokolik. Intususepsi ileokolik
merupakan suatu kondisi usus kecil masuk ke dalam usus besar. Beberapa kondisi
yang dapat mempengaruhi motilitas usus dan menjadi predisposisi terjadinya
intususepsi antara lain adanya parasit usus seperti cacing, bakteri gastrointestinal,
dan benda-benda yang tidak sengaja tertelan seperti potongan plastik dan kayu
(Wani 2009).
Kongesti merupakan pembendungan pada pembuluh darah vena dan
kapiler, yang dapat ditemukan hampir di semua organ seperti hati, limpa, ginjal,
dan testis, termasuk juga paru-paru, trakea, dan jantung. Kongesti menandakan
adanya peningkatan aliran darah menuju jaringan dan sedikitnya aliran darah
yang dikembalikan ke pembuluh darah dari jaringan. Variasi jenis kongesti
dipengaruhi oleh durasi (akut/kronis) dan tingkat keparahan (lokal/umum)
(Slauson & Cooper 2002). Kongesti pada segala keadaan hanyalah manifestasi
dari beberapa karakteristik aliran darah dan merupakan hal yang mendasari
terjadinya proses patologis. Pembendungan atau kongesti ini menyebabkan aliran
darah terganggu sehingga dapat terjadi degenerasi dan menuju ke arah nekrosis
karena jaringan kekurangan oksigen.
Degenerasi terjadi di hampir semua organ. Degenerasi hidropis
(ballooning degeneration) adalah kondisi sel yang mana sitoplasma
membengkak dan berisi air sehingga sitoplasma membentuk vakuola. Pola
degenerasi ini pada umumnya disebabkan oleh toksin bakteri, virus
epitheliotropik, hipoksia, dan tumor (Cheville 2006). Degenerasi lemak adalah
kondisi sel yang mana sitoplasma berisi sel- sel lemak dan membentuk vakuola.
Pola degenerasi ini terjadi akibat kondisi hipoksemia. Degenerasi hidropis dan
lemak terlihat hampir sama, namun keduanya dapat dibedakan jika dilihat dengan
seksama di bawah mikroskop dengan pewarnaan HE. Degenerasi hidropis
ditandai dengan adanya kekeruhan pada sitoplasma, sedangkan degenerasi lemak
ditandai dengan adanya rongga kecil, bulat, dan jernih (McGavin & Zachary
2001).
Mekanisme terjadinya degenerasi hidropis sel-sel hepatosit dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti kerusakan pada membran sel, kegagalan sel untuk
menghasilkan energi, dan gangguan enzim yang mengatur pompa ion natrium
dan kalium pada membran sel. Hipoksia pada sel akibat adanya kongesti dalam
kasus ini, menyebabkan berkurangnya produksi energi sehingga homeostasis sel
16
terganggu. Pada keadaan ini, ion natrium dan air masuk ke dalam sel akibat
kerusakan pompa ion pada membran sel dan meningkatkan tekanan osmotik,
sehingga sel membesar. Sisterna dari retikulum endoplasmik sel membesar dan
ruptur, kemudian membentuk vakuola-vakuola yang menunjukkan bahwa sel
mengalami degenerasi hidropis. Mekanisme terjadinya degenerasi lemak sel-sel
hepatosit, sel-sel epitel tubulus, dan sel-sel leydig dimulai ketika sel mengalami
kondisi hipoksia akibat hipoksemia, sehingga sel kekurangan O2, yang mana O2
berperan penting dalam metabolisme sel. Kondisi hipoksia ini akan menghambat
kerja enzim pada retikulum endoplasmik yang berfungsi sebagai katalisator
oksidasi asam lemak, sehingga mendukung sintesis asam lemak yang
mengakibatkan terjadinya akumulasi asam lemak tersebut di dalam sel (McGavin
& Zachary 2001).
Kongesti pada limpa di dalam kasus pertama, merupakan dampak negatif
dari gagal jantung kanan karena kardiomiopati. Splenitis yang juga ditemukan,
merupakan dampak dari infeksi parasit, sehingga limpa sebagai salah satu pusat
pembentukan sel-sel pertahanan menunjukkan respon imun dengan melakukan
ploriferasi sel-sel limfosit dan mengundang sel-sel radang.
Kongesti pada ginjal sebagaimana pada organ-organ yang lain juga
merupakan manifestasi dari beberapa karakteristik aliran darah yang tidak normal
yang dapat disebabkan salah satunya oleh gagal ginjal. Ginjal merupakan organ
yang mempunyai fungsi utama sebagai eliminator limbah metabolisme seperti
nitrogen, ureum, asam urat, kreatinin, dan amoniak. Gagal ginjal merupakan
suatu kondisi insufisiensi ginjal dalam menjalankan tugasnya, sehingga
menyebabkan terjadi azotemia yang dapat meningkatkan limbah metabolisme di
dalam serum atau plasma. Kondisi uremia ini menyebabkan lesi multisistemik
seperti gastritis ulceratif & hemoragi, stomatitis ulceratif & nekrosis, anemia
hipoplastik, dan edema pulmonum (Divers 1997).
Amiloid yang dapat ditemukan pada hampir semua organ, merupakan hasil
proteolisis yang mana protein berfibril tersebut tidak dapat larut karena memiliki
betapleated sheets. Adanya kejadian amiloidosis biasanya berkaitan dengan
radang kronis, neoplasma, atau idiopathik. Amiloidosis bukan merupakan
penyakit tunggal melainkan bagian dari suatu kejadian penyakit yang dicirikan
dengan adanya deposit ekstraseluler pada jaringan dalam satu atau beberapa
organ, dan terlihat berwarna pink homogen jika diwarnai dengan pewarnaan HE
(McGavin & Zachary 2001).
5 SIMPULAN DAN SARAN
5 1 Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil analisis deskripsi temuan
patologi anatomi yang dikuatkan dengan temuan histopatologi, bahwa kerusakan
beberapa organ internal secara simultan merupakan penyebab kematian kedua
ekor komodo dalam kasus ini.
17
5 2 Saran
Pengamatan histopatologi lebih lanjut dengan pewarnaan khusus seperti
pewarnaan Ziehl-Neelsen dan Gram, perlu dilakukan untuk mengonfirmasi
diagnosis postmortem tersebut.
Manajemen pengelolaan kandang dan manajemen pakan harus lebih
diperhatikan sehingga mengurangi faktor penyebab kondisi patologis pada tubuh
yang berakibat pada kematian komodo.
6 DAFTAR PUSTAKA
Auffenberg W. 1981. The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor.
Gainesville, Florida: University Press of Florida.
Cheville NF 2006. Introduction to Veterinary Pathology. Ed ke-3. Lowa:
Blackwel Publishing.
Colville T, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Technicians. Missouri: Mosby-Elsevier.
Demirjian B G. 2012. Emphysema. Medscape. (terhubung berkala)
http://emedicine.medscape.com/article/298283-overview
[5
Oktober
2012].
Divers SJ. 1997. Clinician's approach to renal disease in lizards. Proc Ass Reptil
Amphib Vet, October 24-27, Sacramento, CA.
Duggan M, Kavanagh BP. 2005. Pulmonary atelectasis. Waritier DC, ed.
Anesthesiol. 102:838-54.
Fry BG et al. 2009. A central role for venom in predation by Varanus
komodoensis (Komodo Dragon) and the extinct giant Varanus
(Megalania) priscus. Proc Natl Acad Sci USA. 106: 8969-8974.
Hare KM, Hare JR, Cree A. 2010. Parasites, but not palpation, are associated with
pregnancy failure in a captive viviparous lizard. Conserv Biol. 5(3): 563570.
IUCN [International Union for Conservation of Nature and Natural Resources].
2012. The IUCN Red List of Threatened Species. (terhubung berkala)
http://www.iucnredlist.org/ [6 September 2012].
[Laboratorium Patologi Veteriner]. 1991. Pewarnaan Hematoxylin dan Eosin.
Bogor: FKH IPB.
Lutfiyya MN, Henley E, Chang LF. 2006. Diagnosis and treatment of community
acquired pneumonia. Am Fam Physician. 73(3):442-450.
Massaro D, Massaro GD. 2004. Hunger disease and pulmonary alveoli. Am J
Respir Crit Care Med 170:723–724. DOI: 10.1164/rccm.2408002.
McGavin MD, Zachary JF. 2001. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Ed ke4. Missouri: Masang Inc.
Molnar RE, Pianka ER. 2004. Biogeography and Phylogeny of Varanoids.
Chapter 3 (pp. 68-76) in Pianka, E. R. and D. R. King, eds. 2004.
Varanoid Lizards of the World. Indiana University Press.
Samuelson DA. 2007. Textbook of Veterinary Hystology. Missouri: Saunders.
Skoric, MV, Mrlik J, Svobodova V, Beran M, Slany P, Fictum J, Okorny I,
Pavlik. 2012. Infection in a female Komodo dragon (Varanus
18
komodoensis) caused by Mycobacterium intracellulare: a case report. Vet
Med 57(3):163-168.
Slauson DA, Cooper BJ. 2002. Mechanism of Disease a Textbook of Comperative
General Pathology. Missauri: Mosby.
Townsend DW, Yasuda S, McNally E, Metzger JM. 2011. Distinct
pathophysiological mechanisms of cardiomyopathy in hearts lacking
dystrophin or the sarcoglycan complex. FASEB J. 25(9): 3106-3114. DOI:
10.1096/fj.10-178913. (terhubung berkala) http://www.fesebj.org [18
September 2012].
Yoshida T, Tuder RM. 2007. Pathobiology of cigarette smoke-induced chronic
obstructive pulmonary disease. Physiol Rev 87:1047–1082. DOI: 10.1152/
physrev.00048.2006.
Wani, I. 2009. Adult intussusceptions in hernial sac: a case report. J Clin Med Res
1(2): 119-120. DOI:10.4021/jocmr2009.06.1243. (terhubung berkala)
Http://www.jocmr.org. [20 September 2012].
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Samarinda, Kalimantan Timur (KALTIM), pada
tanggal 5 Agustus 1989. Penulis merupakan anak I dari tiga bersaudara pasangan
M. Mas’ud N, S. Sos dan Hastuti, S. Sos. Pada tahun 2000, penulis berhasil
masuk ke SLTPN 1 Kutai Kartanegara (KUKAR) dan berhasil lulus dengan
prestasi yang memuaskan. Kemudian pada tahun 2003, penulis melanjutkan studi
ke sekolah lanjutan atas. Penulis berhasil masuk ke sekolah favorit KALTIM,
SMAN 10 Melati Samarinda setelah melewati seleksi yang sangat ketat, dan
berhasil lulus dengan prestasi yang memuaskan. Pada tahun 2006, penulis
diterima di IPB melalui jalur khusus sebagai mahasiswa utusan daerah dengan
pembiayaan penuh dari PEMDA KUKAR sebagai bentuk apresiasi pemerintah
terhadap pencapaian prestasi yang telah diraih penulis selama bersekolah. Selama
setahun penulis harus melewati masa persiapan bersama sebelum akhirnya masuk
ke program studi kedokteran hewan di FKH. Selama kuliah, penulis banyak
mengikuti berbagai kegiatan di dalam dan di luar kampus. Pada tahun 2006-2007,
penulis menjadi anggota lembaga ilmiah FORCES, anggota lembaga kerohanian
Alhuriyah divisi syiar, dan anggota lembaga rohis seindonesia. Pada tahun 20072008, penulis menjadi anggota rohis kelas divisi syiar. Pada tahun 2008-2010,
penulis menjadi anggota HIMPRO SATLI Class Carnivore. Pada tahun 20072013, penulis menjadi anggota OMDA KUKAR.
Selain masuk ke beberapa lembaga di kampus, penulis juga aktif mengikuti
berbagai kegiatan lomba, seminar nasional dan internasional, kepanitiaan, baik
yang dilakukan di dalam kampus IPB maupun di luar kampus IPB. Penulis juga
men-sumitted paper yang berjudul “Pathological Study on the Two Cases of
Komodo Dragons (Varanus komodoensis)” pada lomba Scientific Award 2012
dan abstrak berjudul “Pathological Cases of the Two Komodo Dragons
(Varanus komodoensis)” yang dipresentasikan dalam bentuk poster pada
seminar internasional ‘The 12th Asian Association of Veterinary School
Congress’ 2013.
Download